BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jepang adalah salah satu negara non-barat yang telah mencapai keberhasilan ekonomi pada tingkat global. Orang Eropa dan Amerika merasa tertarik untuk mengetahui bagaimana Jepang dapat muncul sebagai salah satu negara terkemuka di dunia. Orang barat memiliki pandangan umum yang menyamaratakan negara non-barat tidak akan bisa mencapai kesuksesan seperti apa yang telah dicapai oleh Jepang. Ketertarikan terhadap negara ini semakin diperkuat oleh media masa, peneliti, penulis dan para analisis di seluruh dunia. Seluruh komunitas internasional tertarik dengan negara yang luar biasa ini. Dari automobiles sampai TV set buatan Jepang sudah ada di negara manapun. (Prasol, 2010) Bukan hanya orang Amerika dan Eropa, orang Indonesia pun tertarik dengan rahasia kesuksesan negara sakura ini. Hal itu terbukti dari begitu banyaknya pembahasan tentang ‘rahasia kesuksesan Jepang’ yang dapat kita temukan di internet atau media massa lainnya. Seperti misalnya, Ucu (2011) mengatakan, sudah menjadi rahasia umum bila orang Jepang adalah pekerja keras dan loyal terhadap pekerjaan. Waruwu dalam Ucu (2011) mengatakan setidaknya ada 10 rahasia sukses bangsa Jepang. Salah satu rahasianya adalah “kerja keras”. Bukti dari orang Jepang sebagai pekerja keras terlihat dari waktu kerja mereka yang panjang. Tentunya, orang-orang dapat bekerja dalam waktu panjang karena berbagai alasan seperti; masalah ekonomi, kehidupan pernikahan yang buruk, budaya organisasi, tekanan dari atasan atau keinginan yang kuat untuk mengembangkan karir tanpa menjadi kecanduan kerja alih-alih termotivasi oleh faktor-faktor eksternal atau kontekstual tadi. Akan tetapi, ketika para pekerja mulai merasakan adanya peningkatan tekanan dan kesulitan untuk melepaskan diri dari pekerjaan, mereka bisa menjadi workaholic. (Tabassum dan Rahman, 2012:82) Istilah workaholic terbentuk dari kata “work” dan bentuk gabungan “-aholic” yang berasal dari “alcoholic”. Dalam Oxford Dictionaries Online (2014), sufiks aholic menunjukkan seseorang yang kecanduan akan sesuatu. Sehingga gabungan 1 2 kata workaholic berarti seseorang yang kecanduan akan pekerjaan. Tabassum dan Rahman (2012:82) mengatakan bagi orang awam, workaholism terlihat memiliki persamaan dengan fakta kerja keras yang berlebihan. Sama seperti ungkapan “ketagihan bekerja”, istilah workaholic pada umumnya mengandung konotasi yang negatif. Akan tetapi, Fujimoto (2014:50) mengemukakan bahwa workaholism dapat didefinisikan dengan berbagai cara tergantung dari aspek positif atau negatif yang dilihat. Negara Jepang memegang peringkat ke-2 sebagai negara dengan workaholic terbanyak dengan perkiraan 31,7% orang yang bekerja melebihi 40 jam per minggu. Populasi tertinggi Jepang adalah 127 juta orang dengan produk domestik bruto (PDB) yang bertumbuh hingga 1,9% pada tahun 2012. Dan pendapatan per kapitanya pada tahun 2012 adalah sebanyak $6,107 (Maranjian, 2014). Alasan untuk bekerja dalam waktu panjang di Jepang tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga faktor budaya sosial. Bagi orang Jepang, pekerjaan adalah tujuan akhir dari pekerjaan itu sendiri: itu adalah proses pelaksanaan kewajiban terhadap masyarakat dan diri sendiri sebagai makhluk sosial. Dalam budaya orang Jepang, waktu yang dihabiskan di meja atau tempat kerja adalah pernyataan simbolis atas daya manajerial dan loyalitas terhadap organisasi, karena kerja keras dan usaha dinilai lebih tinggi daripada kemampuan dalam budaya kolektif. Akibatnya, pekerja di Jepang sering diminta untuk kerja lembur secara sukarela. (Shimazu, 2011:401) Dalam pandangan orang luar, cara hidup orang Jepang terlihat sangat unik. Akan tetapi, hal itu dapat dengan mudah dijelaskan dengan adat istiadat yang diturunkan oleh negara dari masa lalu (Prasol, 2011). Beberapa analisis yang berbeda, baik dari dalam maupun luar Jepang, mencoba untuk mengidentifikasi apa yang membuat masyarakat Jepang berbeda dari masyarakat negara lainnya. Kebanyakan orang menyetujui bahwa hati orang Jepang selalu mencari keberadaan wa (和) (Rice, 2004:57). Wa sering diterjemahkan sebagai ‘harmoni’. Wa memiliki makna kedamaian dan pemenuhan di dalamnya, dan merupakan dasar dari bagaimana seharusnya mereka menjalani kehidupan mereka (Rice, 2004:57). Di masa lalu, pada jaman kesukuan, orang Jepang tidak berada dalam