SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK-HAK PENERIMA SUAKA POLITIK DALAM HUKUM INTERNASIONAL Oleh: LISA PERMATA SARI 107045202510 KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM PRODI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011 M / 1432 H I I TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK.HAK PENERIMA SUAKA POLJTIK DALAM HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari'ah (S.Sy) Oleh: Lisa Permata Sari NrM. 107045202510 Dibawah Bimbingan Pembimbing #As&ffi,Prof. Dr. Masvkuri Abdillah NIP: 150240084 KONSENTRASI KETATAIYEGARAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARHH DAN HUKUM t]IN SYARIF HIDAYATIJLLAII ;ATANTA t432W 2011 M _- a \ PENGESAHAN PAIIITIA UJIAN skripsi berjudul TINJAUAN HUKUM rsLAM TERHADAP IIAK-HAK PENERIMA SUAKA POLITIK DALAM HUKUM INTERNASIONAL telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (tiIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 September 201l. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Jakarta, 20 September 2011 Mengesahkan, Dekan F Prof Dr ii. Muhammad Amin Suma NIP. 19550505 198203 1012 PANITIA UJIAN 1. Ketua 2. Sekretaris 3. Pembimbing Dr. Asmawi. M.Ap NIP. 197?1010199703 1008 Afivan Faizin. M.Ag NIP. 1972 10262003 12 1001 Prof. Dr. Masykuri Abdillah NIP 4. Penguji I 5. Penguji II 150240084 Prof Dr. H. Yunasril Ali. MA NIP Syariah dan Hukum 150223823 Afwan Faizin. M,Ag NIP. 197210262003 121001 SII MA, MM KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan Puji Syukur ke hadirat ALLAH SWT yang telah memberikan kelancaran dan kekuatan lahir dan batin kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. Rahmat dan keselamatan semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah saw yang telah berjuang dan berkorban untuk menyampaikan agama Islam kepada umat manusia. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asmawi, M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah dan Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Prof. Dr. Masykuri Abdillah, Dosen Pembimbing yang telah mengarahkan dan membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini. 4. Bapak Afwan Faizin, M.Ag, Sekertaris Program Studi Jinayah dan Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum, yang telah banyak membantu penulis, dalam penyelesaian skripsi ini. i 5. Seluruh Staf Pengajar Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah menyampaikan ilmu dan nasehat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6. Kedua orang tua, yang telah banyak memberikan nasehat, sehingga penulis bias optimis untuk menyelesaikannya. 7. Saudara-saudara dan teman-teman tercinta, serta Yulianda Rahmat Hidayat yang telah banyak membantu penulis dan memotivasi penulis, sehingga skripsi ini bias di selesaikan, serta semua pihak yang telah membantu hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Untuk itu semua, penulis tidak dapat membalas jasa dan budi mereka dengan apa-apa kecuali hanya mengucapkan : “Semoga Allah swt membalas seluruh kebaikan mereka dengan balasan yang sebesar-besarnya.” Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran guna penyempurnaan skripsi ini. Sebab penulis sadar dan yakin, skripsi ini masih jauh dari sempurna.Namun sebagai bacaan, mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya para pembaca pada umumnya. Jakarta, 18 september 2011 penulis ii DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI KATA PENGANTAR .......................................................................................... I DAFTAR ISI......................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. B. C. D. E. F. BAB II PENGERTIAN SUAKA POLITIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM, DAN BENTUKBENTUKNYA .............................................................................. 17 A. B. C. D. BAB III Latar Belakang Masalah .......................................................... 1 Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 10 Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 11 Metode Penelitian .................................................................... 12 Tinjauan pustaka ...................................................................... 14 Sisitematika Penulisan ............................................................. 15 Pengertian Suaka Politik .......................................................... 17 Bentuk-Bentuk Suaka Politik................................................... 21 Suaka Politik Menurut Hukum Internasional .......................... 32 Suaka Politik Menurut Hukum Islam ...................................... 36 HAK-HAK PENERIMA SUAKA POLITIK DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM POSITIF .......................... 48 A. Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Internasional ............................................................................. 48 B. Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Positif ....................................................................................... 54 iii BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK-HAK PENERIMA SUAKA POLITIK ...................................................................... 60 A. Tinjauan Terhadap Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Internasional ............................................................................. 60 B. Tinjauan Terhadap Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Positif ...................................................................................... 66 BAB V PENUTUP ..................................................................................... 76 A. Kesimpulan .............................................................................. 76 B. Saran-saran ............................................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 78 LAMPIRAN-LAMPIRAN iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagaimana diketahui Universal Declaration of Human Rights (UDHR) telah ditetapkan sekitar 60 tahun lalu, yakni pada 10 Desember 1948. Meski demikian, baru dalam dua dasawarsa terakhir ini hak-hak asasi manusia (HAM) menjadi issu penting dalam hubungan antar bangsa, yakni sejak runtuhnya sistem sosialisme atau komunisme di Eropa Timur. Hampir seluruh pemerintahan di dunia pada saat ini mengklaim bahwa mereka mendukung sistem demokrasi dan perlindungan terhadap HAM. Namun dalam kenyataannya, kini masih ada kelompok warga di sejumlah negara yang tidak menikmati perlindungan terhadap HAM mereka. Sebaliknya mereka mendapatkan penindasan atau penyiksaan dari penguasa mereka, atau mendapatkan ketidakamanan karena adanya peperangan atau konflik di negera mereka. Mereka pun kemudian mengungsi atau bahkan mencari suaka dari negara lain untuk menghindari penindasan atau untuk memperoleh kehidupan yang aman dan damai.1 1 Masykuri abdillah, artikel “kontribusi hukum islam bagi solusi atas problematika pencari suaka dan pengungsi di Indonesia”. Makalah disampaikan dalam, Seminar tentang Promosi Pengajaran Hukum Pengungsi Internasional dan Hak Azasi Manusia, diselenggarakan oleh UNHCR dan Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 2 Desember 2010. 1 2 Fenomena tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak masa lalu, sehingga dalam pasal 14 UDHR telah disebutkan dengan jelas tentang persoalan pengungsi dan suaka ini, yakni “setiap orang berhak mencari dan menikmati suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari penganiayaan”. Hal ini kemudian diperkuat dengan pembentukan United Nations High Commissioner for Refugees Nations (UNHCR) pada tahun 1950. Beberapa bulan kemudian Negara-negara anggota PBB menyetujui konvensi tentang Status Pengungsi (Refugee Convention) tahun 1951 di Jenewa dan kemudian protokol tentang Status Pengungsi tahun 1967. Suaka politik atau asylum adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu Negara kepada orang asing yang terlibat pekara atau kejahatan politik dinegara lain atau Negara asal pemohon suaka. Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motif dan tujuan politik atau karna tuntutan hakhak politiknya secara umum. Kejahatan politik ini pun biasanya dilandasi oleh perbedaan pandangan politiknya dengan pemerintah yang berkuasa, bukan karena motif pribadi. Suaka politik merupakan bagian dari hubungan internasional dan diatur dalam hukum internasional atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Setiap Negara berhak melindungi orang asing yang meminta suaka politik.2 2 Muhammad iqbal, fiqh siyasah, kontekstualisasi doktrin politik islam, ( Jakarta: Gaya media pratama, 2007),h.265. 3 Suaka politik merupakan gagasan yuridiksi di mana seseorang yang dianiaya untuk opini politik di negerinya sendiri dapat dilindungi oleh pemerintah berdaulat lain, negara asing, atau perlindungan gereja di Abad Pertengahan. Suaka politik merupakan salah satu hak asasi manusia, dan aturan hukum internasional. Seluruh negara yang menerima Konvensi Terkait Status Pengungsi PBB wajib mengizinkan orang yang benar-benar berkualifikasi datang ke negerinya. 3 Suaka merupakan perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara asing. Normalnya suaka diberikan terhadap warga negara asing yang di negara asalnya mengalami penindasan, ketakutan atau menghadapi kemungkinan akan disiksa karena alasan ras, agama, anggota kelompok minoritas, ideologi atau keyakinan politiknya. Namun, permintaan suaka (politik) ke negara lain hanya dapat dibenarkan jika dilakukan untuk alasan-alasan yang sifatnya politik. Dengan demikian, suaka politik layak diberikan kepada mereka yang meminta perlindungan, dan permintaan tersebut didasari motivasi atau dalam konteks 3 http://id.wikipedia.org/wiki/suaka_politik, di unduh pada hari rabu,9 maret 2011. Jam 16.49 WIB 4 perjuangan politik. Oleh karena itu, permintaan suaka yang didasari oleh motif lain selain karena alasan politik, kiranya pantas dipertanyakan. 4 Di samping itu harus diingat bahwa hak suaka merupakan hak Negara sebagai atribut dari kemerdekaan dan kedaulatan teritorial negara yang bersangkutan. Individu berhak mengajukan permintaan suaka, tetapi permintaan tersebut akan dikabulkan atau ditolak merupakan kewenangan sepenuhnya dari negara yang diminta. Dalam hal ini Islam juga membahas mengenai hak-hak para penerima suaka politik sehingga Islam sangat menghargai eksistensi manusia, sehingga seseorang atau sebuah negara muslim berkewajiban untuk memberi perlindungan kepada orang lain yang minta perlindungan darinya, yang dalam fiqh disebut musta‟min atau jiwâr. Ia pun berkewajiban memperlalukan mereka yang mengungsi atau meminta suaka politik (al-lujû‟ al-siyâsî) dengan baik dan tanpa diskriminasi, Nabi Muhammad telah mempraktikkan perlindungan semacam ini, yang didasarkan antara lain pada Q.S. surat AtTaubah ayat 6: 4 http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/11/28/0002.html, Diunduh pada hari senin, tanggal 14 maret 2011 Jam 15.48 WIB 5 “Dan jika seseorang dari kaum musyrik meminta perlindungan kepadamu (untuk memahami Islam), maka berilah perlindungan kepadanya sehingga ia sempat mendengar keterangan-keterangan Allah (tentang hakikat Islam itu), kemudian hantarlah Dia ke mana-mana tempat Yang ia beroleh aman. perintah Yang tersebut ialah kerana mereka itu kaum Yang tidak mengetahui (hakikat Islam).” Nabi Muhmmad berserta para sahabatnya juga pernah menjalani pengungsian ini yang disebut “hijrah” untuk menghindari gangguan dan penindasan orang-orang kafir Mekah. Bahkan hijrah ini menjadi wajib jika seseorang tidak bisa mendapatkan hidup bebas dan sebaliknya mendapatkan penindasan dari pemerintah atau penduduk setempat, terutama kebebasan melaksanakan agama. Perintah hijrah ini disebutkan antara lain dalam Q.S. AN-Nisa‟ ayat 97: 6 “ Sesungguhnya orang-orang Yang diambil nyawanya oleh malaikat semasa mereka sedang menganiaya diri sendiri (kerana enggan berhijrah untuk membela Islam dan rela ditindas oleh kaum kafir musyrik), mereka ditanya oleh malaikat Dengan berkata: "Apakah Yang kamu telah lakukan mengenai agama kamu?" mereka menjawab: "Kami dahulu adalah orangorang Yang tertindas di bumi". malaikat bertanya lagi: "Tidakkah bumi Allah itu luas, Yang membolehkan kamu berhijrah Dengan bebas padanya?" maka orang-orang Yang sedemikian itu keadaannya, tempat akhir mereka ialah neraka jahanam, dan neraka jahanam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” Kedua ayat di atas mengandung pengertian, bahwa jika yang meminta perlindungan atau suaka itu adalah pihak luar (non-Muslim), permintaan ini disebut amân, dan orangnya disebut musta‟min. Namun jika yang meminta perlindungan (mengungsi, berpindah) itu orang muslim, pengungsian ini disebut hijrah, dan orangnya disebut muhâjir. Dengan terjadinya perkembangan dunia pada saat ini, kedua bentuk pengungsian tersebut tidak lagi dipergunakan secara resmi. Istilah baru yang dipakai adalah pengungsi (refugee, al-lâji‟) dan suaka politik (asylum, al-lujû‟ al-siyâsî). Karena motivasi atau latar belakang terjadinya pengungsian atau perpindahan itu 7 sama, yakni ada penindasan, maka hukum fiqh klasik itu bisa dipergunakan untuk hukum pengungsi dan suaka pada saat ini.5 Dalam hubungan internasional suaka politik dapat dibedakan menjadi suaka wilayah (territorial asylum) dan suaka diplomatik (diplomatic asylum). Dalam penyerahan pelarian politik ini, juga terdapat perbedaan antara penyerahan ke dar al-islam dan dar al-harb. Kalau yang memohon ekstradisi adalah Negara islam juga maka ia dapat diserahkan kembali kenegara asalnya. Penyerahan ini tidak memandang apakah pelarian itu muslim atau bukan. Akan tetapi kalau Negara yang memohon adalah dar al-harb, maka pelarian tersebut tidak boleh dikembalikan di dar al-harb. Hal ini ditegaskan sendiri oleh Al-Qura‟an surat Al-Mumtahanah, 60:10 yang melarang umat islam mengembalikan wanita-wanita muslimah yang meminta suaka kepada dar alislam (Negara madinah) ke dar al-harb walaupun mereka memiliki keluarga disana.6 Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman maka 5 Masykuri abdillah, artikel “kontribusi hukum islam bagi solusi atas problematika pencari suaka dan pengungsi di Indonesia,” Makalah disampaikan dalam, Seminar tentang Promosi Pengajaran Hukum Pengungsi Internasional dan Hak Azasi Manusia, diselenggarakan oleh UNHCR dan Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 6 Muhammad iqbal, fiqh siyasah, kontekstualisasi doktrin politik islam, ( Jakarta: Gaya media pratama, 2007), h.266-267. 