BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Manis Pada pasar luar negeri terdapat dua jenis minyak kayu manis. Pertama, minyak kayu manis asal Sri Langka yang disebut Cinnamon bark oil, diperoleh dari penyulingan kulit kayu manis (Cinnamomum zeylanicum/Ceylon cinnamon). Kedua, minyak kayu manis asal Cina, dihasilkan dari penyulingan kulit manis (C. cassia/Chinese cinnamon), disebut cassia oil. Kayu manis yang banyak dibudidayakan di Indonesia terutama di Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera Utara adalah jenis C. burmanii (Batavia cinnamon). Kayu manis jenis ini belum banyak diproduksi minyaknya, tetapi masih diekspor sebagai kulit kering yang disebut cassia vera. Namun hasil pengujian menunjukkan bahwa karakteristik minyak C. burmanii hampir sama dengan minyak C. zeylanicum dan C. cassia (Hapsoh, dkk., 2011). 2.1.1 Morfologi tumbuhan kayu manis Kayu manis dapat ditemukan tumbuh liar di hutan pada ketinggian 02.000 m dpl. Namun, tumbuh baik pada tanah yang subur, gembur, agak berpasir. Pohon memiliki tinggi 5 - 15 m, kulit berwarna abu-abu tua, berbau khas, kayu berwarna merah atau coklat muda. Bentuk daun elips memanjang, ujung meruncing, pangkal runcing, tepi rata. Daun muda berwarna merah pucat, tetapi ada varietas yang berwarna hijau ungu (Dalimartha, 2009). 8 Universitas Sumatera Utara 2.1.2 Sistematika tumbuhan kayu manis Berikut adalah sistematika tumbuhan (Ditjen POM, 2000): Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Ranales Suku : Lauraceae Marga : Cinnamomum Jenis : Cinnamomum burmani Bl. 2.1.3 Kandungan kayu manis Kulit batang dan daun Cinnamomum burmani mengandung minyak atsiri, saponin dan flavonoida. Di samping itu, kulit batangnya mengandung tannin, daunnya mengandung alkaloida dan polifenol (Depkes RI, 2000). Penelitian terhadap minyak atsiri dari Cinnamomum burmannii yang berasal dari Guangzhou, Cina yang dilakukan oleh Wang, dkk pada tahun 2009 melaporkan bahwa komponen mayor minyak atsiri yang terkandung adalah transsinamaldehid (60,72%), eugenol (17,62%) dan kumarin (13,39%) (Hapsoh, dkk., 2011). 2.2 Madu Madu merupakan sebuah cairan yang menyerupai sirup yang dihasilkan oleh lebah madu. Madu memiliki rasa manis yang tidak sama dengan gula atau 9 Universitas Sumatera Utara pemanis lainnya. Rasa manis itu berasal dari cairan manis (nektar) yang terdapat pada bunga maupun ketiak daun yang dihisap lebah. Madu dihasilkan dari dua jenis lebah, yaitu lebah liar dan lebah budidaya. Madu lebah liar berasal dari pohon yang berbatang tinggi yang disebut oleh masyarakat dengan nama pohon sialang. Warna madunya juga cenderung pekat. Sedangkan madu lebah budidaya berasal dari tanaman rendah seperti tanaman buah-buahan maupun tanaman pertanian, warna madu yang cenderung cerah (Sakri, 2012). 2.2.1 Kandungan madu Madu memiliki kandungan gula yang tinggi, yaitu fruktosa (41 persen), glukosa (35 persen), sukrosa (1,9 persen), serta unsur kandungan lain seperti tepung sari yang ditambah berbagai enzim pencernaan (Sakri, 2012). Madu memang merupakan campuran dari gula dan senyawa lainnya seperti vitamin C, vitamin A, vitamin E, asam organik, flavonoid serta mineral. (Anonim, 2010). Semua kandungan tersebut dapat digunakan sebagai pengobatan tradisional, antibodi, antioksidan dan antikanker. Oleh karena itu madu banyak digunakan untuk pengobatan alternatif (Sakri, 2012). 2.3 Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). 10 Universitas Sumatera Utara Metode ekstraksi menurut Ditjen POM (2000) dan Syamsuni (2007) ada beberapa cara, yaitu: cara dingin dan cara panas. 2.3.1 Cara Dingin a. Maserasi Maserasi merupakan suatu proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). b. Perkolasi Perkolasi merupakan suatu cara penyarian simplisia dengan menggunakan perkolator dimana simplisianya terendam dalam pelarut yang selalu baru dan umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Prosesnya terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan dan penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat). 