BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN

advertisement
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Perilaku Konsumen
2.1.1
Definisi Perilaku Konsumen
Banyak ahli yang mendefinisikan motivasi. Berikut ini dijabarkan
beberapa definisi motivasi menurut beberapa ahli:
Definisi motivasi menurut Schiffman dan Kanuk (2008:72) adalah
kekuatan penggerak dalam diri seseorang yang memaksanya untuk bertindak.
Definisi motivasi menurut Robbins (2002;55) adalah keinginan untuk
melakukan sesuatu dan menentukan kemampuan bertindak untuk memuaskan
kebutuhan individu.
Berdasarkan beberapa definisi motivasi diatas dapat disimpulkan bahwa
motivasi merupakan suatu keadaan yang mendorong seorang individu untuk
melakukan suatu tindakan demi pemenuhan suatu kebutuhan. Setiap orang
temtunya memiliki keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kebutuhannya.
Oleh sebab itu, orang termotivasi untuk melakukan suatu kegiatan atau aktifitas
yang bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa orang akan bertindak atau melakukan tindakan sesuatu karena adanya
suatu motivasi.
Menurut Engel et al (2006), perilaku konsumen adalah tindakan yang
langsung terlibat dalam pemerolehan, pengonsumsian, dan penghabisan
produk/jasa, termasuk proses yang mendahului dan menyusul tindakan ini.
Perilaku konsumen didefinisikan sebagai studi unit pembelian dan proses
11
pertukaran yang melibatkan perolehan, konsumsi dan pembuatan barang, jasa,
pengalaman, serta ide (Kotler, 2005). Selanjutnya, Kotler (2005) menjelaskan
perilaku konsumen sebagai studi tentang unit pembelian-bisa perorangan,
kelompok, atau organisasi. Masing-masing unit tersebut akan membentuk pasar
sehingga muncul pasar individu atau pasar konsumen, unit pembelian kelompok,
dan pasar bisnis yang dibentuk organisasi.
Pada kenyataannya, dalam hidup ini manusia sering dihadapkan pada
berbagai pilihan guna memenuhi kebutuhannya. Pilihan-pilihan ini terpaksa
dilakukan karena kebutuhan manusia tidak terbatas, sedangkan alat untuk
memenuhi kebutuhan tersebut sangat terbatas. Banyak faktor dan alasan yang
mendorong manusia untuk melakukan suatu pembelian. Pemahaman tentang
perilaku mereka sangat penting karena dapat dijadikan modal penting bagi
perusahaan untuk mencapai tujuannya. Sebuah prinsip pemasaran mengatakan
bahwa pencapaian tujuan organisasi tergantung pada seberapa mampu organisasi
memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan, dan memenuhinya secara efisien
dan efektif dibanding pesaingnya. Menurut Griffin (2005), “perilaku konsumen
adalah semua kegiatan, tindakan, serta proses psikologi yang mendorong tindakan
tersebut
pada
saat
sebelum
membeli,
ketika
membeli,
menggunakan,
menghabiskan produk dan jasa setelah melakukan hal-hal diatas atau kegiatan
mengevaluasi”. Sementara menurut Ariely dan Zauberman (2006), “perilaku
konsumen merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu, kelompok,
atau organisasi yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan untuk
mendapatkan, menggunakan barang-barang, atau jasa ekonomis yang dapat
12
dipengaruhi lingkungan”. Dari pengertian yang dikemukakan para ahli diatas
dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan yang dilakukan
konsumen guna mencapai dan memenuhi kebutuhannya baik untuk menggunakan,
mengonsumsi, maupun menghabiskan barang dan jasa, termasuk proses keputusan
yang mendahului dan yang nmenyusul. Hal ini sejalan dengan pendapat Engel et
al (2006).
Dari pengertian perilaku konsumen diatas dapat disimpulkan bahwa
perilaku konsumen adalah (1) disiplin ilmu yang mempelajari perilaku individu,
kelompok, atau organisasi dan proses-proses yang digunakan konsumen untuk
menyeleksi,
menggunakan
produk,
pelayanan,
pengalaman
(ide)
untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen, dan dampak dari proses-proses
tersebut pada konsumen dan masyarakat; (2) tindakan yang dilakukan oleh
konsumen guna mencapai dan memenuhi kebutuhannya baik dalam pengunaan,
pengonsumsian, maupun penghabisan barang dan jasa, termasuk proses keputusan
yang mendahului dan yang menyusul, (3) tindakan atau perilaku yang dilakukan
konsumen yang dimulai dengan merasakan adanya kebutuhan dan keinginan,
kemudian berusaha mendapatkan produk yang diinginkan, mengonsumsi produk
tersebut, dan berakhir dengan tindakan-tindakan pascapembelian, yaitu perasaan
puas atau tidak puas.
