5 TINJAUAN PUSTAKA Balita Balita (bawah lima tahun) merupakan salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia Balita dimulai dari 1-5 tahun, atau bisa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 12-60 bulan (Suparyanto 2011). Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (Supartini 2004). Kebutuhan nutritien tertinggi per kg berat badan dalam siklus daur kehidupan adalah pada masa bayi dimana kecepatan tertinggi dalam pertumbuhan dan metabolisme terjadi pada masa ini. Periode selanjutnya pada anak-anak pertumbuhan berjalan melambat dan tidak menentu. Menurut Arisman (2004), jika dihitung dari saat kelahiran, berat bayi akan bertambah dua kali lipat pada bulan IV (empat) dari 3,2 kg menjadi 6,4 kg. Setelah itu pertumbuhan akan sedikit melambat. Berat badan bayi hanya akan bertambah sebanyak 2,3 kg setahun. Keterlambatan ini berlangsung sampai usia remaja. Setelah itu berat badan akan bertambah secara mencengangkan. Meskipun tidak sedramatis berat, tinggi badan juga bertambah dari hanya 50 cm ketika lahir menjadi 75 cm setelah berusia 1 tahun. Tahun ke-2 kehidupan, tinggi badan hanya bertambah 12-13 cm, untuk seterusnya semakin lambat hingga mencapai usia remaja. Pada saat itu tinggi badan akan bertambah sebanyak 16-20 cm selama 2-2,5 tahun. Dukungan gizi sangat berarti, karena dengan gizi sesuai kebutuhan, pertumbuhan fisik dan perkembangan dini membentuk dasar kehidupan yang sehat dan produktif. Tahun pertama setelah lahir merupakan salah satu perubahan besar yang dialami bayi. Pada masa ini pertumbuhanya lebih cepat dibandingkan fase lainnya dalam daur kehidupan, imaturitas dari organ-organ tubuh dan kemampuannya dalam menyerap nutrien dari ASI, perilaku makan yang berkembang tahap demi tahap, sehingga masukan gizi pada masa ini harus diperhatikan (Fakultas Kesehatan Masyarakat UI 2009). 6 Imunisasi Imunitas terjadi karena tubuh dimasuki oleh suatu antigen baik berupa bakteri, virus ataupun toxin, tubuh akan bereaksi dengan membuat antibody atau anti-toxin dalam jumlah yang berlebihan, sehingga setelah tubuh selesai menghadapi serangan antigen ini, di dalam serummnya masih terdapat zat anti yang dapat dipakai untuk melawan serangan antigen yang sama (Enjang 1985). Pertahanan tubuh meliputi pertahanan non spesifik dan spesifik. Proses pertahanan dalam tubuh pertama kali adalah pertahanan non spesifik seperti complemen dan macrophage. Complemen dan macrophage akan bereaksi pertama kali ketika kuman masuk kedalam tubuh. Setelah itu kuman harus melawan pertahanan tubuh yang kedua, yaitu pertahanan tubuh spesifik yang terdiri dari sistem humoral dan celluler. Sistem pertahanan tersebut hanya bereakai terhadap kuman yang mirip dengan bentuknya. Sistem pertahanan humoral menghasilkan zat yang disebut imunoglobulin (Ig A, Ig M, Ig G, Ig D), sedangkan sistem pertahanan celluler terdiri dari Lymphocyt dan Lymphocyt T. Pertahanan spesifikakan menghasilakan satu cell yang disebut sell memory. Sel ini berguna dan sangat cepat bereaksi apabila kuman sudah pernah masuk kedalam tubuh. Kondisi inilah yang digunakan dalam prinsip imunisasi (Hidayat AAA 2004). Berdasarkan cara diperolehnya zat anti tersebut, kekebalan dibagi dalam kekebalan aktif dan kekebalan pasif. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang diperoleh dimana tubuh orang tersebut aktif membuat zat anti sendiri. Sedangkan kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh karena orang tersebut mendapatkan zat anti dari luar (Enjang 1985). Imunisasi adalah salah satu cara untuk menangkal penyakit-penyakit berat yang terkadang belum ada obat untuk menyembuhkannya. Imunisasi umumnya diberikan kepada anak-anak Balita (usia di bawah lima tahun). Imunisasi dilakukan dengan memberikan vaksin yang merupakan bibit penyakit yang telah dibuat lemah kapada seseorang agar tubuh dapat membuat antibodi sendiri terhadap bibit penyakit kuat yang sama. Berdasarkan Depkes (2009) imunisasi dasar lengkap adalah pemberian 5 vaksin imunisasi sesuai jadwal yang