TINJAUAN PUSTAKA Tomat (Lycopersicum esculentum ) Klasifikasi dan Morfologi Dalam klasifikasi tumbuhan, tanaman tomat termasuk kelas Dicotyledonneae (berkeping dua). Secara lengkap ahli-ahli botani menurut Tugiyono (1998) mengklasifikasikan tanaman tomat secara sistematik sebagai berikut : Kelas (classis) : Dicotyledoneae (berkeping dua) Bangsa (ordo) : Tubiflorae Suku (family) : Solanaceae (Berbunga seperti terompet) Marga (genus) : Solanum (yang kini dipisahkan dengan nama Lycopersicum) Jenis (spesies) : Lycopersicum esculentum Mill, yang dulu disebut Solanum lycopersicum L. (Tomat yang enak dimakan dan banyak dijual di pasar sebagai tomat komersial) Organ-organ penting tomat meliputi bagian antara lain: (1) akar, tanaman tomat memiliki akar yang tumbuh menembus ke dalam tanah dan akar serabut yang tumbuh menyebar ke arah samping; (2) batang, batang tanaman tomat berbentuk persegi empat hingga bulat, berbatang lunak tetapi cukup kuat, berbulu atau berambut halus dan di antara bulu-bulu terdapat rambut kelenjar. Batang tanaman tomat berwarna hijau, pada ruas-ruas batang mengalami penebalan, dan pada ruas bagian bawah tumbuh akar-akar pendek. Selain itu, batang tanaman tomat dapat bercabang dan apabila dilakukan pemangkasan maka akan bercabang; (3) daun, daun tanaman tomat berbentuk oval, bagian tepinya bergerigi, dan membentuk celah-celah menyirip agak melengkung ke dalam. Daun berwarna hijau dan merupakan daun majemuk ganjil yang berjumlah 5 hingga 7. Di antara daun yang berukuran besar biasanya tumbuh 1 hingga 2 daun yang berukuran kecil. Daun majemuk pada tanaman tomat tumbuh berselangseling mengelilingi batang tanaman; (4) bunga, bunga tanaman tomat berukuran kecil, berdiameter sekitar 2 cm dan berwarna kuning-cerah. Kelopak bunga yang berwarna hijau terdapat pada bagian bawah atau pangkal bunga. Bagian lain dari bunga tomat adalah mahkota bunga. Mahkota bunga tomat berwarna kuning cerah. Bunga tomat merupakan bunga sempurna, karena benang sari atau tepung sari dan kepala benang sari terletak pada bunga yang sama; (5) buah tomat, buah tomat memiliki bentuk bervariasi, tergantung pada jenisnya. Ada buah tomat yang berbentuk bulat, agak bulat, agak lonjong, bulat telur, dan bulat persegi. Ukuran buah tomat juga bervariasi, yang berukuran paling kecil memiliki berat 8 gram dan yang berukuran besar memiliki berat sampai 180 gram. Buah tomat yang masih muda berwarna hijau-muda, bila sudah matang warnanya menjadi merah (Cahyono 2008). Syarat Tumbuh Tomat Tanaman tomat dapat tumbuh di berbagai ketinggian tempat, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Letak geografis tempat sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman karena memiliki kaitan langsung dengan keadaan iklim setempat, seperti suhu udara, curah hujan, kelembaban udara, curah hujan, kelembaban udara, dan penyinaran matahari (Cahyono 2008). Sifat kimia tanah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Sifat kimia tanah yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman adalah derajat keasaman (pH) dan salinitas (kadar garam) dalam tanah. Tanaman tomat akan tumbuh baik bila ditanam pada tanah yang memiliki pH dari 5,5 sampai 6,8. Namun, tanaman masih toleran di bawah 5,5 hingga 5 (Cahyono 2008). Suhu terbaik bagi pertumbuhan tomat adalah 23 oC pada siang hari dan 17 o C pada malam hari. Suhu yang tinggi diikuti kelembaban relatif yang tinggi dapat menyebabkan penyakit daun berkembang, sedangkan kelembaban yang relatif rendah dapat mengganggu pembentukan buah (Tugiyono 1998). Cahaya matahari sangat diperlukan dalam proses fisiologis tanaman untuk membentuk bagian vegetatif tanaman (batang, cabang, dan daun) dan bagian generatif (bunga, buah, dan biji). Intensitas matahari yang diperlukan