25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Gambut 2.1.1 Karakteristik

advertisement
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Gambut
2.1.1 Karakteristik Air Gambut
Air gambut adalah air permukaan yang banyak terdapat di daerah berawa
maupun dataran rendah terutama di Sumatera dan Kalimantan, yang mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut (Kusnaedi, 2006) :
•
Intensitas warna yang tinggi (berwarna merah kecoklatan)
•
pH yang rendah
•
Kandungan zat organik yang tinggi
•
Kekeruhan dan kandungan partikel tersuspensi yang rendah
•
Kandungan kation yang rendah
Warna coklat kemerahan pada air gambut merupakan akibat dari tingginya
kandungan zat organik (bahan humus) terlarut
terutama dalam bentuk asam
humus dan turunannya. Asam humus tersebut berasal dari dekomposisi bahan
organik seperti daun, pohon atau kayu dengan berbagai tingkat dekomposisi,
namun secara umum telah mencapai dekomposisi yang stabil (Syarfi, 2007).
Dalam berbagai kasus, warna akan semakin tinggi karena disebabkan oleh adanya
logam besi yang terikat oleh asam-asam organik yang terlarut dalam air tersebut.
Struktur gambut yang lembut dan mempunyai pori-pori menyebabkannya
mudah untuk menahan air dan air pada lahan gambut tersebut dikenal dengan air
gambut. Berdasarkan sumber airnya, lahan gambut dibedakan menjadi dua yaitu
(Trckova, M., 2005) :
1. Bog
Merupakan jenis lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air hujan dan
air permukaan. Karena air hujan mempunyai pH yang agak asam maka setelah
bercampur dengan gambut akan bersifat asam dan warnanya coklat karena
terdapat kandungan organik.
2. Fen
Merupakan lahan gambut yang sumber airnya berasal dari air tanah yang
biasanya dikontaminasi oleh mineral sehingga pH air gambut tersebut
memiliki pH netral dan basa.
Universitas Sumatera Utara
26
Berdasarkan kelarutannya dalam alkali dan asam, asam humus dibagi
dalam tiga fraksi utama yaitu (Pansu, 2006) :
1. Asam humat
Asam humat atau humus dapat didefinisikan sebagai hasil akhir dekomposisi
bahan organik oleh organisme secara aerobik. Ciri-ciri dari asam humus ini antara
lain:
•
Asam ini mempunyai berat molekul 10.000 hingga 100.000 g/mol (Collet,
2007).
•
Merupakan makromolekul aromatik komplek dengan asam amino, gula
amino, peptide, serta komponen alifatik yang posisinya berada antara
kelompok aromatik (Gambar 2.1).
•
Merupakan bagian dari humus yang bersifat tidak larut dalam air pada kondisi
pH < 2 tetapi larut pada pH yang lebih tinggi.
•
Bisa diekstraksi dari tanah dengan bermacam reagen dan tidak larut dalam
larutan asam.
•
Asam humat adalah bagian yang paling mudak diekstrak diantara komponen
humus lainnya.
•
Mempunyai warna yang bervariasi mulai dari coklat pekat sampai abu-abu
pekat.
•
Humus tanah gambut mengandung lebih banyak asam humat (Stevenson,
1982).
•
Asam humus merupakan senyawa organik yang sangat kompleks, yang secara
umum memiliki ikatan aromatik yang panjang dan nonbiodegradable yang
merupakan hasil oksidasi dari senyawa lignin (gugus fenolik).
Universitas Sumatera Utara
27
Gambar 2.1 Struktur model asam humat berdasarkan Stevenson (1982).
2. Asam fulvat
Asam fulvat merupakan senyawa asam organik alami yang berasal dari
humus, larut dalam air, sering ditemukan dalam air permukaan dengan berat
molekul yang rendah yaitu antara rentang 1000 hingga 10.000 (Collet, 2007).
Bersifat larut dalam air pada semua kondisi pH dan akan berada dalam larutan
setelah proses penyisihan asam humat melalui proses asidifikasi. Warnanya
bervariasi mulai dari kuning sampai kuning kecoklatan. Struktur model asam
fulvik dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Struktur model asam fulvik berdasarkan Buffle (1977)
3. Humin
Kompleks humin dianggap sebagai molekul paling besar dari senyawa humus
karena rentang berat molekulnya mencapai 100.000 hingga 10.000.000.
Sedangkan sifat kimia dan fisika humin belum banyak diketahui (Tan, 1982). Tan
Universitas Sumatera Utara
28
juga menyatakan bahwa karakteristik humin adalah berwarna coklat gelap, tidak
larut dalam asam dan basa, dan sangat resisten akan serangan mikroba. Tidak
dapat diekstrak oleh asam maupun basa.
Perbedaan antara asam humat, asam fulvat dan humin bisa dijelaskan
melalui variasi berat molekul, keberadaan group fungsional seperti karboksil dan
fenolik dengan tingkat polimerisasi (Gambar 2.3)
Humic Substances
(pigmented polymers)
Fulvic acid
Light
yellow
Humic acid
Yellow
brown
Dark
brown
Humin
Grey
black
Black
Increase in intensity of colour
Increase in degree of polymerization
Increase in molecular weight
Increase in carbon content
Decrease in oxygen content
Decrease in exchange acidity
Decrease in degree of solubility
2 000
45 %
48 %
1 400
300 000 ?
62 %
30 %
500
Chemical properties of humic substances (Stevenson, 1982)
Gambar 2.3 Komponen Kimia Humus
Dari Gambar 2.3 diketahui bahwa kandungan karbon dan oksigen, asiditas
dan derajat polimerisasi semuanya berubah secara sistematik dengan peningkatan
berat molekul.
Asam fulvik dengan berat molekul yang rendah memiliki
kandungan oksigen yang lebih tinggi dan kandungan karbon yang rendah jika
dibandingkan dengan asam humat dengan berat molekul yang tinggi. Warna
juga akan semakin tinggi dengan semakin tingginya berat molekul.
Bahan organik tanah dan tanamam berada dalam bentuk koloid. Dan
berdasarkan kemudahan berikatan dengan air maka, bahan organik dapat
dibedakan atas hidrofobik (tidak suka air) dan hidrofilik (suka air). Koloid
hidrofobik dapat diflokulasi, sedangan koloid hidrofilik biasanya tidak. Koloid
tanaman kebanyakan bersifat hidrofilik sehingga sulit untuk dikoagulasi secara
konvensional (Tan, 1991).
Universitas Sumatera Utara
29
Tabel 2.1
No
Karakteristik Air Gambut dari Berbagai Lokasi di Sumatera &
Kalimantan.
Parameter
1
2
3
4
5
Warna
Kekeruhan
DHL
pH
Zat Organik
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kesadahan
Kalsium
Magnesium
Besi
Mangan
Chlorida
SO4
HCO3
CO2 agresif
Satuan
PtCo
mg/L SiO2
µ mho/cm
mg/L
KMnO4
O
D
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
mg/L
Air Gambut
Kalsel
Kalbar
Kalteng
753
32
4.1
527
0
30
3.9
725
0.5
50
3.6
278
2.05
8.83
11.11
-
194
0.48
2.1
5.48
51.4
-
172
5.1
31
Riau
Syarat Air
Minum
Menkes
1315
5
78
5
1125
9
75
4
15
5
6.5-8.5
290
5.5
4.5
20.9
162
11.2
-
243
1.4
6.2
18
80.6
10
500
0.3
0.1
250
400
-
Sumsel
Sumber : Puslitbang Pemukiman (Irianto,1998).
Karakteristik air gambut bersifat spesifik, bergantung pada lokasi, jenis
vegetasi dan jenis tanah tempat air gambut tersebut berada, ketebalan gambut, usia
gambut, dan cuaca. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.1 karakteristik air gambut
dari sebagian wilayah Indonesia yang merupakan hasil penelitian Puslitbang
Pemukiman bekerja sama dengan PAU ITB (Irianto, 1998).
2.1.2 Pengolahan Air Gambut
Karakteristik air gambut seperti yang telah disebutkan di atas
menunjukkan bahwa air gambut kurang menguntungkan untuk dijadikan air
minum bagi masyarakat di daerah berawa. Namun karena jumlah air gambut
tersebut sangat banyak dan dominan berada di daerah tersebut maka harus bisa
menjadi alternatif sumber air minum masyarakat. Kondisi yang kurang
menguntungkan dari segi kesehatan adalah sebagai berikut :
•
Kadar keasaman pH yang rendah dapat menyebabkan kerusakan gigi dan sakit
perut.
Universitas Sumatera Utara
30
•
Kandungan organik yang tinggi dapat menjadi sumber makanan bagi
mikroorganisma dalam air, sehingga dapat menimbulkan bau apabila bahan
organik tersebut terurai secara biologi, (Wagner, 2001).
•
Apabila dalam pengolahan air gambut tersebut digunakan klor sebagai
desinfektan, akan terbentuk trihalometan (THM’S) seperti senyawa argonoklor
yang dapat bersifat karsinogenik (kelarutan logam dalam air semakin tinggi
bila pH semakin rendah), (Wagner, 2001).
•
Ikatannya yang kuat dengan logam (Besi dan Mangan) menyebabkan
kandungan logam dalam air tinggi dan dapat menimbulkan kematian jika
dikonsumsi secara terus menerus (Wagner, 2001).
