Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Penokohan Ishihara (2009:42) membahas tentang penokohan yaitu sebagai berikut [ ヒーロー ]。なんともいえずカッコいい響きを持つ言葉だ。 もともと 「英雄」といういみなのだが、小説や戯曲、シナリオ 「中心人物」のことも、男性は [ヒーロー]女性ハ 「ヒロイン」と 言ったりする。 Terjemahan : “Hero” bagaimanapun tidak bisa dikatakan berpenampilan menarik kecuali mempunyai perkataan yang bergaung dengan baik. Pada awalnya artinya adalah “eiyuu” (hero), tetapi dalam novel dan drama juga berarti “pemeran utama” dalam scenario. Bila lelaki disebut “hero”, bila perempuan disebut “heroine”. ところで、いまなにげなく「中心人物」といういい方を使ったが、 ぼくたちはまるで当然のように、小説の 「作中人物」、しかも中心的 な人物に自分の感情を投影したり、同化したりしながら物語を読みすす めていく。そして、実はそれが小説という言葉だけの世界では、ほかの 言葉と同等な、ただの記号であることを忘れてしまっている。 Terjemahan : Sekarang, tidak hanya (tokoh utama) yang disebut orang baik, tetapi kami sebagai mana benar pastinya hanya kemungkinan perasaan sendiri (orang yang membuat novel), mengerti dari maksud tujuan itu dan perpaduan cerita bacaan yang berkelanjutan, Dan, sebenarnya ini hanya sebutan di dunia novel saja, kata yang lain dan bersamaan, hanya sebagai tanda yang pernah anda lupakan. 2.2 Teori Penokohan menurut Burhan Nurgiyantoro Definisi tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiyantoro adalah sebagai berikut, Tokoh cerita (character) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 2002:165) Melalui tokoh cerita, penulis juga dapat menyampaikan pesan, amanat, moral atau sesuatu yang memang ingin disampaikannya kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2002:167). Dalam bukunya, Nurgiyantoro (2002:178-181) membedakan jenis-jenis tokoh dari segi peranan, fungsi penampilan tokoh,dan berdasarkan perwatakan. Akan tetapi, karena fokus penelitian penulis bukanlah pada masalah penokohan, maka penulis hanya akan menggunakan dua dari jenis pembedaan tokoh, yakni pembedaan tokoh dari segi peranan dan fungsi penampilan tokoh, sebagai berikut: a. Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peranan penting / terpenting dalam cerita. Dialah yang menjadi pendukung ide / tema utama dalam cerita. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian, maupun yang dikenai kejadian. Tokoh utama dalam beberapa novel dan drama tertentu senantiasa hadir dalam setiap kejadian bahkan dapat ditemui dalam tiap episode atau halaman buku cerita yang bersangkutan, secara garis besar yang mendominasi jalannya sebuah cerita. Namun, ada juga novel dan drama yang tidak selalu menampilkan tokoh utamanya dalam setiap kejadian, tapi setiap kejadian itu tetap berkaitan erat dengan tokoh utama. Tokoh utama itu mungkin hanya seorang, mungkin pula lebih dari seorang. Tokoh utama yang paling penting dinamakan tokoh inti atau tokoh pusat (central / main character). Sementara tokoh tambahan merupakan tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itupun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. Tokoh tambahan adalah tokoh yang mendukung cerita dan perwatakan dari tokoh utama. Dia diperlukan untuk mempertajam dan menonjolkan peranan dan perwatakan tokoh utama serta memperjelas tema pokok atau tema major yang disampaikan. Tokoh pembantu itu mungkin seorang, mungkin pula lebih dari seorang seseuai dengan keterlibatan serta sumbangan mereka dalam menampilkan tokoh utama dan jalannya cerita. b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis Tokoh protagonis merupakan pemeran atau pemain utama / utama yang mendukung ide prinsipal dalam cerita dan biasanya mempunyai rencana dan maksud tertentu. Ia menentukan plot secara keseluruhan, menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan dan harapan penonton / pembaca. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, waktu yang digunakan untuk mengisahkan pengalaman protagonis lebih panjang. Terkadang judul cerita juga mengungkapkan siapa yang dimaksudkan sebagai protagonis. Tokoh ini mewakili yang baik dan terpuji, karena itu biasanya tokoh protagonis menarik simpati penonton atau pembaca. Berbeda dengan tokoh protagonis, tokoh antagonis berarti peran lawan atau pemain kedua yang biasanya menentang atau berusaha mengagalkan rencana dan keinginan pemain pertama. Tokoh antagonis biasanya mewakili pihak yang jahat atau yang salah. Oleh karena itu, tokoh antagonis seringkali disebut sebagai penyebab terjadinya konflik, ketegangan dalam sebuah cerita. Tokoh antagonis, barangkali dapat disebut beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung maupun tak langsung, bersifat fisik maupun batin. Tokoh-tokoh cerita ini kemudian oleh penulis dihadirkan kepada pembaca dengan menggunakan teknik ekspositori, yakni teknik pelukisan tokoh cerita dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung, atau dengan menggunakan teknik dramatik, yakni teknik pelukisan tokoh dimana penulis membiarkan parah tokoh cerita untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi (Nurgiyantoro, 2002:195-198). 2.3 Teori Psikologi Sastra Pada dasarnya, baik sosiologi sastra dan psikologi sastra, maupun antropologi sastra, dibangun atas dasar asumsi-asumsi genesis, dalam kaitannya dengan asal usul karya. Apabila sosiologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya, sebagai latar belakang sosialnya, maka psikologi sastra dianalisis dalam kaitannya dengan psike, dengan aspek-aspek kejiwaan pengarang. Secara definitif antropologi sastra dengan sendirinya membicarakan karya sastra dalam kaitannya dengan manusia dalam masyarakat, lebih khusus lagi manusia sebagai asal-usul bahasa. Harus diakui, khususnya di Indonesia, analisis psikologi sastra lebih lambat perkembangannya dibandingkan dengan sosiologi sastra. Ada beberapa indikator yang diduga merupakan penyebabnya, di antaranya: a) psikologi sastra seolah-olah hanya berkaitan dengan manusia sebagai individu, kurang memberikan peranan terhadap subjek transindividual, sehingga analisis dianggap sempit, b) dikaitkan dengan tradisi intelektual, teori-teori psikologi sangat terbatas, sehingga para sarjana sastra kurang memiliki pemahaman terhadap bidang psikologi sastra, c) berkaitan dengan masalah pertama dan kedua, relevansi analisis psikologis pada gilirannya kurang menarik minat, khususnya di kalangan mahasiswa, yang dapat dibuktikan dengan sedikitnya skripsi dan karya tulis yang lain yang memanfaatkan pendekatan psikologi sastra. Terlepas dengan masalah-masalah di atas, dengan pertimbangan bahwa karya sastra mengandung aspek-aspek kejiwaan yang sangat kaya, maka analisis psikologi sastra perlu dimotifikasi dan dikembangkan secara lebih serius. Hal ini perlu lebih diperhatikan khususnya di perguruan tinggi yang belum memiliki Fakultas Psikologi. Psikologi, khususnya psikologi analitik diharapkan mampu untuk menemukan aspekaspek ketidaksadaran yang diduga merupakan sumber-sumber penyimpangan psikologis sekaligus dengan terapi-terapinya. Psikologi sastra tidak bermaksud untuk memecahkan masalah-masalah psikologis praktis. Secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspekaspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat, khusunya yang ada kaitannya dengan psikis ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Pembicaraan pertama berhubungan dengan peranan pengarang sebagai pencipta, jadi karya sastra dalam kaitannya dengan proses kreatif. Wellek dan Warren (1962: 81) membedakan analisis psikologis yang pertama ini menjadi dua macam, yaitu studi psikologi yang semata-mata berkaitan dengan pengarang, seperti kelainan kejiwaan, sebagai sejenis gejala neurosis, sedangkan studi yang kedua berhubungan dengan inspirasi, ilham, dan kekuatankekuatan supranatural lainnya. Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Sebagai dunia dalam kata karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya, aspekaspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab sematamata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan. Dalam analisis, pada umumnya yang menjadi tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan seterusnya. Studi psikologi yang terakhir berkaitan dengan sosiologi sastra dan resepsisastra, sebagai psikologi sosial. Dengan penjelasan diatas, sebagaimana sosiologi sastra, psikologi sastra dapat dilakukan penelitian melalui dua cara, pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian diadakan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teoriteori