hibrida lokal-global pada politik komodifikasi

advertisement
HIBRIDA LOKAL-GLOBAL PADA POLITIK
KOMODIFIKASI BUDAYA SERENTAUN
REKONSTRUKTIF, UPACARA TAHUNAN
MASYARAKAT SUNDA, DI SINDANGBARANG
KABUPATEN BOGOR
Tesis
Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister
Humaniora Pada Program Studi Ilmu Susastra Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya
Dina Amalia Susamto
NPM: 0606012876
Program Studi Ilmu Susastra
Program Pascasarjana
Departemen Ilmu Susastra
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Depok
2008
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Jika tidak ada tempat meruang
Untuk kita merasa sungguh pulang
Tapi di sini
Rumah kita
Nyata atau maya
(Untukmu Indonesia, Mei 2008)
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Kata Pengantar
Ketika kita menikmati suatu budaya yang berbeda dengan milik kita
dalam kesempatan pariwisata, tanpa sadar dengan ketakjuban kita
menginternalisasi kata ini “asli”, “eksotik” atau “unik”.
sudah
Dalam ruang
perdebatan dengan teman yang sama-sama menikmati pariwisata budaya tanpa
sadar pula akan keluar kata yang membandingkan daerah mana yang
mempunyai budaya apa lebih asli atau eksotik dari aneka ragam budaya yang
telah dilihat.
Berangkat dari debat kusir tersebut penulis tertarik untuk meneliti
masalah penjualan budaya dalam pariwisata untuk membuktikan bahwa
memuja keaslian lokalitas budaya pada era Posmodernisme menjadi
permasalahan yang mengganggu dinamika hubungan subjek-subjek budaya.
Keaslian, keunikan, keeksotikan merupakan konstruksi yang dibuat oleh
pemilik modal yang menjadikan budaya sebagai aset perdagangan. Jika
masyarakat pemilik budaya memperoleh tingkat kesejahetraan yang lebih baik
dari hasil komodifikasi tersebut, kedatangan pemilik modal melalui korporasikorporasi besar dunia ke ranah-ranah lokal tidak menjadi persoalan. Akan tetapi
kenyataanya praktik penjualan budaya lewat pembangunan pariwisata yang
mempertemukan lokal-global, ruang ketiga yang dibangunnya lebih cenderung
pada keuntungan satu pihak yang memiliki modal.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
iii
Dalam pembuatan tesis yang menggairahkan ini, penulis tidak akan
berhasil tanpa adanya kasih dan cinta Allah swt. Ia yang menganugrahi
semangat tanpa mati, memberikan kesehatan ketika menjalani satu fase akhir
dari perjalanan kuliah di Universitas Indonesia, untuk itu penulis haturkan sujud
sedalam-dalamnya meskipun ini tidak sebanding dengan semua yang telah Ia
berikan.
Rasa sayang sepenuh jiwa kepada ayahanda (alm) yang telah
meninggalkan jejak pengetahuan dan keingintahuan, menyulut semangat belajar
tak pernah padam. Kepada beliau tesis ini penulis dedikasikan. Terima kasih
juga pada ibunda tercinta, segala-galanya yang telah kau berikan. Tanpa doa
restumu, tak akan ada semua ini. Tanpa pengorbananmu yang tak putus-putus,
aku bukan siapa-siapa dan tidak akan menjadi apa-apa. Setelah ini kupenuhi
janjiku padamu, pada Allah, pada alam, untuk memberikan bakti terbaik.
Rasa kasih sebesar-besarnya pada adik-adikku, terutama Akhmad Akbar
Susamto yang telah memberi kesempatan berada di sini, menghasilkan
penelitian ini, menggunakan laptop ini. Pengorbananmu siang-malam di negeri
yang jauh itu tidak akan pernah menjadi sia-sia. Rasa kasih-sayang juga untuk
Titis dan Arwa. Terima kasih atas pengorbanan kalian. Kepada Burhanuddin
Susamto, Anisah Noor Susamto, Abdul Qodri Susamto, terima kasih untuk
doanya, untuk diskusi kita pada pertemuan yang langka tapi manis. Kita jauh
tapi tidak akan pernah jauh.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
iv
Ucapan terima kasih juga ditujukan pada Ibu Reni Winata yang telah
memberikan inspirasi dalam ruang kuliah, memberikan perhatian dan
pengetahuan, terima kasih atas diskusi-diskusi yang menyenangkan.Terima
kasih pada Bapak Agus Aris Munandar yang telah banyak memberikan waktu
untuk mengoreksi sedetail-detailnya naskah tesis, memberikan perhatian dan
semangat menyelesaikan studi secepatnya, memberikan inspirasi pengetahuan
lokal dan mengajak melihat masa lalu sejarah lewat perjalanan mendaki bukitbukit di Sindangbarang. Terima kasih pada ibu Risa Permana Deli, Melani
Budianta, Lilawati Kurnia, Djuneidi, Seno Gumira, Aimee Dawis, yang telah
memperkenalkan Cultural Studies, membawa pada petualangan melintas batas
budaya dan disiplin ilmu. Terima kasih kepada Mas Yohanes atas petualangan
mewawancara, mempelajari etnografi di Glodok, juga pada Mas Hilmar Farid
atas kesempatan berdiskusi tentang poskolonial di awal penulisan tesis.Terima
kasih pada Mba Nur, Mba Rita, Mas Nanang, Mbak Warni dan semuanya atas
kesabaran menjawab tanya.
Ucapan terima kasih untuk teman-teman seperjalanan di Sindangbarang.
Pada Bapak Maki Sumawijaya atas kesempatan meneliti di Kampung Budaya
Sindangbarang, Bapak Anis Djatisunda, Kang Mumu atas buku kebudayaan
Sunda, pada Mas Didit, pada Bapak Iskandar dan Inotji tentang sejarah Bogor,
Pak Ukat dan Pak Yadi yang sering saya repotkan, Kang Hendra, Agni
Malagina, Mufti-che. Tak lupa terima kasih untuk Ochid yang membawaku ke
Sindangbarang. Dan ucapan terima kasih secara khusus pada masyarakat
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
v
Sindangbarang yang telah menginspirasi penelitian ini dan meluangkan waktu
untuk membantu penelitian.
Kepada teman-teman tercinta di LSPM, Evi, Risna, Yati dan Mbak
Widja, Bu Prima dan Pak Sunaryo, kita akan bertemu lagi mewujudkan mimpimimpi kita. Terima kasih atas perhatian dan seluruh masukan-masukannya,
terima kasih atas kesempatan mencipta ruang bagi kita berbagi kegelisahan.
“Risna, terimakasih atas koreksi-koreksimu, kesediaan meluangkan waktu
mencari data di awal penjelajahan etnografi, dan mendengarkan curhat berjamjam.” Terima kasih juga pada teman-teman satu atap di Wisma Panca. Sarinah
Lubis, Ochid, Yati, Mba Layli, Anggi, Mba Susti, Ninok, Kunta, Lala, dan
teman-teman arkeologi, Tanti, Deasy, Margi, Sondang,
semua yang setia
merawatku ketika jatuh sakit. Terima kasih kalian telah memberikan ruang
kekeluargaan yang hangat untuk berbagi di tempat perantauan. “Terima kasih
Sarinah, kau menggantikan ibuku dan seakan perawat pribadi saat aku sakit.”
Kepada teman-teman di Cak Tarno Institut, Cak Tarno yang rela buku-bukunya
dihutang dulu, Bang Daniel yang sudah membaca akhir naskah tesis, dan
bersedia dipinjami buku-buku saat ada tugas kuliah Nasionalisme, dan Budaya
Politik. Kepada Bang Deni, Pak Sigit, Bang Fahmi, Bang Doel, Bang Pian, Ali,
Surya, Faidzin, Pak Kun, Bu Titi, Asep, Irham dan semuanya, terima kasih atas
masukan-masukan tesis ini, atas perhatian dan hiburan-hiburannya saat aku
hampir putus asa. Kepada teman-teman Beranda Buku di Bandung yang lama
kutinggalkan. Ayuk, terima kasih telah mendengar curhat. Afit yang juga sudah
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
vi
pergi jauh untuk memuaskan kebutuhan intelektual, Lia yang setia menemani di
Jakarta, Nita, Trie, Danang, Nia. Teman-teman Murba Bandung yang selalu
kuingat, Rudi dan keluarga, Bambang dan Keluarga, terima kasih motivasi dan
buku-bukunya, juga diskusi di Rampai tentang Islam dan Keindonesiaan.
Mimin-Hilfan dan keluarga, Pray-Sinta dan keluarga, Astri Sang Pejuang,
Beina, Yogi, terima kasih semuanya atas motivasi yang kalian berikan dulu
hingga mengantarku sampai Depok.
Kepada teman-teman satu angkatan di Fakultas Ilmu Budaya, Ria yang
dermawan, Mbak Dian yang suka mentraktir, Dian, kita sudah sama-sama jatuh
bangun apalagi sejak seminar, Bram, Lina, Dika. Yulius, Pak Susilo, Erik dan
seluruh gank filsafat, Rina, Natal, Susi, Wiwin, dan seluruh teman-teman di
linguistik. Terima kasih untuk teman-teman satu kelas di Cultural Studies,
Hana, Come, Gita, Mita dan Marda. Kita akan mengingat ruang-ruang kelas,
teori, Glodok, kansas, perpustakaan selamanya.
Kukusan Depok, 25 Juni 2008
Dina Amalia Susamto
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
vii
Daftar Isi
Abstrak…………………………………………………………………………i
Abstract………………………………………………………………………...ii
Kata Pengantar………………………………………………………………...iii
Daftar Isi……………………………………………………………………...viii
Daftar Tabel…………………………………………………………………. . xi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah……………………………………………………1
1.2. Landasan Teori…………………………………………………………….13
1.2.1. Perbaikan TerhadapTeori Keberagaman Budaya...................................13
1.2.2..Hibriditas Sebagai Ruang Ketiga/Keantaraan…………………………14
1.2.2.1. Hibriditas dalam Konteks Otoritas Negara Penjajah-Negara
Jajahan..............................................................................................14
1.2.2.2.Hibriditas dalam Konteks Partikular-General Pada Era
Globalisasi.........................................................................................16
1.3. Perumusan Masalah………………………………………………………..18
1.4. Tujuan Penelitian…………………………………………………………..19
1.5. Metodologi Penelitian……………………………………………………...19
1.6. Sistematika Penyajian……………………………………………………....21
BAB II. KONTEKS SOSIAL SERENTAUN
2.1. Serentaun Tradisionl Pada Masyarakat Agraris...........................................25
2.1.1. Sistem Upacara........................................................................................26
2.1.2. Sistem Mata Pencaharian.........................................................................28
2.2. Serentaun Rekonstruktif Pada Masyrakat Transisi Sindangbarang.............. 29
2.2.1. Sistem Upacara....................................................................................... 30
2.2.2. Mata Pencaharian Sehari-hari..................................................................34
2.2.3. Sistem Keorganisasian Masyarakat.........................................................40
2.2.3.1.Sistem Keorganisasian Masyarakat Desa...........................................41
2.2.3.2.Sistem Keorganisasian Berdasarkan Rekonstruksi Tradisi…………41
2.2.4. Bahasa Sehari-hari……………………………………………………..42
2.2.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Komodifikasi Serentaun
Rekonstruktif…………………………………………………………...43
2.3. Serentaun Rekonstruktif Dalam Industri Pariwisata……………………….48
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
viii
2.3.1. Industri Pariswisata Daerah…………………………………………… 48
2.3.2. Industri Pariwisata Nasional…………………………………………....49
2.3.3. Industri Pariwisata Global……………………………………………...51
BAB III. SEJARAH SERENTAUN REKONSTRUKTIF DALAM SINKRETIK
AGAMA-AGAMA
3.1. Sinkretik Agama-Agama Sunda Wiwitan dan HinduBuddha......................................................................................................54
3.1.1. Konsep Agama Sunda Wiwitan............................................................55
3.1.2. Konsep Agama Hindu-Buddha.............................................................59
3.1.3. Simbol Sri/Pohaci Sang Hyang Sri dalam Hibridisasi Agama
Sunda Wiwitan dan Hindu-Buddha....................................................67
3.2. Sinkretisasi Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam..............................69
3.2.1. Konsep Islam Pengaruh dari Kasunan Gunung Jati Cirebon................70
3.2.2. Sri dan Muhammad Simbol Penyatuan dalam Sinkretisasi Agama
Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam.........................................75
BAB 1V. HIBRIDA LOKAL-GLOBAL PADA POLITIK KOMODIFIKASI
BUDAYA SERENTAUN REKONSTRUKTIF, UPACARA TAHUNAN
MASYARAKAT SUNDA, DI SINDANGBARANG KABUPATEN BOGOR
4.1.Kontestasi elit Lokal dalam Serentaun Rekonstruktif....................................80
4.1.1. Kontestasi Elit Tradisi dan Elit Pembaharu..............................................81
4.1.2. Kontestasi Elit Agama Islam Pembaharu dan Elit Agama
Pro-Tradisi................................................................................................ 82
4..1.3. Serentaun Rekonstruktif Menuju Global dalam Kooptasi Elit
Pemerintah Daerah Pada Pembangunan Pariwisata................................. 84
4.2. Hibrida Lokal-Global Serentaun Rekonstruktif Pada Industri
Pariwisata Global......................................................................................... .85
4.2.1. Teknologi Internet Menjembatani Lokal-Global....................................85
4.2.2. Politik Global dalam Serentaun Rekonstruktif Melalui
Transnasionalisasi Modal……………………………………………....87
4.2.3. Politik Lokalitas Menghadapi Globalisasi............................................ ..91
4.2.4. Kecenderungan dalam Tarik-Menarik Hibrida Lokal-Global.................98
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
ix
Bab V. Kesimpulan.............................................................................................108
Daftar Pustaka.....................................................................................................113
Lampiran
1.
2.
3.
4.
Peta Kabupaten Bogor
Peta Kecamatan Taman Sari
Survey Informasi
Foto-Foto Serentaun Rekonstruktif
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
x
Daftar Tabel
Tabel 1.............................................................................................34
Tabel 2.............................................................................................35
Tabel 3.............................................................................................36
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
xi
Abstrak
Serentaun Rekonstruktif merupakan upacara seremonial tahunan masyarakat Sunda
di Sindangbarang, Kabupaten Bogor. Upacara ini berasal kebudayaan masyarakat
agraris, yang direvitalisasi untuk dikomodifikasikan dalam pembangunan pariwisata
budaya.
Persoalannya adalah Serentaun Rekonstruktif tidak benar-benar budaya lokal. Politik
komodifikasi budaya dalam ruang global telah menghibridakan lokal-global,
sehingga merusak otoritas kemurnian keduanya. Lokal yang terikat lokalitas
geografis yang sempit dan kesakralan tradisi menjadi lokalitas imajiner dalam ruang
global melalui teknologi informasi. Global yang menguniversalkan semua menjadi
produk di bawah pasar modal menjadi ruang global yang dimanfaatkan untuk
merepresentasikan identitas budaya Sunda. Ruang ketiga lokal-global menghasilkan
hubungan tarik menarik yang akhirnya cenderung pada keuntungan pihak yang
mempunyai modal.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa Serentaun Rekonstruktif yang
menghibridakan budaya lokal-global telah merusak otoritas kemurnian lokal dan
global yang universal di bawah modal. Penelitian ini juga membuktikan bahwa
gerakan politik ekonomi yang mengkomodifikasi budaya tradisional di ranah lokal
dalam ruang kapitalisme global menguntungkan pihak transnasional yang memiliki
korporasi modal.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menggali upacara Serentaun
yang telah masuk dalam pasar pariwisata dan hubungannya dengan subjek budaya,
sebab penggalian mendalam melihat permasalahan sebagai sesuatu yang lebih
kompleks. Hasil akhir penelitian ini membuktikan bahwa hibrida lokal-global telah
meruntuhkan lokal-global menjadi tidak kedua-duanya. Ruang ketiga dalam relasi
kuasa lokal-global menghadirkan tegangan yang tarik-menarik untuk menjadi
dominan. Dalam relasi kuasa tersebut pemerintah nasional dan daerah cenderung
memberi kesempatan pada korporasi modal transnasional untuk mendapatkan
keuntungan.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
i
Abstract
Reconstructive Serentaun is a yearly ritual ceremony of Sundanese society in
Sindangbarang , Bogor. This ceremony is rooted from the society agrarian culture
which revitalized to be comodified in line with the development of cultural tourism.
The problem is that Reconstructive Serentaun is not authentic local culture. The
politic of cultural comodification in the global space has mixed local-global, as result
it deconstructed the authority of them. The local that bound in particular narrow
geographic, bound the sacred, becomes imaginary local in the global space through
information technology. The global that universalizing all in the name of market
capital become global that is used by sundanesse Serentaun culture represents its
identity. The third space from local-global causes the tension that finally tend to
benefit the capital corporation side.
This study aims to prove that Reconstructive Serentaun that hybrid local -global
culture has deconstructed the authority of authentic local and universalized global
through capital. To prove that economic political movement that comodify traditional
cultural in the local area in global capitalism benefit the side whose transnational
capital corporation.
This study uses qualitative method to dig into the ceremony of Serentaun which has
entered into the tourism market and the relation with cultural subject. This is done
because deep inquiry could see a problem as something from a more complex side.
The result of the study shows that hybrid local-global has deconstructed where local
and global don’t become either local or global. The third space is in the tension to
contest who becomes the dominant. In the power relation local-global, the national
and region government tend to give more chance to transnational capital dominating
the beneficial local-global.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kebudayaan dalam terminologi Raymond William dalam Barker (2000:
15) adalah segala aktivitas sehari-hari manusia. Budaya lokal merupakan budaya
yang dimiliki masyarakat tradisional yang terikat dalam batas-batas geografis.
Serentaun merupakan upacara masyarakat yang biasanya diselenggarakan oleh
masyarakat berbasis agraris. Masyarakat lokal di Sunda lebih mengenal budaya
pertanian dengan sistem pertanian ladang berpindah.
Menurut Tiwi Purwitasari, Serentaun berasal dari kata seren dan taun
yang berarti menyerahkan hasil bumi setiap habis panen dalam kurun waktu satu
tahun. Padi tersebut diserahkan untuk selanjutnya digunakan kembali bagi
kepentingan rakyat baik dalam bentuk bibit atau padi yang dimakan
bersama.(Purwitasari, 2000:164). Sedangkan Anis Djatsunda (2007) menjelaskan,
Serentaun merupakan ekspresi rasa terima kasih yang ditujukan pada Tuhan Sang
Hyang Tunggal yang diadakan pada tutup tahun dan menjelang tahun baru agar
kehidupan bertambah baik. Upacara ini mengagungkan Dewi Sri atau Pohaci
Sanghyang Asri dan Sang Patanjala atau Dewa kemakmuran. Dewi Sri adalah
Dewi Kesuburan yang juga disebut Dewi Ibu atau dewi yang mengurusi
kesuburan bumi. Dewa Kuvera1 atau dewa kemakmuran merupakan penjaga mata
1
Munandar ( 2007: 43 ) mengatakan bahwa terdapat kesamaan antara kosmologi masyarakat
Sunda zaman Pakwan Pajajaran di Bogor dengan kosmologi dari India. Gunung Salak dijadikan
titik pusat alam semesta seperti halnya Gunung Mahameru di India. Gunung Salak diapresiasi
sesuai dengan ajaran agama dari India di tatar Sunda. Dalam kosmologinya, Gunung Salak dijaga
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
1
angin arah Utara. Dalam agama Sunda Wiwitan2, kedudukannya berada di bawah
Sang Hyang Tunggal.
Serentaun telah ada sejak zaman kerajaan Pra-Islam yang diduga sebagai
pengaruh masa Pakwan Pajajaran. Sumber-sumber lisan seperti pantun Bogor
menggambarkan keberadaan upacara tersebut dengan nama Kuverabakti. “Masih
mending waktu Pajajaran/ Ketika masih ada Kuwerabakti/ ketika guru bumi
dipuja-puja/ ketika lumbung umum isinya melimpah ruah.....” (Pantun Bogor:
Kujang di Hanjuang Siang, Sutaarga 1984: 47 dalam Adimihardja 1992).
Serentaun banyak menggunakan simbol dan peralatan dalam tata cara
pelaksanaannya diantaranya adalah padi yang dianggap Sri dan Kuvera, air, dan
lumbung. Baik pada masa Kerajaan Pakwan Pajajaran yang beragama HinduBuddha-Sunda Wiwitan,3 maupun masa setelah pengaruh agama Islam masuk.4
Simbol-simbol Serentaun dalam perkembangannya pada dua masa tersebut
mengalami perubahan-perubahan seiring dengan masuknya agama-agama baru.
Di daerah Sindangbarang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari,
oleh Astadipalaka di delapan penjuru mata angin sebagai berikut: Penjaga arah Utara, Dewa
Kuvera. Timur Laut, Dewa Isyana, arah Timur, Dewa Indra, arah Tenggara, Agni, arah Selatan,
Dewa Yama, arah Barat Daya, Nirtti, Arah Barat, Varuna, arah Barat Laut, Dewa Vayu.
2
Anis Djatisunda mengatakan ajaran-ajaran agama Sunda Pajajaran ditulis pada kitab suci
Sambawa Sambada Winasa oleh Prabu Resi Wisnu Brata atau Rakean Darmasiksa Prabu
Sanghyang Wisnu (1175-1297 M). Pantun Bogor episode “Tunggul Kawung Bijil Sirung”
menceritakan seorang tokoh yang menyandang julukan “Mundi ing Laya Hadi Kusumah” setelah
mendapatkan Layang Salaka Domas, dari Jagat Jabaning Langit”.
3
Lihat Kartodirdjo dkk. ( 1975: 242 )
4
Lihat Adimihardja 1992: 14-51, hubungan antara masyarakat Sindangbarang dan msyarakat
seputar kasepuhan Halimun masih sekerabat. Pada masa ketika Pakwan Pajaran diserang oleh
Banten yang beragama Islam masyarakat Sindangbarang melarikan diri ke Kebantenan Selatan
atau daerah yang menjadi wilayah Sukabumi sekarang. Wilayah tersebut menjadi daerah
kasepuhan di sekitar kompleks Gunung Halimun yang masih menerapkan adat-istiadat leluhur
zaman Pakwan Pajajaran. Daerah di sekitar kasepuhan ini kemudian yang diacu dalam pendirian
Kampung Budaya Sindangbarang termasuk dalam tata cara Seren Taun Kontemporer.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
2
Kabupaten Bogor, upacara dengan nama Serentaun mulai kembali diadakan
secara serempak pada tahun 2005. Penyelenggaraannya merupakan bagian dari
upaya revitalisasi budaya Sunda Bogor yang diprakarsai oleh Padepokan Giri
Sunda Pura
Sindangbarang. Sebelumnya, sejak tahun 1980-an, Serentaun di
daerah ini diadakan sendiri-sendiri oleh masyarakat yang masih mempercayainya.
karena perbedaan cara pandang, dan
perbedaan ini masih muncul dalam
perhelatan Serentaun pada tahun 2005 tersebut antara berbagai elit agama dan
tradisi.
Budaya yang direvitalisasi, menurut Hommi Bhabha (dalam Ashcroft dkk,
1995) merupakan wilayah yang superfisial dalam arti tidak lagi sepenuhnya
sakral.
Menjadikan
Serentaun,
upacara
tahunan
masyarakat
Sunda
di
Sindangbarang--selanjutnya akan disebut Serentaun Rekonstruktif--, sebagai
subjek penelitian adalah sesuatu yang menarik. Serentaun Rekonstruktif
merupakan penyusunan ulang upacara Serentaun yang dulu pernah menjadi tradisi
masyarakat berbasis agraris dan kini digunakan untuk kebutuhan industri
pariwisata dengan beberapa perubahan.
Agaknya penyelenggaraan upacara tersebut tidak saja merupakan suatu
upaya penggalian budaya lokal atas ekspresi berbudaya masyarakat setempat yang
pernah menjalani kehidupan berbasiskan pertanian dengan melihat hubungan
kuasa agama-masyarakat pemilik budaya . Fenomena ini juga merupakan bentuk
komodifikasi, yaitu proses yang berhubungan dengan kapitalisme-yang menurut
Karl Marx (dalam Barker 2000:13) merupakan premis cara berproduksi yang alatalat produksinya dimiliki oleh swasta. Budaya sebagai komoditi adalah suatu
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
3
upaya penjualan budaya dalam pasar dengan tujuan pariwisata yang mempunyai
hubungan oposisi biner kuasa kapitalisme-budaya. Penetrasi kapital yang dikuasai
oleh pemilik modal dalam era globalisasi menurut Bhabha (dalam Mitchell, 1995)
didominasi oleh orientasi pasar negara-negara Barat. Ketika hubungan budaya
berhadapan dengan keadaan yang dapat dikonsumsi publik lewat pasar, posisi
politik dan etis terlihat lebih cepat hilang dan tak terprediksi dibanding
sebelumnya.
Dominasi pasar modal pada budaya menurut Bhabha merupakan bentuk
imprealisme budaya baru yang menggantikan pola penjajahan lama.5 Dominasi
pasar modal pada era globalisasi 6dengan memanfaatkan liberalisasi budaya lokal
pada pembangunan sektor pariwisata menghomogenisasi perbedaan budaya
masyarakat lokal di berbagai wilayah di bawah arus pasar.
Pariwisata satu sisi mengangkat identitas budaya lokal ke tingkat global,
menjadi motif pelestarian nilai-nilai lokal. Pelestarian ini bagian dari politik
lokalitas yang dalam Serentaun rekonstruktif diprakarsai oleh elit tradisi. Di sisi
lain, kuasa kapital menginginkan suatu keuntungan finansial yang ditawarkan
pada pemerintah-pemerintah daerah, seperti keuntungan yang didapat pada masa
5
Bhabha dalam Mitchell (1995) menyebut imprealisme baru bagi negara-negara dunia pertama
yang menghegemoni pasar. Sedangkan Barker (2000: 116) membedakan penjajahan dengan istilah
kolonialisme dan imprealisme sama seperti kalangan Poskolonial membedakan dua istilah
tersebut. Kolonialisme merupakan ekspansi dengan menguasai tanah-tanah jajahan dengan kontrol
militer dan ekonomi secara langsung. Sedangkan imprealisme menurut Barker yang merujuk pada
pendapat Giddens merupakan fase globalisasi yang melibatkan pemeriksaan negara-negara Barat
pada negara-negara lain.
6
Barker (2000: 111) mengutip Robetson bahwa globalisasi merujuk pada konsep pemampatan
dunia dan kesadaran kita tentang dunia secara intensif, termasuk meningkatnya keterikatan
hubungan global dan pemahaman pada hubungan tersebut. Pemampatan dunia ini dapat dipahami
dalam terminologi institusi modern ketika kesadaran refleksif atas intensifikasi tersebut dalam
istilah budaya diterima secara menguntungkan.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
4
pemerintahan Orde Baru yang pada tahun 1990-an mengalami booming (Dahles
2001: 27) dengan programnya bernama Visit Indonesian Year, dan pemberi dana
pariwisata tersebut yaitu negara-negara asing yang masuk melalui penanaman
modal asing.
Kedua aspeknya baik penggalian budaya lokal yang terikat lokalitas
geografis dan industri pariwisata pada era global masing-masing menjadi
persoalan yang saling terkait yang dalam sudut pandang Bhabha disebut sebagai
ruang ketiga atau keantaraan (inbetween) yang saling tarik-menarik dari dua
hubungan yang berlawanan tersebut. Keantaraan (inbetween) dalam ruang ketiga
yang disebut hibrida yang merupakan jalan lain untuk lepas dari dikotomi antara
lokal-global dapat dilihat dari Serentaun rekonstruktif.
Keantaraan tersebut memecah otoritas kemurnian budaya Serentaun di
dalam lokalitas yang partikular atau hanya dalam wilayah geografis yang sempit,
terikat kesakralan, di Sindangbarang Kabupaten Bogor menjadi tidak benar-benar
lokal karena telah berada pada ruang global dalam teknologi informasi.
Keantaraan tersebut juga memecah otoritas kemurnian global yang selama ini
dikuasai oleh produk-produk negara-negara Barat dan menganggap budaya
sebagai produk dagang yang general di bawah kuasa modal yang ditentukan oleh
pasar, menjadi tidak benar-benar general karena industri tersebut membutuhkan
budaya lokal sebagai diversifikasi produk sehingga dimanfaatkan oleh lokal
Sindangbarang Kabupaten Bogor untuk menunjukkan keberadaan identitas
budaya Sunda Bogor di kalangan masyarakat global. Otoritas kemurnian yang
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
5
telah rusak tersebut bernama lokal-global yang di dalamnya terdapat relasi kuasa
yang kompleks.
