BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konstipasi 2.1.1 Definisi Konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek, yaitu berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang keras dari sebelumnya, dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) dengan atau tidak disertai enkopresis.5 Konstipasi fungsional yang juga dikenal sebagai konstipasi idiopatik atau tahanan feses.10 Petunjuk paktis pada World Gastroenterology Organization (WGO) menjelaskan sebagian besar pasien menyebutkan konstipasi sebagai defekasi keras (52%), tinja seperti pil atau butir obat (44%), ketidakmampuan defekasi saat diinginkan (34%), atau defekasi yang jarang (33%).11 Kriteria ROME III untuk konstipasi fungsional pada anak yaitu jika terdapat 2 atau lebih dari kriteria berikut pada anak minimal umur 4 tahun yang tidak memenuhi kriteria untuk irritable bowel syndrome, dialami minimal 1 kali seminggu selama setidaknya 2 bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria tersebut adalah :12 - Buang air besar (BAB) 2 kali seminggu atau kurang - Mengalami setidaknya 1 kali inkontinensia feses per minggu Universitas Sumatera Utara - Riwayat retensi feses - Riwayat nyeri saat buang air besar atau feses yang keras - Terdapatnya massa feses yang besar di rektum - Riwayat diameter feses yang besar sehingga dapat menyumbat toilet. Konstipasi digolongkan akut bila berlangsung sampai 4 minggu dan kronis bila berlangsung lebih dari 4 minggu.12 2.1.2 Epidemiologi Konstipasi sering terjadi pada anak, Loening-Baucke pada studi retrospektif tahun 2004 melaporkan prevalensi konstipasi pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22.6%,13 dan Lee dkk pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi konstipasi untuk usia di bawah 4 tahun sebesar 28,8%.14 Studi longitudinal tahun 2003, Saps dkk melaporkan 18% anak usia 9 sampai 11 tahun menderita konstipasi.15 2.1.3 Etiologi Penyebab konstipasi pada anak dapat dibagi menjadi organik dan fungsional. Hampir 95% konstipasi pada anak disebabkan kelainan fungsional dan hanya 5% oleh kelainan organik (Tabel 2.1).12 Konstipasi fungsional pada umumnya terkait dengan kurangnya asupan serat, kurangnya minum, kurang aktivitas Universitas Sumatera Utara fisik, stress dan perubahan aktivitas rutin, ketersediaan toilet dan masalah psikososial.5 Tabel 2.1 Penyebab konstipasi pada anak Penyebab Idiopatik atau fungsional 95% Sekunder karena lesi anal Fissura ani, stenosis anal, anus letak anterior Neurologis Lesi medulla spinalis, palsi serebral, penyakit Hirschsprung Endokrin/metabolik Hipotiroid, asidosis tubulus renal, diabetes insipidus, hiperkalsemia Antikonvulsan, antipsikotik, mengandung Obat-obatan kodein, antidiare, antasida 2.1.4 Patofisiologi Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi menurut umur. Bayi yang minum ASI lebih sering berhajat dibandingkan bayi yang minum susu formula. Namun mendekati usia 4 bulan, apapun susu yang diminumnya rerata buang air besar adalah dua kali per hari. Pada umur 2 tahun, frekuensi rerata defekasi menurun menjadi dua kali per hari.5 Frekuensi defekasi normal pada bayi dan anak (Tabel 2.2).5,12 Tabel 2.2 Frekuensi defekasi normal pada bayi dan anak. Universitas Sumatera Utara Umur Defekasi/minggu Defekasi/hari 0-3bulan : ASI 5-40 2.9 0-3bulan: Formula 5-28 2.0 6-12 bulan 5-28 1.8 1-3 tahun 4-21 1.4 > 3 tahun 3-14 1.0 Patofisiologi konstipasi fungsional pada anak berhubungan