Perlakuan Agen Antagonis dan Guano untuk

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Tomat (Lycopersicum esculentum )
Klasifikasi dan Morfologi
Dalam
klasifikasi
tumbuhan,
tanaman
tomat
termasuk
kelas
Dicotyledonneae (berkeping dua). Secara lengkap ahli-ahli botani menurut
Tugiyono (1998) mengklasifikasikan tanaman tomat secara sistematik sebagai
berikut :
Kelas (classis)
: Dicotyledoneae (berkeping dua)
Bangsa (ordo)
: Tubiflorae
Suku (family)
: Solanaceae (Berbunga seperti terompet)
Marga (genus)
: Solanum (yang kini dipisahkan dengan nama
Lycopersicum)
Jenis (spesies)
: Lycopersicum
esculentum
Mill,
yang
dulu
disebut Solanum lycopersicum L. (Tomat yang enak
dimakan dan banyak dijual di pasar sebagai tomat
komersial)
Organ-organ penting tomat meliputi bagian antara lain: (1) akar, tanaman
tomat memiliki akar yang tumbuh menembus ke dalam tanah dan akar serabut
yang tumbuh menyebar ke arah samping; (2) batang, batang tanaman tomat
berbentuk persegi empat hingga bulat, berbatang lunak tetapi cukup kuat, berbulu
atau berambut halus dan di antara bulu-bulu terdapat rambut kelenjar. Batang
tanaman tomat berwarna hijau, pada ruas-ruas batang mengalami penebalan, dan
pada ruas bagian bawah tumbuh akar-akar pendek. Selain itu, batang tanaman
tomat dapat bercabang dan apabila dilakukan pemangkasan maka akan
bercabang; (3) daun, daun tanaman tomat berbentuk oval, bagian tepinya
bergerigi, dan membentuk celah-celah menyirip agak melengkung ke dalam.
Daun berwarna hijau dan merupakan daun majemuk ganjil yang berjumlah 5
hingga 7. Di antara daun yang berukuran besar biasanya tumbuh 1 hingga 2 daun
yang berukuran kecil. Daun majemuk pada tanaman tomat tumbuh berselangseling mengelilingi batang tanaman; (4) bunga, bunga tanaman tomat berukuran
kecil, berdiameter sekitar 2 cm dan berwarna kuning-cerah. Kelopak bunga yang
berwarna hijau terdapat pada bagian bawah atau pangkal bunga. Bagian lain dari
bunga tomat adalah mahkota bunga. Mahkota bunga tomat berwarna kuning
cerah. Bunga tomat merupakan bunga sempurna, karena benang sari atau tepung
sari dan kepala benang sari terletak pada bunga yang sama; (5) buah tomat, buah
tomat memiliki bentuk bervariasi, tergantung pada jenisnya. Ada buah tomat
yang berbentuk bulat, agak bulat, agak lonjong, bulat telur, dan bulat persegi.
Ukuran buah tomat juga bervariasi, yang berukuran paling kecil memiliki berat 8
gram dan yang berukuran besar memiliki berat sampai 180 gram. Buah tomat
yang masih muda berwarna hijau-muda, bila sudah matang warnanya menjadi
merah (Cahyono 2008).
Syarat Tumbuh Tomat
Tanaman tomat dapat tumbuh di berbagai ketinggian tempat, baik di
dataran tinggi maupun di dataran rendah. Letak geografis tempat sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman karena memiliki kaitan langsung
dengan keadaan iklim setempat, seperti suhu udara, curah hujan, kelembaban
udara, curah hujan, kelembaban udara, dan penyinaran matahari (Cahyono 2008).
Sifat kimia tanah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Sifat
kimia tanah yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman adalah
derajat keasaman (pH) dan salinitas (kadar garam) dalam tanah. Tanaman tomat
akan tumbuh baik bila ditanam pada tanah yang memiliki pH dari 5,5 sampai 6,8.