Metode pertukaran ion menggunakan resin MEIXR dapat menghilangkan
warna sejati air (asam humat dan fulvat) dari 109 Pt-Co menjadi 1 Pt-Co. Dengan
mempertimbangkan sebagian besar pengolahan air di Indonesia masih
menggunakan sistem konvensional. Cara pengolahan air secara konvensional /
pengolahan lengkap (koagulasi – flokulasi – sedimentasi – filtrasi – netralisasi dan
desinfektan) dapat digunakan untuk menghilangkan warna terutama pembentuk
warna semu sekitar
80 %, efisiensi penghilangan warna akan lebih efektif jika
dilakukan modifikasi dan tambahan proses seperti aplikasi karbon aktif, reaksi
redoks, dan koagulan – flokulan aid, (Pararaja, 2007).
Efektifitas proses elektrokoagulasi untuk memindahkan (removing) zat-zat
organik dari limbah rumah potong hewan menggunakan sel-sel elektrolitik
(electrolytic cells) monopolar dan bipolar. Hasil menunjukkan bahwa pencapaian
(performance) terbaik diperoleh menggunakan sistem elektroda baja (mild steel)
bipolar yang dioperasikan pada intensitas arus 0,3 A selama 60-90 menit. Berhasil
menurunkan BOD sebesar 86 ± 1%, lemak dan minyak sebesar 99 ± 1%, COD
sebesar 50 ± 4%, TSS (total suspended solid) sebesar 89 ± 4% dan Turbidity
sebesar 90 ± 4%. Total biaya yang dibutuhkan 0,71 USD $ / m3 limbah rumah
potong hewan, (Asselin, M., 2008).
Menyelidiki efek pH awal untuk menurunkan unsur-unsur humus dari air
limbah dengan proses elektrokoagulasi. Efek dari pH awal pada sistem
elektrokoagulasi bisa duakali lipat, yaitu distribusi produk hidrolisis aluminium,
transformasi unsur-unsur humus yang terkait ke pH awal dan akhirnya efek dari
Universitas Sumatera Utara
31
lapisan gel khususnya pada konsentrasi unsur-unsur humus yang tinggi dan pH
awal yang tinggi yang dibentuk pada permukaan anoda. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa konsentrasi awal unsur-unsur humus dan pH awal sangat
efektif pada efisiensi dan tingkat penurunan. pH awal air limbah telah disesuaikan
5,0 dan efisiensi penurunan yang tinggi telah diamati. Sehingga sistem
elektrokoagulasi akan dioperasikan pada pH rendah yaitu 5,0 pada konsentrasi
unsur-unsur humus yang tinggi, (Koparal, A.S., 2008).
Pengolahan air gambut yang dilakukan dengan mengkombinasikan larutan
tawas dan metode elektrokoagulasi yang kemudian di ujicoba ke model. Sebelum
proses elektrokoagulasi berlangsung, air gambut terlebih dahulu dicampur dengan
larutan tawas (tawas yang dikomersialkan dengan mutu 17 %) sebanyak 10 ml/l
air gambut (kadar 1000 ppm). Proses elektrokoagulasi berlangsung optimum
dengan waktu elektrokoagulasi 45 menit dengan memberikan tegangan pada
elektroda aluminium sebesar 12 volt dan kecepatan alir 1 L/menit. Hasil uji coba
ke model diperoleh persentase penurunan warna sebesar 91,79 % (dari 94,295 PtCo menjadi 7,746 Pt-Co), dan kekeruhan sebesar 98,68 % (dari 72,43 NTU
menjadi 0,953 NTU) (Susilawati, et al., 2009).
2.1.3
Alternatif Proses Pengolahan Air Gambut
Berdasarkan pada pengetahuan tentang penyebab dan kandungan warna
pada air gambut dan sifat-sifatnya, maka proses dan metode pengolahan yang
dapat diterapkan untuk mengolah jenis air berwarna alami adalah :
Proses
oksidasi,
Proses
Proses
adsorpsi,
Proses
Koagulasi
–
Flokulasi,
dan
elektrokoagulasi.
1. Proses Oksidasi
Proses oksidasi untuk pengolahan air berwarna (yang mengandung
senyawa organik) yang dapat dianjurkan adalah dengan ozon atau peroksida,
karena tidak menghasilkan suatu ikatan atau senyawa yang berbahaya (dapat
menguraikannya sehingga mudah terurai dan menguap). Ozon atau peroksida
dikenal sebagai oksidator yang kuat yang dapat digunakan dalam pengolahan air
sehingga ikatan polimer dan monomernya akan terputus dan akan membentuk
Universitas Sumatera Utara
32
CO2 dan H2O apabila oksidasinya sempurna. Namun dalam aplikasinya biaya
operasi relatif mahal, dan perlu digunakan unit penghasil ozon.
2. Proses Adsorpsi
Adsorbsi merupakan fenomena fisika dimana molekul-molekul bahan
yang diadsorpsi tertarik pada permukaan bidang padat yang bertindak sebagai
adsorban. Dengan demikian jelas bahwa adsorpsi merupakan fenomena bidang
batas, yang efisiensinya makin tinggi apabila luas bidang permukaan adsorban
makin besar (Schnitzer, 1992). Ditinjau dari segi derajat adsorpsi pada suatu jenis
adsorban secara umum mengikuti aturan sebagai berikut (Cahyana, 2009) :
•
Adsorpsi berlangsung sedikit terhadap semua senyawa organik, kecuali
senyawa berhalogen (F, Br dan Cl).
•
Adsorpsi berlangsung baik pada semua senyawa berhalogen dan senyawa
alifatik.
•
Adsorpsi berlangsung sangat baik terhadap semua senyawa aromatik, makin
banyak kandungan inti benzennya makin baik adsorpsinya.
Berdasarkan kriteria di atas maka, pengolahan air berwarna (air gambut) dapat
dilakukan dengan cara adsorpsi karena asam humus mempunyai gugus senyawa
aromatik. Namun secara umum proses inipun masih mahal.
Dalam pengolahan air gambut dengan proses adsorpsi pada perinsipnya adalah
menarik molekul asam-asam humus ke permukaan suatu adsorben. Contoh
adsorben yang biasa digunakan adalah karbon aktif (charcoal), zeolit, resin, dan
tanah liat dari lokasi sumber air gambut.
3. Proses Koagulasi – Flokulasi
Proses koagulasi yang diiringi dengan proses flokulasi merupakan salah
satu proses pengolahan air yang sudah lama digunakan. Proses ini penting untuk
penyisihan warna dan organik (Amirtarajah dan O’melia, 1999). Definisi
koagulasi sebagai proses cukup banyak tapi dari laporan Fearing et al, (2004)
dapat disimpulkan menjadi tiga :
1. Proses untuk menggabungkan partikel kecil menjadi agregat yang lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
33
2. Proses penambahan bahan kimia ke dalam air untuk menghasilkan spesies
kimia yang berperan dalam destabilisasi kontaminan dan meningkatkan
kemungkinan penyisihan.
3. Proses untuk menggabungkan partikel koloid dan partikel kecil menjadi
agregat yang lebih besar dan dapat mengadsorb material organik terlarut ke
permukaan agregat sehingga dapat mengendap.
Partikel koloid yang terkandung dalam air alam umumnya mempunyai muatan
negatif, sehingga koagulan yang diperlukan adalah yang bermuatan positif.
Koagulan yang umum digunakan dalam pengolahan air adalah garam aluminium
seperti alum.
Flok-flok yang terbentuk pada umumnya juga mempunyai kemampuan
adsorpsi yang cukup besar. Sehingga pada saat yang bersamaan dengan
pembentukan dan penggabungan mikroflok akan terjadi proses adsorpsi dan
pemerangkapan bahan-bahan terlarut dalam air, dan akan ikut tersisih dalam
proses pengendapan dan penyaringan. Sedangkan pada air berwarna alami atau air
gambut konsentrasi bahan koloid atau partikel tersuspensi lainnya umumnya
sangat rendah. Sehingga ada pendapat mengatakan bahwa sesungguhnya proses
koagulasi dan flokulasi yang dilaksanakan pada air berwarna tidak lain adalah
melaksanakan proses adsorpsi dengan bantuan penambahan bahan kimia
(Notodarmojo, 1994).
2.2 Proses Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi merupakan metode pengolahan air secara elektrokimia
dimana pada anoda terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam (biasanya
alumunium atau besi) ke dalam larutan, sedangkan pada katoda terjadi reaksi
elektrolisis berupa pelepasan gas Hidrogen (Holt et al., 2004). Menurut Mollah
(2004), elektrokoagulasi adalah proses kompleks yang melibatkan fenomena
kimia dan fisika dengan menggunakan elektroda untuk menghasilkan ion yang
digunakan untuk mengolah air limbah.
Sedangkan elektrokoagulasi menurut
Ni’am (2007), adalah proses penggumpalan dan pengendapan partikel-partikel
halus dalam air menggunakan energi listrik. Proses elektrokoagulasi dilakukan
Universitas Sumatera Utara
34
pada bejana elektrolisis yang didalamnya terdapat dua penghantar arus listrik
searah yang disebut elektroda, yang tercelup dalam larutan elektrolit.
Gambar 2.4 Perinsip proses elektrokoagulasi (Ni’am, 2007)
Apabila dalam suatu larutan elektrolit ditempatkan dua elektroda dan
dialiri arus listrik searah, maka akan terjadi peristiwa elektrokimia yaitu gejala
dekomposisi elektrolit, yaitu ion positif (kation) bergerak ke katoda dan menerima
elektron yang direduksi dan ion negatif (anion) bergerak ke anoda dan
menyerahkan elektron yang dioksidasi. Sehingga membentuk flok yang mampu
mengikat kontaminan dan partikel-partikel dalam limbah.
Diidentifikasikan terdapat tiga proses mendasar yang terjadi dalam
elektrokoagulasi, yaitu elektrokimia, koagulasi dan flotasi. Ketiga proses ini dapat
digambarkan
dengan
diagram
Venn
dimana kombinasi
dari
ketiganya
menghasilkan teknologi elektrokoagulasi, sedangkan kombinasi yang lain
menghasilkan teknologi yang berbeda (Gambar 2.5).
