( Word to PDF Converter - Unregistered ) http://www.Word-to

advertisement
BAB II
PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
A. Sejarah Perkembangan Pesantren
Pesantren secara historis-kultural dapat disebut sebagai salah satu lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren bersamaan dengan proses Islamisasi
yang terjadi di bumi Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi, dan terus
berkembang sampai saat ini. Ketahanan yang ditampakkan pesantren sepanjang
sejarahnya dalam menyikapi perkembangan zaman menunjukkan sebagai suatu sistem
pendidikan. Pesantren mampu menumbuhkan kepercayaan sekaligus menjadi harapan
bagi sementara pada saat ini dan masa depan, sekaligus sebagai motor penggerak dan
pengawal arus perubahan sosial.
Penggunaan Istilah pesantren sehari-hari, biasa disebut dengan pondok saja
atau kedua kata tersebut digabung menjadi satu sehingga disebut pondok pesantren.
M. Arifin, sebagaimana dikutip oleh Mujamil Qomar, mendefinisikan pondok
pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui
oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kompleks) di mana santri-santri
menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya
berada di bawah kedaulatan dari leadership seseorang atau beberapa orang kiai
dengan ciri-ciri khan yang bersifat kharismatik serta independen dalam segala hal.
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, pondok pesantren hampir semuanya tidak
mempunyai satu keseragaman dalarn merumuskan tujuan pendidikannya. Namun
demikian, dalam catatan Manfred Ziemek, tujuan pondok pesantren adalah membentuk
kepribadian, memantapkan akhlak, dan melengkapinya dengan pengetahuan. Adapun
( Word to PDF Converter - Unregistered )
http://www.Word-to-PDF-Converter.net21
menurut Mastuhu, tujuan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan
kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat
dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat.
Embrio lahirnya lembaga pendidikan pesantren sesungguhnya bisa dilacak sejak
periode Walisongo. Namun keberadaan lembaga ini dalam pengertian modern hanya
bisa ditemukan pada abad XVIII dan XIX. Dalam pandangan Abdurahman Mas'ud,
lembaga pendidikan pesantren pada era kolonial cenderung diposisikan sebagai
lembaga yang patut dicurigai karena menjadi basis "latihan para pejuang militan" guna
melawan mereka. Sejalan dengan hal ini, watak pesantren itu sendiri memberikan
kontribusi terhadap kemandirian dan ketahanan akan dominasinya melawan serangan
dari luar. Pesantren pada posisi demikian ini dapat dipandang sebagai sebuah sistem
pendidikan yang unik, dan bisa juga dilihat sebagai sebuah komunitas otonom di
bawah para kiai yang kharismatik, yaitu suatu bagian dari populasi Jawa yang
sungguh-sungguh mempertahankan identitas ke-Islamannya.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan dengan bentuk khas sebagai tempat
di mana proses pengembangan keilmuan, moral, dan keterampilan para santri menjadi
tujuan utamanya. Istilah pesantren berasal dari kata santri dengan awalan "pe" dan
akhiran "an" yang berarti tempat tinggal santri. Kata santri sendiri menurut John
berasal dari Bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Adapun menurut Berg berasal
dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci
agama Hindu atau sarjana ahli kitab agama Hindu.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren memiliki lima elemen penting
yaitu pondok tempat menginap santri, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, dan
kiai. Kelima elemen pondok pesantren di atas merupakan ciri khusus yang dimiliki
pesantren yang membedakannya dengan lembaga pendidikan lainnya. Meskipun kelima
elemen tersebut saling menunjang keberadaan pesantren, namun posisi kiai dalam
praktiknya memegang peranan central dalam dunia pesantren. Bahkan, kebesaran
nama sebuah pesantren juga sangat ditentukan oleh kebesaran nama/kharisma sang kiai
sebagai pemimpin puncaknya. Sebagai faktor determinan di kalangan pesantren,
kiai-lah yang menjadi fondasi kekuatan eksistensi sebuah pesantren. Hal ini karena di
mata santri, figur kiai adalah panutan baginya dan oleh karenanya upaya perubahan
orientasi pengembangan pesantren (modernisasi) akan berjalan efektif kalau dimulai
dari perubahan sang kiai.
Zamachsyari Dhofier berpandangan bahwa pondok pesantren diibaratkan
seperti kerajaan kecil di mana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan
kewenangan (power and authority) di lingkungan pondok pesantren. Oleh sebab itu,
logis kalau dikatakan bahwa penentu arah dan kebijakan pondok pesantren berada
pada kekuasaan otoritas kiai. Dari sini maka jelaslah kalau terjadi suatu proses
personalisasi pondok pesantren oleh figur seorang kiai. Kondisi demikian,
menyebabkan fungsi-fungsi organisasi pondok pesantren pada setiap lininya berjalan
tidak efektif.
Dalam pandangan K.H. Abdurahman Wahid, terdapat tiga elemen dasar yang
membentuk pondok pesantren sebagai subkultur, (1) Pola kepemimpinan pondok
pesantren yang mandiri tidak terkooptasi oleh negara, (2) Kitab-kitab rujukan umum
yang selalu digunakan dari berbagai abad dan (3) Sistem nilai (value system) yang
digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Kepemimpinan kiai di pondok
pesantren sangat unik karena mereka menggunakan sistem kepemimpinan pramodern
dengan mendasarkan pada asas saling percaya. Ketaatan santri kepada kiainya lebih
didasarkan pada sebuah pengharapan yaitu mendapat limpahan barakah (grace).
Sementara itu, elemen kedua yaitu pemelihara/pentransfer khasanah Islam klasik
dengan sistem periwayatan ilmu melalui jalur yang jelas dari pihak-pihak yang dinilai
juga memiliki otoritas keulamaan yang dapat dipertanggungjawabkan, yang sumber
literaturnya sering disebut dengan "kitab kuning". Kemudian sistem nilai yang dianut
pesantren sesungguhnya merupakan refleksi atas nilai-nilai yang dibangun oleh
kalangan salafus s}a>lih} yang diderivasi dari berbagai literatur klasik sebagai sumber
nilainya dengan mendasarkan pada ketaatan kepada para kiai yang diyakini menjadi
sumber barakah.
Tiga elemen pondok pesantren tersebut saling berkaitan satu sama lain dan
tidak dapat dipisahkan. Kini, kepemimpinan kiai merupakan subjek pelembagaan yang
telah ditentukan oleh kalangan pondok pesantren sendiri atau dari pihak luar pesantren
yang akan berimplikasi pada sifat dasar, ruang lingkup, dan bentuk kepemimpinan
pondok pesantren yang unik . Sejarah menunjukkan bahwa pesantren selama ini
berperan sebagai agen ortodoksi yang paling penting, dengan upaya menjaga
kesinambungan ajaran Islam dari tarikan akulturatif budaya lokal dan modern yang
tidak sejalan dengan prinsip umum ajaran Islam. Watak ortodoksi pesantren
menyiratkan eksistensi lembaga ini lebih menampakkan dirinya sebagai komunitas
agama dengan bangunan ajaran yang lebih dogmatis, dan oleh karenanya cara
pandangnya pada umumnya masih 'hitam putih' dalam memaknai suatu persoalan.
B. Orientasi Pendidikan Pesantren
Pada awal rintisannya, pesantren bukan hanya menekankan misi pendidikan,
melainkan juga dakwah. Akan tetapi, misi kedua itulah yang justru menonjol.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia selalu mencari lokasi yang
sekiranya dapat menyalurkan dakwah tersebut tepat sasaran.
Dalam pandangan Abdurahman Mas'ud, ide pemeliharaan kultural yang
berkembang di komunitas santri, merupakan salah satu keistimewaan kultur pesantren
dan agama sebagai ekspresi "Islam kultural" di mana ulama sebagai agents of social
change dalam rangka melanjutkan tradisi Walisongo untuk menerapkan dan
memberikan perhatian lebih terhadap substansi ajaran Islam, yang telah diformulasikan
oleh ulama salaf al-s}a>lih}. Sebagai agen perubahan sosial dan interpreter sejati
ajaran Islam, seorang kiai merupakan figur di pesantren. Dialah yang merupakan
pengarah dunia pesantren dengan supremasi kharismatiknya dan konsistensinya
terhadap prinsip-prinsip religius yang dengan sempurna diikuti oleh para santri.
Pada awalnya, kebanyakan pesantren berdiri lebih didasarkan pada motivasi
dasar hanya untuk mengembangkan keilmuan agama. Dalam kaitan ini, pesantren
memiliki tiga peran yaitu; (1) Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam
tradisional, (2) Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan
(3) Sebagai pusat reproduksi ulama. Dalam kaitan dengan tujuan pendirian pesantren
ini, dalam praktiknya, karakteristik pondok pesantren khususnya ketika dihadapkan
pada tradisi pesantren secara kategoris dibedakan menjadi dua, yaitu pesantren salafi
dan khalafi. Pesantren salafi merupakan pesantren yang masih tetap mempertahankan
kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikannya. Di pondok pesantren yang salafi ini
tidak diajarkan pengetahuan umum. Adapun pesantren khalafi tampaknya menerima
tata nilai baru yang dinilai sesuai dengan hukum Islam. Pesantren khalafi ini biasanya
menggunakan sistem klasikal yang memuat pelajaran agama sekaligus ilmu-ilmu
umum.
