258 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 ANALISIS FILOSOFIS TERHADAP LINGKUNGAN PENDIDIKAN Murkilim Abstract: Environmental education plays an important role in determining the success or failure of the educational process undertaken to achieve the desired goal.Environmental education starts from the family, school to community. All three must act and in accordance with the characteristics of Islamic education I self so that the desired educational goals can be achieved effectively. Therefore, families, schools and communities must understand the role and duties of each increating a conducive atmosphere and Islamic education. Tasks and roles that can be formulated based on cues contained in the Qur'an and the Hadith to be analyzed filosifis resulting concepts that address the challenges and needs. Kata kunci: pendidikan, lingkungan A. Pendahuluan Manusia adalah makhluk abdi Allah (Qs. adz-Dzaariyaat, 51: 56), dengan fungsi sebagai khalifatullah (Qs. al-Baqarah, 2: 30) di muka bumi, yang diciptakan-Nya dengan sebaik-baik kejadian (Qs. at-Tiin, 95: 4), mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan untuk mencapai kesempurnaan hidupnya. Keberhasilan manusia dalam mengemban amanat dan misi kekhalifahan itu berkaitan erat dengan perkembangan potensi diri yang dimilikinya. Bila potensi dirinya berkembang dengan baik, selaras dan seimbang, manusia akan dapat mencapai hasil maksimal dalam pelaksanaan tugas kekhalifahannya. Potensi diri manusia itu akan berkembang dengan baik dan dapat menunjukan eksistensi dirinya sebagai hamba Allah dan pemegang amanat khalifatullah di muka bumi melalui proses pendidikan. Dengan pendidikan manusia akan dapat mengembang potensi dirinya secara maksimal dan sangat memungkinkan untuk mencapai tujuan dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Pendidikan, sejalan dengan keberadaan manusia sebagai abdi Allah yang berwatak sosial tidak dapat dilepaskan dari lingkungan di mana ia berada. Tetapi ini tidak dapat dimaknai bahwa manusia itu menjadi hamba kepada lingkungan, seperti pendapat ahli-ahli behaviorisme. Lingkungan berperan dalam pembentukan tingkah laku seseorang, tetapi Al-Qur’an tidak menganggapnya sebagai satusatunya faktor (Hasan Langgulung, 2004: 67). 258 Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan 259 Adalah sebuah realitas, bahwa pendidikan berlangsung dalam lingkungan yang berlapis. Lapisan pertama adalah lingkungan keluarga, di bawah kendali ayah dan ibu yang berperan sebagai guru pertama dan utama. Lapisan kedua adalah sekolah baik formal maupun non formal, yang merupakan perpanjangan dari lingkungan keluarga, dan lapisan ketiga adalah lingkungan masyarakat di mana seseorang itu berada. Tulisan ini, mengangkatkan tema “Analisis Filosofis terhadap Lingkungan Pendidikan”, dengan penekanan masalahnya adalah bagaimana peranan lingkungan terhadap pendidikan; peranan orang tua, sekolah dan masyarakat. Pengkajian dilakukan dengan pendekatan analisis filosofis terhadap lingkungan pendidikan yang didasarkan kepada nash al-Qur’an dan as-Sunnah. B. Lingkungan Pendidikan Menurut Zakiah Daradjat (2004: 63-4), lingkungan ialah segala sesuatu yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Ia adalah seluruh yang ada , baik manusia maupun benda buatan manusia, atau alam yang bergerak atau tidak bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang mempunyai hubungan dengan seseorang. Kualitas hubungan seseorang dengan lingkungannya menentukan pengaruh pendidikan yang dapat diserapnya. Lingkungan tidak selamanya memberikan nilai positif, terkadang lingkungan juga menimbulkan kerusakan. Pada bahagian pendahuluan telah disinggung bahwa dalam fakta dan realitas pendidikan berada dalam tiga lingkungan. Pertama, lingkungan keluarga atau rumah tangga. Dalam lingkungan keluarga kendali pendidikan ada pada kedua orang tua, yang memegang peranan penting dan strategis, baik dan buruknya suatu keluarga bergantung kepada bapak sebagai pimpinan keluarga dan ibu pimpinan dalam rumah tangga. Kedua, adalah lingkungan sekolah. Sekolah sebagai suatu system terdiri dari beberapa komponen yang mempunyai fungsi dan peranan sendiri-sendiri, namun antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Dalam hal ini, menyangkut dengan proses belajar dan mengajar guru memegang peranan utama, tentunya dengan tidak menafikan peranan dan fungsi komponen lainnya. 