Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Penokohan Ishihara (2009:42

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Teori Penokohan
Ishihara (2009:42) membahas tentang penokohan yaitu sebagai berikut
[
ヒーロー ]。なんともいえずカッコいい響きを持つ言葉だ。
もともと 「英雄」といういみなのだが、小説や戯曲、シナリオ
「中心人物」のことも、男性は [ヒーロー]女性ハ 「ヒロイン」と
言ったりする。
Terjemahan :
“Hero” bagaimanapun tidak bisa dikatakan berpenampilan menarik kecuali
mempunyai perkataan yang bergaung dengan baik. Pada awalnya artinya adalah
“eiyuu” (hero), tetapi dalam novel dan drama juga berarti “pemeran utama”
dalam scenario. Bila lelaki disebut “hero”, bila perempuan disebut “heroine”.
ところで、いまなにげなく「中心人物」といういい方を使ったが、
ぼくたちはまるで当然のように、小説の 「作中人物」、しかも中心的
な人物に自分の感情を投影したり、同化したりしながら物語を読みすす
めていく。そして、実はそれが小説という言葉だけの世界では、ほかの
言葉と同等な、ただの記号であることを忘れてしまっている。
Terjemahan :
Sekarang, tidak hanya (tokoh utama) yang disebut orang baik, tetapi kami
sebagai mana benar pastinya hanya kemungkinan perasaan sendiri (orang yang
membuat novel), mengerti dari maksud tujuan itu dan perpaduan cerita bacaan
yang berkelanjutan, Dan, sebenarnya ini hanya sebutan di dunia novel saja, kata
yang lain dan bersamaan, hanya sebagai tanda yang pernah anda lupakan.
2.2 Teori Penokohan menurut Burhan Nurgiyantoro
Definisi tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiyantoro adalah sebagai
berikut,
Tokoh cerita (character) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu
karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan
apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2002:165)
Melalui tokoh cerita, penulis juga dapat menyampaikan pesan, amanat, moral
atau
sesuatu
yang
memang
ingin
disampaikannya
kepada
pembaca
(Nurgiyantoro, 2002:167).
Dalam bukunya, Nurgiyantoro (2002:178-181) membedakan jenis-jenis tokoh
dari segi peranan, fungsi penampilan tokoh,dan berdasarkan perwatakan. Akan
tetapi, karena fokus penelitian penulis bukanlah pada masalah penokohan, maka
penulis hanya akan menggunakan dua dari jenis pembedaan tokoh, yakni
pembedaan tokoh dari segi peranan dan fungsi penampilan tokoh, sebagai
berikut:
a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peranan penting /
terpenting dalam cerita. Dialah yang menjadi pendukung ide / tema
utama dalam cerita. Ia merupakan tokoh yang paling banyak
diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian, maupun yang dikenai
kejadian. Tokoh utama dalam beberapa novel dan drama tertentu
senantiasa hadir dalam setiap kejadian bahkan dapat ditemui dalam
tiap episode atau halaman buku cerita yang bersangkutan, secara garis
besar yang mendominasi jalannya sebuah cerita. Namun, ada juga
novel dan drama yang tidak selalu menampilkan tokoh utamanya
dalam setiap kejadian, tapi setiap kejadian itu tetap berkaitan erat
dengan tokoh utama. Tokoh utama itu mungkin hanya seorang,
mungkin pula lebih dari seorang. Tokoh utama yang paling penting
dinamakan tokoh inti atau tokoh pusat (central / main character).
Sementara
tokoh
tambahan
merupakan
tokoh
yang
hanya
dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun
mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh
tambahan adalah tokoh yang mendukung cerita dan perwatakan dari
tokoh utama. Dia diperlukan untuk mempertajam dan menonjolkan
peranan dan perwatakan tokoh utama serta memperjelas tema pokok
atau tema major yang disampaikan. Tokoh pembantu itu mungkin
seorang, mungkin pula lebih dari seorang seseuai dengan keterlibatan
serta sumbangan mereka dalam menampilkan tokoh utama dan
jalannya cerita.
b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis merupakan pemeran atau pemain utama / utama
yang mendukung ide prinsipal dalam cerita dan biasanya mempunyai
rencana dan maksud tertentu. Ia menentukan plot secara keseluruhan,
menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan
penonton / pembaca. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, waktu
yang digunakan untuk mengisahkan pengalaman protagonis lebih
panjang. Terkadang judul cerita juga mengungkapkan siapa yang
dimaksudkan sebagai protagonis. Tokoh ini mewakili yang baik dan
terpuji, karena itu biasanya tokoh protagonis menarik simpati
penonton atau pembaca.
