Tentang Haji Terdapat dua peristiwa penting umat Islam yang terjadi bersamaan setiap tahunnya. Pertama adalah ritual haji yang berlangsung di Arab yang diikuti oleh jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia. Kedua adalah hari raya Idul Adha yang selalu disertai dengan sholat Idul Adha berjamaah dan berkurban dalam bentuk hewan ternak bagi yang mampu. Dalam ajaran setiap aliran agama, ritual yang dijalankan atau seringkali disebut syariat merupakan sistem yang memberikan mengajarkan suatu hakikat yang lebih dalam maknanya. Ritual atau syariat juga dapat diartikan sebuah simbol yang harusnya tidak hanya dimaknai kulit luarnya saja, tetapi seharusnya dikupas secara mendalam sehingga manusia mendapatkan hakikat yang berisi nilai-nilai universal yang sebenarnya terdapat di semua aliran agama. Haji sebagai sebuah syariat atau ritual diartikan sebagai perjalanan menuju bangunan fisik rumah Allah atau Baitullah yang berada di kota Mekkah. Seluruh umat Islam saat ini berlomba-lomba untuk mengumpulkan segala sumber daya, baik uang maupun tenaga, dengan daftar tunggu yang lebih dari sepuluh tahun, bahkan di negara jiran antriannya sudah mencapai lebih dari lima belas tahun sehingga saat ini anak baru lahir sudah didaftarkan untuk berangkat haji ke tanah suci. Haji sebagai suatu syariat memang merupakan ajaran Allah yang disebutkan dalam Surat 2:197, (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantahbantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal. Melakukan haji secara syariat dalam bentuk ziarah tentu tidak ada salahnya, sebagaimana disebutkan dalam Surat 2:158, Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi´ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber´umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa´i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui. Namun, seiring dengan perkembangan yang ada, menjadi pertanyaan, jika Allah mewajibkan haji secara syariat, mengapa Allah mempersulit manusia untuk melakukannya? Jika memang hakikat baitullah atau rumah Allah adalah bangunan fisik yang berada di kota Mekkah, apakah Allah memang berada nun jauh di sana atau dekat. Melalui tulisan ini, saya hendak mengajak rekan-rekan sekalian untuk merenungkannya kembali dengan hati, apakah hakikat ajaran Allah yang sesungguhnya. Haji berarti perjalanan atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai pilgrimage. Sebagaimana sebuah perjalanan, maka ada sesuatu yang dituju. Haji pada hakikatnya adalah perjalanan untuk mengembalikan Sang Diri Sejati atau ruh di dalam diri manusia menuju kepada sumbernya, yaitu Allah Yang Maha Pengasih. Allah Yang Maha Pengasih merupakan sumber keselamatan dan kebahagiaan yang sebenarnya tidak berada jauh di jazirah Arab. Allah Yang Maha Pengasih berada teramat dekat atau dalam bahasa Arab disebut Qarib, sebagaimana disebutkan dalam Surat 2:186, Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. Kedekatan manusia dengan Allahnya bahkan disebutkan bahwa lebih dekat dari urat lehernya, sebagaimana disebutkan dalam Surat 50:16, Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, sehingga Allah menyebutkan bahwa Dia beserta kamu dimana saja kamu berada, sebagaimana disebutkan dalam Surat 57:3-4, Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ´Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. Haji adalah sebuah perjalanan menuju kepada Allah dimana hakikatnya tempat bersemayam Allah tidak jauh di kota Mekkah, Baitullah itu dekat, yaitu berada di dalam hati yang paling dalam yaitu di dalam hati nurani manusia. Marilah kita perhatikan perintah Allah di dalam al Quran yang mewajibkan manusia untuk melakukan haji dalam makna yang sebenarnya. Marilah kita perhatikan Surat 3:96, Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. Marilah kita perhatikan ayat 3:96 diatas. Pertama, disebutkan