Berdasarkan pengertian diatas dapat dijabarkan tahap-tahap perilaku
konsumen yang meliputi (1) tahap untuk merasakan adanya kebutuhan dan
keinginan, (2) usaha untuk mendapatkan produk, mencari informasi tentang
produk, harga, dan saluran distribusi; (3) pengonsumsian, dan (4) tindakan
13
pascapembelian yang berupa perasaan puas atau tidak puas. Dalam perjalanannya
disiplin ilmu perilaku konsumen juga dipengaruhi oleh atau mendapatkan
sumbangan dari disiplin ilmu yang lain seperti ilmu perilaku organisasi,
pemasaran, psikologi, sosiologi, antropologi, dan ekonomi.
2.2
Motivasi
2.2.1
Pengertian Motivasi
Motivasi berasal dari bahasa Latin movere yang artinya „menggerakkan‟.
Menurut Robbins (2001), motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat
upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan
upaya itu untuk memenuhi beberapa kebutuhan individual. Sementara menurut
Sopiah (2008), motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seorang
anggota mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keahlian
atau keterampilan, tenaga, dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai
kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam
rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan
sebelumnya.
Menurut Setiadi (2003), motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan-tujuan yang hendak dicapai, yang
dikondisikan oleh kemampuan upaya untuk memenuhi suatu kebutuhan
individual. Sunarto (2003) menjelaskan bahwa motivasi adalah keadaan yang
diaktivasi atau digerakkan dimana seseorang mengarahkan perilaku berdasarkan
tujuan. Menurut American Encyclopedia (dalam Setiadi, 2003), motivasi adalah
kecenderungan (suatu sifat pokok pertentangan) dalam diri seseorang yang
14
membangkitkan topangan dan tindakan. Motivasi meliputi faktor biologis dan
emosional yang hanya dapat diduga dari pengamatan tingkah laku manusia.
Motivasi adalah dorongan yang muncul dari dalam diri atau dari luar diri
(lingkungan) yang menjadi faktor penggerak kea rah tujuan yang ingin dicapai.
Terkait dengan konsumen, motivasi bisa diartikan sebagai suatu dorongan yang
menggerakkan konsumen untuk memutuskan bertindak ke arah pencapaian tujuan,
yaitu memenuhi berbagai macam kebutuhan dan keinginan. Motivasi akan terlihat
atau tampak melalui perilaku seseorang yang dapat dilihat atau diamati.
Ada lima teori motivasi, yaitu teori hierarki kebutuhan Maslow, teori
pembelajaran McCelland, teori dua faktor dari Herzberg, teori motivasi Herzberg,
dan teori motivasi rata-rata.
1. Teori hierarki kebutuhan Maslow
Hierarki kebutuhan mengikuti teori jamak, yaitu seseorang berperilaku
karena
adanya
dorongan
untuk
memenuhi
bermacam-macam
kebutuhan. Menurut Maslow, kebutuhan manusia itu berjenjang.
Artinya seseorang baru memenuhi kebutuhan kedua setelah kebutuhan
pertamanya terpenuhi. Dasar teori kebutuhan Maslow, seperti yang
disebutkan dalam Setiadi (2003), adalah sebagai berikut.
a. Manusia adalah makhluk social yang berkeinginan.
b. Suatu kebutuhan yang terpuaskan tidak menjadi alat motivator bagi
pelakunya, hanya kebutuhan yang belum pernah terpenuhi yang
akan menjadi motivator.
c. Kebutuhan manusia tersusun dalam suatu jenjang.
15
Gambar 2.2.1 Hierarki kebutuhan Maslow (sumber: Setiadi, 2003)
Dari gambar di atas dapat kita lihat bahwa hierarki kebutuhan
menurut Maslow adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan
keamanan (security and protection), kebutuhan sosial (sense of
belonging dan love), kebutuhan akan penghargaan (self-esteem),
dan aktualisasi diri (self-development).
1) Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan yang diperlukan
oleh individu untuk mempertahankan hidup. Contoh kebutuhan
makanan, minuman, pakaian, istirahat, seks, dan lain-lain.
Menurut Maslow kebutuhan ini apabila tidak dipenuhi sangat
dirasakan
pengaruhnya
oleh
individu.
Sebagai
contoh
konsumen yang lapar dan membutuhkan makanan, maka
16
pikiran dan usahanya akan dicurahkan untuk bisa mendapatkan
makanan. Dia akan berkhayal tentang makanan, mencari tahu
dimana bisa mendapatkan makanan dan berusaha keras untuk
mendapatkan makanan.
2) Kebutuhan rasa aman
Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang diperlukan individu
untuk melindungi dirinya baik secara fisik maupun psikologis.
