BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kanker Serviks 2.1.1. Definisi Kanker Kanker adalah sekelompok penyakit yang ditandai oleh pertumbuhan dan perkembangan sel-sel yang tidak terkontrol dan abnormal. Karsinoma dapat dicetuskan oleh faktor eksternal dan faktor internal yang memicu terjadinya proses karsinogenesis (proses pembentukan kanker). Faktor eksternal dapat berupa infeksi, radiasi, zat kimia tertentu, dan juga konsumsi tembakau, sedangkan mutasi (baik yang diturunkan maupun akibat metabolisme), hormon, dan kondisi sistem imun merupakan faktor internal (American Cancer Society, 2008). 2.1.2. Definisi Kanker Serviks dan Anatomi Serviks Karsinoma serviks atau kanker leher rahim adalah karsinoma yang tumbuh di daerah leher rahim (serviks), yaitu suatu daerah pada organ reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk ke arah rahim yang terletak antara rahim (uterus) dengan liang senggama (vagina) (Swierzewski, 1999). Bagian bawah serviks yang terletak di vagina dinamakan porsio uteri (pars vaginalis servisis uteri), sedangkan yang berada di atas vagina disebut pars supra vaginalis servisis uteri. Saluran yang terdapat pada seviks, disebut kanalis servikalis, berbentuk sebagai saluran lonjong dengan panjang 2,5 cm. Saluran ini dilapisi oleh kelenjar-kelenjar serviks, berbentuk sel-sel torak bersilia dan berfungsi sebagai reseptakulum seminis. Pintu saluran serviks sebelah dalam disebut ostium uteri internum, dan pintu di vagina disebut ostium uteri eksternum (Winkjosasto, 2006). 2.1.3. Etiologi dan Faktor Resiko Kanker Serviks Faktor etiologi yang mendapat perhatian adalah infeksi Human Pavilloma Virus (HPV). HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56 dan 58 sering ditemukan pada kanker dan prakanker. HPV dan DNA virus yang menimbulkan proliferasi Universitas Sumatera Utara pada permukaan epidermal dan mukosa. Infeksi virus papiloma sering terdapat pada wanita yang aktif secara seksual (Rasjidi, 2008) Infeksi HPV terjadi dalam persentase yang besar pada wanita yang aktif secara seksual. Kebanyakan dari infeksi virus ini sembuh sempurna dalam beberapa bulan hingga tahun, dan hanya sebagian kecil saja yang berkembang menjadi suatu kanker. Ini berarti bahwa diperlukan faktor-faktor penting lainnya yang harus ada untuk mencetuskan suatu proses karsinogenesis (Garcia, 2009). Faktor resiko terjadinya kanker serviks yang telah dibuktikan antara lain: 1. Hubungan seksual Karsinoma serviks diperkirakan sebagai penyakit yang ditularkan secara seksual, dimana beberapa bukti menunjukkan adanya hubungan antara riwayat hubungan seksual dan risiko penyakit ini. Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita dengan pasangan seksual yang banyak dan wanita yang memulai hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks. Karena sel kolumnar serviks lebih peka terhadap metaplasia selama usia dewasa maka wanita yang berhubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan beresiko terkena kanker serviks lima kali lipat. Keduanya, baik usia saat pertama berhubungan maupun jumlah pasangan seksual adalah faktor risiko kuat untuk terjadinya kanker serviks (Rasjidi, 2008). 2. Karakteristik Pasangan Sirkumsisi pernah dipertimbangkan menjadi faktor pelindung tetapi sekarang hanya dihubungkan dengan penurunan faktor risiko. Studi kasus kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan kanker serviks lebih sering menjalani seks aktif dengan pasangan yang melakukan seks berulang kali. Selain itu, pasangan dari pria dengan kanker penis juga akan meningkatkan risiko kanker serviks (Rasjidi, 2008). 