Namun, tanaman masih toleran di bawah 5,5 hingga 5 (Cahyono 2008).
Suhu terbaik bagi pertumbuhan tomat adalah 23 oC pada siang hari dan 17
o
C pada malam hari. Suhu yang tinggi diikuti kelembaban relatif yang tinggi
dapat menyebabkan penyakit daun berkembang, sedangkan kelembaban yang
relatif rendah dapat mengganggu pembentukan buah (Tugiyono 1998).
Cahaya matahari sangat diperlukan dalam proses fisiologis tanaman untuk
membentuk bagian vegetatif tanaman (batang, cabang, dan daun) dan bagian
generatif (bunga, buah, dan biji). Intensitas matahari yang diperlukan oleh
tanaman tergantung pada fase pertumbuhan tanaman. Pada fase perkecambahan,
tanaman tomat memerlukan intensitas sinar matahari yang lemah. Oleh karena
itu, pada fase perkecambahan tomat memerlukan naungan karena sinar matahari
langsung dapat membakar bibit yang sedang tumbuh. Pada stadia awal di kebun,
yaitu setelah pindah tanam, tanaman tomat masih memerlukan sinar matahari
yang lemah. Oleh karena itu, bibit tanaman tomat yang baru ditanam di kebun
masih memerlukan naungan (Cahyono 2008).
Curah hujan yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman tomat adalah dari
75 sampai 1250 mm per tahun. Keadaan ini berhubungan erat dengan
ketersediaan air tanah bagi tanaman, terutama di daerah yang tidak memiliki
saluran irigasi teknis (Cahyono 2008).
Sejarah Lahan Penelitian
Lahan yang digunakan sebagai lahan penelitian ini luasnya berkisar 1200
m2 dan berbentuk lahan miring (teras tering). Sebelumnya, teras paling atas dan
tengah ditanami komoditas cabai. Kemudian teras paling bawah ditanami
komoditas tomat. Jarak tanam yang digunakan untuk komoditas tersebut adalah
50 cm × 50 cm.
Pada saat pemupukan, pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk
kandang dari kotoran sapi, selain itu menggunakan pupuk cair dengan aplikasi
tiga hari sekali.
Hama dan penyakit tanaman penting yang ditemukan pada komoditas
cabai yaitu penyakit Antraknosa, hama lalat buah, dan jangkrik. Penyakit
Antraknosa menyerang setelah satu bulan penanaman dan hampir seluruh
tanaman cabai terserang penyakit tersebut. Jangkrik menyerang pada saat
tanaman baru mulai ditanam sehingga harus melakukan tiga kali penyulaman.
Sementara itu, pada komoditas tomat penyakit yang menyerang tanaman tersebut
adalah layu Fusarium, penyakit layu ini menyerang pada waktu tanaman tomat
mulai berbuah dan hampir terjadi pada seluruh tanaman tomat. Hama yang
menyerang tanaman tomat adalah ulat penggerek buah.
Teknik pengendalian hama dan penyakit tanaman yang dilakukan dengan
menggunakan pestisida nabati yang merupakan hasil ramuan dari bahan-bahan
seperti: tembakau, gadung, jenu, dan daun trisdi. Pengendalian ulat dilakukan
secara mekanis yaitu dengan mengambil ulat kemudian mematikannya. Lahan
tersebut juga diberi perlakuan aplikasi PGPR. Aplikasi PGPR dilakukan dengan
cara disiram ke tanah, dalam waktu satu bulan dilakukan sebanyak lima kali
penyiraman PGPR.
Penyakit Tanaman Tomat
Bercak Kering (Alternaria solani)
Alternaria spp. memiliki miselium berwarna coklat dan pada jaringan
yang lama terserang memproduksi konidiospora pendek, sederhana, dan
berbentuk batang. Konidia berukuran besar, panjang, dan berbentuk seperti buah
pir. Konidia dilepaskan dengan mudah dan dibawa oleh angin (Agrios 2004).
