BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Autis
Autis berasal dari bahasa Yunani yaitu autos yang berarti “diri sendiri”. Autis
merupakan suatu keadaan atau pendirian atau sikap hidup di mana orang terserap
oleh gagasan, pemikiran, pendirian, kehendak dan gaya hidupnya sendiri, sampai
tidak mementingkan sesama, masyarakat, dan keadaan sekitarnya (Mangunharjana,
1997).
Pada awalnya autis dipandang sebagai gangguan yang disebabkan oleh faktor
psikologis, yaitu pola pengasuhan orangtua yang tidak hangat secara emosional.
Barulah sekitar tahun 1960 dimulai penelitian neurologis yang membuktikan bahwa
autisme disebabkan oleh adanya abnormalitas pada otak (Minshew dalam Ginanjar
2007).
Menurut Sacharin, M.Rossa dalam Ivana (2009) autis adalah suatu keadaan
dimana seseorang asyik dengan dunianya sendiri. Keadaan ini biasanya dijumpai
untuk pertama kali pada masa kanak-kanak sebelum usia dua setengah tahun.
Penderita juga biasanya menarik diri dari kenyataan atau keadaan disekitarnya serta
menikmati dunia fantasinya sendiri dan akan lebih parah lagi pada kasus-kasus berat
penderita akan terbenam dalam halusinasinya sendiri.
Autis merupakan suatu kumpulan sindrom akibat kerusakan syaraf. Penyakit
ini mengganggu perkembangan anak. Menurut Mardhani dalam Prasetya (2009)
beberapa anak autis sudah menunjukkan perilaku tertentu sejak lahir namun yang
sering diperhatikan keluarga mulai tampak pada usia 18-36 bulan. Perilaku tersebut
meliputi tingkah laku yang aneh, menolak kehadiran orang lain serta mengalami
kemunduran dalam berbahasa, bicara, sosialisasi dan ketrampilan yang pernah
dimilikinya.
2.1.1. Epidemiologi Autis
Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autis semakin tinggi, pada tahun
1988 terdapat sekitar 1 dari 10.000 anak terkena autisme. Pada tahun 2003, 1 dari
1000 anak, tahun 2007 1 dari 166 anak, dan saat ini 1 dari 150 anak atau setiap tahun
timbul sekitar 9000 anak autisme baru (Winarno dan Widya, 2008).
Banyaknya jumlah autis diatas sangat mengkhawatirkan mengingat sampai
saat ini penyebab autisme masih misterius dan menjadi bahan perdebatan diantara
para ahli dan dokter di dunia.
Menurut Lestiani (2009), penyebab autis sangat kompleks diantaranya dapat
disebabkan oleh genetik, virus, gangguan fungsi imun, kelainan organ otak,
gangguan gastrointestinal dan paparan logam berat.
2.1.2. Gangguan Gizi pada Autis
Menurut Soenarti dan Soetardjo dalam Yanti (2009), adapun beberapa
gangguan gizi yang sering ditemukan pada penyandang autis adalah sebagai berikut :
1. Kekurangan seng yang ditemui hampir 90% pada anak autisme. Seng
antara lain diperlukan untuk perkembangan sistem imun yang
sempurna.
2. Kekurangan kalsium dan magnesium. Kalsium bermanfaat untuk
pembentukan tulang dan gigi sedangkan magnesium berfungsi sebagai
katalisator reaksi yang berkaitan dengan metabolise.
3. Kekurangan asam lemak omega 3, serat makanan, antioksidan dan
vitamin lain hampir terlihat pada semua anak autisme.
4. Hampir 90% anak autisme kelebihan zat tembaga (cooper). Zat tembaga
yang belebihan dapat berperan sebagai prooksidan yang dapat
meningkatkan penghancuran asam lemak dalam sel, terutama pada sel
otak.
Konsekuensi gangguan gizi tersebut dapat berdampak pada otak, sistem
imun, dan saluran cerna anak autis. Pengaturan makanan sesuai dengan kondisi anak
sangat membantu memperbaiki keadaan kurang gizi (Wijayakusuma, 2004).