dengan kebiasaan anak menahan defekasi akibat pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fissura ani. Pengalaman nyeri berhajat ini menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang menampung tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya.5 2.1.5 Diagnosis Pada anamnesis ditanyakan riwayat buang air besar meliputi frekuensi, ukuran dan konsistensi feses, kesulitan BAB, BAB berdarah dan nyeri saat Universitas Sumatera Utara BAB. Kemudian riwayat makanan, masalah psikologik dan gejala lain seperti nyeri perut, anoreksia dan muntah. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan teraba massa feses pada abdomen. Pada pemeriksaan anorektal ditentukan lokasi anus, adanya prolaps, peradangan perianal, fissure dan tonus dari saluran anus. Pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga mempunyai penyebab organik.12 2.1.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan konstipasi fungsional membutuhkan alur yang belum dipahami antara interaksi fisik dan faktor psikologis.16 Tatalaksana konstipasi fungsional meliputi evakuasi tinja bila terjadi skibala, terapi rumatan berupa pemberian obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orang tua, dan konsultasi.5,12,16 Jika edukasi, pola makanan tidak menunjukkan perubahan dalam 2 minggu, pengobatan medis dapat segera diberikan. Tujuan pengobatan ini adalah untuk melunakkan konsistensi feses sehingga memudahkan defekasi. Pengobatan di evaluasi selama 2 minggu, kemudian dilakukan penilaian ulang, jika konstipasi tetap berlangsung pengobatan dilanjutkan selama 2 bulan, pengurangan dosis dilakukan setelah 2 bulan jika frekuensi defekasi dijumpai lebih dari 3x dalam seminggu dan tidak dijumpai gejala konstipasi lainnya.17 Universitas Sumatera Utara 1. Evakuasi tinja Evakuasi tinja adalah proses yang dilakukan untuk mengeluarkan massa tinja atau skibala yang teraba pada pada palpasi regio abdomen bawah. Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi tinja dapat dilakukan dengan obat oral atau rektal. Program evakuasi tinja biasanya dilakukan selama 2 sampai 5 hari sampai terjadi evakuasi tinja secara lengkap (Tabel 2.3).5,12,18,19 Tabel 2.3. Anjuran obat yang diberikan untuk evakuasi tinja pada bayi dan anak dengan konstipasi fungsional Obat-obatan Bayi (< 1 tahun) - Gliserin supositoria - Enema: 6 ml/kgBB (maks 135 ml) Anak – anak (>1 tahun) • Evakuasi tinja secara cepat - Enema: 6 ml/kg (maks 135 ml) setiap 12- 24 jam --> 1-3 kali - Minyak mineral - Fosfat Pengobatan kombinasi: enema,supositoria, dan pencahar - Hari 1: enema setiap 12-24 jam Universitas Sumatera Utara - Hari 2: Bisakodil supositoria (10 mg) setiap 12-24 jam - Hari 3: Bisakodil tablet setiap 12-24 jam Polyethylen Glycol (PEG) secara oral atau nasogastric tube (NGT): 25 ml/kgBB/jam (maks 1000 ml/jam) selama 4 jam perhari • Evakuasi tinja secara lambat - Minyak mineral dengan dosis tinggi secara oral: 15-30 ml/tahun usia/hari (maks 240 ml) untuk 3 atau 4 hari - Senna oral: 15 ml setiap 12 jam untuk 3 dosis - Magnesium sitrat (maks 300 ml) 2. Terapi rumatan Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk mencegah kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku, dan pemberian obat- obatan untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang sempurna (Tabel 2.4).5,16,18,19 Tabel 2.4. Anjuran obat untuk terapi rumatan pada anak diatas 1 tahun dengan konstipasi fungsional. Obat- obatan