psikologi yang dianggap relevan untuk melakukan analisis. Pada umumnya metodologi penelitian yang pertama memiliki kecendrungan untuk menempatkan karya sastra sebagai gejala sekunder sebab cara-cara penelitian yang dimaksudkan menganggap karya sastra sebagai gejala yang pasif, atau semata-mata sebagai objek untuk mengaplikasikan teori. Psikologi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah caracara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Karya sastralah yang menentukan teori, bukan sebaliknya. Dengan mengambil analogi hubungan antara psikolog dengan pasien di atas pada dasarnya sudah terjadi keseimbangan antara karya sastra dengan teori. Artinya, dalam hubungan ini sudah terjadi dialog, yang melaluinya akan terungkapkan berbagai probelmatika yang terkandung dalam objek. Tidak ada dominasi dalam pengertian saling menolak di antaranya, melainkan akan menghasilkan interaksi yang dinamis yang memungkinkan untuk mengungkapkan berbagai gejala di balik gejala yang lain. Seperti telah disinggung di depan, teori psikologi yang paling dominan dalam analisis karya sastra adalah teori Freud (1856-1939) yang membedakan kepribadian menjadi tiga macam, yaitu: Id, Ego, dan Super Ego. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa teori Freud hanya berhasil untuk mengungkapkan genesis karya sastra, jadi, sangat dekat dengan penelitian proses kreatif. Relevansi teori Freud dianggap sangat terbatas dalam rangka memahami sebuah karya sastra. Meskipun demikian, menurut Milner (1992: xiii), peranan teori Freud tidak terbatas sebagaimana dinyatakan sebelumnya. Menurutnya, teori Freud memiliki implikasi yang sangat luas tergantung bagaimana cara mengoperasikannya. Di satu pihak, hubungan psikologi dengan sastra didasarkan atas pemahaman, bahwa sebagaimana bahasa pasien, sastra secara langsung menampilkan ketidaksadaran bahasa. Di pihak lain, kenyataan bahwa psikologi Freud memanfaatkan mimpi, fantasi, dan mite, sedangkan ketiga hal tersebut merupakan masalah pokok dalam sastra. Hubungan yang erat antara psikoanalisis, khususnya teoriteori Freud dengan sastra juga ditunjukkan melalui penelitiannya yang bertumpu pada karya sastra, seperti Oedipe-Roi (Oedipus Sang Raja) karya Sophocles dan Hamlet karya Shakespeare. Penelitian yang dilakukan oleh Freud sekaligus menunjukkan hubungan antara ilmu kedokteran dengan sastra. Teori Freud dengan demikian tidak terbatas untuk menganalisis asal-usul proses kreatif seperti diduga sebelumnya. Sama dengan menghadapi seorang pasien, untuk mengobati penyakitnya, seorang psikolog tidak melakukannya dengan menguraikan asal-usul penyakitnya, melainkan dengan cara bercakap-cakap, berdialog, sehingga terungkap seluruh depresi mentalnya, yaitu melalui pernyataan-pernyataan ketaksadaran bahasanya. Bahasa inilah yang kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan dalam pengobatannya. Hal yang sama juga dilakukan dalam analisis terhadap karya sastra. Teori Freud dimanfaatkan untuk mengungkapkan berbagai gejala psikologis di balik gejala bahasa. Oleh karena itulah, keberhasilan penelitian tergantung dari kemampuan dalam mengungkapkan kekhasan bahasa yang digunakan oleh pengarang. Benar, yang sangat dominan adalah tokoh-tokoh terapi perlu disadari bahwa keseluruhan unsur disajikan melalui bahasa. Bagaimana tokoh-tokoh, gaya bahasa, latar, dan unsurunsur lain yang muncul secara berulang-ulang, jelas menunjukkan ketaksadaran bahasa dan memiliki arti secara khas. Bagi Freud, asa psikologi adalah alam bawah sadar, yang disadari secara samar-samar oleh individu yang bersangkutan. Menurutnya, ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang. Tingkah laku tokoh dapat dipahami hanya dalam arti keseluruhan kelompok di mana ia menjadi anggota. Dengan kalimat lain, individu memperoleh makna melalui orang lain yang ada di sekitarnya. Kelompok rujukan dapat mempengaruhi tingkah laku individu meskipun mereka tidak hadir secara fisikal. Psikologi sosial seperti di atas diharapkan dapat membuka wawasan pemahaman psikologi sastra. Psikolgi sastra jelas tidak bermaksud untuk membuktikan keabsahan teori psikologi, misalnya, dengan