Analisis Keterkaitan Daya Dukung Ekosistem

advertisement
10
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
2.1.1
Definisi dan Batasan Pulau-Pulau Kecil
Belum ada definisi baku tentang pulau-pulau kecil. Banyak yang
menggunakan definisi dari segi luasnya seperti yang digunakan oleh DKP secara
nasional sesuai dengan keputusan menteri kelautan dan perikanan No.41/2000
adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 (DKP,2003).
Masih dari segi ukuran, pulau-pulau kecil (PPK) didefinisikan mempunyai ukuran
5.000 km2 (commonwealth science council, 1984) dalam Ongkosongo (1998) atau
2.000 km2 (UNESCO, 1991) dalam Falkland 1995; Hehanusa 1993; Purwanto
1995). Dalam seminar pengelolaan PPK tahun 1998 disepakati ukuran
maksimumnya 500 km sebagai batas, tanpa menyebut sebagai ukuran panjang
atau lebar. Definisi lainnya dari segi jumlah penduduk yang mendiaminya. PPK
didefinisikan sebagai pulau yang dihuni dengan jumlah penduduk kurang atau
sama dengan 200.000 jiwa (DKP, 2003). Menurut UU Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No.27 tahun 2007, Pulau Kecil adalah pulau dengan
luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta
kesatuan ekosistemnya.
PPK didefinisikan sebagai pulau yang berukuran kecil yang secara
ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi
dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular (Dahuri, 1998; Bengen, 2001;
DKP 2003). Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain
sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman organisme yang
hidup di pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan yang unik di pulau
tersebut. Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan
proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen.
Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini yang
relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam air.
Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya
yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri,
1998).
11
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka ada 3 hal yang dapat
dipakai untuk membuat suatu batasan pengertian pulau kecil yaitu: (i) batasan
fisik (menyangkut ukuran luas pulau); (ii) batasan ekologis (menyangkut
perbandingan spesies endemik dan terisolasi); dan (iii) keunikan budaya. Kriteria
tambahan lain yang dapat dipakai adalah derajat ketergantungan penduduk dalam
memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk suatu pulau dalam memenuhi
kebutuhan pokok hidupnya bergantung pada lain atau pulau induknya maka pulau
tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pulau kecil (Kusumastanto, 2004).
Pembedaan istilah ukuran kecil dan besar atau bahkan sangat kecil
memang belum begitu jelas kegunaannya disamping definisinya yang masih
beragam. Namun jika dilihat dari segi pengelolaan PPK, pendefinisian ini sangat
penting khususnya ketika berbicara tentang daya dukung (carrying capacity)
biota, daya tampung pemukiman penduduk (human settlement capacity),
keterbatasan kegiatan kependudukan, ketersediaan air tawar, keterpencilan
tempat, kekurangan perhatian dari pemerintah, pendidikan, kesehatan, kebutuhan
barang, pemasaran produk dan lain-lain (Ongkosongo, 1998). Karena arahan
pengelolaan PPK dapat disesuaikan dengan ukuran dan permasalahan dari PPK itu
sendiri.
2.1.2
Karekteristik dan Kendala PPK
Pulau-pulau kecil memiliki karekteristik biofisik yang menonjol, yaitu :
(1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular;
(2) sumber air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil; (3)
peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan
manusia; (4) memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologi tinggi
(Bengen, 2001). Keterisolasian inilah yang membentuk kehidupan yang unik di
pulau tersebut, karena dikaruniai sumberdaya kelautan yang melimpah. Dari segi
budaya, masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau
kontinen dan daratan (Beller, et. al, 1990).
Pada dasarnya pulau-pulau yang menempati ruang atau posisi tertentu,
walaupun tidak berpenghuni, namun memiliki nilai yang strategis secara sosial
maupun ekonomi, misalnya pulau-pulau yang berada di jalur pelayaran ataupun
12
pulau-pulau yang memiliki kandungan sumberdaya alam yang berharga.
Terutama sekali pulau-pulau yang berdekatan dengan pusat perkembagan
ekonomi baik dalam skala lokal, regional, nasional maupun internasional.
Keberadaan PPK sebagai suatu ruang wilayah, bagi masyarakat mempunyai
fungsi sosial tertentu, terutama berkaitan dengan penguasaan sumberdaya yang
bersifat terbuka (open acces) bagi pemenuhan kebutuhan hidup suatu kelompok
masyarakat atau suatu sistem sosial. Disamping juga terdapat pulau-pulau yang
telah menjadi milik suatu komunitas tertentu (common acces) maupun telah
menjadi milik suatu privat (Kusumastanto, 2004).
Beberapa karekteristik ekosistem pulau-pulau kecil yang dapat merupakan
kendala bagi pembangunan adalah (Kusumastanto, 2004) :
a) Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan), sehingga penyediaan
prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia
yang handal menjadi langka.
b) Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang
optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan
transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua PPK di dunia
c) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar,
vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan
menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dan menopang
kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan
d) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti
pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang di dalam pulau dan
yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan
perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat
e) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan
pembangunan. Contoh, pariwisata yang dianggap sebagai dewa penolong
bagi masyarakat di PPK, tetapi justru di beberapa pulau kecil budaya yang
dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan kendala atau
agama setempat.
Kendala-kendala di atas bukanlah menjadi ancaman bagi pembangunan
pembangunan di PPK.
Namun pembangunan yang dilaksanakan hendaknya
13
sesuai dengan kaidah-kaidah ekologis, memperhatikan daya dukung lingkungan,
ekologi, ekonomi dan sosial. Dampak negatif terhadap PPK ditekan seminimal
mungkin.
Karena PPK mempunyai banyak permasalahan yang sangat
menentukan arahan dan kinerja pembangunan sekaligus mempengaruhi nasib dari
PPK ke depannya.
2.1.3
Ekosistem, Sumberdaya dan Lingkungan
Fakta tak terbantahkan bahwa PPK mempunyai potensi sumberdaya alam
yang besar dan beranekaragam. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah
ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami antara lain terumbu karang, hutan
mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pec-caprea,
formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta.
Sedangkan ekosistem buatan
antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya dan kawasan
permukiman (Dahuri, 1998; Kusumastanto, 2000).
Penjelasan di atas
menggambarkan bahwa dalam ekosistem pulau-pulau kecil terdapat satu atau
lebih ekosistem. Tiga ekosistem utama dan penting yang biasanya mencirikan
ekosistem perairan tropis yaitu ekosistem hutan mangrove, terumbu karang dan
padang lamun.
Ekosistem hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi yang tumbuh di
laguna pesisir dangkal dan estuaria tropis dan subtropis, didominasi oleh beberapa
spesies mohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang
pasang surut pantai berlumpur. Nilai fungsi mangrove yang berasosiasi dengan
keberadaan sumberdaya perikanan didekati dengan jumlah hasil tangkapan ikan di
sekitar hutan mangrove tersebut. Seperti contoh hasil tangkapan di Berelang pada
tahun 1996 diperoleh sebanyak 7.396 ton. Dengan asumsi jumlah produksi tetap
dan berkorelasi secara linear dengan luas hutan mangrove, maka hasil tangkapan
ikan di sekitar hutan mangrove tersebut adalah 0,448 ton/ha/th. Bila harga ikan
diasumsikan tetap sebesar US$ 1.163,04 per ton (Gellwyn dan Dahuri, 1999)
dalam Kusumastanto (2004), maka nilai fungsi ekosistem tersebut adalah sebesar
US$ 521,25 /ha/tahun.
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan
paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Sebagaimana mangrove, terumbu
14
karang juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Menurut Kusumastanto
(2004) berdasarkan penelitian di wilayah Barelang dan Bintan dengan total luasan
terumbu karang 23.200,14 ha dan dengan asumsi yang diperoleh dari hasil
perhitungan bahwa nilai produksi ikan di sekitar perairan karang tersebut pada
tahun 1996 mencapai US$ 103.575.720, maka dengan asumsi PPK yang
dikembangkan memiliki karekteristik yang sama dengan Barelang diperoleh nilai
ikan karang di sekitar perairan terumbu karang adalah sebesar US$ 4.464,44
/ha/tahun.
Eksosistem padang lamun (seagrass) tumbuh di daerah subtidal, tersebar
luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh sinar matahari, sampai dengan
kedalaman 20 m yang memadai bagi pertumbuhannya. Menurut Kusumastanto
(2004) nilai total perikanan yang diwakili oleh komoditas ikan dan udang di
sekitar padang lamun Barelang dan Bintan adalah sebesar US$ 56.419.620.
Asumsi, bila luas total padang lamun di kedua daerah tersebut adalah 14.620,6
hektar, maka diperoleh nilai padang lamun sebesar US$ 3.858,91/ha/tahun. Selain
itu, diperoleh juga nilai tidak langsung yang berasal dari nilai cadangan
biodiversity dan nilai sebagai pencegah erosi, dengan nilai masing-masing sebesar
US$ 15/ha/tahun dan US$ 34.871,75/ha/th. Nilai tersebut mengacu pada nilai hasil
pendekatan Ruitenbeek (1991) dan Kusumastanto et.al, (1998) .
Interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat. Struktur komunitas dan sifat
fisik ketiga ekosistem ini saling medukung, sehingga bila salah satu ekosistem
terganggu, ekosistem yang lain akan terpengaruh. Bentuk interaksi itu bisa berupa
interkasi secara fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna
dan dampak manusia seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. (Ogden dan
Gladfelter, 1983; Kaswadji, 2001 dalam Bengen, 2001).
15
Fisik
Bahan organik terlarut
Bahan organik partikel
Migrasi fauna
Dampak manusia
Gambar 1 Tipe interaksi antara ekosistem padang lamun, terumbu karang
dan hutan mangrove (Sumber: Ogden dan Gladfelter, 1983;
Kaswadji 2001 dalam Bengen, 2001)
2.1.4
Pemanfaatan dan Pengelolaan PPK
Menurut (Ongkosongo, 1998) pulau-pulau telah/sedang dimanfaatkan
untuk beberapa pemanfaatan. Diantara beberapa pemanfaatan antara lain; (1)
daratan negara (Indonesia, Filipina); (2) penetapan batas wilayah perairan negara
atau antar negara (contoh : Pulau Christmas); (3) pembangunan, termasuk
pemukiman; (4) kegiatan dan mencari nafkah masyarakat; (5) Rekreasi, wisata
dan olahraga; (6) konservasi dan keanekaragaman hayati dan budaya; (7)
konservasi budaya; (8) pendidikan; (9) perhubungan, termasuk perhubungan laut
dan udara; (10) penghasil sumberdaya mineral, hayati dan energi; (11) kegiatan
tertentu; (12) pertahanan keamanan; (13) penjara.
Secara umum ada tiga langkah utama dalam pengelolaan suatu wilayah
secara terpadu guna pembangunan berkelanjutan yaitu (i) perencanaan; (ii)
pelaksanaan dan (iii) pemantauan dan evaluasi (Dahuri et al 1995; Dutton dan
Hotta, 1995; Cicin-Sain dan Knecht, 1998) dalam PKSPL (2005). Ketiga tahapan
utama tersebut kemudian dipecahkan kedalam beberapa tahapan lain seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 2.
16
Isu dan Permasalahan :
Lokal/nasional dan
Verifikasi
permasalahan
Aspirasi
lokal/Nasional
Peluang dan
Kendala
Potensi
sumberdaya
ekosistem
Aspek
Kelembagaan
Tujuan dan
Sasaran
Tantangan dan
Kekuatan
Formulasi
rencana
Mekanisme
umpan balik
Pelaksanaan
rencana
Pemantauan
dan Evaluasi
Pembangunan
PPK
berkelanjutan
Gambar 2 Proses Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan Wilayah
Pesisir Pulau-Pulau Kecil (Modifikasi dari Dahuri et al 1995)
Agar penggunaannya dapat berkelanjutan maka secara garis besar
ekosistem pulau-pulau kecil itu harus bisa dipilah menjadi tiga mintakat yaitu 1)
mintakat preservasi; 2) mintakat konservasi dan 3) mintakat pemanfaatan.
Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistem unik,
biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan,
daerah pembesaran dan alur migrasi biota perairan. Pada mintakat ini kegiatan
yang
diperbolehkan
hanyalah
pendidikan
dan
penelitian
ilmiah,
tidak
diperkenankan adanya kegiatan pembangunan. Mintakat konservasi adalah daerah
yang diperuntukan bagi kegiatan pembangunan (pemanfaatan) secara terbatas dan
terkendali misalnya kawasan hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan
wisata alam (ecotourism), sementara itu mintakat pemanfaatan diperuntukan bagi
kegiatan pembangunan yang lebih intensif seperti industri, tambak, pemukiman,
pelabuhan dan sebagainya (PKSPL, 2005).
17
Langkah selanjutnya setelah berhasil memetakan setiap kegiatan
pembangunan yang secara ekologis sesuai dengan lokasi tersebut adalah
menentukan laju optimal setiap kegiatan pembangunan (sosial, ekonomi dan
ekologis) yang menguntungkan dan ramah lingkungan yaitu suatu kegiatan
pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dari wilayah tersebut dan daya
pulih (recovery) atau daya lenting (resilience) dari sumberdaya yang
dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan nasional
(Dahuri et al , 1995; Dahuri, 1998; Ongkosongo, 1998). Proses tersebut diatas
secara grafis diperlihatkan dalam Gambar 3.
Kondisi awal
Persyaratan biogeofisik
kegiatan pembangunan
Karakteristik biogeofisik
wilayah (PPK)
Kelayakan
Daya pulih
Aspirasi masyarakat
lokal/nasional
Daya dukung
Tata ruang
Penggunaan SD PPK secara berkelanjutan
Gambar 3 Proses Formulasi Perencanaan Dan Pemanfaatan Ekosistem
Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan (PKSPL, 2005)
Keterbatasan sumberdaya alam yang makin menipis pada satu sisi dan
kebutuhan manusia yang makin meningkat pada sisi lainnya, melahirkan suatu
kesadaran kritis yang mengarahkan pendekatan pengelolaan kearah pemanfaatan
yang efisien.
Namun lebih dari itu, pemanfaatan sumberdaya tidak boleh
mnegorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.
Dibutuhkan konsep keberimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya sekaligus
keadilan antar generasi yang selanjutnya disebut konsep pembangunan
18
berkelanjutan.
Sebagaimana dikemukakan Serageldin (1996) dalam Rustiadi
(2003) bahwa konsep pembangunan berkelanjutan meliputi tiga dimensi yang
disebutnya sebagai a triangular framework yakni keberlanjutan ekonomi, sosial
dan ekologi. Spangenber (1999) dalam Rustiadi (2003) menambahkan dimensi
kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat keberlanjutan.
2.1.5
Kebijakan Pengelolaan PPK
Kebijakan yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi kebijakan
pemerintah dan peraturan yang mengatur tentang pengelolaan PPK. DKP (2003)
menetapkan kebijakan pengelolaan PPK yaitu :
a) Meningkatkan pengelolaan PPK di perbatasan untuk menjaga integritas
b) Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya PPK secara terpadu, optimal dan
lestari
untuk
kesejahteraan
masyarakat
berbasis
pelestarian
dan
perlindungan lingkungan
c) Meningkatkan pengembagan ekonomi wilayah berbasiskan pemberdayaan
masyarakat melalui peningkatan kemampuan SDM, teknologi dan iklim
invetasi yang kondusif
d) Meningkatkan sinkronisasi peraturan perundangan dan penegakan hukum.
Respon terhadap pentingnya pengelolaan PPK semakin tinggi dengan telah
diterbitkannya undang-undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau kecil.
Undang-undang tersebut mengatur mulai dari
perencanaan, pengelolaan, (pemanfaatan, hak penguasaan perairan pesisir,
pengaturan pegelolaan, konsep pengelolaan PPK) dan pengawasan pengendalian.
Peraturan tersebut memberikan ruang yang cukup penting bagi
keberlanjutan PPK dan kelestarian sumberdaya PPK.
Konsep pembangunan
berkelanjutan dengan menekankan pada pendekatan keterpaduan (ICM).
