Jurnal Sosiologi DILEMA KESEHATAN MENTAL DI ACEH PASKA TSUNAMI Budiarto Eko Kusumo Staff Survey Meter, Yogyakarta. Saat ini sedang terlibat dalam the Study of the Tsunami Aftermath and Recovery in Aceh (STAR) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan Studi Aspek Sosial Ekonomi Paska Tsunami (SASMI) 2005 - 2010 ABSTRACT This paper aimed to see an impact of tsunami, not only from physically side but from mentally side too .Mental breakdown perched on the community in Aceh after tsunami.There are three areas impact of tsunami: heavily damaged zone, moderately damaged zone and undamaged zone. With interviewing by quesioner, we could know that respondent in the heavily damaged zone different with other zones about damage assessment both physically and mentally. The main conclusion of this paper is that mental development in the community of Aceh as important as physical dvelopment. Both have to go to parallel. Mental health caused by posttraumatic stress disorder in the period of time have influence on physical A. Latar Belakang Pada 26 Desember 2004, gempa bumi Sumatera-Andaman berkekuatan 9,3 skala Richter terjadi di Samudera Hindia sepanjang perbatasan plat Indo-Australia dan Eurasian. Pusat gempa terletak kurang lebih 150 kilometer di luar daratan Aceh, tetapi gempa bumi tersebut menyebabkan perpecahan sepanjang sekitar 1200 miles, menyebabkan dasar laut naik sekitar 10 met er (Kerr, 2005). Pergerakan ini menyebabkan terjadinya perpindahan air trilyunan ton dan menyebabkan tsunami yang bergerak dengan kecepatan lebih dari 500 miles per jam, menghantam pulau terdekat yaitu Sumatera hanya 45 menit setelah gempa bumi tersebut (Lay et al., 2005; Marris, 2005). Sebagian daerah tergenang sampai dengan 5 kilometer di daratan. Kekuatan dari gempa bumi sangat hebat. Getarannya terasa sampai ke Bangkok sekitar 2000 miles dari epicenter (Sheble, 2005). Hanya ada satu gempa bumi lainnya (Gempa bumi di Chile selatan pada 1960) yang melebihi gempa bumi SumateraAndaman dalam segi pengukuran kekuatan 54 gempa. NASA memperhitungkan gempa bumi 26 Desember tersebut berakibat pada rotasi bumi dan menyebabkan kutub utara bergeser beberapa sentimeter (Murthy, 2005; NASA, 2005). Tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 juga sangat luar biasa akumulatif korban jiwa karena tsunami dalam 100 tahun terakhir diperkirakan 10.000 jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 250.000 yang meninggal saat tsunami 26 Desember 2004. Bencana ini mempunyai konsekuensi yang besar untuk Indonesia. Sampai dengan Maret 2005, 120.660 orang sudah dipastikan meninggal dan 114.900 lainnya masih hilang (BBC 2005a). Di ibukota Banda Aceh, sekitar 1/3 dari penduduk diperkirakan meninggal. Perkiraan ini mungkin bisa lebih tinggi di beberapa komunitas, dan di beberapa tempat setiap anak hilang. Diperkirakan sebanyak 700.000 orang yang selamat berpindah dan tinggal di camp pengungsi sementara atau dengan keluarga mereka. Akibat psikologis dari korban tsunami yang selamat diperkirakan sangat besar dan akan meninggalkan luka yang cukup lama. Di Budiarto Eko Kusumo Kesehatan Menta di Aceh Paska Tsunami ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 samping yang dialami sendiri oleh korban yang selamat selama penggenangan air akibat tsunami tersebut, banyak daripada mereka yang juga menyaksikan sendiri kematian keluarga dan teman dan menghabiskan minggu-minggu setelah kejadian tersebut untuk mencari informasi tentang yang hilang, dikelilingi oleh hal-hal yang mengingatkan t entang kejadian tersebut, termasuk mayat dan akibat dari gempa bumi. Berdasarkan data dari bencana besar lainnya, antara 50% sampai dengan 90% populasi yang t erkena bencana kemungkinan besar akan mengalami stress post-trauma dan depresi (BBC, 2005b). B. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) Gangguan Stress Pasca Trauma merupakan gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh perist iwa perang, perkosaan at au penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan akan mengalami gangguan stress. (Bufka & Barlow, 2006:1) Untuk memahami stress paska trauma kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “trauma” itu sendiri. Secara sederhana, trauma bermakna luka atau kekagetan (shock). Secara psikologis trauma mengacu pada pengalamanpengalaman yang mengejutkan dan menyakitkan, yang melebihi situasi stress yang dialami manusia sehari-hari dalam kondisi wajar. Banyak dari kit a memiliki pengalaman-pengalaman seperti itu. Pada saat itu, kita mungkin akan merasa sangat gelisah, cemas, takut atau bahkan mengalami kesedihan yang mendalam. Budiarto Eko Kusumo Kesehatan Menta di Aceh Paska Tsunami Tetapi biasanya perasaan itu akan berlalu dan kehidupan menjadi normal. Namun sering seseorang yang mengalami suatu kejadian yang menakutkan atau pengalaman yang mengubah situasi kehidupan akan mengalami stress berat di mana ingatan-ingatan itu tidak berkurang bahkan untuk sesaat. Pada beberapa orang, pengalaman di atas sangat ekstrem sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan yang dialami. Seseorang yang merasa seperti ini mungkin menderita Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD, sebuah kondisi nyata dan melemahkan kesehatan. Mengutip data yang disajikan dalam Laporan Penelitian Sementara Studi Aspek Sosial Ekonomi Paska Tsunami (SASMI) Tahun 2007 – 2008, tampak temuan bahwa individu pada umumnya mengalami trauma selama tsunami. Pada wilayah-wilayah yang terkena paling parah (heavily damaged zone), sebagai contoh, 83 persen responden melaporkan mendengar suara air atau jeritan tentang air ketika tsunami mulai menerjang pantai. Sebanyak 62 persen responden mengalami ketakutan akan hidup mereka dan 25 persen responden menyaksikan sendiri anggota keluarga mereka atau teman mereka berjuang mempertahankan hidup atau menghilang. Tidak mengherankan jika terdapat tingkat reaksi stress paska tsunami (PTSR) yang tinggi di daerah-daerah itu jika dibandingkan dengan daerah yang tidak terkena tsunami (walau angka PTSR juga didapati pada daerah yang sedikit terkena (moderately damaged zone) atau sama sekali tidak terkena (undamaged zone). Lebih jauh lagi, tingkat reaksi stress paska tsunami berkorelasi kuat dengan pengalaman trauma yang dialami akibat tsunami, kehilangan keluarga dan harta benda. Selain itu, dalam studi ini juga disajikan empat pertanyaan yang menunjukkan gejala gangguan stress yaitu merasa kesal jika diingatkan tentang kejadian tsunami, memori mengerikan yang berulang-ulang, kesulitan tidur dan perasaan hati-hati dan sangat was-was (lihat tabel 1). 55 Jurnal Sosiologi DILEMA Tabel 1 Kesehatan Mental: Gejala Gangguan Stress dan Trauma setelah bencana. Persentase jawaban responden menurut tingkat kerusakan – Aceh WAKTU KAPANPUN SETELAH TSUNAMI Merasa sangat kesal keitka diingatkan Memori mengerikan yang berulang-ulang Sulit tidur Hati-hati dan sangat was-was BERAT SEDANG RINGAN 94 66 62 46 87 51 53 74 77 35 42 63 Sumber: Dikutip dari Data SASMI-1 (round B, Mei 2005 sampai Juli 2006) MASIH MERASAKAN PADA WAKTU WAWANCARA Merasa sangat kesal keitka diingatkan Memori mengerikan yang berulang-ulang Sulit tidur Hati-hati dan sangat was-was BERAT SEDANG RINGAN 38 11 7 19 29 6 7 25 14 3 5 19 Sumber: Dikutip dari Data SASMI-1 (round B, Mei 2005 sampai Juli 2006) Tabel 2 Kesehatan Mental: Gejala Depresi (Dalam 4 Minggu Sebelum Diwawancarai). Persentase jawaban responden menurut tingkat kerusakan – Aceh Merasa Terganggu Oleh Hal-Hal Yang Biasanya Tidak Akan Mengganggu Merasa Kesepian Merasa Sedih Kesulitan Dalam Konsentrasi Merasa Kesulitan Dalam Pekerjaan Yang Normal Merasa Mudah Untuk Marah BERAT 3 SEDANG 3 R INGAN 2 8 11 4 2 6 9 4 4 5 7 4 3 4 4 5 Sumber: Dikutip dari Data