260 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 Ketiga, adalah lingkungan masyarakat, yang juga mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya dari dua lingkungan terdahulu. Masyarakat yang baik akan memberikan konstribusi positif terhadap pendidikan yang berada dalam lingkungannya. Sebaliknya, juga suatu hal yang pasti bahwa masyarakat yang rusak akan berpengaruh secara negatif terhadap dunia pendidikan, baik terhadap peserta didik maupun kepada lembaga pendidikan (Zakiah, 2004: 64-83). Untuk melihat peranan masing-masing lingkungan tersebut terhadap pendidikan, berikut ini akan dibahas peranan keluaraga, sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan. 1. Peranan Keluarga sebagai Lingkungan terhadap Pendidikan Keluarga adalah unit terkecil dalam struktur kemasyarakatan, yang anggotanya terdiri dari ayah, ibu dan anak sebagai anggota inti. Bila dihubungkan dengan pendidikan, keluarga adalah unit pertama dan utama dari lingkungan pendidikan. Keluarga merupakan masyarakat alamiah yang pergaulan di antara anggotanya bersifat khas. Dalam lingkungan ini terletak dasar-dasar pendidikan. Di sini pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan pergaulan yang berlaku di dalamnya. Dari ayat al-Qur’an dapat dipahami bahwa ayah dan ibu adalah pendidik pertama dan utama yang bertanggung jawab terhadap pendidikan anaknya. Dalam surat at-Tahrim, 66 ayat 6 dapat dipahami bahwa Allah SWT memerintahkan kepada setiap pribadi untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari azab neraka. Perintah dalam ayat tersebut bersifat umum, termasuk di dalamnya perintah menyelamatkan (mendidik) anak sebagai anggota inti dari keluarga, yang berada dalam tanggung jawab orang tua. Ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya (M. Quraish Shihab, 2002: 327). Dimaksudkan dengan (“ )أﻧﻔﺴﻜﻢdirimu” dalam ayat itu adalah ayah dan ibu, dan yang dimaksudkan dengan kata ( )أھﻠﻜﻢkeluargamu adalah anggota keluarga yang utama adalah anak (Ahmad Tafsir, 2004: 74). Dilihat dari perspektif pendidikan ayat di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidkan harus bermula dari rumah. Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan 261 Ayah dan ibu sebagaimana dipahami dari ayat di atas adalah sebagai pendidik pertama dan utama mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam pendidikan anak-anaknya. Kualitas diri dan kepribadian seorang anak sebagai peserta didik dalam lingkungan keluarga sangat terkait dengan pola dan sikap kedua orang tuanya sebgai pendidik. Demikian penting dan strategisnya peranan orang tua sebagai pendidik terhadap pendidikan anaknya, sehingga Rasulullah saw bersabda: : Artinya: “Sesungguhnya berkata Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: Tiada seorang bayi pun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi” (H.R.Bukhari) Mendidik anak adalah kewajiban utama orang tua sebagai bentuk pemuliaan anak. Karenanya pendidikan yang diberikan orang tua mempunyai arti yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak untuk mencapai pribadi yang sempurna (insan kamil). Sabda Rasulullah SAW: “Muliakanlah anak-anakmu dan berikanlah kepada mereka pendidikan yang baik”. (H.R. Muslim dan Ibn Majah) Mendidik anak adalah kewajiban orang tua. Pertanyaan yang menyertainya adalah kapan orang tua harus memulai proses pendidikan terhadap anak itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dikaji hal-hal yang mendahului kehadiran anak dalam suatu keluarga, yang merupakan proses dari pembentukan keluarga. a. Pembentukan Keluarga sebagai Lembaga Pendidikan Dalam Islam, orang baru dapat disebut sebagai suatu keluarga setelah melalui pintu pernikahan. Tanpa pernikahan tidak akan pernah ada keluarga. Pernikahan adalah suatu hal yang suci dan merupakan salah satu dari dimensi 262 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 ibadah. Pernikahan adalah pintu masuk untuk membentuk keluarga dan sekaligus lembaga pendidikan bagi anak. Pernikahan yang dengannya terbentuk keluarga menyebabkan terjadinya perubahan status hukum dan struktur keluarga serta terbentuknya relasi sosial yang sarat dengan nilai etika dan moral. Pernikahan merubah status dari seorang bujang dan gadis atau janda dan duda menjadi pasangan suami dan isteri yang disebut keluarga. Dan menghalalkan hubungan suami isteri yang sebelum akad nikah haram untuk dilakukan. Pada sisi lain terjadi perubahan hukum dari halal kepada haram. Setelah akad nikah haram bagi sesorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang melahirkan isterinya (ibu mertua) dan yang dilahirkan oleh isterinya (anak tiri), yang pada mulanya halal untuk dinikahinya. Pernikahan yang menyebabkan perubahan status hukum itu melahirkan sebuah lembaga yang disebut lembaga keluarga atau rumah tangga, sebagai salah satu pilar dari kehidupan sosial, dan di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan yang sangat penting dalam membentuk tatanan nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan (Qs. an Nahl, 16: 72, an-Nisa, 4: 1 dan surat ar-Ruum, 30: 21). Perwujudan keluarga sebagai lembaga pendidikan harus diawali dari suatu proses yang sah, baik dan benar. Karenanya Rasulullah Saw. memerintahkan kepada