10 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil 2.1.1 Definisi dan Batasan Pulau-Pulau Kecil Belum ada definisi baku tentang pulau-pulau kecil. Banyak yang menggunakan definisi dari segi luasnya seperti yang digunakan oleh DKP secara nasional sesuai dengan keputusan menteri kelautan dan perikanan No.41/2000 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 (DKP,2003). Masih dari segi ukuran, pulau-pulau kecil (PPK) didefinisikan mempunyai ukuran 5.000 km2 (commonwealth science council, 1984) dalam Ongkosongo (1998) atau 2.000 km2 (UNESCO, 1991) dalam Falkland 1995; Hehanusa 1993; Purwanto 1995). Dalam seminar pengelolaan PPK tahun 1998 disepakati ukuran maksimumnya 500 km sebagai batas, tanpa menyebut sebagai ukuran panjang atau lebar. Definisi lainnya dari segi jumlah penduduk yang mendiaminya. PPK didefinisikan sebagai pulau yang dihuni dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa (DKP, 2003). Menurut UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil No.27 tahun 2007, Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya. PPK didefinisikan sebagai pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya dan memiliki batas yang pasti, terisolasi dari habitat lain, sehingga mempunyai sifat insular (Dahuri, 1998; Bengen, 2001; DKP 2003). Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain sehingga keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut. Selain itu pulau kecil juga mempunyai lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen. Akibat ukurannya yang kecil maka tangkapan air (catchment) pada pulau ini yang relatif kecil sehingga air permukaan dan sedimen lebih cepat hilang kedalam air. Jika dilihat dari segi budaya maka masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dengan masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri, 1998). 11 Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas maka ada 3 hal yang dapat dipakai untuk membuat suatu batasan pengertian pulau kecil yaitu: (i) batasan fisik (menyangkut ukuran luas pulau); (ii) batasan ekologis (menyangkut perbandingan spesies endemik dan terisolasi); dan (iii) keunikan budaya. Kriteria tambahan lain yang dapat dipakai adalah derajat ketergantungan penduduk dalam memenuhi kebutuhan pokok. Apabila penduduk suatu pulau dalam memenuhi kebutuhan pokok hidupnya bergantung pada lain atau pulau induknya maka pulau tersebut dapat diklasifikasikan sebagai pulau kecil (Kusumastanto, 2004). Pembedaan istilah ukuran kecil dan besar atau bahkan sangat kecil memang belum begitu jelas kegunaannya disamping definisinya yang masih beragam. Namun jika dilihat dari segi pengelolaan PPK, pendefinisian ini sangat penting khususnya ketika berbicara tentang daya dukung (carrying capacity) biota, daya tampung pemukiman penduduk (human settlement capacity), keterbatasan kegiatan kependudukan, ketersediaan air tawar, keterpencilan tempat, kekurangan perhatian dari pemerintah, pendidikan, kesehatan, kebutuhan barang, pemasaran produk dan lain-lain (Ongkosongo, 1998). Karena arahan pengelolaan PPK dapat disesuaikan dengan ukuran dan permasalahan dari PPK itu sendiri. 2.1.2 Karekteristik dan Kendala PPK Pulau-pulau kecil memiliki karekteristik biofisik yang menonjol, yaitu : (1) terpisah dari habitat pulau induk (mainland island), sehingga bersifat insular; (2) sumber air tawar terbatas, dimana daerah tangkapan airnya relatif kecil; (3) peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia; (4) memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologi tinggi (Bengen, 2001). Keterisolasian inilah yang membentuk kehidupan yang unik di pulau tersebut, karena dikaruniai sumberdaya kelautan yang melimpah. Dari segi budaya, masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang berbeda dengan pulau kontinen dan daratan (Beller, et. al, 1990). Pada dasarnya pulau-pulau yang menempati ruang atau posisi tertentu, walaupun tidak berpenghuni, namun memiliki nilai yang strategis secara sosial maupun ekonomi, misalnya pulau-pulau yang berada di jalur pelayaran ataupun 12 pulau-pulau yang memiliki kandungan sumberdaya alam yang berharga. Terutama sekali pulau-pulau yang berdekatan dengan pusat perkembagan ekonomi baik dalam skala lokal, regional, nasional maupun internasional. Keberadaan PPK sebagai suatu ruang wilayah, bagi masyarakat mempunyai fungsi sosial tertentu, terutama berkaitan dengan penguasaan sumberdaya yang bersifat terbuka (open acces) bagi pemenuhan kebutuhan hidup suatu kelompok masyarakat atau suatu sistem sosial. Disamping juga terdapat pulau-pulau yang telah menjadi milik suatu komunitas tertentu (common acces) maupun telah menjadi milik suatu privat (Kusumastanto, 2004). Beberapa karekteristik ekosistem pulau-pulau kecil yang dapat merupakan kendala bagi pembangunan adalah (Kusumastanto, 2004) : a) Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan), sehingga penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka. b) Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua PPK di dunia c) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan d) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat e) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Contoh, pariwisata yang dianggap sebagai dewa penolong bagi masyarakat di PPK, tetapi justru di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan kendala atau agama setempat. Kendala-kendala di atas bukanlah menjadi ancaman bagi pembangunan pembangunan di PPK. Namun pembangunan yang dilaksanakan hendaknya 13 sesuai dengan kaidah-kaidah ekologis, memperhatikan daya dukung lingkungan, ekologi, ekonomi dan sosial. Dampak negatif terhadap PPK ditekan seminimal mungkin. Karena PPK mempunyai banyak permasalahan yang sangat menentukan arahan dan kinerja pembangunan sekaligus mempengaruhi nasib dari PPK ke depannya. 2.1.3 Ekosistem, Sumberdaya dan Lingkungan Fakta tak terbantahkan bahwa PPK mempunyai potensi sumberdaya alam yang besar dan beranekaragam. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami antara lain terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, pantai berbatu, formasi pec-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya dan kawasan permukiman (Dahuri, 1998; Kusumastanto, 2000). Penjelasan di atas menggambarkan bahwa dalam ekosistem pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih ekosistem. Tiga ekosistem utama dan penting yang biasanya mencirikan ekosistem perairan tropis yaitu ekosistem hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Ekosistem hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi yang tumbuh di laguna pesisir dangkal dan estuaria tropis dan subtropis, didominasi oleh beberapa spesies mohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah yang pasang surut pantai berlumpur. Nilai fungsi mangrove yang berasosiasi dengan keberadaan sumberdaya perikanan didekati dengan jumlah hasil tangkapan ikan di sekitar hutan mangrove tersebut. Seperti contoh hasil tangkapan di Berelang pada tahun 1996 diperoleh sebanyak 7.396 ton. Dengan asumsi jumlah produksi tetap dan berkorelasi secara linear dengan luas hutan mangrove, maka hasil tangkapan ikan di sekitar hutan mangrove tersebut adalah 0,448 ton/ha/th. Bila harga ikan diasumsikan tetap sebesar US$ 1.163,04 per ton (Gellwyn dan Dahuri, 1999) dalam Kusumastanto (2004), maka nilai fungsi ekosistem tersebut adalah sebesar US$ 521,25 /ha/tahun. Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Sebagaimana mangrove, terumbu 14 karang juga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi. Menurut Kusumastanto (2004) berdasarkan penelitian di wilayah Barelang dan Bintan dengan total luasan terumbu karang 23.200,14 ha dan dengan asumsi yang diperoleh dari hasil perhitungan bahwa nilai produksi ikan di sekitar perairan karang tersebut pada tahun 1996 mencapai US$ 103.575.720, maka dengan asumsi PPK yang dikembangkan memiliki karekteristik yang sama dengan Barelang diperoleh nilai ikan karang di sekitar perairan terumbu karang adalah sebesar US$ 4.464,44 /ha/tahun. Eksosistem padang lamun (seagrass) tumbuh di daerah subtidal, tersebar luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh sinar matahari, sampai dengan kedalaman 20 m yang memadai bagi pertumbuhannya. Menurut Kusumastanto (2004) nilai total perikanan yang diwakili oleh komoditas ikan dan udang di sekitar padang lamun Barelang dan Bintan adalah sebesar US$ 56.419.620. Asumsi, bila luas total padang lamun di kedua daerah tersebut adalah 14.620,6 hektar, maka diperoleh nilai padang lamun sebesar US$ 3.858,91/ha/tahun. Selain itu, diperoleh juga nilai tidak langsung yang berasal dari nilai cadangan biodiversity dan nilai sebagai pencegah erosi, dengan nilai masing-masing sebesar US$ 15/ha/tahun dan US$ 34.871,75/ha/th. Nilai tersebut mengacu pada nilai hasil pendekatan Ruitenbeek (1991) dan Kusumastanto et.al, (1998) . Interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat. Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem ini saling medukung, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem yang lain akan terpengaruh. Bentuk interaksi itu bisa berupa interkasi secara fisik, bahan organik terlarut, bahan organik partikel, migrasi fauna dan dampak manusia seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1. (Ogden dan Gladfelter, 1983; Kaswadji, 2001 dalam Bengen, 2001). 15 Fisik Bahan organik terlarut Bahan organik partikel Migrasi fauna Dampak manusia Gambar 1 Tipe interaksi antara ekosistem padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove (Sumber: Ogden dan Gladfelter, 1983; Kaswadji 2001 dalam Bengen, 2001) 2.1.4 Pemanfaatan dan Pengelolaan PPK Menurut (Ongkosongo, 1998) pulau-pulau telah/sedang dimanfaatkan untuk beberapa pemanfaatan. Diantara beberapa pemanfaatan antara lain; (1) daratan negara (Indonesia, Filipina); (2) penetapan batas wilayah perairan negara atau antar negara (contoh : Pulau Christmas); (3) pembangunan, termasuk pemukiman; (4) kegiatan dan mencari nafkah masyarakat; (5) Rekreasi, wisata dan olahraga; (6) konservasi dan keanekaragaman hayati dan budaya; (7) konservasi budaya; (8) pendidikan; (9) perhubungan, termasuk perhubungan laut dan udara; (10) penghasil sumberdaya mineral, hayati dan energi; (11) kegiatan tertentu; (12) pertahanan keamanan; (13) penjara. Secara umum ada tiga langkah utama dalam pengelolaan suatu wilayah secara terpadu guna pembangunan berkelanjutan yaitu (i) perencanaan; (ii) pelaksanaan dan (iii) pemantauan dan evaluasi (Dahuri et al 1995; Dutton dan Hotta, 1995; Cicin-Sain dan Knecht, 1998) dalam PKSPL (2005). Ketiga tahapan utama tersebut kemudian dipecahkan kedalam beberapa tahapan lain seperti yang diperlihatkan pada Gambar 2. 16 Isu dan Permasalahan : Lokal/nasional dan Verifikasi permasalahan Aspirasi lokal/Nasional Peluang dan Kendala Potensi sumberdaya ekosistem Aspek Kelembagaan Tujuan dan Sasaran Tantangan dan Kekuatan Formulasi rencana Mekanisme umpan balik Pelaksanaan rencana Pemantauan dan Evaluasi Pembangunan PPK berkelanjutan Gambar 2 Proses Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil (Modifikasi dari Dahuri et al 1995) Agar penggunaannya dapat berkelanjutan maka secara garis besar ekosistem pulau-pulau kecil itu harus bisa dipilah menjadi tiga mintakat yaitu 1) mintakat preservasi; 2) mintakat konservasi dan 3) mintakat pemanfaatan. Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan, daerah pembesaran dan alur migrasi biota perairan. Pada mintakat ini kegiatan yang diperbolehkan hanyalah pendidikan dan penelitian ilmiah, tidak diperkenankan adanya kegiatan pembangunan. Mintakat konservasi adalah daerah yang diperuntukan bagi kegiatan pembangunan (pemanfaatan) secara terbatas dan terkendali misalnya kawasan hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan wisata alam (ecotourism), sementara itu mintakat pemanfaatan diperuntukan bagi kegiatan pembangunan yang lebih intensif seperti industri, tambak, pemukiman, pelabuhan dan sebagainya (PKSPL, 2005). 17 Langkah selanjutnya setelah berhasil memetakan setiap kegiatan pembangunan yang secara ekologis sesuai dengan lokasi tersebut adalah menentukan laju optimal setiap kegiatan pembangunan (sosial, ekonomi dan ekologis) yang menguntungkan dan ramah lingkungan yaitu suatu kegiatan pembangunan yang tidak melebihi daya dukung dari wilayah tersebut dan daya pulih (recovery) atau daya lenting (resilience) dari sumberdaya yang dimanfaatkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dan nasional (Dahuri et al , 1995; Dahuri, 1998; Ongkosongo, 1998). Proses tersebut diatas secara grafis diperlihatkan dalam Gambar 3. Kondisi awal Persyaratan biogeofisik kegiatan pembangunan Karakteristik biogeofisik wilayah (PPK) Kelayakan Daya pulih Aspirasi masyarakat lokal/nasional Daya dukung Tata ruang Penggunaan SD PPK secara berkelanjutan Gambar 3 Proses Formulasi Perencanaan Dan Pemanfaatan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Secara Berkelanjutan (PKSPL, 2005) Keterbatasan sumberdaya alam yang makin menipis pada satu sisi dan kebutuhan manusia yang makin meningkat pada sisi lainnya, melahirkan suatu kesadaran kritis yang mengarahkan pendekatan pengelolaan kearah pemanfaatan yang efisien. Namun lebih dari itu, pemanfaatan sumberdaya tidak boleh mnegorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang. Dibutuhkan konsep keberimbangan dalam pemanfaatan sumberdaya sekaligus keadilan antar generasi yang selanjutnya disebut konsep pembangunan 18 berkelanjutan. Sebagaimana dikemukakan Serageldin (1996) dalam Rustiadi (2003) bahwa konsep pembangunan berkelanjutan meliputi tiga dimensi yang disebutnya sebagai a triangular framework yakni keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologi. Spangenber (1999) dalam Rustiadi (2003) menambahkan dimensi kelembagaan (institution) sebagai dimensi keempat keberlanjutan. 