2.2. Pemberian Makan pada Anak Autis
Pola pemberian makan yang baik sangat menentukan keadaan gizi pada
seorang anak. Pemberian makanan yang sehat, beragam dan sesuai kebutuhan dapat
mendorong seorang anak untuk dapat hidup sehat. Namun hal ini berbeda untuk anak
autis. Pada anak autis terdapat beberapa jenis makanan yang tidak boleh dikonsumsi,
hal ini disebabkan karena adanya gangguan pada sistem pencernaan anak.
Makanan yang mengandung zat-zat gizi tinggi tidak selamanya dapat dicerna
dan diterima oleh anak penyandang autis dimana gangguan saluran cerna yang
dialami oleh anak autisme antara lain seperti alergi makanan, alergi gluten, alergi
casein dan sebagainya (Judarwanto, 2009). Oleh karena itu anak autis memerlukan
diet khusus sebagai terapi penyembuhan dan menghindari masalah kekurangan gizi
yang berdampak pada pertumbuhannya secara fisik dan perkembangannya. Terapi
diet harus disesuaikan dengan gejala utama yang timbul pada anak. Berikut beberapa
contoh diet untuk anak autis menurut Soenardi dan Soetardjo dalam Yanti (2009).
2.2.1. Diet Tanpa Gluten dan Tanpa Kasein
Berbagai diet sering direkomendasikan untuk anak dengan gangguan autis.
Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti
menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasein.
Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam gandum/terigu,
havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada tepung
terigu dan tepung bahan sejenis, sedangkan kasein adalah protein susu. Pada orang
sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang
serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan
karena makanan pokok orang Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten.
Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet khusus biasanya dapat
dilihat dalam waktu antara 1-3 minggu. Apabila setelah beberapa bulan menjalankan
diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok dan anak dapat
diberi makanan seperti sebelumnya.
1. Makanan yang dihindari anak autis adalah :
a. Makanan yang mengandung gluten, yaitu semua makanan dan minuman
yang dibuat dari terigu, havermuth, dan oat misalnya roti, mie, kue-kue,
cake, biscuit, kue kering, pizza, macaroni, spageti, tepung bumbu, dan
sebagainya.
b. Produk-produk lain seperti soda kue, baking soda, kaldu instant, saus
tomat dan saus lainnya, serta lada bubuk, mungkin juga menggunakan
tepung
terigu
sebagai
bahan
campuran.
Jadi,
perlu
hati-hati
pemakaiannya. Cermati/baca label pada kemasannya.
c. Makanan sumber kasein, yaitu susu dan hasil olahnya misalnya, es krim,
keju, mentega, yogurt, dan makanan yang menggunakan campuran susu.
d. Daging, ikan, atau ayam yang diawetkan dan diolah seperti sosis, kornet,
nugget, hotdog, sarden, daging asap, ikan asap, dan sebagainya. Tempe
juga tidak dianjurkan terutama bagi anak yang alergi terhadap jamur
karena pembuatan tempe menggunakan fermentasi ragi.
e. Buah dan sayur yang diawetkan seperti buah dan sayur dalam kaleng.
2.
Makanan yang dianjurkan untuk anak autis adalah :
a. Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten,
misalnya beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioca, ararut,
maizena, bihun, soun, dan sebagainya.
b. Makanan sumber protein dipilih yang tidak mengandung kasein, misalnya
susu kedelai, daging, dan ikan segar (tidak diawetkan), unggas, telur,
udang, kerang, cumi, tahu, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo,
kacang mede, kacang kapri dan kacang-kacangan lainnya.
c. Sayuran segar seperti bayam, brokoli, labu siam, labu kuning, kangkung,
tomat, wortel, timun, dan sebagainya.
d. Buah-buahan segar seperti anggur, apel, papaya, mangga, pisang, jambu,
jeruk, semangka, dan sebagainya.