Berbeda dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis berarti peran
lawan atau pemain kedua yang biasanya menentang atau berusaha
mengagalkan rencana dan keinginan pemain pertama. Tokoh
antagonis biasanya mewakili pihak yang jahat atau yang salah. Oleh
karena itu, tokoh antagonis seringkali disebut sebagai penyebab
terjadinya konflik, ketegangan dalam sebuah cerita. Tokoh antagonis,
barangkali dapat disebut beroposisi dengan tokoh protagonis, secara
langsung maupun tak langsung, bersifat fisik maupun batin.
Tokoh-tokoh cerita ini kemudian oleh penulis dihadirkan kepada pembaca
dengan menggunakan teknik ekspositori, yakni teknik pelukisan tokoh cerita dengan
memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung, atau dengan
menggunakan teknik dramatik, yakni teknik pelukisan tokoh dimana penulis
membiarkan parah tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai
aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat
tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro,
2002:195-198).
2.3 Teori Psikologi Sastra
Pada dasarnya, baik sosiologi sastra dan psikologi sastra, maupun antropologi
sastra, dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal usul
karya. Apabila sosiologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan masyarakat yang
menghasilkannya, sebagai latar belakang sosialnya, maka psikologi sastra dianalisis
dalam kaitannya dengan psike, dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Secara definitif
antropologi sastra dengan sendirinya membicarakan karya sastra dalam kaitannya
dengan manusia dalam masyarakat, lebih khusus lagi manusia sebagai asal-usul bahasa.
Harus diakui, khususnya di Indonesia, analisis psikologi sastra lebih lambat
perkembangannya dibandingkan dengan sosiologi sastra. Ada beberapa indikator yang
diduga merupakan penyebabnya, di antaranya: a) psikologi sastra seolah-olah hanya
berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan terhadap
subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit, b) dikaitkan dengan tradisi
intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas, sehingga para sarjana sastra kurang
memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra, c) berkaitan dengan masalah
pertama dan kedua, relevansi analisis psikologis pada gilirannya kurang menarik minat,
khususnya di kalangan mahasiswa, yang dapat dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan
karya tulis yang lain yang memanfaatkan pendekatan psikologi sastra.
Terlepas dengan masalah-masalah di atas, dengan pertimbangan bahwa karya
sastra mengandung aspek-aspek kejiwaan yang sangat kaya, maka analisis psikologi
sastra perlu dimotifikasi dan dikembangkan secara lebih serius. Hal ini perlu lebih
diperhatikan khususnya di perguruan tinggi yang belum memiliki Fakultas Psikologi.
Psikologi, khususnya psikologi analitik diharapkan mampu untuk menemukan aspekaspek ketidaksadaran yang diduga merupakan sumber-sumber penyimpangan psikologis
sekaligus dengan terapi-terapinya.
Psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah
psikologis praktis. Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspekaspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti
bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat.
Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat
secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya
penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat, khusunya yang ada
kaitannya dengan psikis ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan
antara psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang
sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya
sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Pembicaraan pertama
berhubungan dengan peranan pengarang sebagai pencipta, jadi karya sastra dalam
kaitannya dengan proses kreatif. Wellek dan Warren (1962: 81) membedakan analisis
psikologis yang pertama ini menjadi dua macam, yaitu studi psikologi yang semata-mata
berkaitan dengan pengarang, seperti kelainan kejiwaan, sebagai sejenis gejala neurosis,
sedangkan studi yang kedua berhubungan dengan inspirasi, ilham, dan kekuatankekuatan supranatural lainnya.
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua,
yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional
yang terkandung dalam karya. Sebagai dunia dalam kata karya sastra memasukkan
berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya, aspekaspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab sematamata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan
diinvestasikan. Dalam analisis, pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh utama,
tokoh kedua, tokoh ketiga, dan seterusnya. Studi psikologi yang terakhir berkaitan
dengan sosiologi sastra dan resepsisastra, sebagai psikologi sosial.
Dengan penjelasan diatas, sebagaimana sosiologi sastra, psikologi sastra dapat
dilakukan penelitian melalui dua cara, pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi
kemudian diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu
menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teoriteori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis. Pada umumnya
metodologi penelitian yang pertama memiliki kecendrungan untuk menempatkan karya
sastra sebagai gejala sekunder sebab cara-cara penelitian yang dimaksudkan
menganggap karya sastra sebagai gejala yang pasif, atau semata-mata sebagai objek
untuk mengaplikasikan teori.
