bab i pendahuluan

advertisement
 BAB I
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Secara umum, sebuah judul penelitian perlu memperhatikan beberapa hal
seperti aspek keaslian dan kebaruan penelitian, serta keterkaitannya dengan
bidang ilmu yang digeluti. Sedangkan alasan praktis maupun teknis lebih
berkaitan dengan tingkat kesulitan dan kemudahan yang dapat menghambat
maupun memperlancar penelitian yang dilakukan. Adapun yang mendasari judul
penelitian ini antara lain:
1. Aktualitas
Berbicara aktualitas khususnya dalam jurnalistik, berarti informasi
apapun yang disuguhkan seorang penulis harus mengandung unsur kebaruan,
atau merujuk kepada peristiwa maupun fenomena yang benar - benar baru
terjadi atau sedang terjadi (Siswoyo, 2011). Sedangkan dalam sebuah
penelitian, aspek kebaruan tidak hanya terbatas pada isu atau substansi, namun
bisa juga pada objek penelitian, lokasi, data, dan metodenya. Penelitian ini
sendiri mengangkat isu tentang dampak pariwisata. Isu ini memang sudah
bukan "barang baru" terutama ketika menjadi isu yang diangkat dalam sebuah
penelitian. Namun setidaknya sampai saat ini, isu ini tergolong masih dan/atau
sedang terjadi.
Saat ini, melakukan aktifitas perjalanan wisata untuk sedikit keluar
dari rutinitas keseharian semakin menjadi kebutuhan masyarakat global.
13 Dalam hal ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan (science) dan
teknologi yang menuntun masyarakat pada pola pikir yang serba segalanya,
tingkat stress kerja pun meningkat sehingga kebutuhan untuk melakukan
rekreasi (travel) turut meningkat pesat. Hal ini juga didukung dengan semakin
mudahnya melakukan perjalanan internasional (transportasi udara). Alhasil,
sektor pariwisata berhasil menjadi primadona di berbagai Negara, begitu juga
Indonesia. Berdasarkan data dari Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia
(World Travel and Tourism Council - WTTC), pada tahun 2013 tercatat
kontribusi perjalanan dan pariwisata internasional terhadap pendapatan
nasional melalui PDB (Produk Domestik Bruto) mencapai angka 80,8 miliar
dolar AS atau 9,2 % dari total PDB dan terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun, meskipun pada dasarnya tetap bergantung pada fluktuasi
Dunia Pariwisata Nasional dan Internasional. Berikut bagan dari WTTC:
Gambar 1. Dampak Perjalanan dan Pariwisata Internasional Terhadap
Produk Domestik Bruto Indonesia
(Sumber : http://wttc-infographic.org/indonesia)
14 Selain itu, press release dari Organisasi Pariwisata Dunia (World
Tourism Organization - UNWTO) melalui website resminya (unwto.org)
menyatakan, tahun 2013 merupakan tahun yang baik bagi pariwisata
internasional. Terhitung jumlah kedatangan internasional (international tourist
arrivals) dapat tumbuh sebesar 5 %, atau menembus rekor 1,087 miliar
kedatangan. Secara relatif, benua Eropa dan Asia-Pasifik mengalami
pertumbuhan terbaik. Sedangkan untuk sub-region, kawasan Asia Tenggara
menjadi kawasan dengan pertumbuhan tertinggi di dunia yakni sebesar 10 %.
Hal ini membuat peran sektor pariwisata semakin penting bagi perekonomian
negara - negara ASEAN termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri sektor
pariwisata juga dapat memberikan manfaat terhadap penyerapan tenaga kerja
yakni mencapai 10,18 juta orang atau 8,9 persen dari total jumlah pekerja
(Parekraf.go.id, 2014).
UNWTO juga menggarisbawahi fakta lain tentang pariwisata pada
peningkatan kontribusinya dari total ekspor barang dan jasa di seluruh dunia
yakni sebesar 6 %, dan angka yang sama pada Negara - Negara Berkembang.
