109 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Meskipun uji klinis xenotransplantasi masih dalam status moratorium sejak akhir 1990, berbagai negara telah membentuk peraturan perundangundangan hingga petunjuk teknis (guidelines) mengenai pelaksanaan XT. Undang-undang Transplantasi Swiss menjadi salah satu contoh undangundang yang mengatur pelaksanaan transplantasi termasuk transplantasi sel, jaringan, atau organ yang berasal dari hewan kepada manusia secara komperhensif. Ketika membandingkan antara Undang-undang Transplantasi yang berlaku di Swiss maupun Polandia dengan Undangundang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dapat ditarik garis besar bahwa xenotransplantasi pada dasarnya diperbolehkan, selama telah terbukti kemanfaatan dan keamanannya. Akan tetapi Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan masih memiliki banyak kelemahan dibandingkan dengan Undang-undang Transplantasi yang berlaku di Swiss dan Polandia. Dapat dilihat bahwa ketentuan Pasal 66 merupakan lex imperfecta dimana kewajiban yang diatur tidak disertai dengan ancaman sanksi. Kewajiban memperhatikan keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud Pasal 66 UU Kesehatan bersifat sangat abstrak, dan lebih parahnya juga tidak dibarengi dengan adanya peraturan pelaksana yang komperhensif. Tentunya, apabila di masa depan Indonesia hendak melaksanakan xenotransplantasi, harus didahului dengan 110 pembaruan payung hukum yang ada. Negara harus memiliki dasar hukum untuk menindak pelaksanaan xenotransplantasi yang tidak memenuhi prosedur, menimbang risiko yang akan muncul terlalu besar. Prosedur pelaksanaan xenotransplantasi pun akan jauh lebih kompleks daripada transplantasi pada umumnya. Pemilihan hewan donor, peternakan, transportasi, karantina, pengambilan organ, penelitian preklinis, proses operasi, dan pengawasan pasca operasi, semuanya harus diatur. Selain memiliki kompleksitas yang tinggi terkait pelaksanaannya, xenotransplantasi juga memunculkan isu baru terkait salah satu hal prinsipal dalam dunia hukum kedokteran, dimana konsep infomed consent saat ini tidak cukup untuk menjadi dasar dapat dilaksanakannya xenotransplantasi. Konsep community consent diajukan sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam kaitannya melindungi kesehatan publik. Community consent dalam XT dapat diwujudkan dalam bentuk mekanisme izin dari otoritas yang berwenang untuk dapat dilaksanakannya XT pada seorang pasien. 2. Ketika ketentuan pidana dalam Undang-undang Kesehatan dan Undangundang Praktik Kedokteran sebagai lex specialis tidak mengatur sanksi pidana terhadap kesalahan dalam pelaksanaan xenotransplantasi, maka akan melihat kembali KUHP sebagai lex generalis. Hal yang menarik adalah, risiko dalam xenotransplatasi tidak hanya ditanggung pasien dan dokter, akan tetapi juga ditanggung oleh pihak ketiga, dimulai dari orang-orang terdekat pasien hingga masyarakat pada umumnya. Sedangkan dalam xenotransplantasi, dokter hanya berbuat kepada pasien yang ditangani. 111 Menarik hubungan kausal antara masyarakat sebagai korban atas kesalahan dokter dalam melaksanakan xenotransplantasi akan sangat sulit dan cenderung dipaksakan, atau bahkan tidak mungkin. Mengingat risiko yang muncul adalah timbulnya suatu wabah, perlu dilihat bagaimana UU Wabah yang dilengkapi dengan ketentuan pidana mengatur hal tersebut. Ternyata ketentuan dalam UU Wabah dan peraturan pelaksanaannya menyebutkan bahwa penggunaan bahan yang mengandung penyebab penyakit hanya terbatas pada kepentigan penelitian, sehingga bagaimanapun juga, pelaksanaan xenotransplantasi sebagai tindakan medis dapat dikatakan melampaui batas dan memenuhi rumusan delik. Ketika demikian, hukum pidana yang dimaksudkan sebagai perisai terakhir ternyata tidak ada yang cocok. Dengan berbagai kelemahan lain, adalah lebih efisien dan efektif untuk mengkriminalisasi kesalahan pelaksanaan xenotransplantasi sebagai delik baru sekaligus merumuskan prosedur pelaksanaan xenotransplantasi itu sendiri. Tindakan yang hendak dikriminalisasi adalah secara sengaja atau lalai melaksanakan transplantasi sel, jaringan, dan organ hewan kepada manusia tidak sesuai dengan syarat dan ketentuan. Dengan demikian, apabila seluruh tindakan yang dilakukan telah sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku, hal-hal yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi dianggap sebagai risiko medis yang melekat dalam pelaksanaan xenotransplantasi. Oleh karenanya dokter tidak dapat dipidana atas akibat buruk yang muncul tersebut, selama tindakannya telah sesuai prosedur yang berlaku. 112 B. Saran 1. Perlu dilakkukannya perubahan ketentuan Undang-undang Kesehatan khususnya Pasal 66 dimana syarat xenotransplantasi tidak hanya dengan dapat dijamin keamanan dan keselamatannya. Rumusan tersebut terlalu abstrak, dan untuk lebih jelasnya dapat mencontoh UU Transplantasi Swiss, yang mengatur bagaimana ketentuan agar dapat dilaksanakannya xenotransplantasi, apa yang harus dilakukan tenaga kesehatan, kewajiban penelitian, dll. 2. Terkait peraturan pelaksananya, dapat mengikuti FDA dengan berbagai penyesuaian, juga menyesuaikan dengan ilmu pengetahuan saat ini. Mengingat guidelines tersebut diterbitkan pada tahun 2003. 3. Terkait dengan tindakan yang dapat dikriminalisasi, sangat disarankan untuk dirumuskannya suatu delik baru. Delik ini dapat menjadi bagian dalam UU Kesehatan maupun ditaruh dalam undang-undang tersendiri, dimana undang-undang tersebut merupakan payung hukum pelaksanaan tindakan transplantasi. Namun perlu ditekankan kembali bahwa delik bukan hendak melarang pelaksanaan xenotransplantasi, akan tetapi melarang pelakanaan xenotransplantasi yang tidak sesuai prosedur.