21-murkilim-analisis-filosofis-terhadap-lingkungan

advertisement
258
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
ANALISIS FILOSOFIS TERHADAP LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Murkilim
Abstract: Environmental education plays an important role in determining
the success or failure of the educational process undertaken to achieve the
desired goal.Environmental education starts from the family, school to
community. All three must act and in accordance with the characteristics of
Islamic education I self so that the desired educational goals can be
achieved effectively. Therefore, families, schools and communities
must understand the role and duties of each increating a conducive
atmosphere and Islamic education. Tasks and roles that can be
formulated based on cues contained in the Qur'an and the Hadith to be
analyzed filosifis resulting concepts that address the challenges and needs.
Kata kunci: pendidikan, lingkungan
A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk abdi Allah (Qs. adz-Dzaariyaat, 51: 56), dengan
fungsi sebagai khalifatullah (Qs. al-Baqarah, 2: 30) di muka bumi, yang
diciptakan-Nya dengan sebaik-baik kejadian (Qs. at-Tiin, 95: 4), mempunyai
potensi-potensi yang dapat dikembangkan untuk mencapai kesempurnaan
hidupnya. Keberhasilan manusia dalam mengemban amanat dan misi kekhalifahan
itu berkaitan erat dengan perkembangan potensi diri yang dimilikinya. Bila potensi
dirinya berkembang dengan baik, selaras dan seimbang, manusia akan dapat
mencapai hasil maksimal dalam pelaksanaan tugas kekhalifahannya. Potensi diri
manusia itu akan berkembang dengan baik dan dapat menunjukan eksistensi
dirinya sebagai hamba Allah dan pemegang amanat khalifatullah di muka bumi
melalui proses pendidikan. Dengan pendidikan manusia akan dapat mengembang
potensi dirinya secara maksimal dan sangat memungkinkan untuk mencapai tujuan
dalam perjalanan hidup dan kehidupannya, yang pada akhirnya harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT.
Pendidikan, sejalan dengan keberadaan manusia sebagai abdi Allah yang
berwatak sosial tidak dapat dilepaskan dari lingkungan di mana ia berada. Tetapi
ini tidak dapat dimaknai bahwa manusia itu menjadi hamba kepada lingkungan,
seperti pendapat ahli-ahli behaviorisme. Lingkungan berperan dalam pembentukan
tingkah laku seseorang, tetapi Al-Qur’an tidak menganggapnya sebagai satusatunya faktor (Hasan Langgulung, 2004: 67).
258
Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan
259
Adalah sebuah realitas, bahwa pendidikan berlangsung dalam lingkungan
yang berlapis. Lapisan pertama adalah lingkungan keluarga, di bawah kendali ayah
dan ibu yang berperan sebagai guru pertama dan utama. Lapisan kedua adalah
sekolah baik formal maupun non formal, yang merupakan perpanjangan dari
lingkungan keluarga, dan lapisan ketiga adalah lingkungan masyarakat di mana
seseorang itu berada.
Tulisan ini, mengangkatkan tema “Analisis Filosofis terhadap Lingkungan
Pendidikan”,
dengan
penekanan
masalahnya
adalah
bagaimana
peranan
lingkungan terhadap pendidikan; peranan orang tua, sekolah dan masyarakat.
Pengkajian dilakukan dengan pendekatan analisis filosofis terhadap lingkungan
pendidikan yang didasarkan kepada nash al-Qur’an dan as-Sunnah.
B. Lingkungan Pendidikan
Menurut Zakiah Daradjat (2004: 63-4), lingkungan ialah segala sesuatu
yang tampak dan terdapat dalam alam kehidupan yang senantiasa berkembang. Ia
adalah seluruh yang ada , baik manusia maupun benda buatan manusia, atau alam
yang bergerak atau tidak bergerak, kejadian-kejadian atau hal-hal yang
mempunyai hubungan dengan seseorang. Kualitas hubungan seseorang dengan
lingkungannya menentukan pengaruh pendidikan yang dapat diserapnya.
Lingkungan tidak selamanya memberikan nilai positif, terkadang lingkungan juga
menimbulkan kerusakan.
Pada bahagian pendahuluan telah disinggung bahwa dalam fakta dan
realitas pendidikan berada dalam tiga lingkungan. Pertama, lingkungan keluarga
atau rumah tangga. Dalam lingkungan keluarga kendali pendidikan ada pada kedua
orang tua, yang memegang peranan penting dan strategis, baik dan buruknya suatu
keluarga bergantung kepada bapak sebagai pimpinan keluarga dan ibu pimpinan
dalam rumah tangga.
Kedua, adalah lingkungan sekolah. Sekolah sebagai suatu system terdiri
dari beberapa komponen yang mempunyai fungsi dan peranan sendiri-sendiri,
namun antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Dalam hal ini,
menyangkut dengan proses belajar dan mengajar guru memegang peranan utama,
tentunya dengan tidak menafikan peranan dan fungsi komponen lainnya.
260
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
Ketiga, adalah lingkungan masyarakat, yang juga mempunyai peranan
yang tidak kalah pentingnya dari dua lingkungan terdahulu. Masyarakat yang baik
akan memberikan konstribusi positif terhadap pendidikan yang berada dalam
lingkungannya. Sebaliknya, juga suatu hal yang pasti bahwa masyarakat yang
rusak akan berpengaruh secara negatif terhadap dunia pendidikan, baik terhadap
peserta didik maupun kepada lembaga pendidikan (Zakiah, 2004: 64-83). Untuk
melihat peranan masing-masing lingkungan tersebut terhadap pendidikan, berikut
ini akan dibahas peranan keluaraga, sekolah dan masyarakat terhadap pendidikan.
