5 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Keragaan Genetik Tanaman Manggis Tanaman manggis (Garcinia mangostana L.) termasuk famili Guttiferae yang merupakan tanaman daerah tropis. Asal usul tanaman manggis masih belum jelas, namun tanaman ini dipercaya berasal dari Sunda Island yang meliputi Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra serta Maluku. Tanaman ini diketahui masih tumbuh liar di Kemaman, Semenanjung Malaya (Morton 1987). Manggis yang saat ini dibudidayakan diduga berasal dari persilangan antara Garcinia hombroniana Pierre dengan Garcinia malaccensis T. Anderson (Richard 1990a). Budidaya tanaman manggis hanya terbatas di Asia Tenggara, meliputi Indonesia, Papua Nugini, pulau Mindanao (Filipina), Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam, dan Kamboja, namun perkembangan terakhir tanaman ini semakin meluas ke Srilangka, India, Amerika Tengah, Brazil dan Queelsland (Australia) (Ashari 2006). Di Indonesia kerabat dekat manggis di antaranya G. malaccensis (Jambi), G. porrecta (Maluku), G. celebica (Sulawesi) (Sinaga 2008). Tanaman manggis tumbuh tegak dan sangat lambat dengan tajuk berbentuk piramid. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 25 meter, dengan percabangan melengkung ke bawah dan menghasilkan getah berwarna kuning (lateks). Daun tanaman manggis berhadapan, tebal dan lebar dengan ukuran 15-25 cm x 7-13 cm, berwarna hijau kekuning-kuningan pada sisi bawah, berwarna hijau tua pada sisi atas, sedangkan pada bagian dekat tulang daun utama berwarna pucat (Morton 1987). Bunga manggis berukuran diameter 4-6 cm, dan merupakan bunga sempurna (Richard, 1990a). Bunga manggis tergolong bunga hermaprodit, namun pada perkembangannya benangsari mengalami aborsi sehingga tidak menghasilkan serbuksari (Morton 1987). Bunga manggis terletak pada ujung ranting, berdiameter 5-6.2 sentimeter. Pedikelnya pendek, terletak pada dasar bunga dengan tebal 0.7-0.9 cm dan panjang 1.8-2 cm, serta berjumlah banyak. Kelopak bunga dan mahkota masing-masing berjumlah 4, berwarna merah kekuningan di sepotong dalam dan diluar berwarna hijau kemerahan. Bakal buah 6 bersifat superior, dikelilingi oleh 4 buah mahkota merah bergaris-garis. Bakal biji berjumlah 4 sampai 8 buah sesuai dengan banyaknya sel telur (Steenis 1975; Rismunandar 1986; Verheij dan Coronel 1991). Manggis memiliki jumlah kromosom 2n = 4x = 90, diduga tetraploid dan kemungkinan allotetraploid atau amplidiploid, turunan dari G. malacensis (2n = 2x = 42) dan G. hambroniana (2n = 2x = 48), karena manggis mempunyai morfologi intemediet antara 2 species diploid ini, sedangkan spesies Garcinia lainnya jumlah kromosomnya adalah 2n = 48 (Richard 1990a). Buah manggis termasuk buah berry, berdiameter 3.5-7 cm, berbentuk bulat dan berwarna ungu kehitaman. Buah dapat mengandung 1-3 biji yang besar berwarna coklat (Stephen 1935). Kulit buahnya tebal (0.8-1 cm), mempunyai getah kuning yang pahit (Morton 1987). Biji manggis dilapisi oleh aril lunak, berwarna putih, mengandung sari buah. Biji ini merupakan biji apomiksis yaitu biji terbentuk tidak secara kawin sehingga secara genetik sama dengan tetua betina (Verheij dan Coronel 1991). Biji manggis bersifat poliembrioni dan nutrisi untuk perkembangan embrionya didukung oleh nusellus atau jaringan integument dan inti endosperm. Sekitar 10% dari biji yang berkecambah