Lubrikan - Minyak mineral: 1-3 ml/kgBB/hari Universitas Sumatera Utara Laksatif osmotik - Laktulosa - Mg hidroksida (kons 400 mg/5ml) --> 1-3 ml/kgBB/hari --> dosis terbagi - Mg hidroksida (kons 800 mg/5ml) --> 0,5 ml/kgBB/hari --> dosis terbagi - Polyethylen Glycol / PEG (17 gr/240 ml air) --> 1 gr/kgBB/hari --> dosis terbagi - Sorbitol: 1-3 ml/kgBB/hari --> dosis terbagi Laksatif stimulan - Sirup senna - Bisakodil tablet: 1-3 tab/hari Pemberian melalui rektal - Gliserin supositoria - Bisakodil supositoria Terapi rumatan mungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah normal, terapi rumatan dapat dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan masih perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai dewasa.5 2.2 Selenium Universitas Sumatera Utara Selenium (Se) merupakan salah satu trace elemen essensial bagi tubuh,6,20,21 tetapi hanya digunakan dalam jumlah yang kecil.22 Selenium merupakan unsur alami yang ditemukan di batu, batu pasir, batu kapur, batu bara, tanah, air permukaan dan tumbuh-tumbuhan.6 Tanaman menyerap selenium anorganik dari tanah dan di metabolisme untuk membentuk asam amino selenomethionine.7,20 Selenium akan memberikan efek biologi setelah berikatan dengan protein membentuk selenoprotein, yang dijumpai lebih dari 30 bentuk selenoprotein pada mammalia dan 25 bentuk selenoprotein pada manusia.20,23 Dikenal banyak bentuk selenoprotein diantaranya: enzim gluthation peroxidase (4 jenis), iodothyronine deiodinase (3 jenis), thioredoksin reduktase, selenophosfat sintetase, selenoprotein P dan selenoprotein W. Enzim gluthation peroxidase terdiri dari 4 atom selenium yang terikat sebagai selenocystein. Enzim ini terdiri dari 4 tipe, yaitu seluler gluthation peroksidase (cGPx), ekstraseluler gluthation peroksidase (eGPx), gastrointestinal glutathione peroksidase (GPx-GI) dan fosfolipid glutathione peroksidase (PhGPx).7 Fungsi selenium ini pada tubuh sebagai antioksidan, metabolisme hormon tiroid, reaksi redoks, reproduksi dan fungsi immun.23 Peranan selenoprotein secara rinci dijelaskan pada Tabel 2.5.21 Tabel 2.5 Fungsi selenoprotein Universitas Sumatera Utara Selenoprotein Fungsi Glutathione Enzim peroxidases peroksida, lipid dan fosfolipid hidroperoksida (GPx1, GPx2, antioksidan: menghilangkan hidrogen GPx3, (sehingga mempertahankan integritas membran, GPx4) memodulasi sintesis eicosanoid, modifikasi peradangan dan kemungkinan propagasi lebih lanjut dari kerusakan oksidatif biomulekul (seperti lipid, lipoprotein, dan DNA). (Sperma) mitokondria Bentuk kapsul selenoprotein glutation Mengembangkan peroksidase sel perisai (GPX4): sperma dari kerusakan oksidatif dan kemudian dipolimerisasi ke protein struktural yang diperlukan untuk stabilitas / motilitas sperma matang. Iodothyronine Produksi dan pengaturan tingkat hormon tiroid deiodinases (3 isoform) yang aktif, T3 dari tiroksin, T4. Thioredoxin reductases Pengurangan nukleotida dalam sintesis DNA, (mungkin tiga isoform) regenerasi sistem antioksidan, pemeliharaan redoxstate intraseluler, penting untuk proliferasi sel dan viabilitas; regulasi ekspresi gen oleh kontrol redoks pengikatan faktor transkripsi DNA Selenophosphate Diperlukan untuk biosintesis selenophosphate, sintetase, SPS2 cikal bakal selenocysteine, dan karena itu untuk sintesis seleoprotein Selenoprotein P Ditemukan dalam plasma dan terkait dengan sel endotel. Melindungi sel-sel endotel dari kerusakan peroxynitrite