BAB II MOTOR INDUKSI TIGA PHASA II. 1. Umum Motor induksi merupakan mesin arus bolak-balik yang berpenguatan tunggal atau disebut single-excited a.c machine. Belitan statornya dihubungkan secara langsung dengan sumber tegangan bolak-balik, sedangkan rotornya mendapatkan energi dari stator melalui induksi elektromagnetik. Motor induksi tiga phasa adalah jenis motor arus bolak balik (AC) yang paling banyak digunakan dalam industri. Hal ini dikarenakan, motor induksi lebih sederhana, kokoh, harganya murah, perawatannya mudah, untuk menjalankannya tidak membutuhkan penggerak mula dan karakteristiknya sesuai dengan yang dibutuhkan oleh industri pada umumnya. Akan tetapi motor induksi memiliki kelemahan yaitu: kecepatannya tidak bisa bervariasi tanpa mengubah efisiensi, apabila bebannya bertambah maka kecepatannya akan berkurang. II. 2. Konstruksi Motor Induksi Tiga phasa Motor induksi tiga fasa memiliki dua komponen dasar yaitu stator (komponen yang diam) dan rotor (bagian berputar), bagian stator dipisahkan dengan bagian rotor oleh celah udara yang sempit (air gap). Universitas Sumatera Utara II. 2. 1. Stator Rangka luarnya terbuat dari baja maupun alumunium, sedangkan intinya berupa lapisan-lapisan yang terbuat dari baja silikon untuk mengurangi rugi-rugi hysterisis dan edy current. Pada intinya terdapat rongga (slot) yang berisolasi sebagai tempat belitannya. Kawat belitannya terbuat dari tembaga yang berisolasi. Belitannya digulung untuk jumlah kutub tertentu, yang diperlukan dalam menentukan kecepatan. Semakin banyak jumlah kutub maka semakin rendah kecepatan motor. Konstruksi stator dapat dilihat pada Gambar 2.1 Gambar 2.1. Konstruksi Stator II. 2. 2. Rotor Rotor motor induksi tiga phasa dibedakan menjadi rotor sangkar (squirrel cage rotor) dan rotor belitan (wound rotor). Rotor sangkar (squirrel cage rotor) terdiri dari inti silinder yang berlapislapis dengan slot (alur) yang paralel sebagai tempat untuk membawa konduktor rotor. Konduktor rotor berbentuk batangan (bar) yang terbuat dari tembaga, aluminium atau logam campuran. Masing-masing batangan (bar) diletakkan pada slotnya masing-masing. Ujung batang konduktor di hubung singkat dengan cara Universitas Sumatera Utara mengelas dan mengikat dengan cincin akhir (short-circuiting end-rings). Gambar rotor sangkar dapat dilihat pada Gambar 2.2 Rotor belitan (wound rotor) terdiri dari inti silinder yang berlapis-lapis, akan tetapi konduktor rotornya berupa gulungan tiga phasa yang digulung dengan jumlah kutub yang sama dengan jumlah kutub stator. Bagian akhir belitan yang terbuka dikeluarkan yang dihubungkan dengan tiga buah slip ring yang terisolasi yang menonjol pada tangkai rotor dan dihubungkan dengan sikat. Hal ini bertujuan agar dapat menambahkan tahanan tambahan pada rangkaian rotor selama periode starting untuk meningkatkan torsi start. Gambar rotor belitan dapat dilihat pada Gambar 2.3: Gambar 2.2 Rotor Sangkar (squirrel cage rotor) Gambar 2.3. Rotor belitan (wound rotor) Universitas Sumatera Utara II. 3. GGL Induksi Pada Konduktor Yang Memotong Fluks Magnit Teori tentang timbulnya GGL induksi pada suatu konduktor yang berada dalam medan magnit pertama kali dikemukakan oleh Michael Faraday. Teori itu dijelaskan melalui suatu hukum yang disebut hukum pertama Faraday yang berbunyi: “Ketika fluks magnit yang melalui sebuah konduktor atau kumparan berubah, maka GGL induksi akan diinduksikan pada konduktor atau kumparan tersebut” Atau dapat dikatakan: “Apabila konduktor memotong fluks magnet, maka GGL induksi akan diinduksikan pada konduktor tersebut” Sedangkan arah GGL yang diinduksikan pada konduktor yang memotong fluks magnit ditentukan dengan menggunakan kaidah tangan kanan Fleming yaitu jari jempol menunjukkan arah gerak dari konduktor tersebut, jari telunjuk menunjukkan arah medan, dan jari tengah menunjukkan arah GGL. GGL yang diinduksikan pada konduktor tersebut ditentukan dengan persamaan 2.1: e ind = (v x B).l (2.1) Dimana: v = kecepatan gerak dari konduktor (m/s) B = intensitas fluks magnit (Wb/m2) l = panjang dari konduktor (m) Gambar 2.4 memperlihatkan sebuah konduktor yang memotong fluks magnit beserta arah GGL yang diinduksikan pada konduktor tersebut. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4 Konduktor yang memotong fluks magnit dan arah GGL yang diinduksikan pada konduktor tersebut sesuai dengan kaidah tangan kanan Fleming II. 4. Gaya Pada Konduktor Yang Dialiri Arus Yang Berada Dalam Medan Magnit Apabila arus listrik mengalir pada suatu konduktor di dalam suatu medan magnit dengan kerapatan fluks magnit B, maka pada konduktor tersebut akan timbul gaya. Besarnya Gaya tersebut dapat ditentukan dengan persamaan 2.2 dan 2.3: F = i.(l x B) (2.2) = i. l. B.sin θ (2.3) Atau: F Dimana: F = Gaya Pada konduktor (Newton) i = Besarnya arus yang mengalir pada konduktor (Ampere) l = Panjang konduktor (m) B = Rapat Fluks magnit (Wb/m2) θ = sudut antara konduktor dengan rapat fluks Universitas Sumatera Utara Arah gaya pada konduktor tersebut ditentukan dengan menggunkan kaidah tangan kiri Fleming, dengan jempol menunjukkan arah gaya, telunjuk menunjukkan arah medan, dan jari tengah menunjukkan arah arus. Gambar 2.5 menunjukkan arah gaya pada suatu konduktor yang dialiri arus dengan arah arus menju pembaca dan arah medan dari kiri ke kanan. Gambar 2.5 Arah Gaya pada konduktor yang dialiri arus dalam suatu medan magnit II. 5. Medan Putar Apabila belitan tiga phasa di beri tegangan dari sumber tiga phasa, maka akan menghasilkan medan magnet putar. Medan magnet yang dihasilkan ini tidak berada pada posisi yang tetap pada stator, akan tetapi bergerak menggeser posisi mereka mengitari stator. Oleh karena itu maka medan magnet ini disebut medan putar. Besar medan magnet ini konstan dan besarnya 1.5 Φm, dimana Φm adalah fluks maksimum pada setiap phasa. Untuk melihat medan putar dihasilkan, dapat diberi contoh pada motor induksi 3 phasa 2 kutub, yang contoh belitannya dapat dilihat pada Gambar 2.6 dimana masing-masing phasa berbeda sudut sebesar 120º Universitas Sumatera Utara Gambar 2.6 Motor induksi 3 phasa yang belitannya berbeda sudut sebesar 120º Apabila ketiga phasanya disuply tegangan 3 phasa, maka akan mengalir arus tiga phasa I R , I S , I T yang bentuknya ditunjukkan pada Gambar 2.7 , maka akan timbul fluks yang dihasilkan arus tersebut yang sesuai dengan Persamaan 2.4, 2.5, dan 2.6: Φ R = Φm sin ωt ( 2.4 ) Φ S = Φm sin (ωt – 120o ) ( 2.5 ) Φ T = Φm sin (ωt – 240o ) ( 2.6 ) Universitas Sumatera Utara Gambar 2.7 Bentuk aliran arus pada motor induksi tiga phasa Maka arah fluks magnet yang berputar yang disebabkan arus yang mengalir untuk setiap posisi seperti pada Gambar 2.8 dapat kita lihat pada gambar (a) (b) (c) (d) Gambar 2.8 Fluks magnet yang berputar yang disebabkan oleh arus yang mengalir pada posisi tertentu. a) Pada posisi sesaat 1 (pada Gambar ), arus yang mengalir pada phasa R adalah nol dan arus pada phasa S dan T sama besar dan bertentangan. Arus pada bagian atas mempunyai arah menuju pembaca, dan arus pada bagian bawah menjauhi pembaca. Sehingga resultan fluks magnet yang dibangkitkan memiliki arah ke kanan. Besar resultan fluks ini adalah konstan dan besarnya 1,5 Φm. Nilai tersebut dapat dibuktikan sebagai berikut: pada saat posisi sesaat 1, ωt = 0º, sehingga besarnya nilai ketiga fluksnya adalah: Universitas Sumatera Utara ΦR = 0; Φ S = Φ m sin ( -120o ) = − 3 Φm ; 2 Φ T = Φ m sin ( -240o ) = 3 Φm 2 Besarnya resultan fluksnya adalah sama dengan penjumlahan antar vektor –Φ T dan –Φ S . Besarnya resultan fluks adalah: Φ RS = 2 x 60° 3 3 3 Φ m cos = 2x Φx 2 2 2 2 Φ RS = 1,5Φ m b) Pada keadaan 2, arus bernilai maksimum negatif pada fasa S, sedangkan pada R dan fasa T bernilai 0,5 maksimum pada fasa R dan fasa T. Pada saat sesaat di posisi 2, ωt = 30º. Sehingga besarnya fluksi adalah: Φ R = Φ m sin (30o) = Φm 2 Φ S = Φ m sin ( -90o ) = − Φ m Φ T = Φ m sin (-120o) = Φm 2 Besarnya fluks resultan adalah (Φ RS ) Penjumlahan dari Φ R, - Φ S , Φ T Penjumlahan dari Φ R dan - Φ S adalah: Φ RS’ = 2 x Φm 120° Φ m = cos 2 2 2 Universitas Sumatera Utara Jadi Fluks resultannya adalah: Φ RS = Φm + Φ m = 1.5Φ m 2 c) Pada keadaan 2, arus pada fasa R dan fasa T memiliki besar