Namun demikian, seiring dengan laju perkembangan kehidupan yang kompleks
ditandai dengan lajunya arus modernisasi di berbagai bidang, pesantren dituntut siap
beradaptasi dengan ritme kehidupan. Pada posisi demikian, sebagian pesantren
melakukan perubahan orientasi terutama pada dimensi model pengembangan
pendidikan dan pengajarannya dengan membuka berbagai lembaga pendidikan formal
dan berbagai lembaga pengembangan bakat, minat, serta keterampilan hidup sebagai
bekal para alumninya.
Berkaitan dengan keberadaan pesantren, Kuntowijoyo berpendapat bahwa
komitmen sosial pesantren pada masyarakat telah terbukti bahkan dari abad ke abad.
Pesantren disamping memiliki lingkungan, la juga milik lingkungan. Posisi demikian ini
membuat pondok pesantren sering dijadikan referensi, khususnya dalam memecahkan
masalah agama.
Globalisasi (dengan berbagai implikasi sosialnya) sebagai sebuah produk zaman
telah merasuki seluruh institusi sosial, tak terkecuali pondok pesantren. Apa reaksi
kalangan pondok pesantren terhadap fenomena ini, tentu mengambil sikap yang ragam.
Sudah barang tentu penyikapinnya akan melahirkan tiga kategori penyikapan, yaitu ada
yang membuka kran modernisasi, ada yang menutupnya, dan ada yang mengambil
jalan tengah di antara kedua ekstrem tersebut. Kelompok tengah inilah yang
sesungguhnya
menjadi
mainstream
dengan
mendasarkan
pada
kaidah
"al-muh}a>faz}ah ala al-qadi>m al-s}a>lih} wa al-akhz| bi al-jadi>d al-as}lah}",
yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik dan mengambil hal baru jauh lebih baik
atau maslah}at.
Transformasi pondok
pesantren
dalam upaya
memodernisasi dirinya
merupakan respon kalangan pesantren untuk mendefinisikan dirinya di tengah arus
perubahan. Kaidah dasar yang selalu menjadi acuan kalangan pesantren adalah
"memelihara tradisi lama yang masih dinilai relevan dan pengembangan hal-hal baru
yang tentunya lebih baik". Kaidah ini mengandaikan pesantren sebagai agen perubahan
dengan pendekatan keagamaan. Salah satu ikhtiar yang dilakukan oleh sebagian
pondok pesanten dalam menghadapi arus perubahan adalah membentuk berbagai
alternatif pengembangan di bidang ekonomi dengan mendirikan berbagai institusi
ekonomis. Di samping sebagai instrumen pembelajaran di bidang ekonomi, juga
diharapkan ada impact, baik secara sosial maupun ekonomi terhadap pesantren secara
kelembagaan berupa kemandirian ekonomi pesantren.
Pola dasar pendidikan pesantren terletak pada relevansinya dengan segala
aspek kehidupan. Dalam hal ini, pola dasar tersebut merupakan cerminan untuk
mencetak santrinya sebagai insan yang s}a>lih dan akram. S}a>lih berarti manusia
yang secara potensial mampu berperan aktif, berguna, dan terampil dalam kaitannya
dengan kehidupan sesama makhluk. Akram merupakan pencapaian kelebihan dalam
kaitan manusia sebagai makhluk terhadap Kha>liq-nya untuk mencapai kebahagiaan
akhirat. Visi keduniaan (s}a>lih) dan visi keakhiratan (akram) merupakan dwitunggal
yang integral, yang menuntut orientasi pengembangan keilmuannya tidak melulu ilmu
agama raja tetapi juga perlu dikombinasikan dengan ilmu-ilmu umum. Kemampuan
pesantren untuk mengubah orientasi pengembangan dua ilmu secara proporsional itu
akan mengubah citra pesantren di hadapan masyarakat sebagai lembaga yang terbuka
terhadap arus perubahan.
Dalam Skala makro, sasaran pesantren adalah masyarakat luas. Keberadaan
pesantren di tengah masyarakat sebagai suatu komunitas pada hakikatnya adalah
membangun jalinan nilai spiritualitas dan moralitas sebagai tatanan nilai yang
seharusnya dipraktikkan. Tanggung jawab pesantren adalah memberikan kontrol dan
sekaligus stabilisator perkembangan kehidupan masyarakat yang sering mengalami
ketimpangan kultural. Fungsi dan peran pesantren dalam kaitan dengan arus perubahan
adalah memproyeksikan nilai-nilai transendental dalam tataran praksis sebagai nilai
yang hidup dan dipraktikkan melalui proses pembinaan yang dilakukan secara
sistematis dan simultan.
Salah satu kegiatan pesantren yang dianggap sebagai perkembangan baru
adalah upaya pemberdayaan masyarakat yang selain ini masih digarap secara sporadis
dan insidental. Pesantren yang mampu mengembangkan dua potensinya, yaitu potensi
pendidikan dan potensi kemasyarakatan, diharapkan tidak hanya akan melahirkan
ulama yang berwawasan luas, tetapi juga mempunyai kemampuan untuk beradaptasi
dengan arus perubahan. Kemampuan pesantren untuk melakukan perluasan orientasi
yang tidak hanya terjebak pada pendalaman ilmu-ilmu agama saja, mempersyaratkan
berbagai perubahan visi pesantren yang tidak hanya berurusan pada hal-hal yang
berdimensi spiritual, melainkan ada kesediaan melakukan evaluasi internal untuk
mereposisi peran dan fungsi pesantren. Dalam praktiknya, untuk melakukan
pembaharuan sistem pendidikan di pesantren, terdapat beberapa kendala yaitu kendala
psikologis, politik, pedagogis, dan pembiayaan.
Untuk mengatasi kendala di atas, Nurcholish Madjid sebagaimana dikutip oleh
Ruchman Basori, memetakan beberapa hal pokok di bawah ini:
1. Perubahan pesantren harus dimulai dari dalam, karena tidak ada yang
memimpin perubahan pesantren kecuali "orang dalam".
2. Agar gagasan-gagasan baru tersebut diterima, diperlukan kepemimpinan yang
legitimate.
3. Perubahan yang terjadi hendaknya tidak bersifat radikal dan revolusioner.
4. Perubahan pesantren tidak hanya dengan modal kharisma, tetapi juga
memerlukan skill.
5. Mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas program, sehingga perlu disusun
Skala prioritas terutama pada perombakan kurikulum.
Seiring dengan majunya pembangunan dan teknologi yang merambah seluruh
kehidupan, dunia pesantren dihadapkan pada persoalan internal. Persoalan yang secara
spesifik dihadapi oleh sang kiai sebagai pengasuh adalah terjadinya pergeseran peran
sentral kiai karena masuknya sistem pendidikan klasikal dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi di lingkungan pondok pesantren. Pergeseran itu bisa terjadi karena
kiai tidak lagi satu-satunya sumber pengetahuan di mata santrinya. Di samping itu, kiai
juga dihadapkan pada realitas kebutuhan ekonomi, sehingga bisa saja kiai dihadapkan
pada situasi yang dilematis antara bekerja dan berkorban untuk pendidikan, atau
memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Hal ini sudah barang tentu akan
berkait dengan konsep keikhlasan. Pertentangan antara tuntutan untuk mengabdi dan
mencari nafkah menjadi persoalan tersendiri di dunia pesantren dan inilah situasi yang
mengharuskan pesantren melakukan reorientasi fungsi pendidikan pesantren yang
tidak saja murni lembaga tafaqquh fi al-di>n, tetapi menyeimbangkan antara tafaqquh
fi di>n dan tafaqquh fi> duny>a, suatu pandangan yang berangkat dari tata nilai
transendental "Rabbana> a>ti>\na>-fi dunya> hasanah wa fi al-a>khirati
hasanah".
C. Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat
Pandangan dunia pesantren didasarkan pada keyakinan bahwa manusia pada
dasarnya mencintai yang maru>f (kebaikan) dan membenci yang munkar. Kebaikan
hidup akan tercapai manakala manusia bisa memaknai kehadirannya di muka bumi
sebagai khali>fatulla>h fi al-ard}. Kesadaran akan posisi strategis inilah yang
harusnya menjadi motivasi lahirnya berbagai program yang program
kreatif
dan
inovatif dalam mengarahkan fungsi kekhalifahan manusia di atas bumi sesuai dengan
ajaran agama melalui proses-proses pendidikan. Agar pesantren mampu menegaskan
dirinya sebagai lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat, maka pesantren
dituntut untuk mendesain lembaga pendidikannya sebagai lembaga yang mampu
menyiapkan santrinya sebagai komponen penting dalam pengembangan masyarakat.
Kesadaran akan peran strategi pesantren inilah yang memaksa pesantren untuk
memodernisasi sistem pendidikannya secara integralistik atau terpadu.
Pemikiran tentang kemungkinan pondok pesantren eksis dengan dirinya sendiri
sebagai basis perkembangan masyarakat yang dimulai tahun 1970an, telah
berkembang menjadi suatu gerakan besar bagi transformasi sosial, termasuk pondok
pesantren sendiri. Kemunculan gagasan tentang perlunya pondok pesantren ikut
menggerakkan proses transformasi sosial telah menempatkan pondok pesantren
sebagai salah satu komunitas yang ikut mengawal lajunya arus perubahan sosial.