3. Riwayat Ginekologis Walaupun usia menarke atau menopause tidak mempengaruhi risiko kanker serviks, hamil di usia muda dan jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat dapat pula meningkatkan risiko (Rasjidi, 2008). Universitas Sumatera Utara 4. Agen infeksius Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan Human Papilloma Virus (HPV) sebagai penyebab neoplasia servikal. Ada bukti lain yaitu onkogenitas virus papiloma hewan; hubungan infeksius HPV serviks dengan kondiloma dan atipik koilositotik yang menunjukkan displasia ringan atau sedang; dan deteksi antigen HPV dan DNA dengan lesi servikal. HPV tipe 16 dan 11 berhubungan erat dengan displasia ringan yang sering regresi. HPV tipe 16 dan 18 dihubungkan dengan displasia berat yang jarang regresi tapi sering progresif menjadi karsinoma insitu (Rasjidi, 2008). Walaupun semua Virus Herpes Simpleks (HSV) tipe 2 belum didemonstrasikan pada sel tumor, teknik hibridisasi insitu telah mununjukkan bahwa terdapat HSV RNA spesifik pada sampel jaringan wanita dengan displasia serviks. Infeksi Trikomonas, sifilis, dan gonokokkus ditemukan berhubungan dengan kanker serviks. Namun infeksi ini dipercaya muncul akibat hubungan seksual dengan banyak pasangan dan tidak dipertimbangkan sebagai faktor risiko kanker serviks secara langsung (Rasjidi, 2008). 5. Merokok Sekarang ini ada data yang mendukung rokok sebagai penyebab kanker serviks dan hubungan antara merokok dengan kanker sel skuamosa pada serviks (bukan adenoskuamosa atau adenokarsinoma). Mekanisme kerja bisa langsung (aktivitas mutasi mukus serviks telah ditunjukkan pada perokok atau melalui efek imunosupresif dari merokok (Rasjidi, 2008). Fey (2004) menyatakan wanita yang merokok lebih dari 10 batang per hari memiliki risiko tinggi memperoleh lesi prakanker tingkat tinggi. Sedangkan faktor risiko yang diperkirakan untuk terjadinya kanker serviks adalah pemakaian kontrasepsi hormonal. Kontrasepsi hormonal berperan sebagai alat yang mempertinggi pertumbuhan neoplasma. Hal ini terjadi sejak diketahuinya peran estrogen yang memiliki efek trophic dalam meningkatkan pertumbuhan sel. Wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal berupa pil maupun suntikan selama kurang dari lima tahun tidak mengalami peningkatan Universitas Sumatera Utara risiko karsinoma serviks uteri. Namun, peningkatan risiko akan muncul setelah penggunaannya selama 10 tahun (McFarlane-Anderson, 2008). Selain itu, faktor resiko yang diperkirakan adalah, diet, etnis dan faktor sosial juga pekerjaan (Rasjidi, 2008). 2.1.4. Patologi Kanker Serviks Pada mulanya penyakit ini diawali oleh lesi prakanker, yang disebut juga sebagai neoplasia intraepitel serviks/NIS (Cervical Intraepithelial Neoplasia/CIN), merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma serviks uteri yang invasif. Pada lesi prakanker ini, mulai terjadi perubahan struktur sel menjadi abnormal. Sel berubah bentuk dan ukurannya, inti sel membesar, dan sitoplasma sel berkurang (Rasjidi, 2008). HPV adalah anggota famili papoviridae yaitu sekelompok virus heterogen yang memiliki untaian ganda DNA tertutup. Gen virus ini mengkode 6 protein pembaca kerangka pembuka awal (early open reading frame protein), yaitu E1, E2, E3, E4, E6, dan E7, yang berfungsi sebagai protein pengatur. Selain itu, gen virus ini juga mengkode 2 protein pembaca kerangka pembuka lambat (late open reading frame protein) L1 dan L2 yang menyusun kapsid virus. Patogenesis virus HPV genitalis risiko-tinggi dimulai saat virus masuk ke dalam tubuh melalui epitel skuamosa yang mengalami luka mikro saat koitus atau melalui epitel skuamosa yang imatur di daerah zona transisional (T zone) (Garcia, 2009). Pada awalnya virus menempel di permukaan sel, kemudian virus melakukan penetrasi melalui membran plasma sel. Virus memasukkan DNAnya ke dalam sel dan melakukan