Patogen menghasilkan material toksik di dalam daun yang menyebabkan
berwarna kuning cerah yang luas dan daun menjadi rontok, walaupun hanya ada
beberapa bercak nekrotik. Massa gelap konidia menghasilkan garis tepi pada spot
yang mudah dikeluarkan oleh angin. Cendawan ini kadang-kadang menyerang
buah, bercak yang luas sering timbul pada batang di persemaian dalam skala
lapang (Yang 1979).
Penyakit
ini dapat dikendalikan secara mekanis, yakni dengan
memangkas bagian tanaman yang sakit atau mencabut tanaman yang terserang,
kemudian dimusnahkan dengan cara dibakar. Pengendalian secara kimiawi dapat
dilakukan dengan penyemprotan fungisida, misalnya Rovral 50 WP atau Ridomil
25 WP (pestisida berbahan aktif metaksil dan mankozeb, atau ipridion) (Cahyono
2008).
Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum)
Patogen Ralstonia solanacearum dulunya terkenal dengan nama
Pseudomonas solanacearum. Semangun (2001) menyebutkan bakteri berbentuk
batang, berukuran 1,5 x 0,5 µm, tidak berspora, tidak berkapsula, bergerak
dengan satu flagel (bulu cambuk) yang terdapat di ujung, aerob, dan gram
negatif. Bakteri berkembang dengan baik pada suhu 30 hingga 50 oC dan pH 6,7.
Di dalam biakan murni bakteri menghasilkan enzim pektinmetilesterase (PME),
poligalakturonase (PG), dan selulase (Cx).
P. solanacearum menyerang lebih dari 200 kultivar tanaman dan gulma
dalam 33 famili tumbuhan. Organisme ini bertahan di tanah selama periode yang
luas saat tidak ada di tanaman inang. P. solanacearum masuk melalui akar yang
terluka akibat pencangkokan, pengolahan tanah, serangga, nematoda, dan melalui
luka alami di daerah akar sekunder muncul. Layu terjadi setelah 2 sampai 5 hari
setelah infeksi, tergantung pada kepekaan inang, temperatur, dan virulen dari
patogen. Infeksi dan perkembangan penyakit didukung oleh temperatur yang
tinggi (optimum 30 hingga 35 oC) dan kelembaban yang tinggi. Saat layu pada
inang, patogen menyerang sel parenkim dan kantung terisi dengan massa bakteri
yang berkembang di sekitar berkas vaskular (Jones et al. 1997).
Gejala: tanaman yang diserang penyakit ini lebih cepat layu. Tanaman
yang telah terinfeksi, daunnya masih hijau tetapi kemudian tiba-tiba layu,
terutama pucuk daun yang masih muda, dan daun bagian bawah menguning.
Tanaman yang terinfeksi menjadi kerdil, daun menggulung ke bawah, dan
kadang-kadang terbentuk akar adventif sepanjang batang tomat. Tanaman yang
terserang biasanya akan roboh dan mati (Pudjiatmoko 2008).
Pengendalian: (1) melakukan rotasi tanaman dan tidak boleh menanam
jenis-jenis tanaman yang termasuk famili Solanaceae; (2) gulma di areal
pertanaman dibersihkan; (3) menanam varietas tomat yang resisten; (4) tanaman
disambung dengan batang bawah takokak; (5) tanaman disemprot dengan
antibiotika; (6) tanaman yang sakit dicabut dan dibakar; (7) tanah yang telah
dicangkul dibiarkan beberapa waktu agar cukup terkena sinar matahari
(Pudjiatmoko 2008).
Kapang Daun (Fulvia fulva)
Organisme penyebabnya adalah Fulvia fulva, konidiospora dengan
panjang sampai 200 µm melalui stomatal yang membuka, biasanya tidak
bercabang, dan beberapa mengkerut pada dasar dan lebih luas pada ujung.