akan menumbuhkan lebih dari satu tunas dan masingmasing tunas akan tumbuh pada posisi yang berlainan dan membawa perakarannya sendiri-sendiri (Sinaga 2008). Benangsari manggis mengalami rudimenter, hal ini menjadi kendala untuk perbaikan varietas melalui persilangan (Sunarjono 1988). Sistem perakaran manggis kurang berkembang dan pertumbuhannya lambat (Cox 1988). Lambatnya pertumbuhan bibit disebabkan oleh akar lateral tidak memiliki bulu akar yang sangat dibutuhkan untuk absorpsi nutrisi dan air (Almeyda dan Martin 1976). Populasi manggis yang merupakan apomiktik obligat berasal dari satu klon. Hal ini didukung oleh penelitian menggunakan isozim oleh Sinaga (2008) yang menyatakan bahwa manggis mengelompok terpisah dengan kerabat dekatnya dimana kelompok pertama merupakan kelompok manggis (G. mangostana) dan kelompok kedua terdiri dari kerabat dekatnya yaitu G. porrecta, G. rigida, G. hombronia, G. ceebica, dan G. benthami. Perbedaan fenotip antar tanaman manggis yang ditemukan di lapang diduga karena tumbuh pada lokasi lingkungan yang berbeda-beda. Hal serupa juga dinyatakan Mansyah et al. (1999) dalam 7 penelitiannya terhadap 30 tanaman manggis yang berasal dari beberapa daerah di Sumatera Barat dan menyimpulkan bahwa variabilitas genetik tanaman manggis melalui uji isozim dikategorikan sempit dimana pita isozim GPI pada tanaman manggis yang diteliti menunjukkan pita yang sama. Tanaman Apomiksis Pada beberapa spesies tanaman tingkat tinggi, embrio dihasilkan tidak melalui proses seksual yang melibatkan meiosis dan fertilisasi, tetapi secara aseksual, dimana reproduksi terjadi tanpa adanya fertilisasi. Reproduksi semacam ini disebut sebagai apomiksis. Tanaman yang hanya menghasilkan embrio apomiktik disebut tanaman apomiktik obligat (Hartman dan Kester 1968). Apomiksis didefinisikan sebagai proses reproduksi aseksual melalui biji, dimana biji berkembang tanpa adanya fertilisasi sehingga genotipenya identik dengan genetik tetua betina (Koltunow dan Grossniklaus 2003). Apomiksis dikendalikan oleh gen yang memerintahkan sel inti/nukleus somatik untuk membentuk kantung embrio tanpa meiosis menjadi embrio dan endosperm tanpa fertilisasi. Pada tanaman apomiksis, gen untuk reproduksi seksual tidak terekspresi. Pada apomiksis fakultatif, sel inti tertentu mengalami reproduksi seksual sementara sel yang lain mengalami reproduksi aseksual. Pada apomiksis obligat, kejadian seksual dihambat (Koltunow dan Grossniklaus 2003). Perbedaan reproduksi secara apomiksis dengan reproduksi seksual adalah, pada apomiksis embrio berasal dari jaringan sel ovule maternal tanpa fusi gamet jantan dan betina. Pada reproduksi seksual sporofit (2n) membentuk mikrospora dan megaspora melalui meiosis, kemudian mengalami mitosis membentuk mikrogametofit dan megagametofit. Selanjutnya terjadi fertilisasi ganda menghasilkan endosperm dan embrio zigotik (Savidan 1995). Reproduksi aseksual dapat terjadi melalui jalur pendek. Pada apomiktik yang tidak stabil, pembentukan embrio haploid (1n) terbentuk tanpa adanya fertilisasi terlebih dahulu, sedangkan pada apomiktik yang stabil, kantung embrio (gamet betina) berkembang dari sel telur, tetapi proses meiosis tidak terjadi secara komplet, sehingga sel telur memiliki jumlah kromosom diploid, sama seperti jumlah kromosom induk betinanya. Embrio berkembang dari inti telur tanpa adanya 8 