PEMIKIRAN TAFSIR MUHAMMAD RASYÎD RIDHÂ

advertisement
PEMIKIRAN TAFSIR MUHAMMAD RASYÎD RIDHÂ
DR. Muhammad Nurung, Lc. MAg
ABSTRAK
This essay discusses the thought of Muhammad Rashid Ridha (d. 1935)
concerning qur’anic exegesis. He maintained that one of the problems faced by
muslim community is that majority of interpretation tends to focus on Arabic
grammatical issues, theological disputes, mystical point of views, sect fanaticism
and the use of narrations without selection. So, observing this phenomenon,
Muhammad Rashid Ridha offers an effort to place Qur’anic exegesis in its true
purpose and meaning.
Pendahuluan
Tujuan utama Ilmu Tafsir adalah memahamkan maksud al-Quran agar
dapat menuntun menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.1
Pada masa Nabi
Muhammad masih hidup tujuan itu terwujud secara sempurna, sebab di samping
memang diutus untuk menjelaskan al-Quran, ia juga terjaga dari kemungkinan
salah dalam memahaminya,2 “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. al-Nahl/16:44).
Tujuan Ilmu Tafsir tersebut tetap terjaga hingga muncul faktor-faktor
yang menglihkannya, yang antara lain, Isrâiliyyat (kisah bani Israil), fanatisme
mazhab, kebahasaan, teori-teori politik, dan lain-lain. Menurut Muhammad
Husaîn al-Dzahabî, faktor-faktor ini secara efektif mengalihkan penafsiran dari
tujuan utamanya kepada pengungkapan aspek-aspek tertentu yang bukan menjadi
tujuannya, seperti pembahasan aspek kebahasaan, perbedaan pendapat fikhi,
perdebatan tentang persoalan-persoalan ilmu kalam, dan lain-lain. Bahkan di
antaranya ada yang menafsirkan al-Quran dalam rangka mendukung pandangan
atau mazhab tertentu.3
Pengalihan seperti itu, oleh sementara ahli dilihat sebagai penyimpangan
dari tujuan utama Ilmu Tafsir. Muhammad Rasyîd Ridhâ, umpamanya,
mengatakan di antara problematika yang dihadapi Umat Islam adalah mayoritas
buku tafsir yang beredar memalingkan pembacanya dari maqâshid al-Qur’ân dan
petunjuknya. Di antara hal yang memalingkan itu, kajian i’râb (analisis struktur
kalimat) dan gramatika, persoalan-persoalan Ilmu M‘ânî dan istilah-istilah Ilmu
Bayân, perdebatan ahli Ilmu Kalâm, uraian Ushul Fikhi yang sangat mendetail,
ijtihad para fukaha yang taklid, tawil ahli Ilmu Tasawuf, fanatisme golongan dan
mazhab, penggunaan riwayat yang banyak tanpa seleksi, khurafat isrâiliyyât. alRâzî kemudian menambahkan hal yang lain, yaitu matematika dan ilmu alam.4
Berangkat
dari
kenyataan
itu
muncul
keinginan
kuat
untuk
mengembalikan tujuan utama Ilmu Tafsir. Keinginan ini kemudian berubah
menjadi gerakan nyata membentuk corak penafsiran yang baru, yaitu corak
penafsiran al-adabî al-ijtimâ’î (sastra dan kemasyarakatan).5Tokoh utamanya,
Muhammad ‘Abduh, menyatakan bahwa tafsir yang diharapkan adalah tafsir yang
memperlakukan al-Quran sebagai agama yang menuntun umat manusia kepada
kebahagiaan dunia dan akhirat.6
Dari keterangan di atas terlihat bahwa kriteria penafsiran yang diinginkan
‘Abduh setidaknya ada tiga, yaitu pertama, memperlakukan al-Kitâb, yakni alQuran sebagai agama (sumber agama Islam). Dengan kriteria ini agaknya ‘Abduh
ingin
mengatakan
penafsiran
yang
diinginkan
adalah
penafsiran
yang
memperlakukan al-Quran sebagai kitab wahyu, dan bukan sebagai produk budaya.
Sikap ini, antara lain, terungkap di dalam bukunya, Risâlah al-Taûhîd.7 Kedua,
menuntun kepada kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Kriteria ini tampaknya
menegaskan bahwa penafsiran yang diinginkan adalah penafsiran yang
menekankan pada aspek tuntunan (irsyâdî), yakni menekankan pada aspek
tuntunan al-Quran pada dua kebahagiaan. Ketiga, sasaran penafsirannya adalah
mewujudkan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Kriteria ini merupakan arah
penafsiran yang diinginkan oleh ‘Abduh, yang mana menekankan pada upaya dan
cara-cara mencapai dua wilayah kebahagiaan, duniawi dan ukhrawi. Karena itu,
tidak sulit menemukan uraiannya yang menekankan pada pencapaian dua wilayah
kebahagiaan itu di dalam penafsirannya. Sebutlah sebagai contoh,
ketika ia
menjelaskan poin kedua dari tujuan al-Quran diturunkan. Menurutnya, al-wa‘d,
atau kebaikan yang dijanjikan meliputi kenikmatan dan kebahagiaan duniawi dan
ukhrawi. Kenikmatan duniawi berupa kepemimpinan di muka bumi, kemuliaan,
kekuatan, dan kekuasaan. Kenikmatan ukhrawi berupa surga dan berbagai
kenikmatan yang lain. Sedangkan al-wa‘îd, atau keburukan yang dijanjikan
meliputi kesengsaraan duniawi dan ukhrawi. Kesengsaraan duniawi berupa
kehinaan dan kesulitan di dunia, dan di akhirat berupa neraka Jahanam.8
Salah seorang yang terlibat aktif dalam upaya mengembalikan tafsir pada
tujuan utamanya adalah Muhammad Rasyîd Ridhâ. Dia adalah tokoh yang sangat
terpengaruh pemikiran pembaruan ‘Abduh, termasuk dalam hal ini pemikiran
tafsir. Seperti halnya ‘Abduh, Ridhâ juga menghendaki corak tafsir yang berbeda
dari corak tafsir para mufasir terdahulu. Ia melihat penafsiran yang dibutuhkan
adalah penafsiran yang mengedepankan hidâyah al-Qur’ân (petunjuk al-Quran).9
Jadi, baik ‘Abduh maupun Ridhâ menginginkan penafsiran yang
menekankan pada aspek hidâyah al-Qur’ân (petunjuk al-Quran). Dalam
perspektif corak penafsiran ia disebut corak penafsiran adabî ijtimâ‘î, yaitu corak
penafsiran yang salah satu cirinya menekankan pada pengungkapan maksud ayat,
atau petunjuk al-Quran. 10
Telaah atas Pemikiran Tafsir Ridhâ
Nama dan Latar Belakang Penulisan Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm.