2.2.2. Diet Anti-yeast/ragi/jamur
Diet ini diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast. Seperti
telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertumbuhan jamur erat kaitannya dengan gula,
maka makanan yang diberikan tanpa menggunakan gula, yeast, dan jamur.
1. Makanan yang perlu dihindari adalah :
a. Roti, pastry, biscuit, kue-kue dan makanan sejenis roti, yang
menggunakan gula dan yeast.
b. Semua jenis keju.
c. Daging, ikan atau ayam olahan seperti daging asap, sosis, hotdog, kornet,
dan lain-lain.
d. Macam-macam saus (saus tomat, saus cabai), bumbu/rempah, mustard,
monosodium glutamate, macam-macam kecap, macam-macam acar
(timun, bawang, zaitun) atau makanan yang menggunakan cuka,
mayonnaise, atau salad dressing.
e. Semua jenis jamur segar maupun kering misalnya jamur kuping, jamur
merang, dan lain-lain.
f. Buah yang dikeringkan misalnya kismis, aprokot, kurma, pisang, prune,
dan lain-lain.
g. Fruit juice/sari buah yang diawetkan, minuman beralkohol, dan semua
minuman yang manis.
h. Sisa makanan juga tidak boleh diberikan karena jamur dapat tumbuh
dengan cepat pada sisa makanan tersebut, kecuali disimpan dalam lemari
es.
Makanan tersebut dianjurkan untuk dihindari 1-2 minggu. Setelah itu, untuk
mencobanya biasanya diberikan satu per satu. Bila tidak menimbulkan gejala, berarti
dapat dikonsumsi.
2. Makanan yang dianjurkan adalah :
a. Makanan sumber karbohidrat: beras, tepung beras, kentang, ubi,
singkong, jagung, dan tales. Roti atau biscuit dapat diberikan bila dibuat
dari tepaung yang bukan tepung terigu.
b. Makanan sumber protein seperti daging, ikan, ayam, udang dan hasil laut
lain yang segar.
c. Makanan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan (almod, mete,
kacang kedelai, kacang hijau, kacang polong, dan lainnya). Namun,
kacang tanah tidak dianjurkan karena sering berjamur.
d. Semua sayuran segar terutama yang rendah karbohidrat seperti brokoli,
kol, kembang kol, bit, wortel, timun, labu siam, bayam, terong, sawi,
tomat, buncis, kacang panjang, kangkung, tomat, dan lain-lain.
e. Buah-buahan segar dalam jumlah terbatas.
2.2.3. Diet untuk Alergi Makanan
Anak autis umumnya menderita alergi berat. Makanan yang sering
menimbulkan alergi adalah ikan, udang, telur, susu, coklat, gandum/terigu dan
makanan yang mengandung penyedap. Cara mengatur makanan untuk anak alergi,
pertama-tama perlu diperhatikan sumber penyebabnya. Makanan yang diduga
menyebabkan gejala alergi harus dihindarkan. Misalnya, jika anak alergi terhadap
telur, maka semua makanan yang menggunakan telur harus dihindarkan. Makanan
tersebut tidak harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur anak,
makanan tersebut dapat diperkenalkan satu per satu, sedikit demi sedikit.
2.2.4. Perilaku Ibu dalam Pemberian Makan Pada Anak Autis
Pemberian makan pada anak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan anak atas
za-zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Gizi juga
merupakan faktor penting bagi kesehatan dan kecerdasan anak, baik sejak dalam
kandungan maupun setelah anak lahir.
Kekurangan gizi pada anak dapat menyebabkan berat badan berkurang,
mudah terserang penyakit, defisiensi gizi, terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan baik fisik, psikomotor dan mental (Widodo, 2010).