posisi untuk menyerang suku-suku tetangga mereka atau pun diserang oleh suku asing. Oleh karena itu, orang Jepang tinggal di kepulauan dalam keharmonisan. Melanggar keharmonisan di dalam 3 masyarakat itu dianggap sama saja dengan tindakan bunuh diri suku (Adhikari, 2005:63). Sebagai salah satu tetangga negara Cina, negara ibu dari budaya Asia, Jepang telah terpengaruh secara mendalam oleh budaya Cina seperti Konfusianisme, Buddhisme dan tulisan Cina selama berabad-abad. Akan tetapi, meskipun memiliki ‘hubungan budaya yang dekat’ dengan Cina, negara Jepang telah mengembangkan ciri budayanya sendiri. Pada umumnya, budaya Jepang dapat didefinisikan sebagai budaya matahari. Budaya inti orang Jepang berpusat pada ‘tata surya’ yang berhubungan dengan nilai-nilai, keyakinan dan norma dalam lingkaran orbit sekitar ‘matahari’ atau konsep inti. Konsep inti yang terletak di pusat sistem tersebut adalah wa (和) (Yokochi dan Hall, 2000:194). Konsep ini mendukung pernyataan Hofstede tentang budaya Jepang yang berorientasi pada kelompok dan kebersamaan (Jandt, 2001:203). Sugimoto juga merangkum tiga pola atau kerangka kerja yang berbeda untuk menjelaskan struktur sosial dan karakter Jepang. Salah satunya adalah penggambaran masyarakat ke dalam hubungan antar grup (Kawanishi, 2009:8). Budaya hirarki ini sudah dapat dilihat sejak jaman Tokugawa, bagaimana kelompok sosial itu terbagi secara ketat menjadi empat kelas : samurai, petani, pengrajin dan pedagang. Setiap kelompok memiliki organisasi, norma dan nilainya sendiri (Yoshino, 1992:68). Hal ini dipengaruhi oleh ajaran konfusianisme yang membentuk hirarki sosial dalam lapisan masyarakat dan menekankan loyalitas pada kelompok masyarakat. Kelompok samurai dan prajurit memiliki posisi tertinggi karena mereka adalah kelompok yang mengatur negara dan memberikan sumber kebajikan moral. Para petani dan pengrajin ditempatkan di posisi menengah karena mereka adalah kelompok masyarakat yang menghasilkan kekayaan nasional. Kemudian, pedagang ditempatkan di posisi yang paling rendah atau terakhir karena mereka hanya memperdagangkan apa yang dihasilkan oleh orang lain (Yoshino, 1992:117). Workaholism di Jepang dianggap sebagai masalah sosial yang serius dan dapat menyebabkan kematian dini, seperti misalnya masalah karoshi ( 過 労 死 ) atau meninggal karena kebanyakan bekerja di Jepang (Supportive System, 2014). Pada awalnya, penulis merasa tertarik untuk membahas karoshi. Akan tetapi, setelah menemukan “workaholism” yang menjadi salah satu faktor penyebab karoshi, 4 penulis memiliki ketertarikan yang lebih jauh untuk mencari tahu penyebab masalah workaholism ini. Kecenderungan sikap workaholism orang Jepang dapat kita temukan dalam film Genkai in a Black Company atau Burakku Kaisha ni Tsutometerundaga, mou Ore wa Genkai Kamoshirenai (ブラック会社に勤めてるんだが、もう俺は限界 かもしれない). Maka dari itu, penulis akan menggunakan film tersebut sebagai korpus data dan meneliti sikap workaholism pada beberapa tokoh dalam film tersebut. 1.2 Masalah Pokok Permasalahan yang akan dianalisa adalah pengaruh budaya Jepang pada kecenderungan workaholism di Jepang dalam film Genkai in a Black Company atau Burakku Kaisha ni Tsutometerundaga, mou Ore wa Genkai Kamoshirenai (ブラッ ク会社に勤めてるんだが、もう俺は限界かもしれない). 1.3 Formulasi Masalah Formulasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah penulis akan menganalisa pengaruh wa pada kecenderungan workaholism di Jepang dan pada struktur sosial dan karakter orang Jepang serta pada elemen dari workaholism dalam film Genkai in a Black Company atau Burakku Kaisha ni Tsutometerundaga, mou Ore wa Genkai Kamoshirenai (ブラック会社に勤めてるんだが、もう俺は 限界かもしれない). 1.4 Ruang Lingkup Pada penulisan skripsi ini, penulis akan menganalisis pengaruh wa pada struktur sosial dan karakter perusahaan pada tokoh Masao dan Abe; dan pengaruh wa pada sikap workaholism dalam tokoh Masao, Uehara dan Fujita serta pengaruh wa pada elemen dari workaholism pada tokoh Masao dalam film Genkai in a Black Company atau Burakku Kaisha ni Tsutometerundaga, mou Ore wa Genkai Kamoshirenai (ブラック会社に勤めてるんだが、もう俺は限界かもしれない). 5 1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaruh wa dalam workaholism di Jepang pada film Genkai in a Black Company atau Burakku Kaisha ni Tsutometerundaga, mou Ore wa Genkai Kamoshirenai (ブラック会社に勤めて るんだが、もう俺は限界かもしれない). Sedangkan manfaat dari penulisan ini adalah sebagai pengetahuan tambahan bagi para pembelajar budaya Jepang di Indonesia. 