yang sama dan arahnya berlawanan ( 0,866 Φ m ), oleh karena itu fluks yang diberikan oleh masing – masing fasa : 3 Φm 2 ΦR = Φ m sin (60o) = ΦS = Φ m sin (-60o) = − ΦT = Φ m sin (-180o) = 0 3 Φm 2 Resultan Fluksnya adalah penjumlahan dari Φ R dan Φ S Φ RS = 2 x 3 60° Φ m cos = 1,5 Φ m 2 2 d) Pada keadaan ini ωt = 90o, arus pada fasa R maksimum ( positif), dan arus pada fasa S dan fasa T = 0,5 Φ m , oleh karena itu fluks pada masing – masing fasa adalah: Φ R = Φ m sin ( 90o ) = Φ m Φ S = Φ m sin ( -30o ) = − Φm 2 Φ T = Φ m sin ( -150o ) = − Φm 2 Maka jumlah - Φ T dan – Φ S adalah: Φ RS’ = 2 x Φm 120° Φ m = cos 2 2 2 Universitas Sumatera Utara Sehingga resultannya adalah: Φ RS = Φm + Φ m = 1,5 Φ m 2 II. 6. Prinsip Kerja Motor Induksi Tiga phasa Adapun prinsip kerja motor induksi tiga phasa adalah sebagai berikut: 1. Kumparan medan pada Stator di supply dengan tegangan bolak-balok tiga phasa, karena rangkaian tertutup maka akan mengalir arus tiga phasa. 2. Arus yang mengalir akan menyebabkan fluks yang berubah-ubah untuk setiap waktu pada tiap-tiap phasa. 3. Penjumlahan fluks dari masing-masing phasa akan menghasilkan resultan fluks. Yang mana resultan fluks ini disebut juga dengan medan putar. Medan putar ini akan berputar mengelilingi stator, dimana kecepatan medan putar sebanding dengan frekuensi sumber tegangan (f) dan berbanding terbalik dengan jumlah kutub (P) pada motor. Besarnya kecepatan fluks putar ini dirumuskan dengan ns = 120. f (rpm) P (2.7) 4. Medan putar ini maka akan memotong kumparan medan pada stator, sehingga timbul tegangan induksi pada kumparan medan, yang besarnya adalah: atau dΦ dt e1 = − N1 . E1 = 4,44.f. Φ max . N 1 (Volt) (2.8) (Volt) (2.9) Dimana: E1 = Tegangan induksi stator (Volt) N1 = Jumlah lilitan kumparan stator Ф max = Fluksi maksimum (Wb). Universitas Sumatera Utara 5. Medan putar akan memotong batang-batang konduktor rotor yang diam, sehingga menimbulkan tegangan induksi pada rotor, yang besarnya: atau dΦ dt e2 = − N2. E2 = 4,44.f. Φ max . N (Volt) (2.10) 2 (Volt) (2.11) dimana: E2 = Tegangan induksi pada rotor saat rotor dalam keadaan diam (Volt) N2 = Jumlah lilitan kumparan rotor Ф max = Fluksi maksimum(Wb). Arah tegangan induksi pada rotor dapat ditentukan dengan menggunakan kaidah tangan kanan Fleming. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.9. Gambar 2.9. Arah Tegangan Induksi dan Arah Gaya pada rotor Pada gambar 2.9 arah medan putar dari motor induksi yang diasumsikan berputar searah jarum jam, karena dalam kondisi ini rotor dianggap belum berputar sehingga arah gerak relatif rotor dengan medan putar adalah berlawanan Universitas Sumatera Utara arah jarum jam. Sehingga dengan menerapkan kaidah tangan Fleming maka arah tegangan induksi pada rotor sebelah kiri adalah menuju pembaca. 6. Karena rotor merupakan rangkaian tertutup maka akan mengalir arus I 2 pada rotor. Arah arus yang mengalir pada rotor sama dengan arah tegangan induksi. 7. Akibat adanya arus (I 2 ) yang mengalir dalam medan yang berasal dari stator maka akan menimbulkan gaya ( F ) pada rotor. Pada Gambar 2.9 diketahui bahwa arah arus yang mengalir pada konduktor adalah menuju menuju pembaca, sehingga dengan menggunakan kaidah tangan kiri Fleming maka arah gaya pada motor adalah keatas atau dapat dikatakan searah jarum. 8. Gaya ini akan menghasilkan torsi (τ), apabila torsi yang dihasilkan lebih besar dari torsi beban maka rotor akan berputar dengan kecepatan n r yang searah dengan medan putar statornya. 9. Pada saat berputar, maka ada perbedaan kecepatan antara kecepatan medan putar stator (n s ) dengan kecepatan rotor (n r ) perbedaan ini disebut dengan slip (s). Besarnya slip ini dirumuskan dengan: s = ns − nr x 100 % ns (2.12) 10. Ketika rotor masih dalam keadaan diam, maka frekuensi arus pada rotor sama seperti frekuensi masukan (sumber). Tetapi ketika rotor berputar, maka frekuensi rotor akan bergantung kepada kecepatan relatif atau bergantung terhadap besarnya slip. Untuk besar slip tertentu, maka frekuensi rotor sebesar f ' yaitu, Universitas Sumatera Utara f’= ( Ns − Nr ) P 120 (2.13) dengan mensubstitusikan