Suatu penelitian yang telah dilakukan oleh Nugraheni pada 160 anak autis di
Semarang dan Solo dengan menganjurkan diet ketat pada makanan yang
mengandung kasein dan gluten ia juga mengadakan pengamatan dan konseling pada
setiap orang tua untuk memantau pelaksanaan diet bebas gluten dan kasein secara
rutin, ternyata setelah 3 bulan terjadi perkembangan yang cukup baik pada
penyandang autisme, terutama dalam perubahan perilaku yang positif. Dalam
menangani masalah pola makan yang terjadi pada autisme tidak hanya tertumpu pada
terapi dan dokter saja, tetapi perilaku ibu dalam pemberian makan pada anak autisme
memiliki pengaruh yang besar dalam penyembuhan anak autisme sehingga anak
autisme dapat tumbuh sehat dan cerdas. Sebaliknya jika perilaku ibu yang buruk
dalam hal pemberian makan akan berdampak negatif terhadap keadaan kesehatan
anak.
Menurut Notoatmodjo (2003) perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas
manusia, baik yang dapat diamati secara langsung, maupun yang tidak dapat diamati
oleh pihak luar. Dengan kata lain perilaku merupakan respon atau reaksi seorang
individu terhadap stimulasi yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.
Perilaku juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perilaku tertutup (covert
behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup adalah respon atau
reaksi terhadap
stimulus
yang
masih
dalam
bentuk
perhatian,
persepsi,
pengetahuan/kesadaran dan sikap pada seseorang yang menerima stimulus dan belum
dapat diamati secara jelas oleh orang lain, misalnya : Seorang ibu tahu pentingnya
makanan yang bergizi dan beraneka ragam untuk kebutuhan gizi keluarganya.
Sedangkan prilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
tindakan nyata dan dapat diamati oleh orang lain misalnya: seorang ibu yang selalu
memasak makanan yang bergizi dan beraneka ragam untuk memenuhi kebutuhan
gizi keluarganya.
2.2.5. Pengetahuan Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak Autis
Pola pemberian makan pada anak perlu dilakukan secara tepat karena kondisi
anak berbeda dengan orang dewasa. Anak merupakan sosok manusia yang sedang
mengalami perubahan dan perkembangan yang paling pesat dalam kehidupannya,
yaitu perkembangan kematangan sistem pencernaan, kematangan organ-organ tubuh,
otak dan jiwa. Pada masa ini orang tua perlu memiliki pengetahuan dan ketrampilan
yang memadai dalam pemilihan dan cara pemberian makan pada anak (Widodo,
2010).
Menurut Notoatmodjo (2003) Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini
terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu.
Pengindraan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera pengelihatan,
pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.
Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama
dibandingkan dengan perilaku yang tanpa didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan
ibu yang baik tentang gizi akan berdampak postif terhadap pola makan anak. Seperti
dalam penelitian yang dilakukan oleh Mashabi dan Nur (2009) tentang pengetahuan
gizi ibu dengan pola makan anak autisme menunjukan bahwa tinggi rendahnya
tingkat pengetahuan gizi ibu akan mempengaruhi pola makan anak autisme artinya
semakin tinggi pengetahuan gizi ibu dapat mempengaruhi pola makan anak autisme
dan sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian diatas maka sangatlah penting bagi para ibu
untuk meningkatkan pengetahuannya tentang pola pemberian makan pada anak.
Peningkatan pengetahuan ini dapat diperoleh dari berbagai informasi yang terdapat
di media cetak, media elektronik maupun dari orang lain yang memiliki pengalaman
tentang pola pemberian makan pada anak.
2.2.6. Sikap Ibu dalam Pemberian Makan pada Anak Autis
Sikap merupakan resaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunujukkan konotasi
adanya kesesuain reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi tindakan
suatu perilaku (Notoatmodjo, 2003). Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri
atau orang lain yang paling dekat. Sikap membuat orang setuju (mendekat) atau tidak
setuju (menjauhi) suatu hal.
