BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Film 2.1.1 Sejarah Film Sejak awal abad ke-19 dilakukan berbagai percobaan untuk menciptakan sebuah pesawat yang dapat memancarkan gambar yang dapat bergerak. Langkah pertama ke arah cinematografi dilakukan oleh E.Muybridge, seorang petualang Inggris yang berimigrasi ke California pada tahun 1849. Awalnya adalah kegemaran bertaruh balapan kuda. Pada tahun 1977, Muybridge menempatkan 12 kamera sepanjang jalur lapangan, dan merentangkan tali-tali menyeberangi jalur. Setiap melewatinya kuda diabadikan oleh satu kamera. Muybridge merealisasikan semua gerakan asli dan memproyeksikannya dengan lentera ajaib. Selama 20 tahun sejak itu, Muybridge meneruskan pengambilan gambar bergerak. Pada tahun 1882 seorang Perancis bernama Etienne Jules Marey, mengambil gambar bergerak dengan satu kamera. Ide ini diambil dari ide Muybridge. Marey membuat sebuah senapan yang dapat menampilkan 12 gambar dalam satu detik. Perkembangan film bergerak dan berlanjut dengan cepat, apalagi setelah penemuan film negatif transparan. Perkembangan terus berlanjut dengan ditemukannya mesin-mesin sinema pertama. Pada tahun 1888, Thomas A. Edison menemukan kamera gambar bergerak yang bernama kinematografi. Kemudian tahun 1985 dua bersaudara Perancis, Augustedan Louis Lumiere (dikenal dengan Lumiere bersaudara), mengembangkan penemuan Edison sehingga ditemukan peralatan yang dapat mengambil gambar bergerak (film), memperbanyak, serta memproyeksikan ke 8 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 9 layar (screen play). Penemuan-penemuan terus berkembang, apalagi setelah penemuan Lumiere mengundang banyak peminat produser film kerena keberhasilannya menyajikan film yang baik saat itu. Pada awal abad ke-20, produksi film Perancis mempunyai peranan di dunia, bahkan merupakan pembuat film kolosal pertama hasil karya Charles Pathe.Pada Perang Dunia I, banyak sekali indrustri perfilman Eropa dan pasaran internasional mengalami kehancuran, dan memungkinkan perfilman Amerika Serikat mencapai keberhasilan. Ketika perang berakhir, Hollywood mendominasi perfilman dunia. Teknologi perfilman pun mencapai kesempurnaan, sampai kemudian ditemukan teknologi yang mampu memadukan gambar dan suara (1926-1930), suatu penemuan yang menandakan berakhirnya periode film bisu. Kemudian teknologi film berwarna semakin memacu gairah para masyarakat film. Juga berkembangnya filmfilm untuk siaran televisi dan film-film tiga dimensi. Dalam teknologi suara muncul teknologi dolby stereo yang membuat suara film bermunculan di semua sisi gedung bioskop. Kehadiran film sebagai media komunikasi untuk menyampaikan informasi, pendidikan dan hiburan adalah salah satu media visual auditif yang mempunyai jangkauan yang sangat luas, mengingat sifatnya yangterbuka, cakupan pemirsanya yang tidak mengenal usia dan meliputi seluruh lapisan mesyarakat mulai dari anakanak, remaja, hingga orang dewasa. Luas jangkauan siaran dan cakupan pemirsanya bukan saja menjadikan film sebagai media alat untuk mempengaruhi terhadap perkembangan pengetahuan dan tingkat penyerapan pesan-pesan yang disampaikan melalui media ini jauh lebih intensif jika dibandingkan dengan media komunikasi lain. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 10 Film atau gambar hidup merupakan gambar-gambar dalam frame dimana frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar terlihat gambar itu hidup. Film itu bergerak dengan cepat dan bergantian sehingga memberikan visual yang berlanjut. Film juga merupakan serangkaian gambar-gambar yang diambil dari obyek yang bergerak memperlihatkan suatu serial peristiwa-peristiwa gerakan yang berlaku secara berkesinambungan, yang berfungsi sebagai media hiburan, pendidikan, dan penerangan. Sebagai salah satu media informasi maka film secara otomatis akan membawa dampak baik itu positif maupun negatif