Elektrokoagulasi bukan merupakan teknologi baru, dari literatur yang ada
menunjukkan bahwa teknologi ini telah ditemukan lebih dari seratus tahun yang
lalu. Contoh aplikasi yang ada misalnya adalah pada akhir abad ke -19, telah
terdapat beberapa instalasi pengolahan air bersih yang cukup besar di London
yang mempergunakan teknologi ini (Matteson et al, 1995 dalam Holt et al, 2004).
Universitas Sumatera Utara
35
Gambar 2.5 Diagram Venn (Holt et al, 2004)
Sementara instalasi pengolahan lumpur secara elektrolisis dioperasikan
dibeberapa tempat di Amerika Serikat pada awal tahun 1911 yang memiliki
ukuran yang serupa dengan instalasi pengolahan air limbah pada masa tersebut
(Vik et al., 1984 dalam Holt et al., 2004). Namun sejak tahun 1930-an semua
instalasi tersebut tidak dioperasikan lagi dikarenakan biaya operasional yang
tinggi dan adanya alternatif lain berupa penggunaan bahan kimia sebagai
koagulan (Holt et al., 2004).
Pada massa sekarang penggunaan teknologi elektrokoagulasi mulai
dikembangkan kembali untuk meningkatkan kualitas effluen air limbah.
Elektrokoagulasi digunakan untuk mengolah effluen dari beberapa air limbah
yang berasal dari industri makanan, limbah tekstil, limbah rumah makan, limbah
yang mengandung senyawa arsenik, air yang mengandung flourida, dan air yang
mengandung partikel yang sangat halus, bentonit dan kaolinit.
Untuk pertimbangan penentuan penggunaan elektrokoagulasi maka
Mollah (2001) telah memberikan gambaran tentang keuntungan dan kerugiannya.
Keuntungan dari penggunaan elektrokoagulasi adalah sebagai berikut :
1. Elektrokoagulasi
membutuhkan
peralatan
yang
simpel
dan
mudah
dioperasikan.
Universitas Sumatera Utara
36
2. Air yang diolah dengan elektrokoagulasi menghasilkan effluen yang jernih,
tidak berwarna dan tidak berbau.
3. Flok yang terbentuk pada elektrokoagulasi memiliki kesamaan dengan flok
yang berasal dari koagulasi kimia. Perbedaannya adalah flok dari
elektrokoagulasi berukuran lebih besar dengan kandungan air yang sedikit,
lebih stabil dan mudah
dipisahkan secara cepat dengan filtrasi.
4. Effluen yang dihasilkan elektrokoagulasi mengandung TDS (Total Dissolved
Solid) dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan pengolahan
kimiawi.
5. Proses elektrokoagulasi mempunyai keuntungan dalam mengolah partikelpartikel koloid yang berukuran sangat kecil, sebab diaplikasikan medan
elektrik
dengan gerak yang lebih cepat, sehingga proses koagulasi lebih
mudah terjadi dan lebih cepat.
6. Proses elektrokoagulasi jauh dari penggunaan bahan kimia sehingga tidak
bermasalah dengan netralisasi kelebihan bahan kimia, dan tidak ada polusi
yang kedua yang disebabkan substansi-substansi kimia yang ditambahkan
pada konsentrasi yang tinggi.
7. Produksi gelembung-gelembung gas selama elektrolisis dapat membawa
polutan-polutan yang diolah untuk naik ke permukaan (flotasi) dimana flok
tersebut dapat dengan mudah terkonsentrasi, dikumpulkan dan dipisahkan
(removed).
8. Perawatan reaktor elektrokoagulasi lebih mudah karena proses elektrolisis
yang terjadi cukup dikontrol dari pemakaian listrik tanpa perlu memindahkan
bagian-bagian didalamnya.
9. Teknologi elektrokoagulasi dapat dengan mudah diaplikasikan di daerah yang
tidak terjangkau layanan listrik yakni dengan menggunakan panel matahari
yang cukup untuk terjadinya proses pengolahan.
Sedangkan kerugian dari penggunaan elektrokoagulasi adalah :
1. Elektroda yang digunakan dalam proses pengolahan ini harus diganti
secara teratur.
2. Terbentuknya lapisan di elektroda dapat mengurangi efisiensi pengolahan.
Universitas Sumatera Utara
37
3. Penggunaan listrik kadangkala lebih mahal pada beberapa daerah.
4. Teknologi ini membutuhkan konduktivitas yang tinggi pada air limbah yang
diolah.
2.2.1 Mekanisme Dalam Elektrokoagulasi
Reaktor elektrokimia merupakan sebuah sel elektrokimia dimana kutub
anoda yang berupa logam (biasanya alumunium atau terkadang besi) dimana ion
logam yang terlepas berfungsi sebagai agen koagulan. Dan secara simultan terjadi
gelembung gas hidrogen di kutub katoda.
Elektrokoagulasi mempunyai kemampuan untuk mengolah berbagai
macam polutan termasuk padatan tersuspensi, logam berat, tinta, bahan organik,
minyak dan lemak, ion dan radionuklida. Karakteristik fisika kimia dari polutan
mempengaruhi mekanisme pengolahan misalnya polutan berbentuk ion akan
diturunkan melalui proses presipitasi sedangkan padatan tersuspensi yang
bermuatan akan diabsorbsi ke koagulan yang bermuatan. Kemampuan
elektrokoagulasi untuk mengolah berbagai macam polutan menarik minat industri
untuk menggunakannya.
Gambar (2.6) memperlihatkan proses elektrokoagulasi yang sangat
kompleks. Dimana koagulan dan produk hidrolisis saling berinteraksi dengan
polutan atau dengan ion yang lain atau dengan gas hidrogen.
Menurut Holt et al. (2006) ada berbagai kemungkinan mekanisme yang
terjadi dalam elektrokoagulasi (interaksi dalam larutan) yaitu :
1. Migrasi ke muatan elektroda yang berlawanan (electrophoresis) dan
agregatisasi netralisasi muatan.
2. Kation atau ion OH- membentuk suatu presipitasi dengan polutan
3. Interaksi kation logam dengan OH- untuk membentuk suatu hidroksida yang
mempunyai sifat-sifat adsorpsi yang tinggi sekaligus mengikat polutan
(jembatan koagulasi).
4. Hidroksida membentuk struktur seperti kisi yang lebih besar dan sweep
coagulation.
5. Oksidasi polutan-polutan untuk jenis racun yang lebih sedikit
6. Pemindahan oleh elektroflotasi dan adhesi ke gelembung
Universitas Sumatera Utara
38
Gambar 2.6 Mekanisme dalam elektrokoagulasi (Holt, 2006)
Menurut Mollah (2004) mekanisme penyisihan yang umum terjadi di
dalam elektrokoagulasi terbagi dalam tiga faktor utama yaitu : (a) terbentuknya
koagulan akibat proses oksidasi elektrolisis pada elektroda, (b) destabilisasi
kontaminan, partikel tersuspensi, dan pemecahan emulsi, dan (c) agregatisasi dari
hasil destabilisasi untuk membentuk flok.
Sedangkan proses destabilisasi kontaminan, partikel tersuspensi, dan
pemecahan emulsi terjadi dalam tahapan sebagai berikut :
• Kompresi dari lapisan ganda (double layer) difusi yang terjadi di sekeliling
spesies bermuatan yang disebabkan interaksi dengan ion yang terbentuk dari
oksidasi di elektroda.
• Netralisasi ion kontaminan dalam air limbah dengan menggunakan ion
berlawanan
yang dihasilkan dari elektroda. Dengan adanya ion tersebut menyebabkan
berkurangnya gaya tolak menolak antar partikel dalam air limbah (gaya Van
der Waals) sehingga proses koagulasi bisa berlangsung.
Universitas Sumatera Utara
39
• Terbentuknya flok, dimana flok ini terbentuk akibat proses koagulasi sehingga
terbentuk sludge blanket yang mampu menjebak dan menjembatani partikel
koloid yang masih ada di air limbah.
2.2.2 Pelarutan Logam di Elektroda
Pada percobaan elektrokoagulasi, elektroda yang digunakan selalu
dihubungkan dengan sumber listrik DC. Jumlah logam yang larut tergantung pada
jumlah arus listrik yang mengalir pada elektroda tersebut. Hukum Faraday
membuat hubungan antara kuat arus (I) yang mengalir dengan jumlah massa yang
terlepas ke larutan, hal ini merupakan pendekatan secara teoritis untuk
menghitung jumlah alumunium yang terlepas ke larutan. Adapun rumus dari
hukum Faraday adalah sebagai berikut :
w=
Dimana :
i.t.m
z .F
(2.1)
w = Berat aluminium yang larut (g)
i
= Kuat arus listrik yang digunakan (Ampere)
t = Lamanya arus mengalir (detik)
m = berat molekul plat logam (aluminium) / berat atom
z = valensi (aluminium = 3)
F = Konstanta Faraday, (96500 C/mol)
Dengan menggunakan persamaan (2-1) kita dapat membandingkan antara
jumlah logam yang larut secara teoritis dengan percobaan di lapangan. Seringkali
diperoleh hubungan yang cukup baik antara hasil percobaan dengan teori.
Walaupun kadangkala terdapat perbedaan/erorr yang signifikan yang dapat terjadi
karena tidak memperhatikan ukuran dan bentuk elektroda yang tepat serta
pemasangan elektroda yang kurang baik.