Kesenangan seseorang terhadap suatu makanan didasarkan pada psikologi
dan budaya yang berbeda. Unsur-unsur budaya mampu mempengaruhi kebiasaan
makan yang terkadang bertentangan dengan prinsip ilmu gizi. Sikap seorang ibu
terhadap pemberian makan pada anak sangat dipengaruhi oleh pengetahuan,
keyakinan, dan emosi. Suatu contoh misalnya, ibu mengetahui bahwa diet bebas
gluten dan bebas casein merupakan salah satu terapi penyembuhan untuk anak
autisme, pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berfikir dan berusaha agar
anaknya dapat sembuh dari autisme. Dalam berfikir ini komponen emosi dan
keyakinan ikut bekerja sehingga ibu berniat untuk menyiapkan makanan yang bebas
gluten dan kasein untuk anaknya yang autisme.
Namun adakalanya sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan seperti contoh
diatas tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata. Hal ini menurut Notoatmodjo
(1993), disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain :
1. Sikap akan terwujud dalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu.
2. Sikap diikuti dan tidak diikuti oleh tindakan mengacu pada pengalaman orang
lain.
3. Sikap diikuti oleh tindakan nyata.
Jadi, untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan
faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari
pihak lain, misalnya dari suami atau istri, orang tua atau mertua dan lain-lain
(Notoatmodjo, 2003).
2.3. Faktor Penyebab Gangguan Makan pada Anak Autis
Terdapat berbagai macam faktor yang menyebabkan gangguan makan pada
autis, antisipasi secara dini dapat dilakukan untuk menghindari hal-hal yang dapat
memperparah kondisi pada anak autis. Menurut Soenardi dan Soetardjo dalam Yanti
(2009), terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya gangguan makan
pada autis antara lain sebagai berikut :
2.3.1. Gangguan Pencernaan Protein Gluten dan Kasein
Gluten adalah protein tepung terigu dan kasein adalah protein susu. Anak
dengan gangguan autis sering mengalami gangguan mencerna gluten dan kasein.
Menurut P. Deufemia, anak dengan gangguan autis banyak mengalami leaky guts
(kebocoran usus). Pada usus yang normal sejumlah kecil peptida dapat juga
merembes ke aliran darah, tetapi sistem imun tubuh dapat segera mengatasinya.
Peptida berasal dari gluten (gluteomorphin) dan peptida kasein (caseomorphin) yang
tidak tercerna sempurna, bersama aliran darah masuk ke otak lalu ke reseptor
“opioid”. Peningkatan aktivitas opioid akan menyebabkan gangguan susunan saraf
pusat dan dapat berpengaruh terhadap persepsi, emosi, perilaku dan sensitivitas.
Opioid adalah zat yang bekerjanya mirip morphine dan secara alami dikenal sebagai
“beta endorphin”. (Winarno dan Widya, 2008).
Endorphin adalah penekan/pengurang rasa sakit yang secara alami diproduksi
oleh tubuh. Pada anak dengan gangguan autisme, kadang-kadang endorphin bekerja
terlalu jauh dalam menekan rasa sakit sehingga anak akan tahan terhadap rasa sakit
yang berlebihan. Menurut ilmuwan Christopher Gillberg, pada anak autis, kadar zat
semacam endorphin pada otak meningkat sehingga dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi otak. Dari beberapa penelitian pemberian diet tanpa gluten dan kasein
ternyata memberikan respon yang baik terhadap 81% anak autis. (Sunarti, 2004).
2.3.2. Infeksi Jamur/yeast
Dalam usus terdapat berbagai jenis mikroorganisme misalnya bakteri dan
jamur, yang hidup berdampingan tanpa mengganggu kesehatan. Yeast yang
dimaksud di sini adalah sejenis jamur, berupa organisme bersel tunggal yang hidup
pada permukaan buah, sayuran, butir/bulir, kulit, dan usus. Candida albican adalah
sejenis yeast yang hidup dalam saluran cerna, yang dalam keadaan normal tidak
mengganggu kesehatan. Apabila keseimbangan dengan mikroorganisme lain
terganggu, maka salah satu akan tumbuh berlebihan dan dapat menyebabkan
penyakit. Pemberian antibiotika seperti amoxicillin, ampicillin, tetracycline, keflex
yang terlalu lama dan sering akan menyebabkan bakteri baik (lactobacillus) akan
ikut terbunuh sehingga akan mengganggu kesehatan. Antibiotik tidak membunuh
candida, akibatnya jamur akan tumbuh subur dan dapat mengeluarkan racun yang
melemahkan sistem imun tubuh sehingga mudah terjadi infeksi. (Sunarti, 2004).