Upacara Serentaun tersebut selama ini, juga dalam perjalanan sejarahnya
adalah sikretik7 dalam pengaruh agama Sunda Wiwitan, agama Hindu-Buddha,
dan Islam. Agama-agama tersebut hidup pada masa pemerintahan yang berbeda,
di masa Kerajaan Pakwan Pajajaran yang secara resmi menganut agama HinduBuddha,8 dan masa setelah masuknya pengaruh Islam, yang dalam kenyataannya
dikategorikan sejak penyerbuan kesultanan Banten, dan kesultanan Cirebon masa
Sunan Gunung Jati. Serentaun Rekonstruktif yang sinkretik tersebut tidak
terlepas dari perjuangan masyarakat Sunda di Sindangbarang dalam sejarahnya
untuk menegosiasikan cara pandang mereka terhadap budaya dan agama. Ajaranajaran sinkretik dalam agama-agama lebih mementingkan keseimbangan antar
ajaran agama-agama. Anasir-anasir budaya dari sinkretisme agama yang telah ada
tersebut digali untuk dipasarkan ke lingkup yang lebih luas sebagai bagian dari
politik lokal lewat pariwisata. Ruang ketiga antara lokal-global terus menjadi
ajang tarik menarik untuk menjadi dominan atau yang didominasi atau
keantaraannya.
Dalam penelitian ini, pelaksanaan Serentaun rekonstruktif akan dimaknai
bukan dari isi simbol keagamaan atau fungsi sosial simbol-simbol. Akan tetapi,
7
Laila Gandhi (2004) mengatakan, sinkretik berbeda dengan hibrida. Sinkretik adalah pertemuanpertemuan dua kutub atau lebih yang berbeda untuk mendapatkan keseimbangan. Sedangkan
hibrida adalah pertemuan dua kutub berlawanan yang prosesnya terjadi tarik-menarik dan
menghasilkan ruang ketiga.
8
Menurut Munandar ( 2007:56 ) Masyarakat Sunda Kuna tidak menghayati secara mendalam
agama Hindu-Buddha meskipun mereka mengenalnya. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan situssitus di Sindangbarang, peninggalan kerajaan Pakwan Pajajaran. Masyarakat Sunda Kuna tidak
menyukai bentuk arca dengan atribut yang rumit, mereka lebih menyukai simbol Hyang tanpa
bentuk, maka dipilih batu-batu alami yang secara jujur menyatakan kehadirannya sendiri.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
6
fenomena ini dimaknai dari kerangka konseptual Hommi Bhabha yang melihat
struktur simbol dari perpaduan unsur simbol dalam empat agama yang digunakan
sebagai produk pariwisata. Pemaknaan tersebut merupakan penandaan masa kini
atas nama tradisi dari suatu budaya yang direlokasikan, dan diterjemahkan ulang,
tetapi tidak ditekankan pada keperluan transenden seperti masa lalu. Penekanan
simbol budaya arkais itu hanya sebagai strategi dalam lingkup artifisial yang
penandaannya tidak stabil, terus berubah. Serentaun rekonstruktif meniadakan
posisi biner seperti lokal-global, orisinil-tidak orisinil. Dengan demikian
pembacaan atas Serentaun rekonstruktif tidak berada pada bentuk eksotis dalam
konsep keberagaman budaya. Subjek penelitian Serentaun di Sindangbarang
bermaksud
melihat
fenomena
budaya lokal
agar
tidak
terjebak
pada
penyeragaman dengan upacara-upacara Serentaun di daerah lain atau bentukbentuk upacara lain, tetapi juga tidak partikular, membedakan diri atas nama
keunikan Sunda Sindangbarang di Bogor.
Penelitian tentang Serentaun sebagai komoditi pariwisata dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif dilakukan oleh Abdillah dan Rahmanita
dalam Oka A Yoeti dkk. (2006). Topik penelitian tersebut adalah tentang apresiasi
wisatawan terhadap Serentaun di kasepuhan Cipta Gelar, yang menekankan pada
persoalan pentingnya ekoturisme yang menghargai kondisi lingkungan daerah
wisata dan kelangsungan budaya setempat, serta pengaruh positif kesejahteraan
ekonomi bagi masyarakat tujuan wisata. Penelitian yang dikumpulkan oleh Oka
pada potensi-potensi budaya lokal di Indonesia menggunakan kerangka teori
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
7
keberagaman budaya, atau menerima tanpa ada kritik terhadap keberagaman
tersebut. Hal ini menimbulkan beberapa persoalan.
Pertama, penelitian ini tidak mempermasalahkan penggalian-penggalian
budaya lokal untuk tujuan komodifikasi budaya, padahal tidak semua penjualan
aset-aset budaya dengan alasan pariwisata bernilai positif. Banyak dampak negatif
yang dapat dilihat dari industri budaya dalam pariwisata. Dan hubungan antara
keduanya merupakan tarikan-tarikan yang kompleks yang tidak bisa dilihat hanya
dengan mengkategorikan antara dampak positif dan negatif. Kedua, penelitian ini
menganggap seakan budaya lokal adalah asli yang harus dilestarikan.
Mempermasalahkan keaslian merupakan kelemahan penelitian Oka dkk. sehingga
akan dibahas pada penelitian berikut ini yang tidak memandang keaslian sebagai
suatu aset budaya. Masalah keaslian ditolak oleh keilmuan Cultural Studies,
dengan adanya pernyataan dari aliran anti-esensialis yang menjadi suatu aliran
keilmuan yang menolak kualitas sesuatu yang general, terberi sejak dulu, dan
seolah tidak berubah. Menurut pengguna kerangka berpikir ini, sesuatu tersebut
bersifat tidak tetap, konstruktif, selalu ada tarik-menarik atau kontestasi antara
yang dominan dan yang didominasi, dan ketidaktetapan sesuatu yang bergantung
pada produksi budaya di tempat dan waktu yang khusus. (Barker, 2000: 20).
Pengangkatan budaya asli akan menyebabkan maraknya politik identitas
yang menyebabkan perpecahan dalam mengklaim siapa pemilik kebudayaan apa.
Istilah asli dalam persoalan keberagaman budaya menurut Bhabha menciptakan
oposisi biner antara kebudayaan diri dan liyan, yaitu suatu budaya yang dianggap
menjadi bagian dari budaya yang dimiliki oleh diri sendiri termasuk kelompok
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
8
sendiri sedangkan liyan adalah budaya yang dianggap milik orang lain. (Bhabha
dalam Aschroft. 1995: 207). Dengan demikian menganggap Serentaun sebagai
bagian dari keberagaman budaya yang menekankan terjaganya keaslian budaya
lokal atau asli akan menyebabkan jurang perpecahan.
Ketiga, kelemahan penelitian dengan metode kuantitatif dalam Serentaun
menyebabkan fenomena budaya tersebut tidak dapat tergali lebih dalam. Analisis
responsi masyarakat dan wisatawan terhadap Serentaun hanya memberikan
deskripsi tentang gambaran-gambaran secara umum mengenai upacara tersebut
sebagai sebuah tradisi yang perlu dilestarikan. Kelemahan penelitian Oka dkk.
dapat diperbaiki dengan mengadakan penelitian terhadap upacara yang sama
dengan metode kualitatif di daerah yang berbeda. Jika Oka melihat Serentaun di
Cipta Gelar, penelitian berikut ini dilakukan di Sindangbarang.
Penelitian kualitatif melihat
adanya interaksi dan interpretasi
yang
dilakukan peneliti terhadap fenomena budaya. Menggunakan metode kualitatif
untuk melihat Serentaun yang telah masuk dalam
pasar pariwisata dan
hubungannya dengan subjek budaya membuat kajian lebih kritis, sebab
penggalian mendalam
melihat permasalahan sebagai sesuatu yang lebih
kompleks. Metode pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti dapat melihat
hubungan tarik menarik antara politik lokalitas yang menginginkan pelestarian
budaya sekaligus keuntungan finansial, dan politik global yang menginginkan
keuntungan finansial lewat kapitalisasi paket-paket pariwisata, serta politik
nasional yang harusnya memediasi hubungan antara lokal-global untuk
mendapatkan keuntungan finansial satu sisi dan sekaligus mengontrol
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
9
perkembangan budaya lokal
Penggalian mendalam
dalam terminologi di bawah integritas nasional.
untuk mengumpulkan data kualitatif dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara etnografi yang memperhatikan
makna tindakan dan peristiwa pada orang-orang seputar fenomena budaya
(Walcott, 1979) dalam Heyl (1996). Peneliti melakukan interview yang terbuka
antara pewawancara dengan yang diwawancarai yaitu masyarakat dan budayawan
setempat yang memperhatikan secara khusus Serentaun dan masyarakat pelaku
yang melaksanakan dan menyaksikan upacara tersebut dengan kualitas hubungan
yang dibangun berdasarkan empati. Hal ini akan membantu perolehan data
tentang upacara Serentaun dan analisis yang tajam dibandingkan dengan
mengumpulkan responsi jawaban yang tertutup yang menampilkan pernyataan
setuju atau tidak setuju. Jawaban-jawaban lisan dari masyarakat pemerhati dan
pelaksana upacara yang dilaksanakan
secara turun temurun tersebut dapat
menjadi bukti keberadaan Serentaun di Sindangbarang dan kompleksitas masalah
di dalamnya, termasuk ketika upacara ini diangkat sebagai komoditi pariwisata.
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif tentang hak-hak budaya
etnis minoritas
dilakukan oleh Budiman dkk. (2005) menginspirasi suatu
penelitian tentang etnis budaya yang pernah termarjinalkan karena pernah adanya
orientasi pembangunan budaya yang berstandar luhur atau puncak-puncak budaya
pada masa Orde Baru. Budiman dkk. meneliti tentang hak-hak minoritas dalam
dilema. Secara khusus penelitian Budiman dan teman-temannya memberikan
penekanan pada suatu refleksi keberadaan multikulturalisme di Indonesia. Di satu
sisi hak-hak etnis minoritas di Indonesia harus diperjuangkan terutama setelah
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
10
terkena kebijakan pembangunan masa Orde Baru yang hampir menghilangkan
sendi-sendi
kehidupan
paling
mendasar
masyarakat
setempat
terutama
penanganan potensi budaya, ekonomi, dan politik lokal. Penelitian ini
memberikan kritik terhadap orientasi pembangunan yang harusnya berubah dari
penyeragaman menjadi keberagaman dengan memperhatikan perkembangan hakhak kalangan minoritas termasuk hak budayanya. Akan tetapi pengembangan
budaya lokal tersebut tidak bermaksud menjadikan komunitas-komunitas budaya
sebagai cagar budaya yang dipertontonkan dalam industri pariwisata. Sebab
perlakuan yang mengkhususkan juga menimbulkan diskriminasi budaya.
Pada sisi yang lain Budiman dkk. melihat pemberian hak-hak minoritas
dapat menyeret pada persoalan separatisme atau gerakan perpecahan tidak
terkontrol karena maraknya pengangkatan identitas-identitas baru yang berbedabeda dan saling menganggap yang berbeda sebagai yang lain. Dilema kebijakan
multikultural dalam penelitian Budiman dkk. diselesaikan dengan suatu himbauan
yang ditujukan pada pembuat kebijakan. Himbauan ini menginginkan adanya
hukum nasional yang menjamin keragaman budaya dan program pendidikan
politik untuk mendorong kelompok minoritas menerima kewajiban sebagai warga
negara seutuhnya. Metode pendidikan politik tersebut diharapkan bersifat lokal,
artinya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hal itu dilakukan
bersamaan dengan sosialisasi terus menerus gerakan keberagaman budaya agar
kelompok mayoritas melihat liyan sebagai bagian dari aspek yang membentuk
proses identitas diri.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
11
Penelitian Budiman dkk. yang mengilhami suatu
penelitian tentang
budaya hibrida dalam Serentaun dengan menggunakan sudut pandang poskolonial
dari Hommi Bhabha ini membuka kelemahan penelitian tersebut yang berstandar
ganda. Ketika Budiman dkk. menyebut Hommi Bhabha untuk melihat sudut
pandang
lain
yang
mengkritik
Multikulturalisme
sehingga
mendukung
argumentasinya yang ingin mengatakan adanya dilema dalam pemihakan
minoritas, tetapi justru hal itu yang membuat penelitiannya terjebak pada dikotomi
mayoritas-minoritas, dominan-subordinat yang tidak diinginkan Bhabha. Teori
Bhabha berusaha menyelesaikan masalah etnis bukan dengan keberagaman tapi
dengan hibriditas setelah adanya cultural difference
atau perbedaan budaya.
Kalau Budiman dkk. tetap mengacu pada konsep keberagaman yang terus
mengakui adanya diri dan liyan, maka penelitian tersebut tidak konsisten. Padahal
pengertian budaya hibrida dalam kasus penelitian Budiman dkk. tidak sekedar
mayoritas
membiarkan
masyarakat
yang
disebut
minoritas
tersebut
mencampurkan budaya dari mayoritas dengan budayanya sendiri untuk
pembentukan identitas masyarakat tersebut, tetapi juga sebaliknya mayoritas
menerima dan menjadikan budaya masyarakat minoritas sebagai bagian dari
dirinya. Keterjebakan sudut pandang penelitian Budiman dkk. pada oposisi biner
menyulitkan posisinya sebagai peneliti. Penelitian dengan kerangka berpikir
keberagaman budaya itu patut dicurigai sendiri sebagai praktik memelihara yang
minor, langka, eksotik, untuk turisme intelektual sama seperti yang dilakukan oleh
pihak yang ia kritik (Budiman dkk: 19), yaitu pengembang pariwisata yang
berideologi mencari bentuk-bentuk unik lokalitas atas nama komodifikasi budaya.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
12
1.2 Landasan Teori
Kajian ini menggunakan kerangka teori hibriditas dari Hommi Bhabha
yang merupakan pengembangan dari konsep Cultural Differences atau perbedaan
budaya. Hommi Bhabha menyebut perbedaan budaya untuk sampai pada istilah
budaya “hibrida” sebagai “ruang ketiga” atau “keantaraan” (inbeetwen) diantara
oposisi biner yang mempertentangkan Timur-Barat, tradisional-Modern, dominansubordinat, diri-liyan.
1.2.1. Perbaikan Terhadap Teori Keberagaman Budaya
Teori ini menurutnya merupakan revisi terhadap perkembangan teori kritik
dalam wacana poskolonial. Konsep perbedaan budaya disampaikan untuk
memperbaiki teori keberagaman budaya yang menurut Bhabha, menganggap
budaya sebagai obyek empiris pengetahuan.
“Jika keberagaman budaya sebuah kategori yang memperbandingkan
etika, estetika, etnologi, konsep perbedaan budaya merupakan proses
penanda melalui pernyataan budaya.....” Bhabha dalam Ashcroft dkk.
(1995: 206).
Keberagaman budaya ini merupakan pengakuan adanya isi budaya dan
adat istiadat yang sejak dulu sudah diberikan. Konsep tersebut milik paham
relativisme yang mempunyai ide pembebasan dalam aliran multikulturalisme,
pertukaran budaya, dan budaya kemanusiaan. Keragaman budaya juga
representasi dari retorika radikal upaya pemisahan diri dari budaya seragam, atau
minimal penyelamatan identitas kolektif yang unik
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
13
1.2.2 Hibriditas Sebagai Ruang Ketiga/Keantaraan
Pada sub-bab ini akan dipaparkan teori Hommi Bhabha tentang hibrida
atau ruang ketiga dalam dua konteks. Dua konteks ini sebenarnya mempunyai
dasar yang sama yaitu hibrida sebagai bentuk penyangkalan terhadap otoritas
kemurnian
negara yang dijajah dan negara penjajah. Akan tetapi istilah
penjajahan pada masa kini mengalami pergantian. Istilah tersebut berkembang
melihat hubungan bekas negara penjajah dan yang dijajah. Bhabha menyebut
dengan istilah imprealisme baru. Bagi negara-negara yang baru merdeka
mengacu pada sebutan dunia ketiga dan bekas negara penjajah sebagai negara
dunia pertama.
1.2.2.1. Hibriditas dalam Konteks Otoritas Negara Penjajah-Negara
Jajahan
Hibriditas dalam wacana poskolonial pada konteks penjajahan menurut
Bhabha dalam Sign Taken For Wonder dalam Aschroft et al (1995), merupakan
tanda produktivitas kekuasaan kolonial yang kekuatannya bergeser dari otoritas
yang represif terhadap penduduk terjajah menjadi hibriditas yang merupakan
strategi. Hibriditas
melakukan
penyangkalan produk diskriminasi identitas
kolonial yang selama ini dilakukan dengan cara perlindungan terhadap kemurnian
otoritas kolonial itu sendiri. Hibriditas menjadi bahan evaluasi ulang asumsiasumsi tentang identitas kolonial melalui pengaruh pengulangan praktik-praktik
diskriminasi identitas. Hibriditas menunjukkan perubahan bentuk yang penting
serta memindahkan semua situs-situs diskriminasi dan dominasi kolonial.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
14
Hibriditas ini memunculkan peniruan atau mimikri yang mengganggu
keberadaan kolonial dan menjadikan kemunculan otoritasnya problematis.
Peniruan dan penciptaan suatu bentuk baru yang berbeda, mengalami mutasi dari
dua budaya asalnya yang oleh Bhabha disebut penyangkalan. Pertemuan antara
hitam dan putih akhirnya menjadi yang hitam ingin meniru putih tapi tidak benarbenar putih dan sebaliknya yang putih meniru hitam tapi tidak benar-benar hitam.
Pada kisah penyebaran injil di India yang dicontohkan Bhabha, kitab ini
dihibridkan dalam proses penyampaiannya pada penduduk india, tapi tentu saja
tidak mampu sepenuhnya mereplika atau meniru dengan sempurna. Sebaliknya
penduduk setempat juga tidak mampu sempurna menyerap semua yang diajarkan
injil sama seperti penduduk Inggris menyerap injilnya. Ini yang disebut Bhabha
dengan ambivalensi otoritas kolonial, kelemahannya yang menjadi tempat untuk
melawan. (Bhabha dalam Aschroft, 1995).
Bhabha menulis dalam “Cultural Diversity and Cultural Difference”,
dalam Aschroft dkk (1995), produksi makna menghendaki dua tempat diarahkan
pada jalan yang ketiga atau tempat ketiga yang merepresentasikan dua kondisi
bahasa secara umum dan implikasi kata yang khusus ke dalam strategi yang
diselenggarkan dan berbentuk institusional. Strategi ini tidak dapat dibuat
otomatis sadar dalam dirinya. Apa yang dikenalkan dalam hubungan
ketidaksadaran ini adalah ambivalensi pada tindakan interpretasi. Campur tangan
tempat ketiga ini membuat struktur makna dan referensi mengarah pada proses
ambivalen, merusak representasi dengan cara yang dalam pengetahuan budaya
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
15
dimunculkan bersambungan
pada kode yang terintegrasi, terbuka, dan
berkembang.
Dengan demikian hibriditas menurut Bhabha merupakan suatu strategi
yang menghantam penyeragaman, atau ketetapan, keorisinilan
identitas yang
dilestarikan dalam kekuasaan kolonial. Ambivalensi sengaja dibuat supaya
pemaknaan identitas selalu berubah atau tidak stabil yang dapat diartikulasikan
dalam praktik budaya. Bhabha mengutip istilah Derrida the space of entre, yang
menjadikan penandaan membawa beban makna budaya. Makna tersebut dapat
menjadi apa saja, kata Bhabha dalam hibrid, bisa jadi menggambarkan nasional,
anti-nasionalis, sejarah rakyat. Dalam ruang ketiga ini kita bisa bicara tentang diri
kita, tentang mereka, dan dalam hibriditas kita mungkin dapat menghindari politik
pengkutuban, juga pretensi memunculkan yang lain pada diri sendiri.
1.2.2.2. Hibriditas dalam Konteks Partikular-General pada Era Globalisasi
Pada konteks masyarakat global ruang ketiga merupakan kritik pada
dominasi pasar modal yang didominasi oleh negara dunia pertama atau negaranegara Barat. Menurutnya, budaya dalam pasar seni-budaya berorientasi pada
dominasi pasar Barat dengan standar yang dapat diterima berdasarkan selera
transnasional. Pameran-pameran seni dan budaya pada masyarakat global
menciptakan kriteria penghakiman, mana yang layak diterima dan yang tidak
diterima oleh pasar sehingga menghapus lokasi tempat seni tersebut dibuat. Pasar
seni di negara-negara dan benua termasuk dunia ketiga dipengaruhi pasar
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
16
metropolitan. Kebutuhan partikular, nilai-nilai lokalitas, dipuja, dibentuk bagi
kepentingan konsumsi pasar. Bhabha mengatakan:
“This is a time when "otherness" and various forms of ethnic authenticity are
being commodifed for visual consumption at an unprecedented rate; when the
global circulation of cultural stereotypes is becoming a major industry; when the
relation of art to the state, to possible publics, to the market, and to political or
ethical positioning seems more volatile end unpredictable than ever before.”
(Bhabha dalam W.J.T. Mitchell, 1995).
Konsep Bhabha tentang hibrida atau ruang ketiga ini dipahami sebagai
interseksi yang kompleks dari pertemuan banyak tempat, temporalitas sejarah, dan
posisi subjek. Ketika hal ini justru memunculkan ide liberal dalam konsep
“keberagaman”budaya dalam Multukulturalisme dan kalangan Postukturalis
menganggap lebih tepat dengan konsep “Cultural Difference”, sebagai
terminologi akhir keputusan dari konflik ini, Bhabha mempertanyakan tentang
kecukupan model toleransi dan “beradab” untuk menceritakan sejarah
keberangasan sikap ketidaktoleran dan ketidakberadaban.
Pertanyaan tersebut sekaligus
memberikan identifikasi, tempat yang
ambigu bagi etnosentrisme dan pada model kritik-kritik liberal terhadap budaya .
Saat sekarang ketika partikularitas yang diusung liberalisasi budaya memuja
lokalitas dan cenderung pada tingkatan budaya pragmatis
penjualan budaya,
Bhabha tetap berada dalam refleksi teori yang diartikulasikan dalam budaya
sebagai ruang baru, ruang ketiga pertemuan antara yang partikular dan general.
Dua dikotomi tersebut menjadi tidak benar-benar partikular atau hanya dalam
wilayah lokal secara geografis, terikat kesakralan, tetapi partikular/lokal yang
superfisial dan kehilangan batas dalam pasar global.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
17
Begitu juga bagi kutub general atau global menjadi tidak benar-benar
general dalam keuntungan politik ekonomi pasar modal tetapi ruang
general/global yang selalu dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan eksistensi
bentuk-bentuk lokal yang berbeda-beda. Keduanya bertemu, saling tarik-menarik
membentuk ruang ketiga pada relasi kekuasaan yang kompleks.
1.3 Perumusan Masalah
Pemaparan latar belakang masalah yang dilihat dari sudut pandang budaya
hibrida lokal-global pada Serentaun rekonstruktif menghadirkan 2 persoalan
yang akan saya bahas antara lain:
1. Bagi industri pertemuan global-lokal telah meruntuhkan generalisasi
industri global yang selalu melihat keuntungan dalam pergerakan politik
ekonomi pasar modal, menjadi global sebagai ruang yang dimanfaatkan
untuk kepentingan mengangkat identitas lokal. Bagi lokal, ruang ketiga
ini meruntuhkan kemurnian lokalitas budaya tradisional yang terikat pada
wilayah geografis yang sempit, terikat kesakralan, menjadi lokalitas yang
superfisial, berada di ruang global melalui teknologi informasi.
2. Posisi hibrida lokal-global ini harus dikritisi, tidak bisa dilihat hanya
sebagai sisi yang seakan menguntungkan keduanya, bahkan dalam hal ini
pun tetap harus dilihat siapa yang lebih diuntungkan dalam pergerakan
politik ekonomi antara budaya masyarakat lokal-kapitalisme global.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
18
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut Penelitian ini mempunyai tujuan:
1. Membuktikan Serentaun Rekonstruktif yang menghibridakan budaya
lokal-global telah meruntuhkan otoritas kemurnian lokal dan homogenisasi
atau generalisasi global lewat modal.
2.
Membuktikan pergerakan politik ekonomi yang menjual budaya
tradisional di tingkat lokal dalam kapitalisme global,
menguntungkan
pihak-pihak yang memiliki korporasi modal transnasional.
1.5 Metodologi Penelitian
Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang menganalisis data
berdasarkan identifikasi tema dan pola inti penelitian. Menurut Atkinson dan
Coffey (1996) dalam penelitian kualitatif semua peneliti harus dapat
mengorganisasikan, mengelola, dan mendapatkan kembali potongan data yang
paling bermakna dari keseluruhan data. Pendekatan kualitatif dalam Cultural
Studies menurut Denzin (1992, 96) dalam Denzin dan Lincoln berhutang pada
prinsip-prinsip filosofis poststrukturalis yang telah memfasilitasi hubungan
antara studi pemaknaan dalam interaksi sosial pada proses komunikasi dan
industri komunikasi yang memproduksi dan membentuk makna yang beredar
setiap hari. Cultural Studies mengarahkan peneliti melakukan interaksi dan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
19
interpretasi terhadap penilaian kritis tentang bagaimana interaksi individu–
individu menghubungkan pengalaman hidup meraka dengan representasi
budaya pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan demikian menurut Denzin
dalam Denzin (1992) peneliti yang melakukan interaksi interpretasi harus
secara eksplisit menggunakan teori kritik budaya.
Wawancara Etnografi
Wawancara etnografi adalah salah satu teknik dalam Penelitian kualitatif.
Dalam penelitian ini, interview dilakukan dalam dua wilayah Rukun Warga
dalam dukuh Sindangbarang dan Dukuh Menteng, Kelurahan Pasir Eurih,
Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Menurut Heyl (1996) dalam
“Handbook of Etnography”, ethnographic interviewing dimaksudkan pada
suatu proyek yang penelitinya membangun sikap menghargai dalam relasinya
dengan yang diwawancara, termasuk hubungan yang cukup, dalam hal tukar
pandangan dan waktu yang cukup serta terbuka dalam mengeksplorasi
kegunaan penelitian. Untuk itu dalam suatu interview peneliti harus:
1. mendengarkan dengan baik serta menghargai dalam membangun
perjanjian etik dengan partisipan di seluruh lapisan proyek.
2. memperoleh kesadaran diri terhadap peranan kita dalam mengkonstruksi
bersama makna selama proses wawancara.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
20
3. memahami cara dimana kedua subjek sedang menjalin relasi dan pada
konteks yang lebih yang lebih luas dapat mempengaruhi partisipan, proses
interview dan hasil proyek.
4. mengenali bahwa dialog merupakan penemuan dan hanya pengetahuan
yang parsial akan tercapai
Ada tujuh tingkatan yang harus dilkukan saya menurut Heyl yang dikutip dari
Kvale(1996, 373) dalam pendekatan ini yaitu:
1. Membuat tema
2. mengkonstruksi
3.Wawancara
4. Membuat transkrip
5. Menganalisis
6. Memeriksa
7.Melaporkan.
Selain data dari hasil wawancara etnografi , akan digunakan data-data
yang berasal dari:
1. Analisis dokumen,
2. Anilisis peralatan upacara Serentaun.
1.6 Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab satu merupakan pendahuluan yang
terdiri dari latar belakang masalah, landasan teori, perumusan masalah, tujuan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
21
untuk mengumpulkan data metodelogi penelitian, dan sistematika penyajian,
antara lain:
Bab dua merupakan pemaparan Serentaun dalam konteks sosial. Bab ini
terbagi dalam sub-bab 2.1 yang memaparkan Serentaun berdasarkan konteks
masyarakat agraris sehingga dapat dilihat sistem upacaranya yang sakral (2.1.1)
dan sistem mata pencaharian (2.1.2).
Sub-bab 2.2 memaparkan Serentaun yang rekonstruktif pada konteks masyarakat
transisi di Sindangbarang untuk mengetahui sistem upacaranya (2.2.1) dan subbab 2.2.2 memaparkan sistem mata pencaharian. 2.2.3 sistem keorganisasian yang
terbagi dalam keorganisasian masyarakat desa (2.2.3.1) dan rekonstruksi
keorganisasian berdasarkan tradisi (2.2.3.2). Sub-bab 2.2.4 adalah bahasa seharihari dan 2.2.5 memaparkan tanggapan masyarakat Sindangbarang terhadap
Serentaun Rekonstruktif.
Sub-bab 2.3 menjelaskan Serentaun rekonstruktif dalam industri pariwisata yang
berhubungan dengan pariwisata daerah pada sub-bab 2.3.1, pariwisata nasional
pada 2.3.1 dan pariwisata global pada sub-bab 2.3.3.
Bab tiga adalah Sejarah Serentaun Rekonstruktif dalam Sinkretis agamaagama.Sub-bab 3.1 menjelaskan Sejarah sinkretik agama-agama Sunda Wiwitan
dan Hindu-Buddha yang terbagi dalam sub-bab.3.1.1. yaitu Konsep Agama Sunda
Wiwitan, 3.1.2. Konsep Agama Hindu-Buddha dan 3.1.3 Simbol Sri/ Pohaci
Sanghyang Sri Dalam Hibridisasi Agama Sunda Wiwitan Dan Hindu-Buddha.
Sub-bab 3.2. adalah Hibridisasi Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam yang
terbagi dalam 3.2.1 Konsep Islam Pengaruh dari kasunanan Gunung Djati Cirebo
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
22
dan 3.2.2 Sri dan Muhamad simbol Penyatuan dalam Hibridisasi Agama Sunda
Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam.