Konidia pucat coklat kegelapan. Cendawan ini tergantung pada kelembaban dan
temperatur yang relatif tinggi untuk perkembangan penyakit. Perkecambahan
spora dapat terjadi di air bersih, tetapi tidak dapat terjadi jika kelembaban relatif
lebih rendah daripada 85% sehingga kapang daun tidak timbul pada kelembaban
yang relatif di bawah 85%. Perkembangan penyakit optimal antara 22 dan 24 oC,
tetapi bisa terjadi antara 4 dan 32 oC. Rata-rata penyakit terjadi di bawah 10 oC
(Jones et al. 1997).
Cendawan F. fulva bertahan sebagai saprofit pada sisa tanaman sebagai
konidia pada tanah. Konidia yang siap disebarkan dengan hujan dan angin dapat
bertahan paling tidak selama satu tahun. Faktor lain yang berperan dalam
penyebaran adalah alat-alat pertanian, pakaian petani, dan barangkali serangga
(Jones et al. 1997).
Menurut Semangun (2002) gejala penyakit ini adalah pada sisi atas daun
terdapat bercak berwarna kuning dengan batas yang kurang jelas. Pada sisi
bawah daun tampak bahwa pada bercak ini terdapat satu lapisan beledu ungu
kehijauan, yang terdiri dari konidiofor dan konidium cendawan. Bercak-bercak
dapat bersatu menjadi becak yang besar. Daun yang sakit lebih cepat mengering.
Pada tanaman tomat rumah kaca, penyakit dikendalikan dengan meningkatkan
ventilasi dalam ruangan. Di Indonesia yang dapat dianjurkan hanyalah
pemakaian fungisida yang juga ditunjukkan kepada penyakit-penyakit lain.
Hama Penggerek Buah Tomat
Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)
Hama ini bersifat kosmopolitan, daerah pencarannya luas di Asia Pasifik
dan Australia. Serangga dewasa merupakan ngengat berwarna agak gelap dengan
garis agak putih pada sayap depannya. Telurnya berwarna putih mutiara dan
berbentuk bulat dengan diameter 0,5 mm. Telur diletakkan berkelompok. Satu
kelompok telur terdapat sekitar 350 butir telur. Total produksi telur seekor
ngengat betina sekitar 2000 sampai 3000 butir (Kalshoven 1981 dalam Setiawati
1997).
Stadium larva terdiri atas lima instar. Instar yang sangat berbahaya bagi
tanaman adalah instar tiga dan empat. Pupa berwarna coklat gelap terbentuk pada
permukaan tanah. Pupa menetas menjadi imago sekitar 7 hari. Daur hidup dari
telur sampai dewasa lamanya berkisar 30 sampai 61 hari. Larva memakan daun
dan buah tomat. Gejala serangan pada daun oleh larva instar satu dan dua, berupa
bercak-bercak putih menerawang, karena epidermis daun bagian atas
ditinggalkan. Serangan oleh larva dewasa menyebabkan daun berlubang-lubang.
Gejala serangan pada buah ditandai dengan timbulnya lubang tidak beraturan
(Setiawati 1997).
Pengendalian hama ini dengan sanitasi kebun, penanaman serempak,
pergiliran tanaman dengan tanaman non-sayuran, pengolahan tanah secara
intensif, memunguti ulat dan memusnahkannya, serta penyemprotan dengan
insektisida berbahan aktif profenofos dan deltametrin (Cahyono 2008).
Ulat Jengkal (Plusia sp.)
Hama ulat jengkal memakan daun tanaman tomat, baik daun muda
maupun daun tua dan pucuk tanaman. Ulat jengkal memiliki ciri khas berjalan
melompat dengan melengkungkan tubuhnya (Cahyono 2008).
Agen Antagonis
PGPR
PGPR singkatan dari Plant Growth Promoting Rhizobacteria atau
rhizobakteri pendukung pertumbuhan tanaman. Penggunaan PGPR di dalam
pengendalian hayati telah lama dilakukan. Bakteri pengkoloni akar pertama kali
dipilih
karena
kemampuannya
mendukung
pertumbuhan tanaman,
dan
selanjutnya karena peranannya dalam menghambat mikroflora akar lainnya atau
patogen
tanaman.