8 janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orangorang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir tiada halal pula bagi mereka……. (QS. Al-Mumtahanah : 10) Dalam ajaran islam hak-hak yang diberikan kepada umat muslim terkait dengan filosofi hukum islam yang disebut teori maqâshid al-syari‟ah, yang mengandung pengertian perlindungan terhadap hal-hal yang bersifat keniscayaan (dharûriyyât), yang menurut Ibn „Asyur meliputi: 7 a) perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), b) perlindungan terhadap jiwa (hifzh al-nafs), c) perlindungan terhadap akal (hifzh al-„aql), d) perlindungan terhadap harta (hafizh al-mal),, e) perlindungan terhadap nasab (hifzh al-nasab), f) perlindungan terhadap kehormatan (hifzh al-„irdh), Teori maqashid al-syari‟ah diatas menunjukan bahwa dalam islam memperhatikan perlindungan bagi individu setiap muslim, hal ini terkait dengan ham yang didalam undang-undangnya juga terdapat hak-hak bagi setiap manusia, begitu pun dengan para pencari suaka mereka berhak mendapatkan hak perlindungan seperti yang terdapat dalam UUD 1945 pasal 28 (G), yakni: “… Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau 7 Fathurrrahman Djamil, filsafat hukum islam, ( Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 126. 9 perlakuan yang merendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Dalam hal perlindungan terhadap pencari suaka dan pengungsi, Islam memberikan perlindungan bagi setiap kalangan, maupun untuk non-muslim, karna sebagaimana firman Allah SWT, untuk memberikan perlindungan kepada kaum musyrik sehingga ia sempat mendengar keterangan-keterangan Allah (tentang hakikat Islam itu). Hal ini tidak seperti perlindungan yang diberikan melalui hukum internasional, karna menurut hukum internasional pemberian perlindungan tergantung oleh Negara itu sendiri. Sayangnya sampai saat ini secara umum hak-hak para pengungsi dan pencari suaka itu tidak atau kurang terlindungi, baik karena masih ada negaranegara yang belum meratifikasi Konvensi tersebut, tiadanya political will dari pemerintah di sejumlah negara, atau karena masih ada rasisnya atau xenofobia di sejumlah Negara, maka dari itu hak-hak para pencari suaka yang terdapat dalam hukum positif maupun hukum islam terdapat keterkaitannya yaitu memberikan perlindungan kepada penerima suaka politik, namun hak-hak apa saja yang harus diberikan kepada mereka, dan bagaimana hak-hak penerima suaka politik menurut tinjauan hukum islam dalam hukum internasional, selain itu penulis juga ingin memberikan pengetahuan mengenai suaka politik, maka diadakan analisis data-data yaitu dengan cara mendalami data-data 10 mengenai suaka politik dan melakukan penelitian dari buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan tersebut. Berangkat dari pemasalahan itulah penulis bermaksud untuk menulis skripsi yang berjudul : “ Tinjaun Hukum Islam Terhadap Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Internasional ”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah a. Pembatasan Masalah Dalam penulisan proposal ini, penulis hanya membatasi masalah yang berkisar pada tinjauan hukum Islam terhadap hak-hak penerima suaka politik dalam hukum Internasional. Yang dimaksud hukum islam ialah hukum yang bersumber dari Al-Qur‟an, Al-Hadist, Ijma‟ dan Qiyas. Yang dimaksud hukum Internasional dalam penelitian ini ialah Hukum-Hukum yang membahas mengenai hak-hak penerima suaka politik. b. Perumusan Masalah Dari pendekatan dua sistem hukum di atas dapat diidentifikasi sejumlah masalah yang dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah pengertian suaka politik menurut hukum Islam dan hukum Internasional ? 2. Bagaimana hak-hak penerima suaka politik menurut hukum internasional dan hukum positif ? 11 3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap hak-hak penerima suaka politik dalam hukum internasional dan positif ? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan dan kegunaan antara lain: 1. Untuk mengetahui pengertian suaka politik menurut hukum Islam dan hukum intrenasional. 2. Untuk mengetahui hak-hak penerima suaka politik menurut hukum internasional dan hukum positif. 3. Untuk mengetahui tinjauan terhadap hak-hak penerima suaka politik dalam hukum internasional dan positif. b. Manfaat Penelitian Penulis berharap hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis pribadi untuk menambah wawasan tentang wacana hukum islam dan hukum internasional secara umum, dan secara spesifik wawasan hukum tentang hak-hak penerima suaka politik. Bahan penelitian ini bersifat ilmiah maka harapan penulis tidak hanya berguna dan bermanfaat bagi penulis semata, akan tetapi juga dapat memberikan kegunaan-kegunaan antara lain: Kegunaan yang bersifat teoritis yaitu: 1. Untuk memberikan bahan kajian ilmiah dalam memperkaya literatur untuk penelitian lebih lanjut. 12 2. Sebagai konstribusi pemikiran terhadap pengembangan wacana suaka politik dalam konteks bingkai hukum. 3. Untuk dijadikan bahan dalam penyusunan skripsi, dan diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca tentang hak penerima suaka politik. Serta menjawab rasa ingin tahu penulis mengenai Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak-Hak Penerima Suaka Politik dalam Hukum Internasional. D. Metode Penelitian a. Jenis penelitian Dalam melakukan penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian yang berbentuk studi deskriptif analisis, sedangkan pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan mengunakan pendekatan kualitatif dan pendekatan normative. b. Teknik pengumpulan data Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode Dokumentasi, atau penelitian kepustakaan ( Library Research), penulis mengumpulkan dan menganalisa bahan-bahan dari buku-buku dan berbagai literature yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas yaitu suaka politik. 13 c. Sumber data Data penelitian ini yang dijadikan sumber data adalah sebagai berikut: 1. Data primer : Kitab-kitab fiqih siyasah ,UUD 1945 pasal 28, UndangUndang No 37 Tahun 1999 tentang hubungan luar negri, dan Undang-Undang Ham No 39 Tahun 1999. 2. Data sekunder: Buku- buku yang membahas tentang hal-hal yang terkait dengan pembahasan. 3. Data tertier: Buku, kamus, ensiklopedia, Koran, majalah, situs internet, jurnal hukum, serta makalah yang bersangkutan. d. Analisis data Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan metode analisis kualitatif Peneliti mencoba melakukan perbandingan diantara data-data yang terkumpul dalam penelitian ini, yang merupakan penelitian deskriptif normative. 14 Teknik penulisan dalam pembuatan proposal ini mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.8 E. Tinjauan Pustaka Dalam menjaga keasliaan judul proposal ini perlu kiranya penulis lampirkan juga beberapa rujukan bahan pertimbangan, yang diantaranya yaitu: Artikel atau makalah yang berjudul kontribusi hukum Islam bagi solusi atas problematika pencari suaka dan pengungsi di Indonesia oleh Masykuri abdillah, artikel ini di sampaikan dalam seminar tentang promosi pengajaran hukum pengungsi internasional dan Hak azasi manusia, artikel ini membahas mengenai keterkaitan hukum Islam akan permasalahan bagi pencari suaka dan pengungsi. Buku yang berjudul fiqh siyasah, kontekstualisasi doktrin politik islam oleh Muhammad iqbal, buku ini memuat tentang siyasah dauliyah yaitu dasardasar hubungan internasional dalam islam, yang mana di dalam sub babnya terdapat materi mengenai suaka politik. Buku yang berjudul fiqh siyasah dalam hubungan internasional oleh L. Amin Widodo, buku ini membahas mengenai ekstradisi dan suaka politik, 8 Fakultas Syari‟ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007, Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari‟ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007). 15 selain terdapat materi mengenai suaka politik dalam hukum islam dan hukum internasional. Buku yang berjudul lembaga suaka dalam hukum internasional oleh Sulaiman Hamid, buku ini membahas mengenai suaka secara rinci yaitu, berbagai jenis suaka dan kasus-kasus, karakteristik suaka, serta hak mencari dan menikmati suaka dari ancaman persekusi. F. Sistematika Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima Bab ,masing-masing Bab terdiri dari beberapa Sub Bab bahasan, ini dimaksudkan untuk lebih memudahkan dalam pembahasan dan penulisan skripsi ini , sehingga lebih terarah dan sistematis, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa Bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB pertama berisi pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian ,kajian pustaka, kerangka teori dan kerangka konseptual ,dan metode penelitian, tekhnik penulisan dilanjutkan dengan sistematika penulisan. BAB kedua merupakan bab yang membahas ruang lingkup suaka politik, yang mana terdapat empat sub bab yaitu: pengertian suaka politik, bentuk-bentuk suaka politik, suaka politik menurut hukum internasional dan suaka politik menurut hukum Islam. 16 BAB ketiga membahas tentang hak-hak penerima suaka politik dalam hukum internasional dan positif. BAB keempat membahas tinjauan hukum Islam terhadap Hak-hak penerima suaka politik dalam hukum internasional dan positif. BAB kelima sebagai penutup yang membahas dua hal yaitu kesimpulan dari hasil penelitian dan dilengkapi dengan saran-saran. BAB II SUAKA POLITIK MENURUT HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM ISLAM DAN BENTUK-BENTUKNYA A. Pengertian Suaka Politik Suaka berasal dari bahasa Yunani yaitu “Asylon” atau “Asylum” dalam bahasa latin, yang artinya tempat yang tidak dapat dilanggar dimana seseorang yang dikejar-kejar mencari tempat berlindung. Masalah permintaan suaka ini dan pemberian suaka bukanlah muncul pada beberapa tahun ini saja. 9 Masalah ini sama tuanya dengan kata lain praktek permintaan dan pemberian suaka ini sudah ada sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun yang lalu. Jadi tidak hanya ada pada zaman sekarang, tetapi di zaman primitif pun suaka ini sudah dikenal dimana-mana. Kadang-kadang dikalangan suku primitive ada seseorang meninggalkan sukunya atau kampung halamannya untuk memohon perlindungan pada suku yang lain. Enny Soeprapto mengatakan: Masyarakat Yunani purba telah mengenal lembaga yang disebut “asylia” walapun agak berbeda maksud dan pengertiannya dengan “suaka” yang kita kenal sekarang. Pada masa Yunani Purba itu, agar seseorang, terutama pedagang, yang berkunjung ke Negara- 9 Sulaiman Hamid, lembaga suaka dalam hukum internasional, ( Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002),h. 42 17 18 negara lainnya, mendapat perlindungan, maka antara sesama Negara kota di negeri itu diadakan perjanjian-perjanjian untuk maksud demikian. Lembaga “Asylia” itu kemudian dilengkapi dengan lembaga yang disebut “asphalia” yang tujuannya melindungi benda-benda milik orang yang dilindungi menurut lembaga “asylia”. Dalam perkembangan sejarah kemudian mengenal kebiasaan dimana rumah-rumah ibadat seperti gereja, merupakan tempat-tempat suaka. Demikian pula rumah-rumah sakit sering dipandang sebagai tempat suaka. Dimasa-masa awal masehi, suaka berarti suatu tempat pengungsian atau perlindungan terhadap orang yang peribadatannya dihina.10 Untuk waktu yang lama, suaka diberikan kepada pelarian pada umumnya, terlepas dari sifat perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pencari suaka yang menyebabkannya dikejar-kejar. Dalam waktu yang lama pelaku tindak pidana biasa pun, yang mendapat suaka di negara lain, tidak di ekstradisikan. Keadaan ini baru berubah pada abad ke-17, di mana berbagai pakar hukum, termasuk seorang juris belanda yang terkenal Grotius, menggariskan perbedaan antara tindak pidana politik dan tindak pidana biasa dan menyatakan bahwa suaka hanya dapat diklaim oleh mereka yang mengalami tuntutan (prosecution) politis atau keagamaan. 