telah ditentukan untuk bayi dibawah 1 tahun. Jadwal pemberian lima imunisasi dasar lengkap dapat dilihat pada tabel dibawah ini: 7 Tabel 1 Jumlah, Interval, dan waktu pemberian imunisasi Vaksin Jumlah interval pemberian BCG 1 kali DPT 3 kali 4 minggu Hepatitis B 3 kali 4 minggu Polio 4 kali 4 minggu Campak 1 kali (sumber: Depkes 2000 dalam Hidayat AAA 2004) Waktu pemberian 0 – 11 bulan 2 – 11 bulan 0 – 11 bulan 0 – 11 bulan 9 – 11 bulan Imunisasi BCG (Bacille Calmette Guerin) Imunisasi BCG digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC (Tuberculosis). Imunisasi BCG merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah dilemahkan. Pemberian imunisasi BCG adalah satu kali dan diberikan pada umur 0-11 bulan, akan tetapi pada umumnya diberikan pada bayi umur 2 atau 3 bulan (Hidayat AAA 2004). Penyuntikan vaksin BCG sering menimbulkan efek bekas berupa benjolan seperti bisul. Benjolan seringkali terdapat di tempat suntikan atau di daerah kelenjar yang bereaksi, misalnya di ketiak atau selangkangan. Benjolan tersebut menunjukkan suatu reaksi kekebalan, artinya respon imunitasnya baik (Indiarti 2007). Imunisasi Campak Imunisasi Campak yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit campak pada anak karena penyakit ini sangat menular. Kandungan vaksin campak adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi Campak adalah satu kali. Waktu pemberian imunisasi Campak pada umur 9-11 bulan (Hidayat AAA 2004). Menurut Kurniasih (2005) dalam Indiarti (2007), vaksin campak tergolong ringan sekali dan tidak ada efeknya. Namun seringkali setelah 1 minggu, badan agak hangat dan diare. Vaksin imunisasi merupakan virus yang hidup, tetapi dilemahkan. Anak yang sudah mendapat imunisasi diharapkan tidak terkena campak karena sudah ada imunnya. Apabila terkena campak makan tidak sampai berat. Penyakit Infeksi Masa kanak-kanak terutama saat Balita (bayi di bawah lima tahun) merupakan masa-masa rentan terkena berbagai macam penyakit. Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun, ini berarti kemampun tubuh untuk 8 mempertahankan diri tehadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan merupakan tanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi (Moehyi 2001). TBC (Tuberculosis) TBC (Tuberculosis) disebabkan oleh basil tuberculosis yang disebut Mycrobacterium tuberculosis. Gejala adanya TBC pada anak yang harus dicurigai adalah: 1. Demam yang berkepanjangan 2. Demam tidak turun-turun meski sudah diobati berbagai macam obat 3. Suhu badan berkisar antara 38-390C 4. Nafsu makan anak berkurang 5. Anak tampak kurus, lesu, dan tak bergairah 6. Ada kalanya dibarengin batuk Akibat langsung TBC pada anak adalah berat-badan tidak naik meskipun konsumsi makan anak baik dan bergizi. Bahkan berat badan cenderung menurun. Gejala lain yang mungkin timbul adalah diare kronis. Diare memang tak tergolong berat, tetapi berlangsung terus-menerus dan tak bisa diobati dengan obat diare biasa. TBC pada orang dewasa (TBC postprimer) terlokalisasi di paru-paru. Tubuh orang dewasa telah memiliki kekebalan, sehingga basil TBC yang masuk hanya terlokalisasi di paru-paru. Pada anak-anak selain di paru-paru, penyebarannya terjadi di seluruh tubuh. Hal ini terjadi karena belum ada kekebalan alami dari tubuh saat basil TBC jenis primer masuk ke paru-paru. Akibatnya basil tidak hanya tinggal diam di paru-paru melainkan menyebar melalui saluran limfa ke kelenjar dan masuk ke aliran darah, kemudian masuk ke seluruh tubuh. Oleh karena itu, sering ditemukan TBC tulang, TBC hati dan limfa, serta TBC selaput otak atau meningitis. Basil TBC nyaman untuk hidup dan berkembang di tempat-tempat seperti rumah dengan udara kurang didalammnya, tidak ada ventilasi dan kurangnya sirkulasi udara, tidak ada sinar matahari, serta di perumahan yang padat. Untuk mengetahui ada tidaknya TBC pada anak dilakukan uji Mantoux. Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan zat tuberculin. Penyuntikan ini dilakukan pada kulit, tanpa terlalu dalam supaya reaksinya dapat terlihat. Reaksinya berupa warna merah pada kulit dan agak keras menonjol. Apabila hasilnya positif maka 9 menunjukkan adanya infeksi. Tes dilanjutkan dengan foto rontge paru-paru untuk menemukan ada tidaknya TBC aktif (Indiarti 2007). Penyakit Campak Penyakit campak muncul kira-kira setelah 10-12 hari bayi berhubungan dengan dengan penderita. Penyakit campak ialah virus yang terbawa oleh angin dan terhisap oleh bayi. Gejala penyakit campak adalah timbulnya bercak-bercak merah yang awalnya terlihat di belakang telingan, lama-lama menyebar ke wajah, badan, lalu ke anggota tubuh lainnya. Bercak-bercak tersebut pada awalnya berwarna merah muda, kemudian berubah menjadi merah seperti beludru di atas kulit. Bercak mula-mula kecil lalu melebar. Ketika bercak-bercak mulai timbul, panas badan akan menjadi tinggi sekali mencapai 400C, tetapi ketika semua bercak telah keluar panas mulai menurun. Bercak-bercak merah yang berubah menjadi kehitam-hitaman menandakan bahwa anak telah sembuh betul. Penyakit campak sendiri tidak begitu berbahaya, tetapi akan menjadi sangat berbahaya bila terjai komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi adalah pneumonia, telingan bernanah, bronkhitis, diare dan lainnya. Tanda-tanda terjadi komplikasi adalah setelah semua bercak-bercak merah keluar maka suhu tubuh anak tetap panas. Menurut Kurnasih (2005) dalam Indiarti (2007), komplikasi bisa terjadi karena virus Mobili dan menyebar melalui aliran darah ke mana-mana. Selain ke kulit penyebarannya bisa ke selaput ledir hidung, mulut, dan pencernaan. Bahkan bila virus masuk ke daerah otak, bisa menimbulkan kejang-kejang dan kesadaran menurun. Apabila penyebaran virus ke saluran pencernaan, dapat menimbulkan diare dan muntah-muntah sehingga anak kekurangan cairan atau dehidrasi. Sariawan akan membuatnya perih dan malas makan. Pada umumnya campak yang berat terjadi pada anak yang gizinya kurang bagus. Bayi umur 0-8 bulan memiliki kekebalan terhadap campak yang didapat dari ibunnya. Anak yang memiliki kekebalan tubuh tinggi, sekali terkena campak maka akan kebal seumur hidup. Anak yang memiliki kekebalan tubuh rendah masih dapat terkena campak kembali. Pengobatan campak dilakukan untuk mengobati gejalannya. Penyebab campak adalah virus sehingga pengobatan bukan untuk mematikan virusnya karena begitu gejalanya timbul virusnya sudah tidak ada (Indiarti 2007). 10 Konsumsi pangan Konsumsi pangan merupakan jumlah pangan, baik tunggal ataupun beragam yang dimakan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan pemenuhan fisiologis, psikologi, dan sosiologi. Menurut Hardinsyah dan Martianto (1992), konsumsi pangan adalah suatu informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang pada waktu tertentu. Oleh karena itu, penilaian konsumsi pangan dapat berdasarkan jumlalah maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Meningkatnya jumlah dan konsumsi makanan memerlukan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang makanan yang bergizi, perubahan sikap, dan tingkah laku sehari-hari dalam menentukan, memilih, dan mengkonsumsi makanan. Faktor-fakor yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang aksesbilitas, kebiasaan makan, pola mengkonsumsi pangan, pembagian makan dalam keluarga, dan besarnya keluarga. Kebiasaan mengkonsumsi pangan yang baik akan menyebabkan status gizi yang baik pula dan keadaan ini dapat terlaksana apabila telah tercipta keseimbangan antara banyaknya jenis-jenis zat gizi yang dikonsumsi dengan banyaknya zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kebutuhan gizi adalah sejumlah zat gizi minimum yang harus dipenuhi dari konsumsi pangan (Hardiansyah dan Martianto 1992). Anak balita merupakan golongan yang berada pada masa pertumbuhan yang pesat. Anak balita membutuhkan asupan gizi yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Dalam mengkonsumsi pangan, anak balita sangat tergantung pada konsumsi pangan keluarga. Kekurangan konsumsi pangan di tingkat keluarga akan