kepada penontonnya. Untuk meningkatkan kesadaran dampak dari film, suatu film diiringi suara yang dapat berupa dialog atau musik sehingga dialog atau musik merupakan alat bantu penguat ekspresi, di samping suara musik, warna yang mempertinggi tingkat nilai kenyataan pada film sehingga unsur sungguh-sungguh terjadi sedang dialami oleh khalayak pada saat film diputar makin terpenuhi. Film meniru alur kesadaran yang kita alami secara mental dan visual. Sebuah kata bisa memperlambat alur ini. Film sangat ahli mempengaruhi perasaan kita. Seperti puisi, sebuah film didasarkan pada arsitektur irama (nada), pengarahan perhatian, dan simbolisme, dan tidak terlalu banyak ekspresi literal dan bebas karena film meniru drama puisi, film juga unik secara ekspresi sering kali mencerahkan dan lebih sering menghibur. Namun, harus mematuhi hukum tertentu. Film hanya bisa memberikan kita jumlah informasi terbatas mengenai masyarakat. Budaya dan kehidupan di dalam diri manusia.1 1 Michel LeGault, Think!, PT. Transmedia : 2006 hal 46 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 11 2.2 Film Noir 2.2.1 Sinematik Film Noir Film noir adalah sebuah istilah sinematik yang digunakan untuk menggambarkan gaya film Hollywood yang menampilkan drama-drama kriminal, khususnya yang menekankan keambiguan moral dan motivasi seksual. Periode film noir klasik Hollywood biasanya dianggap merentang dari awal 1940-an hingga akhir 1950-an. Film noir dari masa ini dihubungkan dengan gaya visual hitam-putih dalam pencahayaan yang rendah yang berakar dalam sinematografi ekspresionis Jerman, sementara banyak dari cerita-cerita prototipnya dan sikap noir yang klasik berasal dari aliran fiksi detektif yang muncul di Amerika Serikat pada masa Depresi. Berkaitan dengan kelahiran film noir, Perang Dunia II merupakan Fase krusial bagi dunia literer Amerika. Dalam level mikro, bidang leterer merumuskan modus naratif film noir, kemudian dimatangkan oleh kontribusi dari bidang sistematik. Kolaborasi keduanya menghasilkan sebuah fenomena dalam sejarah Hollywood yang biasa dikenal sebagai noir. Berkaitan dengan kelahiran film noir, pada saat Perang Dunia II, Amerika digemparkan oleh teknologi baru dalam industri percetakan yaitu paperback, alias cetakan buku dengan sampul tipis. 2 Sejak kehadiran paperback, segalanya berubah. Perubahan itulah yang nantinya menyiapkan panggung bagi kehadiran film noir di Hollywood. Publikasi dalam format paperback memiliki satu keunggulan, yaitu penerbit dapat mencetak dalam volum massal dengan biaya produksi yang sangat murah. Kualitas buku yang dicetak memang tidak begitu baik: kertas 2 Lee Server. Over My Dead Body: The Sensational Age of the American Paperback: 1945-1955. San Francisco: Chronicle Books, 1994, hal. 34-35. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 12 tipis, sampul buku tipis, dan penjilidannya hanya menggunakan lem saja.3 Namun kebutuhan akan hiburan yang cepat dan murah dikalangan pekerja Amerika Serikat pada kala itu membuat penerbit mengesampingkan kualitas cetakan buku mereka. Sampai pada suatu era di pertengahan 40-an sampai awal 50-an dimana kebutuhan akan cerita tentang kriminal meningkat pesat, kemudian saat novel Dark Passage pada tahun 1946 yang ditulis oleh David Goodis difilmkan setahun setelahnya oleh Warner Brothers menjadikan awal kelahiran film noir. Bisa dibayangkan bahwa kelahiran film noir merupakan adaptasi dari cerita-cerita kriminal yang gelap, emosional dan hitam putih. Gambar 1. Contoh Intensitas dan Kontras Cahaya pada Film Noir Selama periode 40-an hanya ada satu jenis film yang secara konstan diproduksi dibandingkan dengan film-film lainnya, yaitu film kriminal. Alasan utamanya tentu saja stok cerita kriminal yang begitu melimpah. Stok cerita kriminal tersebut lebih banyak diambil dari adaptasi novel yang sebelumnya menjadi primadona dalam dunia percetakan Amerika. 