10 Sulaiman Hamid, lembaga suaka dalam hukum internasional,.h. 43 19 Sejak pertengahan abad ke-19 bagian besar perjanjian ekstradisi mengakui prinsip non ekstradisi bagi tindak pidana politik, kecuali yang dilakukan terhadap kepala negara.11 Secara definitiv belum ditemui adanya ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang bersifat universal yang menentukan status “pesuaka” (asylee). Tidak ada yang menentukan secara hukum pengertian tentang “suaka” dan atau “pesuaka”. Demikian pula dengan batasan “pencari Suaka” (asylum-seeker) tidak diketemui dalam ketentuan-ketentuan Hukum Internasional yang bersifat universal atau regional yang berkaitan dengan masalah lembaga suaka. Sebagai pedoman kita dapat berpegang kepada “pasal 1 paragraf 3 deklarasi tentang suaka Territorial 1967 bahkan secara tegas menyatakan bahwa penilaian alasan-alasan bagi pemberi suaka diserahkan kepada negara pemberi suaka. Dr. Kwan Sik,SH, mengatakan suaka adalah perlindungan yang diberikan kepada individu oleh kekuasaan lain atau oleh kekuasaan dari negara lain (negara yang memberikan suaka). Oppenheim Lauterpacht mengatakan bahwa suaka adalah dalam hubungan dengan wewenang suatu negara mempunyai kedaulatan di atas territorialnya untuk memperbolehkan seorang asing memasuki dan tinggal di dalam wilayahnya dan atas perlindungannya. 11 Ibid., h.44. 20 Charles de Visscher dalam bukunya “Theory and reality in public international law” mengatakan, suaka adalah sesuatu kemerdekaan dari suatu negara untuk memberikan suatu suaka kepada seseorang yang memintannya. Gracia Mora dalam bukunya “International Law and Asylum As Human Right” mengatakan suaka adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh sesuatu negara kepada orang asing yang melawan negara asalnya. Prof.Dr. F. Sugeng Istanto, SH., mengatakan bahwa asylum adalah perlindungan individu di wilayah negara asing tempat ia mencari perlindungan. Asylum merupakan perlindungan negara asing di wilayah negara tersebut dikediaman perutusan asing atau dikapal asing. Dengan adanya perlindungan itu individu tersebut tidak dapat diambil oleh penguasa negara lain.12 Prof .Dr. Sumaryo Suryokusumo mengatakan bahwa suaka adalah dimana seorang pengungsi atau pelarian politik mencari perlindungan baik di wilayah sesuatu negara lain maupun di dalam lingkungan gedung perwakilan diplomatik dari sesuatu negara. Jika perlindungan yang dicari itu diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari negara dimana ia berasal.13 J.G. Starke menegaskan pula bahwa konsepsi suaka dalam Hukum Internasional adalah mencangkup dua unsur yaitu: a. Pernaungan yang lebih dari pada pelarian sementara sifatnya. 12 13 Sugeng Istanto, Hukum Internasional,(Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1994), h. 146. Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, (Bandung: PT Alumni, 2005), h. 163. 21 b. Pemberian perlindungan dari pembesar-pembesar yang menguasai daerah suaka secara aktif. Dari batasan-batasan tersebut diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa pengertian suaka adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada individu yang memohonnya dan alasan mengapa individuindividu itu diberikan perlindungan adalah berdasarkan alasan perikemanusiaan,agama, diskriminasi ras, politik, dan sebagainya. Perlindungan yang diberikan kepada pencari suaka oleh negara dimana si individu tadi memohon agar terhindar dari “penyiksaan”negara asal si pemohon. Kekuasaan negara untuk memberikan suaka asyl kepada seorang bertalian dengan kekuasaannya untuk menolak penyerahan, ternyata pada pemberian suaka kepada penjahat-penjahat politik, yang pada umumnya tidak diserahkan. Suaka berakhir dimana penyerahan dimulai. B. Bentuk-Bentuk Suaka Politik Dari praktek-praktek internasional dalam menghadapi masalah permintaan dan pemberian suaka, kenyataannya lembaga atau asas suaka tersebut mempunyai karakteristik atau prinsip-prinsip yang umum pada suaka yaitu sebagai berikut: a. Suaka bukan sesuatu yang dapat diklaim oleh seseorang sebagai hak. 22 b. Hak seseorang hanya terbatas pada mencari suaka dan, kalau memperolehnya,menikmatinya. c. Pemberian atau penolakan suaka adalah hak Negara-negara berdasarkan kedaulatannya. d. Pemberian suaka merupakan tindakan yang harus diterima sebagai tindakan damai dan humaniter. Oleh karena itu, pemberian suaka oleh suatu Negara tidak boleh dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat terhadap Negara asal pencari suaka. e. Sebagai lembaga yang bersifat humaniter, suaka tidak boleh ditundukkan pada asas timbal balik. f. Suaka mengandung prinsip penghormatan pada asas-asas sebagai berikut: (i) Larangan pengusiran (non expulsion) (ii) Larangan pengembalian paksa ke Negara asal (non refoulement), termasuk penolakan di perbatasan (rejection at the frontiars), dan (iii) Non-ekstradisi pesuaka (asylee). g. Bilamana suatu Negara menghadapi kesulitan untuk memberikan suaka kepada seseorang secara permanen atau untuk jangka waktu panjang, Negara tersebut setidak-tidaknya harus bersedia memberikan suaka kepada pencari suaka yang bersangkutan untuk sementara waktu sampai ia memperoleh suaka di Negara lain. 23 h. Suaka tidak dapat diberikan dalam kasus-kasus tindak-tindak pidana non-politis dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan asas-asas PBB, yang meliputi: (i) Tindak pidana biasa. (ii) Tindak pidana menetang perdamaian,tindak pidana perang (war crimes) tindak pidana menentang kemanusiaan (crime against humanity), sebagaimana dirumuskan dalam instrumeninstrumen internasional yang bersangkutan. i. Pemberian suaka mengandung ketentuan yang mewajibkan pesuaka untuk tunduk pada hukum dan peraturan perundang-undangan Negara pemberi suaka. j. Pesuaka tidak boleh melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat menentang Negara asalnya atau yang dapat mengakibatkan ketegangan-ketegangan antara Negara pemberi suaka dan Negara asal pesuaka.14 Dalam hubungan internasional, suaka dapat dibedakan menjadi suaka wilayah (territorial asylum) dan suaka diplomatik (diplomatic asylum atau extra-territorial asylum). Suaka wilayah atau suaka teritorial adalah perlindungan yang diberikan suatu negara kepada orang asing di dalam negara itu sendiri. Sebagai contoh, negara Indonesia memberi suaka politik kepada 14 Sulaiman hamid, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional, (Jakarta: PT Raja grafindo persada, 2002).h. 89-90. 24 orang asing yang masuk ke wilayah indonesia. Sedangkan suaka diplomatik adalah suaka yang diberikan oleh suatu kedutaan besar terhadap orang yang bukan warga negaranya. Contoh suaka ini adalah orang asing yang memasuki wilayah Kedutaan Besar Republik Indonesia ( KBRI) di luar negri, atau orang-orang Timor Timur yang memasuki gedung kedutaan besar asing di Jakarta. Suaka politik jenis pertama mendapat jaminan dalam hukum internasional. Setiap negara berhak memberikan perlindungan politik kepada warga negara asing. Negara asal pencari suaka tersebut hanya dapat mengajukan permohonan pengembalian atau ekstradisi melalui saluransaluran diplomatik. Sedangkan terhadap suaka politik jenis kedua (diplomatik asylum), hukum internasional tidak mengakui adanya hak kepala perwakilan suatu negara (duta besar) untuk memberi jaminan keamanan terhadap orang asing di gedung kedutaan besarnya, karena hal ini menyebabkan terbebasnya ia dari hukum dan keadilan di negara asalnya. Meskipun demikian, seorang kepala perwakilan asing tidak wajib menyerahkan orang yang minta suaka kepada pemerintah setempat, bila tidak ada perjanjian antara kedua negara yang mengharuskannya untuk menyerahkan pencari suaka tersebut (ekstradisi). Ada perbedaan prinsip dalam pemberian suaka ini. Dalam suaka teritorial, kekuasaan memberikan suaka merupakan hak dan atribut kedaulatan 25 negara yang bersangkutan. Sedangkan dalam suaka ekstrateritorial, kekuasaan memberikan suaka mengesampingkan kedaulatan teritorial negara. Artinya, seorang duta besar boleh memberikan perlindungan di gedung kedutaan besarnya kepada pemohon suaka, tanpa harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada kepala negaranya. Dalam hal ini ia berkuasa penuh menentukan layak tidaknya seseorang diberikan perlindungan. Di samping dua suaka di atas, masih ada lagi satu bentuk suaka politik, yakni suaka netral (neutral asylum). Dalam suaka bentuk ini, pemohon suaka tidak memasuki kedutaan asing atau lari ke suatu negara, tetapi ia memilih tempat perlindungan ke gedung lembaga-lembaga internasional, seperti perwakilan PBB di Jakarta, atau gedung sekretariat ASEAN. Ia meminta suaka kepada kepada pejabat lembaga-lembaga tersebut.15 Konsepsi suaka politik dalam hukum internasional meliputi unsur pemberian naungan yang bersifat lebih dari pelarian sementara dan unsurunsur pemberian perlindungan secara aktif oleh pembesar-pembesar negara yang memberi suaka. Orang yang mendapat suaka politik secara prinsip tidak dapat dikembalikan ke negara lain, kecuali negara yang meminta pemulangannya (ekstradisi) tersebut mengemukakan alasan-alasan logis agar peminta suaka diserahkan kembali. Pengembalian pemohon ini juga dapat 15 Muhammad iqbal, fiqih siyasah kontekstualisasi doktrin politik islam,(Jakarta: Gaya media pratama, 2007).h. 266. 26 dilakukan apabila sebelumnya antara negara yang melindungi dan negara tempat pelatiannya memiliki perjanjian ekstradisi. 16 Masalah suaka pada hakikatnya menyangkut dua pengertian yaitu suaka teritorial dan suaka diplomatik. Suaka teritorial menyangkut pada kewenangan negara untuk memperbolehkan pengungsi atau aktivis politik masuk atau tinggal di bawah negara tersebut yang juga berarti di bawah perlindungannya, karena itu memberikan suaka kepadanya, yang tidak asing lagi di dalam hukum internasional. Orang perorangan tidak mempunyai hak untuk mendapatkan suaka. Namun sesuai dengan pasal 14 Deklarasi Universal Tentang Hak-hak asasi, ia dapat mencari suaka jika ada penuntutan dan jika disetujuinya dapat menikmatinya. Undang-Undang Dasar Negara-negara tertentu menjanjikan tentang suaka politik kepada seseorang yang dituntut. Bagi negara yang memberikan suaka itu perlu menilai persoalannya kasus per kasus. Jika sesuatu tuntutan itu dapat dipahami, peraturan keimigrasian yang ada dan persyaratan-persyaratan biasanya dapat ditinggalkan. Negara asal pencari suaka yang telah melarikan diri ke negara lain tidak boleh menggangap bahwa penerimaan suaka dari negara lain tersebut sebagai tindakan bermusuhan, karena negara itu dalam memberikan suaka adalah dalam rangka melaksanakan hak kedaulatan teritorialnya. 16 Muhammad iqbal, fiqih siyasah kontekstualisasi doktrin politik islam, h. 267. 27 Berbeda dengan suaka teritorrial suaka diplomatik terjadi dalam hal perwakilan asing memberikan suaka kepada seseorang yang mencari perlindungan dari pemerintah negara tempat perwakilan asing tersebut berada. Tidak diganggu-gugatnya gedung perwakilan asing dapat mencegah penangkapannya secara paksa oleh penguasa setempat, tetapi saat ia meninggalkan gedung perwakilan asing tersebut, ia kehilangan perlindungannya. Perwakilan asing tidak mempunyai hak untuk menuntut agar seseorang yang telah diberikan suaka itu diberikan jaminan keamanan atau keselamatan untuk meninggalkan wilayah. Mungkin benar jika dikatakan bahwa sesuatu Kedutaan Besar dalam memberikan perlindungan itu (yang tidak lain kecuali untuk tujuan-tujuan perikemanusiaan) merupakan penyalahgunaan keistimewaan dari gedung perwakilan asing yang tidak dapat diganggu-gugat. Hukum Internasional tidak mengenal hak secara umum dari kepala perwakilan asing untuk memberikan suaka di dalam gedung perwakilannya, karena jelas bahwa tindakan semacam itu dapat menghalangi perundangundangan setempat dengan berbuat sehendak hatinya dan akan melibatkan suatu pelanggaran kedaulatan negara tempat perwakilan asing tersebut berada. 28 Dalam hukum internasional, hak negara secara umum untuk memberikan suaka di dalam perwakilan asing tidak diakui. Suaka dapat berikan di gedung perwakilan asing dalam tiga hal yang luar biasa: (i) Suaka dapat diberikan, untuk jangka waktu sementara, kepada orang perorangan yang memang secara fisik dalam bahaya karena adanya kekerasan masal atau dalam hal seseorang buronan yang dalam bahaya karena melakukan kegiatan politik terhadap negara setempat. (ii) Suaka dapat juga diberikan dimana di negara itu terdapat kebiasaan yang sudah lama diakui dan mengikat. (iii) Suaka dapat diberikan juga jika terdapat perjanjian khusus antara negara dimana penerima suaka berasal dan negara dimana terdapat perwakilannya. Dalam perkembangan selanjutnya mengenai masalah suaka, majelis umum PBB dalam sidangnya tanggal 14 Desember 1967 telah menyetujui suatu resolusi yang memberikan rekomendasi bahwa dalam praktiknya negara-negara haruslah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (i) Jika seseorang meminta suaka, permintaan seharusnya tidak ditolak atau jika ia memasuki wilayah negara itu, ia tidak perlu diusir tetapi jika suatu kelompok orang-orang dalam jumlah besar meminta suaka, hal itu dapat ditolak atas dasar keamanan nasional dari rakyatnya. 