SASMI-1 (round B, Mei 2005 sampai Juli 2006) Dari semua indikator ini, kecuali untuk perasaan hati-hati dan was-was, di daerah yang rusak berat persentase yang melaporkan mengalami gejala stress lebih tinggi di daerah yang rusak berat. Perasaan kesal kalau diingatkan tentang tsunami sangat menonjol dibanding lainnya. Akan tetapi gangguan ini menurun, mereka yang melaporkan masih mengalami gejala gangguan stress pada saat wawancara persentasinya menurun. Demikian juga mereka yang melaporkan gejala depresi di 56 Tabel 2 dalam 4 minggu sebelum wawancara persentasinya lebih sedikit dan tidak ada perbedaan yang menyolok antara daerah kerusakan berat, sedang dan ringan. Korelasi dalam kesehatan mental menunjukkan bahwa ditempat yang rusak parah, wanita lebih mungkin untuk melaporkan pernah mengalami gejala gangguan stress dan trauma. Sebaliknya beberapa perbedaan status sosial ekonomi timbul berkaitan dengan laporan mengalami gejala trauma dan stress setelah bencana. Di daerah yang Budiarto Eko Kusumo Kesehatan Menta di Aceh Paska Tsunami ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 rusak parah, rumah tangga dengan ekonomi tinggi lebih mungkin untuk melaporkan gejala depresi. Di daerah yang rusak ringan, mereka yang berpendidikan lebih tinggi tidak mungkin untuk mengalami gejala trauma dan stress atau depresi. C. Dampak PTSD Data SASMI-1 memperlihatkan bahwa keadaan kesehatan fisik dan mental di daerah yang berat lebih buruk daripada kesehatan di daerah kerusakan sedang dan ringan. Di daerah yang rusak berat, mereka yang melaporkan pernah mengalami cidera dua kali lipat dari mereka di daerah kerusakan sedang dan ringan. Demikian pula mereka lebih cenderung melaporkan kesehatan fisik dan mental yang memburuk dalam 12 bulan terakhir. Rumah tangga yang miskin sebelum tsunami adalah yang paling mungkin melaporkan penurunan keadaan kesehatan sedangkan di daerah kerusakan ringan mereka yang berpendidikan tinggi terlindungi dari penurunan kesehatan. so sial. Angka 2 sampai 3 persen diperkirakan meningkat (sampai sekitar 3 sampai 4 persen) setelah terpapar trauma dan kehilangan yang berat. Trauma dan kehilangan tersebut dapat menimbulkan kekambuhan penyakit jiwa sebelumnya (misalnya membuat depresi ringan menjadi berat) dan pada sebagian orang menimbulkan bentuk yang parah dari gangguan mental akibat trauma serta dalam kurun waktu tertentu akan mempengaruhi kesehatan fisiknya. Yang pada akhirnya, pro dukt ivit as dalam hidupnya akan melemah sehingga mereka sulit menolong dirinya sendiri unt uk bangkit dari keterpurukan akibat tsunami, utamanya dalam menghasilkan pendapatan/bekerja atau meciptakan lapangan kerja. Selain itu, yang perlu diwaspadai adalah akan munculnya apa yang sering disebut dengan secondary traumatic stress. Secondary traumatic stress merupakan t urunan penyakit mental berat dari tidak segera tertanganinya PTSD secara baik. Tabel 1 Rangkuman Pengukuran Kesehatan dalam 12 bulan terakhir di Aceh. Persentase jawaban responden menurut tingkat kerusakan – Aceh Pernah Mengalami Cidera Kesehatan Fisik Memburuk Kesehatan Mental Memburuk BERAT 15 25 30 SEDANG 7 18 22 RINGAN 5 19 17 Sumber: Dikutip dari Data SASMI-1 (round B, Mei 2005 sampai Juli 2006) Gangguan mental berat cenderung menimbulkan kondisi berat pada fungsi sehari-hari (psikosis, depresi berat, kecemasan yang luar biasa, penyalahgunaan zat yang parah, dan sebagainya) didapati sekitar 2 sampai 3 persen populasi umum di seluruh dunia (data World Mental Health Survey 2000). Orang-orang dengan gangguan ini mungkin t idak dapat melakukan tindakan penyambungan hidup (untuk dirinya atau untuk anak-anaknya); mengalami derita stress yang membuat tidak berdaya; atau tidak dapat ditangani secara Budiarto Eko Kusumo Kesehatan Menta di Aceh Paska Tsunami Dari ratusan penelitian dilaporkan bahwa ternyata individu yang tergolong mengalami