Kelompok
rhizobakteri
ini,
terutama
adalah
strain
Pseudomonas flourescens Migula dan Pseudomonas putida (Trevisan) (Soesanto
2008).
Pengaruh
perlakuan
PGPR
pada
awal
pertumbuhan
tanaman
menyebabkan adanya pertumbuhan morfologi tanaman. Misalnya, kotiledon dan
daerah daun dengan meningkatnya berat kering dan bagian tanaman lainnya.
Pengaruh PGPR juga diperlihatkan dengan peningkatan pengambilan atau
penyerapan mikronutrisi. Penghambatan pengkolonian akar oleh jamur patogen
dapat disebabkan oleh adanya PGPR dalam populasi yang tinggi pada akar yang
menghasilkan bahan antibiotik, memanfaatkan nutrisi, dan mengubah lingkungan
kimia di sekitar akar (Soesanto 2008).
Saat ini, ada lebih dari beberapa 20 strain bakteri pemacu pertumbuhan
yang telah tersedia secara komersial. Contohnya bakteri Bacillus subtilis yang
digunakan sebagai biokontrol terhadap patogen Rhizoctonia solani, Fusarium
spp., Alternaria spp., dan Aspergillus spp. yang menyerang akar pada tanaman
kapas. Kemudian terdapat Pseudomonas flourescens sebagai biokontrol terhadap
Erwinia amylovora pada tanaman kentang, strawberi, dan tomat (Glick et al.
1999).
Trichoderma sp.
Trichoderma adalah genus cendawan yang berada di semua jenis tanah.
Konidiofornya banyak yang bercabang dan sulit untuk diidentifikasi atau diukur.
Cabang utama dari konidiofor memiliki sisi cabang yang lateral. Berikut
klasifikasi dari Trichoderma sp.:
Kingdom
: Fungi
Divisi
: Ascomycota
Subdivisi
: Pezizomycotina
Kelas
: Sordariomycetes
Ordo
: Hypocreales
Famili
: Hypocreaceae
Genus
: Trichoderma
(http://en.wikipedia.org).
Trichoderma spp. memiliki keuntungan sebagai agen antagonis, menurut
Soesanto (2008) pembelitan hifa cendawan Trichoderma spp. terhadap hifa
cendawan patogen tanaman dan menghasilkan antibiotika yang mudah menguap,
merupakan interaksi hifa yang menarik perhatian dan penting dalam stadium
awal proses mikoparasitisme.
Keuntungan yang lain adalah kisaran yang luas dari kondisi lingkungan
yang toleran oleh beragam spesies Trichoderma dan isolasinya, hal tersebut
memungkinkan untuk memilih isolat yang paling sesuai pada kondisi lingkungan
yang sedang terdapat patogen tanaman yang dapat menyebabkan penyakit.
Sebagai contoh, beberapa isolat dapat tumbuh pada temperatur rendah dan tinggi.
Isolat juga berbeda dalam toleransi terhadap kimia yang berbeda dan banyak
yang menunjukkan resisten yang luar biasa terhadap fungisida (Tronsmo 1989
dalam 1991 Tronsmo dan Hjeljord 1998).
Spesies cendawan Trichoderma dapat hidup sebagai saprotrof dan
mikoparasit. Agensia ini telah lama dan banyak digunakan dalam pengendalian
layu pada tanaman tomat, melon, jahe, krisan, kapas, dan lainnya. Penerapan
antagonis ini umumnya sebagai pencegah atau pelindung tanaman dari serangan
patogen dan diberikan sebagai perlakuan benih atau dicampur ke dalam tanah
dalam bentuk biakan murni maupun yang telah diformula dalam dedak.