29 (ii) Jika suatu negara merasa sukar untuk memberikan suaka, haruslah memperhatikan langkah-langkah yang layak demi rasa persatuan internasional melalui perantara dari negara-negara tertentu atau PBB. (iii) Jika suatu negara memberikan suaka kepada kaum pelarian atau buronan, negara-negara lainnya haruslah menghormatinya.17 Suaka wilayah yang diberikan oleh negara kepada seorang asing di dalam wilayahnya dan suaka di luar wilayah atau suaka diplomatik, yaitu kompeks misi diplomatik atau kompleks lain yang mempunyai hak tidak diganggu gugat. Contoh-contoh suaka wilayah ada banyak dan kelompokkelompok “pengungsi politik” terdapat di banyak negara tetapi, karena mereka bertempat tinggal di negeri lain, mereka tidak merupakan ancaman besar bagi pemerintahnya sendiri. Suatu situasi timbul dalam suaka diplomatik, di mana lawan politik dapat bertempat tinggal yang terlindung dan tidak dapat diganggu di tengah-tengah rakyatnya, dan dapat diharapkan, rakyat itu hendak diadu melawan pemerintahnya sendiri. Tidak dapat diganggu gugatnya kompleks misi diplomatik menyebabkan misi demikian sejak jaman dahulu dicari untuk dijadikan tempat berlindung. 18 Persoalan tentang adanya dan kebenaran hak suaka dari pelaksanaan tindakan politik ( tidak biasa dilakukan di dalam perkara kejahatan) 17 Sumaryo suryokusumo, Hukum diplomatik teori dan kasus, (Bandung: PT. Alumni, 2005) h. 149-155. 18 Ibid.,h. 157 30 terbengkalai untuk waktu lama, dan hanya kadang-kadang menjadi pokok persoalan perdebatan sengit. Di Eropa praktek ini sudah hampir punah, di daerah-daerah lain kebiasaan daerah masih mendukung kelanjutannya. Praktek di Amerika Latin dapat diikhtisarkan atas dasar konvensi Suaka Diplomatik yang disusun oleh konfrensi antar Amerika ke sepuluh yang dilangsungkan di Caracas di tahun 1954 sebagai berikut: 1. Setiap negara mempunyai hak untuk memberi suaka dan untuk dapat menentukan sendiri sifat pelanggaran atau sebab-sebab penuntutan orang yang sedang mencari suaka. 2. Di dalam pemberian suaka, kedutaan tidak saja memakai tempat kedudukan misi diplomatik biasa dan tempat tinggal kepala misi, tetapi juga kompleks lai yang disediakan oleh misi untuk mereka yang minta suaka jikalau jumlahnya melampaui kemampuan tampung gedung-gedung. 3. Suaka hanya di berikan di dalam keadaan yang sangat gawat dan hanya di dalam waktu yang benar-benar diperlukan orang yang minta suaka untuk meninggalkan negeri dengan jaminan yang diberikan oleh pemerintah daerah itu. 4. Yang disebut persoalan gawat ialah, antara lain, jikalau seseorang dicari oleh orang-orang atau gerombolan, yang tidak dikuasai oleh negara, atau oleh pejabat-pejabat sendiri dan diancam kehilangan nyawa atau kebebasan akibat penuntutan politik dan tidak dapat, dengan tidak membahayakan 31 dirinya, menjamin keamanan dirinya dengan cara lain. Negara yang memberi suaka menetapkan tingkatan kegawatan suatu persoalan. 5. Memberi suaka kepada orang-orang, yang pada waktu minta suaka sedang berada di dalam tuntutan atau sedang dihadapkan ke sidang pengadilan yang berwenang dan belum menjalani hukuman itu, atau kepada desertirn dari angkatan darat, laut dan udara, adalah tidak sah menurut hukum, selain kalau tindakan yang menyebabkan permintaan suaka jelas-jelas mempunyai sifat politik. 6. Segera sesudah diberikan suaka, tindakan itu harus dilaporkan kepada Kementerian Luar Negeri mengenai orang yang telah diberi suaka atau kepada pejabat-pejabat lokal, jikalau peristiwa itu terjadi di luar ibu kota. 7. Pemerintah negara mempunyai hak untuk minta supaya orang yang minta suaka dikeluarkan dari wilayah nasional secepat mungkin dan wakil diplomatik negeri yang telah memberikan suaka, sebaliknya, mempunyai hak menuntut, bahwa orang yang minta suaka diizinkan meninggalkan wilayah dan di dalam kedua hal itu jaminan keamanan dah hal tidak diganggu gugat harus diberikan. 8. Orang yang diberi suaka, yang diberi jaminan keamanan tidak boleh dilepaskan di suatu tempat di dalam atau dekat, wilayah nasional, dari mana ia telah minta suaka. 9. Pada waktu mendapat suaka, orang yang minta suaka tidak diizinkan melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan keamanan umum. 32 10. Jikalau, sebagai akibat pemutusan hubungan diplomatik, wakil diplomatik yang memberi suaka, harus meninggalkan negara tuan rumah, ia harus diizinkan meninggalkan negara dengan orang yang diberi suaka, atau kalau ini tidak mungkn ia dapat menyerahkan mereka kepada diplomatik negara ketiga. 11. Bahwasanya pemerintah negara tuan rumah tidak diakui oleh negara yang memberikan suaka, tidak merupakan suatu praanggapan bagi penerapan prinsip umum seperti tercantum di atas sedangkan penerapannya tidak berarti suatu pengakuan.19 C. Suaka Politik Menurut Hukum Internasional Suaka dapat teritorial (atau intern), yaitu suaka yang diberikan dalam wilayah negara, atau ekstrateritorial, yaitu yang diberikan dalam gedung perwakilan, gedung-gedung konsuler, lembaga-lembaga internasional, kapal perang, serta kapal dagang. Perbedaannya adalah bahwa kekuasaan memberikan suaka teritorial merupakan atribut kedaulatan teritorial, sedangkan pemberian suaka ekstrateritorial mengeyampingkan kedaulatan teritorial karena negara teritorial tidak dapat menghukum pelarian yang telah menikmati perlindungan. Sesuai dengan perbedaan ini, maka terdapatlah asas umum bahwa setiap negara berhak memberikan suaka teritorial, kecuali negara itu telah 19 C.S.T. Kansil, Hubungan diplomatik Republik Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 303-305. 33 mengadakan pembatasan khusus mengenai suatu teritorial, sedangkan hak untuk memberikan suaka teritorial merupakan perkecualian dan harus ditentukan untuk setiap perkara. Persamaannya adalah bahwa kedua bentuk suaka tersebut merupakan persesuaian antara tuntutan-tuntutan hukum sesuatu negara berdaulat dengan tuntutan-tuntutan prikemanusiaan. Kebebasan negara untuk memberikan suaka dalam wilayahnya, sudah berasal dari zaman purbakala, dan meliputi tidak hanya pelarian-pelarian politik, sosial atau keagamaan, tetapi juga semua orang asing, termasuk penjahat-penjahat kriminal, kebebasan itu hanyalah satu aspek dari pada kekuasaan umum negara untuk mengizinkan atau mengeluarkan orang dari wilayahnya. Tetapi biasanya seorang bukan warga negara teritorial, yang ditahan di atas kapal asing dalam laut teritorial itu. Masih merupakan masalah yang dipertentangkan apakah penjahat-penjahat perang dapat diberikan suaka. Sering kali dikatakan bahwa seorang pelarian mempunyai “hak suaka”. Sebenarnya kaum pelarian tidak mempunyai hak yang dapat dipaksakan (enforceable right) dalam Hukum Internasional mengenai suaka, baik izin akan suaka maupun penyerahan terhadap negara yang menuntutnya. Satu-satunya hak Hukum Internasional dalam hal ini adalah hak negara untuk memberikan suaka. Beberapa sistem hukum nasional, misalnya konstitusi Perancis dan Italia memang memberikan hak kepada kaum pelarian, dan juga suatu konperensi 34 yang tidak mengikat, yaitu Universal Declaration of Humanrights, 1948 pasal 14. Tetapi selama ini hak itu tidak terjamin oleh Hukum Internasional, sekalipun usul-usul untuk mengakui hak itu sudah dipertimbangkan oleh PBB. Kebebasan negara untuk memberikan suaka dapat ditiadakan dengan traktat penyerahan. Hukum Internasional modern tidak mengakui adanya hak kepala perwakilan untuk memberikan suaka dalam gedung perwakilannya. Malah pemberian itu rupa-rupannya dilarang oleh Hukum Internasional, karena akibatnya membebaskan pelarian dari pelaksanaan hukum dan keadilan oleh negara teritorial. Ketiadaan hak suaka diplomatik seperti ini telah ditegaskan oleh Mahkamah Internasional dalam perkara Asylum Case yang mempersoalkan penerapan aturan-aturan Hukum Internasional Latin –Amerika mengenai suaka diplomatik.20 Mahkamah berpendapat jikalau suaka telah diberikan di gedung-gedung perwakilan tanpa pembenaran, kepala perwakilan tersebut tidak wajib menyerahkan pelarian kepada penguasa-penguasa setempat, jika tidak ada trakta-trakta yang mengharuskannya. Suaka dapat diberikan dalam gedunggedung perwakilan sebagai pengecualian dalam hal-hal berikut: (a) Sebagai tindakan sementara, terhadap individu yang terancam bahaya massa, atau bahaya korupsi politik yang ekstrim. Pembenaran pemberian 20 C.s.t. Kansil, hubungan diplomatik republik indonesia, h. 339 35 suaka dalam hal ini, ialah karena dengan demikian bahaya yang mengancam dapat dielakkan. (b) Jika ada kebiasaan setempat yang sudah lama diakui memperkenankan suaka diplomatik. (c) Karena diperbolehkan dalam traktat antara negara teritorial dengan negara yang diwakili itu. Headquarters Agreement PBB dan Specialised agencies tidak memperkenankan lembaga-lembaga internasional memberikan suaka ataupun penaungan di gedung-gedungnya, malah tidak dapat memberikan perlindungan diatas dasar-dasar humaniter bagi penjahat-penjahat. Tetapi sulit dipikirkan bahwa lembaga-lembaga itu tidak dapat memberikan pernaungan sementara dalam keadaan-keadaan berbahaya.21 Kedaulatan teritorial adalah kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusif diwilayahnya. Di dalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya. Ini berarti bahwa semua orang yang berada di suatu wilayah pada prinsipnya tunduk kepada kekuasaan hukum dari negara yang memiliki wilayah tersebut. Hakim Huber mengungkapkan bahwa dalam kaitannya dengan wilayah ini, kedaulatan mempunyai dua ciri yang sangat penting yang dimiliki oleh suatu negara. Dua ciri tersebut yaitu : pertama, kedaulatan 21 Ibid., h. 343-345 36 merupakan prasyarat hukum untuk adanya suatu negara. Kedua, kedaulatan menunjukan negara tersebut merdeka yang sekaligus juga merupakan fungsi dari suatu negara. Suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi eksklusifnya keluar dari wilayahnya yang dapat menganggu kedaulatan wilyah negara lain. Pada prinsipnya suatu negara hanya dapat melaksanakannya secara eksklusif dan penuh di dalam wilayahnya saja. Karena itu pula suatu negara yang tidak memiliki wilayah, tidaklah mungkin menjadi suatu negara. 22 D. Suaka Politik Menurut Hukum Islam Dalam kasus exodus umat Nabi Musa dari Mesir ke Palestina, hijrah Nabi Muhammad dan Para sahabat dari Mekkah ke Madinah menjelaskan adanya kesamaan dengan kriteria unsur-unsur yang terdapat dalam definisi pengungsi pada masa kini yaitu adanya rasa takut yang sangat terhadap persekusi yang diberikan oleh penguasa di tempat asal mereka, dengan alasan ras, agama, dan sebagainya. Dari contoh-contoh di atas adanya ide perlindungan di negara mereka. Dalam Al-Qur’an prinsip suaka (asylum) diatur secara jelas dalam Surah Ibrahim dan Surah At-taubah. Di sebutkan dalam Surah Ibrahim (14) ayat 35. 22 111-112 Huala Adolf, Aspek-aspek negara dalam hukum internasional, ( Jakarta: PT raja grafindo, 2002).h. 37 “ Dan ketika Ibrahim berdoa: Tuhanku, jadikanlah negeri ini aman sentosa, dan jauhkan aku dan anak-anakku dari menyembah berhala”.( QS.Ibrahim, 14:35). Disini terlihat bahwa Nabi Ibrahim memohon kepada Tuhan agar mesjid yang beliau dirikan bersama Nabi Ismail, yang kemudian bernama masjidil Haram di Kota Mekkah, merupakan tempat yang aman (asylum) bagi orang-orang yang membutuhkan perlindungan. Mesjid merupakan tempat yang suci dan rumah tuhan, sehingga tidak ada kekerasan terhadap mereka-mereka yang mencari perlindungan di dalam Masjidil Haram. Selanjutnya dalam Surah At-taubah (kebebasan) (IX) ayat 6 Allah SWT berfirman: “ Dan jika salah seorang dari orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepada engkau, berilah dia perlindungan, sampai dia mendengar perkataan Allah, kemudian sampaikanlah dia ke tempat yang aman buat dia”. Sebetulnya ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran itu (Surah 9:6) berasal dari adat kebiasaan suku Badui pada masa pra Islam yang kemudian diresepsi kedalam ajaran Islam karena dianggap tidak bertentangan, yaitu untuk memberikan perlindungan (Asylum/ igra) terhadap orang asing selama tiga hari. 38 Kemudian tradisi ini diperluas terhadap orang-orang yang meminta perlindungan pada waktu terjadi peperangan sebagaimana disebutkan dalam Surat 9 ayat 6 di atas.23 Pandangan ulama mengenai masalah suaka politik berpangkal dari pembagian mereka tentang dua negara (dunia), yaitu dar al-harb dan dar alIslam. Di samping itu, mereka juga bercermin pada praktik Nabi dalam hubungan internasional. Dari pembahasan mereka tentang hal ini, ulama kemudian merumuskan pendapat mengenai warga negara yang meminta suaka politik ke dar al-Islam. Pada prinsipnya, Islam tidak menghalangi pendudukan dari dar al-harb untuk minta perlindungan (suaka) ke dar al-Islam. Keizinan untuk mendapat suaka dari dar al-Islam hanya berlaku untuk beberapa waktu tertentu saja. Namun para ulama berbeda pendapat tentang berapa lamanya waktu mereka boleh menetap di dar al-Islam. Abu Hanifah dan sebagian ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa keizinan tinggal bagi pemohon suaka hanya berlaku selama setahun saja. Sedangkan Syafi’i berpendapat bahwa mereka diizinkan tinggal di dar al-Islam selama empat bulan saja, kecuali bila kepala negara memandang perlu untuk memperpanjang izin tinggalnya. Sementara malik berpendapat bahwa keizinan tinggal mereka tidak di batasi oleh waktu. 