Sebagai contoh kebutuhan rasa aman dari serangan atau
ancaman fisik, kebutuhan untuk mendapatkan keamanan dari
aspek financial, dan lain-lain. Konsumen membutuhkan jasa
tabungan, asuransi, pendidikan agar masa depannya aman.
3) Kebutuhan sosial
Sebagai makhluk sosial, konsumen mempunyai kebutuhan
untuk bersama, diterima dan bergabung dengan konsumen lain
dan masyarakat. Contoh kebutuhan sosial antara lain kebutuhan
untuk diterima dalam suatu kelompok tertentu, kebutuhan bisa
bekerjasama dengan orang lain, kebutuhan disayangi oleh
orang lain, dan lain-lain.
4) Kebutuhan akan penghargaan
Kebutuhan akan penghargaan mencakup kebutuhan untuk
memperoleh prestasi, kepercayaan diri, penghargaan diri dan
penghargaan dari orang lain dan lain-lain.
5) Kebutuhan aktualisasi diri
17
Kebutuhan ini berupa kebutuhan untuk mengembangkan
potensi yang dimiliki, baik potensi yang bersifat fisiologis,
maupun potensi psikologis. Misalnya
kebutuhan untuk
berekreasi untuk menunjukkan kemampuan kreatifnya dan
kebutuhan untuk mengembangkan bakat yang dimiliki.
2. Teori pembelajaran McCelland
Kebutuhan dipelajari (learned need) melalui kehidupan dalam suatu
budaya, seseorang belajar tentang kebutuhan dengan mempelajarinya.
McClelland mengajukan tiga kebutuhan yang dipelajari melalui
kebudayaan, yaitu kebutuhan untuk berprestasi, berafiliasi, dan
berkuasa.
Untuk mengukur perbedaan individual dalam kebutuhan untuk
berprestasi, kita menggunakan tes apersepsi tematis (TAP), yaitu tes
proyektif yang digunakan dalam riset McCelland untuk menentukan
kebutuhan seseorang akan prestasi, afiliasi, dan kekuasaan.
3. Teori dua faktor dari Herzberg
Herzberg mengembangkan teori kepuasan yang disebut teori dua
faktor motivasi, yang terdiri atas faktor yang membuat orang merasa
tidak puas dan faktor yang membuat orang merasa puas.
4. Teori motivasi Herzberg
Teori ini mengembangkan teori motivasi dua faktor, yaitu dengan
membedakan faktor yang tidak memuaskan (disatisfier) dan faktor
yang memuaskan (satisfier). Kelebihan teori ini adalah sebagai berikut.
18
a. Teori ini dikemukakan atas dasar hasil penelitian Herzberg.
b. Teori ini dapat mengetahui apa yang harus dihindari dan apa yang
harus dilakukan agar konsumen merasa puas terhadap produk
tertentu.
Sementara kekurangannya adalah sebagai berikut.
a. Teori ini terlalu menyederhanakan sifat kepuasan konsumen.
b. Teori ini sesungguhnya didasarkan atas percontohan sejumlah
akuntan dan insinyur. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah
apakah teori ini juga berlaku bagi keahlian yang lain.
5. Teori motivasi rata-rata
Teori ini lebih didasarkan pada fisiologi sehingga berorientasi lebih
kognitif. Jadi, pada satu sisi dari rangkaian kesatuan proses pelawanan
ada usaha untuk menjelaskan fenomena seperti mengapa orang merasa
senang setelah melakukan sesuatu yang menakutkan. Gambaran
mengenai beberapa teori motivasi rata-rata dapat dilihat pada tabel
berikut.
19
Tabel 2.1.2 Beberapa teori motivasi rata-rata
1. Teori proses-perlawanan
2. Mempertahankan
Teori-teori yang didasarkan
tingkat pada fisiologi
stimulasi optimum
3. Motivasi untuk pengalaman
hedonis
4. Keinginan
untuk
mepertahankan
kebebasan
perilaku
5. Motivasi untuk menghindari
risiko
6. Motivasi
untuk
Teori-teori
yang
lebih
didasarkan
pada
aspek
menghubungkan sebab akibat
kognitif
(sumber: Mowen dan Minor, 2002)
Menurut teori proses-perlawanan, apabila seseorang menerima rangsangan
yang dengan segera menimbulkan reaksi emosional positif atau negatif, dua hal
itu terjadi. Pertama, orang tersebut akan mengalami reaksi positif atau negatif
dnegan serta-merta. Kemudian, orang tersebut akan mengalami reaksi emosional
kedua yang memiliki perasaan berlawanan dengan pengalaman awal. Seluruh
perasaan yang dialami adalah kombinasi dari kedua reaksi emosional tersebut.
Karena reaksi emosional kedua tertunda, seluruh episode menampilkan konsumen
20
yang awalnya mengalami perasaan yang negatif dan positif dan kemudian, setelah
beberapa periode, mengalami perasaan secara bertahap dan perasaan berlawanan.