dapat menurunkan asupan gizi anak balita. Hal ini ditandai dengan menurunnya kemampuan fisik; terganggungnya pertumbuhan, perkembangan, dan kemampuan berfikir; serta adanya kesakitan dan kematian yang tinggi (Winarno 1987). Menurut Khumadi (1989), kecukupan pangan manusia dapat diukur secara kualitatif dan kuantitatif. Ukuran kualitatif antara lain meliputi nilai sosial beragam jenis pangan dan nilai cita rasa, sedangkan secara kuantitatif yang umum dipergunakan adalah kandungan zat gizi. Banyak sekali ragam zat gizi yang dipergunakan oleh tubuh yang terdiri dari enam kelompok besar, yaitu: karbohidrat, protein, lemak (minyak), garam mineral, vitamin, dan air. Pola makan di masyarakat menunjukkan bahwa besarnya nilai energi adalah berbanding lurus dengan besarnya porsi menu. 11 Penilaian konsumsi pangan dimaksudkan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang terkadang merupakan salah satu cara untuk mengukur status gizi. Penilaian konsumsi pangan dapat dipakai untuk menentukan jumlah dan sumber zat gizi yang berasal dari pangan yang dimakan (Riyadi et al. 1990). Survei konsumsi pangan tingkat individu dapat menggunakan metode-metode penimbangan, food recall, riwayat makan, frekuensi makan, dan metode kombinasi. Menurut Sediaoetama (2000) metode food recall merupakan metode yang sering dipakai unuk penelitian konsumsi pangan. Metode food recall pada dasarnya adalah metode yang menggunakan teknik wawancara, yaitu pewawancara menanyakan apa yang dikonsumsi oleh responden dan data seperti tanggal, waktu, dan porsi setiap kali makan dicatat secara teliti. Prinsip metode food recall 24 jam dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Dalam hal ini responden diminta untuk menceritakan semua yang dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu kemarin (Supariasa et al. 2002). Energi Energi diperlikan manusia untuk bergerak atau melakukan pekerjan fisik dan juga menggerakkan proses-proses dalam tubuh seperti sirkulasi darah, denyut jantung, pernafasan, pencernaan, dan proses-proses fisiologi lainnya (Suhardjo dan Kusharto 1989). Besar kecinya kosumsi energi selama masa pertumbuhan awal sangat penting, karena pada saat itu sel-sel berbagai organ tubuh melakukakan pembelahan sel dengan pesat. Konsumsi energi dapat mempengaruhi bahkan mengubah laju pembelahan sel tersebut. Akibibatnya organ tubuh dapat mempunyai sel-sel yang lebih sedikit atau lebih banyak daripada yang diharapkan terjadi secara normal. Bayi yang tidak mendapat gizi cukup baik akan mengalami gangguan pertumbuhan sehingga menyebabkan terganggunya pembelahan sel di otak. Konsekuensinya jumlah sel dalam otaknya lebih sedikit. Sebaliknya bayi yang terlalu baik gizinya (kegemukan) khususnya karena jumlah kalori yang diterima terlalu tinggi, akan dapat mempercepat laju pembelahan tenunan lemak. Akibatnya terjadi penimbunan lemak yang terlalu banyak dan permanaen (Winarno 1995). Energi dipasok terutama oleh karbohidrat dan lemak. Protein juga bisa digunakan sebagai sumber energi, terutama bila sumber lain sangat terbatas. Cara terbaik mengamati apakah kebutuhan energi anak tercukupi adalah dengan 12 mengamati pola pertumbuhan yang meliputi berat badan dan tinggi badan, lingkar kepala, kesehatan dan kepuasan bayi (Arisman 2002) Protein Proses pencernaan protein, protein akan dipecah menjadi satuan-satuan dasar kimia, kemudian diserap dan dibawa oleh aliran darah ke seluruh tubuh, dimana sel-sel jaringan mempunyai kemampuan untuk mengambil asam amino yang diperlukan untuk kebutuhan membangun dan memelihara kesehatan jaringan. Dalam membentuk protein jaringan dibutuhkan sejumlah asam-sama amino dan tergantung pada macam asam amino sesuai dengan jaringan yang akan dibentuk. Asam-asam amino ini didapat dari makanan sesudah diserap melalui darah dan sebagian disintesa dalam tubuh atau merupakan hasil katabolisme/perombakan dari protein jaringan yang sudah aus/rusak. Fungsi protein adalah untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh,pembentukan