BAB I PENDAHULUAN Latar belakang Estrus merupakan fase ketika hewan betina memperlihatkan gejala khusus untuk tiap jenis hewan, dan dalam fase ini pula hewan betina menerima pejantan untuk kopulasi. Deteksi estrus dilakukan dengan mengamati gejalagejala yang ditunjukkan oleh hewan betina saat masa estrus. Gejala-gejala estrus yang tampak pada sapi betina yang sedang estrus diantaranya adalah diam ketika dinaiki oleh pejantan maupun oleh sesama betina, sapi betina juga aktif menaiki induk yang lain, keluar lendir bening yang menggantung dari vulva, tingkah laku tampak gelisah, frekuensi melenguh lebih sering, vulva bengkak, dan mukosa vulva berwarna merah dan basah (Ismaya, 2014). Hormon reproduksi yang paling berperan dalam siklus estrus adalah hormon estradiol dan progesteron. Secara hormonal gejala estrus merupakan refleksi dari tingginya kadar estradiol. Pengaruh estradiol saat estrus menyebabkan serviks mengendor dan membuka, dan sel-sel goblet pada serviks dan vagina mensekresikan sejumlah besar mukus kental dan transparan. Vulva mengendor dan oedematous. Pembengkakan vulva serta terjadinya peningkatan vaskularisasi hingga warna vulva agak kemerahan yang menjadikan ciri khas pada waktu estrus. Estradiol akan beraksi pada saraf pusat untuk menginduksi perilaku estrus, terutama pada sapi dan domba. 1 2 Pengendalian periode estrus pada hewan betina sehingga estrus dapat terjadi secara serentak pada hari yang sama disebut dengan sinkronisasi estrus. Sinkronisasi berguna untuk mengatur waktu inseminasi buatan (IB) sesuai dengan kemampuan biaya dan tenaga serta keinginan mengatur waktu beranak sesuai ketersediaan pakan (Kune dan Solihati, 2007). Pelaksanaan IB yang terlalu cepat atau terlalu lambat akan menghasilkan angka kebuntingan yang rendah. Hal ini disebabkan oleh ketidaktepatan waktu pertemuan antara oosit dan spermatozoa yang keadaannya masih optimal (Hafizuddin dkk., 2012). Faktor pakan juga berperan penting dalam pelaksanaan IB, jika sapi kekurangan nutrisi maka tubuhnya akan menjadi kurus, hal ini menyebabkan sapi tidak estrus ataupun terjadi kasus dimana estrus tidak tampak nyata (silent heat). Berdasarkan hal-hal tersebut maka ketepatan waktu IB, deteksi waktu estrus, serta nutrisi ternak menjadi faktor yang sangat berpengaruh untuk mengawinkan ternak. Kegagalan IB menimbulkan kerugian yang ditanggung peternak, seperti kerugian dalam hal ekonomi (pakan serta angka kelahiran yang kecil), kerugian tenaga, kemudian diperburuk apabila ternak mengalami gangguan reproduksi atau terjangkit penyakit tertentu. Masalah tersebut harus mendapat perhatian lebih dalam upaya mensukseskan program IB. Pengamatan gejala fisik sapi sebelum estrus hingga saat estrus perlu dilakukan untuk mendeteksi waktu yang tepat untuk mengawinkan ternak, baik secara alami maupun dengan IB. Masalah yang kemudian muncul adalah deteksi estrus berdasarkan gejala fisik tidak selalu dapat dilakukan sebab sapi tidak selalu menampilkan gejala fisik secara nyata (Hafizuddin dkk., 2012). Cara deteksi lain 3 yang dapat diterapkan adalah dengan mengukur kadar hormon reproduksinya, salah satunya adalah dengan mengukur kadar estradiol. Deteksi kadar estradiol dalam plasma darah dilakukan dengan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Prinsip dari metode ini adalah penggunaan enzim untuk mendeteksi ikatan dari hormon dengan antibodi (Bearden dkk., 2004). Metode ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi estrus pada sapi yaitu apabila kadar estradiol tinggi maka gejala fisik dan tingkah laku estrus lebih mudah diamati sehingga kadar estradiol terukur dapat menjadi alternatif lain untuk mendeteksi waktu estrus. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk melihat gejala fisik sapi estrus, mengukur kadar estradiol, dan mengetahui hubungan gejala fisik sapi estrus dengan kadar estradiol. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa pengetahuan mengenai hubungan antara gejala fisik sapi estrus dengan kadar estradiol sehingga kadar estradiol saat estrus dapat menjadi alternatif lain untuk mendeteksi estrus.