bahwa rumah yang mula-mula dibangun untuk manusia adalah Baitullah yang di Bakkah. Sengaja saya cantumkan terjemahan resmi agar kita dapat menganalisa beberapa hal yang kurang dimaknai secara hakikat. Jika rumah yang mula-mula dibangun manusia adalah di Bakkah, kita semua tahu bahwa Kabah baru dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, dimana kedua nabi tersebut bukanlah manusia yang pertama, sehingga bangunan fisik yang pertama kali dibangun manusia pastilah bukan Kabah, sehingga rumah yang dimaksud pastilah bukan bangunan fisik. Kedua, tidak pernah dalam bahasa Arab aslinya disebutkan Mekkah, tetapi bahasa aslinya menyebutkan Bakkah, yang berarti yang diberkahi, sehingga hakikat rumah yang dimaksud pastilah tidak dimaksudkan di kota Mekkah. Ketiga, kata rumah yang disebutkan dalam bahasa Arab adalah wudhi’a yang bukan berarti bangunan fisik, tetapi bangunan non-fisik. Kesimpulan ini dikonfirmasi dengan ayat 2:127, Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Allah kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". Dalam ayat ini, dasar-dasar Baitullah disebutkan dengan kata bahasa Arab Qowaida atau juga bisa diartikan sebagai aqaid atau aqidah, yang pasti bukan berarti dasar pondasi bangunan fisik tetapi aqidah berarti dasar hukum. Keempat, banyak yang menyebutkan bahwa Baitullah yang menjadi petunjuk bagi semua manusia itu berarti sebagai kiblat sembahyang, padahal kiblat sembahyang hanya berlaku untuk umat Islam dan bukan umat yang lain, sebagaimana disebutkan bahwa tiap umat mempunyai kiblat sendiri-sendiri, dalam surat 2:148, Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlombalombalah (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sehingga yang dimaksud petunjuk bagi semua manusia pastilah bukan sebagai petunjuk sembahyang. Sehingga hakikat Baitullah itu pastilah bukan merujuk kepada bangunan Baitullah yang berada di dalam Masjidil Haram, tetapi bangunan Baitullah atau tempat bersemayamnya Allah yang berada di dalam hati nurani, yang harusnya dibangun terlebih dahulu oleh manusia, agar hidupnya mendapatkan berkah (atau Bakkah) karena hidupnya selalu diberikan petunjuk melalui kasih dan cahaya Allah di dalam diri. Kemudian marilah kita perhatikan Surat 3:97 diatas. Pertama, ayat ini diawali dengan kata-kata bahasa Arab ”fihi ayatum bayyinaat” yang diartikan padanya terdapat tanda-tanda yang nyata. Penterjemahan ini tidaklah keliru, namun pastilah diambil karena penterjemah menganggap Baitullah yang disebutkan dalam ayat sebelumnya adalah Baitullah berbentuk bangunan fisik. Jika kita telah mengambil makna hakikat yang terdalam bahwa hakikat Baitullah atau tempat bersemayamnya Allah adalah berada di dalam hati nurani dan tidak jauh di kota Mekkah, maka makna ”fihi ayatum bayyinaat” seharusnya diartikan bahwa di dalam atau melalui Allah yang ada di dalam hati nurani manusia ini maka ada ayat-ayat yang bayyinat atau menjelaskan karena Allah di dalam diri yang berwujud ruh itu akan memberikan arahan dan petunjuk keselamatan dan kebahagiaan dalam perjalanan manusia kembali kepada Tuhannya. Kedua, ”di dalamnya ada maqam Ibrahim”. Secara simbol, bangunan maqam bukan berarti kuburan, tetapi tingkatan tertinggi. Di dalam al Quran, Ibrahim disebutkan sebagai suri tauladan (Surat 60:4), imam manusia (Surat 2:124), orang yang shaleh (Surat 2:125), melebihi seluruh umat di masanya masing-masing (Surat 3:33), ajarannya harus diikuti (Surat 3:95), kekasih Tuhan (4:125), imam teladan (16:120). Maqam Ibrahim hakikat bukanlah mengacu kepada tempat fisik maqam Ibrahim yang berada di dalam Masjidil Haram, tetapi merujuk kepada tingkatan Ibrahim sebagai manusia yang paripurna di hadapan Allah yang perlu dijadikan petunjuk. Ketiga, ”barangsiapa memasukinya, menjadi amanlah dia”. Secara simbol, jika diartikan bahwa dengan memasuki bangunan fisik