Pengelolaan wilayah pesisir dan PPK, menekankan pada aspek ekologis, aspek
ekonomis dan sosial. Asas pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan dan
keadilan termasuk menjadi dasar pengelolaan PPK. Peraturan ini dalam satu sisi
memberikan harapan akan keberlanjutan ekologis PPK serta pemerataan ekonomi
dengan memasukkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan memberikan
akses dalam pengelolaan PPK. Namun di sisi lain, undang-undang meninggalkan
19
banyak pertanyaan yang bersifat berkebalikan secara diametral dengan konsep
pembangunan berkelanjutan.
Adanya pasal tentang hak penguasaan perairan
pesisir (HP-3) seperti dalam pasal 16-22 memberikan gambaran tentang masa
depan PPK dan masyarakat pesisir.
Pemanfaatan yang salah dan semata
berorientasi ekonomi dan kapitalisasi modal tanpa mengindahkan aspek
kelestarian lingkungan PPK akan mengakibatkan kerusakan PPK dalam jangka
panjang. Pasal ini juga memberikan peluang hidupnya kolaborasi elit sosial atau
para komprador dengan para pemilik modal dalam memanfaatkan ekosistem PPK
dan sumberdaya yang berada di dalamnya. Pemberian hak kepada masyarakat
dalam pengelolaan bisa jadi tidak akan melahirkan pemerataan namun bisa
menutup akses masyarakat dalam pengelolaan karena lemahnya bergaining posisi
masyarakat sehingga akan berakibat pada semakin tingginya kesenjangan dan
menguatnya ketidakmerataan di PPK.
2.2
Konsepsi Daya Dukung Pulau-Pulau Kecil
2.2.1
Definisi Daya Dukung
Daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung (ocupancy capacity)
pada umumnya dimaksudkan dari segi dukungan terhadap kehidupan biota atau
manusia yang ada di Pulau tersebut (Ongkosongo, 1998). Daya dukung suatu
wilayah dapat naik atau turun tergantung dari kondisi biologis, ekologis dan
tingkat pemanfaatan manusia terhadap sumberdaya alam. Daya dukung suatu
wilayah dapat menurun, baik diakibatkan oleh kegiatan manusia maupun gayagaya ilmiah (natural forces), seperti bencana alam. Namun dapat dipertahankan
dan bahkan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (proper),
masukan teknologi dan impor (perdagangan) (Dahuri, 2001).
Proses penentuan daya dukung lingkungan untuk suatu aktivitas
ditentukan umumnya dengan dua cara: (1) suatu gambaran hubungan antara
tingkat kegiatan yang dilakukan pada suatu kawasan dan pengaruhnya terhadap
parameter-parameter lingkungan, dan (2) suatu penilaian kritis terhadap dampakdampak lingkungan yang diinginkan dalam rezim manajemen tertentu. Secara
umum terdapat empat tipe kajian daya dukung lingkungan (Inglis et al., 2000)
dalam PKSPL (2005), yakni:
20
1) Daya dukung fisik, yaitu luas total berbagai kegiatan pembangunan yang
dapat didukung (accommodated) oleh suatu kawasan/lahan yang tersedia,
2) Daya dukung produksi, yaitu jumlah total sumberdaya daya alam (stok)
yang dapat dimanfaatkan secara maksimal secara berkelanjutan
3) Daya dukung ekologi, adalah kuantitas atau kualitas kegiatan yang dapat
dikembangkan dalam batas yang tidak menimbulkan dampak yang
merugikan ekosistem
4) Daya dukung sosial, yakni tingkat kegiatan pembangunan maksimal pada
suatu kawasan yang tidak merugikan secara sosial atau terjadinya konflik
dengan kegiatan lainnya.
Pada dasarnya, konsep daya dukung wilayah pesisir ditujukan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Dahuri, 2001).
Terdapat beberapa
metode/teknik untuk menentukan daya dukung wilayah pesisir :
1) Menetapkan batas-batas (boundaries) baik vertikal maupun horisontal
terhadap garis pantai (coastal line), wilayah pesisir sebagai suatu unit
pengelolaan (a management unit)
2) Menghitung luasan pesisir yang dikelola
3) Mengalokasi atau melakukan pemintakan (zonation) wilayah pesisir
tersebut menjadi 3 zona utama, yaitu : (a) preservasi, (b) konservasi, (c)
pemanfaatan
2.2.2
Daya Dukung Lingkungan Ekosistem Pesisir PPK
Daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai kapasitas dari suatu
ekosistem untuk mendukung pemeliharaan organisme yang sehat baik
produktifitasnya, kemampuan beradaptasi dan kemampuan pembaruan (CeballosLasurian, 1991). Daya dukung lingkungan sering diekpresikan sebagai jumlah unit
pemanfaatan yang masih dapat ditampung oleh lingkungan.
Daya dukung
menghadirkan batasan dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya sehingga
ekosistem tersebut tidak mengalami kerusakan akibat aktivitas pemanfaatan. Jika
pemanfaatan melebihi ambang batas/kemampuan lingkungan untuk pulih
kembali/berasimilasi maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan tersebut melebihi
daya dukung.
Artinya jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih seperti
21
penangkapan ikan karang di terumbu karang, maka tingkat penangkapannya tidak
boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut dan tidak boleh merusak terumbu
karang. Begitu juga dengan pemanfaatan mangrove untuk kebutuhan sehari-hari
masyarakat, tingkat pemanfaatan mangrove tidak boleh merusak ekosistem
mangrove.
Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh : (1) kondisi biogeofisik
wilayah, dan (2) permintaan manusia, sumberdaya alam, dan jasa lingkungan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dahuri, 2001). Masih menurut Dahuri
2001, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan dengan cara
menganalisis : (1) variabel kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan
wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa
lingkungan; (2) variabel sosial-ekonomi-budaya yang menentukan kebutuhan
manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah
pesisir, tetapi berpengaruh terhadap perubahan sumberdaya alam dan jasa
lingkungan di wilayah tersebut.
2.2.3
Indikator Daya Dukung PPK
Menurut Cocosis (2005) dalam PKSPL (2005) perlu dibuat indikator daya
dukung yang akan dijadikan patokan/limit maksimum. Indikator diperlukan untuk
menyediakan kemungkinan kepada kita untuk menjelaskan dan menerapkan serta
proses yang harus dilakukan.
Pengembangan suatu kegiatan dalam beberapa
kasus perlu suatu inti satuan indikator, faktor yang mencerminkan tekanan dan
status pokok (yaitu, endemic dan mengancam jenis). Indikator ini digunakan
untuk memonitor dan mengidentifikasi pelanggaran batas daya dukung kegiatan di
pulau kecil. Implikasi dari pengukuran indikator adalah untuk kepekaan dari
lokasi dalam telaah. Penggunaan indikator dengan mengidentifikasi dan
membatasi setiap kegiatan aktivitas dan kegiatan dengan suatu ukuran yang
sederhana namun fleksibel.
Penetapan batas indikator ini diperlukan untuk
mengelola kawasan yang bernilai ekonomi dan ekologi tinggi.
Indikator suatu yang penting, tetapi bukan satu-satunya batasan mengelola
pulau kecil Di dalam konteks ini ada tiga jenis indikator diusulkan mencerminkan
komponen di pulau kecil (Cocosis, 2005) dalam PKSPL (2005).
Beberapa
22
komponen yang menjadi indikator adalah 1). Indikator Phisik – Ekologis; 2)
Indikator Demographic – Sosial dan; 3) Indikator Politis – Ekonomi.
Semua indikator tersebut secara langsung berhubungan dengan konsep dan
implementasi dari aktivitas di pulau kecil. Indikator keberlanjutan juga di
perlukan ketika terjadi indikasi terjadi perubahan kemampuan untuk bertahannya
sumberdaya tersebut. Dalam pembuatan dan pemilihan kebijakan atau perencana
dapat menyusun indikator yang sesuai untuk wilayahnya. Indikator lingkungan
dapat dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1 Indikator Lingkungan di Pesisir dan Pulau Kecil
No
Thematik Area
Indikator Phisik – Ekologi
1
Biodiversity dan Lingkungan Alam
4
Energy
5
Air
6
Limbah
7
Warisan budaya
8
Infrastruktur Wisata
9
Lahan
10
Arsitektur Ruang
11
Transportasi
INDIKATOR Demographi-Sosial
1
Demography
2
Kunjungan Turis
3
Tenaga Kerja
4
Perilaku Sosial
5
Kesehatan dan Keselamatan
6
Isu Physicologis
INDIKATOR Politik-Ekonomi
1
Investasi dan Pendapatan Kegiatan
Wisata
2
Tenaga Kerja
3
Penghasilan dan Penerimaan
Masyarakat
4
Kebijakan Pengembagan Kawasan
Keterangan : P = Prioritas
Sumber : (Cocosis, 2005) dalam PKSPL (2005)
Coastal
Pulau Kecil
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
23
2.2.4
Mengukur Daya Dukung PPK dengan Ecological Footprint
Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel
dan Rees (1996) dalam bukunya yang berjudul : Our Ecological Footprint:
Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan lahan untuk
konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan,
TPA (degraded land footprint), dan perlu hutan (dan juga lautan) untuk
mengabsorbsi kelebihan CO2 pada saat membakar BBM (energy footprint).
Ecological footprint (eco-footprint) diekspresikan dalam konteks (satuan)
produktivitas global (dunia). Jadi jika misalnya produktivitas sereal dunia adalah
2,5 ton/ha/th, maka jika seseorang menkonsumsi 1 ton sereal per tahun berarti
mempunyai ”cereal footprint” sebesar 0,4 ha/cap. Namun Ferguson (2002) dalam
PKSPL
(2005) telah menunjukkan bahwa menggunakan produktivitas global
dapat mendistorsi hasil perhitungan dan oleh karenanya Ferguson (2002)
menyarankan menggunakan produktivitas lokal. Secara konseptual maka
ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity. Biocapacity dapat diartikan
sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung saja. Ferguson (2002) dalam
PKSPL (2005) mendefinisikan biocapacity sebagai sebuah ukuran ketersediaan
lahan produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam
kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi
tersebut, dapat didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan
(carrying capacity) adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological
footprint.
Untuk menjelaskan konsep ecological footprint ini dalam kaitannya
dengan daya dukung lingkungan, PKSPL (2005) membuat contoh sebagai berikut.
Misalnya di sebuah pulau bahwa setiap orang mengkonsumsi 2 ton jagung dan 0,2
ton pepaya per tahun. Diketahui ternyata di pulau ini telah digunakan 20.000 ha
lahan untuk menumbuhkan jagung dan 500 ha untuk menanam pepaya.
Produktivitas lahan jagung adalah 10 ton/ha/th, sementara produktivitas lahan
pepaya adalah 40 ton/ha/th. Apabila kenyataannya penduduk di pulau ini
kebutuhanya akan pepaya dan jagung terpenuhi maka daya dukung yang dihitung
dari produksi jagung dan daya dukung yang dihitung dari produksi pepaya
haruslah sama. Dapat dilihat bahwa jika 20.000 ha menghasilkan jagung dengan
24
produktivitas 10 ton/ha/th maka akan diproduksi jagung sebanyak 200.000
ton/tahun. Karena kebutuhan setiap orang adalah 2 ton per tahun, maka jumlah
orang yang dapat dicukupi (carrying capacity) adalah (200.000/2) = 100.000
orang. Jika daya dukung ini dihitung dari produksi pepaya, maka dapat kita lihat
bahwa produksi pepaya dalam satu tahun adalah 500 x 40 = 20.000 ton/tahun.
Karena konsumsi setiap orang adalah 0,2 ton pepaya per tahun maka daya dukung
lingkungannya adalah (20.000 /0,2) = 100.000 orang. Daya dukung harus sama
walaupun dihitung dari jenis konsumsi yang berbeda.
Daya dukung lingkungan juga dapat dihitung dari biocapacity dan
ecological footprint. Pada contoh di atas maka ecological footprint dari jagung
adalah (konsumsi per capita / produktivitas) = 2/10 = 0,2 ha. Sementara itu
ecological footprint dari pepaya adalah = 0,2/40 = 0,005 ha. Dengan demikian
total ecological footprint adalah 0,205 ha.
Ecological footprint mewakili kebutuhan kapital alam yang sangat
diperlukan dari suatu populasi dalam artian luasan lahan yang produktif secara
ekologis.
Luas lahan footprint tersebut bergantung pada besarnya populasi,
standar hidup material, pemanfaatan teknologi, dan produktivitas ekologis
(Wackernagel et al., 1999).
Untuk sebagian besar wilayah yang telah maju
(daerah industri) sebagian lahan footprint ini melebihi yang tersedia di tempat
(wialayah lokal) tersebut.
Hal ini berarti memerlukan bantuan kecukupan
(appropriation) dari daya dukung (carrying capacity) dunia (global). Ditekankan
oleh Wackernagel et al. (1999) ecological footprint tidak bias tumpang tindih
(overlap), daya dukung lingkungan yang dialokasikasikan untuk kecukupan
(appropriated) seseorang (atau satuan ekonomi) tidak bisa tersedia bagi orang
lain. Dengan demikian orang-orang berkompetisi (bersaing) untuk ecological
space.
Perhitungan ecological footprint didasarkan pada 2 fakta sederhana :
pertama adalah bahwa semua sumberdaya yang dihabiskan (konsumsi) dan
limbah yang dihasilkan dapat ditelusuri; dan kedua, kebanyakan aliran
sumberdaya dan limbah tersebut dapat dikonversi ke luasan lahan yang secara
biologis produktif yang diperlukan untuk mengakomodasi fungsi-fungsi (produksi
dan penyerapan limbah) tersebut.
Dengan demikian ecological footprint
menunjukkan seberapa besar suatu populasi atau bangsa menggunakan ”alam”.
25
Ecological footprint telah digunakan untuk menghitung lahan yang
diperlukan untuk kecukupan kebutuhan ekologis seseorang baik pada tingkat
lokal, negara, regional, dan bahkan dunia.
Konsep ini juga telah digunakan
sebagai indikator yang mengukur pasokan (supply) dan permintaan (demand)
sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) untuk menjamin
keberlanjutan (sustainability) sistem manusia.
Namun demikian konsep
ecological footprint juga telah dikritik kelemahannya pada saat digunakan sebagai
indeks keberlanjutan sistem produksi akuakultur (Roth et al., 2000) dalam PKSPL
(2005).
2.3
Pembangunan dan Kemiskinan
Perkembangan teori pembangunan hadir setelah teori-teori tentang
kapitalisme.
Oleh karena dalam banyak pembahasannya, teori pembangunan
lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan teori kapitalisme, baik yang
mendukung maupun para pengkritiknya. Sejak kaum merkantilis dan Adam
Smith, Ricardo dan Thomas Maltus sampai Marx, Keynes, Paul Baran sampai
Gunnar Myrdal dan Amarty Sen, banyak membicarakan tentang pembangunan
ekonomi. Pemikiran pembangunan tersebut selanjutnya oleh Damanhuri (1997)
diklasifikasi dalam tiga jenis pemikiran yaitu teori liberal, teori kritis atau radikal
dan teori heterodox.
Pandangan para pemikir ekonomi tersebut senantiasa
mengkaitkan dengan perkembangan politik. Deliarnov (2005) mengklasifikasi
para pemikir ekonomi politik dengan melihat sejarah pemikiran ekonomi dalam
beberapa jenis meliputi ekonomi politik liberal klasik, sosialisme, neo klasik,
strukturalisme dan dependensia, kelembagaan, ekonomi politik baru dan neo
liberalisme.
Namun perbedaannya, sejak zaman merkantilis, Adam smith, Marx dan
Keynes, perhatian kepada pembangunan ekonomi lebih bersifat statis dan
umumnya dikaitkan dengan kerangka acuan lembaga budaya atau sosial eropa
barat. Baru sejak tahun empat puluhan atau tepatnya pasca perang dunia II yang
ditandai dengan kebangkitan gelombang politik bangsa Asia-Afrika, para ahli
ekonomi banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah negara terbelakang.
Bagi negara-negara tersebut kemiskinan di suatu tempat merupakan bahaya bagi
26
kemakmuran di manapun (Jhingan, 1975).
Bagi Meier dan Baldwin dalam
Jhingan (1975) pengkajian mengenai kemiskinan bangsa-bangsa bahkan lebih
terasa mendesak daripada pengkajian kemakmurannya.
