HIBRIDA LOKAL-GLOBAL PADA POLITIK KOMODIFIKASI BUDAYA SERENTAUN REKONSTRUKTIF, UPACARA TAHUNAN MASYARAKAT SUNDA, DI SINDANGBARANG KABUPATEN BOGOR Tesis Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Humaniora Pada Program Studi Ilmu Susastra Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Dina Amalia Susamto NPM: 0606012876 Program Studi Ilmu Susastra Program Pascasarjana Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Depok 2008 Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Jika tidak ada tempat meruang Untuk kita merasa sungguh pulang Tapi di sini Rumah kita Nyata atau maya (Untukmu Indonesia, Mei 2008) Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Kata Pengantar Ketika kita menikmati suatu budaya yang berbeda dengan milik kita dalam kesempatan pariwisata, tanpa sadar dengan ketakjuban kita menginternalisasi kata ini “asli”, “eksotik” atau “unik”. sudah Dalam ruang perdebatan dengan teman yang sama-sama menikmati pariwisata budaya tanpa sadar pula akan keluar kata yang membandingkan daerah mana yang mempunyai budaya apa lebih asli atau eksotik dari aneka ragam budaya yang telah dilihat. Berangkat dari debat kusir tersebut penulis tertarik untuk meneliti masalah penjualan budaya dalam pariwisata untuk membuktikan bahwa memuja keaslian lokalitas budaya pada era Posmodernisme menjadi permasalahan yang mengganggu dinamika hubungan subjek-subjek budaya. Keaslian, keunikan, keeksotikan merupakan konstruksi yang dibuat oleh pemilik modal yang menjadikan budaya sebagai aset perdagangan. Jika masyarakat pemilik budaya memperoleh tingkat kesejahetraan yang lebih baik dari hasil komodifikasi tersebut, kedatangan pemilik modal melalui korporasikorporasi besar dunia ke ranah-ranah lokal tidak menjadi persoalan. Akan tetapi kenyataanya praktik penjualan budaya lewat pembangunan pariwisata yang mempertemukan lokal-global, ruang ketiga yang dibangunnya lebih cenderung pada keuntungan satu pihak yang memiliki modal. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 iii Dalam pembuatan tesis yang menggairahkan ini, penulis tidak akan berhasil tanpa adanya kasih dan cinta Allah swt. Ia yang menganugrahi semangat tanpa mati, memberikan kesehatan ketika menjalani satu fase akhir dari perjalanan kuliah di Universitas Indonesia, untuk itu penulis haturkan sujud sedalam-dalamnya meskipun ini tidak sebanding dengan semua yang telah Ia berikan. Rasa sayang sepenuh jiwa kepada ayahanda (alm) yang telah meninggalkan jejak pengetahuan dan keingintahuan, menyulut semangat belajar tak pernah padam. Kepada beliau tesis ini penulis dedikasikan. Terima kasih juga pada ibunda tercinta, segala-galanya yang telah kau berikan. Tanpa doa restumu, tak akan ada semua ini. Tanpa pengorbananmu yang tak putus-putus, aku bukan siapa-siapa dan tidak akan menjadi apa-apa. Setelah ini kupenuhi janjiku padamu, pada Allah, pada alam, untuk memberikan bakti terbaik. Rasa kasih sebesar-besarnya pada adik-adikku, terutama Akhmad Akbar Susamto yang telah memberi kesempatan berada di sini, menghasilkan penelitian ini, menggunakan laptop ini. Pengorbananmu siang-malam di negeri yang jauh itu tidak akan pernah menjadi sia-sia. Rasa kasih-sayang juga untuk Titis dan Arwa. Terima kasih atas pengorbanan kalian. Kepada Burhanuddin Susamto, Anisah Noor Susamto, Abdul Qodri Susamto, terima kasih untuk doanya, untuk diskusi kita pada pertemuan yang langka tapi manis. Kita jauh tapi tidak akan pernah jauh. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 iv Ucapan terima kasih juga ditujukan pada Ibu Reni Winata yang telah memberikan inspirasi dalam ruang kuliah, memberikan perhatian dan pengetahuan, terima kasih atas diskusi-diskusi yang menyenangkan.Terima kasih pada Bapak Agus Aris Munandar yang telah banyak memberikan waktu untuk mengoreksi sedetail-detailnya naskah tesis, memberikan perhatian dan semangat menyelesaikan studi secepatnya, memberikan inspirasi pengetahuan lokal dan mengajak melihat masa lalu sejarah lewat perjalanan mendaki bukitbukit di Sindangbarang. Terima kasih pada ibu Risa Permana Deli, Melani Budianta, Lilawati Kurnia, Djuneidi, Seno Gumira, Aimee Dawis, yang telah memperkenalkan Cultural Studies, membawa pada petualangan melintas batas budaya dan disiplin ilmu. Terima kasih kepada Mas Yohanes atas petualangan mewawancara, mempelajari etnografi di Glodok, juga pada Mas Hilmar Farid atas kesempatan berdiskusi tentang poskolonial di awal penulisan tesis.Terima kasih pada Mba Nur, Mba Rita, Mas Nanang, Mbak Warni dan semuanya atas kesabaran menjawab tanya. Ucapan terima kasih untuk teman-teman seperjalanan di Sindangbarang. Pada Bapak Maki Sumawijaya atas kesempatan meneliti di Kampung Budaya Sindangbarang, Bapak Anis Djatisunda, Kang Mumu atas buku kebudayaan Sunda, pada Mas Didit, pada Bapak Iskandar dan Inotji tentang sejarah Bogor, Pak Ukat dan Pak Yadi yang sering saya repotkan, Kang Hendra, Agni Malagina, Mufti-che. Tak lupa terima kasih untuk Ochid yang membawaku ke Sindangbarang. Dan ucapan terima kasih secara khusus pada masyarakat Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 v Sindangbarang yang telah menginspirasi penelitian ini dan meluangkan waktu untuk membantu penelitian. Kepada teman-teman tercinta di LSPM, Evi, Risna, Yati dan Mbak Widja, Bu Prima dan Pak Sunaryo, kita akan bertemu lagi mewujudkan mimpimimpi kita. Terima kasih atas perhatian dan seluruh masukan-masukannya, terima kasih atas kesempatan mencipta ruang bagi kita berbagi kegelisahan. “Risna, terimakasih atas koreksi-koreksimu, kesediaan meluangkan waktu mencari data di awal penjelajahan etnografi, dan mendengarkan curhat berjamjam.” Terima kasih juga pada teman-teman satu atap di Wisma Panca. Sarinah Lubis, Ochid, Yati, Mba Layli, Anggi, Mba Susti, Ninok, Kunta, Lala, dan teman-teman arkeologi, Tanti, Deasy, Margi, Sondang, semua yang setia merawatku ketika jatuh sakit. Terima kasih kalian telah memberikan ruang kekeluargaan yang hangat untuk berbagi di tempat perantauan. “Terima kasih Sarinah, kau menggantikan ibuku dan seakan perawat pribadi saat aku sakit.” Kepada teman-teman di Cak Tarno Institut, Cak Tarno yang rela buku-bukunya dihutang dulu, Bang Daniel yang sudah membaca akhir naskah tesis, dan bersedia dipinjami buku-buku saat ada tugas kuliah Nasionalisme, dan Budaya Politik. Kepada Bang Deni, Pak Sigit, Bang Fahmi, Bang Doel, Bang Pian, Ali, Surya, Faidzin, Pak Kun, Bu Titi, Asep, Irham dan semuanya, terima kasih atas masukan-masukan tesis ini, atas perhatian dan hiburan-hiburannya saat aku hampir putus asa. Kepada teman-teman Beranda Buku di Bandung yang lama kutinggalkan. Ayuk, terima kasih telah mendengar curhat. Afit yang juga sudah Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 vi pergi jauh untuk memuaskan kebutuhan intelektual, Lia yang setia menemani di Jakarta, Nita, Trie, Danang, Nia. Teman-teman Murba Bandung yang selalu kuingat, Rudi dan keluarga, Bambang dan Keluarga, terima kasih motivasi dan buku-bukunya, juga diskusi di Rampai tentang Islam dan Keindonesiaan. Mimin-Hilfan dan keluarga, Pray-Sinta dan keluarga, Astri Sang Pejuang, Beina, Yogi, terima kasih semuanya atas motivasi yang kalian berikan dulu hingga mengantarku sampai Depok. Kepada teman-teman satu angkatan di Fakultas Ilmu Budaya, Ria yang dermawan, Mbak Dian yang suka mentraktir, Dian, kita sudah sama-sama jatuh bangun apalagi sejak seminar, Bram, Lina, Dika. Yulius, Pak Susilo, Erik dan seluruh gank filsafat, Rina, Natal, Susi, Wiwin, dan seluruh teman-teman di linguistik. Terima kasih untuk teman-teman satu kelas di Cultural Studies, Hana, Come, Gita, Mita dan Marda. Kita akan mengingat ruang-ruang kelas, teori, Glodok, kansas, perpustakaan selamanya. Kukusan Depok, 25 Juni 2008 Dina Amalia Susamto Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 vii Daftar Isi Abstrak…………………………………………………………………………i Abstract………………………………………………………………………...ii Kata Pengantar………………………………………………………………...iii Daftar Isi……………………………………………………………………...viii Daftar Tabel…………………………………………………………………. . xi BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah……………………………………………………1 1.2. Landasan Teori…………………………………………………………….13 1.2.1. Perbaikan TerhadapTeori Keberagaman Budaya...................................13 1.2.2..Hibriditas Sebagai Ruang Ketiga/Keantaraan…………………………14 1.2.2.1. Hibriditas dalam Konteks Otoritas Negara Penjajah-Negara Jajahan..............................................................................................14 1.2.2.2.Hibriditas dalam Konteks Partikular-General Pada Era Globalisasi.........................................................................................16 1.3. Perumusan Masalah………………………………………………………..18 1.4. Tujuan Penelitian…………………………………………………………..19 1.5. Metodologi Penelitian……………………………………………………...19 1.6. Sistematika Penyajian……………………………………………………....21 BAB II. KONTEKS SOSIAL SERENTAUN 2.1. Serentaun Tradisionl Pada Masyarakat Agraris...........................................25 2.1.1. Sistem Upacara........................................................................................26 2.1.2. Sistem Mata Pencaharian.........................................................................28 2.2. Serentaun Rekonstruktif Pada Masyrakat Transisi Sindangbarang.............. 29 2.2.1. Sistem Upacara....................................................................................... 30 2.2.2. Mata Pencaharian Sehari-hari..................................................................34 2.2.3. Sistem Keorganisasian Masyarakat.........................................................40 2.2.3.1.Sistem Keorganisasian Masyarakat Desa...........................................41 2.2.3.2.Sistem Keorganisasian Berdasarkan Rekonstruksi Tradisi…………41 2.2.4. Bahasa Sehari-hari……………………………………………………..42 2.2.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Komodifikasi Serentaun Rekonstruktif…………………………………………………………...43 2.3. Serentaun Rekonstruktif Dalam Industri Pariwisata……………………….48 Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 viii 2.3.1. Industri Pariswisata Daerah…………………………………………… 48 2.3.2. Industri Pariwisata Nasional…………………………………………....49 2.3.3. Industri Pariwisata Global……………………………………………...51 BAB III. SEJARAH SERENTAUN REKONSTRUKTIF DALAM SINKRETIK AGAMA-AGAMA 3.1. Sinkretik Agama-Agama Sunda Wiwitan dan HinduBuddha......................................................................................................54 3.1.1. Konsep Agama Sunda Wiwitan............................................................55 3.1.2. Konsep Agama Hindu-Buddha.............................................................59 3.1.3. Simbol Sri/Pohaci Sang Hyang Sri dalam Hibridisasi Agama Sunda Wiwitan dan Hindu-Buddha....................................................67 3.2. Sinkretisasi Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam..............................69 3.2.1. Konsep Islam Pengaruh dari Kasunan Gunung Jati Cirebon................70 3.2.2. Sri dan Muhammad Simbol Penyatuan dalam Sinkretisasi Agama Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam.........................................75 BAB 1V. HIBRIDA LOKAL-GLOBAL PADA POLITIK KOMODIFIKASI BUDAYA SERENTAUN REKONSTRUKTIF, UPACARA TAHUNAN MASYARAKAT SUNDA, DI SINDANGBARANG KABUPATEN BOGOR 4.1.Kontestasi elit Lokal dalam Serentaun Rekonstruktif....................................80 4.1.1. Kontestasi Elit Tradisi dan Elit Pembaharu..............................................81 4.1.2. Kontestasi Elit Agama Islam Pembaharu dan Elit Agama Pro-Tradisi................................................................................................ 82 4..1.3. Serentaun Rekonstruktif Menuju Global dalam Kooptasi Elit Pemerintah Daerah Pada Pembangunan Pariwisata................................. 84 4.2. Hibrida Lokal-Global Serentaun Rekonstruktif Pada Industri Pariwisata Global......................................................................................... .85 4.2.1. Teknologi Internet Menjembatani Lokal-Global....................................85 4.2.2. Politik Global dalam Serentaun Rekonstruktif Melalui Transnasionalisasi Modal……………………………………………....87 4.2.3. Politik Lokalitas Menghadapi Globalisasi............................................ ..91 4.2.4. Kecenderungan dalam Tarik-Menarik Hibrida Lokal-Global.................98 Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 ix Bab V. Kesimpulan.............................................................................................108 Daftar Pustaka.....................................................................................................113 Lampiran 1. 2. 3. 4. Peta Kabupaten Bogor Peta Kecamatan Taman Sari Survey Informasi Foto-Foto Serentaun Rekonstruktif Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 x Daftar Tabel Tabel 1.............................................................................................34 Tabel 2.............................................................................................35 Tabel 3.............................................................................................36 Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 xi Abstrak Serentaun Rekonstruktif merupakan upacara seremonial tahunan masyarakat Sunda di Sindangbarang, Kabupaten Bogor. Upacara ini berasal kebudayaan masyarakat agraris, yang direvitalisasi untuk dikomodifikasikan dalam pembangunan pariwisata budaya. Persoalannya adalah Serentaun Rekonstruktif tidak benar-benar budaya lokal. Politik komodifikasi budaya dalam ruang global telah menghibridakan lokal-global, sehingga merusak otoritas kemurnian keduanya. Lokal yang terikat lokalitas geografis yang sempit dan kesakralan tradisi menjadi lokalitas imajiner dalam ruang global melalui teknologi informasi. Global yang menguniversalkan semua menjadi produk di bawah pasar modal menjadi ruang global yang dimanfaatkan untuk merepresentasikan identitas budaya Sunda. Ruang ketiga lokal-global menghasilkan hubungan tarik menarik yang akhirnya cenderung pada keuntungan pihak yang mempunyai modal. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa Serentaun Rekonstruktif yang menghibridakan budaya lokal-global telah merusak otoritas kemurnian lokal dan global yang universal di bawah modal. Penelitian ini juga membuktikan bahwa gerakan politik ekonomi yang mengkomodifikasi budaya tradisional di ranah lokal dalam ruang kapitalisme global menguntungkan pihak transnasional yang memiliki korporasi modal. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menggali upacara Serentaun yang telah masuk dalam pasar pariwisata dan hubungannya dengan subjek budaya, sebab penggalian mendalam melihat permasalahan sebagai sesuatu yang lebih kompleks. Hasil akhir penelitian ini membuktikan bahwa hibrida lokal-global telah meruntuhkan lokal-global menjadi tidak kedua-duanya. Ruang ketiga dalam relasi kuasa lokal-global menghadirkan tegangan yang tarik-menarik untuk menjadi dominan. Dalam relasi kuasa tersebut pemerintah nasional dan daerah cenderung memberi kesempatan pada korporasi modal transnasional untuk mendapatkan keuntungan. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 i Abstract Reconstructive Serentaun is a yearly ritual ceremony of Sundanese society in Sindangbarang , Bogor. This ceremony is rooted from the society agrarian culture which revitalized to be comodified in line with the development of cultural tourism. The problem is that Reconstructive Serentaun is not authentic local culture. The politic of cultural comodification in the global space has mixed local-global, as result it deconstructed the authority of them. The local that bound in particular narrow geographic, bound the sacred, becomes imaginary local in the global space through information technology. The global that universalizing all in the name of market capital become global that is used by sundanesse Serentaun culture represents its identity. The third space from local-global causes the tension that finally tend to benefit the capital corporation side. This study aims to prove that Reconstructive Serentaun that hybrid local -global culture has deconstructed the authority of authentic local and universalized global through capital. To prove that economic political movement that comodify traditional cultural in the local area in global capitalism benefit the side whose transnational capital corporation. This study uses qualitative method to dig into the ceremony of Serentaun which has entered into the tourism market and the relation with cultural subject. This is done because deep inquiry could see a problem as something from a more complex side. The result of the study shows that hybrid local-global has deconstructed where local and global don’t become either local or global. The third space is in the tension to contest who becomes the dominant. In the power relation local-global, the national and region government tend to give more chance to transnational capital dominating the beneficial local-global. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan dalam terminologi Raymond William dalam Barker (2000: 15) adalah segala aktivitas sehari-hari manusia. Budaya lokal merupakan budaya yang dimiliki masyarakat tradisional yang terikat dalam batas-batas geografis. Serentaun merupakan upacara masyarakat yang biasanya diselenggarakan oleh masyarakat berbasis agraris. Masyarakat lokal di Sunda lebih mengenal budaya pertanian dengan sistem pertanian ladang berpindah. Menurut Tiwi Purwitasari, Serentaun berasal dari kata seren dan taun yang berarti menyerahkan hasil bumi setiap habis panen dalam kurun waktu satu tahun. Padi tersebut diserahkan untuk selanjutnya digunakan kembali bagi kepentingan rakyat baik dalam bentuk bibit atau padi yang dimakan bersama.(Purwitasari, 2000:164). Sedangkan Anis Djatsunda (2007) menjelaskan, Serentaun merupakan ekspresi rasa terima kasih yang ditujukan pada Tuhan Sang Hyang Tunggal yang diadakan pada tutup tahun dan menjelang tahun baru agar kehidupan bertambah baik. Upacara ini mengagungkan Dewi Sri atau Pohaci Sanghyang Asri dan Sang Patanjala atau Dewa kemakmuran. Dewi Sri adalah Dewi Kesuburan yang juga disebut Dewi Ibu atau dewi yang mengurusi kesuburan bumi. Dewa Kuvera1 atau dewa kemakmuran merupakan penjaga mata 1 Munandar ( 2007: 43 ) mengatakan bahwa terdapat kesamaan antara kosmologi masyarakat Sunda zaman Pakwan Pajajaran di Bogor dengan kosmologi dari India. Gunung Salak dijadikan titik pusat alam semesta seperti halnya Gunung Mahameru di India. Gunung Salak diapresiasi sesuai dengan ajaran agama dari India di tatar Sunda. Dalam kosmologinya, Gunung Salak dijaga Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 1 angin arah Utara. Dalam agama Sunda Wiwitan2, kedudukannya berada di bawah Sang Hyang Tunggal. Serentaun telah ada sejak zaman kerajaan Pra-Islam yang diduga sebagai pengaruh masa Pakwan Pajajaran. Sumber-sumber lisan seperti pantun Bogor menggambarkan keberadaan upacara tersebut dengan nama Kuverabakti. “Masih mending waktu Pajajaran/ Ketika masih ada Kuwerabakti/ ketika guru bumi dipuja-puja/ ketika lumbung umum isinya melimpah ruah.....” (Pantun Bogor: Kujang di Hanjuang Siang, Sutaarga 1984: 47 dalam Adimihardja 1992). Serentaun banyak menggunakan simbol dan peralatan dalam tata cara pelaksanaannya diantaranya adalah padi yang dianggap Sri dan Kuvera, air, dan lumbung. Baik pada masa Kerajaan Pakwan Pajajaran yang beragama HinduBuddha-Sunda Wiwitan,3 maupun masa setelah pengaruh agama Islam masuk.4 Simbol-simbol Serentaun dalam perkembangannya pada dua masa tersebut mengalami perubahan-perubahan seiring dengan masuknya agama-agama baru. Di daerah Sindangbarang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, oleh Astadipalaka di delapan penjuru mata angin sebagai berikut: Penjaga arah Utara, Dewa Kuvera. Timur Laut, Dewa Isyana, arah Timur, Dewa Indra, arah Tenggara, Agni, arah Selatan, Dewa Yama, arah Barat Daya, Nirtti, Arah Barat, Varuna, arah Barat Laut, Dewa Vayu. 2 Anis Djatisunda mengatakan ajaran-ajaran agama Sunda Pajajaran ditulis pada kitab suci Sambawa Sambada Winasa oleh Prabu Resi Wisnu Brata atau Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297 M). Pantun Bogor episode “Tunggul Kawung Bijil Sirung” menceritakan seorang tokoh yang menyandang julukan “Mundi ing Laya Hadi Kusumah” setelah mendapatkan Layang Salaka Domas, dari Jagat Jabaning Langit”. 3 Lihat Kartodirdjo dkk. ( 1975: 242 ) 4 Lihat Adimihardja 1992: 14-51, hubungan antara masyarakat Sindangbarang dan msyarakat seputar kasepuhan Halimun masih sekerabat. Pada masa ketika Pakwan Pajaran diserang oleh Banten yang beragama Islam masyarakat Sindangbarang melarikan diri ke Kebantenan Selatan atau daerah yang menjadi wilayah Sukabumi sekarang. Wilayah tersebut menjadi daerah kasepuhan di sekitar kompleks Gunung Halimun yang masih menerapkan adat-istiadat leluhur zaman Pakwan Pajajaran. Daerah di sekitar kasepuhan ini kemudian yang diacu dalam pendirian Kampung Budaya Sindangbarang termasuk dalam tata cara Seren Taun Kontemporer. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 2 Kabupaten Bogor, upacara dengan nama Serentaun mulai kembali diadakan secara serempak pada tahun 2005. Penyelenggaraannya merupakan bagian dari upaya revitalisasi budaya Sunda Bogor yang diprakarsai oleh Padepokan Giri Sunda Pura Sindangbarang. Sebelumnya, sejak tahun 1980-an, Serentaun di daerah ini diadakan sendiri-sendiri oleh masyarakat yang masih mempercayainya. karena perbedaan cara pandang, dan perbedaan ini masih muncul dalam perhelatan Serentaun pada tahun 2005 tersebut antara berbagai elit agama dan tradisi. Budaya yang direvitalisasi, menurut Hommi Bhabha (dalam Ashcroft dkk, 1995) merupakan wilayah yang superfisial dalam arti tidak lagi sepenuhnya sakral. Menjadikan Serentaun, upacara tahunan masyarakat Sunda di Sindangbarang--selanjutnya akan disebut Serentaun Rekonstruktif--, sebagai subjek penelitian adalah sesuatu yang menarik. Serentaun Rekonstruktif merupakan penyusunan ulang upacara Serentaun yang dulu pernah menjadi tradisi masyarakat berbasis agraris dan kini digunakan untuk kebutuhan industri pariwisata dengan beberapa perubahan. Agaknya penyelenggaraan upacara tersebut tidak saja merupakan suatu upaya penggalian budaya lokal atas ekspresi berbudaya masyarakat setempat yang pernah menjalani kehidupan berbasiskan pertanian dengan melihat hubungan kuasa agama-masyarakat pemilik budaya . Fenomena ini juga merupakan bentuk komodifikasi, yaitu proses yang berhubungan dengan kapitalisme-yang menurut Karl Marx (dalam Barker 2000:13) merupakan premis cara berproduksi yang alatalat produksinya dimiliki oleh swasta. Budaya sebagai komoditi adalah suatu Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 3 upaya penjualan budaya dalam pasar dengan tujuan pariwisata yang mempunyai hubungan oposisi biner kuasa kapitalisme-budaya. Penetrasi kapital yang dikuasai oleh pemilik modal dalam era globalisasi menurut Bhabha (dalam Mitchell, 1995) didominasi oleh orientasi pasar negara-negara Barat. Ketika hubungan budaya berhadapan dengan keadaan yang dapat dikonsumsi publik lewat pasar, posisi politik dan etis terlihat lebih cepat hilang dan tak terprediksi dibanding sebelumnya. Dominasi pasar modal pada budaya menurut Bhabha merupakan bentuk imprealisme budaya baru yang menggantikan pola penjajahan lama.5 Dominasi pasar modal pada era globalisasi 6dengan memanfaatkan liberalisasi budaya lokal pada pembangunan sektor pariwisata menghomogenisasi perbedaan budaya masyarakat lokal di berbagai wilayah di bawah arus pasar. Pariwisata satu sisi mengangkat identitas budaya lokal ke tingkat global, menjadi motif pelestarian nilai-nilai lokal. Pelestarian ini bagian dari politik lokalitas yang dalam Serentaun rekonstruktif diprakarsai oleh elit tradisi. Di sisi lain, kuasa kapital menginginkan suatu keuntungan finansial yang ditawarkan pada pemerintah-pemerintah daerah, seperti keuntungan yang didapat pada masa 5 Bhabha dalam Mitchell (1995) menyebut imprealisme baru bagi negara-negara dunia pertama yang menghegemoni pasar. Sedangkan Barker (2000: 116) membedakan penjajahan dengan istilah kolonialisme dan imprealisme sama seperti kalangan Poskolonial membedakan dua istilah tersebut. Kolonialisme merupakan ekspansi dengan menguasai tanah-tanah jajahan dengan kontrol militer dan ekonomi secara langsung. Sedangkan imprealisme menurut Barker yang merujuk pada pendapat Giddens merupakan fase globalisasi yang melibatkan pemeriksaan negara-negara Barat pada negara-negara lain. 6 Barker (2000: 111) mengutip Robetson bahwa globalisasi merujuk pada konsep pemampatan dunia dan kesadaran kita tentang dunia secara intensif, termasuk meningkatnya keterikatan hubungan global dan pemahaman pada hubungan tersebut. Pemampatan dunia ini dapat dipahami dalam terminologi institusi modern ketika kesadaran refleksif atas intensifikasi tersebut dalam istilah budaya diterima secara menguntungkan. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 4 pemerintahan Orde Baru yang pada tahun 1990-an mengalami booming (Dahles 2001: 27) dengan programnya bernama Visit Indonesian Year, dan pemberi dana pariwisata tersebut yaitu negara-negara asing yang masuk melalui penanaman modal asing. Kedua aspeknya baik penggalian budaya lokal yang terikat lokalitas geografis dan industri pariwisata pada era global masing-masing menjadi persoalan yang saling terkait yang dalam sudut pandang Bhabha disebut sebagai ruang ketiga atau keantaraan (inbetween) yang saling tarik-menarik dari dua hubungan yang berlawanan tersebut. Keantaraan (inbetween) dalam ruang ketiga yang disebut hibrida yang merupakan jalan lain untuk lepas dari dikotomi antara lokal-global dapat dilihat dari Serentaun rekonstruktif. Keantaraan tersebut memecah otoritas kemurnian budaya Serentaun di dalam lokalitas yang partikular atau hanya dalam wilayah geografis yang sempit, terikat kesakralan, di Sindangbarang Kabupaten Bogor menjadi tidak benar-benar lokal karena telah berada pada ruang global dalam teknologi informasi. Keantaraan tersebut juga memecah otoritas kemurnian global yang selama ini dikuasai oleh produk-produk negara-negara Barat dan menganggap budaya sebagai produk dagang yang general di bawah kuasa modal yang ditentukan oleh pasar, menjadi tidak benar-benar general karena industri tersebut membutuhkan budaya lokal sebagai diversifikasi produk sehingga dimanfaatkan oleh lokal Sindangbarang Kabupaten Bogor untuk menunjukkan keberadaan identitas budaya Sunda Bogor di kalangan masyarakat global. Otoritas kemurnian yang Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 5 telah rusak tersebut bernama lokal-global yang di dalamnya terdapat relasi kuasa yang kompleks. Upacara Serentaun tersebut selama ini, juga dalam perjalanan sejarahnya adalah sikretik7 dalam pengaruh agama Sunda Wiwitan, agama Hindu-Buddha, dan Islam. Agama-agama tersebut hidup pada masa pemerintahan yang berbeda, di masa Kerajaan Pakwan Pajajaran yang secara resmi menganut agama HinduBuddha,8 dan masa setelah masuknya pengaruh Islam, yang dalam kenyataannya dikategorikan sejak penyerbuan kesultanan Banten, dan kesultanan Cirebon masa Sunan Gunung Jati. Serentaun Rekonstruktif yang sinkretik tersebut tidak terlepas dari perjuangan masyarakat Sunda di Sindangbarang dalam sejarahnya untuk menegosiasikan cara pandang mereka terhadap budaya dan agama. Ajaranajaran sinkretik dalam agama-agama lebih mementingkan keseimbangan antar ajaran agama-agama. Anasir-anasir budaya dari sinkretisme agama yang telah ada tersebut digali untuk dipasarkan ke lingkup yang lebih luas sebagai bagian dari politik lokal lewat pariwisata. Ruang ketiga antara lokal-global terus menjadi ajang tarik menarik untuk menjadi dominan atau yang didominasi atau keantaraannya. Dalam penelitian ini, pelaksanaan Serentaun rekonstruktif akan dimaknai bukan dari isi simbol keagamaan atau fungsi sosial simbol-simbol. Akan tetapi, 7 Laila Gandhi (2004) mengatakan, sinkretik berbeda dengan hibrida. Sinkretik adalah pertemuanpertemuan dua kutub atau lebih yang berbeda untuk mendapatkan keseimbangan. Sedangkan hibrida adalah pertemuan dua kutub berlawanan yang prosesnya terjadi tarik-menarik dan menghasilkan ruang ketiga. 8 Menurut Munandar ( 2007:56 ) Masyarakat Sunda Kuna tidak menghayati secara mendalam agama Hindu-Buddha meskipun mereka mengenalnya. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan situssitus di Sindangbarang, peninggalan kerajaan Pakwan Pajajaran. Masyarakat Sunda Kuna tidak menyukai bentuk arca dengan atribut yang rumit, mereka lebih menyukai simbol Hyang tanpa bentuk, maka dipilih batu-batu alami yang secara jujur menyatakan kehadirannya sendiri. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 6 fenomena ini dimaknai dari kerangka konseptual Hommi Bhabha yang melihat struktur simbol dari perpaduan unsur simbol dalam empat agama yang digunakan sebagai produk pariwisata. Pemaknaan tersebut merupakan penandaan masa kini atas nama tradisi dari suatu budaya yang direlokasikan, dan diterjemahkan ulang, tetapi tidak ditekankan pada keperluan transenden seperti masa lalu. Penekanan simbol budaya arkais itu hanya sebagai strategi dalam lingkup artifisial yang penandaannya tidak stabil, terus berubah. Serentaun rekonstruktif meniadakan posisi biner seperti lokal-global, orisinil-tidak orisinil. Dengan demikian pembacaan atas Serentaun rekonstruktif tidak berada pada bentuk eksotis dalam konsep keberagaman budaya. Subjek penelitian Serentaun di Sindangbarang bermaksud melihat fenomena budaya lokal agar tidak terjebak pada penyeragaman dengan upacara-upacara Serentaun di daerah lain atau bentukbentuk upacara lain, tetapi juga tidak partikular, membedakan diri atas nama keunikan Sunda Sindangbarang di Bogor. Penelitian tentang Serentaun sebagai komoditi pariwisata dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dilakukan oleh Abdillah dan Rahmanita dalam Oka A Yoeti dkk. (2006). Topik penelitian tersebut adalah tentang apresiasi wisatawan terhadap Serentaun di kasepuhan Cipta Gelar, yang menekankan pada persoalan pentingnya ekoturisme yang menghargai kondisi lingkungan daerah wisata dan kelangsungan budaya setempat, serta pengaruh positif kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat tujuan wisata. Penelitian yang dikumpulkan oleh Oka pada potensi-potensi budaya lokal di Indonesia menggunakan kerangka teori Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 7 keberagaman budaya, atau menerima tanpa ada kritik terhadap keberagaman tersebut. Hal ini menimbulkan beberapa persoalan. Pertama, penelitian ini tidak mempermasalahkan penggalian-penggalian budaya lokal untuk tujuan komodifikasi budaya, padahal tidak semua penjualan aset-aset budaya dengan alasan pariwisata bernilai positif. Banyak dampak negatif yang dapat dilihat dari industri budaya dalam pariwisata. Dan hubungan antara keduanya merupakan tarikan-tarikan yang kompleks yang tidak bisa dilihat hanya dengan mengkategorikan antara dampak positif dan negatif. Kedua, penelitian ini menganggap seakan budaya lokal adalah asli yang harus dilestarikan. Mempermasalahkan keaslian merupakan kelemahan penelitian Oka dkk. sehingga akan dibahas pada penelitian berikut ini yang tidak memandang keaslian sebagai suatu aset budaya. Masalah keaslian ditolak oleh keilmuan Cultural Studies, dengan adanya pernyataan dari aliran anti-esensialis yang menjadi suatu aliran keilmuan yang menolak kualitas sesuatu yang general, terberi sejak dulu, dan seolah tidak berubah. Menurut pengguna kerangka berpikir ini, sesuatu tersebut bersifat tidak tetap, konstruktif, selalu ada tarik-menarik atau kontestasi antara yang dominan dan yang didominasi, dan ketidaktetapan sesuatu yang bergantung pada produksi budaya di tempat dan waktu yang khusus. (Barker, 2000: 20). Pengangkatan budaya asli akan menyebabkan maraknya politik identitas yang menyebabkan perpecahan dalam mengklaim siapa pemilik kebudayaan apa. Istilah asli dalam persoalan keberagaman budaya menurut Bhabha menciptakan oposisi biner antara kebudayaan diri dan liyan, yaitu suatu budaya yang dianggap menjadi bagian dari budaya yang dimiliki oleh diri sendiri termasuk kelompok Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 8 sendiri sedangkan liyan adalah budaya yang dianggap milik orang lain. (Bhabha dalam Aschroft. 1995: 207). Dengan demikian menganggap Serentaun sebagai bagian dari keberagaman budaya yang menekankan terjaganya keaslian budaya lokal atau asli akan menyebabkan jurang perpecahan. Ketiga, kelemahan penelitian dengan metode kuantitatif dalam Serentaun menyebabkan fenomena budaya tersebut tidak dapat tergali lebih dalam. Analisis responsi masyarakat dan wisatawan terhadap Serentaun hanya memberikan deskripsi tentang gambaran-gambaran secara umum mengenai upacara tersebut sebagai sebuah tradisi yang perlu dilestarikan. Kelemahan penelitian Oka dkk. dapat diperbaiki dengan mengadakan penelitian terhadap upacara yang sama dengan metode kualitatif di daerah yang berbeda. Jika Oka melihat Serentaun di Cipta Gelar, penelitian berikut ini dilakukan di Sindangbarang. Penelitian kualitatif melihat adanya interaksi dan interpretasi yang dilakukan peneliti terhadap fenomena budaya. Menggunakan metode kualitatif untuk melihat Serentaun yang telah masuk dalam pasar pariwisata dan hubungannya dengan subjek budaya membuat kajian lebih kritis, sebab penggalian mendalam melihat permasalahan sebagai sesuatu yang lebih kompleks. Metode pendekatan kualitatif memungkinkan peneliti dapat melihat hubungan tarik menarik antara politik lokalitas yang menginginkan pelestarian budaya sekaligus keuntungan finansial, dan politik global yang menginginkan keuntungan finansial lewat kapitalisasi paket-paket pariwisata, serta politik nasional yang harusnya memediasi hubungan antara lokal-global untuk mendapatkan keuntungan finansial satu sisi dan sekaligus mengontrol Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 9 perkembangan budaya lokal Penggalian mendalam dalam terminologi di bawah integritas nasional. untuk mengumpulkan data kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara etnografi yang memperhatikan makna tindakan dan peristiwa pada orang-orang seputar fenomena budaya (Walcott, 1979) dalam Heyl (1996). Peneliti melakukan interview yang terbuka antara pewawancara dengan yang diwawancarai yaitu masyarakat dan budayawan setempat yang memperhatikan secara khusus Serentaun dan masyarakat pelaku yang melaksanakan dan menyaksikan upacara tersebut dengan kualitas hubungan yang dibangun berdasarkan empati. Hal ini akan membantu perolehan data tentang upacara Serentaun dan analisis yang tajam dibandingkan dengan mengumpulkan responsi jawaban yang tertutup yang menampilkan pernyataan setuju atau tidak setuju. Jawaban-jawaban lisan dari masyarakat pemerhati dan pelaksana upacara yang dilaksanakan secara turun temurun tersebut dapat menjadi bukti keberadaan Serentaun di Sindangbarang dan kompleksitas masalah di dalamnya, termasuk ketika upacara ini diangkat sebagai komoditi pariwisata. Penelitian yang menggunakan metode kualitatif tentang hak-hak budaya etnis minoritas dilakukan oleh Budiman dkk. (2005) menginspirasi suatu penelitian tentang etnis budaya yang pernah termarjinalkan karena pernah adanya orientasi pembangunan budaya yang berstandar luhur atau puncak-puncak budaya pada masa Orde Baru. Budiman dkk. meneliti tentang hak-hak minoritas dalam dilema. Secara khusus penelitian Budiman dan teman-temannya memberikan penekanan pada suatu refleksi keberadaan multikulturalisme di Indonesia. Di satu sisi hak-hak etnis minoritas di Indonesia harus diperjuangkan terutama setelah Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 10 terkena kebijakan pembangunan masa Orde Baru yang hampir menghilangkan sendi-sendi kehidupan paling mendasar masyarakat setempat terutama penanganan potensi budaya, ekonomi, dan politik lokal. Penelitian ini memberikan kritik terhadap orientasi pembangunan yang harusnya berubah dari penyeragaman menjadi keberagaman dengan memperhatikan perkembangan hakhak kalangan minoritas termasuk hak budayanya. Akan tetapi pengembangan budaya lokal tersebut tidak bermaksud menjadikan komunitas-komunitas budaya sebagai cagar budaya yang dipertontonkan dalam industri pariwisata. Sebab perlakuan yang mengkhususkan juga menimbulkan diskriminasi budaya. Pada sisi yang lain Budiman dkk. melihat pemberian hak-hak minoritas dapat menyeret pada persoalan separatisme atau gerakan perpecahan tidak terkontrol karena maraknya pengangkatan identitas-identitas baru yang berbedabeda dan saling menganggap yang berbeda sebagai yang lain. Dilema kebijakan multikultural dalam penelitian Budiman dkk. diselesaikan dengan suatu himbauan yang ditujukan pada pembuat kebijakan. Himbauan ini menginginkan adanya hukum nasional yang menjamin keragaman budaya dan program pendidikan politik untuk mendorong kelompok minoritas menerima kewajiban sebagai warga negara seutuhnya. Metode pendidikan politik tersebut diharapkan bersifat lokal, artinya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Hal itu dilakukan bersamaan dengan sosialisasi terus menerus gerakan keberagaman budaya agar kelompok mayoritas melihat liyan sebagai bagian dari aspek yang membentuk proses identitas diri. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 11 Penelitian Budiman dkk. yang mengilhami suatu penelitian tentang budaya hibrida dalam Serentaun dengan menggunakan sudut pandang poskolonial dari Hommi Bhabha ini membuka kelemahan penelitian tersebut yang berstandar ganda. Ketika Budiman dkk. menyebut Hommi Bhabha untuk melihat sudut pandang lain yang mengkritik Multikulturalisme sehingga mendukung argumentasinya yang ingin mengatakan adanya dilema dalam pemihakan minoritas, tetapi justru hal itu yang membuat penelitiannya terjebak pada dikotomi mayoritas-minoritas, dominan-subordinat yang tidak diinginkan Bhabha. Teori Bhabha berusaha menyelesaikan masalah etnis bukan dengan keberagaman tapi dengan hibriditas setelah adanya cultural difference atau perbedaan budaya. Kalau Budiman dkk. tetap mengacu pada konsep keberagaman yang terus mengakui adanya diri dan liyan, maka penelitian tersebut tidak konsisten. Padahal pengertian budaya hibrida dalam kasus penelitian Budiman dkk. tidak sekedar mayoritas membiarkan masyarakat yang disebut minoritas tersebut mencampurkan budaya dari mayoritas dengan budayanya sendiri untuk pembentukan identitas masyarakat tersebut, tetapi juga sebaliknya mayoritas menerima dan menjadikan budaya masyarakat minoritas sebagai bagian dari dirinya. Keterjebakan sudut pandang penelitian Budiman dkk. pada oposisi biner menyulitkan posisinya sebagai peneliti. Penelitian dengan kerangka berpikir keberagaman budaya itu patut dicurigai sendiri sebagai praktik memelihara yang minor, langka, eksotik, untuk turisme intelektual sama seperti yang dilakukan oleh pihak yang ia kritik (Budiman dkk: 19), yaitu pengembang pariwisata yang berideologi mencari bentuk-bentuk unik lokalitas atas nama komodifikasi budaya. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 12 1.2 Landasan Teori Kajian ini menggunakan kerangka teori hibriditas dari Hommi Bhabha yang merupakan pengembangan dari konsep Cultural Differences atau perbedaan budaya. Hommi Bhabha menyebut perbedaan budaya untuk sampai pada istilah budaya “hibrida” sebagai “ruang ketiga” atau “keantaraan” (inbeetwen) diantara oposisi biner yang mempertentangkan Timur-Barat, tradisional-Modern, dominansubordinat, diri-liyan. 1.2.1. Perbaikan Terhadap Teori Keberagaman Budaya Teori ini menurutnya merupakan revisi terhadap perkembangan teori kritik dalam wacana poskolonial. Konsep perbedaan budaya disampaikan untuk memperbaiki teori keberagaman budaya yang menurut Bhabha, menganggap budaya sebagai obyek empiris pengetahuan. “Jika keberagaman budaya sebuah kategori yang memperbandingkan etika, estetika, etnologi, konsep perbedaan budaya merupakan proses penanda melalui pernyataan budaya.....” Bhabha dalam Ashcroft dkk. (1995: 206). Keberagaman budaya ini merupakan pengakuan adanya isi budaya dan adat istiadat yang sejak dulu sudah diberikan. Konsep tersebut milik paham relativisme yang mempunyai ide pembebasan dalam aliran multikulturalisme, pertukaran budaya, dan budaya kemanusiaan. Keragaman budaya juga representasi dari retorika radikal upaya pemisahan diri dari budaya seragam, atau minimal penyelamatan identitas kolektif yang unik Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 13 1.2.2 Hibriditas Sebagai Ruang Ketiga/Keantaraan Pada sub-bab ini akan dipaparkan teori Hommi Bhabha tentang hibrida atau ruang ketiga dalam dua konteks. Dua konteks ini sebenarnya mempunyai dasar yang sama yaitu hibrida sebagai bentuk penyangkalan terhadap otoritas kemurnian negara yang dijajah dan negara penjajah. Akan tetapi istilah penjajahan pada masa kini mengalami pergantian. Istilah tersebut berkembang melihat hubungan bekas negara penjajah dan yang dijajah. Bhabha menyebut dengan istilah imprealisme baru. Bagi negara-negara yang baru merdeka mengacu pada sebutan dunia ketiga dan bekas negara penjajah sebagai negara dunia pertama. 1.2.2.1. Hibriditas dalam Konteks Otoritas Negara Penjajah-Negara Jajahan Hibriditas dalam wacana poskolonial pada konteks penjajahan menurut Bhabha dalam Sign Taken For Wonder dalam Aschroft et al (1995), merupakan tanda produktivitas kekuasaan kolonial yang kekuatannya bergeser dari otoritas yang represif terhadap penduduk terjajah menjadi hibriditas yang merupakan strategi. Hibriditas melakukan penyangkalan produk diskriminasi identitas kolonial yang selama ini dilakukan dengan cara perlindungan terhadap kemurnian otoritas kolonial itu sendiri. Hibriditas menjadi bahan evaluasi ulang asumsiasumsi tentang identitas kolonial melalui pengaruh pengulangan praktik-praktik diskriminasi identitas. Hibriditas menunjukkan perubahan bentuk yang penting serta memindahkan semua situs-situs diskriminasi dan dominasi kolonial. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 14 Hibriditas ini memunculkan peniruan atau mimikri yang mengganggu keberadaan kolonial dan menjadikan kemunculan otoritasnya problematis. Peniruan dan penciptaan suatu bentuk baru yang berbeda, mengalami mutasi dari dua budaya asalnya yang oleh Bhabha disebut penyangkalan. Pertemuan antara hitam dan putih akhirnya menjadi yang hitam ingin meniru putih tapi tidak benarbenar putih dan sebaliknya yang putih meniru hitam tapi tidak benar-benar hitam. Pada kisah penyebaran injil di India yang dicontohkan Bhabha, kitab ini dihibridkan dalam proses penyampaiannya pada penduduk india, tapi tentu saja tidak mampu sepenuhnya mereplika atau meniru dengan sempurna. Sebaliknya penduduk setempat juga tidak mampu sempurna menyerap semua yang diajarkan injil sama seperti penduduk Inggris menyerap injilnya. Ini yang disebut Bhabha dengan ambivalensi otoritas kolonial, kelemahannya yang menjadi tempat untuk melawan. (Bhabha dalam Aschroft, 1995). Bhabha menulis dalam “Cultural Diversity and Cultural Difference”, dalam Aschroft dkk (1995), produksi makna menghendaki dua tempat diarahkan pada jalan yang ketiga atau tempat ketiga yang merepresentasikan dua kondisi bahasa secara umum dan implikasi kata yang khusus ke dalam strategi yang diselenggarkan dan berbentuk institusional. Strategi ini tidak dapat dibuat otomatis sadar dalam dirinya. Apa yang dikenalkan dalam hubungan ketidaksadaran ini adalah ambivalensi pada tindakan interpretasi. Campur tangan tempat ketiga ini membuat struktur makna dan referensi mengarah pada proses ambivalen, merusak representasi dengan cara yang dalam pengetahuan budaya Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 15 dimunculkan bersambungan pada kode yang terintegrasi, terbuka, dan berkembang. Dengan demikian hibriditas menurut Bhabha merupakan suatu strategi yang menghantam penyeragaman, atau ketetapan, keorisinilan identitas yang dilestarikan dalam kekuasaan kolonial. Ambivalensi sengaja dibuat supaya pemaknaan identitas selalu berubah atau tidak stabil yang dapat diartikulasikan dalam praktik budaya. Bhabha mengutip istilah Derrida the space of entre, yang menjadikan penandaan membawa beban makna budaya. Makna tersebut dapat menjadi apa saja, kata Bhabha dalam hibrid, bisa jadi menggambarkan nasional, anti-nasionalis, sejarah rakyat. Dalam ruang ketiga ini kita bisa bicara tentang diri kita, tentang mereka, dan dalam hibriditas kita mungkin dapat menghindari politik pengkutuban, juga pretensi memunculkan yang lain pada diri sendiri. 1.2.2.2. Hibriditas dalam Konteks Partikular-General pada Era Globalisasi Pada konteks masyarakat global ruang ketiga merupakan kritik pada dominasi pasar modal yang didominasi oleh negara dunia pertama atau negaranegara Barat. Menurutnya, budaya dalam pasar seni-budaya berorientasi pada dominasi pasar Barat dengan standar yang dapat diterima berdasarkan selera transnasional. Pameran-pameran seni dan budaya pada masyarakat global menciptakan kriteria penghakiman, mana yang layak diterima dan yang tidak diterima oleh pasar sehingga menghapus lokasi tempat seni tersebut dibuat. Pasar seni di negara-negara dan benua termasuk dunia ketiga dipengaruhi pasar Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 16 metropolitan. Kebutuhan partikular, nilai-nilai lokalitas, dipuja, dibentuk bagi kepentingan konsumsi pasar. Bhabha mengatakan: “This is a time when "otherness" and various forms of ethnic authenticity are being commodifed for visual consumption at an unprecedented rate; when the global circulation of cultural stereotypes is becoming a major industry; when the relation of art to the state, to possible publics, to the market, and to political or ethical positioning seems more volatile end unpredictable than ever before.” (Bhabha dalam W.J.T. Mitchell, 1995). Konsep Bhabha tentang hibrida atau ruang ketiga ini dipahami sebagai interseksi yang kompleks dari pertemuan banyak tempat, temporalitas sejarah, dan posisi subjek. Ketika hal ini justru memunculkan ide liberal dalam konsep “keberagaman”budaya dalam Multukulturalisme dan kalangan Postukturalis menganggap lebih tepat dengan konsep “Cultural Difference”, sebagai terminologi akhir keputusan dari konflik ini, Bhabha mempertanyakan tentang kecukupan model toleransi dan “beradab” untuk menceritakan sejarah keberangasan sikap ketidaktoleran dan ketidakberadaban. Pertanyaan tersebut sekaligus memberikan identifikasi, tempat yang ambigu bagi etnosentrisme dan pada model kritik-kritik liberal terhadap budaya . Saat sekarang ketika partikularitas yang diusung liberalisasi budaya memuja lokalitas dan cenderung pada tingkatan budaya pragmatis penjualan budaya, Bhabha tetap berada dalam refleksi teori yang diartikulasikan dalam budaya sebagai ruang baru, ruang ketiga pertemuan antara yang partikular dan general. Dua dikotomi tersebut menjadi tidak benar-benar partikular atau hanya dalam wilayah lokal secara geografis, terikat kesakralan, tetapi partikular/lokal yang superfisial dan kehilangan batas dalam pasar global. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 17 Begitu juga bagi kutub general atau global menjadi tidak benar-benar general dalam keuntungan politik ekonomi pasar modal tetapi ruang general/global yang selalu dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan eksistensi bentuk-bentuk lokal yang berbeda-beda. Keduanya bertemu, saling tarik-menarik membentuk ruang ketiga pada relasi kekuasaan yang kompleks. 1.3 Perumusan Masalah Pemaparan latar belakang masalah yang dilihat dari sudut pandang budaya hibrida lokal-global pada Serentaun rekonstruktif menghadirkan 2 persoalan yang akan saya bahas antara lain: 1. Bagi industri pertemuan global-lokal telah meruntuhkan generalisasi industri global yang selalu melihat keuntungan dalam pergerakan politik ekonomi pasar modal, menjadi global sebagai ruang yang dimanfaatkan untuk kepentingan mengangkat identitas lokal. Bagi lokal, ruang ketiga ini meruntuhkan kemurnian lokalitas budaya tradisional yang terikat pada wilayah geografis yang sempit, terikat kesakralan, menjadi lokalitas yang superfisial, berada di ruang global melalui teknologi informasi. 2. Posisi hibrida lokal-global ini harus dikritisi, tidak bisa dilihat hanya sebagai sisi yang seakan menguntungkan keduanya, bahkan dalam hal ini pun tetap harus dilihat siapa yang lebih diuntungkan dalam pergerakan politik ekonomi antara budaya masyarakat lokal-kapitalisme global. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 18 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut Penelitian ini mempunyai tujuan: 1. Membuktikan Serentaun Rekonstruktif yang menghibridakan budaya lokal-global telah meruntuhkan otoritas kemurnian lokal dan homogenisasi atau generalisasi global lewat modal. 2. Membuktikan pergerakan politik ekonomi yang menjual budaya tradisional di tingkat lokal dalam kapitalisme global, menguntungkan pihak-pihak yang memiliki korporasi modal transnasional. 1.5 Metodologi Penelitian Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang menganalisis data berdasarkan identifikasi tema dan pola inti penelitian. Menurut Atkinson dan Coffey (1996) dalam penelitian kualitatif semua peneliti harus dapat mengorganisasikan, mengelola, dan mendapatkan kembali potongan data yang paling bermakna dari keseluruhan data. Pendekatan kualitatif dalam Cultural Studies menurut Denzin (1992, 96) dalam Denzin dan Lincoln berhutang pada prinsip-prinsip filosofis poststrukturalis yang telah memfasilitasi hubungan antara studi pemaknaan dalam interaksi sosial pada proses komunikasi dan industri komunikasi yang memproduksi dan membentuk makna yang beredar setiap hari. Cultural Studies mengarahkan peneliti melakukan interaksi dan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 19 interpretasi terhadap penilaian kritis tentang bagaimana interaksi individu– individu menghubungkan pengalaman hidup meraka dengan representasi budaya pengalaman-pengalaman tersebut. Dengan demikian menurut Denzin dalam Denzin (1992) peneliti yang melakukan interaksi interpretasi harus secara eksplisit menggunakan teori kritik budaya. Wawancara Etnografi Wawancara etnografi adalah salah satu teknik dalam Penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, interview dilakukan dalam dua wilayah Rukun Warga dalam dukuh Sindangbarang dan Dukuh Menteng, Kelurahan Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Menurut Heyl (1996) dalam “Handbook of Etnography”, ethnographic interviewing dimaksudkan pada suatu proyek yang penelitinya membangun sikap menghargai dalam relasinya dengan yang diwawancara, termasuk hubungan yang cukup, dalam hal tukar pandangan dan waktu yang cukup serta terbuka dalam mengeksplorasi kegunaan penelitian. Untuk itu dalam suatu interview peneliti harus: 1. mendengarkan dengan baik serta menghargai dalam membangun perjanjian etik dengan partisipan di seluruh lapisan proyek. 2. memperoleh kesadaran diri terhadap peranan kita dalam mengkonstruksi bersama makna selama proses wawancara. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 20 3. memahami cara dimana kedua subjek sedang menjalin relasi dan pada konteks yang lebih yang lebih luas dapat mempengaruhi partisipan, proses interview dan hasil proyek. 4. mengenali bahwa dialog merupakan penemuan dan hanya pengetahuan yang parsial akan tercapai Ada tujuh tingkatan yang harus dilkukan saya menurut Heyl yang dikutip dari Kvale(1996, 373) dalam pendekatan ini yaitu: 1. Membuat tema 2. mengkonstruksi 3.Wawancara 4. Membuat transkrip 5. Menganalisis 6. Memeriksa 7.Melaporkan. Selain data dari hasil wawancara etnografi , akan digunakan data-data yang berasal dari: 1. Analisis dokumen, 2. Anilisis peralatan upacara Serentaun. 