laporan penyuluhan mandiri imunisasi puskesmas sukmajaya

advertisement
LAPORAN PENYULUHAN MANDIRI
I M U N I S AS I
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepanitraan Klinik di Bagian
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Disusun Oleh :
Diyah Septiti Wulan
1220221143
PUSKESMAS SUKMAJAYA DEPOK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAKARTA
2015
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
SATUAN ACARA PENYULUHAN
I.
Tujuan
Tujuan umum :
Menambah pengetahuan secara umum kepada masyarakat (ibu-ibu) yang hadir
di Posyandu .
Tujuan Khusus :
1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai Imunisasi
II. Bentuk Kegiatan
Kegiatan ini berbentuk penyuluhan berjudul “Imunisasi”, yang dilakukan
dengan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab langsung kepada Ibu –
ibu yang hadir di Posyandu RW 12 Sukmajaya Depok dengan media yang
digunakan berupa leaflet.
III. Jenis Kegiatan
Kegiatan ini berupa penyuluhan didaktik.
IV.
Peserta Kegiatan
Peserta dalam kegiatan ini adalah Ibu – ibu yang hadir di Posyandu RW 12
Sukmajaya Depok.
V. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penyuluhan dilakukan pada :
Hari
: Kamis
Tanggal
: 12 Februari 2015
Tempat
: Posyandu RW 12 Sukmajaya Depok
VI.
Materi Penyuluhan
Terlampir
VII.
Dokumentasi kegiatan
Terlampir
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Materi Penyuluhan
Pendahuluan1,2,5
Imunisasi adalah suatu cara pemberian vaksin untuk meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang serupa tidak terjadi penyakit. Vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk
membantu mencegah suatu penyakit. Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan
antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu membasmi penyakit yang serius
yang timbul pada masa kanak-kanak. Vaksin secara umum cukup aman. Keuntungan
perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek samping yang
mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak yang
serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan.
Berdasarkan asal-mulanya, imunitas atau kekebalan dibagi dalam dua hal, yaitu
pasif dan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan
dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh
dari ibu atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin.
Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada
antigen seperti pada imunisasi. Baik pasif maupun aktif dapat berlangsung alami,
biasanya bawaan (congenital) atau didapat (acquired).
Imunitas pasif bawaan (passive congenital immunity), terdapat pada bayi baru
lahir (neonatus) sampai bayi berumur 5 bulan. Neonatus mendapatnya dari ibu sewaktu di
dalam kandungan, yaitu berupa zat anti (antibodi) yang melalui jalan darah menembus
plasenta. Zat anti itu berupa globulin gama yang mengandung imunitas seperti yang juga
dimiliki ibu. Namun zat anti itu lambat laun akan lenyap dari tubuh bayi. Dengan
demikian sampai umur kurang lebih 5 bulan, bayi dapat terhindar dari beberapa penyakit
infeksi, misalnya difteria, campak, dan lain-lain.
Imunitas pasif didapat (passive acquired immunity), zat anti didapatkan oleh
anak dari luar dan hanya berlangsung pendek, yaitu 2-3 minggu karena zat anti seperti ini
akan dikeluarkan lagi dari tubuh anak. Bahan zat anti demikian dapat berupa globulin
gama murni yang didapat dari darah orang yang pernah mendapat penyakit, misalnya
campak. Sebenarnya tidak hanya globulin gama murni yang dapat digunakan, tetapi darah
atau serumnya dapat pula dipakai untuk disuntikkan, tetapi tentunya dalam hal yang
terakhir ini diperlukan jumlah yang jauh lebih banyak. Contoh lain ialah pemberian
serum anti tetanus, serum anti difteri dan berbagai serum hiperimun, seperti yang spesifik
untuk pertusis, hepatitis B, dan rubela.
Imunitas aktif, dibagi dua bagian :
1. didapat secara alami (naturally acquired), contohnya adalah difteria.
2. sengaja dibuat (artificially induced). Cara pemberian terdiri dari tiga macam antigen,
yaitu :
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
-
live attenuated bacteria or viruses: virus atau bakteri liar ini dilemahkan,
biasanya dengan cara pembiakan berulang-ulang. Berasal dari virus hidup :