Kabah, maka manusia menjadi aman, maka hanyalah segelintir manusia, misalnya Raja Arab, presiden, pemimpin atau tukang sapu Masjidil Haram yang hidupnya aman di hadapan Allah. Tentu sekali lagi, yang dirujuk Allah bukanlah bangunan fisik, tetapi bangunan non-fisik, yaitu Baitullah yang berada di dalam hati nurani dimana manusia yang selalu dibimbing oleh Allah di dalam hati nuraninya, maka hidupnya akan selalu dilimpahi kebahagiaan karena selalu dibimbing oleh kasih dan cahaya Allah. Keempat, ”hijjul baiti manitato’a ilaihi sabilaa” yang seharusnya diartikan melalui perjalanan kepada Baitullah adalah kewajiban manusia sesuai kesanggupan masing-masing. Lagi-lagi, hakikat Baitullah bukanlah bangunan fisik yang berada di kota Mekkah, tetapi adalah tempat bersemayamnya Tuhan yang berada di dalam hati nurani. Menjadi pertanyaan, mengapa Allah yang katanya dekat di dalam hati nurani manusia lalu masih berjarak sehingga manusia diperintahkan melalukan perjalanan spiritual ke dalam hati nuraninya? Sebaiknya pertanyaan ini saya bahas secara lebih detail di dalam modul yang lain. Kelima, ayat ini ditutup dengan kalimat bahwa melakukan perjalanan ke Baitullah sejati yang berada di dalam hati nurani bukanlah kebutuhan Allah, tetapi kebutuhan manusia. Kesimpulan yang dapat dipetik dari ayat yang mewajibkan haji diatas bahwa hakikat perjalanan haji adalah perjalanan spiritual ke dalam hati nurani menuju tempat bersemayamnya Allah di dalam diri dan perjalanan haji secara syariat menuju kepada bangunan Kabah yang berada di kota Mekkah hanya sebuah simbol yang menceritakan hakikat maksud Allah yang sebenarnya. Perjalanan haji secara syariat adalah simbol yang sempurna atas perjalanan spritual manusia ke dalam hati nuraninya. Pertama, Baitullah fisik berada di dalam sebuah Masjid yang bernama Masjidil Haram, ini melambangkan bahwa tempat bersemayamnya Allah berada di dalam hati manusia yang sudah haraam atau suci dari segala kotoran hati. Segala sifat yang menolak dan menutup diri dari kasih sayang Tuhan, dijauhkan dari Masjidil Haram yang berada di dalam hati nurani, sebagaimana disebutkan dalam Surat 9:28, Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sifa-sifat yang musyrik itu najis, maka janganlah sifat-sifat tersebut mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini. Dan jika kamu khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepadamu dari karunia-Nya. Jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.Hanya di dalam hati yang bersihlah, cahaya Allah akan menyeruak keluar dan membimbing manusia. Kedua, Baitullah fisik dikelilingi manusia melalui ritual thawaf sebanyak tujuh kali dengan berputar melawan arah jarum jam, ini melambangkan bahwa pembersihan hati melawan arah waktu itu perlu dilakukan secara terus menerus, karena tujuh atau sabti atau sabtu atau sabbat juga berarti tak terbatas. Banyak yang belum mengetahui bahwa hakikat thawaf itu adalah pembersihan hati, sebagaimana disebutkan dalam Surat 22:29, Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazarnazar mereka dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah). Pembersihan ini terutama dari sikap yang meolak Tuhan dengan tidak berpasrah kepadaNya, sebagaimana disebutkan dalam Surat 22:26, Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatu pun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku´ dan sujud. Ketiga, maqam Ibrahim di dalam Kabah selain melambangkan hakikat manusia teladan, Ibrahim juga berarti keteguhan hati, sehingga dalam melakukan pembersihan hati, keteguhan sangat diperlukan. Haji secara ritual sebaiknya dimaknai sebagai ziarah dan pelajaran agar manusia mendapatkan hakikat makna haji yang sebenarnya. Menjadi pertanyaan berikutnya, bagaimana cara manusia untuk melakukan hakikat haji yang sebenarnya? Haji yang sebenarnya adalah perjalanan manusia yang tadinya