1.6 Sistematika Penyajian Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab satu merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, landasan teori, perumusan masalah, tujuan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 21 untuk mengumpulkan data metodelogi penelitian, dan sistematika penyajian, antara lain: Bab dua merupakan pemaparan Serentaun dalam konteks sosial. Bab ini terbagi dalam sub-bab 2.1 yang memaparkan Serentaun berdasarkan konteks masyarakat agraris sehingga dapat dilihat sistem upacaranya yang sakral (2.1.1) dan sistem mata pencaharian (2.1.2). Sub-bab 2.2 memaparkan Serentaun yang rekonstruktif pada konteks masyarakat transisi di Sindangbarang untuk mengetahui sistem upacaranya (2.2.1) dan subbab 2.2.2 memaparkan sistem mata pencaharian. 2.2.3 sistem keorganisasian yang terbagi dalam keorganisasian masyarakat desa (2.2.3.1) dan rekonstruksi keorganisasian berdasarkan tradisi (2.2.3.2). Sub-bab 2.2.4 adalah bahasa seharihari dan 2.2.5 memaparkan tanggapan masyarakat Sindangbarang terhadap Serentaun Rekonstruktif. Sub-bab 2.3 menjelaskan Serentaun rekonstruktif dalam industri pariwisata yang berhubungan dengan pariwisata daerah pada sub-bab 2.3.1, pariwisata nasional pada 2.3.1 dan pariwisata global pada sub-bab 2.3.3. Bab tiga adalah Sejarah Serentaun Rekonstruktif dalam Sinkretis agamaagama.Sub-bab 3.1 menjelaskan Sejarah sinkretik agama-agama Sunda Wiwitan dan Hindu-Buddha yang terbagi dalam sub-bab.3.1.1. yaitu Konsep Agama Sunda Wiwitan, 3.1.2. Konsep Agama Hindu-Buddha dan 3.1.3 Simbol Sri/ Pohaci Sanghyang Sri Dalam Hibridisasi Agama Sunda Wiwitan Dan Hindu-Buddha. Sub-bab 3.2. adalah Hibridisasi Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam yang terbagi dalam 3.2.1 Konsep Islam Pengaruh dari kasunanan Gunung Djati Cirebo Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 22 dan 3.2.2 Sri dan Muhamad simbol Penyatuan dalam Hibridisasi Agama Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam. Bab IV.merupakan pembahasan hibrida lokal-global dalam politik komodifikasi budaya Serentaun Rekontruktif sebagai upacara tahunan masyarakat Sunda di Sindangbarang Kabupaten Bogor. Pada bab ini akan terbagi dalam beberapa subbab antara lain 4.1 yang menjelaskan kontestasi elit lokal dalam Serentaun Rekonstruktif. Pemaparan tentang kontestasi ini dibagi dalam 4.1.1. kontestasi elit tradisi dan elit agama Islam pembaharu, 4.1.2. kontestasi elit agama pro tradisi dan elit agama Islam pembaharu, 4.1.3. Rekonstruksi Serentaun menuju global dalam kooptasi elit pemerintah daerah. Sub-bab 4.2 menguraikan hibrida lokal-global Serentaun Rekonstruktif pada industri pariwisata global yang akan terbagi dalam sub-bab 4.2.1. Serentaun Rekonstruktif menuju globalisasi melalui teknologi informasi, 4.2.2. politik global dalam Serentaun Rekonstruktif melalui transnasionalisasi modal, 4.2.3. Politik lokalitas menghadapi globalisasi dan 4.2.4. Kecenderungan dalam tarik-menarik hibrida lokal-global. Sebagai akhir dari tesis ini adalah Bab V Kesimpulan. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 23 BAB II KONTEKS SOSIAL SERENTAUN Serentaun telah mengalami beberapa perkembangan. Awalnya upacara ini adalah ekspresi rasa syukur masyarakat, suatu bentuk pengejawantahan cara pandang yang menjaga keseimbangan alam mikro dan makro, suatu prilaku keterikatan pada alam. Hingga pada masa sekarang Serentaun menjadi bagian dari produk industri di sektor pariwisata. Perubahan tersebut tidak terlepas dari konteks sosial perkembangan masyarakat pemilik budaya Serentaun di Sindangbarang. Sekilas tentang letak lokasi, tempat upacara tersebut diadakan. Sindangbarang pada masa kini adalah dukuh atau dusun yang terletak di bawah administrasi Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Secara geografis berbatasan dengan Desa Parakan di sebelah Utara, Desa Srigalih di sebelah Timur, Desa Taman Sari di sebelah Selatan dan Desa Sukaresmi di sebelah Barat. Luas wilayah Desa Pasir Eurih 285,394 ha². Sindangbarang yang terletak di kaki gunung Salak, mempunyai curah hujan 300 mm, sedang suhunya antara 25 ºC sampai dengan 30ºC dengan kelembaban udara maksimum 60% dan maksimum 80%. Sindangbarang dilalui beberapa sungai, di sebelah Barat terletak sungai Ciapus, di bagian Timur sungai Cisadane dan Cipininggading, di bagian tengah sungai Cipamali, Ciomas dan beberapa sungai kecil lainnya. Desa Pasir Eurih dan Dukuh Sindangbarang berjarak 2 Km dari kecamatan Taman Sari, 30 Km dari ibukota kabupaten, 128 Km dari ibukota propinsi dan 59 Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 24 Km dari ibukota negara. Desa Pasir Eurih berjarak sangat dekat dengan kotamadya Bogor. Bogor Trade Mall Centre, sebuah mall di sebelah Selatan kotamadya Bogor hanya berjarak 4 Km. 2.1 Serentaun Tradisional Pada Masyarakat Agraris Sub-bab ini akan menjelaskan pengertian dan konsep Serentaun tradisional. Penelitian Adimihardja (1992) dapat dijadikan referensi untuk melihat konsep tradisional masyarakat Sunda di Sindangbarang Bogor masa lalu, sebab menurut Adimihardja (1992: 14-22) masyarakat Sindangbarang yang terletak di Bogor Selatan masih sekerabat dengan masyarakat kasepuhan di sekitar komplek konservasi hutan Gunung Halimun, Sukabumi. Kondisi masyarakat Sindangbarang yang transisional dan sebagian besar penduduknya sudah beralih menjadi pengrajin industri sepatu membuat peneliti tidak mengambil sistem upacara Sedekah Bumi1 yang masih dilakukan masyarakat setiap tahun. Kebanyakan upacara Sedekah Bumi yang dilakukan masyarakat Sindangbarang tidak menggunakan ritus-ritus seperti dalam Serentaun. 1 Pada masa setelah pengaruh agama Islam masuk, konsep Nyai Pohaci atau Dewi Sri yang dikawinkan dengan Dewa Kuvera--keduanya kemudian menjadi simbol kesuburan dan kemakmuran--dalam upacara Serentaun ditiadakan, bersamaan dengan digantinya waktu pelaksanaan upacara tersebut dari kalender tahun baru Sunda Wiwitan ke tahun baru Islam atau kalender Hijrah. Nama Serentaun pun oleh masyarakat yang menganut agama Islam diganti dengan istilah Sedekah Bumi dengan konsep syukur atas datangnya tahun baru Islam. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 25 2.1.1. Sistem Upacara Upacara Serentaun tradisional mempunyai ritus-ritus yang tidak dapat dipisahkan dengan upacara-upacara lain. Pada masyarakat agraris yang menganut sistem ladang berpindah, upacara untuk menghomati alam dilakukan sebelum padi ditanam di ladang. Menurut sejarah, masyarakat Sunda kuna adalah masyarakat yang mengolah pertanian dengan sistem ladang berpindah. Adimihardja (1992) menulis penelitian tentang konsep masyarakat kasepuhan di daerah Sukabumi perbatasan dengan Bogor Selatan dan Banten Selatan yang masih menjalani adat tali karuhun dari masa kerajaan Pakwan Pajajaran, meskipun agama masyarakat setempat menurut Adimihardja adalah Islam. Termin tradisional tidak dilihat dari asal upacara tersebut dalam agama Sunda Wiwitan, tetapi lebih pada upacara yang masih menjadi bagian kehidupan masyarakat sehari-hari tanpa unsur komodifikasi. Rangkaian upacara-upacara dari membuka ladang hingga memanen padi berangkat dari cara pandang tentang keseimbangan terhadap mikro dan makro kosmos. Cara pandang ini menghasilkan pedoman hidup yang tertuang dalam norma sehari-hari yang tak boleh dilanggar atau tabu. Keseimbangan selalu dijaga dengan berusaha mengontrol diri untuk tetap berada posisi tengah. Dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian yang dijelaskan oleh Suwarsih Warnaen (1986: 12), terdapat kata-kata “makan sekedar menghilangkan rasa lapar, minum sekedar menghilangkan rasa haus.” Segala sesuatu dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan atau berat sebelah. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 26 Menjaga keseimbangan, hidup tidak berlebihan adalah pandangan tradisional yang terwujud pada sikap sehari-hari pada alam sekitar dan pada pergaulan sesama manusia. Upacara-upacara dengan seperangkat simbol di dalamnya menjadi sarana yang mengingatkan individu pada kehadiran orang lain yaitu kelompok sosial yang di dalamnya tumbuh ikatan satu sama lain untuk menjaga keteraturan. Upacara yang dilakukan dengan penuh syarat adalah cara untuk menjaga kekhusukan upacara. Doa-doa yang dilakukan pada saat upacara tidak dapat ditonton oleh masyarakat kecuali orang-orang tertentu yang bersama-sama sedang melakukan ritual. (Adimihardja, 1992: 154-155) Misalnya sebelum dilakukan upacara Serentaun terdapat ritus yang hanya dilakukan oleh dukun tani, ketua adat dan istrinya yaitu pada pukul 5.00 pagi pergi ke ladang, duduk bersila di depan pupuhunan2, mengucapkan doa amit, membakar kemenyan yang merupakan bagian dari peralatan ritus, menyemburkan kunyahan buah panglay atau Zingiber Cassumar ke berbagai penjuru. Ritus ini tidak boleh diketahui oleh siapapun. Setelah mengucap berbagai macam doa, ketua adat memotong dua tangkai padi yang terbaik dari seluruh tanaman padi, kemudian istrinya memotong lima tangkai yang kesemuanya disatukan dalam sebuah ikatan dengan sebutan padi induk. Setelah upacara itu berakhir, orang-orang boleh pergi ke ladang ikut memanen padi. Padi yang baru selesai dipanen tidak dijemur di ladang. Setelah kering, diangkut dan dimasukkan dalam suatu tempat sebelum dimasukkan dalam 2 Lihat Adimihardja (1992: 196), pupuhunan yaitu suatu tempat yang dianggap pusat dalam menanam padi di ladang. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 27 lumbung. Proses ini juga membutuhkan upacara sederhana yang disebut ngadiukkeun atau meletakkan, dan sebelum padi tersebut digunakan terdapat upacara lagi disebut ngayaran atau awal penggunaan padi yang baru ditunai. Lalu padi dibagi pada orang tak mampu untuk memenuhi kewajiban zakat yang jumlahnya sekitar sepersepuluh dari hasil panen. Pembagian zakat ini juga membutuhkan upacara disebut ngaseuk. Akhir dari segala upacara kecil tersebut adalah upacara besar Serentaun untuk mengiringi padi yang akan dimasukkan ke lumbung yang prosesinya sama dengan Serentaun pada masyarakat Sindangbarang. 2.1.2. Sistem Mata Pencaharian Sistem matapencaharian warga kasepuhan adalah ladang berpindah. Masyarakat kasepuhan masih mempertahankan pola bertani seperti ini meskipun mereka juga menerapkan sistem bersawah tetapi tata cara penggarapannya sama seperti ladang berpindah. Kegiatan bertani dengan sistem ladang berpindah diikat oleh sistem kepercayaan pada nilai-nilai yang diturunkan oleh nenek moyang yaitu menghormati alam agar terhindar dari bencana. Padi yang ditanam oleh masyarakat kasepuhan adalah padi jenis cere atau pare gede yang dipanen setahun sekali. Tahun pertama setelah dipanen bekas ladang yang disebut jami diolah dan ditanami berbagai buah-buahan. Lahan tersebut menyerupai hutan buatan yang disebut talun. Jami juga ditanami berbagai sayuran. Jami ada yang dibiarkan ditumbuhi semak belukar dan jika bertahun-tahun ditinggalkan maka akan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 28 kembali menjadi hutan. Kegiatan berladang dimulai lagi di tempat lain dengan menghitung hari baik buruk berdasarkan rasi bintang yang muncul. 2.2. Serentaun Rekonstruktif Pada Masyarakat Transisi Sindangbarang Upacara Serentaun Rekonstruktif merupakan penyusunan ulang upacara Serentaun tradisional dengan berusaha meniru ritus-ritus sesuai yang dikerjakan masyarakat Ciptagelar, Sukabumi yang penyelenggaraan upacaranya tak pernah putus. Upacara buatan ini sakral bagi yang masih meyakini berdasarkan kepercayaan masyarakat masa kini dan mempunyai unsur pragmatis berupa ungkapan syukur pada hasil rezeki nafkah dalam kehidupan sehari-hari dari Tuhan. Munandar (1998) mengatakan bahwa kajian Serentaun masa kini adalah bagian dari kajian kebudayaan yang dinamis setelah local genius mendapat pengaruh-pengaruh dari perkembangan kebudayaan dari luar baik dalam wilayah tataran Sunda maupun luar Sunda. Upacara Serentaun masa kini yang rekonstruktif sejak tahun 2005 setelah mendapat pengaruh dari pariwisata berubah menjadi superfisial, hal tersebut terlihat dari digunakannya kembali simbol perkawinan Dewi Sri dan Dewa Kuvera, yang pernah ditiadakan, tanpa ada perasaan akan melanggar norma salah satu ajaran agama, meskipun ada beberapa masyarakat masih meyakini unsur mitis dalam penyelenggaraan upacara Serentaun dan kepercayaan tersebut yang menjadi unsur perekat dalam struktur sosial masyarakat Sindangbarang yang sudah dalam keadaan transisi. Posisi transisi ini menandai keberadaan masyarakat dan keyakinannya antara masa lalu yang berdasarkan tradisi karuhun dan masa Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 29 kini yang sudah tidak mempercayai tradisi tersebut sebagai kepercayaan kecuali untuk suatu peringatan yang bersifat superfisial. Akan tetapi Munandar (2008) mengatakan bahwa kajian Serentaun masa kini tetap tidak bisa dilepaskan dari hubungan masyarakat pemilik budaya dan yang masih meyakini upacara tersebut di tingkat pragmatis yang merupakan proposisi keseharian dan tingkat yang merupakan proposisi filosofis. Pada bab ke-4 tesis ini akan menjelaskan bahwa proposisi filosofis di tingkat mitis ini kemudian menciptakan kontestasi dalam elit lokal Sindangbarang. 2.2.1. Sistem Upacara Sistem upacara pada Serentaun Rekonstruktif terdiri dari ritus-ritus yang diselenggarakan selama 4 hari berturut-turut. Ritus-ritus tersebut menggunakan peralatan upacara yang sama dengan Serentaun tradisional. Perbedaannya terletak pada miniatur lumbung dan rumah-rumah tradisional yang dibuat menyerupai rumah-rumah masa lampau. Berikut gambaran upacara Serentaun Rekonstruktif. Hari pertama, upacara Serentaun dibuka dengan ritual ngembang yaitu melakukan ziarah ke makam leluhur Sindangbarang dan meminta izin kepada leluhur untuk penyelenggaraan upacara Serentaun. Empat tokoh yang masih dikenang masyarakat adalah Mbah Jamaka orang yang berjasa menyebarkan agama Islam di Sindangbarang tahun 1700-an, lalu Mama Haji Abdullah dan Mama Haji Ali sebagai orang yang meneruskan syiar Islam Mbah Jamaka tahun 1800-an.Terakhir adalah berziarah ke makam Ki Lurah Etong Sumawijaya yang pernah menjabat lurah sekitar tahun 1970-an dan berjasa terhadap kelangsungan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 30 upacara Serentaun. Ziarah tersebut dilakukan oleh para sesepuh adat atau kokolot dibawah pimpinan ketua adat atau pupuhu. Peziarah melakukan pembacaan doa yang berupa surat-surat dalam Al-Quran, meminta kepada Allah untuk memberi keselamatan pada para leluhur dan penduduk Sindangbarang, serta kelancaran acara yang akan diselenggarakan dalam 4 hari. Hari kedua, ritual yang dilakukan berupa sapta tirta, yakni prosesi pengambilan air dari 7 sumber mata air, antara lain Cikareo, Cilepas, Cieja, Cimiing, Jalatunda, Cipamali, dan Ciputri. Rute perjalanan rombongan tersebut dimulai dari mata air yang berada di lokasi yang paling rendah, terus naik ke mata air yang terletak di daerah pasir atau bukit. Ketujuh mata air itu, satu persatu diambil airnya dan ditempatkan ke dalam kendi. Seluruh kendi yang sudah terisi penuh dengan air itu diarak sambil diiringi alunan musik angklung gubrak menuju Rumah Gede. Rombongan pembawa air itu tiba kembali di Rumah Gede sekitar pukul 15.30 WIB. Di tempat tersebut dilaksanakan ritual berdoa dan menuangkan air yang berasal dari tujuh mata air ke dalam satu wadah berupa tempayan atau gentong. Ritual acara ini dipimpin langsung oleh sesepuh adat atau pupuhu. Sekitar pukul 19.00 WIB, Rumah Gede kembali ramai karena sesaat lagi akan berlangsung ritual acara pembukaan Serentaun atau disebut ritual acara ngangkat. Sesepuh adat, para kokolot adat, saksi adat, dan warga masyarakat berkumpul di tempat tersebut, tepatnya di tengah ruangan yang ada gentong kecil. Ritual ngangkat pun segera dimulai, di bawah pimpinan sesepuh adat atau pupuhu. Air dalam tempayan atau cai kukulu diambil yang jernihnya. Sepanjang prosesi menjernihkan air berlangsung, tembang religi terus mengiringinya. Selain prosesi Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 31 menjernihkan air, ritual berdoa dilakukan oleh mereka yang hadir pada saat itu. Mereka membaca doa-doa yang diambil dari ayat-ayat Al-Quran, seperti Yasinan. Hari ketiga, dalam Serentaun dilakukan ritual ijab yang mengawali seluruh ritual pada hari itu. Acara tersebut terdiri dari sambutan dari ketua adat atau pupuhu, wakil kokolot dan perwakilan pejabat pemerintahan di depan Rumah Gede. Setelah itu acara dilanjutkan dengan sedekah kueh, yaitu ritual yang membagikan kue-kue yang diletakkan dalam tampah kepada masyarakat yang hadir saat itu. Memotong kerbau adalah tahapan ritual berikutnya. Sebelumnya kerbau yang berusia 7-8 tahun diarak oleh satu rombongan khusus. Penampilan kerbau yang diarak berbeda dengan sehari-hari. Kerbau yang akan jadi kurban tersebut ditutupi kain putih di atas badannya. Bunga-bunga yang dironce dikalungkan di leher kerbau. Rombongan yang mengarak kerbau tersebut terdiri dari petugas penyembelih kerbau dan kerbaunya, kemudian rombongan pembawa kendi yang terdiri dari 7 orang gadis yang mengenakan busana tradisional. Tujuh orang gadis tersebut masing-masing membawa air di dalam kendi yang berasal dari 7 mata air atau cai kukulu. Rombongan di belakangnya adalah 2 orang pemegang tanaman hanjuang—yang dulu dalam kehidupan sehari-hari petani ditanam di pinggir sawah sebagai pencegah bahaya. Dua orang pembawa tebu berada di belakang pembawa hanjuang. Urutan berikutnya dari arak-arak tersebut, 2 orang pemikul kotak kayu berisi 1 gentong air dan tanaman hanjuang. Di dalam gentong tersebut merupakan gabungan dari air dari 7 mata air yang diyakini oleh masyarakat masa lalu sebagai air yang mempunyai kekuatan istimewa yang akan mendatangkan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 32 kesejahteraan lahir batin. Air tersebut dipayungi oleh seorang kokolot yang berjalan di belakangnya. Berikutnya rombongan yang terdiri dari orang-orang pembawa jampana kosong yang akan digunakan untuk membawa daging kerbau setelah dipotong. Barisan berikut adalah berbagai kelompok kesenian tradisional yang dulu berfungsi sebagai alat penghibur dan ada juga kesenian yang berhubungan dengan pemujaan terhadap Sri. Kesenian itu antara lain reog, calung, angklung gubrak, tanjidor, kendang penca, dan jipeng. Di belakangnya diiringi barisan dan paling belakang adalah warga masyarakat sekitar. Arak-arakan tersebut disambut oleh rombongan lain yaitu sekelompok penabuh gendang dan hentakan irama tutunggulan—suatu permainan yang dilakukan dengan memukul-mukul alu pada lesung. Dua orang kokolot maju ke depan menjadi juru rajah yang bertugas membacakan doa, mencelupkan hanjuang ke dalam tempayan besar, dicipratkan kepada seluruh peserta dan penonton. Arakarakan kembali berjalan lagi dan bunyi alat-alat musik dimainkan sampai tempat pemotongan kerbau. Hari keempat merupakan puncak upacara Serentaun. Mereka kembali mengadakan arak-arak yang membawa hasil pertanian yang dimasukkan dalam dongdang—dulu hasil pertanian ini menjadi upeti kepada penguasa setempat-- dan terutama dua ikat padi yang dianggap Dewi Sri dan Dewa Kuvera. Dua ikat padi tersebut diberi pita hitam dan putih sebagai simbol dari kerajaan Pakwan Pajajaran. Arak-arakan ditujukan ke lumbung atau leuit Ratna Inten—untuk mengembalikan Pare Ambu atau Dewa Kuvera dan Dewi Sri Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 33 2.2.2. Mata Pencaharian Sehari-hari Desa Pasir Eurih terkenal dengan industri rumah tangga sepatu. Sektor tersebut menyerap 70% tenaga kerja. Petani dan buruh tani sekitar 20%. Sisanya adalah karyawan swasta, PNS, tukang, TNI, dan pensiunan. Industri rumah tangga sepatu dan pertanian yang menyerap tenaga kerja terbesar tersebut, terbagi menjadi kelompok tenaga kerja dari usia 10—57 tahun. Data yang diambil dari kelurahan Pasir Eurih tahun 2007/2008 adalah: Daftar Tabel 1 Kelompok Usia / Tahun Jumlah / Orang 10 -14 1120 15 – 19 1077 20 -26 1063 27 -40 1781 41 - 56 1585 57 ke atas 1346 Sumber Potensi Desa Pasir Eurih Industri-industri rumah tangga ini sudah mulai ada sejak tahun 1960-an dan beberapa mendatangkan tenaga kerja buruh dari luar Sindangbarang. Areal persawahan semakin menyempit, sawah-sawah banyak dijual untuk mendapatkan modal mendirikan industri rumah tangga sepatu. Menurut ketua adat “Kampung Budaya”, luas area sawah di Sindangbarang sekarang kurang lebih 8 ribu ha². Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 34 Berkembangnya industri rumah tangga sepatu tidak terlepas dari letak geografis Sindangbarang yang dekat dengan perkotaan, baik Kotamadya Bogor maupun Jakarta ditambah dengan sarana dan prasarana yang memadai. Industri rumah tangga ini memberikan nilai positif secara ekonomi dan budaya kerja bagi penduduk, yaitu tidak adanya angka pengangguran dan menahan mobilitas penduduk meninggalkan kampungnya. Berikut adalah tabel jumlah penduduk berdasarkan mobilitas dari tahun 2007/2008: Daftar Tabel 2 Kategori Laki-Laki Perempuan Jumlah Mati 120 116 Lahir 14 12 Datang 12 11 Pindah 24 25 Sumber Potensi Desa Pasir Eurih Nilai negatif dari dikenalkannya kerja sejak dini menurut kalangan elit agama yang berpengaruh terhadap pendidikan masyarakat, ketika anak-anak pada usia tersebut mendapat imbalan uang, mereka tidak mau bersekolah lagi sehingga menyebabkan tingkat pendidikan rendah. Banyak anak-anak tidak melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi seperti universitas. Akan tetapi keadaan tersebut jauh lebih baik karena jumlah penduduk yang berhasil menamatkan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 35 pendidikan hingga SMA sudah meningkat. Memang yang terbanyak tingkat pendidikan penduduk adalah SD. Berikut adalah tabel tingkat pendidikan masyarakat Sindangbarang sekarang: Daftar Tabel 3 Tingkat Pendidikan Jumlah / Orang SD 1127 SMP 227 SLTA 193 D1 – D3 14 Sarjana 37 Sumber Potensi Desa Pasir Eurih Sebagian besar industri rumah tangga yang dikerjakan oleh masyarakat mendapat modal dari pengusaha perseorangan. Hanya beberapa saja mempunyai manajemen yang kuat baik modal kapital maupun modal sumber daya manusia yang dapat memasarkan produk kerajinan. Pemilik modal perseorangan tersebut biasanya keturunan Tionghoa. Modal tersebut dalam bentuk bon putih, yang berisi catatan belanja bahan-bahan yang harus dibeli di tempat-tempat yang telah ditunjuk oleh pemberi modal setelah pengrajin memberi contoh model yang akan dibuat dan keduanya membuat kesepakatan harga. Harga yang ditawarkan oleh pengrajin tergantung tingkat kesulitan model produk yang akan dibuat. Pemodal juga akan meminta harga dengan taksiran yang berdasarkan kecenderungan pasar. Produk yang sudah jadi diambil oleh pemberi modal yang sekaligus pemasar Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 36 seminggu sekali. Misalnya pemodal meminta dibuatkan 100 kodi dari satu bengkel industri rumah tangga. Pekerjaan membuat produk kerajinan dengan target sebanyak yang diminta pemodal menekan pengrajin. Pengrajin kemudian membayar pekerja dengan sistem borongan. Apakah pekerjaan itu dilakukan hingga lembur atau tidak, dalam seminggu jumlah yang diminta pemodal harus terpenuhi. Dalam satu periode produksi yaitu selama seminggu pemberi modal mengambil untung biasanya Rp.50.000 per kodi. Sedangkan pengarajin yang diberi modal keuntungannya tergantung pada kepandaiannya berkreasi membuat produk lebih, dari bahan-bahan yang disediakan. Secara umum keuntungan pengrajin yang diberi modal oleh pemberi modal lebih sedikit dibanding yang memberi modal. Pekerja dalam seminggu mendapat gaji tergantung dari jumlah produk sepatu yang dihasilkannya. Biasanya ia mendapat gaji sebesar Rp.200.000 per minggu. Pertanian sebenarnya bukan mata pencaharian yang utama meskipun untuk pekerjaan industri rumah tangga sepatu yang hasilnya rutin mereka mengatakan pekerjaan itu hanya sampingan. Bertani dengan sistem sawah tidak ditujukan untuk produksi yang memenuhi pasar, tetapi hanya memenuhi kebutuhan sendiri. Di Sindangbarang dan Dukuh Menteng terdapat pertanian dengan sistem sawah dan kebun. Meskipun demikian di kedua Dukuh tersebut masih terdapat kelompokkelompok tani yang mempunyai berbagai kegiatan yang bertujuan membantu petani dalam penanaman padi dan tanaman lain. Penyuluhan-penyuluhan juga beberapa kali dilakukan. Contoh kegiatan nyata lain adalah iuran anggota untuk Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 37 membajak sawah. Biasanya untuk lahan seluas satu hektar menghabiskan biaya 1 juta untuk pembajakan. Kemudian petani membeli bibit. Masa sekarang bibit yang ditanam adalah jenis padi Bondoyudo. Pemerintah menetapkan banyaknya bibit 25 Kg, tetapi menurut penduduk setempat jumlah tersebut tidak mencukupi. Mereka membutuhkan bibit sebanyak 50 Kg. Jenis padi Bondoyudo menurut warga sebenarnya rasanya tidak begitu enak, jenis berasnya kecil-kecil tapi bisa panen maksimal. Sebab jenis padi ini lebih tahan hama terutama hama merah— yaitu hama yang menyebabkan daun-daun padi memerah—dibanding dengan jenis padi Ciherang atau IR. Soal cita rasa beras dari padi Ciherang memang lebih enak. Dalam hal pemupukan, biasanya lahan seluas 1 ha² membutuhkan pupuk 400 Kg. Pembelian pupuk juga dikoordinasikan oleh ketua kelompok tani. Masing-masing angota membayar Rp.25.000 untuk membeli pupuk. Panen padi dilakukan tiga kali dalam setahun dengan masa jeda satu bulan kalau cukup pengairan. Sistem sawah masyarakat tergantung pada hujan atau disebut sistem tadah hujan. Hasil panen memenuhi kebutuhan sendiri dan biasanya cukup sampai musim panen berikutnya untuk ukuran sawah seluas 2000 meter². Masyarakat menjual beras kalau ada kebutuhan menDesak saja, atau kalau ada sisa dari hasil panen yang sudah lama. Tidak semua petani mempunyai lahan sendiri. Lahan yang dimiliki petani pun sudah semakin sempit. Para petani yang tidak mempunyai lahan, pada musim tanam hingga panen menjadi buruh atau bekerja pada petani yang mempunyai lahan dengan sistem pembagian hasil yang disebut maro dan ngepak. Sistem maro atau pembagian separuh pemilik, separuh buruh, dilakukan apabila buruh sejak Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 38 awal mengolah lahan sampi panen dengan pembiayaan obat, pupuk dan lain-lain dari buruh sendiri. Pemilik lahan hanya menerima hasil akhir. Pada sistem ngepak, petani mendapat pembagian hasil 5 : 1, lima untuk petani pemilik lahan dan satu untuk buruh. Pada sistem ini buruh tani hanya membantu saat musim panen tiba, sedangkan sejak masa tanam, perawatan, dan pembiayaan dilakukan oleh pemilik lahan. Selain padi, sawah biasanya juga ditanami kangkung. Kangkung ditanam sebagai produksi yang memenuhi kebutuhan pasar. Akan tetapi produksi pertanian kangkung ini juga hanya dikerjakan sampingan. Penjualan kangkung bagi masyarakat setempat lumayan meskipun harganya juga turun-naik. Jika sedang musim kangkung harga jatuh menjadi Rp.200,- per ikat. Sedangkan harga terbaik selama ini adalah Rp.700,- per ikat. Areal seluas 500² meter biasanya akan memanen 1000 ikat. Dalam pertanian sawah, air sebenarnya menjadi masalah, sehingga petani berebut menanam padi. Setelah baru saja panen, petani biasanya buru-buru menanam lagi, karena takut tidak kebagian air. Hal itu sebenarnya menimbulkan masalah terutama dalam penanganan hama penyakit. Ketika satu areal sawah panen, sebelahnya sedang tumbuh maka hama akan pindah ke sawah yang sedang tumbuh. Tapi tindakan berebut tersebut belum ada penyelesaiannya dan dianggap sebagai hal yang dapat dimengerti. Sebab kalau menanam bersama-sama air tidak mencukupi. Dan sampai sejauh ini belum ada upaya untuk membuat saluran air dari sungai-sungai yang mengalir dari mata air gunung Salak. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 39 Setelah tidak berfungsinya koperasi, masyarakat petani setempat sangat mengharapkan bantuan modal dari pemerintah untuk mendirikan toko yang berfungsi seperti KUD. Menurut warga, toko menyediakan berbagai kebutuhan petani dengan cara petani dapat mengambil lebih dulu kebutuhan-kebutuhannya, lalu saat panen membayar. Banyak petani tidak mempunyai modal untuk membeli pupuk atau obat sehingga sering kesulitan saat bercocok tanam. Mata pencaharian yang ditekuni masyarakat selain petani dan pengrajin sepatu adalah penyedia sektor jasa dan pedagang. Jumlahnya memang tidak terlalu banyak. Sektor jasa yang tersedia adalah sopir angkot dan tukang ojeg. Jalur angkutan ke Sindangbarang disediakan jalan aspal yang sempit dengan jarak 10 Km dari pasar Ramayana hingga Kabandungan. Sedangkan jalur ojeg disediakan untuk jalan yang tidak dapat dialalui kendaraan beroda empat. Pendapatan bersih sopir angkot dan tukang ojeg pada tingkat minimal atau paling sepi penumpang sekitar Rp.25.000 dalam sehari. 2.2.3. Sistem Keorganisasian Masyarakat Sistem keorganisasian masyarakat di desa Sindangbarang sama dengan desa yang lain di seluruh Indonesia. Tetapi sejak adanya Serentaun Rekonstruktif, kemudian dipertimbangkan adanya suatu kampung berdasarkan tata aturan adat. Sub-bab berikut membahas perbedaan tata administrasi nasional dan tata administrasi adat. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 40 2.2.3.1. Sistem Keorganisasian Masyarakat Desa Sindangbarang pada masa kini merupakan nama sebuah dukuh di bawah tata administrasi pemerintahan nasional Indonesia yang berjenjang dari Rukun Tetangga (RT) hingga Presiden. Rukun Tetangga dibuat dalam kesatuan kepala keluarga. Di atasnya terdapat Rukun Warga (RW). Secara formal dalam tata administrasi nasional di atas RW langsung dipimpin oleh kepala desa Pasir Eurih yang membawahi 14 RW dan 54 RT. Desa ini masuk dalam kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat dan dalam kesatuan negara Republik Indonesia. Tata administrasi ini sama di seluruh daerah di Indonesia. 2.2.3.2 Sistem Keorganisasian Berdasarkan Rekonstruksi Tradisi Sistem keorganisasian berdasarkan rekonstruksi tradisi mulai ada sejak dibangunnya Kampung Budaya yang menjadi salah satu peralatan ritus upacara dalam Serentaun. Serentaun Rekonstruktif dinarasikan berada di sebuah desa adat, untuk itu perlu dibangun tiruan desa adat di Sindangbarang berdasarkan masa lalu sejarah Sindangbarang sebagai wilayah kamandalaan. Wilayah kemandalaan dipimpin oleh seorang yang dianggap suci atau primus intepares. Pemimpin tersebut menjadi pemimpin kasepuhan atau adat disebut Rama yang berarti yang dianggap ayah, atau disebut juga pupuhu atau ketua adat. Di Sindangbarang ketua adat rekonstruktif ini diangkat sebagai ketua adat karena masih keturunan dari leluhur Sindangbarang yang juga berperan dalam penyebaran agama Islam di wilayah tersebut. Maki Sumawijaya, pupuhu Sindangbarang berperan dalam penggalian kembali budaya Sunda di Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 41 Sindangbarang, Kabupaten Bogor yang dalam penelitian ini akan disebut sebagai elit tradisi bersama budayawan Bogor lain yang bekerja dalam rekonstruksi upacara Serentaun. Di bawah ketua adat atau pupuhu terdapat sesepuh girang atau sekertaris yang mengerjakan tugas-tugas harian ketua adat. Lalu di bawahnya terdapat kokolot atau tokoh-tokoh yang dituakan yang memegang peran menjadi saksi dan menjalani kehidupan tradisi berdasarkan warisan leluhur. Satuan keluarga merupakan masyarakat yang dibawahi oleh kokolot. 2.2.4. Bahasa Sehari-hari Bahasa Sunda di Sindangbarang, Bogor sudah mengalami percampuran dengan bahasa Indonesia dialek Jakarta. Ketika sedang bersama keluarga dalam suasana santai mereka berbahasa Sunda. Pada teman-teman sebaya generasi tua berbahasa Sunda, sedangkan generasi muda berbahasa campuran. Jika berhadapan dengan tamu yang berasal dari suku Sunda dan lebih awal mengajak berbicara bahasa Sunda, mereka berbahasa Sunda. Akan tetapi jika tamu yang datang berasal dari suku lain mereka berbahasa Indonesia. Bahasa Sunda Sindangbarang sama seperti bahasa Sunda daerah Bogor pada umumnya. Tetapi bahasa Sunda Bogor berbeda dengan bahasa Sunda daerah Priangan, seperti Bandung, Garut, Tasikmalaya, Sukabumi dan Cianjur. Jika dilihat dari perspektif orang Sunda Priangan, bahasa tersebut terdengar kasar. Sedangkan menurut masyarakat Bogor, Sindangbarang, bahasa Sunda sebenarnya tidak mengalami tingkatan-tingkatan. Adapun bahasa Sunda dengan pola Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 42 tingkatan sebenarnya telah mendapat pengaruh dari Mataram Islam yang disebarkan pada priyayi-priyayi pada zaman Belanda di daerah Priangan. Berikut ini adalah contoh percakapan bahasa Sunda Bogor diantara dua orang berusia sebaya. A: “Teu baleg eta budag gawena. Naon sih? Masih keneh aya pacogregan geuningan, maneh?” (Anak itu bekerja tidak benar. Mengapa sih? Masih ada masalah ya, kamu dan dia?” B: “Henteu. Teuing si eta mah. Urang geus ngarengsekeun ti kamari.” (“Tidak. Tidak tahu kalau dia. Saya sudah menyelesaikannya sejak kemarin.) 2.2.5. Tanggapan Masyarakat Terhadap Komodifikasi Budaya Serentaun Rekonstruktif Ketika agama Islam semakin berkembang, pengajian semakin pesat, tumbuh kembali perbedaan-perbedaan masyarakat dalam melihat suatu budaya atau kebiasaan yang diciptakan oleh masyarakat setempat. Perkembangan tersebut hasil dari pengelolaan elit-elit agama yang menanamkan cara pandangnya pada masyarakat dalam ruang-ruang pengajian atau majlis taklim. Perbedaanperbedaan biasanya berakibat konflik misalnya dalam pelaksaan upacara Serentaun terjadi pro dan kontra yang sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar dalam dinamika pertumbuhan suatu masyarakat. Beberapa elit penganut agama Islam yang metode penyampaiannya lebih keras, menolak budaya Serentaun Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 43 dengan alasan membahayakan aqidah. Elit agama ini berasal dari generasi yang lebih muda yang telah menerima pendidikan pesantren maupun pendidikan umum dan kembali ke Sindangbarang mengembangkan keilmuan Islam tahun 1990-an. Sedangkan elit agama Islam yang menerima budaya Serentaun adalah generasi yang sedikit lebih tua, dan generasi tua yang juga berasal dari lingkup pesantren dengan metode pengajaran yang lebih menekankan pada pendekatan budaya. Kalangan ini memberi alasan bahwa dalam menyebarkan agama Islam, sebaiknya menggunakan lahan budaya yang telah ada seperti yang diajarkan oleh para wali dan pendahulu mereka, sesepuh Sindangbarang yang telah dulu menyebarkan agama Islam pada masyarakat setempat. Sebelum Serentaun dijadikan komodifikasi budaya tahun 2006, di daerah ini pelaksanaan upacara syukuran dilaksanakan sendiri-sendiri yang tata caranya berbeda-beda sesuai dengan keyakinan masing-masing. Masyarakat ada yang menyebutnya Sedekah Bumi. Syukuran itu pun dilaksanakan dengan ritus berbeda, meskipun penanggalannya sama yaitu menyambut kedatangan bulan Muharam atau bulan Syuro pada kalender Islam. Beberapa tempat Sedekah Bumi hanya dilaksanakan dengan cara membuat kue-kue dan menyembelih hewan ternak yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Upacara dilakukan pagi hari dengan mendoakan segala macam makanan lalu dibagikan pada masyarakat. Di beberapa tempat Sedekah Bumi dilaksanakan dengan cara menyembelih kurban, hewan ternak, yang kepalanya ditanam dalam tanah. Perbedaan itu yang menjadi alasan konflik dalam masyarakat. Hanya sedikit masyarakat yang sadar bahwa sebenarnya Sedekah Bumi maupun Serentaun merupakan ucapan syukur Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 44 pada Allah SWT yang memberi keberkahan pada masyarakat dari hasil bumi yang awalnya merupakan penghormatan terhadap Dewi Sri atau Nyai Pohaci dari sistem agama Sunda Wiwitan. Keberadaan Dewi Sri sendiri tidak menjadi persoalan. Ketika Kampung Budaya Sindangbarang menyelenggarakan upacara Serentaun kembali secara serempak yang jadi perdebatan masyarakat adalah hal menanam atau tidak menanam kepala kerbau. Simbol inti kesundaan dalam Serentaun yaitu penamaan padi sebagai Dewi Sri dan padi ambu sebagai Dewa Kuvera tidak diperdebatkan di kalangan luas. Keberatan beberapa elit agama yang dikatakan angkatan muda lebih kepada upacara secara keseluruhan yang menurut mereka tidak terdapat dalam tuntunan fikih. Beberapa elit agama yang tidak mempermasalahkan upacara tersebut menganggap budaya harus dilestarikan, dijadikan lahan dakwah. Budaya Islam berbeda-beda, tidak harus sama persis dengan asal agama Islam yang dari Arab. Allah SWT menurutnya, telah menciptakan manusia berbeda-beda suku dan bangsanya sebagai rahmat dan untuk saling mengenal dan memahami, sehingga penggalian budaya itu penting selama tidak melanggar prinsip-prinsip keimanan. Bagi elit agama dari kalangan generasi muda yang pada akhirnya dapat bernegosiasi dengan budaya Serentaun lebih didorong oleh suatu alasan untuk berdakwah, mengubah tradisi yang menurut mereka membahayakan aqidah sedikit demi sedikit. Ketika upacara tersebut dijadikan komoditi pariwisata sehingga mendatangkan banyak tamu di Sindangbarang, beberapa generasi muda memberi persyaratan, bahwa keberadaan masyarakat Sindangbarang tidak boleh dijadikan objek. Masyarakat Sindangbarang tidak boleh menjadi tamu di Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 45 daerahnya sendiri dengan kedatangan orang-orang luar Sindangbarang yang mendikte kegiatan-kegiatan untuk penduduk Sindangbarang seakan kegiatankegiatan tersebut paling baik. Selain elit agama yang berbeda metodologi dan akhirnya cara pandang dalam menyampaikan sesuatu yang disebut mereka sebagai syiar atau dakwah, ada juga kalangan elit tradisi yang berpengaruh terhadap masyarakat. Kalangan elit tradisi ini yang menggerakkan revitalisasi kebudayaan Sunda, salah satunya lewat Serentaun. Serentaun Rekonstruktif direkonstruksi dalam rangka menggali dan memperkenalkan budaya lokal agar dapat diapresiasi oleh kalangan luas baik masyarakat Indonesia dari daerah lain maupun masyarakat manca negara. Program ini bertemu dengan program pemerintah yang disebut dengan pariwisata tahunan dengan nama Visit Indonesia Years. Pengaruh wacana elit tradisi membentuk opini masyarakat tentang Sindangbarang pada masa lampau yang mempunyai sejarah panjang peninggalan Kerajaan Pakwan Pajajaran. Berbagai peninggalan bersejarah dan warisan budayanya diteliti bekerja sama dengan kalangan pendidikan dari universitas. Akan tetapi tampaknya wacana kesejarahan dan kebudayaan ini belum menyentuh kesadaran masyarakat dari kalangan yang tidak terlalu aktif pada kegiatan-kegiatan sosial keagamaan. Meskipun dari kalangan agama terjadi benturan tetapi setidaknya wacana mengembangkan kebudayaan lokal menantang wawasan masyarakat dalam memandang dinamika sosial. Ini berbeda dengan masyarakat yang tidak aktif yang menjalani keseharian atau rutinitas dalam suatu keadaan yang sulit. Bagi warga tersebut kebudayaan lokal, adanya Kampung Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 46 Budaya, Serentaun, akan menjadi nyata jika berimbas dalam kehidupan perekonomian mereka. Berikut peneliti mengutip beberapa suara dari kalangan masyarakat yang berprofesi sebagai buruh tani, tukang ojeg dan beberapa sopir angkot: Atok: 27 tahun. (bukan nama sebenarnya) “Adanya kampung budaya nggak pengaruh bagi saya. Tukang ojeg di dieu mah sepi wae. Sababna tamu-tamu yang datang pada pake mobil asup ka dieu.” (Adanya kampung budaya tidak berpengaruh bagi saya. Tukang ojeg di sini sepi saja. Sebab tamu-tamu yang datang, masuk ke daerah sini memakai mobil pribadi atau menyarter angkot—pen). Sedangkan tanggapan beberapa orang sopir angkot sebagai berikut: Dadang: 37 tahun (bukan nama sebenarnya) “Serentaun iya ramai. Di sini banyak tamu, ada aja yang datang. Kadangkadang menyarter angkot, itu anak-anak SD. Anak-anak SMP ke Kampung Budaya. Senanglah di sini jadi daerah pariwisata. Senang kalau ramai.” Acep: 33 tahun (bukan nama sebenarnya) “Angkot di daerah sini mah sepi. Kalau sepatu lagi sepi, angkot sepi. Kan angkot sering disewa buat bawa sepatu ke toko. Serentaun, ya ramai, setahun sekali aja. Adanya Kampung Budaya belum pengaruh.” Yudi: 23 tahun (bukan nama sebenarnya) “Senanglah ada pariwisata. Kampung sini jadi sering didatangi tamu. Tapi kabarnya di dekat Kampung Budaya mau dijadikan Rumah Sakit atau perumahan korban Lapindo? Kata penduduk sih, tanah-tanah sawah mau dijual. Kan kalau begitu Kampung Budaya sudah nggak bagus lagi. Sudah nggak alami. Serentaun biasanya ramai. Orang-orang pada menginap untuk melihat Serentaun.” Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 47 Selain sopir angkot dan tukang ojeg, buruh tani juga diminta untuk menanggapi komodifikasi Serentaun sebagai pariwisata. Berikut kutipan wawancara peneliti dengan salah seorang buruh tani: Acih: 28 tahun (bukan nama sebenarnya) “Iya itu Serentaun ramai. Saya senang banyak tamu. Ada pemain sinetron waktu itu. Kalau ramai begitu ya, saya nonton saja. Mau jualan, jualan apa? Nggak punya modal, juga takut nggak laku.” 2.3 Serentaun Rekonstruktif Dalam Industri Pariwisata Sub-bab ini akan menjelaskan industri pariwisata yang dikelola oleh pemerintah daerah dan nasional yang menjadi salah satu bagian dari industri internasional. Melalui proyek yang diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa industri pariwisata budaya mulai dimunculkan dengan mencari bentuk-bentuk keunikan atau keaslian budaya lokal. 2.3.1 Industri Pariwisata Daerah Serentaun yang telah disusun ulang pada tahun 2005 di Sindangbarang adalah upaya untuk menjadikan upacara ini sebagai salah satu produk industri pariwisata budaya. Industri pariwisata daerah dikelola oleh Dinas Pariwisata tingkat propinsi dan kabupaten. Industri pariwisata tingkat daerah ini dimulai ketika tahun 2006 World Cultural Tourism (WTO) dalam konferensi internasionalnya di Yogyakarta mengangkat tema komunitas lokal sebagai patner pengembangan pariwisata. Pembangunan pariwisata budaya pada konferensi internasional pariwisata budaya dan masyarakat lokal di Yogyakarta tahun 2006 bertujuan mengurangi kemiskinan masyarakat lokal, begitu menurut menteri Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 48 Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dengan cara mengekplorasi tantangan dan potensi wisata budaya untuk menciptakan lapangan kerja. Di propinsi Jawa Barat proyek pembangunan pariwisata ini diluncurkan dengan nama yang sama dengan pariwisata nasional: Visit Jawa Barat Year 2008. Kecenderungan pemerintah daerah pada kapitalisasi budaya dimulai sejak adanya politik bantuan dari PBB melalui UNDP yang memberi inisiatif program pembangunan pariwisata di dunia. UNDP memberi dana sekaligus konsultasi untuk program sektor wisata mulai tahun 1991, menurut Dahles yang mengutip Gunawan (1977: 48). Program tersebut dari negara diturunkan ke propinsipropinsi di seluruh Indonesia. Sektor-sektor pariwisata ini kemudian diserahkan kepada sektor swasta dengan melakukan deregulasi terhadap aktivitas ekspor seperti potongan tarif, insentif pajak, dan kemudahan prosedur ekspor. 2.3.2. Industri Pariwisata Nasional Penjualan alam pada proyek pembangunan pariwisata sudah dimulai sejak modernisasi yang diterapkan oleh penjajahan Belanda di wilayah Nusantara Pra Indonesia. Pariwisata tersebut mengeksploitasi alam sebagai praktik cara pandang modernisme yang menganggap alam sebagai objek yang tunduk pada akal intrumental 3manusia. Keterlibatan penjajahan Belanda pada proyek modernisasi dalam bidang pariwisata dibuktikan dalam uraian Dahles (2000: 27-28) yang 3 Lihat Sindhunata .1999. “Dilema Manusia Rasional”. Dalam buku ini Sindunata menguraikan tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh manusai yang berusaha rasional untuk mengatasi kekuatan alam dengan ilmu pengetahuan. Rasionalitas yang digunakan disebut akal instrumental. Akal ini mengobjektifikasi alam, alam dianggap sebagai sesuatu yang dapat dieksplorasi untuk kepentingan manusia. Penggunaan akal instrumental ini yang semula ingin rasional ternyata bisa menjadi tidak rasional karena usaha menguasai alam pada akhirnya menggunakan segala macam cara yang merugikan. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 49 mengutip Picard bahwa tahun 1908 pemerintah Belanda sudah membuka biro pariwisata untuk orang-orang Belanda di ibukota, Batavia. Biro tersebut bertugas mempromosikan Hindia Timur sebagai wilayah destinasi atau tujuan wisata yang difokuskan di Jawa kemudian diperluas di Bali tahun 1914 dengan dikawal oleh tentara untuk menjaga keamanan. Di beberapa kota besar yang mempunyai hawa yang sejuk pegunungan seperti Bandung, Semarang, Medan, Surabaya, Bukittinggi, pemerintah Belanda membangun resort untuk istirahat dan balai pertemuan pejabat-pejabatnya. Masa Sukarno agenda kepariwisataan ini diteruskan sebagai bagian dari keberlanjutan proyek modernisasi negara baru Indonesia setelah dimasukkan kata “Tourism” dalam bahasa Indonesia menajadi “pariwisata”. Di Era Suharto pariwisata semakin dieksplorasi dalam pembangunan lima tahun-an sejak 1979, dan semakin diperluas di luar Jawa dan Bali. Dahles mencatat penelitian Gunawan dkk. (1993: VIII-2) bahwa kebijakan pariwisata saat itu masih mengorientasikan kunjungan wisatawan Nusantara dengan tujuan pemahaman kepulauan Indonesia bagi rakyat, meskipun satu sisi berkepentingan terhadap penjualan keindahan alam dan budaya Nusantara. Pada masa pasca-reformasi tampaknya pembangunan pariwisata ditujukan untuk mengikuti pariwisata dunia dengan meneruskan pembangunan masa Orde Baru tetapi tidak krtitis terhadap kondisi keindonesiaan saat ini. Departemen Pariwisata memang menginginkan pariwisata sebagai alat pemersatu negara-bangsa, akan tetapi sejauh mana motto tersebut berjalan dengan motto pariwisata dunia yang mencari bentuk-bentuk keaslian budaya. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 50 Pembangunan pariwisata nasional pada masyarakat lokal dilakukan dengan suatu riset pendahuluan yang bertujuan mencari destinasi wisata baru dan mendialogkan program pariwisata dengan masyarakat setempat. Eko-wisata yang mempunyai prinsip menghormati masyarakat lokal mulai memprogram pariwisata yang tidak searah dalam arti melibatkan masyarakat setempat dalam penyelenggaraan pariwisata. 2.3.3 Industri Pariwisata Global Industri pariwisata di dunia diprakarsai oleh oraganisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam koordinasi United Nation of Development (UNDP) dan United Nation Education (UNESCO) menurut Dahles (2000). Industri ini kemudian berkembang pesat menjadi salah satu bidang industri yang dipromosikan oleh lembaga keuangan dan pembangunan ekonomi dunia. Pada tahun 1994 pariwisata internasional memproduksi kira-kira $3.5 triliun atau 6.1% GDP global seperti yang dicatat oleh World Travels and Tourism Council (1995) dan S. Waters (1995). Dalam buku yang diedit oleh Yiannakis dkk.(1996) bahwa pariwisata merupakan industri transnasional yang merupakan ciri khas pasca-industri. Industri ini dalam era globalisasi bergerak ke seluruh negara-negara yang mempunyai aset pariwisata baik alam maupun budaya melalui lembaga-lembaga keuangan dunia seperti Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF). Pariwisata dunia mempunyai motto pelestarian terhadap keunikan dan otentisitas budaya. Eko-wisata mulai diisukan sejak terjadinya kerusakan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 51 lingkungan akibat modernisasi pembangunan di segala bidang termasuk bidang pariwisata. Proyek pembangunan modernisasi negara-bangsa di dunia ini hampir memusnahkan keberbedaan komunitas-komunitas yang disebut adat karena penyeragaman pembangunan tersebut. Berdasarkan alasan ini Eko-wisata kemudian dicanangkan bersamaan dengan proyek keberagaman budaya etnis di seluruh dunia. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 52 BAB III SEJARAH SERENTAUN REKONSTRUKTIF DALAM SINKRETIK AGAMA-AGAMA Serentaun Rekonstruktif yang berangkat dari konsep Serentaun berdasarkan pemujaan kepada Dewi Sri dengan mengucapkan terima kasih atas hasil panen, diadakan pada tahun 2005 di Sindangbarang. Upacara ini merupakan hasil kesepakatan antara beberapa pihak penganut agama dan keyakinan masyarakat yang berbeda-beda. Sebelumnya upacara ini diadakan masing-masing bersifat kelompok dan dalam skala kecil sehingga penyelenggaraan upacara disesuaikan dengan kemampuan, dan berdasarkan konsep yang berbeda-beda tergantung kepercayaan. Ada kelompok masyarakat yang menamainya bukan Serentaun tetapi Sedekah Bumi, yaitu bagi mereka yang mengucapkan upacara syukur tanpa memberikan latar belakang pemujaan terhadap Dewi Sri. Kelompok ini adalah masyarakat beragama Islam yang dipengaruhi oleh ajaran Islam modernis1 yang gerakannya gencar pada sekitar abad ke-18-19, sedangkan beberapa tempat menggunakan nama Sedekah Bumi meskipun mirip Serentaun yang mempunyai konsep pemujaan terhadap Sri tetapi dipadukan dengan konsep agama Islam yang diyakini. 1 Dasar bagi gerakan Islam modernis adalah pemikiran Ibnu Taymiyah yang menempatkan tasawuf sebagai hasil ijtihad, tapi bukan merupakan satu-satunya sumber mendekati Allah. Pemikiran Taymiyah mengilhami kalangan Wahabiah (didirikan oleh Abdul Wahab) yang merintis Islam modernis yang tidak menolak sufisme. Bahkan menurut Fajlur Rahman dalam Ismail (2005), gerakan Wahabiah juga meneruskan tradisi sufi yang penekannya pada motif moral dan penerapan metode zikir untuk mendekatkan diri pada Allah. Akan tetapi secara tegas membedakan mistisisme yang benar dan salah, serta meletakkan tanggung jawab perubahan sosial pada manusia. (Turner dalam Abdullah. 2005: 166. AF dalam AF dan Hidayat. Edt). Abdul Hadi WM dalam Hidayat dan AF (2006: 452) berpendapat bahwa di Indonesia pada abad tersebut keislaman di Indonesia mendapat nuansa pembaharuan sehingga tarekat-tarekat sufi mulai memberikan perhatian pada keduniawian. Ortodoksi tersebut mendorong gerakan antikolonial yang merata di seluruh nusantara. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 53 Upacara sebagai suatu tradisi yang pernah dilakukan turun-temurun oleh masyarakat setempat kembali dikompilasi, direkonstruksi menjadi suatu upacara yang tidak murni sakral tetapi sebagai pertunjukkan budaya lokal yang dapat dinikmati oleh berbagai kalangan baik masyarakat setempat maupun tamu. Berikut ini adalah uraian dari sinkretisasi beberapa agama yang mempengaruhi rekonstruksi upacara Serentaun. Penelusuran asal-usul upacara Serentaun sebagai wujud rasa terima kasih masyarakat pada Dewi Sri atau dewi kesuburan yang dipasangkan dengan Dewa Kuvera atau dewa kemakmuran merupakan titik penting mengenali satu demi satu konsepsi keagamaan masyarakat sejak zaman Kerajaan Pakwan Pajajaran hingga kini ketika upacara tersebut disusun ulang untuk komodofikasi budaya. 3.1 Sinkretik agama-agama Sunda Wiwitan dan Hindu-Buddha Sinkretisasi antara agama masyarakat setempat yaitu Sunda Wiwitan dengan Hindu-Buddha merupakan suatu proses peleburan atau percampuran setelah adanya interaksi antara pendatang dari India dan masyarakat setempat. Beberapa pendapat menyatakan bahwa kedatangan India ke wilayah Nusantara dengan cara kolonisasi baik dari kalangan Ksatrya maupun dari kalangan Waisya. Akan tetapi ada juga peneliti yang menolak anggapan kolonisasi tersebut, dan lebih condong pada pendapat bahwa agama Hindu-Buddha diajarkan oleh Brahmana yang datang berdasarkan undangan masyarakat Nusantara sendiri. (Poesponegoro dan Notosusanto 1993: 21-28). Argumen-argumen tersebut meskipun bertentangan satu sama lain tetapi Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 tetap menjadi referensi dalam 54 kerangka pertemuan dua agama Sunda Wiwitan dan Hindu-Buddha yang saling hidup selaras. 