persamaan 2.12 ke persamaan 2.13 maka diperoleh: f’ = s.Ns.P 120 (2.14) sehingga diperoleh besarnya frekuensi rotor untuk slip tertentu adalah: f’ = s. f (2.15) 11. Pada saat motor berputar, besarnya tegangan induksi pada rotor dapat dilihat pada persamaan 2.16. E 2S = f ’.4,44. Φ max . N 2 (Volt) (2.16) Dimana: E 2S = Tegangan Induksi pada rotor pada saat berputar (Volt) f’ = Frekuensi rotor pada saat berputar (Hertz) Dengan mensubstitusikan persamaan 2.15 kedalam persamaan 2.16, maka diperoleh: E 2S = s. f. 4,44. Φ max . N 2 (Volt) (2.17) Dengan mensubstitusikan persamaan 2.11 ke persamaan 2.17 maka besarnya tegangan induksi pada rotor pada saat berputar adalah: E 2S = s. E 2 (Volt) (2.18) Dari persamaan 2.18 maka dapat dilihat bahwa besarnya tegangan induksi pada saat rotor berputar dipengaruhi oleh slip. Universitas Sumatera Utara Motor induksi tidak dapat berputar pada kecepatan sinkron. Seandainya hal ini terjadi, maka rotor akan relatif diam terhadap fluksi yang berputar, akibatnya tidak akan ada ggl yang diinduksikan dalam rotor dan menyebabkan tidak ada arus yang mengalir pada rotor, sehingga pada rotor tidak akan dihasilkan gaya. Kecepatan rotor sekalipun tanpa beban, harus lebih kecil sedikit dari kecepatan sinkron agar adanya tegangan induksi pada rotor, dan akan menghasilkan arus di rotor, arus induksi ini akan berinteraksi dengan fluks listrik sehingga menghasilkan gaya. Apabila persamaan 2.12 kita substitusikan ke persamaan 2.18 maka akan memberikan informasi yaitu: 1. Saat s = 1 dimana nr = 0, ini berati rotor masih dalam keadaan diam atau akan berputar. 2. s = 0 menyatakan bahwa n s = nr , ini berarti rotor berputar sampai kecepatan sinkron. Hal ini dapat terjadi jika ada arus dc yang diinjeksikan ke belitan rotor, atau rotor digerakkan secara mekanik. 3. 0 < s < 1, ini berarti kecepatan rotor diantara keadaan diam dengan kecepatan sinkron. Kecepatan rotor dalam keadaan inilah dikatakan kecepatan tidak sinkron. II. 7. Rangkaian Ekivalen Motor Induksi Tiga phasa Pada motor induksi, tidak ada sumber listrik yang langsung terhubung ke rotor dan proses transfer energi dari stator ke rotor melalui induksi, sehingga motor induksi disebut juga trafo dengan kumparan sekunder yang berputar. Universitas Sumatera Utara II. 7. 1. Rangkaian Stator Fluks pada celah udara yang berputar menghasilkan GGL induksi lawan pada setiap phasa dari stator. Sehingga tegangan terminal V1 menjadi ggl induksi lawan ( E1 ) dan jatuh tegangan pada impedansi bocor stator. Sehingga persamaan tegangan pada stator adalah: V1 = E1 + I1 ( R 1 + j X 1 ) (Volt) (2.19) Dimana: V1 = tegangan terminal stator (Volt) E1 = GGL lawan yang dihasilkan oleh resultan fluks celah udara (Volt) I 1 = arus stator (Ampere) R1 = resistansi stator (Ohm) X 1 = reaktansi bocor stator (Ohm) Sama seperti halnya dengan trafo, maka arus stator ( I 1 ) terdiri dari dua buah komponen. Salah satunya adalah komponen beban (I 2 ’). Salah satu komponen yang lain adalah arus eksitasi I e (exciting current). Arus eksitasi dapat dibagi menjadi dua komponen yaitu, komponen rugi-rugi inti Ic yang sephasa dengan E 1 dan komponen magnetisasi Im yang tertinggal 90º dengan E 1 . Arus Ic akan menghasilkan rugi-rugi inti dan arus Im akan menghasilkan resultan flux celah udara. Pada trafo arus eksitasi disebut juga arus beban nol, akan tetapi dalam motor induksi tiga phasa tidak, hal ini dikarenakan pada motor induksi arus beban nol menghasilkan fluksi celah udara dan menghasilkan rugi-rugi tanpa beban ( rugi inti + Universitas Sumatera Utara rugi gesek angin + rugi I2R dalam jumlah yang kecil) sedangkan pada trafo fungsi arus eksitasi untuk mengahasilkan fluksi dan menghasilkan rugi inti. Sehingga rangkaian ekivalen dari stator dapat kita lihat pada Gambar 2.10 : Gambar 2.10 Rangkaian Ekivalen Stator II. 7. 