hidupnya berada di luar hati nurani untuk kemudian masuk ke dalam hati nuraninya karena di dalam hati nuranilah bersemayam Dzat Allah yang sejati. Di dalam hati nurani bersemayam percikan Allah yang bernama ruhani atau nurani. Disebut ruhani karena terdiri dari dua kata, ruh yang berarti pengetahuan dan Ani atau Ana yang berarti Aku atau Tuhan itu sendiri. Disebut nurani karena terdiri dari dua kata, nur yang berarti cahaya dan Ani atau Ana yang berarti Aku atau Tuhan itu sendiri. Disebut sebagai cahaya atau seringkali disebut juga sebagai Dzat karena wujudnya non-materi. Sehingga, di dalam hati manusia, sebenarnya bersemayam Tuhan yang berwujud cahaya atau nurani dan berfungsi sebagai ruhani atau pemberi petunjuk. Perjalanan haji hakikatnya adalah perjalanan menuju Tuhan di dalam hati dengan melakukan”sai hakikat” melalui pembersihan hati dengan melakukan ”thawaf hakikat”, untuk menjadikan hati menjadi tempat menyembah Tuhan yang bersih dari segala emosi negatif yang buruk dan rekaman dosa dan kesalahan yang pernah diperbuat sebelumnya atau ”Masjidil Haraam hakikat”, untuk kemudian manusia dapat masuk ke dalam ”Baitullah hakikat” yang berada di dalam diri dan manusia menemukan Ruh Allah yang akan memberikannya petunjuk secara langsung dan membimbing manusia untuk menggapai tujuan hidup sejati, yaitu kembali seutuhnya ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih. Inilah rumah hakikat yang harus mula-mula dibangun oleh seluruh manusia, tanpa mengenal perbedaan syariat, sehingga petunjuk Allah didapatkan dalam menjalani hidupnya. Jika manusia dalam hidupnya telah dapat membersihkan hati nuraninya, masuk ke dalamnya dan menemukan ruhani atau nurani yang merupakan percikan Allah di dalam diri, maka itulah yang disebut haji mabrur yang sesungguhnya. Haji mabrur yang sesungguhnya ditandai dengan sikap hati yang penuh dengan kebahagiaan, kedamaian dan ketenangan. Haji mabrur yang sesungguhnya berarti manusia tersebut telah memerdekakan ruhani dan nurani yang selama ini terkungkung oleh otak dan jiwanya sehingga ruhani dan nurani yang merupakan representasi Allah di dalam diri akan membimbing hidupnya ke arah yang benar, yaitu semakin mengasihi dan mencintai Tuhan, dimana hidupnya bertujuan untuk mengembalikan ruh Tuhan di dalam diri kepada sumber asalnya. Haji mabrur yang sesungguhnya berarti manusia tersebut dapat pasrah total kepada Tuhan yang diawali dengan melepaskan segala hambatan perjalanan dalam bentuk kemelekatan dan kecintaan kepada apapun, termasuk keluarga dan anak yang dicintai, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim, untuk meninggalkan anak dan istrinya di padang tandus atau kepatuhannya untuk mengorbankan anaknya demi mencapai tujuan yaitu mengasihi Tuhan seutuhnya. Haji mabrur yang sesungguhnya bukanlah perjalanan menuju bangunan Kabah di Mekkah dan bukanlah perjalanan yang menunggu lebih dari sepuluh tahun dengan biaya yang mahal, haji mabrur sesungguhnya adalah perjalanan menuju Tuhan sejati di dalam diri dan kemudian penyerahan total agar hidup selalu dibimbing oleh Ruh Tuhan di dalam diri melalui peleburan ego pribadi untuk kemudian pasrah sepenuhnya dan berserah kepada bimbingan dan petunjuk Tuhan tersebut dan menjalankan hidup ini, termasuk menjalankan agama, dengan hati nurani. Selamat menunaikan haji, semoga perjalanannya menuju Baitullah dipenuhi dengan kedamaian, ketenangan dan kebahagiaan. Tentang Qur’an Dalam menjalani kehidupan, Allah telah membekali manusia dengan pedoman yang akan membimbingnya dan mengarahkannya agar hidup ini dapat mencapai tujuan sesuai dengan kehendak Allah. Bekal hidup itulah yang sejatinya perlu diikuti agar hidup tidak hanya selamat dan sejahtera mencapai tujuan, tetapi dalam proses perjalanannya juga penuh dengan kemudahan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Di dalam al Quran, beberapa kali disebutkan bahwa al Quran lah yang menjadi bekal yang diberikan Allah untuk menempuh jalan keselamatan dan kesejahteraan, sebagaimana disebutkan dalam: Surat 45:20, Al Quran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. Surat 3:138, (Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. Lebih lanjut disebutkan bahwa al Quran juga merupakan kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi manusia yang bertakwa, sebagaimana disebutkan dalam: Surat 2:1-2, Alif laam miim. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, Al Quran juga disebutkan sebagai petunjuk yang penuh dengan pelajaran atau hikmat, sebagaimana disebutkan dalam: 31:1-2, Alif Laam Miim. Inilah ayat-ayat Al Quran yang mengandung hikmat, Jika diperhatikan ayat-ayat tersebut diatas, terdapat suatu persamaan bahwa kata al Quran dalam bahasa Arab aslinya selalu disebutkan dengan kata ganti ”ini” atau ”itu” baik dalam bentuk maskulin maupun feminin yaitu dengan kata ”hada” atau ”hadihi” atau ”dzalika” atau ”tilka” atau ”huwa”. Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa wahyu tentulah tidak memiliki kuasa untuk menambah atau mengurangi wahyu yang diterimanya untuk disampaikannya kepada seluruh umat manusia. Ketika Nabi Muhammad SAW bermaksud untuk menjelaskan tentang al Quran, mengapa digunakan kata petunjuk ”ini” atau ”itu”. Lebih lanjut, ketika digunakan kata petunjuk ”ini” atau ”itu” berarti ketika pembicaraan antara Nabi Muhammad SAW dengan para sahabat ketika Al Quran diturunkan, maka Nabi Muhammad SAW sedang menunjuk kepada sesuatu. Sesuatu yang ditunjuk Nabi Muhammad SAW itu tentu bukanlah Al Quran dalam bentuk buku karena al Quran baru dibukukan sekitar lima puluh tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Jika yang ditunjuk ”ini” atau ”itu” bukanlah al Quran dalam bentuk buku, maka pertanyaan berikutnya, apa yang pada waktu itu sedang ditunjuk oleh Nabi Muhammad SAW dengan kata ”hada” atau ”hadihi” atau ”dzalika” atau ”tilka” atau ”huwa”. Ketika ditunjuk sebagai ini atau itu sebagai petunjuk bagi manusia atau al Quran, sebenarnya Nabi Muhammad SAW sedang menunjuk kepada hati yang berada di dalam dada dimana di dalam nya terletak hati nurani dan tempat bersemayamnya Ruh Allah. Al Quran yang merupakan ayatayat yang menjelaskan atau ayatum bayyinat yang sejati sebenarnya adalah ruh Allah yang berada di dalam hati di rongga dada manusia, sebagaimana disebutkan dalam Surat 29:49, Sebenarnya, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zalim.Al Quran yang sejati berada di dalam hati nurani manusia yang diberi ilmu dan hanya manusia yang zalim lah yang akan mengingkari petunjuk hati nuraninya. Zalim disini berasal dari bahasa Arab dzulumaat yang berarti gelap, sehingga manusia yang dalam keadaan gelaplah yang mengingkarinya. Al Quran yang sejati wujudnya adalah ruh Tuhan yang akan menunjuki manusia dalam menjalani kehidupan dan mencapai tujuan hidup sejati sesuai dengan kehendak Tuhan, sebagiamana disebutkan dalam Surat 42:51-52, Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. Di dalam ayat 42:51-52, disebutkan bahwa Allah berkata kepada manusia dengan perantaraan wahyu, dalam hal ini seluruh manusia tidak terbatas hanya kepada para Nabi saja. Lebih lanjut, jika dibaca bahasa Arabnya, sebenarnya kalimatnya berbunyi, ... Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu Ruh dengan perintah Kami... Kalimat aslinya berbunyi Ruh karena memang Allah berbicara kepada setiap manusia melalui wahyu yang disampaikannya melalui Ruh Allah di dalam diri manusia yang seringkali disebut sebagai ruhani atau nurani. Ruh berarti pengetahuan melalui wahyu Tuhan dan Ani berarti Ana atau Aku. Nur berarti cahaya Tuhan dan Ani berarti Ana atau Aku. Ruhani atau pengetahuan Tuhan adalah subtansinya, Nurani atau cahaya Tuhan adalah wujudnya. Melalui ayat-ayat tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa al Quran yang sejati yang merupakan petunjuk bagi seluruh manusia sebenarnya adalah Ruh Allah di dalam diri yang bersemayam di hati nurani manusia dan terletak di rongga dada. Al Quran yang berarti bacaan wujudnya adalah Ruh Allah di dalam hati yang telah dibangkitkan sehingga Ruh tersebut dapat berbicara dan membimbing manusia ke jalan yang lurus, sebagaimana disebutkan dalam Surat 18:1-3, Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Ruh Allah yang berada di dalam hati manusia inilah kitab yang sejati yang harus dibaca, dipahami dan diikuti. Terkadang kita dihadapkan kepada suatu pilihan hidup yang sangat penting dan sulit untuk mengambil keputusan dan kemudian kita berkata, ”... kalau hati nurani saya sih berkata demikian...”, sebenarnya perkataan dan bimbingan yang keluar dari hati nurani itulah bimbingan langsung dari Allah yang harus dibaca, dipahami dan diikuti. Karena bimbingan tersebut harus dibaca, maka disebut sebagai al Quran. Namun sayangnya, kita seringkali tidak membiarkan hati nurani yang membimbing atau jikalaupun membiarkan hati nurani yang membimbing, hanya untuk sesekali saja atau untuk halhal yang kita anggap penting dan tidak untuk semua hal dalam kehidupan. Al Quran sejati di dalam hati nurani manusia ini hanya dapat dibaca dan digali petunjuknya secara langsung untuk manusia-manusia yang hidup Ruh-nya, sebagaimana disebutkan dalam Surat 36:69-70, Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir. Banyak diantara manusia yang tidak dapat berkomunikasi secara langsung dengan Tuhan melalui Ruh di dalam dirinya karena Ruh di dalam dirinya sedang dalam kondisi mati, belum dihidupkan. Marilah kita perhatikan Surat 6:122, Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan. Di dalam ayat ini, yang dimaksud dengan orang yang sudah mati dan dapat berjalan tentu bukan mati fisiknya tetapi mati Ruh Tuhan di dalam dirinya. Setelah kita mengetahui hakikat al Quran yang merupakan Kitab Allah yang berada di dalam dada yaitu di dalam hati nurani yang terdalam, menjadi pertanyaan, lalu apakah hubungan al Quran sejati yang berada di dalam dada dengan al Quran yang berbentuk mushaf atau buku? Dalam pemahaman secara umum, al Quran dalam bentuk mushaf adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir melalui malaikat Jibril. Perlu diketahui bahwa al Quran dalam bentuk mushaf yang kita kenal sekarang ini adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Ruh Allah di dalam hatinya. Segala ucapan beliau adalah bimbingan langsung dari Allah melalui Ruh di dalam dirinya dan bukan dari nafsu dan pikirannya sendiri, sebagaimana disebutkan dalam Surat 53:1-4, Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Perkataan Nabi Muhammad SAW adalah wahyu yang diterima melalui Ruh Allah di dalam dirinya. Menjadi pertanyaan lebih lanjut, lalu posisi malaikat Jibril di dalam proses menurunkan wahyu ada dimana? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya perlu menyampaikan bahwa istilah Jibril berasal dari bahasa Arab Jabarul artinya yang menjabarkan, yang menjelaskan. Jibril adalah fungsi atau kata kerja, sementara wujudnya atau kata bendanya adalah Ruh Allah yang berada di dalam diri. Dalam berbagai ayat al Quran, Jibril disebutkan sebagai Ruhul Quddus atau Ruhu Fiha, dan tidak disebutkan sebagai Jibril. Marilah kita perhatikan ayat al Quran dibawah ini: Surat 97:4, Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril (RUHU FIHA) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Surat 70:4, Malaikat-malaikat dan Jibril (RUHU) naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun. Surat 40:15, (Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya, Yang mempunyai ´Arsy, Yang mengutus Jibril (RUHA) dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat), Surat 