Secara paradigmatik, pengembangan fungsi dan peran pesantren dalam
konteks pemberdayaan masyarakat berpijak pada tatanan nilai yang diyakini dan
dianut oleh kalangan pesantren yang bermuara pada dua nilai yaitu nilai ilahi dan nilai
insani. Nilai-nilai ilahi merupakan akumulasi doktrinal yang suci yang berisi nilai-nilai
fundamental kehidupan yang tidak berubah-ubah yang bersumber dari sumber
teks-teks otoritatif, baik dalam al-Qur'an ataupun hadis Rasulullah Saw. Adapun
nilai-nilai insani adalah tumbuh atas dasar kesepakatan manusia dan berkembang dari
peradaban umat manusia.
Dengan pola pengembangan pesantren yang terpola dalam dua nilai tersebut,
dapat disimpulkan bahwa nilai agama yang diyakini oleh pesantren mendasarkan pada
dua nilai, yaitu; (1) nilai-nilai kebenaran yang memiliki kebenaran mutlak yang
dominan bercorak fiqh-stifistik; (2) nilai agama yang memiliki kebenaran yang relatif,
bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari
menurut hukum agama.
Tata nilai yang dikembangkan oleh pesantren adalah mendasarkan pada dua
basis nilai yaitu nilai-nilai ilahi dan nilai-nilai insani. Nilai ilahi merupakan nilai yang
transenden yang bersumber dari Allah dan Rasulullah yang berlaku universal dan
menjadi sumber nilai perilaku manusia dalam mencapai fala>h} (kebahagiaan), baik di
dunia maupun di akhirat. Adapun nilai-nilai insani merupakan nilai yang tumbuh atas
kesepakatan manusia serta hidup dan berkembang dengan mendasarkan pada
kemaslahatan bersama. Dialektika kedua tata nilai inilah yang menjadikan dunia
pesantren adaptif terhadap realitas perubahan yang terjadi dan berkembang di tengah
masyarakat.
Beberapa tata nilai yang khas dimiliki pesantren sebagai lembaga pendidikan
yang berbasis masyarakat adalah, nilai teosentris, sukarela dan mengabdi, kearifan,
kesederhanaan, kolektivitas, mengatur kegiatan bersama, kebebasan terpimpin,
mandiri, mengamalkan ajaran agama, dan restu kiai. Beberapa komponen nilai di atas
kalau diimplikasikan dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu nilai kepatuhan dan
kebersamaan.
Pondok
pesantren
sebagai
lembaga
dakwah,
pengkaderan
ulama,
pengembangan ilmu pengetahuan (khususnya agama), dan pengembangan masyarakat,
telah memberikan kontribusi yang besar dalam ikut mendirikan Republik Indonesia ini.
Pada masa awal gerakan kemerdekaan sampai masa pembangunan sekarang ini,
pesantren telah berperan di segala bidang sesuai dengan posisi masing-masing. Dalam
kaitan dengan posisinya sebagai lembaga dakwah, pesantren harus mampu menjadi
transformator dalam pembangunan. Sebagai transformator, pesantren dituntut mampu
mentransformasikan nilai-nilai agama sebagai nilai yang membumi dan dapat
dipraktikkan oleh masyarakat sehingga melahirkan semangat masyarakat untuk
melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik. Adapun sebagai motivator dan
inovator, pesantren harus mampu memberi rangsangan kepada masyarakat untuk
menggerakan potensi yang dimiliki masyarakat agar menjadi masyarakat yang
bermartabat.
Dengan bekal kemandirian dan basis massa yang kuat, pondok pesantren
merupakan elemen penting yang berpotensi untuk mewujudkan masyarakat sipil (civil
society) sebagai pilar demokratisasi. Namun demikian potensi itu akan menjadi
kenyataan ketika pondok pesantren sendiri harus melakukan demokratisasi dari dalam,
sehingga pesan demokratisasi itu tidak hanya sekadar slogan tetapi membumi dan
betel-betel hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan komunitas pesantren. Signifikansi
dari proses perubahan pola relasi sosial pesantren yang feodalistik ke demokratis juga
akan mengubah pencitraan pondok pesantren itu sendiri. Dengan keteguhannya yang
diimbangi denyut fleksibilitasnya dalam merespon arus perubahan sosial, pesantren
akan mudah mengambil pesan strategis dalam proses pemberdayaan sosial. Paling
tidak, dengan menggunakan jaringan alumninya, pesantren sangat memungkinkan
mengembangkan potensi yang dimilikinya, baik potensi keilmuan maupun ekonomi.
Dalam teori sosial, Pengembangan Masyarakat (PM) memiliki fokus terhadap
upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja
sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama, dan kemudian melakukan kegiatan
bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. PM seringkali diimplementasikan dalam
bentuk; (a) proyek-proyek pembangunan yang memungkinkan anggota masyarakat
memperoleh dukungan dalam memenuhi kebutuhannya atau melalui (b) kampanye dan
aksi sosial yang memungkinkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi oleh
pihak-pihak lain yang bertanggungjawab.
Pengembangan masyarakat (community development) terdiri dari dua konsep,
yaitu "pengembangan" dan "masyarakat". Secara singkat, pengembangan atau
pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas
kehidupan manusia. Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor,
yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya. Masyarakat dapat diartikan
dalam dua konsep, yaitu:
1. Masyarakat sebagai sebuah "tempat bersama", yakni sebuah wilayah geografi
yang sama. Sebagai contoh, sebuah rukun tetangga, perumahan di daerah
perkotaan atau sebuah kampung di wilayah pedesaan.
2. Masyarakat sebagai "kepentingan bersama", yakni kesamaan kepentingan
berdasarkan kebudayaan dan identitas. Sebagai contoh, kepentingan bersama
pada masyarakat etnis minoritas atau kepentingan bersama berdasarkan
identifikasi kebutuhan tertentu seperti halnya pada kasus para orang tua yang
memiliki anak dengan kebutuhan khusus (anak cacat fisik) atau bekas Para
pengguna pelayanan kesehatan mental.
Istilah masyarakat dalam konteks pemberdayaan biasanya diterapkan terhadap
pelayanan-pelayanan
sosial
kemasyarakatan
yang
membedakannya
dengan
pelayanan-pelayanan sosial kelembagaan. Pelayanan perawatan manula yang diberikan
di rumah mereka dan atau di pusat-pusat pelayanan yang terletak di suatu masyarakat
merupakan contoh pelayanan sosial kemasyarakatan. Adapun perawatan manula di
sebuah rumah sakit khusus manula adalah contoh pelayanan sosial kelembagaan.
Istilah masyarakat juga sering dikontraskan dengan "negara". Misalnya, "sektor
masyarakat" sering diasosiasikan dengan bentuk-bentuk pemberian pelayanan sosial
yang kecil, informal, dan bersifat bottom-up. Sementara itu, lawannya, yakni "sektor
publik", kerap diartikan sebagai bentuk-bentuk pelayanan sosial yang relatif lebih
besar dan lebih birokratis.
Pengembangan Masyarakat yang berbasis masyarakat seringkali diartikan
dengan pelayanan sosial gratis dan swadaya yang biasanya muncul sebagai respon
terhadap melebarnya kesenjangan antara menurunnya jumlah pemberi pelayanan
dengan meningkatnya jumlah orang yang membutuhkan pelayanan. PM juga umumnya
diartikan sebagai pelayanan yang menggunakan pendekatan-pendekatan yang lebih
bernuansa pemberdayaan (empowerment) yang memperhatikan keragaman pengguna
dan pemberi pelayanan.
Setelah
memperhatikan
pandangan
dan
unsur-unsur
pesantren
yang
dikemukakan oleh beberapa ahli, maka peneliti memberikan definisi pesantren yang
relevan dengan objek penelitian. Jadi, pesantren merupakan lembaga pendidikan non
profit yang memiliki orientasi kesejahteraan dunia dengan menggeluti semua kegiatan
ekonomi yang mengarah kepada kesejahteraan akhirat. Adapun unsur penting yang
harus dimiliki oleh pesantren terkait dengan kesejahteraan adalah; Kyai, santri, kitab
turas| sebagai pegangan, asrama, masjid dan usaha ekonomi.
Usaha ekonomi menjadi unsur penting setelah unsur pesantren yang ada.
Dengan memasukkan usaha ekonomi sebagai unsur pesantren akan memiliki atmosfer
positif dalam mengembangkan pesantren berbasis ekonomi. Sehingga labelling negatif
sebagai lembaga yadul yusra tidak akan melekat pada lembaga terhormat dengan
tugas dan peran yang maha penting yaitu mencetak ulama’ yang peka sosial.
D. Konstruksi Teoritis Pengembangan Ekonomi Pesantren
Secara sosiologis, pesantren mempunyai keunggulan dan kedekatan strategis
untuk memberdayakan masyarakat. Ikatan (emosional, rasional, dan nilai) keagamaan
serta kharisma seorang kiai-ulama bagi masyarakat menjadi faktor yang signifikan
untuk menempatkan pesantren sebagai salah satu motor penggerak lahirnya perubahan
sosial melalui aksi pemberdayaan sosial. Kemampuan pesantren untuk melakukan
ikhtiar pemberdayaan akan efektif kalau ada perubahan cara pandang pesantren yang
tidak hanya berorientasi ke dalam dengan hanya berbicara murni soal agama tanpa
peduli dengan realitas sosial sebagai basis perjuangan yang juga semestinya dilakukan
oleh pesantren. Pesantren dan masyarakat adalah dua entitas yang satu dan padu,
karena bagaimanapun kelahiran pesantren merupakan gambaran dan keinginan
komunitas di mana pesantren didirikan.