3 Ibid., hal. 37. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 13 Tentu ada logika sendiri yang harus dipertimbangkan dalam mengadaptasi novel ke layar lebar, mengingat cerita tertulis memiliki sistem baratif yang berbeda dari cerita gambar bergerak. Dalam menvisualisaikan cerita-cerita kriminal tersebut, Hollywood banyak terpengaruh pada kondisi pasca Perang Dunia II yang kemudian menjadi berkah terselubung dari sinema Amerika. Para imigran dari eropa yang memilih hijrah ke Amerika ikut membantu mengembangkan dunia perfilman Amerika. Berkaitan denga film noir, para imigran Eropa tersebut punya modal yang esensial, yakni ekspresionisme Jerman. Aliran estetik khas Jerman itulah yang nantinya bakal menjadi rumus dasar visual film noir. Ekspresionisme sebenarnya sudah berkembang di Jerman dua dekade sebelum Perang Dunia II meletus. Waktu itu di era 20-an, banyak budaya Eropa mencoba mencari inovasi, dengan bereksperimen melalui ide-ide baru. Ekspresionisme sendiri merupakan kecenderungan sebuah karya untuk mewujudkan kenyataan dengan efek-efek emosional. Emosi disini lebih kepada jenis emosi kemarahan dan depresi. Pemikiran ini jelas merupakan antitesis dari prinsip Hollywood, yang mengedepankan keutuhan dalam film-film Hollywood, garis imajiner yang menjadi pakem kebanyakan pengambilan gambar dalam logika ruang dan waktu di produksi Hollywood, seperti contohnya ketika seorang aktor keluar dari pintu di kiri layar, setelah mereka masuk dari pintu di kanan layar. Hal semacam ini diabaikan oleh para praktisi ekspresionisme Jerman, dan mendesain properti dalam film-film mereka sekacau mungkin. Kontras dibuat setinggi mungkin, dengan mengecat lantai dan dinding dengan pola warna hitam asimetris, untuk mepresentasikan cahaya dan bayangan. Seting pun http://digilib.mercubuana.ac.id/ 14 dibuat se-tidak jelas mungkin, dengan tidak menghiraukan tata ruang yang rapi dan teratur. Ruang dalam film-film ekspresionis Jerman seringkali memiliki atap yang tidak tegak lurus dengan dasarnya, dan cenderung dipenuhi ornamen-ornamen yang lebih besar dari ukuran aslinya. Ketidakaturan properti tersebut dimanfaatkan para pembuat film ekspresionis sebagai motif cerita. Properti-properti tersebut menjadi wujud simbolik dari emosi-emosi gelap manusia, seperti kegelisahan, kebingungan, dan kegilaan. Keberadaan karakter film dalam ruang yang tidak proporsional merupakan cerminan dari kondisi mental manusia yang tidak pernah akrab dengan realita di sekitarnya. Tidak heran jika kemudian gerakan ekspresionisme Jerman melahirkan film-film berteme 'intelek', bila dibandingkan dengan film laga dan roman yang banyak diproduksi Hollywood pada waktu itu. Dalam produksi film noir, simbolisasi emosi kerakter merupakan hal yang esensial. Pasalnya, naratif film noir sangat bergantung pada simbolisasi karakter tersebut. Tanpanya, film noir akan kehilangan kualitas mistisnya, dan hanya akan menjadi cerita kriminal biasa dengan karakter-karakter yang dapat ditemukan di ratusan cerita kriminal lainnya.4 Simbolisasi emosi tersebut yang menjadikan film noir terlihat begitu pesimis, sekaligus begitu akurat dalam memotret psike masyarakat Amerika paska perang. Para pembuat film noir memvisualisasikan fatalisme tersebut lewat pencahayaan, yang selalu membingkai protagonis film noir dalam bayangan setengah gelap dan setengah terang. Pembingkaian ini semakin ditekankan 4 Andrew Dickos. Street With No Name: A History of the Classic Film Noir. Lexington: University of Kentucky Press, 2002, hal. 39. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 15 dalam shoti khas film noir: close-up wajah protagonis, yang terbelah oleh cahaya/bayangan secara vertikal. Motif lainnya dalam film noir ini yaitu relasi protagonis dengan orang yang cocok dengannya, umumnya femme fatale, selalu didasari oleh suatu kepentingan.5 Namun kepentingan tersebut hanya bisa dipenuhi lewat plot atau tindakan terencana yang berada di luar jalur hukum. Hal inilah yang semakin menambah suram dengan rasa bersalah pada karakter-karakter film noir. Mereka tidak nyaman dengan orang-orang di lingkaran personalnya, baik keluarga maupun lingkungan kerja. Film noir menggambarkan pesimisme sosial tersebut melalui pencahayaan dan tata letak properti. Shot yang paling umum dari fenomena ini adalah dua karakter, biasanya laki-laki dan perempuan, yang terproyeksikan oleh bayangan teralis jendela. Bayangan tersebut mejadi simbolisasi dari ketidakmampuan karakter-karakter film noir keluar dari kegelisahan. Seakanakan selalu ada jeruji yang menghalangi jalan keluar mereka. Setting eksterior yang menjadi ciri khas film noir adalah gang-gang gelap, jalanan (aspal) yang licin dan basah lengkap dengan cahaya neon yang berkedip-kedip. Sementara setting interior umumnya mengambil lokasi di kamar hotel, kantor, bar, apartemen, atau gudang. Setting interior kerap kali dipenuhi asap rokok yang tebal. Unsur sinematografi diwakili oleh penggunaan teknik deep-focus (fokus yang tajam pada foreground maupun background), sudut kamera high-angle serta low-angle, serta komposisi yang tidak seimbang. 5 Robert G. Porfirio. No Way Out: Existensial Motifs in the Film Noir. Sight and Sound, vol. 4, no. 45, hal 215. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 16 2.3 Film ekperimental Film eksperimental adalah film yang tidak dibuat dengan kaidah-kaidah film yang lazim.6 Tujuannya untuk mencari cara pengungkapan baru lewat film. Film eksperimental ini merupakan film yang lahir dari tradisi menonton TV dan dalam perkembangan lebih lanjut disebut sebagai video art. Berbeda dengan film film biasa, film eksperimental atau video art merupakan penggabungan antara konsep waktu (waktu untuk visualisasi ditentukan sebelumnya oleh si pembuat film jadi durasi tidak tergantung kepada hasil editan) konsep visual (visualisasi membebaskan apakah penonton tetap sebagai penonton atau penonton sebagai subjek yang diaktualisasikan untuk ditonton) digitalisasi dan personalitas (efek efek digital tertentu mutlak diperlukan untuk menunjang visualisasi serta setiap karya harus mencerminkan gaya dan kekuatan personal dari si pembuat tanpa memperdulikan pemahaman penonton), dan narasi film yang non linear (berbeda dengan narasi film cerita yang linear disini narasi film tidak dapat dirasakan koherensi antar adegan). Biasanya film eksperimental atau video art lebih banyak digunakan sebagai karya seni rupa audio visual dengan digabungkan media seni rupa lain seperti instalasi atau grafis. Lalu, untuk apa sebuah film eksperimental dibuat jika tidak mampu mengakomodir pemahaman penonton?. Tujuan dari film eksperimental dibuat untuk menempatkan penonton agar lebih aktif dan bijaksana dalam menerima pesanpesannya. Selain dari itu film eksperimental juga memberikan kebebasan imajinasi kepada penontonnya untuk meresap makna dari film tersebut. 2.4 Sinematografi Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa Inggris Cinematography yang 6 Movie; about the content and genre. 2005: Endonesya. 24 januari http://cinemaholic.endonesa.net/movie-about-the-content-and-genre.htm http://digilib.mercubuana.ac.id/ 17 berasal dari bahasa Latin kinema ‘gambar’. Sinematografi sebagai ilmu terapan merupakan bidang ilmu yang membahas tentang teknik menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide (dapat mengemban cerita). Sinematografi memiliki objek yang sama dengan fotografi yakni menangkap pantulan cahaya yang mengenai benda. Karena objeknya sama maka peralatannyapun mirip. Perbedaannya, peralatan fotografi menangkap gambar tunggal, sedangkan sinematografi menangkap rangkaian gambar. Penyampaian ide pada fotografi memanfaatkan gambar tunggal, sedangkan pada sinematografi memanfaatkan rangkaian gambar. Jadi sinematografi adalah