26:193, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) Surat 16:102, Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orangorang yang berserah diri (kepada Allah)". Ruhul Quddus, Ruhu Fiha adalah wujudnya sedangkan Jibril adalah fungsinya. Ruh Allah di dalam diri berfungsi untuk menjelaskan wahyu, petunjuk, bimbingan Allah. Sehingga posisi Jibril fungsi dari Ruh Allah di dalam diri untuk menjelaskan, menjabarkan, membimbing manusia dalam membaca petunjuk dan wahyu Allah itu sendiri, sebagaimana disebutkan dalam Surat 24:46, Sesungguhnya Kami telah menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan. Dan Allah memimpin siapa yang dikehendakiNya kepada jalan yang lurus. Lebih lanjut, marilah juga kita perhatikan Surat 75:16-19, Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya. Ruh Allah ini merupakan utusan Allah yang berada di setiap hati nurani manusia, tidak terkecuali, sebagaimana disebutkan di dalam Surat 49:7, Dan ketahuilah olehmu bahwa di dalam dirimu kamu ada rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus. Sebenarnya al Quran sejati atau Ruh Allah tidak hanya dimiliki oleh manusia, tetapi oleh setiap makhluk Allah di setiap dimensi alam, karena Ruh Allah ini adalah pedoman bagi setiap makhluk di setiap dimensi alam, sebagaimana disebutkan dalam: Surat 38:87, (Al Quran) ini tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Surat 81:27, (Al Qur'an) itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, Surat 68:52, Dan (Al Quran) itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh alam. Sebagai contoh, di dalam al Quran disebutkan bahkan lebah pun menerima wahyu melalui Ruh Allah di dalam dirinya, sebagaiman disebutkan dalam Surat 16:68, Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempattempat yang dibikin manusia",. Al Quran dalam bentuk mushaf sejatinya adalah berfungsi sebagai konfirmasi atas al Quran sejati yang wujudnya adalah Ruh Allah di dalam hati nurani manusia. Al Quran sejati dalam bentuk Ruh Allah berfungsi sebagai Jibril yang akan menjabarkan hakikat sebenarnya dari al Quran berbentuk mushaf. Sehingga tanpa al Quran sejati yaitu Ruh Allah yang hidup dan berbicara, kita pasti akan mengalami kesulitan untuk mengambil makna yang sebenarnya dari al Quran dalam bentuk mushaf dan akan terjadi banyak perbedaan pendapat antara tafsir dan ulama-ulama. Terjadinya perbedaan penafsiran dan pendapat itu karena di dalam membaca al Quran mushaf tidak menggunakan Ruh Allah di dalam diri yang berfungsi sebagai Jibril tetapi menggunakan akal pikiran, dasar keilmuan, pengetahuan tentang bahasa Arab dan bahkan seringkali nafsu. Jika al Quran mushaf dipahami dengan mempergunakan al Quran sejati, maka tidak akan timbul perbedaan penafsiran, karena hakikat pemahamannya bersumber kepada sumber yang satu, Ruh Allah SWT sebagai ahsanal tafsiran atau penjelasan yang terbaik dan paripurna, sebagaimana disebutkan dalam Surat 25:32-33, Berkatalah orang-orang yang kafir: "Mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?", demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar). Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya (ahsanal tafsiraan). Al Quran sejati yaitu Ruh Allah di dalam hati nurani inilah yang merupakan petunjuk yang sempurna dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam Surat 14:52, (Al Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. Al Quran sejati yang berwujud Ruh Allah di dalam hati inilah kitab yang tidak akan pernah lapuk oleh cuaca, tidak akan pernah basah oleh hujan, tidak akan pernah kering oleh angin dan tidak pernah akan lekang oleh waktu. Membaca al Quran di luar diri seyogyanya menggunakan al Quran di dalam diri sehingga makna dan hakikat sebenarnya dari ayat yang tertulis di dalam mushaf akan dijelaskan dengan ayat-ayat yang menjelaskan melalui Ruh Allah di dalam hati nurani kita masing-masing.