uncoating atau pelepasan kapsid. DNA virus yang telah memasuki sel kemudian melakukan penyisipan (insertion) pada protoonkogen DNA manusia (Garcia, 2009). Protoonkogen yang telah mengalami mutasi tersebut selanjutnya disebut sebagai onkogen (Sukardja, 2000). Menurut Sukardja (2000) pada sel normal protoonkogen mengkode pembuatan peptida yang merangsang pertumbuhan dan diferensiasi sel, tetapi tidak menimbulkan kanker. Sebaliknya, protoonkogen yang telah mengalami transformasi menjadi onkogen mengkode pembuatan peptida yang dapat menimbulkan kanker. Universitas Sumatera Utara Onkogen tersebut menyebabkan terjadinya mutasi pada gen penekan-tumor (tumor suppressor gene) TP53 (sehingga terjadi degradasi protein p53 melalui pengikatan dengan E6) dan RB (melalui pengikatan dan penginaktivasian protein Rb oleh E7) sehingga sel mengalami resistensi terhadap apoptosis, menyebabkan pertumbuhan sel yang tak terkontrol setelah terjadinya kerusakan DNA. Akhirnya, inilah yang menyebabkan terjadinya malignansi (Garcia, 2009). 2.1.5. Gambaran Klinis Kanker Serviks Kanker serviks umumnya tidak memunculkan gejala hingga sel-sel serviks yang abnormal dan mengganas mulai menginvasi jaringan sekitarnya. Dengan kata lain, gejala baru muncul bila telah terjadi kanker invasif. Disaat ini terjadi, gejala yang umum muncul adalah perdarahan pervaginam yang abnormal, yaitu perdarahan spontan yang terjadi di antara dua siklus menstruasi. Perdarahan ini dapat pula muncul setelah melakukan hubungan seksual akibat tergesernya tumor pada waktu koitus. Perdarahan menstruasi dapat menjadi lebih lama dan lebih banyak daripada biasanya. Pada wanita yang telah menopause, perdarahan abnormal ini yang menjadi keluhan utama dan membawa mereka pergi ke dokter ( American Cancer Society, 2007). Selain perdarahan abnormal, keputihan juga merupakan gejala yang sering ditemukan. Getah yang keluar dari vagina ini makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan. Warnanya pun menjadi kekuningan. Dalam hal demikian, pertumbuhan tumor menjadi ulseratif (Mardjikoen, 2008). Perdarahan spontan saat defekasi dapat pula ditemukan. Hal ini terjadi akibat tergesernya tumor eksofitik dari serviks oleh skibala. Adanya perdarahan abnormal pervaginam saat defekasi perlu dicurigai kemungkinan adanya karsinoma serviks uteri tingkat lanjut (Mardjikoen, 2008). Gejala-gejala hematuria atau perdarahan per rektal timbul bila tumor sudah menginvasi vesika urinaria atau rektum. Jika terjadi perdarahan kronik, maka penderita akan mengalami anemia, kehilangan berat badan, lelah dan gejala konstitusional lainnya (Randall, 2005). Universitas Sumatera Utara Pasien dapat mengeluhkan nyeri yang berat. Nyeri dapat dirasakan saat penderita melakukan hubungan seksual. Nyeri di pelvis atau di hipogastrium dapat disebabkan oleh tumor yang nekrotik atau radang panggul. Bila muncul nyeri di daerah lumbosakral maka dapat dicurigai terjadi hidronefrosis atau penyebaran ke kelenjar getah bening yang meluas ke akar lumbosakral. Nyeri di epigastrium timbul bila penyebaran mengenai kelenjar getah bening yang lebih tinggi (Randall, 2005). Pada pemeriksaan fisik dapat terlihat lesi pada daerah serviks. Beberapa lesi dapat tersembunyi di kanal bagian endoserviks, namun dapat diketahui melalui pemeriksaan bimanual. Semakin lebar diameter lesi maka semakin sempit jarak antara tumor dengan dinding pelvis (Randall, 2005). 2.1.6. Deteksi Dini Kanker Serviks Kanker serviks dapat dicegah dan diobati bila terdeteksi sedini mungkin (Zeller, 2007). Deteksi dini kanker serviks ialah usaha untuk menemukan adanya kanker yang masih dapat disembuhkan, yaitu kanker yang belum lama tumbuh, masih lokal dan belum invasif seperti pada lesi prakanker dan kanker stadium awal. Deteksi dini kanker serviks direkomendasikan bagi seluruh wanita yang telah aktif secara seksual dan dapat dimulai dalam tiga tahun setelah koitus pertama (Zeller, 2007). Rasjidi, (2008) menyebutkan beberapa cara deteksi dini kanker serviks adalah melalui: a. Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat), merupakan metode inspeksi yang sangat sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah (Depkes, 2008). Pemeriksaan ini mendeteksi kanker serviks dengan cara mengoleskan larutan asam asetat 3%-5% pada serviks sebelum melakukan inspeksi visual. Penilaian serviks dilakukan setelah beberapa menit pasca pengolesan larutan asam asetat dengan menggunakan penerangan yang layak. Serviks normal akan terlihat merah muda pada bagian ektoserviks dan kemerahan di bagian endoserviks, sedangkan serviks yang mengalami lesi prakanker akan Universitas Sumatera Utara terlihat putih (acetowhite). Pemeriksaan ini disebut positif bila terdapat area putih di sekitar porsio serviks (Carr, 2004). b. Pemeriksaan Pap smear, merupakan pemeriksaan sitologi untuk mendeteksi kanker serviks. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil contoh sel epitel serviks melalui kerokan dengan spatula khusus, kemudian hasil kerokan diapuskan pada kaca objek. Apusan sel pada kaca objek tersebut selanjutnya diamati di bawah mikroskop oleh ahli patologi (American Cancer Society, 2008). c. Kolposkopi merupakan pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop binokuler dengan sumber cahaya yang terang untuk memperbesar gambaran visual serviks, sehingga dapat membantu diagnosa neoplasia serviks (Rasjidi, 2008). d. Pemeriksaan DNA HPV ini dilakukan berupa pengambilan sampel untuk mengetahui adanya infeksi HPV dengan menggunakan lidi kapas atau sikat. Tes ini lebih berguna bila dikombinasikan dengan pemeriksaan sitologi (Rasjidi, 2008). Menurut Menkes, masalah utama dalam penanggulangan kanker di Indonesia adalah besarnya biaya perawatan dan pelayanan yang lama. Hal ini tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi (economic loss) bagi penderita tetapi juga bagi keluarga dan pemerintah. Selain itu, hingga kini masih dirasakan terbatasnya tenaga kesehatan yang profesional serta sarana dan prasarana pendukungnya (Depkes, 2008). 2.1.7. Stadium Klinis Kanker Serviks Penentuan stadium kanker serviks menurut FIGO (Federation of Gynecology and Obsetrics) masih berdasarkan pemeriksaan klinis praoperatif ditambah dengan foto toraks dan sistoskopi serta erktoskopi (Edianto, 2006). Tabel 2.1. Stadium kanker serviks menurut FIGO 2000 (Edianto, 2006) Stadium 0 Stadium I Stadium Ia Karsinoma in situ, karsinoma intraepithelial Karsinoma masih terbatas di serviks (penyebaran ke korpus uteri diabaikan) Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara Universitas Sumatera Utara Stadium Ia1 Stadium Ia2 Stadium Ib Stadium Ib1 Stadium Ib2 Stadium II Stadium IIb Stadium III Stadium IIIa Stadium IIIb Stadium IV Stadium IVa Stadium IVb mikroskopik, lesi yang dapat dilihat secara langsung walau dengan invasi yang sangat superfisial dikelompokkan sebagai stadium Ib. Kedalaman invasi stroma tidak lebih dari 5 mm dan lebarnya tidak lebih dari 7 mm Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tapi kurang dari 5 mm dan lebar tidak lebih dari 7 mm Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari Ia Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm Besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm Telah melibatkan vagina, tetapi belum melibatkan parametrium Infiltrasi ke parametrium, tetapi belum mencapai dinding panggul Telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan sampai dinding panggul. Kasus dengan hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal dimasukkan dalam stadium ini, kecuali kelainan ginjal dapat dibuktikan oleh sebab lain. Keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum mencapai dinding panggul Perluasan sampai dinding panggul atau adanya hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal Perluasan ke luar organ reproduksi Keterlibatan mukosa kandung kemih atau mukosa rektum Metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul 2.1.8. Pencegahan Kanker Serviks Pencegahan kanker serviks terdiri atas pencegahan primer, dan sekunder. Pencegahan primer berupa menunda onset aktivitas seksual sampai usia 20 tahun dan berhubungan secara monogami akan mengurangi risiko kanker serviks secara signnifikan; penggunaan kontrasepsi barier (kondom, diafragma, dan spermisida) ang berperan untuk proteksi terhadap agen virus. Penggunaan lateks lebih dianjurkan daripada kondom yang dibuat dari kulit kambing; penggunaan vaksinasi HPV yang diberikan kepada pasien dapat mengurangi infeksi HPV karena mempunyai kemampuan proteksi >90% (Rasjidi, 2008). Vaksinasi ini Universitas Sumatera Utara lebih bermanfaat bila diberikan pada wanita yang belum pernah terinfeksi HPV (Mayrand, 2007). Kemudian Stanley (2008) mengatakan bahwa sekarang ini telah tersedia dua vaksin terbaru HPV L1, yaitu produk kuadrivalen HPV 6/11/16/18 dan bivalen HPV 16/18. Proteksi vaksin ini bertahan sampai 5 tahun. Vaksin ini akan menurunkan tetapi tidak mengeliminasi resiko untuk mengalami kanker serviks. Kedua vaksin ini sangat imunogenik dan ditoleransi dengan baik. Pencegahan Sekunder terdiri untuk pasien dengan risiko sedang dan pasien risiko tinggi. Hasil tes Pap’s yang negatif sebanyak tiga kali berturut-turut dengan selisih waktu antar pemeriksaan satu tahun dan atas petunjuk dokter sangat dianjurkan. Untuk pasien (pasangan hubungan seksual) yang level aktivitasnya tidak diketahui, dianjurkan untuk melakukan tes Pap setiap tahun pada pasien dengan risiko sedang. Sedangkan pada pasien risiko tinggi yatiu pasien yang memulai hubngan seksual pada usia <18 tahun dan wanita yang mempunyai banyak pasangan seksual seharusnya melakukan tes Pap tiap tahun, dimulai dari onset seksual intercourse aktif. Interval sekarang ini dapat diturunkan menjadi setiap 6 bulan untuk pasien dengan risiko khusus, seperti mereka yang mempunyai riwayat penyakit seksual berulang (Rasjidi, 2008) Sirkumsisi pada pasangan seksual juga merupakan tindak pencegahan primer karena mampu menurunkan risiko kanker serviks (Castellsagué, 2002). Selain itu, sekarang telah tersedia vaksin imunisasi HPV untuk pencegahan kanker serviks. Namun, bagaimanapun juga vaksinasi tidak dapat menggeser tindakan deteksi dini dan tidak semua wanita dianjurkan melakukan imunisasi ini. Imunisasi ini lebih bermanfaat bila diberikan pada wanita yang belum pernah terinfeksi HPV (Mayrand, 2007). Kemudian, Stanley (2008) mengatakan bahwa sekarang ini telah tersedia dua vaksin terbaru HPV L1, yaitu produk kuadrivalen HPV 6/11/16/18 dan bivalen HPV 16/18. Proteksi vaksin ini bertahan sampai 5 tahun. Vaksin ini akan menurunkan tetapi tidak mengeliminasi risiko untuk mengalami karsinoma serviks uteri. Kedua vaksin ini sangat imunogenik dan ditoleransi dengat baik. Kemudian, bila seorang wanita telah mengalami lesi prakanker maka tindak pencegahan yang dapat dilakukannya adalah tindak pencegahan sekunder, Universitas Sumatera Utara yaitu upaya mencegah timbulnya kerusakan lebih lanjut dengan melakukan pengobatan segera. Sedangkan tindak pencegahan tersier diperuntukkan bagi wanita yang mengalami kanker serviks. Tindak pencegahan terakhir ini bertujuan untuk mencegah munculnya komplikasi akibat penyakit ini (Sukardja, 2000). Universitas Sumatera Utara