2.2.3 Reaksi di Elektroda
Seperti disebutkan di atas bahwa reaktor elektrokoagulasi merupakan
sel elektrokimia, dimana dalam reaktor tersebut disusun elektroda-elektroda yang
akan kontak dengan air yang akan diolah. Untuk menghasilkan koagulan
Universitas Sumatera Utara
40
diperlukan beda potensial diantara elektroda. Perbedaan potensial ini diperlukan
untuk menimbulkan reaksi elektrokimia pada masing-masing elektroda.
Dari berbagai penelitian yang ada telah didesain berbagai macam
konfigurasi elektroda seperti pemakaian pellet aluminium dengan reaktor
fluidized bed (Barkley et al., 1993), elektroda aluminium bipolar (Mameri et al.,
1998), elektroda mesh (Matteson et al., 1995), baja bipolar berbentuk lingkaran
(Ogutveren et al., 1992), dan juga elektroda sederhana berbentuk lempengan (Vik
et al., 1984; Mameri et al., 1998 : Holt et al., 2001). Selain itu berbagai jenis
elektroda telah dicoba seperti aluminium, besi, baja dan platinum. Bahan
elektroda digunakan untuk mengetahui jenis koagulan yang timbul. Aluminium
merupakan elektroda yang paling banyak digunakan, dimana pada proses
elektrokogulasi reaksi yang terjadi adalah :
Reaksi Pada Katoda
Reaksi pada katoda adalah reduksi terhadap kation, jadi yang diperhatikan
hanya kation saja.
1. Jika larutan mengandung ion-ion logam alkali, ion-ion logam alkalitana, ion
Al3+ dan ion Mg2+, maka ion-ion logam ini tidak dapat direduksi dari larutan.
Yang akan mengalami reduksi adalah pelarut (air), dan terbentuk gas hidrogen
(H)2 pada katoda. Reaksi yang terjadi di katoda tergantung pada pH air yang
diolah. Pada kondisi netral atau basa, gas hidrogen terjadi dengan reaksi :
2H2O + 2e → 2OH-
+ H2
Dari daftar E0 diketahui bahwa reduksi terhadap air lebih mudah berlangsung
daripada reduksi terhadap ion-ion di atas.
2. Sedangkan pada kondisi asam, reaksi pembentukan gas hidrogen adalah
sebagai berikut : 2H+ + 2e → H2
3.
Jika larutan mengandung ion-ion lain, maka ion-ion logam ini akan direduksi
menjadi masing-masing logamnya dan logam yang terbentuk itu diendapkan
pada permukaan batang katoda.
Fe2+
+ 2e
Mn2+ + 2e
→ Fe
→ Mn
Reaksi Pada Anoda
Elektroda pada anoda, elektrodanya dioksidasi diubah menjadi ionnya.
Universitas Sumatera Utara
41
Al
→
Al3+ + 3e
Reaktor yang mempergunakan aluminium pada kedua elektroda yaitu anoda dan
katoda dilaporkan proses pelarutan aluminium melebihi 100% (Przhegorlinskii et
al., 1987 ; Bozin and Mikhailov, 1990 ; Donini et al., 1994 ; Mameri et al., 1998
dalam Holt, 2002). Untuk penggunaan aluminium pada kedua elektroda, reaksinya
adalah sebagai berikut:
Al3+ + 3 H2O
→ Al(OH)3
+ 1.5 H2
Sedangkan proses pelepasan aluminium pada kutub katoda adalah sebagai berikut
Al3+ + 4 H2O + e →
Al(OH)-4 + 2 H2
Secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi elektroda
dapat dibagi dalam 5 variabel, yaitu :
1. Variabel elektroda
(Jenis, luas permukaan, kondisi permukaan, jarak antar elektroda)
2. Variabel perpindahan massa
(Cara perpindahan, konsentrasi permukaan, adsorbsi)
3. Variabel larutan
(Konsentrasi spesi elektroaktif dalam bagian terbesar larutan, spesi-spesi
lainnya,
sifat pelarut).
4. Variabel listrik (Potensial, arus, jumlah muatan coulomb)
5. Variabel luar (Temperatur, tekanan, waktu)
2.2.4 Sel Elektrokimia
Sel elektrokimia adalah sel yang menghasilkan transfer bentuk energi
listrik menjadi energi kimia atau sebaliknya, melalui saling interaksi antara arus
listrik dan reaksi redoks. Reaksi redoks merupakan akibat dari aliran arus listrik
yang diberikan dan berlangsung pada bagian yang disebut elektroda. Pertemuan
antara dua fase dengan komposisi yang berlainan akan menyebabkan perbedaan
potensial antara kedua fase tersebut, sehingga terjadi pemisahan muatan listrik.
Transfortasi muatan listrik antar fase dapat terjadi pada fase elektrolit dan fase
elektroda. Elektroda adalah fase tempat muatan listrik dibawa oleh gerakan
elektron. Sedangkan elektrolit adalah fase tempat muatan listrik dibawa oleh
gerakan ion-ion. Secara umum sel elektrokimia didefinisikan sebagai 2 elektroda
Universitas Sumatera Utara
42
yang dipisahkan oleh paling sedikit satu fase
elektrolit. Elektroda tempat
terjadinya oksidasi disebut anoda dan elektroda tempat terjadinya reduksi disebut
katoda.
Oksidasi yaitu suatu perubahan kimia, jika (Hiskia, 1992) :
•
Suatu zat memberikan atau melepaskan elektron
•
Suatu unsur mengalami pertambahan bilangan oksidasi atau tingkat oksidasi
•
Terjadi pada anoda atau elektroda positif suatu sel elektrokimia
Sedangkan reduksi ialah suatu perubahan kimia, jika :
•
Suatu zat menangkap atau menerima elektron
•
Suatu unsur mengalami pengurangan bilangan oksidasi atau tingkat oksidasi
•
Terjadi pada katoda atau elektroda negatif suatu sel elektrokimia
2.2.5 Proses Koagulasi
Proses koagulasi merupakan faktor kunci dalam elektrokoagulasi, proses
ini menggambarkan interaksi antara koagulan dengan bahan polutan yang hendak
diolah. Perinsip dari koagulasi adalah destabilisasi partikel koloid dengan cara
mengurangi semua gaya yang mengikat, kemudian menurunkan energi
penghalang dan membuat partikel menjadi bentuk flok. Koagulasi merupakan
proses destabilisasi partikel-partikel koloid untuk memfasilitasi pertumbuhan
partikel-partikel selama flokulasi.
Koagulasi menurut Mackenzie L. Davis, adalah proses untuk membuat
partikel-partikel kecil (koloid) dapat bergabung satu dengan yang lainnya
sehingga membentuk flok yang lebih besar. Sedang menurut Reynold (1977),
koagulasi adalah proses destabilisasi pada suatu sistem koloid yang berupa
penggabungan dari partikel-partikel koloid akibat pembubuhan bahan kimia. Pada
proses ini terjadi pengurangan besarnya gaya tolak menolak antara partikelpartikel koloid di dalam larutan.
Fair et al (1978) menerangkan bahwa disamping gaya-gaya yang
menyebabkan kestabilan partikel koloid, maka pada koloid juga bekerja gayagaya yang cenderung untuk menyebabkan koloid menjadi tidak stabil. Salah satu
dari gaya itu adalah gaya Van der Waals. Gaya Van der Waals ini sesungguhnya
bekerja dalam dimensi atom (gaya antar atom). Bila partikel koloid bisa saling
Universitas Sumatera Utara
43
mendekat hingga jarak keduanya dapat mencapai jarak dalam dimensi atom, maka
dalam keadaan seperti ini gaya Van der Waals akan berpengaruh pada kestabilan
partikel koloid. Besarnya gaya tarik menarik Van der Waals berbanding terbalik
dengan kuadrat jarak antara kedua partikel koloid, sedangkan besarnya gaya tolak
menolak elektrostatis akan berkurang secara eksponensial dengan makin besarnya
jarak antar partikel. Kedua gaya tersebut dapat dilukiskan dalam suatu grafik,
seperti pada Gambar 2.7.
Kurva A menunjukkan gaya tarik menarik Van der Waals, sedangkan
kurva R menunjukkan gaya tolak menolak elektrostatis. Resultan dari kedua gaya
ini dilukiskan sebagai kurva S.
Supaya terjadi kontak antar partikel gaya-gaya yang menyebabkan
kestabilan partikel koloid harus dikurangi atau dihilangkan. Keadaan seperti ini
ditunjukkan dengan terjadinya kesetimbangan antara gaya tarik menarik Van der
Waals dengan gaya tolak menolak elektrostatis. Kesetimbangan dapat dicapai
dengan cara membubuhkan suatu elektrolit pada sistem koloid tersebut seperti
aluminium sulfat. Pembubuhan aluminium sulfat atau koagulan lainnya akan
menyebabkan membesarnya konsentrasi ion-ion positif dalam larutan dan
akibatnya kurva gaya tolak menolak R akan lebih curam.
Universitas Sumatera Utara
44
Double-Layer repulsion, R
Repulsion
Resultan energy of
Interaction, S
Energy Hill, Eb
Energy
Particle distance
Van der Waals attraction, A
Point of minimum energy, Pm
Attraction
Gambar 2.7 Gaya-gaya yang terjadi pada interaksi antar partikel koloid (Fair,
1978)
Gambar 2.8 memperlihatkan bahwa makin besar konsentrasi ion-ion
positif, maka besarnya gaya resultan maksimum akan mengecil sehingga pada
akhirnya dapat mencapai nol.
Hal ini menunjukkan telah terjadi kesetimbangan antara kedua gaya
tersebut. Berkurangnya gaya tolak menolak ini ditunjukkan dengan berkurangnya
harga potensial zeta. Pada suatu konsentrasi aluminium sulfat tertentu harga
potensial zeta akan mencapai harga kritis seperti yang telah dikemukakan di atas.