2. Rangkaian Rotor Pada saat motor start dan rotor belum berputar, maka stator dan rotor memiliki frekuensi yang sama. Tegangan induksi pada rotor dalam kondisi ini di lambangkan dengan E 2 . Pada saat rotor sudah berputar, maka besarnya tegangan induksi pada rotor sudah dipengaruhi slip. Besarnya tegangan induksi pada rotor pada saat berputar untuk berbagai slip sesuai dengan persamaan 2.20: E2S = s. E 2 (2.20) Dimana: E2 = Tegangan induksi pada rotor pada saat diam E2S = Tegangan induksi pada rotor sudah berputar. Tegangan induksi pada saat motor berputar akan mempengaruhi tahanan dan reaktansi pada rotor. Tahanan pada rotor adalah konstan, dan tidak dipengaruhi oleh slip. Reaktansi dari motor induksi bergantung terhadap induktansi dari rotor dan frekuensi dari tegangan dan arus pada rotor. Dengan induktansi pada rotor adalah L2 , maka reaktansi pada rotor diberikan dengan persamaan: Universitas Sumatera Utara X 2S = s X2 (Ohm) (2.21) = Reaktansi rotor dalam keadaan diam (Ohm) Dimana X2 Rangkaian ekivalen rotor dapat dilihat pada Gambar 2.11: Gambar 2.11 Rangkaian Ekivalen Rotor Sehingga arus yang mengalir pada Gambar 2.12 adalah: I2 = E2 S R2 + jX R (Ampere) (2.22) Pada saat dibebani (dipengaruhi slip), maka besarnya arus yang mengalir pada rotor adalah: I 2S = s.E 2 R2 + jsX 2 (Ampere) ( 2.23 ) I 2S = E2 (Ampere) ( 2.24 ) R2 + jX 2 s Apabila persamaan 2.24 diselesaikan maka besarnya arus yang mengalir di rotor pada saat dibebani (dipengaruhi slip) adalah: I 2S = E2 R2 2 2 + ( X 2 ) s (Ampere) (2.25) Universitas Sumatera Utara Maka rangkaian ekivalen rotor yang dipengaruhi slip pada motor induksi dapat kita lihat pada gambar 2.12: Gambar 2.12 Rangkaian Ekivalen Rotor yang sudah dipengaruhi slip Impedansi ekivalen rangkaian rotor pada Gambar 2.12 adalah: Z 2S = Error! Not a valid link.+ jX 2 (Ohm) (2.26) Pada motor induksi rotor belitan, maka rotor pada motor induksi dapat diganti dengan rangkaian ekivalen rotor yang memiliki belitan dengan jumlah phasa dan belitan yang sama dengan stator akan tetapi gaya gerak magnet (mmf) dan fluksi yang dihasilkan harus sama dengan rotor sebenarnya, maka performansi rotor yang dilihat dari sisi primer tidak akan mengalami perubahan. Sehingga hubungan antara tegangan yang diinduksikan pada rotor yang sebenarnya ( E rotor ) dan tegangan yang diinduksikan pada rangkaian ekivalen rotor ( E 2 s ) adalah: E 2s = a E rotor (2.27) Dimana: a : Perbandingan belitan stator dengan belitan rotor sebenarnya. Sedangkan hubungan antara arus pada rotor sebenarnya ( I rotor ) dengan arus I 2 s pada rangkaian ekivalen rotor haruslah Universitas Sumatera Utara I 2s = I rotor a (2.28) Rotor dari motor induksi adalah terhubung singkat, sehingga impedansi yang diinduksikan tegangan dapat disederhanakan dengan impedansi rotor hubung singkat. Sehingga hubungan antara impedansi bocor slip frekuensi dari rangkaian ekivalen rotor (Z2S ) dengan impedansi bocor slip frekuensi rotor sebenarnya (Zrotor) adalah: Z 2S = E 2S I 2S = a 2 E rotor I rotor = a 2 Z rotor (2.29) Dengan mengingat kembali impedansi dari rangkaian ekivalen rotor yang sudah dipengaruhi slip seperti pada persamaan 2.26 maka besarnya impedansi bocor slip frekuensi dari rangkaian ekivalen rotor adalah: E 2S I 2S = Z 2S = R2 + jsX 2 (2.30) Dimana: R2 = Tahanan rotor (Ohm) s X2 = Reaktansi rotor yang sudah dipengaruhi slip Z2S = Impedansi bocor slip frekuensi dari rangkaian ekivalen rotor Pada stator dihasilkan medan putar yang berputar dengan kecepatan sinkron. Medan putar ini akan menginduksikan GGL induksi pada rangkaian ekivalen rotor ( E 2 s ) dan menginduksikan GGL lawan pada stator sebesar E 2 . Bila bukan karena efek kecepatan, maka tegangan yang diinduksikan pada rangkaian rotor ekivalen ( E 2 s ) akan sama dengan GGL induksi lawan pada rangkaian stator ( E 2 ) karena rangkaian ekivalen rotor memiliki jumlah belitan yang sama dengan rangkaian stator. Universitas Sumatera Utara Akan tetapi karena kecepatan relative medan putar yang direferensikan pada sisi rotor adalah s kali kecepatan medan putar yang direferensikan pada sisi stator, maka hubungan antara dua buah GGL induksi ini adalah: E 2s = (2.31) sE 2 Karena resultan fluks celah udara ditentukan oleh phasor penjumlahan dari arus stator dan arus rotor baik itu arus dari rotor sebenarnya maupun arus dari rangkaian ekivalen rotor, maka dalam hal ini dikarenakan