1. Peranan Keluarga sebagai Lingkungan terhadap
Pendidikan
Keluarga adalah unit terkecil dalam struktur kemasyarakatan, yang
anggotanya terdiri dari ayah, ibu dan anak sebagai anggota inti. Bila dihubungkan
dengan pendidikan, keluarga adalah unit pertama dan utama dari lingkungan
pendidikan. Keluarga merupakan masyarakat alamiah yang pergaulan di antara
anggotanya bersifat khas. Dalam lingkungan ini terletak dasar-dasar pendidikan.
Di sini pendidikan berlangsung dengan sendirinya sesuai dengan tatanan pergaulan
yang berlaku di dalamnya. Dari ayat al-Qur’an dapat dipahami bahwa ayah dan ibu
adalah pendidik pertama dan utama yang bertanggung jawab terhadap pendidikan
anaknya.
Dalam surat at-Tahrim, 66 ayat 6 dapat dipahami bahwa Allah SWT
memerintahkan kepada setiap pribadi untuk menyelamatkan diri dan keluarganya
dari azab neraka. Perintah dalam ayat tersebut bersifat umum, termasuk di
dalamnya perintah menyelamatkan (mendidik) anak sebagai anggota inti dari
keluarga, yang berada dalam tanggung jawab orang tua. Ini berarti kedua orang tua
bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing
sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas kelakuannya (M. Quraish
Shihab, 2002: 327). Dimaksudkan dengan (‫“ )أﻧﻔﺴﻜﻢ‬dirimu” dalam ayat itu adalah
ayah dan ibu, dan yang dimaksudkan dengan kata (‫ )أھﻠﻜﻢ‬keluargamu adalah
anggota keluarga yang utama adalah anak (Ahmad Tafsir, 2004: 74). Dilihat dari
perspektif pendidikan ayat di atas menggambarkan bahwa dakwah dan pendidkan
harus bermula dari rumah.
Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan
261
Ayah dan ibu sebagaimana dipahami dari ayat di atas adalah sebagai
pendidik pertama dan utama mempunyai peran yang sangat penting dan strategis
dalam pendidikan anak-anaknya. Kualitas diri dan kepribadian seorang anak
sebagai peserta didik dalam lingkungan keluarga sangat terkait dengan pola dan
sikap kedua orang tuanya sebgai pendidik. Demikian penting dan strategisnya
peranan orang tua sebagai pendidik terhadap pendidikan anaknya, sehingga
Rasulullah saw bersabda:
:
Artinya: “Sesungguhnya berkata Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: Tiada
seorang bayi pun dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah. Kedua
orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”
(H.R.Bukhari)
Mendidik anak adalah kewajiban utama orang tua sebagai bentuk
pemuliaan anak. Karenanya pendidikan yang diberikan orang tua mempunyai arti
yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak untuk
mencapai pribadi yang sempurna (insan kamil). Sabda Rasulullah SAW:
“Muliakanlah anak-anakmu dan berikanlah kepada mereka pendidikan yang
baik”. (H.R. Muslim dan Ibn Majah)
Mendidik anak adalah kewajiban orang tua. Pertanyaan yang menyertainya
adalah kapan orang tua harus memulai proses pendidikan terhadap anak itu? Untuk
menjawab pertanyaan tersebut perlu dikaji hal-hal yang mendahului kehadiran
anak dalam suatu keluarga, yang merupakan proses dari pembentukan keluarga.
a. Pembentukan Keluarga sebagai Lembaga Pendidikan
Dalam Islam, orang baru dapat disebut sebagai suatu keluarga setelah
melalui pintu pernikahan. Tanpa pernikahan tidak akan pernah ada keluarga.
Pernikahan adalah suatu hal yang suci dan merupakan salah satu dari dimensi
262
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
ibadah. Pernikahan adalah pintu masuk untuk membentuk keluarga dan sekaligus
lembaga pendidikan bagi anak.
Pernikahan yang dengannya terbentuk keluarga menyebabkan terjadinya
perubahan status hukum dan struktur keluarga serta terbentuknya relasi sosial yang
sarat dengan nilai etika dan moral. Pernikahan merubah status dari seorang bujang
dan gadis atau janda dan duda menjadi pasangan suami dan isteri yang disebut
keluarga. Dan menghalalkan hubungan suami isteri yang sebelum akad nikah
haram untuk dilakukan. Pada sisi lain terjadi perubahan hukum dari halal kepada
haram. Setelah akad nikah haram bagi sesorang laki-laki menikah dengan seorang
perempuan yang melahirkan isterinya (ibu mertua) dan yang dilahirkan oleh
isterinya (anak tiri), yang pada mulanya halal untuk dinikahinya.
Pernikahan yang menyebabkan perubahan status hukum itu melahirkan
sebuah lembaga yang disebut lembaga keluarga atau rumah tangga, sebagai salah
satu pilar dari kehidupan sosial, dan di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan
yang sangat penting dalam membentuk tatanan nilai kemanusiaan dan
kemasyarakatan (Qs. an Nahl, 16: 72, an-Nisa, 4: 1 dan surat ar-Ruum, 30: 21).
Perwujudan keluarga sebagai lembaga pendidikan harus diawali dari suatu
proses yang sah, baik dan benar. Karenanya Rasulullah Saw. memerintahkan
kepada para pemuda yang sudah mempunyai istitha’ah untuk segera menikah.