Maka selanjutnya gaya-gaya Van der Waals akan mulai bekerja untuk
memperkuat ikatan antar partikel dan terjadilah penggabungan dari partikelpartikel koloid tersebut.
Universitas Sumatera Utara
45
Increasing
charge
or
concentration of electrolyte
Repulsion
R1
R2
R3
S
Particle distance
A
Attraction
Gambar 2.8 Pengurangan gaya tolak menolak oleh ion-ion aluminium (Fair et al,
1978)
2.2.6 Proses Flokulasi
Flokulasi adalah proses kontak diantara partikel-partikel koloid yang telah
mengalami destabilisasi sehingga ukuran partikel-partikel tersebut tumbuh
menjadi partikel-partikel yang lebih besar (Kiely, 1998). Dalam hal ini proses
koagulasi harus diikuti flokulasi yaitu penggumpalan koloid terkoagulasi sehingga
membentuk flok yang mudah terendapkan atau transportasi partikel tidak stabil,
sehingga kontak antar partikel dapat terjadi (Sutrisno, 1991).
Koagulasi dan flokulasi diperlukan untuk menghilangkan material limbah
berbentuk suspensi atau koloid. Koloid dihadirkan oleh partikel-partikel
berdiameter sekitar 1 nm (10-7 cm) hingga 0.1 nm (10-8 cm). Partikel-partikel ini
tidak dapat mengendap dalam periode waktu yang wajar dan tidak dapat
dihilangkan dengan proses perlakuan fisika biasa.
Koloid yang tidak stabil cenderung untuk menggumpal, walaupun kecepatan
penggumpalannya sangat lambat. Kecepatan penggumpalan ini ditentukan oleh
banyaknya kontak antar partikel koloid, dan efektifitas kontak yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
46
Penggabungan partikel-partikel koloid dapat terjadi karena :
1. Gerak Brown (perikinetik)
2. Gradien kecepatan dalam media suspensi (ortokinetik) yang bergantung pada
temperatur, kecepatan aliran air, jumlah partikel koloid, konsentrasi dan
ukuran partikel koloid.
2.2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Koagulasi dan Flokulasi
Proses koagulasi-flokulasi optimum, dapat dicapai dengan pengaturan
kondisi-kondisi yang saling berkaitan dan mempengaruhi proses tersebut, seperti :
a.
Pengaruh Temperatur Air
Apabila temperatur menurun maka viskositas air akan meningkat sehingga
kecepatan mengendap flok akan menurun. Proses koagulasi – flokulasi lebih
mudah dilakukan pada temperatur tinggi daripada temperatur rendah, karena
viskositas air pada temperatur tinggi lebih rendah daripada viskositas air pada
temperatur rendah. Hubungan antara temperatur dengan proses koagulasi –
flokulasi adalah sebagai berikut :
1. pH optimum untuk proses koagulasi akan berubah-ubah karena pengaruh
temperatur.
2. Dosis koagulan akan bertambah bila temperatur turun.
3. Untuk dosis koagulan tertentu, effluen dari proses koagulasi – flokulasi akan
mempunyai kekeruhan yang lebih tinggi bila temperatur rendah.
b. Pengaruh derajat keasaman (pH) dan alkalinitas.
Rentang pH dalam proses koagulasi dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi
koagulan serta komposisi kimia air yang akan diolah. Koagulasi akan berjalan
baik apabila berada pada rentang pH optimum. Di samping itu alkalinitas juga
mempengaruhi koagulasi dalam proses pembentukan flok. Alkalinitas air, seperti
HCO3- dapat
membantu
proses
pembentukan
flok
dengan
peranannya
memproduksi ion hidroksida pada reaksi hidrolisa koagulan. Alkalinitas dapat
dibuat dengan cara menambahkan senyawa NaOH, Ca(OH)2, NaHCO3, dan CaO
yang sekaligus sebagai pengatur pH sebelum koagulasi dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
47
c.
Pengaruh Jenis Koagulan
Koagulan adalah bahan kimia yang ditambahkan untuk membantu proses
koagulasi. Pemilihan jenis koagulan pada pengolahan air seharusnya didasarkan
kepada penelitian perbandingan performa koagulan dan setelah itu baru dilihat
dari segi ekonomisnya. Jenis koagulan yang paling banyak dipakai di Indonesia
adalah tawas atau alumunium sulfat.
d. Pengaruh Tingkat Kekeruhan Air Baku
Pada tingkat kekeruhan yang rendah, proses destabilisasi akan sukar
terjadi. sebaliknya pada tingkat kekeruhan yang tinggi proses destabilisasi akan
dapat berlangsung dengan cepat, tetapi bila pada kondisi tersebut dipakai dosis
koagulan yang rendah maka pembentukan flok kurang efektif. Hubungan dosis
koagulan dan tingkat kekeruhan secara garis besar dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1.
Umumnya dosis koagulan akan naik bersamaan dengan meningkatnya
kekeruhan, akan tetapi kenaikan dosis koagulan ini tidak berbanding lurus
dengan peningkatan kekeruhan.
2.
Apabila kekeruhan sangat tinggi akan diperlukan koagulan yang lebih sedikit
karena besarnya tumbukan antar partikel-partikel koloid yang telah
dikoagulasi. Dan bila kekeruhan rendah kemungkinan terjadinya tumbukan
tidak terlalu besar sehingga sulit terkoagulasi.
3.
Bervariasinya distribusi ukuran partikel lebih memudahkan terjadinya
koagulasi, dibanding dengan suspensi yang hanya terdiri dari satu jenis
ukuran partikel saja.
e.
Pengaruh Jumlah Garam-Garam Terlarut Dalam Air
Besarnya pengaruh garam-garam ini tergantung pada jenis dan
konsentrasinya. Biasanya pengaruh garam-garam ini berakibat langsung terhadap
proses koagulasi itu sendiri. Dari hasil penyelidikan Back, Rice dan Bartow
(1973), dapat diketahui pengaruh ion-ion sulfat terhadap koagulasi dengan
koagulan alum berdasarkan kecepatan koagulasinya.
Universitas Sumatera Utara
48
Secara garis besarnya pengaruh garam-garam terlarut adalah sebagai
berikut :
1.
Pengaruh anion lebih besar daripada kation, sehingga ion seperti Natrium,
kalsium dan Magnesium tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap
proses koagulasi.
2.
Ion-ion negatif memperbesar daerah pH optimum koagulasi untuk koagulasi
ke arah bagian yang sama, yang tergantung juga pada valensi ion-ion tersebut.
Dengan kata lain ion-ion monovalen seperti chlorida, nitrat dan sebagainya
tidak memberikan pengaruh yang berarti dibandingkan dengan pengaruh yang
diberikan oleh ion-ion sulfat, fosfat dan anion-anion bervalensi lainnya.
f.
Pengaruh Kondisi Pengadukan
Pengaturan kondisi pengadukan sangat penting untuk mencapai proses
koagulasi-flokulasi yang baik. Pengaturan kondisi pengadukan dapat dilakukan
dengan mengatur gradien kecepatan (G) dan lamanya waktu pengadukan (t).
Pencampuran koagulan harus benar-benar merata, sehingga koagulan yang
dibubuhkan akan bereaksi dengan partikel-partikel koloid atau ion-ion lain dalam
suspensi.
Disamping
itu
kecepatan
pengadukan
sangat
mempengaruhi
pertumbuhan flok dan bila terlalu besar kecepatan pengadukannya akan
mengakibatkan pecahnya flok. Karena kecepatan koagulasi-flokulasi berbanding
langsung dengan besarnya gradien kecepatan (G), maka proses koagulasi –
flokulasi yang baik dari G.t yang tepat.
2.3 Tinjauan Koloid
Tinjauan koloid digunakan untuk menjelaskan suatu sistem dimana
partikel-partikel padat baik organik maupun anorganik yang berukuran relatif
kecil terdispersi di dalam suatu media yang homogen (Hartomo, 1994). Partikelpartikel koloid berada di suspensi karena ukurannya yang sangat kecil, keadaan
hidrasi dan memiliki muatan listrik pada permukaannya.
Partikel koloid
mempunyai sifat-sifat antara lain :
* Sifat Adsorpsi
Universitas Sumatera Utara
49
Partikel koloid terdispersi dalam air dan merupakan partikel yang sangat
kecil
(diameter 1m µ - 1
µ),
selalu dalam keadaan melayang dan tidak mudah
diendapkan. Partikel koloid akan bermuatan listrik apabila terjadi penyerapan ion
pada permukaan partikel. Peristiwa penyerapan pada permukaan suatu zat disebut
adsorpsi. Suatu koloid mempunyai kemampuan mengabsorpsi, sebab zat-zat
dalam bentuk koloidal memiliki permukaan yang sangat luas sehingga terjadi
gejala terikatnya atom, molekul atau ion pada permukaan zat padat dan bekerja
suatu gaya tarik / gaya Van Der Waals (Chatterjee, 1979).
* Bermuatan Listrik
Pada permukaan partikel koloid terdapat muatan listrik sejenis yang
menyebabkan keadaan stabil dimana muatan diantara partikel koloid saling tolak
menolak sehingga tidak dapat membentuk partikel lebih besar.
* Sifat Hidrasi
Yaitu sifat koloid yang mempunyai gaya gabung yang besar terhadap
media air. Berdasarkan sifat hidrasi, partikel koloid dapat dibagi dalam 2
golongan yaitu golongan koloid suka air (koloid hidrofil) dan golongan koloid
tidak suka air (koloid hydropob).