Selenoprotein W Dibutuhkan untuk fungsi otot Universitas Sumatera Utara Epitel prostat Ditemukan Selenoprotein (15 kDa) Tampaknya Memiliki fungsi redoks (menyerupai GPX4), pada sel melindungi epitel prostat ventral. perkembangan sel-sel sekretori karsinoma DNA-terikat Memiliki aktivitas seperti glutation peroksidase. selenoprotein spermatid Ditemukan di perut dan di inti spermatozoa. (34 kDa) Melindungi perkembangan sperma. Selenoprotein 18 kDa selenoprotein penting, ditemukan di ginjal dan sejumlah besar jaringan lainnya. Disimpan ketika terjadi kekurangan selenium Belum ada uji klinis ataupun penelitian pada mamalia yang mengevaluasi pengaruh defisiensi Se secara komprehensif. Penelitian eksperimental oleh Pramita dkk, 2008 dilakukan untuk mengungkapkan pengaruh defesiensi Se terhadap sistem pertahanan antioksidan enzimatik (superoksida dismutase/ SOD, catalase/ CAT dan GPX) dan non-enzimatik (glutathione, TBARS dan tiol) pada jaringan hati dan otot tikus serta mengungkapkan efek defisiensi Se terhadap kadar hormone tiroid plasma (T 3 , T 4 , TSH dam rT 3 plasma). Pada penelitian ini terjadi penurunan secara bermakna aktivitas glutation peroksidase (GPX) hari sebesar 95% dan plasma sebesar 74% pada kelompok defisiensi Se dibandingkan kontrol. Pada kondisi defisiensi Se, aktivitas GPX akan meningkat dan GPX akan menggunakan glutation, yang berfungsi sebagai donor elektron untuk Universitas Sumatera Utara mengurangi proses peroksidasi selular sehingga akan mengkonsumsi GSHtereduksi.24 Selenium terdapat pada makanan dan tubuh dalam dua bentuk, organik (selenocysteine, selenomethionine) dan inorganik (selenite/SeO 3 2-, selenate/SeO 4 2-).20,22 Selenocysteine bebas diproduksi oleh katabolisme selenoprotein selular atau selenoprotein ekstra selular. Selenocysteine bebas tidak dapat terakumulasi karena metabolismenya oleh selenosistein β-lyase. Selenomethionine tidak tampak sebagai bentuk khusus yang diakui sebagai senyawa selenium Selenomethionine dan ini dimetabolisme dianggap dalam sebagai kelompok selenium metionin. jaringan karena kehadirannya dalam protein metionin dalam darah dan jaringan.22 Diduga absorbsi selenium dalam lumen usus tidak berperan dalam pengaturan homeostasis selenium. Dalam bentuk selenomethionine, selenium diserap hampir 100% sedangkan dalam bentuk selenocysteine diserap sedikit lebih rendah. Walaupun absorbsi dari selenium anorganik di lumen usus dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun absorbsi selenium ini diperkirakan lebih dari 50%.22 Studi nutrisi terbaru menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara selenium dan vitamin E.25 Vitamin C juga dapat berperan sebagai coantioksidan dengan regenerasi α-tocoferol (vitamin E) dari radikal α-tocopheroxyl, yang dihasilkan radikal terlarut lemak.26 Universitas Sumatera Utara Katabolisme selenomethionine atau selenocysteine akan melepaskan selenium inorganik (sebagai selenide, HSe-) yang dapat bergabung kembali kedalam selenoprotein, atau dapat mengalami methylasi menjadi bentuk ekskresi methyl selenol atau CH 3 SeH, dimethyl selenide atau (CH 3 ) 2 Se, trimethyl selenonium ion atau (CH 3 ) 3 Se+, dan 1β-methyl-seleno-N-acetyl-Dgalactosamine (CH 3 Se-Ga1N).7 Homeostasis dari selenium diatur dalam mekanisme ekskresi. Apabila masukan selenium meningkat, dan sebagian besar di absorbsi dalam lumen usus, maka ekskresi selenium lewat urin ditingkatkan sebagai mekanisme utama homeostasis.22 