antibodi, mengangkut zat gizi, dan sebagai sumber energi. Kebutuhan asam amino dan protein dapat ditentukan melalui tiga cara. Untuk bayi baru lahir hingga umur 4-6 bulan jumlah protein dan pola asam amino di dalam air susu ibu/ASI yang berasal dari ibu yang sehat dan dalam keadaan gizi baik dianggap cukup untuk memungkinkan pertumbuhan optimal. Untuk anak-anak digunakan metode faktorial, yaitu dengan menghitung kebutuhan untuk pemeliharaan tubuh dengan cara keseimbangan nitrogen ditambah perkiraan kebutuhan untuk kebutuhan (Almatsier 2001). Tabel 2 Tabel kecukupan protein Balita Kelompok umur AKP (nilai PST) gram/kg BB (tahun) Laki-laki Perempuan 0 - 0.5 1.86 (85% dari ASI) 1.86 (85 % dari ASI) 0.5 – 2 1.39 (85% dari ASI) 1.39 (85% dari ASI) 4–5 1.08 1.08 Sumber: FAO/WHO/UNU, 1985 *PST: protein setara telur Kekurangan Energi Protein Defesiensi protein hampir selalu bergandengan dengan defisiensi energi. Asosiasi kedua penyakit ini dapat dipahami melalui berbagai hubungan antara protein dan energi (kalori). Hubungan metabolisme antara energi dan protein, yaitu bahwa protein merupakan salah satu penghasil energi utama. Apabila energi kurang cukup dalam hidangan, maka protein akan banyak dikatabolisme 13 menjadi energi. Hal ini menyebabkan energi untuk keperluan lain menjadi kurang, termasuk untuk sintesa protein dalam tubuh. Defesiensi kalori yang terjadi secara ekstrim dengan protein yang relatif mencukupi disebut marasmus. Sebaliknya defisiensi protein yang secara ekstrim dengan kalori yang relatif mencukupi disebut kwashiorkor (sediaoetama 2008). Marasmus biasanya terjadi pada usia setahun pertama. Bayi yang menderita marasmus biasannya kecil, kurus, kurang berat, dan wajahnya kelihatan tua. Kepalannya tambak membesar tidak sesuai dengan umurnya. Bayi atau anak tersebut bersifat malas, apatis, dan sangat peka. Bayi biasannya terbaring diam di tempat tidur, hampir sama sekali tidak bereaksi tetapi tiba-tiba menjadi terlalu aktif bila disentuh atau atau dipindahkan atau digerakkan. Biasannya terjadi diare hebat, yang dapat mengakibatkan tidak adanya keseimbangan elektrolit dan bayi menderita hipoglikemia (kadar glikogen dalam darah rendah). Pasien yang menderita marasmus biasannya telah kehabisan cadangan pangannya. Tidak ada lagi glikogen yang tinggal dalam hati, lemak di bawah kulit, dan yang terdapat dalam rongga badan telah habis, otot-otot mengalami atrofi (berhenti bertumbuh). Semua parameter antropometri menurun, demikian juga rasio berat badan dan tingginya (Winarno 1995). Kwashiorkor merupakan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan protein. Banyak ditemukan pada anak anatara 6 bulan sampai 4 tahun. Beberapa diantarannya bahkan terjadi pada usia kurang dari 6 bulan. Gejala utama dari kwashiorkor adalah pertumbuhan terhalang; badan, tangan, kaki serta wajah membengkak; wajah tampak bengong dengan pandangan kosong; tidak aktif dan sering menangis; rambut berwarna lebih muda atau mencoklat sepeti tembaga; perut buncit; serta kaki kurus dan bengkak. Karena adannya pembengkakan, maka penurunan berat tidak terjadi, tetapi pertambahan gizi terhambat. Lingkaran kepala mengalami penurunan, meskipun lebih rendah daripada yang terjadi pada marasmus (Winarno 1995). Jika gejala edema dan pelisutan berat terjadi bersama-sama dinamakan kwashiorkor-marasmik dan kwasiorkor– marasmik lebih buruk daripada marasmus atau kwashiorkor saja (Manary dan Solomons 2004). Pada orang dewasa KEP (kekurangan energi protein) menyebabkan penurunkan produktivitas kerja dan derajat kesehatan sehingga menyebabkan rentan terhadap penyakit. Status gizi Balita dapat diklasifikasikan dalam gizi buruk, gizi kurang, dan gizi baik (Almatsier 2006). 