2.1.5 Kebijakan Pengelolaan PPK Kebijakan yang dimaksudkan dalam penelitian ini meliputi kebijakan pemerintah dan peraturan yang mengatur tentang pengelolaan PPK. DKP (2003) menetapkan kebijakan pengelolaan PPK yaitu : a) Meningkatkan pengelolaan PPK di perbatasan untuk menjaga integritas b) Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya PPK secara terpadu, optimal dan lestari untuk kesejahteraan masyarakat berbasis pelestarian dan perlindungan lingkungan c) Meningkatkan pengembagan ekonomi wilayah berbasiskan pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kemampuan SDM, teknologi dan iklim invetasi yang kondusif d) Meningkatkan sinkronisasi peraturan perundangan dan penegakan hukum. Respon terhadap pentingnya pengelolaan PPK semakin tinggi dengan telah diterbitkannya undang-undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil. Undang-undang tersebut mengatur mulai dari perencanaan, pengelolaan, (pemanfaatan, hak penguasaan perairan pesisir, pengaturan pegelolaan, konsep pengelolaan PPK) dan pengawasan pengendalian. Peraturan tersebut memberikan ruang yang cukup penting bagi keberlanjutan PPK dan kelestarian sumberdaya PPK. Konsep pembangunan berkelanjutan dengan menekankan pada pendekatan keterpaduan (ICM). Pengelolaan wilayah pesisir dan PPK, menekankan pada aspek ekologis, aspek ekonomis dan sosial. Asas pemerataan, peran serta masyarakat, keterbukaan dan keadilan termasuk menjadi dasar pengelolaan PPK. Peraturan ini dalam satu sisi memberikan harapan akan keberlanjutan ekologis PPK serta pemerataan ekonomi dengan memasukkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan memberikan akses dalam pengelolaan PPK. Namun di sisi lain, undang-undang meninggalkan 19 banyak pertanyaan yang bersifat berkebalikan secara diametral dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Adanya pasal tentang hak penguasaan perairan pesisir (HP-3) seperti dalam pasal 16-22 memberikan gambaran tentang masa depan PPK dan masyarakat pesisir. Pemanfaatan yang salah dan semata berorientasi ekonomi dan kapitalisasi modal tanpa mengindahkan aspek kelestarian lingkungan PPK akan mengakibatkan kerusakan PPK dalam jangka panjang. Pasal ini juga memberikan peluang hidupnya kolaborasi elit sosial atau para komprador dengan para pemilik modal dalam memanfaatkan ekosistem PPK dan sumberdaya yang berada di dalamnya. Pemberian hak kepada masyarakat dalam pengelolaan bisa jadi tidak akan melahirkan pemerataan namun bisa menutup akses masyarakat dalam pengelolaan karena lemahnya bergaining posisi masyarakat sehingga akan berakibat pada semakin tingginya kesenjangan dan menguatnya ketidakmerataan di PPK. 2.2 Konsepsi Daya Dukung Pulau-Pulau Kecil 2.2.1 Definisi Daya Dukung Daya dukung (carrying capacity) dan daya tampung (ocupancy capacity) pada umumnya dimaksudkan dari segi dukungan terhadap kehidupan biota atau manusia yang ada di Pulau tersebut (Ongkosongo, 1998). Daya dukung suatu wilayah dapat naik atau turun tergantung dari kondisi biologis, ekologis dan tingkat pemanfaatan manusia terhadap sumberdaya alam. Daya dukung suatu wilayah dapat menurun, baik diakibatkan oleh kegiatan manusia maupun gayagaya ilmiah (natural forces), seperti bencana alam. Namun dapat dipertahankan dan bahkan dapat ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat (proper), masukan teknologi dan impor (perdagangan) (Dahuri, 2001). Proses penentuan daya dukung lingkungan untuk suatu aktivitas ditentukan umumnya dengan dua cara: (1) suatu gambaran hubungan antara tingkat kegiatan yang dilakukan pada suatu kawasan dan pengaruhnya terhadap parameter-parameter lingkungan, dan (2) suatu penilaian kritis terhadap dampakdampak lingkungan yang diinginkan dalam rezim manajemen tertentu. Secara umum terdapat empat tipe kajian daya dukung lingkungan (Inglis et al., 2000) dalam PKSPL (2005), yakni: 20 1) Daya dukung fisik, yaitu luas total berbagai kegiatan pembangunan yang dapat didukung (accommodated) oleh suatu kawasan/lahan yang tersedia, 2) Daya dukung produksi, yaitu jumlah total sumberdaya daya alam (stok) yang dapat dimanfaatkan secara maksimal secara berkelanjutan 3) Daya dukung ekologi, adalah kuantitas atau kualitas kegiatan yang dapat dikembangkan dalam batas yang tidak menimbulkan dampak yang merugikan ekosistem 4) Daya dukung sosial, yakni tingkat kegiatan pembangunan maksimal pada suatu kawasan yang tidak merugikan secara sosial atau terjadinya konflik dengan kegiatan lainnya. Pada dasarnya, konsep daya dukung wilayah pesisir ditujukan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan (Dahuri, 2001). Terdapat beberapa metode/teknik untuk menentukan daya dukung wilayah pesisir : 1) Menetapkan batas-batas (boundaries) baik vertikal maupun horisontal terhadap garis pantai (coastal line), wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan (a management unit) 2) Menghitung luasan pesisir yang dikelola 3) Mengalokasi atau melakukan pemintakan (zonation) wilayah pesisir tersebut menjadi 3 zona utama, yaitu : (a) preservasi, (b) konservasi, (c) pemanfaatan 2.2.2 Daya Dukung Lingkungan Ekosistem Pesisir PPK Daya dukung lingkungan didefinisikan sebagai kapasitas dari suatu ekosistem untuk mendukung pemeliharaan organisme yang sehat baik produktifitasnya, kemampuan beradaptasi dan kemampuan pembaruan (CeballosLasurian, 1991). Daya dukung lingkungan sering diekpresikan sebagai jumlah unit pemanfaatan yang masih dapat ditampung oleh lingkungan. Daya dukung menghadirkan batasan dalam melakukan pemanfaatan sumberdaya sehingga ekosistem tersebut tidak mengalami kerusakan akibat aktivitas pemanfaatan. Jika pemanfaatan melebihi ambang batas/kemampuan lingkungan untuk pulih kembali/berasimilasi maka dapat dikatakan bahwa pemanfaatan tersebut melebihi daya dukung. Artinya jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih seperti 21 penangkapan ikan karang di terumbu karang, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut dan tidak boleh merusak terumbu karang. Begitu juga dengan pemanfaatan mangrove untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat, tingkat pemanfaatan mangrove tidak boleh merusak ekosistem mangrove. Daya dukung suatu wilayah ditentukan oleh : (1) kondisi biogeofisik wilayah, dan (2) permintaan manusia, sumberdaya alam, dan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Dahuri, 2001). Masih menurut Dahuri 2001, daya dukung wilayah pesisir dapat ditentukan/diperkirakan dengan cara menganalisis : (1) variabel kondisi biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan; (2) variabel sosial-ekonomi-budaya yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi berpengaruh terhadap perubahan sumberdaya alam dan jasa lingkungan di wilayah tersebut. 2.2.3 Indikator Daya Dukung PPK Menurut Cocosis (2005) dalam PKSPL (2005) perlu dibuat indikator daya dukung yang akan dijadikan patokan/limit maksimum. Indikator diperlukan untuk menyediakan kemungkinan kepada kita untuk menjelaskan dan menerapkan serta proses yang harus dilakukan. Pengembangan suatu kegiatan dalam beberapa kasus perlu suatu inti satuan indikator, faktor yang mencerminkan tekanan dan status pokok (yaitu, endemic dan mengancam jenis). Indikator ini digunakan untuk memonitor dan mengidentifikasi pelanggaran batas daya dukung kegiatan di pulau kecil. Implikasi dari pengukuran indikator adalah untuk kepekaan dari lokasi dalam telaah. Penggunaan indikator dengan mengidentifikasi dan membatasi setiap kegiatan aktivitas dan kegiatan dengan suatu ukuran yang sederhana namun fleksibel. Penetapan batas indikator ini diperlukan untuk mengelola kawasan yang bernilai ekonomi dan ekologi tinggi. Indikator suatu yang penting, tetapi bukan satu-satunya batasan mengelola pulau kecil Di dalam konteks ini ada tiga jenis indikator diusulkan mencerminkan komponen di pulau kecil (Cocosis, 2005) dalam PKSPL (2005). Beberapa 22 komponen yang menjadi indikator adalah 1). Indikator Phisik – Ekologis; 2) Indikator Demographic – Sosial dan; 3) Indikator Politis – Ekonomi. Semua indikator tersebut secara langsung berhubungan dengan konsep dan implementasi dari aktivitas di pulau kecil. Indikator keberlanjutan juga di perlukan ketika terjadi indikasi terjadi perubahan kemampuan untuk bertahannya sumberdaya tersebut. Dalam pembuatan dan pemilihan kebijakan atau perencana dapat menyusun indikator yang sesuai untuk wilayahnya. Indikator lingkungan dapat dijelaskan pada Tabel 1. Tabel 1 Indikator Lingkungan di Pesisir dan Pulau Kecil No Thematik Area Indikator Phisik – Ekologi 1 Biodiversity dan Lingkungan Alam 4 Energy 5 Air 6 Limbah 7 Warisan budaya 8 Infrastruktur Wisata 9 Lahan 10 Arsitektur Ruang 11 Transportasi INDIKATOR Demographi-Sosial 1 Demography 2 Kunjungan Turis 3 Tenaga Kerja 4 Perilaku Sosial 5 Kesehatan dan Keselamatan 6 Isu Physicologis INDIKATOR Politik-Ekonomi 1 Investasi dan Pendapatan Kegiatan Wisata 2 Tenaga Kerja 3 Penghasilan dan Penerimaan Masyarakat 4 Kebijakan Pengembagan Kawasan Keterangan : P = Prioritas Sumber : (Cocosis, 2005) dalam PKSPL (2005) Coastal Pulau Kecil P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P P 23 2.2.4 Mengukur Daya Dukung PPK dengan Ecological Footprint Konsep ecological footprint pertama kali diperkenalkan oleh Wackernagel dan Rees (1996) dalam bukunya yang berjudul : Our Ecological Footprint: Reducing Human Impact on the Earth. Setiap diri kita memerlukan lahan untuk konsumsi pangan dan papan (footprint pangan dan papan), untuk bangunan, jalan, TPA (degraded land footprint), dan perlu hutan (dan juga lautan) untuk mengabsorbsi kelebihan CO2 pada saat membakar BBM (energy footprint). Ecological footprint (eco-footprint) diekspresikan dalam konteks (satuan) produktivitas global (dunia). Jadi jika misalnya produktivitas sereal dunia adalah 2,5 ton/ha/th, maka jika seseorang menkonsumsi 1 ton sereal per tahun berarti mempunyai ”cereal footprint” sebesar 0,4 ha/cap. Namun Ferguson (2002) dalam PKSPL (2005) telah menunjukkan bahwa menggunakan produktivitas global dapat mendistorsi hasil perhitungan dan oleh karenanya Ferguson (2002) menyarankan menggunakan produktivitas lokal. Secara konseptual maka ecological footprint tidak boleh melebihi biocapacity. Biocapacity dapat diartikan sebagai daya dukung biologis, atau daya dukung saja. Ferguson (2002) dalam PKSPL (2005) mendefinisikan biocapacity sebagai sebuah ukuran ketersediaan lahan produktif secara ekologis. Sementara itu daya dukung lingkungan dalam kaitan ini dapat disajikan dalam bentuk jumlah orang yang dapat hidup di lokasi tersebut, dapat didukung oleh biocapacity yang ada. Daya dukung lingkungan (carrying capacity) adalah total biocapacity dibagi dengan total ecological footprint. Untuk menjelaskan konsep ecological footprint ini dalam kaitannya dengan daya dukung lingkungan, PKSPL (2005) membuat contoh sebagai berikut. Misalnya di sebuah pulau bahwa setiap orang mengkonsumsi 2 ton jagung dan 0,2 ton pepaya per tahun. Diketahui ternyata di pulau ini telah digunakan 20.000 ha lahan untuk menumbuhkan jagung dan 500 ha untuk menanam pepaya. Produktivitas lahan jagung adalah 10 ton/ha/th, sementara produktivitas lahan pepaya adalah 40 ton/ha/th. Apabila kenyataannya penduduk di pulau ini kebutuhanya akan pepaya dan jagung terpenuhi maka daya dukung yang dihitung dari produksi jagung dan daya dukung yang dihitung dari produksi pepaya haruslah sama. Dapat dilihat bahwa jika 20.000 ha menghasilkan jagung dengan 24 produktivitas 10 ton/ha/th maka akan diproduksi jagung sebanyak 200.000 ton/tahun. Karena kebutuhan setiap orang adalah 2 ton per tahun, maka jumlah orang yang dapat dicukupi (carrying capacity) adalah (200.000/2) = 100.000 orang. Jika daya dukung ini dihitung dari produksi pepaya, maka dapat kita lihat bahwa produksi pepaya dalam satu tahun adalah 500 x 40 = 20.000 ton/tahun. Karena konsumsi setiap orang adalah 0,2 ton pepaya per tahun maka daya dukung lingkungannya adalah (20.000 /0,2) = 100.000 orang. Daya dukung harus sama walaupun dihitung dari jenis konsumsi yang berbeda. Daya dukung lingkungan juga dapat dihitung dari biocapacity dan ecological footprint. Pada contoh di atas maka ecological footprint dari jagung adalah (konsumsi per capita / produktivitas) = 2/10 = 0,2 ha. Sementara itu ecological footprint dari pepaya adalah = 0,2/40 = 0,005 ha. Dengan demikian total ecological footprint adalah 0,205 ha. Ecological footprint mewakili kebutuhan kapital alam yang sangat diperlukan dari suatu populasi dalam artian luasan lahan yang produktif secara ekologis. Luas lahan footprint tersebut bergantung pada besarnya populasi, standar hidup material, pemanfaatan teknologi, dan produktivitas ekologis (Wackernagel et al., 1999). Untuk sebagian besar wilayah yang telah maju (daerah industri) sebagian lahan footprint ini melebihi yang tersedia di tempat (wialayah lokal) tersebut. Hal ini berarti memerlukan bantuan kecukupan (appropriation) dari daya dukung (carrying capacity) dunia (global). Ditekankan oleh Wackernagel et al. (1999) ecological footprint tidak bias tumpang tindih (overlap), daya dukung lingkungan yang dialokasikasikan untuk kecukupan (appropriated) seseorang (atau satuan ekonomi) tidak bisa tersedia bagi orang lain. Dengan demikian orang-orang berkompetisi (bersaing) untuk ecological space. Perhitungan ecological footprint didasarkan pada 2 fakta sederhana : pertama adalah bahwa semua sumberdaya yang dihabiskan (konsumsi) dan limbah yang dihasilkan dapat ditelusuri; dan kedua, kebanyakan aliran sumberdaya dan limbah tersebut dapat dikonversi ke luasan lahan yang secara biologis produktif yang diperlukan untuk mengakomodasi fungsi-fungsi (produksi dan penyerapan limbah) tersebut. Dengan demikian ecological footprint menunjukkan seberapa besar suatu populasi atau bangsa menggunakan ”alam”. 25 Ecological footprint telah digunakan untuk menghitung lahan yang diperlukan untuk kecukupan kebutuhan ekologis seseorang baik pada tingkat lokal, negara, regional, dan bahkan dunia. Konsep ini juga telah digunakan sebagai indikator yang mengukur pasokan (supply) dan permintaan (demand) sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) untuk menjamin keberlanjutan (sustainability) sistem manusia. Namun demikian konsep ecological footprint juga telah dikritik kelemahannya pada saat digunakan sebagai indeks keberlanjutan sistem produksi akuakultur (Roth et al., 2000) dalam PKSPL (2005). 2.3 Pembangunan dan Kemiskinan Perkembangan teori pembangunan hadir setelah teori-teori tentang kapitalisme. Oleh karena dalam banyak pembahasannya, teori pembangunan lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan teori kapitalisme, baik yang mendukung maupun para pengkritiknya. Sejak kaum merkantilis dan Adam Smith, Ricardo dan Thomas Maltus sampai Marx, Keynes, Paul Baran sampai Gunnar Myrdal dan Amarty Sen, banyak membicarakan tentang pembangunan ekonomi. Pemikiran pembangunan tersebut selanjutnya oleh Damanhuri (1997) diklasifikasi dalam tiga jenis pemikiran yaitu teori liberal, teori kritis atau radikal dan teori heterodox. Pandangan para pemikir ekonomi tersebut senantiasa mengkaitkan dengan perkembangan politik. Deliarnov (2005) mengklasifikasi para pemikir ekonomi politik dengan melihat sejarah pemikiran ekonomi dalam beberapa jenis meliputi ekonomi politik liberal klasik, sosialisme, neo klasik, strukturalisme dan dependensia, kelembagaan, ekonomi politik baru dan neo liberalisme. Namun perbedaannya, sejak zaman merkantilis, Adam smith, Marx dan Keynes, perhatian kepada pembangunan ekonomi lebih bersifat statis dan umumnya dikaitkan dengan kerangka acuan lembaga budaya atau sosial eropa barat. Baru sejak tahun empat puluhan atau tepatnya pasca perang dunia II yang ditandai dengan kebangkitan gelombang politik bangsa Asia-Afrika, para ahli ekonomi banyak mencurahkan perhatiannya pada masalah negara terbelakang. Bagi negara-negara tersebut kemiskinan di suatu tempat merupakan bahaya bagi 26 kemakmuran di manapun (Jhingan, 1975). Bagi Meier dan Baldwin dalam Jhingan (1975) pengkajian mengenai kemiskinan bangsa-bangsa bahkan lebih terasa mendesak daripada pengkajian kemakmurannya. 