Apabila asupan lebih tinggi lagi, maka ekskresi lewat paru meningkat pula sebagai mekanisme sekunder homeostasis.6,22 Dalam kedua mekanisme ini, ekskresi sebagian besar dalam bentuk methyl selenium.22 Kandungan total selenium dalam tubuh, ditetapkan dari pemeriksaan kadaver, berkisar antar 13.0 sampai 20.3 mg. Otot, hati, darah dan ginjal mengandung sekitar 61% dari seluruh total selenium di dalam tubuh manusia, selebihnya dijumpai pada tulang.7 Kriteria utama untuk perkiraan kebutuhan yang direkomendasikan menurut estimated average requirement (EAR) dan recommended dietary allowance (RDA) di Amerika dan Standing committee on the evaluation of dietary reference intakes, 2000 (DRIs) di Universitas Sumatera Utara Kanada dan negara-negara lainnya, ditentukan berdasarkan kadar plasma maksimum gluthatione peroxidase (Tabel 2.6)7,23,27 Tabel 2.6. Kecukupan nutrisi harian yang dianjurkan RDA 2000 Bayi Anak Laki-laki Perempuan Usia (tahun) Selenium (microgram) 0,0-0,5 15 0,5-1,0 20 1-3 20 4-6 20 7-10 30 11-14 40 15-18 50 19-24 70 11-14 45 15-18 50 19-24 55 Hamil 65 Menyusui 75 Paparan berlebihan terhadap selenium pada manusia dapat mengakibatkan nausea dan beberapa kasus dengan muntah dan diare. Selenosis akut dan kronik dapat menimbulkan perubahan pada kuku dan rambut, neuropati perifer, mudah lelah dan gelisah. Pernafasan berbau Universitas Sumatera Utara bawang juga menunjukkan keracunan selenium.6 Gejala ini akan muncul pada asupan selenium diantara 3200 sampai 6700 mikrogram/hari.7 Paparan pada kulit terhadap selenium dapat mengakibatkan iritasi lokal yang berat, mengakibatkan nyeri terbakar, kemerahan, dan dermatitis alergi.6 Defisiensi selenium pada manusia jarang, akan tetapi akibat kadar selenium yang rendah di wilayah Cina, dijumpai dua penyakit endemik yaitu Keshan disease (kardiomiopati endemik) dan Keshin-Beck disease (osteoarthritis endemik).23 Berbagai bentuk kurang selenium juga ditemukan dalam kaitannya terhadap Kurang-Energi Protein, Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), alkoholisme dan short bowel syndrome.22 Selenium pertama kali diketahui sebagai elemen toksin, didasarkan pada tingginya kadar pada tanah yang menghasilkan penumpukan selenium pada tanaman, yang kemudian mengakibatkan toksisitas akut dan kronis pada perternakan.7 Konsentrasi selenium pada darah secara umum digunakan untuk pengukuran status dan asupan selenium, tetapi jaringan lainnya seperti rambut dan kuku juga digunakan.6,23 Status selenium jangka pendek ditujukkan oleh plasma atau serum selenium. Kuku jari kaki dan rambut digunakan untuk pengukuran status selenium jangka panjang.7 2.2 Mekanisme Kerja 2.2.1 Radikal bebas Universitas Sumatera Utara Radikal bebas didefinisikan sebagai molekul atau fragmen molekuler yang mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada lingkar terluar atom atau orbit molekular dan kemampuan dari keberadaannya yang bebas. Reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS) menunjukkan radikal bebas dan derivat reakif non radikal lainnya. Reaktifitas radikal bebas secara umum lebih kuat dibandingkan spesies non-radikal.28 ROS dan RNS meliputi radikal seperti superoksida (O2•-), hidroksil (OH•), peroksil (RO 2 •), hydroperoxyl (HO 2 •), alkoxyl (RO•), peroksil (ROO •), nitric oxide (NO•), nitrogen dioksida (NO 2 •) dan lipid peroksil (Loo •), dan non radikal seperti hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), asam