post traumatic stress disorder

advertisement
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Jiwa
Refleksi Kasus
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman / RSKD Atma Husada Mahakam
POST TRAUMATIC STRESS DISORDER
`
Oleh
Dinar Wulan H.
NIM 0910015051
Pembimbing
dr. Denny Jeffry Rotinsulu, Sp.KJ
LAB / SMF KESEHATAN JIWA
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSKD Atma Husada Mahakam
2013
1
BAB 1
DATA PASIEN
Refleksi Kasus
Seorang perempuan, 15 tahun kelas 1 SMA, tinggal di Panti Sosal Perlindungan Anak
Jl. HAM. Rifadin Samarinda Seberang datang ke poli RSJD Atma Husada Mahakam
Samarinda pada tanggal 5 Desember 2013 pada pukul 11.30 WITA. Pasien telah mengikuti
rawat jalan di poli sejak tanggal 24 Oktober 2013.
Identitas Pasien
Nama
: ES
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 15 tahun
Status Perkawinan
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Pendidikan
: SMA kelas 1
Pekerjaan
: Pelajar
Alamat
: Panti Sosal Perlindungan Anak Jl. HAM. Rifadin
Samarinda Seberang
Identitas Keluarga
Nama
: Ny.R
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 35 tahun
Status dengan pasien
: Ibu
Alamat
: Balikpapan
Status Psikiatri
Keluhan Utama
: Pasien tidak bisa tidur dan sering mimpi buruk
2
a. Riwayat penyakit sekarang
Autoanamnesis
Semenjak tindakan asusila yang dialami, pasien mengaku susah tidur dan sering
bermimpi mengenai hal tersebut berkali – kali, terkadang pasien juga mengigau saat tidur.
Pasien sempat ingin bunuh diri dengan memukul- mukulkan kepalanya ke tembok dan
menggangap dirinya tidak berharga lagi.
Heteroanamnesis
Pasien susah tidur dan sering mengigau hampir setiap malam. Pasien sempat 5 hari
tidak mau makan dan mengurung diri di kamar. Pasien pernah mencoba untuk melukai diri
sendiri tapi berhasil dihentikan oleh ibu pasien. Pasien menjadi pendiam, pemurung dan
sempat tidak masuk sekolah selama 2 minggu lebih. Pasien kemudian dipindahkan sekolah di
Samarinda dan tinggal di Panti Sosial Perlindungan Anak Samarinda. Sementara keluarganya
bertempat di Balikpapan.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengalami tindakan asusila pada bulan Mei 2013 yang lalu
c. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada riwayat penyakit keturunan pada keluarga
d. Gambaran kepribadian dan premorbid
Pasien merupakan pribadi yang periang, baik, senang bersosialisasi, dan rajin beribadah
e. Faktor pencetus
Tindakan Asusila yang dialami pasien
f. Riwayat perkawinan
Pasien belum pernah menikah.
g. Riwayat sosial ekonomi
Pasien berasal dari keluarga ekonomi golongan menengah ke bawah
h. Riwayat religius
Pasien mengaku taat beribadah dan rajin mengaji.
i. Hubungan dengan keluarga dan lingkungan
Pasien memiliki hubungan baik dengan saudara, tetangga dan teman.