14 Kurang energi protein (KEP) terutama diderita oleh anak-anak yang sedang tumbuh pesat, yaitu kelompok anak Balita. Masalah gizi ini diakibatkan karena susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhannya yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Gejala subjektif yang terutama di derita adalah perasaan lapar, masalah gizi disini disebut juga keadaan gizi lapar (undernutrition) (Sediaoetama 2006) Antropometri Penilaian status gizi berfungsi untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang mempunyai gizi yang baik atau tidak, beberapa cara yang dapat digunakan untuk menilai status gizi antara lain adalah konsumsi makanan, antropometri, biokimia dan klinis. Antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri berhubungan dengan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur. Penilaian secara antropometri meliputi ukuran-ukuran organ dan tubuh secara keseluruhan seperti berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar pinggul, dan tebal lemak di bawah kulit (Riyadi dalam Sukandar 2007). Indeks BB/U (underweight) Berat badan menurut umur (BB/U) dipengaruhi oleh tinggi badan anak (TB/U) dan berat badannya (BB/TB). Berat badan menurut umur (BB/U) dianggap tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi tinggi badan menurut umur (TB/U). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan intrepetasi status gizi yang salah (Riyadi 2003 dalam Sukandar 2007). Berat badan merupakan salah satu ukuran antropometri yang memberi gambaran massa tubuh (otot dan lemak). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan makanan yang dikonsumsi sehingga berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil. Sifat berat badan yang sangat labil tersebut sehingga indeks BB/U lebih menggambarkan status gizi saat ini. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight (Supariasa et al 2001) Penggunaan indeks BB/U memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan indeks BB/U adalah: (1) dapat lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum, (2) sensitif untuk dapat melihat status gizi jangka pendek, (3) dapat mendeteksi 15 kelebihan berat badan (overweight), (3) pengukuran objektif dan kalau diulang memberikan hasil yang sama, peralatan dapat dibawa kemana-mana dan relatif murah, (4) pengukuran mudah dilaksanakan dan teliti, (5) pengukuran tidak memakan banyak waktu. Sedangkan kekurangannya adalah : (1) dapat mengakibatkan kekeliruan intrepretasi status gizi bila terdapat oedema, (2) memerlukan data umur yang akurat, terutama untuk kelompok umur di bawah lima tahun, (3) sering terjadi kesalahan dalam pengukuran seperti pengaruh baju atau gerakan pada saat penimbangan, (4) secara operasional sering mengalami hambatan karena sosial budaya setempat (misalnya orang tua tidak mau menimbang anaknya (Riyadi dalam Sukandar 2007). Indeks TB/U (Stunting) Defisit tinggi badan menurut umur (TB/U) menunjukkan ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara kumulatif dalam jangka panjang. Tinggi badan mencerminkan skeletal yang bertambah sesuai dengan bertambahnya umur dan tidak peka terhadap perubahan sesaat. Oleh karena itu, indeks TB/U lebih banyak menggambarkan keadaan gizi seseorang pada masa lalu. Istilah kurang gizi yang biasa digunakan untuk TB/U adalah stunting (sangat pendek dan pendek) dengan z-skor -2 SD. TB/U dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi karena merupakan estimasi keadaan yang telah lalu atau status gizi kronik. Kondisi ini merupakan akibat asupan makanan yang tidak cukup yang berlangsung lama dan tingginya morbiditas dan biasannya terdapat di negara-negara dengan kondisi sosial ekonomi yang buruk. Nilai stunting rate terendah terdapat pada anak setelah 6 bulan. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan nutrisi pada umur 4-6 bulan masih dapat dipenuhi dari air susu ibu. Gangguan pertumbuhan dimulai sejak anak berumur 6 bulan, karena sejak saat itu diberikan makanan pendamping ASI untuk memenuhi kebutuhan gizinya dan tidak akan terpenuhi jika pada saat krisis ekonomi (Adisasminto 2008). Menurut Supariasa et al indeks TB/U memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan indeks TB/U adalah (1) baik untuk menilai status gizi masa lampau; (2) ukuran panjang dapat dibuat sendiri, murah dan mudah dibawanya. Sedangkan kekurangan indeks TB/U ini adalah (1) tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun; (2) pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya; (3) ketepatan umur sulit di dapat. 