1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan kejiwaan pemikiran
pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius) setelah
mendapat bentuk yang jelas dituangkan ke dalam bentuk tertentu secara sadar
(concius) dalam bentuk penciptaan karya sastra, yang kemudian di dalam karya
sastra tersebut muncul hal-hal menarik yang membuat penikmat sastra terpikat.
(Endraswara, 2008: 7)
Sastra pada dasarnya akan mengungkapkan kejadian. Namun, kejadian
tersebut bukanlah “fakta sesungguhnya”, melainkan fakta mental pencipta
(Endraswara, 2008: 22). Fakta mental itu merupakan dunia ciptaan pengarang.
Daya imajinasi yang kadang-kadang ditambahi bermacam-macam pikiran atau
fantasi pengarang.
Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium;
bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial (Damono, 1984: 1). Sastra yang
dibuat oleh pengarang menampilkan sebuah kondisi atau kejadian yang terjadi di
kehidupan sebenarnya. Hal tersebut adalah sebuah fakta yang terjadi pada
masyarakat sosial. Selain sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin
dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk
mencetuskan peristiwa sosial tertentu (Damono, 1984: 2).
1
2
Menurut Soerjono Sukanto (1970), bahwa sosiologi adalah ilmu yang
memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan
berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat (Wiyatmi,
2013: 6). Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu
manusia dalam masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia dan
proses yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat.
Berdasarkan dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi
sastra merupakan bagian dari kajian sastra yang mengkaji manusia dan
lingkungannya lebih dalam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 316), film adalah selaput
tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat
potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop). Film
juga diartikan sebagai lakon (cerita) gambar hidup. Film diartikan sebagai lakon
artinya adalah film tersebut merepresentasikan sebuah cerita dari tokoh tertentu
secara utuh dan berstruktur.
Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33
Tahun 2009 Tentang Perfilman, film adalah karya seni budaya yang merupakan
pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah
sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Film dapat
mempengaruhi orang. Pengaruh tersebut bisa baik maupun buruk, tergantung pada
setiap individu itu sendiri.
Berdasarkan pengertian sastra dan film yang sudah dijelaskan sebelumnya,
film dan sastra mempunyai hubungan yang sama yaitu, untuk menyampaikan
3
pesan kepada sekelompok orang dan berkomunikasi satu sama lain. Sejak dahulu
sampai sekarang seorang sastrawan dan pembuat film, menuangkan kritik dan
pendapatnya melalui karya yang mereka buat. Mereka berharap dengan adanya
karya film yang mereka buat, orang-orang dapat memahami yang ingin
disampaikan.
Man on High Heels (하이힐) adalah film Korea Selatan yang ditulis dan
diproduksi oleh Jang Jin pada 3 Juni 2014. Film ini mengangkat tema tentang
homoseksual dan transgender yang dialami oleh tokoh utama. Di Korea Selatan
terdapat beberapa film yang bertemakan homoseksual dan transgender. Namun,
film-film tersebut lebih memperlihatkan homoseksual dan transgender dalam sisi
seks. Sedangkan film ini lebih menunjukkan tentang kemanusiaan, yaitu kaum
homoseksual dan transgender mempunyai perasaan dan hak yang sama dengan
kaum heteroseksual. Film ini juga memperlihatkan perjuangan kaum homoseksual
dan transgender untuk hidup seperti yang mereka inginkan.
Film Man on High Heels menceritakan seorang detektif yang beorientasi
homoseksual. Tokoh Yoon Ji-Wook dalam film ini merupakan gambaran
homoseksual di Korea Selatan. Tokoh ini juga mempunyai keinginan untuk
mengubah kelaminnya. Pekerjaannya sebagai detektif di kepolisian merupakan
cara dia untuk melupakan keinginannya tersebut.
Istilah homoseksual paling sering digunakan untuk menggambarkan
perilaku seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.
Hawkin menulis bahwa istilah “gay” dan “lesbian” dimaksudkan pada kombinasi
indentitas diri sendiri dan identitas sosial (Kaplan, 1997). Istilah tersebut
4
mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki suatu perasaan menjadi
kelompok sosial yang memiliki label sama.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005: 407) mendefinisikan yang dimaksud dengan homoseksual adalah keadaan
tertarik terhadap orang dari jenis kelamin yang sama. Homoseksualitas dapat
didefinisikan sebagai orientasi atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang
atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama atau ketertarikan orang secara
emosional dan seksual kepada seseorang atau orang-orang dari jenis kelamin yang
sama (Oetomo, 2001: 6).