3
j. Genogram
Keterangan :
: Laki – laki tanpa gangguan jiwa
: Perempuan tanpa gangguan jiwa
: Pasien
Status Praesens
a. Status Internus
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran
: Compos mentis, GCS E4 V5 M6
Tanda-tanda vital
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 85 x / menit
Respirasi
: 20 x / menit
Temperatur
: 35,4 ° C
Sistem kardiovaskuler
: tidak didapatkan kelainan
Sistem respiratorik
: tidak didapatkan kelainan
Sistem gastrointestinal
: tidak didapatkan kelainan
Sistem urogenital
: tidak dilakukan pemeriksaan
Kelainan khusus
: tidak didapatkan kelainan
b. Status Neurologikus
Panca indera
: tidak didapatkan kelainan
Tanda meningeal
: tidak dilakukan pemeriksaan
Tekanan intrakranial : tidak dilakukan pemeriksaan
4
Mata
Gerakan
:
normal
Pupil
:
isokor
Diplopia
:
tidak ditemukan
Visus
:
tidak dilakukan pemeriksaan
c. Status Psikiatrik
Kesan umum
: Rapi, tenang, kooperatif
Kontak
: Verbal (+), visual (+)
Kesadaran
: Compos mentis, atensi (+), orientasi tempat, waktu dan ruang (+)
Emosi / afek
: Labil, afek depresi
Proses berpikir
: Cepat, koheren
Intelegensi
: Cukup
Persepsi
: Halusinasi dan ilusi disangkal
Psikomotor
: Dalam batas normal
Kemauan
: ADL mandiri
Diagnosis
a. Formulasi Diagnosis
1. Seorang perempuan, 15 tahun kelas 1 SMA, tinggal di Panti Sosal Perlindungan Anak Jl.
HAM. Rifadin Samarinda Seberang datang ke poli RSJD Atma Husada Mahakam
Samarinda pada tanggal 5 Desember 2013 pada pukul 11.30 WITA. Pasien telah
mengikuti rawat jalan di poli sejak tanggal 24 Oktober 2013.
2. Pada autoanamnesis, pasien menjelaskan bahwa dirinya mengalami susah tidur dan sering
mimpi buruk.
3. Pasien menjadi pemurung, pendiam, tidak nafsu makan,bahkan sempat berusaha untuk
melukai diri sendiri dengan memukul-mukulkan kepalanya ke tembok.
4. Pada pemeriksaan psikiatri, didapatkan penampilan rapi, tenang, kooperatif, kontak
verbal dan visual baik, emosi labil, afek depresi, orientasi baik, proses pikir cepat,
koheren, halusinasi & ilusi disangkal, intelegensia cukup, ADL mandiri, dan psikomotor
dalam batas normal.
b. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan pada pasien.
c. Diagnosis Multiaksial
Aksis I
: F43.1 Gangguan stress pasca trauma
Aksis II : Tidak ada diagnosis pada aksis ini
5
Aksis III : Tidak ada diagnosis pada aksis ini
Aksis IV : Masalah dengan lingkungan sosial
Aksis V : GAF 70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, diabilitas ringan dalam fungsi,
secara umum masih baik.
Penatalaksanaan
a. Psikofarmakologis
Kalxetin 10 mg 1-0-0
b. Psikoterapi
1. Dikonsulkan ke psikiater
2. Memotivasi pasien untuk menjalani proses terapi sehingga dapat terjadi perbaikan
kondisi.
3. Memberikan kepercayaan diri kepada pasien bahwa dia dapat bena
4. Menyarankan kepada keluarga untuk senantiasa memotivasi dan mendukung pasien untuk
dapat menangani dan merespons pasien.
Prognosis
Dubia ad bonam

Adanya keinginan yang kuat dari pasien untuk mejalani terapi ditandai dengan minum

obat teratur.
Dukungan dari keluarga.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
GANGGUAN STRESS PASCA TRAUMA
DEFINISI
Gangguan stress pascatrauma (PTSD) dapat didefinisikan sebagai keadaan yang
melemahkan fisik dan mental secara ekstrim yang timbul setelah seseorang melihat,
mendengar, atau mengalami suatu kejadian trauma yang hebat dan atau kejadian yang
mengancam kehidupannya. Keadaan ini ditandai dengan suasana perasaan murung, sedih,
kurangnya semangat dalam melakukan kegiatan sehari-hari maupun kegiatan yang
menimbulkan kesenangan, kadang-kadang disertai dengan waham dan bila sudah berat dapat
menimbulkan gangguan dalam fungsi peran dan kehidupan sosial.