2.3.1
Teori Pembangunan Tentang Kemiskinan
Seperti telah didikemukakan dalam pengantar, bahwa kategorisasi teori
pembangunan yang akan diuraikan di bawah ini berangkat dari kategorisasi dari
Damanhuri (1997).
Damanhuri membagi kategorisasi teori pembangunan ke
dalam tiga teori besar yaitu teori liberal, teori kritis (radikal) dan teori heterodox.
A.
Teori Liberal
Dalam berbagai khasanah literatur ekonomi pembangunan, banyak
disebutkan bahwa teori-teori pembangunan ekonomi bertujuan untuk melakukan
modernisasi di negara-negara yang sedang berkembang. Semangat pembangunan
dengan latar belakang teori modernisasi adalah keinginan untuk memodernisasi
negara-negara berkembang dengan cara meniru negara maju dalam segala aspek,
khususnya dalam mode of production kapitalisnya.
Teori-teori pembangunan
ekonomi pada generasi ini berfokus pada beberapa isu sentral seperti
pertumbuhan ekonomi,
akumulasi modal, transformasi struktural dan peran
pemerintah. Sistem kapitalisme yang negara-negara maju terapkan selama ini
dianggap sebagai jalan bagi negara yang sedang berkembang untuk bangkit dari
keterbelakangan dan mengejar kemajuan (Sanderson, 1993).
Teori yang cukup meyakinkan bagi keberlangsungan modernisasi adalah
teori Rostow tentang tahapan pertumbuhan ekonomi.
Rostow (1960) dalam
Jhingan (1975), memandang bahwa proses pembangunan bergerak dalam sebuah
garis lurus, yakni masyarakat yang terbelakang menuju masyarakat yang maju.
Rostow memperkenalkan teori pertumbuhan yang dikenal dengan The Stages of
Economic Growth meliputi (i) masyarakat tradisional; (ii) prakondisi untuk lepas
landas; (iii) lepas landas; (iv) menuju kedewasaan; dan (v) tahap konsumsi massa
tinggi. Bagi Rostow Investasi adalah suatu kemutlakan yang dapat diperoleh dari
luar maupun dalam. Teori Rostow ini semakin meneguhkan pemikir modernis
lainnya
seperti
Rosenstein-Rodan
(1943)
dalam
Arif
(1998)
dengan
27
industrialisasinya, Nurske (1952) dengan mobilisasi dan rangsangan investasi
serta Lewis (1954) tentang perlunya mempertahankan akumulasi modal dalam
bentuk tabungan dan keuntungan, sebagai jalan keluar bagi negara ketiga dari
keterbelakangan.
Artinya, teori-teori ini mengundang masuknya institusi
permodalan kapitalisme dengan bunga yang tinggi sehingga akhirnya terjadi
ketergantungan (Frank,1984).
Harrod-Domar dalam Arif (1998) menekankan bahwa pembangunan
masyarakat hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi
pembangunan. Dengan merekomendasikan adanya investasi/penanaman modal
Harrod-Domar meyakini bahwa pendapatan masyarakat akan bertambah dengan
meningkatnya produksi sebagai akibat adanya investasi yang pada gilirannya akan
berujung pada lahirnya kesejahteraan. Pergerakan modal dari negara maju ke
negara miskin bagi Paul Baran (1957) hanyalah bertujuan menyedot keuntungan
dari negara miskin sebagai akibat dari pertambahan pendapatan yang diakibatkan
oleh adanya investasi asing.
Kritik lain dari pemikir modernisasi terhadap ketertinggalan negara sedang
berkembang disebabkan karena persoalan-persoalan kebudayaan atau kultur.
Untuk itu fokus lain dari teori modernisasi adalah adanya transformasi struktural.
Menurut Harison (1988), modernisasi akan berpengaruh terhadap perubahan
susunan dan pola masyarakat, dengan terjadinya diferensiasi struktural. Demikian
juga dengan kapitalisme yang telah dibuktikan sejarah, serta dikritik oleh Marx,
akan menimbulkan struktur yang penuh konflik. Teori Modernisasi yang
berlandaskan teori evolusi, mengharapkan suatu perubahan masyarakat secara
bertahap, dari keadaan serba sama kepada semakin terdiferensiasi (Sanderson,
1993). Tokoh modernisasi klasik, misalnya Colleman dalam Suwarsono dan So
(1991) meninginginkan bahwa individu yang modern diharapkan akan memiliki
kebutuhan berprestasi yang tinggi. Pernyataan Colleman ini senada dengan Mc
Clelland (1961) dalam Hettne (2001) dengan lebih menekankan pada aspek
psikologi individu. Bagi Mc Clelland mendorong proses pembangunan berarti
membentuk manusia wiraswasta dengan dorongan berprestasi yang tinggi.
Dengan Human Capital Theory nya, Mc Clelland berpendapat bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin tinggi keterampilan dan
28
pengetahuan. Semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan maka akan semakin
tinggi produktivitas. Semakin tinggi produktivitas, semakin tinggi pendapatan
dan ujungnya akan semakin meningkatkan kesejahteraan. Kemiskinan menurut
Mc Clelland disebabkan karena kurangnya dorongan berprestasi pada kaum
miskin.
Dalam
strategi
pembangunan
ekonomi,
perspektif
modernisasi
diwujudkan dalam bentuk strategi pertumbuhan ala model liberal. Damanhuri
(1997) mencatat bahwa hasil pembangunan model liberal seperti itu menyebabkan
pengangguran terbuka dan tertutup yang membengkak, kemiskinan absolut dan
relatif (ketimpangan) serta ketergantungan permanen terhadap modal asing dan
teknologi.
B.
Teori Radikal
Pandangan-pandangan penganut teori liberal baik yang neo klasik maupun
keynesian telah mendominasi arus besar pemikiran pembangunan di dunia selama
beberapa dekade sampai saat ini. Pola ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan
dari penganut teori liberal menimbulkan banyak kritik dari kaum Marxis.
Setidaknya terdapat beberapa teori yang banyak mengkritisi teori-teori liberal ini
yaitu teori strukturalis, teori ketergantungan dan keterbelakangan serta teori
sistem dunia.
Teori ketergantungan mengkritik teori modernisasi didasari atas fakta
keterlambatan pembangunan di dunia ketiga, khususnya dalam kasus Amerika
latin. Teori ini sepenuhnya menggunakan paradigma neo-Marxis sehingga terlihat
sangat radikal dengan menganalogkan pada perkiraan marxis tentang adanya
pemberontakan kaum buruh terhadap majikan dalam industri kapitalis. Corak
analisis Marxis tampak ketika teori ketergantungan mengangkat analisanya dari
permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Dalam
perspektif ini -meminjam istilah Gunder Frank- negara pusat (metropolis)
dianggap sebagai kelas majikan dan negara dunia ketiga (satellit) sebagai
buruhnya.
Bagi teori modern atau liberal, untuk tumbuhnya perkembangan ekonomi
di negara ketiga maka perlu adanya indutrialisasi (Rosenstein-Rodan, 1943),
29
rangsangan dan mobilisasi investasi (Nurske, 1952) serta pengembangan sektor
kapitalis dengan mempertahankan akumulasi modal (Lewis, 1954).
Bagi
Robinson (1959) dalam Arif (1998) industrialisasi negara berkembang tidak
sesuai dengan realitas sosial negara-negara tersebut. Robinson meyakini bahwa
pertanian harus menjadi induk pembangunan dan industri sebagai motor
pembangunan.
Pola
interaksi
ekonomi
internasional
yang
menjadi
pertanda
berkembangnya teori modernisasi tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi
negara berkembang.
Baran (1957) mengemukakan bahwa meskipun terjadi
pergerakan faktor modal antar negara (yaitu dari negara maju ke negara miskin),
pergerakan ini hanyalah bertujuan untuk menyedot keuntungan negara miskin.
Bahkan menurut Baran (1957) naiknya pendapatan nasional negara miskin akibat
adanya aliran investasi asing, tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat di negara
tersebut namun justru dinikmati oleh segelintir elit masyarakat yang
memperolehnya dengan cara ekploitatif. Adanya elit penguasa dan yang
menopang elit penguasa sebetulnya adalah yang paling bertanggungjawab
terhadap proses ekploitasi yang luas dan dalam di Negara miskin (Santos, 1970).
Cardoso (1973) dalam Sasono dan Arif (1981) menyatakan bahwa golongan elit
sosial di negara dunia ketiga merupakan kekuatan-kekuatan internal yang
disebutnya sebagai kelas sosial dominan, oleh kalangan Marxisme disebut sebagai
kelas “komprador’ (Compradore Class). Klas otoriter birokratis (O’Donnel,1978)
dalam Tindjabate (2001) inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis asing di
negara berkembang/dunia ketiga dengan kekuatan ekonominya, kekuatan modal
dan birokrasi, elite-elite sosial ini membangun aliansi dengan para kapitalis asing
dalam mengekploitasi rakyat miskin di negara-negara dunia ketiga.
Formasi
sosial dan kelas-kelas sosial inilah menurut Brener (1977) dalam Forbes (1983)
luput dari pengamatan para teoritikus ketergantungan ketika melihat proses
kapitalisme dan keterbelakangan negara berkembang.
Sejalan dengan Paul Baran, dalam konteks proses hubungan ekonomi
Frank (1984) membuat pembagian yaitu apa yang disebut dengan negara-negara
metropolis maju (developed metropolitan countries) dan negara-negara satelit
yang terbelakang (satellite underdeveloped countries). Frank (1984) menolak
30
bahwa perkembangan ekonomi negara miskin sebagai akibat adanya hubungan
ekonomi negara metropolis-satellit yang akan menimbulkan difusi modal,
teknologi, nilai-nilai institusi dan faktor dinamis lainnya kepada negara miskin
tidak dapat dibenarkan. Penolakan tersebut didasarkan atas temuan historis Frank
di Amerika Latin di mana perkembagan yang sehat dan otonom justru terjadi
waktu hubungan metropolis-satelit ini tidak ada (Arif, 1998). Bagi Frank (1984)
teori Rostow dengan tahapan pertumbuhan ekonominya telah mengabaikan
sejarah (ahistoris). Rostow dengan pijakan kapitalismenya telah mengabaikan
kenyataan hancurnya struktur masyarakat dunia ketiga. Frank (1984) melihat
adanya hubungan negara-negara industri maju dengan negara non industri dunia
ketiga sebagai rangkaian hubungan dominasi dan ekploitasi antara metropolis
dengan satelit-satelitnya, walaupun, menurut Roxborough (1986), Frank kurang
memberikan perhatian pada peranan struktur kelas di negara dunia ketiga yang
juga berperan dalam hubungan dominasi tersebut. Hal ini dikoreksi Santos (1970)
dalam Arif (1998) dengan saran bahwa ketergantungan tersebut tak dapat diatasi
tanpa perubahan kualitatif dalam hubungan struktur internal dan eksternal.
Selanjutnya Santos (1970) menyatakan, bahwa ada tiga bentuk
ketergantungan yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan
dan ketergantungan teknologi industri.
Pada ketergantungan kolonial, negara
dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli
pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil
bumi dari negara jajahan. Bagi Indonesia, ketergantungan kolonial telah dialami
selama tiga abad lebih yaitu pada saat Belanda menjajah Indonesia dengan sistem
tanam paksa maupun pajak tanah.
Kolaborasi kolonial Belanda dengan para
Bupati dan kerajaan-kerajaan yang ada pada saat itu, terbukti membawa
kesengsaraan bagi petani.
Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada
akhir abad 19 menjadikan ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor
bahan mentah dan produk pertanian. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori
dependensi sebenarnya berada pada bentuk ketergantungan teknologi industri.
Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah ketimpangan
pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya
31
perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri. Indonesia sampai
saat ini masih bergantung kepada teknologi dari negara-negara maju. Dalam
bidang perikanan misalnya, Indonesia masih lemah misalnya dalam teknologi
pengolahan hasil perikanan dan pembenihan ikan.
Perdagangan internasional yang menjadi ciri utama dari teori modern
ternyata menyisakan permasalahan bagi negara berkembang karena adanya
pertukaran yang tidak adil. Amin (1978) menunjukkan ketergantungan negara
berkembang kepada negara maju dengan konsep pertukaran yang tidak adil.
Amin (1978) menunjukkan terjadinya pengalihan surplus dari negara miskin yang
disebutnya peri-pheri ke negara-negara maju (yang disebutnya centre) sebagai
akibat proses perdagangan internasional antara kedua kelompok negara ini.
Rintangan-rintangan akibat proses pertukaran yang tidak adil ini menyebabkan
proses transisi dari situasi ekonomi pra-kapitalis ke situasi ekonomi kapitalis di
negara-negara terbelakang, mengambil bentuk yang sangat berlainan dari yang
pernah dialami oleh negara-negara maju pada waktu negara-negara ini mengalami
proses transisi. Sehingga negara-negara terbelakang tetap terus terbelakang.
Proses perdagangan internasional dengan mekanisme pola ekonomi
kapitalis seperti ini, bagi pemikir ketergantungan seperti Roxborough, merupakan
dampak lanjutan dari imprealisme yang pernah dialami dulu yang hidup bersamasama dengan kapitalisme. Menurut Roxborough (1986), teori imprealisme
memberikan perhatian utama pada ekspansi dan dominasi kekuatan imprealis.
Imprealis yang ada pada abad 20 pertama-tama melakukan ekspansi cara produksi
pra kapitalis ke dalam cara produksi kapitalis. Ekspansi kapitalis ini berupa caracara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi.
Menurut Roxborough (1986), pengaruh kapitalisme terhadap perubahan
struktur sosial masyarakat khususnya yang berada di wilayah pedesaan akan lebih
baik menggunakan analisa kelas.
Analisis Lenin dalam Roxborough (1986),
tentang dua jalur penetrasi kapitalisme tersebut memberi hasil yang hampir sama,
yaitu diferensiasi yang menjurus ke arah polarisasi pemilikan lahan dan ekonomi.
Jejak pemikiran teori ketergantungan di Indonesia dapat dilihat dalam
sosok pemikiran Sritua Arif dan Adi Sasono. Arif dan Sasono (1981) menilai
bahwa sistem tanam paksa merupakan salah satu faktor terpenting yang
32
bertanggungjawab
terhadap
kemiskinan di Indonesia.
berkembang
suburnya
keterbelakangan
dan
Mereka menilai bahwa terjadi pengalihan surplus
ekonomi dari Indonesia ke Belanda dalam jumlah amat besar. Sistem tanam
paksa, menurut Arif dan Sasono (1981) telah memperkecil jumlah petani yang
berkecukupan atau melahirkan proletariat desa.
Selanjutnya, dalam menguji pembangunan ekonomi Indonesia, Sritua Arif
dan Adi Sasono melompat langsung kepada pengamatan di zaman orde baru.
Sebetulnya, langkah ini agak gegabah, karena sepertinya Sritua Arif dan Adi
Sasono melewati begitu saja masa penjajahan Jepang dan zaman orde lama.
Dalam mengamati orde baru, Arif dan Sasono menggunakan lima tolak ukur,
yakni sifat pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, proses industrialisasi,
pembiayaan
pembangunan
dan
persediaan
bahan
makanan.
Pertama,
pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai Indonesia dibarengi dengan melebarnya
jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Hal itu didasari atas pengamatan
pada periode 1970-1976 dimana menurut Arif dan Sasono (1981), golongan
miskin bertambah miskin dan mereka tidak menikmati pertumbuhan ekonomi
yang
dinyatakan
cukup
memadai.
Kedua,
Indonesia
memiliki
tingkat
pengangguran yang tinggi. Hal ini terjadi karena industri yang padat modal
ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja. Ketiga, Proses industrialisasi yang
terjadi di Indonesia merupakan proses industrialisasi yang oleh Samir Amin
disebut sebagai industri ekstraversi. Industri substitusi impor yang dikembangkan
memiliki ketergantungan modal dan teknologi asing yang tinggi.
Keempat,
karena sifat pertumbuhan ekonomi dan model industrialisasi yang dipilih, maka
Indonesia hanya memiliki satu pilihan yakni kebutuhan untuk selalu memperoleh
modal asing.