Bab IV.merupakan pembahasan hibrida lokal-global dalam politik komodifikasi
budaya Serentaun Rekontruktif sebagai upacara tahunan masyarakat Sunda di
Sindangbarang Kabupaten Bogor. Pada bab ini akan terbagi dalam beberapa subbab antara lain 4.1 yang menjelaskan kontestasi elit lokal dalam Serentaun
Rekonstruktif. Pemaparan tentang kontestasi ini dibagi dalam 4.1.1. kontestasi elit
tradisi dan elit agama Islam pembaharu, 4.1.2. kontestasi elit agama pro tradisi
dan elit agama Islam pembaharu, 4.1.3. Rekonstruksi Serentaun menuju global
dalam kooptasi elit pemerintah daerah.
Sub-bab 4.2 menguraikan hibrida lokal-global Serentaun Rekonstruktif
pada
industri pariwisata global yang akan terbagi dalam sub-bab 4.2.1. Serentaun
Rekonstruktif menuju globalisasi melalui teknologi informasi, 4.2.2. politik global
dalam Serentaun Rekonstruktif melalui transnasionalisasi modal, 4.2.3. Politik
lokalitas menghadapi globalisasi dan 4.2.4. Kecenderungan dalam tarik-menarik
hibrida lokal-global.
Sebagai akhir dari tesis ini adalah Bab V Kesimpulan.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
23
BAB II
KONTEKS SOSIAL SERENTAUN
Serentaun telah mengalami beberapa perkembangan. Awalnya upacara ini
adalah ekspresi rasa syukur masyarakat, suatu bentuk pengejawantahan cara
pandang yang menjaga keseimbangan alam mikro dan makro, suatu prilaku
keterikatan pada alam. Hingga pada masa sekarang Serentaun menjadi bagian dari
produk industri di sektor pariwisata. Perubahan tersebut tidak terlepas dari
konteks sosial perkembangan masyarakat pemilik budaya Serentaun di
Sindangbarang.
Sekilas tentang letak lokasi, tempat upacara tersebut diadakan.
Sindangbarang pada masa kini adalah dukuh atau dusun yang terletak di bawah
administrasi Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Secara
geografis berbatasan dengan Desa Parakan di sebelah Utara, Desa Srigalih di
sebelah Timur, Desa Taman Sari di sebelah Selatan dan Desa Sukaresmi di
sebelah Barat. Luas wilayah Desa Pasir Eurih 285,394 ha². Sindangbarang yang
terletak di kaki gunung Salak, mempunyai curah hujan 300 mm, sedang suhunya
antara 25 ºC sampai dengan 30ºC dengan kelembaban udara maksimum 60% dan
maksimum 80%. Sindangbarang dilalui beberapa sungai, di sebelah Barat terletak
sungai Ciapus, di bagian Timur sungai Cisadane dan Cipininggading, di bagian
tengah sungai Cipamali, Ciomas dan beberapa sungai kecil lainnya.
Desa Pasir Eurih dan Dukuh Sindangbarang berjarak 2 Km dari kecamatan
Taman Sari, 30 Km dari ibukota kabupaten, 128 Km dari ibukota propinsi dan 59
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
24
Km dari ibukota negara. Desa Pasir Eurih berjarak sangat dekat dengan
kotamadya Bogor. Bogor Trade Mall Centre, sebuah mall di sebelah Selatan
kotamadya Bogor hanya berjarak 4 Km.
2.1 Serentaun Tradisional Pada Masyarakat Agraris
Sub-bab ini akan menjelaskan pengertian dan konsep Serentaun
tradisional. Penelitian Adimihardja (1992) dapat dijadikan referensi untuk melihat
konsep tradisional masyarakat Sunda di Sindangbarang Bogor masa lalu, sebab
menurut Adimihardja (1992: 14-22) masyarakat Sindangbarang yang terletak di
Bogor Selatan masih sekerabat dengan masyarakat kasepuhan di sekitar komplek
konservasi
hutan
Gunung
Halimun,
Sukabumi.
Kondisi
masyarakat
Sindangbarang yang transisional dan sebagian besar penduduknya sudah beralih
menjadi pengrajin industri sepatu membuat peneliti tidak mengambil sistem
upacara Sedekah Bumi1 yang masih dilakukan masyarakat setiap tahun.
Kebanyakan upacara Sedekah Bumi yang dilakukan masyarakat Sindangbarang
tidak menggunakan ritus-ritus seperti dalam Serentaun.
1
Pada masa setelah pengaruh agama Islam masuk, konsep Nyai Pohaci atau Dewi Sri
yang dikawinkan dengan Dewa Kuvera--keduanya kemudian menjadi simbol kesuburan dan
kemakmuran--dalam upacara Serentaun ditiadakan, bersamaan dengan digantinya waktu
pelaksanaan upacara tersebut dari kalender tahun baru Sunda Wiwitan ke tahun baru Islam atau
kalender Hijrah. Nama Serentaun pun oleh masyarakat yang menganut agama Islam diganti
dengan istilah Sedekah Bumi dengan konsep syukur atas datangnya tahun baru Islam.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
25
2.1.1. Sistem Upacara
Upacara Serentaun tradisional mempunyai ritus-ritus yang tidak dapat
dipisahkan dengan upacara-upacara lain. Pada masyarakat agraris yang menganut
sistem ladang berpindah, upacara untuk menghomati alam dilakukan sebelum
padi ditanam di ladang. Menurut sejarah, masyarakat Sunda kuna adalah
masyarakat yang mengolah pertanian dengan sistem ladang berpindah.
Adimihardja (1992) menulis penelitian tentang konsep masyarakat kasepuhan di
daerah Sukabumi perbatasan dengan Bogor Selatan dan Banten Selatan yang
masih menjalani adat tali karuhun dari masa kerajaan Pakwan Pajajaran,
meskipun agama masyarakat setempat menurut Adimihardja adalah Islam. Termin
tradisional tidak dilihat dari asal upacara tersebut dalam agama Sunda Wiwitan,
tetapi lebih pada upacara yang masih menjadi bagian kehidupan masyarakat
sehari-hari tanpa unsur komodifikasi.
Rangkaian upacara-upacara dari membuka ladang hingga memanen padi
berangkat dari cara pandang tentang keseimbangan terhadap mikro dan makro
kosmos. Cara pandang ini menghasilkan pedoman hidup yang tertuang dalam
norma sehari-hari
yang tak boleh dilanggar atau tabu. Keseimbangan selalu
dijaga dengan berusaha mengontrol diri untuk tetap berada posisi tengah. Dalam
naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang dijelaskan oleh Suwarsih
Warnaen (1986: 12), terdapat kata-kata “makan sekedar menghilangkan rasa
lapar, minum sekedar menghilangkan rasa haus.” Segala sesuatu dilaksanakan
dengan wajar, tidak berlebihan atau berat sebelah.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
26
Menjaga keseimbangan, hidup tidak berlebihan adalah pandangan
tradisional yang terwujud pada sikap sehari-hari pada alam sekitar dan pada
pergaulan sesama manusia. Upacara-upacara dengan seperangkat simbol di
dalamnya menjadi sarana yang mengingatkan individu pada kehadiran orang lain
yaitu kelompok sosial yang di dalamnya tumbuh ikatan satu sama lain untuk
menjaga keteraturan. Upacara yang dilakukan dengan penuh syarat adalah cara
untuk menjaga kekhusukan upacara.
Doa-doa yang dilakukan pada saat upacara tidak dapat ditonton oleh
masyarakat kecuali orang-orang tertentu yang bersama-sama sedang melakukan
ritual. (Adimihardja, 1992: 154-155) Misalnya
sebelum dilakukan upacara
Serentaun terdapat ritus yang hanya dilakukan oleh dukun tani, ketua adat dan
istrinya yaitu pada pukul 5.00 pagi pergi ke ladang, duduk bersila di depan
pupuhunan2, mengucapkan doa amit, membakar kemenyan yang merupakan
bagian dari peralatan ritus, menyemburkan kunyahan buah panglay atau Zingiber
Cassumar ke berbagai penjuru. Ritus ini tidak boleh diketahui oleh siapapun.
Setelah mengucap berbagai macam doa, ketua adat memotong dua tangkai padi
yang terbaik dari seluruh tanaman padi, kemudian istrinya memotong lima tangkai
yang kesemuanya disatukan dalam sebuah ikatan dengan sebutan padi induk.
Setelah upacara itu berakhir, orang-orang boleh pergi ke ladang ikut memanen
padi.
Padi yang baru selesai dipanen tidak dijemur di ladang. Setelah kering,
diangkut dan dimasukkan dalam suatu tempat sebelum dimasukkan dalam
2
Lihat Adimihardja (1992: 196), pupuhunan yaitu suatu tempat yang dianggap pusat dalam
menanam padi di ladang.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
27
lumbung. Proses ini juga membutuhkan upacara sederhana yang disebut
ngadiukkeun atau meletakkan, dan sebelum padi tersebut digunakan terdapat
upacara lagi disebut ngayaran atau awal penggunaan padi yang baru ditunai. Lalu
padi dibagi pada orang tak mampu untuk memenuhi kewajiban zakat yang
jumlahnya sekitar sepersepuluh dari hasil panen. Pembagian zakat ini juga
membutuhkan upacara disebut ngaseuk. Akhir dari segala upacara kecil tersebut
adalah upacara besar Serentaun untuk mengiringi padi yang akan dimasukkan ke
lumbung
yang
prosesinya
sama
dengan
Serentaun
pada
masyarakat
Sindangbarang.
2.1.2. Sistem Mata Pencaharian
Sistem matapencaharian warga kasepuhan adalah ladang berpindah.
Masyarakat kasepuhan masih mempertahankan pola bertani seperti ini meskipun
mereka juga menerapkan sistem bersawah tetapi tata cara penggarapannya sama
seperti ladang berpindah. Kegiatan bertani dengan sistem ladang berpindah diikat
oleh sistem kepercayaan pada nilai-nilai yang diturunkan oleh nenek moyang
yaitu menghormati alam agar terhindar dari bencana. Padi yang ditanam oleh
masyarakat kasepuhan adalah padi jenis cere atau pare gede yang dipanen setahun
sekali.
Tahun pertama setelah dipanen bekas ladang yang disebut jami diolah dan
ditanami berbagai buah-buahan. Lahan tersebut menyerupai hutan buatan yang
disebut talun. Jami juga ditanami berbagai sayuran. Jami ada yang dibiarkan
ditumbuhi semak belukar dan jika bertahun-tahun ditinggalkan maka akan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
28
kembali menjadi hutan. Kegiatan berladang dimulai lagi di tempat lain dengan
menghitung hari baik buruk berdasarkan rasi bintang yang muncul.
2.2. Serentaun Rekonstruktif Pada Masyarakat Transisi Sindangbarang
Upacara Serentaun Rekonstruktif merupakan penyusunan ulang upacara
Serentaun tradisional dengan berusaha meniru ritus-ritus sesuai yang dikerjakan
masyarakat Ciptagelar, Sukabumi yang penyelenggaraan upacaranya tak pernah
putus. Upacara buatan ini sakral bagi yang masih meyakini berdasarkan
kepercayaan masyarakat masa kini dan mempunyai unsur pragmatis berupa
ungkapan syukur pada hasil rezeki nafkah dalam kehidupan sehari-hari
dari
Tuhan. Munandar (1998) mengatakan bahwa kajian Serentaun masa kini adalah
bagian dari kajian kebudayaan yang dinamis setelah local genius mendapat
pengaruh-pengaruh dari perkembangan kebudayaan dari luar baik dalam wilayah
tataran Sunda maupun luar Sunda.
Upacara Serentaun masa kini yang rekonstruktif sejak tahun 2005 setelah
mendapat pengaruh dari pariwisata berubah menjadi superfisial, hal tersebut
terlihat dari digunakannya kembali simbol perkawinan Dewi Sri dan Dewa
Kuvera, yang pernah ditiadakan, tanpa ada perasaan akan melanggar norma salah
satu ajaran agama, meskipun ada beberapa masyarakat masih meyakini unsur
mitis dalam penyelenggaraan upacara Serentaun dan kepercayaan tersebut yang
menjadi unsur perekat dalam struktur sosial masyarakat Sindangbarang yang
sudah dalam keadaan transisi. Posisi transisi ini menandai keberadaan masyarakat
dan keyakinannya antara masa lalu yang berdasarkan tradisi karuhun dan masa
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
29
kini yang sudah tidak mempercayai tradisi tersebut sebagai kepercayaan kecuali
untuk suatu peringatan yang bersifat superfisial. Akan tetapi Munandar (2008)
mengatakan bahwa kajian Serentaun masa kini tetap tidak bisa dilepaskan dari
hubungan masyarakat pemilik budaya dan yang masih meyakini upacara tersebut
di tingkat pragmatis yang merupakan proposisi keseharian dan tingkat yang
merupakan proposisi filosofis. Pada bab ke-4 tesis ini akan menjelaskan bahwa
proposisi filosofis di tingkat mitis ini
kemudian menciptakan kontestasi dalam
elit lokal Sindangbarang.
2.2.1. Sistem Upacara
Sistem upacara pada Serentaun Rekonstruktif terdiri dari ritus-ritus yang
diselenggarakan selama 4 hari berturut-turut. Ritus-ritus tersebut menggunakan
peralatan upacara yang sama dengan Serentaun tradisional. Perbedaannya terletak
pada miniatur lumbung dan rumah-rumah tradisional yang dibuat menyerupai
rumah-rumah masa lampau. Berikut gambaran upacara Serentaun Rekonstruktif.
Hari pertama, upacara Serentaun dibuka dengan ritual ngembang yaitu
melakukan ziarah ke makam leluhur Sindangbarang dan meminta izin kepada
leluhur untuk penyelenggaraan upacara Serentaun. Empat tokoh yang masih
dikenang masyarakat adalah Mbah Jamaka orang yang berjasa menyebarkan
agama Islam di Sindangbarang tahun 1700-an, lalu Mama Haji Abdullah dan
Mama Haji Ali sebagai orang yang meneruskan syiar Islam Mbah Jamaka tahun
1800-an.Terakhir adalah berziarah ke makam Ki Lurah Etong Sumawijaya yang
pernah menjabat lurah sekitar tahun 1970-an dan berjasa terhadap kelangsungan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
30
upacara Serentaun. Ziarah tersebut dilakukan oleh para sesepuh adat atau kokolot
dibawah pimpinan ketua adat atau pupuhu. Peziarah melakukan pembacaan doa
yang berupa surat-surat dalam Al-Quran, meminta kepada Allah untuk memberi
keselamatan pada para leluhur dan penduduk Sindangbarang, serta kelancaran
acara yang akan diselenggarakan dalam 4 hari.
Hari kedua, ritual yang dilakukan berupa sapta tirta, yakni prosesi
pengambilan air dari 7 sumber mata air, antara lain Cikareo, Cilepas, Cieja,
Cimiing, Jalatunda, Cipamali, dan Ciputri. Rute perjalanan rombongan tersebut
dimulai dari mata air yang berada di lokasi yang paling rendah, terus naik ke mata
air yang terletak di daerah pasir atau bukit. Ketujuh mata air itu, satu persatu
diambil airnya dan ditempatkan ke dalam kendi. Seluruh kendi yang sudah terisi
penuh dengan air itu diarak sambil diiringi alunan musik angklung gubrak menuju
Rumah Gede. Rombongan pembawa air itu tiba kembali di Rumah Gede sekitar
pukul 15.30 WIB. Di tempat tersebut dilaksanakan ritual berdoa dan menuangkan
air yang berasal dari tujuh mata air ke dalam satu wadah berupa tempayan atau
gentong. Ritual acara ini dipimpin langsung oleh sesepuh adat atau pupuhu.
Sekitar pukul 19.00 WIB, Rumah Gede kembali ramai karena sesaat lagi akan
berlangsung ritual acara pembukaan Serentaun atau disebut ritual acara ngangkat.
Sesepuh adat, para kokolot adat, saksi adat, dan warga masyarakat berkumpul di
tempat tersebut, tepatnya di tengah ruangan yang ada gentong kecil. Ritual
ngangkat pun segera dimulai, di bawah pimpinan sesepuh adat atau pupuhu. Air
dalam tempayan atau cai kukulu diambil yang jernihnya. Sepanjang prosesi
menjernihkan air berlangsung, tembang religi terus mengiringinya. Selain prosesi
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
31
menjernihkan air, ritual berdoa dilakukan oleh mereka yang hadir pada saat itu.
Mereka membaca doa-doa yang diambil dari ayat-ayat Al-Quran, seperti Yasinan.
Hari ketiga, dalam Serentaun dilakukan ritual ijab yang mengawali
seluruh ritual pada hari itu. Acara tersebut terdiri dari sambutan dari ketua adat
atau pupuhu, wakil kokolot dan perwakilan pejabat pemerintahan di depan Rumah
Gede. Setelah itu acara dilanjutkan dengan sedekah kueh, yaitu ritual yang
membagikan kue-kue yang diletakkan dalam tampah kepada masyarakat yang
hadir saat itu. Memotong kerbau adalah tahapan ritual berikutnya. Sebelumnya
kerbau yang berusia 7-8 tahun diarak oleh satu rombongan khusus. Penampilan
kerbau yang diarak berbeda dengan sehari-hari. Kerbau yang akan jadi kurban
tersebut ditutupi kain putih di atas badannya. Bunga-bunga yang dironce
dikalungkan di leher kerbau.
Rombongan yang mengarak kerbau tersebut terdiri dari petugas
penyembelih kerbau dan kerbaunya, kemudian rombongan pembawa kendi yang
terdiri dari 7 orang gadis yang mengenakan busana tradisional. Tujuh orang gadis
tersebut masing-masing membawa air di dalam kendi yang berasal dari 7 mata air
atau cai kukulu. Rombongan di belakangnya adalah 2 orang pemegang tanaman
hanjuang—yang dulu dalam kehidupan sehari-hari petani ditanam di pinggir
sawah sebagai pencegah bahaya. Dua orang pembawa tebu berada di belakang
pembawa hanjuang. Urutan berikutnya dari arak-arak tersebut, 2 orang pemikul
kotak kayu berisi 1 gentong air dan tanaman hanjuang. Di dalam gentong tersebut
merupakan gabungan dari air dari 7 mata air yang diyakini oleh masyarakat masa
lalu sebagai air yang mempunyai kekuatan istimewa yang akan mendatangkan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
32
kesejahteraan lahir batin. Air tersebut dipayungi oleh seorang kokolot yang
berjalan di belakangnya. Berikutnya rombongan yang terdiri dari orang-orang
pembawa jampana kosong yang akan digunakan untuk membawa daging kerbau
setelah dipotong. Barisan berikut adalah berbagai kelompok kesenian tradisional
yang dulu berfungsi sebagai alat penghibur dan ada juga kesenian yang
berhubungan dengan pemujaan terhadap Sri. Kesenian itu antara lain reog,
calung, angklung gubrak, tanjidor, kendang penca, dan jipeng. Di belakangnya
diiringi barisan dan paling belakang adalah warga masyarakat sekitar.
Arak-arakan tersebut disambut oleh rombongan lain yaitu sekelompok
penabuh gendang dan hentakan irama tutunggulan—suatu permainan yang
dilakukan dengan memukul-mukul alu pada lesung. Dua orang kokolot maju ke
depan menjadi juru rajah yang bertugas membacakan doa, mencelupkan hanjuang
ke dalam tempayan besar, dicipratkan kepada seluruh peserta dan penonton. Arakarakan kembali berjalan lagi dan bunyi alat-alat musik dimainkan sampai tempat
pemotongan kerbau.
Hari keempat merupakan puncak upacara Serentaun. Mereka kembali
mengadakan arak-arak yang membawa hasil pertanian yang dimasukkan dalam
dongdang—dulu hasil pertanian ini menjadi upeti kepada penguasa setempat-- dan
terutama dua ikat padi yang dianggap Dewi Sri dan Dewa Kuvera. Dua ikat padi
tersebut diberi pita hitam dan putih sebagai simbol dari kerajaan Pakwan
Pajajaran. Arak-arakan ditujukan ke lumbung atau leuit Ratna Inten—untuk
mengembalikan Pare Ambu atau Dewa Kuvera dan Dewi Sri
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
33
2.2.2. Mata Pencaharian Sehari-hari
Desa Pasir Eurih terkenal dengan industri rumah tangga sepatu. Sektor
tersebut menyerap 70% tenaga kerja. Petani dan buruh tani sekitar 20%. Sisanya
adalah karyawan swasta, PNS, tukang, TNI, dan pensiunan. Industri rumah tangga
sepatu dan pertanian yang menyerap tenaga kerja terbesar tersebut,
terbagi
menjadi kelompok tenaga kerja dari usia 10—57 tahun. Data yang diambil dari
kelurahan Pasir Eurih tahun 2007/2008 adalah:
Daftar Tabel 1
Kelompok Usia / Tahun
Jumlah / Orang
10 -14
1120
15 – 19
1077
20 -26
1063
27 -40
1781
41 - 56
1585
57 ke atas
1346
Sumber Potensi Desa Pasir Eurih
Industri-industri rumah tangga ini sudah mulai ada sejak tahun 1960-an dan
beberapa mendatangkan tenaga kerja buruh dari luar Sindangbarang. Areal
persawahan semakin menyempit, sawah-sawah banyak dijual untuk mendapatkan
modal mendirikan industri rumah tangga sepatu. Menurut ketua adat “Kampung
Budaya”, luas area sawah di Sindangbarang sekarang kurang lebih 8 ribu ha².
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
34
Berkembangnya industri rumah tangga sepatu tidak terlepas dari letak
geografis Sindangbarang yang dekat dengan perkotaan, baik Kotamadya Bogor
maupun Jakarta ditambah dengan sarana dan prasarana yang memadai. Industri
rumah tangga ini memberikan nilai positif secara ekonomi dan budaya kerja bagi
penduduk, yaitu tidak adanya angka pengangguran dan menahan mobilitas
penduduk meninggalkan kampungnya. Berikut adalah tabel jumlah penduduk
berdasarkan mobilitas dari tahun 2007/2008:
Daftar Tabel 2
Kategori
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Mati
120
116
Lahir
14
12
Datang
12
11
Pindah
24
25
Sumber Potensi Desa Pasir Eurih
Nilai negatif dari dikenalkannya kerja sejak dini menurut kalangan elit
agama yang berpengaruh terhadap pendidikan masyarakat, ketika anak-anak pada
usia tersebut mendapat imbalan uang, mereka tidak mau bersekolah lagi sehingga
menyebabkan tingkat pendidikan rendah. Banyak anak-anak tidak melanjutkan ke
tingkat pendidikan yang lebih tinggi seperti universitas. Akan tetapi keadaan
tersebut jauh lebih baik karena jumlah penduduk yang berhasil menamatkan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
35
pendidikan hingga SMA sudah meningkat. Memang yang terbanyak
tingkat
pendidikan penduduk adalah SD. Berikut adalah tabel tingkat pendidikan
masyarakat Sindangbarang sekarang:
Daftar Tabel 3
Tingkat Pendidikan
Jumlah / Orang
SD
1127
SMP
227
SLTA
193
D1 – D3
14
Sarjana
37
Sumber Potensi Desa Pasir Eurih
Sebagian besar industri rumah tangga yang dikerjakan oleh masyarakat
mendapat modal dari pengusaha perseorangan. Hanya beberapa saja mempunyai
manajemen yang kuat baik modal kapital maupun modal sumber daya manusia
yang dapat memasarkan produk kerajinan. Pemilik modal perseorangan tersebut
biasanya keturunan Tionghoa. Modal tersebut dalam bentuk bon putih, yang berisi
catatan belanja bahan-bahan yang harus dibeli di tempat-tempat yang telah
ditunjuk oleh pemberi modal setelah pengrajin memberi contoh model yang akan
dibuat dan keduanya membuat kesepakatan harga. Harga yang ditawarkan oleh
pengrajin tergantung tingkat kesulitan model produk yang akan dibuat. Pemodal
juga akan meminta harga dengan taksiran yang berdasarkan kecenderungan pasar.
Produk yang sudah jadi diambil oleh pemberi modal yang sekaligus pemasar
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
36
seminggu sekali. Misalnya pemodal meminta dibuatkan 100 kodi dari satu
bengkel industri rumah tangga.
Pekerjaan membuat produk kerajinan dengan target sebanyak yang
diminta pemodal menekan pengrajin. Pengrajin kemudian membayar pekerja
dengan sistem borongan. Apakah pekerjaan itu dilakukan hingga lembur atau
tidak, dalam seminggu jumlah yang diminta pemodal harus terpenuhi. Dalam satu
periode produksi yaitu selama seminggu pemberi modal mengambil untung
biasanya Rp.50.000 per kodi. Sedangkan pengarajin yang diberi modal
keuntungannya tergantung pada kepandaiannya berkreasi membuat produk lebih,
dari bahan-bahan yang disediakan. Secara umum keuntungan pengrajin yang
diberi modal oleh pemberi modal lebih sedikit dibanding yang memberi modal.
Pekerja dalam seminggu mendapat gaji tergantung dari jumlah produk sepatu
yang dihasilkannya. Biasanya ia mendapat gaji sebesar Rp.200.000 per minggu.
Pertanian sebenarnya bukan mata pencaharian yang utama meskipun untuk
pekerjaan industri rumah tangga sepatu yang hasilnya rutin mereka mengatakan
pekerjaan itu hanya sampingan. Bertani dengan sistem sawah tidak ditujukan
untuk produksi yang memenuhi pasar, tetapi hanya memenuhi kebutuhan sendiri.
Di Sindangbarang dan Dukuh Menteng terdapat pertanian dengan sistem sawah
dan kebun.
Meskipun demikian di kedua Dukuh tersebut masih terdapat kelompokkelompok tani yang mempunyai berbagai kegiatan yang bertujuan membantu
petani dalam penanaman padi dan tanaman lain. Penyuluhan-penyuluhan juga
beberapa kali dilakukan. Contoh kegiatan nyata lain adalah iuran anggota untuk
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
37
membajak sawah. Biasanya untuk lahan seluas satu hektar menghabiskan biaya 1
juta untuk pembajakan. Kemudian petani membeli bibit. Masa sekarang bibit yang
ditanam adalah jenis padi Bondoyudo. Pemerintah menetapkan banyaknya bibit
25 Kg, tetapi menurut penduduk setempat jumlah tersebut tidak mencukupi.
Mereka membutuhkan bibit sebanyak 50 Kg. Jenis padi Bondoyudo menurut
warga sebenarnya rasanya tidak begitu enak, jenis berasnya kecil-kecil tapi bisa
panen maksimal. Sebab jenis padi ini lebih tahan hama terutama hama merah—
yaitu hama yang menyebabkan daun-daun padi memerah—dibanding dengan
jenis padi Ciherang atau IR. Soal cita rasa beras dari padi Ciherang memang lebih
enak. Dalam hal pemupukan, biasanya lahan seluas 1 ha² membutuhkan pupuk
400 Kg. Pembelian pupuk juga dikoordinasikan oleh ketua kelompok tani.
Masing-masing angota membayar Rp.25.000 untuk membeli pupuk.
Panen padi dilakukan tiga kali dalam setahun dengan masa jeda satu bulan
kalau cukup pengairan. Sistem sawah masyarakat tergantung pada hujan atau
disebut sistem tadah hujan.
Hasil panen memenuhi kebutuhan sendiri dan
biasanya cukup sampai musim panen berikutnya untuk ukuran sawah seluas 2000
meter². Masyarakat menjual beras kalau ada kebutuhan menDesak saja, atau kalau
ada sisa dari hasil panen yang sudah lama.
Tidak semua petani mempunyai lahan sendiri. Lahan yang dimiliki petani
pun sudah semakin sempit. Para petani yang tidak mempunyai lahan, pada musim
tanam hingga panen menjadi buruh atau bekerja pada petani yang mempunyai
lahan dengan sistem pembagian hasil yang disebut maro dan ngepak. Sistem maro
atau pembagian separuh pemilik, separuh buruh, dilakukan apabila buruh sejak
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
38
awal mengolah lahan sampi panen dengan pembiayaan obat, pupuk dan lain-lain
dari buruh sendiri. Pemilik lahan hanya menerima hasil akhir. Pada sistem
ngepak, petani mendapat pembagian hasil 5 : 1, lima untuk petani pemilik lahan
dan satu untuk buruh. Pada sistem ini buruh tani hanya membantu saat musim
panen tiba, sedangkan sejak masa tanam, perawatan, dan pembiayaan dilakukan
oleh pemilik lahan.
Selain padi, sawah biasanya juga ditanami kangkung. Kangkung ditanam
sebagai produksi yang memenuhi kebutuhan pasar. Akan tetapi produksi pertanian
kangkung ini juga hanya dikerjakan sampingan. Penjualan kangkung bagi
masyarakat setempat lumayan meskipun harganya juga turun-naik. Jika sedang
musim kangkung harga jatuh menjadi Rp.200,- per ikat. Sedangkan harga terbaik
selama ini adalah Rp.700,- per ikat. Areal seluas 500² meter biasanya akan
memanen 1000 ikat.