2.3.1 Kestabilan Koloid
Kestabilan sistem koloid hidrofil adalah karena adanya fenomena hidrasi
yaitu suatu peristiwa di mana molekul-molekul air tertarik oleh permukaan
partikel zat padat (koloid) dan berfungsi sebagai penghalang untuk terjadinya
kontak dengan partikel koloid lainnya (Hammer, 1977). Contoh : sabun, detergen
sintetik dan protein terlarut.
Sedangkan kestabilan sistem koloid hidrofob terjadi karena partikel koloid
ini bermuatan sejenis sehingga terjadi gaya tolak menolak antara partikel-partikel
koloid tersebut, yang menyebabkan sistem koloid ini menjadi stabil. Koloid
Hidrofob mempunyai kestabilan tertentu selama tidak terganggu oleh adanya
elektrolit lain.
Universitas Sumatera Utara
50
2.3.2 Destabilisasi Partikel Koloid
Perinsip dasar untuk mengendapkan partikel koloid adalah menurunkan
stabilitasnya dengan cara netralisasi gaya tolak menolak akibat adanya muatan
listrik pada permukaan koloid. Setelah itu dilanjutkan dengan pengadukan agar
terjadi penggabungan antara partikel-partikel, membentuk partikel yang lebih
besar dan dapat diendapkan.
Agar partikel-partikel koloid dapat menggumpal, dua langkah harus terjadi yaitu :
2. Gaya tolak menolak harus dikurangi (destabilisasi)
3. Adanya transportasi partikel supaya terjadi kontak antara partikel (proses
flokulasi), (Stum dan O’melia, 1968).
Empat macam mekanisme untuk menerangkan proses destabilisasi koloid yaitu :
b. Pemampatan lapisan ganda.
c. Adsorbsi untuk menghasilkan netralisasi muatan.
d. Penjaringan partikel dalam presipitat.
e. Adsorbsi dan pengikatan antar partikel.
a. Pemampatan Lapisan Ganda
Menurut Schulze-Hardy koagulasi disebabkan oleh ion-ion yang
mempunyai muatan yang berlawanan dengan muatan partikel koloid. Kekuatan
ion untuk mengkoagulasi ditentukan oleh valensi ion. Penambahan ion-ion yang
berlawanan muatan dengan muatan partikel yang berasal dari koagulan akan
menimbulkan destabilisasi partikel koloid sehingga lapisan difus akan mengecil
(mampat) dan memungkinkan bekerjanya gaya tarik menarik antar partikel.
Fenomena ini diterangkan dengan teori yang dikembangkan oleh Vervey dan
Overbeek (1948).
Efek dari pamampatan ini adalah berkurangnya potensial permukaan.
Apabila dosis elektrolit dinaikkan akan semakin berkurang pula potensial
permukaan, sehingga memungkinkan terjadinya penggabungan partikel oleh gaya
tarik menarik Van der Waals.
b. Adsorbsi dan netralisasi muatan
Destabilisasi adsorpsi berbeda dengan destabilisasi pemampatan lapisan
ganda dalam tiga hal, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
51
1. Spesi yang teradsorpsi dapat mendestabilisasi koloid dengan dosis yang jauh
lebih
rendah dibanding dengan ion-ion pemampat lapisan ganda.
2. Destabilisasi adsorpsi adalah stoikiometris, yang berarti dosis koagulan
bertambah
dengan
bertambahnya
konsentrasi
koloid.
Sedang
pada
pemampatan lapisan ganda jumlah elektrolit yang dibutuhkan tidak
stoikiometris dan tidak tergantung pada konsentrasi koloid.
3. Efek yang timbul bila dosis spesi yang diadsorpsi berlebihan adalah terjadinya
restabilisasi, hasil dari pembalikan muatan pada partikel koloid.
Beberapa spesi kimia dapat diadsorpsi pada permukaan partikel koloid.
Bila spesi yang diadsorpsi membawa muatan yang berlawanan dengan muatan
partikel koloid, maka adsorpsi tersebut menyebabkan terjadinya pengurangan
potensial permukaan dan menghasilkan destabilisasi partikel koloid. Ion-ion yang
di adsorpsi dapat melebihi batas netralisasi hingga mencapai titik pembalikan
muatan. Ini menunjukan bahwa interaksi kimiawi dapat melebihi efek tolak
menolak elektrostatik pada beberapa kasus (Stumm dan O’melia, 1968).
c. Penjaringan Partikel Dalam Presipitat
Sejumlah garam yang berasal dari logam tertentu, seperti : Al2(SO4)2,
FeCl3, dan MgCO3 dapat membentuk presipitat bila ditambahkan ke dalam
dispersi koloid dalam jumlah yang cukup. Koloid dapat bertindak sebagai inti
kondensasi bagi pembentukan presipitat tersebut, atau dapat juga terjaring sebagai
endapan presipitat. Pengurangan koloid dengan cara demikian disebut ”sweepfloc”.
Packham (1965) mengemukakan hubungan perbandingan terbalik antara
dosis koagulan optimum dengan konsentrasi koloid, bahwa pada konsentrasi
koloid yang rendah dibutuhkan dosis koagulan yang berlebihan untuk
menghasilkan jumlah presipitat yang banyak yang akan menjaring partikelpartikel koloid, sedang pada konsentrasi koloid yang tinggi koagulasi akan terjadi
bila ditambahkan dosis koagulan yang lebih rendah karena koloid bertindak
sebagai inti bagi pembentukan
presipitat. Sebagai ilustrasi dapat dilukiskan seperti Gambar 2.9.
Universitas Sumatera Utara
52
Gambar 2.9 Terjadinya proses ”Sweep-Floc” (Duan, 2003)
d. Adsorpsi dan pengikatan Antar Partikel
Destabilisasi dengan cara ini terjadi bila ke dalam dispersi koloid
dimasukkan polimer dengan struktur rantai panjang dan bersegmen. Molekul
polimer akan melekat pada permukaan partikel koloid pada satu tempat atau lebih,
seperti terlihat pada Gambar 2.10. Ujung segmen polimer akan meluas ke bagian
terbesar larutan dan menempel pada bagian partikel koloid lainnya membentuk
jembatan kimia.
Kekuatan ikatan ini menghasilkan partikel flok yang lebih
kompak dan lebih mudah diendapkan.
Gambar 2.10
Skema reaksi antar partikel koloid dengan poly elektrolit
(Benefield, 1982)
Universitas Sumatera Utara
53
Dalam proses elektrokoagulasi hanya ada dua mekanisme destabilisasi
yang mungkin terjadi yaitu penyaringan dalam presipitat dan netralisasi muatan.
Dua mekanisme yang lain yaitu pemampatan lapisan ganda dan pengikatan antar
partikel tidak mungkin terjadi karena pada mekanisme pemampatan lapisan ganda
dibutuhkan dosis koagulan yang tinggi agar terjadi destabilisasi koloid sedangkan
pada proses elektrokoagulasi aluminium yang dibutuhkan masih relatif rendah.
Untuk mekanisme pengikatan antar partikel karena tidak adanya penambahan
polimer dalam proses elektrokoagulasi, maka mekanisme ini juga tidak dapat
terjadi.
2.3.3 Konsep Potensial Zeta
Menurut Eckenfelder (1989), potensial listrik diantara bidang geser dan
badan cairan dapat ditentukan dengan pengukuran elektroforesis (pengukuran laju
partikel dalam suatu medan listrik) dan disebut potensial zeta. Konsep potensial
zeta berasal dari teori lapisan rangkap listrik dan diterapkan untuk koloid
hidrofob. Menurut kaedah Gouy, Champman dan Stern, partikel yang tersuspensi
di dalam permukaan air mempunyai muatan listrik pada permukaannya. Muatan
ini dapat meningkat jika terjadi ionisasi atom-atom pada permukaan partikel atau
unsur-unsur yang berlawanan muatan dengan partikel dan adsorbsi ion-ion oleh
partikel dalam air.
Ion-ion tersebut mengelilingi permukaan partikel dengan rapat dan
menarik
ion-ion yang berlawanan muatan dari dalam larutan, sehingga sebagian partikel
akan terimbangi. Lapisan muatan tersebut merupakan lapisan yang tidak bergerak
(tetap) disebut lapisan rapat muatan (lapisan stern atau fixed layer). Fixed layer
dilapisi lagi oleh lapisan dengan muatan berlawanan dengannya. Lapisan ini dapat
bergerak dan disebut lapisan geser. Potensial zeta didefinisikan dalam persamaan
Z=
4.π .q.d
D
(2.2)
di mana : Z = Potensial zeta, q = Beda muatan antara partikel dan medium, d =
Ketebalan lapisan perbedaan muatan masih efektif, D = Konstanta dielektrik
medium.
Universitas Sumatera Utara
54
Kestabilan sistem koloid dapat dikurangi dengan memperkecil potensial
zeta, dengan cara menambahkan ion yang berlawanan muatan sehingga perbedaan
muatan pada permukaan dapat dikurangi. Dengan berkurangnya perbedaan
muatan ini akan mengurangi ketebalan lapisan difus dan merenggangkan lapisan
stern sehingga partikel yang berdekatan akan saling bergabung akibat gaya tarik
Van Der Waals.
2.4 Tawas (Alum)
Tawas (alum) adalah sejenis koagulan dengan rumus kimia Al2SO4 11
H2O atau 14 H2O atau 18 H2O, umumnya yang digunakan adalah 18 H2O. Tawas
merupakan bahan koagulan yang paling banyak digunakan, karena bahan ini
paling ekonomis, mudah diperoleh di pasaran serta mudah penyimpanannya.