2.3.3. Alergi Makanan
Hal lain yang diduga berperan pada masalah autis adalah alergi makanan.
Gejalanya bermacam-macam, misalnya sakit kepala, sakit perut, diare, mual,
gangguan tidur, cengeng, hiperaktif, agresif, gampang marah, infeksi telinga, dan
lain-lain.
Alergi makanan adalah reaksi tubuh terhadap makanan atau komponen
makanan yang menyimpang dari normal, melibatkan sistem imun, dan menimbulkan
gejala yang merugikan tubuh. Semua zat yang menyebabkan reaksi imunologi
disebut alergen. Apabila alergen masuk ke dalam tubuh, maka zat antibodi terhadap
alergen tersebut dilepas sehingga memicu terjadninya alergi. Potensi terjadinya alergi
makanan pada seseorang sering merupakan keturunan. Beberapa makanan yang
sering menimbulkan alergi antara lain ikan, udang, telur, dan susu.
Intoleransi makanan merupakan reaksi negatif terhadap makanan dan
menimbulkan beberapa gejala, namun tidak melibatkan sistem imun tubuh.
Intoleransi makanan disebabkan kekurangan enzim untuk mencerna zat tertentu
dalam makanan. Misalnya toleransi susu dapat diakibatkan kekurangan enzim laktase
yaitu enzim yang memecah laktosa (gula susu). Makanan yang sering menimbulkan
reaksi intoleransi adalah susu, telur, gandum, dan kacang-kacangan, serupa dengan
makanan yang dapat menyebabkan masalah pada anak autis. Untuk mendiagnosa
alergi dan intoleransi makanan tertentu, orangtua sering mengalami kesulitan karena
reaksi dapat terjadi segera atau sampai 72 jam setelah makan. (Sunarti, 2004).
2.3.4. Keracunan Logam Berat
Ada hubungan yang jelas antara keracunan logam berat dan berbagai
gangguan syaraf. Logam berat seperti timbal (Pb), merkuri (Hg), arsenik, aluminium,
dan lainnya masuk ke dalam tubuh secara tidak sengaja melalui udara, air, makanan,
obat, kosmetik, vaksinasi, dan sebagainya. Timbal dipakai misalnya dalam bensin,
minyak pelumas, cat tembok, batu batere, dan aki mobil/motor. Sedangkan merkuri
(Hg) banyak dipakai dalam bidang kedokteran sebagai tambal gigi, obat tetes mata,
thermometer, tensimeter, kosmetik, juga digunakan dalam mendulang emas,
menyamak kulit, dan mengawetkan gandum supaya tidak berjamur. Aluminium
banyak digunakan sebagai alat masak seperti wajan dan panci.
Logam berat merupakan racun keras terhadap susunan saraf pusat, terutama
pada anak karena metabolismenya lebih cepat. Keracunan logam berat juga dapat
menyebabkan masalah pada sistem organ tubuh. Misalnya, keracunan merkuri dapat
menyebabkan gangguan keseimbangan sel-sel imun dalam tubuh, mengganggu
respon imun terhadap makanan, dan dapat mengakibatkan kekurangan seng dan
selenium.
Tes keracunan logam berat dapat dilakukan melalui darah, rambut, dan
urin/air seni. Bila ternyata menderita keracunan logam berat, maka cara membuang
logam beracun dari tubuh antara lain dengan terapi khelasi.