Seperti sudah dikemukakan terdahulu bahwa salah satu upaya yang dilakukan
Ridhâ dalam rangka menyebarkan ide-ide pembaruannya adalah aktif menulis,
baik dalam bentuk buku maupun artikel. Salah satu karya tulisnya yang sangat
monumental adalah Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, atau yang lebih dikenal dengan
Tafsîr al-Manâr.11
Tafsir ini, meski hasil penafsiran bersama antara ‘Abduh dan Ridhâ,
pemilik sesungguhnya adalah Ridhâ. Hal ini didasarkan setidaknya pada tiga
alasan. Pertama, ide dasar kemunculan tafsir ini berasal darinya. Hal itu berawal
dari usulannya kepada ‘Abduh untuk menulis tafsir al-Quran. Meski usulan ini
ditolak ‘Abduh, namun tidak keberatan terhadap usulan yang lain, yakni agar ia
menyampaikan kajian tafsir di masjid al-Azhar. Berangkat dari usulan itu pada
bulan Muharram tahun 1317 H ‘Abduh memulai kajiannya di masjid al-Azhar dan
berakhir pada bulan Muharram tahun 1323 H. Kajian dimulai dari surah al-
ُِ ‫وَﻛﺎ َن ا ﱠ ﺑِ ُﻜ ِﻞ َﺷﻲ ٍء‬
Fâtihah sampai pada ayat 126 dari surah al-Nisâ, ‫ﳏﻴﻄًﺎ‬
َ
ْ ّ ُ
12
. Jadi,
kajian ‘Abduh berlangsung selama 6 tahun dan berhasil menafsirkan sebanyak
lebih kurang 5 juz al-Quran.
Kedua, yang mencatat dan mengedit kajian ‘Abduh adalah Ridhâ. Hasil
edit kemudian diperiksa kembali oleh ‘Abduh. Terkait dengan ini Ridhâ
mengatakan: “Aku terlebih dahulu memperlihatkan pada Ustaz Imam apa yang
sudah aku persiapkan untuk dicetak setiap kali hal itu memungkinkan…“13. Hasil
edit yang sudah diperiksa dipublikasikan secara berkala di majalah al-Manâr.
Ketiga, ayat-ayat yang ditafsirkan Ridhâ sendiri lebih banyak dari pada
yang ditafsirkan oleh ‘Abduh. Terkait dengan ini, M. Quraish Shihab mengatakan,
Tafsîr al-Manâr lebih tepat disebut milik Ridhâ, karena di samping lebih banyak
yang ditulisnya, baik ayat maupun jumlah halaman, juga karena dalam penafsiran
surah al-Fâtihah, al-Baqarah, dan al-Nisâ' ditemukan pendapat-pendapat Ridhâ.
Lebih lanjut Shihab menjelaskan bahwa ‘Abduh menafsirkan 413 ayat, yang
ditulis dalam kurang dari 5 jilid, sedangkan Ridhâ menafsirkan sebanyak 930
ayat, sebanyak tujuh jilid lebih.14
Penulisan Tafsîr al-Qur‘ân al-Hakîm dan publikasinya di majalah alManâr dilatarbelakangi oleh keinginan Ridhâ menyebarluaskan ide-ide pembaruan
‘Abduh, seperti sudah dibaca pada surah kabar al-‘Urwah al-Wutsqâ ketika masih
tinggal di Suriah. Baginya, artikel-artikel ‘Abduh yang dimuat surat kabar itu
sangat menakjubkan, karena persoalan-persoalan yang dibahas selalu dilandaskan
pada al-Quran. Di samping itu, juga karena corak pemahaman ‘Abduh terhadap
al-Quran yang berbeda dari para mufasir sebelumnya, baik dari sisi gaya bahasa
maupun caranya memahami ayat-ayat al-Quran.15
Perbandingan Penafsiran ’Abduh dan Ridhâ. Seperti halnya dalam
bidang-bidang lain, dalam bidang tafsir al-Quran Ridhâ juga sangat dipengaruhi
oleh ‘Abduh, kalau tidak mau dikatakan mengikuti sepenuhnya. Muhammad
Husaîn al-Dzahabî (w. 1977 M),16 ketika menerangkan pengaruh ‘Abduh terhadap
Ridhâ dalam bidang tafsir, mengatakan bahwa, “Referensi penafsiran Ridhâ,
tujuan, metode dan juga pemikiran tafsirnya sama dengan ‘Abduh. Keduanya
tidak berbeda kecuali dalam beberapa hal yang jumlahnya sangat sedikit.“17
Karena itu, ciri-ciri pokok penafsiran ‘Abduh, yang kemudian membentuk
corak penafsiran tersendiri, juga dianut oleh Ridhâ. Ciri-ciri yang dimaksud
adalah,18 pertama, menitikberatkan pada pengungkapan maksud ayat dan surah alQuran, atau unsur hidâ’î al-Qur'ân. Kedua, mengkombinasikan antara tafsîr bi
al-ma’tsûr (tafsir riwayat) yang sahih dengan tafsir bi al-ra’yi (tafsir nalar) yang
benar. Ketiga, selalu berupaya mengungkap hikmah perundang-undangan yang
terdapat pada ayat-ayat al-Quran. Keempat, selalu berupaya mengungkap hukum
alam (sunnatullah) yang terdapat pada ayat-ayat al-Quran. Kelima, memandang
ajaran al-Quran sebagai tuntunan yang universal. Keenam, memadukan antara
ajaran al-Quran dan persoalan-persoalan kekinian. Ketujuh, Menggunakan bahasa
yang komunikatif, sehingga dapat dipahami semua kalangan. Kedelapan, selalu
berupaya mengungkap kekeliruan para filosof dan ilmuwan.19
Ciri-ciri tersebut, secara umum, ada pada penafsiran keduanya. Hanya saja
sementara ahli melihat segi-segi perbedaan keduanya. ‘Abdullah Mahmûd
Syahâtah, umpamanya, di dalam bukunya Manhaj al-Imâm Muhammad ‘Abduh fî
Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm20 menyebutkan ada 9 prinsip yang menjadi landasan
penafsiran ‘Abduh, yakni pertama, kesatuan surah al-Quran. Yaitu, ayat-ayat alQuran pada setiap surah merupakan satu kesatuan yang padu. Kedua, Ajaran alQuran bersifat universal dan komprehensif. Ketiga, al-Quran sumber pertama dan