oleh tanaman tergantung pada fase pertumbuhan tanaman. Pada fase perkecambahan, tanaman tomat memerlukan intensitas sinar matahari yang lemah. Oleh karena itu, pada fase perkecambahan tomat memerlukan naungan karena sinar matahari langsung dapat membakar bibit yang sedang tumbuh. Pada stadia awal di kebun, yaitu setelah pindah tanam, tanaman tomat masih memerlukan sinar matahari yang lemah. Oleh karena itu, bibit tanaman tomat yang baru ditanam di kebun masih memerlukan naungan (Cahyono 2008). Curah hujan yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman tomat adalah dari 75 sampai 1250 mm per tahun. Keadaan ini berhubungan erat dengan ketersediaan air tanah bagi tanaman, terutama di daerah yang tidak memiliki saluran irigasi teknis (Cahyono 2008). Sejarah Lahan Penelitian Lahan yang digunakan sebagai lahan penelitian ini luasnya berkisar 1200 m2 dan berbentuk lahan miring (teras tering). Sebelumnya, teras paling atas dan tengah ditanami komoditas cabai. Kemudian teras paling bawah ditanami komoditas tomat. Jarak tanam yang digunakan untuk komoditas tersebut adalah 50 cm × 50 cm. Pada saat pemupukan, pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk kandang dari kotoran sapi, selain itu menggunakan pupuk cair dengan aplikasi tiga hari sekali. Hama dan penyakit tanaman penting yang ditemukan pada komoditas cabai yaitu penyakit Antraknosa, hama lalat buah, dan jangkrik. Penyakit Antraknosa menyerang setelah satu bulan penanaman dan hampir seluruh tanaman cabai terserang penyakit tersebut. Jangkrik menyerang pada saat tanaman baru mulai ditanam sehingga harus melakukan tiga kali penyulaman. Sementara itu, pada komoditas tomat penyakit yang menyerang tanaman tersebut adalah layu Fusarium, penyakit layu ini menyerang pada waktu tanaman tomat mulai berbuah dan hampir terjadi pada seluruh tanaman tomat. Hama yang menyerang tanaman tomat adalah ulat penggerek buah. Teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman yang dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati yang merupakan hasil ramuan dari bahan-bahan seperti: tembakau, gadung, jenu, dan daun trisdi. Pengendalian ulat dilakukan secara mekanis yaitu dengan mengambil ulat kemudian mematikannya. Lahan tersebut juga diberi perlakuan aplikasi PGPR. Aplikasi PGPR dilakukan dengan cara disiram ke tanah, dalam waktu satu bulan dilakukan sebanyak lima kali penyiraman PGPR. Penyakit Tanaman Tomat Bercak Kering (Alternaria solani) Alternaria spp. memiliki miselium berwarna coklat dan pada jaringan yang lama terserang memproduksi konidiospora pendek, sederhana, dan berbentuk batang. Konidia berukuran besar, panjang, dan berbentuk seperti buah pir. Konidia dilepaskan dengan mudah dan dibawa oleh angin (Agrios 2004). Patogen menghasilkan material toksik di dalam daun yang menyebabkan berwarna kuning cerah yang luas dan daun menjadi rontok, walaupun hanya ada beberapa bercak nekrotik. Massa gelap konidia menghasilkan garis tepi pada spot yang mudah dikeluarkan oleh angin. Cendawan ini kadang-kadang menyerang buah, bercak yang luas sering timbul pada batang di persemaian dalam skala lapang (Yang 1979). Penyakit ini dapat dikendalikan secara mekanis, yakni dengan memangkas bagian tanaman yang sakit atau mencabut tanaman yang terserang, kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar. Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan penyemprotan fungisida, misalnya Rovral 50 WP atau Ridomil 25 WP (pestisida berbahan aktif metaksil dan mankozeb, atau ipridion) (Cahyono 2008). Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum) Patogen Ralstonia solanacearum dulunya terkenal dengan nama Pseudomonas solanacearum. Semangun (2001) menyebutkan bakteri berbentuk batang, berukuran 1,5 x 0,5 µm, tidak berspora, tidak berkapsula, bergerak dengan satu flagel (bulu cambuk) yang terdapat di ujung, aerob, dan gram negatif. Bakteri berkembang dengan baik pada suhu 30 hingga 50 oC dan pH 6,7. Di dalam biakan murni bakteri menghasilkan enzim pektinmetilesterase (PME), poligalakturonase (PG), dan selulase (Cx). P. solanacearum menyerang lebih dari 200 kultivar tanaman dan gulma dalam 33 famili tumbuhan. Organisme ini bertahan di tanah selama periode yang luas saat tidak ada di tanaman inang. P. solanacearum masuk melalui akar yang terluka akibat pencangkokan, pengolahan tanah, serangga, nematoda, dan melalui luka alami di daerah akar sekunder muncul. Layu terjadi setelah 2 sampai 5 hari setelah infeksi, tergantung pada kepekaan inang, temperatur, dan virulen dari patogen. Infeksi dan perkembangan penyakit didukung oleh temperatur yang tinggi (optimum 30 hingga 35 oC) dan kelembaban yang tinggi. Saat layu pada inang, patogen menyerang sel parenkim dan kantung terisi dengan massa bakteri yang berkembang di sekitar berkas vaskular (Jones et al. 1997). Gejala: tanaman yang diserang penyakit ini lebih cepat layu. Tanaman yang telah terinfeksi, daunnya masih hijau tetapi kemudian tiba-tiba layu, terutama pucuk daun yang masih muda, dan daun bagian bawah menguning. Tanaman yang terinfeksi menjadi kerdil, daun menggulung ke bawah, dan kadang-kadang terbentuk akar adventif sepanjang batang tomat. Tanaman yang terserang biasanya akan roboh dan mati (Pudjiatmoko 2008). Pengendalian: (1) melakukan rotasi tanaman dan tidak boleh menanam jenis-jenis tanaman yang termasuk famili Solanaceae; (2) gulma di areal pertanaman dibersihkan; (3) menanam varietas tomat yang resisten; (4) tanaman disambung dengan batang bawah takokak; (5) tanaman disemprot dengan antibiotika; (6) tanaman yang sakit dicabut dan dibakar; (7) tanah yang telah dicangkul dibiarkan beberapa waktu agar cukup terkena sinar matahari (Pudjiatmoko 2008). Kapang Daun (Fulvia fulva) Organisme penyebabnya adalah Fulvia fulva, konidiospora dengan panjang sampai 200 µm melalui stomatal yang membuka, biasanya tidak bercabang, dan beberapa mengkerut pada dasar dan lebih luas pada ujung. Konidia pucat coklat kegelapan. Cendawan ini tergantung pada kelembaban dan temperatur yang relatif tinggi untuk perkembangan penyakit. Perkecambahan spora dapat terjadi di air bersih, tetapi tidak dapat terjadi jika kelembaban relatif lebih rendah daripada 85% sehingga kapang daun tidak timbul pada kelembaban yang relatif di bawah 85%. Perkembangan penyakit optimal antara 22 dan 24 oC, tetapi bisa terjadi antara 4 dan 32 oC. Rata-rata penyakit terjadi di bawah 10 oC (Jones et al. 1997). Cendawan F. fulva bertahan sebagai saprofit pada sisa tanaman sebagai konidia pada tanah. Konidia yang siap disebarkan dengan hujan dan angin dapat bertahan paling tidak selama satu tahun. Faktor lain yang berperan dalam penyebaran adalah alat-alat pertanian, pakaian petani, dan barangkali serangga (Jones et al. 1997). Menurut Semangun (2002) gejala penyakit ini adalah pada sisi atas daun terdapat bercak berwarna kuning dengan batas yang kurang jelas. Pada sisi bawah daun tampak bahwa pada bercak ini terdapat satu lapisan beledu ungu kehijauan, yang terdiri dari konidiofor dan konidium cendawan. Bercak-bercak dapat bersatu menjadi becak yang besar. Daun yang sakit lebih cepat mengering. Pada tanaman tomat rumah kaca, penyakit dikendalikan dengan meningkatkan ventilasi dalam ruangan. Di Indonesia yang dapat dianjurkan hanyalah pemakaian fungisida yang juga ditunjukkan kepada penyakit-penyakit lain. Hama Penggerek Buah Tomat Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Hama ini bersifat kosmopolitan, daerah pencarannya luas di Asia Pasifik dan Australia. Serangga dewasa