2.3
Citra Merek
2.3.1
Definisi Citra Merek
Merek merupakan janji penjual untuk secara konsisten memberikan
feature, manfaat, dan jasa tertentu kepada pembeli, bukan hanya sekedar simbol
yang membedakan produk perusahaan tertentu dengan kompetitornya (Kotler,
2005). Kotler dan Amstrong (2008) mempunyai pendapat bahwa merek
merupakan nama, istilah, tanda, simbol, desain atau kombinasi yang ditujukan
untuk mengidentifikasi barang atau jasa yang ditawarkan perusahaan sekaligus
sebagai diferensiasi produk. Sedangkan menurut Aaker dalam Rangkuti (2004),
merek adalah nama dan atau simbol yang bersifat membedakan (seperti logo, cap
atau kemasan) dengan maksud mengidentifikasikan barang atau jasa dari seorang
penjual atau sebuah kelompok penjual tertentu. Stanton dalam Rangkuti
menyebutkan merek sebagai nama, istilah simbol atau desain khusus atau
beberapa kombinasi unsur-unsur ini yang dirancang untuk mengidentifikasikan
barang atau jasa yang ditawarkan penjual.
Dari uraian definisi diatas dapat disimpulkan bahwa merek adalah nama,
istilah, tanda, simbol atau disain dari produk atau jasa atau kombinasi keseluruhan
yang dimaksud untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari seseorang atau
kelompok penjual dan untuk membedakan dari produk pesaing. Merek juga dapat
meninggalkan citra dan pengalaman dibenak konsumen mengenai keuntungan
dari produk yang diproduksi dari perusahaan.
21
Menurut Kotler dan Keller (2008), ada dua langkah utama dalam
membangun brand yang kuat, pertama dimulai dengan membangun value position
dan kedua adalah build the brand. Langkah pertama lebih kepada positioning atau
yang lebih tepat lagi adalah differentiation. Langkah kedua melibatkan pemilihan
nama brand, menumbuhkan asosiasi dengan nama brand, dan yang terakhir
adalah mengelola semua kontak antara brand dengan pelanggan sehingga image
dari brand tersebut diterima secara konsisten dan memenuhi customer
expectations.
Kotler (2005), mengatakan bahwa merek merupakan janji penjual untuk
secara konsisten memberikan feature, manfaat dan jasa tertentu kepada pembeli,
bukan hanya sekedar simbol yang membedakan produk perusahaan tertentu
dengan kompetitornya, merek bahkan dapat mencerminkan enam makna, yaitu :
a. Atribut
Setiap merek memiliki atribut, dimana atribut ini perlu dikelola dan
diciptakan agar konsumen dapat mengetahui dengan pasti atribut-atribut apa saja
yang terkandung dalam suatu merek.
b. Manfaat
Merek juga memiliki serangkaian manfaat. Konsumen tidak membeli
atribut, mereka membeli manfaat. Produsen harus dapat menterjemahkan atribut
menjadi manfaat fungsional maupun manfaat emosional.
22
c. Nilai
Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai bagi konsumen. merek memiliki
nilai tinggi akan dihargai oleh konsumen sebagai merek yang berkelas, sehingga
dapat mencerminkan siapa pengguna merek tersebut.
d. Budaya
Merek juga mewakili budaya tertentu. Misalnya marcedez mewakili
budaya jerman yang terorganisasi dengan baik, memiliki cara kerja yang efisien
dan selalu menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.
e. Kepribadian
Merek juga memiliki kepribadian yaitu kepribadian bagi penggunanya.
Diharapkan dengan menggunakan merek, kepribadian si pengguna akan tercermin
bersamaan dengan merek yang digunakan.
f. Pemakai
Merek juga menunjukan jenis konsumen pemakai merek tersebut. Itulah
sebabnya para pemasar selalu menggunakan analogi orang-orang terkenal untuk
penggunaan mereknya.
Citra sebagai seperangkat keyakinan, ide , dan kesan yang dimiliki
seseorang terhadap suatu obyek (Kotler, 2005). Menurut Kotler dan Keller (2008)
menyatakan bahwa setiap produk yang terjual di pasaran memiliki citra tersendiri
di mata konsumennya yang sengaja diciptakan oleh pemasar untuk membedakannya dari para pesaing mereka.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa brand image
merupakan serangkaian kepercayaan konsumen tentang merek tertentu sehingga
23
asosiasi merek tersebut melekat di benak konsumen. Citra merek (brand image)
merupakan representasi dari keseluruhan persepsi terhadap merek dan dibentuk
dari informasi dan pengalaman masa lalu terhadap merek itu. Citra terhadap
merek berhubungan dengan sikap yang berupa keyakinan dan preferensi terhadap
suatu merek. Konsumen yang memiliki citra yang positif terhadap suatu merek,
akan lebih memungkinkan untuk melakukan pembelian
Persepsi konsumen terhadap suatu produk akan menggerakan keinginan
konsumen dalam membeli produk tersebut. Apabila citra merek suatu produk
sudah jelek atau tercoreng, maka akan menjadi kecil persentase konsumen untuk
membelinya, karena konsumen akan tergerak hatinya untuk mencari produk lain
yang citra mereknya lebih baik ketimbang produk tersebut.