para pemuda yang sudah mempunyai istitha’ah untuk segera menikah. Bagi yang belum mempunyai istithaah hendaklah mendidik nafsunya dengan melakukan puasa. Perintah Rasul kepada pemuda yang mempunyai istitha’ah untuk menikah menunjukan kepedulian Rasulullah yang sangat intens terhadap berbagai problematika kehidupan umatnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah SAW sangat memahami pertumbuhan dan perkembangan psikologis pemuda, dan sekaligus ia juga menangkap nuansa sosiologis. Karena dengan pernikahan akan tercipta keluarga yang berbasis agama sebagai pilar masyarakat madani. Berkaitan dengan perintah untuk menikah yang disampaikan kepada para pemuda itu, Rasul juga memberikan bimbingan dalam memilih dan menentukan jodoh. ( : ) Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan 263 “Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. Ia berkata: “Wanita itu dinikahi karena empat faktor: Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka utamakanlah karena agamanya, niscaya engkau bahagia.” (H.R.Muslim) Dalam tataran realitas kehidupan, apa yang diungkapkan oleh Rasulullah tentang faktor-faktor yang menjadi dasar pilihan bagi seseorang dalam menentukan jodoh yang akan dinikahinya adalah suatu hal yang faktual. Permasalahannya terletak pada tataran operasionalnya, di mana faktor yang dominan menjadi pilihan adalah faktor satu sampai tiga ketimbang faktor keempat, yang direkomendasikan oleh Rasulullah Saw. untuk dijadikan faktor utama. Pada prinsipnya segala sesuatu yang disampaikan Allah SWT. melalui alQur’an dan Sunnah Rasulul-Nya, baik dalam bentuk perintah, larangan maupun anjuran adalah untuk kepentingan, keselamatan dan kebahagiaan manusia. Begitu juga dengan masalah pernikahan dalam membentuk keluarga dan kaitannya dengan pendidikan, secara umum adalah untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang harmonis, dan pada khususnya untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang selamat, damai dan bahagia. Anak yang lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga yang diikat dengan tali pernikahan, dan dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum dan nilai-nilai Islam, ia berada dalam lingkungan pendidikan yang sarat dengan nilainilai ilahiyah. Kondisi yang demikian sangat memungkinkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan potensi diri anak kearah yang lebih baik dan lebih sempurna. Dalam tatanan keluarga yang demikian akan terjadi suatu proses pendidikan secara simultan antara transfer ilmu dan trasformasi nilai-nilai yang rabbani kepada anak dari orang tua sebagai sebuah kewajiban utamanya. Melalui pernikahan sah yang diatur dengan sistem yang baik dan benar serta menumbuhkembangkan nilai-nilai Islami berarti orang tua telah mengawali pelaksanaan kewajibannya sebagai pendidik dan sekaligus telah berperan aktif dalam mempersiapkan lingkungan pendidikan yang kondusif dan islami. b. Mempersiapkan Generasi yang Fitri Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan-Nya dengan sebaik-baik kejadian. Terdiri dari dua unsur; pertama, unsur jasmani, tubuh yang lahir, yang berasal dari materi (Qs. as-Sajadah, 32: 7-9), yang tercipta dengan penuh 264 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 keseimbangan. Antara satu komponen dengan komponen lainnya saling berkaitan namun masing-masingnya mempunyai fungsi tersendiri. Unsur jasmani disebut alam khalq (ciptaan). Kedua, unsur ruhani, tubuh yang batin, keberadaannya tidak dapat disaksikan secara kasat mata, namun dapat dirasakan. Ruhani ini disebut dengan alam amr (alam perintah). Terkait dengan masalah penciptaan manusia, secara spesifik Allah memberikan perintah kepada manusia agar melakukan pengkajian atau penelitian terhadap asal kejadiannya (Qs. Ath Thariq, 86: 5-7). Pada bagian lain Allah SWT. memerintahkan supaya manusia juga melakukan pengkajian terhadap makanan yang ia makan (Qs.’Abasa, 80: 24). Kedua perintah Allah tersebut di atas bila dilihat secara terpisah seakanakan tidak punya titik singgung. Tetapi jika dilihat konstruksi, penciptaan manusia, kedua ayat itu mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Manusia diciptakan dari mani, sedangkan mani dihasilkan dari makanan yang dimakan oleh manusia. Apabila makanan yang dimakan oleh manusia berasal dari hal yang baik dan halal, produk turunan berupa mani juga akan berkualitas baik pula. Untuk terciptanya kualitas mani yang baik, Allah telah memerintahkan kepada manusia supaya mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (Qs. al-Baqarah, 2: 168 dan al-Maidah, 5: 88) Ayat-ayat tersebut di atas mengandung tiga pertintah Allah kepada manusia; Pertama, perintah supaya manusia memperhatikan dan melakukan pengkajian yang sungguh-sungguh tentang asal kajadiannya. Kedua, perintah agar manusia juga