Pondok pesantren sebagai pusat pendidikan, sumber kepemimpinan informal
telah menyediakan ruang bagi berbagai kegiatan sosial yang memungkinkannya untuk
mengambil peran pemberdayaan. Kenyataan ini memberikan indikator yang jelas
betapa pesantren dengan tokoh kiainya berusaha melakukan pemberdayaan kepada
masyarakat dengan memberikan berbagai program pendidikan ataupun pelatihan
khususnya pada rakyat kecil, dikala pendidikan hanya mengabdi kepada masyarakat
elit saja dalam rangka penumbuhan masyarakat yang beradab (civil society).
Dalam pandangan Ali Maschan (PW NU Jatim), bahwa tugas pokok kiai
adalah menciptakan kesejahteraan umum melalui penguatan civil society. Peran kiai
dalam proses penumbuhan civil society ini dilakukan melalui dimensi pendidikan,
ekonomi, dan penegakan amar makruf nahi munkar. Secara teknis, upaya itu
dilakukan kiai dengan memberi inspirasi, motivasi, dan stimulasi agar seluruh potensi
masyarakat diaktifkan dan dikembangkan secara maksimal dengan kegiatan pembinaan
pribadi, kerja produktif yang diarahkan pada upaya menciptakan kesejahteraan
bersama.
Dalam konteks pengembangan ekonomi umat, upaya-upaya kiai untuk
melakukan pemberdayaan ekonomi umat telah banyak dilakukan oleh beberapa
pondok pesantren. Berbagai pengembangan ekonomi umat yang berbasis pesantren ini
biasanya mengambil bidang garap pengembangan ekonomi umatnya dengan
mendasarkan pada potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat basisnya. Paling tidak,
beberapa sektor pengembangan ekonomi yang selama ini banyak dikembangkan
bermuara pada empat kategori yaitu pengembangan ekonomi sektor jasa,
perdagangan, agrobisnis, dan peternakan.
Pilihan pada jenis usaha ekonomi apa yang perlu dikembangkan oleh pesantren
tentunya mendasarkan pada realitas objektif potensi ekonomi yang dimiliki oleh
masyarakat sekitar pesantren, sehingga gagasan pengembangan ekonomi yang
dimotori oleh pesantren secara kelembagaan tidak tercerabut dari basis sosial ekonomi
masyarakat sekitar pesantren. Pada posisi demikian, akan lahir pola kerjasama sinergis
antara pesantren dan masyarakat dalam proses pengembangan ekonomi sehingga
mampu menghadirkan realitas baru bahwa pesantren dapat memosisikan sebagai
partner sekaligus icon perubahan untuk penguatan ekonomi masyarakat. Pada saat
yang sama, hasil sinergi tersebut pada akhirnya akan memperkuat basis kelembagaan
pondok pesantren menjadi pesantren yang mandiri dan mempunyai fundamental
ekonomi yang kuat.
Berbicara tentang pemberdayaan ekonomi, pikiran kita dapat dipastikan tidak
hanya dapat terfokus pada dunia materi, tetapi juga nonmateri (nonekonomi) seperti
masalah kesadaran, aktor, dan peran kelembagaan. Hal ini selaras dengan Sudjatmoko
yang mengatakan bahwa
Pembangunan bidang ekonomi bukan semata-mata masalah ekonomi, tetapi
terkait dengan penjelmaan perubahan sosial dan kebudayaan. Dengan kata lain,
membangun aspek ekonomi terkait erat dengan aspek non-ekonomi seperti
perubahan pola pikir, kesadaran, persepsi, dan budaya masyarakat.
Terkait dengan masalah agraria dan transformasi sosial, khususnya keterkaitan
antara ajaran agama dan perkembangan dunia material, penemuan Weber, Berger, dan
Geertz kiranya dapat dijadikan sebagai pijakan dalam penelitian ini.
Weber, dalam karya monumentalnya The Protestan Ethic and The Spirit of
Capitalism mencatat bahwa ajaran Protestan madzhab Calvinis secara signifikan
merangsang dan mendongkrak tumbuh suburnya Kapitalisme Barat. Etika Calvinis
membantu meningkatkan atmosfir keadaan jiwa perekonomian yang kemudian
memunculkan Kapitalisme Barat.
Madzhab Calvinis sebagaimana temuan Weber berkeyakinan bahwa manusia
akan selamat dari murka Tuhan jika manusia selalu memenuhi keinginan Tuhan.
Keinginan Tuhan yang dimaksud antara lain adalah usaha mandiri dan kerja keras.
Pendapat demikian dipercayai Weber sebagai tipe ideal kaum Calvinis. Sukses dalam
dunia bisnis yang dicapai melalui usaha mandiri merupakan "jalan bebas hambatan"
untuk mencapai surga Tuhan. Kerja keras dan usaha mandiri inilah yang dipercayai
Weber sebagai asal-usul bangkitnya kapitalisme.
Orientasi religius baru ini dapat mengubah sikap masyarakat terhadap dunia.
Nilai religius tersebut juga menjadi sikap yang menekankan penguasaan yang lebih
rasional tentang dunia dan transformasinya. Perubahan sikap tersebut membawa
dampak langsung pada dunia material (ekonomi). Dan penyembahan Tuhan dan
jaminan keselamatan manusia, umat manusia diajak untuk menciptakan sistem
ekonomi baru yang berdasarkan pencapaian keuntungan rasional. Walaupun demikian,
Weber menegaskan bahwa kapitalisme tidak berkembang hanya karena agama
Protestan, tetapi tanpa agama dengan nilai semacam itu, kapitalisme tidak akan
berkembang seperti sekarang.
Hal yang harus diperhatikan dalam mencermati perkembangan kapitalisme
adalah adanya peraturan-peraturan yang secara teknis mengikat dan menjamin
keberhasilan kapitalisme. Dengan hukum yang rasional, seorang kapitalis akan dapat
tegak secara hukum. Demikian juga, seorang kapitalis tidak akan berbuat apa-apa jika
peradilan dan pengadilan memutuskan hukum sesuai dengan cara-cara dan teknis yang
meliputi cara perhitungan secara rasional dengan pembuatan neraca, kalkulasi, dan
sebagainya.
Dari uraian di atas dapat dipahami, bahwa proses transformasi sosial menurut
Weber adalah karena adanya beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah pencapaian
"tipe ideal". Dalam hal ini tipe ideal dapat terinspirasi dari ajaran agama maupun ajaran
moral. Tipe ideal adalah contoh model kegiatan-kegiatan sosial yang dipakai dalam
menafsirkan dan memahami tingkah laku manusia. Tipe ideal adalah entitas mental
atau gagasan tentang tindakan. Sebagai contoh dari penjelasan di atas, Weber
menggunakan tipe ideal kapitalisme dan Islam. Dan tipe ideal ini memunculkan ciri-ciri
tingkah laku (baik kapitalis, Protestan, maupun Islam) yang dipilih, dibuang, dan
diperluas untuk membentuk sebuah model tingkah laku.
Adapun yang kedua adalah organisasi otoritas. Secara naluriah manusia ingin
mengejar kepentingan-kepentingan sesuai dengan tipe idealnya maupun kepentingan
materinya. Peran yang dipandang menentukan adalah organisasi-organisasi otoritas.
Melalui fungsi dan peran organisasi otoritas ini akan menjamin dan melegitimasi
maksud (tipe ideal) yang diinginkan. Hukum-hukum rasional ala mereka dapat
dijadikan sebagai sandaran dalam beraktivitas.
Weber
secara
tidak
sadar
menomorsatukan faktor organisasi otoritas sebagai langkah awal transformasi.
Artinya, walau tipe-tipe ideal itu ada dalam masyarakat, tetapi selagi tipe ideal itu tidak
diperjuangkan dengan bantuan organisasi otoritas (terutama otoritas rasional), maka
upaya pencapaian itu tidak akan tercapai dengan maksimal.
Dalam masyarakat Indonesia, agama menjadi spirit pada tahap awal
perkembangan modernisasi ekonomi di beberapa tempat, terutama pesisir utara Jawa
sebagai sentra perdagangan para penyebar Islam di Nusantara.
Selain Weber, terdapat beberapa ahli lain yang menunjukkan etika agama
menjadi pendorong munculnya transformasi ekonomi di beberapa tempat seperti
ditunjukkan oleh Geertz (1963), Castle (1967), Kuntowijoyo (1971), de Jonge (1989),
dan Muhaimin (1990).
Agama memiliki kekuatan yang dapat memberikan legitimasi religius, di
camping dapat menjadi legitimator institusi sosial. Legitimasi religius ini tampak dalam
aktivitas keseharian para pengikut agama tertentu yang menunjukkan kepatuhan dan
kesalihan sebagai wujud dari "ideasi religi" yang terakumulasi dalam tradisi
keagamaan. Adapun legitimasi agama terhadap lembaga-lembaga sosial berupa
pemberian status ontologis yang absah, yakni meletakkan lembaga-lembaga tersebut
dalam suatu kerangka acuan keramat dan kosmik.
Masih terkait dengan agama dan perubahan sosial, karya lanjutan Weber dalam
sosiologi agama memperkuat tesis dasarnya bahwa hanya reformasi protestan-lah yang
mampu menciptakan asketisme duniawi sebagai conditio sin qua non bagi
berkembangnya rasionalitas instrumental ekonomi pasar kapitalistik. Sangat kontras
dengan Protestanisme, karya perbandingannya tentang Islam dipenuhi oleh sikap
skeptiknya tentang kernarnpuan Islam tentang untuk menumbuhkan rasionalitas
instrumental dan orientasi keduniawian bagi para pengikutnya. Menurut Weber, Islam
yang dipenuhi ajaran sufistik dan orientasi petualangan para warrior penyebar Islam
mencegahnya untuk menumbuhkan asketisme duniawi sebagaimana yang terjadi di
Kristen.