23 Ahmad Romsan, dkk, pengantar hukum pengungsi internasional: hukum internasional dan prinsipprinsip perlindungan internasional, ( Jakarta: UNHCR Regional Representation Jakarta, 2003), h. 59-60 39 Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa pemberian suaka bisa dibedakan kepada dua bentuk, yaitu jaminan keamanan yang tetap (mu’abbadah) sebagaimana pendapat Malik dan yang sementara (mu’aqqatah). Seperti pandangan Abu Hanifah, Syafi’i dan sebagaian pengikut Ahmad ibn Hanbal. Pencari suaka yang menetap hanya sementara adalah orangorang non-muslim. Merekalah yang mendapat keizinan sementara untuk tinggal di dar al-Islam. Setelah habis waktunya, mereka dapat meninggalkan dar alIslam. Bahkan kepala negara berhak mempercepat izin tinggal mereka sebelum habis waktunya kalau memang dipandang perlu. Dalam hal ini, mereka harus dikembalikan ke tempat yang aman. Sedangkan warga negara lain yang muslim yang berlindung ke dar alIslam dapat menetap untuk selamanya, karena ia dianggap sebagai warga negara dar al-Islam. Demikian pula halnya dengan orang non-islam yang mencari perlindungan di dar al-Islam dan kemudian masuk Islam. Dengan permohonan suakanya ke dar al-Islam dan berpindahnya ia ke agama Islam, maka statusnya pun berubah menjadi warga negara dar al-Islam, bukan lagi musta’min. Ia harus diperlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban sama seperti warga negara lainnya yang beragama Islam. Abu Hanifah menegaskan bahwa jiwa dan hartanya harus dilindungi.24 24 Muhammad iqbal, fiqih siyasah kontekstualisasi doktrin politik islam,.h. 268. 40 Mereka yang mendapat suaka dari dar al-Islam harus dilindungi keselamatan jiwa dan hartanya dari gangguan dalam maupun luar negeri. Sebagai imbangannya, ia wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di dar alIslam. Tentang hal ini semua ulama sepakat berpendapat demikian. Namun dalam hal apa saja yang harus mereka patuhi, terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama berpandangan bahwa mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Dalam masalah mu’amalah maliyah (hubungan antara sesama manusia yang bersifat kebendaan), jumhur ulama menetapkan bahwa mereka harus mengikuti ketentuan dan hukum yang berlaku dalam dar al-Islam.mereka tidak boleh melakukan praktek riba, menipu dan prilaku bisnis lainnya yang tidak dibenarkan agama islam. Dalam penyerahan pelarian politik ini, juga terdapat perbedaan antara penyerahan ke dar al-islam dan ke dar al-harb. Kalau yang memohon ekstradisi adalah negara islam juga, maka ia dapat diserahkan kembali ke negara asalnya. Penyerahan ini tidak memandang apakah pelarian itu muslim atau bukan. Akan tetapi, kalau negara yang memohon adalah dar al-harb, maka pelarian tersebut tidak boleh dikembalikan ke dar al-harb. Hal ini ditegaskan sendiri oleh AlQur’an surat Al-Mumtahanah, 60:10 yang melarang umat islam mengembalikan wanita-wanita muslimah yang meminta suaka kepada dar al-Islam (Negara Madinah) ke dar al-harb, walaupun mereka memiliki keluarga disana. 41 Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka…..(QS. Al-Mumtahanah, 60:10). Menurut teori fiqih siyasah setiap negara yang termasuk Darus Salam di pandang sebagai wakil yang mutlak bagi negara yang lain untuk menjalankan hukum islam. Oleh karena itu apabila seorang malaysia misalnya melakukan suatu tindak pidana kejahatan di Malaysia, kemudian ia pergi kepakistan, maka ia dapat diajukan perkaranya di muka Mahkamah Islam di Pakistan. Bahkan menurut teori fiqih siasah menghadapkan seorang penjahat tindak kejahatan kehadapan seorang hakim, di tempat kejadian kejahatan itu dipandang 42 lebih baik dari pada menyeretnya kehadapan hakim di tempat yang lain, yakni di tempat yang bukan tempat kejadiannya itu. Karena pengadilan di tempat terjadiannya kejahatan itu dilakukan akan lebih memperlancar dalam hal mencari keterangan-keterangan yang diperlukan dan akan lebih mudah pula dalam membahasnya lantaran ada saksi-saksi yang dapat dimintai bantuan untuk memberikan penjelasan-penjelasan lebih lanjut. Disamping itu apabila penyelesaian suatu kejahatan bisa di rampungkan di pengadilan tempat terjadinya kejahatan itu, maka hukuman yang telah diputuskan itu akan dapat langsung memberikan didikan, disamping kepada si penjahat yang bersangkutan, dapat juga memberikan didikan kepada orang lain dan masyarakat sekelilingnya yang mengetahui atau menyaksikannya. Dengan teori itu mungkin kita dapat menilai bahwa apabila penguasa menyerahkan penjahat yang menjadi anggota warga negaranya kepada negara lain untuk menghukumnya atas suatu tindak kejahatan yang dikerjakan di daerah kekuasaan negara lain, kemungkinan hal itu menyebabkan si penjahat itu tidak dapat membela dirinya, dikarenakan dia berada dilingkungan orang-orang yang tidak dikenal dan tidak pula ada hubungan kebangsaan ataupun bahasanya, sehingga penyerahan penjahat semacam itu ada kemungkinan bisa menimbulkan banyak kemudharatan bagi si pelaku kejahatan.25 25 L. Amin widodo, fiqih siyasah dalam hubungan internasional,( yogyakarta : PT. Tiara wacana yogya, 1994) h. 31-32. 43 Telah dijelaskan sebelumnya bahwa hukum islam mengikat umat islam secara perorangan, tidak mengikatnya menurut daerah tempat tinggalnya. Namun demikian umat Islam diharuskan tinggal di daerah tertentu. Jadi hukum harus memperhatikan hubungan antara umat Islam perorangan dengan daerah tempat tinggalnya. Hukum islam tidak mengatur dan menentukan kedudukan umat islam berhubungan dengan daerah tempat tinggalnya, tetapi mengatur tentang kedudukan daerah tersebut dalam hubungannya dengan masyarakat Islam. Dengan begitu kedudukan suatu daerah menurut hukum tidak semata-mata bergantung pada pengakuan bahwa daerah tersebut merupakan daerah islam tetapi pada pengakuan tentang status keagamaan penduduk tersebut, muslim atau bukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu daerah yang penduduknya memberlakukan hukum Islam disebut dar al-Islam Meskipun menurut hukum Islam hanya umat Islam saja yang memiliki hak penuh sesuai hukum yang berlaku, tetapi golongan umat yang beragama lain dapat menuntut perlindungan hukum dari para pembesar Islam, jika mereka mendapat izin untuk daerah Islam. Menurut hukum Islam, seorang muslim mempunyai hak penuh sebagai penduduk. Mereka yang beragama lain hanya mempunyai beberapa hak tertentu saja, tergantung pada hubungan baiknya dengan umat islam. Mereka yang tidak mempunyai hak penuh dalam hukum terdiri dari tiga golongan yaitu kaum harbi, kaum musta’min dan kaum zhimmi. 44 Seorang harbi baik dari golongan ahl al-kitab atau golongan musyrik dipandang sebagai penduduk dar al-harb, tidak peduli negeri asalnya. Karena menurut hukum Islam dar al-harb termasuk dalam keadaan perang melawan dar al-Islam, maka seorang harbi adalah orang asing dan umat Islam berada dalam keadaan perang melawannya. Jika orang harbi tersebut seorang musyrik maka orang Islam dapat membunuhnya, jika orang harbi itu dari golongan ahl al-kitab maka ia tidak dibunuh tetapi cukup ditawan atau dijadikan budak. Seorang harbi boleh memasuki dar al-Islam jika telah memperoleh ijin yang disebut aman. Ia boleh bepergian melintasi dar al-Islam atau tinggal di situ bersama keluarga dan harta bendanya dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Aman adalah jaminan keamanan yang diberikan kepada seorang harbi sehingga ia memperoleh perlindungan dari pemerintah Islam selama berada di dar al-Islam. Aman diberikan kepadanya selama berada di dar al-Islam. Aman diberikan kepadanya selama tidak dalam keadaan perang melawan umat Islam, sehingga dia menjadi seorang mustamin (orang yang dijamin keselamatannya). Aman itu hanya berlaku untuk satu tahun saja. Jika seorang harbi minta jaminan yang berlaku lebih dari satu tahun saja. Jika seorang harbi minta jaminan yang berlaku lebih dari satu tahun maka ia harus membayar pajak kepala dan menjadi orang zhimmi. Aman yang tidak boleh diberikan kepada kaum harbi atas permintaan dari seorang Islam yang sudah dewasa, baik orang merdeka atau budak, baik laki-laki 45 atau perempuan. Tetapi para ulama hukum aliran Maliki, Syafi’i, dan Hambali berpendapat bahwa para budak, baik laki-laki atau perempuan berhak memberi aman. Menurut Abu Hanifah dan Syafi’i, anak boleh memberi aman jika sudah cukup umurnya. Auzai berpendapat bahwa anak-anak yang berumur sepuluh tahun berhak memberi aman. Adapun semua madzab tidak mengijinkan golongan zhimmi untuk memberi aman.26 Apabila seorang harbi menjadi orang mustamin maka diperbolehkan membawa keluarga dan anak-anaknya, mengunjungi semua kota di dar al-Islam (kecuali kota-kota suci di Hijaz), tinggal di dar al-Islam selamanya, serta menikah dengan seorang perempuan dari golongan zhimmi dan membawanya pulang ke dar al-harb selama aman berlaku baginya (namun ini tidak berlaku bagi perempuan, seorang perempuan harbi yang menikah dengan seorang lakilaki dari golongan zhimmi tidak diperbolehkan membawa suaminya pulang ke dar al-harb karena dikhawatirkan tenaga laki-laki itu dapat dipergunakan untuk bertempur melawan umat Islam).27 Masalah suaka politik yakni pengusiran dan pengasingan penjahat perlu dibedakan antara penjahat penjahat dari penduduk negeri Darus Salam dan penjahat dari penduduk negeri Darul Kuffar. Penjahat dari orang-orang muslim atau orang zhimmi penduduk Darus Salam menurut kaedah pokok hukum Islam 26 27 Majid Khadduri, Islam agama perang?, (Yogyakarta: Karunia Indah, 2004), h. 125-127. Ibid.,129. 46 mereka tidak boleh diusir atau diasingkan. Terhadap mereka dibiarkan menetapdi negeri kediamannya sendiri maupun di daerah lain dari negeri Darus Salam. Selain itu apakah penguasa Darus Salam demi terjadinnya keamanan dan ketertiban umum dapat dibenarkan mengusir, bahkan mengasingkan orang-orang yang bukan rakyat sendiri, baik muslim atau zimmi dengan mengembalikan kenegara asal mereka, atau diasingkan kesatu negeri lain. Problem semacam kaedah fiqhiyah, dinamakan darurat. “al darurat tubihu al imahdurat wa qimatuha biqadratiha”. Yang artinya adalah bahwa segala keadaan yang darurat mengharuskan kita untuk mengerjakan segala sesuatu yang dilarang, dan tolak ukur penilaian darurat diukur menurut ukuran kondisinya. Maksudnya ialah bahwa kita dibolehkan melakukan sesuatu diwaktu darurat atau sesuatu yang dalam keadaan biasa atau normal sebenarnya tidak boleh dilakukannya dan dibolehkan melakukannya dengan catatn tidak melampaui batas-batas kondisi yang diperlakukan.28 Keadaan darurat dan keperluan yang sangat mendesak merupakan dua kaedah pokok yang sangat menentukan dalam penyimpangan hukum pada umumnya. Dengan berpegang kepada dua kaedah hukum pokok itu maka dalam keadaan darurat bagi antar negara Darus Salam boleh mengadakan peraturanperaturan yang mengikat untuk seseorang yang akan memasuki daerah-daerah 28 L. Amin Widodo, fiqih siayah, h. 38. 47 yang dikuasai pemerintahnya sekedar demi terpeliharanya keamanan dan ketentraman masyarakat. Boleh juga dalam keadaan darurat itu bagi antar negara Darus Salam mengusir, bahkan mengasingkannya seseorang Muslim atau Zhimmi dari daerahnya, apabila untuk keperluan menolak keadaan darurat itu dipandang tidak ada jalan lain yang dapat dilampaui hanyalah dengan cara mengusir atau mengasingkannya dan cara pengusiran atau pengasingan itu boleh dengan jalan mengembalikiannya ke negeri asalnya, atau kesalah satu negeri Darus Salam.29 29 .43 Hasbie Ash shiddieqy, Hukum Antar golongan dalam fiqih Islam, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1971).h BAB III HAK-HAK PENERIMA SUAKA POLITIK DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM POSITIF A. Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Internasional Konvensi Wina 1961 tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai suaka, meskipun pasal 41 (3) menyebutkan “persetujuan khusus” yang dapat memberikan peluang terhadap pengakuan secara bilateral, hak untuk memberikan suaka kepada pengungsi politik di dalam lingkungtan perwakilan asing. Perumusan dalam pasal 41 (3) tersebut dibuat sedemikian samar agar memungkinkan suaka diplomatik diberikan baik atas dasar instrumen yang ada maupun hukum kebiasaan. Instrument yang dapat diambil sebagai contoh misalnya, Konvensi Caracas 1954 yang memberikan hak kepada para pihak untuk memberikan suaka di wilayah negara-negara pihak lainnya. Walaupun selama ini Konvensi Caracas yang merupukan satu-satunya perjanjian yang mengakui pemberian suaka, namun dalam prakteknya banyak negara yang melakukannya atas dasar hukum kebiasaan. Staffan Bodemar mengatakan, pasal 14 Universal Decleration of Human Rights mengakui bahwa “ setiap orang mempunyai hak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain dari ancaman persekusi”. Pemberian izin 48 49 masuk bagi pencari suaka, perlakuan terhadap mereka dan pemberian status pengungsi dengan demikian merupakan unsur penting dari sistem internasional bagi perlindungan terhadap pengungsi. Kalau diperhatikan hukum internasional yang mengatur tentang pengungsi ataupun orang-orang yang memerlukan suaka (asylum) ini masih sangat lemah, dalam Universal Declaration of Human Rights pasal 14, kata-kata “menikmati” tidak jelas ukurannya. Namun kelihatannya dalam pasal 14 ayat 2 membatasi kata “menikmati” sejauh yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dimuat dalam piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa, maka perlindungan dapat dimintakan. 