Menurut Kotler (2005) brand image yang efektif dapat mencerminkan tiga
hal, yaitu:
a. Membangun karakter produk dan memberikan value proposition.
b. Menyampaikan karakter produk secara unik sehingga berbeda dengan
pesaingnya.
c. Memberi kekuatan emosional dari kekuatan rasional.
2.3.2
Faktor-faktor Pembentukan Brand Image
Schiffman dan Kanuk (2006) menyebutkan faktor-faktor pembentuk citra
merek adalah sebagai berikut:
a. Kualitas atau mutu , berkaitan dengan kualitas produk barang yang
ditawarkan oleh produsen dengan merek tertentu.
24
b. Dapat dipercaya atau diandalkan. Berkaitan dengan pendapat atau
kesepakatan yang dibentuk oleh masyarakat tentang suatu produk yang
dikonsumsi.
c. Kegunaan atau manfaat yang terkait dengan fungsi dari suatu produk
barang yang bisa dimanfaatkan oleh konsumen.
d. Pelayanan, yang berkaitan dengan tugas produsen dalam melayani
komsumennya.
e. Resiko, berkaitan dengan besar kecilnya akibat atau untung dan rugi
yang mungkin dialami oleh konsumen.
f. Harga, yang dalam hal ini berkaitan dengan tinggi rendahnya atau
banyak sedikitnya jumlah uang yang dikeluarkan konsumen untuk
mempengaruhi suatu produk, juga dapat mempengaruhi citra jangka
panjang.
Citra yang dimiliki oleh merek itu sendiri, yaitu berupa pandangan,
kesepakatan dan informasi yang berkaitan dengan suatu merek dari
produk tertentu.
2.4
Nilai-nilai Budaya
2.4.1
Definisi Nilai-nilai Budaya
Hofstede & Hofstede (2005) mendefinisikan nilai-nilai sebagai “Values
are broad tendencies to prefer certain states of affairs over others” atau
kecenderungan umum untuk memilih suatu hal atau keadaan dibandingkan dengan
hal atau keadaan lainnya yang merupakan pusat yang membentuk suatu budaya.
25
Proses pembentukan nilai-nilai dimulai pada umur 10-12 tahun, dimana
manusia mengalami periode reseptif. Periode reseptif merupakan periode dimana
manusia menyerap berbagai informasi penting dari lingkungan termasuk
didalamnya symbols (bahasa), heroes (orang tua) rituals (toilet training) dan yang
terpenting basic value. Basic value terbentuk dari berbagai lingkungan kehidupan
individu, mulai dari lingkungan keluarga, rumah, sekolah, kelompok teman
sebaya, tempat kerja, dan kehidupan bermasyarakat (Hofstede & Hofstede, 2005).
Hogg & Vaughan (2005) mendefinisikan budaya sebagai : “Culture as the
set of cognition & practices that identifies a specific social group and
distinguishes it from others” atau sebuah set dari kognisi dan praktis yang
mengidentifikasikan suatu kelompok sosial dan membedakannya dengan
kelompok yang lain. Selanjutnya, Hofstede & Hofstede (2005) mendefinisikan
budaya sebagai suatu bentuk pemikiran kolektif yang membedakan satu anggota
dari kelompok tertentu dengan kelompok lainnya.
Hofstede & Hofstede (2005) menjelaskan bahwa budaya termanifestasi
dalam empat hal yaitu :
1. Simbol (symbols) yaitu kata-kata, gesture, gambar atau objek yang
mengandung arti tertentu dan hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang
berbagi budaya yang sama. Contohnya adalah bahasa atau jargon, pakaian,
gaya rambut, bendera dan simbol status
2. Tokoh pahlawan (heroes) adalah orang yang masih hidup ataupun yang sudah
mati, nyata maupun khayalan, dengan karakteristik tertentu yang dihargai
26
dalam suatu budaya dan menjadi model dalam tingkah laku. Contohnya orang
tua dan tokoh pahlawan.
3. Ritual (rituals) yaitu sebuah aktivitas bersama yang dilakukan tanpa tujuan
tertentu namun bersifat esential dalam suatu budaya, contohnya adalah cara
menyapa, menghormati orang lain dan upacara keagamaan.