hipoklorit (HOCl), ozon (O 3 ), singlet oxygen (1Δg), peroxynitrate (ONOO-), asam nitrit (HNO 2 ), dinitrogen trioxyide (N 2 O 3 ), lipid peroxyde (LOOH). Pada konsentrasi tinggi, ROS dapat menjadi mediator penting terhadap kerusakan struktur sel, asam nukleat, lemak dan protein.28 Reactive oksigen nitrogen spesies (RONS) berperan dalam patogenesis dari beberapa penyakit saluran pencernaan, termasuk gastroesophageal reflux disease (GERD), gastritis, dan idiopathic inflammatory bowel disease (IBD).29 2.2.2 Antioksidan Antioksidan adalah zat apapun yang dapat menunda atau menghambat kerusakan oksidatif pada molekul target. Pada saatnya molekul antioksidan Universitas Sumatera Utara dapat bereaksi dengan radikal bebas tunggal dan mampu untuk menetralkan radikal bebas dengan menyumbang satu elektron mereka sendiri, mengakhiri reaksi karbon-mercuri.30 Tubuh memiliki pertahanan antioksidan menyeluruh, termasuk antioksidan endogen enzimatik seperti SOD, CAT yaitu glutation peroksidase (GPX) dan antioksidan nonenzimatik seperti glutathione (GSH), asam urat, melatonin, feritin, seruloplasmin serta antioksidan eksogen (yang terutama berasal dari diet termasuk vitamin A, C, E, karotenoid, senyawa fenolik, berbagai pigmen tumbuhan lain dan beberapa ion logam seperti selenium dan seng).1 Zat antioksidan tersebut memainkan peran penting dalam pemulungan anion superoksida radikal (O 2 ), hidroksil radikal (-OH), dan radikal bebas lainnya serta oksigen singlet (1O 2 ), hidrogen peroksida (H 2 O 2 ), dan reaktif oksigen spesies (ROS), yang dihasilkan berlebihan dalam tubuh manusia. Antioksidan tersebut berperan penting dalam mencegah gangguan fisiologis dan patologis dari serangkaian reaksi rantai radikal bebas yang diinduksi oleh kelebihan O 2 , sehingga melindungi membran sel terhadap stres oksidasi dan kerusakan oksidasi. Lipoperoksida (LPO) adalah produk dari peroksidasi (autooksidasi) dari lipid yang terpapar oksigen.3 2.2.3 Stres Oksidasi Universitas Sumatera Utara Stres oksidasi adalah kondisi berbahaya yang terjadi ketika ada kelebihan ROS dan atau penurunan kadar antioksidan, ini mungkin disebabkan oleh kerusakan jaringan fisik, kimia, faktor psikologis yang menyebabkan cedera jaringan dan menimbulkan penyakit yang berbeda-beda.28 Dalam proses penuaan keseimbangan ini mengarah pada stres oksidasi. Karenanya menjaga keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan merupakan hal yang sangat penting dalam hal menjaga kesehatan bahkan kalau perlu diberikan sebagai suplemen.2 Adanya revolusi sistem pertahanan makhluk hidup yang sangat rumit dan perlawanan tubuh terhadap radikal bebas yang disebabkan stres oksidasi melibatkan mekanisme pertahanan yang berbeda seperti mekanisme pencegahan, mekanisme perbaikan, pertahanan fisik dan pertahanan antioksidan.28 2.3.4 Mekanisme antioksidan pada konstipasi Telah diketahui bahwa konstipasi dapat menyebabkan perubahan permeabilitas usus. Disamping respon imunitas sistemik, pada konstipasi mempengaruhi sebahagian besar imunitas lokal pada usus. Hal ini membuktikan bahwa konstipasi kronik dapat menyebabkan stress oksidasi potensial dan kerusakan radikal bebas. Pada stress oksidatif, antioxidasesuperoxide dismutase (SOD) menurun dan produk oksidasi yaitu malondialdehyde mengalami penumpukan.31 Universitas Sumatera Utara Secara klinis konstipasi dibagi dalam 4 tipe patogenesis yaitu tipe slow transit, tipe outlet obstruction, tipe slow transit