EPIDEMIOLOGI
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress pascatrauma sebesar 8%
sementara 5-15% mengalami bentuk subklinis.Pada kelompok yang pernah mengalami
trauma sebelumnya, prevalensinya antara 5-75%. Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi
(10-12%) dibandingkan pria (5-6%) pada kelompok usia dewasa muda. Selain itu, wanita
memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan yang lebih berat. Beberapa faktor yang
dapat berperan dalam timbulnya depresi, antara lain: (1) jenis kelamin, (2) dukungan keluarga
yang kurang, dan (3) penggunaan alkohol dan zat addiktif lainnya. Seseorang yang memiliki
faktor-faktor tersebut lebih berisiko untuk mengalami gangguan stress pascatrauma dengan
gejala utamanya berupa depresi. Gangguan stress pascatrauma memiliki komorbiditas tinggi
dengan gangguan psikiatri lainnya. Dua pertiga kasus menunjukkan komorbiditas dengan
lebih dari dua gangguan psikiatri lain. Gangguan yang yang paling sering timbul bersamasama dengan gangguan stress pascatrauma ini adalah gangguan depresif, kecemasan,
gangguan yang berkaitan dengan pengguanan zat, dan gangguan bipolar. Komorbiditas ini
mengakibatkan seseorang lebih rentan terhadap gangguan stress pascatrauma
ETIOLOGI
Stresor adalah penyebab utama dalam perkembangan gangguan stress pasca trauma.
Tetapi tidak semua orang akan mengalami gangguan stress pascatrauma setelah suatu
peristiwa traumatik. Walaupun stressor diperlukan, namun stressor tidak cukup untuk
7
menyebabkan gangguan.Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor
biologis individual, faktor psikososial sebelumnya dan peristiwa yang terjadi setelah trauma.
Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting
dalam menentukan apakah gangguan akan berkembang yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Adanya trauma masa anak-anak
Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti social
Sistem pendukung yang tidak adekuat
Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik
Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi
Persepsi lokus kontrol eksternal
Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai pada taraf ketergantungan
Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi penghentian
perkembangan emosional, sedangkan jika terjadi pada masa dewasa akan terjadi regresi
emosional.
Faktor Psikodinamika
Model kognitif dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa orang yang
terkena stress pascatraumatik tidak mampu memproses atau merasionalkan trauma yang
mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak mengalami
kembali stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk
mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan
menghambatnya secara berganti-ganti.
Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan
memiliki dua fase dalam perkembangannya.Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan)
adalah dipasangkan, melalui pembiasaan klasik dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat
fisik atau mental terhadap trauma).Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien
mengambangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus
yang tidak dibiasakan.
Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah
mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan.Penghidupan
kembali trauma masa anak-anak menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme
pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing).Ego hidup kembali dan
dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan.Pasien juga mendapatkan
tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan
ketergantungan.Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan
kognitif tentang gangguan stress pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk
8
memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima
dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti.
Faktor Biologis
Teori biologis tentang gangguan stress pascatraumatik telah dikembangkan dari
penelitian pra klinik dari model stress pada binatang dan dari pengukuran variabel biologis
dari populasi klinis dengan gangguan stress pascatraumatik. Banyak sistem neurotransmitter
telah dilibatkan dalam kumpulan data tersebut. Model praklinik pada binatang tentang
ketidakberdayaan, pembangkitan, dan sensitasi yang dipelajari telah menimbulkan teori
tentang norepinefrin, dopamine, opiat endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu
hipotalamus, hipofisis adrenal. Pada populasi klinis, data telah mendukung hipotesis bahwa
system noradrenergik dan opiat endogen, dan juga sumbu hipotalamus-hipofisis adrenal,
adalah hiperaktif pada sekurangnya beberapa pasien dengan gangguan stress pascatrauamtik.
Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsivitas sistem
saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian kecepatan denyut jantung dan
pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur yang abnormal (sebagai contohnya,
fragmentasi tidur dan peningkatan latensi tidur). Gejala penyerta yang sering dari gangguan
stress pascatraumatik adalah depresi, kecemasan dan gangguan kognitif. Di dalam DSM-IV,
lama gejala minimal untuk gangguan stress pasca traumatik adalah 1 bulan. DSM-IV
memperkenalkan diagnostik baru, gangguan stress akut, bagi pasien dengan gejala yang
terjadi dalam 4 minggu peristiwa traumatik dan pada mereka yang gejalanya berlangsung
selama 2 hari sampai 4 minggu.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis utama pada gangguan stress pascatrauma adalah kembalinya
pengalaman menyakitkan yang terus menerus dalam pikiran korban, pola penghindaran
terutama terhadap hal-hal yang mengingatkan korban pada pengalaman traumatisnya, dan
tumpulnya emosi. Keadaan-keadaan di atas mungkin segera setelah trauma, namun gejala
lengkapnya baru timbul setelah beberapa waktu.Perasaan bersalah, penghindaran, dan rasa
dipermalukan
kadang-kadang
dapat
ditemukan
dalam
anamnesis
psikiatri.Adanya
penghindaran dan tumpulnya emosi merupakan hal yang penting dalam diagnosis menurut
DSM-IV.
Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan, ketakutan,
penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi dan berfikir, gejalagejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak napas, jantung berdebar, serta
9
dapat pula ditemui gejala gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan mungkin
terdapat gejala yang lain.
DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik ditulis untuk
memperjelas beberapa kriteria dalam DSM-III-R. Pertama DSM-IV-R menggambarkan
stressor diluar rentang pengalaman manusia pada umumnya.Karena kriteria adalah tidak jelas
dan tidak dapat dipercaya, DSM-IV memperjelas artinya (Kriteria A). Dalam DSM-IV,
criteria B menyebutkan, seperti dalam DSM-III-R, bahwa pasien secara menetap mengalami
kembali peristiwa traumatik. Kriteria C dan D pada DSM IV tetap sama dengan DSM-III-R,
mereka menyebutkan penghindaran persisten terhadap situasi tertentu dan peningkatan
kesadaran pada pasien. DSM-IV menyebutkan bahwa gejala pengalaman, menghindar dan
kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari 1 bulan.
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
terdapat :
1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri
atau orang lain.
2) Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
Catatan : pada anak – anak hal ini dapat diekspresikan dengan prilaku yang kacau
dan terintegrasi.
B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut :
1) Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian,
termasuk angan pikiran atau persepsi. Catatan : pada anak kecil, dapat
menunjukkan permainan berulang dengan tema aspek trauma.
2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali.
4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena
responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh
tiga (atau lebih) berikut ini :
10
1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan
2)
3)
4)
5)
6)
D. Gejala
dengan trauma.
Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma
Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
Perasaan terlepas atau asing dari orang lain
Rentang afek yang terbatas
Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
menetap adanya peningkatan kesadaran yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih)
berikut :
1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan
3) Sulit berkonsentrasi
4) Kewaspadaan berlebihan
5) Respon kejut yang berlebihan
E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.
Sebutkan jika :
Akut : jika lama gejala adalah kurang dari 3 bulan
Kronis : jika lama gejala adalah 3 bulan atau lebih
Sebutkan jika :
Dengan onset lambat : onset gejala sekurangnya enam bulan setelah stressor
Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stress Akut
A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
ditemukan :
1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri
atau orang lain.
2) Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau
horor.
B. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan,
individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
1) perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi
2) penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan
tidak sadar)
3) derelisasi
4) depersonalisasi
11
5) amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting
dari trauma)
C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut:
bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan
hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengna pengingat
kejadian traumatic
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya,
pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
E. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur,
iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan,
dan kegelisahan motorik).
F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan
individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang
diperlukan atau menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada
anggota keluarga tentang pengalaman traumatic.
G. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi
dalam 4 minggu setelah traumatic
H. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan
Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya.
Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku
menghindar, kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat trauma yang
dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik.Sebagian karena publikasi yang luas
dan telah diterima, istilah gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus
juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.
PERJALANAN PENYAKIT DAN PROGNOSA
Gangguan stress pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelah
trauma, dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dengan
berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode stress. Kira-kira 40% terus
menderita gejala ringan, 20% terus menderita gejala sedang, dan 10% tetap tidak berubah
atau menjadi buruk. Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi
gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi premorbide yang baik, dukungan sosial
12
yang kuat dan tidak adanya gangguan psikiatrik, atau berhubungan dengan zat lainnya.
Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan
dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia pertengahan.
DIAGNOSIS BANDING
Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik dengan
kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma. Pertimbangan
organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi,
gangguan penggunaan alkohol dan gangguan yang berhubungan dengan zat lainnya.
Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang
sulit dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik sampai efek zat hilang.
Gangguan stress pascatraumatik pada umumnya sering keliru didiagnosis sebagai
gangguan mental lain, yang menyebabkan pengobatan yang tidak tepat. Klinisi harus
mempertimbangkan gangguan stress pasca traumatic pada pasien yang menderita gangguan
nyeri, penyalahgunaan zat, gangguan kecemasan lain, dan gangguan mood.Pada umumnya,
gangguan stress pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental organik dengan
mewawancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala
sekarang ini.Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguan buatan atau
berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit
dibedakan dari gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi
bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat.Kemungkinan, anak kecil masih
belum memiliki mekanisme untuk mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma.
Demikian juga orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda,
kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu
mengadakan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma, terutama terjadi penurunan
darah, penurunan penglihatan, palpitasi dan aritmia. Tersedianya dukungan sosial juga
mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stress pascatraumatik.Pada
umumnya, pasien yang mendapat dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak menderita
gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parah.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Gangguan Kecemasan khususnya Gangguan Stres Pascatrauma.
Terdapat tiga pendekatan terapeutik untuk mengatasi gejala berhubungan dengan kecemasan
yaitu :
13
1. Manajemen krisis
2. Psikoterapi
3. Farmakoterapi
Tujuan utama dari Manajemen Krisis adalah :
1. Peredaan gejala
2. Pencegahan konsekuensi yang merugikan dari krisis tersebut untuk jangka pendek
3. Suportif (dukungan)
Psikoterapi
Psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan
pengalaman ulang trauma. Intervensi psikodinamika untuk gangguan stres pascatraumatik
adalah terapi perilaku, terapi kognitif dan hypnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi
singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan
juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi menekan
risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah kecurigaan, paranoia, dan kepercayaan
seringkali merugikan kepatuhan. Ahli terapi harus mengatasi penyangkalan pasien tentang
peristiwa traumatic, mendorong mereka untuk santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber
stress. Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan medikasi jika dilakukan. Dukungan
dari lingkungan (seperti teman-teman dan sanak saudara) harus disediakan. Pasien harus
didorong untuk mengingat dan melepaskan perasaan emosional yang berhubungan dengan
peristiwa traumatic dan merencanakan pemulihan di masa depan. Psikoterapi setelah
peristiwa traumatic harus mengikuti suatu model intervensi krisis dengan dukungan,
pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasi dan penerimaan peristiwa. Jika
gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapetik utama
dapat diambil. Pertama adalah pemaparan dengan peristiwa traumatic melalui teknik
pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti
pada terapi implosif, atau bertahap, seperti pada desensitisasi sitematik. Pendekatan kedua
adalah mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan kognitif untuk mengatasi stress.
Beberapa data awal menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan stress adalah
efektif lebih cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan adalah lebih
lama.
Disamping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga telah
dilaporkan efektif pada kasus gangguan stress pascatraumatik. Keuntungan terapi kelompok
adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan mendapatkan dukungan dari anggota
kelompok lain. Terapi kelompok telah berhasil pada veteran Vietnam. Terapi keluarga
seringkali membantu mempertahankan suatu perkawinan melalui periode gejala yang
14
mengalami eksaserbasi. Perawatan di rumah sakit mungkin diperlukan jika gejala adalah
cukup parah atau jika terdapat risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya.
Farmakoterapi
Obat-obat anti anxietas sebaiknya digunakan untuk waktu yang singkat karena ditakutkan
akan terjadi ketergantungan, meskipun banyak obat yang efektif untuk meredakan anxietas.
1. Trycyclic and monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
Bahwa reversible MAOIs, moclobimide juga dapat berguna dalam perawatan
gangguan stress pascatrauma.
2. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs)
Perubahan terutama terlihat untuk reexperiencing dan gejala hyperarousal
daripada penolakan. Yang juga menarik adalah penurunan rasa bersalah dari yang
selamat. Fluvoxamine tampaknya lebih efektif. Digunakan pula paroxetine sampai 60
mg untuk 12 minggu. Disamping itu dapat pula dicoba dengan Trazodone, dosis
sampai 400 mg/hari.
3. Benzodiazepin
Benzodiazepin telah merupakan obat terpilih untuk gangguan kecemasan
umum. Pada gangguan benzodiazepin dapat diresepkan atas dasar jika diperlukan,
sehingga pasien menggunakan benzodiazepin kerja cepat jika mereka merasakan
kecemasan tertentu. Pendekatan alternatif adalah dengan meresepkan benzodiazepin
untuk suatu periode terbatas, selama mana pendekatan terapetik psikososial
diterapkan. Beberapa masalah adalah berhubungan dengan pemakaian benzodiazepin
dalam gangguan kecemasan umum. Kira-kira 25 sampai 30 persen dari semua pasien
tidak berespon, dan dpat terjadi toleransi dan ketergantungan. Beberapa pasien juga
mengalami gangguan kesadaran saat menggunakan obat dan dengan demikian, adalah
berada dalam risiko untuk mengalami kecelakaan kendaraan bermotor atau mesin.
4. Obat-obat lainnya
Propanolol dan Clonidin, keduanya secara efektif menekan aktivitas
noradrenergik, telah digambarkan berguna dalam beberapa serial kasus terbuka.Selain
itu juga terdapat laporan kasus yang menunjukkan keberhasilan dari alfa-agonis
Guanfacine pada wanita muda. Serotonergik dibandingkan antidepresan lainnya juga
berguna untuk kasus gangguan stress pascatrauma, sebagai contoh Buspirone. Dosis
60 mg/hari atau lebih dapat efketif, trauma untuk gejala hyperarousal.Sebagai
tambahan, Cyproheptadine (sampai 12 minggu saat tidur) dilaporkan berguna untuk
melepaskan mimpi buruk pada pasien dengan gangguan stress pascatrauma.
Dopamine blocker juga dilaporkan berguna untuk beberapa kasus gangguan stress
15
pascatrauma. Ada pula yang melaporkan kegunaan Risperidone gangguan stress
pascatrauma ditunjukkan melalui kilas balik yang jelas dan mimpi-mimpi buruk.
Naltrexone (50 mg/hari) dilaporkan efektif dalam mengurangi kilas balik pada pasien
dengan gangguan stress pascatrauma. Tetapi tidak terdapat controlled studies dengan
opiat agenda pada gangguan stress pascatrauma. Ada beberapa laporan mengenai
kegunaan Thymoleptics-lithium Carbamazepine dan Valproat dalam gangguan stress
pascatrauma
16
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1. Diagnosis Multiaksial
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan status psikiatri, pasien
ini didiagnosis dengan Post Traumatic Stress Disorder.
Untuk menentukan diagnosis
gangguan jiwa dapat digunakan PPDGJ.
Axis I
Pedoman diagnostic untuk Post Traumatic Stress Disorder berdasarkan PPDGJ-III adalah
sebagai berikut:.
Pedoman Diagnosis Skizofrenia
Pedoman Diagnostik
 Diagnosis baru ditegakkan
bilamana
gangguan
Gejala Pada Pasien
Kriteria
ini
timbul dalam kurun waktu 6
bulan
kejadian Pasien mengalami mimpi
setelah
Memenuhi
traumatic berat (masa laten buruk dan susah tidur sekitar
yang
antara bulan Oktober 2013
berkisar
beberapa minggu sampai (Kejadian bulan Mei 2013)
beberapa
bulan,
jarang
sampai melampaui bulan).
Kemungkinan
diagnosis
masih
dapat
ditegakkan
apabila tertundanya waktu
mulai saat kejadian dan
onset melebihi waktu 6
bulan, asal saja manifestasi
klinisnya adalah khas dan
tidak
didapat
alternatif
kategori gangguan lainnya.