4. Nilai-nilai (values) yaitu kecenderungan umum untuk memilih suatu hal atau
keadaan dibandingkan dengan hal atau keadaan lainnya yang merupakan pusat
yang membentuk suatu budaya.
Hasil penelitian Geert Hofstede (Hofstede & Hofstede, 2005) tentang
perbedaan nilai-nilai pada karyawan dengan lebih dari lima puluh latar belakang
budaya yang berbeda di sebuah perusahaan multinasional menyatakan adanya
lima nilai budaya, yaitu:
1. Penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance)
Nilai budaya ini mengukur sejauh mana latar belakang budaya yang berbeda
dapat menerima suatu keadaaan yang ambigu dan dapat bertoleransi dengan
ketidakpastian terhadap masa yang akan datang (Hofstede & Hofstede, 2005).
2. Individualis vs kolektivis (individualism-collectivism)
Nilai individualis (individualism) menekankan pada prestasi dan hak individu,
memfokuskan pada peningkatan kepuasan kebutuhan sendiri, mandiri dan
ikatan antar individu cenderung renggang. Nilai budaya dengan nilai
kolektivis (collectivism) memiliki karakteristik ikatan antar individu yang kuat
sebagai anggota dalam suatu organisasi (Hofstede & Hofstede, 2005).
3. Maskulinitas vs feminitas (masculinity versus femininity)
27
Nilai budaya maskulinitas (masculinity) adalah kompetitif, asertif, ambisi,
cenderung mencari kekayaan dan kepemilikan material lainnya. Nilai budaya
feminitas (femininity) cenderung lebih memilih untuk membuat relasi dengan
orang lain daripada berkompetisi (Hofstede & Hofstede, 2005).
4. Orientasi jangka panjang vs orientasi jangka pendek (long versus short term
orientation)
Nilai orientasi jangka panjang lawan orientasi jangka pendek (long versus
short term orientastion) menjelaskan tentang pandangan seseorang terhadap
waktu baik masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. Pada budaya
dengan orientasi jangka panjang nilai kehematan dan ketekunan lebih
diutamakan sedangkan pada budaya dengan orientasi jangka pendek lebih
menghargai sebuah tradisi (Hofstede & Hofstede, 2005).
5. Jarak Kekuasaan (power distance)
Hofstede, 2005, mendefinisikan jarak kekuasaan (power distance) sebagai
sejauh mana masyarakat pada suatu institusi atau organisasi mengharapkan
dan menerima bahwa kekuasaan didistribusikan secara tidak sama. Institusi
adalah elemen dasar dari masyarakat, seperti keluarga, sekolah, dan suatu
komunitas; organisasi adalah tempat dimana seseorang bekerja.
2.5
Intensi Menginap
2.5.1
Definisi Intensi Menginap
Menurut
Christanti
(2008)
mendefinisikan
intensi
sebagai
suatu
kecenderungan perilaku yang dilakukan dengan sengaja dan bukan tanpa tujuan.
Sedangkan menurut Engel et al. (dikutip dalam Sukirno & Sutarmanto, 2007),
28
intensi adalah kompetensi diri individu yang mengacu pada keinginan untuk
melakukan suatu perilaku tertentu.
Fishbein dan Ajzen (2004) menjelaskan intensi sebagai representasi
kognitif dan konatif dari kesiapan individu untuk menampilkan suatu perilaku.
Intensi merupakan penentu dan disposisi dari perilaku, hingga individu memiliki
kesempatan dan waktu yang tepat untuk menampilkan perilaku tersebut secara
nyata. Dharmmesta (dikutip dalam Sukirno & Sutarmanto, 2007) menambahkan,
intensi merupakan perantara faktor-faktor motivasional yang memiliki dampak
pada perilaku.
Secara spesifik, dalam planned behavior theory, dijelaskan bahwa intensi
untuk melakukan suatu perilaku adalah indikasi kecenderungan individu untuk
melakukan suatu perilaku dan merupakan anteseden langsung dari perilaku
tersebut. Intensi untuk melakukan suatu perilaku dapat diukur melalui tiga
prediktor utama yang memengaruhi intensi tersebut, yaitu attitude toward the
behavior, subjective norm, dan perceived behavioral control (Ajzen, 2006).
Secara umum, jika individu memiliki intensi untuk melakukan suatu
perilaku maka individu cenderung akan melakukan perilaku tersebut; sebaliknya,
jika individu tidak memiliki intensi untuk melakukan suatu perilaku maka
individu cenderung tidak akan melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 2004). Namun
intensi individu untuk melakukan suatu perilaku memiliki keterbatasan waktu
dalam perwujudannya ke arah perilaku nyata, maka dalam melakukan pengukuran
intensi untuk melakukan suatu perilaku perlu untuk diperhatikan empat elemen
utama dari intensi, yaitu target dari perilaku yang dituju (target), tindakan
29
(action), situasi saat perilaku ditampilkan (contex), dan waktu saat perilaku
ditampilkan (time) (Fishbein & Ajzen; dikutip dalam Yuliana, 2004).