campak, rubela, polio sabin. Berasal dari bakteri : BCG, demam tifoid
-
killed bacteria or virus, misalnya kolera, tifus abdominalis, pertusis, polio salk
-
toksoid, contoh : difteria, tetanus, botulinum
Berdasarkan lokalisasi dalam tubuh, imunitas dibagi dalam :
-
Imunitas humoral ; imunitas ini terkandung dalam imunoglobulin (Ig). Setiap
molekul Ig terdiri dari rantai H dan L. Rantai H terdiri dari bermacam-macam tipe,
tetapi yang terpenting untuk imunitas ialah rantai G, A dan M. Oleh karena itu
dinamakan juga IgG, IgA dan IgM.
-
Imunitas selular ; terdiri dari : a. fagositosis sel-sel sistem retikulo endotelial. b.
kemampuan sel tubuh untuk menolak dan mengeluarkan benda asing. c. alergi kulit
terhadap benda asing. d. mengenal antigen secara cepat dan bereaksi secara cepat
untuk menghindarkan akibat buruk.
Patofisiologi1,2
Walaupun belum diperoleh bukti yang nyata benar, namun pendapat umum
menyatakan bahwa stem cell merupakan permulaan semua sel yang mengakibatkan
imunitas yang menempuh dua jalan yaitu melampaui timus (sel T) dan bursa (sel B). Dua
organ ini penting untuk pembuatan sel imunitas. Dalam bidang imunologi kuman atau
racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Bila antigen untuk pertma kali masuk ke
dalam tubuh manusia, maka sebagai reaksinya tubuh akan membentuk zat anti. Bila
antigen itu kuman, zat anti yang dibuat tubuh disebut sebagai antibodi. Selanjutnya bila
tubuh terserang antigen yang sama atau yang telah dikenal terlebih dahulu, maka port
d’entrée pertama-tama akan berhadapan dengan sel T dan bila diperlukan maka sel T ini
akan memberikan informasi kepada sel B agar secepatnya membuat imunoglobulin untuk
memusnahkan antigen tersebut. Jalan kebalikan juga dapat terjadi (sel B memberikan
informasi kepada sel T), hanya cara informasi ini belum diketahui benar.
Jadi pada dasarnya reaksi pertama tubuh untuk membentuk antibody terhadap
antigen, tidaklah terlalu kuat, karena tubuh belum mempunyai pengalaman untuk
mengatasinya. Tetapi pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan berikutnya, tubuh sudah pandai
membuat zat anti dan pembentukkannya pun sangat cepat. Akan tetapi setelah beberapa
bulan / tahun jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang karena akan dirombak oleh
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
tubuh, sehingga imunitas tubuh pun akan menurun. Agar tubuh tetap kebal diperlukan
perangsangan kembali oleh antigen.
Bila seseorang mendapat imunisasi baik oral maupun parenteral maka reaksi
imunitas akan terjadi pada sel T dan B. oleh karenanya walaupun imunisasi sudah lama
diberikan dan kadar zat anti dalam darah sudah menurun, belumlah berarti bahwa
imunitas tubuh telah hilang. Masih ada imunitas sel (sel T) yang bila perlu dapat
mengenal secara cepat sehingga produksi zat anti dapat terjadi.
Imunisasi yang diwajibkan (PPI)1
Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DPT, dan campak.
BCG (Bacillus Calmette Guerin)1,2,5
Vaksinasi BCG memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis
(TBC). BCG diberikan 1 kali sebelum anak berumur 2 bulan. Vaksin disuntikkan
secara intrakutan di insertio m.deltoideus lengan kanan dengan dosis 0,05 ml
untuk bayi dibawah usia 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak usia 1 tahun atau lebih.
Jika diberikan pada usia lebih dari 2 bulan maka uji mantoux terlebih dahulu, jika
uji mantoux (+)  maka tidak perlu diimunisasi.
Vaksin BCG ulangan tidak dianjurkan oleh karena manfaatnya diragukan
mengingat :
1. efektivitas perlindungan hanya 40%
2. sekitar 70% kasus TBC berat ternyata mempunyai parut BCG
3. kasus dewasa dengan BTA positif di Indonesia cukup tinggi (25-36%)
walaupun mereka telah mendapat BCG pada masa kanak-kanak
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang, atau
pada pasien HIV).
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Reaksi yang mungkin terjadi:

Reaksi lokal : 1-2 minggu setelah penyuntikan, pada tempat penyuntikan timbul
kemerahan dan benjolan kecil yang teraba keras. Kemudian benjolan ini berubah
menjadi pustula (gelembung berisi nanah), lalu pecah dan membentuk luka terbuka
(ulkus). Luka ini akhirnya sembuh secara spontan dalam waktu 8-12 minggu dengan
meninggalkan jaringan parut.