30 Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas jelas bahwa meskipun hak seseorang atas suaka diakui oleh Hukum Internasional, namun hak tersebut bersifat terbatas hanya untuk mencari (to seek) dan untuk menikmati (to enjoy) suaka, bukanlah untuk mendapatkan (to obtain) ataupun untuk menerima (to receive) suaka. Sehingga, dengan demikian tidak terdapat kewajiban bagi Negara untuk memberikan (to grant) suaka kepada seorang pencari suaka. Hal lain yang sangat jelas dalam ketentuan diatas adalah pemberian suaka oleh sebuah Negara merupakan tindakan pelaksanaan kedaulatan (in the exercise of its sovereignty) dari negara. Degan demikian karena pemberian suaka tersebut merupukan kewenangan mutlak dari sebuah negara, maka Negara pemberi suaka (state grating asylum) mempunyai kewenangan mutlak pula untuk 30 Ahmad Romsan, dkk, pengantar hukum pengungsi internasional: hukum internasional dan prinsipprinsip perlindungan internasional, ( Jakarta: UNHCR Regional Representation Jakarta, 2003),h. 61 50 mengavaluasi atau menilai sendiri alasan-alasan yang dijadikan dasar pemberian suaka, tanpa harus membuka atau menyampaikan alasan tersebut kepada pihak manapun, termasuk kepada negara asal (origin state) dari pencari suaka. Sebagaimana tercantum dalam statutanya, perlindungan internasional diabadikan sebagai prinsip utama, perlindungan internasional itu bertujuan menjamin Ham pengungsi, terutama dalam memastikan bahwa tidak ada seorang pengungsi pun dikembalikan secara paksa ke negara dimana ia khawatir bakal mengalami persekusi. Hak mencari suaka mensyaratkan bahwa orang-orang yang melarikan diri dari persekusi atau bahaya harus diberi izin masuk di suatu negara, sekurang-kurangnya untuk waktu sementara. Salah satu komponen terpenting dalam lembaga suaka adalah prinsip non-refoulement. Prinsip ini melarang negara-negara mengusir atau mengembalikan “seorang pengungsi dengan cara apa pun ke perbatasan wilayah yang bisa mengancam kebebasan atau keselamatan hidupnya karena alasan ras, agama, kebangsaannya, keanggotaannya pada kelompok sosial atau karena pandangan politiknya”. Jika memakai alasan hukum tersebut , maka pencari suaka (asylum-seeker) harus diterima oleh negara dimana individu tadi telah memohonnya. Walaupun uraian ini bersamaan dengan masalah pengungsi, tapi kita dapat mengetahui bahwa pencari suaka mendapat perlindungan internasional. 51 Pada prakteknya, ada semacam pengertian bahwa memberikan pengakuan atau menjamin keamanan manusia yang terancam adalah hak setiap negara. Dengan demikian suaka adalah hak negara, dan bukan hak individu yang memintanya. Karena itu, penerima suaka umumnya mengambil kewarganegaraan negara pemberi suaka. Kalaupun tidak, orang itu tetap mendapat fasilitas dan hak-hak yang sama dengan warga negara di negara barunya, kecuali hak-hak politik, misalnya hak suara dalam pemilihan umum. Secara formal, pemberian suaka sebetulnya tak berbeda dengan pemberian kewarganegaraan bagi imigran umum. Perbedaannya adalah latar belakangnya. Jika kebanyakan imigran biasa “merantau” dengan alasan ekonomi, latar belakang pemberian suaka tentunya lebih mendesak, yakni lantaran menyangkut kelangsungan hidup si pemohon. Karenanya, proses dan waktu penerimaannya juga relatif lebih cepat. Karena alasan yang mendesak itu pula, banyak badan yang bisa menjadi perantara pemohon suaka.31 Beberapa ketentuan penting yang menyangkut hak perlindungan dan kewajiban pengungsi dan atau penerima suaka sebagaimana diatur dalam Konvensi PBB tentang status pengungsi 1951, adalah sebagai berikut: 1. Perlindungan terhadap pengungsi dan atau penerima suaka: a. Non Diskriminasi, tidak ada diskriminasi terhadap pengungsi berdasarkan ras, agama, atau negara asal (pasal 3) dan mereka 31 Sulaiman hamid, lembaga suaka dalam hukum internasional,.h.95-98 52 mempunyai kebebasan untuk menjalankan ibadah agama sebagaimana yang dijalankan di negaranya (pasal 4); b. Negara dimana pengungsi tersebut berada harus memperlakukan setiap pengungsi dengan perlakuan yang sama sebagaimana orang asing lainnya yang berada di wilayah negara tersebut (pasal 7); c. Status personal (keperdataan) dari pengungsi akan diatur sesuai dengan hukum dimana ia berdomisili, jika tak mempunyai domisili maka menurut hukum dimana dia berdiam (residence). Hak yang paling asasi, khususnya untuk melakukan perkawinan haruslah diakui (pasal 12); d. Seorang pengungsi berhak mendapatkan perlindungan untuk memiliki hak atas kekayaan intelektual (seperti: penemuan, desain atau model, merek dagang, hak atas kesusastraan, artistik dan penemuan ilmiah) sebagaimana warga negara dari negara tersebut (pasal 14); e. Negara penerima harus memberikan perlakuan yang sama terhadap pengungsi sebagaimana orang asing lainnya dalam membentuk organisasi non-politik, organisasi nirlaba dan serikat perdagangan (pasal 15). f. Seorang pengungsi mempunyai kebebasan untuk berperkara di muka pengadilan (pasal 16) g. Seorang pengungsi berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama seperti warga negara tersebut dalam hal memperoleh pendidikan dasar 53 dan perlakuan yang sebaik mungkin dalam bidang pendidikan (pasal 22); h. Seorang pengungsi berhak untuk memiliki benda bergerak dan benda tidak bergerak serta menyimpannya seperti orang asing lainnya (pasal 13), serta dapat pula untuk melakukan pemindahan benda-benda tersebut ke negara lain dimana ia diterima (country of resetlement) (pasal 30); i. Larangan bagi negara penerima untuk melakukan pengusiran (expulsion) (pasal 32); j. Non refoulement, larangan bagi negara penerima untuk mengembalikan pengungsi kenegara asalnya dimana pengungsi tersebut akan mengahadapi penuntutan (pasal 33); k. Setiap pengungsi memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan sosial, seperti hak untuk bekerja, mendapatkan upah dari pekerjaannya, perumahan, keamanan dan lain-lain (pasal 20-24); l. Bagi seorang pengungsi yang tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah maka akan dikeluarkan surat keterangan untuk itu (pasal 27) dan akan diperkenankan mengajukan fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk pindah ke negara lainnya (pasal 31 ayat 2); m. Segala upaya harus dilakukan oleh negara penerima untuk mempermudah pengungsi dalam melakukan naturalisasi ataupun asimilasi (pasal 34); 54 Dalam perkembangan selanjutnya mengenai masalah suaka, Majelis Umum PBB dalam sidangnya tanggal 14 Desember 1967 telah menyetujui suatu resolusi yang memberikan rekomendasi bahwa dalam praktinya negaranegara haruslah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (i) Jika seseorang meminta suaka, permintaan seharusnya tidak ditolak atau jika ia memasuki wilayah negara itu, ia tidak perlu diusir tetapi jika suatu kelompok orang-orang dalam jumlah besar meminta suaka, hal itu ditolak atas dasar keamanan nasional dari rakyatnya. (ii) Jika suatu negara merasa sukar untuk memberikan suaka, haruslah memperhatikan langkah-langkah yang demi rasa persatuan internasional melalui peranan dari negara-negara tertentu atau PBB. (iii) Jika suatu negara memberikan suaka kepada kaum pelarian atau buronan, negara-negara lainya haruslah menghormatinya.32 B. Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Positif Di dalam UUD 1945 pasal 28 (G), yakni: “... Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Di sini ditegaskan bahwa bangsa Indonesia bersikap anti penyiksaan dan hal-hal yang 32 Sumryo Suryokusumo, Hukum Internasional,.h. 155 55 merendahkan martabat kemanusiaan sesuai dengan konvensi PBB tentang anti penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat. Di samping itu, pasal ini juga menentukan bahwa setiap orang berhak untuk meminta suaka politik kenegara lain.33 Masalah suaka ini juga disebutkan pada pasal 28 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yakni “ setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain”. Namun dalam ayat 2 pasal 28 dijelaskan bahwa “hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip perserikatan bangsa-bangsa. Dalam hal ini yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari suaka. 34 Permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia adalah sejauh mana keterkaitan Indonesia dalam memberikan bantuan berupa perlindungan, perumahan dan fasilitas kesehatan, pendidikan dan lainnya kepada para pengungsi yang singgah di indonesia, mengigat sampai dengan saat ini Indonesia belum meratifikasi refugee convention, permasalahan ini berkaitan erat dengan kewenangan lembaga-lembaga internasional seperti UNHCR atau ICRC dalam menangani masalah pengungsi, yaitu memiliki political will dengan menerima 33 Jimly Asshiddieqie, komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). h.120 34 Majda El-muhtaj, hak asasi manusia dalam konstitusi indonesia, (Jakarta: kencana prenada media group, 2007). h. 167 56 dan mengizinkan mereka untuk tinggal sementara sambil mencari solusi permanen. Pasca kejatuhan rezim Suharto di tahun 1998, banyak sekali terjadi kerusuhan di dalam negeri dan tingginya tuntutan daerah untuk melepaskan diri dengan pemerintah pusat, telah menimbulkan kekhawatiran para penduduk dan menimbulkan gelombang perpindahan penduduk secara besar-besaran dari satu propinsi ke propinsi lainnya. Arus perpindahan penduduk antar daerah yang terjadi karena kerusuhan dalam bahasa indonesia disebut dengan istilah pengungsi. Menurut hukum Internasional suaka dan pengungsi sebenarnya mempunyai perbedaan. Pengungsi adalah satu status yang diakui oleh hukum Internasional atau nasional. Seseorang yang telah diakui statusnya sebagai pengungsi akan menerima kewajiban-kewajiban yang ditetapkan serta hak-hak dan perlindungan atas hak-haknya itu yang diakui oleh hukum Internasional atau nasional. Seorang pengungsi adalah sekaligus seorang pencari suaka. Sebelum seseorang diakui statusnya sebagai pengungsi, pertama-tama ia adalah sorang pencari suaka. Status sebagai pengungsi merupakan tahap berikut dari proses kepergian atau beradanya seseorang di luar negeri kewarganegaraan atau tempat tinggal biasanya yang terdahulu. Sebaliknya, seorang pesuaka belum tentu merupakan seorang pengungsi. Ia baru menjadi pengungsi setelah diakui 57 statusnya demikian oleh instrumen internasional atau nasional.35 Pengungsi adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang berdasar mengalami persekusi (persecution). Rasa takut yang berdasar inilah yang membedakan pengungsi dari jenis migran lainnya, seberat apa pun situasinya, dan juga dari orang lain yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Karena pengungsi tidak dapat mengandalkan perlindungan dari negara yang seharusnya memberikan perlindungan kepada mereka, maka untuk menanggapi situasi menyedihkan yang dihadapi pengungsi, persiapan-persiapan khusus harus dibuat oleh masyarakat internasional. Hak mencari suaka politik adalah hak individual. Sepenuhnya terserah kepada si individu untuk memutuskan kapan dan mengapa hak itu digunakan. Pikiran dan tubuh manusia bukanlah yuridiksi negara. Pemerintah tidak boleh merasa memiliki pikiran dan tubuh warganya meski atas nama kedaulatan negara. Perlindungan terhadap hak ini, termasuk kewajiban menghormati prinsip nonrefoulement prinsip berstatus jus congens yang isinya melarang pengembalian pencari suaka politik ke negara asal juga telah jadi bagian hukum nasional. Pertama oleh ratifikasi Republik Indonesia terhadap Internasional Convenant on Civil and Political Rights (2006) dan sebelumnya terhadap Convention Againts Torture (1998) di mana non-refoulement adalah prinsip fondasionalnya. Jauh sebelumnya, preseden perlindungan yang sama dapat 35 Sulaiman hamid, lembaga suaka dalam hukum internasional,.h. 39-40 58 ditemukan dalam surat Edaran perdana Menteri Nomor 11/RI/1956 tanggal 7 september 1956 tentang perlindungan pelarian politik. Surat edaran yang ditanda tangani Mr. Ali sostromidjojo itu menyatakan, “Indonesia melindungi pelarian politik yang masuk dan yang sudah berada di wilayah Indonesia, berdasarkan hak dan kebebasan asasi manusia, serta sesuai dengan hukum kebiasaan Internasional.” Kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan presiden dengan pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif berdasarkan atas hukum dasar, diplomasi yang mencari keharmonisan, keadilan dan keserasian dalam hubungan salah satu fungsi perwakilan Republik Indonesia adalah melindungi, setiap orang berhak memperoleh suaka politik. Indonesia akhirnya secara formal yuridik mengakui bahwa mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain merupakan salah satu hak asasi setiap orang (lihat ketetapan MPR No.XVII/MPR/1998 tanggal 13 november 1998, piagam HAM, pasal 24). Sehubungan dengan itu kewenangan pemberian suaka berada pada presiden (pasal 25 ayat1). Dan pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam kepres (pasal 25 ayat2). Di samping itu presiden menetapkan kebijaksanaan masalah pengungsi dengan memperhatikan pertimbangan menteri (pasal 27).36 36 Boer Mauna, Hukum internasional pengertian peranan dan fungsi dalam era dinamika global,( Jakarta: Penerbit Alumni,2000).h.470 59 Indonesia menganut prinsip yang mengatur bahwa pemberian suaka adalah hak prerogatif dari negara sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatannya. Prinsip ini antara lain secara jelas nampak dalam paragraf kesembilan dari penjelasan umum surat Edaran Perdana Menteri tanggal 7 september 1965 No. 11/R.I/1956 tentang Perlindungan Pelarian Politik, yang kurang lebih berbunyi sebagai berikut: “Demikian pula, sebaliknya, pemberian suaka kepada pelaku kejahatan politik bukanlah merupakan kewajiban Internasional dari negara, melainkan merupakan hak dari negara untuk menentukan apakah akan memberikan atau tidak memberikan suaka kepada seseorang...”. BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK-HAK PENERIMA SUAKA POLITIK A. Tinjauan Terhadap Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Internasional Walaupun menurut hukum Islam hanya kaum Islam sajalah yang mempunyai hak sepenuhnya menurut hukum, tetapi mereka yang beragama lain dapat menuntut perlindungan berdasarkan hukum dari pembesar-pembesar Islam, jika memperoleh izin memasuki daerah Islam. Seorang Islam menurut hukum Islam mempunyai hak penduduk sepenuhnya, mereka yang lain hanya mempunyai beberapa hak yang tertentu saja, bergantung kepada hubungannya dengan kaum Islam. Mereka yang tidak mempunyai hak berdasarkan hukum yang sepenuhnya. Seorang mukmin tidak boleh membiarkan dirinya ditindas atau dianiaya orang lain dinegerinya sendiri. Dia harus menghindar dari penganiayaan itu meskipun ia harus berangkat (hijrah) meninggalkan negerinya itu ke negara lain yang lebih aman. Seorang muslim pun boleh memberikan perlindungan terhadap non muslim yang tidak mengganggu kepentingan agama dan keamanan jiwa mereka (orang muslim), Islam melarang umatnya bersekongkol dengan mereka. Jadi, pada prinsinya Islam itu terbuka untuk mengadakan hubungan persaudaraan 60 61 dengan melampaui wilayah teritorial negerinya dan agamanya sepanjang hal itu tidak merugikan kepentingan Islam dan umatnya. Rasulullah shalallallahu „alaihi wa salam memerintahkan para sahabatnya berhijrah dan meninggalkan mekkah setelah menyaksikan penyiksaan yang dilancarkan kaum musyrik terhadap para sahabatnya dan karena khawatir akan terjadinya fitnah pada kaimanan mereka. Hijrah ini sendiri merupakan salah satu bentuk siksaan dan penderitaan demi mempertahankan agama. Ia bukan tindakan menghindari gangguan dan mencari kesenangan, melainkan merupakan penderitaan lain di balik penantian akan datangnya kemenangan dan pertolongan Allah. Dalam Islam, berhijrah dari Darul Islam (negeri Islam) memiliki tiga hukum antara wajib, boleh, dan haram. Wajib (berhijrah dari Darul Islam) manakala seorang muslim tidak dapat melaksanakan syiar-syiar Islam, seperti shalat,puasa, adzan, haji, dan sebagainyadi negeri tersebut. Boleh (berhijrah dari Darul Islam) manakala seorang muslim menghadapi bala (cobaan) yang menyulitkannya di negeri tersebut. Dalam kondisi ini, ia boleh keluar darinya menuju negeri Islam yang lain. Haram (berhijrah dari Darul Islam) manakala hijrahnya mengakibatkan terabaikannya kewajiban Islam yang memang tidak dapat dilaksanakan oleh orang selainnya. Kaum muslimin boleh meminta “perlindungan” kepada nonmuslim, baik dari Ahli kitab, seperti Najasyi yang pada waktu itu masih Nasrani (tetapi setelah itu masuk Islam) atau dari orang Musyrik, seperti mereka yang 62 dimintai perlindungan oleh kaum muslimin ketika kembali ke Makkah, antara lain Abu Thalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika masuk Makkah sepulangnya dari Tha‟if. Tindakan ini dibenarkan selama perlindungan tersebut tidak membahayakan dakwah Islam, mengubah sebagian hukum agama, atau menghalangi nahi munkar. Jika syarat ini tidak terpenuhi, seorang muslim tidak dibenarkan meminta perlindungan kepada non-muslim. Sebagai dalil ialah sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diminta oleh Abu Thalib untuk menghentikan dakwahnya dan tidak mengecam tuhan-tuhan kaum musyrik maka ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan diri keluar dari perlindungan pamannya dan menolak mendiamkan sesuatu yang harus dijelaskan.37 Berdasarkan Deklarasi Cairo pasal (12) menegaskan: “Setiap orang harus dijamin haknya dalam kerangka syari‟at, untuk bergerak bebas dan untuk memilih tempat tinggalnya di dalam atau di luar negaranya, dan jika dianiaya berhak mendapat suaka dari negara lain itu. Negara yang memberikan perlindungan harus menjamin perlindungannya sehingga ia merasa aman, terkecuali suaka yang dimotivasi karena tindakan yang oleh syari‟at dianggap sebagai suatu kejahatan”. 37 Muhammad said ramadhan Al-buthy, Sirah Nabawiyah analisis Ilmiah manhajiah sejarah pergerakan Islam di masa Rasululah SAW, ( Jakarta: robbani press, 1999).h. 111-113 63 Suatu hal yang ditekankan dalam Deklarasi Cairo sehubungan dengan pemberian suaka terhadap yang meminta suaka adalah jika pemberi suaka tersebut tidak bertentangan dengan hukum syari‟at.38 Adapun masalah hak-hak warga negara non-Islam yang lain, maka mereka akan mempunyai hak-hak yang sama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, termasuk hak-hak khusus yang diberikan oleh hukum Islam kepada mereka seperti berikut ini: (a) Mereka mempunyai hak untuk memeluk dan mendakwahkan agama mereka, dan juga mendapatkan hak yang sama untuk dapat mengkritik Islam sebagaimana Islam mempunyai hak untuk mengkritik agama mereka. (b) Mereka bebas untuk memutuskan persoalan-persoalan mereka sesuai dengan hukum persoalan mereka sendiri. (c) Mereka harus mengikut hukum umat Islam sepanjang dalam masalah hukum kriminal dan sipil karena hukum Islam merupakan hukum negara dalam urusan-urusan ini. Pengecualian dalam peraturan hukum ini hanyalah dalam kasus meminum anggur dimana warga nonmuslim dibebaskan dari hukuman. 38 Ahmad kosasih, Ham dalam perspektif Islam menyingkap persamaan dan perbedaan antara Islam dan Barat, ( Jakarta: salemba diniyah, 2003).h. 67. 64 (d) Orang dzimmi mendapatkan hak untuk mendirikan lembaga pendidikan mereka untuk menanamkan pendidikan agama kepada generasi muda mereka. (e) Mereka tidak dapat dipaksa untuk mengikuti tugas wajib militer seperti warga muslim. Tetapi mereka yang mampu memanggul senjata dikenakan jizyah sebagaimana telah disebutkan di atas. Konsep kedaulatan teritorial yang mendakan bahwa di dalam wilayah kekuasaan ini yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap orang-orang dan harta benda yang menyampingkan negara-negara lain. Konsep ini memiliki kemiripan dengan pemikiran patrimonial pemilikan menurut hukum perdata, dan dalam kenyataan memang para penulis pelopor bidang hukum internasional banyak memakai prinsip-prinsip pemilikan dari hukum sipil dalam pembahasan mereka mengenai kedaulatan teritorial negara.39 T.W. Arnold berkata, “ kekuatan (force) bukan merupakan faktor penentu dalam agama Islam, yang dapat diamati dari adanya hubungan yang serasi antara orang-orang Nasrani dan Islam. Nabi Muhammad saw. Sendiri telah memasuki suatu perjanjian dengan beberapa suku Nasrani, dan beliau menjanjikan mereka perlindungan serta jaminan terhadap kebebasan 39 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1997).h. 210 65 menjalankan agama mereka. Kepada pendeta mereka juga dijamin pelaksanaan hak lama mereka tanpa gangguan.40 Dan dalam hal ini persamaan hak suaka politik dalam syar‟iah Islam dan hukum internasional adalah: a. Tidak dapat diterimanya kembali pengungsi ke Negara, dimana ia mungkin berada keadaan resiko dianiaya b. Larangan memaksakan hukuman kepada seorang pengungsi karena masuk secara illegal atau berada di wiayah Negara. c. Prinsip non-diskriminasi d. Karakter kemanusiaan dari hak suaka e. Tidak diterimanya pemberian suaka kepada pejuang pengungsi f. Dalam diterimanya pemberian suaka kepada tawanan perang g. Persyaratan dalam memenuhi kebutuhan dasar pengungsi h. Kewajiban untuk penyatuan kembali dengan keluarga i. Perlindungan terhadap harta benda pengungsi j. Memastikan bahwa pengungsi menerima hak esensial dan kebebasan sebagai manusia dan orang hukum k. Tidak dapat diterimanya pemberian suaka kepada pelaku criminal (nonpolitik) 40 Syekh syaukat hussain, hak asasi manusia dalam Islam, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996).h. 77-79 66 l. Diterimanya pencari suaka untuk memanfaatkan diri yang bersifat sementara m. Berakhirnya suaka ketika keadaan konduktif tidak ada lagi.41 B. Tinjauan Terhadap Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Positif Pada dasarnya pengakuan untuk mencari suaka dan kedaulatan pemberian suaka oleh Negara juga telah mendapatkan pengakuan dalam Hukum Nasional Indonesia, melalui undang-undang dan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia seperti Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 G ayat (2) “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain” hal ini menunjukan bahwa setiap orang yang mengalami penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat, berhak mendapatkan suaka politik dari negara lain atau perlindungan dari negara manapun. Hal ini berkenaan mengenai Hijrah dalam agama Islam yang mana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 G, yaitu “memperoleh suaka politik dari negara lain”, sedangkan Hijrah adalah perpindahan dari tempat yang satu ketempat yang baru, hijrah didalam islam bermacam-macam akan tetapi hijrah yang didalam sejarah dihitung dari hijrahnya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Madinah, disinilah dihitung tahun barunya Islam dimana kejahatan orang-orang jahiliyah pada saat itu yang membuat baginda 41 Ahmed Abou-El-Wafa,the right to asylum between Islamic Shari’ah and internasional refugee law, (Riyadh: UNHCR, 2009) , h.233-234 67 Nabi Muhammad SAW berhijrah, yang dengan hijrah tersebut Nabi Muhammad SAW dapat mengembangkan Syiar Islamnya. Dari peristiwa ini kita selaku umat juga diwajibkan untuk berhijrah, apabila kita mengalami diskriminatif atau tidak terpenuhinya hak-hak yg seharusnya kita dapatkan sebagai warga negara. hak untuk pindah (hijrah) ke tempat negara lain, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Mulk :15 dan Q.S. Al-Nisa :97. Allah menciptakan bumi yang luas ini dan memudahkan manusia untuk menjelajahinya, sehingga jika seseorang tertindas atau terancam di satu tempat negara, ia bisa atau (dalam kondisi tertentu) bahkan wajib berpindah ketempat negara lain. Agama Islam menganugerahkan hak kebebasan bergerak atau berpindah kepada umat manusia, negara islam tidak membatasi setiap warga negaranya untuk bertempat tinggal dalam suatu bagian tertentu dalam wilayah negaranya. Begitupun tidak ada seorangpun yang dapat dilarang untuk keluar dari wilayah negeri dalam keadaan wajar.42 Hal ini sama dengan yang terdapat di Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 28 “setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain, hak tersebut tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan non-politik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-bangsa. 42 Syekh Syaukat Hussain, hak asasi manusia dalam Islam,.h. 85 68 Sementara itu untuk kewenangan pemberian suaka di Indonesia di atur dalam Undang-Undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, yaitu: (Pasal 25) “kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan presiden dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”. (Pasal 26) “ Pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan, dan praktek internasional”. (Pasal 27) “Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri” ayat ini menjelaskan pada dasarnya masalah yang dihadapi oleh pengungsi adalah masalah kemanusiaan, sehingga penanganannya dilakukan dengan sejauh mungkin menghindarkan terganggunya hubungan baik antara Indonesia dan negara asal pengungsi itu. Indonesia memberikan kerja samanya kepada badan yang berwenang dalam upaya mencari penyelesaian masalah pengungsi itu.43 Dalam hukum internasional, hak negara secara umum untuk memberikan suaka di dalam perwakilan asing tidak diakui. Suaka dapat berikan di gedung perwakilan asing dalam tiga hal yang luar biasa: (i) Suaka dapat diberikan, untuk jangka waktu sementara, kepada orang perorangan yang memang secara fisik dalam bahaya karena adanya 43 Undang-undang No. 37 tahun 1999 dan penjelasannya. 69 kekerasan masal atau dalam hal seorang buronan yang dalam bahaya karena melakukan kegiatan politik terhadap negara setempat; (ii) Suaka dapat juga diberikan dimana di negara itu terdapat kebiasaan yang sudah lama diakui dan mengikat; (iii) Suaka dapat diberikan juga jika terdapat perjanjian khusus antara negara dimana penerima suaka berasal dan negara dimana terdapat perwakilannya. Dalam perkembangan selanjutnya mengenai masalah suaka, Majelis umum PBB dalam sidangnya tanggal 14 Desember 1967 telah menyetujui suatu resolusi yang memberikan rekomendasi bahwa dalam praktiknya negara-negara haruslah mempertimbangkan sebagai berikut: (i) Jika seseorang meminta suaka, permintaan seharusnya tidak ditolak atau jika ia memasuki wilayah negara itu, ia tidak perlu diusir tetapi jika suatu kelompok orang-orang dalam jumlah besar meminta suaka, hal itu ditolak atas dasar keamanan nasional dari rakyatnya. (ii) Jika suatu negara merasa sukar untuk memberikan suaka haruslah meperhatikan langkah-langkah yang layak demi rasa persatuan internasional melalui peranan dari negara-negara tertentu atau PBB. (iii) Jika suatu negara memberikan suaka kepada kaum pelarian atau buronan, negara-negara lainnya haruslah menghormatinya. 