Psikologi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah caracara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang
dinamis. Karya sastralah yang menentukan teori, bukan sebaliknya. Dengan mengambil
analogi hubungan antara psikolog dengan pasien di atas pada dasarnya sudah terjadi
keseimbangan antara karya sastra dengan teori. Artinya, dalam hubungan ini sudah
terjadi dialog, yang melaluinya akan terungkapkan berbagai probelmatika yang
terkandung dalam objek. Tidak ada dominasi dalam pengertian saling menolak di
antaranya, melainkan akan menghasilkan interaksi yang dinamis yang memungkinkan
untuk mengungkapkan berbagai gejala di balik gejala yang lain.
Seperti telah disinggung di depan, teori psikologi yang paling dominan dalam
analisis karya sastra adalah teori Freud (1856-1939) yang membedakan kepribadian
menjadi tiga macam, yaitu: Id, Ego, dan Super Ego. Banyak pendapat yang mengatakan
bahwa teori Freud hanya berhasil untuk mengungkapkan genesis karya sastra, jadi,
sangat dekat dengan penelitian proses kreatif. Relevansi teori Freud dianggap sangat
terbatas dalam rangka memahami sebuah karya sastra. Meskipun demikian, menurut
Milner (1992: xiii), peranan teori Freud tidak terbatas sebagaimana dinyatakan
sebelumnya. Menurutnya, teori Freud memiliki implikasi yang sangat luas tergantung
bagaimana cara mengoperasikannya. Di satu pihak, hubungan psikologi dengan sastra
didasarkan atas pemahaman, bahwa sebagaimana bahasa pasien, sastra secara langsung
menampilkan ketidaksadaran bahasa. Di pihak lain, kenyataan bahwa psikologi Freud
memanfaatkan mimpi, fantasi, dan mite, sedangkan ketiga hal tersebut merupakan
masalah pokok dalam sastra. Hubungan yang erat antara psikoanalisis, khususnya teoriteori Freud dengan sastra juga ditunjukkan melalui penelitiannya yang bertumpu pada
karya sastra, seperti Oedipe-Roi (Oedipus Sang Raja) karya Sophocles dan Hamlet karya
Shakespeare. Penelitian yang dilakukan oleh Freud sekaligus menunjukkan hubungan
antara ilmu kedokteran dengan sastra.
Teori Freud dengan demikian tidak terbatas untuk menganalisis asal-usul proses
kreatif seperti diduga sebelumnya. Sama dengan menghadapi seorang pasien, untuk
mengobati penyakitnya, seorang psikolog tidak melakukannya dengan menguraikan
asal-usul penyakitnya, melainkan dengan cara bercakap-cakap, berdialog, sehingga
terungkap seluruh depresi mentalnya, yaitu melalui pernyataan-pernyataan ketaksadaran
bahasanya. Bahasa inilah yang kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan
dalam pengobatannya. Hal yang sama juga dilakukan dalam analisis terhadap karya
sastra. Teori Freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis di
balik gejala bahasa. Oleh karena itulah, keberhasilan penelitian tergantung dari
kemampuan dalam mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oleh pengarang.
Benar, yang sangat dominan adalah tokoh-tokoh terapi perlu disadari bahwa keseluruhan
unsur disajikan melalui bahasa. Bagaimana tokoh-tokoh, gaya bahasa, latar, dan unsurunsur lain yang muncul secara berulang-ulang, jelas menunjukkan ketaksadaran bahasa
dan memiliki arti secara khas. Bagi Freud, asa psikologi adalah alam bawah sadar, yang
disadari
secara
samar-samar
oleh
individu
yang
bersangkutan.
Menurutnya,
ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri
setiap orang.
Tingkah laku tokoh dapat dipahami hanya dalam arti keseluruhan kelompok di
mana ia menjadi anggota. Dengan kalimat lain, individu memperoleh makna melalui
orang lain yang ada di sekitarnya. Kelompok rujukan dapat mempengaruhi tingkah laku
individu meskipun mereka tidak hadir secara fisikal. Psikologi sosial seperti di atas
diharapkan dapat membuka wawasan pemahaman psikologi sastra.