Pengertian transgender sama dengan banci dalam bahasa Indonesia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 99) yang dimaksud dengan banci
adalah tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan. Transgender
juga diartikan sebagai laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian sebagai
perempuan. Individu atau kelompok yang mempunyai kecenderungan memahami
secara berbeda dengan jenis kelamin (laki-laki atau wanita) yang dimilikinya.
Bisa
juga
diartikan
sebagai
seseorang
yang
identitas
kelaminnya
(mengidentifikasi sendiri sebagai laki-laki atau wanita) berbeda dengan kenyataan
jenis kelamin yang dimilikinya.
Kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Korea Selatan
menghadapi tantangan hukum. Mereka menghadapi tantangan hukum dan
diskriminasi yang tidak dialami oleh masyarakat heteroseksual. Aktivitas seksual
sesama jenis baik pria dan wanita adalah legal di korea Selatan. Akan tetapi,
pasangan sesama jenis dan rumah tangga yang dibina oleh pasangan sesama jenis
5
tidak memiliki hak atas perlindungan hukum yang sama seperti untuk
heteroseksual.
Tidak dapat dipungkiri kalangan minoritas seperti lesbian, gay, biseksual,
dan transgender (LGBT) sekarang ini banyak ditemukan dimana-mana. Tidak
hanya di Korea, hampir di seluruh dunia. Bagi kelompok LGBT khususnya
homoseksual dan transgender dianggap masih berbeda dengan masyarakat
heteroseksual lainnya. Jika mendengar kata homoseksual dan transgender, orang
akan menganggap sebagai sebuah perbedaan. Mereka tetap dianggap tidak sama
dengan masyarakat lainnya. Tidak jarang kelompok homoseksual dan transgender
mendapatkan perlakuan yang berbeda. Di beberapa kalangan masyarakat, mereka
mendapatkan cap yang negatif. Terlebih kelompok homoseksual dan transgender
juga sering dipandang rendah oleh orang-orang.
Hal tersebut terjadi karena sebagian besar masyarakat Korea menganut
paham heteronormatif. Heteronormatif adalah sebuah istilah yang digunakan
untuk mendeskripsikan sebuah paham yang meyakini bahwa manusia dibedakan
menjadi dua jenis kelamin dan yang berbeda yaitu, laki-laki dan perempuan
(Kartono, 1989: 248). Paham ini bersifat saling melengkapi dan memiliki peran
alamiahnya masing-masing dalam kehidupan.
Di Korea terdapat ajaran beberapa ajaran filsafat, yaitu Konfusianisme,
Shamanisme, Buddhisme, dan Taoisme. Dari keempat ajaran filsafat tersebut,
Konfusianisme
yang
paling
berkembang.
Pada
zaman
Tiga
Kerajaan
Konfusianisme dijadikan agama resmi kerajaan. Oleh karena itu, ajaran
Konfusianisme sampai sekarang dijalankan oleh masyarakat Korea Selatan.
6
Sama seperti negara-negara lainnya, terdapat beberapa agama di Korea
Selatan. Agama yang dominan di Korea Selatan adalah Budha, Kristen Protestan
dan Kristen Katolik. Di Korea sendiri kelompok agama Kristen Protestan, dan
Kristen Katolik mempunyai andil yang cukup besar. Dahulu Kristen lah yang
memperkenalkan Korea dengan budaya barat. Sejak dulu Kristen berkontribusi
untuk Korea, seperti pengenalan peradaban barat, mempopulerkan pendidikan,
perbaikan sistem pernikahan dini, modernisasi nilai-nilai tradisional, dan filsafat,
peningkatan status sosial perempuan, dan sebagainya.
Masyarakat Korea Selatan memandang homoseksual dan transgender
dengan cara yang sangat beragam. Pandangan itu bisa positif dan negatif.
Sebagian masyarakat Korea Selatan memandang bahwa homoseksual dan
transgender adalah fenomena yang bisa diterima. Namun, sebagian besar
masyarakat tidak setuju dengan adanya homoseksual dan transgender. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya ajaran Konfusianisme dan agama yang dianut
oleh masyarakat Korea Selatan tidak sejalan dengan perilaku homoseksual dan
transgender. Homoseksual dan transgender sering dianggap menyimpang karena
tidak sejalan dengan norma yang ada di masyarakat. Anggapan masyarakat yang
seperti itu membuat kaum homoseksual dan transgender dipinggirkan oleh
masyarakat.