jumlah belitan antara stator dan rangkaian ekivalen rotor adalah sama maka hubungan arus yang mengalir pada stator dan rotor adalah: I 2s = (2.32) I 2' Apabila persamaan 2.31 dibagi dengan persamaan 2.32 maka diperoleh: E 2S I 2S sE 2 I2 ' = (2.33) Dengan mensubstitusikan persamaan 2.33 ke persamaan 2.30 maka diperoleh: E 2S I 2S sE 2 I2 ' = = R2 + jsX 2 (2.34) Dengan membagi persamaan (2.34) dengan s, maka didapat E2 I 2' R2 + jX 2 s = (2.35) Dari persamaan (2.30), (2.31), dan (2.35) maka dapat dibuat rangkaian ekivalen rotor seperti pada Gambar 2.13: R2 E2 s I2 R2 X2 sX I2' 2 E1 R2 s X2 I2 ' E1 1 R2 ( − 1) s Universitas Sumatera Utara Gambar 2.13. Rangkaian Ekivalen motor yang berasal dari penurunan persamaan Dimana: R2 R = 2 + R2 - R2 s s 1 R2 = R2 + R2 ( − 1) s s Dari penjelesan diatas maka dapat dibuat rangkaian ekivalen per phasa motor induksi, Gambar 2.14 menunjukkan gambar rangkaian ekivalen per phasa motor induksi: R1 I '2 X1 IΦ I1 V1 sX 2 Rc Ic X m I m I2 E1 sE2 R2 Gambar 2.14 Gambar rangkaian ekivalen per phasa motor induksi Untuk mempermudah perhitungan, maka rangkaian ekivalen motor induksi dapat disederhanakan dengan sisi primer sebagai referensi. Sehingga rangkaian ekivalennya seperti pada Gambar 2.15: Universitas Sumatera Utara Gambar 2.15. Rangkaian Ekivalen Motor Induksi yang disederhanakan dengan sisi primer sebagai referensi Atau seperti pada gambar 2.16 berikut: Gambar 2.16 Bentuk lain rangkaian ekivalen motor induksi dilihat dari sisi stator Dimana: I2’ R2 ’ X2 ’ = = = (Ampere) I 2S 2 a . R 2 (Ohm) a2 . X 2 (Ohm) Pada analisa rangkaian trafo, dapat dilakukan dengan mengabaikan cabang paralel yang terdiri dari R c dan X m , atau memindahkan cabang ke terminal primer. Dalam rangkaian ekivalen motor induksi penyederhanaan ini tidak dibolehkan. Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa arus eksitasi pada trafo bervariasi dari 2 sampai 6 % dari arus beban dan reaktansi bocor primer per unitnya kecil. Tetapi pada motor induksi, arus eksitasi bervariasi dari 30 sampai 50 % dari arus beban penuh dan reaktansi bocor primernya relatif lebih besar. Universitas Sumatera Utara Dalam keadaan kondisi kerja normal dengan tegangan dan frekuensi konstan, rugi-rugi inti pada motor induksi biasanya tetap. Sehingga tahanan rugi-rugi inti (R c ) dapat diabaikan dari rangkaian ekivalen. Sehingga rangkaian ekivalen motor induksi yang disederhanakan menjadi seperti Gambar 2.17: Gambar 2.17. Rangkaian Ekivalen Motor Induksi yang disederhanakan dengan sisi primer sebagai referensi dengan mengabaikan tahanan rugi-rugi inti (Rc) II. 8. Aliran Daya dan Rugi-rugi Pada Motor Induksi Motor induksi dapat dijelaskan secara dasar sebagai transformator yang berputar, akan tetapi perbedaannya pada trafo keluarannya berupa energi listrik sedangkan pada motor induksi keluarannya energi mekanik. Hubungan antara daya masukan dengan daya keluaran mekanik pada motor dapat dilihat pada diagram aliran daya pada Gambar 2.18 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.18 Diagram Aliran Daya Dimana : - PSCL = rugi – rugi tembaga pada belitan stator (Watt) - PC = rugi – rugi inti pada stator (Watt) - PAG = daya yang ditransfer melalui celah udara (Watt) - PRCL = rugi – rugi tembaga pada belitan rotor (Watt) - PG + A = rugi – rugi gesek + angin (Watt) - PStray = stray losses (Watt) - PCONV = daya mekanis keluaran (output) (Watt) Daya masukan (Pin) pada motor induksi tiga phasa adalah: P in Dimana: V1 = I1 = θ = = 3. V 1 . I 1 . cos θ(Watt) (2.36) Tegangan sumber per phasa (Volt) Arus masukan per phasa(Ampere) Perbedaan sudut fasa antar arus masukan dengan tegangan sumber Rugi-rugi yang pertama muncul pada motor induksi adalah rugi-rugi tembaga pada belitan stator (P SCL ). Besarnya rugi-rugi ini dirumuskan dengan: P SCL = 3.I 1 2.R 1 (watt) (2.37) Dimana: R1 = Tahanan belitan stator (ohm) Kemudian rugi-rugi inti yaitu rugi-rugi hysterisis dan edy current (Pc), yang dirumuskan dengan: Universitas Sumatera Utara PC Dimana: Rc = E1 = = 3.E1 RC 2 (Watt) Tahanan inti stator (Ohm) Tegangan induksi di stator (2.38) (Volt) Besarnya