Terkait dengan tools of social and economic transformation sebagai sebuah
elemen perubahan sosial, menarik untuk disimak juga temuan Geertz dalam karyanya
The Religion of java dengan subjek penelitian di Mojokuto. Sekalipun menggunakan
frame analisisnya Weber, Geertz melihat sisi lain dari perubahan sosial di Mojokut
Geertz melihat kemiripan semangat kapitalisme dalam umat Islam sebagaimana tradisi
dalam masyarakat Protestan di Barat,
In the light of theories of Max Weber concerning the role of Protestantism in
stimulating the growth of the business community in the West, it is perhaps not
surprising that the leaders in the creation of such a community in Mojokuto are
for the most part intensely reformist Moslem, for the intellectual role of reform
in Islam has at least in some ways, approached the Protestantism in
Christianity. Emphasizing that the systematic and untiring pursuit of worldly
ends may be a religiously significant virtue of fundamental importanc.
Tumbuhnya rasionalisme berarti hilangnya praktik-praktik Magis dan spekulatif
dalam suatu masyarakat. Hasil reformasi yang dilakukan lembaga agama menurut
Weber adalah munculnya suatu pola kehidupan yang konsisten, sistematis, dan etis.
Penemuan Geertz tentang Islam di Jawa menepis temuan Weber sebelumnya
yang mengatakan bahwa spirit Islam bersifat cenderung sufistis, yang menjadi faktor
stagnannya dunia material. Geertz menemukan kenyataan lain di Mojokuto bahwa kita
tidak dapat menafikan pengaruh reformasi Islam yang sedang tumbuh subur di
Indonesia masa 1950an dalam mendorong tumbuhnya sikap rasional di kalangan
pengusaha Muslim perkotaan. Dalam analisisnya tentang perkembangan masyarakat
urban di Mojokuto, Geertz mengamati proses transformasi sosial yang ditimbulkan
oleh usaha sistematis kalangan pengusaha Muslim perkotaan untuk menciptakan bisnis
yang efisien dan akumulasi modal. Perkembangan ini ada dan mirip sebagaimana pada
kasus gerakan Protestanisme yang diamati Weber.
Selain mengakui kemelekatan ekonomi pasar dalam sistem sosio-kultural yang
lebih lugas, Geertz juga percaya bahwa ide tentang pasar, sistem pertukaran, dan
profit-making adalah sesuatu yang pada dasarnya asing bagi orang Jawa. Sementara
itu, dia menginsyafi bahwa perdagangan sedang tumbuh berkembang menjadi bagian
integral dalam struktur ekonomi pasar pribumi yang rasional. Bagi Geertz,
perkembangan pasar yang rasional di Jawa juga ditopang oleh peran birokrasi,
sekalipun Geertz tidak memungkirl bahwa mode produksi utama masyarakat Jawa
adalah pertanian.
Bagi penganut Weberian yang lain, seperti Castle dan Peacock, institusi
legal-rasional adalah determinan lain yang sangat penting bagi munculnya ekonomi
kapitalistik. Institusi legal-rasional ini penting untuk menopang institusi pasar supaya
berfungsi dengan baik. Dia berfungsi untuk menjamin terlaksananya perjanjian kontrak
jual-beli, melindungi hak milik, menyediakan fasilitas publik, dan memberi hukuman
bagi mereka yang melanggar aturan main ekonomi pasar. Lebih dari itu, institusi
legal-rasional adalah produk agregat dari rasionalitas individual. Kerangka ini
mengandaikan sebuah proses perubahan yang linier dari rasionalitas individu ke
institusi legal-rasional. Rasionalitas individu membentuk rasionalitas kolektif dan
rasionalitas kolektif tercermin dalam rasionalitas institusi politik dan birokrasi untuk
menelurkan kebijakan-kebijakan yang mendukung berfungsinya institusi pasar.
Linearitas ini juga terlihat dari ramalannya tentang Indonesia masa depan. Baginya,
rasionalitas individual dan institusional adalah prasyarat bagi apa yang dinamakan
modernisasi.
Pemikiran Soedjatmoko ini selaras dengan Alfian, yakni menekankan
pentingnya posisi kebudayaan. Bagi Alfian, kebudayaan menjadi unsur utama dalam
proses transformasi. Seperti Soedjatmoko, Alfian menekankan fungsi kebudayaan
sebagai acuan nilai dalam menjaring unsur-unsur baru yang relevan dalam proses
transformasi sosial. Pemikiran Soedjatmoko ini selaras dengan Alfian, yakni
menekankan pentingnya posisi kebudayaan. Bagi Alfian, kebudayaan menjadi unsur
utama dalam proses transformasi. Seperti Soedjatmoko, Alfian menekankan fungsi
kebudayaan sebagai acuan nilai dalam menjaring unsur-unsur baru yang releva dalam
proses transformasi sosial.
Secara kelembagaan, pesantren sebagaimana dalam sejarahnya memiliki peran
sentral dalam pengembangan agama Islam di Nusantara. Sebagai sebuah institusi,
lembaga ini dengan kiainya memiliki kekuatan yang mengakar pada masyarakat.
Karena begitu kuat pengaruh kultur pesantren terhadap masyarakat, inovasi dan
pembaharuan yang berasal pesantren akan cepat diserap dan diadopsi masyarakat. Ini
karena pesantren, kalau memakai istilah Berger, sebagai lembaga sosial yang memiliki
legitimasi kuat berdasarkan nuansa agama. Karena legitimasi ini, community
development dalam berbagai bidang, termasuk pengembangan ekonomi masyarakat
akan low resistence, dibanding dengan lembaga yang tidak memiliki legitimasi.
Di sisi lain, Islam sebagai sistem nilai sangat berpengaruh pada perilaku
penganutnya, sebagaimana temuan Geertz yang menyatakan bahwa komunitas muslim
perkotaan memungkinkan untuk mengambil peran-peran dalam pengembangan
ekonomi kiranya relevan untuk dijadikan dasar pijakan dalam merumuskan teori
pengembangan ekonomi pesantren yang notabene institusi pendidikan yang berbasis
agama Islam. Dalam hal ini, Islam oleh Geertz dipandang sebagai faktor determinan
dalam membangun dinamika dunia material yang mendasarkan pada basis pemahaman
perlunya keseimbangan antara dimensi spiritual dengan material, atau antara yang
sakral dan profan.
Dengan mendasarkan pada kerangka teoritis di atas, maka proses penelitian
menjadi terarah dan bisa memaknai setiap fenot riena/fakta sebagaimana adanya untuk
kemudian ditafsirkan menjadi bagian dari temuan ini.
E. Pengertian Strategi Pemberdayaan Ekonomi Pesantren
1. Pengertian Strategi
Strategi berasal dari kata “stratos” dan “ag” yang berarti memimpin, yang
artinya seri atau ilmu untuk manajemen di seorang jenderal. Konsep ini cukup relevan
dengan situasi zaman dulu yang memang sering diwarnai oleh perang, dimana jenderal
butuhkan untuk memimpin suatu angkatan perang agar dapat selalu memenangkan
perang.
Dalam membahas perkataan “strategik” sulit untuk dibantah bahwa
penggunaannya diawali dari dan populer di lingkungan militer. Di lingkungan tersebut
penggunaannya lebih dominan dalam situasi peperangan, sebagai tugas seorang
komandan dalam menghadapi musuh, yang bertanggung jawab mengatur cara atau
taktik untuk memenangkan peperangan.
Di samping keterangan di atas, secara lebih bebas perkataan “strategik sebagai
teknik dapat diartikan juga sebagai “kiat” seorang komandan untuk memenangkan
peperangan yang menjadi tujuan utamanya’. Kondisi itu menunjukkan bahwa selain
strategik, ternyata terdapat unsur tujuan memenangkan perang yang sangat penting
pengaruhnya dan peranannya dalam memilih dan mengarahkan strategik peperangan,
sehingga disebut sebagai “tujuan strategik”.
Menurut Fred R. David dalam buku Strategic Management menjelaskan
bahwa strategi adalah sarana bersama dengan tujuan jangka panjang hendak dicapai.
Strategi bisnis mencakup ekspansi geografis, diversifikasi, akuisisi, pengembangan
produk, penetrasi pasar, pengetatan, divestasi, likuidasi, dan usaha patungan atau join
venture.
Adapun Menurut Stoner, Freeman, dan Gilbert, Jr, konsep strategi dapat
didifinisikan berdasarkan perspektif yang berbeda, yaitu :
a. Dari perspektif yang organisasi ingin dilakukan “ intens to do “
b. Dari perspektif yang organisasi akhirnya dilakukan (eventually does)
Strategi dapat didefinisikan sebagai program untuk menentukan dan mencapai
tujuan organisasi dari pengimplementasian misinya, atau sebagai pola tanggapan dan
respon organisasi. Terhadap lingkungannya sepanjang waktu, strategi memberikan
kesatuan arah bagi semua anggota organisasi, bila konsep strategi tidak jelas, maka
keputusan yang diambil akan bersifat subjektif atau berdasarkan institusi berlaku dan
mengabaikan keputusan yang lain.