Ajzen (2006) menyatakan bahwa intensi dan perceived behavioral control
adalah berpengaruh terhadap suatu perilaku yang dilakukan oleh individu, namun
pada umumnya, intensi dan perceived behavioral control tidak memiliki
hubungan yang signifikan. Hal ini dikarenakan setiap individu memiliki kontrol
penuh terhadap perilaku yang akan ditampilkannya (Nelson, Fishbein, & Stasson;
dikutip dalam Abrams & Moura, 2001). Azwar (dikutip dalam Christanti, 2008)
menambahkan, perceived behavioral control sangat penting artinya ketika rasa
percaya diri individu sedang dalam kondisi yang rendah.
Definisi intensi, menurut Anwar dkk, menunjukkan bahwa intensi
merupakan probabilitas atau kemungkinan yang bersifat subjektif, yaitu perkiraan
seseorang mengenai seberapa besar kemungkinannya untuk melakukan suatu
tindakan tertentu (Anwar, Bakar, & Harmaini, 2005).
Selanjutnya, menurut Ajzen dalam teorinya yang disebut theory of planned
behavior (Ajzen, 2005), intensi dipengaruhi oelh toga faktor, yaitu:
1) Sikap terhadap tingkah laku tertentu (attitude toward behavior)
2) Norma subjektif (subjective norm)
3) Persepsi tentang control perilaku (perceived behavior control)
Faktor pertama, sikap terhadap perilaku adalah penilaian yang bersifat
pribadi
dari
orang
yang
bersangkutan,
menyangkut
pengetahuan
dan
keyakinannya mengenai perilaku tertentu, baik dan buruknya, keuntungan dan
manfaatnya.
30
Norma subjektif mencerminkan pengaruh sosial, yaitu persepsi seseorang
terhadap tekanan sosial (masyarakat, orang-orang sekitar) untuk melakukan atau
tidak melakukan suatu tingkah laku.
Persepsi tentang kontrol perilaku merupakan persepsi mengenai sulit atau
mudahnya seseorang untuk menampilkan tingkah laku tertentu dan diasumsikan
merefleksikan pengalaman masa lalu beserta halangan atau rintangan yang
diantisipasi.
Dalam teori perilaku berencana, faktor utama dari suatu perilaku yang
ditampilkan individu adalah intensi untuk menampilkan perilaku tertentu (Ajzen,
2005). Intensi diasumsikan seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa
banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Sebagai aturan
umum, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku,
semakin besar kecenderungan ia untuk benar-benar melakukan perilaku tersebut.
Intensi untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya hanya jika
perilaku tersebut ada di bawah kontrol individu yang bersangkutan. Individu
tersebut memiliki pilihan untuk memutuskan menampilkan perilaku tertentu atau
tidak sama sekali (Ajzen, 2005) sampai seberapa jauh individu akan menampilkan
perilaku, juga tergantung pada faktor-faktor non motivasional. Salah satu contoh
dari faktor non motivasional adalah ketersediaan kesempatan dan sumber-sumber
yang dimiliki tersedia dan untuk terdapat intensi menampilkan perilaku, maka
kemungkinan perilaku itu muncul, sangatlah besar dengan kata lain, suatu
perilaku akan muncul jika terdapat motivasi (intensi) dan kemampuan (kontrol
perilaku) (Ajzen, 2005).
31
Ada dua hal yang penting yang mendasari pernyataan tersebut. Pertama,
jika intensi dianggap sebagai faktor yang konstan, maka usaha-usaha untuk
menampilkan perilaku tertentu tergantung pada sejauh mana kontrol yang dimiliki
individu tersebut. Misalkan jika ada 2 karyawan (karyawan A dan karyawan B)
yang memiliki intensi untuk keluar dari pekerjaan. Jika karyawan A kuat
keyakinan kuat bahwa kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya akan
memudahkan ia mencari pekerjaan baru sementara karyawan B kurang yakin bisa
diterima kerja di tempat lain karena ia kurang terampil, maka karyawan A
memiliki kemungkinan terbesar untuk benar-benar mengaktualisasikan intensinya
tersebut dalam bentuk perilaku keluar dari pekerjaan (turnover). Hal penting
kedua yang mendasari pernyataan bahwa ada hubungan langsung antara kontrol
terhadap perilaku yang dihayati (perceived behavioral control) dan perilaku
nyatanya, sering kali dapat digunakan sebagai pengganti / substitusi untuk
mengukur kontrol nyata (actual control).