daya yang ditransfer dari stator ke rotor melalui celah udara disebut juga daya celah udara (P AG ) yang besarnya dirumuskan dengan: PAG = PIN − PSCL − PC (Watt) (2.39) PAG = 3.I 2 R2 s (Watt) (2.40) Atau 2 Setelah daya ditransferkan dari stator ke rotor, maka pada rotor akan terdapat rugi-rugi yaitu rugi-rugi tembaga pada rotor (P RCL ) yang besarnya dirumuskan dengan: P RCL = 3. I 22. R 2 (Watt) (2.41) Daya yang diubah dari energi listrik menjadi mekanik disebut juga P conv, daya ini dirumuskan dengan: P conv = P AG – P RCL = 1− s 2 3.I 2 .R 2 s (2.42) Hubungan antara P conv dengan P AG dan P RCL , dapat dirumuskan sebagai berikut: P RCL = s. P AG (2.43) P conv = (1 – s). P AG (2.44) Dari Persamaan dan dapat dibuat persamaan baru yaitu: P AG : P RCL : P conv = 1 : s : 1 – s (2.45) Universitas Sumatera Utara Apabila rugi-rugi gesek angin (P A+G ) dan stray (P stray) diketahui, maka daya keluaran dari motor induksi adalah: Pout = P conv – P A+G - P stray (Watt) (2.46) II. 9. Motor Induksi Rotor Sangkar Dalam pemakaiannya, motor induksi rotor sangkar adalah yang paling banyak digunakan dibandingkan motor induksi rotor belitan. Hal ini dikarenakan motor induksi rotor sangkar memiliki keunggulan dibandingkan motor induksi rotor belitan. Keunggulan motor induksi rotor sangkar dengan motor induksi rotor belitan adalah: 1. Rotor sangkar membutuhkan material konduktor yang lebih sedikit dibandingkan rotor belitan, akibatnya rugi-rugi (I2R) di rotor sangkar lebih sedikit. Sehingga, rotor sangkar sedikit lebih efisien dibandingkan rotor belitan. 2. Motor induksi rotor belitan membutuhkan slip ring, sikat, dan peralatan lainnya. Akibatnya motor induksi rotor belitan lebih mahal dibandingkan motor induksi rotor sangkar. 3. Reaktansi bocor (X 2 ) pada rotor sangkar lebih kecil dibandingkan rotor belitan. Sehingga motor induksi rotor sangkar memiliki torsi pull-out yang lebih besar, daya output maksimum yang lebih baik dan power faktor pengoperasian yang lebih baik dibandingkan motor induksi rotor belitan. II. 10. Motor induksi dalam keadaan block rotor Universitas Sumatera Utara Block rotor pada motor induksi disebabkan karena torsi beban yang dipikul motor induksi melebihi torsi maksimal yang mampu dihasilkan motor tersebut sehingga menyebabkan rotor dari motor berhenti berputar. Dalam keadaan block rotor maka kecepatan relatif antara medan putar stator dengan kecepatan rotor adalah maksimal (slip = 1). Apabila kecepatan relatif antara medan putar stator dengan kecepatan putaran rotor semakin besar maka semakin besar GGL induksi pada rotor. Sehingga GGL induksi pada rotor terbesar terjadi pada saat block rotor. II. 10. 1 Kenaikan arus pada belitan stator akibat block rotor Pada saat motor induksi bekerja, arus yang mengalir pada rotor akan menghasilkan fluksi pada rotor, fluksi yang dihasilkan rotor akan menentang fluksi yang dihasilkan stator, sehingga memperkecil fluks yang dihasilkan stator. Apabila fluks yang dihasilkan stator berkurang maka besarnya GGL induksi pada stator (E 1 ) akan berkurang.. Karena adanya pengurangan fluks yang dihasilkan stator akibat fluks yang dihasilkan rotor, maka pada stator akan mengalir arus lebih besar dari semula untuk menentang fluks yang berasal dari rotor yang mana hal ini sesuai dengan hukum Lenz. Karena pada saat block rotor GGL induksi pada rotor adalah maksimum, hal ini menyebabkan arus yang mengalir pada rotor sangatlah besar dan fluksi yang dihasilkan pada rotor juga sangat besar, sehingga pada stator diperlukan arus yang sangat besar untuk menetang fluksi lawan yang dihasilkan rotor. Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa pada saat terjadi block rotor maka akan mengalir arus yang sangat besar pada belitan statornya. Universitas Sumatera Utara II. 10. 