merupakan ngengat berwarna agak gelap dengan garis agak putih pada sayap depannya. Telurnya berwarna putih mutiara dan berbentuk bulat dengan diameter 0,5 mm. Telur diletakkan berkelompok. Satu kelompok telur terdapat sekitar 350 butir telur. Total produksi telur seekor ngengat betina sekitar 2000 sampai 3000 butir (Kalshoven 1981 dalam Setiawati 1997). Stadium larva terdiri atas lima instar. Instar yang sangat berbahaya bagi tanaman adalah instar tiga dan empat. Pupa berwarna coklat gelap terbentuk pada permukaan tanah. Pupa menetas menjadi imago sekitar 7 hari. Daur hidup dari telur sampai dewasa lamanya berkisar 30 sampai 61 hari. Larva memakan daun dan buah tomat. Gejala serangan pada daun oleh larva instar satu dan dua, berupa bercak-bercak putih menerawang, karena epidermis daun bagian atas ditinggalkan. Serangan oleh larva dewasa menyebabkan daun berlubang-lubang. Gejala serangan pada buah ditandai dengan timbulnya lubang tidak beraturan (Setiawati 1997). Pengendalian hama ini dengan sanitasi kebun, penanaman serempak, pergiliran tanaman dengan tanaman non-sayuran, pengolahan tanah secara intensif, memunguti ulat dan memusnahkannya, serta penyemprotan dengan insektisida berbahan aktif profenofos dan deltametrin (Cahyono 2008). Ulat Jengkal (Plusia sp.) Hama ulat jengkal memakan daun tanaman tomat, baik daun muda maupun daun tua dan pucuk tanaman. Ulat jengkal memiliki ciri khas berjalan melompat dengan melengkungkan tubuhnya (Cahyono 2008). Agen Antagonis PGPR PGPR singkatan dari Plant Growth Promoting Rhizobacteria atau rhizobakteri pendukung pertumbuhan tanaman. Penggunaan PGPR di dalam pengendalian hayati telah lama dilakukan. Bakteri pengkoloni akar pertama kali dipilih karena kemampuannya mendukung pertumbuhan tanaman, dan selanjutnya karena peranannya dalam menghambat mikroflora akar lainnya atau patogen tanaman. Kelompok rhizobakteri ini, terutama adalah strain Pseudomonas flourescens Migula dan Pseudomonas putida (Trevisan) (Soesanto 2008). Pengaruh perlakuan PGPR pada awal pertumbuhan tanaman menyebabkan adanya pertumbuhan morfologi tanaman. Misalnya, kotiledon dan daerah daun dengan meningkatnya berat kering dan bagian tanaman lainnya. Pengaruh PGPR juga diperlihatkan dengan peningkatan pengambilan atau penyerapan mikronutrisi. Penghambatan pengkolonian akar oleh jamur patogen dapat disebabkan oleh adanya PGPR dalam populasi yang tinggi pada akar yang menghasilkan bahan antibiotik, memanfaatkan nutrisi, dan mengubah lingkungan kimia di sekitar akar (Soesanto 2008). Saat ini, ada lebih dari beberapa 20 strain bakteri pemacu pertumbuhan yang telah tersedia secara komersial. Contohnya bakteri Bacillus subtilis yang digunakan sebagai biokontrol terhadap patogen Rhizoctonia solani, Fusarium spp., Alternaria spp., dan Aspergillus spp. yang menyerang akar pada tanaman kapas. Kemudian terdapat Pseudomonas flourescens sebagai biokontrol terhadap Erwinia amylovora pada tanaman kentang, strawberi, dan tomat (Glick et al. 1999). Trichoderma sp. Trichoderma adalah genus cendawan yang berada di semua jenis tanah. Konidiofornya banyak yang bercabang dan sulit untuk diidentifikasi atau diukur. Cabang utama dari konidiofor memiliki sisi cabang yang lateral. Berikut klasifikasi dari Trichoderma sp.: Kingdom : Fungi Divisi : Ascomycota Subdivisi : Pezizomycotina Kelas : Sordariomycetes Ordo : Hypocreales Famili : Hypocreaceae Genus : Trichoderma (http://en.wikipedia.org). Trichoderma spp. memiliki keuntungan sebagai agen antagonis, menurut Soesanto (2008) pembelitan hifa cendawan Trichoderma spp. terhadap hifa cendawan patogen tanaman dan menghasilkan antibiotika yang mudah menguap, merupakan interaksi hifa yang menarik perhatian dan penting dalam stadium awal proses mikoparasitisme. Keuntungan