16 Indeks BB/TB (wasting) Berat badan menurut umur (BB/TB) dianggap tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi tinggi badan menurut umur (TB/U). Berat badan menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Tinggi badan merupakan parameter penting bagi keadaan yang telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui secara tepat (Suparisa et all 2001). Berat badan mempunyai hubungan linear dengan tinggi badan. Perkembangan berat badan akan searah dengan pertambahan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks tunggal BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi masa kini dan biasanya digunakan bila data umur yang akurat sulit diperoleh. Indeks BB/TB memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan indeks BB/TB adalah: (1) hampir independen terhadap pengaruh umur dan ras, (2) dapat membedakan keadaan anak dalam penilaian BB relatif terhadap TB (kurus, cukup, gemuk, dan keadan marasmus atau bentuk KEP bearat lainnya). Sedangkan kelemahannya adalah : (1) sering kesulitan mengukur panjang badan anak Baduta atau tinggi badan anak Balita, (2) sering terjadi kesalahan membaca pengukuran, terutama bila pembacaan dilakukan oleh tenaga yang kurang profesional (Riyadi dalam Sukandar 2007). Gabungan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB Status gizi berdasarkan gabungan 3 indikator (BB/U, TB/U dan BB/TB) adalah untuk mengetahui status gizi anak saat ini dan masa lampau. Tabel 3 Intrepretasi status gizi anak berdasarkan gabungan ketiga indikator BB/U TB/U BB/TB Status Gizi Rendah Rendah Normal Baik, pernah kurang gizi Normal Normal Normal Baik Tinggi Tinggi Normal Jangkung, baik Rendah Tinggi Rendah Buruk Rendah Normal Rendah Buruk, kurang Normal Tinggi Rendah Kurang Tinggi Rendah Tinggi Lebih, kemungkinan kegemukan Normal Rendah Tinggi Lebih, pernah kurang gizi Tinggi Normal Tinggi Lebih, tapi tidak kegemukan Rendah Rendah Rendah Buruk sejak dulu sampai sekarang Rendah Normal Normal Baik, perbatasan dengan kurang Normal Rendah Normal Baik, catch up growth belum sempurna (Sumber: Arnelia et al 1992 dalam Nurcahyo K 2010) 17 Z-skor Untuk mengukur status gizi anak di bawah umur lima tahun dan anak umur 518 tahun menggunakan z-skor. Tiga indikator yang dihitung dengan Z-skor adalah BB/U, TB/U, atau BB/TB. Dengan menggunakan rumus: Z-skor BB/U = (Bbu-BBr)/SDr Keterangan: BBu = berat badan responden menurut umur responden BBr = berat badan standar pada umur yang sesuai menurut WHO SDr= standar deviasi pada umur dan jenis kelamin yang sesuai Tabel 4 status gizi anak Balita berdasarkan standar antropometri menurut WHO Indeks BB/TB BB/U TB/U Range z-skor z-skor > 2 SD z-skor ≥ -2 SD s.d ≤ +2 SD z-skor < -2 SD s.d ≥ 3 SD z-skor < -3 SD z-skor < -2 SD z-skor > 2 SD z-skor ≥ -2 SD s.d ≤ +2 SD z-skor < -2 SD s.d ≥ 3 SD z-skor < -3 SD z-skor < -2 SD z-skor > -2 SD z-skor < -2 SD s.d ≥ 3 SD z-skor < -3 SD z-skor < -2 SD Status gizi Gemuk Normal Kurus Sangat kurus Wasting Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk Underweight Normal Kurus Sangat kurus Wasting Sumber: Depkes 2008 Jika nilai z-skor BB/U diperoleh antara -2 sampai +2 maka dikategorikan normal, apabila dibawah -2 dikategorikan underweight dan apabila diatas +2 dikategorikan overweight. Jika nilai z-skor TB/U diperoleh antara -2 sampai +2 maka dikategorikan normal, apabila dibawah -2 dikategorikan pendek (stunting) dan apabila diatas +2 dikategorikan lebih. Jika nilai z-skor BB/TB diperoleh antara -2 sampai +2 maka dikategorikan normal, apabila dibawah -2 dikategorikan kurus (wasting) dan apabila diatas +2 dikategorikan lebih. Klasifikasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting, dan wasting dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 5 klasifkasi masalah gizi berdasarkan prevalensi