Manajemen strategi adalah merupakan sesuatu terus menerus, dan walaupun
pada waktunya harus dipilih titik-titik yang berlainan dengan maksud untuk
pengembalian keputusan hal ini dilakukan sepanjang tahun dan tidak hanya selama
rapat tahunan saja.
Pada umumnya disepakati bahwa penyusunan dan mengkomunikasikan
strategi termasuk dalam kegiatan-kegiatan yang penting dari pada pola pada manajer
pada manajemen puncak. Ross dan Kami dalam buku mereka yang mengupas tentang
kegiatan banyak pemasukan besar di Amerika Serikat mengatakan bahwa “ tanpa
strategi, perusahaan sama seperti sebuah kapal tanpa pengemudi yang berlayar
mengelilingi lingkungan, sama seperti gelandang yang tanpa tujuan pada dasarnya
kedua penulis itu mengatakan bahwa kegagalan perusahan pada umumnya disebabkan
kurang strategi diterapkan secara efektif maka kegagalan hanya soal waktu saja.
Strategi dengan pengakuan tentang pentingnya strategi, banyak pula
kekecewaan yang timbul terhadap strategi, penyusunan dan penerapannya. Seorang
konsultan terkenal pernah meyatakan, terutama sekali dalam perencanaan strategi “
dikebanyakan perusahaan, perencanaan cenderung bersifat akademis merupakan
kegiatan yang tidak didefinikan dengan baik, dengan sedikit atau dampak sama sekali
terhadap laba perusahaan.
Banyak pejabat eksekutif kepada perusahaan telah meremehkan strategi
dengan pertanyaan-pertanyaan seperti perencanaan pada dasarnya hanya merupakan
alat permainan orang-orang staf saja, atau perencanaan strategi, hanya pemborosan
waktu belaka.
Setelah melihat pendapat para ahli manajemen dan unsur-unsur yang terkait
dan dikondinisikan dengan kondisi riil pesantren bahwa strategi itu berupa program
jangka panjang yang dibuat dalam rangka memberdayakan semua potensi yang ada
pada pesantren. Bagaimana sebuah strategi dirancang untuk memenangkan program
yang dibuat sehingga tujuan pemberdayaan untuk menciptakan produktifitas ekonomi
benar-benar terjadi.
Sejumlah perusahaan dan bahkan beberapa badan pemerintahan telah mencoba
menyusun perencanaan strategi tetapi mereka hanya berhubungan dalam hal-hal yang
bersifat umum, studi-studi yang tidak produktif dan program-program yang tidak
sampai pada pelaksanaan praktis. Untuk lebih mengefektifkan pemberdayaan ekonomi
pada pesantren ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain :
2. Analisis SWOT
Sebelum menentukan dan merancang strategi apa yang tepat bagi suatu
perusahaan, maka perusahaan perlu untuk mengidentifikasi keadaan lingkungan sekitar
dari perusahaan. Lingkungan perusahaan yang dimaksud adalah lingkungan internal
dan eksternal perusahaan. Analisa akan situasi lingkungan yang dihadapi oleh suatu
perusahaan dikenal dengan istilah analisa SWOT.
Analisa SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk
merumuskan strategi perusahaan. Analisa ini didasarkan
pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara
bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Analisa SWOT membantu perusahaan dalam mengamati situasi lingkungan
dengan empat elemen tersebut. Analisa SWOT ini menjadi penting bagi perusahaan
untuk dilaksanakan karena situasi lingkungan ini dapat menuntun perusahaan ke arah
strategi yang tepat sehingga perusahaan dapat mempunyai kinerja yang baik dan
keuntungan yang diharapkan atau mengarahkan perusahaan mengambil strategi yang
kurang sesuai dengan keadaan lingkungan sehingga menghasilkan kinerja dan
keuntungan yang tidak sesuai dengan standar perusahaan.
Eksternal
Internal
STREANGH
OPPORTUNITY
THREATH
Comparative
advantige
Mobilization
Divestment/investmen
Damage control
WEAKNESS
Gambar 1. Matrik SWOT Kearns
Pentingnya analisa situasi lingkungan ini tergambar akan banyaknya waktu
yang dihabiskan oleh para manager dalam mengumpulkan informasi-informasi yang
mereka butuhkan akan kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang
dihadapi oleh perusahaan.
Untuk mengetahui peluang dan ancaman perusahaan, perusahaan tidak hanya
mendapatkan informasi lewat sumber informasi yang dipublikasikan seperti laporan
teknik seperti melakukan wawancara akan kunjungan ke perusahaan pesaing, tidak
memberi informasi ke pelanggan baik pelanggan sendiri atau pesaing, mengikuti tur ke
pabrik pesaing atau membeli tempat sampah pesaing. Sedangkan untuk mengumpulkan
informasi tentang kekuatan dan kelemahan perusahaan, para manager dan eksekutif
perusahaan mempelajari laporan tahunan, anggaran, rasio keuangan, laporan rugi laba
ataupun survei yang dilakukan tentang perusahaan baik keadaan kerja ataupun
kepuasan karyawan.
Dalam
analisa
SWOT,
perusahaan
dapat
mengidentifikasi
kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman yang dapat menimbulkan dampak positif dan negatif
bagi perusahaan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar keempat elemen lingkungan
tersebut dapat mendukung dan membantu perusahaan untuk menentukan pilihan atas
strategi yang akan dijalankan dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya. Melalui
lingkungan
eksternalnya,
perusahaan
dapat
melihat
peluang
dan
ancaman
operasionalnya, dimana pada akhirnya perusahaan diharapkan dapat memanfaatkan
peluang-peluang (opportunies) yang ada bagi perkembangan dan pertumbuhan
perusahaan dan pada waktu yang bersamaan perusahaan dapat
mengambil
langkah-langkah sehingga dapat dihadapi perusahaan.
Sementara itu, lingkungan internal dapat menjadi partner yang lebih baik bagi
lingkungan eksternal bagi kelancaran kegiatan perusahaan. Melalui lingkungan
internalnya, perusahaan dapat mempelajari dan memahami kekuatan-kekuatan yang
terapat dalam perusahaan sehingga dirapkan dapat menggunakan kekuatannya dalam
memanfaatkan peluang dan menghindari ancaman.
Pemahaman lebih lanjut atas lingkungan dengan kekuatan dan kelemahan serta
lingkungan internal dengan peluang akan dibahas berikut ini :
1. Lingkungan eksternal (peluang/oppurtunity dan ancaman/threat)
Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan harus mengamati dan menganalisa
lingkungan eksternal perusahaan, seperti ekonomi, budaya politik, domografi,
pemerintah, tren dari kompetisi atau teknologi. Penting untuk diingat bahwa
lingkungan eksternal dapat memperlihatkan peluang ke suatu organisasi akan tetapi
dapat menjadi ancaman ke organisasi lain dalam infustri yang sama karena perbedaan
sumber daya manajemen. Lingkungan eksternal terdiri dari peluang dan ancaman yang
dapat mendukung operasi perusahaan ataupun menghambat suksesnya perusahaan
diluar control organiasasi.
Peluang adalah karakteristik dari lingkungan eksternal yang memberikan nilai
positif kepada perusahaan dengan potensi pencapaian tujuan organisasi atau lebih
baik. Sedangkan ancaman adalah ciri negatif dari lingkungan eksternal yang dapat
menghambat perusahaan dalam mencapai tujuannya. Analisa lingkungan eksternal
biasa disebut dengan the enveronmental scanning atau analisa industri. Analisa
industri mengungkapkan kunci peluang dan ancaman yang dihadapi perusahaan,
sehingga para manager dapat memformulasikan strategi-strategi untuk mengambil
kesempatan atas peluang dan menghindari ancaman.
2. Lingkungan internal (kekuatan/strength dan kelemahan/weakness)menghadapi
lingkungan eksternal dapat dilakukan dengan lingkungan internal perusahaan,
dimana kekuatan-kekuatan perusahaan megambil kesempatan atau peluang dan
menghindari ancaman. Lingkungan internal perusahaan tidak hanya terdiri dari
kekuatan tapi juga terapat kelemahan sebagai bahan dari perusahaan.
Kekuatan perusahaan adalah ciri positif dari perusahaan dimana perusahaan
dapat melakukan dengan baik dengan sumber daya yang memadai dalam mencapai
kinerja perusahaan. Sementara kelemahan perusahaan adalah sisi negatif perusahaan
dimana perusahaan tidak dapat melakukan dengan baik atau kurangnya sumber daya
sehingga menghambat kinerja perusahaan. Kekuatan perusahaan itu dapat menjadikan
perusahaan agar memiliki distinctive competence sehingga posisi kompetisi perusahaan
menjadi lebih baik dari pesaing, seperti unggulnya sistem pemasaran, R&D yang
kreatif, operasi dan produksi yang efektif dan efisien, ataupun moral karyawan yang
baik. Distinctive competence berarti bahwa perusahaan memiliki kekuatan yang unik
sehingga pesaing tidak dengan mudah dapat mengikuti atau membuat imitasinya.
Dalam menganalisa lingkungan internal sebaiknya dilakukan pada setiap fungsional
yang terdapat
dalam perusahaan. Functional audit dapat dijadikan alat penilaian
positif dan negatifnya kontribusi setiap area fungsional.
3. Strategi Pemasaran Syari’ah
Murasa menjelaskan berwirauaha yang unggul yaitu memasarkan citra bisnis
(pemasaran emage) melalui strategi untuk suatu produk tertentu dan diukur menurut
kelayakan usahanya berdasarkan syari’ah. Menurut Ketler dan Amstrong starategi
pemasaran yang dengannya unit usaha berharap dapat mencapai tujuan pemasarannya.
