4 TINJAUAN PUSTAKA Gambaran Umum Ikan Bunglon Batik

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Ikan Bunglon Batik Jepara
Ikan Bunglon Batik Jepara dikenal juga dengan nama dagang Singapore
Shrimp Goby, Pinkspotted Shrimp Goby, Pinkspotted Watchman Goby, Pinkspeckled Prawn Goby, Pink-Speckled Shrimp Goby, Leptocephalus Prawn, pink
and blue goby (LA 2009; MAE 2009; MC 2009).
Taksonomi Ikan Bunglon Batik Jepara berdasarkan Fish Base (2009) adalah
sebagai berikut :
Kelas
:
Actinoptergii
Ordo
:
Perciformes
Famili
:
Gobiidae
Genus
:
Cryptocentrus
Spesies
:
Cryptocentrus leptocephalus
Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan salah satu jenis ikan Watchman Goby
yang memiliki ciri-ciri mata berukuran besar yang terdapat pada bagian
dorsoventral kepala (Fung 2003). Tubuhnya berwarna abu-abu dengan pita
kemerah-merahan. Pada bagian kepala dan sirip terdapat bintik-bintik merah
muda. Selain bintik merah muda, pada bagian kepala juga terdapat bintik biru
yang berukuran lebih kecil (Gambar 1). Ikan dewasa dapat mencapai ukuran 10
cm sampai dengan 15 cm (LA 2009; MAE 2009; MC 2009).
Gambar 1
Ikan Bunglon Batik Jepara (Cryptocentrus leptocephalus) (Sumber :
The Marine Center 2009).
5
Ikan Bunglon Batik Jepara merupakan ikan karnivora. Jenis makanannya
yaitu zooplankton dan invertebrata yang berukuran kecil yang terdapat di dasar
perairan (MAE 2009, MC 2009). Di alam, ikan Bunglon Batik Jepara hidup di
pantai karang yang memiliki dasar perairan berlumpur, perairan pantai yang
ditumbuhi mangrove, perairan tidal daerah batu karang yang bersubstrat pasir dan
di daerah puing-puing (Garilao dan Ortańez 2009). Distribusi geografis
Pinkspotted Shrimp Goby yaitu Samudera India, Samudera Pasifik bagian barat,
Indonesia, Pulau Yaeyama, Australia, Tonga dan New Caledonia (Gambar 2)
(Fish Base 2009; MAE 2009; MC 2009; LA 2009).
Gambar 2 Peta Penyebaran Pinkspotted Shrimp
leptocephalus) (Sumber : Fish Base 2009).
Goby
(Cryptocentrus
Cacing Parasitik
Parasit memegang peranan penting dalam ekologi perairan pantai dan
ekosistem laut khususnya dalam budidaya laut. Beberapa parasit ini dapat
menyebabkan penyakit pada ikan, mempengaruhi kesehatan dan reproduksi,
sehingga ikan mudah dimangsa dan beberapa jenis parasit dapat menginfeksi
manusia (Khalil dan Polling 1997).
6
Ikan merupakan inang cocok bagi beberapa kelompok helminth seperti
Platyhelminthes, Nematoda dan Acanthocephala. Berdasarkan Williams dan Jones
(1994), Kurochkin (1984, 1985) telah mendeskripsikan lebih kurang 30.000 jenis
parasit pada hewan laut.
Ikan goby berperan sebagai inang defenitif, inang antara atau inang
paratenik parasit yang dewasa pada burung, mamalia (termasuk manusia), dan
ikan (Gambar 3) (Kvach 2005). Berdasarkan hasil penelitian, pada ikan Round
Goby ditemukan beberapa jenis parasit di saluran pencernaan, insang, dan kulit.
Jenis-jenis cacing parasitik yang menginfeksi saluran pencernaan antara lain
Acanthocephalus dirus (Camp et al. 1999),
minutes,
Hysterothylacium
aduncum,
Bothriocephalus sp, Dichelyne
Acanthocephalus
lucii,
dan
Pomphorhynchus laevis (Kvach dan Skóra 2006), Acanthacephaloides propinquus
(Kvach 2006). Sedangkan pada insang Round Goby ditemukan adanya infeksi
metaserkaria Cryptocotyle concavum (Kvach dan Skóra 2006).
Gambar 3 Peranan ikan goby dalam sistem parasitik di Teluk Gdańsk (Sumber :
Kvach dan Skóra 2006).
7
Berdasarkan hasil pengamatan Huyse dan Malmberg (2004) bahwa pada
ikan goby dari jenis Pamataschistus microps dan Clupea harengus dari perairan
Belgia, Prancis dan Belanda ditemukan adanya monogenea Gyrodactylus spp.
Umumnya monogenea adalah ektoparasit, namun beberapa monogenea ada yang
dapat
beradaptasi
Pseudempleurosoma,
menjadi
endoparasit
seperti
Neodiplectanotrema,
Diplectanotrema,
Paradiplectanotrema,
Pseudodiplectanotrema, Metadiplectanotrema yang ditemukan pada organ
pharinx dan oesophagus ikan air laut (Santos et al. 2001).
