BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Di era globalisasi seperti sekarang dimana perdagangan bebas sangat gencar dilaksanakan, perusahaan dituntut untuk bisa bersaing dengan para pelaku bisnis lainnya. Setiap perusahaan baik besar maupun kecil memiliki tujuan jangka panjang dalam menjalankan usahanya yaitu dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, selain tujuan perusahaan pada umumnya, yaitu memaksimalkan laba. Biasanya setiap langkah yang diambil dalam hal pengembangan usaha-usaha tersebut akan membutuhkan dana yang cukup besar. Sumber-sumber pendanaan perusahaan bisa berasal dari internal perusahaan seperti laba ditahan maupun depresiasi dan juga bisa berasal dari ekternal perusahaan seperti dari pihak perbankan maupun pasar modal. Pasar modal merupakan wahana yang dapat menggalang pergerakan dana jangka panjang dari masyarakat untuk disalurkan ke sektor-sektor yang produktif. Perkembangan pasar modal di Indonesiamerupakan salah satu alternatif sumber pendanaan selain perbankan, dengan berkembangnya pasar modal menunjukkan bahwa kepercayaan investor terhadap pasar modal cukup baik. Investor yang akan melakukan investasi dengan membeli saham di pasar modal akan menganalisis kondisi perusahaan terlebih dahulu agar investasi yang dilakukannya dapat memberikan keuntungan (return). Return merupakan salah satu faktor yang memotivasi investor dalam berinvestasi dan juga sebagai tingkat pengembalian 1 yang akan diterima oleh investor atas investasinya, return mencerminkan keputusan keuangan yang mempunyai tujuan memperoleh suatu nilai yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Pencapaian return saham sesuai dengan yang diinginkan investor menyebabkan investor harus melakukan analisis saham. Banyak faktor yang mempengaruhi harga saham, maka untuk melakukan analisis penilaian saham, investor bisa melakukan analisis fundamental untuk menilai prospek perusahaan. Analisis fundamental merupakan salah satu cara untuk melakukan penilaian saham dengan mempelajari atau mengamati berbagai indikator yang terkait dengan kondisi makro ekonomi dan kondisi industri suatu perusahaan hingga berbagai indikator keuangan dan manajemen perusahaan (darmadji, 2012:149).Pertama kali perlu dilakukan analisis terhadap faktor-faktor makro ekonomi seperti perubahan suku bunga, kurs valuta asing, inflasi dan kebijakan moneter. Analisis terhadap kondisi industri untuk mengetahui kelemahan dan kekuatan jenis perusahaan dan analisis perusahaan perlu dilakukan investor untuk mengetahui informasi tentang perusahaan dimana informasi ini berupa laporan keuangan yang dikeluarkan secara periodik. Hal itu mengingat bahwa kebutuhan informasi didasarkan pada pertimbangan bahwa harga saham ditentukan oleh kinerja perusahaan di masa lalu dan ekspektasinya di masa datang. Kondisi makro ekonomi sangat berpengaruh terhadap keputusankeputusan yang diambil oleh investor. Ketika kondisi makro ekonomi mengalami trend penurunan atau perlambatan, maka harga saham juga mengalami penurunan. Sebaliknya, kondisi perekonomian yang membaik diharapkan akan berdampak pada kenaikan harga saham. Variabel makro ekonomi yang akan diteliti dalam penelitian ini yaitu tingkat suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia), dimana ini berpengaruh secara langsung terhadap tingkat pengembalian saham.. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat berharga atas unjuk dalam rupiah yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek yang diperjualbelikan dengan sistem diskonto.Secara teoritis jika suku bunga SBI mengalami kenaikan maka pihak perbankan akan ikut menaikkan suku bunga simpanan salah satunya dalam bentuk deposito. Kenaikan suku bunga deposito ini bisa akan membuat investor untuk mengalihkan investasinya, karena dianggap mampu memberikan keuntungan yang lebih jika dibandingkan berinvestasi di pasar modal dalam bentuk saham. Menurut Raharjo (2007) terdapat dua penjelasan kenaikan suku bunga dapat berdampak pada menurunnya harga saham. Pertama, kenaikan suku