Dalam pertanian sawah, air sebenarnya menjadi masalah, sehingga petani
berebut menanam padi. Setelah baru saja panen, petani biasanya buru-buru
menanam lagi, karena takut tidak kebagian air. Hal itu sebenarnya menimbulkan
masalah terutama dalam penanganan hama penyakit. Ketika satu areal sawah
panen, sebelahnya sedang tumbuh maka hama akan pindah ke sawah yang sedang
tumbuh. Tapi tindakan berebut tersebut belum ada penyelesaiannya dan dianggap
sebagai hal yang dapat dimengerti. Sebab kalau menanam bersama-sama air tidak
mencukupi. Dan sampai sejauh ini belum ada upaya untuk membuat saluran air
dari sungai-sungai yang mengalir dari mata air gunung Salak.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
39
Setelah tidak berfungsinya koperasi, masyarakat petani setempat sangat
mengharapkan bantuan modal dari pemerintah untuk mendirikan toko yang
berfungsi seperti KUD. Menurut warga, toko menyediakan berbagai kebutuhan
petani dengan cara petani dapat mengambil lebih dulu kebutuhan-kebutuhannya,
lalu saat panen membayar. Banyak petani tidak mempunyai modal untuk membeli
pupuk atau obat sehingga sering kesulitan saat bercocok tanam.
Mata pencaharian yang ditekuni masyarakat selain petani dan pengrajin
sepatu adalah penyedia sektor jasa dan pedagang. Jumlahnya memang tidak
terlalu banyak. Sektor jasa yang tersedia adalah sopir angkot dan tukang ojeg.
Jalur angkutan ke Sindangbarang disediakan jalan aspal yang sempit dengan jarak
10 Km dari pasar Ramayana hingga Kabandungan. Sedangkan jalur ojeg
disediakan untuk jalan yang tidak dapat dialalui kendaraan beroda empat.
Pendapatan bersih sopir angkot dan tukang ojeg pada tingkat minimal atau paling
sepi penumpang sekitar Rp.25.000 dalam sehari.
2.2.3. Sistem Keorganisasian Masyarakat
Sistem keorganisasian masyarakat di desa Sindangbarang sama dengan
desa yang lain di seluruh Indonesia. Tetapi sejak adanya Serentaun Rekonstruktif,
kemudian dipertimbangkan adanya suatu kampung berdasarkan tata aturan adat.
Sub-bab berikut membahas perbedaan tata administrasi nasional dan tata
administrasi adat.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
40
2.2.3.1. Sistem Keorganisasian Masyarakat Desa
Sindangbarang pada masa kini merupakan nama sebuah dukuh di bawah
tata administrasi pemerintahan nasional Indonesia yang berjenjang dari Rukun
Tetangga (RT) hingga Presiden. Rukun Tetangga dibuat dalam kesatuan kepala
keluarga. Di atasnya terdapat Rukun Warga (RW). Secara formal dalam tata
administrasi nasional di atas RW langsung dipimpin oleh kepala desa Pasir Eurih
yang membawahi 14 RW dan 54 RT. Desa ini masuk dalam kecamatan Taman
Sari, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat dan dalam kesatuan negara Republik
Indonesia. Tata administrasi ini sama di seluruh daerah di Indonesia.
2.2.3.2 Sistem Keorganisasian Berdasarkan Rekonstruksi Tradisi
Sistem keorganisasian berdasarkan rekonstruksi tradisi mulai ada sejak
dibangunnya Kampung Budaya yang menjadi salah satu peralatan ritus upacara
dalam Serentaun. Serentaun Rekonstruktif dinarasikan berada di sebuah desa
adat, untuk itu perlu dibangun tiruan desa adat di Sindangbarang berdasarkan
masa lalu sejarah Sindangbarang sebagai wilayah kamandalaan.
Wilayah kemandalaan dipimpin oleh seorang yang dianggap suci atau
primus intepares. Pemimpin tersebut menjadi pemimpin kasepuhan atau adat
disebut Rama yang berarti yang dianggap ayah, atau disebut juga pupuhu atau
ketua adat. Di Sindangbarang ketua adat rekonstruktif ini diangkat sebagai ketua
adat karena masih keturunan dari leluhur Sindangbarang yang juga berperan
dalam penyebaran agama Islam di wilayah tersebut. Maki Sumawijaya, pupuhu
Sindangbarang
berperan dalam penggalian kembali budaya Sunda di
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
41
Sindangbarang,
Kabupaten Bogor yang dalam penelitian ini akan disebut
sebagai elit tradisi bersama budayawan Bogor lain yang bekerja dalam
rekonstruksi upacara Serentaun.
Di bawah ketua adat atau pupuhu terdapat sesepuh girang atau sekertaris
yang mengerjakan tugas-tugas harian ketua adat. Lalu di bawahnya terdapat
kokolot atau tokoh-tokoh yang dituakan yang memegang peran menjadi saksi dan
menjalani kehidupan tradisi berdasarkan warisan leluhur. Satuan keluarga
merupakan masyarakat yang dibawahi oleh kokolot.
2.2.4. Bahasa Sehari-hari
Bahasa Sunda di Sindangbarang, Bogor sudah mengalami percampuran
dengan bahasa Indonesia dialek Jakarta. Ketika sedang bersama keluarga dalam
suasana santai mereka berbahasa Sunda. Pada teman-teman sebaya generasi tua
berbahasa Sunda, sedangkan generasi muda berbahasa campuran. Jika berhadapan
dengan tamu yang berasal dari suku Sunda dan lebih awal mengajak berbicara
bahasa Sunda, mereka berbahasa Sunda. Akan tetapi jika tamu yang datang
berasal dari suku lain mereka berbahasa Indonesia.
Bahasa Sunda Sindangbarang sama seperti bahasa Sunda daerah Bogor
pada umumnya. Tetapi bahasa Sunda Bogor
berbeda dengan bahasa Sunda
daerah Priangan, seperti Bandung, Garut, Tasikmalaya, Sukabumi dan Cianjur.
Jika dilihat dari perspektif orang Sunda Priangan, bahasa tersebut terdengar kasar.
Sedangkan menurut masyarakat Bogor, Sindangbarang, bahasa Sunda sebenarnya
tidak mengalami tingkatan-tingkatan. Adapun bahasa Sunda dengan pola
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
42
tingkatan sebenarnya telah mendapat pengaruh dari Mataram Islam yang
disebarkan pada priyayi-priyayi pada zaman Belanda di daerah Priangan. Berikut
ini adalah contoh percakapan bahasa Sunda Bogor diantara dua orang berusia
sebaya.
A: “Teu baleg eta budag gawena. Naon sih? Masih keneh aya pacogregan
geuningan, maneh?”
(Anak itu bekerja tidak benar. Mengapa sih? Masih ada masalah ya, kamu dan
dia?”
B: “Henteu. Teuing si eta mah. Urang geus ngarengsekeun ti kamari.”
(“Tidak. Tidak tahu kalau dia. Saya sudah menyelesaikannya sejak kemarin.)
2.2.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Komodifikasi Budaya Serentaun
Rekonstruktif
Ketika agama Islam semakin berkembang, pengajian semakin pesat,
tumbuh kembali perbedaan-perbedaan masyarakat dalam melihat suatu budaya
atau
kebiasaan yang diciptakan oleh masyarakat setempat. Perkembangan
tersebut hasil dari pengelolaan elit-elit agama yang menanamkan cara pandangnya
pada masyarakat dalam ruang-ruang pengajian atau majlis taklim. Perbedaanperbedaan biasanya berakibat konflik misalnya dalam pelaksaan upacara
Serentaun terjadi pro dan kontra yang sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar
dalam dinamika pertumbuhan suatu masyarakat. Beberapa elit penganut agama
Islam yang metode penyampaiannya lebih keras, menolak budaya Serentaun
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
43
dengan alasan membahayakan aqidah. Elit agama ini berasal dari generasi yang
lebih muda yang telah menerima pendidikan pesantren maupun pendidikan umum
dan kembali ke Sindangbarang mengembangkan keilmuan Islam tahun 1990-an.
Sedangkan elit agama Islam yang menerima budaya Serentaun adalah generasi
yang sedikit lebih tua, dan generasi tua yang juga berasal dari lingkup pesantren
dengan metode pengajaran yang lebih menekankan pada pendekatan budaya.
Kalangan ini memberi alasan bahwa dalam menyebarkan agama Islam, sebaiknya
menggunakan lahan budaya yang telah ada seperti yang diajarkan oleh para wali
dan pendahulu mereka, sesepuh Sindangbarang yang telah dulu menyebarkan
agama Islam pada masyarakat setempat.
Sebelum Serentaun dijadikan komodifikasi budaya tahun 2006, di daerah
ini pelaksanaan upacara syukuran dilaksanakan sendiri-sendiri yang tata caranya
berbeda-beda sesuai dengan keyakinan masing-masing. Masyarakat ada yang
menyebutnya Sedekah Bumi. Syukuran itu pun dilaksanakan dengan ritus
berbeda, meskipun penanggalannya sama yaitu menyambut kedatangan bulan
Muharam atau bulan Syuro pada kalender Islam. Beberapa tempat Sedekah Bumi
hanya dilaksanakan dengan cara membuat kue-kue dan menyembelih hewan
ternak yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Upacara dilakukan pagi
hari dengan mendoakan segala macam makanan lalu dibagikan pada masyarakat.
Di beberapa tempat Sedekah Bumi dilaksanakan dengan cara menyembelih
kurban, hewan ternak, yang kepalanya ditanam dalam tanah. Perbedaan itu yang
menjadi alasan konflik dalam masyarakat. Hanya sedikit masyarakat yang sadar
bahwa sebenarnya Sedekah Bumi maupun Serentaun merupakan ucapan syukur
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
44
pada Allah SWT yang memberi keberkahan pada masyarakat dari hasil bumi
yang awalnya merupakan penghormatan terhadap Dewi Sri atau Nyai Pohaci dari
sistem agama Sunda Wiwitan.
Keberadaan Dewi Sri sendiri tidak menjadi persoalan. Ketika Kampung
Budaya Sindangbarang menyelenggarakan upacara Serentaun kembali secara
serempak yang jadi perdebatan masyarakat adalah hal menanam atau tidak
menanam kepala kerbau. Simbol inti kesundaan dalam Serentaun yaitu penamaan
padi sebagai Dewi Sri dan padi ambu sebagai Dewa Kuvera tidak diperdebatkan
di kalangan luas. Keberatan beberapa elit agama yang dikatakan angkatan muda
lebih kepada upacara secara keseluruhan yang menurut mereka tidak terdapat
dalam tuntunan fikih. Beberapa elit agama yang tidak mempermasalahkan upacara
tersebut menganggap budaya harus dilestarikan, dijadikan lahan dakwah. Budaya
Islam berbeda-beda, tidak harus sama persis dengan asal agama Islam yang dari
Arab. Allah SWT menurutnya, telah menciptakan manusia berbeda-beda suku dan
bangsanya sebagai rahmat dan untuk saling mengenal dan memahami, sehingga
penggalian budaya itu penting selama tidak melanggar prinsip-prinsip keimanan.
Bagi elit agama dari kalangan generasi muda yang pada akhirnya dapat
bernegosiasi dengan budaya Serentaun lebih didorong oleh suatu alasan untuk
berdakwah, mengubah tradisi yang menurut mereka membahayakan aqidah
sedikit demi sedikit. Ketika upacara tersebut dijadikan komoditi pariwisata
sehingga mendatangkan banyak tamu di Sindangbarang, beberapa generasi muda
memberi persyaratan, bahwa keberadaan masyarakat Sindangbarang tidak boleh
dijadikan objek. Masyarakat Sindangbarang tidak boleh menjadi tamu di
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
45
daerahnya sendiri dengan kedatangan orang-orang luar Sindangbarang yang
mendikte kegiatan-kegiatan untuk penduduk Sindangbarang seakan kegiatankegiatan tersebut paling baik.
Selain elit agama yang berbeda metodologi dan akhirnya cara pandang
dalam menyampaikan sesuatu yang disebut mereka sebagai syiar atau dakwah,
ada juga kalangan elit tradisi yang berpengaruh terhadap masyarakat. Kalangan
elit tradisi ini yang menggerakkan revitalisasi kebudayaan Sunda, salah satunya
lewat Serentaun. Serentaun Rekonstruktif direkonstruksi dalam rangka menggali
dan memperkenalkan budaya lokal agar dapat diapresiasi oleh kalangan luas baik
masyarakat Indonesia dari daerah lain maupun masyarakat manca negara.
Program ini bertemu dengan program pemerintah yang disebut dengan pariwisata
tahunan dengan nama
Visit Indonesia Years. Pengaruh wacana elit tradisi
membentuk opini masyarakat tentang Sindangbarang pada masa lampau yang
mempunyai sejarah panjang peninggalan Kerajaan Pakwan Pajajaran. Berbagai
peninggalan bersejarah dan warisan budayanya diteliti bekerja sama dengan
kalangan pendidikan dari universitas.
Akan tetapi tampaknya wacana kesejarahan dan kebudayaan ini belum
menyentuh kesadaran masyarakat dari kalangan yang tidak terlalu aktif pada
kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Meskipun dari kalangan agama terjadi
benturan tetapi setidaknya wacana mengembangkan kebudayaan lokal menantang
wawasan masyarakat dalam memandang dinamika sosial. Ini berbeda dengan
masyarakat yang tidak aktif yang menjalani keseharian atau rutinitas dalam suatu
keadaan yang sulit. Bagi warga tersebut kebudayaan lokal, adanya Kampung
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
46
Budaya, Serentaun, akan menjadi nyata jika berimbas dalam kehidupan
perekonomian mereka. Berikut peneliti mengutip beberapa suara dari kalangan
masyarakat yang berprofesi sebagai buruh tani, tukang ojeg dan beberapa sopir
angkot:
Atok: 27 tahun. (bukan nama sebenarnya)
“Adanya kampung budaya nggak pengaruh bagi saya. Tukang ojeg di dieu
mah sepi wae. Sababna tamu-tamu yang datang pada pake mobil asup ka
dieu.”
(Adanya kampung budaya tidak berpengaruh bagi saya. Tukang ojeg di
sini sepi saja. Sebab tamu-tamu yang datang, masuk ke daerah sini
memakai mobil pribadi atau menyarter angkot—pen).
Sedangkan tanggapan beberapa orang sopir angkot sebagai berikut:
Dadang: 37 tahun (bukan nama sebenarnya)
“Serentaun iya ramai. Di sini banyak tamu, ada aja yang datang. Kadangkadang menyarter angkot, itu anak-anak SD. Anak-anak SMP ke
Kampung Budaya. Senanglah di sini jadi daerah pariwisata. Senang kalau
ramai.”
Acep: 33 tahun (bukan nama sebenarnya)
“Angkot di daerah sini mah sepi. Kalau sepatu lagi sepi, angkot sepi. Kan
angkot sering disewa buat bawa sepatu ke toko. Serentaun, ya ramai,
setahun sekali aja. Adanya Kampung Budaya belum pengaruh.”
Yudi: 23 tahun (bukan nama sebenarnya)
“Senanglah ada pariwisata. Kampung sini jadi sering didatangi tamu. Tapi
kabarnya di dekat Kampung Budaya mau dijadikan Rumah Sakit atau
perumahan korban Lapindo? Kata penduduk sih, tanah-tanah sawah mau
dijual. Kan kalau begitu Kampung Budaya sudah nggak bagus lagi. Sudah
nggak alami. Serentaun biasanya ramai. Orang-orang pada menginap
untuk melihat Serentaun.”
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
47
Selain sopir angkot dan tukang ojeg, buruh tani juga diminta untuk
menanggapi
komodifikasi Serentaun sebagai pariwisata. Berikut kutipan
wawancara peneliti dengan salah seorang buruh tani:
Acih: 28 tahun (bukan nama sebenarnya)
“Iya itu Serentaun ramai. Saya senang banyak tamu. Ada pemain sinetron
waktu itu. Kalau ramai begitu ya, saya nonton saja. Mau jualan, jualan
apa? Nggak punya modal, juga takut nggak laku.”
2.3
Serentaun Rekonstruktif Dalam Industri Pariwisata
Sub-bab ini akan menjelaskan industri pariwisata yang dikelola oleh
pemerintah daerah dan nasional yang menjadi salah satu bagian dari industri
internasional.
Melalui proyek yang diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa
industri pariwisata budaya mulai dimunculkan dengan mencari bentuk-bentuk
keunikan atau keaslian budaya lokal.
2.3.1 Industri Pariwisata Daerah
Serentaun yang telah disusun ulang pada tahun 2005 di Sindangbarang
adalah upaya untuk menjadikan upacara ini sebagai salah satu produk industri
pariwisata budaya. Industri pariwisata daerah dikelola oleh Dinas Pariwisata
tingkat propinsi dan kabupaten. Industri pariwisata tingkat daerah ini dimulai
ketika tahun 2006 World Cultural Tourism (WTO) dalam konferensi
internasionalnya di Yogyakarta mengangkat tema komunitas lokal sebagai patner
pengembangan pariwisata. Pembangunan pariwisata budaya pada konferensi
internasional pariwisata budaya dan masyarakat lokal di Yogyakarta tahun 2006
bertujuan mengurangi kemiskinan masyarakat lokal, begitu menurut menteri
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
48
Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dengan cara mengekplorasi tantangan
dan potensi wisata budaya untuk menciptakan lapangan kerja. Di propinsi Jawa
Barat proyek pembangunan pariwisata ini diluncurkan dengan nama yang sama
dengan pariwisata nasional: Visit Jawa Barat Year 2008.
Kecenderungan pemerintah daerah pada kapitalisasi budaya dimulai sejak
adanya politik bantuan dari PBB melalui UNDP yang memberi inisiatif program
pembangunan pariwisata di dunia. UNDP memberi dana sekaligus konsultasi
untuk program sektor wisata mulai tahun 1991, menurut Dahles yang mengutip
Gunawan (1977: 48). Program tersebut dari negara diturunkan ke propinsipropinsi di seluruh Indonesia. Sektor-sektor pariwisata ini kemudian diserahkan
kepada sektor swasta dengan melakukan deregulasi terhadap aktivitas ekspor
seperti potongan tarif, insentif pajak, dan kemudahan prosedur ekspor.
2.3.2. Industri Pariwisata Nasional
Penjualan alam pada proyek pembangunan pariwisata sudah dimulai sejak
modernisasi yang diterapkan oleh penjajahan Belanda di wilayah Nusantara Pra
Indonesia. Pariwisata tersebut mengeksploitasi alam sebagai praktik cara pandang
modernisme yang menganggap alam sebagai objek yang tunduk pada akal
intrumental 3manusia. Keterlibatan penjajahan Belanda pada proyek modernisasi
dalam bidang pariwisata dibuktikan dalam uraian Dahles (2000: 27-28) yang
3
Lihat Sindhunata .1999. “Dilema Manusia Rasional”. Dalam buku ini Sindunata menguraikan
tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh manusai yang berusaha rasional untuk mengatasi
kekuatan alam dengan ilmu pengetahuan. Rasionalitas yang digunakan disebut akal instrumental.
Akal ini mengobjektifikasi alam, alam dianggap sebagai sesuatu yang dapat dieksplorasi untuk
kepentingan manusia. Penggunaan akal instrumental ini yang semula ingin rasional ternyata bisa
menjadi tidak rasional karena usaha menguasai alam pada akhirnya menggunakan segala macam
cara yang merugikan.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
49
mengutip Picard bahwa tahun 1908 pemerintah Belanda sudah membuka biro
pariwisata untuk orang-orang Belanda di ibukota, Batavia. Biro tersebut bertugas
mempromosikan Hindia Timur sebagai wilayah destinasi atau tujuan wisata yang
difokuskan di Jawa kemudian diperluas di Bali tahun 1914 dengan dikawal oleh
tentara untuk menjaga keamanan. Di beberapa kota besar yang mempunyai hawa
yang sejuk pegunungan seperti Bandung, Semarang, Medan, Surabaya,
Bukittinggi, pemerintah Belanda membangun resort untuk istirahat dan balai
pertemuan pejabat-pejabatnya.
Masa Sukarno agenda kepariwisataan ini diteruskan sebagai bagian dari
keberlanjutan proyek modernisasi negara baru Indonesia setelah dimasukkan kata
“Tourism” dalam bahasa Indonesia menajadi “pariwisata”. Di Era Suharto
pariwisata semakin dieksplorasi dalam pembangunan lima tahun-an sejak 1979,
dan semakin diperluas
di luar Jawa dan Bali. Dahles mencatat penelitian
Gunawan dkk. (1993: VIII-2) bahwa kebijakan pariwisata saat itu masih
mengorientasikan kunjungan wisatawan Nusantara dengan tujuan pemahaman
kepulauan Indonesia bagi rakyat, meskipun satu sisi berkepentingan terhadap
penjualan keindahan alam dan budaya Nusantara. Pada masa pasca-reformasi
tampaknya pembangunan pariwisata ditujukan untuk mengikuti pariwisata dunia
dengan meneruskan pembangunan masa Orde Baru tetapi tidak krtitis terhadap
kondisi keindonesiaan saat ini. Departemen Pariwisata memang menginginkan
pariwisata sebagai alat pemersatu negara-bangsa, akan tetapi sejauh mana motto
tersebut berjalan dengan motto pariwisata dunia yang mencari bentuk-bentuk
keaslian budaya.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
50
Pembangunan pariwisata nasional pada masyarakat lokal dilakukan
dengan suatu riset pendahuluan yang bertujuan mencari destinasi wisata baru dan
mendialogkan program pariwisata dengan masyarakat setempat. Eko-wisata yang
mempunyai prinsip menghormati masyarakat lokal
mulai memprogram
pariwisata yang tidak searah dalam arti melibatkan masyarakat setempat dalam
penyelenggaraan pariwisata.
2.3.3
Industri Pariwisata Global
Industri pariwisata di dunia diprakarsai oleh oraganisasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam koordinasi United Nation of Development (UNDP) dan
United Nation Education (UNESCO) menurut Dahles (2000). Industri ini
kemudian berkembang pesat menjadi salah satu bidang industri yang
dipromosikan oleh lembaga keuangan dan pembangunan ekonomi dunia. Pada
tahun 1994 pariwisata internasional memproduksi kira-kira $3.5 triliun atau 6.1%
GDP global seperti yang dicatat oleh World Travels and Tourism Council (1995)
dan S. Waters (1995).
Dalam buku yang diedit oleh Yiannakis dkk.(1996) bahwa pariwisata
merupakan industri transnasional yang merupakan ciri khas pasca-industri.
Industri ini dalam era globalisasi bergerak ke seluruh negara-negara yang
mempunyai aset pariwisata baik alam maupun budaya melalui lembaga-lembaga
keuangan dunia seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF).
Pariwisata dunia mempunyai motto pelestarian terhadap keunikan dan
otentisitas budaya. Eko-wisata mulai diisukan sejak terjadinya kerusakan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
51
lingkungan akibat modernisasi pembangunan di segala bidang termasuk bidang
pariwisata. Proyek pembangunan modernisasi negara-bangsa di dunia ini hampir
memusnahkan keberbedaan komunitas-komunitas yang disebut adat karena
penyeragaman pembangunan tersebut. Berdasarkan alasan ini Eko-wisata
kemudian dicanangkan bersamaan dengan proyek keberagaman budaya etnis di
seluruh dunia.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
52
BAB III
SEJARAH SERENTAUN REKONSTRUKTIF DALAM SINKRETIK
AGAMA-AGAMA
Serentaun
Rekonstruktif
yang
berangkat
dari
konsep
Serentaun
berdasarkan pemujaan kepada Dewi Sri dengan mengucapkan terima kasih atas
hasil panen, diadakan pada tahun 2005 di Sindangbarang. Upacara ini merupakan
hasil kesepakatan antara beberapa pihak penganut agama dan keyakinan
masyarakat yang berbeda-beda. Sebelumnya upacara ini diadakan masing-masing
bersifat kelompok dan dalam skala kecil sehingga penyelenggaraan upacara
disesuaikan dengan kemampuan, dan berdasarkan konsep yang berbeda-beda
tergantung kepercayaan. Ada kelompok masyarakat yang menamainya bukan
Serentaun tetapi Sedekah Bumi, yaitu bagi mereka yang mengucapkan upacara
syukur tanpa memberikan latar belakang pemujaan terhadap Dewi Sri. Kelompok
ini adalah masyarakat beragama Islam yang dipengaruhi oleh ajaran Islam
modernis1 yang gerakannya gencar pada sekitar abad ke-18-19, sedangkan
beberapa tempat menggunakan nama Sedekah Bumi meskipun mirip Serentaun
yang mempunyai konsep pemujaan terhadap Sri tetapi dipadukan dengan konsep
agama Islam yang diyakini.
1
Dasar bagi gerakan Islam modernis adalah pemikiran Ibnu Taymiyah yang menempatkan
tasawuf sebagai hasil ijtihad, tapi bukan merupakan satu-satunya sumber mendekati Allah.
Pemikiran Taymiyah mengilhami kalangan Wahabiah (didirikan oleh Abdul Wahab) yang
merintis Islam modernis yang tidak menolak sufisme. Bahkan menurut Fajlur Rahman dalam
Ismail (2005), gerakan Wahabiah juga meneruskan tradisi sufi yang penekannya pada motif moral
dan penerapan metode zikir untuk mendekatkan diri pada Allah. Akan tetapi secara tegas
membedakan mistisisme yang benar dan salah, serta meletakkan tanggung jawab perubahan sosial
pada manusia. (Turner dalam Abdullah. 2005: 166. AF dalam AF dan Hidayat. Edt). Abdul Hadi
WM dalam Hidayat dan AF (2006: 452) berpendapat bahwa di Indonesia pada abad tersebut
keislaman di Indonesia mendapat nuansa pembaharuan sehingga tarekat-tarekat sufi mulai
memberikan perhatian pada keduniawian. Ortodoksi tersebut mendorong gerakan antikolonial
yang merata di seluruh nusantara.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
53
Upacara sebagai suatu tradisi yang pernah dilakukan turun-temurun oleh
masyarakat setempat kembali dikompilasi, direkonstruksi menjadi suatu upacara
yang tidak murni sakral tetapi sebagai pertunjukkan budaya lokal yang dapat
dinikmati oleh berbagai kalangan baik masyarakat setempat maupun tamu.
Berikut ini adalah uraian dari sinkretisasi beberapa agama yang mempengaruhi
rekonstruksi upacara Serentaun. Penelusuran asal-usul upacara Serentaun sebagai
wujud rasa terima kasih masyarakat pada Dewi Sri atau dewi kesuburan yang
dipasangkan dengan Dewa Kuvera atau dewa kemakmuran merupakan titik
penting mengenali satu demi satu konsepsi keagamaan masyarakat sejak zaman
Kerajaan Pakwan Pajajaran hingga kini ketika upacara tersebut disusun ulang
untuk komodofikasi budaya.
3.1 Sinkretik agama-agama Sunda Wiwitan dan Hindu-Buddha
Sinkretisasi antara agama masyarakat setempat yaitu Sunda Wiwitan
dengan Hindu-Buddha merupakan suatu proses peleburan atau percampuran
setelah adanya interaksi antara pendatang dari India dan masyarakat setempat.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa kedatangan India ke wilayah Nusantara
dengan cara kolonisasi baik dari kalangan Ksatrya maupun dari kalangan Waisya.
Akan tetapi ada juga peneliti yang menolak anggapan kolonisasi tersebut, dan
lebih condong pada pendapat bahwa agama Hindu-Buddha diajarkan oleh
Brahmana yang datang berdasarkan undangan masyarakat Nusantara sendiri.
(Poesponegoro dan Notosusanto 1993: 21-28). Argumen-argumen tersebut
meskipun bertentangan satu sama lain tetapi
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
tetap menjadi referensi dalam
54
kerangka pertemuan dua agama Sunda Wiwitan dan Hindu-Buddha yang saling
hidup selaras.
3.1.1. Konsep Agama Sunda Wiwitan
Agama Sunda Wiwitan sudah ada di tanah Sunda sebelum Dewawarman
memerintah di Salakanegara (130-168 M). Berdasarkan tradisi lisan Pantun Bogor
yang dikutip oleh Djatisunda (2008: 3) penulis kitab suci agama Sunda adalah
Resi Wisnu Brata atau Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu. Kitab suci
Sambawa, Sambada Winasa baru ditulis pada masa hidupnya tahun 1175-1297 M.
Cerita lisan tentang Rakean Darmasiksa tersebut juga dikuatkan oleh Pustaka
Wangsakerta.
Berikut Djatisunda (2008: 6) menguraikan bahwa agama Sunda Wiwitan
yang tertulis dalam kitab tersebut mengajarkan proses kehidupan manusia sejak
lahir, hidup hingga mati dan menitis atau reinkarnasi. Dalam proses ini manusia
diberikan dua tempat yang disebut jagat jadi carita (dunia fana) dan jagat kari
carita (alam baka). Dunia baka terdapat mandala dan buana karma atau jagat
pancaka yang terdiri dari 9 tingkatan. Setiap ruh manusia yang sudah meninggal
masuk dalam mandala paling bawah (mandala kasungka). Jika semasa hidup
manusia tidak baik, ia masuk dulu ke dalam kawah hukuman di buana karma
untuk mendapatkan ujian, sedangkan yang hidupnya baik masuk ke mandala yang
lebih tinggi. Mandala keenam adalah mandala Suda, tempat berkumpulnya
karuhun yang telah bebas pulang-pergi ke dunia fana. Di mandala ini terdapat dua
paseban, pertama paseban Pangauba, tempat karuhun yang bebas pulang-pergi
ke dunia fana, menjenguk yang masih hidup dengan mewujud kembali serta
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
55
berbicara. Kedua, Papanggung Bale Agung tempat para leluhur berkumpul
menunggu giliran nitis. Di atas mandala Suda terdapat alam kesucian atau jati
mandala. Di atasnya terdapat mandala Samar tempat para leluhur yang sudah
mempunyai jadwal menitis dan yang paling atas adalah mandala Agung tempat
Sanghyang Tunggal bersemayam.
