LAPORAN KASUS STROKE KARDIOEMBOLI Dokter Pembimbing : dr. Dony Ardianto, Sp.S Disusun Oleh : Hanifah Khoirunnisa 20154011077 KEPANITERAAN KLINIK ILMU NEUROLOGI PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA RSUD SALATIGA 1 BAB I TINJAUAN PUSTAKA A. ANATOMI FISIOLOGI 1) Otak Otak manusia kira-kira merupakan 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 3 pon (Price&Wilson, 2005). Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum (otak besar), serebelum (otak kecil), brainstem (batang otak), dan diensefalon (Black, 2005). Serebrum terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks serebri. Masing-masing hemisfer serebri terdiri dari lobus frontalis yang merupakan area motorik primer yang bertanggung jawab untuk gerakangerakan voluntar, lobur parietalis yang berperanan pada kegiatan memproses dan mengintegrasi informasi sensorik yang lebih tinggi tingkatnya, lobus temporalis yang merupakan area sensorik untuk impuls pendengaran dan lobus oksipitalis yang mengandung korteks penglihatan primer, menerima informasi penglihatan dan menyadari sensasi warna (Price & Wilson, 2005). Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan sikap tubuh (Price & Wilson, 2005). Bagian-bagian batang otak dari bawah ke atas adalah medula oblongata, pons dan mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur dan muntah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras kortikosereberalis yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum. Mesensefalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan (Price & Wilson, 2005). Diensefalon di bagi empat wilayah yaitu talamus, subtalamus, epitalamus dan hipotalamus. Talamus merupakan stasiun penerima dan pengintegrasi subkortikal yang penting. Subtalamus fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus akan menimbulkan hemibalismus yang ditandai dengan gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu sisi tubuh. Epitalamus berperanan pada beberapa dorongan emosi dasar seseorang. Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf otonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah dan emosi (Price & Wilson, 2005). 2) Sirkulasi Darah Otak 2 Otak menerima sekitar 20% curah jantung dan memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh dan sekitar 400 kilokalori energi setiap harinya (Price&Wilson, 2005). Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Dari dalam rongga kranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi. Sirkulasi Willisi adalah area dimana percabangan arteri basilar dan karotis internal bersatu. Sirkulus Willisi terdiri atas dua arteri serebral, arteri komunikans anterior, kedua arteri serebral posterior dan kedua arteri komunikans anterior. Jaringan sirkulasi ini memungkinkan darah bersirkulasi dari satu hemisfer ke hemisfer yang lain dan dari bagian anterior ke posterior otak. Ini merupakan sistem yang memungkinkan sirkulasi kolateral jika satu pembuluh darah arteri mengalami penyumbatan. Darah vena dialirkan dari otak melalui dua sistem: kelompok vena interna yang mengumpulkan darah ke vena galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak di permukaan hemisfer otak yang mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya ke venavena jugularis, dicurahkan menuju ke jantung. B. STROKE Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global akut, lebih dari 24 jam, berasal dari gangguan aliran darah otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak sepintas, tumor otak, stroke sekunder karena trauma maupun infeksi (WHO MONICA, 1986). Stroke dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh oklusi fokal pembuluh 3 darah otak yang menyebabkan turunnya suplai oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi (Hacke, 2003). Munculnya tanda dan gejala fokal atau global pada stroke disebabkan oleh penurunan aliran darah otak. Oklusi dapat berupa trombus (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher, contohnya arterisklerosis), embolus (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain, contohnya kardioemboli), atau tromboembolus, menyebabkan hipoksia sampai anoksia pada salah satu daerah percabangan pembuluh darah di otak tersebut. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan subrakhnoid (Bruno et al., 2000). 1. Stroke Infark (SNH; Stroke Non Hemoragik) Stroke infarct terjadi akibat kurangnya aliran darah ke otak. Aliran darah ke otak normalnya adalah 58 mL/100 gram jaringan otak per menit; jika turun hingga 18 mL/100 gram jaringan otak per menit, aktivitas listrik neuron akan terhenti meskipun struktur sel masih baik, sehingga gejala klinis masih reversibel. Jika aliran darah ke otak turun sampai <10 mL/100 gram jaringan otak per menit, akan terjadi rangkaian perubahan biokimiawi sel dan membran yang ireversibel membentuk daerah infark. 