2.3.1 Teori Pembangunan Tentang Kemiskinan Seperti telah didikemukakan dalam pengantar, bahwa kategorisasi teori pembangunan yang akan diuraikan di bawah ini berangkat dari kategorisasi dari Damanhuri (1997). Damanhuri membagi kategorisasi teori pembangunan ke dalam tiga teori besar yaitu teori liberal, teori kritis (radikal) dan teori heterodox. A. Teori Liberal Dalam berbagai khasanah literatur ekonomi pembangunan, banyak disebutkan bahwa teori-teori pembangunan ekonomi bertujuan untuk melakukan modernisasi di negara-negara yang sedang berkembang. Semangat pembangunan dengan latar belakang teori modernisasi adalah keinginan untuk memodernisasi negara-negara berkembang dengan cara meniru negara maju dalam segala aspek, khususnya dalam mode of production kapitalisnya. Teori-teori pembangunan ekonomi pada generasi ini berfokus pada beberapa isu sentral seperti pertumbuhan ekonomi, akumulasi modal, transformasi struktural dan peran pemerintah. Sistem kapitalisme yang negara-negara maju terapkan selama ini dianggap sebagai jalan bagi negara yang sedang berkembang untuk bangkit dari keterbelakangan dan mengejar kemajuan (Sanderson, 1993). Teori yang cukup meyakinkan bagi keberlangsungan modernisasi adalah teori Rostow tentang tahapan pertumbuhan ekonomi. Rostow (1960) dalam Jhingan (1975), memandang bahwa proses pembangunan bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni masyarakat yang terbelakang menuju masyarakat yang maju. Rostow memperkenalkan teori pertumbuhan yang dikenal dengan The Stages of Economic Growth meliputi (i) masyarakat tradisional; (ii) prakondisi untuk lepas landas; (iii) lepas landas; (iv) menuju kedewasaan; dan (v) tahap konsumsi massa tinggi. Bagi Rostow Investasi adalah suatu kemutlakan yang dapat diperoleh dari luar maupun dalam. Teori Rostow ini semakin meneguhkan pemikir modernis lainnya seperti Rosenstein-Rodan (1943) dalam Arif (1998) dengan 27 industrialisasinya, Nurske (1952) dengan mobilisasi dan rangsangan investasi serta Lewis (1954) tentang perlunya mempertahankan akumulasi modal dalam bentuk tabungan dan keuntungan, sebagai jalan keluar bagi negara ketiga dari keterbelakangan. Artinya, teori-teori ini mengundang masuknya institusi permodalan kapitalisme dengan bunga yang tinggi sehingga akhirnya terjadi ketergantungan (Frank,1984). Harrod-Domar dalam Arif (1998) menekankan bahwa pembangunan masyarakat hanya merupakan masalah penyediaan modal dan investasi pembangunan. Dengan merekomendasikan adanya investasi/penanaman modal Harrod-Domar meyakini bahwa pendapatan masyarakat akan bertambah dengan meningkatnya produksi sebagai akibat adanya investasi yang pada gilirannya akan berujung pada lahirnya kesejahteraan. Pergerakan modal dari negara maju ke negara miskin bagi Paul Baran (1957) hanyalah bertujuan menyedot keuntungan dari negara miskin sebagai akibat dari pertambahan pendapatan yang diakibatkan oleh adanya investasi asing. Kritik lain dari pemikir modernisasi terhadap ketertinggalan negara sedang berkembang disebabkan karena persoalan-persoalan kebudayaan atau kultur. Untuk itu fokus lain dari teori modernisasi adalah adanya transformasi struktural. Menurut Harison (1988), modernisasi akan berpengaruh terhadap perubahan susunan dan pola masyarakat, dengan terjadinya diferensiasi struktural. Demikian juga dengan kapitalisme yang telah dibuktikan sejarah, serta dikritik oleh Marx, akan menimbulkan struktur yang penuh konflik. Teori Modernisasi yang berlandaskan teori evolusi, mengharapkan suatu perubahan masyarakat secara bertahap, dari keadaan serba sama kepada semakin terdiferensiasi (Sanderson, 1993). Tokoh modernisasi klasik, misalnya Colleman dalam Suwarsono dan So (1991) meninginginkan bahwa individu yang modern diharapkan akan memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi. Pernyataan Colleman ini senada dengan Mc Clelland (1961) dalam Hettne (2001) dengan lebih menekankan pada aspek psikologi individu. Bagi Mc Clelland mendorong proses pembangunan berarti membentuk manusia wiraswasta dengan dorongan berprestasi yang tinggi. Dengan Human Capital Theory nya, Mc Clelland berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin tinggi keterampilan dan 28 pengetahuan. Semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan maka akan semakin tinggi produktivitas. Semakin tinggi produktivitas, semakin tinggi pendapatan dan ujungnya akan semakin meningkatkan kesejahteraan. Kemiskinan menurut Mc Clelland disebabkan karena kurangnya dorongan berprestasi pada kaum miskin. Dalam strategi pembangunan ekonomi, perspektif modernisasi diwujudkan dalam bentuk strategi pertumbuhan ala model liberal. Damanhuri (1997) mencatat bahwa hasil pembangunan model liberal seperti itu menyebabkan pengangguran terbuka dan tertutup yang membengkak, kemiskinan absolut dan relatif (ketimpangan) serta ketergantungan permanen terhadap modal asing dan teknologi. B. Teori Radikal Pandangan-pandangan penganut teori liberal baik yang neo klasik maupun keynesian telah mendominasi arus besar pemikiran pembangunan di dunia selama beberapa dekade sampai saat ini. Pola ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan dari penganut teori liberal menimbulkan banyak kritik dari kaum Marxis. Setidaknya terdapat beberapa teori yang banyak mengkritisi teori-teori liberal ini yaitu teori strukturalis, teori ketergantungan dan keterbelakangan serta teori sistem dunia. Teori ketergantungan mengkritik teori modernisasi didasari atas fakta keterlambatan pembangunan di dunia ketiga, khususnya dalam kasus Amerika latin. Teori ini sepenuhnya menggunakan paradigma neo-Marxis sehingga terlihat sangat radikal dengan menganalogkan pada perkiraan marxis tentang adanya pemberontakan kaum buruh terhadap majikan dalam industri kapitalis. Corak analisis Marxis tampak ketika teori ketergantungan mengangkat analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar negara. Dalam perspektif ini -meminjam istilah Gunder Frank- negara pusat (metropolis) dianggap sebagai kelas majikan dan negara dunia ketiga (satellit) sebagai buruhnya. Bagi teori modern atau liberal, untuk tumbuhnya perkembangan ekonomi di negara ketiga maka perlu adanya indutrialisasi (Rosenstein-Rodan, 1943), 29 rangsangan dan mobilisasi investasi (Nurske, 1952) serta pengembangan sektor kapitalis dengan mempertahankan akumulasi modal (Lewis, 1954). Bagi Robinson (1959) dalam Arif (1998) industrialisasi negara berkembang tidak sesuai dengan realitas sosial negara-negara tersebut. Robinson meyakini bahwa pertanian harus menjadi induk pembangunan dan industri sebagai motor pembangunan. Pola interaksi ekonomi internasional yang menjadi pertanda berkembangnya teori modernisasi tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi negara berkembang. Baran (1957) mengemukakan bahwa meskipun terjadi pergerakan faktor modal antar negara (yaitu dari negara maju ke negara miskin), pergerakan ini hanyalah bertujuan untuk menyedot keuntungan negara miskin. Bahkan menurut Baran (1957) naiknya pendapatan nasional negara miskin akibat adanya aliran investasi asing, tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat di negara tersebut namun justru dinikmati oleh segelintir elit masyarakat yang memperolehnya dengan cara ekploitatif. Adanya elit penguasa dan yang menopang elit penguasa sebetulnya adalah yang paling bertanggungjawab terhadap proses ekploitasi yang luas dan dalam di Negara miskin (Santos, 1970). Cardoso (1973) dalam Sasono dan Arif (1981) menyatakan bahwa golongan elit sosial di negara dunia ketiga merupakan kekuatan-kekuatan internal yang disebutnya sebagai kelas sosial dominan, oleh kalangan Marxisme disebut sebagai kelas “komprador’ (Compradore Class). Klas otoriter birokratis (O’Donnel,1978) dalam Tindjabate (2001) inilah yang menjembatani kepentingan kapitalis asing di negara berkembang/dunia ketiga dengan kekuatan ekonominya, kekuatan modal dan birokrasi, elite-elite sosial ini membangun aliansi dengan para kapitalis asing dalam mengekploitasi rakyat miskin di negara-negara dunia ketiga. Formasi sosial dan kelas-kelas sosial inilah menurut Brener (1977) dalam Forbes (1983) luput dari pengamatan para teoritikus ketergantungan ketika melihat proses kapitalisme dan keterbelakangan negara berkembang. Sejalan dengan Paul Baran, dalam konteks proses hubungan ekonomi Frank (1984) membuat pembagian yaitu apa yang disebut dengan negara-negara metropolis maju (developed metropolitan countries) dan negara-negara satelit yang terbelakang (satellite underdeveloped countries). Frank (1984) menolak 30 bahwa perkembangan ekonomi negara miskin sebagai akibat adanya hubungan ekonomi negara metropolis-satellit yang akan menimbulkan difusi modal, teknologi, nilai-nilai institusi dan faktor dinamis lainnya kepada negara miskin tidak dapat dibenarkan. Penolakan tersebut didasarkan atas temuan historis Frank di Amerika Latin di mana perkembagan yang sehat dan otonom justru terjadi waktu hubungan metropolis-satelit ini tidak ada (Arif, 1998). Bagi Frank (1984) teori Rostow dengan tahapan pertumbuhan ekonominya telah mengabaikan sejarah (ahistoris). Rostow dengan pijakan kapitalismenya telah mengabaikan kenyataan hancurnya struktur masyarakat dunia ketiga. Frank (1984) melihat adanya hubungan negara-negara industri maju dengan negara non industri dunia ketiga sebagai rangkaian hubungan dominasi dan ekploitasi antara metropolis dengan satelit-satelitnya, walaupun, menurut Roxborough (1986), Frank kurang memberikan perhatian pada peranan struktur kelas di negara dunia ketiga yang juga berperan dalam hubungan dominasi tersebut. Hal ini dikoreksi Santos (1970) dalam Arif (1998) dengan saran bahwa ketergantungan tersebut tak dapat diatasi tanpa perubahan kualitatif dalam hubungan struktur internal dan eksternal. Selanjutnya Santos (1970) menyatakan, bahwa ada tiga bentuk ketergantungan yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan ketergantungan teknologi industri. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan, tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan. Bagi Indonesia, ketergantungan kolonial telah dialami selama tiga abad lebih yaitu pada saat Belanda menjajah Indonesia dengan sistem tanam paksa maupun pajak tanah. Kolaborasi kolonial Belanda dengan para Bupati dan kerajaan-kerajaan yang ada pada saat itu, terbukti membawa kesengsaraan bagi petani. Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad 19 menjadikan ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah dan produk pertanian. Sumbangan pemikiran Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap dunia ketiga adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan, eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya 31 perkembangan pasar domestik negara dunia ketiga itu sendiri. Indonesia sampai saat ini masih bergantung kepada teknologi dari negara-negara maju. Dalam bidang perikanan misalnya, Indonesia masih lemah misalnya dalam teknologi pengolahan hasil perikanan dan pembenihan ikan. Perdagangan internasional yang menjadi ciri utama dari teori modern ternyata menyisakan permasalahan bagi negara berkembang karena adanya pertukaran yang tidak adil. Amin (1978) menunjukkan ketergantungan negara berkembang kepada negara maju dengan konsep pertukaran yang tidak adil. Amin (1978) menunjukkan terjadinya pengalihan surplus dari negara miskin yang disebutnya peri-pheri ke negara-negara maju (yang disebutnya centre) sebagai akibat proses perdagangan internasional antara kedua kelompok negara ini. Rintangan-rintangan akibat proses pertukaran yang tidak adil ini menyebabkan proses transisi dari situasi ekonomi pra-kapitalis ke situasi ekonomi kapitalis di negara-negara terbelakang, mengambil bentuk yang sangat berlainan dari yang pernah dialami oleh negara-negara maju pada waktu negara-negara ini mengalami proses transisi. Sehingga negara-negara terbelakang tetap terus terbelakang. Proses perdagangan internasional dengan mekanisme pola ekonomi kapitalis seperti ini, bagi pemikir ketergantungan seperti Roxborough, merupakan dampak lanjutan dari imprealisme yang pernah dialami dulu yang hidup bersamasama dengan kapitalisme. Menurut Roxborough (1986), teori imprealisme memberikan perhatian utama pada ekspansi dan dominasi kekuatan imprealis. Imprealis yang ada pada abad 20 pertama-tama melakukan ekspansi cara produksi pra kapitalis ke dalam cara produksi kapitalis. Ekspansi kapitalis ini berupa caracara produksi, sampai pada struktur ekonomi, dan bahkan idelologi. Menurut Roxborough (1986), pengaruh kapitalisme terhadap perubahan struktur sosial masyarakat khususnya yang berada di wilayah pedesaan akan lebih baik menggunakan analisa kelas. Analisis Lenin dalam Roxborough (1986), tentang dua jalur penetrasi kapitalisme tersebut memberi hasil yang hampir sama, yaitu diferensiasi yang menjurus ke arah polarisasi pemilikan lahan dan ekonomi. Jejak pemikiran teori ketergantungan di Indonesia dapat dilihat dalam sosok pemikiran Sritua Arif dan Adi Sasono. Arif dan Sasono (1981) menilai bahwa sistem tanam paksa merupakan salah satu faktor terpenting yang 32 bertanggungjawab terhadap kemiskinan di Indonesia. berkembang suburnya keterbelakangan dan Mereka menilai bahwa terjadi pengalihan surplus ekonomi dari Indonesia ke Belanda dalam jumlah amat besar. Sistem tanam paksa, menurut Arif dan Sasono (1981) telah memperkecil jumlah petani yang berkecukupan atau melahirkan proletariat desa. Selanjutnya, dalam menguji pembangunan ekonomi Indonesia, Sritua Arif dan Adi Sasono melompat langsung kepada pengamatan di zaman orde baru. Sebetulnya, langkah ini agak gegabah, karena sepertinya Sritua Arif dan Adi Sasono melewati begitu saja masa penjajahan Jepang dan zaman orde lama. Dalam mengamati orde baru, Arif dan Sasono menggunakan lima tolak ukur, yakni sifat pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, proses industrialisasi, pembiayaan pembangunan dan persediaan bahan makanan. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai Indonesia dibarengi dengan melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Hal itu didasari atas pengamatan pada periode 1970-1976 dimana menurut Arif dan Sasono (1981), golongan miskin bertambah miskin dan mereka tidak menikmati pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan cukup memadai. Kedua, Indonesia memiliki tingkat pengangguran yang tinggi. Hal ini terjadi karena industri yang padat modal ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja. Ketiga, Proses industrialisasi yang terjadi di Indonesia merupakan proses industrialisasi yang oleh Samir Amin disebut sebagai industri ekstraversi. Industri substitusi impor yang dikembangkan memiliki ketergantungan modal dan teknologi asing yang tinggi. Keempat, karena sifat pertumbuhan ekonomi dan model industrialisasi yang dipilih, maka Indonesia hanya memiliki satu pilihan yakni kebutuhan untuk selalu memperoleh modal asing. Kelima, Sampai akhir tahun 1970-an Indonesia belum mampu mencapai swasembada pangan atau tepatnya baru pada tahun 1985, untuk pertama kali sejak kemerdekaannya, Indonesia mencapai swasembada beras. Pisau analisis teori ketergantungan, termasuk yang digunakan oleh Arif dan Sasono (1981) ini, jelas sekali berpijak kepada metodologi dan paradigma berpikir ala paul Baran, Gunder Frank maupun pemikir ketergantungan lainnya. Namun, perspektif teori dipendensia menurut Damanhuri (1996) gagal menjelaskan fenomena sosial yang ada di Indonesia maupun di negara-negara 33 Asia lainnya. Pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia seperti Jepang, Korea, Hongkong, Malaysia dan Indonesia sendiri termasuk mencengangkan bagi kaum dependensia. Bahkan, Samir Amin pun tidak mampu menjelaskan fenomena Korea dan Taiwan yang disebutnya ”perkecualian”. Bagi Damanhuri, teori-teori besar yang ada, tidak berlatar belakang sejarah Asia, bahkan sangat berjarak dari kultur Asia. Menurut Damanhuri (1996) yang lebih mengena untuk memahami fenomena Asia adalah teori-teori menengah dan tidak terlalu radikal serta tidak terlalu optimistik seperti yang dilontarkan Gunar Myrdal. Teori tersebut menyebutkan bahwa negara Asia Tenggara dan Timur berlaku tipikal perencanaan ketiga yang sangat berbeda dengan tipikal negara liberalis yang diwakili Amerika dan Sosialis yang diwakili Uni Soviet. Menurut Damanhuri, berangkat dari teori tersebut, tipikal tersebut berupa adanya kontrol negara – yang pada saat tertentu juga memberi keleluasaan yang besar- terhadap swasta. Sebetulnya Joan Robinson ketika mengkritik Rosenstein-Rodan mengatakan bahwa pandangan teori modernis tidak sesuai realitas sosial masyarakat negara ketiga. Demikian halnya Damanhuri (1996) menyarankan agar pijakan teori dalam membedah pembangunan ekonomi haruslah lebih menggambarkan realitas sosial politik setempat. Selain itu, konsep ketergantungan yang dikemukakan oleh pemikirpemikir Marxis strukturalis juga mendapatkan kritik dari pemikir-pemikir ekonomi politik Marxis lainnya seperti Anthony Giddens, Thompson, Soja dan Forbes. perspektif Forbes (1986) menyoroti pembangunan dan keterbelakangan dalam geografi dan ekonomi politik. Pertama, karya mengenai keterbelakangan lebih didominasi oleh pendekatan ekonomistik dan tidak banyak menelaah tentang hubungan sosial, konflik kelas, dan reproduksi atau dengan kata lain penelaahan harusnya juga dilihat dari sisi sosial dari ekploitasi. Kedua, karya keterbelakangan yang dilontarkan selama ini berada pada tataran abstrak. Pemikiran akhir-akhir ini menyerukan agar tidak mengadakan pembedaan yang apriori atau statis antara negara maju dan terbelakang, tetapi sebaliknya menyoroti suatu perekonomian dunia yang komplek, tunggal dan hubungan antara berbagai kesatuan soaial dan ekonomi yang kecil dan besar yang mengisinya. Ketiga, perkembangan pemikiran yang ekonomistik dan abstrak disertai dengan 34 meningkatnya dominasi pengetahuan komposisional terhadap pengetahuan kontekstual. Menurut Forbes (1983) lapangan tengah dari ”ekonomi politik” menjadi terlalu sesak, sementara pertanyaan mengenai wawasan seperti lingkungan dan organisasi tempat yang memperoleh perlakuan, relatif jarang diamati. Ekonomi politik keterbelakangan lebih memusatkan pada isyu yang relatif kecil dan menjauhkan peneliti kritis dari aneka ragam penelitian yang berkaitan. C. Teori Heterodox Peralihan kapitalisme dari negara pusat kepada negara pinggiran dintodusir melalui investasi asing, mengandaikan terciptanya industrialisasi di negara pinggiran. Ketergantunganpun muncul bagi negara pinggiran kepada negara pusat. Setidaknya demikian kritik yang banyak dilontarkan oleh penganut teori dependensia dalam menyikapi proses modernisasi dan liberalisasi ekonomi. Namun, muncul keraguan dalil bahwa peralihan ke arah kapitalisme di pinggiran, tertahan. Begitu halnya, dengan kemunculan keajaiban-keajaiban ekonomi di Asia seperti yang terjadi di Korea Selatan dan munculnya negara-negara industri maju di Asia dan Amerika Latin (Higgot, 1984) dalam Forbes (1983). Menurut Forbes (1983) industrialisasi di pinggiran merupakan proses yang paling mutakhir dan tidak berarti membuktikan argumen bahwa peralihan ke arah kapitalisme masih terus berlangsung dalam cara seperti yang terjadi di Barat. Bentuk industrialisasi yang terjadi di pinggiran menunjukkan sejumlah perubahan yang bergerak jauh dalam sifat kapitalisme itu sendiri dan hanya dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas. Fenomena keajaiban ekonomi Asia menjadikan Damanhuri (1996) berpendapat, apakah model manajemen Asia yang menjadikan negara-negara –yang dicap sebagai negara pinggiran- ini dapat berkembang begitu pesat . Nilai-nilai tradisional dan kebudayaan lokal yang selama ini dianut dengan kuat oleh bangsa-bangsa seperti Jepang, Korea dan Indonesia sendiri, diyakini berpengaruh terhadap pola ekonomi yang berkembang di negara-negara Asia tersebut. Untuk menjelaskan fenomena ini, pisau analisis lain perlu digunakan dengan berpijak kepada realitas sosial ekonomi dan budaya politik masyarakat bangsa tersebut. 35 Selain pandangan dari kelompok modernis dan strukturalis atau yang oleh Damanhuri (1997) dikategorikan sebagai teori liberal dan radikal tersebut, terdapat pandangan lain yang menyempal dari keduanya, yaitu apa yang disebut dengan teori heterodox. Pendukung teori ini seperti Gunnar Myrdal (Swedia), F. Perroux (Perancis) dan A. Hirchman (USA). Menurut Damanhuri (1997) kelompok ini mengajukan negasi bahwa pembangunan (development) lebih luas dari pertumbuhan (growth), yang tidak cukup hanya disimpulkan melalui indikator-indikator pertumbuhan. Tetapi, pembangunan mencakup sejumlah transformasi dalam struktur ekonomi, sosial, dan kultural yang menyertai dan mendasari terjadinya pertumbuhan. Pembangunan harus melingkupi perubahan mental dan sosial yang membawa kemampuan mereka untuk tumbuh (F. Perroux dalam Damanhuri, 1997) dan perbaikan gizi (Myrdal, 1957) dalam Arif (1998). Menurut Myrdal (1957) dalam Arif (1998) hubungan ekonomi antara negara-negara maju dengan negara-negara yang belum maju telah menimbulkan ketimpangan internasional dalam pendapatan perkapita dan kemiskinan di negaranegara belum maju. Myrdal menambahkan bahwa penyebab utama terjadinya keterbelakangan di negara berkembang adalah kemajuan ilmu dan teknologi, kehadiran pasaran yang luas dan konsentrasi modal keuangan di negara-negara maju. Sebaliknya di negara-negara yang belum maju selain rakyat mempunyai pendapatan per kapita yang rendah terdapat juga tingkat hubungan yang rendah, pertumbuhan penduduk yang tinggi, tingkat keterampilan yang rendah, kesehatan penduduk yang tinggi, tingkat keterampilan yang rendah, kesehatan penduduk yang buruk dan tidak berkembangnya industri-industri rakyat akibat rendahnya harga barang-barang manufaktor impor. Solusi memberantas kemiskinan tersebut menurut Myrdal harus dilakukan dengan campur tangan pemerintah terutama dalam mempengaruhi kekuatan pasar bebas. Namun, bagi Ul Haq (1983) mekanisme pasar seringkali senjang akibat pembagian pendapatan dan kekayaan yang berlaku sehingga pasar bukan petunjuk yang dapat diandalkan untuk menentukan tujuan-tujuan nasional. Menurut Mahbub Ul Haq, kemiskinan – seperti kaum liberal menganjurkan- tidak dapat diperangi secara tidak langsung melalui laju pertumbuhan yang merembes ke rakyat banyak. Namun, kemiskinan harus diserang langsung. 36 Proses ketimpangan dalam pembangunan antara negara maju dan negara dunia ketiga juga disebabkan karena tidak adanya kebebasan. Sen (1999) mengatakan bahwa pembangunan harus dilihat sebagai sebuah proses “perluasan” kebebasan manusia (the process of expanding the real freedom), bukan sekedar mengatasi persoalan ekonomi semata. Masih menurut Sen (1999) bahwa kebebasan yang dimaksud meliputi kebebasan politik, fasilitas ekonomi, sosial opportunities, jaminan transparansi, dan perlindungan keamanan. Sen (1999) kemudian memperkenalkan suatu formula pengukuran kemiskinan yang dikenal sebagai Sen Indeks yakni suatu konsep yang saat ini diaposi PBB sebagai standar untuk mementukan tingkat Human Development Indeks (HDI). 2.3.2 Kesenjangan Pembangunan Pendekatan pembangunan ala neo-klasik dan keynesian yang selama ini diterapkan dengan ideologi modernisme dan berpijakan pada pola ekonomi kapitalis, terbukti telah melahirkan jurang yang menganga demikian lebar antara negara maju dan negara berkembang. Negara dunia ketiga yang dicap sebagai negara yang tertinggal/sedang berkembang, digiring pada proses hubungan ekonomi yang terbukti bukan melahirkan kesejahteraan sebagaimana kaum liberal mengumandangkan. Namun, justru ketergantungan terhadap negara maju menjadikan negara maju semakin modern dan negara berkembang tetap tertinggal. Permasalahan struktural tersebut setidaknya melahirkan perdebatan panjang dan kritik tajam dari kaum dependensia. Mobilisasi investasi, penanaman modal asing, kemajuan ilmu dan teknologi serta perangkat-perangkat ekonomi liberal lainnya yang menjadi strategi bagi percepatan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang, melahirkan krisis pembangunan yang demikian parah di negara berkembang dan kritik tajam kaum dependensia. Masuknya investasi ke negara berkembang bagi Baran (1957) hanyalah bertujuan menyedot keuntungan dari negara berkembang. Menurut Myrdal (1957) dalam Arif (1998) hubungan ekonomi yang terbangun antara negara maju dan negara berkembang hanya akan menimbulkan ketimpangan internasional dalam pendapatan perkapita dan kemiskinan yang terus mengakar di negara yang belum maju. Kondisi asimetris antara negara maju dan negara yang belum maju 37 menjadikan terciptanya kesenjangan pembangunan terjadi. Potret kemajuan ilmu dan teknologi, akumulasi modal keuangan di negara maju, pada satu sisi. Serta kekurangan gizi, pertumbuhan penduduk tinggi, tingkat keterampilan yang rendah dan ciri ketertinggalan lain yang menempel pada negara berkembang, merupakan potret kesenjangan pembangunan yang demikian nyata antara negara maju dan negara sedang berkembang. Menanggapi fenomena tersebut, Frank (1984) menunjuk Rostow dengan teori tahapan pertumbuhannya sebagai ahistoris. Konsep dual society dan dual economies Arthur Lewis pun, dibantah oleh Gunder Frank. Bagi Frank (1984), proses hubungan ekonomi antara negara maju dan negara sedang berkembang hanya akan menjadikan sektor modern semakin modern dan sektor tradisional yang menjadi ciri khas masyarakat negara berkembang, senantiasa berkutat dalam subsisten, feodalistis dan stagnan dalam situasi pre-capitalist (tidak mengenal money economy). Konsep metropolissatellite sebagai gambaran hubungan negara pusat dan negara pinggiran yang diungkapkan Gunder Frank, senantiasa menjadikan negara pusat terus maju dan negara pinggiran berada dalam situasi ketergantungan dan keterbelakangan. Konsep ini serupa dengan kesenjangan pembangunan yang terlihat antara pusatdaerah, Jawa-non Jawa, kota-desa dan pulau-pulau besar dengan pulau-pulau kecil. Penelitian yang dilakukan oleh Williamson (1965) menekankan pada kesenjangan antar wilayah di dalam negara. Williamson menghubungkan kesenjangan pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Myrdal (1957) dalam Arif (1998) melakukan penelitian tentang sistem kapitalis yang menekankan kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Untuk itu, menurut Ul Haq (1983) tidak ada gunanya, melihat tujuan pembangunan dari kacamata tingkat hidup di Barat atau mencurahkan perhatian pada perbedaan pendapatan yang makin besar antara negara kaya dan negara 38 miskin. Ul Haq mengajak negara sedang berkembang untuk berpaling ke dalam diri sendiri, seperti yang dilakukan Cina yang menganut gaya sendiri dalam pembangunan sesuai dengan tingkat sosial ekonomi dan kemiskinan masyarakatnya dan tidak latah meniru gaya hidup negara-negara Barat. Pertumbuhan Gross National Product (GNP) yang selama ini menjadi indikator pertumbuhan ekonomi, menurut Ul Haq (1983) tidak sampai ke bawah. Sehingga yang penting adalah melakukan serangan langsung atas kemiskinan yang menurut Eugene Staley dalam Jihan (2004) sebagai penyebab utama ketertinggalan negara berkembang. Pembacaan berbeda dalam melihat kesenjangan pembangunan dilakukan oleh Dean K. Forbes dengan melihat pada setting geografi keterbelakangan. Forbes (1986), menyatakan bahwa kalangan ekonomi neo-klasik (non-Marxis) melihat masalah regional dalam tiga pendekatan, yaitu : 1) Pendekatan marjinalis yang menekankan pentingnya alokasi sumberdaya dan memandang ketimpangan regional sebagai gejala transisi. Dengan pendekatan ekonomi dan integrasi faktor pasar ketimpangan regional dapat dikurangi 2) Pendekatan institusionalis yang menekankan perlunya intervensi pemerintah guna menahan kecenderungan ketimpangan regional 3) Pendekatan difusionis yang digambarkan dengan riset geografi modernisasi. Penekanannya terletak pada difusi pertumbuhan spasial yang menghasilkan inovasi di seluruh ruang ekonomi. Dalam perspektif ekonomi politik regional, Massey (1978) dalam Forbes (1986), menyebutkan juga tiga pendekatan masalah regional, yaitu : 1) Pendekatan yang berusaha mengidentifikasi hukum-hukum abstrak yang bersifat umum mengenai format spasial dari pembangunan kapitalis, misalnya memisahkan ruang menjadi perkotaan – lingkungan konsumsi kapitalis dan daerah yaitu tempat produksi 2) Pendekatan dengan teori keterbelakangan untuk menjelaskan ketimpangan regional internasional, misalnya hukum pertukaran timpang (Lipietz, 1977) dalam Forbes (1986) 39 3) Pendekatan yang memusatkan pada dorongan terhadap akumulasi modal, pergeseran dalam pembagian spasial tenaga kerja dan pendapatan yang tidak merata secara spasial. Permasalahan kesenjangan pembangunan melahirkan banyak metode dalam pengukurannya. Indikator yang paling umum digunakan adalah dengan melihat tingkat pendapatan masyarakat dan GNP untuk ukuran negara. Selain itu, pengukuran kesenjangan pengelompokkan. juga Pengelompokkan menggunakan berbasis daerah daerah sebagai tersebut basis mempunyai implikasi pengamatan kesenjangan