Psikolgi sastra jelas tidak bermaksud untuk membuktikan keabsahan teori
psikologi, misalnya, dengan menyesuaikan apa yang dilakukan oleh teks dengan apa
yang dilakukan oleh pengarang atau teori Freud. Psikologi sastra adalah analisis dengan
mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan
perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin, yang mungkin
saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hubungan inilah peneliti harus
menemukan gejala yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh pengarangnya,
yaitu dengan memanfaatkan teori-teori psikologi yang dianggap relevan. Menurut
Wellek dan warren (1962: 92-93), dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi
sudah menyatu menjadi karya seni, oleh karena itu, tugas peneliti adalah
menguraikannya kembali sehingga menjadi jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh
karya tersebut.
Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh dan
penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis adalah
karya-karya yang memberikan intensitas pada aspek kejiwaan tersebut, karya sastra arus
kesadaran, seperti Belenggu, karya-karya Iwan Simatupang dan Putu Wijaya. Novelnovel konvensional pun dapat dianalisis dari segi psikologis dengan mempertimbangkan
dominasi konflik antartokoh.
2.4 Teori BPD
Gangguan kepribadian ambang atau dalam bahasa Inggris di kenal sebagai
Borderline Personality Disorder, biasa di singkat BPD, merupakan suatu gangguan
mental yang serius. Gangguan ini secara garis besar memiliki ciri dengan adanya bentuk
tidak stabilnya keadaan jiwa, konsep diri dan juga perilaku. Keadaan tidak stabil ini
seringkali mengacaukan hubungan dengan keluarga, pekerjaan, dan identitas seseorang
sebagai individu.
Dikatakan ambang karena memang diketahui penderitanya berada pada
‘’ambang’’ psikosis, para penderita gangguan ini mengalami kesulitan dalam
mengendalikan emosi yang mereka miliki (First, 1994: hal.650) dalam buku Diagnostic
Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM IV yang memuat berbagai macammacam masalah kejiwaan pada individu manusia. Individual ini sangat sensitif terhadap
keadaan sekitar, mereka sangat merasa ketakutan ditinggalkan atau di khianati oleh
orang sekitarnya, dan bisa sangat marah dan menjadi kasar walau hanya karena orang
yang sudah berjanji dengannya terlambat hanya beberapa menit. Di dalam pikiran
mereka percaya bahwa mereka di tinggalkan karena mereka ‘’buruk’’. Sering mereka
merasa diperlakukan tidak adil, salah dimengerti, dan sedikit pengetahuan tentang diri
mereka sendiri. Mereka bisa melakukan tindakan kekerasan atau bahkan bunuh diri jika
mereka merasa ‘’ditinggalkan’’. Individu dengan gangguan ini sangat senang
menghabiskan waktu dengan orang yang mereka cintai atau orang-orang yang dekat dan
dipercayainya. Perilaku mereka terhadap keluarga, teman, dan pasangan hidup
cenderung cepat berubah dari penuh kesetiaan dan cinta menjadi rasa tidak suka yang
tinggi dan juga kemarahan. Sedikit konflik mereka tanpa disangka akan berubah ekstrim
dan marah, menyimpulkan bahwa orang tersebut sama sekali tidak peduli dengannya.
Kebanyakan orang mampu menangani perasaan bertentangan ketika mereka
memiliki dua hal yang bertentangan pada satu waktu. Namun, pada penderita BPD
selalu mengalami perubahan secara total dalam hal sisi yang buruk maka mereka tidak
akan peduli sama sekali pada sisi baik mereka. BPD juga memiliki keterkaitan dengan
masalah kejiwaan lain seperti gangguan bipolar, depresi, kecemasan, dan berbagai
masalah gangguan kepribadian lainnya (First, 1994: hal.652). Namun, disini penulis
akan fokus terhadap gangguan Borderline ini.
Berikut ini sebagian kutipan dari buku Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder
atau DSM IV mengenai Borderline Disorder:
‘’The essential feature of Borderline Personality Disorder is a pervasive pattern of
instability of interpersonal relationships, self image, and affects, and marked
impulsivity that begins by early adulthood and is present in a variety of contexts.