utama perundang-undangan Islam. Keempat, memerangi taklid. Kelima,
menggunakan pendekatan ilmiah dalam menafsirkan
al-Quran. Keenam,
Menempatkan akal sebagai dasar memahami al-Quran. Ketujuh, tidak
membicarakan secara mendalam hal-hal yang diungkap al-Quran secara global
atau samar (mubham). Kedelapan, sangat hati-hati terhadap tafsir yang didasarkan
pada riwayat (tafsîr bi al-Ma’tsûr) dan kisah-kisah israiliyyât. Kesembilan,
menekankan penataan masyarakat dengan nilai-nilai al-Quran.21
Pandangan serupa dikemukakan oleh Shihab. Menurutnya, ciri pokok
penafsiran ‘Abduh adalah, pertama, melihat ayat-ayat setiap surah sebagai satu
kesatuan yang serasi. Kedua, ayat al-Quran bersifat universal. Ketiga, menjadikan
al-Quran sebagai sumber akidah dan hukum. Keempat, Menggunakan akal secara
luas di dalam menafsirkan al-Quran. Kelima, Memberantas taklid. Keenam, tidak
merinci persoalan-persoalan yang disebutkan secara samar (mubham) oleh alQuran. Ketujuh, sangat slektif dalam menerima hadis nabi. Kedelapan, kritis
terhadap pendapat sahabat nabi, dan menolak israiliyyât. Kesembilan, mengaitkan
penafsiran al-Quran dengan kehidupan masyarakat.22
Sedangkan ciri khas penafsiran Ridhâ adalah, pertama, menafsirkan ayat
dengan ayat yang lain secara luas. Kedua, menafsirkan ayat dengan hadis sahih
secara luas. Ketiga, mengarahkan makna kosa kata dan redaksi ayat. Keempat,
Mengarahkan persoalan-persoalan khilâfiyyah (yang diperselisihkan). Kelima,
Mengarahkan dan menjelaskan secara luas persoalan-persoalan yang sangat
dibutuhkan oleh masyarakat.23
Ciri khas penafsiran Ridhâ yang lebih rinci dikemukakan oleh Syahâtah,
pertama, Ridhâ sangat memperhatikan kaedah-kaedah ilmiah, dan karena itu
penafsiarannya selalu merujuk pada referensi terkait.24 Kedua, penafsirannya
sangat terpengaruh penafsiran ’Imadu al-Dîn ibn Katsîr (w. 774 H).25 Ketiga,
penafsirannya sangat terpengaruh pemikiran al-Ghazâlî (w. 505 H).26 Keempat,
cenderung menafsirkan ayat bertele-bertele.27 Kelima, berupaya mengungkap
sunatullah suatu masyarakat dan sebab-sebab kemajuannya.
Seperti Syahâtah, Shihab juga meyebutkan ciri khas penafsiran Ridhâ,
yakni pertaama, menafsirkan ayat dengan ayat secara luas. Kedua, menafsirkan
ayat dengan hadis nabi secara luas. Ketiga, mengemukakan pembahasan yang luas
terkait persoalan yang dibutuhkan masyarakat. Keempat, membahas secara luas
kosa kata dan redaksi ayat.28
Menurut saya, meski terdapat perbedaan antara penafsiran ‘Abduh dan
Ridhâ, namun perbedaan itu tidak mendasar, sebab hanya terkait dengan cara
menyajikan penafsiran. Menurut Syahâtah, ”Sayîd Rasyîd menyimpang dari
metode imam dan gurunya, meski penyimpangan itu dari sisi cara penyajian
gagasan.”29 Adapun sisi-sisi perbedaaannya adalah, pertama, porsi penggunaan
akal. ‘Abduh sangat percaya terhadap kemampuan akal dalam menafsirkan ayatayat al-Quran. Hal itu tidak dapat dipisahkan dari pandangannya
terhadap
penggunaan akal di dalam Islam dan hubungan akal dengan wahyu. Menurutnya,
”Prinsip pertama yang menjadi dasar ajaran Islam adalah pengamatan akal. Islam
memandang bahwa untuk mencapai iman yang benar mesti dengan pengamatan
akal.”30 Selanjutnya ia mengatakan, ”Jika akal bertentangan dengan lahiriah
hukum syar'i maka akal dikedepankan”.31 Dalam mengartikulasikan pandanganpandangan itu, ‘Abduh tidak jarang menakwilkan, atau bahkan menolak hadis
sahih tertentu karena bertentangan dengan logikanya.32 Tidak demikian halnya
Ridhâ. Meski menggunakan akal secara luas, ia lebih banyak menggunakan dalîl
naqlî (al-Quran dan hadis) dibandingkan dengan gurunya.
Atas dasar itu sementara ahli memandang ‘Abduh lebih liberal
dibandingkan dengan Ridhâ. Harun Nasution, umpamanya, mengatakan meskipun
ide-ide yang dikemukakan Ridhâ memiliki banyak persamaan dengan ide-ide
‘Abduh namun terdapat perbedaan antara keduanya. Di antara perbedaan itu
‘Abduh lebih liberal dari Ridhâ, yang mana ‘Abduh tidak terikat oleh aliran atau
mazhab tertentu, sementara Ridhâ masih mengikuti mazhab tertentu dan masih
terikat pada pendapat-pendapat Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah. Perbedaan ini
timbul karena
‘Abduh lebih banyak berinteraksi dengan peradaban Barat
dibandingkan dengan Ridhâ. ‘Abduh pernah tinggal di Paris sementara Ridhâ
hanya pernah mengunjungi Jenewa. Demikian juga ‘Abduh bisa berbahasa
Prancis dan banyak membaca buku-buku Barat, sedangkan Ridhâ sedikit sekali,
atau bahkan tidak sama sekali. Selanjutnya yang pertama memiliki sejumlah
sahabat dari kalangan orang-orang Eropa sementara yang kedua tidak.33
Kedua, porsi penafsiran ayat dengan ayat yang lain. Seperti dikemukakan
di atas ‘Abduh sangat percaya pada kemampuan akal untuk memahami al-Quran.