melakukan pengkajian terhadap makan yang dimakannya. Dan ketiga, perintah supaya manusia mengkonsumsi makan yang halal dan baik. Di antara sasaran yang hendak dicapai dengan ketiga perintah Allah tersebut adalah terwujudnya generasi yang baik dan unggul melalui penyiapan asal kejadian manusia yang berasal dari sumber-sumber makan yang halal dan baik. Dari makan yang halal dan baik akan dihasilkan mani yang berkualiatas baik dan suci. Pada waktunya melalui pernikahan dan jalinan cinta sejati, mani yang berasal dari ayah dan ibu (sperma dan ovum) bersatu dalam rahim bunda, yang dalam al-Qur’an disebut nuthfah (Lihat Q.S. 22: 5, 23: 13, 14, 75 : 37, 76: 2, 53: 46, 40: 67, 35: 11, 36: 77, 80: 19), dari nuthfah diproses menjadi ‘alaqah, dan selanjutnya menjadi mudhgah. Setelah melalui proses sesuai dengan ketentuan hukum-hukum yang telah ditentukan Allah SWT., terciptalah wujud fisik manusia, yang kemudian Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan 265 ditiupkan atau dimasukan ke dalamnya ruh ciptaan Allah SWT. Ketiga perintah ini merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi dalam upaya mempersiapkan generasi yang fitri. Itu adalah kewajiban orang tua yang bertanggung jawab terhadap kualitas diri dan pendidikan anak-anaknya. Ketika ruh sudah dimasukkan ke dalam jasad, maka jasad yang tercipta dari materi yang halal dan baik menjadi lingkungan bagi ruh, dan ruh yang suci membawa fitrah tauhid memberikan kehidupan kepada jasad. Inilah wujud manusia yang merupa-kan “perpaduan” antara jasad dengan ruh secara seimbang dan penuh keindahan dalam bingkai tauhid. Dilihat dari perspektif kasab dan ikhtiar, ini adalah hasil dari kerja keras orang tua, yang hidup dengan tunduk dan patuh terhadap hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, semenjak dari menentukan jodoh, menikah, hidup berumah tangga dengan menyediakan kebutuhan hidup dan mengkonsumsi makanan yang halal dan baik. c. Memberikan Pendidikan Orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anank-anaknya. Bagaimana perkembangan anak ke depan, sangat erat kaitannya dengan pola hidup dan corak pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Saw. yang hadisnya telah dikutip pada bagian terdahulu, pada dasarnya anak dilahirkan dalam fitrah, bertuhan kepada Allah SWT. Secara eksplisit Allah mengungkapkan tentang fitrah beragama bagi manusia dalam surat ar-Ruum, 30: 30. Ayat di atas menuntun manusia untuk hidup beragama secara teguh dan utuh. Karena beragama itu adalah fitrah yang telah diciptakan Allah untuk manusia. Esensi dari fitrah itu adalah hidup bertuhan kepada Allah Yang Maha Esa (bertauhid) dan tidak dapat diganti. Dengan kata lain, bila seseorang dalam menjalani kehidupannya keluar dari ajaran tauhid, itu berarti kehancuran untuk dirinya. Menyimpang atau tidaknya anak dari fitrahnya, itu menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Perkembangan selanjutnya tergantung kepada pendidikan yang diberikan orang tuanya. Orang tualah yang bertanggung jawab mendidik anaknya untuk dapat mempertahankan, mengfungsikan fitrah tauhid yang ada pada anaknya. mengembangan dan 266 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 Tauhid adalah ruh kehidupan. Hidup tanpa tauhid akan kehilangan makna hakiki dari kehidupan itu. Karenanya materi pendidikan yang pertama dan utama yang harus ditanamkan pada diri anak adalah tauhid. Ajaran tauhid sebagai jiwa dari syariat Islam, harus tercermin dalam segala aspek kehidupan muslim. Dalam tataran aplikasi, Rasulullah Saw. telah memberikan bimbingan, umpamanya, ketika seseorang akan menentukan jodoh direkomendasikan oleh Rasul agar agama dijadikan faktor utama dalam menentukan pilihan. Setelah pilihan ditentukan, untuk hidup berkeluarga wajib ditempuh proses pernikahan sesuai dengan hukum syar’i. Lebih lanjut Rasulullah memberikan bimbingan kepada pasangan suami dan isteri agar terlindung dan terbebas dari pengaruh syaitan, sebelum menunaikan kewajiban khususnya terlebih dahulu berdo’a kepada Allah: ()ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ . “Dengan nama Allah, Ya Allah, jauhakan kami dari (gangguan) syaitan dan jauhkan syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami” (Muttafaq ‘Allaih) Setelah anak lahir disunatkan mengazankan dan mengiqamahkan. Dengan mengazankan dan mengiqamahkan anak yang baru dilahirkan, berarti mempertemukan fitrah yang dibawa dari lahir dengan alam relalitas dalam suatu tatanan nilai tauhid. Ini semua adalah dalam rangka pendidikan tauhid terhadap anak untuk mempersiapkan dirinya menghadapi masa depan yang akan dijalaninya. Untuk mewujudkan generasi yang bertauhid, upaya untuk itu harus dilakukan sejak dini. Ini dapat dilihat dari cara Rasulullah merespons sikap orang Thaif yang menolak dakwah Rasul dengan cara perlakuan yang kasar, sehingga