Menurut Williams dan Jones (1994), tingkat prevalensi parasit di perairan
dipengaruhi oleh faktor abiotik (curah hujan, pH dan oksigen terlarut) dan faktor
biotik (makanan dan kepadatan). Sedangkan komposisi jenis fauna cacing yang
menginfeksi ikan sangat tergantung pada kondisi ekologi inang (Kvach 2005).
Sel Darah
Studi hematologi sangat berguna untuk mengetahui keadaan fisiologi hewan
pada lingkungan tertentu. Pemeriksaan darah antara lain meliputi pemeriksaan
terhadap bentuk sel darah dan pemeriksaan rutin yang dilakukan di laboratorium
klinik veteriner. Dengan memilih beberapa macam pemeriksaan rutin tersebut,
dapat digunakan sebagai prosedur “screening”. Disamping itu, pemeriksaan darah
dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran kemampuan tubuh dalam
memerangi penyakit yang diderita, juga dapat merupakan indikator parah tidaknya
keadaan penyakit tertentu, misalnya infeksi dan anemia (Sastradipradja et al.
1989). Studi tentang parameter darah ikan merupakan faktor penting untuk
mengetahui kondisi fisiologi ikan dan sebagai alat untuk mengamati perubahan
sistem pertahan tubuh ikan (Tavares-Dias et al. 2008).
Nomenclature dan prosedur pengamatan hematologi pada ikan belum baku
seperti pada mamalia. Secara umum, nomenclature hematologi pada ikan
mengikuti nomenclature yang digunakan untuk klasifikasi sel darah pada mamalia
(Jenkins 2003). Menurut Lagler et al. (1977), darah ikan tersusun atas cairan
plasma dan sel-sel darah, yang terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih (leukosit) dan keping darah (trombosit).
8
Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), volume darah ikan kecil bila
dibandingkan dengan vertebrata lainnya yakni sekitar 5% dari berat badannya.
Sedangkan menurut Randall (1970), volume darah dalam tubuh ikan teleostei,
holostei dan chandrostei adalah sekitar 3% dari bobot tubuh. Pada ikan
chondrichtyes volume darah yang dimilikinya adalah sekitar 6,6% dari bobot
tubuhnya.
Darah ikan sebagian besar terdiri dari sel-sel darah merah yang jumlahnya
diperkirakan mencapai 4 juta sel/mm3. Sel darah merah ikan memiliki inti sel,
yang ukurannya bervariasi antar spesies. Sel darah merah tersebut banyak
mengandung hemoglobin dan berfungsi membawa oksigen dari insang ke
berbagai jaringan (Moyle dan Cech 1998).
Pada ikan teleostei yang dewasa, darahnya mengandung beberapa persen
sel darah merah yang sedang dalam pertumbuhan disebut dengan proeritrosit atau
retikulosit. Jumlah eritrosit dalam darah ikan beragam dari satu spesies ke spesies
lainnya dan dipengaruhi oleh umur, kondisi lingkungan dan musim. Eritrosit
yang masak kebanyakan terdapat dalam darah perifer. Bentuknya bulat (contoh
pada ikan Clarias batrachus), elipse, tetapi umumnya berbentuk oval. Sitoplasma
sel darah merah ikan teleost berwarna merah-coklat keunguan, merah-coklat cerah
atau merah tua sedikit kebiruan. Eritrosit yang telah masak mengandung banyak
hemoglobin dan jika dibuat preparat dengan pewarnaan Giemsa akan nampak
berwarna merah muda atau kekuningan (Yuwono 2001).
Sel darah merupakan mediator dalam mekanisme pertahan tubuh pada
hewan dan sel darah putih adalah komponen penting dalam sistem pertahan
alamiah dimana sistem pertahan tersebut akan bekerja bila ada stressor (Adam
2002, diacu dalam Jenkins 2003).
Sel darah putih (leukosit) ikan tidak berwarna dan jumlahnya sekitar 20.000150.000 sel/mm3 darah ikan. Berdasarkan ada tidaknya butir-butir (granul) dalam
sitoplasma, leukosit dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu granulosit dan
agranulosit. Granulosit terdiri dari eosinofil (acidofil), neutrofil, dan basofil.
Agranulosit terdiri atas limfosit, monosit dan trombosit (Chinabut et al. 1991).
Menurut Vazquez dan Guerrero (2007), granulosit pada ikan terdiri dari 3 jenis
9
yaitu heterofil, eosinofil dan basofil. Heterofil dan eosinofil merupakan jenis
granulosit yang umum ditemukan, sedangkan basofil jarang terdapat pada ikan.
Migrasi sel leukosit kedalam lesio inflamasi disebabkan oleh adanya
gerakan kemotaksis terhadap mediator kimia yang menyebabkan timbulnya
respon tubuh terhadap irritant (Suzuki 1992). Jumlah dan persentase komposisi
leukosit dalam sirkulasi darah ikan sangat bervariasi tergantung beberapa faktor
seperti musim, jenis kelamin, kondisi organisme, infeksi dan serangan penyakit,
tahapan dari siklus reproduksi (Hamatowska et al. 2002).