Bahan ini dapat berfungsi efektif pada pH antara 4 – 8. Jumlah pemakaian tawas
tergantung kepada turbidity (kekeruhan) air baku. Semakin tinggi turbidity air
baku semakin besar jumlah tawas yang dibutuhkan. Pemakaian tawas juga tidak
terlepas dari sifat-sifat kimia yang dikandung oleh air baku tersebut. Semakin
banyak dosis tawas yang ditambahkan maka pH akan semakin turun, karena
dihasilkan asam sulfat sehingga perlu dicari dosis tawas yang efektif antara
pH 5,8 – 7,4.
Koagulan yang berbasis aluminium seperti aluminium sulfat digunakan
pada pengolahan air minum untuk memperkuat penghilangan materi partikulat,
koloidal dan bahan-bahan terlarut lainnya melalui proses koagulasi. Pemakaian
alum sebagai koagulan dalam pengolahan air, sering menimbulkan konsentrasi
aluminium yang lebih tinggi dalam air yang diolah daripada dalam air mentah itu
sendiri.
2.5 pH
pH menunjukkan kadar asam atau basa dalam suatu larutan, melalui
konsentrasi (sebetulnya aktivitas) ion hidrogen H+. Ion hidrogen merupakan
faktor utama untuk mengetahui reaksi kimiawi dalam ilmu teknik penyehatan
karena :
Universitas Sumatera Utara
55
•
H+ selalu ada dalam keseimbangan dinamis dengan air/H2O, yang membentuk
suasana untuk semua reaksi kimiawi yang berkaitan dengan masalah
pencemaran air dimana sumber ion hidrogen tidak pernah habis.
•
H+ tidak hanya merupakan unsur molekul H2O saja tetapi juga merupakan
unsur banyak senyawa lain, hingga jumlah reaksi tanpa H+ dapat dikatakan
hanya sedikit saja.
Lewat aspek kimiawi, suasana air juga mempengaruhi beberapa hal lain,
misalnya kehidupan biologi dan mikrobiologi. Peranan ion hidrogen tidak penting
kalau zat pelarut bukan air melainkan molekul organis seperti alkohol, bensin
(hidrokarbon) dan lain-lain.
Cara uji derajat keasaman pH dalam air dan air limbah dengan
menggunakan alat pH meter. Metode pengukuran pH berdasarkan pengukuran
aktivitas ion hidrogen secara potensiometri/elektrometri dengan menggunakan pH
meter (SNI 06-6989.11-2004).
2.6 Warna
Dalam proses pengolahan air warna merupakan salah satu parameter fisika
yang digunakan sebagai persyaratan kualitas air baik untuk air bersih maupun
untuk air minum. Perinsip yang berlaku dalam penentuan parameter warna adalah
memisahkan terlebih dahulu zat atau bahan-bahan yang terlarut yang
menyebabkan kekeruhan (Effendi, 2003).
Warna air dapat diamati secara visual (langsung) ataupun diukur
berdasarkan suatu skala warna dengan spektrofotometer. Skala warna air yang
paling banyak digunakan saat ini adalah skala APHA (The American Public
Health Association) dan skala Platina-Cobalt sering disingkat menjadi Pt-Co unit.
Pemeriksaan warna ditentukan dengan membandingkan secara visuil warna dari
sampel dengan larutan standar warna yang diketahui konsentrasinya. Kebanyakan
metode yang dipakai pada pemeriksaan warna air di instalasi pengolahan air
menggunakan metode standar warna Platina-Cobalt dengan satuan mg/l Pt-Co
baik dilakukan dengan instrumen colorimetri maupun yang lebih sensitif yaitu
sfektrofotometri (Pararaja, 2008).
Di dalam metode ini sebagai standar warna
digunakan larutan Platina-Kobalt dengan satuan mg/l Pt-Co. Warna pada air
Universitas Sumatera Utara
56
gambut disebabkan karena adanya partikel koloid organik yang merupakan
dekomposisi dari tanaman. Konsentrasi warna air gambut diukur dengan metode
platina-kobalt (Pt-Co), karena metode ini digunakan untuk mengukur warna air
yang dapat diminum dan air berwarna yang disebabkan oleh bahan-bahan yang
terbentuk secara alami seperti dekomposisi asam-asam organik dari daun-daunan,
kulit kayu, akar, bahan-bahan humus dan tanah gambut (Standard Method
2120B).
Pengukuran ini berdasarkan standar yang dikeluarkan oleh American
Standards of Treatment and Method (ASTM) yaitu ASTM D1209, suatu metode
standar untuk menguji cairan berwarna yang jernih (skala Pt-Co). Larutan yang
diukur adalah larutan dengan warna yang mendekati warna larutan standar skala
warna Pt-Co (SNI 06-6989.24-2005).
2.7 Turbidity (Kekeruhan)
Kekeruhan di dalam air disebabkan oleh adanya zat tersuspensi, seperti
lumpur, zat organik, plankton dan zat-zat halus lainnya. Kekeruhan merupakan
sifat optis dari suatu larutan, yaitu hamburan dan absorpsi cahaya yang
melaluinya. Kekeruhan dengan kadar semua jenis zat suspensi tidak dapat
dihubungkan secara langsung, karena tergantung juga kepada ukuran dan bentuk
butiran. Ada tiga (3) metode pengukuran kekeruhan :
a. Metode nefelometrik (unit kekeruhan nefelometrik FTU atau NTU
b. Metode Hellige Turbidity (unit kekeruhan silika)
c. Metode Visuil (unit kekeruhan Jackson)
Metode visuil adalah cara kuno dan lebih sesuai untuk nilai kekeruhan
yang tinggi, yaitu lebih dari 25 unit. Sedangkan metode nefelometrik lebih sensitif
dan dapat dipergunakan untuk segala tingkat kekeruhan. Metode yang dipakai
pada penelitian ini adalah metode nefelometrik.
Perinsip metode nefelometrik adalah perbandingan antara intensiti cahaya
yang dihamburkan dari suatu sampel air dengan intensiti cahaya yang
dihamburkan oleh sesuatu larutan keruh standard pada kondisi yang sama. Makin
tinggi intensitas cahaya yang dihamburkan, makin tinggi pula kekeruhannya.
Sebagai standard kekeruhan dipergunakan suspensi polimer formazin.
Universitas Sumatera Utara
57
2.8 COD dan BOD
COD (Chemical Oxygen Demand = Kebutuhan Oksigen Kimia) adalah
jumlah oksigen (mg O2) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organis
yang ada dalam 1 L sampel air, dimana pengoksidasi K2 Cr2 O7 digunakan sebagai
sumber oksigen (oxidizing agent). Angka COD merupakan ukuran bagi
pencemaran air oleh zat-zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasikan
melalui proses mikrobiologis, dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut
dalam air (Alaerts G., and Santika S.S., 1987). Pemeriksaan COD diperlukan
untuk mengetahui kandungan bahan organik yang terdapat dalam air gambut.
Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis
(KOB) adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global
proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air (Alaerts, 1987).
Angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk
menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua zat organik yang terlarut dan
sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air. Pemeriksaan BOD
diperlukan untuk menentukan beban pencemaran yang terdapat dalam air gambut
yang disebabkan oleh zat-zat organik. Penguraian zat organik adalah peristiwa
alamiah, kalau sesuatu badan air dicemari oleh zat organik, bakteri dapat
menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut yang
bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik
yang dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut.
Analisa COD berbeda dengan analisa BOD, berikut adalah keuntungan tes
COD dibandingan dengan tes BOD : (1) Analisa COD hanya memakan waktu
kurang lebih 3 jam, sedangkan analisa BOD5 membutuhkan waktu 5 hari, (2)
Ketelitian dan ketepatan tes COD adalah 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari tes
BOD, (3) Untuk menganalisa COD antara 50 sampai 800 mg/l, tidak dibutuhkan
pengenceran sampel sedang pada umumnya analisa BOD selalu membutuhkan
pengenceran, (4) Gangguan dari zat yang bersifat racun terhadap mikroorganisme
pada tes BOD, tidak menjadi soal pada tes COD.
Sedangkan kekurangannya, tes COD hanya merupakan suatu analisa yang
menggunakan suatu reaksi oksidasi kimia yang menirukan oksidasi biologis (yang
sebenarnya terjadi di alam), sehingga merupakan suatu pendekatan saja. Karena
Universitas Sumatera Utara
58
hal tersebut maka tes COD tidak dapat membedakan antara zat-zat yang
sebenarnya tidak teroksidasi (inert) dan zat-zat yang teroksidasi secara biologis.
Perinsip Analisa COD
COD adalah jumlah oksidan Cr2O72- yang bereaksi dengan contoh uji dan
dinyatakan sebagai mg O2 untuk tiap 1000 ml contoh uji. Senyawa organik dan
anorganik, terutama organik dalam contoh uji oksidasi oleh Cr2O72- dalam refluks
tertutup menghasilkan Cr3+. Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam
ekuivalen oksigen (O2 mg/l) diukur secara spektrofotometri sinar tampak. Cr2O72kuat mengabsorpsi pada panjang gelombang 400 nm dan Cr3+ kuat mengabsorpsi
pada panjang gelombang 600 nm.
Untuk nilai COD 100 mg/l sampai dengan 900 mg/l ditentukan kenaikan
Cr3+ pada panjang gelombang 600 nm. Pada contoh uji dengan nilai COD yang
lebih tinggi, dilakukan pengenceran terlebih dahulu sebelum pengujian. Untuk
nilai COD lebih kecil dan sama 90 mg/l ditentukan pengurangan konsentrasi
Cr2O72- pada panjang gelombang 420 nm (SNI 06-6989.15-2004).