Rasul bersama Zaid bin Haritsah yang mendampingi dan membentenginya luka berdarah-darah. Dalam keadaan yang demikian Allah mengirim Jibril kepada Rasul, dengan menawarkan bantuan, kalau Nabi menghendaki gunung Akhsyabaini akan diratakan untuk menghancurkan masyarakat Thaif yang telah menolak dan menyakitinya. Rasul justru menjawabnya dengan sebuah do’a (Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury: 2006: 1733): 267 Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan ) ( Artinya: “Saya berharap kepada Allah untuk mengeluarkan dari sulbi-sulbi mereka orang yang beribadah kepada Allah Yang Maha Esa dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun,”(H.R.Bukhari). Sejalan dengan hadis di atas, Jamal Abdurrahman mengitip hadis Rasulullah yang diriwayatkan al-Hakim dan Ibn Majah sebagai berikut: ( ) Artinya: “Pilihlah (tempat yang baik) untuk spermamu, nikahi wanita-wanita yang sekufu’, dan nikahkan mereka”. (H.R. Al Hakim) Hadis-hadis di atas, jelas memberikan bimbingan bahwa upaya dan proses pendidikan tauhid untuk anak tidak hanya setelah anak lahir, tetapi justru jauh mendahului kelahirannya. Lebih spesifik al-Mubarakfuri (2006: 82) dalam “Tuhfatul Ahwazi Syarah Jami’it Tirmuzi” sebagaiman yang dikutip oleh Jamal Abdurrahman, mengungkapkan hadis dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah Saw. berkata: “Bukalah (awal) untuk bayimu (ketika lahir) kalimat yang pertama, yaitu kalimat “La Ilaaha Illallah”, dan tuntun lah ia ketika mati dengan kailmat “La Ilaaha Illah”. Orang tua juga berkewajiban untuk mendidik anak dengan mengembangkan potensi diri sang anak dalam berbagai aspek dan lini kehidupan, yang pada akhirnya anak diharapkan mempunyai kepribadian yang baik dan sempurna, baik dalam wujud dirinya secara individu sebagai hamba Allah maupun dalam keberadannya sebagai makhluk sosial. 2. Lingkungan Sekolah a. Cikal Bakal Sekolah Sekolah adalah salah satu institusi yang memegang peranan penting dalam proses pendidikan. Karena di sekolah berlangsung proses belajar dan mengajar; mentransformasikan ilmu, menanamkan nilai-nilai dan upaya mengaplikasikannya (mencakup aspek kognitif, afektif dan psikomor). Sekolah sebagai sebuah 268 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 lembaga pendidikan Islam, pada zaman Rasulullah Saw. diawali dari masjid Nabawi, yang merupkan pusat pembangunan umat. Itu dilakukan semenjak Rasul hijrah ke Madinah. Waktu periode Makah pendidikan berlansung secara diandiam, dari rumah ke rumah. Rasulullah menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat dengan mengambil tempat di rumah Arqam bin al-Arqam. Rasul mengjarkan ajaran Islam kepada para sahabat dengan membaca ayat-ayat alQur’an yang telah diturunkan Allah SWT kepadanya secara bertahap (Ali al– Jumbulati, 2002: 7). Rasulullah Saw. mempunayi sudut pandang yang tajam dan jauh ke depan. Untuk kepentingan pendidikan umat dibutuhkan sarana dan para sarana yang memadai. Nampaknya inilah di antara hal-hal yang melatarbelakangi pemikiran Rasul menempatkan pembangunan masjid pada skala perioritas pertama pada awal keberadaannya di Madinah. Rasulullah telah menemukan tempat untuk membangun masjid, yaitu di tempat ontanya berhenti pertama. Tanah itu dibeli oleh Rasulullah dari dua orang anak yatim yang menjadi pemiliknya. Rasul tidak hanya memerintahkan membangun masjid, tetapi ia turun langsung bekerja dalam pembanguna masjid itu, memindahkan dan mengangkat bata dan bebatuan dengan tangan sendiri (Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfury, 2006: 247). Di masjid inilah Rasulullah melaksanakan berbagai aktivitas pembinaan dan pendidikan umat. Di masjid ini disediakan ruang khusus untuk pendidikan yang disebut dengan “suffah”. Ini dapat disebut sebagai “perguruan interen yang pertama kali dalan Islam”. Sebab tempat ini juga dipakai sebagai “asrama” pelajar yang tidak mampu (Azzami,1994: 83). Di masjidlah dilaksanakan kegiatan belajar dan mengajar untuk anak-anak dan orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, dengan guru utamanya adalah Rasulullah Saw. Adakalanya pekarangan masjid dipakai untuk tempat latihan perang-perangan sebagaimana dilakukan oleh orang Habsyi hingga Rasulullah dan ‘Aisyah sempat memantaunya (Abdurrahman An Nahlawi, 1995: 148). Sebagai guru utama Rasulullah sangat piawai dan bijaksana dalam mendayagunakan semua potensi yang ada untuk kepentingan pendidikan. Rasul menugaskan orang-orang tertentu sebagai tenaga pengajar sesuai dengan potensi dan keahlian yang dimilikinya. Misalnya, Abdullah bin Said bin Al Ash dan ‘Ubadah bin Ash Shamit adalah di antara orang-orang yang ditugaskan oleh Rasulullah untuk mengajar menulis dan membaca (Azzami,1994: 83). Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan 269 Di antara kebijakan Rasulullah dalam rangka percepatan peroses belajar menulis dan membaca adalah menjadikan kegiatan belajar dan menulis sebagai tebusan tawanan perang. Menurut Ikrimah, bahwa di antara tebusan perang Badar adalah mengajar tulis menulis kepada anak-anak. Semua kegiatan ini dilaksanakan di masjid, sehingga masjid menjadi central pendidikan, yang di dalamnya terdapat kelompok-kelompok studi yang setara dengan tingkat SMTA sekarang (AnNahlawi, 1995: 149). Demikian penting dan strategisnya peranan masjid sebgai lembaga pendidikan untuk membentuk kepribadian muslim yang mutaqin (insan kamil). Agar pembinan umat berjalan lurus, benar dan membawa manfaat yang sempurna, sejak dari awal Allah SWT telah memberikan sebuah penegasan, bahwa masjid yang akan dijadikan pusat pembinaan atau pusat pendidikan umat adalah masjid yang dibangun berdasarkan ketakwaan kepada Allah SWT. Dan Allah melarang penggunaan masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik yang bukan berdasarkan ketakwaan kepada Allah SWT (Qs. At-Taubah, 9: 107-110). Dengan menjadikan mesjid sebagai pusat pendidikan, ini adalah sebuah konsep yang sangat baik. Karena masjid mempunyai muatan nilai ‘ubudiyah dan uluhiyah yang sangat kental, dengan adanya kondisi lembaga dan suasana pendidikan yang demikian akan dapat membentuk kepribadian muttaqin. Pada tahun kedua Hijrah kegiatan belajar dan mengajar selain bertempat di masjid Nabawi juga telah ada tempat-tempat lain yang digunakan sebagai madrasah, seperti dikenal adanya tempat yang disebut “Darul Qura” (rumah pembaca Al Qur’an), yaitu rumah milik Makrimah bin Naufal (Azzami, 1994: 85). Pada masa pemerintahanUmar bin Khathab, penggunaan masjid sebagai tempat pendidikan mulai ditata sedemikian rupa. Ia membangun tempat khusus untuk pendidikan anak-anak di sudut-sudut masjid. Pada hari Jumat kegiatan pendidikan diliburkan, karena harus mempersiapkan untuk shalat jumat. Tradisi ini masih dipakai sampai sekarang (An-Nahlawi, 1995: 149). Kegiatan pendidikan tidak hanya terpusat di Madinah semata, tetapi Rasulullah juga telah mengirim sahabat-sahabatnya ke berbagai daerah untuk mengajarkan Islam. Pada tahun ke 3 H. datang kepada Rasulullah rombongan dari ‘Adhal dan al-Qarah, mereka meminta kepada Rasulullah agar diberi guru untuk mengajarkan al-Qur’an dan syari’at Islam. Permintaan mereka dipenuhi oleh Rasullah dengan mengirimkan enam orang guru. Pada tahun 4 Hijrah Rasul juga menerima permintaan yang sama, Rasul mengirim tujuh puluh orang guru dari golongan Anshar. Setelah masa futuhul Makah, Rasulullah menugaskan Mu’az bin 270 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 Jabal untuk tetap tinggal di Makah guna mengajarkan Islam kepada penduduk Makkah. Demikianlah cikal bakal sekolah (madrasah) yang sudah diletakan dasarnya oleh Rasulullah Saw. dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in. Dan sekolah (madrasah) dalam wujud sebuah lembaga pendidikan Islam baru muncul pada abad ke 5 H./11 M. Madrasah pertama berdiri adalah Madrasah Nizamiyyah, pada tahun 457 H didirikan oleh Nizam al-Muluk (Maksum, 1999: 60). b. Peranan Sekolah dalam Pendidikan Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah perpanjangan tangan dari keluarga (orang tua) yang bertanggung jawab langsung terhadap pendidkan anaknya, sekaligus sebagai jembatan penghubung antara keluarga dan masyarakat (Hasbullah, 2005: 46). Di dalam keluarga penanggung jawab pendidikan adalah orang tua, dan di sekolah yang menjadi penanggung jawab utamanya adalah guru. Ia berkewajiban merencanakan program pengajaran, melaksanakan, mengontrol dan mengadakan evaluasi pengajaran. Sesuai dengan perkembangan zaman yang ditandai dengan perobahan, maka guru tidak boleh kering dari informasi, karenanya guru tidak hanya mengajar, tetapi juga harus belajar, sebagai mana yang telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW: () ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ Artinya: “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai liang lahat. (Mutafaqun alaih) Hadis di atas selain memerintahkan untuk menuntut ilmu seumur hidup, juga mengisyaratkan bahwa ilmu itu selalu berkembang. Karena itu, seorang guru harus dapat mengikuti perkembang, agar dalam menjalan tugasnya, ia dapat menyesuaikan dengan perkembangan tersebut dan dapat memberikan informasi yang baru dan akurat kepada muridnya. Seorang guru tidak pantas dan juga tidak etis untuk menyampaikan sesuatu ilmu yang tidak dia kuasai. Karena hal yang demikian akan menyesatkan orang lain. Dan semua yang ia lakukan akan dipertanggung jawabkan bukan hanya kepada manusia, tetapi kepada Allah (Q.S. Isra’, 17:36). Seorang guru tidak hanya berkewajban menyampaikan informasi kepada muridnya, tetapi ia juga dituntut untuk membentuk kepribadian muridnya. Masalah kepribadian tidak hanya semata masalah ilmu, yang berhubungan dengan intelek (akal), tetapi sudah menyentuh aspek jiwa. Karenanya dibutuhkan sebuah 271 Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan motivasi yang jelas untuk seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Dalam menjalankan tugas kependidikan, seorang guru harus didasari niat yang ikhlas dalam bingkai ibadah kepada Allah, untuk mencerdaskan dan membentuk kepribadian muridnya menjadi pribadi yang muttaqin. Dari Amirul Mukmin Abi Hafash Umar bin Khathab ia berkata: ( ) Artinya: “Aku mendengar Rasulullah Saw. berkata: ”Sesungguhnya setiap amal perbuatan tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi tiap-tiap orang apa yang ia niatkan”.