Bagi yang belum mempunyai istithaah hendaklah mendidik nafsunya dengan
melakukan puasa. Perintah Rasul kepada pemuda yang mempunyai istitha’ah
untuk menikah menunjukan kepedulian Rasulullah yang sangat intens terhadap
berbagai problematika kehidupan umatnya. Hal ini juga menunjukkan bahwa
Rasulullah SAW sangat memahami pertumbuhan dan perkembangan psikologis
pemuda, dan sekaligus ia juga menangkap nuansa sosiologis. Karena dengan
pernikahan akan tercipta keluarga yang berbasis agama sebagai pilar masyarakat
madani.
Berkaitan dengan perintah untuk menikah yang disampaikan kepada para
pemuda itu, Rasul juga memberikan bimbingan dalam memilih dan menentukan
jodoh.
(
:
)
Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan
263
“Dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. Ia berkata: “Wanita itu dinikahi karena
empat faktor: Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan
karena agamanya. Maka utamakanlah karena agamanya, niscaya engkau
bahagia.” (H.R.Muslim)
Dalam tataran realitas kehidupan, apa yang diungkapkan oleh Rasulullah
tentang faktor-faktor yang menjadi dasar pilihan bagi seseorang dalam
menentukan jodoh yang akan dinikahinya adalah suatu hal yang faktual.
Permasalahannya terletak pada tataran operasionalnya, di mana faktor yang
dominan menjadi pilihan adalah faktor satu sampai tiga ketimbang faktor keempat,
yang direkomendasikan oleh Rasulullah Saw. untuk dijadikan faktor utama.
Pada prinsipnya segala sesuatu yang disampaikan Allah SWT. melalui alQur’an dan Sunnah Rasulul-Nya, baik dalam bentuk perintah, larangan maupun
anjuran adalah untuk kepentingan, keselamatan dan kebahagiaan manusia. Begitu
juga dengan masalah pernikahan dalam membentuk keluarga dan kaitannya
dengan pendidikan, secara umum adalah untuk mewujudkan tatanan masyarakat
yang harmonis, dan pada khususnya untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang
selamat, damai dan bahagia.
Anak yang lahir, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga yang
diikat dengan tali pernikahan, dan dilaksanakan sesuai dengan hukum-hukum dan
nilai-nilai Islam, ia berada dalam lingkungan pendidikan yang sarat dengan nilainilai ilahiyah. Kondisi yang demikian sangat memungkinkan terjadinya
pertumbuhan dan perkembangan potensi diri anak kearah yang lebih baik dan lebih
sempurna. Dalam tatanan keluarga yang demikian akan terjadi suatu proses
pendidikan secara simultan antara transfer ilmu dan trasformasi nilai-nilai yang
rabbani kepada anak dari orang tua sebagai sebuah kewajiban utamanya. Melalui
pernikahan sah yang diatur dengan sistem yang baik dan benar serta
menumbuhkembangkan nilai-nilai Islami berarti orang tua telah mengawali
pelaksanaan kewajibannya sebagai pendidik dan sekaligus telah berperan aktif
dalam mempersiapkan lingkungan pendidikan yang kondusif dan islami.
b. Mempersiapkan Generasi yang Fitri
Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan-Nya dengan sebaik-baik
kejadian. Terdiri dari dua unsur; pertama, unsur jasmani, tubuh yang lahir, yang
berasal dari materi (Qs. as-Sajadah, 32: 7-9), yang tercipta dengan penuh
264
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
keseimbangan. Antara satu komponen dengan komponen lainnya saling berkaitan
namun masing-masingnya mempunyai fungsi tersendiri. Unsur jasmani disebut
alam khalq (ciptaan). Kedua, unsur ruhani, tubuh yang batin, keberadaannya tidak
dapat disaksikan secara kasat mata, namun dapat dirasakan. Ruhani ini disebut
dengan alam amr (alam perintah).
Terkait dengan masalah penciptaan manusia, secara spesifik Allah
memberikan perintah kepada manusia agar melakukan pengkajian atau penelitian
terhadap asal kejadiannya (Qs. Ath Thariq, 86: 5-7). Pada bagian lain Allah SWT.
memerintahkan supaya manusia juga melakukan pengkajian terhadap makanan
yang ia makan (Qs.’Abasa, 80: 24).