2.6
Penelitan Terdahulu
Untuk menunjang analisis dan landasan teori yang ada, maka diperlukan
penelitian terdahulu sebagai pendukung bagi penelitian ini. Beberapa penelitian
terdahulu tersebut dapat disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
32
Tabel 2.6
Tabel Penelitian Terdahulu
Peneliti
Topik Penelitian
Metode
Hasil Penelitian
Analisis
Krystia
Tambunan dan
Ibnu Widiyanto
(2012)
Analisis Pengaruh
Citra Merek,
Persepsi Kualitas,
dan Harga
Terhadap
Keputusan
Pembelian
Bandeng Presto
Analisis
Regresi
Berganda
(Studi Kasus pada
Konsumen
Bandeng Presto
Semarang)
Mochammad Oki Analisis Pengaruh
Hima P
Motivasi
Konsumen
Terhadap
Keputusan
Pembelian Sepeda
Motor HONDA
TIGER Di
Kabupaten Sleman,
2009/2010
Analisis
Regresi
Linier
Berganda
Nurul Qomariah
Ordinary
Least
Square
(OLS)
Nilai-nilai
Islam
Variabel
Moderating
Pengaruh Variabel
Kualitas Layanan,
Citra
Institusi
Terhadap Kepuasan
Pelanggan
Hasil
penelitian
membuktikan bahwa
terdapat
terdapat
pengaruh
yang
positif
antara
variabel citra merek,
persepsi
kualitas,
dan harga dengan
variabel keputusan
pembelian.
Citra
merek mempunyai
pengaruh
yang
paling
besar
terhadap keputusan
pembelian
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
konsumen
termotivasi untuk
membeli
sepeda
motor Honda Tiger
karena atribut yang
ada telah sesuai
dengan apa yang
dimiliki oleh sepeda
motor Honda Tiger.
Hasil dari penelitian
ini adalah nilai-nilai
keislaman bukanlah
merupakan variabel
yang memoderasi
pengaruh kualitas
layanan dan citra
institusi
terhadap
kepuasan
pelanggan.
33
Abadi
Pengaruh Kualitas Analisis
Layanan terhadap Regresi
Kepuasan
Berganda
Pelanggan,
Citra
Perusahaan
dan
Loyalitas
Pelanggan
Astudi
Analisis Pengaruh Analisis
Gaya
Korelasi
Kepemimpinan
Terhadap Budaya
Organisasi
Pada
Hotel Ambarukmo,
Jogjakarta
Balqis Diab
Analisis Pengaruh Analisis
Nilai
pelanggan Regresi
dan Citra Merek
Terhadap Kepuasan
Pelanggan Dalam
Meningkatkan
Retensi Pelanggan
Aaker dan Keller
Meningkatkan
retensi pelanggan
melalui kepuasan
pelanggan
yang
dipengaruhi oleh
citra
perusahaan
dan ekuitas merek
Sumber : Dalam berbagai jurnal
Structural
Equation
Modeling
(SEM)
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
variabel
kualitas
layanan
berpengaruh
signifikan terhadap
kepuasan
pelanggan, loyalitas
pelanggan, dan citra
perusahaan.
Hasil dari penelitian
ini adalah semakin
partisipatif
gaya
kepemimpinan,
maka semakin kuat
budaay organisasi
terbentuk
dan
sebaliknya semakin
otoriter
gaya
kepemimpinan
maka
semakin
lemah
budaya
organisasi.
Hasil dari penelitian
ini
mengidentifikasikan
bahwa
nilai
pelanggan,
citra
merek berpengaruh
signifikan terhadap
kepuasan
pelanggan.
Citra
merek
mempunyai
pengaruh
yang
positif
terhadap
kepuasan pelanggan
dalam
meningkatkan
retensi pelanggan.
34
2.7
Rerangka Pemikiran
Berdasarkan pada tinjauan landasan teori dan peneliti terdahulu, maka
dapat disusun kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini, seperti yang
disajikan dalam gambar berikut ini :
Gambar 2.7
Rerangka Pemikiran
Motivasi (X1)
Citra Hotel (X2)
Intensi Menginap (Y)
Nilai-nilai Budaya (X3)
Sumber : Beberapa peneliti dan dikembangkan untuk penelitian ini
2.8
Hipotesis
Hipotesis merupakan dugaan sementara yang paling memungkinkan yang
masih harus dicari kebenarannya. Hubungan antar variabel dalam penelitian ini
memiliki hipotesis sebagai berikut :
H1 : Motivasi (X1) berpengaruh positif terhadap intensi menginap (Y)
H2 : Citra Hotel (X2) berpengaruh positif terhadap intensi menginap (Y)
H3 : Nilai-nilai Budaya (X3) berpengaruh positif terhadap intensi menginap
(Y)
H4 : Motivasi (X1), Citra Hotel (X2), Nilai-nilai Budaya (X3) berpengaruh
positif secara signifikan bersama-sama terhadap intensi menginap (Y)
Download