2. Stroke Perdarahan (SH; Stroke Hemoragik) a. Perdarahan Intraserebral (PIS) Kira-kira 10% stroke disebabkan oleh perdarahan intraserebral. Hipertensi, khususnya yang tidak terkontrol, merupakan penyebab utama. Penyebab lain adalah pecahnya aneurisma, malformasi arterivena, angioma kavernosa, alkoholisme, diskrasia darah, terapi antikoagulan, dan angiopati amiloid. b. Perdarahan Subaraknoid (PSA) Sebagian besar kasus disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada percabangan arteri-arteri besar. Penyebab lain adalah malformasi arterivena (MAV) atau tumor. Tingkatan PSA berdasarkan skala berikut: • Grade I : nyeri kepala ringan dengan atau tanpa rangsang meningeal • Grade II : nyeri kepala hebat dan pemeriksaan non-fokal, dengan atau tanpa midriasis • Grade III : perubahan ringan pada pemeriksaan neurologis, termasuk status mental • Grade IV : pastinya penekanan tingkat kesadaran atau defisit fokal • Grade V : posturisasi pasien atau koma Derajat Perdarahan Subarakhnoid (Hunt dan Hess) • Derajat 0 : tidak ada gejala dan aneurisma belum ruptur • Derajat 1 : sakit kepala ringan • Derajat 2 : sakit kepala hebat, tanda rangsang meningeal, dan kemungkinan adanya defisit saraf kranialis 4 • • Derajat 3 Derajat 4 : kesadaran menurun, defisit fokal neurologi ringan : stupor, hemiparesis sedang samapai berat, awal deserebrasi • Derajat 5 : koma dalam, deserebrasi Ada juga skala baru telah disusun dan diakui oleh World Federation of Neurosurgeont (WFN) melibatkan Glasgow Coma Scale : Skala tingkat keparahan perdarahan subarachnoid WFN (Alfa, 2009) WFN Grade GCS Motor defisit I 15 Tidak ada II 14-13 Tidak ada III 14-13 Ada IV 12-7 Ada/tidak ada V 6-3 Ada/tidak ada Beban akibat stroke mencapai 40 miliar dollar setahun, selain untuk pengobatan dan perawatan, juga akibat hilangnya pekerjaan serta turunnya kualitas hidup (Currie et al., 1997). Kerugian ini akan berkurang jika pengendalian faktor risiko dilaksanakan dengan ketat (Cohen, 2000). Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya stroke, antara lain sebagai berikut (Brunner & Suddarth, 2001). 1) Hipertensi, dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah cerebral. 2) Aneurisma pembuluh darah cerebral: Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan. 3) Kelainan jantung / penyakit jantung : Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Ddisamping itu dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah. 4) Diabetes mellitus (DM) : Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yaitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral. 5) Usia lanjut : Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak. 6) Polocitemia : Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun. 7) Peningkatan kolesterol (lipid total) : Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak. 5 8) Obesitas : Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh darah otak. 9) Perokok : Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis. 10) Kurang aktivitas fisik. Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak. Faktor Risiko Stroke Serangan stroke jenis apa pun akan menimbulkan defisit neurologis yang bersifat akut (De Freitas et al., 2009). Tanda dan gejala stroke (De Freitas et al., 2009) 6 C. STROKE KARDIOEMBOLI Meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia yang diperkirakan akan menempati posisi keenam tertinggi di dunia pada tahun 2020 cenderung meningkatkan risiko terjadinya penyakit vaskuler. Salah satu penyakit vaskuler berbahaya adalah stroke. Stroke merupakan gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak. Stroke adalah penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit jantung koroner dan kanker, selain itu stroke juga merupakan penyebab kecacatan tertinggi pada dewasa di dunia. Stroke non hemoragik merupakan jenis tersering yaitu sebesar 80% hingga 90% dari total kasus stroke. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan angka kejadian stroke di Indonesia adalah 7 per 1.000 penduduk. Klasifikasi stroke dibagi ke dalam stroke hemoragik dan stroke iskemik. Stroke hemoragik memiliki angka kejadian sebanyak 15% dari seluruh stroke, terbagi merata antara jenis stroke perdarahan intraserebral dan stroke perdarahan subaraknoid. Stroke iskemik memiliki angka kejadian 85% terhadap seluruh stroke dan terdiri dari 80% stroke aterotrombotik dan 20% stroke kardioemboli. Stroke aterotrombotik dapat dibedakan dengan stroke kardioemboli dari sumber embolinya. Dimana stroke aterotrombotik memiliki sumber aterogenik emboli dari plak karotis. Selain itu aterotrombotik juga dapat dihasilkan dari suatu stenosis carotis yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke otak. Aterosklerotik pada pembuluh darah intrakranial dan arteri penetran juga merupakan penyebab dari stroke jenis ini. Stroke kardioemboli diakibatkan dari emboli yang berasal dari jantung. Sebab tersering timbulnya emboli ini adalah fibrilasi atrium (AF; Atrial Fibrillation) atau terdapat kelainan pada katup jantung. 7 Kejadian penyakit stroke yang dapat dimodifikasi salah satunya yaitu penyakit jantung. Penyakit jantung yang dapat menjadi faktor risiko tinggi stroke diantaranya fibrilasi atrium. Penyakit jantung yang dapat menyebabkan stroke terdapat sekitar 15% atau satu dari enam kasus stroke non hemoragik yang biasanya merupakan emboli jantung. Fibrilasi atrium merupakan penyakit jantung yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik sehari-hari dan merupakan aritmia menetap paling sering dibandingkan tipe aritmia lainnya. Fibrilasi atrium dialami sekitar 1-2% populasi dan meningkat kejadiannya seiring dengan pertambahan usia. Insidensi fibrilasi atrium di Indonesia memperlihatkan suatu pola peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Data yang diperoleh dari Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah penderita fibrilasi atrium di Indonesia, yaitu 7,1% pada tahun 2010; 9,0% pada tahun 2011; 9,3% pada tahun 2012 dan meningkat menjadi 9,8% pada tahun 201310. Fibrilasi atrium adalah penyakit jantung yang paling sering berkaitan dengan emboli serebral. Di Amerika Serikat hampir setengah dari emboli kardiogenik terjadi pada pasien dengan fibrilasi atrium. Menurut Framingham (2007), insidensi stroke non hemoragik ditemukan lima kali lebih tinggi pada pasien fibrilasi atrium dibandingkan pasien non fibrilasi atrium. Pembentukan trombus atau emboli dari jantung sepenuhnya belum diketahui, terdapat beberapa faktor prediktif pada kelainan jantung yang berperan dalam proses emboli, yaitu faktor mekanik, stasis aliran darah di atrium, dan proses trombolisis di endokardium. Upaya pencegahan terhadap penyakit stroke perlu dilakukan sedini mungkin. Hal ini dapat dilakukan dengan memodifikasi faktor risiko yang dapat dimodifikasi salah satunya yaitu fibrilasi atrium. Stroke kardioemboli adalah suatu gangguan neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah, dimana secara mendadak atau cepat timbul gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah, fokal di otak, akibat suatu emboli yang berasal dari jantung. 