Kedua perintah Allah tersebut di atas bila dilihat secara terpisah seakanakan tidak punya titik singgung. Tetapi jika dilihat konstruksi, penciptaan
manusia, kedua ayat itu mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Manusia
diciptakan dari mani, sedangkan mani dihasilkan dari makanan yang dimakan oleh
manusia. Apabila makanan yang dimakan oleh manusia berasal dari hal yang baik
dan halal, produk turunan berupa mani juga akan berkualitas baik pula. Untuk
terciptanya kualitas mani yang baik, Allah telah memerintahkan kepada manusia
supaya mengkonsumsi makanan yang halal dan baik (Qs. al-Baqarah, 2: 168 dan
al-Maidah, 5: 88)
Ayat-ayat tersebut di atas mengandung tiga pertintah Allah kepada
manusia; Pertama, perintah supaya manusia memperhatikan dan melakukan
pengkajian yang sungguh-sungguh tentang asal kajadiannya. Kedua, perintah agar
manusia juga melakukan pengkajian terhadap makan yang dimakannya. Dan
ketiga, perintah supaya manusia mengkonsumsi makan yang halal dan baik. Di
antara sasaran yang hendak dicapai dengan ketiga perintah Allah tersebut adalah
terwujudnya generasi yang baik dan unggul melalui penyiapan asal kejadian
manusia yang berasal dari sumber-sumber makan yang halal dan baik. Dari makan
yang halal dan baik akan dihasilkan mani yang berkualiatas baik dan suci. Pada
waktunya melalui pernikahan dan jalinan cinta sejati, mani yang berasal dari ayah
dan ibu (sperma dan ovum) bersatu dalam rahim bunda, yang dalam al-Qur’an
disebut nuthfah (Lihat Q.S. 22: 5, 23: 13, 14, 75 : 37, 76: 2, 53: 46, 40: 67, 35: 11,
36: 77, 80: 19), dari nuthfah diproses menjadi ‘alaqah, dan selanjutnya menjadi
mudhgah. Setelah melalui proses sesuai dengan ketentuan hukum-hukum yang
telah ditentukan Allah SWT., terciptalah wujud fisik manusia, yang kemudian
Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan
265
ditiupkan atau dimasukan ke dalamnya ruh ciptaan Allah SWT. Ketiga perintah ini
merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi dalam upaya mempersiapkan
generasi yang fitri. Itu adalah kewajiban orang tua yang bertanggung jawab
terhadap kualitas diri dan pendidikan anak-anaknya.
Ketika ruh sudah dimasukkan ke dalam jasad, maka jasad yang tercipta
dari materi yang halal dan baik menjadi lingkungan bagi ruh, dan ruh yang suci
membawa fitrah tauhid memberikan kehidupan kepada jasad. Inilah wujud
manusia yang merupa-kan “perpaduan” antara jasad dengan ruh secara seimbang
dan penuh keindahan dalam bingkai tauhid. Dilihat dari perspektif kasab dan
ikhtiar, ini adalah hasil dari kerja keras orang tua, yang hidup dengan tunduk dan
patuh terhadap hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya, semenjak dari menentukan
jodoh, menikah, hidup berumah tangga dengan menyediakan kebutuhan hidup dan
mengkonsumsi makanan yang halal dan baik.
c. Memberikan Pendidikan
Orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anank-anaknya. Bagaimana
perkembangan anak ke depan, sangat erat kaitannya dengan pola hidup dan corak
pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya. Sebagaimana yang dinyatakan
Rasulullah Saw. yang hadisnya telah dikutip pada bagian terdahulu, pada dasarnya
anak dilahirkan dalam fitrah, bertuhan kepada Allah SWT. Secara eksplisit Allah
mengungkapkan tentang fitrah beragama bagi manusia dalam surat ar-Ruum, 30:
30.
Ayat di atas menuntun manusia untuk hidup beragama secara teguh dan
utuh. Karena beragama itu adalah fitrah yang telah diciptakan Allah untuk
manusia. Esensi dari fitrah itu adalah hidup bertuhan kepada Allah Yang Maha Esa
(bertauhid) dan tidak dapat diganti. Dengan kata lain, bila seseorang dalam
menjalani kehidupannya keluar dari ajaran tauhid, itu berarti kehancuran untuk
dirinya. Menyimpang atau tidaknya anak dari fitrahnya, itu menjadi tanggung
jawab kedua orang tuanya. Perkembangan selanjutnya tergantung kepada
pendidikan yang diberikan orang tuanya. Orang tualah yang bertanggung jawab
mendidik
anaknya
untuk
dapat
mempertahankan,
mengfungsikan fitrah tauhid yang ada pada anaknya.
mengembangan
dan
266
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
Tauhid adalah ruh kehidupan. Hidup tanpa tauhid akan kehilangan makna
hakiki dari kehidupan itu. Karenanya materi pendidikan yang pertama dan utama
yang harus ditanamkan pada diri anak adalah tauhid. Ajaran tauhid sebagai jiwa
dari syariat Islam, harus tercermin dalam segala aspek kehidupan muslim. Dalam
tataran aplikasi, Rasulullah Saw. telah memberikan bimbingan, umpamanya,
ketika seseorang akan menentukan jodoh direkomendasikan oleh Rasul
agar
agama dijadikan faktor utama dalam menentukan pilihan. Setelah pilihan
ditentukan, untuk hidup berkeluarga wajib ditempuh proses pernikahan sesuai
dengan hukum syar’i. Lebih lanjut Rasulullah memberikan bimbingan kepada
pasangan suami dan isteri agar terlindung dan terbebas dari pengaruh syaitan,
sebelum menunaikan kewajiban khususnya terlebih dahulu berdo’a kepada Allah:
(‫)ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬
.
“Dengan nama Allah, Ya Allah, jauhakan kami dari (gangguan) syaitan dan
jauhkan syaitan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami” (Muttafaq
‘Allaih)
Setelah anak lahir disunatkan mengazankan dan mengiqamahkan. Dengan
mengazankan
dan
mengiqamahkan
anak
yang
baru
dilahirkan,
berarti
mempertemukan fitrah yang dibawa dari lahir dengan alam relalitas dalam suatu
tatanan nilai tauhid. Ini semua adalah dalam rangka pendidikan tauhid terhadap
anak untuk mempersiapkan dirinya menghadapi masa depan yang akan
dijalaninya.