Cendawan Trichoderma spp. mampu menurunkan intensitas penyakit layu antara
60% dan 83%. Mekanisme penghambatannya dapat dalam bentuk antibiosis,
misalnya terhadap Verticillium albo-atrum Reinke & Berthier pada tomat;
mikoparasit, misalnya pada Rhizoctonia dan Sclerotium rolfsii; dan persaingan
yang umum pada kebanyakan patogen (Soesanto 2008).
Trichoderma polysporum adalah spesies yang penyebarannya luas. T.
polysporum dapat tumbuh baik dengan amino-N, diikuti amonium, urea, dan
nitrat; sumber karbon yang baik meliputi: D-manosa, D-galaktosa, D-xylosa,
cellobiosa, glycerol, dan D-monnitol Rifai (1962 dalam Domsch et al. 1980).
Kombinasi strain IMI 206040 dan 206039 dari T. harzianum dan T.
polysporum merupakan salah satu buatan biopestisida komersial yang paling
lama yang masih ada. Di Swedia dan Denmark sebagian besar digunakan untuk
mengendalikan kapang kelabu (Botrytis cinera) pada strawberi, dengan
menggunakan beberapa tambahan pada tanaman rumah kaca untuk pengendalian
patogen tular-tanah (Whipps dan Lumsden 2001).
Di laboratorium, cendawan Trichoderma koningii mampu menghambat
pertumbuhan jamur patogen Rigidoporus lignosus, penyebab penyakit akar putih
pada tanaman karet. Pada penerapan di lapang, Trichoderma viridae berhasil
menekan pertumbuhan beberapa jamur patogen, antara lain Pythium spp.,
Fusarium solani, Helminthosporium sp., Alternaria sp., Rhizoctonia solani
dengan pH tanah rendah, dan menekan Athelia rolfsii dan Armillaria mellea,
tetapi tergantung pada kepadatan inokulum Trichoderma viridae (Whipps dan
Lumsden 2001).
Guano Kelelawar untuk Pengendalian Penyakit Tanaman
Kotoran kelelawar yang dalam dunia pertanian disebut pupuk guano
mengandung Nitrogen, Fosfor, dan Potasium sangat bagus untuk mendukung
pertumbuhan, merangsang akar, dan kekuatan batang tanaman. Kotoran
kelelawar yang sudah mengendap lama di dalam dasar gua akan bercampur
dengan tanah dan bakteri pengurai. Pupuk seperti inilah yang saat ini sedang
dicari sebagai pengganti pupuk dari bahan kimia (http://tumbuh.wordpress.com).
Pupuk guano yang dihasilkan kelelawar penghuni gua sudah banyak
dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat. Guano merupakan bahan yang
mengandung Posfat terbanyak. Posfat merupakan bahan penyusun pupuk
pertanian. Indonesia kaya akan sumber penghasil Posfat (Wiyatna 2003).
Beck (1959 dalam Wiyatna 2003) menyatakan bahwa kandungan kasar
bahan utama pupuk guano kelelawar adalah 10% Nitrogen, 3% Fosfor, dan 1%
Potasium. Tingginya kandungan Nitrogen sangat mendukung pertumbuhan
tanaman yang cepat, Posfor merangsang pertumbuhan akar dan pembungaan,
serta Kalium mendukung kekuatan batang tanaman. Di samping tiga unsur utama
tersebut, guano mengandung semua unsur atau mineral mikro yang dibutuhkan
oleh tanaman. Tidak seperti pupuk kimia buatan, guano tidak mengandung zat
pengisi. Guano tinggal lebih lama dalam jaringan tanah, meningkatkan
produktivitas tanah dan menyediakan makanan bagi tanaman lebih lama daripada
pupuk kimia buatan.