Karenanya ia sangat sedikit menggunakan tafsir ayat dengan ayat yang lain (tafsîr
al-âyat bi al- âyat). Sebaliknya Ridhâ sangat banyak menggunakan ayat lain
untuk menjelaskan kosa kata, atau makna ayat dengan ayat yang lain. Menurut
Shihab, terdapat dua bentuk penafsiran ayat dengan ayat yang dilakukan oleh
Ridhâ, yakni, menafsirkan makna ayat tertentu dengan makna ayat yang lain, dan
menafsirkan arti kosa kata pada ayat tertentu dengan kosa kata yang terdapat pada
ayat yang lain.34
Ketiga, porsi penggunaan riwayat. Seperti terhadap tafsir ayat dengan ayat,
‘Abduh juga sangat slektif terhadap tafsir riwayat dan kisah-kisah isrâiliyyât.35
Pada titik ini Ridhâ lebih longgar dan tidak seselektif gurunya. Kalau sang guru
sangat mengedepankan hadis-hadis mutawâtir dan hadîts fi‘lî (hadis perbuatan
nabi) maka Ridhâ cukup dengan hadis-hadis ahâd36 yang sahih.37 Dibandingkan
dengan gurunya, ia lebih banyak menggunakan hadis nabi. Akibatnya, tidak
sedikit hadis yang ditolak guru justru diterima oleh murid. Guru, umpamanya,
berpendapat surah al-Quran yang pertama diturunkan adalah surah al-Fâtihah
dengan dasar sudah menjadi sunatullah sesuatu dimulai dengan yang bersifat
global kemudian diperinci. Surah al-Fâtihah dalam hal ini global kemudian
diuraikan surah-surah sesudahnya. Berbeda dengan gurunya, Ridhâ berpendapat
surah yang pertama diturunkan adalah surah al-‘Alaq dengan dasar hadis tentang
wahyu pertama, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.38
Keempat, penyikapan terhadap taklid. Baik Guru maupun murid
memandang bahwa taklid bertentangan dengan agama dan akal sehat, dan
karenanya harus diperangi. Hanya saja dibandingkan dengan guru, murid lebih
lunak. Bahkan sementara ahli menilainya masih bertaklid, terutama pada gurunya
sendiri. al-Dzahabî (w. 1977 M), umpamanya, memandang Ridhâ masih bertaklid
pada ‘Abduh dalam menafsirkan kisah Adam dan iblis, sihir, setan, jin, dan
mukjizat.39 Menurut saya, tidak tepat menyebut Ridhâ bertaklid, tetapi lebih
tepat disebut memiliki pendapat yang sama dengan gurunya dalam hal-hal tertentu
dan berbeda dalam banyak hal. Sebab ia tidak menerima pandangan-pandangan
gurunya begitu saja tanpa memahami dalil yang digunakan.40 Demikian juga ia
sering memberikan penjelasan tambahan, atau bahkan bersikap kritis terhadap
pandangan-pandangan gurunya, termasuk dalam hal yang disebutkan al-Dzahabî
di atas.
Kelima, porsi uraian ayat.
Berbeda dengan guru, murid seringkali
menguraikan ayat tertentu, baik dari kosa kata, redaksi maupun maknanya dengan
panjang lebar. Demikian pula seringkali menyisipkan persoalan-persoalan yang
tampak tidak ada kaitannya dengan tafsir. Atas dasar itu ia dikritik sementara
ahli, semisal Mahmûd Syahâtah. Di antara yang dikritisi kecamannya terhadap
penafsiran Fakhru al-Dîn al-Râzî (w.606 H/1210 M) yang panjang lebar. Ia,
umpamanya, mengecam Fakhru al-Dîn al-Râzî karena ia menguraikan panjang
lebar tentang langit, bumi, bintang-bintang dan planet. Namun ia sendiri
sesungguhnya terjebak pada persoalan yang ia kecam.41
Meski demikian, Mahmûd Syahâtah menegaskan penafsiran Ridhâ yang
panjang lebar itu dapat diterima karena masih terkait dengan tafsir al-Quran.
Tidak demikian halnya al-Râzî.42
Corak, Metode, dan Sistimatika Penafsiran Ridhâ. Penafsiran Ridhâ
bercorak adabî ijtimâ‘î (sastra dan kemasyarakatan). Menurut al-Dzahabî tafsir
corak adabî ijtimâ‘î adalah penafsiran yang pertama-tama menampilkan ketelitian
redaksi al-Quran. Setelah itu mengkonstruk makna-makna yang dikehendaki oleh
al-Quran dengan gaya bahasa yang menawan. Selanjutnya menerapkan teks alQuran terhadap sunah kehidupan sosial dan sistem pembangunan.43
Pendapat serupa dikemukakan oleh ‘Abdu
al-Hayyî al- Farmâwî.44
Menurutnya, tafsir corak adabî ijtimâ‘î adalah corak tafsir yang menitikberatkan
pada aspek ketelitian redaksi al-Quran, kemudian menyusun makna yang
dikandung dengan gaya bahasa yang indah dan menarik, kemudian menerapkan
teks al-Quran pada persoalan kemasyarakatan dan pembangunan, tidak
menggunakan istilah-istilah ilmiah yang bersifat teknis dari berbagai cabang ilmu
pengetahuan, dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak dibutuhkan dan
penting.45
Berangkat dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa penafsiran
corak adabî ijtimâ‘î memiliki tiga unsur utama, yaitu pertama, menitikberatkan
pada ketelitian redaksi ayat-ayat al-Quran. Kedua, mengkonstruk petunjuk atau
makna yang dikehendaki al-Quran. Ketiga, menerapkan konstruksi makna pada
persoalan-persoalan sosial dan pembangunan.
Penafsiran corak ini, menurut al-Farmâwî, memiliki banyak keunggulan
dibandingkan dengan corak yang lain, antara lain, pertama, mengungkap aspek
sastra dan kemukjizatan al-Qur’an. Kedua, menjelaskan isi kandungan dan tujuan
al-Quran serta mengungkap hukum alam dan hukum kemasyarakatan yang
terkandung di dalamnya. Ketiga, berupaya memberikan solusi terhadap persoalan-
persoalan yang dihadapi Umat Islam secara khusus dan umat manusia secara
umum dengan petunjuk-petunjuk al-Quran. Keempat, memadukan antara
petunjuk-petunjuk al-Quran dengan teori-teori ilmu pengetahuan. Kelima,
Menampilkan al-Quran sebagai kitab yang sesuai dengan tuntutan segala zaman.