Dipilihnya film ini sebagai objek penelitian karena film ini mengangkat
tema tentang homoseksual dan transgender. Saat ini masalah tentang homoseksual
dan transgender masih dianggap tabu oleh beberapa kalangan masyarakat
7
khususnya di Korea Selatan. Menonton film ini adalah salah satu cara untuk
mengetahui kehidupan kaum homoseksual dan transgender di Korea Selatan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Keterpinggiran kaum homoseksual dan transgender dalam film Man on
High Heels (하이힐).
2. Film Man on High Heels (하이힐) sebagai representasi dan kritik terhadap
masyarakat Korea Selatan mengenai kaum homoseksual dan transgender.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu tujuan teoretis dan tujuan
praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui keterpinggiran kaum homoseksual dan transgender
dalam film Man on High Heels (하이힐).
2. Untuk mengetahui representasi dan kritik terhadap masyarakat Korea
Selatan mengenai kaum homoseksual dan transgender yang tercermin
dalam film Man on High Heels (하이힐).
3. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan
pembaca tentang homoseksual dan transgender. Juga untuk memberikan
referensi penelitian sastra Korea dengan menggunakan sosiologi sastra
kepada mahasiswa Program Studi Bahasa Korea.
8
1.4 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) sudah
pernah dilakukan sebelumnya bahkan di Fakultas Ilmu Budaya sendiri telah
banyak dilakukan penelitian tentang LGBT itu sendiri. Di antaranya yaitu
penelitian yang dibuat oleh Rahmatika Titisari (2010) mahasiswi Program Studi
Sastra Jepang dengan judul “Transgender dalam Novel Kicchin Karya Yoshimoto
Banana: Analisis Psikologi Eksistensialisme”. Penelitian tersebut menganalisis
motif tokoh Eriko yang memutuskan menjadi transgender dan problematika yang
timbul
setelah
menjadi
transgender
menggunakan
teori
Psikologi
Eksisitensialisme Victor Frankl.
Penelitian lainnya yang mengambil tema LGBT adalah “Fenomena
Homoseksual dalam Wakashu Kabuki” oleh Reny Hasianny L. T. (2012)
mahasiswi Program Studi Sastra Jepang. Penelitian ini membahas tentang seni
Teater Kabuki. Tetater tersebut banyak menunjukkan unsur “kecantikan” para
pemainnya. Penelitian ini dilakukan menggunakan teori tentang homoseksualitas
terhadap gejala-gejala yang timbul dalam kehidupan para remaja di kelompok
teater ini.
Kemudian didapati juga penelitian Anggie Brosasmita Wibowo (2011)
mahasiswi Program Studi Sastra Perancis dengan judul “Identitas Diri dan
Rekognisi Homoseksual dalam Film „Juste Une Question D‟Amour‟ ”. Teori yang
dipakai dalam penelitian ini adalah Teori Identitas Sosial. Teori ini digunakan
untuk memaparkan lebih jauh faktor yang mendorong kaum homoseksual untuk
9
membangun identitas sosialnya dan reaksi masyarakat atau lingkungan sosial
dalam memandang kaum homoseksual.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah
pada penelitian ini digunakan teori sosiologi sastra. Sudah banyak penelitian yang
menggunakan teori sosiologi sastra, tetapi belum ada yang menganalisis dengan
objek material film Man on High Heels (하이힐). Film Man on High Heels
(하이힐) menceritakan tentang tokoh utama laki-laki bernama Yoon Ji-Wook
yang homoseksual dan berkeinginan untuk menjadi transgender. Yoon Ji-Wook
berusaha untuk menutupi tentang hal tersebut karena ia tahu bahwa homoseksual
dan transgender bukanlah hal yang umum di Korea Selatan. Oleh karena itu,
keadaan homoseksual dan transgender di Korea Selatan yang tercermin dalam
film Man on High Heels (하이힐) ini perlu untuk dianalisis.
1.5 Landasan Teori
Sosiologi sastra adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia
dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencoba
mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung,
dan bagaimana ia tetap ada (Damono, 1984 : 6). Seperti namanya, sosiologi sastra
adalah teori yang memperdalam suatu karya sastra menggunakan ilmu sosiologi.