underweight, stunting, dan wasting Kategori Underweight (BB/U) Rendah <10 Sedang 10-19 Tinggi 20-29 Sangat tinggi ≥30 Sumber: WHO (1995) dalam Riyadi (2001). Prevalensi Stunting (TB/U) <20 20-29 30-39 ≥40 Wasting (BB/TB) <5 5-9 10-14 ≥15 18 Besar keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluara lain yang hidup dari pengelolaan yang sama. Besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Berdasarkan Suhardjo (1989) ada hubungan yang sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Hal serupa juga diungkapkan oleh Sanjur (1982), besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara tidak langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pendapatan perkapita dan pengeluaran pangan menurun dalam peningkatan besar keluarga Besar keluarga akan mempengarui kesehatan seseorang atau individu. Hal ini disebabkan oleh besar keluarga akan mempengaruhi konsumsi zat gizi dalam satu keluarga. Selain itu besar keluarga juga akan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatau bangunan rumah yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan baik anak-anak maupun ibunya (Sukarni 1989). Anak-anak yang sedang tumbuh dari keluarga miskin adalah yang paling rawan terhadap gizi kurang diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasannya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Situasi semacam ini sering terjadi karena seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk anak-anak berkurang dan banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa anak-anak sedang tumbuh dan memerlukan pangan yang relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua (Suhardjo 1989). Menurut berg (1986) bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada anggota keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggotakan sedikit. 19 Pendidikan Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan akan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunnya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memilki pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006). Menurut Madanijah (2004) terdapat hubungan yang positif terhadap pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga (Madanijah 2004). Pengetahuan dan pendidikan formal serta keikutsertaan dalam pendidikan non formal dari orang tua dan anak-anak sangat penting dalam menentukan status kesehatan, fertilasi dan status gizi keluarga seperti halnya pelayanan kesehatan dan keluarga berencana (Sukarni 1989). Pendapatan Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan seseorang maka terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan (Suhardjo 1989). Pendapatan seseorang identik dengan mutu sumberdaya manusia, sehingga orang yang berpendidikan tinggi umumnya memiliki pendapatan yang relatif tinggi pula (Guhardja, Puspitawati, Hartoyo, dan Hastuti 1992). Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga, pendapatan keluarga juga berpengaruh terhadap jenis pekerjaan suami dan anggota keluarga lainnya. Pendapatan keluarga akan relatif lebih besar jika suami dan istri bekerja di luar rumah (Susanti 1999). Tingginya jumlah pendapatan cenderung diikuti dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi. Tingkat pendapatan akan mencerminkan kemampuan membeli bahan pangan. Secara teoritis ada hubungan positif antara pendapatan dan jumlah permintaan pangan. Makin 20 tinggi tingkat pendapat akan makin tinggi daya beli keluarga terhadap pangan, sehingga akan membawa pengaruh terhadap semakin beragamnya dan banyaknya pangan yang dikonsumsi (Soekirman 1994). Pendapatan keluarga akan menentukan akses pengeluaran pangan dan non pangan sehingga apabila pendapatan keluarga rendah maka akan mengakibatkan penurunan daya beli (Firle 2001). Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan serta aksesbilitas pelayanan kesehatan, terutama bagi warga kelas ekonomi rendah. Hal ini berdampak negatif bagi kesehatan anak yang rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi (Hardiansyah 1997).