Ismail Yusanto mendefinisikan strategi pemasaran sebagai kumpulan keputusan dan
kebijakan yang digunakan secara epektif untuk mencocokkan program pemasaran
(produk, harga, promosi dan distribusi) dengan peluang pasar sasaran guna mencapai
sasaran usaha. Dalam bahasa yang lebih sederhana, suatu strategi pemasaran pada
dasarnya menunjukkan bagaimana sasaran pemasaran dapat dicapai.
Al-Hasil, pada prinsipnya konsep strategi pemasaran berdasarkan syari’ah
berbeda dengan strategi pemasaran konvensional, hanya saja strategi pemasaran dan
berdasarkan syari’ah dibingkai dengan norma agama Islam. Berbeda dengan
konsep-konsep pemasaran konvensional yang lebih mengarah pada pengertian fisik dan
materi tidak memperhatikan kepada yang dilarang agama. Bagi Islam, strategi
pemasaran berdasarkan syariah yang dilakukan oleh manusia hanya mengejar satu
tujuan yang utama, yaitu al-falah} (keberuntungan) dan kesejahteraan umat. Islam
dirancang sebagai rahmat untuk seluruh umat, untuk menjadikan kehidupan yang lebih
sejahtera dan lebih bernilai, tidak miskin dan menderita.
!$tBur
š»oYù=y™ö‘r&
žwÎ)
ZptHôqy‘ šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
Tarjamahnya
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.
4 $tB ߉ƒÌãƒ ª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9
Nà6ø‹n=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur
߉ƒÌãƒ
öNä.tÎdgsÜãŠÏ9
§NÏGãŠÏ9ur
¼çmtGyJ÷èÏR
öNä3ø‹n=tæ
öNà6¯=yès9
šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ
Tarjamahnya
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan
kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Dalam penafsiran beberapa ulama’ tafsir terkait dengan dua ayat di atas bahwa
Islam hadir sebagai rahmat dan memberikan kemudahan bagi manusia dalam menjalani
hidup. Ima>m Sya’ra>wi> dalam tafsirnya jelas mengatakan bahwa ayat yang pertama
di atas mengungkapkan kasus orang Yahudi yang selalu melanggar janji yang telah
disepakatinya. Lalu, Allah Swt. memberikan rahmat dengan memberikan pengampunan
atas dosa-dosa yang dilakukan supaya mereka terangkat dari kehinaan di dunia dan
akhirat. Demikian juga Ima>m ‘Ala>uddi>n dalam tafsir al-kha>zin mengatakan
bahwa ayat di atas berkaitan dengan perilaku syirik yang dilakukan oleh kaum Qurays
Jahiliyah. Perilaku yang dimaksud adalah jumlah kuantitas patung dan sesembahan
lainnya yang merupakan simbol syaithan yang terkutuk.
Adapun ayat yang kedua tidak ada perbedaan mencolok di antara ulama tafsir
klasik dan kontemporer karena jelas ayat ini berkaitan dengan t}aharah. Term
t}aharah dalam ayat ini tidak dimaksudkan terbatas pada proses menghilangkan
kotoran pada bagian anggota tertentu, tapi taharah mencakup makna yang lebih luas.
Oleh karena itu, baik rahmat dan tidak ada kesulitan dalam melakukan kewajiban
kepada Allah sebagai wujud implementasi konsep Islam yang rahmatan lil’a>lami>n
dan ‘adamul h}araj dalam proses pelaksanaannya.
Al-h}araj pada ayat ke dua memiliki makna kumpulan pohon yang banyak
sehingga menyulitkan untuk menerobosnya. Namun makna al-H}araj yang lain adalah
al-is\mu da ad-d}oyyiqu yang berarti dosa dan kesulitan atau kesempitan. Dalam
strategi pemasaran terutama pemasaran syariah seharusnya menghindari kesulitan
dalam proses pemasaran produk-produknya. Ketertarikan kunsumen atau pun nasabah
tergantung bagaimana pelayanan yang disiapkan oleh perbankan syari’ah atau lembaga
ekonomi syariah lainnya. Tidak adanya h}araj dalam pemasaran syari’ah akan
meningkatkan trust masyarakat dan menghindari sikap anti masyarakat yang sering
muncul diakibatkan oleh pelayanan yang masih terkesan konvensional.
Oleh karenanya konsep strategi pemasaran dalam Islam dapatlah dikatakan
sebagai usaha strategi pemasaran yang berdasarkan Islam disamping meyakinkan dan
memberikan kepuasan konsumen untuk menggunakan produknya, memperoleh laba
dengan cara yang halal dan toyyib juga sebagai kumpulan petunjuk dan kebijakan yang
digunakan secara efektif untuk mencocokkan program pemasaran (produk, harga,
promosi dan distribusi) dengan peluang pasar sasaran tepat guna mencapais sasaran
usaha tidak hanya dalam bentuk materi tetapi juga immateri untuk mewujudkannya
manusia seutuhnya dalam ridha Allah Swt.
Menurut Syafi’i Antonio mendefinisikan strategi pemasaran syari’ah adalah
sebagai alat fundamental yang direncanakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan
mengembangkan keunggulan bersaing yang berkesinambungan melalui pasar yang
dimasuki dan program pemasaran yang digunakan untuk mencapai pasar sasaran
tersebut yang harus bertumpu pada empat prinsip dasar ; ketuhanan (rabba>niyyah),
menjunjung tinggi akhlak mulia (akhla>qiyyah), mewaspadai keadaan pasar yang
selalu berubah (wa>qi’iyyah) dan selalu memartabatkan manusia dan terpola syarat
terbingkai syari’ah dengan inovasi, efisiensi, servis dan responsibility.
Murasa menjelaskan strategi pemasaran syariah diperlukan karena gho>yah
(tujuan) hidup setiap insan adalah mard}a>tillah, maka semua pendekatan itu harus
dimulai dengan niat lillah, yang disinergikan dengan kaifiyyat (cara) berdasarkan
syari’ah. Misalnya, kalau kita berbicara tentang pengganti atas pelarangan bunga atau
riba dan gharar maka instrumen pengganti yang digunakan adalah usaha berbagi laba
dan rugi. Format kerjasama antara pemodal (s}a>h}ib al-ma>l) dan peminjam atau
investor (mud}a>rib) disebut dengan al-mud}a>rabah. Namun demikian, untuk apa
saja usaha itu?
Usaha yang dibolehkan adalah yang menghasilkan komoditi (jasa atau barang)
yang halal dan thayyib. Setiap usaha dengan demikian hanya ditujukan untuk
kemaslahatan umat dan ditempuh melalui instrumen yang tidak menganiaya dan tidak
dianiaya lain orang. Dengan kata lain, fungsi tujuan dari setiap usaha ialah
memaksimumkan pemenuhan kebutuhan dalam perspektif tujuan mard}a>tilla>h.
Masudul Alam Choudury menjelaskan, bahwa ada tiga prinsip dalam
perekonomian islam yang dibutuhkan dalam upaya strategi pemasaran syari’ah :
a) Prinsip Tauhid dan Ukhuwah
Untuk mewujudkan prinsip tauhid dan persaudaraan, Islam melarang riba
dalam segala bentuknya dan menifestasinya dan tidak dibenarkan dalam menzholimi
orang lain saat melakukan strategi pemasaran Syari’ah sehingga terjaga keimananan
dan persatuan semakin erat. Secara tauhidi, Allah Swt. Sebagai pemilik sumber daya
ekonomi telah menentukan bahwa setiap kekayaan adalah untuk kepentingan semua
manusia, sehingga tidak diperkenankan dalam strategi pemasaran adanya unsur riba.
b) Kerja dan Produktifitas
Kerja adalah hak dan sekaligus kewajiban setiap orang, diantara kesuksesan
dalam upaya strategi pemasaran syari’ah yaitu dengan kerja dan produktivitas. Hasil
karya dan produk yang bermanfaat dan dibutuhkan bagi masyarakat merupakan suatu
keharusan. Berkehidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan kebutuhan setiap
individu. Melakukan strategi pemasaran yang sesuaai dengan syari’ah menuntut setiap
insan bekrja dengan cara-cara yang sesuai sah dan halal menuju ridha Allah sebagai visi
dan misi hidup di dunia ini. Dalam berproduksi, aktor muamalah ini mengelola input
produksi berupa tenaga kerja, modal kerja dan investasi. Keluarannya berupa barang
atau jasa yang berharga ketika dipertukarkan di pasar. Ia memperoleh nilai lebih dari
hasil usahanya itu. Upah untuk tenaga kerja dibayarkan sebelum keringatnya
mengering dan besarnya cukup untuk menghidupi keluarganya.
Dalam ekonomi Islam, perspektif kerja dan produktifitas adalah mencapai tiga sasaran,
yaitu :
1) Mencukupi kebutuhan hidup (al-isyba>’)
2) Meraih laba yang wajar (al-irba>h{)
3) Menciptakan kemakmuran lingkungan baik sosial maupun alamiah (al-i’mar)
c) Keadilan Distributif
Keadilan distribusi merupakan simbolisasi kesuksesan wirausahawan setelah
melakukan upaya produksi, menetapkan harga, dan adanya promosi. Namun, yang
dimaksud keadilan distributif bagi Masudul Alam adalah setiap wirausaha hendaknya
memperlihatkan unsur pemerataan distribusi melalui zakat atau sadakah sebagai upaya
pembangkitan ekonomi umat. Dalam Islam, berbagai permasalahan perekonomian
telah dijamin dalam pengoptimalan distribusi, yaitu dengan cara menentukan tata cara
pemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, serta
mensuplai orang yang tidak sanggup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
harta yang bisa menjamin hidupnya dalam rangka mewujudkan keseimbangan dalam
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya diantara sesama.