Keenam, menjelaskan kekeliruan dan keragu-raguan yang dilontarkan terkait
dengan al-Quran dengan dalil-dalil yang kuat.46
Tujuan utama penafsiran dengan corak ini adalah memberikan solusi
terhadap berbagai problematika yang dihadapi oleh masyarakat; keyakinan,
ibadah, muamalah, akhlak, dan persoalan-persoalan keduniaan yang tidak sesuai
dengan tuntunan al-Quran. Berbagai problematika itu kemudian diobati dengan
hidâyah al-Qur’ân (petunjuk al-Quran).47
Sistimatika penafsirannya, pertama, mengelompokkan ayat berdasarkan
tema. Kedua, setelah itu menjelaskan korelasinya (munâsabah) dengan kelompok
ayat sebelumnya. Ketiga, menjelaskan maksud ayat demi ayat yang terdapat pada
kelompok ayat. Pada bagian ini ia melibatkan kajian kebahasaan apabila
diperlukan, dan menghadirkan ayat dan hadis sahih terkait. Keempat, mengaitkan
maksud ayat dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.48
Sedangkan metode yang digunakan adalah, pertama, metode analitis
(tahlîlî).49 Metode ini merupakan metode utama dalam penafsiran Ridhâ. Kedua,
metode tematik (maudhû‘î),50 yang dalam hal ini Tafsir Tematik dalam konteks
surah-surah al-Quran (al-Tafsîr al-Maudû‘i fî dhaui al-Surah). Di sini ia hanya
meletakkan dasar-dasar penafsiran dengan metode maudû’i, belum sesistimatis
sekarang.51
Ketiga, metode komparatif (muqârin).52 Bentuk komparasi yang
dilakukannya adalah komparasi antara satu ayat dengan ayat lain yang memiliki
tema yang sama. Meski tidak menyatakan secara eksplisit penggunaan metode ini,
namun ia sendiri menyatakan banyak menggunakan ayat-ayat pendukung dari
surah-surah yang lain.53 Keempat, metode global (ijmâlî). Meski metode ini
digunakan dalam menafsirkan 6 surah pendek, bukan dalam Tafsîr al-Qur’ân alHakîm, namun penting dikemukakan guna mengetahui keseluruhan metode yang
ia gunakan dalam menafsirkan al-Quran.54
Penutup
Setelah menelaah pemikiran tafsir Muhammad Rasyîd Ridhâ penulis dapat
menyimpulkan 3 hal, yaitu, (1) pemikiran tafsir Ridhâ merupakan bagian dari
pemikiran pembaruan keislaman yang hendak diwujudkannya melalui petunjuk
al-Quran. (2) Pemikiran tafsir Ridhâ sangat terpengaruh pemikiran tafsir ‘Abduh.
Perbedaan keduanya tidak mendasar, hanya dari sisi porsi penggunaan ‘aql (rasio)
dan naql (al-Quran dan hadis).
‘Abduh lebih banyak menggunakan rasio
dibandingkan Ridhâ, sementara Ridhâ lebih banyak menggunakan
naql
dibandingkan ‘Abduh. (3) Pendekatan tafsir Ridhâ adalah pendekatan ra’yu
(ijtihad), coraknya adabi ijtimâ’i (sastra-kemasyarakatan), metodenya yang
dominan tahlîli (analitik). (4) sistimatikanya, pertama, mengelompokkan ayat
berdasarkan tema. Kedua, menjelaskan korelasinya (munâsabah) dengan
kelompok ayat sebelumnya. Ketiga, menjelaskan maksud ayat demi ayat yang
terdapat pada kelompok ayat. Pada bagian ini ia melibatkan kajian kebahasaan
apabila diperlukan, dan menghadirkan ayat dan hadis sahih terkait. Keempat,
mengaitkan maksud ayat dengan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
Catatan Akhir:
1. Muhammad Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm (Bairût: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyyah, 1999), cet. ke-1, vol. 1, hal. 21. Selanjutnya disebut Ridhâ, Tafsîr
al-Qur’ân.
2. Khâlid ‘Abdu al-Rahmân al-‘Akk, al-Furqân wa al-Qur’ân (Dimasyq: alHikmah li al-Thabâ’ah wa al-Nasyr, 1996), cet. ke-2, hal. 330. Ayat yang
memuat jaminan Nabi Muhammad tidak akan salah dalam membaca dan
memahami al-Quran, “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) alQur'an karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
penjelasannya.” (QS. al-Qiyâmah/75: 16-19)
3. Muhammad Husaîn al-Dzhabî, al-Ittijahât al-Munharifah fî Tafsîr al-Qur’ân
al-Karîm Dwâfi’uhâ wa daf’uhâ (Kairo: Dâr al-I’tishâm, 1978), cet. ke-2, hal.
15-16; lihat juga Ahmad Mushthâfâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (t. tp & t.
th.), cet. ke-3, vol. 1, hal. 11-13; lihat juga Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân,vol. 1, hal.
13.
4. Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân, vol. 1, hal. 13
5. al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), vol.
2, hal. 401. Selanjutnya disebut al-Dzahabî, al-Tafsîr. Corak penafsiran ‘Abduh
yang khas itu tidak dapat dipisahkan dari syarat-syarat penafsiran yang
ditetapkannya untuk mencapai penafsiran yang baik, yakni, (1) memiliki
kemampuan memahami makna kosa kata sesuai yang dimaksudkan al-Quran,
(2) memiliki keahlian memahami gaya bahasa al-Quran, (3) paham tentang
sosiologi, (4) mempunyai pengetahuan tentang kondisi masyarakat ketika alQuran diturunkan, (5) mempunyai pengetahuan tentang sejarah hidup Nabi
Muhammad saw. dan para sahabatnya. Lihat Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân, vol. 1,
hal. 23-25.
6. Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân, vol. 1, hal. 21
7. Lihat ‘Abduh, Risalah al-Tauhîd (Bairût: Dâr Ihyâ al-‘Ulûm, 1977), cet. ke-2,
hal. 128.
8. Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân, vol. 1, hal. 34.