fertilisasi (Hartman et al. 1997). Arti penting apomiktik dalam proses regenerasi adalah: 1) mensubstitusi reproduksi seksual menjadi aseksual, 2) terjadi secara normal pada tanaman yang dapat menghasilkan bunga, 3) terjadi tanpa adanya fusi sel telur dan sel sperma (Copeland dan McDonald 2001) Menurut Koltunow dan Grossniklaus (2003), apomiksis dapat diawali dari berbagai tahap perkembangan sel telur. Apomiksis dapat terbentuk dari nucellus, integumen, atau sel epidermal pada sel telur. Berbeda dengan reproduksi seksual dimana sel yang mengawali proses reproduksi pada sel telur berasal dari lapisan LII, daerah pada apomiktik berasal dari lapisan LI dan juga LII (Gambar 2.) Mekanisme reproduksi apomiksis dibedakan atas diplospori, apospori, dan embrio adventif. Diplospori adalah pembentukan kantung embrio dari sel induk megaspora tanpa adanya proses meiosis. Sel telur berkembang secara partenogenesis menjadi embrio atau sel lain dari kantung embrio. Aposphori adalah mekanisme dimana kantung embrio muncul dari sel somatik pada nusellus atau integumen disamping kantung embrio sel induk dalam sel telur (Asker dan Jerling 1992; Koltunow dan Grossniklaus 2003). Pada embrio adventif, embrio berkembang di luar kantung embrio dan terbentuk dari sel nusellus atau integumen, sehingga generasi diploid dan generasi gametofit tidak dilalui (Hartman et al. 1997). Gambar 2. Reproduksi seksual dan apomiksis pada tanaman angiospermae. 9 Tanaman manggis termasuk tanaman apomiktik obligat sehingga perbaikan genetik tidak dapat dilakukan dengan persilangan. Richard (1990b) mengkategorikan manggis sebagai agamospermae. Karakteristik agamospermae pada Garcinia antara lain dicirikan oleh terbentuknya biji tanpa pengaruh organ jantan, pembentukan embrio yang berjalan cepat sebelum terjadinya anthesis, terbentuknya proembrio adentif dari inti atau integumen, terbentuknya beberapa kecambah dari satu biji, atau jarang/tidak diperolehnya tanaman jantan. Konsekuensinya konstitusi genetik dari biji manggis yang terbentuk akan serupa dengan tetua betinanya dan tidak ditemukan adanya rekombinasi genetik, sehingga knstitusi genetik dari populasi manggis akan homogenus. Menurut Asker dan Jerling (1992) pada apomiktik obligat metode peningkatan variabilitas genetik dilakukan dengan seleksi diantara variasi ekotipe yang merupakan pendekatan umum dalam pemuliaan tanaman apomiksis. Pemuliaan Mutasi Secara umum, mutasi didefinisikan sebagai perubahan materi genetik yang tidak disebabkan oleh fenomena segregasi atau rekombinasi genetik. Mutasi dapat terjadi pada tingkat gen tunggal, sejumlah gen atau susunan kromosom. Menurut Aisyah (2006), mutasi berperan penting dalam proses evolusi, dan dapat menghasilkan keragaman genetik sebagai bahan baku dalam pemuliaan tanaman. Pada tanaman yang steril atau tanaman apomiktik obligat, mutasi merupakan upaya untuk menghasilkan keragaman. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, namun kebanyakan terjadi pada bagian yang aktif membelah seperti tunas dan biji. Secara molekuler, mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan (sekuens) nukleotida DNA kromosom, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang dihasilkan (Aisyah 2006). Kejadian mutasi di alam sangat kecil, yaitu sekitar 1x10-6. Untuk meningkatkan frekuensi kejadian mutasi, dilakukan mutasi buatan menggunakan mutagen. Menurut Simmonds (1979), secara umum mutagen dapat dibedakan menjadi mutagen fisik dan mutagen kimia. Mutagen yang termasuk dalam mutagen fisik adalah radiasi pengion seperti radiasi sinar alfa, sinar X dan sinar 10 gamma. Poespodarsono (1988) menyebutkan yang termasuk dalam mutagen kimia antara lain EMS (ethylene methane sulfonate), NMU (nitrosomethyl urea), dan NTG (nitroguanisidine). Radiasi merupakan penyinaran dengan sinar radioaktif, yang mempunyai kemampuan menghasilkan radiasi pengion. Radiasi pengion adalah radiasi dengan energi tinggi yang dapat mengadakan reaksi dengan obyek yang dikenai dengan cara pengionan. Mutasi fisik dengan menggunakan radiasi sinar gamma lebih sering digunakan karena mempunyai daya tembus lebih tinggi, sehingga peluang terjadinya mutasi juga lebih besar. Sinar gamma merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang yang lebih pendek dari sinar X, yang berarti dapat menghasilkan radiasi elektromagnetik dengan tingkat energi yang lebih tinggi. Daya tembusnya ke dalam jaringan sangat dalam, dapat mencapai beberapa sentimeter dan bersifat merusak jaringan yang dilewatinya. Prinsip kerja sinar gamma adalah menghasilkan radikal bebas yang reaktif dan bereaksi dengan molekul dalam sistem biologi, sehingga mengacaukan proses-proses biokimia di dalam sel sehingga mengganggu homeostastis/keseimbangan sel. Keadaan ini menyebabkan molekul lain di dalam sel tidak dapat bekerja seperti semula (van Harten 1998). Mutasi yang terjadi pada tingkat DNA dapat berupa perubahan-perubahan basa atau pasangan nukleotida. Perubahan ini mengakibatkan berubahnya protein. Perubahan pada protein yang fungsional dapat mengakibatkan perubahan ekspresi yang dapat diamati, termasuk perubahan proses diferensiasi sel menjadi jaringan tertentu hingga terbentuknya organ. Teknik mutasi banyak digunakan sebagai alternatif pemuliaan tanaman untuk tanaman yang tidak memungkinkan persilangan secara konvensinal seperti manggis yang merupakan tanaman apomiktik obligat. Mutasi diharapkan dapat menambah keragaman genetik yang bermanfaat untuk perbaikan sifat-sifat tanaman. Keberhasilan teknik mutasi buatan dengan sinar gamma untuk menambah keragaman genetik telah banyak dibuktikan. Qosim (2006) menyatakan radiasi sinar gamma dapat meningkatkan keragaman fenotipik tanaman manggis yang ditandai dengan daun berukuran kecil, ruas batang yang pendek, dan muncul tunas abino, sedangkan Harahap (2005) mengungkapkan bahwa hasil analisis PCR RAPD pada manggis secara in vitro, 11 menunjukkan bahwa seluruh tanaman hasil radiasi sinar gamma tidak ada yang sama dengan tanaman kontrol, artinya perlakuan mengalami perubahan DNA. Chasanah (2005) menyatakan bahwa perlakuan tiga dosis radiasi sinar gamma yaitu 10 Gy, 20 Gy, dan 30 Gy berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman manggis. Iradiasi sinar gamma juga menyebabkan perubahan terhadap bentuk daun, penyusutan ukuran daun, perubahan struktur anatomi seperti perubahan jumlah stomata, kerapatan stomata, indeks stomata, ketebalan kutikula, ketebalan epidermis, struktur jaringan palisade, ketebalan bunga karang, perubahan rasi jaringan dan ketebalan daun. Sementara hasil analisis DNA pada sampel hasil radiasi dengan metode RAPD menunjukkan adanya tiga kelompok yang berbeda yang menunjukan adanya keragaman pada tingkat genetik. Penelitian pada