Konsepsi tentang dewa dalam agama Sunda Wiwitan bukan konsepsi
ketuhanan tertinggi. Dewa Kuvera maupun Dewi Sri pada masyarakat Sunda
diletakkan di bawah Sang Hyang Tunggal. Danasasmita dkk.(1987: 74, 96) yang
dikutip Munandar (2007: 56), membicarakan kitab “Sang Hyang Siksa Kanda Ng
Karesian” dalam (Siksa II: 19-20), bahwa “.....mangkubumi tunduk pada raja, raja
tunduk pada dewata. Dewata tunduk pada hyang...”
Hyang tunggal disebut juga Niskala. Munandar (2007: 57) mengutip
Ekadjati dan Darsa (2006), bahwa “Batara Jatisniskala adalah penjelmaan Batara
Niskala yakni yang bersifat gaib, tampil tujuh menjadi tunggal demikianlah semua
itu.” Ketujuh perwujudan Sang Hyang Niskala tersebut antara lain: Sang Hyang
Ijunajati, Sang Hyang Tunggal Permana, Batara Lenggang Buana, Sang Hyang
Aci Wisesa, Sang Hyang Aci Larang, Sang Hyang Aci Kumara, Sang Hyang
Manon, yang disebut Guriang
Tujuh. Ketujuh perwujudan Niskala tersebut
membawahi seluruh dewa maupun dewi dalam agama Hindu dan agama
Buddha.(Munandar 2007: 57).
Ketunggalan Niskala tidak berbentuk dan tidak dikonkretkan. Sang Hyang
Jatiniskala atau Sang Hyang Jatinistemen berarti hakikat keteguhan. Dalam
naskah Sunda Kuna yang berjudul “Jatiraga” (kropak 422)”
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
dari Darsa dan
56
Ekajati (2006: 159), menyatakan bahwa konsep kegaiban Sang Hyang Niskala
bagaimanapun tidak dapat digambarkan dalam wujud yang nyata atau kebendaan,
yakni:
“Hakekat Jatinistemen berkata,
Nah Bayu sabda hedap,
Bagaimana mungkin muncul bentuk nyata,
Karena aku sebenarnya dalam hakikat Jatinistemen
Sebab aku adalah bebasnya dari kebebasan,
Sebab aku adalah mustahilnya dari kemustahilan,
Sebab aku adalah mungkinnya dari kemungkinan,
Sebab aku adalah sirnanya dari kesirnaan,
Sebab aku adalah lepasnya dari kelepasan,
Sebab aku adalah aslinya dari keaslian.
Sebab aku adalah jujurnya dari kejujuran
Sebab aku adalah jujurnya dari kejujuran,
Sebab aku adalah bunga putihnya dari bunga putih,
karena bukan yang hendak dicarinya,
karena bukan yang dicari bukan pula yang mencari.....
(Darsa dan Ekadjati 2006: 159).
Pengejawantahan masyarakat Sunda terutama Sindangbarang pada
konsepsi zat tunggal Tuhan dilakukan tidak dengan mendirikan bangunanbangunan megah seperti Candi dalam agama Hindu-Buddha. Menurut Munandar
(2007: 54), arsitektur bangunan untuk pemujaan seperti Punden Berundak yang
hanya dibuat dari balok-balok batu alami yang menahan teras-teras tanah
menunjukkan kesederhanan. Hal ini selaras dengan nama yang dipilih sebagai
tempat mandala atau tempat keagamaan yaitu Sindangbarang dalam wilayah
Kerajaan Pajajaran. Sindangbarang menurut Munandar (2007: 62) mempunyai
arti menghentikan segala sesuatu yang bersifat nafsu duniawi. “Sindang” dalam
bahasa Sunda tidak saja bermakna singgah, namun juga berhenti, sinonim dari
kata “euren”. Sedangkan “barang” dalam bahasa Sunda merupakan awalan untuk
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
57
menunjukkan segala macam benda, perbuatan, keinginan, yang terkesan dilakukan
agak sembrono. (Munandar 2007: 62).
Punden Berundak yang juga diceritakan dalam pantun Bogor, “tempat
pemujaan di hutan Songgong, / di bukit kecil kiharahyang / memuja batu yang
tujuh / yang bertingkat 3 tumpang teras.....” (Sutaarga 1965: 50). Pada punden
berundak tersebut menurut Munandar (2007: 55) tidak ditemukan arca-arca
Hindu-Buddha yang berarti bahwa mandala atau tempat keagamaan di wilayah
Sindangbarang, salah satu wilayah Kerajaan Pakwan Pajajaran tidak memegang
konsepsi kedewataan Hindu-Buddha. Punden ini digunakan oleh masyarakat
untuk pemujaan pada Hyang dengan bentuk bertingkat-tingkat sebagi bentuk
simbolis yang semakin tinggi tingkatannya semakin mendekatkan diri pada dunia
atas milik Hyang. Tempat pertapaanya bernama Dewa Sasana yang di dalamnya
terdapat kawikuan dan kabuyutan. Pada peristiwa panen setahun sekali, atau setiap
hari diadakan ritus dalam kawikuan dan kabuyutan. Ritus itu juga bisa dilakukan
di rumah sendiri atau tempat keramat lain. (Munandar, 2008: 18-19).
Penyebar agama Sunda pertama menurut
Djatisunda (2008:3) yang
mengambil cerita pantun Bogor pada episode “Tunggul Kawung Bijil Sirung”
adalah seorang tokoh yang disebut “Mundi ing Laya Hadi Kusumah” setelah
mendapatkan Layang Salaka Domas dari “Jagat Jabaning Langit”—suatu jagat di
luar alam semesta. Jabaning Langit merupakan Mandala Agung atau Buana
Nyungcung. Layang Salaka Domas secara harfiah mempunyai arti Kitab Suci
Delapan Ratus Ayat
yang berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup dari
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
58
semenjak lahir (sembawa), dewasa atau tua (sembada), kematian dan kehidupan
kembali di alam hyang (winasa).
Konsep kesadaran manusia sebagai mahluk dalam agama Sunda Wiwitan
adalah manusia yang sadar dirinya sebagai mahluk yang hidup di antara mahluk
lain. Djatisunda (2008: 8), mengatakan manusia “nyunda” yaitu manusia yang
“menyadari satwa terkecil hingga yang paling besar, manusia-raksasa dan detia,
lumut-lumut perdu sampai kekayuan, pasir-kerikil-cadas samapai bebatuan, mata
air-telaga sampai lautan, bumi-langit sampai semesta alam, angin semilir sampai
angin tofan, bintang bertaburan-bulan terang, matahari terik. Itu semua ciptaan
Sanghyang Tunggal. Bagi-Nya kesemuanya itu sama tidak ada bedanya”.
3.1.2. Konsep Agama Hindu-Buddha
Agama Hindu berasal dari India yang dibawa oleh bangsa Arya. Sebutan
Hindu berasal dari orang-orang Parsi yang beragama Islam dari kata Hindustan,
tanah milik orang yang beragama Hindu. Agama Hindu pada masa kuna bernama
agama Veda yang baru mengalami perkembangannya setelah orang-orang arya
tersebut mendiami India. Veda juga merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh
dewa Brahmana kepada para resi berupa mantera-mantera. (Hadiwijono, 1971:
18). Isi kepercayaan dalam kitab Veda dua zat yang kedudukannya lebih tinggi
dari manusia yaitu, dewa-dewa yang bersikap pemurah pada manusia dan roh
jahat yang bersifat mengganggu manusia, sehingga manusia membutuhkan
upacara. Upacara-upacara tersebut mempersembahkan kurban-kurban dengan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
59
tujuan mendapat kemurahan dan perlindungan dewa-dewa agar tidak diganggu
roh jahat. Permohonan tersebut berupa sesuatu yang akan datang, bukan sesuatu
yang telah terjadi. Kurban untuk ucapan rasa syukur karena hal-hal yang telah
dialami tidak ada.
Dalam perkembangannya agama Veda mengalami perubahan bersamaan
dengan perbedaan cara pandang terhadap kurban. Pada zaman Veda Purba
menurut Hadiwijono (1971: 21), kurban menjadi alat untuk mempengaruhi para
dewa menolong manusia. Kurban itu sendiri sudah mempunyai nilai magis yang
lebih berkuasa dari para dewa. Dalam agama Brahmana kurban menjadi alat
untuk memperoleh kekuasaan di dunia dan akhirat. Bahkan kurban dibebaskan
dari perihal dewa-dewa, mempunyai daya magis sendiri untuk memperoleh
kebahagiaan manusia. Kesaktian kurban-kurban ini tergantung dari manteramantera yang dibawakan oleh imam. Sejak itu kekuatan para Brahman menjadi
penting.
Pada masa itu lahir kasta-kasta, meskipun sebelum bangsa Arya datang,
orang India juga sudah mengenal kasta-kasta. Kasta bangsa Dravida terdiri dari
golongan imam, prajurit dan pekerja. Ketika bangsa Arya datang, dan
memperkenankan bangsa Dravida masuk di dalamnya, kasta tersebut ditambah
hingga kasta Sudra. Dengan adanya kasta ini kemudian muncul konsep sosial
yang menghadirkan peraturan-peraturan bagi prilaku hidup sesuai dengan
kastanya. (Hadiwijono, 1971: 22).
Dalam agama Hindu yang disebut dalam zaman Brahman ini, kurban
dianggap sebagai alat menjadikan manusia sebagai Tuhan di dunia, dewa-dewa
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
60
secara otomatis berkurang kewenanganya, bahkan ada beberapa dewa yang
diturunkan kedudukannya. Meskipun untuk memenuhi keperluan sesuatu yang
dianggap lebih tinggi dari manusia, beberapa dewa tetap ditinggikan.
Selain agama Brahman kemudian berkembang agama Upanishad yang
bersumber dari bagian terakhir Veda, disebut kitab Aranyaka dan Upanishad.
Penyusun kitab Aranyaka menurut Hadiwijono (1971: 24) adalah para pertapa di
hutan. Isi ajaran tersebut sama dengan yang dibicarakan dalam kitab-kitab
sebelumnya diantara kitab Brahmana dan Upanishad.
Upanishad berarti duduk di bawah kaki guru untuk mendengarkan
ajarannya. Awalnya kata itu hanya digunakan untuk sebutan ajaran guru kepada
muridnya tetapi kemudian dapat juga berarti segala macam rahasia yang mistis.
Ajaran Upanishad disebut monisme yang idealistis. Ajarannya berisi segala
sesuatu dikembalikan pada satu asas yang disebut Brahman dan Atman. Brahman
merupakan alam semesta, Atman adalah asas manusia atau jiwa individu. Hanya
Brahman dan Atman yang memiliki realitas, dunia benda yang nampak tidak
nyata atau maya. Brahman adalah sebab adanya dunia, ia tidak nampak tapi
berada di dalam segala sesuatu. Atman berasal dari Brahman atau jiwa asali, yang
tidak nampak itu yang nyata dan merdeka. Sedangkan Atman adalah hakikat
manusia yang sesungguhnya, subjek yang tetap ada di tengah segala sesuatu yang
berubah.
Pada akhirnya Brahman adalah Atman, segala asas kosmis adalah
manusia. Atman hanya dapat kembali bersatu dengan Brahman bila keadaannya
tetap bersih seperti semula. (Danasasmita, 2006: 85).
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
61
Hal lain yang diajarkan dalam Upanishad adalah karma yang berarti
perbuatan, tetapi dalam praktik disebut kurban. (Hadiwijono, 1997: 26). Perbuatan
tersebut adalah selama pengembaraan manusia hidup di dunia. Hadiwijono
mengutip Upanishad III, 2, 13, menurut golongan Wanaprastha yang diberkati
dewa-dewa bukan kurban tetapi tiap perbuatan yang akan mempengaruhi
kehidupan manusia yang akan datang. (Up.IV, 4, 6 dalam Hadiwijono, 1997: 27).
Karma mengakibatkan samsara yaitu tentang perputaran kelahiran. Samsara
mengajarkan bahwa nasib manusia dan segala mahluk adalah lahir, mengalami
hidup, mati, dilahirkan lagi, hidup dan mati lagi dan seterusnya. Samsara tersebut
terjadi karena keinginan yang menguasai manusia selama hidup. Keinginan
tersebut yang menggerakkan perbuatan manusia. Untuk sampai pada tahap
kelepasan manusia harus menghapus segala keinginannya. Syarat untuk dapat
mewujudkan kelepasan tersebut adalah pengenalan terhadap diri. “Aku” yang
abadi. Ajaran Upanishad ini disebut juga panteisme yang mempercayai adanya
Tuhan dalam segala sesuatu. Termasuk “Aku” manusia pada hakikatnya adalah
“Aku” Tuhan.
Agama Veda yang mengalami masa kemunduran sebagai akibat
berkembang pesatnya agama Buddha dan Jaina muncul dalam bentuk agama baru
yaitu agama Hindu. Agama Hindu ini diperkirakan tumbuh sekitar abad pertama
masehi. Kitab yang digunakan merupakan perkembangan dari kitab Veda dalam
bentuk kitab baru yaitu Purana, Epos, Dharmasastra dan kitab-kitab sutra Hindu.
Perbedaan yang terlihat jelas pada agama Hindu dibanding agama Veda kuna
yaitu jumlah dewa dan nama-nama dewanya. Pada agama Veda kuna ada 33 dewa
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
62
sedangkan dalam agama Hindu lebih banyak lagi sebab adanya perkembangan
agama Hindu yang berbaur dengan agama-agama lain diantaranya Buddha.
Peranan dewa-dewa banyak yang berubah pada agama Hindu yang sebenarnya
juga mengambil nama dewa-dewa dari agama Veda, seperti dewa tertinggi adalah
Trimurti yang terdiri dari Brahma, Wisnu dan Siwa. Brahma merupakan dewa
pencipta alam semesta, Wisnu adalah dewa pemelihara sedang Siwa adalah dewa
perusak alam semesta.
Agama ini kemudian berkembang lagi setelah mendapatkan pengaruh dari
orang-orang Dravida yaitu timbulnya aliran-aliran theistik yang berciri
kependetaan yang disebut Hinduisme. Hinduisme merupakan kepercayaan yang
yang diciptakan oleh pendeta-pendeta dan penyair mantra yang tumbuh hingga
saat ini. Akan tetapi Hinduisme berbeda dengan Brahmanisme yang terbatas pada
kalangan tertentu. Kepercayaan Hindu dapat dipelajari semua orang dari golongan
manapun termasuk kaum wanita.
Upacara-upacara dalam kepercayaan Hinduisme biasanya dengan
memberikan kurban dan menggunakan arca sebagai pemujaan. Dewa maupun
dewi (Tantris) pada pagi hari dibangunkan dengan menggunakan bunyi-bunyi
berirama. Arca dewa-dewi tersebut dimandikan, diuap dengan wewangian, lalu
diberi pakaian. Setelah itu mereka diberi penghormatan dengan bunga-bunga,
diberi makan nasi dan buah-buahan. Sisanya diambil oleh pemujanya dan diberi
pada fakir miskin. Binatang kurban disembelih lebih dahulu di depan arca agar
darahnya dapat mengenai arca tersebut.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
63
Agama Buddha lahir dengan latar belakang kekacauan akibat krisis politik
yang terjadi pada abad ke-6 hingga abad ke-2 sM. Kepercayaan pada dewa-dewa
sudah mulai pudar. Dimana-mana nilai kesusilaan mengalami kemerosotan.
(Hadiwojono, 1997: 29) Orang yang sangat berjasa terhadap penemuan agama
Buddha ini adalah Sidarttha Gautama, ketika dalam pertapaannya ia menyadari
bahwa semua hidup meluas di seluruh alam semesta yang maha besar, dari suatu
masa lampau yang tak terbatas ke dalam masa depan yang tak terbatas, secara
intuitif intisari hidup yaitu meresapi alam semesta, menjadi sadar akan keberadaan
diri sendiri dan bernafas selaras dan seirama dengan alam semesta. (Deisaku
Ikeda, 1974: 51).
Ajaran Buddha berhutang pada aliran Samkhya dan Yoga, meskipun
dikatakan perkembangan agama Buddha berasal dari agama Veda dan Brahmana.
Menurut Samkhya, mula pertama adalah dua zat yang keberadaannya tanpa
dijadikan. (Hadiwijono, 1997: 29). Dua zat tersebut yakni purusa (asas rohani)
dan prakrti (asas bendani). Prakrti merupakan rupa pertama dari yang ada, yang
didalamnya terdapat tiga tenaga. Tiga tenaga itu antara lain, sattwa, tenaga terang
yang membawa kegirangan, kebahagiaan. Kemudian terdapat rajas, tenaga
penggerak yang menimbulkan kepedihan, dan tamas, tenaga yang menentang
aktivitas yang menimbulkan mati rasa, sifat tidak perduli, malas, lamban.
Persatuan antara purusa dan prakrti menimbulkan mahat (sebab kosmis alam
semesta), buddhi (segi batin mahat), ahangkara (kesadaran perseorangan), manas
(unsur dalam manusia yang merangkumkan segala rasa menjadi pengamatan lima
indra). Purusa yang terikat pada parkrti atau tubuh kasar bendani. Kelepasan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
64
terdiri dari pengembalian purusa pada keadaan yang tidak terikat pada tubuh
kasar. Kelepasan ini dapat dicapai dengan yoga.(Hadiwijono, 1997: 30-31).
Hudaya Kandahjaya dan David Kalupahana (1986: 6) mengatakan tujuan
konsentrasi Yoga merupakan penghapusan bertahap kesan dari 5 indra yang
menimbulkan hawa nafsu. Proses meditasi yang disebut jhăna dimulai dengan
konsentrasi pada rangsangan yang ditimbulkan oleh indria seperti lingkaran pasir
merag bercahaya, atau lingkaran bunga-bunga biru. Tingkat pertama meditasi
tercapai ketika manusia dapat menekan untuk sementara keinginan yang dari lima
indra dengan mengarahkan semua pikiran pada objek yang dipilih. Tingkat kedua
berada pada proses membimbing perasaan ke bahagia tak terhingga setelah lebih
menyatu dan hilangnya pikiran yang melantur. Pada tingkat berikutnya, perasaan
bahagia ini diatasi dengan tidak lagi tergantung pada perasaan tersebut tetapi
sudah tidak sadar lagi pada yang enak atau tidak enak, bahagia atau marah,
sejahtera atau tidak sejahtera, dengan demikian pikiran menjadi lembut, terbuka
dan pikiran dapat diarahkan pada tingkatan meditasi yang lebih tinggi yaitu empat
proses berikut: arupa (kemampuan seseorang untuk melihat tanpa bentuk dan
lebih tinggi dari itu, seseorang dapat melihat segala sesuatu sebagai ruang yang
tanpa batas. Pada tingkat berikutnya ruang yang tanpa batas itu hanya terdiri dari
kesadaran hingga pada tingkat kesadaran itu pada akhirnya adalah kekosongan.
Tingkat terakhir adalah aktivitas menyerap kekosongan itu mencapai pada suatu
titik yang tidak lagi terdapat persepsi maupun bukan persepsi.
Ajaran
agama
Buddha
menurut
Hadiwijono
(1997:
69)
dapat
dirangkumkan dalam Triratna atau tiga permata yaitu Buddha, Dharma, dan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
65
Sangha. Buddha didalamnya mempunyai kata sifat kebudhaan, artinya orang
yang telah dicerahkan. Buddha yang dipandang sebagai asas rohani disebut
Tathagata. Dharma adalah pokok ajaran agama Buddha yang dirumuskan dalam
empat pokok kebenaran yaitu Dukha, Samudaya, Nirodha dan Marga yang
disebut
Cakraryyastya.
Dukha
bermakna
penderitaan.
Dalam
Buddha
menganggap bahwa hidup manusia adalah penderitaan. Sedangkan Samudya
adalah sebab penderitaan yaitu keinginan pada hidup yang disertai dengan hawa
nafsu. Nirodha adalah pemadaman pada kesengsaraan yang dapat dilakukan
dengan penghapusan segala keinginan. Sedangkan Marga merupakan jalan
kelepasan.
Mahzab-mahzab pokok yang ada pada agama Buddha adalah Hinayana
dan Mahayana. Ajaran Hinayana secara umum adalah kesementaraan hidup yang
disebut dharma yang merupakan suatu realitas yang pendek sebagai sebab-akibat.
Tujuan hidup adalah mencapai nirwana tempat kesadaran ditiadakan. Dan cita-cita
tertinggi adalah berhenti dari segala keinginan, ketidaktahuan dan sebagainya
sehingga tidak ada kelahiran kembali. Sedangkan ajaran Mahayana secara umum
adalah Bodhisattwa yang berarti hikmat yang sempurna. Seorang Bodhisattwa
adalah orang yang memutuskan untuk menggunakan seluruh hidupnya pada
kebajikan untuk menolong orang lain. Cita-cita tertinggi Buddha Mahayana untuk
berbuat kebajikan pada orang lain, berbeda dengan Buddha Hinayana yang citacita tertingginya adalah arhat atau mencapai kelepasan sendiri. Selain ajaran
Bodhisattwa, ajaran lain Buddha Mahayana yaitu Sunyata atau kekosongan.
Segala sesuatu adalah kosong, maka tak ada yang mesti dicari, pada akhirnya
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
66
segala kebajikan adalah kosong, tidak untuk mendapatkan apa-apa kecuali
manfaatnya bagi orang lain. Aliran Buddha Mahayana ini yang kemudian
berkembang di Indonesia.
3.1.3. Simbol Sri/Pohaci Sang Hyang Sri dalam Sinkretisasi Agama Sunda
Wiwitan dan Hindu-Buddha
Masyarakat Sunda mempunyai nama lain untuk Dewi Sri dengan Pohaci
Sang Hyang Sri yang menurut naskah Sri Dangdayang Tresna Pohaci.
Budhisantoso dkk. (1990), ”Pohaci” secara harfiah berarti “dewi sari pati”. Poh=
pwah, kata sandang untuk wanita yang dihormati. Sedangkan Aci berarti Sari Pati.
Pohaci dalam mitos yang dikenal masyarakat adalah anak Batara Guru,
gurunya dewa-dewa. Karena kecantikannya Batara Guru menyukai Nyai Pohaci.
Agar peristiwa incest itu tidak terjadi Batara Guru membunuh Nyai Pohaci.
Setelah itu dari atas tanah pekuburannya tumbuh berbagai macam tanaman.
Kepalanya tumbuh pohon kelapa, dari hati tumbuh padi ketan, dari tulang berupa
padi putih, dari tangannya pohon enau, dari betis bambu kecil dan besar, urat
menjadi tumbuhan yang merambat, dari kaki tumbuh buah-buahan.
Diletakkannya Sri dan Kuvera di bawah kekuasaan Sanghyang Tunggal
dalam keyakinan masyarakat Sunda masa Pajajaran menunjukkan suatu upaya
masyarakat Sunda melokalkan ajaran yang berasal dari India tersebut dengan cara
apapun
masuknya: lewat kolonisasi oleh golongan Ksatrya maupun Waisya
dengan politik perdagangan dan perkawinan dengan perempuan-perempuan lokal,
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
67
ataupun cara mengundang Brahmana-Brahmana dari India. (Poesponegoro dan
Notosusanto 1993: 21-28). Satu sisi masyarakat lokal berusaha meniru penamaan
dewa-dewi akan tetapi sekaligus berusaha mengubah konsep dari luar dengan
konsep ketuhanan yang sudah dimiliki oleh
mereka secara turun-temurun.
Ayatrohaedi dan Saadah (1995: 43, 47) menulis perkembangan agama Sunda
Wiwitan dan percampurannya dengan anasir Hindu-Buddha dalam naskah
Sewakadarma (Sd) dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK). Menurut
mereka naskah Sd lebih dulu ada dibanding SSKK, dengan bukti bahwa dalam Sd
tidak membicarakan SSKK, sedangkan SSKK menyebut-nyebut naskah Sd. Hal
ini penting untuk melihat bagaimana perkembangan keagamaan masyarakat
Sunda.
Naskah Sd dapat diketahui bahwa di kawasan Sunda pernah berkembang
aliran Tantrayana dalam agama Buddha Mahayana. Ajaran itu memberikan
gambaran tentang bercampurnya aliran Siwasidanta yang menganggap semua
dewa adalah penjelmaan Siwa. Aliran agama ini kemudian bercampur dengan
agama lokal tetapi dalam ajaran lokal konsep hyang tetap dibedakan dengan
dewata, meskipun tempat tinggal dewata juga disebut kahyangan. Berdasarkan
uraian naskah Sd Koropak 408 tersebut Ayatrohaedi dan Saadah berpendapat
bahwa kedudukan hyang dan dewa masih seimbang. Sedangkan perkembangan
terjadi pada naskah SSKK koropak 630, yaitu kedudukan dewata tersebut
diletakkan di bawah hyang, yang diartikan oleh Ayatrohaedi dan Saadah (1995:
43), bahwa anasir agama tersebut sudah terdesak oleh anasir lokal. Ditinjau dari
isi ajaran yang tersurat dari naskah SSKK, bahwa sasaran yang dituju bukan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
68
kelompok pendeta atau resi tetapi rakyat. Naskah tersebut menunjukkan
pandangan yang berbeda dengan Sd tentang moksa. Moksa diperuntukkan bagi
siapa saja, raja dan gembala punya kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat
moksa tergantung dari darmanya masing-masing atau tugas yang diembannya.
Selain mengatakan bahwa anasir lokal lebih kuat, Ayatrohaedi dan Saadah
menyiratkan bahwa agama lokal lebih egaliter dengan memberi kesempatan
langsung berdarma sesuai dengan kehidupan masing-masing untuk mencapai
moksa. Egaliter di sini lebih merujuk dalam peribadatan, bukan kepada rakyat
mendapat kesempatan sama menjadi raja. Selain itu dibahas pula hal dari naskah
SSKK tentang kemakmuran manusia di dunia
sebagai bagian dari tuntutan
darma. Moksa tersebut dapat dicapai bila kemakmuran di dunia juga tercapai.
3.2. Sinkretisasi Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam
Di tanah Sunda agama Islam mulai dianut oleh masyarakat di bandar
kerajaan sebelah Timur. (Cortesao, 1994: 197 dalam Ayatrohaedi, 1995: 65). Jalur
perdagangan yang ramai di bandar pelabuhan Timur di Cirebon, yang terdiri dari
pedagang-pedagang Parsi, Arab, Pasai, India, China, memungkinkan daerah ini
sudah bersentuhan dengan agama Islam yang dibawa oleh pedagang-pedagang
yang beragama Islam. Sampai dengan awal abad 16 menurut Atja (1967: 75-76
dalam Ayatrohaedi, 1995), pengaruh tersebut belum jauh masuk sampai ke pusat
kerajaan Pakwan Pajajaran. Untuk itu Raja Pakwan Pajajaran, Surawisesa atau
Guru Gantangan
tahun 1512 dan 1521 (Danasamita, 2006: 118) menjalin
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
69
hubungan politik dengan Portugis untuk mempertahankan diri. Akan tetapi karena
keterlambatan bala bantuan Portugis, pasukan Demak di bawah pimpinan
Feletehan dengan bantuan dari Cirebon sudah dapat merebut Sunda Kelapa tahun
1527, dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Sejak saat itu Banten
yang semula berada di bawah kekuasaan Pakwan Pajajaran memisahkan diri dan
menjadi negara baru dengan raja
pertama Feletehan. Sedangkan Pakwan
Pajajaran dapat direbut pada tahun 1579.
Dalam bidang keagamaan proses islamisasi masyarakat setelah Pajajaran
dikuasai oleh kerajaan Islam dilakukan dengan pendirian pesantren-pesantren,
melalui pengajaran ilmu tasawuf, jalur kesenian yang semuanya tidak memutus
akar tradisi masyarakat yang sudah ada sebelumnya dari anasir agama dan budaya
Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha.
3.2.1. Konsep Islam Pengaruh dari kasunanan Gunung Jati Cirebon
Dalam sub-bab berikut akan dibahas konsep ajaran Islam yang dipengaruhi
oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dan pertemuannya dengan
berbagai anasir agama dan budaya yang telah ada sebelumnya. Sub-bab ini juga
menunjukkan letak perbedaan konsep Islam dari asal agama tersebut diturunkan
dengan Islam yang dipadukan dengan unsur lokal.
Kasunanan merupakan wilayah yang dikuasai oleh kasultanan Islam. Di
Cirebon wilayah tersebut didirikan oleh Syarif Hidayatullah dalam babad Cirebon
yang dikutip oleh Ekadjati (2005: 53-57). Setelah Sunan Ampel wafat, Sunan
Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah menggantikan kepemimpinan Sunan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
70
Ampel sebagai pemimpin Wali Songo dan Cirebon dijadikan pusat kegiatan
penyebaran Islam para wali tersebut.