Dengan demikian Islam telah memecahkan masalah buruknya distribusi
tersebut. Instrumen zakat digunakan untuk menanggulangi kemiskinan dapat
mencakup perluasan kesempatan kerja, kesejahteraan keluarga, rehabilitasi manusia
usia lanjut, asurasni pengangguran, kompensasi bagi yang berkekurangan ketika resesi
dan depresi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa strategi pemasaran syari’ah dapat
diartikan sebagai kumpulan petunjuk dan kebijakan yang digunakan secara efektif
untuk mencocokkan program pemasaran (produk, harga, promosi dan distribusi)
dengan keunggulan kompetitif agar tercapai sasaran usaha dengan berbasis syari’ah
yaitu merubah posisi dari apa adanya (dassaein) kepada apa yang seharusnya
(dassolen) dengan berbasis syari’ah.
Ada empat strategi yang dilakukan sebuah wirausaha dalam menjalankan
kegiatan-kegiatan strategi pemasaran syari’ah.
1. Strategi Produk Syari’ah
Strategi produk bisa berupa barang atau jasa, menurut Kotler dan Amstrong
(1997) produk dapat didefinisikan segala sesuatu yang dapat dtawarkan ke pasaruntuk
mendapatkan perhatian, dibeli, dipergunakan, atau dikonsumsi dan dapat memuaskan
keinginan atau kebutuhan yang meliputi obyek secara fisik, jasa, tempat, organisasi dan
ide.
Strategi produk merupakan unsur paling penting, karena dapat mempengaruhi
strategi lainnya. Strategi produk dapat dilakukan mencakup bauran produk (product
mix), merek dagang (brand), cara pembungkus atau kemasan produk (product
packaging), tingkat mutu atau kualitas dari produk, dan pelayanan (service) yang
diberikan.
Pada dasarnya, produk yang dibeli konsumen dapat dibedakan menjadi tiga
tingkatan yaitu :
a) Produk inti, merupakan inti atau dasar yang sesungguhnya dari produk yang
diperoleh atau didapat oleh konsumen dari produk tersebut.
b) Produk aktual, yang merupakan mutu, desain, sifat, merek dan kemasan yang
menyertai produk tersebut.
c) Produk tambahan, yaitu tambahan produk aktual dengan berbagai jasa yang
menyertainya seperti garansi, pemasangan, purnajual, pemeliharaan dan
pengiriman.
Faktor-faktor yang terkandung dalam suatu produk adalah : mutu/kualitas,
penampilan, pilihan, gaya, merek, pengemasan, jenis produk dan macam produk.
2. Strategi Harga Syari’ah
Strategi harga merupakan salah satu elemen yang paling fleksibel,
menghasilkan pendapatan atau laba dan mewakili seluruh biaya. Menurut Kotler dan
Amstrong, harga adalah jumlah uang yang yang ditagihkan untuk suatu produk atau
jasa. Penetapan harga seyogyanya dilakukan setelah perusahaan memonitor harga yang
ditetapkan pesaing agar harga yang ditentukan kompetitif. Tidak terlalu tinggi atau
sebaliknya.
Faktor yang mempengaruhi secara langsung adalah harga bahan baku, biaya
produksi, biaya pemasaran. Faktor yang tidak langsung harga produk sejenis yang
dijual oleh pesaing, pengaruh harga terhadap hubungan antara substitusi dan produk
komplementer serta potongan para penyalur dan konsumen.
3. Strategi Distribusi Syariah
Saluran distribusi memindahkan barang dari produsen kepada konsumen,
saluran disribusi mengatasi kesenjangan utama dalam waktu, tempat dan kepemilikan
yang memisahkan barang serta jasa dari
mereka yang menggunakan. Tciptono
memberikan
kegiatan
definisi
saluran
distribusi
pemasaran
yang
berusaha
memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada
konsumen, sehingga penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan.
Distribusi adalah kegiatan menyalurkan atau menyebarluaskan barang dari
produsen ke konsumen. Barang-barang yang dihasilkan dalam kegiatan produksi, tidak
ada berarti bila hanya disimpan digudang saja. Oleh sebab itu perlu disebarluaskan
kepada konsumen di berbagai daerah. Komponen akses sangat berpengaruh terhadap
bagaimana usaha dari sebuah perusahaan dalam menjual produk sampai ke konsumen.
Dalam menentukan distribusi syari’ah perusahaan harus mengutamakan tempat-tempat
distribusi yang sesuai dengan norma-norma Islam, bukan tempat judi, asusila,
menjunjung tinggi prinsip keadilan, kejujuran dan tidak zhalim dalam merebut pasar.
Strategi distribusi adalah untuk memastikan bahwa produk tiba dalam kondisi
layak pakai pada tempat yang ditunjuk pada saat diperlukan. Dalam menetapkan
sebuah strategi distribusi syari’ah, wirausaha muslim tidak akan pernah melakukan
tindak kezaliman terhadap pesaing lain dalam melicinkan saluran pasarnya.
4. Strategi Promosi Syari’ah
Strategi promosi menunjukkan pada kegiatan yang dilakukan wirausaha untuk
mengkomunikasikan kebaikan akan produknya, membujuk dan mengingatkan
pelanggan dan konsumen sasaran untuk membeli produk tersebut. Istilah promosi
banyak diartikan sebagai upaya membujuk orang untuk menerima produk, konsep dan
gagasan. Antara promosi dan produk tidak dapat dipisahkan bagaikan dua sejoli yang
saling berdekatan untuk suksesnya pemasaran. Harus ada keseimbangan produk yang
baik sesuai dengan selera konsumen dibarengi dengan teknik promosi yang tepat
sehingga akan sangat membantu terhadap suksesnya usaha pemasaran.
Strategi promosi terdiri dari iklan, penjualan pribadi, promosi penjualan dan
hubungan masyarakat yang digunakan wirausaha untuk mencapai tujuan iklan dan
pemasarannya. Kiat utama strategi promosi adalah sebagai berikut :
a) Periklanan (advertising) : segala bentuk penyajian dan promosi bukan pribadi
mengenai gagasan, barang atau jasa yang dibayar oleh sponsor teretntu.
b) Penjualan pribadi (personal selling) : penyajian pribadi oleh tenaga penjual
warausaha dengan tujuan menjual dan membina hubungan dengan pelanggan.
c) Promosi penjualan (sales promotion) : intensif jangka pendek untuk
mendorong pembelian atau penjualan dari suatu produk dan jasa.
d) Hubungan masyarakat (public relation) : membina hubungan baik dengan
berbagai kelompok masyarakat dengan wirausaha melalui publisitas yang
mendukung, membina “citra perusahaan “ yang baik dan menangani atau
menangkal desas- desus, dan perisiwa yang dapat merugikan perusahaan.
Strategi promosi syari’ah bagi perusahaan haruslah menggambarkan secara riil
apa yang ditawarkan dari produk-produk atau servis-servis perusahaan tersebut.
Promosi yang tidak sesuai dengan kualitas dan komptensi, contohnya promosi yang
menampilkan imajinasi yang terlalu tinggi bagi konsumennya, adalah termasuk dalam
praktik penipuan dan kebohongan tidak ada eksploitasi aurat wanita. Untuk itu,
strategi promosi semacam tersebut sangat dilarang syari’ah marketing.
Syafi’i Antonio menjelaskan keberhasilan strategi promosi syari’ah
haruslah memperhitungkan unsur transendental. Sebab, sekali marketer melakukan
strategi promosi dengan hal-hal yang tidak riil dengan produk yang ada bahkan
menurunkan derajat wanita (dengan mengumbar lekuk dan keindahan tubuhnya)
meskipun ia mampu membuat senyum pelanggan dan sekelompok pria terpuaskan
tetapi dalam hal ini ia telah gagal melakukan strategi promosi ada penipuan dan ada
pihak yang dirugikan yaitu konsumen dan wanita. Sebab dalam melakukan strategi
promosi ada yang unsur penipuan dan tindakannya membuat murka Allah Swt.
Filter syari’ah bukanlah satu-satunya yang menjamin perusahaan atau lembaga
sesuai syari’ah. Murasa menjelaskan agar strategi pemasaran pada wirausaha sesuai
dengan syari’ah, setidak-tidaknya membentuk DNA-artificial chromosom untuk
sebuah wirausaha islami dalam bingkai strategi pemasaran berbasis syari’ah. Dalam
pemasaran syari’ah dikenal adanya empat spirit, yakni :
1. Setiap pemilik wirausaha sepakat untuk berbagi untung dan rugi kepada
s}o>h}ibul ma>l (investor),
2. Mengusahakan komoditi (melalui produk, promosi) yang halal dan tayyib
3. Mengeluarkan zakat (proses distribusi)
4. Memberikan upah sebelum keringat buruh mengering
Keempat spirit DNA inilah yang menjamin berlangsungnya kelestarian
usaha sekaligus ketentraman bagi setiap pelaku wirausaha dihadapan Tuhannya
dan antara sesama manusia dalam lingkungan dan daerahnya.
Skema Kerangka Pikir
Download