( H.R. Bukhari dan Muslim) Berkaiatan dengan motivasi dan landasan spritual keilmuan, Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ad Darimy dari Abdullah bin Abdirrahman, ia berkata: ( ) “Tidaklah ada bagi seorang yang menuntut ilmu karena semata-mata kepentingan dunia kecuali Allah haramkan baginya bau sorga pada hari kiamat.”(H.R. Ad Daarimy) Secara eksplisit, Rasulullah Saw. melalui hadis tersebut memberikan bimbing yang sangat jelas tentang motivasi dan landasan spritual keilmuan. Tegasnya pelaksanaan pendidkan harus dimulai dari motivasi dan niat yang jelas karena Allah semata-mata. Tugas pengajaran dan pendidikan dalam Islam, terdapat dalam kandungan surat Ali ‘Imraan, 3:110. Ayat ini mengandung makna pendidikan, karena menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar adalah satu fungsi dari pendidikan. Dalam tataran pelaksanaan komunikasi mempunyai peranan signifikan,sebagaiaman yang dinyatakan Rasulullah dalaim hadis yang dari Abi Kabsyah ia berkata: ( : ) : 272 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 Artinya: ”Aku mendengar Abdullah bin Umar berkata: Aku mendengar Rasulullah Saw. “Sampaikan olehmu dari aku walaupun satu ayat”. (H.R. Ad Daarimy) Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dipahami bahwa guru mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam proses pendidikan di sekolah. Karena itu guru harus menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan, mempunyai motivasi, menguasai metode pengajaran dan dapat mengkumunikasikan dengan baik,tepat dan benar. 3. Peranan Masyarakat sebagai Lingkungan Pendidikan Masyarakat adalah merupakan pengejawantahan dari individu-individu. Tidak mungkin masyarakat eksis tanpa keberadaan individu. Setiap individu mempunyai kebutuhan sendiri-sendiri. Kebutuhan itu mustahil dapat terpenuhi tanpa melibatkan orang lain. Adanya saling ketergantungan inilah yang mengokohkan keberadaan masyarakat. Menurut Murthadha Muthahhari (2002: 267), masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum yang sama dan hidup bersama. Masyarakat, menurut Quraish Shihab (1998: 39) adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar yang terikat oleh satuan, adat, situs atau hukum khas dan hidup bersama. Keberadaan masyarakat sebagai perwujudan dari semangat dan jiwa individu yang saling membutuhkan dan bekerja sama dalam mencapai tujuan kehidupannya adalah suatu realita alamiah yang tidak terbantahkan. Dalam surat al-Hujurat, 49: 13, Allah menjelaskan prinsip dasar hubungan masyarakat yang dibangun di atas dasar kesetaraan antara satu individu dengan individu yang lain, antara suku dengan suku dan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Mereka hanya akan dibedakan dari psiko-moral yang mereka miliki, yang diujudkan dalam bentuk kepatuhan mereka pada-Nya. Berangkat dari keberadaan masyarakat, dapat dipastikan bahwa tidak seorangpun dan tidak ada satu sisipun dari kehidupan manusia yang bisa terelepas dari kehidupan masyarakat. Demikian juga halnya dengan pendidikan, tidak mungkin dipisahkan dari masyarakat. Karena semua orang yang terlibat dalam pendidikan, baik peserta didik, pendidik, maupun orang-orang yang berperan dalam mempersiapkan sarana dan prasarana dari pendidikan itu adalah anggota masyarakat. Produk yang dihasilkan oleh penddikan itu juga digunakan untuk dan oleh masyarakat. Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan 273 Demikian eratnya kaitan antara pendidikan dan masyarakat sebagai lingkungannya, maka peranan dan tanggung jawab masyarakat terhadap kelangsungan dan keberhasilan pendidikan adalah suatu keniscayaan. Firman Allah dalam surat Ali ‘Imraan, 3: 104 menjelaskan peranan masyarakat dalam menciptakan ketenangan dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat dengan cara mengajak untuk kebaikan dan menyuruh kepada yang ma’ruf serta mencegah dari perbuatan mungkar. Tindakan yang demikian adalah cerminan jiwa sosial dan merupakan peranan pendidikan yang harus diemban oleh anggota masyarakat. Dalam hal ini kebersamaam dan saling tolong melong dalam kebaikan dan ketakwaan menjadi kata kunci bagi terwujudnya