Kelima, Sampai akhir tahun 1970-an Indonesia belum mampu
mencapai swasembada pangan atau tepatnya baru pada tahun 1985, untuk pertama
kali sejak kemerdekaannya, Indonesia mencapai swasembada beras.
Pisau analisis teori ketergantungan, termasuk yang digunakan oleh Arif
dan Sasono (1981) ini, jelas sekali berpijak kepada metodologi dan paradigma
berpikir ala paul Baran, Gunder Frank maupun pemikir ketergantungan lainnya.
Namun, perspektif teori dipendensia menurut Damanhuri (1996) gagal
menjelaskan fenomena sosial yang ada di Indonesia maupun di negara-negara
33
Asia lainnya. Pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia seperti Jepang, Korea,
Hongkong, Malaysia dan Indonesia sendiri termasuk mencengangkan bagi kaum
dependensia. Bahkan, Samir Amin pun tidak mampu menjelaskan fenomena
Korea dan Taiwan yang disebutnya ”perkecualian”. Bagi Damanhuri, teori-teori
besar yang ada, tidak berlatar belakang sejarah Asia, bahkan sangat berjarak dari
kultur Asia.
Menurut Damanhuri (1996) yang lebih mengena untuk memahami
fenomena Asia adalah teori-teori menengah dan tidak terlalu radikal serta tidak
terlalu optimistik seperti yang dilontarkan Gunar Myrdal.
Teori tersebut
menyebutkan bahwa negara Asia Tenggara dan Timur berlaku tipikal perencanaan
ketiga yang sangat berbeda dengan tipikal negara liberalis yang diwakili Amerika
dan Sosialis yang diwakili Uni Soviet. Menurut Damanhuri, berangkat dari teori
tersebut, tipikal tersebut berupa adanya kontrol negara – yang pada saat tertentu
juga memberi keleluasaan yang besar- terhadap swasta.
Sebetulnya Joan
Robinson ketika mengkritik Rosenstein-Rodan mengatakan bahwa pandangan
teori modernis tidak sesuai realitas sosial masyarakat negara ketiga. Demikian
halnya Damanhuri (1996) menyarankan agar pijakan teori dalam membedah
pembangunan ekonomi haruslah lebih menggambarkan realitas sosial politik
setempat.
Selain itu, konsep ketergantungan yang dikemukakan oleh pemikirpemikir Marxis strukturalis juga mendapatkan kritik dari pemikir-pemikir
ekonomi politik Marxis lainnya seperti Anthony Giddens, Thompson, Soja dan
Forbes.
perspektif
Forbes (1986) menyoroti pembangunan dan keterbelakangan dalam
geografi
dan
ekonomi
politik.
Pertama,
karya
mengenai
keterbelakangan lebih didominasi oleh pendekatan ekonomistik dan tidak banyak
menelaah tentang hubungan sosial, konflik kelas, dan reproduksi atau dengan kata
lain penelaahan harusnya juga dilihat dari sisi sosial dari ekploitasi. Kedua, karya
keterbelakangan yang dilontarkan selama ini berada pada tataran abstrak.
Pemikiran akhir-akhir ini menyerukan agar tidak mengadakan pembedaan yang
apriori atau statis antara negara maju dan terbelakang, tetapi sebaliknya menyoroti
suatu perekonomian dunia yang komplek, tunggal dan hubungan antara berbagai
kesatuan soaial dan ekonomi yang kecil dan besar yang mengisinya. Ketiga,
perkembangan pemikiran yang ekonomistik dan abstrak disertai dengan
34
meningkatnya dominasi pengetahuan komposisional terhadap pengetahuan
kontekstual.
Menurut Forbes (1983) lapangan tengah dari ”ekonomi politik”
menjadi terlalu sesak, sementara pertanyaan mengenai wawasan seperti
lingkungan dan organisasi tempat yang memperoleh perlakuan, relatif jarang
diamati. Ekonomi politik keterbelakangan lebih memusatkan pada isyu yang
relatif kecil dan menjauhkan peneliti kritis dari aneka ragam penelitian yang
berkaitan.
C.
Teori Heterodox
Peralihan kapitalisme dari negara pusat kepada negara pinggiran
dintodusir melalui investasi asing, mengandaikan terciptanya industrialisasi di
negara pinggiran. Ketergantunganpun muncul bagi negara pinggiran kepada
negara pusat. Setidaknya demikian kritik yang banyak dilontarkan oleh penganut
teori dependensia dalam menyikapi proses modernisasi dan liberalisasi ekonomi.
Namun, muncul keraguan dalil bahwa peralihan ke arah kapitalisme di pinggiran,
tertahan. Begitu halnya, dengan kemunculan keajaiban-keajaiban ekonomi di
Asia seperti yang terjadi di Korea Selatan dan munculnya negara-negara industri
maju di Asia dan Amerika Latin (Higgot, 1984) dalam Forbes (1983). Menurut
Forbes (1983) industrialisasi di pinggiran merupakan proses yang paling mutakhir
dan tidak berarti membuktikan argumen bahwa peralihan ke arah kapitalisme
masih terus berlangsung dalam cara seperti yang terjadi di Barat.
Bentuk
industrialisasi yang terjadi di pinggiran menunjukkan sejumlah perubahan yang
bergerak jauh dalam sifat kapitalisme itu sendiri dan hanya dapat dipahami dalam
konteks yang lebih luas.
Fenomena keajaiban ekonomi Asia menjadikan
Damanhuri (1996) berpendapat, apakah model manajemen Asia yang menjadikan
negara-negara –yang dicap sebagai negara pinggiran- ini dapat berkembang begitu
pesat . Nilai-nilai tradisional dan kebudayaan lokal yang selama ini dianut dengan
kuat oleh bangsa-bangsa seperti Jepang, Korea dan Indonesia sendiri, diyakini
berpengaruh terhadap pola ekonomi yang berkembang di negara-negara Asia
tersebut.
Untuk menjelaskan fenomena ini, pisau analisis lain perlu digunakan
dengan berpijak kepada realitas sosial ekonomi dan budaya politik masyarakat
bangsa tersebut.
35
Selain pandangan dari kelompok modernis dan strukturalis atau yang oleh
Damanhuri (1997) dikategorikan sebagai teori liberal dan radikal tersebut,
terdapat pandangan lain yang menyempal dari keduanya, yaitu apa yang disebut
dengan teori heterodox. Pendukung teori ini seperti Gunnar Myrdal (Swedia), F.
Perroux (Perancis) dan A. Hirchman (USA).
Menurut Damanhuri (1997)
kelompok ini mengajukan negasi bahwa pembangunan (development) lebih luas
dari pertumbuhan (growth), yang tidak cukup hanya disimpulkan melalui
indikator-indikator pertumbuhan. Tetapi, pembangunan mencakup sejumlah
transformasi dalam struktur ekonomi, sosial, dan kultural yang menyertai dan
mendasari terjadinya pertumbuhan. Pembangunan harus melingkupi perubahan
mental dan sosial yang membawa kemampuan mereka untuk tumbuh (F. Perroux
dalam Damanhuri, 1997) dan perbaikan gizi (Myrdal, 1957) dalam Arif (1998).
Menurut Myrdal (1957) dalam Arif (1998) hubungan ekonomi antara
negara-negara maju dengan negara-negara yang belum maju telah menimbulkan
ketimpangan internasional dalam pendapatan perkapita dan kemiskinan di negaranegara belum maju. Myrdal menambahkan bahwa penyebab utama terjadinya
keterbelakangan di negara berkembang adalah kemajuan ilmu dan teknologi,
kehadiran pasaran yang luas dan konsentrasi modal keuangan di negara-negara
maju. Sebaliknya di negara-negara yang belum maju selain rakyat mempunyai
pendapatan per kapita yang rendah terdapat juga tingkat hubungan yang rendah,
pertumbuhan penduduk yang tinggi, tingkat keterampilan yang rendah, kesehatan
penduduk yang tinggi, tingkat keterampilan yang rendah, kesehatan penduduk
yang buruk dan tidak berkembangnya industri-industri rakyat akibat rendahnya
harga barang-barang manufaktor impor. Solusi memberantas kemiskinan tersebut
menurut Myrdal harus dilakukan dengan campur tangan pemerintah terutama
dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas.
Namun, bagi Ul Haq (1983)
mekanisme pasar seringkali senjang akibat pembagian pendapatan dan kekayaan
yang berlaku sehingga pasar bukan petunjuk yang dapat diandalkan untuk
menentukan tujuan-tujuan nasional.
Menurut Mahbub Ul Haq, kemiskinan –
seperti kaum liberal menganjurkan- tidak dapat diperangi secara tidak langsung
melalui laju pertumbuhan yang merembes ke rakyat banyak. Namun, kemiskinan
harus diserang langsung.
36
Proses ketimpangan dalam pembangunan antara negara maju dan negara
dunia ketiga juga disebabkan karena tidak adanya kebebasan.
Sen (1999)
mengatakan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai sebuah proses “perluasan”
kebebasan manusia (the process of expanding the real freedom), bukan sekedar
mengatasi persoalan ekonomi semata.
Masih menurut Sen (1999) bahwa
kebebasan yang dimaksud meliputi kebebasan politik, fasilitas ekonomi, sosial
opportunities, jaminan transparansi, dan perlindungan keamanan. Sen (1999)
kemudian memperkenalkan suatu formula pengukuran kemiskinan yang dikenal
sebagai Sen Indeks yakni suatu konsep yang saat ini diaposi PBB sebagai standar
untuk mementukan tingkat Human Development Indeks (HDI).
2.3.2
Kesenjangan Pembangunan
Pendekatan pembangunan ala neo-klasik dan keynesian yang selama ini
diterapkan dengan ideologi modernisme dan berpijakan pada pola ekonomi
kapitalis, terbukti telah melahirkan jurang yang menganga demikian lebar antara
negara maju dan negara berkembang. Negara dunia ketiga yang dicap sebagai
negara yang tertinggal/sedang berkembang, digiring pada proses hubungan
ekonomi yang terbukti bukan melahirkan kesejahteraan sebagaimana kaum liberal
mengumandangkan.
Namun, justru ketergantungan terhadap negara maju
menjadikan negara maju semakin modern dan negara berkembang tetap tertinggal.
Permasalahan struktural tersebut setidaknya melahirkan perdebatan panjang dan
kritik tajam dari kaum dependensia. Mobilisasi investasi, penanaman modal asing,
kemajuan ilmu dan teknologi serta perangkat-perangkat ekonomi liberal lainnya
yang menjadi strategi bagi percepatan pertumbuhan ekonomi di negara
berkembang, melahirkan krisis pembangunan yang demikian parah di negara
berkembang dan kritik tajam kaum dependensia.
Masuknya investasi ke negara berkembang bagi Baran (1957) hanyalah
bertujuan menyedot keuntungan dari negara berkembang.
Menurut Myrdal
(1957) dalam Arif (1998) hubungan ekonomi yang terbangun antara negara maju
dan negara berkembang hanya akan menimbulkan ketimpangan internasional
dalam pendapatan perkapita dan kemiskinan yang terus mengakar di negara yang
belum maju. Kondisi asimetris antara negara maju dan negara yang belum maju
37
menjadikan terciptanya kesenjangan pembangunan terjadi. Potret kemajuan ilmu
dan teknologi, akumulasi modal keuangan di negara maju, pada satu sisi. Serta
kekurangan gizi, pertumbuhan penduduk tinggi, tingkat keterampilan yang rendah
dan ciri ketertinggalan lain yang menempel pada negara berkembang, merupakan
potret kesenjangan pembangunan yang demikian nyata antara negara maju dan
negara sedang berkembang.
Menanggapi fenomena tersebut, Frank (1984)
menunjuk Rostow dengan teori tahapan pertumbuhannya sebagai ahistoris.
Konsep dual society dan dual economies Arthur Lewis pun, dibantah oleh Gunder
Frank.
Bagi Frank (1984), proses hubungan ekonomi antara negara maju dan
negara sedang berkembang hanya akan menjadikan sektor modern semakin
modern dan sektor tradisional yang menjadi ciri khas masyarakat negara
berkembang, senantiasa berkutat dalam subsisten, feodalistis dan stagnan dalam
situasi pre-capitalist (tidak mengenal money economy). Konsep metropolissatellite sebagai gambaran hubungan negara pusat dan negara pinggiran yang
diungkapkan Gunder Frank, senantiasa menjadikan negara pusat terus maju dan
negara pinggiran berada dalam situasi ketergantungan dan keterbelakangan.
Konsep ini serupa dengan kesenjangan pembangunan yang terlihat antara pusatdaerah, Jawa-non Jawa, kota-desa dan pulau-pulau besar dengan pulau-pulau
kecil.
Penelitian yang dilakukan oleh Williamson (1965) menekankan pada
kesenjangan antar wilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan
kesenjangan pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk
tingkat urbanisasi suatu wilayah. Myrdal (1957) dalam Arif (1998) melakukan
penelitian tentang sistem kapitalis yang menekankan kepada tingkat keuntungan
bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat keuntungan tinggi akan
berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan kesejahteraan. Di sisi lain,
wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan yang rendah tidak akan
berkembang sehingga terjadi kesenjangan.
Untuk itu, menurut Ul Haq (1983) tidak ada gunanya, melihat tujuan
pembangunan dari kacamata tingkat hidup di Barat atau mencurahkan perhatian
pada perbedaan pendapatan yang makin besar antara negara kaya dan negara
38
miskin. Ul Haq mengajak negara sedang berkembang untuk berpaling ke dalam
diri sendiri, seperti yang dilakukan Cina yang menganut gaya sendiri dalam
pembangunan
sesuai
dengan
tingkat
sosial
ekonomi
dan
kemiskinan
masyarakatnya dan tidak latah meniru gaya hidup negara-negara Barat.
Pertumbuhan Gross National Product (GNP) yang selama ini menjadi indikator
pertumbuhan ekonomi, menurut Ul Haq (1983) tidak sampai ke bawah. Sehingga
yang penting adalah melakukan serangan langsung atas kemiskinan yang menurut
Eugene Staley dalam Jihan (2004) sebagai penyebab utama ketertinggalan negara
berkembang.
Pembacaan berbeda dalam melihat kesenjangan pembangunan dilakukan
oleh Dean K. Forbes dengan melihat pada setting geografi keterbelakangan.
Forbes (1986), menyatakan bahwa kalangan ekonomi neo-klasik (non-Marxis)
melihat masalah regional dalam tiga pendekatan, yaitu :
1) Pendekatan marjinalis yang menekankan pentingnya alokasi sumberdaya
dan memandang ketimpangan regional sebagai gejala transisi. Dengan
pendekatan ekonomi dan integrasi faktor pasar ketimpangan regional dapat
dikurangi
2) Pendekatan
institusionalis
yang
menekankan
perlunya
intervensi
pemerintah guna menahan kecenderungan ketimpangan regional
3) Pendekatan
difusionis
yang
digambarkan
dengan
riset
geografi
modernisasi. Penekanannya terletak pada difusi pertumbuhan spasial yang
menghasilkan inovasi di seluruh ruang ekonomi.
Dalam perspektif ekonomi politik regional, Massey (1978) dalam Forbes
(1986), menyebutkan juga tiga pendekatan masalah regional, yaitu :
1) Pendekatan yang berusaha mengidentifikasi hukum-hukum abstrak yang
bersifat umum mengenai format spasial dari pembangunan kapitalis,
misalnya memisahkan ruang menjadi perkotaan – lingkungan konsumsi
kapitalis dan daerah yaitu tempat produksi
2) Pendekatan dengan teori keterbelakangan untuk menjelaskan ketimpangan
regional internasional, misalnya hukum pertukaran timpang (Lipietz,
1977) dalam Forbes (1986)
39
3) Pendekatan yang memusatkan pada dorongan terhadap akumulasi modal,
pergeseran dalam pembagian spasial tenaga kerja dan pendapatan yang
tidak merata secara spasial.
Permasalahan kesenjangan pembangunan melahirkan banyak metode
dalam pengukurannya. Indikator yang paling umum digunakan adalah dengan
melihat tingkat pendapatan masyarakat dan GNP untuk ukuran negara. Selain itu,
pengukuran
kesenjangan
pengelompokkan.
juga
Pengelompokkan
menggunakan
berbasis
daerah
daerah
sebagai
tersebut
basis
mempunyai
implikasi pengamatan kesenjangan masyarakat antar daerah. Berbagai cara
pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat
wilayah desa dan masyarakat wilayah kota. Selain itu, saat ini juga berkembang
perhatian terhadap pengukuran kesenjangan berbasis gender. Kondisi kesenjangan
kesejahteraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan.
Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks
kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indikator
kesenjangan antar daerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson.
Penghitungan indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz,
sedangkan indeks Williamson berbasis kepada angka varian dalam distribusi
statistik.
Kesenjangan pembangunan dapat juga terjadi karena adanya kesalahan
dalam orientasi dan pelaksanaan kebijakan. Menurut Ul Haq (1983) perencanaan
pembangunan yang selama ini berjalan di negara berkembang, berjalan dalam
proses yang salah arah. Pembangunan yang sejatinya menghapuskan bentukbentuk terburuk dari kemiskinan, tetapi justru pendapatan per kepala yang dikejar.
Namun, menurut Ul Haq, para perencana pembangunan tidak berusaha memahami
kaitan antara keduanya. Fakta adanya luasnya pengangguran, pembagian tidak
merata pendapatan, kurangnya gizi dan bentuk-bentuk kemiskinan lainnya,
ternyata luput dari penyelidikan sehingga membiaskan dari tujuan utama
menghapuskan kemiskinan.
Menghapuskan kemiskinan dapat juga dilakukan dengan melihat penyebab
terjadinya kemiskinan. Dalam konteks pembangunan Indonesia, pengalaman orde
Baru, kebijakan pemerintah cenderung mengutamakan kota, mengistimewakan
40
komoditi ekspor, kebijakan harga pangan mengistimewakan bahan makan impor.
Contoh policy bias ini dianggap sebagai penyebab kemiskinan di masa lalu
(Mas’oed, 1994). Masa orde baru ini ditandai dengan banyaknya desa miskin di
Indonesia. Hal itu menurut Mas’oed (1994) dapat ditelusuri dari faktor penyebab
kemiskinannya yang dibagi dalam kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan.
Kemiskinan alamiah timbul akibat kelangkaan sumber daya alam. Sedangkan,
kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh munculnya kelembagaan –
seperti modernisasi atau pembangunan ekonomi sendiri- yang membuat
masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya, sarana dan fasilitas ekonomi yang
ada. Walaupun, sumber dayanya tersedia, namun masyarakat tidak mampu
memperolehnya
karena
struktur
yang
mengkungkung
mereka
tidak
memungkinkan untuk itu. Kemiskinan seperti itu, menurut Mas’oed disebut juga
kemiskinan struktural. Sen (1999) mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan
keterbelakangan adalah persoalan aksesbilitas. Akibat ketiadaan dan keterbatasan
akses maka manusia mempunyai keterbatasan pilihan untuk mengembangkan
hidupnya, kecuali menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan
apa yang seharusnya dilakukan).
Keterbatasan akses seperti ini juga pernah
terjadi di dunia perikanan. Kebijakan modernisasi perikanan pernah diterapkan
sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan masyarakat pesisir.
Masalah kemiskinan di sektor perikanan diawali sejak orde baru dengan
adanya kajian pembangunan ekonomi dengan konsep kebijakan repelita I tahun
1969. Kebijakan orde baru dalam bidang perikanan adalah mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan cara modernisasi perikanan,
pemberian fasilitas kredit dan pembangunan fasilitas infrastruktur. Dampak dari
kebijakan tersebut adalah terjadinya peningkatan produksi perikanan laut. Periode
tahun 1966-1990 produksi perikanan meningkat secara fantastis karena adanya
modernisasi perikanan yang didukung oleh unit-unit usaha berskala besar dan
padat modal. Kondisi ini semakin menjustifikasi bahwa modernisasi perikanan
telah menimbulkan penetrasi kapitalisme.
Sedangkan pada sisi lain, fakta di
lapangan menunjukkan bahwa tidak semua nelayan tradisional dapat mengakses
teknologi modern dalam perikanan laut. Akibatnya, nelayan tradisional semakin
terbatas produksinya sebagai akibat rendahnya teknologi penangkapan yang
41
dimiliki. Modernisasi menimbulkan jurang yang bertambah lebar antara mereka
yang mampu dan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi baru itu (Mubyarto,
dkk, 1984).
Keterbatasan akses ini ditimbulkan karena struktur kebijakan
perikanan belum berpihak kepada nelayan dan tidak memungkinkan untuk itu.
Kemiskinan struktural seperti ini banyak mewarnai kehidupan nelayan.
Damanhuri (1997), memberikan dua catatan penting tentang terjadinya
kemiskinan struktural, yakni :
1) Kemiskinan
terjadi
karena
”korban
pembangunan”
contohnya
penggusuran karena kegiatan pembangunan lapangan golf, pembangunan
real estate seperti kawasan pantai indah kapuk.
2) Kemiskinan terjadi karena golongan tertentu tidak memiliki akses terhadap
kegiatan ekonomi produksi akibat pola ”institusional” yang diberlakukan.
Penelitian tentang fakta kemiskinan struktural telah banyak dilakukan oleh
beberapa peneliti, salah satunya seperti yang dilakukan oleh Mubyarto, et. al
(1984). Mubyarto, et.al (1984) yang meneliti nelayan di daerah Jepara, Jawa
Tengah menemukan bahwa modernisasi perikanan dalam hal ini, aplikasi alat
tangkap pukat harimau yang banyak digunakan di daerah Jepara, bukan hanya
menimbulkan konflik sosial tetapi jelas-jelas semakin memiskinkan nelayan
tradisional. Kapal-kapal pukat menurut Mubyarto et.al (1984), mengakibatkan
pengurangan sumber daya perikanan jangka panjang.
Selain itu, keberadaan
kapal-kapal tersebut menyebabkan berkurangnya tangkapan nelayan tradisional
karena terkuras habis oleh kapal-kapal pukat. Akibatnya banyak diantara mereka
yang menjadi buruh kapal-kapal besar atau ke sektor-sektor ekonomi lain.
Penelitian Mubyarto ini semakin memperkuat penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Emerson. Emerson (1979) meneliti di pantai utara Jawa Tengah
yang mencakup daerah Pati, Jepara, Rembang dan Demak mengungkapkan bahwa
tidak ada perubahan nasib nelayan tradisional semenjak berlakunya kebijakan
modernisasi penangkapan ikan. Emerson menemukan bahwa golongan nelayan di
daerah kerja tersebut telah benar-benar ketinggalan dibandingkan dengan
golongan lain di luar usaha perikanan ataupun dengan golongan nelayan di
Propinsi Jawa Tengah pada umumnya. Penelitian lainnya pada tahun 1977 di
daerah Muncar Jawa Timur dinyatakan bahwa program modernisasi perikanan
42
bukan saja tidak menghasilkan perbaikan dalam kehidupan nelayan-nelayan
tradisional, tetapi juga menimbulkan suasana ketegangan di antara nelayan
tradisional dengan nelayan modern.
Kusnadi (2001) yang meneliti kemiskinan nelayan di Kecamatan Besuki,
Kabupaten Situbondo menemukan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan antara
pandhiga (nelayan buruh) atau nelayan kecil dengan pedagang dan pemilik perahu
demikian sangat tampak jelas sejak mulai dioperasikannya peralatan perahu sleret
di Desa pesisir Besuki. Akibatnya nelayan kecil senantiasa terjebak dalam utang
kepada rentenir yang mematok bunga yang sangat besar. Pola patron-klien seperti
ini mewarnai banyak kehidupan nelayan. Nelayan kecil tidak mempunyai banyak
akses untuk merubah pola tangkap dengan mengganti teknologi tangkap yang
lebih baik karena struktur yang mengkungkung mereka tidak memungkinkan
untuk itu. Kusnadi melihat bahwa kebijakan pembangunan perikanan yang efektif
masih tetap diperlukan dengan tidak mengulang model-model program
pembangunan masyarakat nelayan seperti yang selama ini ditempuh oleh
pemerintah.
Melihat besarnya sumber daya laut yang tersedia, sulit dimengerti bahwa
kemiskinan yang menimpa sebagian besar nelayan merupakan kemiskinan
alamiah, sebagaimana dugaan Sinaga dan White (1980) dalam Masyhuri (1999).
Masyhuri (1999) menyimpulkan bahwa kemiskinan nelayan lebih disebabkan oleh
struktur ekonomi nelayan dan bukannya sumber daya yang terbatas. Kemiskinan
struktural dalam hal ini dipahami sebagai suatu kondisi yang dimiliki oleh suatu
golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat, mereka tidak dapat ikut
menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka
(Soemardjan, 1980).
Selanjutnya Soemardjan (1980) menyatakan bahwa
kesalahan-kesalahan kebijakan pembangunan menyebabkan pembangunan yang
timpang dan tidak seimbang dimana satu sektor berkembang jauh lebih pesat
dibanding sektor-sektor lainnya.
ekonomi
dan
mengabaikan
Penekanan berlebihan pada pembangunan
perkembangan-perkembangan
sosial
akan
menciptakan bom waktu psikologis dan politis yang dapat menghancurkan hasilhasil pembangunan.
43
2.3.3
Bagaimana Mengukur Kemiskinan
Arief (1993) mengatakan bahwa pendekatan dalam mengidentifikasi
kemiskinan yakni Pertama, menekankan pada pengertian subsistensi (subsistence
poverty)
yakni
menganggap
bahwa
kemiskinan
merupakan
persoalan
ketidakmampuan memperoleh tingkat penghasilan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pokok pangan, sandang dan beberapa kebutuhan pokok
lainnya.
Kedua, kemiskinan dipahami dalam pengertian relatif (relative
deprivation). Indikator yang dapat ditunjukan dalam perspektif ini adalah :
1) Deprivasi material yang diukur dari kurangnya pemenuhan kebutuhan
akan pangan, sandang, kesehatan, papan, dan kebutuhan konsumsi dasar
lainnya.
2) Isolasi seperti dicerminkan oleh lokasi geografisnya maupun oleh
marjinalisasi rumah tangga miskin secara sosial dan politik. Mereka sering
tinggal di daerah terpencil, hampir tanpa sarana transportasi dan
komunikasi
3) Alienasi, yaitu perasaan tidak punya identitas dan tidak punya kontrol atas
diri sendiri. Ini timbul akibat isolasi dan hubungan sosial yang eksploitatif.
Walaupun proses pembangunan berjalan seru dan menghasilkan teknologi
yang baru, mereka tidak bisa ikut serta memanfaatkannya. Mereka
kekurangan kecakapan yang bisa dijual.
4) Ketergantungan, inilah yang selama ini memerosotkan kemampuan orang
miskin untuk bargaining dalam dunia hubungan sosial yang sudah
timpang antara pemilik dan penggarap, antara majikan dan buruh atau
antara pandega dan ponggawa. Buruh tidak punya kemampuan untuk
menetapkan upah, petani dan nelayan tidak bisa menetapkan harga hasil
produksi yang dihasilkannya.
5) Ketidakmampuan membuat keputusan sendiri dan tiadanya kebebasan
memilih dalam produksi, konsumsi dan kesempatan kerja, serta kurangnya
perwakilan sosial politik mereka, tercermin dari tidak adanya fleksibilitas
dan berkurangnya kesempatan bagi si miskin di desa.
6) Kelangkaan aset membuat penduduk miskin di desa bekerja dengan
tingkat produktivitas yang sangat rendah
44
7) Kerentanan terhadap guncangan eksternal dan terhadap konflik-konflik
sosial internal. Kerentanan itu bisa timbul karena faktor ilmiah, perubahan
pasar, kondisi kesehatan dan lainnya.
8) Tidak adanya jaminan keamanan dari tindak kekerasan akibat status sosial
rendah, karena lemah, faktor-faktor agama, ras, etnik dan sebagainya.
Kemiskinan paling mudah dipahami jika dilihat dari dimensi ekonomi.
Terdapat beberapa pengukuran tingkat kemiskinan yang dikembangkan di
Indonesia, yaitu (Cahyat, 2004):
1) Metode yang dikembangkan Prof. Sayogyo. Sayogyo mengukur tingkat
kemiskinan berdasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang
disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun
dan dibagi pada wilayah pedesaan dan perkotaan. Menurut Metode ini
orang miskin adalah yang tidak mampu memperoleh penghasilan per
kapita setara 320 kg beras untuk penduduk desa dan 480 kg beras, untuk
penghuni kota.
2) Dikembangkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) yaitu menghitung
pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi berdasarkan data survei sosial
ekonomi nasional (SUSENAS). Garis batas kemiskinan menurut BPS
ditetapkan berdasarkan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi 2.100 kalori per orang per hari plus
beberapa kebutuhan non makanan lain seperti sandang, pangan, jasa,
pendidikan dan kesehatan.
3) Bank Dunia : Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada
pendapatan seseorang kurang dari US$1 per hari (setara Rp8.500,00 per
hari)
4) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) : mengukur
kemiskinan dilihat dari tingkat kesejahteraan. Data kemiskinan dilakukan
lewat pendatahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap,
yaitu : Keluarga pra sejahtera (sangat miskin), Keluarga sejahtera I
(miskin), Keluarga sejahtera II, Keluarga sejahtera III dan keluarga
sejahtera III plus.
45
5) Kriteria kesejahteraan yang disebut indeks kebutuhan fisik minimum
(KFM). KFM adalah nilai barang dan jasa minimum yang diperlukan oleh
suatu keluarga per bulan.
Pengukuran kemiskinan secara nasional masih sangat sulit dilakukan
sehingga seringkali menghasilkan data yang berbeda-beda. Masih diperlukan
kajian yang dapat mengakomodasikan permasalahan kemiskinan yang komplek
baik dari segi ekonomi, budaya, sosial dan geografik yang sangat bervariasi di
Indonesia. Pendekatan pengukuran kemiskinan yang ada saat ini diyakini masih
berporos pada paradigma modernisasi (modernisation paradigm) yang dimotori
oleh Bank Dunia. Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi
neo klasik dan model yang berpusat pada produksi.
Sedangkan pengukuran kemiskinan dengan garis kemiskinan yang
didasarkan pada nilai pengeluaran konsumsi per kapita secara ilmiah tidak dapat
diterima sebab angka pengeluaran ini tidak dapat dijadikan sebagai ukuran
kesejahteraan seseorang karena tidak memperhitungkan faktor hutang. Selain itu
ukuran kemiskinan dari pengukuran konsumsi per kapita suatu sampel rumah
tangga tidak dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mengeneralisasi situasi
kemiskinan secara agregat (Cahyat, 2004).
Pengukuran kemiskinan juga dapat didekati melalui pemahaman tentang
proses yang menyebabkan terjadinya kemiskinan.
Proses pemiskinan terjadi
melalui berbagai mekanisme (Mas’oed, 1994; Nasikun, 2001), yaitu:
•
Policy bias. Kebijakan pemerintah yang cenderung mengutamakan kota,
mengistimewakan komoditi ekspor tertentu, kebijakan harga seringkali
merupakan penyebab utama kemiskinan.
•
Proses-proses kelembagaan. Kelangkaan akses ke tanah dan pengairan,
pengaturan bagi hasil dan sewa-menyewa tanah yang timpang, pasar yang
kurang berkembang, kelangkaan kredit, input produksi, kurangnya fasilitas
pelatihan dan sebagainya, juga penyebab penting kemiskinan.
•
Dualisme ekonomi. Dalam proses ini sumberdaya yang paling baik
diambil untuk mengembangkan pertanian komersial besar dan berorientasi
ekspor, sementara petani kecil dan pinggiran tidak punya kesempatan
berkembang.
46
•
Tekanan kependudukan. Masalah ini terkait dengan kelangkaan tanah.
•
Manajemen sumberdaya dan lingkungan. Kemiskinan di pedesaan dan
malnutirisi sangat erat terkait dengan persoalan kelangkaan sumberdaya
alam.
•
Siklus dan proses alamiah. Kelangkaan pangan yang bersifat musiman
seringkali memperburuk kemiskinan karena si miskin di pedesaan terpaksa
segera menjual hasil buminya walaupun dengan harga murah hanya demi
memenuhi kebutuhan jangka pendek.