masyarakat antar daerah. Berbagai cara pengelompokkan lain yang telah biasa digunakan adalah kelompok masyarakat wilayah desa dan masyarakat wilayah kota. Selain itu, saat ini juga berkembang perhatian terhadap pengukuran kesenjangan berbasis gender. Kondisi kesenjangan kesejahteraan umumnya dinyatakan dalam bentuk indikator kesenjangan. Berbagai studi pada umumnya menggunakan kurva distribusi Lorenz dan indeks kemerataan distribusi Gini. Berbagai studi lain menggunakan indikator kesenjangan antar daerah yang pertama kali diperkenalkan oleh Williamson. Penghitungan indeks Gini dilakukan berbasis pada kurva distribusi Lorenz, sedangkan indeks Williamson berbasis kepada angka varian dalam distribusi statistik. Kesenjangan pembangunan dapat juga terjadi karena adanya kesalahan dalam orientasi dan pelaksanaan kebijakan. Menurut Ul Haq (1983) perencanaan pembangunan yang selama ini berjalan di negara berkembang, berjalan dalam proses yang salah arah. Pembangunan yang sejatinya menghapuskan bentukbentuk terburuk dari kemiskinan, tetapi justru pendapatan per kepala yang dikejar. Namun, menurut Ul Haq, para perencana pembangunan tidak berusaha memahami kaitan antara keduanya. Fakta adanya luasnya pengangguran, pembagian tidak merata pendapatan, kurangnya gizi dan bentuk-bentuk kemiskinan lainnya, ternyata luput dari penyelidikan sehingga membiaskan dari tujuan utama menghapuskan kemiskinan. Menghapuskan kemiskinan dapat juga dilakukan dengan melihat penyebab terjadinya kemiskinan. Dalam konteks pembangunan Indonesia, pengalaman orde Baru, kebijakan pemerintah cenderung mengutamakan kota, mengistimewakan 40 komoditi ekspor, kebijakan harga pangan mengistimewakan bahan makan impor. Contoh policy bias ini dianggap sebagai penyebab kemiskinan di masa lalu (Mas’oed, 1994). Masa orde baru ini ditandai dengan banyaknya desa miskin di Indonesia. Hal itu menurut Mas’oed (1994) dapat ditelusuri dari faktor penyebab kemiskinannya yang dibagi dalam kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan. Kemiskinan alamiah timbul akibat kelangkaan sumber daya alam. Sedangkan, kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh munculnya kelembagaan – seperti modernisasi atau pembangunan ekonomi sendiri- yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya, sarana dan fasilitas ekonomi yang ada. Walaupun, sumber dayanya tersedia, namun masyarakat tidak mampu memperolehnya karena struktur yang mengkungkung mereka tidak memungkinkan untuk itu. Kemiskinan seperti itu, menurut Mas’oed disebut juga kemiskinan struktural. Sen (1999) mengutarakan bahwa penyebab kemiskinan dan keterbelakangan adalah persoalan aksesbilitas. Akibat ketiadaan dan keterbatasan akses maka manusia mempunyai keterbatasan pilihan untuk mengembangkan hidupnya, kecuali menjalankan apa terpaksa saat ini yang dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya dilakukan). Keterbatasan akses seperti ini juga pernah terjadi di dunia perikanan. Kebijakan modernisasi perikanan pernah diterapkan sebagai solusi untuk mengatasi kemiskinan masyarakat pesisir. Masalah kemiskinan di sektor perikanan diawali sejak orde baru dengan adanya kajian pembangunan ekonomi dengan konsep kebijakan repelita I tahun 1969. Kebijakan orde baru dalam bidang perikanan adalah mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan cara modernisasi perikanan, pemberian fasilitas kredit dan pembangunan fasilitas infrastruktur. Dampak dari kebijakan tersebut adalah terjadinya peningkatan produksi perikanan laut. Periode tahun 1966-1990 produksi perikanan meningkat secara fantastis karena adanya modernisasi perikanan yang didukung oleh unit-unit usaha berskala besar dan padat modal. Kondisi ini semakin menjustifikasi bahwa modernisasi perikanan telah menimbulkan penetrasi kapitalisme. Sedangkan pada sisi lain, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua nelayan tradisional dapat mengakses teknologi modern dalam perikanan laut. Akibatnya, nelayan tradisional semakin terbatas produksinya sebagai akibat rendahnya teknologi penangkapan yang 41 dimiliki. Modernisasi menimbulkan jurang yang bertambah lebar antara mereka yang mampu dan yang tidak mampu memanfaatkan teknologi baru itu (Mubyarto, dkk, 1984). Keterbatasan akses ini ditimbulkan karena struktur kebijakan perikanan belum berpihak kepada nelayan dan tidak memungkinkan untuk itu. Kemiskinan struktural seperti ini banyak mewarnai kehidupan nelayan. Damanhuri (1997), memberikan dua catatan penting tentang terjadinya kemiskinan struktural, yakni : 1) Kemiskinan terjadi karena ”korban pembangunan” contohnya penggusuran karena kegiatan pembangunan lapangan golf, pembangunan real estate seperti kawasan pantai indah kapuk. 2) Kemiskinan terjadi karena golongan tertentu tidak memiliki akses terhadap kegiatan ekonomi produksi akibat pola ”institusional” yang diberlakukan. Penelitian tentang fakta kemiskinan struktural telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti, salah satunya seperti yang dilakukan oleh Mubyarto, et. al (1984). Mubyarto, et.al (1984) yang meneliti nelayan di daerah Jepara, Jawa Tengah menemukan bahwa modernisasi perikanan dalam hal ini, aplikasi alat tangkap pukat harimau yang banyak digunakan di daerah Jepara, bukan hanya menimbulkan konflik sosial tetapi jelas-jelas semakin memiskinkan nelayan tradisional. Kapal-kapal pukat menurut Mubyarto et.al (1984), mengakibatkan pengurangan sumber daya perikanan jangka panjang. Selain itu, keberadaan kapal-kapal tersebut menyebabkan berkurangnya tangkapan nelayan tradisional karena terkuras habis oleh kapal-kapal pukat. Akibatnya banyak diantara mereka yang menjadi buruh kapal-kapal besar atau ke sektor-sektor ekonomi lain. Penelitian Mubyarto ini semakin memperkuat penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Emerson. Emerson (1979) meneliti di pantai utara Jawa Tengah yang mencakup daerah Pati, Jepara, Rembang dan Demak mengungkapkan bahwa tidak ada perubahan nasib nelayan tradisional semenjak berlakunya kebijakan modernisasi penangkapan ikan. Emerson menemukan bahwa golongan nelayan di daerah kerja tersebut telah benar-benar ketinggalan dibandingkan dengan golongan lain di luar usaha perikanan ataupun dengan golongan nelayan di Propinsi Jawa Tengah pada umumnya. Penelitian lainnya pada tahun 1977 di daerah Muncar Jawa Timur dinyatakan bahwa program modernisasi perikanan 42 bukan saja tidak menghasilkan perbaikan dalam kehidupan nelayan-nelayan tradisional, tetapi juga menimbulkan suasana ketegangan di antara nelayan tradisional dengan nelayan modern. Kusnadi (2001) yang meneliti kemiskinan nelayan di Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo menemukan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan antara pandhiga (nelayan buruh) atau nelayan kecil dengan pedagang dan pemilik perahu demikian sangat tampak jelas sejak mulai dioperasikannya peralatan perahu sleret di Desa pesisir Besuki. Akibatnya nelayan kecil senantiasa terjebak dalam utang kepada rentenir yang mematok bunga yang sangat besar. Pola patron-klien seperti ini mewarnai banyak kehidupan nelayan. Nelayan kecil tidak mempunyai banyak akses untuk merubah pola tangkap dengan mengganti teknologi tangkap yang lebih baik karena struktur yang mengkungkung mereka tidak memungkinkan untuk itu. Kusnadi melihat bahwa kebijakan pembangunan perikanan yang efektif masih tetap diperlukan dengan tidak mengulang model-model program pembangunan masyarakat nelayan seperti yang selama ini ditempuh oleh pemerintah. Melihat besarnya sumber daya laut yang tersedia, sulit dimengerti bahwa kemiskinan yang menimpa sebagian besar nelayan merupakan kemiskinan alamiah, sebagaimana dugaan Sinaga dan White (1980) dalam Masyhuri (1999). Masyhuri (1999) menyimpulkan bahwa kemiskinan nelayan lebih disebabkan oleh struktur ekonomi nelayan dan bukannya sumber daya yang terbatas. Kemiskinan struktural dalam hal ini dipahami sebagai suatu kondisi yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat, mereka tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Soemardjan, 1980). Selanjutnya Soemardjan (1980) menyatakan bahwa kesalahan-kesalahan kebijakan pembangunan menyebabkan pembangunan yang timpang dan tidak seimbang dimana satu sektor berkembang jauh lebih pesat dibanding sektor-sektor lainnya. ekonomi dan mengabaikan Penekanan berlebihan pada pembangunan perkembangan-perkembangan sosial akan menciptakan bom waktu psikologis dan politis yang dapat menghancurkan hasilhasil pembangunan. 43 2.3.3 Bagaimana Mengukur Kemiskinan Arief (1993) mengatakan bahwa pendekatan dalam mengidentifikasi kemiskinan yakni Pertama, menekankan pada pengertian subsistensi (subsistence poverty) yakni menganggap bahwa kemiskinan merupakan persoalan ketidakmampuan memperoleh tingkat penghasilan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok pangan, sandang dan beberapa kebutuhan pokok lainnya. Kedua, kemiskinan dipahami dalam pengertian relatif (relative deprivation). Indikator yang dapat ditunjukan dalam perspektif ini adalah : 1) Deprivasi material yang diukur dari kurangnya pemenuhan kebutuhan akan pangan, sandang, kesehatan, papan, dan kebutuhan konsumsi dasar lainnya. 2) Isolasi seperti dicerminkan oleh lokasi geografisnya maupun oleh marjinalisasi rumah tangga miskin secara sosial dan politik. Mereka sering tinggal di daerah terpencil, hampir tanpa sarana transportasi dan komunikasi 3) Alienasi, yaitu perasaan tidak punya identitas dan tidak punya kontrol atas diri sendiri. Ini timbul akibat isolasi dan hubungan sosial yang eksploitatif. Walaupun proses pembangunan berjalan seru dan menghasilkan teknologi yang baru, mereka tidak bisa ikut serta memanfaatkannya. Mereka kekurangan kecakapan yang bisa dijual. 4) Ketergantungan, inilah yang selama ini memerosotkan kemampuan orang miskin untuk bargaining dalam dunia hubungan sosial yang sudah timpang antara pemilik dan penggarap, antara majikan dan buruh atau antara pandega dan ponggawa. Buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah, petani dan nelayan tidak bisa menetapkan harga hasil produksi yang dihasilkannya. 5) Ketidakmampuan membuat keputusan sendiri dan tiadanya kebebasan memilih dalam produksi, konsumsi dan kesempatan kerja, serta kurangnya perwakilan sosial politik mereka, tercermin dari tidak adanya fleksibilitas dan berkurangnya kesempatan bagi si miskin di desa. 6) Kelangkaan aset membuat penduduk miskin di desa bekerja dengan tingkat produktivitas yang sangat rendah 44 7) Kerentanan terhadap guncangan eksternal dan terhadap konflik-konflik sosial internal. Kerentanan itu bisa timbul karena faktor ilmiah, perubahan pasar, kondisi kesehatan dan lainnya. 8) Tidak adanya jaminan keamanan dari tindak kekerasan akibat status sosial rendah, karena lemah, faktor-faktor agama, ras, etnik dan sebagainya. Kemiskinan paling mudah dipahami jika dilihat dari dimensi ekonomi. Terdapat beberapa pengukuran tingkat kemiskinan yang dikembangkan di Indonesia, yaitu (Cahyat, 2004): 1) Metode yang dikembangkan Prof. Sayogyo. Sayogyo mengukur tingkat kemiskinan berdasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per tahun dan dibagi pada wilayah pedesaan dan perkotaan. Menurut Metode ini orang miskin adalah yang tidak mampu memperoleh penghasilan per kapita setara 320 kg beras untuk penduduk desa dan 480 kg beras, untuk penghuni kota. 2) Dikembangkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) yaitu menghitung pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi berdasarkan data survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS). Garis batas kemiskinan menurut BPS ditetapkan berdasarkan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi 2.100 kalori per orang per hari plus beberapa kebutuhan non makanan lain seperti sandang, pangan, jasa, pendidikan dan kesehatan. 3) Bank Dunia : Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang kurang dari US$1 per hari (setara Rp8.500,00 per hari) 4) Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) : mengukur kemiskinan dilihat dari tingkat kesejahteraan. Data kemiskinan dilakukan lewat pendatahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu : Keluarga pra sejahtera (sangat miskin), Keluarga sejahtera I (miskin), Keluarga sejahtera II, Keluarga sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. 45 5) Kriteria kesejahteraan yang disebut indeks kebutuhan fisik minimum (KFM). KFM adalah nilai barang dan jasa minimum yang diperlukan oleh suatu keluarga per bulan. Pengukuran kemiskinan secara nasional masih sangat sulit dilakukan sehingga seringkali menghasilkan data yang berbeda-beda. Masih diperlukan kajian yang dapat mengakomodasikan permasalahan kemiskinan yang komplek baik dari segi ekonomi, budaya, sosial dan geografik yang sangat bervariasi di Indonesia. Pendekatan pengukuran kemiskinan yang ada saat ini diyakini masih berporos pada paradigma modernisasi (modernisation paradigm) yang dimotori oleh Bank Dunia. Paradigma ini bersandar pada teori-teori pertumbuhan ekonomi neo klasik dan model yang berpusat pada produksi. Sedangkan pengukuran kemiskinan dengan garis kemiskinan yang didasarkan pada nilai pengeluaran konsumsi per kapita secara ilmiah tidak dapat diterima sebab angka pengeluaran ini tidak dapat dijadikan sebagai ukuran kesejahteraan seseorang karena tidak memperhitungkan faktor hutang. Selain itu ukuran kemiskinan dari pengukuran konsumsi per kapita suatu sampel rumah tangga tidak dapat dijadikan sebagai ukuran untuk mengeneralisasi situasi kemiskinan secara agregat (Cahyat, 2004). Pengukuran kemiskinan juga dapat didekati melalui pemahaman tentang proses yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Proses pemiskinan terjadi melalui berbagai mekanisme (Mas’oed, 1994; Nasikun, 2001), yaitu: • Policy bias. Kebijakan pemerintah yang cenderung mengutamakan kota, mengistimewakan komoditi ekspor tertentu, kebijakan harga seringkali merupakan penyebab utama kemiskinan. • Proses-proses kelembagaan. Kelangkaan akses ke tanah dan pengairan, pengaturan bagi hasil dan sewa-menyewa tanah yang timpang, pasar yang kurang berkembang, kelangkaan kredit, input produksi, kurangnya fasilitas pelatihan dan sebagainya, juga penyebab penting kemiskinan. • Dualisme ekonomi. Dalam proses ini sumberdaya yang paling baik diambil untuk mengembangkan pertanian komersial besar dan berorientasi ekspor, sementara petani kecil dan pinggiran tidak punya kesempatan berkembang. 