yang lain adalah kisaran yang luas dari kondisi lingkungan yang toleran oleh beragam spesies Trichoderma dan isolasinya, hal tersebut memungkinkan untuk memilih isolat yang paling sesuai pada kondisi lingkungan yang sedang terdapat patogen tanaman yang dapat menyebabkan penyakit. Sebagai contoh, beberapa isolat dapat tumbuh pada temperatur rendah dan tinggi. Isolat juga berbeda dalam toleransi terhadap kimia yang berbeda dan banyak yang menunjukkan resisten yang luar biasa terhadap fungisida (Tronsmo 1989 dalam 1991 Tronsmo dan Hjeljord 1998). Spesies cendawan Trichoderma dapat hidup sebagai saprotrof dan mikoparasit. Agensia ini telah lama dan banyak digunakan dalam pengendalian layu pada tanaman tomat, melon, jahe, krisan, kapas, dan lainnya. Penerapan antagonis ini umumnya sebagai pencegah atau pelindung tanaman dari serangan patogen dan diberikan sebagai perlakuan benih atau dicampur ke dalam tanah dalam bentuk biakan murni maupun yang telah diformula dalam dedak. Cendawan Trichoderma spp. mampu menurunkan intensitas penyakit layu antara 60% dan 83%. Mekanisme penghambatannya dapat dalam bentuk antibiosis, misalnya terhadap Verticillium albo-atrum Reinke & Berthier pada tomat; mikoparasit, misalnya pada Rhizoctonia dan Sclerotium rolfsii; dan persaingan yang umum pada kebanyakan patogen (Soesanto 2008). Trichoderma polysporum adalah spesies yang penyebarannya luas. T. polysporum dapat tumbuh baik dengan amino-N, diikuti amonium, urea, dan nitrat; sumber karbon yang baik meliputi: D-manosa, D-galaktosa, D-xylosa, cellobiosa, glycerol, dan D-monnitol Rifai (1962 dalam Domsch et al. 1980). Kombinasi strain IMI 206040 dan 206039 dari T. harzianum dan T. polysporum merupakan salah satu buatan biopestisida komersial yang paling lama yang masih ada. Di Swedia dan Denmark sebagian besar digunakan untuk mengendalikan kapang kelabu (Botrytis cinera) pada strawberi, dengan menggunakan beberapa tambahan pada tanaman rumah kaca untuk pengendalian patogen tular-tanah (Whipps dan Lumsden 2001). Di laboratorium, cendawan Trichoderma koningii mampu menghambat pertumbuhan jamur patogen Rigidoporus lignosus, penyebab penyakit akar putih pada tanaman karet. Pada penerapan di lapang, Trichoderma viridae berhasil menekan pertumbuhan beberapa jamur patogen, antara lain Pythium spp., Fusarium solani, Helminthosporium sp., Alternaria sp., Rhizoctonia solani dengan pH tanah rendah, dan menekan Athelia rolfsii dan Armillaria mellea, tetapi tergantung pada kepadatan inokulum Trichoderma viridae (Whipps dan Lumsden 2001). Guano Kelelawar untuk Pengendalian Penyakit Tanaman Kotoran kelelawar yang dalam dunia pertanian disebut pupuk guano mengandung Nitrogen, Fosfor, dan Potasium sangat bagus untuk mendukung pertumbuhan, merangsang akar, dan kekuatan batang tanaman. Kotoran kelelawar yang sudah mengendap lama di dalam dasar gua akan bercampur dengan tanah dan bakteri pengurai. Pupuk seperti inilah yang saat ini sedang dicari sebagai pengganti pupuk dari bahan kimia (http://tumbuh.wordpress.com). Pupuk guano yang dihasilkan kelelawar penghuni gua sudah banyak dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat. Guano merupakan bahan yang mengandung Posfat terbanyak. Posfat merupakan bahan penyusun pupuk pertanian. Indonesia kaya akan sumber penghasil Posfat (Wiyatna 2003). Beck (1959 dalam Wiyatna 2003) menyatakan bahwa kandungan kasar bahan utama pupuk guano kelelawar adalah 10% Nitrogen, 3% Fosfor, dan 1% Potasium. Tingginya kandungan Nitrogen sangat mendukung pertumbuhan tanaman yang cepat, Posfor merangsang pertumbuhan akar dan pembungaan, serta Kalium mendukung kekuatan batang tanaman. Di samping tiga unsur utama tersebut, guano mengandung semua unsur atau mineral mikro yang dibutuhkan