trauma bukan hanya korban trauma itu sendiri tapi juga mencakup mereka yang terkena trauma secara tidak langsung (Picket, 1988). Atau dengan kata lain individu tidak dapat mengalami trauma tanpa harus secara fisik berhadapan dengan peristiwa traumatik atau mendapatkan ancaman bahaya secara langsung. Selain itu, hanya dengan mendengar tentang kejadian traumatic itu pun dapat berpotensi untuk membawa kondisi traumatik. Tidak hanya 57 Jurnal Sosiologi DILEMA keluarga dari seseorang yang mengalami trauma yang rentan terhadap trauma sekunder, tetapi juga para pekerja kesehatan mental dan orang-orang lain yang ingin menolong korban (Figley, 1995). Dalam konteks menangani PTSD yang ada di Aceh setelah terjadinya tsunami, kita tidak lagi berbicara soal yang mengalami PTSD maupun yang tidak mengalami, tetapi harus menyeluruh dan melibatkan masyarakat secara luas. Dalam suatu masyarakat di mana sistem kekerabatan sangat kuat, network kekeluargaan dinilai memiliki peran strategis dalam membantu pemulihan di samping lingkungan sosial yang lebih luas. D. Kesimpulan Penanggulangan dampak tsunami perlu dilakukan tidak hanya dengan perbaikan atau pembangunan fisik akan tetapi perlu kebijakan yang terpadu antara pemulihan fisik dan pemulihan kembali kesempatan ekonomi yang akan menunjang kehidupan mereka yang terkena bencana. Kerugian fisik mungkin dapat diatasi dengan pembangunan kembali sarana-sarana yang rusak dalam jangka yang relatif pendek akan tetapi pemulihan kembali individu dari trauma dan stress karena kehilangan apa yang mereka miliki karena bencana memerlukan waktu yang lebih lama. Diperkirakan oleh para peneliti masalah PTSD, pemulihan PTSD bisa memerlukan waktu 8 tahun lebih bagi mereka yang mengalami stress setelah bencana tsunami.*** DAFTAR PUSTAKA BBC 2005a. “Overview: Aceh after tsunami.” Published Feb. 18, 2005. http://news.bbc.co.uk/ go/pr/fr/-/2/asia-pacific/4274747.stm. BBC 2005b. “Trauma risk for tsunami survivors.” Published Feb. 2, 2005. http:// news.bbc.co.uk/go/pr/fr/-/2/asia-pacific/4229233.stm Bufka and Barlow. 2006. dalam http://www.mail-archive.com/ indofirstaid @yahoogroups .com/msg02018.html Figley, C.R. 1995. “Comparison Fatique: An Introduction. Advanced Intervention Methods. Florida State University Traumatology Institute. Kerr, R. 2005. “Model shows island muted tsunami after latest Indonesian quake.” Science.308 (15 April 2005): 341. Lay, T., H. Kanamori, C. Ammon, M. Nettles, S. Ward, R. Aster, S. Beck, S. Bilek, M. Brudzinki, R. Butler, H. DeShon, G. Ekstrom, K. Satake, and S. Sipkin. 2005. “The Great Sumatra-Andaman Earthquake of 26 December 2004.” Scence.308 (20 May 2005): 1127 – 1133. Maramis, Albert (penterjemah). 2005. “Catatan tentang Bantuan Psikososial/Kesehatan Mental untuk Daerah yang Terkena Tsunami.” Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Zat WHO: 16 Februari 2005. http://www.who.int/mental_health/resources/tsunami/en/. Marris, Emma. 2005. “Inadequate warning system left Asia at the mercy of tsunami.” Nature. Published online: 05 January 2005; doi:10.1038/433303a. www.nature.com. Murthy, K.S.R. 2005. “First oceanographic expedition to survey the impact of the Sumatra earthquake and the tsunami of 26 December 2004.” Current Science.88(7): 1038 – 1039. Picket, G.Y.. 1998. Therapist in Distress: An Integrative Look at Burnout, Secondary Traumatic Stress Disorder from Treating the Traumatized. New York: Brunner Mazel, Publisher. Sheble, N. 2005. “Tsunami sensing refined.” Instrument Society of America. Study. “Journal of Exposure Analysis and Evironmental Epidemology. 13:436 -442. Sikoki, Bondan Supraptilah, Cecep Sukria Sumantri, N.W. Suriastini dan Iip Umar Rifai. 2008. “Studi Aspek Sosial Ekonomi Paska Tsunami Tahun 2007 – 2008.” Laporan Penelitian SurveyMeter, Yogyakarta: 16 Juni 58 Budiarto Eko Kusumo Kesehatan Menta di Aceh Paska Tsunami