Terapi khelasi adalah pengobatan secara intravena dengan menggunakan
cairan yang terdiri dari mineral-mineral, vitamin-vitamin dan asam amino khusus
buatan. Melalui reaksi biokimia, cairan ini dapat pula melarutkan ion kalsium (Ca+
+) yang salah tempat dan mengeluarkan ion tersebut melalui air seni / urine.
Pengobatan ini untuk menghilangkan dampak pengerasan dinding pembuluh
darah nadi yang disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk penumpukan kalsium
yang salah tempat tadi, arteriosklerosis dan atherosklerosis, dan dapat menyebabkan
timbulnya berbagai gangguan kesehatan antara lain: serangan jantung (coroner),
stroke (kelumpuhan sebagian anggota tubuh), gangguan pembuluh darah otak dan
pembusukan jaringan (ganggren) pada anggota tubuh. Beberapa laporan ilmiah
menyatakan bahwa pengobatan ini dapat pula digunakan untuk penyakit Diabetes
Melitus, Arteritis, tekanan darah tinggi (hipertensi), kerajunan logam berat,
rhematik/kaku sendi (arthritis), daya ingat menurun, fungsi penglihatan dan
pendengaran menurun, extremitas dingin, kesemutan, paresthesia (morning
stiffness), impotensi, penuaan dini, dll. (Sunarti, 2004).
2.4. Penanganan Gangguan Makan pada Anak Autis
Gangguan pencernaan kronis tampaknya sebagai penyebab yang paling
penting dalam gangguan makan yang terjadi pada anak autis. Gangguan saluran
cerna kronis yang terjadi adalah imaturitas saluran cerna, alergi makanan, intoleransi
makanan, penyakit coeliac dan gangguan reaksi simpang makanan lainnya. Sebagian
besar kelainan reaksi simpang makanan tersebut terjadi karena adanya jenis makanan
yang mengganggu saluran cerna anak sehingga menimbulkan kesulitan makan.
Berkaitan dengan hal ini tampaknya pendekatan diet merupakan penatalaksanaan
terkini yang cukup inovatif (Judarwanto, 2009).
Suatu studi kasus yang dilakukan oleh European Laboratory of Nutrients in
the Netherlands pada anak penyandang autisme berumur empat tahun dan mengalami
masalah serius dalam berbicara dan berbahasa, perkembangan sosial serta emosional
yang jauh tertinggal.
Setelah dianalisa ditemukan bahwa anak ini kekurangan lima jenis vitamin
dan tiga jenis mineral, serta asam amino taurine dan carnitine dalam tubuhnya
sangat rendah, selain itu sistem pencernaannya sangat payah, flora usus yang
abnormal dengan indikasi infeksi oleh yeast, test juga menunjukkan ia sensitif
terhadap produk susu serta beberapa makanan yang lain. Kondisi seperti ini adalah
hal yang umum bagi penderita autis.
Terapi yang diberikan berupa makanan yang bebas dari susu dan kasein,
pemberian supplemen untuk mengatasi kekurangan nutrisi tadi, lalu kemudian diberi
obat anti jamur (Nystatin). Pada umur enam tahun, dia sudah dapat memasuki
sekolah untuk anak normal.
Dengan melakukan koreksi diet dan makanan dapat memberikan perbaikan
yang sangat signifikan dari penyakit autisme ini. Sebagaimana diketahui gejala dari
autisme sangat beragam, demikian juga pemicu dari penyakit ini, oleh karena itu
pedoman diet bagi anak autisme juga sangat bervariasi dan bersifat individu.
Perhatian dan pengalaman orang tua sangat diperlukan untuk mengatur makanan
yang dapat menghindarkan anak dari meningkatnya gejala autisme (Melilea
Indonesia, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Megson dalam Lestiani (2008)
pada 60 anak autisme yang diberikan vitamin A natural dari minyak ikan (cod oliver
oil) selama tiga bulan atau lebih telah menunjukkan perubahan yang membaik dari
gejala inti autis seperti bahasa, kontak mata, kemampuan sosialisasi dan pola tidur.
Download