46 • Tekanan kependudukan. Masalah ini terkait dengan kelangkaan tanah. • Manajemen sumberdaya dan lingkungan. Kemiskinan di pedesaan dan malnutirisi sangat erat terkait dengan persoalan kelangkaan sumberdaya alam. • Siklus dan proses alamiah. Kelangkaan pangan yang bersifat musiman seringkali memperburuk kemiskinan karena si miskin di pedesaan terpaksa segera menjual hasil buminya walaupun dengan harga murah hanya demi memenuhi kebutuhan jangka pendek. • Marjinalisasi wanita. Wanita sering mengalami diskriminasi. Di beberapa daerah jumlah wanita yang menangggung beban keluarga banyak. Mereka biasanya tergantung pada bidang semakin kerja yang berpenghasilan rendah. Mereka umumnya juga sulit memperoleh akses ke input produksi, pelatihan dan kredit. • Tengkulak yang eksploitatif. Orang miskin di pedesaan menghadapi berbagai jenis tengkulak yang eksploitatif. Eksploitatif dari pemilik terhadap penggarap adan pelepas uang terhadap peminjamannya. • Faktor budaya dan etnik. Bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan • Fragmentasi politik daerah. Suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat dapat menyebabkan kemiskinan • Proses internasional. Bekerjanya sistem-sistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi makin miskin 2.3.4 Menuju Kesejahteraan A. Perspektif Baru Pembangunan Pola pembangunan yang selama ini berjalan, termasuk di Indonesia membutuhkan perspektif baru dengan tidak hanya menggantungkan pada kekuatan pasar tanpa melihat realitas sosial budaya masyarakat Indonesia. Bagi Damanhuri (1998) paradigma baru pembangunan yang akan datang tidak cukup hanya dalam kerangka pemikiran paradigma neo-klasik. Damanhuri mengusulkan 47 pendekatan historis-struktural dengan mendorong secara langsung, sistematis dan simultan pemecahan kesenjangan oleh semua faktor untuk menjadikan tujuan strategis bersama tanpa terlalu terkunkung oleh signal-signal pasar. Dalam konteks pembangunan ekonomi Indonesia, Damanhuri (1998) mengusulkan pentingnya membangun Indonesia incorporated dalam rangka penguasaan pasar global. Pembangunan yang sejatinya bertujuan menghapus bentuk-bentuk kemiskinan yang selama ini dilakukan hanya menekankan pada peningkatan pendapatan per kapita, tanpa melihat keterkaitan keduanya. Menurut Mahbub Ul Haq, proses pembangunan dengan pendekatan seperti itu merupakan jurusan yang salah. Ul Haq (1983) menawarkan perspektif baru mengenai pembangunan dengan melihat realitas sosial budaya masyarakat negara berkembang. Pertama, tujuan pembangunan haruslah membasmi bentuk-bentuk terburuk kemiskinan. Sasaran pembangunan harus ditetapkan atas dasar tujuan mengurangi dan akhirnya melenyapkan kurang gizi, penyakit, buta huruf, hidup melarat, pengangguran dan perbedaan. Bagi Ul Haq, kemiskinan harus dilenyapkan terlebih dahulu, baru kemudian GNP akan bergerak dengan sendirinya. Kedua, negara sedang berkembang harus menentukan ukuran minimum konsumsi yang hendak dicapainya dalam jangka waktu tertentu. Karena itu, Ul Haq menganjurkan agar perencanaan konsumsi harus menggunakan satuan ukuran barang dan layanan yang harus disediakan bagi rakyat biasa guna menghilangkan bentuk-bentuk kemiskinan. Hal ini ditempuh dengan alasan : i) melepaskan diri dari cengkeraman konsep permintaan dan menggantinya dengan konsep kebutuhan pokok minimum; ii) usaha mengejar tingkat pendapatan per kepala di Barat, harus diganti dengan usaha mencapai pendapatan minimum yang harus ditentukan sendiri oleh negara sedang berkembang. Upaya terus mencari pendekatan baru dalam pembangunan harus dilakukan secara terus menerus agar masa depan pembangunan lebih baik lagi. Hettne (2001) membangun dugaan tentang masa depan pembangunan yang kemudian dijawabnya sendiri. Masalah pembangunan bagi Hettne (2001) semakin dekat ketika lingkup dunia dan lingkup nasional saling terkait. Dalam 48 perspektif ini, Hettne membangun pertanyaan tentang masa depan pembangunan. Pertama, Akankah dunia terus berkembang menuju ketergantungan satu sama lain, kedua, akankah dunia tercerai-berai ke dalam anarki nasionalisme ekonomi atau ketiga, akankah dunia berubah menjadi sistem yang teregionalisasi ?. Bagi Hettne (2001) skenario pertama tampaknya tidak memungkinkan. Skenario kedua adalah jalan menuju bencana, sedangkan skenario ketiga dapat menjadi suatu solusi yang tahan lama bagi krisis global –maupun krisis negarabangsa di tiga dunia. Dunia pertama ditujukan kepada negara-negara maju dengan kapitalisme industrinya. Dunia kedua ditujukan kepada negara-negara sosialis dengan proyek sosialismenya, sedangkan dunia ketiga, ditujukan kepada negaranegara sedang berkembang seperti negara-negara yang terdapat di Amerika latin, Afrika dan Asia, dimana, aparat negara ada di tangan para elite yang kebanyakan berorientasi ke barat. Mempertimbangkan aspek regional dalam pembangunan seperti ide Hettne, sebetulnya sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Soja (1980) dengan menggunakan pijakan Marxisme dalam analisa ruang. Menurut Soja (1980) dalam Forbes (1983) bahwa hubungan-hubungan sosial dan ruang saling bereaksi, saling bergantung secara dialektis. Hubungan-hubungan sosial dari produksi bersifat membentuk ruang dan juga tergantung ruang. Dialektika sosial ruang adalah konsep yang berusaha menarik perhatian kepada makna fundamental dari ruang dalam masyarakat manusia. Giddens (1981) dalam Forbes (1980) berpendapat bahwa bagi teori sosial hubungan waktu-ruang harus dijadikan pusat karena mereka merupakan aspek pembentuk sistem sosial. Perspektif baru pembangunan yang diutarakan ini tentunya mengarah kepada tujuan pembangunan yaitu bagaimana membangun kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, berbagai cara telah banyak digunakan dalam mengukur tingkat kesejahteraan dan hasilnya juga masing-masing telah dapat dilihat selama ini. Fakta tak terbantahkan, masih banyak terdapat masyarakat miskin di Indonesia dengan tingkat kesejahteraan yang sangat rendah. B. Mengukur Kesejahteraan 49 Berdasarkan hasil pembacaan dari beberapa literatur, bahwa penelitian awal mengenai kesejahteraan secara sederhana menggunakan indikator output ekonomi per kapita sebagai proksi tingkat kesejahteraan. Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan dengan pendapatan perkapita. Namun output ekonomi perkapita dipandang kurang mencerminkan kesejahteraan masyarakat karena output ekonomi lebih mencerminkan nilai tambah produksi yang terjadi pada unit observasi, yaitu negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak dengan sendirinya dinikmati seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan mungkin sebagian besar ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda dengan wilayah tempat berlangsungnya proses produksi. Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita, maka pendapatan rumah tangga digunakan sebagai proksi kesejahteraan karena dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah. Lebih jauh, kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita dan pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Hal ini mendorong penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Banyaknya kritik terhadap pengukuran kemiskinan yang cenderung menekankan aspek ekonomi mendorong PBB melalui UNDP untuk memperkenalkan pendekatan baru. Di bawah kepemimpinan Mahbub Ul Haq, pada tahun 1990-an UNDP memperkenalkan pendekatan Human Development yang diformulasikan dalam bentuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty Index). Dibandingkan dengan pendekatan yang dipakai Bank Dunia, pendekatan UNDP relatif lebih komprehensif karena bukan hanya mencakup dimensi ekonomi (pendapatan), melainkan juga pendidikan (angka melek huruf), dan kesehatan (angka harapan hidup). Pendekatan kemiskinan versi UNDP berporos pada paradigma pembangunan populis atau kerakyatan (popular development paradigm) yang memadukan konsep pemenuhan kebutuhan dasar dari Paul Streeten dan teori kapabilitas yang dikembangkan Amartya sen, peraih Nobel ekonomi 1998 (Suryawati, 2005). 50 C. Model Kesejahteraan Keluarga BKKBN Pendekatan lain yang digunakan di Indonesia dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan diperkenalkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BKKBN lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan kemiskinan dengan memperkenalkan model kesejahteraan keluarga. Unit survey juga berbeda, dimana BPS menggunakan rumah tangga, sedangkan BKKBN menggunakan keluarga. Dalam mendata kemiskinan BKKBN melakukan lewat pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu (Cifor, 2004) : a) Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin); b) Keluarga Sejahtera I (miskin); c) Keluarga Sejahtera II ; d) Keluarga Sejahtera III dan d) Keluarga Sejahtera III plus Dari data tersebut kemudian didapatkan jumlah keluarga miskin dari mulai tingkat RT, Dusun, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Propinsi sampai dengan tingkat Nasional. Pra Sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sejahtera tahap I (miskin) diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Maksud dari kebutuhan sosial psikologis adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Berikut adalah indikator yang digunakan BKKBN dalam pentahapan keluarga sejahtera : (1) Keluarga Pra Sejahtera (Sangat Miskin) Belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi : a. Indikator Ekonomi ; Makan dua kali atau lebih sehari, memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/ sekolah dan bepergian), bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah. b. Indikator Non-Ekonomi ; Melaksanakan ibadah, bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan. 51 (2) Keluarga Sejahtera I (Miskin) Adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi: a. Indikator Ekonomi ; Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni. b. Indikator Non-Ekonomi ; Ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya penghasilan tetap, usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15 tahun bersekolah, anak lebih dari 2 orang, ber-KB. (3) Keluarga Sejahtera II Adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi : Memiliki tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti kegiatan masyarakat, rekreasi bersama (6 bulan sekali), meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah, menggunakan sarana transportasi. (4) Keluarga Sejahtera III Sudah dapat memenuhi beberapa indikator, meliputi : memiliki tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti kegiatan masyarakat, rekreasi bersama (6 bulan sekali), meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, majalah, menggunakan sarana transportasi. (5) Keluarga Sejahtera III Plus Sudah dapat memenuhi beberapa indikator meliputi : Aktif memberikan sumbangan material secara teratur, aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan. 2.4 Kesejahteraan dan Daya Dukung Lingkungan 52 Fenomena kemiskinan dan kerusakan lingkungan adalah dua hal yang saling terkait. Kebutuhan dan jumlah manusia yang terus meningkat, mengakibatkan sumber daya alam maupun fisik harus dimodifikasi sedemikian rupa untuk mengejar tujuan pembangunan. Pembangunan yang sejatinya bertujuan menghapuskan kemiskinan, justru mengakibatkan kemiskinan sebagai akibat rusaknya sumber daya alam akibat proses ekonomi yang tidak mengindahkan lingkungan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak karena kemiskinan. Hubungan keduanya seperti membentuk derajat polinomial. Kemiskinan terjadi akibat kerusakan lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan periode sebelumnya. Begitupula sebaliknya, lingkungan rusak karena kemiskinan yang dipicu oleh kerusakan lingkungan pada periode sebelumnya. Hubungan sebab akibat ini dapat terus berlanjut pada derajat polinomial yang lebih tinggi, membentuk lingkaran setan atau siklus yang tidak berujung. Sachs (2006) dalam bukunya The End of Poverty menekankan pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan sebagai peubah penentu kesejahteraan dan kemakmuran. Menurutnya, sementara investasi pada kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur mungkin dapat mengatasi perangkap kemiskinan yang sudah ekstrem kondisinya, degradasi lingkungan pada skala lokal, regional, dan global dapat meniadakan manfaat investasi tersebut. Karena pentingnya hubungan kemiskinan dan kerusakan lingkungan, dalam Millenium Development Goals (MDGs) kedua variabel tersebut dijadikan target bersama negara-negara dunia untuk menyelesaikannya hingga periode 2015. Sementara di Indonesia, makin hari makin terasa pentingnya kedua variabel itu. Respon terhadap permasalahan kemiskinan dan degradasi ekosistem juga dilakukan oleh perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Millenium Ecosystem Assesment (MA). Dalam Millenium Report kepada Sidang Umum PBB bulan April 2000, Sekretaris Jenderal Koffi Annan menyatakan bahwa : Kita tidak mungkin merumuskan kebijakan lingkungan yang efektif bila tidak didasarkan pada informasi ilmiah. Walaupun telah banyak diperoleh kemajuan dalam pengumpulan data di berbagai lokasi, masih saja terdapat berbagai kesenjangan. Selama ini belum pernah dilakukan 53 penilaian secara lengkap pada skala global terhadap ekosistem penting di dunia. Dengan demikian, maka Millenium Ecosystem Assessment merupakan suatu tindakan nyata untuk menutupi kesenjangan ini, sekaligus merupakan suatu upaya kerjasama internasional untuk memetakan kesehatan planet kita. Millenium Ecosystem Assessment (MA) dibentuk dengan melibatkan pihak pemerintah, swasta, lembaga swadaya masyarakat dan ilmuwan untuk mendapatkan penilaian yang terintegrasi terhadap perubahan ekosistem yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, serta untuk menganalisa pilihan-pilihan yang tersedia guna meningkatkan fungsi ekosistem agar dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia (Kehati, 2001). 