Membedah Polemik Laut Tiongkok Selatan

advertisement
Membedah Polemik Laut Tiongkok Selatan
Jumat, 24 Juni 2016 WIB, Oleh: Satria
Laut Tiongkok Selatan (LTS), atau yang sering disebut Laut China Selatan, belakangan ini menjadi
sorotan berbagai media. Nelayan Tiongkok beberapa kali melakukan penangkapan ikan di Laut
Tiongkok Selatan, sekitar Kepulauan Natuna, yang diklaim Tiongkok sebagai wilayah perairan
tradisionalnya. Bahkan, pada Jumat pekan lalu satu kapal penangkap ikan milik nelayan Tiongkok
ditangkap aparat TNI Angkatan Laut karena dinilai melakukan penangkapan ikan di wilayah
perairan Indonesia. Menanggapi insiden tersebut, Kamis (23/6), Presiden Joko Widodo melakukan
kunjungan ke Natuna yang semakin menegaskan bahwa terdapat persoalan serius terkait Laut
Tiongkok Selatan.
Di sisi lain, Departemen Teknik Geodesi, Keluarga Alumni Teknik Geodesi (Katdesi) dan Keluarga
Alumni Fakultas Teknik (Katgama) UGM menyadari bahwa isu LTS tersebut bersifat multidisiplin.
Selama ini, isu LTS lebih sering dibahas oleh pihak-pihak dengan keahlian politik dan hukum.
Padahal, ada dimensi teknis atau geospasial dalam isu tersebut. Itulah yang menjadi alasan bagi
Teknik Geodesi UGM, Katdesi dan Katgama untuk bersinergi dan menyelenggarakan Forum Group
Discussion terkait isu Laut Tiongkok Selatan.
Acara berlangsung di Menara Global, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, yang sekaligus sebagai
acara temu alumni dan buka puasa bersama. Hadir dalam acara tersebut Mantan Menteri Luar
Negeri RI, Dr. Hassan Wirajuda, didaulat sebagai pembicara kunci. Dalam kesempatan tersebut
Hassan Wirajuda menyampaikan pandangannya soal peran dan posisi Indonesia dalam sengketa LTS
melalui konteks hukum dan diplomasi.
“Sangat penting bagi Indonesia untuk tetap menjaga dialog dengan Tiongkok dan pihak lain di
kawasan tersebut,” jelas Dr. Wirajuda.
Perunding Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional (UNCLOS), Prof. Djalal, mengatakan
Indonesia mempunyai peran strategis dalam menjalin komunikasi dengan para pihak untuk
senantiasa mengelola potensi politik di LTS. Di tempat sama, Kepala Badan Informasi Geospasial
(BIG), Dr. Priyadi Kardono, pada acara tersebut menegaskan betapa penting makna informasi
geospasial seperti peta dalam menyikapi dan mengelola sengketa wilayah dan yurisdiksi semacam
LTS.
Tak ketinggalan, dosen Teknik Geodesi UGM, Dr. I Made Andi Arsana, yang menekuni aspek
geospasial hukum laut, terutama batas maritim turut memberikan pandangannya. Menurutnya,
dimensi geospasial/keruangan penting dalam memahami isu LTS yang selama ini cenderung
dipandang dari segi politik dan hubungan internasional saja.
“Sangat penting mengetahui posisi dan dimensi potensi sengketa LTS sebelum mengajukan opsi
solusi,”kata Andi.
Dari acara tersebut muncul beberapa rekomendasi, diantaranya LTS adalah isu multidimensi yang
memerlukan pendekatan multidisiplin dalam penyelesaiannya. Selain itu, pemerintah harus
menyadari pentingnya peran disiplin kebumian seperti Teknik Geodesi dan terutama informasi
geospasial (peta) yang dihasilkan dari proses pemetaan permukaan bumi dalam mengelola
kedaulatan dan yurisdiksi NKRI di laut, termasuk LTS. Pemerintah juga perlu menjaga dan
meningkatkan peran kepemimpinan di ASEAN melalui jalinan komunikasi dengan negara-negara
anggota terkait strategi menghadapi isu LTS. (Humas UGM/Tri)
Berita Terkait
●
●
●
●
●
Upwelling Muncul di Perairan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara
KASAL Beri Kuliah Umum di UGM
Teliti Budidaya Rumput Laut, Muh. Irfan Raih Doktor
Pemerintah Hidupkan Poros Maritim, Prodi Kemaritiman Perlu Ditambah
Mahasiswa UGM Mengikuti ISC Biomarin di Jepang
Download