Sunan Gunung Jati merupakan salah satu wali songo yang menganut Islam
aliran pemikiran atau mahzab Syafi’i dan Suni.(Poesponegoro dan Notosusanto,
1993). Secara umum aliran Syafi’i mengajarkan konsepsi ketauhidan, yaitu
keesaan Tuhan. Tuhan adalah Allah yang berdzat tunggal, tidak beranak, tidak
pula diperanakkan. Pemeluk agama ini wajib mempercayai 5 hal yang disebut
dengan jalan iman yang disebut ilmu aqidah antara lain meyakini Allah, malaikat,
kitab, rasul, hari akhir, Takdir. Sedangkan untuk menjadi seorang islam ada lima
syarat yang harus dipenuhi antara lain, syahadat, shalat, puasa, sedekah, dan
menunaikan haji bila mampu. (Ali 1998: 199-299)
Pembeda aliran syafi’i dengan 3 aliran lain adalah pada persoalan sumber
hukum dalam Islam. Dalam karyanya yang berjudul “Prinsip Perumusan Hukum
Islam” yang dikutip oleh Agus Suprianto (2005: 54), Syafi’i mengantarkan hukum
yang seimbang dengan menengahi dua aliran yang bertentangan antara pemikiran
Hanafi yang rasional dan Maliki yang konvensional. Menurut pemikiran Syafi’i
sumber hukum Islam itu selain Alquran dan Sunnah (tutur kata dan perbuatan
yang dicontohkan Rasul Muhamad) masih terdapat dua sumber lagi yaitu Ijma dan
Qiyas. Dua hukum yang pertama merupakan wahyu Tuhan yang bersifat absolute,
sedang dua hukum yang lain merupakan penalaran akal sehingga bersifat relatif.
Alquran merupakan sumber pokok pengetahuan dasar hukum. Suprianato
(2005: 61) menjelaskan bagaimana Syafi’I mempunyai ketentuan-ketentuan jelas
dalam mengkategorikan Alquran yaitu:
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
71
1. terdiri dari ketentuan-ketentuan hukum khusus seperti shalat, zakat, puasa,
haji dan larangan-larangan lain yang bersifat nyata pada perbuatan tidak
baik misalnya zina, minuman keras, mamakan darah, bangkai dan daging
babi.
2. kewajiban-kewajiban tertentu yang perinciannya dijelaskan oleh sunah
nabi seperti banyaknya shalat yang dikerjakan, nisab, batasan waktu zakat.
3. ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh nabi dan tidak dinyatakan oleh
Alquran wajib ditaati.
4. ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat ijtihad.
Sedangkan klasifikasi syafi’i pada Alquran berdasarkan pendekatan
rasional-empiris. Sunah meskipun absolut juga tetapi kehadirannya tetap harus
dikritisi apakah benar-benar berasal dari perkataan dan perbuatan nabi atau bukan.
Suatu pernyataan bisa menjadi tidak valid, bisa juga bersifat lemah pewartaannya.
Meskipun Ijma menurut Syafi’i dalam Suprianto (2005:68 )merupakan consensus
atau kesepakatan umat Islam terhadap pengetahuan Islam yang telah diketahui
secara umum, bukan consensus yang jumlahnya tak terbatas. Kesepakan ini dapat
berupa sumber hukum, karena dalam pendapat Syafi’i, umat atau orang banyak
tak mungkin brsepakat dalam hal yang bertentangan dengan Alquran dan sunah
nabi dan tak mungkin bersepakat melakukan kesalahan. Ijma sebagai salah satu
sumber hukum berdasarkan akal tetapi menurut Syafi’i tetap membutuhkan
syarat-syarat khusus agar tidak terjebak pada bid’ah.
Qiyas atau penalaran
analogis ditentang oleh Syafi’i bila dilakukan tanpa mengindahkan syarat. Syafi’i
membatasi ruang lingkup Qiyas untuk menawarkan proses penalaran yang
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
72
sistematis dalam perumusan hukum dan mencoba menghilangkan kekacauan yang
diakobatkan oleh penggunaan akal secara bebas. Keabsahan qiyas ditentukan oleh
ksesuaiannya dengan sumber hukum-hukum sebelumnya.
Suprianto membuat catatan kritis (2005: 101) bahwa pemikiran mahzab
Syafi’i terlalu bercorak legal-formalistik sehingga meminggirkan aspek ajaran
Islam yang lain seperti teologi, filsafat Islam dan tasawuf atau mistisisme.
Bagaimana ajaran yang syarat dengan muatan hukum ini dapat diterima oleh
masyarakat Nusantara waktu itu terutama di Jawa bagian Barat yang telah
mempunyai produk hukum, keyakinan dan budayanya sendiri dari agama-agama
Sunda Wiwitan, Hindu-Buddha. Tampaknya wali Sunan Gunung Jati mempunyai
peran besar mengantarkan Islam mahzab Syafi’i tersebut dengan cara yang
inklusif terhadap budaya masyarakat.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah seperti yang dikatakan oleh
gurunya, Datuk Bahrul seperti yang dikisahkan Babad Cirebon dalam Ekadjati
(2005: 117), telah menguasai ilmu Syariat, Hakikat, Tarekat dan Ma’rifat. Ilmu
syariat merupakan ilmu hukum atau disebut juga fikh. Ilmu tersebut di antaranya
dikembangkan oleh Syafi’i, mahzab Syafi’i, dan banyak dianut oleh masyarakat
Indonesia selain aliran Sunni yang dikembangkan oleh Hasyim Assy’ari. Aliran
Suni juga menekankan aspek hukum sebagai bentuk ketaatan beragama yang
kemudian memunculkan gerakan pemurnian oleh kaum Wahabis atau Islam
puritan. (Abdullah dalam Hidayat dan AF, 2006: 153 )
Kemampuan Syarif Hidayatullah dalam ilmu lain selain ilmu hukum
membuka peluang pengembangan ajaran Islam yang tidak saja bersifat legalistik
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
73
pada mahzab Syafi’i atau Sunni. Keberadaannya yang ditetapkan sebagai salah
satu wali yang diberi otoritas di daerah Jawa bagian Barat dengan nama Sunan
Gunung Jati semakin membantu untuk membuka ajarannya yang berpengaruh
pada masyarakat Sindangbarang sebagai masyarakat kemandalaan pada zaman
Pakwan Pajajaran.
Wali atau kewalian menurut al-Hakim al-Tirmidzi dalam Ismail (2005: 15)
sangat kental dengan ajaran mistis atau tasawuf. Penyebar agama Islam di tanah
Jawa dikenal sebagai wali 9, salah satunya Sunan Gunung Jati, yang menurut
Ismail (2005: 3), mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding penduduk biasa yang
saat itu masih menganut agama pra Islam. Kelebihan tersebut diantaranya juga
disebutkan oleh Ismail yang mengutip Soekmono (2000: 51) termasuk
mempunyai ilmu gaib, kekuatan batin yang sangat berlebih. Dengan ilmunya
tersebut wali mempunyai kedudukan tinggi di mata masyarakat.
Ilmu mistis atau tasawuf mengajarkan tingkatan atau disebut juga maqam
dalam perjalanan menuju Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi mengatakan tingkatan
tersbut merupakan sesuatu yang tetap hasil dari usaha yang penuh kesungguhan.
(Ismail, 2005: 113). Maqam atau tingkatan tersebut menggambarkan kedudukan,
posisi, dan kedekatan wali pada Allah yang merupakan hasil perjuangan yang
berat dalam sikap pengendalian diri, atau mengekang hawa nafsu. Maqam terdiri
dari tujuh tingkatan antara lain al-tawbah (tobat), al-wara’ (kehati-hatian), al-zuhd
(asketis), al-fakr (merasa butuh pada Allah), al-sabr (memiliki daya tahan dalam
ketaatan pada Allah), al-tawakkul (bergantung pada Allah), dan al-ridla (rela
terhadap Allah).
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
74
Edi S. Ekadjati meneliti babad Cirebon yang beirisi cerita tentang Syarif
Hidayatullah sebagai salah satu wali dalam wali sembilan atau songo dan
hubungannya terhadap penyebaran agama Islam di tanah Jawa terutama bagian
Barat. Syarif Hidayatullah dalam cerita adalah putra dari Sultan Mesir yang
menikahi cucu
Sri Baduga, raja Pajajaran dengan ibu yang berasal dari
Singapura. Babad Cirebon juga menceritakan tentang kegaiban atau cerita-cerita
mistis seputar hidup Sunan Gunung Jati. Disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah
memutuskan untuk memenuhi dorongan hatinya bertemu dengan Hakikat
Muhamad. Dan dalam pengembaraan batin tersebut ia bertemu dengan Nabi
Muhamad yang mengatakan bahwa Syarif Hidayatullah telah menjadi manusia
yang sempurna. (Ekadjati, 2005:27).
3.2.2. Sri dan Muhamad simbol Penyatuan dalam Sinkretisasi Agama
Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam
Bul kukus
Doa Rosul,
Nya menyan pancerning iman,
Hatur salam panarima,
Hatur sangu pangabakti,
Jisim abdi bade ngamitkeun ieu Sri Pohaci
Purnama Alam Sejati,
Dumeh geus nepi kana bu kuning taun,
Geus kena mangsaning bulan,
Nu ngarumpang ngumbara di alam dunya
Ayeuna geura marulih ka gedong Sri Ratna Inten
Asap mengepul
Menyertai doa untuk Rasul
Kemenyan sebagai pancer iman,
Menyampaikan salam atas perlindungannya,
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
75
Menyampaikan nasi sebagai tanda bakti,
Kami akan menyimpan Sri Pohaci
Purnama Alam Sejati,
Karena sudah sampai tahunnya,
Karena sudah sampai bulannya
Yang mengembara di alam jagad ini,
Sekarang marilah masuk kembali,
Ke gedung “Sri Ratna Inten”’
(Adimihardja, 1992: 150-151)
Doa semacam ini biasa dipanjatkan oleh tetua adat sembunyi-sembunyi
dalam suatu upacara sakral sebelum esok diadakan upacara selametan Serentaun.
Dalam Serentaun Rekonstruktif ritus mengirim doa seperti yang dilakukan oleh
Kesepuhan di seputar Halimun, Banten Selatan, tidak diadakan lagi. Ritus
mendoakan semalam suntuk yang dilakukan sebelum upacara pada masyarakat
Sindangbarang adalah mendoakan air yang diambil dari 7 mata air suci yang
besok digunakan dalam upacara. Doa-doa tersebut sejak agama Islam masuk
banyak diubah dalam doa agama Islam yang meminta kepada Allah SWT, dan
puji-pujian terhadap rasul Muhamad. Sri masih disebut sebagai kata ganti padi.
Sebelum Serentaun Rekonstruktif nama Sri Pohaci
dalam tradisi
masyarakat sangat eksis tidak sekedar simbol yang yang tanpa makna dan hanya
menjadi kata ganti padi. Sri Pohaci masih ada setelah penyebutan terhadap rasul
Muhamad yang disertai dengan pembakaran kemenyan yang asapnya dalam
keyakinan agama sebelum Islam dapat mengantar pemujaan ke dunia atas.
Kehadiran ajaran Islam yang meyakini adanya ucapan terima kasih pada Allah
dalam bentuk pemujaan yang dilakukan dengan mimikri/meniru atau tidak
meninggalkan pemujaan lama sebenarnya telah menjadikan ajaran Islam yang
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
76
semula dari Arab mahzab Syafi’i dan Suni bercorak legalistik ini menjadi
ambivalen, menjauhi konteks masyarakat Arab meskipun masih disebut Islam.
Tradisi pemujaan terhadap Sri dalam Serentaun tentu tidak ada dalam
pemikiran mahzab Syafi’i dan akan dianggap bid’ah bahkan syirik. Tetapi dalam
kerangka ajaran Islam yang metodenya dikembangkan oleh Sunan Gunung Jati
berdasarkan pendekatan ilmu lain terutama mistisisme atau dalam Islam yang
disebut tasawuf maka masyarakat mudah menerima ajaran baru yang dibawanya.
Ketika metodologi itu dibawa ke Sindangbarang baik oleh santri yang pernah
belajar dari Cirebon, yaitu Jamaka tahun 1700-an, maupun santri dari perguruan
milik Raden Rahmat, paman Syarif Hidayatullah atau kakak Rara Santang,
budaya baru kembali lahir menjadi Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha-Islam.
Sinkretisasi agama-agama tersebut tidak menghilangkan salah satu tradisi
dari agama lama. Islam sebagai agama yang termuda di dalam masyarakat, yang
telah dianut oleh mayoritas penduduk tetap berusaha mempetahankan nilai tradisi
sebelumnya oleh pemuka-pemuka agama yang berpengaruh dalam masyarakat
seperti kyai. Sebagai contoh dalam upacara Serentaun yang pada masa
pemerintahan negara Pakwan Pajajaran disebut Kuverabhakti selalu diadakan
pada penanggalan Sunda. Ketua Adat masyarakat Sindangbarang ketika
diwawancarai menyebut, Serentaun tersebut dulu diadakan untuk menyambut
awal tahun yang jatuh pada mangsa bakti, setelah mangsa guru habis pada
penanggalan Sunda. Dengan masuknya Islam upacara tersebut dipindahkan
pengadaannya, menggunakan perhitungan kalender Islam, dengan alasan
melakukan syukuran memperingati datangnya tahun baru hijrah.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Selain itu
77
pelafalan doa-doa juga lebih banyak menggunakan doa agama Islam meskipun
tidak menghilangkan penyebutan Sri.
Sedangkan tradisi lampau yang mengandung anasir budaya dari konsepsi
keagamaan
Sunda
Wiwitan-Hindu-Buddha
juga
tetap
dipertahankan
keberadaannya oleh kalangan tradisi meskipun disusupkan dalam Islam lewat
bentuk-bentuk mistisisme sebagai corak keagamaan yang serupa antara ketiga
agama pra-Islam dengan mistisisme Islam. Mistisisme yang condong ke aliran
panteis, yang memuliakan Tuhan dengan bentuk pengantropomorfisan, diyakini
sebagai bagian dari ajaran tasawuf Islam yang berdasarkan konsep Ibnu Arabi,2
meskipun belum ada bukti siapa yang membawa ajaran ini, apakah Sunan Gunung
Jati, atau penganut tasawuf lain. Atau ajaran tersebut merupakan tradisi dari
agama-agama pra-Islam. Pengantropomorfisan tersebut tidak saja digambarkan
pada diri manusia yang segala perbuatan baiknya adalah cerminan sifat Tuhan,
akan tetapi penggambaran itu juga diwujudkan dalam bentuk selain manusia
seperti padi, mahluk yang merupakan bagian dari kasih Tuhan untuk manusia
sehingga perlu ditanam, dirawat, dipanen dengan cara yang baik sebagai bentuk
ucapan terima kasih yang bersifat vertikal atau pemujaan pada Tuhan. Dalam doa
yang disebut seperti “Kami akan menyimpan Sri Pohaci,/Purnama Alam Sejati,/
Karena sudah sampai tahunnya, / Karena sudah sampai bulannya/ Yang
mengembara di alam jagad ini, / Sekarang marilah masuk kembali, / Ke gedung
“Sri Ratna Inten”. Sri merupakan pancaran ruh Tuhan dalam bentuk padi yang
2
Lihat Ismail 2005: 153. Tuhan menampakkan diri pada semua wujud. Tuhan menciptakan alam
agar manusia dapat melihat diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui alam. Alam adalah
cermin bagi Tuhan. Kegiatan penciptaan ini dilakukan Tuhan dengan tajjali, cara muculnya yang
banyak dari Yang Satu tanpa berakibat Yang Satu tersebut menjadi banyak. Paham ini disebut
wahdatul wujud yang kemudian menjadi panteisme.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
78
pada saatnya dikembalikan pada dunia atas, begitu ajaran agama-agama pra Islam
menyebut, atau kembali pada zat Tuhan yang satu dengan disimbolkan pada
proses memasukkan padi tersebut dalam lumbung yang bernama Ratna Inten.
Sedangkan bentuk ucapan terima kasih yang bersifat horizontal adalah
kepedulian pada komunitas sosial, ketika padi sebagai hasil panen yang disimpan
dalam lumbung tersebut
digunakan bersama pada saat ada masyarakat yang
membutuhkan misalnya saat terjadi bencana atau gagal panen.
Kalangan penganut tradisi juga masih mewarisi konsep manusia utama
yang dianggap paling suci yang akan menjadi perantara dalam hubungan
masyarakat dengan Tuhan. Konsep itu ada sejak keberadaan agama lokal dalam
kehidupan yang masih berkelompok dengan istilah primus intepares, pada masa
agama Hindu-Buddha yaitu kalangan pendeta Brahmana, hingga pada masa Islam
yang disebut wali, kyai dan alim ulama. Pada upacara Serentaun terdapat istilah
ketua adat sebagai orang yang paling dianggap suci dan mampu mengantarkan
doa untuk keselamatan masyarakat.
Pada Serentaun Rekonstruktif di Sindangbarang istilah pupuhu atau ketua
adat tersebut masih digunakan meskipun dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi
disakralkan
seperti
pada
masa
lalu.
Serentaun
Rekonstruktif
tetap
dipertimbangkan sebagai suatu produk budaya yang berakar dari sistem keyakinan
masyarakat
yang
akan
menjadi
landasan
berpijak
menuju
persoalan
kepariwisataan.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
79
BAB IV
HIBRIDA LOKAL-GLOBAL PADA POLITIK KOMODIFIKASI BUDAYA
SERENTAUN REKONSTRUKTIF, UPACARA TAHUNAN
MASYARAKAT SUNDA, DI SINDANGBARANG KABUPATEN BOGOR
Industri pariwisata merupakan industri yang didominasi oleh standar dari
pasar Barat dengan melihat budaya yang lain sebagai budaya yang berbeda, unik,
eksotik, dibanding budaya dalam kehidupan turis sehari-hari. Globalisasi telah
menguniversalkan cara melihat dan proses mengonsumsi budaya yang lain di bawah
politik pasar modal. Akan tetapi ruang global ini juga dimanfaatkan oleh lokalitas
untuk mengekspresikan budayanya, menunjukkan eksistensi budayanya. Lokalitas
yang partikular dan Global yang universal keduanya bertemu dalam ruang ketiga
yang tidak menjadi keduanya.
4.1. Kontestasi Elit Lokal dalam Serentaun Rekonstruktif
Industri pariwisata memotivasi penyusunan ulang upacara Serentaun yang
semula sakral menjadi upacara yang superfisial. Perekonstruksian tersebut sejalan
dengan upaya menemukan kembali sejarah Sunda di masa lampau, masa kerajaan
Pakwan Pajajaran dan budaya Sunda di wilayah Bogor yang dulu pernah menjadi
pusat kerajaan Pakwan Pajajaran. Akan tetapi dalam prosesnya politik lokalitas yang
ingin memanfaatkan ruang global lewat pariwisata ini masih menghadapi berbagai
benturan sesama elit lokal, meskipun kemudian menghasilkan kesepakatankesepakatan atau negosiasi.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
80
4.1.1. Kontestasi Elit Tradisi dan Elit Agama Pembaharu
Ketika upacara Serentaun kembali diselenggarakan secara besar-besaran oleh
elit tradisi, kalangan masyarakat yang diprakarsai oleh elit agama Islam pembaharu
tidak menyetujui perhelatan tersebut. Kalangan elit agama
resisten terhadap
Serentaun Rekonstruktif, karena upaya itu bertujuan melestarikan tradisi leluhur
yang menurut mereka tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam. Kalangan elit agama
Islam pembaharu menyelenggarakan lagi upacara Sedekah Bumi dengan cara yang
menurut mereka lebih sesuai dengan ajaran hukum Islam.
Beberapa ritus yang tidak disepakati dalam Serentaun Rekonstruktif yang
bagi kalangan elit agama Islam pembaharu akan merusak ajaran Islam adalah
penguburan kepala kerbau setelah dipotong, penggunaan dupa ketika mengadakan
upacara meskipun membaca doa-doa dalam agama Islam sebagai pengganti mantera,
mengadakan ziarah ke makam leluhur, dan kepercayaan terhadap Dewi Sri yang
memberi berkah terhadap tanaman. Elit agama Islam pembaharu sebelum diadakan
kembali Serentaun Rekonstruktif
berusaha
merepresentasikan budayanya yang
berbeda dengan mengadakan upacara yang selama ini bagi masyarakat dianggap
sebagai upacara Sedekah Bumi. Upacara tersebut tidak disertai dengan ritus selama
berhari-hari, dan diselenggarakan dalam tata cara sederhana yang tidak menggunakan
dupa, hanya pembacaan doa-doa, pengajian ditutup dengan pembagian kue-kue.
Negosiasi yang dilakukan oleh elit tradisi terhadap elit agama Islam
pembaharu dibuktikan dengan kesungguhannya untuk memperkenalkan budaya
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
81
Sunda dalam kesempatan pariwisata yang dijanjikan di masa depan akan memberi
kesejahteraan
menegosiasikan
bagi
masyarakat.
kepentingan
Elit
ajaran
agama
Islam
Islam
yang
pembaharu
diyakini
benar,
berusaha
berusaha
memasukkan wacana budayanya, dengan cara sebagian bergabung dengan elit tradisi.
Elit agama Islam pembaharu memberi catatan untuk menghindari perbuatan syirik
dalam Serentaun Rekonstruktif pada ritus penyembelihan kerbau bagian kepala tidak
dikuburkan. Penguburan bagian-bagian dari hewan kurban tersebut hanya pada
sesuatu yang tidak dapat lagi dimakan oleh manusia. Beberapa poin dalam ritus
Serentaun Rekonstruktif, kalangan agama Islam pembaharu belum dapat mengubah
tradisi tersebut, karena ada kalangan elit agama pro-tradisi yang membenarkan ritus
tersebut.
4.1.2. Kontestasi Elit Agama Islam Pembaharu dan Elit Agama Pro Tradisi
Isu penggalian kembali budaya masa lampau Sunda sebagai wilayah bekas
kerajaan Pakwan Pajajaran membuat kalangan elit agama memperdebatkan kembali
metodologi penyampaian ajaran Islam di kalangan masyarakat. Elit agama Islam protradisi berusaha mempertahankan metodologi lama yang diterapkan oleh Sunan
Gunung Jati dan penyebar agama Islam di Sindangbarang di masa-masa awal
kejatuhan Pakwan Pajajaran. Elit agama pro-tradisi dalam menyampaikan ajaran
Islam masuk secara inklusif dengan tradisi masyarakat.
Salah satu inklusivitas metodologi penyebar agama Islam saat itu mengadakan
perubahan penanggalan dan doa-doa dalam ritus upacara Serentaun. Serentaun yang
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
82
awalnya dilaksanakan berdasarkan agama Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dengan
penanggalan Sunda pada tutup tahun dan menjelang tahun baru, setelah Islam masuk
tetap diadakan dengan penanggalan yang berubah. Serentaun menjadi upacara
memperingati tahun baru Islam dan doa-doa Islam mengganti mantera-mantera
agama-agama sebelumnya.
Inklusivitas ini yang ingin dipertahankan oleh kalangan elit agama pro-tradisi.
Kontestasi wacana antara elit agama pro-tradisi dengan elit agama Islam pembaharu
yang ingin mengubah tradisi masyarakat yang masih syirik dan bidah1menurut
keyakinan mereka, membuka kedinamisan budaya. Serentaun Rekontruktif tetap
diadakan dan negosiasi yang dilakukan oleh para elit agama Islam Pembaharu pada
satu ritus yang berkenaan dengan penguburan kepala kerbau dan desakralisasi Dewi
Sri sebatas penyebutan superfisial untuk tujuan pariwisata. Beberapa peralatan ritus
upacara yang masih menjadi perdebatan adalah penggunaan dupa dan ritus ziarah ke
makam leluhur. Bagian ritus yang sulit dihilangkan ini membuat elit agama Islam
pembaharu tetap meneruskan wacana tandingan dengan suatu bentuk upacara
Sedekah Bumi yang lain yang penyelengaraannya tidak menggunakan dupa, sebatas
pengajian lalu membagikan kue tanpa upacara yang panjang berhari-hari dan disertai
arak-arakan.
1
Syirik yaitu suatu perbuatan menyekutukan Tuhan yang dalam ajaran agama Islam dilarang. Tuhan
bagi agama Islam adalah satu, Allah YME, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, seperti yang
tercantum dalam surat Al-Alaq. Bidah dalam ajaran Islam masih menjadi perdebatan. (Lihat bab 3).
Bidah yaitu perbuatan menambahkan sesuatu yang tidak diajarkan dalam Islam.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
83
4.1.3. Serentaun Rekonstruktif Menuju Global dalam Kooptasi Elit Pemerintah
Daerah Pada Pembangunan Pariwisata
Program kebudayaan daerah sebagai aset pariwisata pada era Suharto telah
dilanjutkan pada era desentralisasi. Setiap daerah berusaha menggali, menemukan
kembali tradisi khas daerah untuk tujuan pariwisata. Wacana pariwisata
terinternalisasi dalam masyarakat, menjadi dengungan (buzzword), sekaligus harapan
pada
tingginya apresiasi masyarakat luas nasional
maupun global terhadap
kebudayaan mereka sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan.
Komodifikasi budaya rakyat Serentaun Rekonstruktif di Sindangbarang
Kabupaten Bogor tidak terlepas dari proyek pembangunan pariwisata nasional yang
diturunkan pada pemerintah daerah. Di Sindangbarang Serentaun yang sudah ada
sejak zaman Pakwan Pajajaran, perhelatannya kembali secara besar-besaran sejak elit
tradisi memprakasai pengadaan upacara tersebut dan mendatangkan banyak
pengunjung tahun 2005. Pemerintah daerah Kabupaten Bogor melihat fenomena
tersebut sebagai potensi yang dapat mendatangkan pendapatan.
Pariwisata sebagai bagian dari industri internasional menjadi satu sistem yang
menghibridakan kebudayaan-kebudayaan lokal dan global. Kebudayaan yang telah
dikomodifikasi dalam pasar telah berubah dalam suatu pergerakan politik ekonomi di
bawah program-program organisasi kapitalisme global. Posisi kebudayaan lokal
memanfaatkan arus globalisasi untuk menyatakan diri di samping menginginkan
keuntungan ekonomi. Antara ekspresi kebudayaan lokal, apresiasi masyarakat global,
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
84
terciptanya sarana dan prasarana, menyebabkan hubungan timbal balik yang
kompleks.
4.2 Hibrida Lokal-Global Serentaun Rekonstruktif Pada Industri Pariwisata
Global
Pada sub-bab ini akan dijelaskan keterkaitan Serentaun Rekonstruktif sebagai
salah satu produk pariwisata di Kabupaten Bogor dengan proyek pariwisata berskala
global melalui pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang program tersebut.
Sub-bab ini juga menjelaskan bagaimana signifikansi pariwisata menghibridakan dua
kutub lokal-global menjadi tidak keduanya.
4.2.1. Teknologi Internet Menjembatani Lokal-Global
Beberapa situs internet memberitakan pemuatan gambar-gambar tentang
Serentaun Rekonstruktif di Sindangbarang. Situs-situs tersebut ada yang milik
pribadi, milik media online, dan milik pemerintah daerah. Milik pribadi dan media
online lebih variatif dengan fitur-fitur penarasian yang ekspresif tentang Kampung
Budaya Sindangbarang dan upacara Serentaun Rekonstruktif dengan memuat fotofoto yang dibuat oleh pengunjung yang mengapresiasi upacara tersebut.
Situs dalam internet menjadi penanda berpindahnya ruang lokalitas yang
semula hanya lokalitas secara harfiah menjadi lokalitas imajiner. Lokalitas secara
geografis Sindangbarang sebagai masyarakat transisi yang sehari-harinya bertemu
secara langsung bertatapan muka, terikat kekeluargaan yang kuat, jarang berpindah
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
85
ke wilayah lain, menjadi potret masyarakat Sindangbarang yang dapat dilihat orang
lain dari jarak yang telah kabur. Masuknya lokalitas secara geografis ini dalam ruang
global teknologi informasi menjadikan keberadaan Sindangbarang yang kampung
dalam posisi hibrida.
Kecanggihan media informasi mengkonstruksi Serentaun dan Kampung
Budaya Sindangbarang di lain pihak membenarkan
dominasi pasar yang
mengkonstruksi orang seakan berkebudayaan lain dalam melihat budaya Sunda di
Sindangbarang. Nostalgia yang ditawarkan pada brosur wisata ke Sindangbarang
bermakna nostalgia terhadap keasrian Kampung Budaya yang didirikan di tengah
persawahan, kaki Gunung Salak, dan lain-lain yang dianggap eksotik oleh kalangan
yang meyakini keeksotikan budaya untuk dikonsumsi. Keeksotikan adalah cara
melihat diri (self) terhadap yang lain (other), yang berbeda dengan dunia yang
melihat.