8 Stroke kardioemboli awitannya dimulai dengan defisit neurologik fokal yang dapat menjadi lebih berat, dasar diagnosa klinik dibuktikan dengan adanya sumber emboli dari jantung dan tidak ditemukannya penyebab lain dari strokenya. Prevalensi stroke kardioemboli lebih tinggi pada usia dibawah 45 tahun, antara 23-36%, walaupun pada kenyataannya penyakit jantung mayor yang mendasarinya lebih banyak pada usia yang lebih tua. Kardioemboli merupakan salah satu dari 3 penyebab stroke paling sering pada dewasa muda. Penyakit jantung sering menjadi sumber emboli tergantung dari suatu daerah, misalnya untuk negara berkembang penyakit jantung rematik merupakan yang paling sering menajdi sumber emboli sedangkan untuk negara Eropa dam Amerika Utara prolaps katup mitral dan paten foramen ovale. Frekuensi terjadinya tipe emboli yang berbeda bervariasi, tergantung dari umur penderita, emboli yang berasal dari penyakit katup jantung rematik terdapat pada usia muda, emboli yang berasal dari atherosklerosis lebih banyak ditemukan pada usia yang lebih tua. Hal ini perlu diketahui karena penyakit jantung dan atherosklerotik dapat timbul bersama-sama, sehingga walupun sumber potensial untuk terjadinya kardioemboli ada, tidak berarti penyebab infark serebri adalah kardioemboli. Diagnosa kardioemboli adalah sangat penting untuk ditegakkan sebab evaluasi dan terapinya berbeda dari penyakit pembuluh darah otak. Pembentukan emboli yang menoklusi arteri di otak bisa bersumber dari jantung sendiri atau berasal dari luar jantung, tetapi pada perjalanannya melalui jatung, misalnya sel tumor, udara dan lemak pada trauma, parasit dan telurnya. Yang sering terjadi adalah emboli dari bekuan daran (clots) karena penyakit jantungnya sendiri. Trombus intracardiak di atrium ventrikel kiri paling sering menyebabkan emboli, walaupun trombus di atrium, ventrikel kanan dan ekstremitas dapat menyebabkan emboli otak melalui septal defek di jantung. Trombus di ventrikel kiri dapat pula terjadi karena proses koagulopati trombosik tanpa disertai kelainan jantung. Caplan LR (1991) membagi berbagai tipe dari bahan emboli yang berasal dari jantung, yaitu : 1. trombus merah, trombus terutama mengandung fibrin (aneurisma ventrikel) 2. trombus putih, aggregasi pletelet – fibrin (Infark miokard) 3. vegetasi endocarditis marantik 4. bakteri dan debris dari vegetasi endocarditis 5. kalsium (kalsifikasi dari katup dan anulus mitral) 6. myxoma dan framen fibroelastoma PATOGENESIS a) Pembentukan emboli dari jantung Pembentukan trombus atau emboli dari jantung belum sepenuhnya diketahui, tetapi ada beberapa faktor prediktif pada kelainan jantung yang berperan dalam proses pembentukan emboli, yaitu : 1) Faktor mekanis 9 Perubahan fungsi mekanik pada atrium setelah gangguan irama (atrial fibrilasi), mungkin mempunyai korelasi erat dengan timbulnya emboli. Terjadinya emboli di serebri setelah terjadi kardioversi elektrik pada pasien atrial fibrilasi. Endokardium mengontrol jantung dengan mengatur kontraksi dan relaksasi miokardium, walaupun rangsangan tersebut berkurang pada endokardium yang intak. Trombus yang menempel pada endokardium yang rusak (oleh sebab apapun), akan menyebabkan reaksi inotropik lokal pada miokardium yang mendasarinya, yang selanjutnya akan menyebabkan kontraksi dinding jantung yang tidak merata, sehingga akan melepaskan material emboli. Luasnya perlekatan trombus berpengaruh terahadap terjadinya emboli. Perlekatan trombus yang luas seperti pada aneurisma ventrikel mempunyai resiko (kemungkinan) yang lebih rendah untuk terjadi emboli dibandingkan dengan trombus yang melekat pada permukaan sempit seperti pada kardiomiopati dilatasi, karena trombus yang melekat pada oermukaan sempit mudah lepas. Trombus yang mobil, berdekatan dengan daerah yang hiperkinesis, menonjol dan mengalami pencairan di tengahnya serta rapuh seperti pada endokarditis trombotik non bakterial cenderung menyebabkan emboli. 2) Faktor aliran darah Pada aliran laminer dengan shear rate yang tinggi akan terbentuk trombus yang terutama mengandung trombosit, karena pada shear rate yang tinggi adesi trombosit dan pembentukan trombus di subendotelial tidak tergantung pada fibrinogen, pada shear rate yang tinggi terjadi penurunan deposit fibrin, sedangkan aggregasi trombosit meningkat. Sebaliknya pada shear rate yang rendah seperti pada stasis aliran darah atau resirkulasi akan terbentuk trombus yang terutama mengandung fibrin, karena pada shear rate yang rendah pembentukan trombus tergantung atau membutuhkan fibrinogen. Stasis aliran darah di atrium, merupakan faktor prediktif terjadinya emboli pada penderita fibrilasi atrium, fraksi ejeksi yang rendah, gagal jantung, infark miokardium, kardiomiopati dilatasi. 