Untuk mewujudkan generasi yang bertauhid, upaya untuk itu harus
dilakukan sejak dini. Ini dapat dilihat dari cara Rasulullah merespons sikap orang
Thaif yang menolak dakwah Rasul dengan cara perlakuan yang kasar, sehingga
Rasul bersama Zaid bin Haritsah yang mendampingi dan membentenginya luka
berdarah-darah. Dalam keadaan yang demikian Allah mengirim Jibril kepada
Rasul, dengan menawarkan bantuan, kalau Nabi menghendaki gunung
Akhsyabaini akan diratakan untuk menghancurkan masyarakat Thaif yang telah
menolak dan menyakitinya. Rasul justru menjawabnya dengan sebuah do’a
(Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury: 2006: 1733):
267
Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan
)
(
Artinya: “Saya berharap kepada Allah untuk mengeluarkan dari sulbi-sulbi
mereka orang yang beribadah kepada Allah Yang Maha Esa dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun,”(H.R.Bukhari).
Sejalan dengan hadis di atas, Jamal Abdurrahman mengitip hadis
Rasulullah yang diriwayatkan al-Hakim dan Ibn Majah sebagai berikut:
(
)
Artinya: “Pilihlah (tempat yang baik) untuk spermamu, nikahi wanita-wanita yang
sekufu’, dan nikahkan mereka”. (H.R. Al Hakim)
Hadis-hadis di atas, jelas memberikan bimbingan bahwa upaya dan proses
pendidikan tauhid untuk anak tidak hanya setelah anak lahir, tetapi justru jauh
mendahului kelahirannya. Lebih spesifik al-Mubarakfuri (2006: 82) dalam
“Tuhfatul Ahwazi Syarah Jami’it Tirmuzi” sebagaiman yang dikutip oleh Jamal
Abdurrahman, mengungkapkan hadis dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah Saw.
berkata:
“Bukalah (awal) untuk bayimu (ketika lahir) kalimat yang pertama, yaitu kalimat
“La Ilaaha Illallah”, dan tuntun lah ia ketika mati dengan kailmat “La Ilaaha
Illah”.
Orang
tua
juga
berkewajiban
untuk
mendidik
anak
dengan
mengembangkan potensi diri sang anak dalam berbagai aspek dan lini kehidupan,
yang pada akhirnya anak diharapkan mempunyai kepribadian yang baik dan
sempurna,
baik dalam wujud dirinya secara individu sebagai hamba Allah
maupun dalam keberadannya sebagai makhluk sosial.
2. Lingkungan Sekolah
a. Cikal Bakal Sekolah
Sekolah adalah salah satu institusi yang memegang peranan penting dalam
proses pendidikan. Karena di sekolah berlangsung proses belajar dan mengajar;
mentransformasikan ilmu, menanamkan nilai-nilai dan upaya mengaplikasikannya
(mencakup aspek
kognitif, afektif dan psikomor). Sekolah sebagai sebuah
268
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
lembaga pendidikan Islam, pada zaman Rasulullah Saw. diawali dari masjid
Nabawi, yang merupkan pusat pembangunan umat. Itu dilakukan semenjak Rasul
hijrah ke Madinah. Waktu periode Makah pendidikan berlansung secara diandiam, dari rumah ke rumah. Rasulullah menyampaikan ajaran Islam kepada
masyarakat dengan mengambil tempat di rumah Arqam bin al-Arqam. Rasul
mengjarkan ajaran Islam kepada para sahabat dengan membaca ayat-ayat alQur’an yang telah diturunkan Allah SWT kepadanya secara bertahap (Ali al–
Jumbulati, 2002: 7).
Rasulullah Saw. mempunayi sudut pandang yang tajam dan jauh ke depan.
Untuk kepentingan pendidikan umat dibutuhkan sarana dan para sarana yang
memadai. Nampaknya inilah di antara hal-hal yang melatarbelakangi pemikiran
Rasul menempatkan pembangunan masjid pada skala perioritas pertama pada awal
keberadaannya di Madinah. Rasulullah telah menemukan tempat untuk
membangun masjid, yaitu di tempat ontanya berhenti pertama. Tanah itu dibeli
oleh Rasulullah dari dua orang anak yatim yang menjadi pemiliknya. Rasul tidak
hanya memerintahkan membangun masjid, tetapi ia turun langsung bekerja dalam
pembanguna masjid itu, memindahkan dan mengangkat bata dan bebatuan dengan
tangan sendiri (Syaikh Shafiyyurrahman Al Mubarakfury, 2006: 247). Di masjid
inilah Rasulullah melaksanakan berbagai aktivitas pembinaan dan pendidikan
umat. Di masjid ini disediakan ruang khusus untuk pendidikan yang disebut
dengan “suffah”. Ini dapat disebut sebagai “perguruan interen yang pertama kali
dalan Islam”. Sebab tempat ini juga dipakai sebagai “asrama” pelajar yang tidak
mampu (Azzami,1994: 83).
Di masjidlah dilaksanakan kegiatan belajar dan mengajar untuk anak-anak
dan orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, dengan guru utamanya
adalah Rasulullah Saw. Adakalanya pekarangan masjid dipakai untuk tempat
latihan perang-perangan sebagaimana dilakukan oleh orang Habsyi hingga
Rasulullah dan ‘Aisyah sempat memantaunya (Abdurrahman An Nahlawi, 1995:
148).
Sebagai guru utama Rasulullah sangat piawai dan bijaksana dalam
mendayagunakan semua potensi yang ada untuk kepentingan pendidikan. Rasul
menugaskan orang-orang tertentu sebagai tenaga pengajar sesuai dengan potensi
dan keahlian yang dimilikinya. Misalnya, Abdullah bin Said bin Al Ash dan
‘Ubadah bin Ash Shamit adalah di antara orang-orang yang ditugaskan oleh
Rasulullah untuk mengajar menulis dan membaca (Azzami,1994: 83).
Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan
269
Di antara kebijakan Rasulullah dalam rangka percepatan peroses belajar
menulis dan membaca adalah menjadikan kegiatan belajar dan menulis sebagai
tebusan tawanan perang. Menurut Ikrimah, bahwa di antara tebusan perang Badar
adalah mengajar tulis menulis kepada anak-anak. Semua kegiatan ini dilaksanakan
di masjid, sehingga masjid menjadi central pendidikan, yang di dalamnya terdapat
kelompok-kelompok studi yang setara dengan tingkat SMTA sekarang (AnNahlawi, 1995: 149).
Demikian penting dan strategisnya peranan masjid sebgai lembaga
pendidikan untuk membentuk kepribadian muslim yang mutaqin (insan kamil).
Agar pembinan umat berjalan lurus, benar dan membawa manfaat yang sempurna,
sejak dari awal Allah SWT telah memberikan sebuah penegasan, bahwa masjid
yang akan dijadikan pusat pembinaan atau pusat pendidikan umat adalah masjid
yang dibangun berdasarkan ketakwaan kepada Allah SWT. Dan Allah melarang
penggunaan masjid yang dibangun oleh orang-orang munafik yang bukan
berdasarkan ketakwaan kepada Allah SWT (Qs. At-Taubah, 9: 107-110).
Dengan menjadikan mesjid sebagai pusat pendidikan, ini adalah sebuah
konsep yang sangat baik. Karena masjid mempunyai muatan nilai ‘ubudiyah dan
uluhiyah yang sangat kental, dengan adanya kondisi lembaga dan suasana
pendidikan yang demikian akan dapat membentuk kepribadian muttaqin.
Pada tahun kedua Hijrah kegiatan belajar dan mengajar selain bertempat di
masjid Nabawi juga telah ada tempat-tempat lain yang digunakan sebagai
madrasah, seperti dikenal adanya tempat yang disebut “Darul Qura” (rumah
pembaca Al Qur’an), yaitu rumah milik Makrimah bin Naufal (Azzami, 1994: 85).
Pada masa pemerintahanUmar bin Khathab, penggunaan masjid sebagai
tempat pendidikan mulai ditata sedemikian rupa. Ia membangun tempat khusus
untuk pendidikan anak-anak di sudut-sudut masjid. Pada hari Jumat kegiatan
pendidikan diliburkan, karena harus mempersiapkan untuk shalat jumat. Tradisi ini
masih dipakai sampai sekarang (An-Nahlawi, 1995: 149).
Kegiatan pendidikan tidak hanya terpusat di Madinah semata, tetapi
Rasulullah juga telah mengirim sahabat-sahabatnya ke berbagai daerah untuk
mengajarkan Islam. Pada tahun ke 3 H. datang kepada Rasulullah rombongan dari
‘Adhal dan al-Qarah, mereka meminta kepada Rasulullah agar diberi guru untuk
mengajarkan al-Qur’an dan syari’at Islam. Permintaan mereka dipenuhi oleh
Rasullah dengan mengirimkan enam orang guru. Pada tahun 4 Hijrah Rasul juga
menerima permintaan yang sama, Rasul mengirim tujuh puluh orang guru dari
golongan Anshar. Setelah masa futuhul Makah, Rasulullah menugaskan Mu’az bin
270
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
Jabal untuk tetap tinggal di Makah guna mengajarkan Islam kepada penduduk
Makkah.
Demikianlah cikal bakal sekolah (madrasah) yang sudah diletakan
dasarnya oleh Rasulullah Saw. dilanjutkan oleh para sahabat, tabi’in, dan tabi’
tabi’in. Dan sekolah (madrasah) dalam wujud sebuah lembaga pendidikan Islam
baru muncul pada abad ke 5 H./11 M. Madrasah pertama berdiri adalah Madrasah
Nizamiyyah, pada tahun 457 H didirikan oleh Nizam al-Muluk (Maksum, 1999:
60).
b. Peranan Sekolah dalam Pendidikan
Sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah perpanjangan tangan dari
keluarga (orang tua) yang bertanggung jawab langsung terhadap pendidkan
anaknya, sekaligus sebagai jembatan penghubung antara keluarga dan masyarakat
(Hasbullah, 2005: 46). Di dalam keluarga penanggung jawab pendidikan adalah
orang tua, dan di sekolah yang menjadi penanggung jawab utamanya adalah guru.
Ia berkewajiban merencanakan program pengajaran, melaksanakan, mengontrol
dan mengadakan evaluasi pengajaran. Sesuai dengan perkembangan zaman yang
ditandai dengan perobahan, maka guru tidak boleh kering dari informasi,
karenanya guru tidak hanya mengajar, tetapi juga harus belajar, sebagai mana yang
telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW:
(‫) ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬
Artinya: “Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai liang lahat. (Mutafaqun alaih)
Hadis di atas selain memerintahkan untuk menuntut ilmu seumur hidup,
juga mengisyaratkan bahwa ilmu itu selalu berkembang. Karena itu, seorang guru
harus dapat mengikuti perkembang, agar dalam menjalan tugasnya, ia dapat
menyesuaikan dengan perkembangan tersebut dan dapat memberikan informasi
yang baru dan akurat kepada muridnya. Seorang guru tidak pantas dan juga tidak
etis untuk menyampaikan sesuatu ilmu yang tidak dia kuasai. Karena hal yang
demikian akan menyesatkan orang lain. Dan semua yang ia lakukan akan
dipertanggung jawabkan bukan hanya kepada manusia, tetapi kepada Allah (Q.S.