2.3.2 a. Cara Panas Refluks Refluks merupakan suatu cara ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. b. Sokletasi Sokletasi merupakan suatu cara ekstraksi kontinu dengan menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel dan mengisi bagian tengah alat soklet. Tabung 11 Universitas Sumatera Utara sifon juga terisi dengan larutan ekstraksi dan ketika mencapai bagian atas tabung sifon, larutan tersebut akan kembali ke dalam labu. c. Digesti Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, umumnya dilakukan pada suhu 40-50oC. d. Infus Infus merupakan suatu cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 15 menit. e. Dekok Dekok merupakan suatu cara ekstraksi pada suhu 90oC dengan menggunakan pelarut air selama 30 menit. 2.4 Metabolisme Glukosa Berperan Dalam Pelepasan Insulin Insulin dihasilkan oleh pankreas yaitu sel β pankreas. Pelepasan insulin dirangsang oleh sejumlah besar zat endogen dan eksogen. Glukosa merupakan salah satu zat eksogen yang menjadi penentu utama fungsi sel β dalam mensintesis maupun melepaskan insulin (Lawrence, 2005). Setelah adanya rangsangan oleh molekul glukosa, proses sekresi insulin diperngaruhi beberapa tahap. Tahap pertama adalah proses glukosa melewati membran sel. Untuk dapat melewati membran sel β dibutuhkan bantuan senyawa lain. Glucose transporter (GLUT) adalah senyawa asam amino yang 12 Universitas Sumatera Utara terdapat di dalam berbagai sel yang berperan dalam proses metabolisme glukosa. Fungsinya sebagai “ kendaraan” pengangkut glukosa masuk dari luar ke dalam sel jaringan tubuh. Glucose tansporter 2 (GLUT 2) yang terdapat dalam sel beta, misalnya diperlukan dalam proses masuknya glukosa dari dalam darah, melewati membran, ke dalam sel. Proses ini penting bagi tahapan selanjutnya yakni molekul glukosa akan mengalami fosforilasi di dalam sel dan kemudian membebaskan molekul ATP. Molekul ATP yang terbentuk, dibutuhkan untuk tahapan selanjutnya yakni proses mengaktifkan penutupan K channel pada membran sel. Penutupan kanal ini berakibat terhambatnya pengeluaran ion K dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya tahap depolarisasi membran sel, yang diikuti kemudian oleh tahap pembukaan Ca channel. Keadaan inilah yang memungkinkan masuknya ion Ca sehingga meningkatkan kadar ion Ca intrasel. Suasana ini dibutuhkan bagi proses sekresi insulin (Manaf, 2010). Insulin kemudian berikatan dengan reseptor di permukaan sel pada jaringan target. Adapun jaringan target yang penting untuk pengaturan homeostatis glukosa adalah hati, otot dan lemak. Selain itu, insulin juga bekerja pada sel darah, sel otak dan sel gonad. Interaksi antara insulin dan reseptor menghasilkan sinyal yang ditransmisikan kedalam sel untuk mengaktifasi berbagai jalur anabolik dan menghambat prose katabolik. Kerja anabolik insulin ini mencakup transpor glukosa, sintesis glikogen, lipid dan protein. Transpor glukosa ke dalam sel otot rangka dan adiposa diperantarai oleh GLUT 4. Insulin juga meningkatkan pemasukan glukosa ke dalam sel hati. 13 Universitas Sumatera Utara Glukosa dalam sel selanjutnya dapat dimetabolisme dengan berbagai cara. Dalam otot rangka dan hati, glukosa disimpan dalam bentuk glikogen (glikogenesis) untuk dapat dipakai kembali (glikogenolisis). Di dalam sel lemak, glukosa dimetabolisme menjadi asetil koA yang kemudian digunakan untuk mensintesis asam lemak. Pengesteran asam lemak dengan gliserol menghasilkan trigliserida yang merupakan bentuk penyimpanan energi (Manaf, 2010). Sistematika pelepasan insulin dapat ditunjukkan pada Gambar 2.1 (Powers, 2008). Gambar 2.1 Pelepasan Insulin secara skematis dikutip dari: Powers, A.C. (2008). Diabetes Mellitus. Editor: Fauci, S.A., Braunwald, E., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L dan Loscalzo, J. Dalam: Harrison’s Principles Of Internal Medicine. Edisi Ketujuh Belas. New York: The Mc Graw-Hill Companies, Inc. Halaman 2278. 