gabungan antara fotografi dengan teknik perangkaian gambar atau dalam sinematografi disebut montase (montage). Sinematografi sangat dekat dengan film dalam pengertian sebagai media penyimpan maupun sebagai genre seni. Film sebagai media penyimpan adalah pias (lembaran kecil) selluloid yakni sejenis bahan plastik tipis yang dilapisi zat peka cahaya. Benda inilah yang selalu digunakan sebagai media penyimpan di awal pertumbuhan sinematografi. Film sebagai genre seni adalah produk sinematografi Dalam pembuatan film atau video, bahkan animasi sekalipun gambar tidak hanya sekedar gambar, tetapi gambar adalah subuah informasi. Berbagai kumpulan dari sebuah gambar yang mengandung unsur informasi menjadikan sebuah tatanan dari reaksi cahaya yang menjadikannya gambar pada sebuah objek terlihat. Sinematografi adalah sebuah gambar yang kemudian mencoba menyampaikan pesan kepada penonton melalui bahasa visual melalui seluruh elemen gambar. Hasil akhir dari tayangan video atau animasi secara materi adalah berbentuk dua dimensi, maka dari itu untuk menghasilkan sinematografi yang baik, pemahaman konsep terhadap dasar 2D, 3D dan bahasa visual itu patut diperlukan. Untuk itu perlu http://digilib.mercubuana.ac.id/ 18 pemahaman tentang prinsip-prinsip desain dan juga elemen desain. Beberapa elemen desai tersebut antara lain: 1. Space (ruang) 2. Line (garis) 3. Balance (keseimbangan) 4. Color (warna) 5. Shape (bentuk) 6. Texture (tekstur) 7. Form (bidang) 8. Value (nilai) Sedangkan beberapa prinsip desain antara lain: 1. Unity (kesatuan) 2. Balance (keseimbangan) 3. Visual Tension (penekanan visual) 4. Rythym (ritmik) 5. Proportion (Proporsi) 6. Contrast (Kontras) 7. Texture (tekstur) 8. Directionality (arah)7 2.5 Teknik Pengambilan Gambar Dalam karya visual, kemampuan untuk menyampaikan pesan dalam bentuk gambar merupakan suatu hal yang fundamental. Segala sesuatunya dipikirkan dan disampaikan melalui bahasa visual. Satu-satunya alat yang mempunyai kemampuan 7 Blain Brown, Cinematography Theory and Practice, Image Making for Cinematographers, Directors, and Videographers, Focal Press. hal. 31-34. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 19 untuk menagkap gambar adalah kamera. Dari berbagai macam teknologi kamera yang berkembang hingga berbagai macam teknik gerakan dan intensitas penangkapan cahaya yang dapat dilakukan oleh sebuah lensa kamera. Penempatan posisi pada kamera adalah kunci dari alur cerita dari sebuah film.8 Tidak hanya penempatan, pergerakan kamera juga mampu memberikan sebuah jiwa dan motivasi kepada sebuah gambar bergerak dalam video atau film. Pergerakan kamera itu sendiri begitu penting karena dengan motivasi arah kamera yang bergerak memberikan persepsi dan jalan cerita tersendiri untuk sebuah cerita. Agar dapat dinikmati dan dipahami pergerakan kamera dalam sebuah film atau video, pergerakan kamera memiliki batasan gerak dan kaidah seperti sebagai berikut: • Balance, Framing, Compositions : Horizontal Lines, Vertical Lines, Thirds Ratio, Diagonal Lines, Triangle, Perspective, Looking Room, Walking Room, Head Room, Golden Mean, Background, Foreground. • Frame Cutting Points : Extreme Close Up, Big Close Up, Close Up, Medium Close Up, Medium Shot, Medium Long Song, Long Shot, Extreme Long Shot. • Other Types Of Shot : 2 Shot, 3 Shot, Group Shot, Over Shoulder Shot, Establishing Shot. • Camera Movement : Panning ( Left, Right, Up, Down ), Tracking (In, Out, Follow, Revolve ), Truck ( Left, Right ), Zooming (In, Out) • Camera Angle # 1 : Eye Angle, Low Angle, High Angle • Camera Angle # 2 : Objective Camera, Subjective Camera • Shot By Camera Positions : Face Shot, ! Shot, Profile Shot, Over Shoulder Shot 8 ibid. hal 62 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 20 • Shooting Rules : Jump Cut, Crossing The Line, Continuity Dalam film noir yang banyak terpengaruh oleh kaum