Kemampuan guano
dalam
menekan perkembangan patogen juga
diperlihatkan pada uji potongan daun pada penelitian Sari (2007) yaitu perlakuan
filtrat guano mampu menekan penyakit bercak coklat atau bercak kering
(Alternaria solani) dengan keefektifan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
fungisida Dithane M-45 (mancozeb 80%). Penekanan tersebut disebabkan oleh
bahan-bahan kimia dan mikroba yang terdapat di dalam guano kelelawar. Pada
konsentrasi 0,675%; 1,25%; 2,5%; dan 5%, filtrat guano steril dan tidak steril
tidak
menimbulkan
efek
fitotoksisitas,
bahkan
mampu
mempercepat
perkecambahan dan meningkatkan pertumbuhan kecambah tomat. Penelitian
Yanti (2008) memperlihatkan bahwa filtrat guano tidak steril 5% dan 2,5% serta
filtrat guano steril 5% mempunyai aktivitas fungisidal terhadap P. infestans
dengan tingkat penghambatan masing-masing yaitu: 78,79%; 57,58%; dan
60,61%. Aktivitas penghambatan filtrat guano sebagian disebabkan oleh mikroba
yang terkandung di dalamnya. Sedangkan bakteri asal guano yang berpotensi
menekan penyakit hawar daun adalah bakteri G5, GE, dan GC dengan tingkat
penghambatan masing-masing, yaitu 67,21%; 70,49%; dan 72,13%. Bakteri asal
guano mempunyai peran masing-masing dalam mempengaruhi pertumbuhan
tanaman dan aktivitas dalam menekan perkembangan P. infestans.
Lembaga Mandiri dan Mengakar di Masyarakat (LM3)
Dimyati (2007) mengatakan bahwa LM3 adalah lembaga yang tumbuh di
tengah masyarakat dan telah berperan dalam pembinaan dan pengembangan
sosial ekonomi masyarakat. Lembaga ini sebagian besar berada di daerah
pedesaan yang mempunyai basis utama perekonomiannya adalah usaha di bidang
pertanian, dengan demikian lembaga ini dinilai strategis dapat berperan dalam
pembangunan pertanian.
Salah satu LM3 yang telah banyak berkembang dan penting di Indonesia
adalah pondok pesantren. Pondok pesantren telah memainkan peranan penting
dalam mengembangkan swadaya masyarakat dan mencerdaskan kehidupan
bangsa baik melalui pendidikan formal maupun non-formal. Secara formal
pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islam tertua telah berperan dalam
mencetak kader ulama dan mencerdaskan masyarakat. Dengan kedudukannya
yang sebagian besar di pedesaan, tumbuh bersama, mengakar, dan mandiri di
masyarakat pedesaan maka pondok pesantren memiliki potensi untuk
berkembang atau dikembangkan sebagai salah satu pelaku pembangunan
agribisnis di pedesaan (Dimyati 2007).
Salah satu sasaran program ini adalah meningkatnya produksi,
produktivitas usaha, mutu, daya saing, nilai tambah, dan pendapatan LM3 serta
masyarakat
sekitarnya
di
bidang
agribisnis
hortikultura.
Pembangunan
hortikultura ditunjukkan untuk peningkatan produksi, produktivitas, dan mutu
yang pada akhirnya mampu meningkatkan daya saing produksi hortikultura.
Upaya mencapai tujuan tersebut pembangunan hortikultura dilakukan melalui
pendekatan Manajemen Rantai Pasokan (SCM). Sistem Manajemen Rantai
Pasokan merupakan siklus lengkap produksi, mulai dari kegiatan pengelolaan di
setiap mata rantai aktifitas produksi sampai siap untuk digunakan oleh pemakai.
Salah satu hal penting dalam pendekatan SCM adalah menyediakan produk yang
baik, yang dalam hal ini dilaksanakan melalui penerapan norma Budidaya yang
Baik (Good Agriculture Practices = GAP) dan penerapan budidaya dengan tata
cara operasional baku. Dengan mengikuti kaidah-kaidah budidaya komoditas
yang telah dibakukan, diharapkan akan dihasilkan produk hortikultura yang baik
dan berkualitas sesuai yang diharapkan konsumen (Dimyati 2007).
Download