3) Proses trombolisis di endokardium Pemecahan trombus oleh enzim trombolitik endokardium berperan untuk terjadinya emboli, walupun pemecahan trombus ini tidak selalu menimbulkan emboli secara klinik. Hal ini telah dibuktikan bahwa bekuan (clot) setelah Infark miocard, menghilang dari ventrikel kiri tanpa gejala emboli dengan pemeriksaan ekhokardiografi. Keadaan kondisi aliran lokal yang menentukan kecepatan pembentukan deposit platelet disertai dengan kerusakan endotelium yang merusak proses litik, kedua hal ini akan menyebabkan trombus menajdi lebih stabil. b) Perjalanan emboli dari jantung Emboli yang keluar dari ventrikel kiri, akan mengikuti aliran darah dan masuk ke arkus aorta, 90% akan menuju ke otak, melalui a.karotis komunis (90%) dan a.veterbalis (10%). Emboli melalui a.karotis jauh lebih banyak dibandingkan dengan 10 a.veterbalis karena penampang a.karotis lebih besar dan perjalanannya lebih lurus, tidak berkelok-kelok, sehingga jumlah darah yang melalui a.karotis jauh lebih banyak (300 ml/menit), dibandingkan dengan a.veterbalis (100 ml/menit). Emboli mempunyai predileksi pada bifurkatio arteri, karena diameter arteri dibagian distal bifurkasio lebih kecil dibandingkan bagian proksitelnya, terutama pada cabang a.serebrimedia bagian distal a.basilaris dan a.serebri posterior. Emboli kebanyakan terdapat di a.serebri media, bahkan emboli ulang pun memilih arteri ini juga, hal ini disebabkan a.serebri media merupakan percabangan langsung dari a. karotis interna, dan akan menerima darah 80% darah yang masuk a.karotis interna. Emboli tidak menyumbat cabang terminal korteks ditempat watershead pembuluh darah intrakranial, karena ukurannya lebih besar dari diameter pembuluh darah ditempat itu. Berdasarkan ukuran emboli, penyumbatan bisa terjadi di a.karotis interna, terutama di karotis sipon. Emboli mungkin meyumbat satu atau lebih cabang arteri. Emboli yang terperangkan di arteri serebri akan menyebabkan reaksi : endotel pembuluh darah permeabilitas pembuluh darah meningkat vaskulitis atau aneurisma pembuluh darah iritasi lokal, sehingga terjadi vasospasme lokal. Selain keadaan diatas, emboli juga menyebabkan obstrupsi aliran darah, yang dapat menimbulkan hipoksia jaringan dibagian distalnya dan statis aliran darah, sehingga dapat membentuk formasi rouleaux, yang akan membentuk klot pada daerah stagnasi baik distal maupun proksimal. Gangguan fungsi neuron akan terjadi dalam beberapa menit kemudian, jika kolateral tidak segera berfungsi dan sumbatan menetap. Bagian distal dari obstrupsi akan terjadi hipoksia atau anoksia, sedangkan metabolisme jaringan tetap berlangsung, hal ini akan menyebabkan akumulasi dari karbondiaksida (CO2) yang akan mengakibatkan dilatasi maksimal dari arteri, kapiler dan vena regional. Akibat proses diatas dan tekananaliran darah dibagian proksimal obstrupsi, emboli akan mengalami migrasi ke bagian distal. Emboli dapat mengalami proses lisis, tergantung dari : faktor vaskuler, yaitu proses fibrinolisis endotel lokal, yang memegang peran dalam proses lisis emboli komposisi emboli, emboli yang mengandung banyak trombosit dan sudah lama terbentuk lebih sukar lisis, sedangkan yang terbentuk dari bekuan darah (clot) mudah lisis. c) Oedem serebri Oedem serebri didefinisikan sebagai akumulasi cairan yang abnormal di serebri, yang menyebabkan penambahan volume serebri. Emboli yang menyumbat arteri serebri secara permanen akan menyebabkan iskemia jaringan otak, yang menyebabkan kematian sel otak, karena kegagalan energi. Teori ini menerangkan 11 kehidupan sel tergantung dari homeostasis yang utuh, termasuk homeostasis seluler yang mempunyai aktifitas seperti pompa ion, transport aktif, yang prosesnya tergantung dari energi. Bila ada gangguan dari respirasi seluler, seperti iskemia,akan menyebabkan gangguan homeostasis dan terjadi kematian sel. Tipe kematian sel ini disebut kematian karena kegagalan energi yang mempunyai sifat kematian pannekrosis, yaitu kematian seluruh neuron, sel glia, dan dinding pembuluh darah. Keadan ini akan menyebabkan gangguan dari tekanan intaseluler atau membran sel, sehingga terjadi gangguan transport natrium-kalium, disertai masuknya cairan kedalam intra sel. Oedem serebri yang terjadi disebut sebagai oedem serebri sitotoksik. Evolusi temporal dari Infark iskemik mulai dari beberapa menit sampai beberapa jam dan kerusakan fokal hampir selalu berhubungan dengan oedem serebri. Selama periode iskemia dan reperfusi di pembuluh darah perifer akan terjadi deplesi dari neutrofil, mikroglia yang reaktif, makrofag akan mengeluarkan mediator kimia seperti bradikinin, serotonin, histamin, dan asam arakhinoid yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Selain hal diatas peningkatan permeabilitas pembuluh darah juga disebabkan adanya peningkatan tekanan hidrostatik lokal. Iskemia juga meyebabkan akumulasi dari substansi osmolal, seperti natrium, laktat dan asam organik lainnya, yang mempermudah terjadinta oedem setelah resirkulasi. Oedem yang terjadi karena adanya akumulasi cairan secara pasif di ruang interstitial sel serebri. Oedem ini disebut sebagai oedem serebri vasogenik. Secara teoritis oedem serebri vasogenik tidak akan terjadi selama iskemia serebri yang komplit, tidak ada aliran, tidak ada oedem. Oedem serebri merupakan karakteristik dari Infark karena emboli, walaupun setiap Infark selalu ada menyebabkan oedem serebri (kadang tidak bermanifestasi). Oedem serebri yang masif biasanya timbul setelah infark luas yang terjadi setelah oklusi a. serebri media atau a. karotis interna yang permanen. Hasil otopsi menunjukkan 2/3 dari Infark serebri yang luas dengan oedem serebri berasal dari kardioemboli. Oedem