14 Universitas Sumatera Utara 2.5 Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dimana adanya gangguan dalam metabolisme lemak, karbohidrat, dan protein yang ditandai dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena akibat penurunan dalam sekresi insulin, sensitivitas insulin, atau keduanya (Triplitt, dkk., 2008). Sindroma resistensi insulin adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensitivitas insulin terhadap jaringan sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk kompensasi sel beta pankreas. Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindrom metabolik yang dapat menjadi awal suatu diabetes melitus (Soegondo, 2010). Diabetes melitus (DM) mempunyai sindroma klinik yang ditandai adanya poliuria, polidipsia, dan polifagia, disertai peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia (kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dl atau postprandial ≥ 200 mg/dl atau glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl) (Suherman, 2007). 2.5.1 Klasifikasi diabetes melitus Berdasarkan Triplitt, dkk., 2008, diabetes melitus dapat dibagi menjadi: a. Diabetes melitus tipe 1 (DM 1), merupakan diabetes yang mengalami kerusakan sel β pankreas yang menyebabkan kekurangan insulin absolut. Diabetes Melitus tipe 1 dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena adanya kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun) menyebabkan defisiensi absolut fungsi sel beta pankreas. Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80-90% maka gejala diabetes melitus mulai muncul. Peru- 15 Universitas Sumatera Utara sakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 1 mempunyai antibodi yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai type 1 idiopathic. Sebagian besar (75%) kasus terjadi < 20 tahun, tetapi dapat juga terjadi pada setiap usia. Prevalensi DM tipe 1 ini masih sedikit dalam populasi. b. Diabetes melitus tipe 2, merupakan diabetes yang disebabkan oleh resis- tensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal. Diabetes Melitus tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM dikenal sebagai Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. DM tipe 2 ini sering dijumpai pada individu yang obesitas. Kasus ini umumnya dijumpai pada usia > 30 tahun. c. Diabetes tipe lain, merupakan diabetes yang disebabkan oleh adanya ke- lainan genetik pada fungsi sel beta pankreas, kelainan insulin, infeksi, pankreatitis, pankreatomi, obat-obatan dan kelainan genetik lainnya. d. Diabetes gestasional (diabetes kehamilan) merupakan diabetes yang timbul selama kehamilan. 2.5.2 Diagnosis diabetes melitus Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan glukosa darah dengan cara enzimatik dengan bahan 16 Universitas Sumatera Utara darah plasma vena. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis DM dan gangguan toleransi glukosa dapat juga dilihat dari keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien berupa lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal-gatal, mata kabur (Purnamasari, 2009). Kategori status glukosa darah puasa (GDP) dan tes toleransi glukosa oral (OGTT) menurut Triplitt, et al., (2008) dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kategori Status Glukosa Kategori Status Glukosa Glukosa Darah Normal < 100 mg/dl Puasa (GDP) GDP Terganggu 100-125 mg/dl 2 jam Sesudah Beban Glukosa (Tes Toleransi Glukosa Oral) Diabetes Mellitus ≥ 126 mg/dl Normal < 140 mg/dl OGT Terganggu 140-199 mg/dl Diabetes Mellitus ≥ 200 mg/dl 2.5.3 Manajemen pengobatan diabetes melitus Manajemen pengobatan diabetes melitus bertujuan untuk mengurangi resiko terjadinya komplikasi, mengurangi mortalitas, dan meningkatkan kualitas hidup (Triplitt, dkk., 2008). Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan/terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila di dapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah tersebut sasaran terapi pengendalian diabetes melitus belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu 17 Universitas Sumatera Utara diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam penyebab terjadinya hiperglikemia (Soegondo, 2010). Obat antidibetika oral dibagi dalam 7 kelompok, sebagai berikut: a. Sulfonilurea, misalnya: tolbutamid, klorpropamida, glibenklamida, gliklazida, glipizida, glikidon dan glimepirida. Mekanisme kerja sulfonilurea dengan menstimulasi insulin dari sel beta pankreas. Sulfonilurea berikatan dengan reseptor sulfonilurea yang memiliki afinitas tinggi yang berkaitan dengan saluran K-ATP pada sel beta pankreas, akan menghambat efluks kalium sehingga terjadi depolarisasi kemudian membuka saluran Ca dan menyebabkan influks Ca sehingga meningkatkan pelepasan insulin. Di samping itu, sulfonilurea juga dapat meningkatkan kepekaan reseptor terhadap insulin di hati dan di perifer. b. Penghambat kanal kalium, misalnya: repaglinida, nateglinida. Golongan ini mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan sulfonilurea, hanya pengikatan reseptornya terjadi di tempat lain dan kerjanya lebih singkat. c. Biguanida, misalnya: metformin. Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini tidak bekerja dengan menstimulasi pelepasan insulin, akan tetapi melalui pengaruhnya terhadap kualitas kerja insulin pada tingkat seluler dengan meningkatkan kemampuan insulin dalam memindahkan glukosa ke dalam sel (insulin sensitizers) dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel di duodenum sehingga menurunkan kadar glukosa darah dan menghambat 18 Universitas Sumatera Utara absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Golongan obat ini bukan obat hipoglikemik tetapi suatu antihiperglikemik sebab tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan hipoglikemia. d. Penghambat enzim α-Glukosidase, misalnya: akarbose dan miglitol. Obat golongan ini bekerja dengan merintangi enzim alfa-glukosidase di mukosa duodenum, sehingga reaksi penguraian polisakarida menjadi monosakarida terhambat. Dengan demikian glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah juga kurang cepat, lebih rendah dan merata, sehingga puncak kadar gula darah dapat dihindarkan. e. Thiazolidiendion, misalnya: rosiglitazon dan pioglitazon. Obat golongan ini bekerja dengan mengurangi resistensi insulin dan meningkatkan sensitivitas jaringan perifer untuk insulin (insulin sensitizers). f. Mimetik Inkretin, misalnya : Exenatide, Liraglutide dan Taspoglutide Mimetik inkretin adalah kelompok antidiabetes baru dengan daya kerja menyerupai efek hormon inkretin endogen. Pada akhirnya obat ini mampu menstimulasi sekresi insulin sekaligus menghambat pelepasan glukagon, sehingga terjadi penurunan kadar glukosa darah. g. Penghambat DPP-4 (dipeptidylpeptidase-4 blockers), misalnya : vildagliptin, sitagliptin, saxagliptin. Obat golongan baru ini bekerja dengan menghambat enzim DPP-4 sehingga produksi hormon incretin tidak menurun. Adanya hormon incretin berperan utama dalam produksi insulin di pankreas dan pembentukan hormon GLP-1 (glukagon-like peptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotropic 19 Universitas Sumatera Utara polypeptide) di saluran cerna yang juga berperan dalam produksi insulin. Dengan penghambatan enzim DPP-4 akan mengurangi penguraian dan inaktivasi incretin, GLP-1 dan GIP, sehingga kadar insulin akan meningkat. (Tan dan Rahardja, 2007; Suherman, 2007). 2.5.4 Monitoring diabetes melitus Monitoring diabetes melitus dapat dilakukan dengan pemeriksaan yang dilakukan antara lain kadar glukosa darah puasa, 2 jam postprandial, dan pemeriksaan glycated haemoglobin, khususnya HbA1C. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Nilai HbA1C normal menurut ACA (American College of Endocrinology) dan AACE (American Association of Clinical Endocrinologists) adalah < 6,5%, sedangkan menurut ADA (American Diabetes Assosiation) adalah < 7% (Triplitt, dkk., 2008). Dari dalam sirkulasi darah, terdapat sel darah merah yang membentuk molekul hemoglobin. Glukosa yang melekat pada hemoglobin ini membentuk molekul glycated haemoglobin yang disebut hemoglobin A1c atau HbA1C. HbA1C digunakan untuk memonitoring penatalaksanaan terapi obat dan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat. Oleh karena itu, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali untuk dapat mengontrol terapi pengobatan pasien diabetes (Triplitt, dkk., 2008). 20 Universitas Sumatera Utara