•
Marjinalisasi wanita. Wanita sering mengalami diskriminasi. Di beberapa
daerah jumlah wanita yang menangggung beban keluarga
banyak.
Mereka
biasanya
tergantung
pada
bidang
semakin
kerja
yang
berpenghasilan rendah. Mereka umumnya juga sulit memperoleh akses ke
input produksi, pelatihan dan kredit.
•
Tengkulak yang eksploitatif. Orang miskin di pedesaan menghadapi
berbagai jenis tengkulak yang eksploitatif. Eksploitatif dari pemilik
terhadap penggarap adan pelepas uang terhadap peminjamannya.
•
Faktor budaya dan etnik.
Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang
memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan
nelayan ketika panen raya serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara
adat atau keagamaan
•
Fragmentasi politik daerah. Suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu
daerah yang fragmentasi politiknya kuat dapat menyebabkan kemiskinan
•
Proses internasional. Bekerjanya sistem-sistem internasional (kolonialisme
dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi makin miskin
2.3.4
Menuju Kesejahteraan
A.
Perspektif Baru Pembangunan
Pola pembangunan yang selama ini berjalan, termasuk di Indonesia
membutuhkan perspektif baru dengan tidak hanya menggantungkan pada
kekuatan pasar tanpa melihat realitas sosial budaya masyarakat Indonesia. Bagi
Damanhuri (1998) paradigma baru pembangunan yang akan datang tidak cukup
hanya dalam kerangka pemikiran paradigma neo-klasik. Damanhuri mengusulkan
47
pendekatan historis-struktural dengan mendorong secara langsung, sistematis dan
simultan pemecahan kesenjangan oleh semua faktor untuk menjadikan tujuan
strategis bersama tanpa terlalu terkunkung oleh signal-signal pasar. Dalam
konteks pembangunan ekonomi Indonesia, Damanhuri (1998) mengusulkan
pentingnya membangun Indonesia incorporated dalam rangka penguasaan pasar
global.
Pembangunan yang sejatinya bertujuan menghapus bentuk-bentuk
kemiskinan yang selama ini dilakukan hanya menekankan pada peningkatan
pendapatan per kapita, tanpa melihat keterkaitan keduanya. Menurut Mahbub Ul
Haq, proses pembangunan dengan pendekatan seperti itu merupakan jurusan yang
salah. Ul Haq (1983) menawarkan perspektif baru mengenai pembangunan
dengan melihat realitas sosial budaya masyarakat negara berkembang.
Pertama, tujuan pembangunan haruslah membasmi bentuk-bentuk
terburuk kemiskinan. Sasaran pembangunan harus ditetapkan atas dasar tujuan
mengurangi dan akhirnya melenyapkan kurang gizi, penyakit, buta huruf, hidup
melarat, pengangguran dan perbedaan.
Bagi Ul Haq, kemiskinan harus
dilenyapkan terlebih dahulu, baru kemudian GNP akan bergerak dengan
sendirinya.
Kedua, negara sedang berkembang harus menentukan ukuran
minimum konsumsi yang hendak dicapainya dalam jangka waktu tertentu.
Karena itu, Ul Haq menganjurkan agar perencanaan konsumsi harus
menggunakan satuan ukuran barang dan layanan yang harus disediakan bagi
rakyat biasa guna menghilangkan bentuk-bentuk kemiskinan. Hal ini ditempuh
dengan alasan : i) melepaskan diri dari cengkeraman konsep permintaan dan
menggantinya dengan konsep kebutuhan pokok minimum; ii) usaha mengejar
tingkat pendapatan per kepala di Barat, harus diganti dengan usaha mencapai
pendapatan minimum yang harus ditentukan sendiri oleh negara sedang
berkembang.
Upaya terus mencari pendekatan baru dalam pembangunan harus
dilakukan secara terus menerus agar masa depan pembangunan lebih baik lagi.
Hettne (2001) membangun dugaan tentang masa depan pembangunan yang
kemudian dijawabnya sendiri.
Masalah pembangunan bagi Hettne (2001)
semakin dekat ketika lingkup dunia dan lingkup nasional saling terkait. Dalam
48
perspektif ini, Hettne membangun pertanyaan tentang masa depan pembangunan.
Pertama, Akankah dunia terus berkembang menuju ketergantungan satu sama
lain, kedua, akankah dunia tercerai-berai ke dalam anarki nasionalisme ekonomi
atau ketiga, akankah dunia berubah menjadi sistem yang teregionalisasi ?.
Bagi Hettne (2001) skenario pertama tampaknya tidak memungkinkan.
Skenario kedua adalah jalan menuju bencana, sedangkan skenario ketiga dapat
menjadi suatu solusi yang tahan lama bagi krisis global –maupun krisis negarabangsa di tiga dunia. Dunia pertama ditujukan kepada negara-negara maju dengan
kapitalisme industrinya. Dunia kedua ditujukan kepada negara-negara sosialis
dengan proyek sosialismenya, sedangkan dunia ketiga, ditujukan kepada negaranegara sedang berkembang seperti negara-negara yang terdapat di Amerika latin,
Afrika dan Asia, dimana, aparat negara ada di tangan para elite yang kebanyakan
berorientasi ke barat.
Mempertimbangkan aspek regional dalam pembangunan seperti ide
Hettne, sebetulnya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soja (1980)
dengan menggunakan pijakan Marxisme dalam analisa ruang.
Menurut Soja
(1980) dalam Forbes (1983) bahwa hubungan-hubungan sosial dan ruang saling
bereaksi, saling bergantung secara dialektis.
Hubungan-hubungan sosial dari
produksi bersifat membentuk ruang dan juga tergantung ruang. Dialektika sosial
ruang adalah konsep yang berusaha menarik perhatian kepada makna fundamental
dari ruang dalam masyarakat manusia. Giddens (1981) dalam Forbes (1980)
berpendapat bahwa bagi teori sosial hubungan waktu-ruang harus dijadikan pusat
karena mereka merupakan aspek pembentuk sistem sosial.
Perspektif baru pembangunan yang diutarakan ini tentunya mengarah
kepada tujuan pembangunan yaitu bagaimana membangun kesejahteraan
masyarakat. Di Indonesia, berbagai cara telah banyak digunakan dalam mengukur
tingkat kesejahteraan dan hasilnya juga masing-masing telah dapat dilihat selama
ini.
Fakta tak terbantahkan, masih banyak terdapat masyarakat miskin di
Indonesia dengan tingkat kesejahteraan yang sangat rendah.
B.
Mengukur Kesejahteraan
49
Berdasarkan hasil pembacaan dari beberapa literatur, bahwa penelitian
awal mengenai kesejahteraan secara sederhana menggunakan indikator output
ekonomi per kapita sebagai proksi tingkat kesejahteraan. Pada perkembangan
selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan dengan pendapatan perkapita.
Namun output ekonomi perkapita dipandang kurang mencerminkan kesejahteraan
masyarakat karena output ekonomi lebih mencerminkan nilai tambah produksi
yang terjadi pada unit observasi, yaitu negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak
dengan sendirinya dinikmati seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan
mungkin sebagian besar ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda
dengan wilayah tempat berlangsungnya proses produksi.
Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita, maka
pendapatan rumah tangga digunakan sebagai proksi kesejahteraan karena
dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah.
Lebih jauh, kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita dan pendapatan
rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan
masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Hal ini mendorong
penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif.
Banyaknya kritik terhadap pengukuran kemiskinan yang cenderung
menekankan
aspek
ekonomi
mendorong
PBB
melalui
UNDP
untuk
memperkenalkan pendekatan baru. Di bawah kepemimpinan Mahbub Ul Haq,
pada tahun 1990-an UNDP memperkenalkan pendekatan Human Development
yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia (Human
Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index).
Dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP
relatif
lebih komprehensif karena bukan hanya mencakup dimensi ekonomi
(pendapatan), melainkan juga pendidikan (angka melek huruf), dan kesehatan
(angka harapan hidup).
Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada
paradigma pembangunan populis atau kerakyatan (popular development
paradigm) yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul
Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan Amartya sen, peraih Nobel
ekonomi 1998 (Suryawati, 2005).
50
C.
Model Kesejahteraan Keluarga BKKBN
Pendekatan lain yang digunakan di Indonesia dalam menyelesaikan
permasalahan kemiskinan diperkenalkan oleh Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN lebih melihat dari sisi kesejahteraan
dibandingkan kemiskinan dengan memperkenalkan model kesejahteraan keluarga.
Unit survey juga berbeda, dimana BPS menggunakan rumah tangga, sedangkan
BKKBN menggunakan keluarga.
Dalam mendata kemiskinan BKKBN
melakukan lewat pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap,
yaitu (Cifor, 2004) : a) Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin); b) Keluarga
Sejahtera I (miskin); c) Keluarga Sejahtera II ; d) Keluarga Sejahtera III dan d)
Keluarga Sejahtera III plus
Dari data tersebut kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai
tingkat RT, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai dengan tingkat
Nasional.
Pra Sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan
pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sejahtera tahap I
(miskin) diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya
tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Maksud dari
kebutuhan sosial psikologis adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga
berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal
dan transportasi.
Berikut adalah indikator yang digunakan BKKBN dalam pentahapan
keluarga sejahtera :
(1) Keluarga Pra Sejahtera (Sangat Miskin)
Belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
a. Indikator Ekonomi ; Makan dua kali atau lebih sehari, memiliki pakaian
yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/ sekolah dan
bepergian), bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah.
b. Indikator Non-Ekonomi ; Melaksanakan ibadah, bila anak sakit dibawa ke
sarana kesehatan.
51
(2) Keluarga Sejahtera I (Miskin)
Adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu
atau lebih indikator meliputi:
a. Indikator Ekonomi ; Paling kurang sekali seminggu keluarga makan
daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh anggota keluarga
memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, luas lantai rumah paling
kurang 8 m2 untuk tiap penghuni.
b. Indikator Non-Ekonomi ; Ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya
penghasilan tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15
tahun bersekolah, anak lebih dari 2 orang, ber-KB.
(3) Keluarga Sejahtera II
Adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu
atau lebih indikator meliputi : Memiliki tabungan keluarga, makan bersama
sambil berkomunikasi, mengikuti kegiatan masyarakat, rekreasi bersama (6
bulan sekali), meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat
kabar, radio, TV, dan majalah, menggunakan sarana transportasi.
(4) Keluarga Sejahtera III
Sudah dapat memenuhi beberapa indikator, meliputi : memiliki tabungan
keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti kegiatan
masyarakat, rekreasi bersama (6 bulan sekali), meningkatkan pengetahuan
agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, majalah, menggunakan
sarana transportasi.
(5) Keluarga Sejahtera III Plus
Sudah dapat memenuhi beberapa indikator meliputi : Aktif memberikan
sumbangan material secara teratur, aktif sebagai pengurus organisasi
kemasyarakatan.
2.4
Kesejahteraan dan Daya Dukung Lingkungan
52
Fenomena kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah dua hal yang
saling terkait. Kebutuhan dan jumlah manusia yang terus meningkat,
mengakibatkan sumber daya alam maupun fisik harus dimodifikasi sedemikian
rupa untuk mengejar tujuan pembangunan. Pembangunan yang sejatinya bertujuan
menghapuskan kemiskinan, justru mengakibatkan kemiskinan sebagai akibat
rusaknya sumber daya alam akibat proses ekonomi yang tidak mengindahkan
lingkungan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kemiskinan terjadi karena
kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan.
Hubungan keduanya seperti membentuk derajat polinomial. Kemiskinan terjadi
akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan periode
sebelumnya. Begitupula sebaliknya, lingkungan rusak karena kemiskinan yang
dipicu oleh kerusakan lingkungan pada periode sebelumnya. Hubungan sebab
akibat ini dapat terus berlanjut pada derajat polinomial yang lebih tinggi,
membentuk lingkaran setan atau siklus yang tidak berujung.
Sachs (2006) dalam bukunya The End of Poverty menekankan pentingnya
hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan sebagai peubah penentu
kesejahteraan dan kemakmuran. Menurutnya, sementara investasi pada kesehatan,
pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan
yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada skala lokal, regional,
dan global dapat meniadakan manfaat investasi tersebut.
Karena pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan,
dalam Millenium Development Goals (MDGs) kedua variabel tersebut dijadikan
target bersama negara-negara dunia untuk menyelesaikannya hingga periode
2015. Sementara di Indonesia, makin hari makin terasa pentingnya kedua variabel
itu. Respon terhadap permasalahan kemiskinan dan degradasi ekosistem juga
dilakukan oleh perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Millenium
Ecosystem Assesment (MA). Dalam Millenium Report kepada Sidang Umum
PBB bulan April 2000, Sekretaris Jenderal Koffi Annan menyatakan bahwa :
Kita tidak mungkin merumuskan kebijakan lingkungan yang efektif bila
tidak didasarkan pada informasi ilmiah. Walaupun telah banyak diperoleh
kemajuan dalam pengumpulan data di berbagai lokasi, masih saja
terdapat berbagai kesenjangan. Selama ini belum pernah dilakukan
53
penilaian secara lengkap pada skala global terhadap ekosistem penting di
dunia. Dengan demikian, maka Millenium Ecosystem Assessment
merupakan suatu tindakan nyata untuk menutupi kesenjangan ini,
sekaligus merupakan suatu upaya kerjasama internasional untuk
memetakan kesehatan planet kita.
Millenium Ecosystem Assessment (MA) dibentuk dengan melibatkan pihak
pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat dan ilmuwan untuk
mendapatkan penilaian yang terintegrasi terhadap perubahan ekosistem yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia, serta untuk menganalisa pilihan-pilihan yang
tersedia guna meningkatkan fungsi ekosistem agar dapat memenuhi kebutuhan
hidup manusia (Kehati, 2001).
2.4.1
Kerangka Konseptual Keterkaitan Kemiskinan dan Lingkungan
Sejak tahuan 1970-an, telah banyak pihak yang menyepakati bahwa
kemiskinan dan penurunan kualitas lingkungan memiliki hubungan yang sangat
kuat. Komisi Dunia untuk lingkungan dan pembangunan (Komisi Bruntland)
menulis (1987) :
Banyak pihak di dunia yang terjebak dalam penurunan sirkular
berkepanjangan. Orang miskin terpaksa mengambil manfaat dari sumber
daya alam secara berlebihan agar bisa bertahan hidup, dan pengabaian
mereka terhadap lingkungan pada akhirnya mengabaikan mereka, hingga
pada akhirnya kemampuan mereka untuk bertahan hidup menjadi semakin
sulit dan tidak pasti.
Dampak dari adanya tumpang tindih antara pertumbuhan populasi dan
marginalisasi ekonomi bagi kelompok miskin serta menurunnya kualitas
lingkungan telah mendorong keyakinan bahwa komunitas miskin akan merasakan
penurunan jangka panjang dalam menghadapi perubahan ekonomi dan demografi
(Durning, 1989 ; Grepperud, 1997) dalam Lubis (2005).
Keterkaitan antara kemiskinan dan lingkungan bukan hanya terkait
masalah populasi penduduk dan ekonomi, namun lebih komplek dari itu. Forsyth,
et.al. (1998) melihat terdapat interaksi dari perubahan biofisika lingkungan,
54
keberagaman persepsi lokal dalam menilai lingkungan dan tanggapan lembaga
lokal atas perubahan sumber daya alam yang ada.
Jewson dan MacGregor (1997) memahami dimensi lingkungan dalam dua
konteks yang berbeda. Pertama, konteks lingkungan sebagai ruang fisik tempat
interaksi berbagai mahluk di muka bumi ini (Physical spatial context) dan konteks
lingkungan
sebagai
wujud
interaksi
antar
manusia
(social
context).
Kenyataannya, kegiatan manusia secara umum telah banyak mengakibatkan
kerusakan lingkungan yang cukup serius (Mascarenhas, 1994).
Dalam banyak kasus, degradasi lingkungan mengakibatkan dampak yang
kronis bagi masyarakat miskin. Komunitas miskin umumnya hidup dalam kondisi
lingkungan yang sangat buruk : tidak ada air bersih untuk dikonsumsi, tidak
tersedia infrastruktur pembuangan sampah dan limbah cair, tidak tersedianya
akses jalan yang memadai, terbatasnya fasilitas pendidikan dan kesehatan (Hukka,
et.al, 1991). Pemandangan seperti itu terjadi juga di berbagai tempat di negara
sedang berkembang, termasuk di Indonesia.