Isra’, 17:36).
Seorang guru tidak hanya berkewajban menyampaikan informasi kepada
muridnya, tetapi ia juga dituntut untuk membentuk kepribadian muridnya.
Masalah kepribadian tidak hanya semata masalah ilmu, yang berhubungan dengan
intelek (akal), tetapi sudah menyentuh aspek jiwa. Karenanya dibutuhkan sebuah
271
Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan
motivasi yang jelas untuk seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Dalam
menjalankan tugas kependidikan, seorang guru harus didasari niat yang ikhlas
dalam bingkai ibadah kepada Allah, untuk mencerdaskan dan membentuk
kepribadian muridnya menjadi pribadi yang muttaqin. Dari Amirul Mukmin Abi
Hafash Umar bin Khathab ia berkata:
(
)
Artinya: “Aku mendengar Rasulullah Saw. berkata: ”Sesungguhnya setiap amal
perbuatan tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi tiap-tiap
orang apa yang ia niatkan”.( H.R. Bukhari dan Muslim)
Berkaiatan dengan motivasi dan landasan spritual keilmuan, Rasulullah
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ad Darimy dari Abdullah bin
Abdirrahman, ia berkata:
(
)
“Tidaklah ada bagi seorang yang menuntut ilmu karena semata-mata
kepentingan dunia kecuali Allah haramkan baginya bau sorga pada hari
kiamat.”(H.R. Ad Daarimy)
Secara eksplisit, Rasulullah Saw. melalui hadis tersebut memberikan
bimbing yang sangat jelas tentang motivasi dan landasan spritual keilmuan.
Tegasnya pelaksanaan pendidkan harus dimulai dari motivasi dan niat yang jelas
karena Allah semata-mata. Tugas pengajaran dan pendidikan dalam Islam, terdapat
dalam kandungan surat Ali ‘Imraan, 3:110.
Ayat ini mengandung makna pendidikan, karena menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang mungkar adalah satu fungsi dari pendidikan.
Dalam
tataran
pelaksanaan
komunikasi
mempunyai
peranan
signifikan,sebagaiaman yang dinyatakan Rasulullah dalaim hadis
yang
dari Abi
Kabsyah ia berkata:
(
:
)
:
272
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
Artinya: ”Aku mendengar Abdullah bin Umar berkata: Aku mendengar
Rasulullah Saw. “Sampaikan olehmu dari aku walaupun satu ayat”.
(H.R. Ad Daarimy)
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dipahami bahwa guru mempunyai
peranan yang sangat signifikan dalam proses pendidikan di sekolah. Karena itu
guru harus menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan, mempunyai motivasi,
menguasai metode pengajaran dan dapat mengkumunikasikan dengan baik,tepat
dan benar.
3. Peranan Masyarakat sebagai Lingkungan Pendidikan
Masyarakat adalah merupakan pengejawantahan dari individu-individu.
Tidak mungkin masyarakat eksis tanpa keberadaan individu. Setiap individu
mempunyai kebutuhan sendiri-sendiri. Kebutuhan itu mustahil dapat terpenuhi
tanpa melibatkan orang lain. Adanya saling ketergantungan inilah yang
mengokohkan keberadaan masyarakat. Menurut Murthadha Muthahhari (2002:
267), masyarakat adalah sekelompok manusia yang terjalin erat karena sistem
tertentu, tradisi tertentu, konvensi dan hukum yang sama dan hidup bersama.
Masyarakat, menurut Quraish Shihab (1998: 39) adalah kumpulan sekian banyak
individu kecil atau besar yang terikat oleh satuan, adat, situs atau hukum khas dan
hidup bersama.
Keberadaan masyarakat sebagai perwujudan dari semangat dan jiwa
individu yang saling membutuhkan dan bekerja sama dalam mencapai tujuan
kehidupannya adalah suatu realita alamiah yang tidak terbantahkan. Dalam surat
al-Hujurat, 49: 13, Allah menjelaskan prinsip dasar hubungan masyarakat yang
dibangun di atas dasar kesetaraan antara satu individu dengan individu yang lain,
antara suku dengan suku dan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Mereka
hanya akan dibedakan dari psiko-moral yang mereka miliki, yang diujudkan dalam
bentuk kepatuhan mereka pada-Nya.
Berangkat dari keberadaan masyarakat, dapat dipastikan bahwa tidak
seorangpun dan tidak ada satu sisipun dari kehidupan manusia yang bisa terelepas
dari kehidupan masyarakat. Demikian juga halnya dengan pendidikan, tidak
mungkin dipisahkan dari masyarakat. Karena semua orang yang terlibat dalam
pendidikan, baik peserta didik, pendidik, maupun orang-orang yang berperan
dalam mempersiapkan sarana dan prasarana dari pendidikan itu adalah anggota
masyarakat. Produk yang dihasilkan oleh penddikan itu juga digunakan untuk dan
oleh masyarakat.
Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan
273
Demikian eratnya kaitan antara pendidikan dan masyarakat sebagai
lingkungannya, maka peranan dan tanggung jawab masyarakat terhadap
kelangsungan dan keberhasilan pendidikan adalah suatu keniscayaan. Firman
Allah dalam surat Ali ‘Imraan, 3: 104 menjelaskan peranan masyarakat dalam
menciptakan ketenangan dan kedamaian dalam hidup bermasyarakat dengan cara
mengajak untuk kebaikan dan menyuruh kepada yang ma’ruf serta mencegah dari
perbuatan mungkar. Tindakan yang demikian adalah cerminan jiwa sosial dan
merupakan peranan pendidikan yang harus diemban oleh anggota masyarakat.