Kebudayaan
tradisional yang direpresentasikan dalam situs internet
memenuhi selera pasar masyarakat modern yang mengaggap citra tradisional dalam
brosur tersebut sebagai sesuatu yang beda atau yang lain dari kehidupan sehari-hari
masyarakat modern. Konstruksi industri pariwisata yang menanamkan citra
tradisional
dan
modern
menghasilkan
keuntungan
ekonomi
yang
dapat
dilipatgandakan. Henry Levebre (1994), mengatakan citra masyarakat modern adalah
kerja profesional, free time dan compulsive time2. Free time digunakan oleh
2
Lihat Levebre (1994), yang menggambarkan rutinitas sehari-hari masyarakat modern yang dibentuk
sebagai masyarakat pekerja di bawah kendali industri. Profesionalitas dibangun berdasarkan birokrasi
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
86
masyarakat industri modern sebagai waktu untuk mengisi diri dengan kesenangan
atau istirahat yang tidak juga lepas dari kontrol industri. Waktu istirahat
dikomodifikasi dengan tawaran-tawaran kesenangan pada paket-paket wisata
termasuk wisata budaya tradisional yang di dalamnya mengangkat pola kehidupan
berbeda.
4.2.2. Politik Global Dalam Serentaun Rekonstruktif Melalui Transnasionalisasi3
Modal
Kecenderungan pemerintah daerah pada kapitalisasi budaya yang dimulai
sejak adanya politik bantuan dari PBB melalui UNDP, menurut Dahles, yang
mengutip Gunawan (1977: 48) dan diturunkan ke propinsi-propinsi di seluruh
Indonesia menandai masuknya perdagangan bebas ke ruang budaya sebagai bagian
yang dikonsepkan Weber dengan tujuan efisiensi yang melahirkan spesifikasi kerja. Compulsive Time
merupakan waktu untuk melakukan pekerjaan berulang-ulang, sedangkan Free Time merupakan waktu
istirahat disela-sela waktu kerja misalnya hari Minggu atau cuti yang diberikan dalam masa kerja.
3
Korporasi transnasional didefinisikan oleh Masao Miyoshi (1996: 86-87) sebagai istilah yang dapat
ditukar-tukar dengan multinasional, sebab jika istilah keduanya dibedakan, tetap dua nama tersebut
pengertiannya lebih kurang pada tingkat alienasi asal negara-negara pada bisnis internasional. Miyoshi
menjelaskan perdagangan internasional secara bertahap, pertama, perusahaan-perusahaan domestik
secara sederhana menangani aktivitas ekspor-impor yang berhubungan dengan pedagang lokal.
Kemudian perusahaan mengambil alih distribusi ke luar negeri dan akhirnya, perusahaan transnasional
mendenasionalisasi operasi perusahaan dengan memindahkan keseluruhan sistem bisnis termasuk
modal, sumber daya manusia, riset dan pengembangan. Hubungan negara-negara ASEAN dengan
beberapa organisasi negara-negara lain menurut Miyoshi adalah salah satu bentuk transnasional.
Operasional korporasi transnasional terdiri dari karyawa-karyawan yang beragam etnis dan negara
yang dituntut lebih loyal kepada perusahaan daripada negara atau etnis. Miyoshi mengemukakan
bahwa sektor-sektor yang melibatkan industri transnasional salah satunya yang terbesar adalah
pariwisata dan hiburan.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
87
dari politik ekonomi produksi-konsumsi. Sektor-sektor pariwisata yang kemudian
diserahkan kepada sektor swasta dengan melakukan deregulasi terhadap aktivitas
ekspor, seperti potongan tarif, insentif pajak, dan kemudahan prosedur ekspor telah
membuka gerbang untuk persaingan industri budaya.
Beberapa korporasi telah masuk dalam pembangunan pariwisata di Kabupaten
Bogor yang berhubungan dengan sarana dan prasarana pariwisata. Sektor pariwisata
bekerja sama dengan sektor perhubungan, menangani pembangunan jalan dan
angkutan, juga memperkuat keamanan daerah, pelayanan medis, serta suplai air
bersih. Sedangkan yang berhubungan langsung adalah penyediaan penginapanpenginapan dari hotel berbintang hingga wisma-wisma termasuk rumah-rumah
tradisional dalam eko-wisata, tempat-tempat makan, dan sarana-sarana hiburan lain
seperti sarana olahraga, kesenian, dan kegiatan-kegiatan rekreasional lain yang
menawarkan paket wisata pada waktu luang (leisure time).
Pendapatan dari sektor pariwisata di Kabupaten Bogor
membuat banyak
pengusaha mempertimbangkan keuntungan yang diperoleh dari sektor ini. Jumlah
objek pariwisata sebanyaak 50 objek di Kabupaten Bogor, yang terdiri dari wisata
alam, sejarah, dan budaya , 13 obyek dikelola oleh swasta, sisanya BUMN seperti
Perhutani untuk wisata wana, PTP Nusantara untuk wisata agro, dan
Pemda.
Pengusaha-pengusaha lain yang terlibat dalam kepariwisataan dan telah mendapat ijin
antara lain usaha penyedia jasa tour dan travel, sarana olahraga dari billiar, golf,
hingga sirkuit , hall untuk olahraga in door, dan usaha jasa di bidang kesehatan,
kecantikan, panti pijat, restoran, rumah makan dan perhotelan.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
88
Serentaun rekonstruktif sebagai produk yang dikomodifikasi menjadi
representasi budaya lokal yang masuk ke lingkup global dengan jumlah pengapresiasi
yang meningkat. Tahun 2007 menurut data dari dinas pariwisata Kabupaten Bogor, di
Sindangbarang pengunjung yang datang adalah 297 wisatawan Nusantara, 6.600
wisatawan asing. Anggaran dana bagi pariwisata di Sindangbarang didapat dari
pemerintah daerah tingkat II dan Propinsi dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pembangunan pariwisata pada lingkup kecil di Sindangbarang merupakan
bagian dari pembangunan pariwisata dalam sekup besar di tingkat daerah Jawa Barat
dan nasional. Pada tingkat nasional kebijakan-kebijakan pariwisata dibuat
berdasarkan kerjasama yang terangkum dalam perjanjian-perjanjian antar negara
ASEAN, dan organisasi antar negara lain terutama yang berkenaan dengan dana
bantuan pembangunan. Perjanjian-perjanjian tersebut menghasilkan beberapa kerja
sama bidang perdagangan pariwisata. Di ASEAN ada beberapa organisasi antara lain
ASEAN Tourism Agreement (ATA) yang mendukung program liberalisasi
perdagangan dan jasa di negara-negara Asia Tenggara dan ASEAN Tourism Forum
(ATF) yang mengurusi promosi wisata antar dan intra ASEAN serta membangun
pusat-pusat pariwisata di pasar internasional. (www. Deplu.go.id, 22 Juni 2008).
Pembangunan pariwisata yang melibatkan berbagai organisasi dunia dalam bentuk
pinjaman modal dan investasi lembaga keuangan dunia termasuk dalam pengertian
korporasi transnasional (TNCs).
Globalisasi melalui perjanjian liberalisasi perdagangan menekan pemerintah
nasional sehingga memunculkan UUPMA 2007 yang memudahkan syarat-syarat
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
89
masuknya modal asing. Sikap pemerintah nasional dengan UUPMA 2007 yang satu
sisi membuka kemudahan investasi asing tetapi sekaligus
ingin meguatkan
keberadaan usaha kecil-menengah sebenarnya menjadi berstandar ganda, dan tidak
memihak kesejahteraan rakyat, meskipun keluarnya UUPMA terbaru tersebut dapat
dimengerti sebagai bentuk tekanan pasar internasional untuk menerjang batas-batas
negara. Posisi negara yang lemah dihadapan pasar ini membuat
kebijakan
pemerintah pusat melalui UUPMA 2007 lebih berat pada penguasaan sektor-sektor
pariwisata di tangan pengusaha asing. Proyek-proyek strategis seperti bisnis travels
yang menyediakan paket-paket tour dari tiket pesawat, hingga guide, pengelola hotel
berbintang, sarana olahraga seperti golf, bilyar, dan tempat-tempat hiburan seperti
panti pijat, karaoke, klub malam dan lain-lain tetap dikuasai oleh kalangan pemodal
besar yang didanai oleh lembaga keuangan internasional seperti TNCs.
Pada masa otonomi daerah, ketika modal asing dapat langsung bersentuhan
dengan daerah, hal yang paling membahayakan adalah keberadaan negara-bangsa.
PMA melalui TNCs dapat menjadi imperialis baru yang memanfaatkan perbedaan
etnis, suku, agama, dan aliran agama di daerah-daerah sama seperti pemerintah
kolonial Belanda memanfaatkan daerah-daerah di wilayah Nusantara pra-Indonesia.
World Trade Tourism yang bekerja sama dengan UNDP, sebagai badan internasional,
mengkonstruksi pariwisata dengan aturan-aturan keaslian, keeksotikan budaya yang
dapat dikonsumsi oleh penikmat berkebudayaan lain. Keuntungan dari keeksotikan
budaya ini menjadi perebutan bangsa-bangsa satu rumpun, pertarungan daerah-daerah
satu bangsa mengklaim siapa yang lebih asli dengan kebudayaan apa.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
90
4.2.3 Politik Lokalitas Menghadapi Globalisasi
Budaya lokal sebagai aset pembangunan pariwisata yang pernah menjadi
salah satu andalan dalam pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1990-an
merupakan hibridisasi budaya lokal yang harusnya di bawah identitas nasional
Indonesia pada perputaran politik ekonomi global. Pada masa pasca-reformasi
lokalitas bermunculan di tingkat global tanpa ada pengendalian dari pemerintah
nasional. Pengendalian kebudayaan lokal ini terjadi pada masa Orde Baru ketika
masih memegang kendali pembangunan terpusat di seluruh sektor. Penelitian Dahles
(2000) membuktikan bahwa pembangunan pariwisata adalah paket penjualan
kebudayaan daerah-daerah di bawah Indonesia
sekaligus bentuk pengontrolan
kebudayaan-kebudayaan lokal. Satu sisi kebudayaan daerah mendapat perlindungan
dari percampuran dengan kebudayaan asing, tapi di sisi lain proyek modernisasi
melalui pembangunan termasuk pariwisata menghegemoni kebudayaan lokal agar
tidak terlalu kuat.
Pembangunan pariwisata budaya pada konferensi internasional parwisata
budaya dan masyarakat lokal di Yogyakarta tahun 2006 bertujuan mengurangi
kemiskinan masyarakat lokal, begitu menurut menteri Kebudayaan dan Pariwisata,
Jero Wacik, dengan cara mengekplorasi tantangan dan potensi wisata budaya untuk
menciptakan lapangan kerja. Menteri tersebut juga mencontohkan Yogyakarta.
Padahal sebenarnya keberhasilan tersebut bukan keberhasilan program pemerintah
masa Orde Baru. Pembangunan wisata budaya di Yogyakarta berhasil menurut
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
91
Dahles (2000) dan Dahles (1999) disebabkan oleh tumbuh pesatnya sektor-sektor
informal yang awalnya justru tidak diperhitungkan. Kehadiran “pariwisata jalanan”
(Streetside Tourism) dan pariwisata “kampung” (Kampung Tourism) membangun dua
dunia, menguasai ranah terpisah yang diorganisasi oleh institusi yang berbeda untuk
turis dengan kategori dan kebutuhan akan fasilitas yang berbeda misalnya turis-turis
yang memilih untuk menjadi backpacker atau hippy traveller. Pada kasus di
Yogyakarta tidak semua turis menginginkan sarana mewah dengan perlakuan khusus
seperti yang diduga pemerintah. Pertama dengan alasan menghemat biaya, kedua
ingin mendapatkan sesuatu yang tidak biasa, yang tidak ditawarkan oleh biro-biro
perjalanan, seperti kehidupan masyarakat di wilayah-wilayah kampung dalam gang
sempit. Kemunculan usaha-usaha kecil dari masyarakat yang menyediakan tempat
menginap dengan fasilitas sederhana, makanan tradisional, guide-guide kampung
yang tidak berlisensi disebabkan oleh dominasi pembangunan pariwisata yang
diperuntukkan bagi kalangan bermodal seperti hotel Ambarukmo, Sheraton, dan lainlain.
Politik kebudayaan era Suharto dengan menggunakan spirit Bhinika Tunggal
Ika menjadikan budaya Indonesia sebagai aset keunikan yang dapat dijual sekaligus
membangun citra Indonesia sebagai sebuah bangsa yang utuh terintegrasi meskipun
memiliki begitu banyak perbedaan-perbedaan dari berbagai suku bangsa dan agama.
Citra itu dimuseumkan dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, menjadi
kebanggaan yang dimitoskan seakan kebudayaan Indonesia dari berbagai daerah
merupakan sesuatu yang baku dan statis. Pengenalan puncak-puncak budaya daerah
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
92
sebagai budaya terbaik Indonesia pada masa Suharto meminggirkan budaya-budaya
lain. Hampir di setiap daerah hanya budaya terbaik yang diakui sebagai budaya
Indonesia, seperti budaya terbaik yang sering disebut Bali dan Yogyakarta. Pada
akhirnya
dalam daerah-daerah itu juga memunculkan budaya-budaya tandingan
disadari atau tidak disadari. Penelitian Dahles (2000) melihat upaya penertiban
wilayah tujuan wisata dalam pembangunan fasilitas-fasilitas seperti hotel, jalur-jalur
perdagangan, jalur-jalur wisata, guide, di daerah Yogyakarta, tidak mampu
membendung derasnya guide liar, pedagang-pedagang kaki lima dan kendaraankendaraan tertentu yang justru menjadi realitas tersendiri dalam masyarakat yang
budayanya diadiluhungkan.
Kebudayaan pinggir biasanya kebudayaan rakyat yang tumbuh dari kebiasaan
rakyat sehari-hari. Rakyat kebanyakan juga mempunyai kebiasaan tertentu seperti
upacara yang biayanya ditanggung bersama. Pada masa sekarang baru terlihat
berbagai macam upacara yang keberadaanya ditonjolkan untuk tujuan pariwisata.
Hampir semua rakyat kalangan bawah mempunyai perhelatan upacara. Nelayan,
petani bahkan petani tebu memiliki upacara tersendiri. Salah satu upacara dari
kebudayaaan masyarakat agraris di Jawa Barat adalah Serentaun. Upacara itu eksis di
masyarakat hampir selama petani itu sendiri ada, bahkan ketika upacara Serentaun di
Cigugur, Kabupaten Kuningan, dilarang pada zaman Suharto, karena kepercayaan di
luar 5 agama tidak diakui, keberadaan budaya tersebut tidak musnah. Ia terus eksis
dalam bentuk yang lain yaitu agama Katolik. Mempertahankan keberadaan dengan
cara masuk ke dalam agama besar tersebut menarik minat pengunjung untuk
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
93
mengapresiasi. Begitu juga Serentaun di Ciptagelar, Banten Girang, Banten Selatan,
pada saat pengunjung mulai berdatangan pemerintah daerah mulai memanfaatkan
adat budaya masyarakat setempat demi tujuan pariwisata. Penggalian kembali sejarah
Sindangbarang, rekonstruksi Serentaun bagian dari revitalisasi kebudayaan setempat
juga menjadi alat bermain dalam arena pembangunan pariwisata dunia yang tak bisa
ditolak. Desakralisasi budaya masyarakat menjadi salah satu produk yang
dikalkulasikan dengan jumlah angka orang yang mengapresiasi, penambahan atau
pengurangan atraksi seni, dikontrol sesuai standar organisasi seperti World Tourism
Organization
Revitalisasi budaya Sunda di Sindangbarang dengan penanda Serentaun
Rekonstruktif
meskipun
dimotivasi
pariwisata,
mempunyai
harapan
dapat
menemukan kembali kearifan lokal seperti yang masih berlaku pada masyarakat di
Ciptagelar. Kearifan lokal merupakan khazanah kekayaan budaya masyarakat yang
sekarang ini diangkat sebagai bagian dari alternatif pemecahan masalah lingkungan
dan sosial. Jika pada masa lalu dalam sejarah Serentaun, sinkretisme Sunda WiwitanHindu-Buddha dapat dilakukan masyarakat Sunda kuna karena adanya motif yang
sama pada sistem pemujaan terhadap Dewi Sri4 dan diyakini dapat menyejahterakan
masyarakat setempat.
4
Pemujaan pada dewi kesuburan ada hampir di seluruh tempat yang mata pencarian penduduknya
berbasiskan pertanian. James (1959: 168 ) dalam Santiko (1977: 295) mengemukakan bahwa patung
dewi ibu pada masyarakat agraris dari tanah liat bakar yang bentuknya hampir sama dengan patung
“Venus” dijumpai mulai dari Asia Minor sampai Lembah sungai Sindhu, Mesir, Pulau Kreta dan
sebagainya. Upacara Seren Taun ini juga sudah dilakukan sejak masa kerajaan Pajajaran bahkan
dimungkinkan sebelum pra-Hindu-Buddha dengan inti pemujaan terhadap dewi kesuburan.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
94
Pemujaan dewa-dewa yang semula pada agama lokal tidak mengenal nama
dewa menjadi ada dengan meniru dewa-dewa dalam agama Hindu Buddha. Dewa
yang dipuja dalam Serentaun adalah Sri dan Kuvera. Pemujaan dewa-dewa ini tidak
sekedar teologis saja tapi berimplikasi pada praktik keseharian penyimpanan padipadi yang dianggap Kuvera-Sri ini pada lumbung. Lumbung ini bagian dari
kehidupan sosial yang menunjukkan berjalannya perekonomian masyarakat demi
kesejahteraan bersama. Lumbung ini pada masa lalu terbuat dari bahan-bahan alam
yang ada pada masyarakat setempat agar dapat melindungi padi sebelum dimakan
dalam waktu berbulan-bulan. Padi-padi yang disimpan dalam lumbung dapat
digunakan sewaktu-waktu ketika datang masa paceklik, atau dipinjamkan pada siapa
saja yang membutuhkan. Simbolisasi memulangkan padi—Sri dan Kuvera--ke alam
atas dengan memasukkan ke lumbung dalam ritus Serentaun bermakna kehidupan
alam atas tempat manusia kembali dapat ditempuh dengan menjalankan kehidupan
sosial kepada sesama manusia di dunia, yaitu menjalankan sistem perekonomian yang
adil dan menciptakan kesejahteraan bersama.
Tetapi kearifan lokal di titik tertentu bisa menjadi batas yang membahayakan
jika berlebihan yaitu adanya euforia kemunculan tradisi-tradisi masa lampau yang
berhubungan dengan kegemilangan masa pra-Indonesia. Tradisi tersebut menjadi
bagian dalam politisasi kebudayaan lokal di dalam percampuran berbagai anasir
agama dan budaya yang diartikulasikan dalam Serentaun Rekonstruktif.
Revitalisasi yang digerakkan oleh elit tradisi
mengangkat kembali nama
Pakwan Pajajaran, masa pra-Indonesia, yang ingin disejajarkan dengan kebudayaan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
95
Jawa di Yogyakarta yang pernah dijadikan kebudayaan adiluhung pada masa Suharto.
Ini tidak masalah jika bukan terjadi karena imbas politik puncak-puncak budaya pada
rezim Orde Baru dan pengistimewaan kebudayaan Jawa khususnya Jawa Tengah—
sisa-sisa peninggalan Mataram, sebagai yang “berbudaya” membekas dalam ingatan
kolektif masyarakat. Keinginan untuk diakui, diapresiasi menjadi motif kuat bagi
kalangan elit tradisi yang hidup pada bekas wilayah kerajaan Pakwan Pajajaran ini
dengan merekonstruksi budaya Serentaun sebagai milik masyarakat petani masa
lampau.
Serentaun Rekonstruktif menjadi alat menyuarakan keberadaan masyarakat
Sunda di Sindangbarang,
Bogor, terhadap dominasi budaya Sunda Priangan,
dominasi budaya Jawa, dan dominasi modernisasi pembangunan, ketika upacara ini
telah lepas menjadi produk budaya yang dikomodifikasi dalam penanganan
pemerintah daerah. Pembangunan pariwisata dijadikan arena yang tampak “natural”
terhadap suatu kepentingan politik identitas Sunda Bogor.
Kebudayaan Sunda Bogor yang dianggap pinggir, karena berbahasa Sunda
kasar dalam tata kebahasaan Sunda yang bertingkat-tingkat, Undak Usuk, disangkal
oleh masyarakat Sunda Bogor yang diprakarsai oleh elit tradisi bahwa sebenarnya
bahasa Sunda egaliter. Bahasa Sunda yang selama ini direpresentasikan sebagai
bahasa Sunda ber-Undak Usuk merupakan bahasa Sunda yang terpengaruh oleh
kerajaan Mataram yang pernah menguasai wilayah Jawa Barat setelah Pakwan
Pajajaran runtuh atas serangan Banten, Demak dan Cirebon. Argumentasi elit tradisi
merujuk pada penggunaan Undak Usuk bahasa Sunda mulai tersebar setelah
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
96
pemerintah Belanda membuka sekolah-sekolah dasar dan menengah di seluruh Jawa
Barat. Argumentasi itu diperkuat dengan merujuk pada Ben Anderson yang
menemukan bahwa adanya campur tangan kolonial dalam pengkonstruksian bahasa
Jawa dan Sunda bertingkat-tingkat. Benedict Anderson5
meneliti tingkat-tingkat
bahasa Jawa sebagai bentuk pembungkaman pada usaha-usaha perlawanan terhadap
otoritas kolonial dalam kekuasaan raja-raja Jawa. Penemuan ini kemudian digunakan
oleh elit-elit intelektual dan budayawan Sunda dalam memandang tradisi Sunda
Priangan yang feodal.
Representasi Sunda Bogor yang merujuk pada Sunda keturunan Pakwan
Pajajaran juga dihadirkan dalam peralatan Serentaun Rekonstruktif melalui busana.
Busana ini berbeda dengan yang digunakan oleh Sunda Priangan yaitu blankon dan
stelan jas yang terpengaruh oleh Mataram Islam. Busana yang ditampilkan dalam
Serentaun rekonstruktif adalah ikat kepala seperti yang digunakan oleh orang Baduy.
Akan tetapi pariwisata mengubah ikat kepala yang berwarna hitam seperti yang
digunakan orang Baduy menjadi batik hitam di atas dasar kain putih. Pariwisata juga
mengubah paradigma baju yang digunakan yang semula adalah komprang yang
seharusnya setelan hitam-hitam menjadi celan hitam dengan baju atasan putih. Tujuan
diubahnya warna busana ini untuk menekankan pada keterbukaan, dan estetika yang
menyesuaikan standar warna yang dipahami masyarakat umum, meskipun dalam
5
Lihat Benedict Anderson. 1996. “Sembah-Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa” dalam
Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim
(edt), Mizan Pustaka.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
97
filosofi Sunda warna hitam yang digunakan oleh masyarakat Sunda Pakwan Pajajaran
masa lalu adalah warna kesucian.
4.2.4. Kecenderungan dalam Tarik-Menarik Hibrida Lokal-Global
Hibrida lokal-global telah menghasilkan sesuatu yang baru yang tidak murni
lokal dan global. Lokalitas telah beralih pada ruang global lewat teknologi informasi
yang mengiklankan pariwisata Sindangbarang. Ini berarti bahwa lokalitas telah lepas
dari lokal yang nyata secara geografis menuju lokal imajiner yang global di dunia
internet. Pasar modal milik perusahaan-perusahaan transnasional dalam globalisasi
yang harusnya menguniversalkan Serentaun Rekonstruktif sebagai hanya produk
dagang menjadi tercampur dengan perhatian baru pada pesatnya ekspresi budaya
lokal Sunda pada masyarakat luas.
Komodifikasi Serentaun yang berasal dari tradisi masyarakat lokal membuat
upacara tersebut bersifat terbuka untuk dilihat yang lain. Keterbukaan ini memberi
peluang keuntungan budaya, dikenalnya cara pandang masyarkat Sunda dihadapan
budaya lain sehingga mengurangi kecurigaan heterophobia oleh kalangan berbudaya
lain. Upacara-upacara sejenis yang masih sakral di beberapa daerah dilindungi
dengan suatu peraturan ketat yang melarang pengunjung mengganggu bahkan
mengambil foto prosesi upacara.
Di Sindangbarang Serentaun yang rekontruktif dalam beberapa ritual seperti
berziarah di makam leluhur, mengambil 7 mata air suci dan mendoakannya semalam
dalam acara ngangkat bersifat khusuk dan sakral bagi orang-orang yang terlibat di
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
98
dalamnya. Upacara tersebut bersifat terbuka bagi masyarakat umum untuk melihat
satu persatu ritual yang diselenggarakan. Pengunjung boleh memotret setiap momen
dalam upacara selama tidak melanggar kesopanan. Di Sindangbarang upacara sejenis
Serentaun Rekonstruktif tersebut masih diselenggarakan masyarakat di beberapa
Rukun Tetangga yang menginginkan upacara bersifat sakral dengan nama Sedekah
Bumi. Selain itu Sindangbarang juga menyimpan berbagai peninggalan keagamaan
nenek moyang (karuhun), Sunda Wiwitan, yaitu batu-batu tradisi megalitikum.
Antara budaya masyarakat sehari-hari baik yang berdasarkan pada nilai-nilai agama
masyarakat sekarang yaitu tradisi Islam, tradisi islam yang bercampur dengan tradisi
karuhun, peninggalan-peninggalan historis masa Kerajaan Pakwan Pajajaran, semua
seharusnya mendapat hak yang sama dalam perlindungan budaya lokal termasuk
budaya masyarakat dalam mata pencaharian baik itu yang mempertahankan pertanian
maupun karya-karya penduduk dalam industri rumah tangga sepatu.
Perlindungan budaya lokal sebagai bagian yang masih sakral dan yang telah
direkonstruksi menjadi kewajiban pemerintah nasional dan daerah. Tidak semua
budaya lokal dapat dibuka di ruang global. Bagi pemerintah daerah dan nasional
dualisme menghadapi globalisasi tidak saja penting sebagai bentuk negosiasi yang
bersifat penyangkalan terhadap dominasi pasar modal. Dalam dualisme tersebut satu
pihak pemerintah wajib melindungi budaya lokal agar tetap lestari. UUD 1945 pasal
32 menurunkan peraturan Menteri Dalam Negeri No.39 tahun 2007, yang berisi
bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah, pemerintah daerah
mempunyai kewajiban melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
99
kerukunan nasional, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta
melestarikan nilai sosial budaya. Kepala daerah mempunyai tugas mengupayakan
pengembangan dan pelestarian sosial budaya di daerah. Upaya melestarikan dan
mengembangkan tradisi adat budaya di daerah merupakan bagian dari langkah untuk
memelihara ketahanan budaya bangsa sebagai pilar dari ketahanan nasional.
Kebijakan pemerintah daerah untuk melindungi budaya-budaya lokal
dicanangkan bersamaan dengan kesadaran masyarakat dunia pada kerusakan
lingkungan dan punahnya beberapa budaya berbagai etnis akibat modernisasi. Di
bidang pariwisata kemudian diangkat isu pariwisata berdasarkan lingkungan dengan
sebutan eko-pariwisata tahun 1990. Menurut aturan dalam Ekowisata, salah satu
prinsip yang diangkat adalah penghormatan terhadap adat dan budaya masyarakat
tujuan pariwisata yang disebut dengan cultural sensitivity atau sensitivas budaya.
Keberadaan wisata budaya menurut eko-turisme mendorong timbulnya penghormatan
dan apresiasi
terhadap adat istiadat dan keragaman budaya untuk menjamin
kelangsungan budaya lokal. Tetapi penghormatan yang membebaskan budaya-budaya
lokal untuk tujuan penjualan budaya menggiring pada persoalan euforia eko-turisme
sehingga program ini
tidak kritis terhadap persoalan-persoalan lain dalam hal
pembagian keuntungan.
Di lain pihak dibukanya wilayah-wilayah di daerah dalam bisnis budaya yang
melintas batas, memudahkan masuknya budaya-budaya global ke tataran masyarakat.
Meminjam bahasa Dahles, ia menyebut persolan ini sebagai dilema pariwisata. Pada
tataran tersebut tidak masalah jika pemerintah daerah lebih cenderung atau berpihak
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
100
pada kesejahteraan budaya dan masyarakat lokal dalam pertemuan lokal-global di
dalam ruang ketiga hasil tarik menarik oposisi biner tersebut. Seperti pada penjualan
Serentaun Rekonstruktif, pemerintah daerah seharusnya lebih memperhatikan
kesejahteraan masyarakat pemilik budaya tersebut dengan memotivasi kembali
kemandirian masyarakat lewat kewirausahaan. Ini lebih penting dari pada
mendengungkan keotentikan demi kelangsungan ideologi unik pariwisata yang
pengaturan pembangunannya lebih condong pada politik ekonomi kapitalis dengan
membuka
seluas-luasnya
investasi
asing
untuk
pengembangan
pariwisata.
Pengembangan pariwisata berstandar ekologi yang tata aturannya berasal
dari WTO yang terlihat perduli pada kelestarian budaya dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat setempat, kenyataannya tetap memposisikan masyarakat lokal berada di
bawah bayang-bayang ekonomi perdagangan bebas yang tergantung pada kekuatan
modal. Pemilik budaya lokal Serentaun Rekonstruktif diposisikan sebagai objek yang
diangkat identitas budayanya tetapi tidak memiliki hasil budayanya sendiri.
Data pendapatan asli daerah Kabupaten Bogor yang berasal dari sektor
pariwisata tahun 2006-2007 yang diambil dari sumber potensi daerah adalah dari Rp.