 Sebagai bukti tambahan
Waham mistik (-)
Tidak Memenuhi
Pasien mengalami mimpi
Memenuhi
selain trauma, harus
didapatkan bayang –
bayang atau mimpi- mimpi
dari kejadian traumatic
tersebut secara berulang –
buruk sehingga susah tidur
dan sering mengigau
17
ulang kembali (flashback)
 Gangguan otonomik,
gangguan afek dan kelainan
tingkah laku semuanya
Pasien menjadi pemurung,
dapat mewarnai diagnosis
pendiam dan tidak nafsu
tetapi khas
 Suatu “sequele” menahun
yang terjadi lambat setelah
stress yang luar biasa,
misalnya saja beberapa
puluh tahun setelah trauma,
Memenuhi
makan
Pasien baru mengalami
Tidak Memenuhi
peristitwa tersebut kurang
lebih 7 bulan
diklasifikasikan dalam
kategori F62.0 (perubahan
kepribadian yang
berlangsung lama setelah
mengalami katastrofa)
KESAN: Pasien memenuhi kriteria diagnosis F.43.1
Axis II
Untuk Axsis II, berdasarkan anamnesa didapatkan kepribadian premorbid pasien
merupakan pribadi yang ceria, baik, dan senang bergaul sehingga dapat disimpukan tidak ada
diagnosis untuk Axsis II.
Axis III
Untuk Axis III, berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan laboratorium tidak
didapatkan kelainan pada pasien ini.
Axsis IV
Untuk Axsis IV, berdasarkan anamnesa didapatkan bahwa setelah peristiwa tersebut
pasien merasa dijauhi oleh teman – temannya dan jadi bahan omongan oleh temannya,
sehingga dapat disimpulkan ada masalah dengan lingkungan sosialnya.
Axsis V
GAF 70-61 beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi
secara umum masih baik.
3.2. Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan Kalxetin 10 mg 1-0-0 yang merupakan
golongan SSRI yang digunakan sebagai terapi antidepresan.
Selain pemberian terapi antipsikotik, diperlukan juga psikoterapi yang ditujukan
kepada penderita sendiri, diharapkan untuk mengerti keadaan dirinya untuk menghadapi
stress psikososial yang dihadapi dan konseling kepada keluarga untuk mendapatkan
18
dukungan baik dalam pengobatan maupun sosialisasi penderita. Memotivasi pasien untuk
menjalani proses terapi sehingga dapat terjadi perbaikan kondisi. Memberikan penjelasan
kepada keluarga terdekat mengenai keadaan pasien saat ini, gejala, kemungkinan penyebab,
dampak, faktor-faktor pemicu kekambuhan, dan prognosis sehingga keluarga dapat
memberikan dukungan kepada pasien.3,4
3.3. Prognosis
Gangguan stress pascatraumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelh trauma.
Gejala dapat berfluktuasi dengan jalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode
stress. Kira – kira 30% pasien pulih secara lengkap, 40% pasien terus menderita gejala
ringan, 20 % terus menderita gejala sedang dan 10% tidak berubah atau memburuk.
Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang
singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat
dan tidak adanya gangguan psikiatrik,medis, atau berhubungan zat lainnya3,4.
Pada pasien ini onset gejala cepat, durasi gejala kurang lebih selama enam bulan,
premorbid pasien baik sehingga prognosis pasien ini adalah baik walaupun dukungan sosial
pasien ini tidak kuat.
Untuk mengurangi keparahan dari stress yang dialami pasien, disarankan untuk kontrol
dan minum obat secara teratur serta disarankan untuk mengikuti konseling bersama dengan
keluarganya agar dapat memahami keadaan penderita.
19
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia (PPDGJ).Edisi ke III. Jakarta.
Kaplan, Sadock. 2010. Sinopsis Psikiatri. Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis Edisi 10. Alih
bahasa: Widjaja Kusuma. Jawa Barat: Binarupa Aksara.
Maslim, R. Buku Saku Diagnosis Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Unika Atmajaya: Jakarta. 2003.
Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik edisi ketiga.Bagian ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2007.
20
Download