9. Lihat Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân, vol. 1, hal. 15.
10. al-Dzahabî, al-Tafsîr, vol. 2, hal. 401.
11. Nama Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm terambil dari nama rubrik tafsir yang
terdapat di dalam majalah al-Manâr. Terkait dengan nama itu Ridha
mengatkan, “Tafsir al-Qur’ân al-Hakîm adalah tafsir yang memadukan
mazhab salaf, riwayat, peradaban, tuntutan zaman, bimbingan, sosial
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
kemasyarakatan, dan sosial politik. Lihat Ridha, Majallah al-Manâr, vol. 30,
hal. 81. Sedangkan nama Tafsîr al-Manâr terambil dari nama majalah itu
sendiri. Di dalam Disertasi ini nama yang digunakan adalah Tafsîr alQur’ân al-Hakîm, dengan pertimbangan untuk membedakan antara nama
majalah dan nama buku tafsir.
Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân,vol. 1, hal. 19. Di dalam tafsirnya, Ridhâ
menyebutkan nomor ayat yang berbeda dari bunyi ayat: ‫وَﻛﺎ َن ا ﱠُ ﺑِ ُﻜ ِّﻞ َﺷ ْﻲ ٍء ُِﳏﻴﻄًﺎ‬.
َ Ia
menyebut ayat ini ayat yang ke-125, padahal pada al-Quran yang beredar
sekarang ayat itu merupakan ayat ke- 126.
Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân, vol. 1, hal. 19
M. Quraish Shihab, Studi Kritik Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah,
1994), cet. ke-1, hal. 68
Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân, vol. 1, hal. 16
al-Dzahabî adalah seorang guru besar di bidang Ilmu-ilmu al-Quran dan
Hadis di Universitas al-Azhar dan pernah menjabat mentri Perwakafan Mesir.
Ia mati dibunuh oleh anggota Jamâ‘ah al-Takfîr wa al-Hijrah pada tahun
1977 M. Di antara karyanya, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn dan al-Isrâiliyyât fi
al-Tafsîr wa al-Hadîts. Lihat al-Azhar al-Syarîf, Bayân li al-Nâs (Kairo:
Mathb'ah al-Mushhaf al-Syarîf, 1984), vol. 1, hal. 31
al-Dzahabî, al-Tafsîr, vol. 2, hal. 424
Ciri-ciri tersebut disebutkan Ridhâ di dalam Tafsirnya, Tafsîr al-Qur'ân alHakîm: ”Sangat dibutuhkan tafsir yang menitikberatkan pada petunjuk alQuran…Kemudian menitikberatkan pada persoalan kekinian. Bahasa yang
digunakan mudah dipahami dan disesuaikan dengan pemahaman segmen
pembaca, dan mengungkap kekeliruan yang dilontarkan oleh para filosof,
ilmuan dan lain-lain...”. Lihat Rasîd Ridhâ, Tafsîr al-Qur‘ân, vol. 1, hal. 15.
”Ini merupakan tafsir satu-satunya yang mengkombinasikan riwayatriwayat sahih dan penalaran yang lugas, menjelaskan hikmah perundangundangan dan sunnatullah yang mengatur kehidupan masyarakat, al-Quran
sebagai petujuk bagi sekalian manusia di segala zaman dan tempat dan
menjadi bukti dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang tidak dapat ditandingi
oleh bangsa manusia dan jin, memadukan antara tuntunan dan persoalanpersoalan kekinian yang dihadapi oleh orang-orang Islam... memperhatikan
pengungkapan yang mudah dipahami, berupaya menjauhi penggunaan istilahistilah teknis ilmiah dan dan berbagai cabang ilmu sehingga dapat dipahami
oleh orang-orang awam maupun orang-orang khusus (terpelajar).” Lihat
halaman judul Tafsîr al-Qur'ân al-Hakîm di dalam Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân
al-Hakîm (Bairût: Dâr al-Fikr li al-Thâbâ‘ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‘, t. th.),
hal. 1
Lihat juga uraian Ahmad al-Syirbâshî di dalam Ahmad al-Syirbâshî, Qisshah
al-Tafsîr (Kairo: Dar al-Qalam, 1962), hal. 156-157. Corak penafsiran
‘Abduh yang khas itu tidak dapat dipisahkan dari syarat-syarat penafsiran
yang ditetapkannya untuk mencapai penafsiran yang baik, yakni, (1)
Memiliki kemampuan memahami makna kosa kata sesuai yang dimaksudkan
al-Quran, (2) Memiliki keahlian memahami gaya bahasa al-Quran, (3)
Paham tentang sosiologi, (4) Mempunyai pengetahuan tentang kondisi
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
masyarakat ketika al-Quran diturunkan, (5) Mempunyai pengetahuan tentang
sejarah hidup Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Lihat Ridhâ, Tafsir alQur'ân, vol. 1, hal. 23-25.
Buku ini awalnya adalah tesis Mahmûd Syahâtah yang diajukan di
Universitas Kairo pada tahun1960.
‘Abdullâh Mahmûd Syahâtah, Manhaj al-Imâm Muhammad ’Abduh fî Tafsîr
al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: al-Majlis al-A’lâ li Ri‘âyah al-Funûn wa al-Adâb
wa al-‘Ulûm al-Ijtimâ‘iyyah, 1963), hal. 33.
Shihab, Studi Kritis, hal. 26-57.
Ciri-ciri khas tersebut di atas disebutkan Ridhâ di dalam Tafsirnya, Tafsîr alQur’ân al-Hakîm, ”Demikianlah, akan tetapi ketika aku bekerja sendiri
setelah ia wafat aku memiliki perbedaan metodelogis dengannya -semoga
Allah merahmatinya- dalam bentuk menjelaskan ayat dengan hadis-hadis
sahih, baik untuk menafsirkannya atau untuk menjelaskan hukum yang
terkandung di dalamnya, dalam menentukan makna kosa kata dan struktur
kalimat, persoalan khilafiah yang terjadi di antara ulama, banyak
mengemukakan ayat-ayat pendukung yang terdapat pada surah-surah yang
lain, dan dalam menetapkan persoalan-persoalan yang sangat dibutuhkan
masyarakat muslim”. Lihat Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân, vol. 1, hal. 20.