menyesuaikan apa yang dilakukan oleh teks dengan apa yang dilakukan oleh pengarang atau teori Freud. Psikologi sastra adalah analisis dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin, yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hubungan inilah peneliti harus menemukan gejala yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh pengarangnya, yaitu dengan memanfaatkan teori-teori psikologi yang dianggap relevan. Menurut Wellek dan warren (1962: 92-93), dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu menjadi karya seni, oleh karena itu, tugas peneliti adalah menguraikannya kembali sehingga menjadi jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh karya tersebut. Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh dan penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis adalah karya-karya yang memberikan intensitas pada aspek kejiwaan tersebut, karya sastra arus kesadaran, seperti Belenggu, karya-karya Iwan Simatupang dan Putu Wijaya. Novelnovel konvensional pun dapat dianalisis dari segi psikologis dengan mempertimbangkan dominasi konflik antartokoh. 2.4 Teori BPD Gangguan kepribadian ambang atau dalam bahasa Inggris di kenal sebagai Borderline Personality Disorder, biasa di singkat BPD, merupakan suatu gangguan mental yang serius. Gangguan ini secara garis besar memiliki ciri dengan adanya bentuk tidak stabilnya keadaan jiwa, konsep diri dan juga perilaku. Keadaan tidak stabil ini seringkali mengacaukan hubungan dengan keluarga, pekerjaan, dan identitas seseorang sebagai individu. Dikatakan ambang karena memang diketahui penderitanya berada pada ‘’ambang’’ psikosis, para penderita gangguan ini mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi yang mereka miliki (First, 1994: hal.650) dalam buku Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM IV yang memuat berbagai macammacam masalah kejiwaan pada individu manusia. Individual ini sangat sensitif terhadap keadaan sekitar, mereka sangat merasa ketakutan ditinggalkan atau di khianati oleh orang sekitarnya, dan bisa sangat marah dan menjadi kasar walau hanya karena orang yang sudah berjanji dengannya terlambat hanya beberapa menit. Di dalam pikiran mereka percaya bahwa mereka di tinggalkan karena mereka ‘’buruk’’. Sering mereka merasa diperlakukan tidak adil, salah dimengerti, dan sedikit pengetahuan tentang diri mereka sendiri. Mereka bisa melakukan tindakan kekerasan atau bahkan bunuh diri jika mereka merasa ‘’ditinggalkan’’. Individu dengan gangguan ini sangat senang menghabiskan waktu dengan orang yang mereka cintai atau orang-orang yang dekat dan dipercayainya. Perilaku mereka terhadap keluarga, teman, dan pasangan hidup cenderung cepat berubah dari penuh kesetiaan dan cinta menjadi rasa tidak suka yang tinggi dan juga kemarahan. Sedikit konflik mereka tanpa disangka akan berubah ekstrim dan marah, menyimpulkan bahwa orang tersebut sama sekali tidak peduli dengannya. Kebanyakan orang mampu menangani perasaan bertentangan ketika mereka memiliki dua hal yang bertentangan pada satu waktu. Namun, pada penderita BPD selalu mengalami perubahan secara total dalam hal sisi yang buruk maka mereka tidak akan peduli sama sekali pada sisi baik mereka. BPD juga memiliki keterkaitan dengan masalah kejiwaan lain seperti gangguan bipolar, depresi, kecemasan, dan berbagai masalah gangguan kepribadian lainnya (First, 1994: hal.652). Namun, disini penulis akan fokus terhadap gangguan Borderline ini. Berikut ini sebagian kutipan dari buku Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM IV mengenai Borderline Disorder: ‘’The essential feature of Borderline Personality Disorder is a pervasive pattern of instability of interpersonal relationships, self image, and affects, and marked impulsivity that begins by early adulthood and is present in a variety of contexts. Individuals with Borderline Personality Disorder make frantic efforts to avoid real or imagined abandonment. The perception of impending separation or rejection, or the lost external structure, can lead to profound changes in self-image, affect, cognition and behavior. These individuals are very