Reaksi regional : pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau leher, tanpa disertai
nyeri tekan maupun demam, yang akan menghilang dalam waktu 3-6 bulan.
Komplikasi yang mungkin timbul adalah:

Pembentukan abses (penimbunan nanah) di tempat penyuntikan karena penyuntikan
yang terlalu dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan. Untuk mempercepat
penyembuhan, bila abses telah matang, sebaiknya dilakukan aspirasi (pengisapan
abses dengan menggunakan jarum) dan bukan disayat.

Limfadenitis supurativa, terjadi jika penyuntikan dilakukan terlalu dalam atau
dosisnya terlalu tinggi. Keadaan ini akan membaik dalam waktu 2-6 bulan.
DPT1,2,3,4,5
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin yang melindungi terhadap difteri, pertusis dan
tetanus.
Dasar :
-
vaksin difteri ; toksin kuman yang dilemahkan (toksoid)
-
vaksin tetanus ; toksoid
-
vaksin pertusis ; kuman B. pertusis yang dimatikan
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Daya proteksi vaksin difteri dan tetanus adalah 80-95%, sedangkan pertusis
adalah 50-60%. Imunisasi DPT ataupun DT diberikan Intramuskular atau
subkutan dalam. Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3x, dimulai pada usia 3
bulan dengan dosis masing-masing 0,5 ml dengan selang 4 minggu (1 bulan ),
kemudian diperkuat dengan imunisasi keempat yang diberikan 1 tahun setelah
imunisasi ketiga. Ulangan imunisasi berikutnya dilakukan pada usia 5 tahun (usia
masuk sekolah) masih menggunakan DPT. Selanjutnya ulangan imunisasi
dilakukan setiap 5 tahun dengan menggunakan DT saja tanpa pertusis karena
vaksin tersebut tidak dianjurkan pada anak usia lebih dari 7 tahun karena reaksi
dapat lebih hebat.
DPT sering menyebabkan efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau
nyeri di tempat penyuntikan selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi
karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin. Untuk mengatasi nyeri dan
menurunkan demam, bisa diberikan asetaminofen (atau ibuprofen). Untuk
mengurangi nyeri di tempat penyuntikan juga bisa dilakukan kompres hangat atau
lebih sering menggerak-gerakkan lengan maupun tungkai yang bersangkutan.
Pada kurang dari 1% penyuntikan, DTP menyebabkan komplikasi berikut:

demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius)

kejang

kejang demam (resiko lebih tinggi pada anak yang sebelumnya pernah mengalami
kejang atau terdapat riwayat kejang dalam keluarganya)

syok (kebiruan, pucat, lemah, tidak memberikan respon).
Jika anak sedang menderita sakit yang lebih serius dari pada flu ringan, imunisasi
DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika anak pernah mengalami kejang,
penyakit otak atau perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda
sampai kondisinya membaik atau kejangnya bisa dikendalikan.
Kontraindikasi : riwayat anafilaksis, ensefalopati, hiperpireksia.
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Imunisasi Polio1,2,3,4
Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis.
Terdapat 2 macam vaksin polio:

IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah
dimatikan dan diberikan melalui suntikan.

OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah
dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan. Bentuk trivalen (TOPV)
efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen (MOPV) efektif melawan 1
jenis polio.
Jadwal imunisasi polio
-
Polio-0 diberikan saat bayi lahir, karena Indonesia merupakan daerah endemik polio.
Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka dianjurkan diberikan saat bayi
meninggalkan rumah sakit agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin
dapat diekskresikan melalui tinja. Untuk keperluan ini, IPV dapat menjadi alternatif.
-
Polio-1,2,3 dapat diberikan bersama dengan DPT 1,2,3.
-
Polio-4 diberikan satu tahun setelah polio 3 atau diberikan bersamaan DPT 4.
-
Polio-5 diberikan pada umur 5 tahun atau diberikan bersamaan DPT 5.
Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2
tetes (0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang
berisi air gula. Vaksin Salk mengandung 3 tipe, disuntikkan subkutan, yang
pertama umur 3 bulan, yang kedua 4 minggu kemudian dan yang ketiga 6-7 bulan
sesudah yang kedua. Efek samping tidak ada.
Manfaat vaksin Salk dan Sabin sebenarnya sama, namun untuk negara yang
sedang berkembang vaksin Sabin lebih menguntungkan karena lebih murah (tanpa
suntikan), mudah didistribusikan dan mudah diberikan kepada anak.
Kontra indikasi pemberian vaksin polio:

Diare berat

Penyakit akut atau demam
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I

Hipersensitif yang berlebihan terutama pada neomisin, polimiksin, streptomisin)

Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid)

Kehamilan
Imunisasi Campak1,2,4,5
Imunisasi campak memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit campak
(tampek). Vaksin disuntikkan secara subkutan dalam sebanyak 0,5 mL, pada umur
9 bulan. Pada bayi yang baru lahir mendapat kekebalan pasif terhadap penyakit
campak dari ibunya yang pernah terinfeksi morbili dan kekebalan pasif tersebut
bertahan selama ± 6 bulan. Apabila telah mendapat vaksinasi MMR pada usia 1518 bulan ulangan campak pada umur 5 tahun tidak diperlukan. Tetapi bila anak
baru datang pada usia diatas 12 bulan dan ia belum pernah menderita penyakit
campak maka sebaiknya vaksinasi segera dilakukan.
Kontra indikasi pemberian vaksin campak:

infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38° Celsius

gangguan sistem kekebalan

pemakaian obat imunosupresan

alergi terhadap protein telur

kehamilan
Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam, ruam kulit, diare,
konjungtivitis dan kejang yang ringan, serta ensefalitis dalam waktu 30 hari
setelah imunisasi (kejadian 1 diantara satu juta suntikan).
Imunisasi Hepatitis B1,4
Imunisasi bertujuan untuk mendapat kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B.
Lokasi penyuntikan di daerah deltoid secara intramuskular, dengan dosis 0,5 ml.
Jadwal imunisasi :
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I

Imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir, mengingat paling tidak
3,9% ibu hamil merupakan pengidap hepatitis dengan resiko transmisi maternal
sebesar 45%

Hepatitis B II diberikan dengan interval 1 bulan dari hepatitis B I (saat bayi berumur
1 bulan)

Hepatitis B III diberikan dengan interval 2-5 bulan setelah hepatitis B II (saat bayi
umur 3-6 bulan)
Apabila semula status HbsAg ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan
selanjutnya diketahui bahwa HbsAg ibu positif maka masih dapat diberikan HBIg 0,5 ml
sebelum bayi berumur 7 hari. Vaksinasi hepatitis B dapat diberikan kepada ibu hamil
dengan aman dan tidak membahayakan janin,
Apabila sampai umur 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis B,
maka secepatnya diberikan. Ulangan imunisasi hepatitis B (hep B IV) dapat
dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun.
Reaksi imunisasi : segera setelah imunisasi dapat timbul demam yang tidak tinggi, pada
tempat penyuntikan timbul kemerahan, pembengkakan, nyeri rasa mual dan nyeri sendi.
Imunisasi tidak dapat diberikan kepada anak yang menderita sakit berat. Efek samping
yang berarti tidak pernah dilaporkan.
Imunisasi yang dianjurkan1
Imunisasi yang dianjurkan diberikan kepada bayi / anak namun belum masuk ke dalam
program imunisasi nasional adalah MMR, Hib, Tifoid, Hepatitis A, Varisela, dan
influenza.
MMR1,4,5
Imunisasi MMR memberi perlindungan terhadap measles, mumps dan rubella,
vaksin MMR mengandung ketiga virus tersebut yang telah dilemahkan. Vaksin
MMR diberikan pada umur 15-18 bulan dengan dosis satu kali 0,5 ml, secara
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
subkutan. MMR diberikan minimal 1 bulan sebelum atau setelah penyuntikkan
imunisasi lainnya.
Apabila seorang anak telah mendapat imunisasi MMR pada umur 12-18 bulan,
imunisasi campak-2
pada umur 5-6 tahun tidak perlu diberikan. Ulangan
diberikan pada umur 10-12 tahun atau 12-18 tahun (sebelum pubertas).
Reaksi imunisasi : kadang-kadang timbul kenaikan suhu ringan pada hari ke-5
atau ke-7 atau rasa nyeri dan kemerahan pada tempat suntikan.
Jika anak sakit, imunisasi sebaiknya ditunda sampai anak pulih. Imunisasi MMR
sebaiknya tidak diberikan kepada:

Alergi yang berat (gelatin atau neomisin)

anak dengan demam akut

anak yang 3 bulan yang lalu menerima gamma globulin

anak yang mengalami gangguan kekebalan tubuh akibat kanker, leukemia,
limfoma maupun akibat obat prednison, steroid, kemoterapi, terapi penyinaran
atau obati imunosupresan.

wanita hamil atau wanita yang 3 bulan kemudian hamil
Imunisasi Hib1,4,5
Imunisasi Hib membantu mencegah infeksi oleh Haemophilus influenza tipe b.
Organisme ini bisa menyebabkan meningitis, pneumonia dan infeksi tenggorokan
berat yang bisa menyebabkan anak tersedak.
Terdapat dua jenis vaksin Hib konjugasi yang beredar di Indonesia yaitu PRP-T
dan PRP-OMP (PRP outer membrane protein complex).
Jadwal imunisasi :

Vaksin PRP-T diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan

Vaksin PRP-OMP diberikan pada umur 2 dan 4 bulan
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I

Vaksin Hib dapat diberikan secara bersamaan dengan DPT dalam bentuk
vaksin kombinasi dalam kemasan prefilled syringe 0,5 ml.

Vaksin Hib baik PRP-T ataupun PRP-OMP perlu diulang pada umur 18 bulan

Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali.
Dosis :
Satu dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara intramuskular.
Imunisasi Hib tidak dianjurkan pada wanita hamil, bila terdapat demam dan
hipersensitivitas terhadap komponen vaksin. Efek samping yang serius tidak
pernah dilaporkan, namun dapat terjadi reaksi lokal berupa pembengkakan, nyeri,
dan kemerahan kulit atau reaksi umum berupa ruam kulit, demam dan urtikaria.
Imunisasi Demam Tifoid1,3,4,5
Imunisasi ini diberikan untuk memperoleh kekebalan aktif terhadap penyakit
demam tifoid. Terdapat 2 jenis vaksin yaitu vaksin suntikan (polisakarida) dan
oral. Vaksin capsular Vi polysaccharida diberikan pada umur lebih dari 2 tahun,
ulangan setiap 3 tahun. Sedangkan vaksin oral diberikan pada umur lebih dari 6
tahun, dikemas dalam 3 dosis dengan interval selang hari (hari 1, 3, dan 5).
Imunisasi ulangan dilakukan setiap 3-5 tahun.
Vaksin demam tifoid oral :

Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dipecahkan karena kuman dapat
dimatikan oleh asam lambung.

Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid, atau
antimalaria yang aktif terhadap salmonella.
Vaksin polisakarida parenteral :
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I

Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman salmonella
typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung
natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk
suntikan.