Menurut Yuwono (2001), neutrophil merupakan 70% dari seluruh butir-butir
darah putih. Eusinophil dan basofil jumlahnya sedikit. Dalam keadaan terinfeksi
dan alergi jumlah eusinofil dalam darah meningkat. Stres dapat menyebabkan
terjadinya neutrofilia dan lymfopenia pada ikan, namun kadang-kadang hanya
ditemukan lymfopenia (Davis et al. 2008).
Hasil penelitian Suzuki 1(992) , menunjukkan bahwa basofil ikan puffer
akan bermigrasi dengan cepat dalam jumlah besar akibat adanya peradangan.
Basofil berperan dalam peradangan akut dan menghilang setelah 72 jam.
Sedangkan migrasi monosit dan makrofag berperan dalam fase peradangan kronis.
Kondisi Patologis Akibat Infestasi Cacing Parasitik
Menurut Nabib dan Pasaribu (1989), luas permukaan epitel dari insang
dapat menyerupai luas dari total permukaan kulit, bahkan pada sebagian besar
spesies ikan luas permukaan epitel insang jauh melebihi kulit, hingga struktur
insang ini merupakan hal yang penting dalam penyelenggaraan homeostasis
lingkungan dalam dari ikan. Selain berfungsi dalam pertukaran gas, insang juga
berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air, dan pengeluaran limbahlimbah yang mengandung nitrogen. Epitel insang terdiri dari lapisan yang tipis
yang sangat rawan terhadap invasi dari hama-hama penyakit. Kerusakan ringan
pada struktur insang ikan dapat mengganggu pengaturan osmose dan kesulitan
pernafasan.
Bentuk dan panjang saluran pencernaan ikan berbeda-beda tergantung
jenis makanannya (Nabib dan Pasaribu 1989). Umumnya hewan karnivora
merupakan predator (Yuwono 2001). Pada ikan karnivor, lambung berbentuk
10
kantong melengkung, memiliki banyak lipatan pada dinding dalamnya dan
ukurannya berbeda-beda (Nabib dan Pasaribu 1989). Usus hewan karnivora yang
telah memiliki sistem digesti sempurna biasanya pendek dan tidak menggulung
(Yuwono 2001). Usus mempunyai epitel silindris sederhana yang berlendir,
menutupi sub mukosa yang mengandung sel eosinofil dan dibatasi oleh
muscularis mucosa yang rapat dan lapisan fibroelastik (Nabib & Pasaribu 1989).
Jenis parasit yang berbeda dalam kondisi lingkungan yang berbeda akan
menimbulkan dampak yang berbeda terhadap inang. Endoparasit cacing jarang
menyebabkan terjadinya kematian pada inang juvenil maupun dewasa (Overstreet
1993).
Parasit yang terdapat pada ikan jika dalam jumlah sedikit tidak
menyebabkan kerusakan yang berarti. Namun jika terdapat dalam jumlah banyak,
parasit dapat menyebabkan kematian pada ikan. Migrasi parasit dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan mekanik pada jaringan dan juga memicu
terjadinya proliferasi pada jaringan inang (Hoffman 1999).
Berdasarkan hasil penelitian Jithendran et al. (2005), infestasi parasit
monogenea dari family capsalidae di insang ikan kerapu menyebabkan warna
insang pucat, banyaknya produksi mukus, adanya hemoragi. Infestasi cacing pada
insang menyebabkan terjadinya hyperplasia epithel lamella primer, hypertrofi
jaringan ikat, atrofi kapiler insang dan atrofi lamella sekunder ( Stephens et al.
2001).
Menurut Martins et al. (2004), ikan yang terinfeksi nematoda anisakidae
menunjukkan terjadinya perubahan warna insang, ginjal, hati, jantung dan gall
bladder menjadi pucat. Selain itu, ikan yang terinfestasi mengalami perubahan
patologi berupa akumulasi cairan pada rongga tubuh, lambung dan usus.
Meskipun secara umum dampak yang ditimbulkan oleh cacing parasitik nematoda
terhadap hewan laut tidak berbahaya, namum beberapa jenis nematoda sangat
patogenik dan mematikan. Ikan yang terinfestasi parasit menunjukkan perubahan
berupa kurang nafsu makan dan penurunan berat badan (Kapel et al. 2003 diacu
dalam Razi Jalali et al. 2008).
Parasit cacing yang terdapat di dalam gastrointestinal dapat menyebabkan
lesio pada lapisan mukosa, inflamasi dan kongesti kelenjar mukosa, dan hemoragi
11
pada usus yang mengakibatkan terjadinya anemia pada ikan (Roberts 2001).
Selain kerusakan mekanik berupa atrophy dan lesio pada saluran alimentary,
pembuluh darah atau saluran lainnya, parasit juga menghasilkan racun
(endotoxin/exotoxin) yang dapat mempengaruhi darah, enzim, vitamin dan
aktifitas hormonal dari inang (Poynter 1966, diacu dalam Ruhela et al. 2006).
Menurut Russo et al. (2006), patogenesitas setiap agen patogen sangat berkaitan
dengan kemampuannya dalam memproduksi enzim, toksin dan dalam mengatasi
sistem kekebalan inang.
Download