Perinsip Analisa BOD
Pemeriksaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organis dengan
oksigen didalam air, dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri
aerobik. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk karbon dioksida, air dan amonik.
Atas dasar reaksi tersebut, yang memerlukan kira-kira 2 hari di mana 50% reaksi
telah tercapai, 5 hari supaya 75% dan 20 hari supaya 100% tercapai, maka
pemeriksaan BOD dapat dipergunakan untuk menaksir beban pencemaran zat
organis. Tentu saja, reaksi juga berlangsung pada badan air sungai, air danau
maupun di instalasi pengolahan air buangan yang menerima air buangan yang
mengandung zat organis tersebut. Dengan kata lain tes BOD berlaku sebagai
simulasi (berbuat seolah-olah terjadi) sesuatu proses biologis secara alamiah (SNI
06-2503-1991).
2.9 Logam-Logam Dalam Air
2.9.1 Logam Al
Aluminium merupakan salah satu logam anorganik yang dijumpai dalam
air minum. Konsentrasi aluminium yang tinggi bisa mengendap sebagai
Universitas Sumatera Utara
59
aluminium hidroksida yang mempengaruhi kehidupan air. Perannya tidak bisa
dihindari karena senyawa-senyawa aluminium ditambahkan bukan hanya ke
suplai air tetapi juga kebanyak makanan dan obat yang diproses (Singh, 2006).
Sifat-sifat kimia dan fisiknya membuatnya ideal untuk berbagai jenis pemakaian,
misalnya dalam makanan (sebagai aditif), dalam obat-obatan (misalnya antacid),
dalam produk-produk konsumen (alat-alat masak dan aluminium foil), dan dalam
pengujian air minum (koagulan).
Kebanyakan perusahaan penguji air permukaan menggunakan aluminium
dalam bentuk alum (aluminium sulfat) untuk membantu menghilangkan
mikroorganisme berbahaya yang dibawa oleh air dan partikel-partikel lain.
Pemberian alum ini mengakibatkan partikel-partikel menggumpal menjadi
partikel-partikel yang lebih besar yang kemudian lebih mudah dihilangkan dengan
sedimentasi dan filtrasi.
Cara uji kadar aluminium (Al) dilakukan dengan Spektrofotometri Serapan
Atom (SSA). Contoh uji air ditambahkan asam klorida kemudian dilanjutkan
dengan pemanasan yang bertujuan untuk melarutkan analit aluminium dan
menghilangkan zat-zat pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air
limbah, selanjutnya diukur serapannya dengan SSA menggunakan gas dinitrogen
oksida (N2O) – asetilen (SNI 06-6989.34-2005).
2.9.2 Logam Zn
Seng adalah unsur kimia dengan lambang Zn, no atom 30 dan massa atom
relative 65,37. Seng tidak diperoleh dengan bebas di alam, melainkan dalam
bentuk terikat. Mineral yang mengandung seng di alam bebas antara lain kalamin,
franklinit, smithsonit, wilenit dan zinkit. Seng oleh tubuh manusia dibutuhkan
untuk membentuk enzim dan hormon penting. Selain itu seng juga berfungsi
sebagai pemelihara beberapa jenis enzim, hormon dan aktivitas indera pengecap
(lidah).
Perinsip pengujian seng dilakukan dengan penambahan asam nitrat yang
bertujuan untuk melarutkan analit logam Zn dan menghilangkan zat-zat
pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah dengan bantuan
Universitas Sumatera Utara
60
pemanas listrik, kemudian diukur serapannya dengan SSA menggunakan gas
asetilen, C2H2 (SNI 06-6989.7-2004).
2.9.3 Logam Fe
Besi adalah salah satu elemen kimiawi yang dapat ditemui pada hampir
setiap tempat di bumi, pada semua lapisan geologis dan semua badan air. Pada
umumnya besi yang ada dalam air dapat bersifat :
•
Terlarut sebagai Fe2+ (fero) atau Fe3+ (feri)
•
Tersuspensi sebagai butir koloidal (diameter < 1 µm) atau lebih besar.
•
Tergabung dengan zat organis atau zat padat yang inorganis (seperti tanah
liat).
Pada air permukaan jarang ditemui kadar Fe lebih besar dari 1 mg/l, tetapi
di dalam air tanah kadar Fe dapat jauh lebih tinggi. Konsentrasi Fe yang tinggi ini
dapat dirasakan dan dapat menodai kain dan perkakas dapur. Dalam air minum Fe
menimbulkan rasa, warna (kuning), pengendapan pada dinding pipa, pertumbuhan
bakteri besi dan kekeruhan. Zat besi merupakan suatu komponen dari berbagai
enzim yang mempengaruhi seluruh reaksi kimia yang penting di dalam tubuh.
Besi juga merupakan komponen dari hemoglobin, yang memungkinkan sel darah
merah membawa oksigen dan mengantarkannya ke jaringan tubuh.
Pada penelitian ini penentuan kandungan Fe dalam air gambut
menggunakan metode pengujian yang mengacu pada SNI 06-6989.4-2004.
Perinsip utama dari metode pemeriksaan ini adalah dengan penambahan asam
nitrat yang bertujuan untuk melarutkan analit logam dan menghilangkan zat-zat
pengganggu yang terdapat dalam sampel dengan bantuan pemanas listrik,
kemudian diukur dengan SSA menggunakan gas asetilen, C2H2.
2.9.4 Logam Mn
Logam mangan adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki
lambang Mn dan nomor atom 25, berwarna silver metalic, keras dan sangat rapuh.
Logam mangan mampu menimbulkan keracunan kronis pada manusia hingga
berdampak menimbulkan lemah pada kaki, muka kusam dan dampak lanjutan
bagi manusia yang keracunan Mn adalah bicaranya lambat dan hyperrefleksi.
Universitas Sumatera Utara
61
Perinsip pengujian mangan dilakukan dengan penambahan asam nitrat
yang bertujuan untuk melarutkan analit logam Mn dan menghilangkan zat-zat
pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah dengan bantuan
pemanas listrik, kemudian diukur serapannya dengan SSA menggunakan gas
asetilen, C2H2 (SNI 06-6989.5-2004).
2.9.5 Logam Cu
Logam tembaga adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki
lambang Cu dan nomor atom 29. Cara uji tembaga (Cu) dilakukan dengan
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) - nyala. Metode ini digunakan untuk
penentuan kadar logam tembaga, Cu dalam air dan air limbah secara
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)- nyala pada kisaran kadar Cu 0.2 mg/l
sampai dengan 4.0 mg/l dan panjang gelombang 324.8 nm.
Perinsip pengujian tembaga dilakukan dengan penambahan asam nitrat
yang bertujuan untuk melarutkan analit logam Cu dan menghilangkan zat-zat
pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah dengan bantuan
pemanas listrik, kemudian diukur serapannya dengan SSA menggunakan gas
asetilen, C2H2 (SNI 06-6989.6-2004).
2.9.6 Logam Cd
Logam Kadmium adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki
lambang Cd dan nomor atom 48. Cara uji kadmium (Cd) dilakukan dengan
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) - nyala. Metode ini digunakan untuk
penentuan kadar logam kadmium, Cd dalam air dan air limbah secara
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) - nyala pada kisaran kadar Cd 0.05 mg/l
sampai dengan 2.0 mg/l dan panjang gelombang 228.8 nm.
Perinsip pengujian tembaga dilakukan dengan penambahan asam nitrat
yang bertujuan untuk melarutkan analit logam Cd dan menghilangkan zat-zat
pengganggu yang terdapat dalam contoh uji air dan air limbah dengan bantuan
pemanas listrik, kemudian diukur serapannya dengan SSA menggunakan gas
asetilen, C2H2 (SNI 06-6989.16-2004).
Universitas Sumatera Utara
62
2.10 Total Organik
Dalam air alam ditemui dua kelompok zat, yaitu zat terlarut seperti garam
dan molekul organis dan zat padat tersuspensi dan koloidal seperti tanah liat,
kwarts. Perbedaan pokok antara kedua zat ini ditentukan melalui ukuran /
diameter partikel-partikel tersebut.
Perbedaan antara kedua kelompok zat yang ada dalam air alam cukup jelas
dalam praktek namun kadang-kadang batasan itu tidak dapat dipastikan secara
defenitif. Dalam kenyataan sesuatu molekul organis polimer tetap bersifat zat
yang terlarut, walaupun panjangnya lebih dari 10 µm sedangkan beberapa jenis
zat padat koloid mempunyai sifat dapat bereaksi seperti sifat zat-zat yang terlarut.
Analisa zat padat dalam air sangat penting bagi penentuan komponenkomponen air secara lengkap, juga untuk perencanaan serta pengawasan prosesproses pengolahan dalam bidang air minum maupun dalam bidang air buangan.
Seperti halnya ion-ion dan molekul-molekul (zat yang terlarut), zat padat koloidal
dan zat padat tersuspensi dapat bersifat inorganis (tanah liat, kwarts) dan organis
(protein, sisa tanaman dan ganggang, bakteri).
Dalam metode analisa zat padat, pengertian zat padat total adalah semua
zat-zat yang tersisa sebagai residu dalam suatu bejana, bila sampel air dalam
bejana tersebut dikeringkan pada suhu tertentu. Zat padat total terdiri dari Zat
Padat Terlarut dan Zat Padat Tersuspensi yang dapat bersifat organis dan
inorganis. Zat padat tersuspensi sendiri dapat diklasifikasikan menjadi antara lain
zat padat terapung yang selalu bersifat organis dan zat padat terendap yang dapat
bersifat organis dan inorganis (Alaert G and Santika S, 1987).
Universitas Sumatera Utara
Download