Individuals with Borderline Personality Disorder make frantic efforts to avoid real
or imagined abandonment. The perception of impending separation or rejection, or
the lost external structure, can lead to profound changes in self-image, affect,
cognition and behavior. These individuals are very sensitive to environmental
circumstances. Their frantic efforts to avoid abandonment may include impulsive
action such as self-mutilating or suicidal behaviors. Individual with this disorder
display impulsivity in at least two areas that are potentially self damaging. They
may gamble, spend money irresponsibly, binge eat, abuses substances, engage in
unsafe sex. Individual with Borderline Personality Disorder may display affective
instability that is due to a marked reactivity of mood, often disrupted by periods of
anger, panic, or despair and is rarely relieved by periods of well-being or
satisfaction. Individual with this disorder frequently express inappropriate, intense
anger or have difficulty controlling their anger. They may display extreme sarcasm,
enduring bitterness, or verbal outburst’’
2.4.1 Penyebab BPD
Ada beberapa faktor penyebab BPD. Awalnya faktor itu belum terungkap,
namun saat ini sudah dapat dijelaskan di dalam buku DSM IV bahwa faktor penyebab
BPD itu adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh lingkungan
b. Pelecehan dan kekerasan masa kecil
Tambahan lain mengatakan ada juga karena Faktor Genetik dan Neurotransmitter
yang tidak seimbang walau kebanyakan BPD terjadi karena Pengaruh
Lingkungan dan Masa Kecil yang tidak baik.
Banyak studi menunjukan bahwa kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan dan
pelecehan akan menumbuhkan sifat BPD pada anak di kemudian hari. Penderita
gangguan borderline mengalami kekerasan verbal, emosi, fisik dan seksual pada masa
perkembangan kanak-kanaknya. Pendidikan orang tua di rumah juga ikut mempengaruhi
perkembangan BPD pada anak, seperti interaksi negatif antara orang tua-anak,
kurangnya empati dan lebih besar kritikan dibandingkan pujian kepada anak.
Ketidakseimbangan neurotransmitter seperti serotonin, norepinephrine dan acetylcholine
(berpengaruh pada jenis emosi dan mood); GABA, (stabilisator perubahan mood),
fungsi amygdala, ikut mempengaruhi perilaku-perilaku penderita BPD dalam merespon
stressor
yang
muncul.
Perilaku
impulsif
dan
agresivitas
disebabkan
oleh
ketidakseimbangan serotonin dan bagian wilayah prefrontal kortek.
2.4.2 Pengenalan Gejala BPD
BPD adalah sebuah nama untuk gangguan perilaku dengan gejala-gejala:
a.Tidak stabilnya keadaan jiwa
b.Paranoid
c.Impulsivitas
BPD secara internasional diklasifikasikan dan dijelaskan oleh diagnosis psikiatri,
DSM (Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder) yang keempat, atau dapat
disebut sebagai DSM IV.
2.4.3 Konsep Tidak Stabilnya Keadaan Jiwa
Individu dengan BPD seperti yang sudah dikatakan di atas, sangat cepat
mengalami perubahaan terhadap mood, dari yang baik dan penuh kasih sayang, bisa
dengan cepat menjadi kejam dan tak berperasaan, karena jiwa mereka berada di
‘’ambang’’, atau biasa disebut ‘’abu-abu’’. Penderita gangguan BPD tidak stabilnya
keadaan jiwa biasanya sulit sekali bersosialisasi dengan lingkungan sekitar karena
perubahaan mood yang begitu cepat bisa terjadi.
2.4.4 Konsep Paranoid
Individu dengan BPD juga berhubungan dengan Paranoid, karena takut dirinya di
cap buruk atau tidak berguna, dan sulit sekali untuk mempercayai orang lain. Seorang
BPD Paranoid memiliki ciri seperti berikut:
1. Bersikap posesif dan rasa cemburu yang besar karena rasa takut kehilangan
2. Tidak takut atau percaya terhadap norma-norma atau hukum yang berlaku
3. Pertanyaannya sangat detail dan sedalam-dalamnya karena rasa takut kecewa
yang besar
4. Merasa orang sekitar akan menyerangnya kapan saja sehingga selalu jaga jarak
dengan orang lain, biasanya dengan wajah yang tidak ramah dan mata yang
mengancam
2.4.5 Konsep Impulsivitas
Individu dengan BPD biasanya sangat impulsif. Mereka berbuat tanpa
memikirkan akibat apa yang akan terjadi. Mereka mempunyai kekurangan pada kerja
system kontrol yang dapat mengatur perilaku mereka.
BPD impulsivitas memiliki gejala-gejala di bawah ini:
1. Membantah dan mulai menyakiti seseorang yang di anggap sudah melukainya
tanpa menunggu selesai penjelasan dari orang tersebut.
2. Mengganggu kegiatan orang lain dan meminta perhatian
3. Makan dan minum yang mewah-mewah secara berlebihan
4. Hubungan seks yang tidak sehat dengan pemaksaan
Download