1.6 Tinjauan Pustaka Schaufeli, Shimazu dan Taris (2009) pernah melakukan peninjauan terhadap workaholism di Belanda dan Jepang. Mereka menggunakan kuesioner dua dimensi (working excessively dan working compulsively) untuk mengukur workaholism di dalam kedua negara tersebut. Dalam penelitian mereka, sampel Jepang dan Belanda yang mereka kumpulkan dan tinjau menunjukkan hasil yang berbeda. Kombinasi bekerja keras dan working compulsively adalah kombinasi yang paling merugikan kesejahteraan pekerja dan dapat menyebabkan burnout (kelelahan) pada pekerja di Belanda. Akan tetapi, bertentangan dengan ekpektasi mereka, rasio semangat, dedikasi (pada relaxed worker dan hard workers) dan absorpsi (hard workers) pada sampel Jepang menunjukkan angka yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok referensi dari workaholism. Hanya rasio semangat pada kelompok pekerja kompulsif yang memenuhi harapan. Mereka memberikan penjelasan bahwa pekerja di Jepang memiliki tingkat work engagement yang relatif tinggi. Mereka membuat spekulasi bahwa workaholic di Jepang lebih cenderung ditekankan untuk memberikan respon yang positif terhadap pekerjaan dengan alasan yang berkaitan dengan budaya seperti hubungan sosial yang saling bergantung antar satu sama lain (di tempat kerja) dan hirarki yang kuat. Di dalam budaya yang saling bergantung dan berkelompok di Jepang, harmoni memegang peranan yang penting. Hal ini berarti, kesejahteraan individu adalah kesejahteraan kelompok. Oleh karena itu, jika salah satu anggota kelompok menghadapi permintaan kerja yang tinggi, yang lain akan secara sukarela ikut membantu. Selain itu, struktur hirarki secara vertikal yang kuat membutuhkan karyawan Jepang untuk menghormati atasan mereka. Hal ini berarti bahwa 6 karyawan yang lebih muda atau bawahan tidak akan pergi sebelum atasan mereka meninggalkan tempat kerja hingga larut malam. Mereka merasa adanya tekanan sosial dan psikologi yang mengharuskan mereka untuk tetap tinggal di kantor dan pura-pura sibuk dengan pekerjaan mereka hingga atasannya meninggalkan tempat kerja. Jadi, dibandingkan Belanda, masyarakat workaholism Jepang yang tekun, pekerja keras dan loyal dinilai sebagai panutan. Sedangkan dalam penelitiannya, Fujimoto (2014) menganalisa bagaimana keterkaitan workaholism dengan kesehatan fisik dan mental pada pekerja di Jepang dengan menggunakan 3 elemen dari workaholism sebagai alat ukurnya yaitu; work enjoyment, driven dan work involvement. Fujimoto mendefinisikan workaholic sebagai seseorang yang bekerja dalam jangka waktu yang panjang. Dalam penelitiannya, Fujimoto menemukan jam kerja yang panjang memiliki hubungan yang lebih tinggi dengan “driven” dan “work involvement” daripada “work enjoyment”. “Driven” dan “work involvement” memiliki hubungan yang relatif kuat antara satu sama lain (i), tetapi memiliki hubungan yang lebih lemah jika dihubungkan dengan“work enjoyment” (ii). Korelasi (i) dapat disamakan dengan aspek negatif dari workaholic (working compulsively dan working excessively), dan korelasi (ii) dapat disamakan dengan aspek positif (work engagement). Kemudian Fujimoto menghubungkan ketiga elemen tersebut dengan kesehatan para pekerja. Fujimoto mendapati “work enjoyment” memiliki dampak yang positif terhadap kesehatan fisik dan mental, tetapi “driven” dan “work involvement” memiliki dampak yang negatif. Terutama dampak negatif yang kuat dari “driven”. Driven adalah perasaaan tertekan yang didapat dari pekerjaan, oleh karena itu driven terbukti memiliki dampak yang konsisten terhadap kesehatan fisik dan mental para pekerja. Fujimoto juga menambahkan, walaupun workaholic juga diketahui sebagai seseorang yang bekerja dalam jangka waktu yang panjang secara sukarela, sifat sukarela ini dianggap memiliki beberapa aspek yang sehat dan tidak sehat. Hasil dari tinjauannya mendapati bahwa orang-orang yang menemukan makna dalam pekerjaan mereka cenderung sehat, yang kontras dengan orang-orang yang bekerja di bawah tekanan (atau dipaksa untuk bekerja) cenderung memiliki kondisi kesehatan mental dan fisik yang buruk. Akan tetapi, hal itu bukan berarti orangorang yang menemukan makna dalam pekerjaan mereka tidak menghadapi resiko 7 kesehatan. Seiring meningkatnya jam kerja, resiko kesehatan yang dihadapi juga meningkat. 8