Sebagai contoh, ketika ‘Abduh menyimpulkan surah al-Quran yang pertama
diturunkan surah al-Fatihah dengan dasar nalar, Ridhâ justru mengatakan
surah yang pertama surah al-'Alaq dengan merujuk pada sumber-sumbur
ilmiah, termasuk buku al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân karya Jalâl al-Dîn alSuyûthî (w. 911 H). Lihat Mahmûd Syahâtah, Manhaj al-Imâm, hal. 202 dan
203.
Menurut Syahâtah, ciri-ciri penafsiran Ibn Katsîr yang mempengaruhi
penafsiran Ridhâ adalah, (1) lebih menekankan riwayat, (2) selalu berupaya
mengkpromikan antara ayat dan hadis-hadis yang kelihatannya bertentangan,
(3) mengungkap sejarah yang terkait dengan ayat, baik sebelum diturunkan
maupun sesudahnya, (4) menguraikan persoalan-persoalan fikhi ketika
menafsirkan ayat-ayat hukum, (5) dipengaruhi oleh pemikiran salfi ibn
Taimiah. Lihat Syahâtah, Manhaj al-Imâm, hal. 217
Syahâtah menyebutkanan beberapa contoh pemikiran al-Ghazâlî yang
mempengaruhi penafsiran Ridhâ, seperti pemikiran tentang taubat,
kemaksiatan, cinta hamba pada Tuhan-nya, sebab-sebab perbedaan umat
Islam, syukur dan tawakal. Lihat Mahmûd Syahâtah, Manhaj al-Imâm, hal.
234-236.
Lihat Syahâtah, Manhaj al-Imâm, hal. 238 & 239.
Shihab, Studi Kritis, hal. 93-111
Syahâtah, Manhaj al-Imâm, hal. 197
‘Abduh, al-Islâm Dîn al-’Ilm wa al-Madaniyyah (Kairo: Sîna li al-nasyar,
1990), hal. 118.
‘Abduh, al-Islâm, hal. 118
Lihat ‘Abdu al-Majîd ‘Abdu al-Salâm al-Muhtasib, Ittijahât al-Tafsîr fî al‘Ashri al-Hadits (Bairût: Dâr al-Fikr, 1973), hal. 148, 153 & 157.
Nasution, Pembaruan, hal. 75 dan 76.
34. Shihab, Studi Kritis, hal. 105-108
35. Kisah isrâiliyyât adalah dongeng lama yang bersumber dari Yahudi atau
Kristen. Lihat al-Dzahabî, al-Isrâiliyyât fî al-Tafsîr wa al-Hadîts (Kairo:
Maktabah Wahbah, 1990), cet. ke-4, hal. 13.
36. Hadîts mutawâtir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi yang
tidak mungkin mereka bersepakat berbohong. Sedagkan hadis ahâd adalah
hadis yang perawinya tidak sampai pada perawi hadis mutawatir. Lihat.
Mahmûd al-Thahhân, Taisîr Musthalah al-Hadîts (al-Riyâdh: Maktabah alMa’arif, 1987), cet. ke-8, hal. 19&22.
37. Lihat sikap ‘Abduh terhadap Hadis di dalam Shihab, Studi Kritis, hal. 51-53
38. Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân, hal. 33 &34.
39. al-Dzahabî, al-Tafsîr, hal. Vol. 2, 427-430. Mungkin pandangan ini pula yang
menyebabkan Shihab tidak memasukkan prinsip ini sebagai ciri penafsiran
Ridhâ. Lihat juga Shihab, Studi Kritis, hal. 75-83.
40. Terdapat perbedaan yang jelas antara orang bertaklid dan orang yang
memiliki pendapat yang sama atau sependapat. Menurut Abdu al-Karîm
Zaidân, taqlîd adalah mengikuti pendapat tertentu tanpa mengetahui dalilnya
(hujjah), atau mengikuti pendapat tertentu dengan tidak mengetahui dari
mana sumbernya. Lihat ‘Abdu al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh
(Bairût: Mu’assasah al-Risâlah, 1987), hal. 410
41. Syahâtah, Manhaj al-Imâm, hal. 237
42. Syahâtah, Manhaj al-Imâm, hal. 237 dan 238
43. al-Dzahabî, al-Tafsîr, vol. 2, hal. 401.
44. ‘Abdu al-Hayyî al-Farmâwî merupakan guru besar Ilmu al-Quran dan Ilmu
Tafsir di Universitas al-Azhar. Saya merupakan salah seorang murid alFarmâwî ketika dulu kuliah di fakultas Ushuluddin Universitas al-Azahar
Kairo, Mesir.
45. ’Abdu al-Hayyî al-Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mudhû‘î (t.t, 1977),
cet. ke-2, hal. 41 dan 42; lihat juga Rifi’at Suaqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir
Muhammad ‘Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Penerbit
Paramadina, 2002), cet. ke-1, hal. 110. Selanjutnya yang terakhir disebut
Rif’at Syauqi, Rasionalitas.
46. al-Farmâwî, al-Bidâyah, hal. 42
47. Rif’at Syauqi Nawawi, ”Gagasan Pengembangan Corak-corak Tafsir alQuran: Upaya Penyempurnaan Tafsir Departemen Agama” di dalam Mimbar:
Jurnal Agama dan Budaya, vol. 20, no. 1, 2003, hal. 54-55.
48. Kesimpulan ini didasarkan pada pengamatan langsung terhadap Tafsîr alQur’ân al-Hakîm.
49. Metode Analitis (tahlîlî) adalah metode yang menjelaskan ayat-ayat al-Quran
dari segala aspek dan tujuannya sesuai urutan ayat dan surah al-Quran. Lihat
al-Farmâwî, al-Bidâyah, hal. 24
50. Metode Tematik (maudhû‘î) terdapat dua bentuk, pertama, penafsiran
terhadap satu surah tertentu di dalam al-Quran dengan menjelaskan tujuantujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta
menghubungkan berbagai persoalan yang ada di dalam surah satu dengan
yang lain dan juga dengan tema sentral itu, sehingga satu surah itu dengan
51.
52.
53.
54.
berbagai persoalannya menjadi padu. Kedua, penafsiran yang menghimpun
ayat-ayat al-Quran dari berbagai surah dan yang berkaitan dengan persoalan
atau tema yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian ayat-ayat itu dianalisis
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan padu. Lihat Shihab,
”Membumikan” Al-Quran (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), cet. ke-11, hal.