Di berbagai tempat di negara berkembang, kehidupan masyarakatnya
sendiri terancam karena air bersih kurang, kesehatan lingkungan tidak memadai,
rumah penuh sesak, penyakit, wabah dan bencana alam (Ul Haq, 1983). Kondisi
kerusakan lingkungan dan kemiskinan seperti ini, menghadapkan negara sedang
berkembang pada pilihan antara pembangunan dan melindungi lingkungan. Ada
dua jensi pilihan yang dihadapi negara sedang berkembang : Pertama, masyarakat
dihadapkan pada pilihan bila sumber daya alam tertentu atau lingkungan terancam
rusak akibat kebijaksanaan mengejar pertumbuhan ekonomi.
Pilihan kedua,
menyangkut pilihan antara memenuhi kebutuhan pokok rakyat banyak dan
menghemat sumber daya alam tertentu yang dibutuhkan untuk mutu kehidupan.
Keterkaitan antara kemiskinan dan isu lingkungan pada hakekatnya
merupakan
sebuah
siklus
yang
sangat
komplek.
Bank
Dunia
(1994)
mengidentifikasi tiga keterkaitan utama antara degradasi lingkungan dan
dampaknya bagi masyarakat miskin, yaitu :
1) Kesehatan lingkungan (Environmental health) : masyarakat miskin sangat
menderita jika air, udara dan tanah, dimana mereka hidup mengalami
polusi
55
2) Sumber penghidupan (Livelihoods) : masyarakat miskin cenderung untuk
tergantung secara langsung pada sumber daya alam, sehingga jika tanah,
vegatasi dan sumber air terdegradasi maka masyarakat miskin akan
merasakan dampak yang signifikan
3) Kerentanan (Vulnerability) : masyarakat miskin seringkali bersinggungan
dengan bahaya lingkungan dan tidak mampu mengatasi kejadian tersebut.
Pengukuran kesejahteraan terkait dengan penggunaan tanah/lahan dalam
suatu populasi masyarakat. Selain itu, ketergantungan masyarakat terhadap suatu
sumberdaya sangat menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Menipisnya
sumberdaya dalam suatu ekosistem seperti ekosistem pesisir, berakibat pada
menurunnya produksi masyarakat, menurunnya pendapatan masyarakat dan
tentunya pola konsumsi masyarakat juga akan berkurang.
Pada gilirannya
kesejahteraan masyarakat akan semakin menurun. Menipisnya sumberdaya dapat
disebabkan adanya ekploitasi berlebih tanpa melihat kapasitas ekosistem untuk
pulih kembali dan terus memproduksi. Kemampuan ekosistem untuk menampung
pemanfaatan tanpa mengurangi produktifitasnya disebut sebagai daya dukung.
Manik (2003) melihat bahwa daya dukung sangat erat kaitannya dengan
kesejahteraan masyarakat dimana terdapat ketergantungan tinggi masyarakat
tersebut terhadap sumberdaya ekosistem yang berada di lingkungannya. Seperti
contoh daya dukung untuk populasi manusia pada hakekatnya adalah jumlah
individu dalam keadaan sejahtera yang dapat didukung oleh suatu satuan
sumberdaya dan lingkungan, tanpa terjadi pencemaran dan kerusakan pada
sumberdaya dan lingkungan itu.
McCall (1995) mengemukakan bahwa daya
dukung merupakan alat untuk analisis penggunaan tanah dan data populasi yang
sistematis.
Dalam penelitian daya dukung lingkungan, paling tidak terdapat dua
variabel pokok yang perlu diketahui untuk melakukan analisis (Riyadi et.al.,
2005) yaitu : (1) potensi lahan yang tersedia termasuk luas lahan, dan (2) jumlah
penduduk. Seluruh aktivitas manusia dalam mencukupi kebutuhan hidup selalu
membutuhkan ruang, sehingga ketersediaan lahan sangat besar pengaruhnya
terhadap aktivitas manusia. Demikian juga, besarnya jumlah penduduk dalam
suatau wilayah (ruang) akan sangat menentukan kemampuan wilayah tersebut
56
untuk mendukung penduduknya, sehingga memperoleh suatu standar hidup yang
layak.
2.5
Pendekatan Ekonomi Politik dan Kelembagaan
2.5.1
Ekonomi Politik
A.
Definisi dan Perkembangan Ekonomi Politik
Pembangunan ekonomi pada hakekatnya tidak bisa terlepas dari aspek
politik. Kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi dikeluarkan oleh kekuasaan
dan birokrasi yang kental dengan prilaku politik. Kedua terma ini tidak bisa
dipisahkan meskipun pada mulanya diarahkan pada pembagian fungsional bahwa
keduanya merujuk pada arena-arena kegiatan yang berbeda.
Dalam kamus induk ilmu ekonomi, yakni A new Dictionary of Economics
(1966) dalam Ersson dan Lane (1990) istilah ini diambil dari bahasa Yunani,
dimana polis berarti unit politik dan oikonomike mengacu pada manajemen suatu
rumah tangga. Kombinasi kedua kata ini menunjukkan eratnya keterkaitan antara
fakta-fakta produksi, keuangan dan perdagangan dengan kebijakan pemerintah di
bidang moneter, fiskal dan komersial. Sejak abad 19 aspek politik murni makin
surut dalam studi fenomena ekonomi sampai akhirnya menjadi ilmu ekonomi
seperti yang dikenal sekarang ini. Keterkaitan antara ekonomi dan politik dalam
ekonomi-politik setidaknya dapat dilihat dari berbagai tulisan para ahli ekonomi
politik seperti Ricardo, Smith, Marx dan Stuart Mill, mereka berusaha keras
mengemukakan tinjauan-tinjauan dan konsekuensi-konsekuensi politik dari suatu
perekonomian guna meyakinkan semua pihak akan eratnya keterkaitan antara
ekonomi dan politik. Ilmu ekonomi politik secara konvensional pada umumnya
berbicara tentang anatomi sistem yang diterapkan oleh negara atau pemerintah.
Hasil pembahasan anatomi tersebut umumnya bermuara hanya pada dua kategori
utama yaitu sistem ekonomi politik kapitalisme dan sistem sosialisme (Rachbini,
2002).
Fokus ekonomi politik tidak lagi pada fenomena-fenomena ekonomi
secara umum, melainkan secara lebih spesifik ia menyoroti interaksi antara
(faktor-faktor) ekonomi dan (faktor-faktor) politik (Alt dan Chrystal, 1983). Di
57
zaman Yunani kuno, ekonomi merupakan bagian dari studi politik, yang pada
gilirannya menjadi bagian dari penelaahan etika dan filosofi (Myrdal, 1954). Pada
awalnya ekonomi politik dianggap sebagai seni manajemen domestik, di mana
lewat perluasannya berkembanglah makna paling awal ekonomi politik, merujuk
pada seni mengelola ekonomi sebuah negara (Staniland, 1985). Sebagaimana
merkantilis James Steuart (1767) dalam bukunya yang terkenal An inquiry into the
principle of political economy menyebut ekonomi adalah ”seni menyediakan
seluruh keinginan keluarga, secara bijaksana dan cermat, sementara ekonomi ada
di dalam keluarga, ekonomi politik ada dalam negara”.
Adam Smith dan para penerusnya menentang doktrin ini sebagai
paternalistik karena mengandaikan seorang kepala negara seperti seorang ayah
yang baik dalam sebuah keluarga. Menurut Smith (1776) ekonomi politik sebagai
sebuah cabang ilmu tentang negarawan atau pembuat perundangan. Tujuan-tujuan
ekonomi politik menurut Smith seperti tertuang dalam ”of system of political
oeconomy”, The wealth of nations, buku IV, menyebutkan pertama, menyediakan
pendapatan yang cukup banyak atau kebutuhan minimum diri mereka sendiri. Dan
kedua, mensuplai negara atau persemakmuran dengan pendapatan yang memadai
bagi pelayanan publik. Penekanan Smith pada ”masyarakat” dan pada kegiatan
ekonomi mereka sebagai sumber kesejahteraan sangat berlawanan dengan
penekanan merkantilis pada negara sebagai sumber sekaligus penerima manfaat
pertumbuhan ekonomi.
Pandangan Smith tersebut merupakan arus utama pemikiran ekonomi yang
berkembang saat itu. Ekonomi telah berkonsentrasi pada konsep-konsep manusia
dengan alam dan manusia dengan dirinya secara dingin, berasumsi bahwa suatu
kesetimbangan penuh harmoni akan tercapai melalui pengejaran kepentingan diri
individu (Elliot dalam Staniland, 1985).
Daya tarik intelektual dan estetika
pengembangan kerangka kerja yang dibangun Smith dan Ricardo dan rekan-rekan
mereka sedemikian besarnya sehingga mendesakkan munculnya faktor-faktor
kekuasaan, motif-motif non keuangan, prilaku kelompok, dan sebagainya
(Rothchild dalam Staniland, 1985). Kebangkitan monopoli-monopoli menganggu
asumsi neoklasik dan mengangkat ekonomi institusional yang memahami
keberadaan organisasi-organisasi dan kepentingan-kepentingan kolektif serta
58
kekuasaan dan konflik di antara mereka. Monopoli dalam arus utama ekonomi
klasik, diinterpretasikan sebagai tiadanya persaingan ketimbang sebagai peristiwa
akibat dominansi kekuasaan. Pertanyaan tentang kekuasaan dengan demikian
dapat diabaikan.
Kritik ini telah mengangkat tuntutan adanya analisis yang mengakui
keberadaan kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi serta mencakup
pelaksanaan kekuasaan.
Kelompok radikal dari tahun 1960-an meletakkan
tuntutan ini ke bentuk yang lebih spesifik, menyerukan bagi adanya analisis yang
menggunakan bahasa konflik kelas dan mendesak para ekonom agar komitmen
membantu mereka yang menjadi subyek kekuasaan.
John Gurley, seorang
ekonom politik radikal membandingkan pendekatan-pendekatan radikal dan
konvensional sebagai berikut (Staniland, 1985) :
Seorang ekonom politik melihat struktur-struktur kekuasaan dan
meletakkan mereka pada sisi depan analisisnya, seorang ekonom
konvensional – yang hanya melihat masyarakat terdiri dari manusiamanusia ekonomi bebas dengan kepentingan diri sendiri dan berinteraksi
sebagaimana pasar – tidak melakukannya. Ekonom konvensional tidak
hanya gagal untuk memperhitungkan hubungan-hubungan kekuasaan dan
kewenangan, namun juga gagal menangkap aspek-aspek sosial yang
paling relevan dari masalahnya, namun dengan membuatkan diri atas
kepentingan-kepentingan kelas serta terikat dengan data dan teknik-teknik
yang dimilikinya, ia sebagai akibatnya mendukung sistem yang
memperlakukan sejumlah besar orang demikian buruknya .... Ekonom
politik bersikap radikal, di satu sisi, dengan tidak hanya mempelajari
masalah-masalah ekonomi dalam konteks sejarah hubungan penguasasubyek, namun secara aktif juga bersisian dengan kalangan miskin dan
tanpa daya, serta umumnya memandang sistem kapitalisme sebagai
penindas” (Gurley, 1971).
Kritik terhadap pandangan Smith ini dengan buku Wealth of nation yang
dianggap sebagai tonggak sejarah dari lahirnya ilmu ekonomi terus mengalir.
Dalam Wealth of nation, Smith membahas berbagai segi persoalan, kalau dilihat
dengan kerangka ilmu-ilmu sosial sekarang, tidak semuanya dikategorikan
59
sebagai aspek dari atau termasuk dalam bidang ekonomi. Menurut Rahardjo
(1988) buku Adam Smith ini kalau digolong-golongkan, akan lebih tepat kalau
dimasukkan dalam ilmu-ilmu pendidikan, sosiologi, politik, dan ilmu-ilmu sosial
non ekonomi bahkan juga pembahasan yang bersifat filsafati. Dawam Rahardjo
menyebut buku Adam Smith ini sebagai ilmu ekonomi politik. Menurut Rahardjo
(1988) ekonomi politik adalah suatu cabang ilmu tentang teori evolusi
kemasyarakatan di mana inti dari dinamika perkembangan ekonomi secara
sistematis dikaitkan dengan perubahan sosial dan politik, dan selanjutnya itu
semua mengembalikan pengaruhnya kepada proses ekonomi.
Smith menurut
Dawam rahardjo melihat perkembangan ekonomi secara optimis dan masa depan
yang cerah. Tidak demikian dengan Thomas Maltus dan David Ricardo.
Keduanya melihat gambaran kemacetan perkembangan ekonomi di masa depan.
Malthus (1798) dalam An Essay on the Principle of Population banyak berbicara
tentang pertumbuhan penduduk yang menghantui cita-cita mencapai kemakmuran
dan Ricardo (1817) dengan On the Principle of Political Economy Taxation
berbicara menengok pada perkembangan pertanian yang bertendensi menurun
produktivitasnya. Ketiga ekonom di atas merupakan peletak dasar perkembangan
ilmu ekonomi politik klasik dan peletak dasar sistem ekonomi kapitalis.
Smith dan Ricardo telah mengembangkan analisa sistem kapitalis yang
sedang berkembang ketika itu. Ciri utama sistem ekonomi kapitalis ketika itu
ialah pengeluaran barang secara umum. Untuk memahami hubungan sosial
ekonomi masyarakat waktu itu, Smith dan Ricardo telah mengembangkan teori
nilai kerja.
Teori ini menghubungkan nilai semua barang yang dikeluarkan
dengan biaya tenaga kerja manusia yang terlibat. Teori ini dikembangkan lebih
lanjut oleh Marx dengan kritikan bahwa kemiskinan bersumber pada sistem
hubungan produksi yang ekploitatif. Marx mengajukan kritik frontal dan radikal
terhadap pandangan ekonomi-politik para ekonom klasik yang optimis. Teori
akumulasi kapital yang tadinya disarankan sebagai cara untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, oleh Marx dibalik untuk menjelaskan mekanisme
ekploitasi yang akan membawa sistem kapitalisme yang berlaku dan berkembang
ketika itu kepada proses keruntuhan (Rahardjo, 1988). Teori ekonomi politik
klasik yang dibangun oleh Smith dan Ricardo ini kemudian digunakan oleh marx,
60
Sweezy, Bukharin, Fine dan Horrison yang kemudian melahirkan teori ekonomi
politik baru. Teori ekonomi politik baru lebih dikenal menggunakan pendekatan
materialisme sejarah.
Pendekatan atas studi interaksi antara ekonomi dan politik seperti yang
dikembangkan oleh Marx dapat disebut juga sebagai ekonomi politik modern
(Frey, 1978) dalam Deliarnov (2006). Pendekatan-pendekatan yang berkembang
selain Marxis terdapat juga Neo-Marxis, pendekatan teori sistem, pendekatan
institusional atau tradisional, hingga pendekatan pilihan publik (public choice
approach).
Ada yang berpendapat bahwa ekonomi politik modern itu pada
dasarnya adalah penerapan satu metode pokok – yakni model ekonomi mengenai
preferensi, pilihan dan kendala- terhadap prilaku-prilaku non-pasar (Schneider,
1989) dalam Ersson dan Lane (1990). Pendekatan-pendekatan ekonomi politik
modern ini mempunyai banyak kesamaan pada fokusnya yang diletakkan pada
hubungan timbal balik atau resiprositas antara politik dan ekonomi dalam
pengertian yang seluas-luasnya.
B.
Faktor-Faktor Ekonomi dan Politik
Dalam melihat interaksi ekonomi dan politik, seringkali ditemui berbagai
masalah atau pertanyaan mengenai pengaruh faktor-faktor politik terhadap kondisi
sosial ekonomi suatu negara.
Secara umum diyakini bahwa pertumbuhan
ekonomi lebih mudah dipahami melalui kajian atas variabel-variabel seperti
tingkat pertumbuhan investasi seperti ditegaskan oleh teori Harrod-Domar atau
pendekatan fungsi produksi neo klasik (Solow, 1988; Chauduri, 1989) dalam
Lane
dan
Ersson
(1990).