dengan outlet obstruction, dan irritable bowel syndrome.32 Slow transit constipation (STC) ditandai dengan gangguan motilitas total dalam usus besar. Dalam studi histologis, usus besar dengan STC terkait dengan perubahan tidak hanya dalam struktur sistem saraf enterik, seperti adrenergik dan saraf kolinergik, tetapi juga isi dan reseptor neurotransmitter.32,33 Beberapa penulis melaporkan penurunan aktivitas saraf kolinergik dan peningkatan nonadrenergic noncholinergic (NANC) pada aktivitas saraf inhibitor memainkan peran penting dalam dismotilitas yang diamati pada kolon pasien dengan STC.33 Selama dekade terakhir, dengan kemajuan dalam farmakologi, elektrofisiologi, dan immunohistokimia, telah menyatakan bahwa sistem saraf NANC, memiliki peran penting dalam pengaturan motilitas usus. Juga diketahui bahwa saraf penghambat NANC bertindak lebih dominan dari saraf perangsang NANC dalam pengaturan saraf enterik pada usus normal. Beberapa laporan bahwa usus dengan STC lebih kuat diinervasi oleh saraf penghambat, kususnya saraf penghambat NANC dibandingkan kolon normal. Baru-baru ini nitrit oksida (NO) telah dilaporkan menjadi neurotransmitter saraf penghambat NANC pada saluran pencernaan manusia.33 Bult dkk, melaporkan bahwa produksi berlebihan NO dapat menyebabkan penghambatan yang menetap motilitas kolon pasien dengan STC.34 Oleh Universitas Sumatera Utara karena itu, peningkatan NO mungkin berkaitan dengan gangguan motilitas diamati dalam usus besar STC.33 Mekanisme patofisiologis konstipasi sering melibatkan aktivitas pendorong kolon yang jelek, gangguan kolon, atau gangguan motorik kolon. Oleh karena itu, selain faktor psikologis dan fisiologis, transit kolon teratur dan fungsi anorektal mungkin memainkan peran penting dalam gangguan ini. Kelainan ini secara bertahap akan menyebabkan penyerapan air meningkat dan konsistensi tinja padat. Pada saat yang sama, zat toksik pada tinja seperti amonia, hidrogen sulfida, dan indole, sebagian besar diserap oleh saluran usus pada anak-anak dengan konstipasi kronis, dan masuk ke dalam sirkulasi darah. Selain itu, gangguan ini akan menyebabkan flora usus tidak seimbang, sehingga terjadi pengeringan tinja dan memperberat konstipasi.3 Banyaknya radikal bebas dan reaktif oksigen spesies (ROS) dapat dihasilkan oleh kelebihan amonia dalam saluran usus dan darah, dan ketidakseimbangan flora usus. Kelebihan ini dapat berinteraksi langsung dengan DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), sehingga menyebabkan kerusakan DNA, menghambat atau menekan replikasi DNA, dan juga dapat menyerang situs aktif dan kelompok dalam struktur molekul dari vitamin C, vitamin E, SOD, dan CAT. Akibatnya, tingkat vitamin C dan vitamin E maupun aktivitas SOD dan CAT pada pasien konstipasi kronis menurun secara signifikan. Selain itu, radikal bebas dan ROS berlebihan, serta penurunan level plasma Universitas Sumatera Utara vitamin E dapat mempercepat reaksi lipoperoxidative, yang ditunjukkan oleh peningkatan lipoperoksida pada anak dengan konstipasi kronis.4 2.4 Kerangka Konseptual Stres Oksidasi Diet Serat Aktifitas Anak Jumlah Cairan Obat yang diminum Konstipasi Fungsional Selenium Gastrointestinal Glutahtione Peroxidase (GPx-GI) Konstipasi: 1. Frekuensi BAB 2. Nyeri perut 3. Konsistensi tinja : Hal yang diamati dalam penelitian : Diobati dengan supplementasi Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian BAB 3 Universitas Sumatera Utara