bunga mengubah peta hasil investasi. Kedua, kenaikan suku bunga akan memotong laba perusahaan, hal ini terjadi dengan dua cara yaitu kenaikan suku bunga akan meningkatkan beban bunga emiten, sehingga labanya bisa terpangkas. Kenaikan suku bunga tinggi, biaya produksi akan meningkat dan harga produk akan lebih mahal sehingga konsumen mungkin akan menunda pembeliannya dan akan menyimpan dananya di bank. Menurunnya penjualan perusahaan akan menyebabkan penurunan laba sehingga akan menekan harga saham. Tingkat bunga dan harga saham memiliki hubungan yang negatif (tandelilin., 2010). Tingkat bunga yang terlalu tinggi akan mempengaruhi nilai sekarang (present value) aliran kas perusahaan, sehingga kesempatan-kesempatan investasi yang ada tidak akan menarik lagi. Tingkat bunga yang tinggi juga akan meningkatkan biaya modal yang akan ditanggung perusahaan dan return yang diisyaratkan investor dari suatu investasi akan meningkat. Tingkat suku bunga juga dapat menjadi salah satu pedoman investor dalam pengambilan keputusan investasi pada pasar modal. Sebagai alternative investasi, pasar modal menawarkan suatu tingkat pengembalian (return) pada tingkat risiko tertentu. Suku bunga adalah harga dari penggunaan uang untuk jangka waktu tertentu atau harga dari penggunaan uang yang dipergunakan pada saat ini dan akan dikembalikan pada saat mendatang (Madura, 2006). Terdapat beberapa kontroversi hasil penelitian mengenai pengaruh suku bunga SBI terhadap return saham diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Riantani dan Tambunan (2013), Adisetiawan (2009), Cawachib (2011), Hamid dan Suryatmono (2011), Pengemanan (2013), Kurihara Yukata (2006) menemukan bahwa suku bunga SBI berpengaruh signifikan terhadap return saham. Berbeda dengan hasil penelitian Kewal (2012) dan Imran (2010) yang menyatakan bahwa suku bunga SBI tidak berpengaruh signifikan terhadap harga saham. Analisis industri perlu dilakukan oleh investor untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan perusahaan, salah satunya yaitu dengan mengetahui seberapa risiko yang akan muncul dari investasi yang dilakukan. Pada dasarnya risiko dapat dibagi menjadi dua, yaitu risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Risiko sistematis yaitu risiko yang berpengaruh terhadap semua investasi dan tidak dapat dikurangi maupun dihilangkan dengan cara diversifikasi. Contoh risiko ini adalah risiko pasar, tingkat bunga, daya beli, politik, psikologis serta risiko kegagalan karena kondisi ekonomi yang semakin memburuk. Risiko tidak sistematis adalah risiko yang melekat pada investasi tertentu karena kondisi yang unik dari suatu perusahaan atau industri tertentu. Risiko ini disebabkan antara lain oleh kesalahan manajemen, masalah keuangan yang kemudian akan berpengaruh pada fluktuasi harga surat berharga di pasar modal. Dalam penelitian ini risiko yang akan diteliti adalah risiko pasar.Risiko pasar (market risk), di lain pihak, berasal dari faktor-faktor yang mempengaruhi sebagian besar perusahaan seperti inflasi, resesi, dan tingkat suku bunga yang tinggi. Saham akan dipengaruhi secara negatif oleh faktor-faktor ini, maka risiko pasar tidak dapat dieliminasi dengan diversifikasi. (Brigham dan Houston, 2006 : 238).Perlu diketahui bahwa daya tahan setiap saham terhadap pergerakan pasar berbeda-beda, dengan adanya ukuran risiko ini investor dapat mengetahui seberapa besar daya tahan saham tersebut pada kondisi pasar yang tidak menentu (Wahyu dan Amanda, 2013). Risiko pasar dalam penelitian ini diwakilkan dengan beta, peningkatan Beta (β) mencerminkan semakin tingginya risiko pasar. Beta merupakan ukuran sensitivitas saham terhadap pergerakan dan perubahan yang terjadi di pasar. Beta dihitung dengan meregresikan secara sederhana return saham perusahaan perbulan dengan returnIndeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Semakin besar nilai Beta, maka akan semakin besar risiko sistematis mempengaruhi saham tersebut dan sebaliknya semakin kecil Beta, semakin kecil risiko sistematis (risiko