74 & 87. Selanjutnya disebut Shihab, ”Membumikan” .Bentuk tematik
(maudhû‘î) yang digunakan oleh Ridhâ adalah bentuk yang pertama. Hal ini
telah diterangkan di atas ketika menguraikan prinsip atau ciri “kesatuan surah
al-Quran” yang menjadi ciri penafsiran ‘Abduh dan Ridhâ.
Di antara ahli yang melihat adanya metode Tafsir Tematik di dalam
penafsiran Ridhâ adalah Mahmûd Syahâtah, Muhammad al-Daghmâin, dan
Shâleh ‘Abdu al-Fattâh al-Khâlidî. Lihat Mahmûd Syahâtah, Manhaj alImâm, hal. 36; lihat juga ‘Abdullâh Mahmud Syahâtah di dalam bukunya,
Ahdâf Kulli surah wa Maqâshiduhâ fi al-Qur’ân al-Karîm (Mesir: al-Haiah
al-Mishriyyah, 1986), hal. 93-94; lihat juga Muhammad al-Daghmâin,
,”Manhaj”, hal. 180 dan 202; lihat juga ‘Abdu al-Fattâh al-Khâlidî, al-Tafsîr
al-Maudhû’î Baina al-Nazhariyyah wa al-Tathbîq (Ardan: Dâr al-Nafâis,
1997), cet. ke-1, hal. 57.
Metode komparatif (muqârin) adalah metode yang membandingkan ayat-ayat
al-Quran yang memiliki kemiripan atau bahkan kesamaan redaksi yang
berbicara tentang persoalan yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang
berbeda atas persoalan yang sama atau diduga sama. Lihat Shihab,
”Membumikan”, hal. 118.
Ridhâ, Tafsîr al-Qur’ân, vol. 1, hal. 20
Keenam surah itu adalah al-‘Ashr, al-Kautsar, al-Kâfirûn, al-Ikhlâsh, alFalaq, dan al-Nâs. Lihat metode global yang dimaksud di dalam Ridhâ,
Tafsîr al-Fâtihah wa Sittah Suwar min Khawâtim al-Qur’ân (Kairo: al-Zahrâ’
li al-I’lâm al-‘Arabî), hal. 65-116.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
‘Abduh, Muhammad, Risalah al-Tauhîd, Bairût: Dâr al-Ihyâ al-'Ulûm, 1977), cet.
ke-2.
Al-Abyadh, Anîs, Rasyîd Ridhâ Târîkh wa Sîrah (Lubnân, 1993)
Al-‘Adawî, Ibrâhîm Ahmad, Rasyîd Ridhâ al-Imâm al-Mujâhid (Mishr: alMuassasah al-Mishriyyah al-‘Âmmah, t.th.
Ayâdzî, Muhammad ‘Ali, Al-Mufassirun: hayatuhum wa manâhijuhum, Thehrân:
Mu'assasah al-Thabâ'ah.
Baljon, J.M.S, Modern Muslim koran Interpretation, Leiden: E.J. Brill, 1968
Baidan, Nasharuddin, Metodologi Penafsiran al-Qur'an, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), cet. ke-2, hal. 165-167.
Al-Daghâmîn, Muhammad Ziyâd Khalîl, “Manhaj al-Ta’âmul ma’a al-Qur’ân fi
fikri al-Syêkh Muhammad Rasyîd Ridhâ” dalam Majallah al-Syari’ah
wa al-dirasat al-Islamiyyah, Jâmi’ah Kuait, tahun ke-17, 2002.
Al-Dzahabî, Muhammad Husain, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Kairo: Maktabah
Wahbah, 2000.
Al-Farmâwî, ‘Abdu al-Hayyî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mudhû’î , t.t, 1977, cet.
ke-2
Golziher, Ignaz, Madzâhib al-Tafsir al-Islami (terjemahan), Mesir: Maktabah alKaniji, t. th.
Imârah, Muhammad, Muslimûna Tsuwâr, Kairo: Dâr al-Syurûq, 1988, cet. ke-3.
---------, al-Masyrû' al-Hadhâry al-Islâmî, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. ke-1.
----------, Syakhshiyyât
lahâ Târîkh, Kairo: Dâr al-Salâm, 2005
Jibril, Muhammad al-Sayyid, Madkhal ilâ Manâhij al-Mufassirîn,
Risâlah, t. th.
Kairo: al-
Al-Juwainî, Mushthafâ al-Shâwî, Manâhij fî al-Tafsîr, Al-Iskandariyyah:
Mansyah al-M’ârif, t. th.
Kahhâlah, ‘Umar Ridhâ, M’ujam al-Muallifîn: Tarâjum Mushannifî al-Kutub al‘Arabiyyah, Bairut, t.th.
Mir, Mustansir, The Sûra as Unity: a Twentieth Century Development in Qur’ân
Exegesis di dalam G.R. Hawting and Abdul Kader A. Shareef (ed.),
Approaches to the Qur’ân (London: Routledge, 193)
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975, cet. Ke-12
Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian masalah
Akidah dan Ibadat, Jakarta, Penerbit Paramadina, 2002
Ridhâ, Muhammad Rasyîd, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm. Bairût: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 1999.
-----------, al-Wahyu al-Muhammadî, al-Maktabah al-Islâmî.
-----------, Majallah al-Manâr
-----------, Tafsîr al-Fâtihah, Kairo: al-Zahra lilii’lam al-‘Arabi, 1988
Shahin, 'Emad Eldin, Trough Muslim Eyes: M.Rashîd Ridhâ and the West,
Riyadh: International Islamic Publishing House, 1994, cet. ke-1
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Penerbit Mizan, 1999,
cet. ke-11
----------, Studi Kritis Tafsir al-Manar Karya Muhammad 'Abduh dan M. Rasyid
Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), cet. ke-1
Syahâtah, Mahmûd, 'Abdu Allâh, Manhaj al-Imâm Muhammad 'Abduh fî Tafsîr
al-Qur'ân al-Karîm, Kairo: al-Majlis al-A'lâ li Ri'âyah al-Funûn wa alAdâb wa al-'Ulûm al-Ijtimâ'iyyah, 1963.
Al-Syirbâshî, Ahmad, Rasyîd Ridhâ Shâhib al-Manâr : 'Ashruhû wa Hayâtuhû wa
Mashâdiru Tsaqâfatihî, Kairo: al-Majlis al-A'lâ li al-Sy'ûn alIslâmiyyah, 1970.
----------, Qisshah al-Tafsîr, Kairo: Dâr al-Qalam, 1962.
Download