serebri iskemia mencapai volume maksimal setelah hari ke 3-4 akumulasi cairan diresorbsi setelah hari ke 4-5. d) Infark berdarah Disebut Infark berdarah bila ditemukan sejumlah sel darah merah diantara jaringan nekrotik. Pada otopsi ditemukan fokus berupa perdarahan petkhial yang menyebar sampai perdarahan petkhial yang berkumpul sehingga hampir meyerupai hematoma yang masif. Seperti yang telah diuraikan diatas bahwa, 2002 digitized by USU digital library 5 nasib emboli yang mengoklusi arteri serebri bisa permanen, migrasi atau lisis, bila terjadi resirkulasi karena migrasi atau lisis setelah jaringan serebri mengalami nekrosis, tekanan darah arterial yang normal akan memasuki kapiler yang hipoksia akan menyebabkan diapedesis dari sel darah merah melalui dinding kapiler yang hipoksia. Makin hebat resirkulasi dan makin berat kerusakan 12 dinding kapiler akan menyebabkan makin masifnya infark berdarah. Infark berdarah ini biasanya terletak diproksimal Infark. PENYAKIT JANTUNG SEBAGAI SUMBER EMBOLI 1) Kardiomiopati dilatasi Pada kardiomiopati dilatasi terjadi ganguan kontraksi ventrikel secara menyeluruh. Manifestasi penyakit ini menjadi gagal jantung progresif, dan aritmia. Aritmia yang timbul biasanya sebagai ventrikel takhicardia dan 20-30% menjadi atrial fibrilasi kronik. Patogenesa terjadinya trombus dipercaya karena adanya aliranyg statis di intrakavitas. Trombus yang terjadi cendrung kecil dan menyebar diseluruh kapitas dengan predileksi di apeks, tempat statis aliran maksima. Deteksi trombus dengan ekhokardiografi ditemukan antara 11-58% pada penderita kardiomiopati dilatasi, tetapi deteksi trombus ini tidak berkolerasi dengan emboli yang terjadi. 2) Infark miokrdium Komplikasi stroke kardioemboli pada Infark miokardim akut (IMA) mencapai 2,5% dari pasien dalam waktu 2-4 minggu. Hasil otopsi menunjukkan, bahwa prevalensi trombus ventrikel kiri dengan emboli lebih tinggi dari yang bermanifestasi klinik. Faktor resiko terbentuknya trombus ventrikel kiri adalah segmen ventrikel yang hipokinetik atau akinetik (yang menyebabkan statis aliran darahI dan kerusakan dari permukaan endokardim (sebagai faktor trombogenik). Pada pemeriksaan EEG pada 24 jam pertama setelah awitan dari IMA biasanya tidak ditemukantrombus ventrikel kiri. Pembentukan trombus mulai terjadi pada hari 1- 7, dan berkembang sampai minggu ke-2. kurang lebih 1/3 dari trombus akan menonjol ke dalam rongga ventrikel dan sisanya berbentuk mural atau datar. Trombus yang bergerak (mobil) dan/atau menonjol ke rongga ventrikel mempunyai resiko emboli lebih tinggi dibandingkan bentuk nural. 3) Aneurisma pasca Infark miokardium Pada aneurisma ventrikel terajdi stasis sirkulasi regional yang merupakan faktor predisposisi terbentuknya trombus di ventrikel kiri. Trombus biasanya berbentuk datar, melekat pada permukaan yang luas dan tidak bergerak. Trombus ini jarang menimbulkan emboli. 4) Miksoma atrium Tumor primer jantung, jinak, biasanya di atrium kiri, insidensi jarang, biasanya mengenai dewasa muda dan pertengahan dan sangat jarang menyebabkan stroke. Gejala yang umum timbul sebagai sekunder dari obstruksi aliran jantung, manifestasi emboli hanya 20-45%, dan emboli yang ke arteri serebri sekitar 50% dari kasus. Material emboli terdiri dari 2 tipe, platelet fibrin dan fragmen tumor. 5) Defek septum Kelainan atau defek pada septum mencakup paten foramen ovale, defek atrio septal dan fistula pulmonal arteriovenosus, yang menyebabkan aliran sistem 13 6) 7) 8) 9) vena langsung memasuki aliran arteri dengan membawa material emboli, disebut sebagai emboli paradoksikal. Pada otopsi didapatkan 30-35% menderita paten foramen ovale, sedangkan pada pemeriksaan ekhocardiografi dengan kontras pada orang normal, didapatkan 10-18%. Emboli paradoksikal sering diduga sebagai penyebab stroke yang tidak jelas penyebabnya. Kelainan katup mitral rematik Trombus di ventrikel kiri ditemukan pada 15-17% otopsi, yang tidak mempunyai riwayat emboli. Trombus bisa timbul pada penderita dengan stenosis mitral sedang, dan terbentuk sebagai Jet lession yang terbentuk di dinding ventrikel kiri,material trombus bisa dari klot di atrium kiri, atau klot dan kalsium dari katup mitral sendiri. Emboli berulang sering terjadi (30-75%),biasanya dalam waktu 6-12 bulan. Timbulnya atrial fibrilasi meningkatkan resiko emboli menjadi 4 kali. Resiko emboli juga meningkat berkolerasi dengan lamanya senosis mitral. Katup Protesis Katup protesis meningkatkan trombogenik, sehingga tromboemboli menjadi komplikasi morbiditas dan mortalitas yang utama. Rata-rata emboli penderita dengan katup protesis mitral 3-4% pertahun, sedangkan pada katup aorta protesis lebih rendah, yaitu 1,2-2,2% pertahun. Komplikasi lain endokarditis katup protesis, yang mempunyai insidensi 2,4% pertahun, menjadi sumber yang sangat potensial untuk terjadi emboli. Endokarditis bakterial Insidensi endokarditis bakterial menurun sesuai dengan penurunan dari penyakit jantung rematik,perkembangan antibiotik, dan tindakan operatif, tetapi insidensi stroke karena endokarditis bakterial (15-20%) tidak menurun. Keadaan ini dapat diterangkan bahwa mayoritas stroke timbul setelah 48 jam terjadinya endokarditis bakterial, dan resiko serta berat emboli lebih tinggi pada infeksi stabilacoccus aureus atau epidermidis dengan katup protesis. Stroke dapat pula terjadi tanpa manifestasi endokarditis bakterial. Komplikasi neurologis ke susunan saraf pusat bisa menajdi beberapa bentuk, yaitu iskemia, hemorrhage, ensefalopati toksik, meningitis, arteritis, biogenik, aneurisma mikotik, dan perdarahan subarakhnoid, tergantung dari bagian dan ukuran dari emboliseptik. Prediktif resiko emboli dari deteksi vegetasi katup dengan echocardiografi tidak sepenuhnya berkorelasi, untuk mengurangi resiko stroke hanya dengan secepat mungkin menanggulangi infeksi dengan pemberian antibiotik. Endokarditis trombotik nonbakterial (ETN) Emboli terjadi dari vegetasi steril yang tumbuh pada katup, biasanya penderita dengan adenocarsinoma paru, pankreas, prostat dan paling banyak malignansi hematologi. Disebut juga sebagai marantic, terminal, dan verrukosa endokarditis. 