Berguru dari Kesadaran Dini Seorang Anak

advertisement
Berguru dari Kesadaran Dini
Seorang Anak
S
ejenak, dalam kesadaran yang dikumpulkan di waktu-waktu
perenungan, aku merasakan hidup ini bagaikan mimpi karena bisa
sampai pada tahapan sekarang ini. Tapi inilah aku dengan kesadaran
seutuhnya, aku kini dan di sini sebagai seorang ibu sekaligus orang tua yang
diberi kepercayaan oleh Sang Khalik mengasuh dan mendidik anak-anakku.
Keputusan menjalani hidup berkeluarga hingga dikaruniai dua orang anak
lelaki dan perempuan, membuat hidupku bertambah warna-warninya. Dalam
menghayati itu kerap kali jika ada orang menanyakan kabar keberadaan ini
aku menjawabnya dengan kata “bersyukur dalam segala hal...”, suatu upaya
menjadi terang ketimbang mengeluh bahkan mengutuki kegelapan dengan
berbagai macam bentuknya seperti keterbatasan dan ketidaktahuan.
Berawal sejak bertumbuh sebagai
kanak-kanak yang lugu ceria dengan
beberapa benih kemampuan dan ke­
pe­k aan yang mulai terasah. Beranjak
ke masa remaja yang energik, masa
aku mengenal hidup menjadi lebih
kritis melalui Badan Pendidikan Kristen
PENABUR yang aku jalani. Beralih ke
... tiada latihan yang
menyamai kesabaran, karena
tanpa kesabaran semua akan
berhenti dan mati. Kesabaran
bukan berarti kita harus diam
menunggu, kesabaran adalah
latihan membina diri menuju
suatu kesempurnaan.
46
Kepompong di Dahan Penabur
masa pemuda yang dinamis karena aku yang memasuki masa tomboy
memilih terjun dalam pendidikan negeri dengan lingkup yang lebih sekuler.
Berlanjut secara ajaib dapat mengenyam beberapa kesempatan studi baik
formal maupun informal, pengembangan diri, pelayanan serta pekerjaan baik
di dunia penulisan dan pendidikan. Kini aku memasuki masa dewasa muda
dan dikaruniai dua orang anak di usia 35 tahun. Perjalanan hidup dalam
mengumpulkan mutiara makna kehidupan, serta pengalaman membentuk
karakter hidup positif di tiap waktu kehidupan yang dilalui kian terasa gunanya.
Hal itu untuk kepentingan tumbuh kembang anak disesuaikan dengan situasi
dan kondisi tantangan jaman yang terus berubah.
Unik, kesempatan yang pernah aku lalui dalam mendidik, mengajar,
mengasuh anak dalam lembaga pendidikan formal maupun non formal
ternyata bisa dibedakan “sense of belonging-nya” ketika diperhadapkan pada
konteks anak sendiri. Perbedaan itu dapat dirasakan pada waktu dan batasanbatasan yang dapat dilampaui intervensinya ketika mendidik anak sendiri.
Pada anak asuh yang masih memiliki orang tua, waktu perjumpaan terbatasi di
kelas dan di sekolah, batasan itu perlu dihargai keberadaannya sebagai bentuk
hormat dan penghargaan pada “nilai” tatanan dan fungsi sosial yang ada. Peran
orang tua terhadap tumbuh kembang anak semestinya lebih menyeluruh
dibandingkan peran guru yang kuantitas perjumpaannya terbatas di tengah
tanggung jawabnya yang lebih luas.
Jiwa raga ini terasa secara total diberikan dalam mendidik anak sendiri
meninjau adanya keterikatan emosi serta memori sejarah tumbuh kembang
anak sejak di kandungan hingga di usianya terkini. Terlebih ketika aku juga
diberi kesempatan mengasuh sendiri anak-anakku dengan atau tanpa per­
tolongan pengasuh pengganti. Semua perjalanan itu memiliki konteks per­
masalahannya masing-masing yang harus disikapi dengan bijak oleh karakter
dan keputusan yang positif dan efektif. Hal ini berpengaruh dalam membentuk
karakter positif anak.
Pengalaman Mengembangkan Karakter
47
Kadang dalam mengasuh, mendidik bagai terhisap dalam situasi yang
nampak bagai arus. Suka duka dan jerih payahnya hadir dirasakan dalam
perubahan waktu yang tipis dan terbatas. Aku masih berupaya untuk terus
berjaga pada rambu kehidupan yang membuatku tertolong pada terang
kehidupan dan kebijaksanaan. Rambu yang menolong itu adalah Firman
Allah dari dalam Alkitab, dilengkapi buku-buku self help berdasarkan penelitian
terkini yang menjamur di pasaran literatur, berbagai ungkapan kata dan tulisan
kebijaksanaan yang aku temui di manapun, serta dari sikap kesadaran dini se­
orang anak yang menunjukan ragam warna kecerdasannya. Dari sana pula aku
hidup berguru membentuk karakter hidup positif bagi anak.
Keadaan itu menolong aku untuk terus bersabar bersikap mendidik dan
memperbaiki diri sekaligus melakukannya pada anak. Hidup ini tampaknya
memang terus berlatih. Sikap itu menuntunku dalam merealisasikan diri se­
bagai manusia pembelajar sepanjang hayat. Benarlah seperti kata kebijakan
yang aku dapat dari anonim, bahwa tiada latihan yang menyamai kesabaran,
karena tanpa kesabaran semua akan berhenti dan mati. Kesabaran bukan
berarti kita harus diam menunggu, kesabaran adalah latihan membina diri
menuju suatu kesempurnaan.
Suatu ketika Utha anakku menyadarkanku dan suami dengan kata yang
diucapkannya “sudah marahnya?”; “bunda, jangan begitu...” dan beberapa
katanya yang merupakan penghayatannya atas didikanku selama ini. Sejenak
aku terperangah, “bukankah itu karakterku atau karakter suami...?” Tampak
kesadaran dini seorang anak mampu juga mendidik kita untuk terus ada
pada kesadaran hidup. Bahwa akhirnya antara anak dan orang tua dapat
saling membangun terlepas ada duka berbentuk berbagai tantangan yang
adakalanya gagal kita hadapi.
Elvier Christanty
Orang tua Siswa TKK Kota Modern
Download