2.4.1 Kerangka Konseptual Keterkaitan Kemiskinan dan Lingkungan Sejak tahuan 1970-an, telah banyak pihak yang menyepakati bahwa kemiskinan dan penurunan kualitas lingkungan memiliki hubungan yang sangat kuat. Komisi Dunia untuk lingkungan dan pembangunan (Komisi Bruntland) menulis (1987) : Banyak pihak di dunia yang terjebak dalam penurunan sirkular berkepanjangan. Orang miskin terpaksa mengambil manfaat dari sumber daya alam secara berlebihan agar bisa bertahan hidup, dan pengabaian mereka terhadap lingkungan pada akhirnya mengabaikan mereka, hingga pada akhirnya kemampuan mereka untuk bertahan hidup menjadi semakin sulit dan tidak pasti. Dampak dari adanya tumpang tindih antara pertumbuhan populasi dan marginalisasi ekonomi bagi kelompok miskin serta menurunnya kualitas lingkungan telah mendorong keyakinan bahwa komunitas miskin akan merasakan penurunan jangka panjang dalam menghadapi perubahan ekonomi dan demografi (Durning, 1989 ; Grepperud, 1997) dalam Lubis (2005). Keterkaitan antara kemiskinan dan lingkungan bukan hanya terkait masalah populasi penduduk dan ekonomi, namun lebih komplek dari itu. Forsyth, et.al. (1998) melihat terdapat interaksi dari perubahan biofisika lingkungan, 54 keberagaman persepsi lokal dalam menilai lingkungan dan tanggapan lembaga lokal atas perubahan sumber daya alam yang ada. Jewson dan MacGregor (1997) memahami dimensi lingkungan dalam dua konteks yang berbeda. Pertama, konteks lingkungan sebagai ruang fisik tempat interaksi berbagai mahluk di muka bumi ini (Physical spatial context) dan konteks lingkungan sebagai wujud interaksi antar manusia (social context). Kenyataannya, kegiatan manusia secara umum telah banyak mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup serius (Mascarenhas, 1994). Dalam banyak kasus, degradasi lingkungan mengakibatkan dampak yang kronis bagi masyarakat miskin. Komunitas miskin umumnya hidup dalam kondisi lingkungan yang sangat buruk : tidak ada air bersih untuk dikonsumsi, tidak tersedia infrastruktur pembuangan sampah dan limbah cair, tidak tersedianya akses jalan yang memadai, terbatasnya fasilitas pendidikan dan kesehatan (Hukka, et.al, 1991). Pemandangan seperti itu terjadi juga di berbagai tempat di negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Di berbagai tempat di negara berkembang, kehidupan masyarakatnya sendiri terancam karena air bersih kurang, kesehatan lingkungan tidak memadai, rumah penuh sesak, penyakit, wabah dan bencana alam (Ul Haq, 1983). Kondisi kerusakan lingkungan dan kemiskinan seperti ini, menghadapkan negara sedang berkembang pada pilihan antara pembangunan dan melindungi lingkungan. Ada dua jensi pilihan yang dihadapi negara sedang berkembang : Pertama, masyarakat dihadapkan pada pilihan bila sumber daya alam tertentu atau lingkungan terancam rusak akibat kebijaksanaan mengejar pertumbuhan ekonomi. Pilihan kedua, menyangkut pilihan antara memenuhi kebutuhan pokok rakyat banyak dan menghemat sumber daya alam tertentu yang dibutuhkan untuk mutu kehidupan. Keterkaitan antara kemiskinan dan isu lingkungan pada hakekatnya merupakan sebuah siklus yang sangat komplek. Bank Dunia (1994) mengidentifikasi tiga keterkaitan utama antara degradasi lingkungan dan dampaknya bagi masyarakat miskin, yaitu : 1) Kesehatan lingkungan (Environmental health) : masyarakat miskin sangat menderita jika air, udara dan tanah, dimana mereka hidup mengalami polusi 55 2) Sumber penghidupan (Livelihoods) : masyarakat miskin cenderung untuk tergantung secara langsung pada sumber daya alam, sehingga jika tanah, vegatasi dan sumber air terdegradasi maka masyarakat miskin akan merasakan dampak yang signifikan 3) Kerentanan (Vulnerability) : masyarakat miskin seringkali bersinggungan dengan bahaya lingkungan dan tidak mampu mengatasi kejadian tersebut. Pengukuran kesejahteraan terkait dengan penggunaan tanah/lahan dalam suatu populasi masyarakat. Selain itu, ketergantungan masyarakat terhadap suatu sumberdaya sangat menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Menipisnya sumberdaya dalam suatu ekosistem seperti ekosistem pesisir, berakibat pada menurunnya produksi masyarakat, menurunnya pendapatan masyarakat dan tentunya pola konsumsi masyarakat juga akan berkurang. Pada gilirannya kesejahteraan masyarakat akan semakin menurun. Menipisnya sumberdaya dapat disebabkan adanya ekploitasi berlebih tanpa melihat kapasitas ekosistem untuk pulih kembali dan terus memproduksi. Kemampuan ekosistem untuk menampung pemanfaatan tanpa mengurangi produktifitasnya disebut sebagai daya dukung. Manik (2003) melihat bahwa daya dukung sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat dimana terdapat ketergantungan tinggi masyarakat tersebut terhadap sumberdaya ekosistem yang berada di lingkungannya. Seperti contoh daya dukung untuk populasi manusia pada hakekatnya adalah jumlah individu dalam keadaan sejahtera yang dapat didukung oleh suatu satuan sumberdaya dan lingkungan, tanpa terjadi pencemaran dan kerusakan pada sumberdaya dan lingkungan itu. McCall (1995) mengemukakan bahwa daya dukung merupakan alat untuk analisis penggunaan tanah dan data populasi yang sistematis. Dalam penelitian daya dukung lingkungan, paling tidak terdapat dua variabel pokok yang perlu diketahui untuk melakukan analisis (Riyadi et.al., 2005) yaitu : (1) potensi lahan yang tersedia termasuk luas lahan, dan (2) jumlah penduduk. Seluruh aktivitas manusia dalam mencukupi kebutuhan hidup selalu membutuhkan ruang, sehingga ketersediaan lahan sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas manusia. Demikian juga, besarnya jumlah penduduk dalam suatau wilayah (ruang) akan sangat menentukan kemampuan wilayah tersebut 56 untuk mendukung penduduknya, sehingga memperoleh suatu standar hidup yang layak. 2.5 Pendekatan Ekonomi Politik dan Kelembagaan 2.5.1 Ekonomi Politik A. Definisi dan Perkembangan Ekonomi Politik Pembangunan ekonomi pada hakekatnya tidak bisa terlepas dari aspek politik. Kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi dikeluarkan oleh kekuasaan dan birokrasi yang kental dengan prilaku politik. Kedua terma ini tidak bisa dipisahkan meskipun pada mulanya diarahkan pada pembagian fungsional bahwa keduanya merujuk pada arena-arena kegiatan yang berbeda. Dalam kamus induk ilmu ekonomi, yakni A new Dictionary of Economics (1966) dalam Ersson dan Lane (1990) istilah ini diambil dari bahasa Yunani, dimana polis berarti unit politik dan oikonomike mengacu pada manajemen suatu rumah tangga. Kombinasi kedua kata ini menunjukkan eratnya keterkaitan antara fakta-fakta produksi, keuangan dan perdagangan dengan kebijakan pemerintah di bidang moneter, fiskal dan komersial. Sejak abad 19 aspek politik murni makin surut dalam studi fenomena ekonomi sampai akhirnya menjadi ilmu ekonomi seperti yang dikenal sekarang ini. Keterkaitan antara ekonomi dan politik dalam ekonomi-politik setidaknya dapat dilihat dari berbagai tulisan para ahli ekonomi politik seperti Ricardo, Smith, Marx dan Stuart Mill, mereka berusaha keras mengemukakan tinjauan-tinjauan dan konsekuensi-konsekuensi politik dari suatu perekonomian guna meyakinkan semua pihak akan eratnya keterkaitan antara ekonomi dan politik. Ilmu ekonomi politik secara konvensional pada umumnya berbicara tentang anatomi sistem yang diterapkan oleh negara atau pemerintah. Hasil pembahasan anatomi tersebut umumnya bermuara hanya pada dua kategori utama yaitu sistem ekonomi politik kapitalisme dan sistem sosialisme (Rachbini, 2002). Fokus ekonomi politik tidak lagi pada fenomena-fenomena ekonomi secara umum, melainkan secara lebih spesifik ia menyoroti interaksi antara (faktor-faktor) ekonomi dan (faktor-faktor) politik (Alt dan Chrystal, 1983). Di 57 zaman Yunani kuno, ekonomi merupakan bagian dari studi politik, yang pada gilirannya menjadi bagian dari penelaahan etika dan filosofi (Myrdal, 1954). Pada awalnya ekonomi politik dianggap sebagai seni manajemen domestik, di mana lewat perluasannya berkembanglah makna paling awal ekonomi politik, merujuk pada seni mengelola ekonomi sebuah negara (Staniland, 1985). Sebagaimana merkantilis James Steuart (1767) dalam bukunya yang terkenal An inquiry into the principle of political economy menyebut ekonomi adalah ”seni menyediakan seluruh keinginan keluarga, secara bijaksana dan cermat, sementara ekonomi ada di dalam keluarga, ekonomi politik ada dalam negara”. Adam Smith dan para penerusnya menentang doktrin ini sebagai paternalistik karena mengandaikan seorang kepala negara seperti seorang ayah yang baik dalam sebuah keluarga. Menurut Smith (1776) ekonomi politik sebagai sebuah cabang ilmu tentang negarawan atau pembuat perundangan. Tujuan-tujuan ekonomi politik menurut Smith seperti tertuang dalam ”of system of political oeconomy”, The wealth of nations, buku IV, menyebutkan pertama, menyediakan pendapatan yang cukup banyak atau kebutuhan minimum diri mereka sendiri. Dan kedua, mensuplai negara atau persemakmuran dengan pendapatan yang memadai bagi pelayanan publik. Penekanan Smith pada ”masyarakat” dan pada kegiatan ekonomi mereka sebagai sumber kesejahteraan sangat berlawanan dengan penekanan merkantilis pada negara sebagai sumber sekaligus penerima manfaat pertumbuhan ekonomi. Pandangan Smith tersebut merupakan arus utama pemikiran ekonomi yang berkembang saat itu. Ekonomi telah berkonsentrasi pada konsep-konsep manusia dengan alam dan manusia dengan dirinya secara dingin, berasumsi bahwa suatu kesetimbangan penuh harmoni akan tercapai melalui pengejaran kepentingan diri individu (Elliot dalam Staniland, 1985). Daya tarik intelektual dan estetika pengembangan kerangka kerja yang dibangun Smith dan Ricardo dan rekan-rekan mereka sedemikian besarnya sehingga mendesakkan munculnya faktor-faktor kekuasaan, motif-motif non keuangan, prilaku kelompok, dan sebagainya (Rothchild dalam Staniland, 1985). Kebangkitan monopoli-monopoli menganggu asumsi neoklasik dan mengangkat ekonomi institusional yang memahami keberadaan organisasi-organisasi dan kepentingan-kepentingan kolektif serta 58 kekuasaan dan konflik di antara mereka. Monopoli dalam arus utama ekonomi klasik, diinterpretasikan sebagai tiadanya persaingan ketimbang sebagai peristiwa akibat dominansi kekuasaan. Pertanyaan tentang kekuasaan dengan demikian dapat diabaikan. Kritik ini telah mengangkat tuntutan adanya analisis yang mengakui keberadaan kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi serta mencakup pelaksanaan kekuasaan. Kelompok radikal dari tahun 1960-an meletakkan tuntutan ini ke bentuk yang lebih spesifik, menyerukan bagi adanya analisis yang menggunakan bahasa konflik kelas dan mendesak para ekonom agar komitmen membantu mereka yang menjadi subyek kekuasaan. John Gurley, seorang ekonom politik radikal membandingkan pendekatan-pendekatan radikal dan konvensional sebagai berikut (Staniland, 1985) : Seorang ekonom politik melihat struktur-struktur kekuasaan dan meletakkan mereka pada sisi depan analisisnya, seorang ekonom konvensional – yang hanya melihat masyarakat terdiri dari manusiamanusia ekonomi bebas dengan kepentingan diri sendiri dan berinteraksi sebagaimana pasar – tidak melakukannya. Ekonom konvensional tidak hanya gagal untuk memperhitungkan hubungan-hubungan kekuasaan dan kewenangan, namun juga gagal menangkap aspek-aspek sosial yang paling relevan dari masalahnya, namun dengan membuatkan diri atas kepentingan-kepentingan kelas serta terikat dengan data dan teknik-teknik yang dimilikinya, ia sebagai akibatnya mendukung sistem yang memperlakukan sejumlah besar orang demikian buruknya .... Ekonom politik bersikap radikal, di satu sisi, dengan tidak hanya mempelajari masalah-masalah ekonomi dalam konteks sejarah hubungan penguasasubyek, namun secara aktif juga bersisian dengan kalangan miskin dan tanpa daya, serta umumnya memandang sistem kapitalisme sebagai penindas” (Gurley, 1971). Kritik terhadap pandangan Smith ini dengan buku Wealth of nation yang dianggap sebagai tonggak sejarah dari lahirnya ilmu ekonomi terus mengalir. Dalam Wealth of nation, Smith membahas berbagai segi persoalan, kalau dilihat dengan kerangka ilmu-ilmu sosial sekarang, tidak semuanya dikategorikan 59 sebagai aspek dari atau termasuk dalam bidang ekonomi. Menurut Rahardjo (1988) buku Adam Smith ini kalau digolong-golongkan, akan lebih tepat kalau dimasukkan dalam ilmu-ilmu pendidikan, sosiologi, politik, dan ilmu-ilmu sosial non ekonomi bahkan juga pembahasan yang bersifat filsafati. Dawam Rahardjo menyebut buku Adam Smith ini sebagai ilmu ekonomi politik. Menurut Rahardjo (1988) ekonomi politik adalah suatu cabang ilmu tentang teori evolusi kemasyarakatan di mana inti dari dinamika perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan dengan perubahan sosial dan politik, dan selanjutnya itu semua mengembalikan pengaruhnya kepada proses ekonomi. Smith menurut Dawam rahardjo melihat perkembangan ekonomi secara optimis dan masa depan yang cerah. Tidak demikian dengan Thomas Maltus dan David Ricardo. Keduanya melihat gambaran kemacetan perkembangan ekonomi di masa depan. Malthus (1798) dalam An Essay on the Principle of Population banyak berbicara tentang pertumbuhan penduduk yang menghantui cita-cita mencapai kemakmuran dan Ricardo (1817) dengan On the Principle of Political Economy Taxation berbicara menengok pada perkembangan pertanian yang bertendensi menurun produktivitasnya. Ketiga ekonom di atas merupakan peletak dasar perkembangan ilmu ekonomi politik klasik dan peletak dasar sistem ekonomi kapitalis. Smith dan Ricardo telah mengembangkan analisa sistem kapitalis yang sedang berkembang ketika itu. Ciri utama sistem ekonomi kapitalis ketika itu ialah pengeluaran barang secara umum. Untuk memahami hubungan sosial ekonomi masyarakat waktu itu, Smith dan Ricardo telah mengembangkan teori nilai kerja. Teori ini menghubungkan nilai semua barang yang dikeluarkan dengan biaya tenaga kerja manusia yang terlibat. Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh Marx dengan kritikan bahwa kemiskinan bersumber pada sistem hubungan produksi yang ekploitatif. Marx mengajukan kritik frontal dan radikal terhadap pandangan ekonomi-politik para ekonom klasik yang optimis. Teori akumulasi kapital yang tadinya disarankan sebagai cara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, oleh Marx dibalik untuk menjelaskan mekanisme ekploitasi yang akan membawa sistem kapitalisme yang berlaku dan berkembang ketika itu kepada proses keruntuhan (Rahardjo, 1988). Teori ekonomi politik klasik yang dibangun oleh Smith dan Ricardo ini kemudian digunakan oleh marx, 60 Sweezy, Bukharin, Fine dan Horrison yang kemudian melahirkan teori ekonomi politik baru. Teori ekonomi politik baru lebih dikenal menggunakan pendekatan materialisme sejarah. Pendekatan atas studi interaksi antara ekonomi dan politik seperti yang dikembangkan oleh Marx dapat disebut juga sebagai ekonomi politik modern (Frey, 1978) dalam Deliarnov (2006). Pendekatan-pendekatan yang berkembang selain Marxis terdapat juga Neo-Marxis, pendekatan teori sistem, pendekatan institusional atau tradisional, hingga pendekatan pilihan publik (public choice approach). Ada yang berpendapat bahwa ekonomi politik modern itu pada dasarnya adalah penerapan satu metode pokok – yakni model ekonomi mengenai preferensi, pilihan dan kendala- terhadap prilaku-prilaku non-pasar (Schneider, 1989) dalam Ersson dan Lane (1990). Pendekatan-pendekatan ekonomi politik modern ini mempunyai banyak kesamaan pada fokusnya yang diletakkan pada hubungan timbal balik atau resiprositas antara politik dan ekonomi dalam pengertian yang seluas-luasnya. B. Faktor-Faktor Ekonomi dan Politik Dalam melihat interaksi ekonomi dan politik, seringkali ditemui berbagai masalah atau pertanyaan mengenai pengaruh faktor-faktor politik terhadap kondisi sosial ekonomi suatu negara. Secara umum diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi lebih mudah dipahami melalui kajian atas variabel-variabel seperti tingkat pertumbuhan investasi seperti ditegaskan oleh teori Harrod-Domar atau pendekatan fungsi produksi neo klasik (Solow, 1988; Chauduri, 1989) dalam Lane dan Ersson (1990). Mempelajari pembangunan ekonomi harus memperhitungkan kekuatan sosial dalam konteks yang lebih luas, seperti Lewis menyarankan diperhatikannya sektor pertanian, dan Myrdal menganjurkan untuk memperhatikan agama (Thrilwall, 1986; Chenery dan Srinivasan, 1988) dalam Lane dan Ersson (1990). Pengaruh politik dalam pertumbuhan ekonomi sering dijumpai dalam berbagai bentuk seperti dalam bentuk institusi-institusi politik maupun kebijakan pemerintah. John Zysman (1983) mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan publik (pemerintah) di bidang industri sangat besar pengaruhnya terhadap perintisan dan 61 pengembangan apa yang oleh Rostow disebut sebagai tahapan tinggal landas (take-off). Hipotesis Olson mengatakan apa yang disebut sebagai sklerosa institusional (institutional sclerosis) dalam kepolitikan di suatu negara mengakibatkan merosotnya tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi negara itu (Olson, 1982). Sedangkan hipotesis Weede menyatakan bahwa demokrasi sebagai sebuah jenis rezim memberi pengaruh negatif terhadap (menurunkan) tingkat pertumbuhan ekonomi (Weede, 1984b) dalam Lane dan Ersson (1990). C. Model-Model Ekonomi Politik Bidang studi ekonomi politik yang tengah berkembang saat ini, tidak hanya menyoroti interaksi antara fenomena ekonomi dan politik, tapi juga mengaitkan kajian dari berbagai macam model ekonomi politik berjangka pendek dan panjang. Model ekonomi politik berjangka pendek yakni yang berfokus kepada fungsi popularitas politik dan siklus bisnis. Sedangkan jangka panjang yakni yang memusatkan perhatiannya kepada kinerja-kinerja berbagai rezim, serta pola-pola kebijakan publik dan tingkat perumbuhan ekonomi di berbagai negara. Tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap berbeda sangat beragam dan menjadi fokus perhatian dalam bidang studi ekonomi politik. Teori ekonomi politik yang paling populer dalam memotret hal ini adalah teori kesenjangan (gap theory). Teori kesenjanganpun mendapatkan kritik sejalan dengan kemunculan negara-negara industri baru menjawab argumen bahwa negara dunia ketiga senantiasa ditakdirkan tetap terbelakang (Lane dan Ersson, 1990). Model ekonomi-politik lain yang banyak terinspirasi dari pemikiran Marx adalah model sistem dunia (world system model) dan berbagai model negara (state model) (Frank, 1967; Wallerstein, 1979; Szentes, 1983) dalam Lane dan Ersson (1990). Pendekatan ekonomi-politik terus berkembang sejalan dengan perkembangan pembangunan politik dewasa ini. Politik merupakan bidang yang sangat komplek dan multidimensional, didalamnya mencakup aspek dan fenomena politik yang sangat beragam. Dibutuhkan modifikasi teori-teori sistem politik agar dapat menjelaskan berbagai perubahan politik. Untuk memperbaiki model ekonomi politik, berbagai aspek politik tersebut perlu diperinci secara lebih tajam dan mengidentifikasi bagaimana interaksinya dengan faktor-faktor 62 ekonomi. Menurut Lane dan Ersson (1990) salah satu model yang banyak dikembangkan adalah model institusionalisasi. Model ini mencoba menguraikan sebab-sebab bervariasinya tingkat pertumbuhan ekonomi di antara negara-negara OECD. Konsep ini diduga menyajikan uraian yang lebih tajam dan jernih sehingga dianggap sebagai kemajuan dari rangkaian analisis terhadap konsep pembangunan politik. 2.5.2 Kelembagaan A. Definisi dan Batasan Kelembagaan Salah satu faktor penting dalam aspek pengelolaan ekosistem pesisir adalah perhatian terhadap kelembagaan yang terjadi di lingkungan masyarakat pesisir. Pada prinsipnya, terdapat dua jenis pengertian kelembagaan, yaitu kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) dan kelembagaan sebagai organisasi (Pakpahan, 1989). Menurut Brinkerkoff dan Goldsmitth (1990) kelembagaan atau institusi merupakan aturan atau prosedur yang mengarah pada bagaimana masyarakat bertindak dan peranan organisasi yang telah mendapatkan status tertentu atau legitimasi. Kelembagaan sebagai aturan main menurut Schmid (1972) dalam Pakpahan (1990) adalah suatu himpunan hubungan yang tertata di antara orang-orang dengan mendefinisikan hak-haknya, pengaruhnya terhadap hak orang lain, privilage, dan tanggung jawab. Kelembagaan senantiasa berbarengan dengan kebijakan. Kebijakan yang bagus tanpa didukung kelembagaan yang baik akan membawa proses pembangunan ke arah yang baik. Pengalaman menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan bersumber dari kegagalan pemerintah dalam menerapkan kebijakan serta mengabaikan pembangunan kelembagaan yang harusnya menjadi dasar dari seluruh proses pembangunan baik ekonomi, sosial, politik maupun pengelolaan sumber daya alam. Kelembagaan dengan demikian sangat erat kaitannya dengan kebijakan. Sebagian pakar spesialis kelembagaan hanya memusatkan perhatian pada kode etik, aturan main, sedangkan sebagian hanya melihat pada organisasi dengan struktur, fungsi dan manajemennya. Kebanyakan analisis kelembagaan saat ini memadukan organisasi dan aturan main. 63 Ostrom (1985;1986) menyatakan bahwa kelembagaan merupakan aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur seperti aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. Senada dengan Ostrom, Uphof (1986) melihat kelembagaan sebagai suatu himpunan atau tatanan norma–norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma prilaku, nilaibudaya dan adat istiadat. Kelembagaan bukan hanya terkait dengan institusi tetapi adalah perpaduan dengan organisasi. Kelembagaan mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaksi yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi (Williamson, 1985). Kelembagaan dengan demikian merupakan suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (ICRAF, 2003). Untuk mempermudah dalam penentuan kelembagaan dan upaya membangunnya, maka dibuat batasan-batasan tertentu yang dapat melingkupi definisi kelembagaan. Ruang lingkup kelembagaan dapat dibatasi pada hal-hal berikut (Arifin dan Rachbini, 2001) : 64 (1) Kelembagaan adalah kreasi manusia (human creation). Beberapa bagian penting dari kelembagaan adalah hasil akhir dari upaya dari manusia yang dilakukan secara sadar. Apabila manusia itu hanya pasif saja dalam suatu sistem, maka sistem itu tak ubahnya seperti kondisi alami yang kemungkinan lebih menguasai kelangsungan kepentingan manusia. (2) Kumpulan individu (group of individuals). Kelembagaan hanya berlaku pada sekelompok individu, setidaknya dua orang atau bagi seluruh anggota masyarakat. Oleh karena itu, kelembagaan dirumuskan dan diputuskan bersama-sama oleh kelompok individu, bukan secara perorangan. (3) Dimensi waktu (place dimentions). Suatu lingkungan fisik adalah salah satu determinan penting dalam penyusunan kelembagaan, yang juga berperan dalam pembentukan struktur kelembagaan. Namun demikian, penyusunan kelembagaan juga dapat berperan sangat penting bagi perubahan kondisi lingkungan fisik. Hal inilah yang dikenal sebagai hukum timbal-balik (feedback relationship). (4) Aturan main dan norma (rules and norms). Kelembagaan itu ditentukan oleh konfigurasi aturan main dan norma yang telah dirumuskan oleh suatu kelompok masyarakat. Anggota masyarakat harus mengerti rumusan-rumusan yang mewarnai semua tingkah laku dan norma yang dianut dalam kelembagaan tersebut. (5) Sistem pemantauan dan penegakan aturan (monitoring and enforcement). Aturan main dan norma harus dipantau dan ditegakan oleh suatu badan yang kompeten atau oleh masyarakat secara internal pada tingkat individu. Maknanya adalah sistem pemantauan dan penegakan aturan tidak sekedar aturan di atas aturan, tetapi lebih lengkap dari itu. (6) Hierarki dan jaringan (nested levels and institution). Suatu kelembagaan bukanlah struktur yang terisolasi, melainkan merupakan bagian dari hierarki dan jaringan atau sistem kelembagaan yang lebih kompleks. Pola hubungan ini sering menimbulkan keteraturan yang berjenjang dalam masyarakat sehingga setiap kelembagaan pada masing-masing tingkatan dapat mewarnai proses evolusi dari setiap kelembagaan yang ada. 65 (7) Konsekuensi kelembagaan (consequences of institutions). Dalam konsekuensi kelembagaan ini umumnya dikenal dua macam tingkatan yaitu: (a) Kelembagaan meningkatkan rutinitas atau keteraturan atau tindakan manusia yang tidak memerlukan pilihan yang lengkap dan sempurna. Namun demikian kelembagaan juga mempengaruhi tingkah laku individu melalui sistem insentif dan disinsentif. (b) Kelembagaan memiliki pengaruh bagi terciptanya pola interaksi yang stabil dan diinternalisasikan oleh setiap individu. Hal inilah yang menghasilkan suatu harapan keteraturan di masa mendatang dengan ketentuan telah dibatasi oleh penataan dan pengaturan kelembagaan yang ada. Oleh karena itu, kelembagaan dapat menimbulkan ketidakpastian. Dari berbagai definisi dan batasan di atas dapat dirangkum beberapa unsur penting dari kelembagaan. Unsur-unsur penting tersebut antara lain institusi yang merupakan landasan untuk membangun tingkah laku sosial masyarakat, norma tingkah laku yang mengakar dalam masyarakat, peraturan dan penegakan aturan, aturan yang terdapat dalam masyarakat, kode etik, kontrak, pasar, hak milik, organisasi, dan insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Perpaduan antara berbagai pendekatan di atas akan menghasilkan analisis kelembagaan yang memadai. Kelembagaan dapat berkembang baik jika didukung oleh infrastruktur kelembagaan (institutional infrastructure), ada penataan kelembagaan (institutional arrangements) dan mekanisme kelembagaan (institutional mechanism) (ICRAF, 2003). B. Analisis Kelembagaan Dalam menganalisis aspek kelembagaan yang terbentuk, dibutuhkan kerangka analisis (framework) yang tepat sehingga bermanfaat bagi keberlanjutan sumberdaya pesisir pulau-pulau kecil. Ostrom (1986, 1990) dan Blamquist, (1992), Kiser dan Ostrom, (1982) dalam Imperial (1999) telah mengembangkan suatu “framework” yang membantu untuk menganalisis kelembagaan. Framework tersebut dinamakan Institutional Analysis and Development (IAD). Kerangka analisis ini telah digunakan dalam menganalisis penataan dan pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan air tanah, common pool resources, (misalnya, sistem irigasi, kehutanan, dan perikanan), organisasi metropolitan dan 66 pengembangan insfrastruktur pedesaan. IAD dapat digunakan juga untuk menguji penataan dan pengaturan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir (Sprole-Jones, 1993) dalam imperial (1999). Secara skematik IAD dijelaskan dalam Gambar 4. Imperial (1999) menyatakan bahwa IAD secara teoritik adalah suatu kerangka kerja yang membantu menganalisis performa dan struktur penataan dan pengaturan kelembagaan. Ostrom (1986) dalam Imprerial (1999) menyatakan bahwa diferensiasi dalam analisis kelembagaan berasal dari bentuk analisis organisasi yang difokuskan pada aturan baik yang bersifat formal (hukum, kebijakan, peraturan) maupun informal (norma sosial). ° ° ° Atribut fisik dari sistem Aturan/kelembagaan Atribut masyarakat/budaya Pola interaksi (Antar jaringan kerja pemerintah) Arena Aksi ° ° Pelaku (actor) Situasi yang diputuskan (decision situation) ° ° Performa kelembagaan Hasil kebijakan Evaluasi ° Biaya informasi ° Biaya koordinasi ° Biaya strategis Performa kelembagaan secara keseluruhan ° Efisiensi ° Keseimbangan fiskal ° Redistribusi keadilan ° Akuntabilitas Gambar 4 Framework Analisis dan Pengembangan Kelembagaan. Modifikasi dari Ostrom, E..D, R. Gardner, and J. Walker. Rules, Games, & Common-Pool Resources. Ann Arbor. MI The University of Michigan Press. Sumber : Imperial (1999) Dalam analisis kelembagaan akan menguji apakah permasalahan yang dihadapi oleh suatu kelompok individu atau organisasi dan bagaimana aturan itu diimplementasikan dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Kerangka IAD tidak mengadvokasi tipe penataan dan pengaturan kelembagaan swasta (particular), seperti pasar atau hierarkis, tetapi menggambarkan faktor-faktor 67 yang mempengaruhi desain kelembagaan seperti karakteristik fisik suatu ekosistem dan problem yang bersifat alami, budaya individu/organisasi yang mampu menyelesaikan problem yang dihadapi, serta instrumen penyusunan kelembagaan yang bersifat individu maupun organisasi (Ostrom, 1990) dalam Imperial (1999). Selain menggunakan framework IAD, kerangka pemikiran lain yang biasa digunakan adalah kerangka analisis Schmid (1972) dalam Pakpahan (1989) yang mencirikan suatu kelembagaan : 1) Batas kewenangan (jurisdictional boundary). Konsep batas jurisdiksi atau batas kewenangan dapat diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu preferensi. Dalam suatu organisasi, batas kewenangan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi tersebut 2) Hak dan Kewajiban (property right). Konsep ini selalu mengandung makna sosial yang berimplikasi ekonomi. Konsep hak kepemilikan sendiri berasal dari hak (right) dan kewajiban (obligation) semua lapisan peserta didefinisikan/diatur oleh peraturan yang menjadi pegangan, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat. Implikasinya adalah (a) hak seseorang adalah kewajiban orang lain; (b) hak yang tercermin oleh kepemilikan adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya. Hal tersebut dapat diperoleh melalui berbagai cara seperti melalui pembelian, pemberian bonus sebagai balas jasa, pengaturan administasi seperti subsidi pemerintah terhadap kelompok masyarakat. 3) Aturan representasi (rule of representation). Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi tidak ditentukan oleh besarnya uang rupaih yang dibagikan, melainkan ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat anggota yang terlibat. Dalam kerangka pemikiran ini 68 berkembang juga mengenai kelembagaan local. Uphoff (1986) menyebutkan tiga tingkatan dalam kelembagaan, yakni : a) Kelompok ; yaitu sekumpulan orang yang memiliki identitas sendiri dengan beberapa kesamaan kepentingan (minat), misalnya tetangga (RT), kelompok berdasarkan pekerjaan, umur, etnik dan jender b) Komunitas; yaitu merujuk kepada suatu unit tempat tinggal yang relative memiliki kehidupan sosial ekonomi sendiri, digambarkan sebagai suatu unit interaksi sosial ekonomi yang lebih menunjuk pada system administrasi/teritorial yang lebih rendah, misalnya desa/kelurahan c) Lokalitas; yaitu menunjuk pada sejumlah komunitas yang mempunyai hubungan kerja sama sosial dan ekonomi (komersial), setingkat kecamatan dimana pusat pasar berada yang dicarikan oleh kesatuan komunitas, yang mempunyai pusat pasar sosial dan ekonmi, dengan satu paket pertumbuhan.