peranan masyarakat dalam pendidkan (Q.S. Al-Maidah,5:2). Sesungguhnya al-Qur’an menampilkan ajaran untuk bekerja sama dan tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan bersamaan dengan larangan untuk tidak bekerja sama dalam hal permusuhan dan berbuat dosa. Ini adalah sebuah metode al-Qur’an dalam memberikan sebuah pembelajaran dan penyadaran kepada masyarakat untuk dapat melihat dan menyadari bahwa kebaikan dan ketakwaan dengan dosa dan permusuhan itu dua hal yang berlawan, dan tidak ada kata kompromi. Kerja sama dalam konteks pendidikan dapat dilakukan dalam interen lembaga pendidikan ataupun dalam masyarakat secara umum. Salah satu bentuk kerja sama yang sarat nuansa pendidikan di tengah-tengah masyarakat saat ini adalah bagaimana masyarakat dapat menggalang kerja sama menyelamatkan generasi muda dari musuh bersama yang bernama narkoba. Di sini peranan masyarakat menjadi suatu hal yang sangat penting. Sabda Rasulullah Saw: Artinya:”Kamu melihat kaum mukninin di dalam saling mengasihi dan menyayangi, seperti halnya tubuh. Jika salah satu anggota tubuh mengeluh sakit, maka anggota tubuh yang lain turut demam dan tidak tidur”. (H.R. Bukhari ) Semakin jelaslah posisi masyarakat dalam hal kaitannya dengan pendidikan. Pada satu sisi masyarakat membutuhkan pendiddikan, baik untuk mendaptkan pendidikan atau pun memanfatkan hasil pendidikan. Pada sisi lain masyarakat punya peluang yang sangat besar dan diharapkan untuk memainkan peranan dalam pendidikan. 274 At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012 C. Penutup Dari paparan di atas dapat diambil beberapa disimpulkan. Pertama, jika pendidikan di lihat dari lingkungannya, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu kelarga, sekolah, dan masyarakat. Masing-masing memiliki peranan dan pengaruh tersendiri terhadap pendidikan. Seyogyanya ketiganya berjalan secara integral dalam mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki manusia secara utuh. Kedua, di antara ketiga lingkungan tersebut, lingkungan keluarga menempati posisi yang paling pertama dan utama. Sebab, keluarga merupakan lingkungan pertama yang ditemui oleh setiap anak. Dalam keluarga ini, ayah dan ibu sebagai guru pertama dan utama bagi anak. Oleh karenanya, ayah dan ibu sebagai orang tua memiliki peranan dan tanggung jawab yang besar dalam mendidik anak-anaknya. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tugas dan tanggungjawab orang tua yaitu mempersiapkan/pembentukan keluarga yang dimulai dari pencarian jodoh dengan mengutamakan agamanya, mempersiapkan generasi yang fitri dimulai masa prakonsepsi seperti memakan makanan yang halal, dan memberikan pendidikan kepada anak seperti menanamkan tauhid semenjak ia lahir. Ketiga, pada dasarnya sekolah (madrasah) telah terbentuk sejak Rasulullah SAW. Namun sekolah tersebut tidak se-formal sekolah yang ditemukan hari ini. Dalam sekolah tersebut, yang berperan utama adalah guru. Sekolah ini merupakan lingkungan lanjutan dari lingkungan keluarga yang diharapkan mampu membantu lingkungan keluarga dalam menumbuh kembangkan berbagai potensi yang dimiliki oleh anak. Keempat, masyarakat juga menjadi lingkungan pendidikan yang memiliki peranan penting. Masyarakat tersebut diharapkan mampu mengawal perkembangan potensi anak, sesuai dengan apa yang ia temukan di lingkungan keluarga dan sekolah yang ideal. Masyarakat mesti mampu mengkondisikan suasana lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Penulis ; Murkilim, M.Ag adalah Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Bengkulu Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan 275 Daftar Pustaka Abdurrahman, Jamal, Cara Nabi Menyiapkan Generasi, Surabaya: eLBA, 2006 Daradjat, Zakiah [et. al], Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. kelima, 2004 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Pertsada, 2005 al–Jumbulati, Ali, Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta: Aneka Cipta, 2002 Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologis, Filasafat dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003 Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999 al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyurrahman, Ar-Rahiiq al-Makhtuul, pen. Kathur Suhardi, Jakarta: Al-Kautsar, 2006 Muthahhari, Murthadha, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya, terj. Ilyas Hasan, dari Man and Universe, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2002 An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press, 1995 Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir al-Misbah, vol. 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002 ________, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998 Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam Bandung; Remaja Rosda Karya, 2004