Dalam hal ini kebersamaam dan saling tolong melong dalam kebaikan dan
ketakwaan menjadi kata kunci bagi terwujudnya peranan masyarakat dalam
pendidkan (Q.S. Al-Maidah,5:2).
Sesungguhnya al-Qur’an menampilkan ajaran untuk bekerja sama dan
tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan bersamaan dengan larangan
untuk tidak bekerja sama dalam hal permusuhan dan berbuat dosa. Ini adalah
sebuah metode al-Qur’an dalam memberikan sebuah pembelajaran dan
penyadaran kepada masyarakat untuk dapat melihat dan menyadari bahwa
kebaikan dan ketakwaan dengan dosa dan permusuhan itu dua hal yang berlawan,
dan tidak ada kata kompromi.
Kerja sama dalam konteks pendidikan dapat dilakukan dalam interen
lembaga pendidikan ataupun dalam masyarakat secara umum. Salah satu bentuk
kerja sama yang sarat nuansa pendidikan di tengah-tengah masyarakat saat ini
adalah bagaimana masyarakat dapat menggalang kerja sama menyelamatkan
generasi muda dari musuh bersama yang bernama narkoba. Di sini peranan
masyarakat menjadi suatu hal yang sangat penting. Sabda Rasulullah Saw:
Artinya:”Kamu melihat kaum mukninin di dalam saling mengasihi dan
menyayangi, seperti halnya tubuh. Jika salah satu anggota tubuh
mengeluh sakit, maka anggota tubuh yang lain turut demam dan tidak
tidur”. (H.R. Bukhari )
Semakin jelaslah posisi masyarakat dalam hal kaitannya dengan
pendidikan. Pada satu sisi masyarakat membutuhkan pendiddikan, baik untuk
mendaptkan pendidikan atau pun memanfatkan hasil pendidikan. Pada sisi lain
masyarakat punya peluang yang sangat besar dan diharapkan untuk memainkan
peranan dalam pendidikan.
274
At-Ta’lim, Vol. 11, No. 2, Juli 2012
C. Penutup
Dari paparan di atas dapat diambil beberapa disimpulkan. Pertama, jika
pendidikan di lihat dari lingkungannya, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu
kelarga, sekolah, dan masyarakat. Masing-masing memiliki peranan dan pengaruh
tersendiri terhadap pendidikan. Seyogyanya ketiganya berjalan secara integral
dalam mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki manusia secara utuh.
Kedua, di antara ketiga lingkungan tersebut, lingkungan keluarga
menempati posisi yang paling pertama dan utama. Sebab, keluarga merupakan
lingkungan pertama yang ditemui oleh setiap anak. Dalam keluarga ini, ayah dan
ibu sebagai guru pertama dan utama bagi anak. Oleh karenanya, ayah dan ibu
sebagai orang tua memiliki peranan dan tanggung jawab yang besar dalam
mendidik anak-anaknya. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tugas dan
tanggungjawab orang tua yaitu mempersiapkan/pembentukan keluarga yang
dimulai dari pencarian jodoh dengan mengutamakan agamanya, mempersiapkan
generasi yang fitri dimulai masa prakonsepsi seperti memakan makanan yang
halal, dan memberikan pendidikan kepada anak seperti menanamkan tauhid
semenjak ia lahir.
Ketiga, pada dasarnya sekolah (madrasah) telah terbentuk sejak Rasulullah
SAW. Namun sekolah tersebut tidak se-formal sekolah yang ditemukan hari ini.
Dalam sekolah tersebut, yang berperan utama adalah guru. Sekolah ini merupakan
lingkungan lanjutan dari lingkungan keluarga yang diharapkan mampu membantu
lingkungan keluarga dalam menumbuh kembangkan berbagai potensi yang
dimiliki oleh anak.
Keempat, masyarakat juga menjadi lingkungan pendidikan yang memiliki
peranan
penting.
Masyarakat
tersebut
diharapkan
mampu
mengawal
perkembangan potensi anak, sesuai dengan apa yang ia temukan di lingkungan
keluarga dan sekolah yang ideal. Masyarakat mesti mampu mengkondisikan
suasana lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan anak
didik.
Penulis ; Murkilim, M.Ag adalah Dosen Tetap Jurusan Tarbiyah STAIN Bengkulu
Murkilim, Analisis Filosofis Terhadap Lingkungan Pendidikan
275
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Jamal, Cara Nabi Menyiapkan Generasi, Surabaya: eLBA, 2006
Daradjat, Zakiah [et. al], Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet.
kelima, 2004
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Pertsada, 2005
al–Jumbulati, Ali, Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
Jakarta: Aneka Cipta, 2002
Langgulung, Hasan, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologis, Filasafat
dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2003
Maksum, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999
al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyyurrahman, Ar-Rahiiq al-Makhtuul, pen. Kathur
Suhardi, Jakarta: Al-Kautsar, 2006
Muthahhari, Murthadha, Manusia dan Alam Semesta: Konsepsi Islam Tentang
Jagat Raya, terj. Ilyas Hasan, dari Man and Universe, Jakarta: PT. Lentera
Basritama, 2002
An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah Sekolah dan Masyarakat.
Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Shihab, Muhammad Quraish, Tafsir al-Misbah, vol. 14, Jakarta: Lentera Hati,
2002
________, Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam Bandung; Remaja Rosda
Karya, 2004
Download