pasar) dapat mempengaruhinya. Beberapa penelitian mengenai pengaruh risiko pasar terhadap return saham yang telah dilakukan diantaranya Budialim (2013), Yusi (2011) menyatakan bahwa beta berpengaruh signifikan terhadap return saham. Hasil penelitian Budialim dan Yusi bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Achmad solechan (2007), Agung sugiarto (2011) dan Vernande nirohito (2009) yang mendapatkan beta tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham. Terjadi beberapa kontroversi temuan hasil penelitian mengenai pengaruh beta terhadap return saham. Analisis perusahaan yang dapat dilakukan oleh investor yaitu dengan menganalisis faktor internal yang mempengaruhi harga saham dengan dilihat dari kinerja perusahaan. Menurut Resmi (2002) kinerja perusahaan akan menentukan tinggi rendahnya harga saham di pasar modal, sehingga investor diharapkan sebelum menanamkan dananya sebaiknya melihat kinerja perusahaan dari laporan keuangan yang diterbitkan secara periodik.Pengukuran kinerja keuangan meliputi hasil perhitungan rasio-rasio keuangan yang berbasis pada laporan keuangan perusahaan yang dipublikasikan dan telah diaudit akuntan publik. Rasio-rasio tersebut dirancang untuk membantu para analisis atau investor dalam mengevaluasi suatu perusahaan berdasarkan laporan keuangannya. Umumnya investor akan mencari perusahaan yang mempunyai kinerja terbaik dan menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Dikatakan perolehan modal perusahaan dan nilai perusahaan akan meningkat apabila perusahaan memiliki reputasi baik yang tercermin dalam laporan keuangannya. Salah satu rasio yang banyak digunakan dalam pengambilan keputusan investasi adalah rasio leverage dan rasio pasar. Rasioleverage mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi seluruh kewajiban finansialnya yang terdiri dari utang jangka pendek dan utang jangka panjangnya. Rasio leverage dalam penelitian ini diwakili oleh Debt to Equity Ratio (DER). Debt to Equity Ratio merupakan rasio yang membandingkan total utang dengan ekuitas. Rasio ini mengukur persentase dari dana yang diberikan oleh para kreditur. Total utang meliputi kewajiban lancar dan kewajiban jangka panjang. Debt to Equity Ratio (DER) mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membayar atau memenuhi kewajibannya dengan modal sendiri. Debt to Equity Ratio menunjukkan hubungan antara jumlah pinjaman yang diberikan oleh pemilik perusahaan. Semakin besar rasio ini menunjukkan bahwa semakin besar struktur modal yang berasal dari utang digunakan untuk mendanai ekuitas yang ada, seperti yang dikemukakan oleh Warren et al. (2005) dalam Sitepu (2010) bahwa semakin kecil rasio DER, semakin baik kemampuan perusahaan untuk dapat bertahan dalam kondisi yang buruk. Rasio DER yang kecil menunjukkan bahwa perusahaan masih mampu memenuhi kewajibannya kepada kreditur dan hal ini akan menambah minat investor untuk menginvestasikan dananya, dengan harapan memperoleh return saham yang tinggi. Semakin besar rasio Debt to Equity Ratio (DER) mencerminkan risiko perusahaan yang relatif tinggi sehingga para investor akan mempertimbangkan kembali untuk berinvestasi. Saham yang memiliki nilai DER yang tinggi, jika perusahaan menggunakan hutang, maka akan meningkatkan risiko yang ditanggung pemegang saham. Ketika jumlah hutang mengalami peningkatan yang cukup besar maka tingkat solvabilitas akan menurun. Hal tersebut akan berdampak dengan menurunnya nilai (return) saham perusahaan. Terdapat beberapa kontroversi hasil penelitian mengenai pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) terhadap return saham diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Ulupui (2005) ,Tinneke (2007), Vahid (2012) dan Arista (2012) yang menemukan juga Debt to Equity Ratio (DER) tidak berpengaruh signifikan terhadap return saham, berbeda dengan penelitian Christanty (2009), Naimy (2008), dan Budialim (2013) yang menunjukkan bahwa Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan terhadap return saham. Rasio pasar merupakan rasio yang