sensitive to environmental circumstances. Their frantic efforts to avoid abandonment may include impulsive action such as self-mutilating or suicidal behaviors. Individual with this disorder display impulsivity in at least two areas that are potentially self damaging. They may gamble, spend money irresponsibly, binge eat, abuses substances, engage in unsafe sex. Individual with Borderline Personality Disorder may display affective instability that is due to a marked reactivity of mood, often disrupted by periods of anger, panic, or despair and is rarely relieved by periods of well-being or satisfaction. Individual with this disorder frequently express inappropriate, intense anger or have difficulty controlling their anger. They may display extreme sarcasm, enduring bitterness, or verbal outburst’’ 2.4.1 Penyebab BPD Ada beberapa faktor penyebab BPD. Awalnya faktor itu belum terungkap, namun saat ini sudah dapat dijelaskan di dalam buku DSM IV bahwa faktor penyebab BPD itu adalah sebagai berikut: a. Pengaruh lingkungan b. Pelecehan dan kekerasan masa kecil Tambahan lain mengatakan ada juga karena Faktor Genetik dan Neurotransmitter yang tidak seimbang walau kebanyakan BPD terjadi karena Pengaruh Lingkungan dan Masa Kecil yang tidak baik. Banyak studi menunjukan bahwa kekerasan terhadap anak, terutama kekerasan dan pelecehan akan menumbuhkan sifat BPD pada anak di kemudian hari. Penderita gangguan borderline mengalami kekerasan verbal, emosi, fisik dan seksual pada masa perkembangan kanak-kanaknya. Pendidikan orang tua di rumah juga ikut mempengaruhi perkembangan BPD pada anak, seperti interaksi negatif antara orang tua-anak, kurangnya empati dan lebih besar kritikan dibandingkan pujian kepada anak. Ketidakseimbangan neurotransmitter seperti serotonin, norepinephrine dan acetylcholine (berpengaruh pada jenis emosi dan mood); GABA, (stabilisator perubahan mood), fungsi amygdala, ikut mempengaruhi perilaku-perilaku penderita BPD dalam merespon stressor yang muncul. Perilaku impulsif dan agresivitas disebabkan oleh ketidakseimbangan serotonin dan bagian wilayah prefrontal kortek. 2.4.2 Pengenalan Gejala BPD BPD adalah sebuah nama untuk gangguan perilaku dengan gejala-gejala: a.Tidak stabilnya keadaan jiwa b.Paranoid c.Impulsivitas BPD secara internasional diklasifikasikan dan dijelaskan oleh diagnosis psikiatri, DSM (Diagnostic Statistical Manual of Mental Disorder) yang keempat, atau dapat disebut sebagai DSM IV. 2.4.3 Konsep Tidak Stabilnya Keadaan Jiwa Individu dengan BPD seperti yang sudah dikatakan di atas, sangat cepat mengalami perubahaan terhadap mood, dari yang baik dan penuh kasih sayang, bisa dengan cepat menjadi kejam dan tak berperasaan, karena jiwa mereka berada di ‘’ambang’’, atau biasa disebut ‘’abu-abu’’. Penderita gangguan BPD tidak stabilnya keadaan jiwa biasanya sulit sekali bersosialisasi dengan lingkungan sekitar karena perubahaan mood yang begitu cepat bisa terjadi. 2.4.4 Konsep Paranoid Individu dengan BPD juga berhubungan dengan Paranoid, karena takut dirinya di cap buruk atau tidak berguna, dan sulit sekali untuk mempercayai orang lain. Seorang BPD Paranoid memiliki ciri seperti berikut: 1. Bersikap posesif dan rasa cemburu yang besar karena rasa takut kehilangan 2. Tidak takut atau percaya terhadap norma-norma atau hukum yang berlaku 3. Pertanyaannya sangat detail dan sedalam-dalamnya karena rasa takut kecewa yang besar 4. Merasa orang sekitar akan menyerangnya kapan saja sehingga selalu jaga jarak dengan orang lain, biasanya dengan wajah yang tidak ramah dan mata yang mengancam 2.4.5 Konsep Impulsivitas Individu dengan BPD biasanya sangat impulsif. Mereka berbuat tanpa memikirkan akibat apa yang akan terjadi. Mereka mempunyai kekurangan pada kerja system kontrol yang dapat mengatur perilaku mereka. BPD impulsivitas memiliki gejala-gejala di bawah ini: 1. Membantah dan mulai menyakiti seseorang yang di anggap sudah melukainya tanpa menunggu selesai penjelasan dari orang tersebut. 2. Mengganggu kegiatan orang lain dan meminta perhatian 3. Makan dan minum yang mewah-mewah secara berlebihan 4. Hubungan seks yang tidak sehat dengan pemaksaan