70 Selain perbedaan dalam dua bentuk, ada lagi pembagian dari pada suaka (asylum) yaitu: 1. Temporary asylum adalah bahwa pada waktu terjadi kerusuhan di mana pemohon meminta perlindungan maka suaka yang diberikan itu sifatnya adalah sementara sampai pejabat yang berwenang dari negara asal si pemohon memberikan jawaban kepada negara perlindungan agar individu tadi di serahkan. 2. Definitive asylum bahw si pemohon suaka tadi adalah di berikan perlindungan dan kepada dirinya diletakkan diluar juridiksi ngara asalnya. Konvensi PBB 1951 dan Protokol 1967 berkaitan dengan status dari pengungsi, konvensi tersebut memberikan kriteria pengungsi sebagai orangorang yang : 1. Berada di luar negaranya atau negara tempat dimana dia tinggal; 2. Tidak dapat atau tidak berkeinginan untuk kembali atau bermaksud untuk mencari perlindungan dari negara (lain) karena ketakutan yang benarbener nyata (wellfounded fear) bahwa mereka akan dituntut (persecuted) dengan alasan ras, agama,suku bangsa, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politiknya; 3. Diatas segalanya, bukan merupakan pelaku kejahatan perang atau orangorang yang telah melakukan kejahatan serius non politik. 71 Konvensi ini tidak mewajibkan negara penandatangan untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang yang tidak menghadapi ancaman penuntutan (persecution) dan yang telah meningalkan negara mereka atas dasar terjadinya perang, kelaparan, kerusakan lingkungan atau karena ingin mencari kehidupan yang lebih baik untuk dirinya sendiri atau keluarganya. 44 Menurut fiqih siyasah kontemporer, hubungan antar negara pada saat ini didasarkan pada prinsip damai, sesuai dengan Q.S. Al-Anfal :61. Prinsip damai ini telah menjadi kesepakatan atau perjanjian negara-negara di dunia dengan pembentukan PBB, dan perjanjian atau kesepakatan, dengan demikian berkenaan dengan masalah doktrin tentang perdamaian yang kuat dalam ajaran Islam, perang-perang Nabi harus dilihat sebagai respons atas realitas sosial, politik dan kultural, justru untuk menegakkan perdamaian itu sendiri. Perang-perang tersebut tidak saja dilakukkan untuk tujuan menciptakan perdamaian di antara manusia, tetapi cara dan teknik pelaksanaanya sendiri juga dengan sangat memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan.45 Selain itu, sebagaimana yang banyak tercantum di dalam pembahasan fiqh tentang bangsa-bangsa, menyebutkan bahwa eksistensi negara di dalam Islam didasarkan pada akidah yang dipeluk oleh segenap penduduknya secara 44 Sulaiman hamid, lembaga suaka dalam hukum internasional,.h. 79 Nurcholish Madjid, Islam agama peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 2000),h. 223 45 72 rela tanpa paksaan. sementara dalam hubungan damai dengan negara non muslim, pentingnya mematuhi fakta-fakta perdamaian yang disepakati bersama, apa pun ideologi dan kepercayaan negara tersebut. Negara Islam tidak boleh memutuskan hubungan diplomatic dengan negara lain secara sepihak. Di samping itu, negara Islam juga wajib menghormati duta negara asing yang ditempatkan di negara Islam. Harta, jiwa dan raganya harus dilindungi. Tujuan setiap negara di dalam hubungannya dengan negara-negara lain adalah mengarahkan dan mempengaruhi hubungannya supaya mempunyai tanggung jawab untuk menyusun formula politik dan mengatur hubungannya mencapai persahabat dunia. Sebagaimana halnya Islam yang lebih mengutamakan perdamaian dan kerja sama dengan negara manapun. Karena itu, Allah SWT tidak membenarkan umat Islam melakukan peperangan, apalagi menjadi agresor negara lain. Perang hanya diizinkan dalam situasi yang terdesak dan hanya semata-mata untuk membela diri (defensif). Pandangan ulama mengenai masalah suaka politik berpangkal dari pembagian mereka tentang dua negara (dunia), yaitu dar al-Islam dan dar alharb, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya. Di samping itu, mereka juga bercermin pada praktik Nabi dalam hubungan internasional. Dari 73 pembahasan mereka tentang hal itu, ulama kemudian merumuskan pendapat mengenai warga negara yang meminta suaka politik ke dar al-Islam. Namun para ulama berbeda pendapat tentang berapa lamanya waktu mereka boleh menetap di dar al-Islam. Abu Hanifah dan sebagian ulama mazhab Hanbali berpendapat bahwa keizinan tinggal bagi pemohon suaka hanya berlaku selama setahun saja. Sedangkan Syafi‟i berpendapat bahwa mereka diizinkan tinggal di dar al-Islam selama empat bulan saja, kecuali bila kepala negara memandang perlu untuk memperpanjang izin tinggalnya. Sementara Malik berpendapat bahwa keizinan tinggal mereka tidak dibatasi oleh waktu. Dari pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik benang merah bahwa pemberian suaka bisa dilakukan kepada dua bentuk, yaitu jaminan keamanan yang tetap (mu’abadah) sebagaimana pendapat Malik dan yang sementara (mu’aqqatah) seperti pandangan Abu Hanifah, Syafi‟i dan sebagian pengikut Ahmad ibn Hanbal. Pencari suaka yang menetap hanya sementara adalah orang-orang non-muslim. Merekalah yang mendapat keizinan sementara untuk tinggal di dar al-Islam. Setelah habis waktunya, mereka dapat meninggalkan dar al-Islam. Bahkan kepala negara berhak mempercepat izin tinggal mereka sebelum habis waktunya kalau memang dipandang perlu. 74 Dalam hal ini, mereka harus dikembalikan ke tempat yang aman, sebagaimana ditegaskan dalam surat at-Taubah di atas.46 Sedangkan warga negara lain yang muslim yang berlindung ke dar alIslam dapat menetap untuk selamanya. Demikian pula halnya dengan orang non-muslim yang mencari perlindungan di dar al-Islam dan berpindahnya ia ke agama Islam, maka statusnya pun berubah menjadi warga negara dar alIslam, bukan lagi musta’min. Ia harus diperlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban sama seperti warga negara lainnya yang beragama Islam. Abu Hanifah menegaskan bahwa jiwa dan hartanya harus dilindungi. Mereka yang mendapat suaka dari dar al-Islam harus dilindungi keselamatan jiwa dan hartanya dari ganggunan dalam maupun luar negeri. Sebagai imbangnya, ia wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di dar al-Islam. Tentang hal ini semua ulama sepakat berpendapat demikian. Dalam hal ini As-Syaibani berkata, “Namun dalam hal apa saja yang harus mereka patuhi, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpandangan bahwa mereka bebas menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Dalam masalah mu’amalah maliyah (hubungan 46 Ya‟thi syahri, “Konsep Pembagian Negara Menurut As-Syaibani dan relevansinya terhadap psuaka politik dalam hukum Internasional”, artikel diakses pada 9 september 2011 dari http://bicarahukum.blogspot.com/2010/01/konsep-pembagian-negara-menurut-as.html 75 antara sesama manusia yang bersifat kebendaan), jumhur ulama menetapkan bahwa mereka harus mengikuti ketentuan dan hukum yang berlaku dalam dar al-Islam. Mereka tidak boleh melakukan praktek riba, menipu dan perilaku bisinis lainnya yang tidak dibenarkan agama Islam.” Dalam masalah jarimah (tindak pidana), Abu Hanifah berpendapat bahwa mereka hanya diwajibkan mematuhui hukum-hukum yang berhubungan dengan hak-hak manusia saja (huquh al-‘ibad), yaitu tindak pidana yang secara langsung menimpa manusia sebagai korbannya. Sedangkan dalam masalah tindak pidana yang berhubungan dengan hak-hak Allah (huquq Allah), kepada mereka tidak dapat dikenakan sanksi hukum Islam. Mereka dapat dijatuhu hukuman sebagaimana ditetapkan dalam hukum Islam bila melakukan tindak pidana seperti mencuri, merampok, membunuh dan menuduh orang lain berzina. Mereka dapat dikenai hukuman hudud dan qisas terhadap kejahatan-kejahatan tersebut. Namun mereka tidak dapat dijatuhi hukuman hudud lainnya bila melakukan kejahatan seperti meminum khamr atau berzina. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari hal-hal yang penulis jelaskan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis mencoba memberikan hal-hal yang dapat disimpulkan bahwa.: 1. Suaka politik atau asylum adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu Negara kepada orang asing yang terlibat perkara atau kejahatan politik dinegara lain atau Negara asal pemohon suaka. Kegiatan politik tersebut biasanya dilakukan karena motif dan tujuan politik atau karna tuntutan hak-hak politiknya secara umum. Kejahatan politik ini pun biasanya dilandasi oleh perbedaan pandangan politiknya dengan pemerintah yang berkuasa, bukan karena motif pribadi. Suaka politik merupakan bagian dari hubungan internasional dan diatur dalam hukum internasional atas dasar pertimbangan kemanusiaan. Setiap Negara berhak melindungi orang asing yang meminta suaka politik. 2. Dalam hubungan internasional, suaka dapat dibedakan menjadi suaka wilayah (territorial asylum) dan suaka diplomatik (diplomatic asylum atau extraterritorial asylum). Suaka wilayah atau suaka teritorial adalah perlindungan yang diberikan suatu negara kepada orang asing di dalam negara itu sendiri. Sebagai 76 77 contoh, negara Indonesia memberi suaka politik kepada orang asing yang masuk ke wilayah indonesia. Sedangkan suaka diplomatik adalah suaka yang diberikan oleh suatu kedutaan besar terhadap orang yang bukan warga negaranya. 3. Pandangan ulama mengenai masalah suaka politik berpangkal dari pembagian mereka tentang dua negara (dunia), yaitu dar al-harb dan dar al-Islam. Di samping itu, mereka juga bercermin pada praktik Nabi dalam hubungan internasional. Dari pembahasan mereka tentang hal ini, ulama kemudian merumuskan pendapat mengenai warga negara yang meminta suaka politik ke dar al-Islam. B. Saran-Saran Ada beberapa hal yang ingin penulis kemukankan berupa saran, setelah mengetahui betapa pentingnya hak-hak suaka politik bagi asylum seeker atau pencari suaka, yaitu: a. Pemerintah atau lembaga yang menangani masalah pencari suaka dan pengungsi, haruslah lebih memperhatikan hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, karna semua hak-hak tersebut sudah di tetapkan oleh Undang-Undang baik internasional, maupun nasional, sebagaimana yang tecantum di dalam Universal Declaration of Human Right dan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 78 G yakni, “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. b. Di samping itu para pencari suaka pun haruslah meminta suaka berdasarkan ketentuan yang sudah ditetapkan sebagaimana yang tercantum dalam UndangUndang HAM No. 39 Tahun 1999 pasal 28 ayat 2 yaitu,” hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip perserikatan bangsa-bangsa. Dalam hal ini yang menentukan suatu perbuatan termasuk kejahatan politik atau nonpolitik adalah negara yang menerima pencari suaka. DAFTAR PUSAKA Al- Qur’an Al-Karim Abdillah Masykuri, artikel “kontribusi hukum islam bagi solusi atas problematika pencari suaka dan pengungsi di Indonesia”. Makalah disampaikan dalam Seminar tentang Promosi Pengajaran Hukum Pengungsi Internasional dan Hak azasi Manusia, diselenggarakan oleh UNHCR dan Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 2 Desember 2010. Adolf Huala, Aspek-aspek negara dalam hukum internasional, Jakarta: PT raja grafindo, 2002. Ash shiddieqy Hasbie, Hukum Antar golongan dalam fiqih Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1971. Asshiddieqie Jimly, komentar atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Djamil Fathurrrahman, filsafat hukum islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997. El-muhtaj Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Hamid Sulaiman, lembaga suaka dalam hukum internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002. Hussain Syekh syaukat, hak asasi manusia dalam Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. 79 80 http://id.wikipedia.org/wiki/suaka_politik di unduh pada hari rabu,9 maret 2011. Jam 16.49 WIB http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1995/11/28/0002.html Diunduh pada hari senin, tanggal 14 maret 2011 Jam 15.48 WIB Ibrahim Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Bayu Media Publishing, 2006. Iqbal Muhammad, fiqh siyasah, kontekstualisasi doktrin politik islam, Jakarta: Gaya media pratama, 2007. Istanto Sugeng, Hukum Internasional,Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 1994. Kansil C.S.T., Hubungan diplomatik Republik Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Khadduri Majid, Islam agama perang?, Yogyakarta: Karunia Indah, 2004. Madjid Nurcholish, Islam agama peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 2000. Mauna Boer, Hukum internasional pengertian peranan dan fungsi dalam era dinamika global,Jakarta: Penerbit Alumni,2000. Purwaka Tommy Hendra. Metedologi Penelitian Hukum, Jakarta : PUAJ, 2007. Ramadhan Al-buthy Muhammad said, Sirah Nabawiyah analisis Ilmiah manhajiah sejarah pergerakan Islam di masa Rasululah SAW, Jakarta: Robbani Press, 1999. 81 Romsan Ahmad, dkk, pengantar hukum pengungsi internasional: hukum internasional dan prinsip-prinsip perlindungan internasional, Jakarta: UNHCR Regional Representation Jakarta, 2003. Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 1986. Suryokusumo Sumaryo, Hukum Diplomatik Teori dan Kasus, Bandung: PT Alumni, 2005. Syahri Ya’thi, “Konsep Pembagian Negara Menurut As-Syaibani dan relevansinya terhadap psuaka politik dalam hukum Internasional”, artikel diakses pada 9 september 2011 dari http://bicara-hukum.blogspot.com/2010/01/konsep- pembagian-negara-menurut-as.html UUD 1945 pasal 28 Widodo L. Amin, fiqih siyasah dalam hubungan internasional, yogyakarta : PT. Tiara wacana yogya 1994.