Mempelajari
pembangunan
ekonomi
harus
memperhitungkan kekuatan sosial dalam konteks yang lebih luas, seperti Lewis
menyarankan diperhatikannya sektor pertanian, dan Myrdal menganjurkan untuk
memperhatikan agama (Thrilwall, 1986; Chenery dan Srinivasan, 1988) dalam
Lane dan Ersson (1990).
Pengaruh politik dalam pertumbuhan ekonomi sering dijumpai dalam
berbagai bentuk seperti dalam bentuk institusi-institusi politik maupun kebijakan
pemerintah. John Zysman (1983) mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan publik
(pemerintah) di bidang industri sangat besar pengaruhnya terhadap perintisan dan
61
pengembangan apa yang oleh Rostow disebut sebagai tahapan tinggal landas
(take-off).
Hipotesis Olson mengatakan apa yang disebut sebagai sklerosa
institusional (institutional sclerosis) dalam kepolitikan di suatu negara
mengakibatkan merosotnya tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara itu
(Olson, 1982).
Sedangkan hipotesis Weede menyatakan bahwa demokrasi
sebagai sebuah jenis rezim memberi pengaruh negatif terhadap (menurunkan)
tingkat pertumbuhan ekonomi (Weede, 1984b) dalam Lane dan Ersson (1990).
C.
Model-Model Ekonomi Politik
Bidang studi ekonomi politik yang tengah berkembang saat ini, tidak
hanya menyoroti interaksi antara fenomena ekonomi dan politik, tapi juga
mengaitkan kajian dari berbagai macam model ekonomi politik berjangka pendek
dan panjang. Model ekonomi politik berjangka pendek yakni yang berfokus
kepada fungsi popularitas politik dan siklus bisnis. Sedangkan jangka panjang
yakni yang memusatkan perhatiannya kepada kinerja-kinerja berbagai rezim, serta
pola-pola kebijakan publik dan tingkat perumbuhan ekonomi di berbagai negara.
Tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap berbeda sangat beragam dan
menjadi fokus perhatian dalam bidang studi ekonomi politik. Teori ekonomi
politik yang paling populer dalam memotret hal ini adalah teori kesenjangan (gap
theory). Teori kesenjanganpun mendapatkan kritik sejalan dengan kemunculan
negara-negara industri baru menjawab argumen bahwa negara dunia ketiga
senantiasa ditakdirkan tetap terbelakang (Lane dan Ersson, 1990).
Model
ekonomi-politik lain yang banyak terinspirasi dari pemikiran Marx adalah model
sistem dunia (world system model) dan berbagai model negara (state model)
(Frank, 1967; Wallerstein, 1979; Szentes, 1983) dalam Lane dan Ersson (1990).
Pendekatan
ekonomi-politik
terus
berkembang
sejalan
dengan
perkembangan pembangunan politik dewasa ini. Politik merupakan bidang yang
sangat komplek dan multidimensional, didalamnya mencakup aspek dan
fenomena politik yang sangat beragam. Dibutuhkan modifikasi teori-teori sistem
politik agar dapat menjelaskan berbagai perubahan politik. Untuk memperbaiki
model ekonomi politik, berbagai aspek politik tersebut perlu diperinci secara lebih
tajam dan mengidentifikasi bagaimana interaksinya dengan faktor-faktor
62
ekonomi.
Menurut Lane dan Ersson (1990) salah satu model yang banyak
dikembangkan adalah model institusionalisasi. Model ini mencoba menguraikan
sebab-sebab bervariasinya tingkat pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara
OECD.
Konsep ini diduga menyajikan uraian yang lebih tajam dan jernih
sehingga dianggap sebagai kemajuan dari rangkaian analisis terhadap konsep
pembangunan politik.
2.5.2
Kelembagaan
A.
Definisi dan Batasan Kelembagaan
Salah satu faktor penting dalam aspek pengelolaan ekosistem pesisir
adalah perhatian terhadap kelembagaan yang terjadi di lingkungan masyarakat
pesisir.
Pada prinsipnya, terdapat dua jenis pengertian kelembagaan, yaitu
kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) dan kelembagaan sebagai
organisasi (Pakpahan, 1989). Menurut Brinkerkoff dan Goldsmitth (1990)
kelembagaan atau institusi merupakan aturan atau prosedur yang mengarah pada
bagaimana masyarakat bertindak dan peranan organisasi yang telah mendapatkan
status tertentu atau legitimasi.
Kelembagaan sebagai aturan main menurut
Schmid (1972) dalam Pakpahan (1990) adalah suatu himpunan hubungan yang
tertata di antara orang-orang dengan mendefinisikan hak-haknya, pengaruhnya
terhadap hak orang lain, privilage, dan tanggung jawab.
Kelembagaan senantiasa berbarengan dengan kebijakan. Kebijakan yang
bagus tanpa didukung kelembagaan yang baik akan membawa proses
pembangunan ke arah yang baik. Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan
pembangunan bersumber dari kegagalan pemerintah dalam menerapkan kebijakan
serta mengabaikan pembangunan kelembagaan yang harusnya menjadi dasar dari
seluruh proses pembangunan baik ekonomi, sosial, politik maupun pengelolaan
sumber daya alam. Kelembagaan dengan demikian sangat erat kaitannya dengan
kebijakan. Sebagian pakar spesialis kelembagaan hanya memusatkan perhatian
pada kode etik, aturan main, sedangkan sebagian hanya melihat pada organisasi
dengan struktur, fungsi dan manajemennya. Kebanyakan analisis kelembagaan
saat ini memadukan organisasi dan aturan main.
63
Ostrom (1985;1986) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan aturan
dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu
kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling
tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat
ditentukan oleh beberapa unsur seperti
aturan operasional untuk pengaturan
pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum
atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur
hubungan kewenangan organisasi.
Senada dengan Ostrom,
Uphof (1986)
melihat kelembagaan sebagai suatu himpunan atau tatanan norma–norma dan
tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan
kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma
prilaku, nilaibudaya dan adat istiadat.
Kelembagaan bukan hanya terkait dengan institusi tetapi adalah perpaduan
dengan organisasi.
Kelembagaan mencakup penataan institusi (institutional
arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah
suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit
ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini
organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi di mana
ada kontrak atau transaksi yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah
mengurangi biaya transaksi (Williamson, 1985).
Kelembagaan dengan demikian merupakan suatu tatanan dan pola
hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang
dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang
diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor
pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal
untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai
tujuan bersama (ICRAF, 2003).
Untuk mempermudah dalam penentuan kelembagaan dan upaya
membangunnya, maka dibuat batasan-batasan tertentu yang dapat melingkupi
definisi kelembagaan. Ruang lingkup kelembagaan dapat dibatasi pada hal-hal
berikut (Arifin dan Rachbini, 2001) :
64
(1) Kelembagaan adalah kreasi manusia (human creation). Beberapa bagian
penting dari kelembagaan adalah hasil akhir dari upaya dari manusia yang
dilakukan secara sadar. Apabila manusia itu hanya pasif saja dalam suatu
sistem, maka sistem itu tak ubahnya seperti kondisi alami yang kemungkinan
lebih menguasai kelangsungan kepentingan manusia.
(2) Kumpulan individu (group of individuals). Kelembagaan hanya berlaku pada
sekelompok individu, setidaknya dua orang atau bagi seluruh anggota
masyarakat. Oleh karena itu, kelembagaan dirumuskan dan diputuskan
bersama-sama oleh kelompok individu, bukan secara perorangan.
(3) Dimensi waktu (place dimentions). Suatu lingkungan fisik adalah salah satu
determinan penting dalam penyusunan kelembagaan, yang juga berperan
dalam pembentukan struktur kelembagaan. Namun demikian, penyusunan
kelembagaan juga dapat berperan sangat penting bagi perubahan kondisi
lingkungan fisik. Hal inilah yang dikenal sebagai hukum timbal-balik (feedback relationship).
(4) Aturan main dan norma (rules and norms). Kelembagaan itu ditentukan oleh
konfigurasi aturan main dan norma yang telah dirumuskan oleh suatu
kelompok masyarakat. Anggota masyarakat harus mengerti rumusan-rumusan
yang mewarnai semua tingkah laku dan norma yang dianut dalam
kelembagaan tersebut.
(5) Sistem pemantauan dan penegakan aturan (monitoring and enforcement).
Aturan main dan norma harus dipantau dan ditegakan oleh suatu badan yang
kompeten atau oleh masyarakat secara internal pada tingkat individu.
Maknanya adalah sistem pemantauan dan penegakan aturan tidak sekedar
aturan di atas aturan, tetapi lebih lengkap dari itu.
(6) Hierarki dan jaringan (nested levels and institution). Suatu kelembagaan
bukanlah struktur yang terisolasi, melainkan merupakan bagian dari hierarki
dan jaringan atau sistem kelembagaan yang lebih kompleks. Pola hubungan
ini sering menimbulkan keteraturan yang berjenjang
dalam masyarakat
sehingga setiap kelembagaan pada masing-masing tingkatan dapat mewarnai
proses evolusi dari setiap kelembagaan yang ada.
65
(7) Konsekuensi kelembagaan (consequences of institutions). Dalam konsekuensi
kelembagaan ini umumnya dikenal dua macam tingkatan yaitu:
(a) Kelembagaan meningkatkan rutinitas atau keteraturan atau tindakan
manusia yang tidak memerlukan pilihan yang lengkap dan sempurna.
Namun demikian kelembagaan juga mempengaruhi tingkah laku individu
melalui sistem insentif dan disinsentif.
(b) Kelembagaan memiliki pengaruh bagi terciptanya pola interaksi yang
stabil dan diinternalisasikan oleh setiap individu. Hal inilah yang
menghasilkan suatu harapan keteraturan di masa mendatang dengan
ketentuan telah dibatasi oleh penataan dan pengaturan kelembagaan yang
ada. Oleh karena itu, kelembagaan dapat menimbulkan ketidakpastian.
Dari berbagai definisi dan batasan di atas dapat dirangkum beberapa unsur
penting dari kelembagaan. Unsur-unsur penting tersebut antara lain institusi yang
merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat, norma
tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat, peraturan dan penegakan aturan,
aturan yang terdapat dalam masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik,
organisasi, dan insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan.
Perpaduan antara berbagai pendekatan di atas akan menghasilkan analisis
kelembagaan yang memadai. Kelembagaan dapat berkembang baik jika didukung
oleh infrastruktur kelembagaan (institutional infrastructure), ada penataan
kelembagaan
(institutional
arrangements)
dan
mekanisme
kelembagaan
(institutional mechanism) (ICRAF, 2003).
B.
Analisis Kelembagaan
Dalam menganalisis aspek kelembagaan yang terbentuk, dibutuhkan
kerangka analisis (framework) yang tepat sehingga bermanfaat bagi keberlanjutan
sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil.
Ostrom (1986, 1990) dan Blamquist,
(1992), Kiser dan Ostrom, (1982) dalam Imperial (1999) telah mengembangkan
suatu “framework” yang membantu untuk menganalisis kelembagaan. Framework
tersebut dinamakan Institutional Analysis and Development (IAD). Kerangka
analisis ini telah digunakan dalam menganalisis penataan dan pengaturan
kelembagaan dalam pengelolaan air tanah, common pool resources, (misalnya,
sistem irigasi, kehutanan, dan perikanan), organisasi metropolitan dan
66
pengembangan insfrastruktur pedesaan. IAD dapat digunakan juga untuk menguji
penataan dan pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
(Sprole-Jones, 1993) dalam imperial (1999). Secara skematik IAD dijelaskan
dalam Gambar 4.
Imperial (1999) menyatakan bahwa IAD secara teoritik adalah suatu
kerangka kerja yang membantu menganalisis performa dan struktur penataan dan
pengaturan kelembagaan. Ostrom (1986) dalam Imprerial (1999) menyatakan
bahwa diferensiasi dalam analisis kelembagaan berasal dari bentuk analisis
organisasi yang difokuskan pada aturan baik yang bersifat formal (hukum,
kebijakan, peraturan) maupun informal (norma sosial).
°
°
°
Atribut fisik dari sistem
Aturan/kelembagaan
Atribut
masyarakat/budaya
Pola interaksi
(Antar jaringan kerja
pemerintah)
Arena Aksi
°
°
Pelaku (actor)
Situasi yang diputuskan
(decision situation)
°
°
Performa kelembagaan
Hasil kebijakan
Evaluasi
°
Biaya informasi
°
Biaya koordinasi
°
Biaya strategis
Performa kelembagaan secara
keseluruhan
°
Efisiensi
°
Keseimbangan fiskal
°
Redistribusi keadilan
°
Akuntabilitas
Gambar 4 Framework Analisis dan Pengembangan Kelembagaan.
Modifikasi dari Ostrom, E..D, R. Gardner, and J. Walker. Rules,
Games, & Common-Pool Resources. Ann Arbor. MI The
University of Michigan Press. Sumber : Imperial (1999)
Dalam analisis kelembagaan akan menguji apakah permasalahan yang
dihadapi oleh suatu kelompok individu atau organisasi dan bagaimana aturan itu
diimplementasikan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Kerangka IAD
tidak mengadvokasi tipe penataan dan pengaturan kelembagaan swasta
(particular), seperti pasar atau hierarkis, tetapi menggambarkan faktor-faktor
67
yang mempengaruhi desain kelembagaan seperti karakteristik fisik suatu
ekosistem dan problem yang bersifat alami, budaya individu/organisasi yang
mampu menyelesaikan problem yang dihadapi, serta instrumen penyusunan
kelembagaan yang bersifat individu maupun organisasi (Ostrom, 1990) dalam
Imperial (1999).
Selain menggunakan framework IAD, kerangka pemikiran lain yang biasa
digunakan adalah kerangka analisis Schmid (1972) dalam Pakpahan (1989) yang
mencirikan suatu kelembagaan :
1) Batas kewenangan (jurisdictional boundary). Konsep batas jurisdiksi atau
batas kewenangan dapat diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau
batas otoritas yang dimiliki oleh suatu preferensi. Dalam suatu organisasi,
batas kewenangan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam
organisasi tersebut
2) Hak dan Kewajiban (property right).
Konsep ini selalu mengandung
makna sosial yang berimplikasi ekonomi. Konsep hak kepemilikan sendiri
berasal dari hak (right) dan kewajiban (obligation) semua lapisan peserta
didefinisikan/diatur oleh peraturan yang menjadi pegangan, adat dan
tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota
masyarakat.
Implikasinya adalah (a) hak seseorang adalah kewajiban
orang lain; (b) hak yang tercermin oleh kepemilikan adalah sumber
kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. Hal tersebut dapat diperoleh
melalui berbagai cara seperti melalui pembelian, pemberian bonus sebagai
balas jasa, pengaturan administasi seperti subsidi pemerintah terhadap
kelompok masyarakat.
3) Aturan representasi (rule of representation). Aturan representasi mengatur
siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan.
Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan
ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses
pengambilan keputusan.
Dalam proses ini bentuk partisipasi tidak
ditentukan oleh besarnya uang rupaih yang dibagikan, melainkan
ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban
dan manfaat anggota yang terlibat.
Dalam kerangka pemikiran ini
68
berkembang juga mengenai kelembagaan local.
Uphoff (1986)
menyebutkan tiga tingkatan dalam kelembagaan, yakni :
a) Kelompok ; yaitu sekumpulan orang yang memiliki identitas
sendiri dengan beberapa kesamaan kepentingan (minat), misalnya
tetangga (RT), kelompok berdasarkan pekerjaan, umur, etnik dan
jender
b) Komunitas; yaitu merujuk kepada suatu unit tempat tinggal yang
relative memiliki kehidupan sosial ekonomi sendiri, digambarkan
sebagai suatu unit interaksi sosial ekonomi yang lebih menunjuk
pada system administrasi/teritorial yang lebih rendah, misalnya
desa/kelurahan
c) Lokalitas; yaitu menunjuk pada sejumlah komunitas yang
mempunyai hubungan kerja sama sosial dan ekonomi (komersial),
setingkat kecamatan dimana pusat pasar berada yang dicarikan
oleh kesatuan komunitas, yang mempunyai pusat pasar sosial dan
ekonmi, dengan satu paket pertumbuhan.
Download