21.498.851.579 menjadi 24.883.834.749 atau naik 15.74% digunakan untuk
peningkatan usaha objek wisata, usaha hiburan umum, usaha jasa wisata, usaha
sarana akomodasi, usaha sarana makan-minum, pelatihan pelaku usaha, pelatihan
pengembangan SDM dinas, pelestarian budaya, pengiriman misi kesenian dan
pasanggiri atau perlombaaan seni Sunda. Keberadaan usaha-usaha sektor pariwisata
di Kabupaten Bogor tahun 2007 menurut potensi Kabupaten Bogor, menyerap tenaga
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
101
kerja sebanyak 13.061 orang, sementara jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor
masih 12,5% dari jumlah penduduk yang lebih dari 4 juta jiwa. Hal ini menjadi bukti
bahwa pembangunan sektor wisata belum banyak memberikan kontribusi pada
kesejahteraan rakyat. Angka tersebut merupakan tenaga kerja formal, sedangkan
tenaga kerja informal tidak terdata.
Menurut pemerintah daerah pembangunan wisata justru menyerap tenaga
kerja informal. Walaupun demikian ini tetap menjadi pertanyaan, tentang berapa
keuntungan yang diperoleh tenaga kerja informal tersebut dibanding keuntungan
yang didapat oleh perusahaan-perusahaan dengan modal besar baik itu dari investasi
asing atau investasi dalam negeri. Jumlah unit koperasi usaha menengah di
Kabupaten Bogor seperti yang dicatat oleh Harian Umum Pelita, pada tahun 2007
sebanyak 1400-an unit. Jumlah tersebut yang membutuhkan suntikan dana sebanyak
500-an UKM. Sedangkan usaha yang dikelola perusahaan besar di bidang pariwisata
secara formal baru menyerap tenaga kerja 13.061 jiwa. Angka yang sangat kecil
dibanding jumlah pengangguran yang ada di Kabupaten Bogor yang dicatat koran
Pelita (30 Mei 2008) yakni sebanyak 459.000 jiwa. UKM berdasarkan sifatnya yang
lebih elastis, dalam suatu usaha masyarakat seharusnya dapat membantu mengurangi
angka pengangguran. UKM telah diberi dana dari perbankan, BUMN, pemerintah
daerah setempat, dan PMA sebagai mitra. Ketidakmampuan UKM seperti yang
dikeluhkan dalam surat kabar HU Pelita, 30 Mei 2008, adalah kurangnya modal dan
rendahnya kualitas SDM. Jumlah seribu empat ratus UKM dibanding jumlah
penduduk di Kabupaten Bogor
tidak menunjukkan keberhasilan UKM, pemerintah
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
102
dan pihak-pihak yang seharusnya mendorong kemandirian masyarakat melalui UKM
termasuk di dalamnya penanam modal asing.
Keberpihakan pemerintah daerah pada korporasi asing terbukti dengan
perubahan UUPMA 2007 yang isinya lebih membuka kesempatan bagi para penanam
modal asing melaksanakan aktivitas usaha di Indonesia. Salah satu butir dalam
UUPMA 1967/70 mengatur tenaga kerja dalam Bab IV, tenaga kerja asing tidak
mudah untuk didatangkan karena tenaga kerja asing hanya boleh didatangkan bagi
jabatan-jabatan yang belum dapat diisi dengan tenaga kerja warga Indonesia.
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan Orde Baru tersebut mempertimbangkan
pertumbuhan
perusahaan-perusahaan
Indonesia
yang
dikelola
“pribumi”—
konglomerat-konglomerat yang dekat dengan kekuasaan Suharto.6 Hal ini tidak
berlaku lagi dalam UUPMA 2007 karena tenaga kerja asing lebih mudah masuk ke
Indonesia. Pada pasal 10, tenaga kerja warga Negara Indonesia tetap diutamakan,
tetapi investor tetap memiliki hak menggunakan tenaga ahli WNA untuk jabatan dan
keahlian tertentu .
Pembangunan pariwisata di Kabupaten Bogor menurut laporan program Dinas
Pariwisata Kabupaten Bogor yang tercatat dalam potensi daerah, dan Data
Invetarisasi UKM di Kabupaten Bogor dari Kantor Konperasi Unit Usaha Kecil
Menengah, terbagi dalam empat zona wisata, yaitu Zona Puncak, Zona Bogor Barat,
6
Lihat Richard Robinson dan Vedi R. Hadiz (2004) yang mengatakan bahwa kebijakan ekonomi
Suharto pada masa kekuasaannya melindungi perusahaan-perusahaan keluarga dan teman-temannya
untuk melakukan monopoli terhadap perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Akan tetapi setelah
adanya reformasi dari Bank Dunia dengan isu-isu korupsi yang dibawa oleh negara-negara pemberin
dana seperti CGI, IMF, keluarga Suharto dan teman-temannya beralih pada bisnis keuangan di dalam
pasar modal , global serta mega proyek infrastruktur dan kebutuhan publik.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
103
Zona Bogor Utara dan Zona Bogor Timur. UKM di zona wisata yang banyak
mendatangkan wisatawan baik asing maupun Nusantara yaitu Zona Wisata Bogor
Timur, dengan 2 objek wisata, Mekarsari dan Penangkaran Rusa. Jumlah wisatawan
yang berkunjung adalah 2.179.961 wisatawan. Daerah ini menurut laporan dari Dinas
Koperasi Usaha Kecil Menengah, mempunyai 75 UKM. Tetapi di daerah lain seperti
Zona Puncak yang mempunyai banyak objek wisata dan fasilitas seperti hotel,
restoran, rumah makan hanya mempunyai sedikit sekali UKM. Kecamatan
Megamendung mempunyai 25 rumah makan, 9 restoran, 12 fasilitas baik hotel,
sarana olahraga, panji pijat dan lain-lain, tetapi hanya mempunyai 2 UKM.
Kecamatan Cisarua yang mempunyai 15 restoran, 43 rumah makan, 17 fasilitas hotel
dan sebagainya, hanya memiliki 5 UKM. Di Kecamatan Tamansari tidak terdata
jumlah rumah makan, restoran dan fasilitas lain. Kecamatan yang masuk Zona Wisata
Bogor Barat ini mempunyai 12 UKM dengan hanya 3 objek wisata, yaitu
Sindangbarang, Buper Sukamantri dan Curug Nangka di Gunung Salak.
Tiga UKM yang terletak di kecamatan Taman Sari tersebut tidak terletak di
Sindangbarang. Desa Pasir Eurih. Di dukuh Sindangbarang dan Menteng saat ini
tidak tercatat mempunyai UKM. Beberapa tahun lalu ada beberapa koperasi
pengusahaan pertanian maupun kerajinan sepatu. Karena kurangnya pendampingan,
koperasi tersebut sudah tidak berjalan lagi. Setelah wilayah ini dijadikan daerah
destinasi wisata, budaya Serentaun dijual,
kondisi matinya koperasi usaha
masyarakat tersebut tida bisa terus menerus dibiarkan.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
104
Posisi pengrajin sepatu yang sudah eksis sejak tahun 1960-an—jauh sebelum
Sindangbarang menjadi destinasi wisata--
tidak mendapat perhatian pemerintah
daerah. Unit-unit usaha kecil tersebut dapat bertahan dengan modal masing-masing
yang terbatas. Keterbatasan modal pengrajin industri sepatu membuat usaha mereka
sebagian terpaksa bekerja sama dengan pemberi modal yang sifatnya perseorangan
dengan sistem yang kurang menguntungkan di pihak pengrajin industri rumah tangga
sepatu. Beberapa sumber dari penduduk setempat mengatakan bahwa industri rumah
tangga ini sebenarnya adalah pabrik besar pengusaha yang bukan penduduk
Sindangbarang dengan memanfaatkan industri rumah tangga. Dengan tidak
mendirikan pabrik besar secara de Jure, pemodal-pemodal tersebut terbebas dari
pajak. Selama ini pajak usaha dibebankan pada rumah tangga-rumah tangga industri
dengan besar uang sesuai dengan penghasilan per tahun. Padahal keuntungan yang
diterima pemodal tersebut jauh lebih besar dari keuntungan pengrajin sepatu di
bengkel-bengkel rumah tangga.
Setelah Sindangbarang dijadikan kawasan destinasi wisata seharusnya
pemerintah daerah lebih memperhatikan keberadaan industri rumah tangga sepatu ini
dengan memberi dana lagi ke masyarakat untuk mendirikan unit-unit koperasi usaha
dengan pelatihan dan pendampingan selama beberapa tahun, hingga masyarakat
pengrajin industri rumah tangga ini dapat mandiri. Ketergantungan sebagian
pengrajin pada penanam modal “liar” tersebut merugikan masyarakat dan pendapatan
daerah, karena tidak terdeteksi untuk dipungut pajak usaha.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
105
Dengan berbagai masalah yang terjadi pada UKM menggiring suatu
pertanyaan bagaimana sebenarnya membangun program kemandirian masyarakat
yang efektif bagi masyarakat lokal. Program pembangunan untuk menciptakan
kewirausahaan masyarakat kecil menengah atau UKM sebenarnya juga berdasarkan
konsep yang tidak memihak pada masyarakat Indonesia. Sindhunata (2000) yang
mengutip penelitian Booeke, menyebut
budaya bisnis masyarakat
Indonesia
kebanyakan lebih dekat kepada bisnis yang berdasarkan social needs daripada
economic needs. Sementara basis pembangunan mental kewirausahaan seperti yang
diberikan pada pelatihan-pelatihan UKM adalah kewirausahaan berdasarkan
economic needs yang menggunakan logika perkembangan. Logika itu sendiri
mempunyai motif keinginan manusia yang tak kenal batas, sehingga pusat dari
kebutuhan ekonomi adalah individu yang tidak harus dikaitkan dengan pembatasan
sosial masyarakat. Logika ini bertentangan dengan budaya masyarakat kebanyakan di
Indonesia yang bersifat sosial, sehingga sebanyak apapun UKM didirikan dengan
pelatihan-pelatihan kewirausahaan yang canggih tetap sulit diserap dengan maksimal.
Sebagi contoh, dikatakan dalam UUPMA 2007,
PMA sebagai mitra
yang
mendorong berkembangnya unit usaha kecil dan menengah, tetapi dalam beberapa
kasus pada akhirnya UKM menjadi PMA, karena keterdesakan UKM sehingga harus
menjual saham terbesarnya pada PMA. Sistem persaingan kewirausahaan
berdasarkan kewirausahaan yang tidak sesuai dengan kultur kewirausahaan
masyarakat lokal, membuat UKM bagaimanapun tidak dapat bersaing dalam pasar.
UKM pada sektor pariwisata biasanya hanya memegang industri rumah tangga
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
106
souvenir, makanan, kesenian rakyat dan sebagainya yang artinya keuntungan terbesar
tetap dipegang oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang memegang kunci
strategis industri pariwisata. Pemihakan pemerintah pada korporasi transnasional
lewat mudahnya prosedur penanaman modal asing dalam UUPMA 2007 memberi
sedikit pada masyarakat lokal. Komodifikasi Serentaun Rekonstruktif dalam lokalglobal ini menghasilkan keantaraan sebagai budaya baru yang dalam tarik
menariknya ternyata lebih cenderung pada dominasi satu kutub. Tujuan
pembangunan pariwisata awalnya untuk menyejahterakan masyarakat, tujuan tersebut
telah gagal, karena keuntungannya jatuh lebih banyak pada korporasi swasta yang
bermodal besar.
.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
107
BAB V
KESIMPULAN
Serentaun yang diselenggarakan di Sindangbarang adalah upacara
rekonstruktif, peniruan dari upacara masyarakat Sindangbarang di masa lampau.
Serentaun adalah upacara milik masyarakat berbasis pertanian, sedangkan
masyarakat di Sindangbarang sehari-hari pada masa sekarang kebanyakan
bermatapencaharian pengrajin industri rumah tangga sepatu. Rekonstruksi upacara
Serentaun diikuti oleh rekonstruksi Kampung Budaya yang meniru kondisi
pedesaan pada masyarakat masa lampau sebagai syarat peralatan upacara.
Serentaun tersebut diadakan untuk tujuan pariwisata sehingga ditandai dalam
penelitian sebagai
Serentaun Rekonstruktif. Penggalian-penggalian budaya
lampau atas nama revitalisasi ini melibatkan beberapa pihak di dalamnya yaitu
pemerintah daerah, elit tradisi dan elit agama setempat.
Revitalisaasi budaya masa lampau dilihat dari sudut pandang Hommi
Bhabha tidak mungkin dapat dikatakan sakral, murni atau asli. Revitalisasi adalah
wilayah superfisial yang menerjamahkan ulang, merelokasikan penandaan budaya
masa lampau ke masa kini. Rekonstruksi upacara Serentaun tidak lagi
berhubungan dengan ketransendenan. Penandaan Serentaun masa kini yang
dijadikan komoditi pariwisata menekan budaya tersebut pada kondisi hibrida atau
keantaraan, sehingga tidak mungkin lagi disebut asli. Serentaun sebagai budaya
lokal ketika menjadi alat pariwisata yang dipasarkan ke masyarakat global
dengan teknologi informasi menjadi tidak orisinil budaya lokal. Karena lokalitas
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
108
geografis dalam Serentaun Rekonstruktif telah berubah dalam lokalitas imejiner
dalam teknologi informasi ke ruang global. Bagi Global yang partikular/universal
keberadaan Serentaun Rekonstruktif juga telah merusak otoritas kemurnian
universalisasi modal karena budaya lokal dalam industri global dijadikan
penandaan identitas budaya Sunda yang mengglobal. Keantaraan Serentaun di
dalam dua kutub lokal-global menghadirkan titik yang saling tarik menarik dalam
ruang ketiga.
Rekonstruksi Serentaun untuk direpresentasikan ke masyarakat global ini
di dalam masyarakat lokal masih diiringi dengan konflik kepentingan. Di
Sindangbarang kontestasi wacana revitalisasi Serentaun tersebut bukan keberatan
masyarakat terhadap upacara yang tidak lagi sakral, tetapi kemunculan lagi
budaya yang bagi kalangan elit agama khususnya Islam pembaharu dapat merusak
aqidah keagamaan masyarakat Sindangbarang masa kini yang sudah memeluk
Islam. Elit agama pembaharu resisten terhadap upaya revitalisai budaya masa
lampau yang kesundaannya masih dipengaruhi oleh tata cara karuhun yang
beragama Sunda Wiwitan bercampur Hindu-Buddha. Revitalisasi yang diprakarsai
oleh elit tradisi tersebut mendapat dukungan dari elit agama pro tradisi yang
metode penyampaian ajarannya lebih inklusif di dalam tradisi.
Pemerintah daerah dan nasional harusnya tanggap terhadap persoalan ini
dan tidak saja mengkooptasi budaya lokal demi kepentingan industri saja.
Bagaimanapun sejarah adanya Serentaun berakar dari sistem keyakinan
masyarakat terhadap agama-agama. Jika pemerintah daerah meminggirkan saja
konflik ini dengan tidak membuat suatu kebijakan bahwa pariwisata diadakan
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
109
untuk kesejahteraan semua melalui misalnya, UKM, serta perlindungan terhadap
hak-hak berekspresi budaya masyarakat, konflik kecil ini akan menjadi bom
waktu. Tetapi sejauh ini konflik pada masyarakat Sindangbarang justru menjadi
dinamika budaya karena elit agama Islam pembaharu yang resisten tersebut
bernegosiasi sehingga keberadaan Serentaun Rekonstruktif dapat diterima
berbagai kalangan. Beberapa pihak elit agama Islam pembaharu yang masih
resisten terhadap beberapa ritus Serentaun, menciptakan budaya sendiri, sehingga
konflik tersebut muncul dalam kontestasi wacana bukan dalam ranah kekerasan.
Hibriditas lokal-global yang dilakukan oleh elit tradisi, pemerintah daerah
dan nasional harus memihak pada masyarakat lokal. Kenyatannya dalam
hubungan tarik-menarik lokal-global dalam komodifikasi budaya Serentaun
Rekonstruktif, pemerintah daerah lebih banyak berpihak pada penanam modal
asing. Pemerintah daerah masih mengabaikan masyarakat pemilik budaya. Di
Sindangbarang usaha-usaha bidang industri rumah tangga sepatu yang sudah ada
tidak mendapat perhatian, padahal wilayah tersebut sudah menjadi daerah
destinasi wisata. Masalah-masalah seputar unit usaha kecil menengah yang
dikelola oleh koperasi seharusnya mendapat porsi perhatian besar.
Di tingkat nasional pemerintah pusat seharusnya menyadari kemunculan
kembali budaya-budaya daerah dalam otoritas daerah berdasarkan undang-undang
otonomi dapat memberi peluang kemunculan politik identitas berbagai daerah di
seluruh Indonesia. Revitalisai budaya daerah tanpa kesiapan wadah bernama
Indonesia hanya memberi peluang perpecahan. Pemerintah nasional seharusnya
tidak mengikuti kebijakan pariwisata dunia yang menggaungkan budaya keaslian,
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
110
keunikan. Keunikan dan keaslian hanya konstruksi untuk suatu keuntungan
produk wisata budaya. Jika keaslian ini masih dijadikan standar bagi pariwisata
Indonesia maka motto pariwisata yang ingin menyatukan bangsa justru berbalik
menjadi perpecahan, karena masing-masing daerah, etnis, akan mengklaim suatu
budaya daerah tertentu lebih asli dari yang lain. Di daerah Jawa Barat klaim
keaslian ini akan menjadi rebutan beberapa wilayah Sunda antara Banten,
Priangan, dan Bogor.
Kebijakan pemerintah nasional yang berpihak pada korporasi modal
transnasional dibanding usaha masyarakat lokal, ditambah kebijakan otonomi
daerah yang memudahkan PMA masuk langsung ke daerah yang sedang bergiat
pada revitalisasi budaya akan membahayakan keberlangsungan negara-bangsa.
Hubungan nasional-global harusnya menghasilkan keantaraan yang condong pada
perlindungan terhadap ketahanan nasional melalui konsolidasi hubungan lokalnasional.
Hibriditas lokal-global yang dipraktikkan dalam sistem pembangunan
pariwisata budaya seharusnya lebih cenderung pada keperluan membangkitkan
keindonesiaan. Melalui program yang sejak awal didiktekan oleh UNDP, WTO,
UNESCO ini pemerintah Indonesia, elit tradisi dan elit agama yang berpengaruh
di tingkat lokal, pertama harus lebih mementingkan hak-hak kesejahteraan
masyarakat dalam semua bidang. Kedua, pariwisata seharusnya lebih ditujukan
pada pemahaman budaya antar etnis dan agama di seluruh daerah di Nusantara
yang tidak lagi hanya menggunakan paradigma pembekuan budaya dalam
museum seperti TMII, tetapi juga pemahaman budaya masyarakat yang terus
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
111
bergerak. Hibriditas lokal-lokal adalah keantaraan yang harus dibangun untuk
menumbuhkan sikap memiliki seluruh budaya Indonesia sehingga tidak ada
pandangan budaya kami dan budaya mereka. Budaya kami adalah milik mereka,
dan budaya mereka adalah milik kami.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
112
Daftar Pustaka
Adimihardja, Kusnaka. 1992. Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh.
Bandung: Tarsito.
Ali, Muhammad Daud. 1998. Pendidikan Agama Islam.Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Ayatroheidi dan Saadah, Sri. 1995. Jatiniskala Kehidupan Kerohanian Masyarakat
Sunda Sebelum Islam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Barker, Chris.2000. Cultural Studies Theory and Practice. London: Sage Publication.
Benedict, R.O’G, Anderson. “Sembah-Sumpah: Politik Bahasa Dan Kebudayaan
Jawa” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (edt). Bahasa dan Kekuasaan
Politik Wacana Di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan Pustaka.
Bhabha, Hommi K. 1995. dalam Ashcroft, Bill dkk. The Post-colonial Studies
Reader.
London: Routledge.
________________.1995. interview with cultural theorist Homi Bhabha dalam
W.J.T. Mitchell
Artforumv.33,
n.7
(March):80-84.
COPYRIGHT Artforum International Magazine Inc. 1995
Budiman, Hikmat dkk. 2005. Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia.
Jakarta: Tifa.
Budhisantoso dkk. 1990. Sri Dandayang Tresna (Pohaci). Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Creswell, Jhon W. 1994. Research Desain Qualitative & Quantitavie Approaches.
London: Sage Publication.
Coffey, Amanda & Atkinson, Paul. 1996. Making Sense Of Qualitative Data,
Complementary Research Strategies. London: Sage Publications.
Dahles, Heidi. 2001. Tourismn Heritage and National Culture in Java Dillemas of a
Local Community. Curzon.
Danasasmita, Saleh. 2006. Mencari Gerbang Pakuan. Jakarta: Pusat Studi Sunda.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
113
Denzin, Norman K & Lincoln Yvonna S. 1998. The Landscape of Qualitative
Research
Theories and Issues. London: Sage Publications.
Djatisunda, Anis. 2008. “Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuna Menurut Berita
Pantun dan Babad”, makalah seminar Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs
Sindangbarang di Kampung Budaya Sindangbarang Kabupaten Bogor”.
(Tidak diterbitkan).
Ekadjati, Edi S. 2005. Sunan Gunung Jati. Bandung: Pustaka Jaya.
Gandhi, Laela. 2004. Teori Poskolonial. Jakarta: Qalam
Hadiwijono, Harun. 1982. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hidayat, Komaruddin dan AF, Ahmad Gauf. 2006. Menjadi Indonesia.Bandung:
Mizan.
Ikeda, Deisaku. 1974. Buddhism: The Living Philosophy. Tokyo: The East
Publication.
Ismail, Asep Usman. 2005. Apakah Wali Itu Ada?. Jakarta: Rajawali Press.
Kartodirdjo dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Levebre, Henry. 1994. Everyday Life in the Modern World. London: Transaction
Publishers.
Miyoshi, Masao. 1996. “A Borderless World? From Colonialism To
Transnasionalism
And The Decline Of Nation-State” dalam Rob Wilson
dan Wimal Dissayanake
(edt).Global-Local. Unites States of America:
Duke University Press.
Munandar, Agus Aris. 2007. Situs Sindangbarang Bukti Kegiatan Keagamaan
Masyarakat Kerajaan Sunda (Abad 13-15 M)-laporan hasil penelitian awal.
Bogor: Padepokan Giri Sunda Pura.
______________________.2008. “Agama dan Masyarakat Dalam Masa Kerajaan
Sunda”. Makalah Seminar Sejarah Peringatan Hari Jadi Bogor Ke-526. Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Bogor dan Kampung
Budaya
Sindangbarang.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
114
_______________________.2008. “Bangunan Suci Dalam Masa Kerajaan Sunda
Tinjauan Terhadap Kerangka Analisis”. Makalah Seminar Revitalisasi Makna
dan Khazanah Situs Sindangbarang di Kampung Budaya Sindangbarang,
Kabupaten Bogor.
Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional
Indonesia II. Jakatra: Balai Pustaka.
Purwitasari, Tiwi. 2007. “Kontinuitas Bentuk Kepercayaan Lama Pada Masyarakat
Tradisional: Studi Kasus Adat Seren Taun di Kampung Budaya
Sindangbarang,
Bogor”, dalam Widyasancaya, Agus Aris Munandar
(edt), Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata dan Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia.
Robison, Richard dan Hadiz, Vedi R. 2004. Reorganising Power In Indonesia The
Politics of Oligharchy In An Age Of Markets. London: Routlrdge Curzon.
Sherman Heyl, Barbara.1996. ”Ethnographic Interviewing”. Dalam Hanbook of
Ethnography. Paul Atkinson (ed.). London: Sage Publication.
Sindhunata, 2000. Sakitnya Melahirkan Demokrasi. Yogyakarta: Kanisius.
Suprianto, Agus. 2005. “Pemikiran Usul Fikih Imam Syafi’I.” Tesis (Unpublished).
Universitas Indonesia.
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (edt). 2005. Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta: Kanisius.
Yoeti, Oka A.2006. dkk. Pariwisata Budaya, Masalah dan Solusinnya. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Sumber Internet:
“ASEAN Selayang...”.2008. “ASEAN Selayang Pandang”. www.deplu.go.id, 23 Juni
2008.
Dahles, Heidi. 1999. “Local Perspectives On Global Tourism in Asia Pacific
Region”.
www. Theme. Tourism newsletter online.htm, 3 Juni 2008.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
115
Djatisunda, Anis. 2007. “Seren Taun di Kampung Sindangbarang”. www.balebatonline.com, 27 Februari 2008.
“Hampir Setengah Juta...”. 2008. “Hampir Setengah Juta Penduduk Kabupaten Bogor
Nganggur”.www.hupelita.com, 30 Mei 2008.
“Ketua IWAPI Bogor...”. 2008. “Ketua IWAPI Bogor: UKM Perlu Uluran Tangan”.
www.hupelita, 30 Mei 2008.
“Pemerintah diharapkan...”. 2008. “Pemerintah Diharapkan Hilangkan Hambatan
Investasi Pariwisata,” www. Kapanlagi.com, 21 Januari 2008.
“Pembentukan Dinas...”. 2008. “Pembentukan Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten
Bogor Mendesak”. www.hupelita, 30 Mei 2008.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
116
Gambar 1. Rumah adat
[Sumber: [email protected] 2008: 1.]
Gambar 2. Rumah adat
[Sumber: [email protected] 2008: 1.]
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Gambar 3. Serentaun
[Sumber: [email protected] 2008: 1.]
Gambar 4. Serentaun
[Sumber: www.kp-budaya.com 2008: 5.]
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Gambar 5. Serentaun
[Sumber: www.kp-budaya.com 2008: 1.]
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Gambar 6. Serentaun
[Sumber: www.kp-budaya.com 2008: 1.]
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Gambar 7. Serentaun
[Sumber: www.kp-budaya.com 2008: 1.]
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
(Gambar 8: Sembelih Kerbau)
(Gambar 9: Dongdang)
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
HIBRIDA LOKAL-GLOBAL PADA POLITIK KOMODIFIKASI
BUDAYA SERENTAUN REKONSTRUKTIF, UPACARA TAHUNAN
MASYARAKAT SUNDA, DI SINDANGBARANG KABUPATEN
BOGOR
OLEH: DINA AMALIA SUSAMTO
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Serentaun merupakan upacara
masyarakat agraris
Ucapan rasa syukur atas panen padi
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Tahun 2005
Serentaun disusun ulang= Serentaun
Rekonstruktif
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Rekonstruksi Serentaun
Bagian dari upaya revitalisasi budaya
Sunda di Sindangbarang, Bogor
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Komodifiksi Budaya
Rekonstruksi Serentaun:
Revitalisasi Budaya Sunda Bogor
TUJUAN:
PARIWISATA
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Rekonstruksi:
telah mengubah Serentaun bukan
sebagai upacara sakral
Memenuhi permintaan Industri
pariwisata
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Pariwisata
Membawa Serentaun ke wilayah
Global
Paket Promosi Pada Teknologi
Informasi
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Perumusan Masalah
Pertemuan Lokal-Global (Bhabha):
1. meruntuhkan otoritas global yang
menganggap budaya universal sebagai
produk dagang di bawah arus pasar modal
global yang dimanfaatkan untuk
mengangkat budaya lokal Sunda
Serentaun di Sindangbarang
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Perumusan Masalah
Hibrida Lokal-global: meruntuhkan
Otoritas lokal yang partikular, terikat
secara geografis sempit wilayah
sindangbarang, terikat kesakralan
lokal imajiner dalam ruang
global melalui teknologi
informasi.
Superfisial
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Perumusan Masalah
Hibrida Lokal-Global akan selalu tarikmenarik: Siapa yang lebih
diuntungkan dalam pergerakan politik
ekonomi
masyarakat lokal
kapitalisme global
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Metodologi Penelitian
Cultural Studies
Postrukturalis
peneliti melakukan interaksi dan
interpretasi dengan teori kritis
fenomena budaya masyarakat.
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Pertunjukkan seni Anklung gubrak
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Pupuhu dan Nyai
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Hibrida Lokal-Global:Kontestasi Elit
Lokal Dalam Serentaun
Rekonstruktif
Elit Tradisi dan Elit Agama Islam
Pembaharu
Elit Agama Islam Pembaharu dan Elit
Agama Pro Tradisi
Kooptasi Elit Pemda Pada Pariwisata
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Hibrida Lokal-Global: Industri
Pariwisata
Teknologi Internet Menjembatani
Lokal-Global
Politik Global Melalui
Transnasionalisasi Modal
Politik Lokalitas Menghadapi
Globalisasi
Tarik-Menarik Lokal-Global
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Mike Featherstone:
There is no place space to
feel totally at home
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Tapi di Sini Rumah Kita
Nyata atau Maya
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Susunan Kepanitiaan Upacara Serentaun Rekonstruktif Tahun 2006
Pelindung
: - Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kab. Bogor
- Camat Taman Sari, Kab. Bogor
Penasehat
: H. Muhammad Diponegoro
Ketua Umum
: Maki Sumawijaya
Ketua Pelaksanana
: Ojon Jumena
Sekretaris
: Ace Nudin
Bendarhara
: Ria
Seksi-Seksi
Upacara
: Ceceng
Protokol
: Aep
Pengajian
: Yadi
Kesenian
: Asep
Keamanaan
: Ukat
Konsumsi
: Encun
Humas
: Wahyu
Perlengkapan
: Seno
Penerima Tamu
: Rina
Dokumentasi
: Dedi
Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008
Download