ekspresionisme membuat kaidah kaidah tersebut diatas menjadi lebih beragam dan lebih terlepas dari aturan-aturan yang mengharuskan objek dalam kamera serta pergerakan dan sudut pengembilan gambar tak terikat pada sikuenitas alur. Seperti contoh pada garis imajiner yang menjadi pakem gerakan in/out frame sebuah objek pada kamera. Jika berbicara tentang pengambilan gambar pada sebuah film, maka sudah seharusnya mengikutsertakan pada pemikiran dalam editing, yang merupakan elemen penting dari sebuah produksi film. Maka setiap pengambilan gambar, seorang sinematografi juga berpedoman pada bagaimana hasil pasca produksi yang akan dikerjakan setelah produksi dilaksanakan. Sebuah bahasa gambar juga dapat mempergunakan teknik permainan lensa yang menjadikan makna dari sebuah gambar lebih mendalam. Pengaturan frame sedemikian rupa membuat penonton memutuskan untuk fokus melihat salah satu objek pada gambar.9 Menggunakan lensa kamera, kita dapat menggiring penonton untuk melihat atau mendalami karakter objek yang diperlukan sesuai dengan kemauan pembuat film. Sehingga dengan begitu sebuah cerita akan menjadi bermakna mendalam pada beberapa adegan yang diperlukan. Selain sebagai bahasa komunikasi gambar, yang dapat disampaikan melalui gambar, keindahan estetika pada sebuah film juga diperhatikan untuk memberikan nilai lebih pada tampilan sebuah gambar. Estetika tersebut juga mampu diberikan melalui sudut pengambilan kamera, pengaturan cahaya serta temperatur warna yang direkam. Memberikan in-depth focus pada sebuah objek juga kumrah diakukan oleh filmmaker pada umumnya. 9 Ibid. hal. 46 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 21 Penempatan sudut kamera juga berpengaruh pada kondisi psikologis penonton, contohnya adalah jika kita menggunakan High Angle – kamera lebih tinggi dari garis axis kamera, maka penonton akan diposisikan lebih tinggi dari subjek, hal ini yang membuat penonton merasa subjek lebih kecil baik secara fisik atau lebih rendah derajatnya dalam tatanan sosial. Pada film hal ini sering digunakan untuk memperlihatkan pengemis, rakyat jelata dan lain-lain. Sedangkan penggunaan Low Angle – Kamera lebih rendah dari garis aksis kamera, maka penonton diposisikan lebih rendah dari subjek, hal ini yang membuat penonton merasa subjek lebih tinggi secara fisik atau lebih tinggi derajatnya dalam tatanan sosial. Hal seperti ini banyak kita temukan di film untuk memperlihatkan raja, hakim, dan sebagainya. Kemudian ada juga yang disebut dengan Eye level – kamera sama tingginya dengan level subjek atau jika subjek berdiri/duduk kamera berada pada aksis yang sama dengan posisi subjek. Bisa dikatakan sebagai pandangan subjek ke subjek lain dalam sebuah potongan tapi bukan Point of View. Seperti yang telah dibahas pada tulisan diatas, menyampaikan bahasa gambar melalui permainan lensa hingga mampu mengarahkan fokus penontn yang disebut Point of Interest, dapat juga melalui penataan elemen visual. Menata elemen visual di sini dalam arti lain kita mengarahkan penonton pada Point of Interest dalam gambar yang kita buat. Dengan mengarahkan penonton pada PoI maka penonton akan bisa mengikuti cerita dalam film kita dengan emosi sepenuhnya. Jika kita terlalu banyak meletakan Ponit of Interest dalam sebuah gambar maka mata atau perhatian penonton akan terbagi-bagi, akhirnya perhatian mereka pada cerita juga akan terganggu. Dalam film atau dalam komunikasi visual kita harus memanfaatkan waktu seefisien mungkin agar penonton bisa mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan dalam memahami film kita. Komposisi memang mempunyai aturan-aturan yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 22 sangat ketat, akan tetapi kita bisa saja melawan aturan tersebut asalkan tetap bisa mengarahkan perhatian penonton pada Point of Interest. Banyak sekali factor yang mempengaruhi komposisi di antaranya; warna, garis, tekstur, bentuk, ukuran, dan sebagainya, yang menjadi sedikit mempunyai tantangan adalah dalam film kita mengkomposisi gerak, karena bisa saja subjek atau kamera bergerak terus menerus sehingga kita harus terus mengatur elemen-elemen visual tersebut dalam frame kita, sehingga penonton tetap setia pada Point of Interest. 