2. Rangkaian ekivalen motor induksi pada saat block rotor Pada saat terjadi block rotor maka yang mengalami perubahan adalah slip (s), dimana pada saat rotor berputar motor memiliki besar slip tertentu sedangkan pada saat terjadi block rotor maka slipnya menjadi 1. Gambar 2.19 menunjukkan rangkaian ekivalen motor induksi yang mana nilai slip berubah menjadi 1 Gambar 2.19 Rangkaian ekivalen motor induksi yang mana nilai slip berubah menjadi 1 Karena adanya perubahan slip, maka mengakibatkan motor seolah-olah menjadi terhubung singkat pada rotor, sehingga rangkaian ekivalen motor induksi pada saat block rotor menjadi, seperti pada gambar 2.20: Universitas Sumatera Utara Gambar 2.20 Rangkaian ekivalen motor induksi yang pada saat bagian rotor seolah-olah terhubung singkat Besar arus I 1 pada saat block rotor dapat dicari dengan cara: Langkah 1: Menyederhanakan rangkaian Rc dan Xm menjadi Z3 yaitu: 1 1 1 = + Z 3 Rc jXm (2.47) j 1 1 , apabila di sederhanakan menjadi: = − Z 3 Rc Xm Xm − jRc 1 = Z3 Rc. Xm Z3 = Rc. Xm Xm − jRc Z3 = Xm + jRc Rc. Xm x Xm − jRc Xm + jRc Z3 = Rc.( Xm) 2 + j ( Rc) 2 Xm ( Xm) 2 − ( Rc) 2 Z3 = Rc.( Xm) 2 j ( Rc) 2 Xm + ( Xm) 2 − ( Rc) 2 ( Xm) 2 − ( Rc) 2 (2.48) Untuk memudahkan perhitungan, maka persamaan 2.48 dapat disederhanakan menjadi: Z3 = R 3 + jX 3 (2.49) Dimana: Rc.( Xm) 2 R3 = ( Xm) 2 − ( Rc) 2 Universitas Sumatera Utara X3 = j ( Rc) 2 Xm ( Xm) 2 − ( Rc) 2 Sehingga rangkaian ekivalennya dapat dilihat pada Gambar 2.21: Gambar 2.21. Rangkaian ekivalen motor induksi dengan Rc dan Xm yang telah disederhanakan Langkah 2: Besarnya nilai R 2 ’ dan X 2 ’ dapat diserikan sehingga menjadi Z2 yang besarnya: Z2 = R 2 ’ + jX 2 ’ (2.50) Rangkaian Z3 dan Z 2 disederhanakan sehingga menjadi Zek 1 yaitu: 1 1 1 = + Z ek1 Z 2 Z 3 1 1 1 = + Z ek1 R2 '+ jX 2 ' R3 + jX 3 ( R + jX 3 ) + ( R2 '+ jX 2 ' ) 1 = 3 Z ek1 ( R2 '+ jX 2 ' )( R3 + jX 3 ) ( R3 + R2 ' ) + ( jX 3 + jX 2 ' ) 1 = Z ek1 ( R2 '.R3 + jX 3 .R2 '+ R3 . jX 2 '− X 2 '.X 3 ) ( R3 + R 2 ' ) + j ( X 3 + X 2 ' ) 1 = Z ek1 ( R2 '.R3 − X 2 '.X 3 ) + j ( X 3 .R2 '+ R3 . X 2 ' ) Z ek1 = ( R2 '.R3 − X 2 '.X 3 ) + j ( X 3 .R2 '+ R3 . X 2 ' ) ( R3 + R 2 ' ) + j ( X 3 + X 2 ' ) Universitas Sumatera Utara Z ek1 = ( R2 '.R3 − X 2 '.X 3 ) + j ( X 3 .R2 '+ R3 . X 2 ' ) ( R3 + R 2 ' ) − j ( X 3 + X 2 ' ) x ( R3 + R2 ' ) + j ( X 3 + X 2 ' ) ( R3 + R 2 ' ) − j ( X 3 + X 2 ' ) Z ek1 = (( R2 '.R3 − X 2 '.X 3 ).( R3 + R2 ' )) + ( X 3 .R2 '+ R3 . X 2 ' )( X 3 + X 2 ' ) ( R3 + R 2 ' ) 2 + ( X 3 + X 2 ' ) 2 + ( X .R '+ R3 . X 2 ' )( R3 + R 2 ' ) − ( R 2 '.R3 − X 2 '.X 3 )( X 3 + X 2 ' ) j 3 2 ( R3 + R 2 ' ) 2 + ( X 3 + X 2 ' ) 2 (2.51) Untuk memudahkan perhitungan, maka persamaan 2.51 dapat disederhanakan menjadi: Z ek1 = R ek1 + jX ek (2.52) Dimana: R ek1 = (( R2 '.R3 − X 2 '.X 3 ).( R3 + R2 ' )) + ( X 3 .R2 '+ R3 . X 2 ' )( X 3 + X 2 ' ) ( R3 + R 2 ' ) 2 + ( X 3 + X 2 ' ) 2 ( X .R '+ R3 . X 2 ' )( R3 + R 2 ' ) − ( R 2 '.R3 − X 2 '.X 3 )( X 3 + X 2 ' ) X ek1 = 3 2 2 2 + + + ( R R ' ) ( X X ' ) 3 2 3 2 Sehingga rangkaian ekivalennya menjadi: Gambar 2.22. Rangkaian ekivalen total motor induksi Universitas Sumatera Utara Sehingga diperoleh impedansi totalnya adalah adalah: Z ek = (R 1 + R ek1 ) + j (X ek1 + X 1 ) (2.53) Apabila diubah menjadi bentuk sudut menjadi: Ztotal = θ = (R1 + Rek1 )2 + ( X ek1 + X 1 ) 2 arc tan-1 (R1 + X ek1 ) ( X ek1 + X 1 ) (2.54) sehingga: Z ek = Z total ∠θ (2.55) Sehingga besarnya arus yang mengalir pada saat block rotor adalah: I BR = V1 Zek (Ampere) (2.56) Apabila block rotor terjadi maka besarnya X m >> R 2 ’ dan Xm>>X 2 ’ sehingga besarnya arus yang melewati R C dan X m dapat diabaikan. Sehingga rangkaian ekivalen motor induksi dalam keadaan block rotor dapat disederhanakan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.23 Gambar 2.23. Rangkaian Ekivalen Motor Induksi dalam Keadaan block rotor yang disederhanakan Jika disederhanakan maka rangkaian ekivalennya dapat dilihat pada Gambar 2.24 Universitas Sumatera Utara : Gambar 2.24. Rangkaian Ekivalen Penyederhanaan Motor Induksi dalam Keadaan block rotor Sehingga besarnya arus yang mengalir pada saat block rotor adalah: I br = V1 (R1 + R2 ')2 + ( X 1 + X 2 ')2 (Ampere) (2.57) Dimana: I br V1 R1 X1 X2 ’ R 2’ = = = = = = Arus pada saat block rotor per phasa (Ampere) Tegangan supply motor perphasa (Volt) Resistansi stator (Ohm) Reaktansi stator (Ohm) Reaktansi rotor (Ohm) Resistansi rotor (Ohm) Universitas Sumatera Utara