menghubungkan harga saham dengan laba dan nilai buku per saham. Rasio ini memberikan petunjuk mengenai apa yang dipikirkan investor atas kinerja perusahaan dimasa lalu dan prospeknya dimasa akan datang. Rasio pasar dalam penelitian ini diwakilkan dengan Price Earning Ratio (PER). Price Earning Ratio (PER) dikenal sebagai salah satu indikator terpenting di pasar modal. Price Earning Ratio (PER) adalah suatu rasio yang menggambarkan bagaimana keuntungan perusahaan atau emiten saham (company's earnings) terhadap harga sahamnya (stock price). Tingginya Price Earning Ratio (PER) mengindikasikan besarnya dana yang dikeluarkan investor yang memungkinkan bahwa perusahaan mengalami pertumbuhan dan kinerja yang baik, yang berarti bahwa pendapatannya relatif terjamin dan pantas menerima suatu kapitalisasi yang rendah.Price Earning Ratio (PER) menjadi sangat penting untuk diteliti dan mempunyai arti penting bagi investor di dalam pengambilan keputusan investasi.Rasio Price Earning Ratio (PER) digunakan sebagai indikator kepercayaan pasar terhadap prospek pertumbuhan perusahaan sehingga banyak pelaku pasar modal yang menaruh perhatian terhadap pendekatan PER, selain itu PER memberikan standar yang baik dalam membandingkan harga saham untuk laba perlembar saham yang berbeda dan kemudahan dalam membuat estimasi yang digunakan dalam input PER. Harga saham perusahaan properti and real estate mengalami fluktuasi oleh sebab itu penting bagi investor untuk mengetahui nilai PER perusahaan apakah nanti akan mampu memberikan keuntungan bagi investor. Price Earning Ratio (PER) yang tinggi menunjukkan bahwa perusahaan memiliki kinerja dan prospek yang baik, dimana akan mampu memberikan return yang tinggi kepada investor. Penelitian yang menggunakan variabel Price Earning Ratio (PER) sebagai variabel yang mempengaruhi return saham menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Christanty (2009), Ika (2012), Guler Aras dan Mustafa (2008) dan Srinivasan (2012) menyatakan bahwa Price Earning Ratio (PER) berpengaruh positif signifikan terhadap Return saham, berbeda dengan penelitian Wijaya (2007), Rendi (2014) dan Heidar (2011) yang menyatakan bahwa PER berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return saham. Price Earning Ratio (PER) juga merupakan angka psikologis bagi value investor dimana PER yang kecil akan lebih menarik dibandingkan dengan PER tinggi. Price Earning Ratio (PER) rendah ini disebabkan oleh laba per saham yang relatif tinggi dibandingkan dengan harga sahamnya, sehingga tingkat returnnya lebih baik dan payback period-nya lebih singkat lagi. Price Earning Ratio (PER) yang kecil merupakan salah satu pertimbangan utama bagi value investing di samping faktor-faktor lainnya. Perusahaan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah industri Properti and Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sektor ini dipilih menjadiobyek penelitian karena sektor ini telah mengalami perkembangan setelahkrisis moneter dan mulai menunjukkan kontribusinya pada pertumbuhanperekonomian akhir-akhir ini. Perkembangan industri propertisaat ini jugamenunjukkan pertumbuhan yang sangat meyakinkan. Hal ini ditandai dengan maraknya pembangunan perumahan, apartemen, perkantoran dan perhotelan. Perkembangan sektor propertijuga dapat dilihat dari menjamurnya real estate di kota-kota besar. Berdasarkan perspektif makro ekonomi, industri propertimemiliki cakupan usaha yang amat luas sehingga bergairahnya bisnis propertipada gilirannya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan terbukanya lapangan kerja. Pergerakan harga saham perusahaan Properti and Real Estate tiap tahun berfluktuasi. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap return saham yang kemungkinan akan diterima oleh pihak investor. Adapun pergerakan harga saham sektor Propertiand Real Estate tahun 2011-2013 ditunjukkan melalui Grafik 1.1: 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2011 SMRA RDTX PWON MTSM MKPI LPKR LCGP KPIG GWSA GMTD EMDE DUTI DART CTRP COWL BKSL BIPP BAPA APLN SEKTOR PROPERTI 2012 2013 Sumber: www.idx.co.id Gambar 1.1 Perkembangan Harga Saham Perusahaan Properti and Real Estate Di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2013 Pada Grafik 1.1 menunjukkan harga penutupan saham (closing price) sektor Properti and Real Estate periode 2011-2013. Berdasarkan pergerakan harga saham pada periode tersebut, dapat diketahui bahwa rata-rata perusahaan Properti dari tahun 2011 ke tahun 2013 berfluktuatif. Pergerakan saham dari tahun 2012 ke tahun 2013 hanya ada beberapa perusahaan saja yang mengalami peningkatan. Tahun 2013 rata-rata harga saham perusahaan properti and real estate mengalami penurunan dari tahun 2012. Penurunan pertumbuhan properti ini dianggap terjadi karena pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semula pada tahun 2011 mencapai posisi 6,5 persen dan 6,23 persen pada tahun 2012, namun pertumbuhan ekonomi tahun 2013 berada dibawah 6 persen (www.kompas.com). Suku bunga bank Indonesia juga mengalami peningkatan dimana pada tahun 2011 sebesar 6,00 persen, tahun 2012 sebesar 5,75 persen dan tahun 2013 sebesar 7,5 persen. Peningkatan suku bunga membuat nilai imbal hasil dari deposito dan obligasi menjadi menarik, sehingga banyak investor pasar modal yang mengalihkan portofolio sahamnya. Meningkatnya aksi jual dan minimnya permintaan akan menurunkan harga saham dan sebaliknya (Prastowo, 2008:9). Sektor Properti juga menjadi indikator penting kesehatan ekonomi sebuah negara. Sebab, industri ini yang pertama memberi sinyal jatuh atau berkembangnya perekonomian sebuah negara (Santoso, 2005). Berdasarkan beberapa kajian empiris tersebut terdapat hasil yang tidak konsisten mengenai pengaruh Tingkat Suku Bunga, Risiko Pasar,Debt to Equity Ratio (DER),danPrice Earning Ratio (PER), terhadap return saham. Tidak konsistennya hasil penelitian tersebut menunjukkan perlu dilakukannya penelitian kembali tentang variabel-variabel Tingkat Suku Bunga, Risiko Pasar, Debt to Equity Ratio (DER), dan Price Earning Ratio (PER) bagaimana kerkaitannya dengan Return saham secara lebih mendalam pada perusahaan Properti and Real Estate di BEI periode 2011-2013. Untuk mengetahui pengaruh variabel tersebut maka dilakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Risiko Pasar, Debt To Equity Ratio danPrice Earning RatioTerhadapReturn Saham pada PerusahaanProperti And Real Estate di Bursa Efek Indonesia” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian sebagai berikut: 1) Apakah Tingkat Suku Bunga berpengaruh signifikan terhadap return saham? 2) Apakah Risiko Pasar berpengaruh signifikan terhadap return saham? 3) Apakah Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan terhadap return saham? 4) Apakah Price Earning Ratio (PER) berpengaruh signifikan terhadap return saham? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebelumnya maka tujuan penelitian sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh Tingkat Suku Bunga terhadap return saham. 2) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh Risiko Pasar terhadap return saham. 3) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh Debt to Equity Ratio (DER) terhadap return saham. 4) Untuk mengetahui signifikansi pengaruh Price Earning Ratio (PER) terhadap return saham. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris mengenai bagaimana tingkat suku bunga, rasio debt to equity ratio, price earning ratio, dan risiko pasar mampu mempengaruhi return saham serta dapat digunakan sebagai referensi untuk kepentingan keilmuan bagi penelitian yang akan datang. 1.4.2 Manfaat Praktis 1.4.2.1 Bagi investor hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sebagai dasar mengambil keputusan investasi pada saham properti and real estate. 1.4.2.2 Bagi industri di sektor properti and real estate hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagaimana cara memanfaatkan dana yang telah ditanamkan oleh investor sehingga akan mampu mencapai return yang semakin tinggi dan dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. 15