3.1.1. Konsep Agama Sunda Wiwitan Agama Sunda Wiwitan sudah ada di tanah Sunda sebelum Dewawarman memerintah di Salakanegara (130-168 M). Berdasarkan tradisi lisan Pantun Bogor yang dikutip oleh Djatisunda (2008: 3) penulis kitab suci agama Sunda adalah Resi Wisnu Brata atau Rakean Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu. Kitab suci Sambawa, Sambada Winasa baru ditulis pada masa hidupnya tahun 1175-1297 M. Cerita lisan tentang Rakean Darmasiksa tersebut juga dikuatkan oleh Pustaka Wangsakerta. Berikut Djatisunda (2008: 6) menguraikan bahwa agama Sunda Wiwitan yang tertulis dalam kitab tersebut mengajarkan proses kehidupan manusia sejak lahir, hidup hingga mati dan menitis atau reinkarnasi. Dalam proses ini manusia diberikan dua tempat yang disebut jagat jadi carita (dunia fana) dan jagat kari carita (alam baka). Dunia baka terdapat mandala dan buana karma atau jagat pancaka yang terdiri dari 9 tingkatan. Setiap ruh manusia yang sudah meninggal masuk dalam mandala paling bawah (mandala kasungka). Jika semasa hidup manusia tidak baik, ia masuk dulu ke dalam kawah hukuman di buana karma untuk mendapatkan ujian, sedangkan yang hidupnya baik masuk ke mandala yang lebih tinggi. Mandala keenam adalah mandala Suda, tempat berkumpulnya karuhun yang telah bebas pulang-pergi ke dunia fana. Di mandala ini terdapat dua paseban, pertama paseban Pangauba, tempat karuhun yang bebas pulang-pergi ke dunia fana, menjenguk yang masih hidup dengan mewujud kembali serta Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 55 berbicara. Kedua, Papanggung Bale Agung tempat para leluhur berkumpul menunggu giliran nitis. Di atas mandala Suda terdapat alam kesucian atau jati mandala. Di atasnya terdapat mandala Samar tempat para leluhur yang sudah mempunyai jadwal menitis dan yang paling atas adalah mandala Agung tempat Sanghyang Tunggal bersemayam. Konsepsi tentang dewa dalam agama Sunda Wiwitan bukan konsepsi ketuhanan tertinggi. Dewa Kuvera maupun Dewi Sri pada masyarakat Sunda diletakkan di bawah Sang Hyang Tunggal. Danasasmita dkk.(1987: 74, 96) yang dikutip Munandar (2007: 56), membicarakan kitab “Sang Hyang Siksa Kanda Ng Karesian” dalam (Siksa II: 19-20), bahwa “.....mangkubumi tunduk pada raja, raja tunduk pada dewata. Dewata tunduk pada hyang...” Hyang tunggal disebut juga Niskala. Munandar (2007: 57) mengutip Ekadjati dan Darsa (2006), bahwa “Batara Jatisniskala adalah penjelmaan Batara Niskala yakni yang bersifat gaib, tampil tujuh menjadi tunggal demikianlah semua itu.” Ketujuh perwujudan Sang Hyang Niskala tersebut antara lain: Sang Hyang Ijunajati, Sang Hyang Tunggal Permana, Batara Lenggang Buana, Sang Hyang Aci Wisesa, Sang Hyang Aci Larang, Sang Hyang Aci Kumara, Sang Hyang Manon, yang disebut Guriang Tujuh. Ketujuh perwujudan Niskala tersebut membawahi seluruh dewa maupun dewi dalam agama Hindu dan agama Buddha.(Munandar 2007: 57). Ketunggalan Niskala tidak berbentuk dan tidak dikonkretkan. Sang Hyang Jatiniskala atau Sang Hyang Jatinistemen berarti hakikat keteguhan. Dalam naskah Sunda Kuna yang berjudul “Jatiraga” (kropak 422)” Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 dari Darsa dan 56 Ekajati (2006: 159), menyatakan bahwa konsep kegaiban Sang Hyang Niskala bagaimanapun tidak dapat digambarkan dalam wujud yang nyata atau kebendaan, yakni: “Hakekat Jatinistemen berkata, Nah Bayu sabda hedap, Bagaimana mungkin muncul bentuk nyata, Karena aku sebenarnya dalam hakikat Jatinistemen Sebab aku adalah bebasnya dari kebebasan, Sebab aku adalah mustahilnya dari kemustahilan, Sebab aku adalah mungkinnya dari kemungkinan, Sebab aku adalah sirnanya dari kesirnaan, Sebab aku adalah lepasnya dari kelepasan, Sebab aku adalah aslinya dari keaslian. Sebab aku adalah jujurnya dari kejujuran Sebab aku adalah jujurnya dari kejujuran, Sebab aku adalah bunga putihnya dari bunga putih, karena bukan yang hendak dicarinya, karena bukan yang dicari bukan pula yang mencari..... (Darsa dan Ekadjati 2006: 159). Pengejawantahan masyarakat Sunda terutama Sindangbarang pada konsepsi zat tunggal Tuhan dilakukan tidak dengan mendirikan bangunanbangunan megah seperti Candi dalam agama Hindu-Buddha. Menurut Munandar (2007: 54), arsitektur bangunan untuk pemujaan seperti Punden Berundak yang hanya dibuat dari balok-balok batu alami yang menahan teras-teras tanah menunjukkan kesederhanan. Hal ini selaras dengan nama yang dipilih sebagai tempat mandala atau tempat keagamaan yaitu Sindangbarang dalam wilayah Kerajaan Pajajaran. Sindangbarang menurut Munandar (2007: 62) mempunyai arti menghentikan segala sesuatu yang bersifat nafsu duniawi. “Sindang” dalam bahasa Sunda tidak saja bermakna singgah, namun juga berhenti, sinonim dari kata “euren”. Sedangkan “barang” dalam bahasa Sunda merupakan awalan untuk Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 57 menunjukkan segala macam benda, perbuatan, keinginan, yang terkesan dilakukan agak sembrono. (Munandar 2007: 62). Punden Berundak yang juga diceritakan dalam pantun Bogor, “tempat pemujaan di hutan Songgong, / di bukit kecil kiharahyang / memuja batu yang tujuh / yang bertingkat 3 tumpang teras.....” (Sutaarga 1965: 50). Pada punden berundak tersebut menurut Munandar (2007: 55) tidak ditemukan arca-arca Hindu-Buddha yang berarti bahwa mandala atau tempat keagamaan di wilayah Sindangbarang, salah satu wilayah Kerajaan Pakwan Pajajaran tidak memegang konsepsi kedewataan Hindu-Buddha. Punden ini digunakan oleh masyarakat untuk pemujaan pada Hyang dengan bentuk bertingkat-tingkat sebagi bentuk simbolis yang semakin tinggi tingkatannya semakin mendekatkan diri pada dunia atas milik Hyang. Tempat pertapaanya bernama Dewa Sasana yang di dalamnya terdapat kawikuan dan kabuyutan. Pada peristiwa panen setahun sekali, atau setiap hari diadakan ritus dalam kawikuan dan kabuyutan. Ritus itu juga bisa dilakukan di rumah sendiri atau tempat keramat lain. (Munandar, 2008: 18-19). Penyebar agama Sunda pertama menurut Djatisunda (2008:3) yang mengambil cerita pantun Bogor pada episode “Tunggul Kawung Bijil Sirung” adalah seorang tokoh yang disebut “Mundi ing Laya Hadi Kusumah” setelah mendapatkan Layang Salaka Domas dari “Jagat Jabaning Langit”—suatu jagat di luar alam semesta. Jabaning Langit merupakan Mandala Agung atau Buana Nyungcung. Layang Salaka Domas secara harfiah mempunyai arti Kitab Suci Delapan Ratus Ayat yang berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup dari Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 58 semenjak lahir (sembawa), dewasa atau tua (sembada), kematian dan kehidupan kembali di alam hyang (winasa). Konsep kesadaran manusia sebagai mahluk dalam agama Sunda Wiwitan adalah manusia yang sadar dirinya sebagai mahluk yang hidup di antara mahluk lain. Djatisunda (2008: 8), mengatakan manusia “nyunda” yaitu manusia yang “menyadari satwa terkecil hingga yang paling besar, manusia-raksasa dan detia, lumut-lumut perdu sampai kekayuan, pasir-kerikil-cadas samapai bebatuan, mata air-telaga sampai lautan, bumi-langit sampai semesta alam, angin semilir sampai angin tofan, bintang bertaburan-bulan terang, matahari terik. Itu semua ciptaan Sanghyang Tunggal. Bagi-Nya kesemuanya itu sama tidak ada bedanya”. 3.1.2. Konsep Agama Hindu-Buddha Agama Hindu berasal dari India yang dibawa oleh bangsa Arya. Sebutan Hindu berasal dari orang-orang Parsi yang beragama Islam dari kata Hindustan, tanah milik orang yang beragama Hindu. Agama Hindu pada masa kuna bernama agama Veda yang baru mengalami perkembangannya setelah orang-orang arya tersebut mendiami India. Veda juga merupakan kitab suci yang diwahyukan oleh dewa Brahmana kepada para resi berupa mantera-mantera. (Hadiwijono, 1971: 18). Isi kepercayaan dalam kitab Veda dua zat yang kedudukannya lebih tinggi dari manusia yaitu, dewa-dewa yang bersikap pemurah pada manusia dan roh jahat yang bersifat mengganggu manusia, sehingga manusia membutuhkan upacara. Upacara-upacara tersebut mempersembahkan kurban-kurban dengan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 59 tujuan mendapat kemurahan dan perlindungan dewa-dewa agar tidak diganggu roh jahat. Permohonan tersebut berupa sesuatu yang akan datang, bukan sesuatu yang telah terjadi. Kurban untuk ucapan rasa syukur karena hal-hal yang telah dialami tidak ada. Dalam perkembangannya agama Veda mengalami perubahan bersamaan dengan perbedaan cara pandang terhadap kurban. Pada zaman Veda Purba menurut Hadiwijono (1971: 21), kurban menjadi alat untuk mempengaruhi para dewa menolong manusia. Kurban itu sendiri sudah mempunyai nilai magis yang lebih berkuasa dari para dewa. Dalam agama Brahmana kurban menjadi alat untuk memperoleh kekuasaan di dunia dan akhirat. Bahkan kurban dibebaskan dari perihal dewa-dewa, mempunyai daya magis sendiri untuk memperoleh kebahagiaan manusia. Kesaktian kurban-kurban ini tergantung dari manteramantera yang dibawakan oleh imam. Sejak itu kekuatan para Brahman menjadi penting. Pada masa itu lahir kasta-kasta, meskipun sebelum bangsa Arya datang, orang India juga sudah mengenal kasta-kasta. Kasta bangsa Dravida terdiri dari golongan imam, prajurit dan pekerja. Ketika bangsa Arya datang, dan memperkenankan bangsa Dravida masuk di dalamnya, kasta tersebut ditambah hingga kasta Sudra. Dengan adanya kasta ini kemudian muncul konsep sosial yang menghadirkan peraturan-peraturan bagi prilaku hidup sesuai dengan kastanya. (Hadiwijono, 1971: 22). Dalam agama Hindu yang disebut dalam zaman Brahman ini, kurban dianggap sebagai alat menjadikan manusia sebagai Tuhan di dunia, dewa-dewa Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 60 secara otomatis berkurang kewenanganya, bahkan ada beberapa dewa yang diturunkan kedudukannya. Meskipun untuk memenuhi keperluan sesuatu yang dianggap lebih tinggi dari manusia, beberapa dewa tetap ditinggikan. Selain agama Brahman kemudian berkembang agama Upanishad yang bersumber dari bagian terakhir Veda, disebut kitab Aranyaka dan Upanishad. Penyusun kitab Aranyaka menurut Hadiwijono (1971: 24) adalah para pertapa di hutan. Isi ajaran tersebut sama dengan yang dibicarakan dalam kitab-kitab sebelumnya diantara kitab Brahmana dan Upanishad. Upanishad berarti duduk di bawah kaki guru untuk mendengarkan ajarannya. Awalnya kata itu hanya digunakan untuk sebutan ajaran guru kepada muridnya tetapi kemudian dapat juga berarti segala macam rahasia yang mistis. Ajaran Upanishad disebut monisme yang idealistis. Ajarannya berisi segala sesuatu dikembalikan pada satu asas yang disebut Brahman dan Atman. Brahman merupakan alam semesta, Atman adalah asas manusia atau jiwa individu. Hanya Brahman dan Atman yang memiliki realitas, dunia benda yang nampak tidak nyata atau maya. Brahman adalah sebab adanya dunia, ia tidak nampak tapi berada di dalam segala sesuatu. Atman berasal dari Brahman atau jiwa asali, yang tidak nampak itu yang nyata dan merdeka. Sedangkan Atman adalah hakikat manusia yang sesungguhnya, subjek yang tetap ada di tengah segala sesuatu yang berubah. Pada akhirnya Brahman adalah Atman, segala asas kosmis adalah manusia. Atman hanya dapat kembali bersatu dengan Brahman bila keadaannya tetap bersih seperti semula. (Danasasmita, 2006: 85). Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 61 Hal lain yang diajarkan dalam Upanishad adalah karma yang berarti perbuatan, tetapi dalam praktik disebut kurban. (Hadiwijono, 1997: 26). Perbuatan tersebut adalah selama pengembaraan manusia hidup di dunia. Hadiwijono mengutip Upanishad III, 2, 13, menurut golongan Wanaprastha yang diberkati dewa-dewa bukan kurban tetapi tiap perbuatan yang akan mempengaruhi kehidupan manusia yang akan datang. (Up.IV, 4, 6 dalam Hadiwijono, 1997: 27). Karma mengakibatkan samsara yaitu tentang perputaran kelahiran. Samsara mengajarkan bahwa nasib manusia dan segala mahluk adalah lahir, mengalami hidup, mati, dilahirkan lagi, hidup dan mati lagi dan seterusnya. Samsara tersebut terjadi karena keinginan yang menguasai manusia selama hidup. Keinginan tersebut yang menggerakkan perbuatan manusia. Untuk sampai pada tahap kelepasan manusia harus menghapus segala keinginannya. Syarat untuk dapat mewujudkan kelepasan tersebut adalah pengenalan terhadap diri. “Aku” yang abadi. Ajaran Upanishad ini disebut juga panteisme yang mempercayai adanya Tuhan dalam segala sesuatu. Termasuk “Aku” manusia pada hakikatnya adalah “Aku” Tuhan. Agama Veda yang mengalami masa kemunduran sebagai akibat berkembang pesatnya agama Buddha dan Jaina muncul dalam bentuk agama baru yaitu agama Hindu. Agama Hindu ini diperkirakan tumbuh sekitar abad pertama masehi. Kitab yang digunakan merupakan perkembangan dari kitab Veda dalam bentuk kitab baru yaitu Purana, Epos, Dharmasastra dan kitab-kitab sutra Hindu. Perbedaan yang terlihat jelas pada agama Hindu dibanding agama Veda kuna yaitu jumlah dewa dan nama-nama dewanya. Pada agama Veda kuna ada 33 dewa Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 62 sedangkan dalam agama Hindu lebih banyak lagi sebab adanya perkembangan agama Hindu yang berbaur dengan agama-agama lain diantaranya Buddha. Peranan dewa-dewa banyak yang berubah pada agama Hindu yang sebenarnya juga mengambil nama dewa-dewa dari agama Veda, seperti dewa tertinggi adalah Trimurti yang terdiri dari Brahma, Wisnu dan Siwa. Brahma merupakan dewa pencipta alam semesta, Wisnu adalah dewa pemelihara sedang Siwa adalah dewa perusak alam semesta. Agama ini kemudian berkembang lagi setelah mendapatkan pengaruh dari orang-orang Dravida yaitu timbulnya aliran-aliran theistik yang berciri kependetaan yang disebut Hinduisme. Hinduisme merupakan kepercayaan yang yang diciptakan oleh pendeta-pendeta dan penyair mantra yang tumbuh hingga saat ini. Akan tetapi Hinduisme berbeda dengan Brahmanisme yang terbatas pada kalangan tertentu. Kepercayaan Hindu dapat dipelajari semua orang dari golongan manapun termasuk kaum wanita. Upacara-upacara dalam kepercayaan Hinduisme biasanya dengan memberikan kurban dan menggunakan arca sebagai pemujaan. Dewa maupun dewi (Tantris) pada pagi hari dibangunkan dengan menggunakan bunyi-bunyi berirama. Arca dewa-dewi tersebut dimandikan, diuap dengan wewangian, lalu diberi pakaian. Setelah itu mereka diberi penghormatan dengan bunga-bunga, diberi makan nasi dan buah-buahan. Sisanya diambil oleh pemujanya dan diberi pada fakir miskin. Binatang kurban disembelih lebih dahulu di depan arca agar darahnya dapat mengenai arca tersebut. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 63 Agama Buddha lahir dengan latar belakang kekacauan akibat krisis politik yang terjadi pada abad ke-6 hingga abad ke-2 sM. Kepercayaan pada dewa-dewa sudah mulai pudar. Dimana-mana nilai kesusilaan mengalami kemerosotan. (Hadiwojono, 1997: 29) Orang yang sangat berjasa terhadap penemuan agama Buddha ini adalah Sidarttha Gautama, ketika dalam pertapaannya ia menyadari bahwa semua hidup meluas di seluruh alam semesta yang maha besar, dari suatu masa lampau yang tak terbatas ke dalam masa depan yang tak terbatas, secara intuitif intisari hidup yaitu meresapi alam semesta, menjadi sadar akan keberadaan diri sendiri dan bernafas selaras dan seirama dengan alam semesta. (Deisaku Ikeda, 1974: 51). Ajaran Buddha berhutang pada aliran Samkhya dan Yoga, meskipun dikatakan perkembangan agama Buddha berasal dari agama Veda dan Brahmana. Menurut Samkhya, mula pertama adalah dua zat yang keberadaannya tanpa dijadikan. (Hadiwijono, 1997: 29). Dua zat tersebut yakni purusa (asas rohani) dan prakrti (asas bendani). Prakrti merupakan rupa pertama dari yang ada, yang didalamnya terdapat tiga tenaga. Tiga tenaga itu antara lain, sattwa, tenaga terang yang membawa kegirangan, kebahagiaan. Kemudian terdapat rajas, tenaga penggerak yang menimbulkan kepedihan, dan tamas, tenaga yang menentang aktivitas yang menimbulkan mati rasa, sifat tidak perduli, malas, lamban. Persatuan antara purusa dan prakrti menimbulkan mahat (sebab kosmis alam semesta), buddhi (segi batin mahat), ahangkara (kesadaran perseorangan), manas (unsur dalam manusia yang merangkumkan segala rasa menjadi pengamatan lima indra). Purusa yang terikat pada parkrti atau tubuh kasar bendani. Kelepasan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 64 terdiri dari pengembalian purusa pada keadaan yang tidak terikat pada tubuh kasar. Kelepasan ini dapat dicapai dengan yoga.(Hadiwijono, 1997: 30-31). Hudaya Kandahjaya dan David Kalupahana (1986: 6) mengatakan tujuan konsentrasi Yoga merupakan penghapusan bertahap kesan dari 5 indra yang menimbulkan hawa nafsu. Proses meditasi yang disebut jhăna dimulai dengan konsentrasi pada rangsangan yang ditimbulkan oleh indria seperti lingkaran pasir merag bercahaya, atau lingkaran bunga-bunga biru. Tingkat pertama meditasi tercapai ketika manusia dapat menekan untuk sementara keinginan yang dari lima indra dengan mengarahkan semua pikiran pada objek yang dipilih. Tingkat kedua berada pada proses membimbing perasaan ke bahagia tak terhingga setelah lebih menyatu dan hilangnya pikiran yang melantur. Pada tingkat berikutnya, perasaan bahagia ini diatasi dengan tidak lagi tergantung pada perasaan tersebut tetapi sudah tidak sadar lagi pada yang enak atau tidak enak, bahagia atau marah, sejahtera atau tidak sejahtera, dengan demikian pikiran menjadi lembut, terbuka dan pikiran dapat diarahkan pada tingkatan meditasi yang lebih tinggi yaitu empat proses berikut: arupa (kemampuan seseorang untuk melihat tanpa bentuk dan lebih tinggi dari itu, seseorang dapat melihat segala sesuatu sebagai ruang yang tanpa batas. Pada tingkat berikutnya ruang yang tanpa batas itu hanya terdiri dari kesadaran hingga pada tingkat kesadaran itu pada akhirnya adalah kekosongan. Tingkat terakhir adalah aktivitas menyerap kekosongan itu mencapai pada suatu titik yang tidak lagi terdapat persepsi maupun bukan persepsi. Ajaran agama Buddha menurut Hadiwijono (1997: 69) dapat dirangkumkan dalam Triratna atau tiga permata yaitu Buddha, Dharma, dan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 65 Sangha. Buddha didalamnya mempunyai kata sifat kebudhaan, artinya orang yang telah dicerahkan. Buddha yang dipandang sebagai asas rohani disebut Tathagata. Dharma adalah pokok ajaran agama Buddha yang dirumuskan dalam empat pokok kebenaran yaitu Dukha, Samudaya, Nirodha dan Marga yang disebut Cakraryyastya. Dukha bermakna penderitaan. Dalam Buddha menganggap bahwa hidup manusia adalah penderitaan. Sedangkan Samudya adalah sebab penderitaan yaitu keinginan pada hidup yang disertai dengan hawa nafsu. Nirodha adalah pemadaman pada kesengsaraan yang dapat dilakukan dengan penghapusan segala keinginan. Sedangkan Marga merupakan jalan kelepasan. Mahzab-mahzab pokok yang ada pada agama Buddha adalah Hinayana dan Mahayana. Ajaran Hinayana secara umum adalah kesementaraan hidup yang disebut dharma yang merupakan suatu realitas yang pendek sebagai sebab-akibat. Tujuan hidup adalah mencapai nirwana tempat kesadaran ditiadakan. Dan cita-cita tertinggi adalah berhenti dari segala keinginan, ketidaktahuan dan sebagainya sehingga tidak ada kelahiran kembali. Sedangkan ajaran Mahayana secara umum adalah Bodhisattwa yang berarti hikmat yang sempurna. Seorang Bodhisattwa adalah orang yang memutuskan untuk menggunakan seluruh hidupnya pada kebajikan untuk menolong orang lain. Cita-cita tertinggi Buddha Mahayana untuk berbuat kebajikan pada orang lain, berbeda dengan Buddha Hinayana yang citacita tertingginya adalah arhat atau mencapai kelepasan sendiri. Selain ajaran Bodhisattwa, ajaran lain Buddha Mahayana yaitu Sunyata atau kekosongan. Segala sesuatu adalah kosong, maka tak ada yang mesti dicari, pada akhirnya Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 66 segala kebajikan adalah kosong, tidak untuk mendapatkan apa-apa kecuali manfaatnya bagi orang lain. Aliran Buddha Mahayana ini yang kemudian berkembang di Indonesia. 3.1.3. Simbol Sri/Pohaci Sang Hyang Sri dalam Sinkretisasi Agama Sunda Wiwitan dan Hindu-Buddha Masyarakat Sunda mempunyai nama lain untuk Dewi Sri dengan Pohaci Sang Hyang Sri yang menurut naskah Sri Dangdayang Tresna Pohaci. Budhisantoso dkk. (1990), ”Pohaci” secara harfiah berarti “dewi sari pati”. Poh= pwah, kata sandang untuk wanita yang dihormati. Sedangkan Aci berarti Sari Pati. Pohaci dalam mitos yang dikenal masyarakat adalah anak Batara Guru, gurunya dewa-dewa. Karena kecantikannya Batara Guru menyukai Nyai Pohaci. Agar peristiwa incest itu tidak terjadi Batara Guru membunuh Nyai Pohaci. Setelah itu dari atas tanah pekuburannya tumbuh berbagai macam tanaman. Kepalanya tumbuh pohon kelapa, dari hati tumbuh padi ketan, dari tulang berupa padi putih, dari tangannya pohon enau, dari betis bambu kecil dan besar, urat menjadi tumbuhan yang merambat, dari kaki tumbuh buah-buahan. Diletakkannya Sri dan Kuvera di bawah kekuasaan Sanghyang Tunggal dalam keyakinan masyarakat Sunda masa Pajajaran menunjukkan suatu upaya masyarakat Sunda melokalkan ajaran yang berasal dari India tersebut dengan cara apapun masuknya: lewat kolonisasi oleh golongan Ksatrya maupun Waisya dengan politik perdagangan dan perkawinan dengan perempuan-perempuan lokal, Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 67 ataupun cara mengundang Brahmana-Brahmana dari India. (Poesponegoro dan Notosusanto 1993: 21-28). Satu sisi masyarakat lokal berusaha meniru penamaan dewa-dewi akan tetapi sekaligus berusaha mengubah konsep dari luar dengan konsep ketuhanan yang sudah dimiliki oleh mereka secara turun-temurun. Ayatrohaedi dan Saadah (1995: 43, 47) menulis perkembangan agama Sunda Wiwitan dan percampurannya dengan anasir Hindu-Buddha dalam naskah Sewakadarma (Sd) dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK). Menurut mereka naskah Sd lebih dulu ada dibanding SSKK, dengan bukti bahwa dalam Sd tidak membicarakan SSKK, sedangkan SSKK menyebut-nyebut naskah Sd. Hal ini penting untuk melihat bagaimana perkembangan keagamaan masyarakat Sunda. Naskah Sd dapat diketahui bahwa di kawasan Sunda pernah berkembang aliran Tantrayana dalam agama Buddha Mahayana. Ajaran itu memberikan gambaran tentang bercampurnya aliran Siwasidanta yang menganggap semua dewa adalah penjelmaan Siwa. Aliran agama ini kemudian bercampur dengan agama lokal tetapi dalam ajaran lokal konsep hyang tetap dibedakan dengan dewata, meskipun tempat tinggal dewata juga disebut kahyangan. Berdasarkan uraian naskah Sd Koropak 408 tersebut Ayatrohaedi dan Saadah berpendapat bahwa kedudukan hyang dan dewa masih seimbang. Sedangkan perkembangan terjadi pada naskah SSKK koropak 630, yaitu kedudukan dewata tersebut diletakkan di bawah hyang, yang diartikan oleh Ayatrohaedi dan Saadah (1995: 43), bahwa anasir agama tersebut sudah terdesak oleh anasir lokal. Ditinjau dari isi ajaran yang tersurat dari naskah SSKK, bahwa sasaran yang dituju bukan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 68 kelompok pendeta atau resi tetapi rakyat. Naskah tersebut menunjukkan pandangan yang berbeda dengan Sd tentang moksa. Moksa diperuntukkan bagi siapa saja, raja dan gembala punya kesempatan yang sama untuk mencapai tingkat moksa tergantung dari darmanya masing-masing atau tugas yang diembannya. Selain mengatakan bahwa anasir lokal lebih kuat, Ayatrohaedi dan Saadah menyiratkan bahwa agama lokal lebih egaliter dengan memberi kesempatan langsung berdarma sesuai dengan kehidupan masing-masing untuk mencapai moksa. Egaliter di sini lebih merujuk dalam peribadatan, bukan kepada rakyat mendapat kesempatan sama menjadi raja. Selain itu dibahas pula hal dari naskah SSKK tentang kemakmuran manusia di dunia sebagai bagian dari tuntutan darma. Moksa tersebut dapat dicapai bila kemakmuran di dunia juga tercapai. 3.2. Sinkretisasi Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam Di tanah Sunda agama Islam mulai dianut oleh masyarakat di bandar kerajaan sebelah Timur. (Cortesao, 1994: 197 dalam Ayatrohaedi, 1995: 65). Jalur perdagangan yang ramai di bandar pelabuhan Timur di Cirebon, yang terdiri dari pedagang-pedagang Parsi, Arab, Pasai, India, China, memungkinkan daerah ini sudah bersentuhan dengan agama Islam yang dibawa oleh pedagang-pedagang yang beragama Islam. Sampai dengan awal abad 16 menurut Atja (1967: 75-76 dalam Ayatrohaedi, 1995), pengaruh tersebut belum jauh masuk sampai ke pusat kerajaan Pakwan Pajajaran. Untuk itu Raja Pakwan Pajajaran, Surawisesa atau Guru Gantangan tahun 1512 dan 1521 (Danasamita, 2006: 118) menjalin Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 69 hubungan politik dengan Portugis untuk mempertahankan diri. Akan tetapi karena keterlambatan bala bantuan Portugis, pasukan Demak di bawah pimpinan Feletehan dengan bantuan dari Cirebon sudah dapat merebut Sunda Kelapa tahun 1527, dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Sejak saat itu Banten yang semula berada di bawah kekuasaan Pakwan Pajajaran memisahkan diri dan menjadi negara baru dengan raja pertama Feletehan. Sedangkan Pakwan Pajajaran dapat direbut pada tahun 1579. Dalam bidang keagamaan proses islamisasi masyarakat setelah Pajajaran dikuasai oleh kerajaan Islam dilakukan dengan pendirian pesantren-pesantren, melalui pengajaran ilmu tasawuf, jalur kesenian yang semuanya tidak memutus akar tradisi masyarakat yang sudah ada sebelumnya dari anasir agama dan budaya Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha. 3.2.1. Konsep Islam Pengaruh dari kasunanan Gunung Jati Cirebon Dalam sub-bab berikut akan dibahas konsep ajaran Islam yang dipengaruhi oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dan pertemuannya dengan berbagai anasir agama dan budaya yang telah ada sebelumnya. Sub-bab ini juga menunjukkan letak perbedaan konsep Islam dari asal agama tersebut diturunkan dengan Islam yang dipadukan dengan unsur lokal. Kasunanan merupakan wilayah yang dikuasai oleh kasultanan Islam. Di Cirebon wilayah tersebut didirikan oleh Syarif Hidayatullah dalam babad Cirebon yang dikutip oleh Ekadjati (2005: 53-57). Setelah Sunan Ampel wafat, Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah menggantikan kepemimpinan Sunan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 70 Ampel sebagai pemimpin Wali Songo dan Cirebon dijadikan pusat kegiatan penyebaran Islam para wali tersebut. Sunan Gunung Jati merupakan salah satu wali songo yang menganut Islam aliran pemikiran atau mahzab Syafi’i dan Suni.