tanaman padi, diketahui bahwa perubahan akibat mutasi yang terjadi dapat diamati diantaranya dengan menghitung frekuensi mutasi klorofil dan meningkatkan variasi genetik ketahanan terhadap penyakit blas (Mugiono 1996). Hartati (2002) menyatakan bahwa, mutasi sinar gamma pada tanaman tomat berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, umur berbunga, umur berbuah, umur panen, dan persentase daun gugur. Analisis Molekuler Perubahan genetik yang terjadi akibat adanya mutasi dapat terekspresi secara fenotipik maupun tidak. Secara molekuler, perubahan pada tingkat DNA dapat diamati dengan menggunakan teknik-teknik molekuler yang saat ini sudah banyak berkembang. Penanda DNA yang umum digunakan adalah RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polimorism), SSR (Simple Sequence Repeat), dan (Inter Simple Sequence Repeat) ISSR. Daerah mikrosatelit merupakan segmen DNA yang berulang yang dimiliki oleh semua organisme baik eukariot maupun prokariot. Daerah ini terdiri dari pengulangan daerah secara berpasangan dari beberapa nukletida, umumnya 2-6 nukletida dengan perulangan mencapai ukuran sampai dengan 106 bp yang terdistribusi di sepanjang genom. Karakteristik mikrosatelit seperti keberadaannya 12 di dalam genom seluruh organisme, tingginya level variasi alelik, penurunan secara kodominan, dan potensial untuk analisis yang dapat diautomasi menjadikan daerah ini sebagai marker molekuer yang unggul (Trojanowska 2004). Marker ISSR (Inter Simple Sequence Repeat) pertama kali dipublikasikan pada tahun 1994. Marker ini dikembangkan dari daerah di antara lokus mikrosatelit atau yang disebut juga Single Sequence Repeat (SSR). SSR merupakan daerah nukleotida yang berpasangan dengan ulangan pendek yang berukuran sekitar 2-6 pasang basa, dan terdapat pada genom eukariot (Wolfe dan Liston 1998 ). Sementara ISSR merupakan daerah yang berada di antara dua daerah SSR dan biasanya berupa mono, di atau trinukleotida (Anonim 2008). ISSR merupakan bagian mikrosatelite yang tidak mengkode protein (non coding region), sedangkan SSR merupakan daerah yang mengkode protein (Sudarsono 2008, komunikasi pribadi). Marker ISSR memperbaiki kekurangan teknik RAPD, dimana ISSR lebih sensitif mendeteksi diversitas genetik pada tingkat rendah namun relatif mudah dan sama ekonomisnya dengan teknik RAPD (Bradford 2008). ISSR melibatkan amplifikasi segmen DNA yang berada pada jarak yang dapat teramplifikasi antara dua daerah mikrosatelit berulang yang identik tetapi dengan orientasi arah yang berbeda. Primer tunggal sepanjang 16-18 bp bisa berupa di-nucleotide, tri-nucleotide, tetranucleotide atau penta-nukleotide unanchored atau umumnya anchored pada ujung 3` atau 5` dengan 1 sampai 4 basa degenerate yang berada pada daerah batas ujung mikrosatelit (Trojanowska 2004). Selain itu ISSR merupakan marker spesifik. Penanda ISSR telah banyak digunakan di antaranya pada analisis mandul jantan, jantan fertile, dan hibrid tanaman pearlmillet (Pennisetum glaucum (L.) ( Kumar, et al. 2006) dan polimorfisme genetik hasil persilangan pada tanaman kelapa (Cocos nucifera) (Manimekalai et al. 2004). Penanda ISSR juga diketahui telah dapat memetakan peta keterpautan genetik pada tanaman Catharanthus roseus (Gupta, et al. 2007), serta telah digunakan untuk mempelajari keanekaragaman DNA polimerisme tanaman jati (Narayanan, et al. 2007).