Kontraindikasi ; alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin, juga pada saat
demam, penyakit akut maupun kronik progresif.
Reaksi imunisasi pada pemberian vaksin oral dapat dijumpai demam, mencret,
muntah dan kemerahan kulit, sedangkan vaksin suntikan hanya nyeri ringan,
kemerahan, dan pembengkakan pada tempat suntikan.
Efek samping yang berbahaya jarang sekali terjadi.
Imunisasi Hepatitis A1,4
Imunisasi ini bertujuan untuk memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis A.
di Indonesia telah beredar kombinasi hepatitis B/hepatitis A.
Jadwal imunisasi :

Vaksin hep A diberikan pada umur lebih dari 2 tahun

Vaksin kombinasi tidak diberikan pada bayi kurang dari 12 bulan. Maka vaksin
kombinasi ini diindikasikan terutama untuk mengejar imunisasi pada anak yang
belum pernah mendapat imunisasi hep B sebelumnya atau vaksinasi hep B yang tidak
lengkap.
Dosis pemberian :

Dosis 720 U diberikan dua kali dengan interval 6 bulan, intramuskular di daerah
deltoid.
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I

Kombinasi hepB/hepA (berisi hepB 10 mg dan hepA 720µ) dalam kemasan prefilled
syringe 0,5 ml intramuskular
Reaksi imunisasi biasanya berupa kemerahan dan pembengkakan pada daerah suntikkan,
kadang-kadang demam, lesu, mual, muntah dan hilang nafsu makan.
Imunisasi Varisela1,3,4
Vaksin varisela berisi virus varisela zoster strain OKA hidup yang telah dilemahkan,
kemasan dalam bentuk beku-kering.
Jadwal imunisasi :
Direkomendasikan pada umur 10-12 tahun yang belum terpajan
Untuk anak yang mengalami kontak dengan pasien varisela, vaksinasi dapat mencegah
apabila diberikan dalam kurun waktu 72 jam setelah kontak.
Dosis :

Dosis 0,5 ml, subkutan, 1 kali.

Untuk umur lebih dari 13 tahun atau dewasa, diberikan 2 kali dengan jarak 4-8
minggu.
Kontraindikasi :
Vaksin tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, hitung limfosit 1200/µl atau
adanya bukti defisiensi imun seluler seperti selama pengobatan induksi penyakit
keganasan atau 3 tahun fase radioterapi, pasien dalam pengobatan kortikosteroid, dan
pasien yang alergi terhadap neomisin.
Kejadian ikutan Pasca Imunisasi1
Klasifikasi
Tidak semua kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) disebabkan oleh imunisasi karena
sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu untuk
menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai :

Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu

Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I

Derajat sakit resipien, apakah memerlukan perawatan, menderita cacat, atau
menyebabkan kematian

Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti, dan

Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan
produksi, atau kesalahan prosedur.
Komnas Pengkajian dan Penanggulangan KIPI mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2
klasifikasi, yaitu :
1. Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pacific (1999) untuk petugas kesehatan
di lapangan.
Sesuai dengan manfaatnya di lapangan maka KN PP KIPI memakai kriteria WHO
untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu :

Kesalahan program
sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin, misalnya :
o
dosis antigen (terlalu banyak)
o
lokasi dan cara menyuntik
o
sterilisasi semprit dan jarum suntik
o
jarum bekas pakai
o
tindakan dan antiseptik
o
kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
o
penyimpanan vaksin
o
pemakaian sisa vaksin
o
jenis dan jumlah pelarut vaksin
o
tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi
kontra)

Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung
maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan
langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan,
sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual
sampai sinkope.
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I

Reaksi vaksin
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi
terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis
biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti
reaksi anafilaksis sistemik dengan risiko kematian. Reaksi simpang ini sudah
teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pamakaian tertulis oleh
produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau
berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi
dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi
dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

Koinsiden (faktor kebetulan)
Seperti telah disebutkan maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan
saja setelah imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya
kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan
karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.

Sebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke
dalam satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini
sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi
tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.
Klasifikasi lapangan ini dapat dipakai sebagai pencatatan dan pelaporan KIPI.
WHO pada tahun 1991 melalui expanded programme on imunisation (EPI) telah
menganjurkan agar pelaporan KIPI dibuat oleh semua negara. Untuk negara
berkembang yang paling penting adalah bagaimana mengontorl vaksin dan
mengurangi programmatic errors, termasuk cara menggunakan alat suntik dengan
baik, alat yang sekali pakai, dan cara penyuntikan yang benar sehingga transmisi
patogen melalui darah dapat dihindarkan. Ditekankan pula bahwa untuk memperkecil
terjadinya KIPI harus selalu diupayakan peningkatan ketelitian pemberian imunisasi
selama program imunisasi dilaksanakan.
2. klasifikasi kausalitas menurut IOM 1991 dan 1994 untuk telaah komnas PP KIPI.
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Vaccine Safety Commitee (1994) membuat klasifikasi KIPI yang sedikit berbeda
dengan laporan Commitee Institute of Medicine (1991) dan menjadi dasar klasifikasi
saat ini, yaitu :
o
Tidak terdapat bukti hubungan kausal
o
Bukti tidak cukup untuk menerima atau menolak hubungan kausal
o
Bukti memperkuat penolakan hubungan kausal
o
Bukti memperkuat penerimaan hubungan kausal
o
Bukti memastikan hubungan kausal
Pelaporan
KIPI adalah insiden medik yang terjadi setelah imunisasi dan dianggap disebabkan oleh
imunisasi. Komnas Pengkajian dan penanggulangan KIPI menetapkan bahwa KIPI adalah
semua kejadian penyakit atau kematian dalam kurun waktu 1 bulan setelah imunisasi.
Meskipun masyarakat seringkali beranggapan bahwa insiden medik setelah imunisasi
selalu disebabkan oleh imunisasi, insiden umumnya terjadi secara kebetulan (koinsiden).
Sebagian yang beranggapan bahwa vaksin sebagai penyebab KIPI juga keliru. Penyebab
sebenarnya adalah kesalahan program yang sebetulnya dapat dicegah. Untuk menemukan
penyebab KIPI kejadian tersebut harus dideteksi dan dilaporkan.
KIPI yang harus dilaporkan adalah semua kejadian yang berhubungan dengan imunisasi
seperti :
o
Abses pada tempat suntikan
o
Semua kasus limfadenitis BCG
o
Semua kematian yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat berhubungan
dengan imunisasi
o
Semua kasus rawat inap, yang diduga oleh petugas kesehatan atau masyarakat
berhubungan dengan imunisasi
o
Insiden medik berat atau tidak lazim yang diduga oleh petugas kesehatan atau
masyarakat berhubungan dengan imunisasi
Tindak lanjut
Pelacakan harus dilakukan segera setelah laporan diserahkan tanpa ditunda. Pelacakan
dimulai oleh petugas kesehatan yang mendeteksi KIPI, atau oleh supervisor yang melihat
pola tertentu di daerah binaannya. Di lain pihak, dalam beberapa keadaan untuk KIPI
tertentu tidak perlu dilakukan tindak lanjut, seperti penyakit yang tidak berhubungan
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
dengan imunisasi, seperti pneumonia setelah penyuntikan DPT. Meskipun demikian
apabila orang tua pasien atau pihak keluarga menganggap kejadian tersebut berhubungan
dengan imunisasi, berikan kesempatan kepada mereka untuk mendiskusikan masalah
tersebut dengan etuas kesehatan.
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
LAMPIRAN DOKUMENTASI
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
DAFTAR PUSTAKA
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Dalam : Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Ranuh
IGN, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Penyunting. Edisi ke-2, IDAI :
Balai Penerbit, 2005. h. 1-256.
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Pediatri Pencegahan. Dalam : Hassan R,
Alatas H, Latief A, Penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-1, Jakarta :
Balai Penerbit, 1985. h. 1-22.
3. Wahab Samik A. Praktek – praktek imunisasi. Dalam : Bart JK, Penyunting. Nelson
Ilmu kesehatan Anak. Edisi ke-15, 2000.h.1248
4. American Academy of Pediatrics. Recommended Immunization Schedules for
Children and Adolescents – United States, 2007 dari : http://www.pediatrics.org
diakses tanggal 1 Januari 2007.
5. http://www.medicastore.com,
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs289/en/,
http://www.medsafe.govt.nz/profs/datasheet/v/vaxigripinj.htm/
tentang
penjelasan
imunisasi
6. Glauber JH. The Immunization Delivery Effectiveness Assessment Score. Journal of
Pediatrics.July 2003;I : e39-e-45
Cohen NJ, dkk. Physician Knowledge of Catch-up Regimens and Contraindications
for childhood Immunizatios. Journal of Pediatrics. May 2003 : III : 925-932
Laporan Penyuluhan – I M U N I S A S I
Download