14 ETN tipe non infeksi endokarditis, pada katup jantung yang normal, vegetasinya biasanya kecil terdiri dari platelet dan deposit fibrin, patogenesanya masih belum pasti, tetapi diperkirakan karena perubahan permukaan katup, dan keaadaan hiperkoagulasi (DIC, tumor mucin, procoagulan). 10) Porlaps katup mitral (PKM) PKM merupakan kelainan katup yang terjadi pada 5% populasi umum dan lebih sering pada wanita muda. Barnett (1980) menemukan 4,7% penderita stroke dibawah umur 45 tahun disebabkan PKM, dengan pemeriksaan ekhokardiografi dengan kontras, ditemukan 40% penderita TIA/stroke dibawah umur 45 tahun disebabkan PKM. PKM dalam pemeriksaan ekhokardiografi terlihat pergerakan yang sangat berlebih dari daun katup ke arah atrium. Secara patologi terlihat daun katup dan korda tendinae mengalami degenerasi musinous dan fibromatous. Gejala dari PKM tidak spesifik. Beberapa komplikasi dari PKM adalah, endokarditis bakterial, mitral regurgasi, arritmia, kematian mendadak, endocarditis trombotik non bakterial, serebral dan retinal iskemia. Trombus bisa terdapat pada katup mitral yang miksomatus, posterior katup sitral, posterior dinding atrium, bahkan pada daun katup yang bergerak. Trombus berasal dari daun katup yang berdegenerasi dan dari fibrin dan platelet. 11) Kalsifikasi annulus mitral (KAM) KAM merupakan proses kalsifikasi pada orang tua, yang sesuai dengan proses degerasi. Berhubungan erat dengan aterosklerosis koroner, gangguan konduksi jantung, atrial fibrilasi kronis, kardiomegali, gagal jantung, dan aterosklerosis a.karotis. 12) Atrial fibrilasi (AF) Trombus ventrikel kiri pada penderita AF ditemukan 15,8%, sedangkan pada kontrol hanya 1,7%. Infark serebri 32,2% pada AF, sedangkan pada kontrol 11%. Frekuensi Infark serebri meningkat sesuai dengan lamanya AF. Penyebab AF yang paling sering adalah penyakit jantung rematik dan penyakit jantung iskemik. Resiko emboli pada AF paling tinggi setelah terjadi kardioversi elektikal atau reversi spontan keritme sinus. Trombus terbentuk di atrium kanan karena stasis dari aliran darah. Non valvular atrial fibrilase (NVAF) berinsidensi 2-5% dari populasi umur 60 tahun, dan prevalensi meningkat sesuai dengan penambahan usia. NVAF merupakan penyebab mayor stroke kardioemboli dengan Infark serebri masif. Valvular atrial fibrilasi mempunyai resiko stroke 17 kali daeri kontrol. 13) Sindrom Sick Sinus (SSS) SSS merupakan terminologi disfungsi sinoatrial (SA), yang bermanifestasi bradikardia (kurang dari 50 denyut permenit), sinus arrest atau sinoatrial block. SSS bisa timbul pada setiap usia tetapi sering pada orang tua dan berhubungan 15 dengan penyakit jantung iskemik, kardiomiopati, hipertensi, penyakit jantung rematik. Terjadinya bradikardi berhubungan dengan supraventrikuler takhikardi dan atrial flutter atau fibrilasi. Patofisiologi terjadinya emboli sama dengan atrial fibrilasi. Caplan (1994) mengelompokkan penyakit jantung sebagai sumber emboli menjadi 3 : a) kelaianan dinding jantung, seperti kardiomiopati, hipokinesis dan akinesis dinding ventrikel pasca Infark miocard,aneurisma atrium, aneurisma ventrikel, miksoma atrium dan tumor lainnya, defek septum dan paten foramen ovale b) kelaianan katup, seperti kelainan katup mitral rematik, penyakit aorta, katup protesis, endokarditis bakterial, endokarditis trombotik non bakterial, prolaps katup mitral dan kalsifikasi annulus mitral c) kelaianan irama, terutama fibrilasi atrium dan sindrom sick sinus. DIAGNOSIS STROKE KARDIOEMBOLI Skala Klinis Davis & Hunt 1 . 2 . 3 . 4 . 5 . 6 . 7 . 8 Sumber utama jantung Fibrilasi Atrium (AF) Sindroma Sick Sinus Stenosis mitral Katup protesis Trombus ventrikel kiri Infark miokard akut Aneurisma ventrikel kiri tanpa trombus Saat kejadian defisit neurologis maksimal dan mendadak (kurang 5 menit pada pasien sedang aktif) Tidak ada/ sangat sedikit aterosklerosis pada pemeriksaan USG (di karotis) Angiografi karotis Infark kortikal atau subkortikal luas (klinis atau dengan CT-scan/MRI kepala) Infark kortikal sebelumnya pada suatu area vaskular lain (klinis atau dengan CT-scan/MRI kepala) Tidak didapatkan aterosklerosis pada arteriogram 3 3 4 4 4 4 3 1 1 2 1 1 3 Infark berdarah pada CT-scan 1 Tidak didapatkan HT kronis 1 16 . >4-5 Tersangka >6-7 Lebih mungkin >8 Sangat mungkin CHADS2 Score PENATALAKSANAAN (PERDOSSI, 2007) 1) Stadium Hiperakut Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT-scan otak, elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang. 2) Stadium Akut Pada stadium ini, dilakukan penanganan faktor-faktor etiologik maupun penyulit. Juga dilakukan tindakan terapi fisik, okupasi, wicara dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Penjelasan dan edukasi kepada keluarga pasien perlu, menyangkut dampak stroke terhadap pasien dan keluarga serta tata cara perawatan pasien yang dapat dilakukan keluarga. a. Stroke Iskemik Terapi umum : Letakkan kepala pasien pada posisi 300, kepala dan dada pada satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil. Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 12 liter/menit sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan 17 intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya dengan kateter intermiten). Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui slang nasogastrik. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah <60 mg% atau <80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220 mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥130 mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik ≤90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih <90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥110 mmHg. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid. Terapi khusus : Ditujukan untuk reperfusi dengan pemberian antiplatelet seperti aspirin dan anti koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant tissue Plasminogen Activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia). b. Stroke Perdarahan Terapi umum : 18 Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 1520% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika didapatkan tanda tekanan intrakranialmeningkat, posisi kepala dinaikkan 300, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg). Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas. Terapi khusus : Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM). 3) Stadium Subakut Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer dan sekunder. Terapi fase subakut: a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya, b. Penatalaksanaan komplikasi, c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi, d. Prevensi sekunder e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning 19 D. 20 BAB II KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. R Usia : 76 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Tingkir, Salatiga Pekerjaan : Swasta Agama : Islam Bangsa : Jawa, Indonesia Dirawat dikelas: ICU No. RM : 14 15 xxx xxx B. ANAMNESIS Keluhan Utama Kaki kiri nyeri dan sulit untuk digerakkan. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD kiriman dari dr. A dengan diagnosis stroke berulang, hipertensi stadium II dan AF respon cepat. Keluhannya kaki kiri kram dan bibir perot tiba-tiba saat bangun tidur. Kemudian disertai kejang berdurasi ≥ 30 menit sebanyak 2x dalam sehari. Kesadarannya menurun dan juga muntah. Pasien di ICU 1 jam kemudian, dengan keluhan kaki kiri sulit digerakkan namun kesadarannya sudah compos mentis (sedang). Riwayat Penyakit Dahulu 6 tahun yang lalu (tahun 2009) pasien pernah didiagnosis penyumbatan jantung, tahun 2013 masuk rumah sakit karena stroke lalu rawat inap selama 9 hari. Tahun 2014 kembali dirawat inap 9 hari karena stroke, dan tahun 2015 stroke berulang. Riwayat Keluarga Ibu dan Ayah pasien sudah meninggal dikarenakan stroke, kedua kakak pasien juga sudah meninggal dunia. Riwayat Personal Sosial Pasien merokok, namun sudah berhenti merokok sejak tahun 1995. C. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalisata - Keadaan Umum : Compos Mentis - Tanda Vital : Tekanan darah : 141/93 mmHg Nadi : 96x/menit Suhu : 36,5° C Pernafasan : 17x/menit - Kepala : Normosefali, tidak terdapat adanya hematom - Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat 21 isokor kanan kiri - Telinga: Normotia, serumen (-/-), sekret (-/-) - Hidung : Normosepta, sekret (-), darah (–) - Tenggorokan : Dbn - Leher : KGB tidak teraba membesar, kaku kuduk (-) - Cor : S1 dan S2 terdengar reguler - Pulmo : Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk. Tidak ada ketinggalan gerak. Tidak ada nyeri tekan pada lapang paru. Perkusi sonor. Suara dasar vesikuler : +/+ (positif di lapang paru kanan dan kiri) Suara ronkhi : -/- (tidak terdengar di kedua lapang paru) Suara wheezing : -/- (tidak terdengar di kedua lapang paru) - Abdomen : Bentuk supel (+) Nyeri tekan (-) Bising usus (+) normal - Ekstremitas : Udem : (-) ekstremitas atas maupun bawah Akral dingin : (-) ekstremitas atas maupun bawah Status Neurologis - Keadaan Umum : Baik - Kesadaran : Compos mentis; GCS : E4V5M6 - Sistem Motorik Kekuatan Motorik: 5 4 5 5 - - - Gerakan Involunter Tremor : (-) Chorea : (-) Atetosis : (-) Mioklonik : (-) Tics : (-) Clonus : (-) Trofik : Normotrofik Tonus : Normotonus Fungsi cerebellar dan koordinasi Ataxia : tidak dilakukan Tes Rhomberg : tidak dilakukan Fungsi otonom Miksi : baik Defekasi : baik Sekresi keringat: baik Sensibilitas 22 - - - Eksteroseptif : taktil, nyeri, dan suhu baik di seluruh anggota gerak pasien Prorioseptif : gerak, sikap dan tekanan berfungsi dengan baik Refleks fisiologis Biceps : (++) / (++) Triceps : (++) / (++) Patella : (++) / (++) Achiless : (++) / (++) Refleks Patologis Hoffman Tromer (-) (-) Babinsky (-) (-) Chaddock (-) (-) Oppenheim (-) (-) Gordon (-) (-) Schaeffer (-) (-) Mendel-Becterew (-) (-) Bing (-) (-) Gonda (-) (-) Rossolimo (-) (-) Pemeriksaan cedera N. ischiadicus Tes lasegue (-) Tes Patrick (-) Tes Kontrapatrick (-) Kanan N I (Olfaktorius) Subjektif + Dengan bahan tdl N II (Optikus) Daya penglihatan N Pengenalan warna + Medan penglihatan tdl N III (Okulomotorius) Ptosis Gerakan bola mata ke : Superior + Inferior + Medial + Ukuran pupil 3 mm Bentuk pupil bulat Reflek cahaya langsung + N IV (Troklearis) Gerak bola mata ke lateral bawah + Diplopia - Kiri + tdl N + tdl + + + 3 mm bulat + + 23 N V (Trigeminus) Menggigit Membuka mulut N VI (Abdusens) Gerakan mata ke lateral N VII (Facialis) Kedipan mata Mengerutkan dahi Mengerutkan alis Menutup mata Mengembangkan senyum N VIII (Akustikus) Mendengar suara N IX (Glosofaringeus) Sengau Reflek muntah N X (Vagus) Bersuara Menelan N XI (Asesorius) Memalingkan kepala Sikap bahu Mengangkat bahu Trofi otot bahu N XII (Hipoglosus) Sikap lidah Tremor lidah Menjulurkan lidah Trofi otot lidah + + + + + + + + + + + + + + + + + + - - + + + + + + + N N Eutrofi + N N Eutrofi N - N - D. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium PEMERIKSAAN HEMATOLOGI Leukosit Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC Trombosit HASIL NILAI RUJUKAN 12.36 6.19 15.5 47.0 75.9 25.0 33.0 250 4.5 – 11 4–5 14 – 18 38.00 – 47.00 86 – 108 28 – 31 30 – 35 150 – 450 24 KIMIA GLUKOSA Darah Puasa Glukosa 2 jam PP Ureum Creatinin Cholesterol Total Trigliserida HDL Cholesterol LDL Cholesterol Asam Urat SGOT SGPT ELEKTROLIT Natrium Kalium Chlorida Kalsium Mg 107 87 35 1.1 204 58 64 149 12.0 30 11 80 – 100 80 – 144 10 – 50 0.6 – 1.1 <200 <150 >45 <100 2.4 – 5.7 <31 <32 143 4.2 110 8.9 1.9 135 – 155 3.6 – 5.5 95 – 108 8.4 – 10.5 1.9 – 2.5 2. Pemeriksaan CT scan Telah dilakukan pemeriksaan CT scan kepala tanpa bahan kontras iv, potongan axial, pada pasien dengan klinis suspect SNH. Pasien tidak kooperatif, bergerak saat dilakukan scanning. HASIL : • Tak tampak soft tissue swelling extracranial • Sistema tulang yang tervisualisasi tampak intact • Gyri dan sulci tampak sangat prominent • Batas grey matter dan white matter tampak tegas • Tampak lesi hipodens luas (4 HU) di lobus parietooccipitalis dextra dengan batas relative tegas dan lesi hipodens (16 HU) di lobus parietalis sinistra • Sistema ventrikel dan cysterna tampak lebar • Tak tampak deviasi struktur mediana • Air cellulae mastoidea dalam batas normal KESAN : • Gambaran infark luas kronis di lobus parietooccipitalis dextra, suspect encephalomalacia dengan gambaran cortical infark di lobus parietalis sinistra, disertai gambaran brain atrphy • Tak tampak gambaran intracerebral hemorrhage 25 3. Pemeriksaan EKG Tampak frekuensi HR 100x/menit, dengan ritme interval R-R irreguler. (Atrial Fibrillation; AF) 26 E. Assesment Diagnosa Klinik Diagnosa Topik : Monoparesis inferior sinstra flaksid : Infark di lobus parietooccipitalis dextra 27 Diagnosa Etiologik : Hipertensi grade II F. Penatalaksanaan Infus asering 20 cc/menit Inj. Piracetam 2x3 gr Inj. Citicolin 2x500 mg Infus manitol 4x100 cc Inj. Anxta 1x2.5 Inj. Omerprazole 1x40 Clopidogrel 1x75 mg 28 REFERENSI 1. American Heart Association (AHA), 2011, Management of Patients with Atrial Fibrillations, Update, AHA, Dallas, American College of Cardiology Foundations. 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (BPPK Depkes RI), 2013, Laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Depkes RI, Jakarta, xiv-111. 3. Brown, 2006, Penyakit Aterosklerotik Koroner. Di Dalam: Price and Wilson, 2006, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Ed ke-6, vol 1, EGC, Jakarta, 576-612. 4. Bruno A, Kaelin DL, Yilmaz EY. The subacute stroke patient: hours 6 to 72 after stroke onset. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. McGraw-Hill. 2000. pp. 53-87. 5. Cohen SN. The subacute stroke patient: Preventing recurrent stroke. In Cohen SN. Management of Ischemic Stroke. Mc Graw Hill. 2000. pp. 89-109. 6. Currie CJ, Morgan CL, Gill L, Stott NCH, Peters A. Epidemiology and costs of acute hospital care for cerebrovascular disease in diabetic and non diabetic populations. Stroke 1997;28: 1142-6. 7. De Freitas GR, Christoph DDH, Bogousslavsky J. Topographic classification of ischemic stroke, in Fisher M. (ed). Handbook of Clinical Neurology, Vol. 93 (3rd series). Elsevier BV, 2009. 8. Fisher M and Norrving B, 2011, The International Agenda for Stroke. (serial online). (di unduh 18 Februari 2013), Tersedia pada: http://www.who.int/nmh/events/moscow_ncds_2011/conference_documents/second_plenar y_norrving_fisher_stroke.pdf. 9. Go AS; Hylek EM; Phillips KA; Chang Y, Henault LE; Selby JV, et.al., 2011, Prevalence of Diagnosed Atrial Fibrillation in Adults, National Implications for Rhythm Management and Stroke Prevention,the AnTicoagulation and Risk Factors in Atrial Fibrillation (ATRIA) Study, JAMA; 285(18):2370-2375. 10. Gofir, A., 2009, Manajemen Strok: Evidence Based Medicine, Cetakan ke-1, Pustaka Cendikia Press, Yogyakarta. 11. Hacke W, Kaste M, Bogousslavsky J, Brainin M, Chamorro A, Lees K et al.. Ischemic Stroke Prophylaxis and Treatment - European Stroke Initiative Recommendations 2003. 12. Japardi, 2002, Patogenesis Strok Kardioemboli, Jurnal Kardiologi FK USU. 13. National Strok Association (NSA), 2009, Strok Risk Factors, Tersedia pada: http://www.stroke.org/site/PageServer?pagename=RISK. 14. PERDOSSI. Pedoman penatalaksanaan stroke. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), 2007. 15. Sembiring K., 2010, Hubungan Kelainan Jantung dengan Strok Iskemik pada Pasien Rawat Inap di Bagian Neurologi FK USU/RSUP Haji Adam Malik Medan, [25 agustus 2013]. 16. Statistical, 2012, Age Distribution by Country or Area, US Cencus Bureau, Tersedia pada: http: //www.census.gov/compendia/statab/cats /international_stasistics/population_households (diunduh 9 september 2013). 17. WHO. MONICA. Manual Version 1: 1. 1986. 18. World Health Organization (WHO), 2011, Global Atlas on Cardiovascular Disease Prevention and Control, WHO, Press.Geneva; 1: 1-120. 29 19. Yuniadi, 2014, Tatalaksana Pasien Fibrilasi Atrium, Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta. 20. Alfa AY, Soedomo A, Toyo AR, Aliah A, Limoa A, et al. Gangguan Peredaran Darah Otak (GPDO) Dalam Harsono ed. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Madya University Press; 2009. hal. 59-107 30