(Poesponegoro dan Notosusanto, 1993). Secara umum aliran Syafi’i mengajarkan konsepsi ketauhidan, yaitu keesaan Tuhan. Tuhan adalah Allah yang berdzat tunggal, tidak beranak, tidak pula diperanakkan. Pemeluk agama ini wajib mempercayai 5 hal yang disebut dengan jalan iman yang disebut ilmu aqidah antara lain meyakini Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir, Takdir. Sedangkan untuk menjadi seorang islam ada lima syarat yang harus dipenuhi antara lain, syahadat, shalat, puasa, sedekah, dan menunaikan haji bila mampu. (Ali 1998: 199-299) Pembeda aliran syafi’i dengan 3 aliran lain adalah pada persoalan sumber hukum dalam Islam. Dalam karyanya yang berjudul “Prinsip Perumusan Hukum Islam” yang dikutip oleh Agus Suprianto (2005: 54), Syafi’i mengantarkan hukum yang seimbang dengan menengahi dua aliran yang bertentangan antara pemikiran Hanafi yang rasional dan Maliki yang konvensional. Menurut pemikiran Syafi’i sumber hukum Islam itu selain Alquran dan Sunnah (tutur kata dan perbuatan yang dicontohkan Rasul Muhamad) masih terdapat dua sumber lagi yaitu Ijma dan Qiyas. Dua hukum yang pertama merupakan wahyu Tuhan yang bersifat absolute, sedang dua hukum yang lain merupakan penalaran akal sehingga bersifat relatif. Alquran merupakan sumber pokok pengetahuan dasar hukum. Suprianato (2005: 61) menjelaskan bagaimana Syafi’I mempunyai ketentuan-ketentuan jelas dalam mengkategorikan Alquran yaitu: Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 71 1. terdiri dari ketentuan-ketentuan hukum khusus seperti shalat, zakat, puasa, haji dan larangan-larangan lain yang bersifat nyata pada perbuatan tidak baik misalnya zina, minuman keras, mamakan darah, bangkai dan daging babi. 2. kewajiban-kewajiban tertentu yang perinciannya dijelaskan oleh sunah nabi seperti banyaknya shalat yang dikerjakan, nisab, batasan waktu zakat. 3. ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh nabi dan tidak dinyatakan oleh Alquran wajib ditaati. 4. ketentuan-ketentuan hukum yang bersifat ijtihad. Sedangkan klasifikasi syafi’i pada Alquran berdasarkan pendekatan rasional-empiris. Sunah meskipun absolut juga tetapi kehadirannya tetap harus dikritisi apakah benar-benar berasal dari perkataan dan perbuatan nabi atau bukan. Suatu pernyataan bisa menjadi tidak valid, bisa juga bersifat lemah pewartaannya. Meskipun Ijma menurut Syafi’i dalam Suprianto (2005:68 )merupakan consensus atau kesepakatan umat Islam terhadap pengetahuan Islam yang telah diketahui secara umum, bukan consensus yang jumlahnya tak terbatas. Kesepakan ini dapat berupa sumber hukum, karena dalam pendapat Syafi’i, umat atau orang banyak tak mungkin brsepakat dalam hal yang bertentangan dengan Alquran dan sunah nabi dan tak mungkin bersepakat melakukan kesalahan. Ijma sebagai salah satu sumber hukum berdasarkan akal tetapi menurut Syafi’i tetap membutuhkan syarat-syarat khusus agar tidak terjebak pada bid’ah. Qiyas atau penalaran analogis ditentang oleh Syafi’i bila dilakukan tanpa mengindahkan syarat. Syafi’i membatasi ruang lingkup Qiyas untuk menawarkan proses penalaran yang Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 72 sistematis dalam perumusan hukum dan mencoba menghilangkan kekacauan yang diakobatkan oleh penggunaan akal secara bebas. Keabsahan qiyas ditentukan oleh ksesuaiannya dengan sumber hukum-hukum sebelumnya. Suprianto membuat catatan kritis (2005: 101) bahwa pemikiran mahzab Syafi’i terlalu bercorak legal-formalistik sehingga meminggirkan aspek ajaran Islam yang lain seperti teologi, filsafat Islam dan tasawuf atau mistisisme. Bagaimana ajaran yang syarat dengan muatan hukum ini dapat diterima oleh masyarakat Nusantara waktu itu terutama di Jawa bagian Barat yang telah mempunyai produk hukum, keyakinan dan budayanya sendiri dari agama-agama Sunda Wiwitan, Hindu-Buddha. Tampaknya wali Sunan Gunung Jati mempunyai peran besar mengantarkan Islam mahzab Syafi’i tersebut dengan cara yang inklusif terhadap budaya masyarakat. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah seperti yang dikatakan oleh gurunya, Datuk Bahrul seperti yang dikisahkan Babad Cirebon dalam Ekadjati (2005: 117), telah menguasai ilmu Syariat, Hakikat, Tarekat dan Ma’rifat. Ilmu syariat merupakan ilmu hukum atau disebut juga fikh. Ilmu tersebut di antaranya dikembangkan oleh Syafi’i, mahzab Syafi’i, dan banyak dianut oleh masyarakat Indonesia selain aliran Sunni yang dikembangkan oleh Hasyim Assy’ari. Aliran Suni juga menekankan aspek hukum sebagai bentuk ketaatan beragama yang kemudian memunculkan gerakan pemurnian oleh kaum Wahabis atau Islam puritan. (Abdullah dalam Hidayat dan AF, 2006: 153 ) Kemampuan Syarif Hidayatullah dalam ilmu lain selain ilmu hukum membuka peluang pengembangan ajaran Islam yang tidak saja bersifat legalistik Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 73 pada mahzab Syafi’i atau Sunni. Keberadaannya yang ditetapkan sebagai salah satu wali yang diberi otoritas di daerah Jawa bagian Barat dengan nama Sunan Gunung Jati semakin membantu untuk membuka ajarannya yang berpengaruh pada masyarakat Sindangbarang sebagai masyarakat kemandalaan pada zaman Pakwan Pajajaran. Wali atau kewalian menurut al-Hakim al-Tirmidzi dalam Ismail (2005: 15) sangat kental dengan ajaran mistis atau tasawuf. Penyebar agama Islam di tanah Jawa dikenal sebagai wali 9, salah satunya Sunan Gunung Jati, yang menurut Ismail (2005: 3), mempunyai kelebihan-kelebihan dibanding penduduk biasa yang saat itu masih menganut agama pra Islam. Kelebihan tersebut diantaranya juga disebutkan oleh Ismail yang mengutip Soekmono (2000: 51) termasuk mempunyai ilmu gaib, kekuatan batin yang sangat berlebih. Dengan ilmunya tersebut wali mempunyai kedudukan tinggi di mata masyarakat. Ilmu mistis atau tasawuf mengajarkan tingkatan atau disebut juga maqam dalam perjalanan menuju Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi mengatakan tingkatan tersbut merupakan sesuatu yang tetap hasil dari usaha yang penuh kesungguhan. (Ismail, 2005: 113). Maqam atau tingkatan tersebut menggambarkan kedudukan, posisi, dan kedekatan wali pada Allah yang merupakan hasil perjuangan yang berat dalam sikap pengendalian diri, atau mengekang hawa nafsu. Maqam terdiri dari tujuh tingkatan antara lain al-tawbah (tobat), al-wara’ (kehati-hatian), al-zuhd (asketis), al-fakr (merasa butuh pada Allah), al-sabr (memiliki daya tahan dalam ketaatan pada Allah), al-tawakkul (bergantung pada Allah), dan al-ridla (rela terhadap Allah). Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 74 Edi S. Ekadjati meneliti babad Cirebon yang beirisi cerita tentang Syarif Hidayatullah sebagai salah satu wali dalam wali sembilan atau songo dan hubungannya terhadap penyebaran agama Islam di tanah Jawa terutama bagian Barat. Syarif Hidayatullah dalam cerita adalah putra dari Sultan Mesir yang menikahi cucu Sri Baduga, raja Pajajaran dengan ibu yang berasal dari Singapura. Babad Cirebon juga menceritakan tentang kegaiban atau cerita-cerita mistis seputar hidup Sunan Gunung Jati. Disebutkan bahwa Syarif Hidayatullah memutuskan untuk memenuhi dorongan hatinya bertemu dengan Hakikat Muhamad. Dan dalam pengembaraan batin tersebut ia bertemu dengan Nabi Muhamad yang mengatakan bahwa Syarif Hidayatullah telah menjadi manusia yang sempurna. (Ekadjati, 2005:27). 3.2.2. Sri dan Muhamad simbol Penyatuan dalam Sinkretisasi Agama Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dan Islam Bul kukus Doa Rosul, Nya menyan pancerning iman, Hatur salam panarima, Hatur sangu pangabakti, Jisim abdi bade ngamitkeun ieu Sri Pohaci Purnama Alam Sejati, Dumeh geus nepi kana bu kuning taun, Geus kena mangsaning bulan, Nu ngarumpang ngumbara di alam dunya Ayeuna geura marulih ka gedong Sri Ratna Inten Asap mengepul Menyertai doa untuk Rasul Kemenyan sebagai pancer iman, Menyampaikan salam atas perlindungannya, Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 75 Menyampaikan nasi sebagai tanda bakti, Kami akan menyimpan Sri Pohaci Purnama Alam Sejati, Karena sudah sampai tahunnya, Karena sudah sampai bulannya Yang mengembara di alam jagad ini, Sekarang marilah masuk kembali, Ke gedung “Sri Ratna Inten”’ (Adimihardja, 1992: 150-151) Doa semacam ini biasa dipanjatkan oleh tetua adat sembunyi-sembunyi dalam suatu upacara sakral sebelum esok diadakan upacara selametan Serentaun. Dalam Serentaun Rekonstruktif ritus mengirim doa seperti yang dilakukan oleh Kesepuhan di seputar Halimun, Banten Selatan, tidak diadakan lagi. Ritus mendoakan semalam suntuk yang dilakukan sebelum upacara pada masyarakat Sindangbarang adalah mendoakan air yang diambil dari 7 mata air suci yang besok digunakan dalam upacara. Doa-doa tersebut sejak agama Islam masuk banyak diubah dalam doa agama Islam yang meminta kepada Allah SWT, dan puji-pujian terhadap rasul Muhamad. Sri masih disebut sebagai kata ganti padi. Sebelum Serentaun Rekonstruktif nama Sri Pohaci dalam tradisi masyarakat sangat eksis tidak sekedar simbol yang yang tanpa makna dan hanya menjadi kata ganti padi. Sri Pohaci masih ada setelah penyebutan terhadap rasul Muhamad yang disertai dengan pembakaran kemenyan yang asapnya dalam keyakinan agama sebelum Islam dapat mengantar pemujaan ke dunia atas. Kehadiran ajaran Islam yang meyakini adanya ucapan terima kasih pada Allah dalam bentuk pemujaan yang dilakukan dengan mimikri/meniru atau tidak meninggalkan pemujaan lama sebenarnya telah menjadikan ajaran Islam yang Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 76 semula dari Arab mahzab Syafi’i dan Suni bercorak legalistik ini menjadi ambivalen, menjauhi konteks masyarakat Arab meskipun masih disebut Islam. Tradisi pemujaan terhadap Sri dalam Serentaun tentu tidak ada dalam pemikiran mahzab Syafi’i dan akan dianggap bid’ah bahkan syirik. Tetapi dalam kerangka ajaran Islam yang metodenya dikembangkan oleh Sunan Gunung Jati berdasarkan pendekatan ilmu lain terutama mistisisme atau dalam Islam yang disebut tasawuf maka masyarakat mudah menerima ajaran baru yang dibawanya. Ketika metodologi itu dibawa ke Sindangbarang baik oleh santri yang pernah belajar dari Cirebon, yaitu Jamaka tahun 1700-an, maupun santri dari perguruan milik Raden Rahmat, paman Syarif Hidayatullah atau kakak Rara Santang, budaya baru kembali lahir menjadi Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha-Islam. Sinkretisasi agama-agama tersebut tidak menghilangkan salah satu tradisi dari agama lama. Islam sebagai agama yang termuda di dalam masyarakat, yang telah dianut oleh mayoritas penduduk tetap berusaha mempetahankan nilai tradisi sebelumnya oleh pemuka-pemuka agama yang berpengaruh dalam masyarakat seperti kyai. Sebagai contoh dalam upacara Serentaun yang pada masa pemerintahan negara Pakwan Pajajaran disebut Kuverabhakti selalu diadakan pada penanggalan Sunda. Ketua Adat masyarakat Sindangbarang ketika diwawancarai menyebut, Serentaun tersebut dulu diadakan untuk menyambut awal tahun yang jatuh pada mangsa bakti, setelah mangsa guru habis pada penanggalan Sunda. Dengan masuknya Islam upacara tersebut dipindahkan pengadaannya, menggunakan perhitungan kalender Islam, dengan alasan melakukan syukuran memperingati datangnya tahun baru hijrah. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Selain itu 77 pelafalan doa-doa juga lebih banyak menggunakan doa agama Islam meskipun tidak menghilangkan penyebutan Sri. Sedangkan tradisi lampau yang mengandung anasir budaya dari konsepsi keagamaan Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha juga tetap dipertahankan keberadaannya oleh kalangan tradisi meskipun disusupkan dalam Islam lewat bentuk-bentuk mistisisme sebagai corak keagamaan yang serupa antara ketiga agama pra-Islam dengan mistisisme Islam. Mistisisme yang condong ke aliran panteis, yang memuliakan Tuhan dengan bentuk pengantropomorfisan, diyakini sebagai bagian dari ajaran tasawuf Islam yang berdasarkan konsep Ibnu Arabi,2 meskipun belum ada bukti siapa yang membawa ajaran ini, apakah Sunan Gunung Jati, atau penganut tasawuf lain. Atau ajaran tersebut merupakan tradisi dari agama-agama pra-Islam. Pengantropomorfisan tersebut tidak saja digambarkan pada diri manusia yang segala perbuatan baiknya adalah cerminan sifat Tuhan, akan tetapi penggambaran itu juga diwujudkan dalam bentuk selain manusia seperti padi, mahluk yang merupakan bagian dari kasih Tuhan untuk manusia sehingga perlu ditanam, dirawat, dipanen dengan cara yang baik sebagai bentuk ucapan terima kasih yang bersifat vertikal atau pemujaan pada Tuhan. Dalam doa yang disebut seperti “Kami akan menyimpan Sri Pohaci,/Purnama Alam Sejati,/ Karena sudah sampai tahunnya, / Karena sudah sampai bulannya/ Yang mengembara di alam jagad ini, / Sekarang marilah masuk kembali, / Ke gedung “Sri Ratna Inten”. Sri merupakan pancaran ruh Tuhan dalam bentuk padi yang 2 Lihat Ismail 2005: 153. Tuhan menampakkan diri pada semua wujud. Tuhan menciptakan alam agar manusia dapat melihat diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya melalui alam. Alam adalah cermin bagi Tuhan. Kegiatan penciptaan ini dilakukan Tuhan dengan tajjali, cara muculnya yang banyak dari Yang Satu tanpa berakibat Yang Satu tersebut menjadi banyak. Paham ini disebut wahdatul wujud yang kemudian menjadi panteisme. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 78 pada saatnya dikembalikan pada dunia atas, begitu ajaran agama-agama pra Islam menyebut, atau kembali pada zat Tuhan yang satu dengan disimbolkan pada proses memasukkan padi tersebut dalam lumbung yang bernama Ratna Inten. Sedangkan bentuk ucapan terima kasih yang bersifat horizontal adalah kepedulian pada komunitas sosial, ketika padi sebagai hasil panen yang disimpan dalam lumbung tersebut digunakan bersama pada saat ada masyarakat yang membutuhkan misalnya saat terjadi bencana atau gagal panen. Kalangan penganut tradisi juga masih mewarisi konsep manusia utama yang dianggap paling suci yang akan menjadi perantara dalam hubungan masyarakat dengan Tuhan. Konsep itu ada sejak keberadaan agama lokal dalam kehidupan yang masih berkelompok dengan istilah primus intepares, pada masa agama Hindu-Buddha yaitu kalangan pendeta Brahmana, hingga pada masa Islam yang disebut wali, kyai dan alim ulama. Pada upacara Serentaun terdapat istilah ketua adat sebagai orang yang paling dianggap suci dan mampu mengantarkan doa untuk keselamatan masyarakat. Pada Serentaun Rekonstruktif di Sindangbarang istilah pupuhu atau ketua adat tersebut masih digunakan meskipun dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi disakralkan seperti pada masa lalu. Serentaun Rekonstruktif tetap dipertimbangkan sebagai suatu produk budaya yang berakar dari sistem keyakinan masyarakat yang akan menjadi landasan berpijak menuju persoalan kepariwisataan. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 79 BAB IV HIBRIDA LOKAL-GLOBAL PADA POLITIK KOMODIFIKASI BUDAYA SERENTAUN REKONSTRUKTIF, UPACARA TAHUNAN MASYARAKAT SUNDA, DI SINDANGBARANG KABUPATEN BOGOR Industri pariwisata merupakan industri yang didominasi oleh standar dari pasar Barat dengan melihat budaya yang lain sebagai budaya yang berbeda, unik, eksotik, dibanding budaya dalam kehidupan turis sehari-hari. Globalisasi telah menguniversalkan cara melihat dan proses mengonsumsi budaya yang lain di bawah politik pasar modal. Akan tetapi ruang global ini juga dimanfaatkan oleh lokalitas untuk mengekspresikan budayanya, menunjukkan eksistensi budayanya. Lokalitas yang partikular dan Global yang universal keduanya bertemu dalam ruang ketiga yang tidak menjadi keduanya. 4.1. Kontestasi Elit Lokal dalam Serentaun Rekonstruktif Industri pariwisata memotivasi penyusunan ulang upacara Serentaun yang semula sakral menjadi upacara yang superfisial. Perekonstruksian tersebut sejalan dengan upaya menemukan kembali sejarah Sunda di masa lampau, masa kerajaan Pakwan Pajajaran dan budaya Sunda di wilayah Bogor yang dulu pernah menjadi pusat kerajaan Pakwan Pajajaran. Akan tetapi dalam prosesnya politik lokalitas yang ingin memanfaatkan ruang global lewat pariwisata ini masih menghadapi berbagai benturan sesama elit lokal, meskipun kemudian menghasilkan kesepakatankesepakatan atau negosiasi. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 80 4.1.1. Kontestasi Elit Tradisi dan Elit Agama Pembaharu Ketika upacara Serentaun kembali diselenggarakan secara besar-besaran oleh elit tradisi, kalangan masyarakat yang diprakarsai oleh elit agama Islam pembaharu tidak menyetujui perhelatan tersebut. Kalangan elit agama resisten terhadap Serentaun Rekonstruktif, karena upaya itu bertujuan melestarikan tradisi leluhur yang menurut mereka tidak sesuai dengan nilai ajaran Islam. Kalangan elit agama Islam pembaharu menyelenggarakan lagi upacara Sedekah Bumi dengan cara yang menurut mereka lebih sesuai dengan ajaran hukum Islam. Beberapa ritus yang tidak disepakati dalam Serentaun Rekonstruktif yang bagi kalangan elit agama Islam pembaharu akan merusak ajaran Islam adalah penguburan kepala kerbau setelah dipotong, penggunaan dupa ketika mengadakan upacara meskipun membaca doa-doa dalam agama Islam sebagai pengganti mantera, mengadakan ziarah ke makam leluhur, dan kepercayaan terhadap Dewi Sri yang memberi berkah terhadap tanaman. Elit agama Islam pembaharu sebelum diadakan kembali Serentaun Rekonstruktif berusaha merepresentasikan budayanya yang berbeda dengan mengadakan upacara yang selama ini bagi masyarakat dianggap sebagai upacara Sedekah Bumi. Upacara tersebut tidak disertai dengan ritus selama berhari-hari, dan diselenggarakan dalam tata cara sederhana yang tidak menggunakan dupa, hanya pembacaan doa-doa, pengajian ditutup dengan pembagian kue-kue. Negosiasi yang dilakukan oleh elit tradisi terhadap elit agama Islam pembaharu dibuktikan dengan kesungguhannya untuk memperkenalkan budaya Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 81 Sunda dalam kesempatan pariwisata yang dijanjikan di masa depan akan memberi kesejahteraan menegosiasikan bagi masyarakat. kepentingan Elit ajaran agama Islam Islam yang pembaharu diyakini benar, berusaha berusaha memasukkan wacana budayanya, dengan cara sebagian bergabung dengan elit tradisi. Elit agama Islam pembaharu memberi catatan untuk menghindari perbuatan syirik dalam Serentaun Rekonstruktif pada ritus penyembelihan kerbau bagian kepala tidak dikuburkan. Penguburan bagian-bagian dari hewan kurban tersebut hanya pada sesuatu yang tidak dapat lagi dimakan oleh manusia. Beberapa poin dalam ritus Serentaun Rekonstruktif, kalangan agama Islam pembaharu belum dapat mengubah tradisi tersebut, karena ada kalangan elit agama pro-tradisi yang membenarkan ritus tersebut. 4.1.2. Kontestasi Elit Agama Islam Pembaharu dan Elit Agama Pro Tradisi Isu penggalian kembali budaya masa lampau Sunda sebagai wilayah bekas kerajaan Pakwan Pajajaran membuat kalangan elit agama memperdebatkan kembali metodologi penyampaian ajaran Islam di kalangan masyarakat. Elit agama Islam protradisi berusaha mempertahankan metodologi lama yang diterapkan oleh Sunan Gunung Jati dan penyebar agama Islam di Sindangbarang di masa-masa awal kejatuhan Pakwan Pajajaran. Elit agama pro-tradisi dalam menyampaikan ajaran Islam masuk secara inklusif dengan tradisi masyarakat. Salah satu inklusivitas metodologi penyebar agama Islam saat itu mengadakan perubahan penanggalan dan doa-doa dalam ritus upacara Serentaun. Serentaun yang Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 82 awalnya dilaksanakan berdasarkan agama Sunda Wiwitan-Hindu-Buddha dengan penanggalan Sunda pada tutup tahun dan menjelang tahun baru, setelah Islam masuk tetap diadakan dengan penanggalan yang berubah. Serentaun menjadi upacara memperingati tahun baru Islam dan doa-doa Islam mengganti mantera-mantera agama-agama sebelumnya. Inklusivitas ini yang ingin dipertahankan oleh kalangan elit agama pro-tradisi. Kontestasi wacana antara elit agama pro-tradisi dengan elit agama Islam pembaharu yang ingin mengubah tradisi masyarakat yang masih syirik dan bidah1menurut keyakinan mereka, membuka kedinamisan budaya. Serentaun Rekontruktif tetap diadakan dan negosiasi yang dilakukan oleh para elit agama Islam Pembaharu pada satu ritus yang berkenaan dengan penguburan kepala kerbau dan desakralisasi Dewi Sri sebatas penyebutan superfisial untuk tujuan pariwisata. Beberapa peralatan ritus upacara yang masih menjadi perdebatan adalah penggunaan dupa dan ritus ziarah ke makam leluhur. Bagian ritus yang sulit dihilangkan ini membuat elit agama Islam pembaharu tetap meneruskan wacana tandingan dengan suatu bentuk upacara Sedekah Bumi yang lain yang penyelengaraannya tidak menggunakan dupa, sebatas pengajian lalu membagikan kue tanpa upacara yang panjang berhari-hari dan disertai arak-arakan. 1 Syirik yaitu suatu perbuatan menyekutukan Tuhan yang dalam ajaran agama Islam dilarang. Tuhan bagi agama Islam adalah satu, Allah YME, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, seperti yang tercantum dalam surat Al-Alaq. Bidah dalam ajaran Islam masih menjadi perdebatan. (Lihat bab 3). Bidah yaitu perbuatan menambahkan sesuatu yang tidak diajarkan dalam Islam. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 83 4.1.3. Serentaun Rekonstruktif Menuju Global dalam Kooptasi Elit Pemerintah Daerah Pada Pembangunan Pariwisata Program kebudayaan daerah sebagai aset pariwisata pada era Suharto telah dilanjutkan pada era desentralisasi. Setiap daerah berusaha menggali, menemukan kembali tradisi khas daerah untuk tujuan pariwisata. Wacana pariwisata terinternalisasi dalam masyarakat, menjadi dengungan (buzzword), sekaligus harapan pada tingginya apresiasi masyarakat luas nasional maupun global terhadap kebudayaan mereka sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan. Komodifikasi budaya rakyat Serentaun Rekonstruktif di Sindangbarang Kabupaten Bogor tidak terlepas dari proyek pembangunan pariwisata nasional yang diturunkan pada pemerintah daerah. Di Sindangbarang Serentaun yang sudah ada sejak zaman Pakwan Pajajaran, perhelatannya kembali secara besar-besaran sejak elit tradisi memprakasai pengadaan upacara tersebut dan mendatangkan banyak pengunjung tahun 2005. Pemerintah daerah Kabupaten Bogor melihat fenomena tersebut sebagai potensi yang dapat mendatangkan pendapatan. Pariwisata sebagai bagian dari industri internasional menjadi satu sistem yang menghibridakan kebudayaan-kebudayaan lokal dan global. Kebudayaan yang telah dikomodifikasi dalam pasar telah berubah dalam suatu pergerakan politik ekonomi di bawah program-program organisasi kapitalisme global. Posisi kebudayaan lokal memanfaatkan arus globalisasi untuk menyatakan diri di samping menginginkan keuntungan ekonomi. Antara ekspresi kebudayaan lokal, apresiasi masyarakat global, Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 84 terciptanya sarana dan prasarana, menyebabkan hubungan timbal balik yang kompleks. 4.2 Hibrida Lokal-Global Serentaun Rekonstruktif Pada Industri Pariwisata Global Pada sub-bab ini akan dijelaskan keterkaitan Serentaun Rekonstruktif sebagai salah satu produk pariwisata di Kabupaten Bogor dengan proyek pariwisata berskala global melalui pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang program tersebut. Sub-bab ini juga menjelaskan bagaimana signifikansi pariwisata menghibridakan dua kutub lokal-global menjadi tidak keduanya. 4.2.1. Teknologi Internet Menjembatani Lokal-Global Beberapa situs internet memberitakan pemuatan gambar-gambar tentang Serentaun Rekonstruktif di Sindangbarang. Situs-situs tersebut ada yang milik pribadi, milik media online, dan milik pemerintah daerah. Milik pribadi dan media online lebih variatif dengan fitur-fitur penarasian yang ekspresif tentang Kampung Budaya Sindangbarang dan upacara Serentaun Rekonstruktif dengan memuat fotofoto yang dibuat oleh pengunjung yang mengapresiasi upacara tersebut. Situs dalam internet menjadi penanda berpindahnya ruang lokalitas yang semula hanya lokalitas secara harfiah menjadi lokalitas imajiner. Lokalitas secara geografis Sindangbarang sebagai masyarakat transisi yang sehari-harinya bertemu secara langsung bertatapan muka, terikat kekeluargaan yang kuat, jarang berpindah Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 85 ke wilayah lain, menjadi potret masyarakat Sindangbarang yang dapat dilihat orang lain dari jarak yang telah kabur. Masuknya lokalitas secara geografis ini dalam ruang global teknologi informasi menjadikan keberadaan Sindangbarang yang kampung dalam posisi hibrida. Kecanggihan media informasi mengkonstruksi Serentaun dan Kampung Budaya Sindangbarang di lain pihak membenarkan dominasi pasar yang mengkonstruksi orang seakan berkebudayaan lain dalam melihat budaya Sunda di Sindangbarang. Nostalgia yang ditawarkan pada brosur wisata ke Sindangbarang bermakna nostalgia terhadap keasrian Kampung Budaya yang didirikan di tengah persawahan, kaki Gunung Salak, dan lain-lain yang dianggap eksotik oleh kalangan yang meyakini keeksotikan budaya untuk dikonsumsi. Keeksotikan adalah cara melihat diri (self) terhadap yang lain (other), yang berbeda dengan dunia yang melihat. Kebudayaan tradisional yang direpresentasikan dalam situs internet memenuhi selera pasar masyarakat modern yang mengaggap citra tradisional dalam brosur tersebut sebagai sesuatu yang beda atau yang lain dari kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Konstruksi industri pariwisata yang menanamkan citra tradisional dan modern menghasilkan keuntungan ekonomi yang dapat dilipatgandakan. Henry Levebre (1994), mengatakan citra masyarakat modern adalah kerja profesional, free time dan compulsive time2. Free time digunakan oleh 2 Lihat Levebre (1994), yang menggambarkan rutinitas sehari-hari masyarakat modern yang dibentuk sebagai masyarakat pekerja di bawah kendali industri. Profesionalitas dibangun berdasarkan birokrasi Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 86 masyarakat industri modern sebagai waktu untuk mengisi diri dengan kesenangan atau istirahat yang tidak juga lepas dari kontrol industri. Waktu istirahat dikomodifikasi dengan tawaran-tawaran kesenangan pada paket-paket wisata termasuk wisata budaya tradisional yang di dalamnya mengangkat pola kehidupan berbeda. 