2.6 Teknik Penataan Cahaya Cahaya merupakan salah satu elemen paling penting dalam sinematografi. Menurut penulis, pencahayaan merupakan nyawa dari sebuah gambar. pembentukkan mood, rasa dan penjiwaan dari maksud sebuah gambar, dapat dimunculkan dan dipertegas melalui teknik pencahayaan. Setiap warna cahaya yang dipilih, akan banyak mempengaruhi keindahan dan estetika pada sebuah gambar pada film. Pencahayaan merupakan elemen kunci dari sebuah cerita dalam film.10 Melalui pencahayaan, film dapat memanipulasi waktu yang sebenarnya terjadi pada proses syuting. Semua seniman visual merupakan seorang manipulator. Mereka denga sengaja mengubah garis dan pola, cahaya dan bayangan, tekstur dan warna untuk merancang efek pencahayaan yang baik.11 Seni menata cahaya dalam film menjadi bagian yang terpenting karena bisa mempengaruhi juga perhatian penonton terhadap cerita. Tata cahaya film sangat dipengaruhi oleh pengalaman penonton melihat kondisi cahaya dalam dunia nyata, bagaimanapun juga cahaya dalam film meniru cahaya yang sebenarnya terjadi di 10 Ibid. Hal. 158 Gerald Millerson, The Techbique of Lighting for Television and Film. Focal Press. London. 1991. Hal 59. 11 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 23 kehidupan nyata. Mengendalikan cahaya juga berarti mengendalikan bayangan, sehingga dapat memberikan pencahayaan visual yang maksimal. Memanipulasi cahaya dan bayangan berarti mampu mengekspresikan ide.12 2.8.1. Pencahayaan Pada Film Noir Memiliki ciri yang sangat khas pada tampilan cahaya yang dipergunakan pada film noir. Ketika berbicara film noir, maka kita akan menampilkan sebuah pertunjukkan yang minim cahaya dengan garis tegas antara gelap dan terang, dan mempertemukan letak yang tepat pada keindahan bayangan dan cahaya sekaligus. Film noir memiliki gaya pencahayaan yang sangat berbeda dari film-film lainnya, dengan shadow-filled low-key lighting, bayangan disini sangat penting dibandingkan cahaya itu sendiri. Gambar 2. Contoh pencahayaan pada film noir Contoh tipikal yang berbeda, pada film-film pada umumnya memiliki pencahayaan kontras yang rendah, sedangkan film noir mimiliki kontras yang tinggi, film lain memiliki keseimbangan tiga poin pencahayaan yaitu keylight, 12 Blain Brown, Cinematography Theory and Practice, Image Making for Cinematographers, Directors, and Videographers, Focal Press. hal. 159. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 24 backlight dan fill light, akan tetapi noir lebih sering menggunakan ketidakseimbangan pencahayaan, dengan mempertegas batas bayangan.13 2.8.2. Teknik Pencahayaan Untuk GreenScreen/BlueScreen Tidak terlalu memerlukan teknik pencahayaan khusus untuk konsep greenscreen ini. Hanya saja memerlukan perhatian yang lebih agar hasil yang didapat menjadi maksimal. Menggunakan greenscreen atau layar hijau ini berarti menggunakan banyak efek visual yang diberikan pada saat proses editing. Oleh karena itu dukungan yang diberikan saat tahap produksi adalah meaksimalkan gambar agar jauh dari ketidaksempurnaan. Gambar 3. Denah Posisi Lampu Untuk Teknik GreenScreen Pencahayaan tersendiri untuk layar hijau mengharuskan intensitas pencahayaan yang merata. Hal ini dimaksudkan agar penyatuan efek chroma yang akan dilakukan saat paska produksi menjadi lebih mudah dan merata. Kesatuan warna cahaya dan temperaturnya juga harus disesuaikan pada objek sesuai dengan mood ceritanya ada film. 13 Geoff Mayer dan Brian McDonell, Encyclopedia of Film Noir. Greenwood Press. London. 2007. hal. 73-74. http://digilib.mercubuana.ac.id/