Menurut Pitrim Sorokin (Soerjono Sukanto, 1969: 24), sosiologi adalah
ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara macam gejala
sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala
10
sosial dengan gejala nonsosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain (Wiyatmi, 2013:
6).
Wellek dan Warren (1993: 111) membuat klasifikasi masalah sosiologi
sastra menjadi tiga yaitu : pertama, sosiologi pengarang yang mempermasalahkan
status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai
penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan karya itu
sendiri, yang menjadi pokok penelaahan adalah yang tersirat dalam karya sastra
dan
yang
menjadi
tujuannya.
Yang
ketiga,
sosiologi
sastra
yang
mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.
Ian Watt mengemukakan bahwa terdapat tiga kecenderungan utama
terhadap karya sastra dalam eseinya yang berjudul “Literature of Society”
(Damono, 1984:3-4). Pertama, konteks sosial pengarang. Dalam hal ini, yang
terutama harus diteliti adalah bagaimana pengarang mendapatkan mata
pencahariannya, profesionalisme dalam kepengarangan, dan masyarakat apa yang
dituju oleh pengarang.
Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat (Damono, 1984:5). Dalam hal ini
hal yang dibahas adalah sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cermin
keadaan masyarakat. Sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan
masyarakat pada waktu ditulis, seorang pengarang sering mempengaruhi
pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, dan genre sastra
sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu.
11
Ketiga, fungsi sosial sastra (Damono, 1984:5). Hal yang dibahas adalah
seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan seberapa jauh nilai
sastra dipengaruhi nilai sosial. Sudut pandang ekstrim kaum Romantik, sastra
bertugas sebagai penghibur belaka, dan sastra harus mengajarkan seseatu dengan
cara menghibur.
Dari ketiga klasifikasi Ian Watt yang telah disebutkan di atas, penelitian
ini akan didasarkan pada teori kedua, yaitu sastra sebagai cermin masyarakat.
Teori sosiologi sastra Ian Watt digunakan untuk menganalisis keadaan
homoseksual dan transgender dalam film Man on High Heels (하이힐).
1.6
Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan
tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2009: 2). Metode pengumpulan data
digunakan untuk menganalisis data yang terdapat dalam objek penilitan. Langkahlangkah metode pengumpulan data sebagai berikut.
Tahap pemilihan data diawali dengan menonton film yang berjudul Man
on High Heels. Selanjutnya menentukan teori sosiologi Ian Watt sebagai teori
yang akan digunakan untuk penelitian ini. Pengumpulan data dilakukan dengan
cara menonton film tersebut kemudian menemukan data-data yang diperlukan
sesuai dengan rumusan masalah teori yang digunakan.
Studi pustaka, yaitu mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari
perpustakaan yang berhubungan dengan penelitian. Sumber kepustakaan
diperoleh dari buku, jurnal, majalah dan hasil-hasil penelitian (skripsi, tugas
12
akhir). Tujuan penelitian kepustakaan adalah membandingkan data-data yang ada
kemudian dihubungkan dengan hipotesis awal. Proses penelitian kualitatif yaitu
pengumpulan data yang dilakukan sesuai dengan rumusan masalah dengan
mengumpulkan data dan menganalisisnya. Penelusuran internet digunakan untuk
mencari dan melengkapi data yang dibutuhkan.
1.7 Sistematika Penyajian
Penelitian ini seluruhnya disajikan dalam empat bab. Bab I merupakan
pendahuluan yaitu sebagai pengantar dari permasalahan yang dibahas dalam
penelitian, latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kajian pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika
penyajian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Bab II adalah bab yang
berisi analisis dari keterpinggiran kaum homoseksual dan transgender dalam film
Man on High Heels (하이힐). Bab tersebut merupakan analisis masalah
berdasarkan teori sosiologi Ian Watt.
Bab III membahas film Man on High Heels (하이힐) sebagai representasi
dan kritik terhadap masyarakat Korea Selatan mengenai keterpinggiran kaum
homoseksual dan transgender di Korea Selatan. Cara masyarakat Korea Selatan
menentang kaum homoseksual dan transgender. Perlakuan yang diterima oleh
kaum homoseksual dan transgender di Korea Selatan. Bab IV berisi tentang
kesimpulan dari hasil analisis pada Bab II dan Bab III.
Download