oleh tanaman. Tidak seperti pupuk kimia buatan, guano tidak mengandung zat pengisi. Guano tinggal lebih lama dalam jaringan tanah, meningkatkan produktivitas tanah dan menyediakan makanan bagi tanaman lebih lama daripada pupuk kimia buatan. Kemampuan guano dalam menekan perkembangan patogen juga diperlihatkan pada uji potongan daun pada penelitian Sari (2007) yaitu perlakuan filtrat guano mampu menekan penyakit bercak coklat atau bercak kering (Alternaria solani) dengan keefektifan yang lebih tinggi dibandingkan dengan fungisida Dithane M-45 (mancozeb 80%). Penekanan tersebut disebabkan oleh bahan-bahan kimia dan mikroba yang terdapat di dalam guano kelelawar. Pada konsentrasi 0,675%; 1,25%; 2,5%; dan 5%, filtrat guano steril dan tidak steril tidak menimbulkan efek fitotoksisitas, bahkan mampu mempercepat perkecambahan dan meningkatkan pertumbuhan kecambah tomat. Penelitian Yanti (2008) memperlihatkan bahwa filtrat guano tidak steril 5% dan 2,5% serta filtrat guano steril 5% mempunyai aktivitas fungisidal terhadap P. infestans dengan tingkat penghambatan masing-masing yaitu: 78,79%; 57,58%; dan 60,61%. Aktivitas penghambatan filtrat guano sebagian disebabkan oleh mikroba yang terkandung di dalamnya. Sedangkan bakteri asal guano yang berpotensi menekan penyakit hawar daun adalah bakteri G5, GE, dan GC dengan tingkat penghambatan masing-masing, yaitu 67,21%; 70,49%; dan 72,13%. Bakteri asal guano mempunyai peran masing-masing dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan aktivitas dalam menekan perkembangan P. infestans. Lembaga Mandiri dan Mengakar di Masyarakat (LM3) Dimyati (2007) mengatakan bahwa LM3 adalah lembaga yang tumbuh di tengah masyarakat dan telah berperan dalam pembinaan dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat. Lembaga ini sebagian besar berada di daerah pedesaan yang mempunyai basis utama perekonomiannya adalah usaha di bidang pertanian, dengan demikian lembaga ini dinilai strategis dapat berperan dalam pembangunan pertanian. Salah satu LM3 yang telah banyak berkembang dan penting di Indonesia adalah pondok pesantren. Pondok pesantren telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan swadaya masyarakat dan mencerdaskan kehidupan bangsa baik melalui pendidikan formal maupun non-formal. Secara formal pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tertua telah berperan dalam mencetak kader ulama dan mencerdaskan masyarakat. Dengan kedudukannya yang sebagian besar di pedesaan, tumbuh bersama, mengakar, dan mandiri di masyarakat pedesaan maka pondok pesantren memiliki potensi untuk berkembang atau dikembangkan sebagai salah satu pelaku pembangunan agribisnis di pedesaan (Dimyati 2007). Salah satu sasaran program ini adalah meningkatnya produksi, produktivitas usaha, mutu, daya saing, nilai tambah, dan pendapatan LM3 serta masyarakat sekitarnya di bidang agribisnis hortikultura. Pembangunan hortikultura ditunjukkan untuk peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing produksi hortikultura. Upaya mencapai tujuan tersebut pembangunan hortikultura dilakukan melalui pendekatan Manajemen Rantai Pasokan (SCM). Sistem Manajemen Rantai Pasokan merupakan siklus lengkap produksi, mulai dari kegiatan pengelolaan di setiap mata rantai aktifitas produksi sampai siap untuk digunakan oleh pemakai. Salah satu hal penting dalam pendekatan SCM adalah menyediakan produk yang baik, yang dalam hal ini dilaksanakan melalui penerapan norma Budidaya yang Baik (Good Agriculture Practices = GAP) dan penerapan budidaya dengan tata cara operasional baku. Dengan mengikuti kaidah-kaidah budidaya komoditas yang telah dibakukan, diharapkan akan dihasilkan produk hortikultura yang baik dan berkualitas sesuai yang diharapkan konsumen (Dimyati 2007).