4.2.2. Politik Global Dalam Serentaun Rekonstruktif Melalui Transnasionalisasi3 Modal Kecenderungan pemerintah daerah pada kapitalisasi budaya yang dimulai sejak adanya politik bantuan dari PBB melalui UNDP, menurut Dahles, yang mengutip Gunawan (1977: 48) dan diturunkan ke propinsi-propinsi di seluruh Indonesia menandai masuknya perdagangan bebas ke ruang budaya sebagai bagian yang dikonsepkan Weber dengan tujuan efisiensi yang melahirkan spesifikasi kerja. Compulsive Time merupakan waktu untuk melakukan pekerjaan berulang-ulang, sedangkan Free Time merupakan waktu istirahat disela-sela waktu kerja misalnya hari Minggu atau cuti yang diberikan dalam masa kerja. 3 Korporasi transnasional didefinisikan oleh Masao Miyoshi (1996: 86-87) sebagai istilah yang dapat ditukar-tukar dengan multinasional, sebab jika istilah keduanya dibedakan, tetap dua nama tersebut pengertiannya lebih kurang pada tingkat alienasi asal negara-negara pada bisnis internasional. Miyoshi menjelaskan perdagangan internasional secara bertahap, pertama, perusahaan-perusahaan domestik secara sederhana menangani aktivitas ekspor-impor yang berhubungan dengan pedagang lokal. Kemudian perusahaan mengambil alih distribusi ke luar negeri dan akhirnya, perusahaan transnasional mendenasionalisasi operasi perusahaan dengan memindahkan keseluruhan sistem bisnis termasuk modal, sumber daya manusia, riset dan pengembangan. Hubungan negara-negara ASEAN dengan beberapa organisasi negara-negara lain menurut Miyoshi adalah salah satu bentuk transnasional. Operasional korporasi transnasional terdiri dari karyawa-karyawan yang beragam etnis dan negara yang dituntut lebih loyal kepada perusahaan daripada negara atau etnis. Miyoshi mengemukakan bahwa sektor-sektor yang melibatkan industri transnasional salah satunya yang terbesar adalah pariwisata dan hiburan. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 87 dari politik ekonomi produksi-konsumsi. Sektor-sektor pariwisata yang kemudian diserahkan kepada sektor swasta dengan melakukan deregulasi terhadap aktivitas ekspor, seperti potongan tarif, insentif pajak, dan kemudahan prosedur ekspor telah membuka gerbang untuk persaingan industri budaya. Beberapa korporasi telah masuk dalam pembangunan pariwisata di Kabupaten Bogor yang berhubungan dengan sarana dan prasarana pariwisata. Sektor pariwisata bekerja sama dengan sektor perhubungan, menangani pembangunan jalan dan angkutan, juga memperkuat keamanan daerah, pelayanan medis, serta suplai air bersih. Sedangkan yang berhubungan langsung adalah penyediaan penginapanpenginapan dari hotel berbintang hingga wisma-wisma termasuk rumah-rumah tradisional dalam eko-wisata, tempat-tempat makan, dan sarana-sarana hiburan lain seperti sarana olahraga, kesenian, dan kegiatan-kegiatan rekreasional lain yang menawarkan paket wisata pada waktu luang (leisure time). Pendapatan dari sektor pariwisata di Kabupaten Bogor membuat banyak pengusaha mempertimbangkan keuntungan yang diperoleh dari sektor ini. Jumlah objek pariwisata sebanyaak 50 objek di Kabupaten Bogor, yang terdiri dari wisata alam, sejarah, dan budaya , 13 obyek dikelola oleh swasta, sisanya BUMN seperti Perhutani untuk wisata wana, PTP Nusantara untuk wisata agro, dan Pemda. Pengusaha-pengusaha lain yang terlibat dalam kepariwisataan dan telah mendapat ijin antara lain usaha penyedia jasa tour dan travel, sarana olahraga dari billiar, golf, hingga sirkuit , hall untuk olahraga in door, dan usaha jasa di bidang kesehatan, kecantikan, panti pijat, restoran, rumah makan dan perhotelan. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 88 Serentaun rekonstruktif sebagai produk yang dikomodifikasi menjadi representasi budaya lokal yang masuk ke lingkup global dengan jumlah pengapresiasi yang meningkat. Tahun 2007 menurut data dari dinas pariwisata Kabupaten Bogor, di Sindangbarang pengunjung yang datang adalah 297 wisatawan Nusantara, 6.600 wisatawan asing. Anggaran dana bagi pariwisata di Sindangbarang didapat dari pemerintah daerah tingkat II dan Propinsi dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembangunan pariwisata pada lingkup kecil di Sindangbarang merupakan bagian dari pembangunan pariwisata dalam sekup besar di tingkat daerah Jawa Barat dan nasional. Pada tingkat nasional kebijakan-kebijakan pariwisata dibuat berdasarkan kerjasama yang terangkum dalam perjanjian-perjanjian antar negara ASEAN, dan organisasi antar negara lain terutama yang berkenaan dengan dana bantuan pembangunan. Perjanjian-perjanjian tersebut menghasilkan beberapa kerja sama bidang perdagangan pariwisata. Di ASEAN ada beberapa organisasi antara lain ASEAN Tourism Agreement (ATA) yang mendukung program liberalisasi perdagangan dan jasa di negara-negara Asia Tenggara dan ASEAN Tourism Forum (ATF) yang mengurusi promosi wisata antar dan intra ASEAN serta membangun pusat-pusat pariwisata di pasar internasional. (www. Deplu.go.id, 22 Juni 2008). Pembangunan pariwisata yang melibatkan berbagai organisasi dunia dalam bentuk pinjaman modal dan investasi lembaga keuangan dunia termasuk dalam pengertian korporasi transnasional (TNCs). Globalisasi melalui perjanjian liberalisasi perdagangan menekan pemerintah nasional sehingga memunculkan UUPMA 2007 yang memudahkan syarat-syarat Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 89 masuknya modal asing. Sikap pemerintah nasional dengan UUPMA 2007 yang satu sisi membuka kemudahan investasi asing tetapi sekaligus ingin meguatkan keberadaan usaha kecil-menengah sebenarnya menjadi berstandar ganda, dan tidak memihak kesejahteraan rakyat, meskipun keluarnya UUPMA terbaru tersebut dapat dimengerti sebagai bentuk tekanan pasar internasional untuk menerjang batas-batas negara. Posisi negara yang lemah dihadapan pasar ini membuat kebijakan pemerintah pusat melalui UUPMA 2007 lebih berat pada penguasaan sektor-sektor pariwisata di tangan pengusaha asing. Proyek-proyek strategis seperti bisnis travels yang menyediakan paket-paket tour dari tiket pesawat, hingga guide, pengelola hotel berbintang, sarana olahraga seperti golf, bilyar, dan tempat-tempat hiburan seperti panti pijat, karaoke, klub malam dan lain-lain tetap dikuasai oleh kalangan pemodal besar yang didanai oleh lembaga keuangan internasional seperti TNCs. Pada masa otonomi daerah, ketika modal asing dapat langsung bersentuhan dengan daerah, hal yang paling membahayakan adalah keberadaan negara-bangsa. PMA melalui TNCs dapat menjadi imperialis baru yang memanfaatkan perbedaan etnis, suku, agama, dan aliran agama di daerah-daerah sama seperti pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan daerah-daerah di wilayah Nusantara pra-Indonesia. World Trade Tourism yang bekerja sama dengan UNDP, sebagai badan internasional, mengkonstruksi pariwisata dengan aturan-aturan keaslian, keeksotikan budaya yang dapat dikonsumsi oleh penikmat berkebudayaan lain. Keuntungan dari keeksotikan budaya ini menjadi perebutan bangsa-bangsa satu rumpun, pertarungan daerah-daerah satu bangsa mengklaim siapa yang lebih asli dengan kebudayaan apa. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 90 4.2.3 Politik Lokalitas Menghadapi Globalisasi Budaya lokal sebagai aset pembangunan pariwisata yang pernah menjadi salah satu andalan dalam pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1990-an merupakan hibridisasi budaya lokal yang harusnya di bawah identitas nasional Indonesia pada perputaran politik ekonomi global. Pada masa pasca-reformasi lokalitas bermunculan di tingkat global tanpa ada pengendalian dari pemerintah nasional. Pengendalian kebudayaan lokal ini terjadi pada masa Orde Baru ketika masih memegang kendali pembangunan terpusat di seluruh sektor. Penelitian Dahles (2000) membuktikan bahwa pembangunan pariwisata adalah paket penjualan kebudayaan daerah-daerah di bawah Indonesia sekaligus bentuk pengontrolan kebudayaan-kebudayaan lokal. Satu sisi kebudayaan daerah mendapat perlindungan dari percampuran dengan kebudayaan asing, tapi di sisi lain proyek modernisasi melalui pembangunan termasuk pariwisata menghegemoni kebudayaan lokal agar tidak terlalu kuat. Pembangunan pariwisata budaya pada konferensi internasional parwisata budaya dan masyarakat lokal di Yogyakarta tahun 2006 bertujuan mengurangi kemiskinan masyarakat lokal, begitu menurut menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, dengan cara mengekplorasi tantangan dan potensi wisata budaya untuk menciptakan lapangan kerja. Menteri tersebut juga mencontohkan Yogyakarta. Padahal sebenarnya keberhasilan tersebut bukan keberhasilan program pemerintah masa Orde Baru. Pembangunan wisata budaya di Yogyakarta berhasil menurut Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 91 Dahles (2000) dan Dahles (1999) disebabkan oleh tumbuh pesatnya sektor-sektor informal yang awalnya justru tidak diperhitungkan. Kehadiran “pariwisata jalanan” (Streetside Tourism) dan pariwisata “kampung” (Kampung Tourism) membangun dua dunia, menguasai ranah terpisah yang diorganisasi oleh institusi yang berbeda untuk turis dengan kategori dan kebutuhan akan fasilitas yang berbeda misalnya turis-turis yang memilih untuk menjadi backpacker atau hippy traveller. Pada kasus di Yogyakarta tidak semua turis menginginkan sarana mewah dengan perlakuan khusus seperti yang diduga pemerintah. Pertama dengan alasan menghemat biaya, kedua ingin mendapatkan sesuatu yang tidak biasa, yang tidak ditawarkan oleh biro-biro perjalanan, seperti kehidupan masyarakat di wilayah-wilayah kampung dalam gang sempit. Kemunculan usaha-usaha kecil dari masyarakat yang menyediakan tempat menginap dengan fasilitas sederhana, makanan tradisional, guide-guide kampung yang tidak berlisensi disebabkan oleh dominasi pembangunan pariwisata yang diperuntukkan bagi kalangan bermodal seperti hotel Ambarukmo, Sheraton, dan lainlain. Politik kebudayaan era Suharto dengan menggunakan spirit Bhinika Tunggal Ika menjadikan budaya Indonesia sebagai aset keunikan yang dapat dijual sekaligus membangun citra Indonesia sebagai sebuah bangsa yang utuh terintegrasi meskipun memiliki begitu banyak perbedaan-perbedaan dari berbagai suku bangsa dan agama. Citra itu dimuseumkan dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, menjadi kebanggaan yang dimitoskan seakan kebudayaan Indonesia dari berbagai daerah merupakan sesuatu yang baku dan statis. Pengenalan puncak-puncak budaya daerah Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 92 sebagai budaya terbaik Indonesia pada masa Suharto meminggirkan budaya-budaya lain. Hampir di setiap daerah hanya budaya terbaik yang diakui sebagai budaya Indonesia, seperti budaya terbaik yang sering disebut Bali dan Yogyakarta. Pada akhirnya dalam daerah-daerah itu juga memunculkan budaya-budaya tandingan disadari atau tidak disadari. Penelitian Dahles (2000) melihat upaya penertiban wilayah tujuan wisata dalam pembangunan fasilitas-fasilitas seperti hotel, jalur-jalur perdagangan, jalur-jalur wisata, guide, di daerah Yogyakarta, tidak mampu membendung derasnya guide liar, pedagang-pedagang kaki lima dan kendaraankendaraan tertentu yang justru menjadi realitas tersendiri dalam masyarakat yang budayanya diadiluhungkan. Kebudayaan pinggir biasanya kebudayaan rakyat yang tumbuh dari kebiasaan rakyat sehari-hari. Rakyat kebanyakan juga mempunyai kebiasaan tertentu seperti upacara yang biayanya ditanggung bersama. Pada masa sekarang baru terlihat berbagai macam upacara yang keberadaanya ditonjolkan untuk tujuan pariwisata. Hampir semua rakyat kalangan bawah mempunyai perhelatan upacara. Nelayan, petani bahkan petani tebu memiliki upacara tersendiri. Salah satu upacara dari kebudayaaan masyarakat agraris di Jawa Barat adalah Serentaun. Upacara itu eksis di masyarakat hampir selama petani itu sendiri ada, bahkan ketika upacara Serentaun di Cigugur, Kabupaten Kuningan, dilarang pada zaman Suharto, karena kepercayaan di luar 5 agama tidak diakui, keberadaan budaya tersebut tidak musnah. Ia terus eksis dalam bentuk yang lain yaitu agama Katolik. Mempertahankan keberadaan dengan cara masuk ke dalam agama besar tersebut menarik minat pengunjung untuk Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 93 mengapresiasi. Begitu juga Serentaun di Ciptagelar, Banten Girang, Banten Selatan, pada saat pengunjung mulai berdatangan pemerintah daerah mulai memanfaatkan adat budaya masyarakat setempat demi tujuan pariwisata. Penggalian kembali sejarah Sindangbarang, rekonstruksi Serentaun bagian dari revitalisasi kebudayaan setempat juga menjadi alat bermain dalam arena pembangunan pariwisata dunia yang tak bisa ditolak. Desakralisasi budaya masyarakat menjadi salah satu produk yang dikalkulasikan dengan jumlah angka orang yang mengapresiasi, penambahan atau pengurangan atraksi seni, dikontrol sesuai standar organisasi seperti World Tourism Organization Revitalisasi budaya Sunda di Sindangbarang dengan penanda Serentaun Rekonstruktif meskipun dimotivasi pariwisata, mempunyai harapan dapat menemukan kembali kearifan lokal seperti yang masih berlaku pada masyarakat di Ciptagelar. Kearifan lokal merupakan khazanah kekayaan budaya masyarakat yang sekarang ini diangkat sebagai bagian dari alternatif pemecahan masalah lingkungan dan sosial. Jika pada masa lalu dalam sejarah Serentaun, sinkretisme Sunda WiwitanHindu-Buddha dapat dilakukan masyarakat Sunda kuna karena adanya motif yang sama pada sistem pemujaan terhadap Dewi Sri4 dan diyakini dapat menyejahterakan masyarakat setempat. 4 Pemujaan pada dewi kesuburan ada hampir di seluruh tempat yang mata pencarian penduduknya berbasiskan pertanian. James (1959: 168 ) dalam Santiko (1977: 295) mengemukakan bahwa patung dewi ibu pada masyarakat agraris dari tanah liat bakar yang bentuknya hampir sama dengan patung “Venus” dijumpai mulai dari Asia Minor sampai Lembah sungai Sindhu, Mesir, Pulau Kreta dan sebagainya. Upacara Seren Taun ini juga sudah dilakukan sejak masa kerajaan Pajajaran bahkan dimungkinkan sebelum pra-Hindu-Buddha dengan inti pemujaan terhadap dewi kesuburan. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 94 Pemujaan dewa-dewa yang semula pada agama lokal tidak mengenal nama dewa menjadi ada dengan meniru dewa-dewa dalam agama Hindu Buddha. Dewa yang dipuja dalam Serentaun adalah Sri dan Kuvera. Pemujaan dewa-dewa ini tidak sekedar teologis saja tapi berimplikasi pada praktik keseharian penyimpanan padipadi yang dianggap Kuvera-Sri ini pada lumbung. Lumbung ini bagian dari kehidupan sosial yang menunjukkan berjalannya perekonomian masyarakat demi kesejahteraan bersama. Lumbung ini pada masa lalu terbuat dari bahan-bahan alam yang ada pada masyarakat setempat agar dapat melindungi padi sebelum dimakan dalam waktu berbulan-bulan. Padi-padi yang disimpan dalam lumbung dapat digunakan sewaktu-waktu ketika datang masa paceklik, atau dipinjamkan pada siapa saja yang membutuhkan. Simbolisasi memulangkan padi—Sri dan Kuvera--ke alam atas dengan memasukkan ke lumbung dalam ritus Serentaun bermakna kehidupan alam atas tempat manusia kembali dapat ditempuh dengan menjalankan kehidupan sosial kepada sesama manusia di dunia, yaitu menjalankan sistem perekonomian yang adil dan menciptakan kesejahteraan bersama. Tetapi kearifan lokal di titik tertentu bisa menjadi batas yang membahayakan jika berlebihan yaitu adanya euforia kemunculan tradisi-tradisi masa lampau yang berhubungan dengan kegemilangan masa pra-Indonesia. Tradisi tersebut menjadi bagian dalam politisasi kebudayaan lokal di dalam percampuran berbagai anasir agama dan budaya yang diartikulasikan dalam Serentaun Rekonstruktif. Revitalisasi yang digerakkan oleh elit tradisi mengangkat kembali nama Pakwan Pajajaran, masa pra-Indonesia, yang ingin disejajarkan dengan kebudayaan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 95 Jawa di Yogyakarta yang pernah dijadikan kebudayaan adiluhung pada masa Suharto. Ini tidak masalah jika bukan terjadi karena imbas politik puncak-puncak budaya pada rezim Orde Baru dan pengistimewaan kebudayaan Jawa khususnya Jawa Tengah— sisa-sisa peninggalan Mataram, sebagai yang “berbudaya” membekas dalam ingatan kolektif masyarakat. Keinginan untuk diakui, diapresiasi menjadi motif kuat bagi kalangan elit tradisi yang hidup pada bekas wilayah kerajaan Pakwan Pajajaran ini dengan merekonstruksi budaya Serentaun sebagai milik masyarakat petani masa lampau. Serentaun Rekonstruktif menjadi alat menyuarakan keberadaan masyarakat Sunda di Sindangbarang, Bogor, terhadap dominasi budaya Sunda Priangan, dominasi budaya Jawa, dan dominasi modernisasi pembangunan, ketika upacara ini telah lepas menjadi produk budaya yang dikomodifikasi dalam penanganan pemerintah daerah. Pembangunan pariwisata dijadikan arena yang tampak “natural” terhadap suatu kepentingan politik identitas Sunda Bogor. Kebudayaan Sunda Bogor yang dianggap pinggir, karena berbahasa Sunda kasar dalam tata kebahasaan Sunda yang bertingkat-tingkat, Undak Usuk, disangkal oleh masyarakat Sunda Bogor yang diprakarsai oleh elit tradisi bahwa sebenarnya bahasa Sunda egaliter. Bahasa Sunda yang selama ini direpresentasikan sebagai bahasa Sunda ber-Undak Usuk merupakan bahasa Sunda yang terpengaruh oleh kerajaan Mataram yang pernah menguasai wilayah Jawa Barat setelah Pakwan Pajajaran runtuh atas serangan Banten, Demak dan Cirebon. Argumentasi elit tradisi merujuk pada penggunaan Undak Usuk bahasa Sunda mulai tersebar setelah Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 96 pemerintah Belanda membuka sekolah-sekolah dasar dan menengah di seluruh Jawa Barat. Argumentasi itu diperkuat dengan merujuk pada Ben Anderson yang menemukan bahwa adanya campur tangan kolonial dalam pengkonstruksian bahasa Jawa dan Sunda bertingkat-tingkat. Benedict Anderson5 meneliti tingkat-tingkat bahasa Jawa sebagai bentuk pembungkaman pada usaha-usaha perlawanan terhadap otoritas kolonial dalam kekuasaan raja-raja Jawa. Penemuan ini kemudian digunakan oleh elit-elit intelektual dan budayawan Sunda dalam memandang tradisi Sunda Priangan yang feodal. Representasi Sunda Bogor yang merujuk pada Sunda keturunan Pakwan Pajajaran juga dihadirkan dalam peralatan Serentaun Rekonstruktif melalui busana. Busana ini berbeda dengan yang digunakan oleh Sunda Priangan yaitu blankon dan stelan jas yang terpengaruh oleh Mataram Islam. Busana yang ditampilkan dalam Serentaun rekonstruktif adalah ikat kepala seperti yang digunakan oleh orang Baduy. Akan tetapi pariwisata mengubah ikat kepala yang berwarna hitam seperti yang digunakan orang Baduy menjadi batik hitam di atas dasar kain putih. Pariwisata juga mengubah paradigma baju yang digunakan yang semula adalah komprang yang seharusnya setelan hitam-hitam menjadi celan hitam dengan baju atasan putih. Tujuan diubahnya warna busana ini untuk menekankan pada keterbukaan, dan estetika yang menyesuaikan standar warna yang dipahami masyarakat umum, meskipun dalam 5 Lihat Benedict Anderson. 1996. “Sembah-Sumpah: Politik Bahasa dan Kebudayaan Jawa” dalam Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (edt), Mizan Pustaka. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 97 filosofi Sunda warna hitam yang digunakan oleh masyarakat Sunda Pakwan Pajajaran masa lalu adalah warna kesucian. 4.2.4. Kecenderungan dalam Tarik-Menarik Hibrida Lokal-Global Hibrida lokal-global telah menghasilkan sesuatu yang baru yang tidak murni lokal dan global. Lokalitas telah beralih pada ruang global lewat teknologi informasi yang mengiklankan pariwisata Sindangbarang. Ini berarti bahwa lokalitas telah lepas dari lokal yang nyata secara geografis menuju lokal imajiner yang global di dunia internet. Pasar modal milik perusahaan-perusahaan transnasional dalam globalisasi yang harusnya menguniversalkan Serentaun Rekonstruktif sebagai hanya produk dagang menjadi tercampur dengan perhatian baru pada pesatnya ekspresi budaya lokal Sunda pada masyarakat luas. Komodifikasi Serentaun yang berasal dari tradisi masyarakat lokal membuat upacara tersebut bersifat terbuka untuk dilihat yang lain. Keterbukaan ini memberi peluang keuntungan budaya, dikenalnya cara pandang masyarkat Sunda dihadapan budaya lain sehingga mengurangi kecurigaan heterophobia oleh kalangan berbudaya lain. Upacara-upacara sejenis yang masih sakral di beberapa daerah dilindungi dengan suatu peraturan ketat yang melarang pengunjung mengganggu bahkan mengambil foto prosesi upacara. Di Sindangbarang Serentaun yang rekontruktif dalam beberapa ritual seperti berziarah di makam leluhur, mengambil 7 mata air suci dan mendoakannya semalam dalam acara ngangkat bersifat khusuk dan sakral bagi orang-orang yang terlibat di Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 98 dalamnya. Upacara tersebut bersifat terbuka bagi masyarakat umum untuk melihat satu persatu ritual yang diselenggarakan. Pengunjung boleh memotret setiap momen dalam upacara selama tidak melanggar kesopanan. Di Sindangbarang upacara sejenis Serentaun Rekonstruktif tersebut masih diselenggarakan masyarakat di beberapa Rukun Tetangga yang menginginkan upacara bersifat sakral dengan nama Sedekah Bumi. Selain itu Sindangbarang juga menyimpan berbagai peninggalan keagamaan nenek moyang (karuhun), Sunda Wiwitan, yaitu batu-batu tradisi megalitikum. Antara budaya masyarakat sehari-hari baik yang berdasarkan pada nilai-nilai agama masyarakat sekarang yaitu tradisi Islam, tradisi islam yang bercampur dengan tradisi karuhun, peninggalan-peninggalan historis masa Kerajaan Pakwan Pajajaran, semua seharusnya mendapat hak yang sama dalam perlindungan budaya lokal termasuk budaya masyarakat dalam mata pencaharian baik itu yang mempertahankan pertanian maupun karya-karya penduduk dalam industri rumah tangga sepatu. Perlindungan budaya lokal sebagai bagian yang masih sakral dan yang telah direkonstruksi menjadi kewajiban pemerintah nasional dan daerah. Tidak semua budaya lokal dapat dibuka di ruang global. Bagi pemerintah daerah dan nasional dualisme menghadapi globalisasi tidak saja penting sebagai bentuk negosiasi yang bersifat penyangkalan terhadap dominasi pasar modal. Dalam dualisme tersebut satu pihak pemerintah wajib melindungi budaya lokal agar tetap lestari. UUD 1945 pasal 32 menurunkan peraturan Menteri Dalam Negeri No.39 tahun 2007, yang berisi bahwa dalam rangka menyelenggarakan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewajiban melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 99 kerukunan nasional, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta melestarikan nilai sosial budaya. Kepala daerah mempunyai tugas mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya di daerah. Upaya melestarikan dan mengembangkan tradisi adat budaya di daerah merupakan bagian dari langkah untuk memelihara ketahanan budaya bangsa sebagai pilar dari ketahanan nasional. Kebijakan pemerintah daerah untuk melindungi budaya-budaya lokal dicanangkan bersamaan dengan kesadaran masyarakat dunia pada kerusakan lingkungan dan punahnya beberapa budaya berbagai etnis akibat modernisasi. Di bidang pariwisata kemudian diangkat isu pariwisata berdasarkan lingkungan dengan sebutan eko-pariwisata tahun 1990. Menurut aturan dalam Ekowisata, salah satu prinsip yang diangkat adalah penghormatan terhadap adat dan budaya masyarakat tujuan pariwisata yang disebut dengan cultural sensitivity atau sensitivas budaya. Keberadaan wisata budaya menurut eko-turisme mendorong timbulnya penghormatan dan apresiasi terhadap adat istiadat dan keragaman budaya untuk menjamin kelangsungan budaya lokal. Tetapi penghormatan yang membebaskan budaya-budaya lokal untuk tujuan penjualan budaya menggiring pada persoalan euforia eko-turisme sehingga program ini tidak kritis terhadap persoalan-persoalan lain dalam hal pembagian keuntungan. Di lain pihak dibukanya wilayah-wilayah di daerah dalam bisnis budaya yang melintas batas, memudahkan masuknya budaya-budaya global ke tataran masyarakat. Meminjam bahasa Dahles, ia menyebut persolan ini sebagai dilema pariwisata. Pada tataran tersebut tidak masalah jika pemerintah daerah lebih cenderung atau berpihak Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 100 pada kesejahteraan budaya dan masyarakat lokal dalam pertemuan lokal-global di dalam ruang ketiga hasil tarik menarik oposisi biner tersebut. Seperti pada penjualan Serentaun Rekonstruktif, pemerintah daerah seharusnya lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat pemilik budaya tersebut dengan memotivasi kembali kemandirian masyarakat lewat kewirausahaan. Ini lebih penting dari pada mendengungkan keotentikan demi kelangsungan ideologi unik pariwisata yang pengaturan pembangunannya lebih condong pada politik ekonomi kapitalis dengan membuka seluas-luasnya investasi asing untuk pengembangan pariwisata. Pengembangan pariwisata berstandar ekologi yang tata aturannya berasal dari WTO yang terlihat perduli pada kelestarian budaya dan pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat, kenyataannya tetap memposisikan masyarakat lokal berada di bawah bayang-bayang ekonomi perdagangan bebas yang tergantung pada kekuatan modal. Pemilik budaya lokal Serentaun Rekonstruktif diposisikan sebagai objek yang diangkat identitas budayanya tetapi tidak memiliki hasil budayanya sendiri. Data pendapatan asli daerah Kabupaten Bogor yang berasal dari sektor pariwisata tahun 2006-2007 yang diambil dari sumber potensi daerah adalah dari Rp. 21.498.851.579 menjadi 24.883.834.749 atau naik 15.74% digunakan untuk peningkatan usaha objek wisata, usaha hiburan umum, usaha jasa wisata, usaha sarana akomodasi, usaha sarana makan-minum, pelatihan pelaku usaha, pelatihan pengembangan SDM dinas, pelestarian budaya, pengiriman misi kesenian dan pasanggiri atau perlombaaan seni Sunda. Keberadaan usaha-usaha sektor pariwisata di Kabupaten Bogor tahun 2007 menurut potensi Kabupaten Bogor, menyerap tenaga Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 101 kerja sebanyak 13.061 orang, sementara jumlah pengangguran di Kabupaten Bogor masih 12,5% dari jumlah penduduk yang lebih dari 4 juta jiwa. Hal ini menjadi bukti bahwa pembangunan sektor wisata belum banyak memberikan kontribusi pada kesejahteraan rakyat. Angka tersebut merupakan tenaga kerja formal, sedangkan tenaga kerja informal tidak terdata. Menurut pemerintah daerah pembangunan wisata justru menyerap tenaga kerja informal. Walaupun demikian ini tetap menjadi pertanyaan, tentang berapa keuntungan yang diperoleh tenaga kerja informal tersebut dibanding keuntungan yang didapat oleh perusahaan-perusahaan dengan modal besar baik itu dari investasi asing atau investasi dalam negeri. Jumlah unit koperasi usaha menengah di Kabupaten Bogor seperti yang dicatat oleh Harian Umum Pelita, pada tahun 2007 sebanyak 1400-an unit. Jumlah tersebut yang membutuhkan suntikan dana sebanyak 500-an UKM. Sedangkan usaha yang dikelola perusahaan besar di bidang pariwisata secara formal baru menyerap tenaga kerja 13.061 jiwa. Angka yang sangat kecil dibanding jumlah pengangguran yang ada di Kabupaten Bogor yang dicatat koran Pelita (30 Mei 2008) yakni sebanyak 459.000 jiwa. UKM berdasarkan sifatnya yang lebih elastis, dalam suatu usaha masyarakat seharusnya dapat membantu mengurangi angka pengangguran. UKM telah diberi dana dari perbankan, BUMN, pemerintah daerah setempat, dan PMA sebagai mitra. Ketidakmampuan UKM seperti yang dikeluhkan dalam surat kabar HU Pelita, 30 Mei 2008, adalah kurangnya modal dan rendahnya kualitas SDM. Jumlah seribu empat ratus UKM dibanding jumlah penduduk di Kabupaten Bogor tidak menunjukkan keberhasilan UKM, pemerintah Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 102 dan pihak-pihak yang seharusnya mendorong kemandirian masyarakat melalui UKM termasuk di dalamnya penanam modal asing. Keberpihakan pemerintah daerah pada korporasi asing terbukti dengan perubahan UUPMA 2007 yang isinya lebih membuka kesempatan bagi para penanam modal asing melaksanakan aktivitas usaha di Indonesia. Salah satu butir dalam UUPMA 1967/70 mengatur tenaga kerja dalam Bab IV, tenaga kerja asing tidak mudah untuk didatangkan karena tenaga kerja asing hanya boleh didatangkan bagi jabatan-jabatan yang belum dapat diisi dengan tenaga kerja warga Indonesia. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan Orde Baru tersebut mempertimbangkan pertumbuhan perusahaan-perusahaan Indonesia yang dikelola “pribumi”— konglomerat-konglomerat yang dekat dengan kekuasaan Suharto.6 Hal ini tidak berlaku lagi dalam UUPMA 2007 karena tenaga kerja asing lebih mudah masuk ke Indonesia. Pada pasal 10, tenaga kerja warga Negara Indonesia tetap diutamakan, tetapi investor tetap memiliki hak menggunakan tenaga ahli WNA untuk jabatan dan keahlian tertentu . Pembangunan pariwisata di Kabupaten Bogor menurut laporan program Dinas Pariwisata Kabupaten Bogor yang tercatat dalam potensi daerah, dan Data Invetarisasi UKM di Kabupaten Bogor dari Kantor Konperasi Unit Usaha Kecil Menengah, terbagi dalam empat zona wisata, yaitu Zona Puncak, Zona Bogor Barat, 6 Lihat Richard Robinson dan Vedi R. Hadiz (2004) yang mengatakan bahwa kebijakan ekonomi Suharto pada masa kekuasaannya melindungi perusahaan-perusahaan keluarga dan teman-temannya untuk melakukan monopoli terhadap perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Akan tetapi setelah adanya reformasi dari Bank Dunia dengan isu-isu korupsi yang dibawa oleh negara-negara pemberin dana seperti CGI, IMF, keluarga Suharto dan teman-temannya beralih pada bisnis keuangan di dalam pasar modal , global serta mega proyek infrastruktur dan kebutuhan publik. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 103 Zona Bogor Utara dan Zona Bogor Timur. UKM di zona wisata yang banyak mendatangkan wisatawan baik asing maupun Nusantara yaitu Zona Wisata Bogor Timur, dengan 2 objek wisata, Mekarsari dan Penangkaran Rusa. Jumlah wisatawan yang berkunjung adalah 2.179.961 wisatawan. Daerah ini menurut laporan dari Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah, mempunyai 75 UKM. Tetapi di daerah lain seperti Zona Puncak yang mempunyai banyak objek wisata dan fasilitas seperti hotel, restoran, rumah makan hanya mempunyai sedikit sekali UKM. Kecamatan Megamendung mempunyai 25 rumah makan, 9 restoran, 12 fasilitas baik hotel, sarana olahraga, panji pijat dan lain-lain, tetapi hanya mempunyai 2 UKM. Kecamatan Cisarua yang mempunyai 15 restoran, 43 rumah makan, 17 fasilitas hotel dan sebagainya, hanya memiliki 5 UKM. Di Kecamatan Tamansari tidak terdata jumlah rumah makan, restoran dan fasilitas lain. Kecamatan yang masuk Zona Wisata Bogor Barat ini mempunyai 12 UKM dengan hanya 3 objek wisata, yaitu Sindangbarang, Buper Sukamantri dan Curug Nangka di Gunung Salak. Tiga UKM yang terletak di kecamatan Taman Sari tersebut tidak terletak di Sindangbarang. Desa Pasir Eurih. Di dukuh Sindangbarang dan Menteng saat ini tidak tercatat mempunyai UKM. Beberapa tahun lalu ada beberapa koperasi pengusahaan pertanian maupun kerajinan sepatu. Karena kurangnya pendampingan, koperasi tersebut sudah tidak berjalan lagi. Setelah wilayah ini dijadikan daerah destinasi wisata, budaya Serentaun dijual, kondisi matinya koperasi usaha masyarakat tersebut tida bisa terus menerus dibiarkan. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 104 Posisi pengrajin sepatu yang sudah eksis sejak tahun 1960-an—jauh sebelum Sindangbarang menjadi destinasi wisata-- tidak mendapat perhatian pemerintah daerah. Unit-unit usaha kecil tersebut dapat bertahan dengan modal masing-masing yang terbatas. Keterbatasan modal pengrajin industri sepatu membuat usaha mereka sebagian terpaksa bekerja sama dengan pemberi modal yang sifatnya perseorangan dengan sistem yang kurang menguntungkan di pihak pengrajin industri rumah tangga sepatu. Beberapa sumber dari penduduk setempat mengatakan bahwa industri rumah tangga ini sebenarnya adalah pabrik besar pengusaha yang bukan penduduk Sindangbarang dengan memanfaatkan industri rumah tangga. Dengan tidak mendirikan pabrik besar secara de Jure, pemodal-pemodal tersebut terbebas dari pajak. Selama ini pajak usaha dibebankan pada rumah tangga-rumah tangga industri dengan besar uang sesuai dengan penghasilan per tahun. Padahal keuntungan yang diterima pemodal tersebut jauh lebih besar dari keuntungan pengrajin sepatu di bengkel-bengkel rumah tangga. Setelah Sindangbarang dijadikan kawasan destinasi wisata seharusnya pemerintah daerah lebih memperhatikan keberadaan industri rumah tangga sepatu ini dengan memberi dana lagi ke masyarakat untuk mendirikan unit-unit koperasi usaha dengan pelatihan dan pendampingan selama beberapa tahun, hingga masyarakat pengrajin industri rumah tangga ini dapat mandiri. Ketergantungan sebagian pengrajin pada penanam modal “liar” tersebut merugikan masyarakat dan pendapatan daerah, karena tidak terdeteksi untuk dipungut pajak usaha. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 105 Dengan berbagai masalah yang terjadi pada UKM menggiring suatu pertanyaan bagaimana sebenarnya membangun program kemandirian masyarakat yang efektif bagi masyarakat lokal. Program pembangunan untuk menciptakan kewirausahaan masyarakat kecil menengah atau UKM sebenarnya juga berdasarkan konsep yang tidak memihak pada masyarakat Indonesia. Sindhunata (2000) yang mengutip penelitian Booeke, menyebut budaya bisnis masyarakat Indonesia kebanyakan lebih dekat kepada bisnis yang berdasarkan social needs daripada economic needs. Sementara basis pembangunan mental kewirausahaan seperti yang diberikan pada pelatihan-pelatihan UKM adalah kewirausahaan berdasarkan economic needs yang menggunakan logika perkembangan. Logika itu sendiri mempunyai motif keinginan manusia yang tak kenal batas, sehingga pusat dari kebutuhan ekonomi adalah individu yang tidak harus dikaitkan dengan pembatasan sosial masyarakat. Logika ini bertentangan dengan budaya masyarakat kebanyakan di Indonesia yang bersifat sosial, sehingga sebanyak apapun UKM didirikan dengan pelatihan-pelatihan kewirausahaan yang canggih tetap sulit diserap dengan maksimal. Sebagi contoh, dikatakan dalam UUPMA 2007, PMA sebagai mitra yang mendorong berkembangnya unit usaha kecil dan menengah, tetapi dalam beberapa kasus pada akhirnya UKM menjadi PMA, karena keterdesakan UKM sehingga harus menjual saham terbesarnya pada PMA. Sistem persaingan kewirausahaan berdasarkan kewirausahaan yang tidak sesuai dengan kultur kewirausahaan masyarakat lokal, membuat UKM bagaimanapun tidak dapat bersaing dalam pasar. UKM pada sektor pariwisata biasanya hanya memegang industri rumah tangga Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 106 souvenir, makanan, kesenian rakyat dan sebagainya yang artinya keuntungan terbesar tetap dipegang oleh perusahaan-perusahaan transnasional yang memegang kunci strategis industri pariwisata. Pemihakan pemerintah pada korporasi transnasional lewat mudahnya prosedur penanaman modal asing dalam UUPMA 2007 memberi sedikit pada masyarakat lokal. Komodifikasi Serentaun Rekonstruktif dalam lokalglobal ini menghasilkan keantaraan sebagai budaya baru yang dalam tarik menariknya ternyata lebih cenderung pada dominasi satu kutub. Tujuan pembangunan pariwisata awalnya untuk menyejahterakan masyarakat, tujuan tersebut telah gagal, karena keuntungannya jatuh lebih banyak pada korporasi swasta yang bermodal besar. . Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 107 BAB V KESIMPULAN Serentaun yang diselenggarakan di Sindangbarang adalah upacara rekonstruktif, peniruan dari upacara masyarakat Sindangbarang di masa lampau. Serentaun adalah upacara milik masyarakat berbasis pertanian, sedangkan masyarakat di Sindangbarang sehari-hari pada masa sekarang kebanyakan bermatapencaharian pengrajin industri rumah tangga sepatu. Rekonstruksi upacara Serentaun diikuti oleh rekonstruksi Kampung Budaya yang meniru kondisi pedesaan pada masyarakat masa lampau sebagai syarat peralatan upacara. Serentaun tersebut diadakan untuk tujuan pariwisata sehingga ditandai dalam penelitian sebagai Serentaun Rekonstruktif. Penggalian-penggalian budaya lampau atas nama revitalisasi ini melibatkan beberapa pihak di dalamnya yaitu pemerintah daerah, elit tradisi dan elit agama setempat. Revitalisaasi budaya masa lampau dilihat dari sudut pandang Hommi Bhabha tidak mungkin dapat dikatakan sakral, murni atau asli. Revitalisasi adalah wilayah superfisial yang menerjamahkan ulang, merelokasikan penandaan budaya masa lampau ke masa kini. Rekonstruksi upacara Serentaun tidak lagi berhubungan dengan ketransendenan. Penandaan Serentaun masa kini yang dijadikan komoditi pariwisata menekan budaya tersebut pada kondisi hibrida atau keantaraan, sehingga tidak mungkin lagi disebut asli. Serentaun sebagai budaya lokal ketika menjadi alat pariwisata yang dipasarkan ke masyarakat global dengan teknologi informasi menjadi tidak orisinil budaya lokal. Karena lokalitas Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 108 geografis dalam Serentaun Rekonstruktif telah berubah dalam lokalitas imejiner dalam teknologi informasi ke ruang global. Bagi Global yang partikular/universal keberadaan Serentaun Rekonstruktif juga telah merusak otoritas kemurnian universalisasi modal karena budaya lokal dalam industri global dijadikan penandaan identitas budaya Sunda yang mengglobal. Keantaraan Serentaun di dalam dua kutub lokal-global menghadirkan titik yang saling tarik menarik dalam ruang ketiga. Rekonstruksi Serentaun untuk direpresentasikan ke masyarakat global ini di dalam masyarakat lokal masih diiringi dengan konflik kepentingan. Di Sindangbarang kontestasi wacana revitalisasi Serentaun tersebut bukan keberatan masyarakat terhadap upacara yang tidak lagi sakral, tetapi kemunculan lagi budaya yang bagi kalangan elit agama khususnya Islam pembaharu dapat merusak aqidah keagamaan masyarakat Sindangbarang masa kini yang sudah memeluk Islam. Elit agama pembaharu resisten terhadap upaya revitalisai budaya masa lampau yang kesundaannya masih dipengaruhi oleh tata cara karuhun yang beragama Sunda Wiwitan bercampur Hindu-Buddha. Revitalisasi yang diprakarsai oleh elit tradisi tersebut mendapat dukungan dari elit agama pro tradisi yang metode penyampaian ajarannya lebih inklusif di dalam tradisi. Pemerintah daerah dan nasional harusnya tanggap terhadap persoalan ini dan tidak saja mengkooptasi budaya lokal demi kepentingan industri saja. Bagaimanapun sejarah adanya Serentaun berakar dari sistem keyakinan masyarakat terhadap agama-agama. Jika pemerintah daerah meminggirkan saja konflik ini dengan tidak membuat suatu kebijakan bahwa pariwisata diadakan Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 109 untuk kesejahteraan semua melalui misalnya, UKM, serta perlindungan terhadap hak-hak berekspresi budaya masyarakat, konflik kecil ini akan menjadi bom waktu. Tetapi sejauh ini konflik pada masyarakat Sindangbarang justru menjadi dinamika budaya karena elit agama Islam pembaharu yang resisten tersebut bernegosiasi sehingga keberadaan Serentaun Rekonstruktif dapat diterima berbagai kalangan. Beberapa pihak elit agama Islam pembaharu yang masih resisten terhadap beberapa ritus Serentaun, menciptakan budaya sendiri, sehingga konflik tersebut muncul dalam kontestasi wacana bukan dalam ranah kekerasan. Hibriditas lokal-global yang dilakukan oleh elit tradisi, pemerintah daerah dan nasional harus memihak pada masyarakat lokal. Kenyatannya dalam hubungan tarik-menarik lokal-global dalam komodifikasi budaya Serentaun Rekonstruktif, pemerintah daerah lebih banyak berpihak pada penanam modal asing. Pemerintah daerah masih mengabaikan masyarakat pemilik budaya. Di Sindangbarang usaha-usaha bidang industri rumah tangga sepatu yang sudah ada tidak mendapat perhatian, padahal wilayah tersebut sudah menjadi daerah destinasi wisata. Masalah-masalah seputar unit usaha kecil menengah yang dikelola oleh koperasi seharusnya mendapat porsi perhatian besar. Di tingkat nasional pemerintah pusat seharusnya menyadari kemunculan kembali budaya-budaya daerah dalam otoritas daerah berdasarkan undang-undang otonomi dapat memberi peluang kemunculan politik identitas berbagai daerah di seluruh Indonesia. Revitalisai budaya daerah tanpa kesiapan wadah bernama Indonesia hanya memberi peluang perpecahan. Pemerintah nasional seharusnya tidak mengikuti kebijakan pariwisata dunia yang menggaungkan budaya keaslian, Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 110 keunikan. Keunikan dan keaslian hanya konstruksi untuk suatu keuntungan produk wisata budaya. Jika keaslian ini masih dijadikan standar bagi pariwisata Indonesia maka motto pariwisata yang ingin menyatukan bangsa justru berbalik menjadi perpecahan, karena masing-masing daerah, etnis, akan mengklaim suatu budaya daerah tertentu lebih asli dari yang lain. Di daerah Jawa Barat klaim keaslian ini akan menjadi rebutan beberapa wilayah Sunda antara Banten, Priangan, dan Bogor. Kebijakan pemerintah nasional yang berpihak pada korporasi modal transnasional dibanding usaha masyarakat lokal, ditambah kebijakan otonomi daerah yang memudahkan PMA masuk langsung ke daerah yang sedang bergiat pada revitalisasi budaya akan membahayakan keberlangsungan negara-bangsa. Hubungan nasional-global harusnya menghasilkan keantaraan yang condong pada perlindungan terhadap ketahanan nasional melalui konsolidasi hubungan lokalnasional. Hibriditas lokal-global yang dipraktikkan dalam sistem pembangunan pariwisata budaya seharusnya lebih cenderung pada keperluan membangkitkan keindonesiaan. Melalui program yang sejak awal didiktekan oleh UNDP, WTO, UNESCO ini pemerintah Indonesia, elit tradisi dan elit agama yang berpengaruh di tingkat lokal, pertama harus lebih mementingkan hak-hak kesejahteraan masyarakat dalam semua bidang. Kedua, pariwisata seharusnya lebih ditujukan pada pemahaman budaya antar etnis dan agama di seluruh daerah di Nusantara yang tidak lagi hanya menggunakan paradigma pembekuan budaya dalam museum seperti TMII, tetapi juga pemahaman budaya masyarakat yang terus Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 111 bergerak. Hibriditas lokal-lokal adalah keantaraan yang harus dibangun untuk menumbuhkan sikap memiliki seluruh budaya Indonesia sehingga tidak ada pandangan budaya kami dan budaya mereka. Budaya kami adalah milik mereka, dan budaya mereka adalah milik kami. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 112 Daftar Pustaka Adimihardja, Kusnaka. 1992. Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh. Bandung: Tarsito. Ali, Muhammad Daud. 1998. Pendidikan Agama Islam.Jakarta: RajaGrafindo Persada. Ayatroheidi dan Saadah, Sri. 1995. Jatiniskala Kehidupan Kerohanian Masyarakat Sunda Sebelum Islam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Barker, Chris.2000. Cultural Studies Theory and Practice. London: Sage Publication. Benedict, R.O’G, Anderson. “Sembah-Sumpah: Politik Bahasa Dan Kebudayaan Jawa” dalam Yudi Latif dan Idi Subandi Ibrahim (edt). Bahasa dan Kekuasaan Politik Wacana Di Panggung Orde Baru. Bandung: Mizan Pustaka. Bhabha, Hommi K. 1995. dalam Ashcroft, Bill dkk. The Post-colonial Studies Reader. London: Routledge. ________________.1995. interview with cultural theorist Homi Bhabha dalam W.J.T. Mitchell Artforumv.33, n.7 (March):80-84. COPYRIGHT Artforum International Magazine Inc. 1995 Budiman, Hikmat dkk. 2005. Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia. Jakarta: Tifa. Budhisantoso dkk. 1990. Sri Dandayang Tresna (Pohaci). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Creswell, Jhon W. 1994. Research Desain Qualitative & Quantitavie Approaches. London: Sage Publication. Coffey, Amanda & Atkinson, Paul. 1996. Making Sense Of Qualitative Data, Complementary Research Strategies. London: Sage Publications. Dahles, Heidi. 2001. Tourismn Heritage and National Culture in Java Dillemas of a Local Community. Curzon. Danasasmita, Saleh. 2006. Mencari Gerbang Pakuan. Jakarta: Pusat Studi Sunda. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 113 Denzin, Norman K & Lincoln Yvonna S. 1998. The Landscape of Qualitative Research Theories and Issues. London: Sage Publications. Djatisunda, Anis. 2008. “Fenomena Keagamaan Masa Sunda Kuna Menurut Berita Pantun dan Babad”, makalah seminar Revitalisasi Makna dan Khasanah Situs Sindangbarang di Kampung Budaya Sindangbarang Kabupaten Bogor”. (Tidak diterbitkan). Ekadjati, Edi S. 2005. Sunan Gunung Jati. Bandung: Pustaka Jaya. Gandhi, Laela. 2004. Teori Poskolonial. Jakarta: Qalam Hadiwijono, Harun. 1982. Agama Hindu dan Buddha. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hidayat, Komaruddin dan AF, Ahmad Gauf. 2006. Menjadi Indonesia.Bandung: Mizan. Ikeda, Deisaku. 1974. Buddhism: The Living Philosophy. Tokyo: The East Publication. Ismail, Asep Usman. 2005. Apakah Wali Itu Ada?. Jakarta: Rajawali Press. Kartodirdjo dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Koentjaraningrat. 1985. Ritus Peralihan Di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Levebre, Henry. 1994. Everyday Life in the Modern World. London: Transaction Publishers. Miyoshi, Masao. 1996. “A Borderless World? From Colonialism To Transnasionalism And The Decline Of Nation-State” dalam Rob Wilson dan Wimal Dissayanake (edt).Global-Local. Unites States of America: Duke University Press. Munandar, Agus Aris. 2007. Situs Sindangbarang Bukti Kegiatan Keagamaan Masyarakat Kerajaan Sunda (Abad 13-15 M)-laporan hasil penelitian awal. Bogor: Padepokan Giri Sunda Pura. ______________________.2008. “Agama dan Masyarakat Dalam Masa Kerajaan Sunda”. Makalah Seminar Sejarah Peringatan Hari Jadi Bogor Ke-526. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Bogor dan Kampung Budaya Sindangbarang. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 114 _______________________.2008. “Bangunan Suci Dalam Masa Kerajaan Sunda Tinjauan Terhadap Kerangka Analisis”. Makalah Seminar Revitalisasi Makna dan Khazanah Situs Sindangbarang di Kampung Budaya Sindangbarang, Kabupaten Bogor. Notosusanto, Nugroho dan Poesponegoro, Marwati Djoened. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakatra: Balai Pustaka. Purwitasari, Tiwi. 2007. “Kontinuitas Bentuk Kepercayaan Lama Pada Masyarakat Tradisional: Studi Kasus Adat Seren Taun di Kampung Budaya Sindangbarang, Bogor”, dalam Widyasancaya, Agus Aris Munandar (edt), Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Robison, Richard dan Hadiz, Vedi R. 2004. Reorganising Power In Indonesia The Politics of Oligharchy In An Age Of Markets. London: Routlrdge Curzon. Sherman Heyl, Barbara.1996. ”Ethnographic Interviewing”. Dalam Hanbook of Ethnography. Paul Atkinson (ed.). London: Sage Publication. Sindhunata, 2000. Sakitnya Melahirkan Demokrasi. Yogyakarta: Kanisius. Suprianto, Agus. 2005. “Pemikiran Usul Fikih Imam Syafi’I.” Tesis (Unpublished). Universitas Indonesia. Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar (edt). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Yoeti, Oka A.2006. dkk. Pariwisata Budaya, Masalah dan Solusinnya. Jakarta: Pradnya Paramita. Sumber Internet: “ASEAN Selayang...”.2008. “ASEAN Selayang Pandang”. www.deplu.go.id, 23 Juni 2008. Dahles, Heidi. 1999. “Local Perspectives On Global Tourism in Asia Pacific Region”. www. Theme. Tourism newsletter online.htm, 3 Juni 2008. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 115 Djatisunda, Anis. 2007. “Seren Taun di Kampung Sindangbarang”. www.balebatonline.com, 27 Februari 2008. “Hampir Setengah Juta...”. 2008. “Hampir Setengah Juta Penduduk Kabupaten Bogor Nganggur”.www.hupelita.com, 30 Mei 2008. “Ketua IWAPI Bogor...”. 2008. “Ketua IWAPI Bogor: UKM Perlu Uluran Tangan”. www.hupelita, 30 Mei 2008. “Pemerintah diharapkan...”. 2008. “Pemerintah Diharapkan Hilangkan Hambatan Investasi Pariwisata,” www. Kapanlagi.com, 21 Januari 2008. “Pembentukan Dinas...”. 2008. “Pembentukan Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Bogor Mendesak”. www.hupelita, 30 Mei 2008. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 116 Gambar 1. Rumah adat [Sumber: [email protected] 2008: 1.] Gambar 2. Rumah adat [Sumber: [email protected] 2008: 1.] Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Gambar 3. Serentaun [Sumber: [email protected] 2008: 1.] Gambar 4. Serentaun [Sumber: www.kp-budaya.com 2008: 5.] Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Gambar 5. Serentaun [Sumber: www.kp-budaya.com 2008: 1.] Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Gambar 6. Serentaun [Sumber: www.kp-budaya.com 2008: 1.] Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Gambar 7. Serentaun [Sumber: www.kp-budaya.com 2008: 1.] Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 (Gambar 8: Sembelih Kerbau) (Gambar 9: Dongdang) Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 HIBRIDA LOKAL-GLOBAL PADA POLITIK KOMODIFIKASI BUDAYA SERENTAUN REKONSTRUKTIF, UPACARA TAHUNAN MASYARAKAT SUNDA, DI SINDANGBARANG KABUPATEN BOGOR OLEH: DINA AMALIA SUSAMTO Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Serentaun merupakan upacara masyarakat agraris Ucapan rasa syukur atas panen padi Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Tahun 2005 Serentaun disusun ulang= Serentaun Rekonstruktif Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Rekonstruksi Serentaun Bagian dari upaya revitalisasi budaya Sunda di Sindangbarang, Bogor Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Komodifiksi Budaya Rekonstruksi Serentaun: Revitalisasi Budaya Sunda Bogor TUJUAN: PARIWISATA Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Rekonstruksi: telah mengubah Serentaun bukan sebagai upacara sakral Memenuhi permintaan Industri pariwisata Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Pariwisata Membawa Serentaun ke wilayah Global Paket Promosi Pada Teknologi Informasi Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Perumusan Masalah Pertemuan Lokal-Global (Bhabha): 1. meruntuhkan otoritas global yang menganggap budaya universal sebagai produk dagang di bawah arus pasar modal global yang dimanfaatkan untuk mengangkat budaya lokal Sunda Serentaun di Sindangbarang Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Perumusan Masalah Hibrida Lokal-global: meruntuhkan Otoritas lokal yang partikular, terikat secara geografis sempit wilayah sindangbarang, terikat kesakralan lokal imajiner dalam ruang global melalui teknologi informasi. Superfisial Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Perumusan Masalah Hibrida Lokal-Global akan selalu tarikmenarik: Siapa yang lebih diuntungkan dalam pergerakan politik ekonomi masyarakat lokal kapitalisme global Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Metodologi Penelitian Cultural Studies Postrukturalis peneliti melakukan interaksi dan interpretasi dengan teori kritis fenomena budaya masyarakat. Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Pertunjukkan seni Anklung gubrak Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Pupuhu dan Nyai Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Hibrida Lokal-Global:Kontestasi Elit Lokal Dalam Serentaun Rekonstruktif Elit Tradisi dan Elit Agama Islam Pembaharu Elit Agama Islam Pembaharu dan Elit Agama Pro Tradisi Kooptasi Elit Pemda Pada Pariwisata Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Hibrida Lokal-Global: Industri Pariwisata Teknologi Internet Menjembatani Lokal-Global Politik Global Melalui Transnasionalisasi Modal Politik Lokalitas Menghadapi Globalisasi Tarik-Menarik Lokal-Global Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Mike Featherstone: There is no place space to feel totally at home Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Tapi di Sini Rumah Kita Nyata atau Maya Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008 Susunan Kepanitiaan Upacara Serentaun Rekonstruktif Tahun 2006 Pelindung : - Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kab. Bogor - Camat Taman Sari, Kab. Bogor Penasehat : H. Muhammad Diponegoro Ketua Umum : Maki Sumawijaya Ketua Pelaksanana : Ojon Jumena Sekretaris : Ace Nudin Bendarhara : Ria Seksi-Seksi Upacara : Ceceng Protokol : Aep Pengajian : Yadi Kesenian : Asep Keamanaan : Ukat Konsumsi : Encun Humas : Wahyu Perlengkapan : Seno Penerima Tamu : Rina Dokumentasi : Dedi Hibrida lokal..., Dina Amalia Susamto, FIB UI, 2008