Dengan kata lain, perkembangan sektor pariwisata baik di Negara Industri
maupun Negara Berkembang telah menghasilkan manfaat ekonomi yang
sama. Saat ini, posisi ekonomi sektor pariwisata internasional dapat sejajar
atau bahkan melampaui ekspor minyak, produk makanan, atau kendaraan
bermotor. Sebagai kesimpulannya, pariwisata telah menjadi salah satu sektor
ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
15 Oleh karena pertumbuhan yang demikian, upaya mengintegrasikan
sektor pariwisata ke berbagai tingkatan semakin digencarkan oleh para
perumus kebijakan, tidak terkecuali tingkat regional bahkan lokal. Terkait hal
ini, pengembangan pariwisata diharapkan dapat memberikan pengaruh positif
terhadap masyarakat tuan rumah yang di sekitarnya terdapat kegiatan
kepariwisataan, utamanya dari nilai manfaat ekonomi. Namun, sebagaimana
nilai manfaat selalu berdampingan juga dengan nilai biaya. Perkembangan
pariwisata dapat berdampak positif dan/atau negatif. Oleh karena itu, penulis
dalam hal ini mengangkat judul penelitian "Kampung Turis dan Dampaknya
Terhadap Pedagang Pasar Tradisional Prawirotaman". Untuk penjelasan
lebih lanjut terkait bagaimana permasalahan itu muncul menjadi bahasan pada
bagian berikutnya. Sedangkan, pertimbangan lain sebagai penguat diambilnya
judul ini lebih kepada justifikasi lokasi penelitian yang akan disampaikan pada
bagian metode.
2. Orisinalitas
Selain berbicara tentang isu kepariwisataan, penelitian ini juga
membicarakan tentang pasar traidisional. Sedangkan, studi terkait isu - isu
pasar tradisional pada dasarnya sudah banyak dilakukan. Biasanya studi ini
melibatkan industri lain yaitu ritel modern. Pada fokus penelitiannya sendiri,
kebanyakan membahas tentang dampak kehadiran ritel modern ini terhadap
pasar tradisional di sekitarnya. Di sini kemudian terdapat semacam
keseragaman temuan yang mengatakan bahwa pertumbuhan ritel modern telah
terbukti dapat menjadi "momok" bagi pedagang pasar tradisional, artinya
16 dampak negatif kerap muncul dan dikaitkan dengan kondisi terancamnya
eksistensi pasar tradisional yang bersangkutan. Akan tetapi, penelitian yang
mengaitkan pedagang pasar tradisional dengan industri pariwisata masih
jarang ditemukan. Berikut akan penulis sajikan beberapa kajian penelitian
sejenis sebagai pembanding sekaligus penguat penelitian yang dilakukan
penulis :
Pertama, terdapat penelitian yang disusun oleh Nahdliyul Izza (2011)
dari Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang berjudul "Pengaruh Pasar
Modern
Terhadap
Pedagang
Pasar
Tradisional
(Studi
Pengaruh
Ambarukmo Plaza Terhadap Perekonomian Pedagang Pasar Desa
Caturtunggal
Nologaten
Depok
Sleman
Yogyakarta)"
(Digilib.uin-
suka.ac.id, 2012). Fokus dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana
pengaruh dan mekanisme (dominasi) pasar modern terhadap perekonomian
pedagang pasar tradisional, serta bagaimana cara bertahan pasar tradisional
dalam menghadapi strategi pasar modern. Hasil penelitiannya sendiri
menjelaskan bahwa adanya pasar modern (Ambarukmo Plaza) membawa
pengaruh bervariasi, baik positif, negatif maupun tidak keduanya. Selain itu
pasar modern ini juga mendominasi para konsumen dalam pembelian produk
dengan diadakannya diskon, adanya pamphlet dan pelayanan serta
infrastruktur yang baik, walaupun begitu pasar tradisional tetap bisa bertahan
dengan beberapa faktor atau cara terutama melalui karakter (transaksi tawar
menawar).
17 Berikutnya, terdapat penelitian yang disusun oleh Daniel Suryadarma,
Adri Poesoro, Sri Budiyati, Akhmadi, dan Meuthia Rosfadhila dengan judul
"Impact of Supermarkets on Traditional Markets and Retailers in
Indonesia's Urban Centers" yang dipublikasikan oleh SMERU Research
Report, Edisi Agustus 2007. Studi ini mengukur dampak supermarket pada
pasar tradisional di pusat-pusat perkotaan di Indonesia secara kuantitatif
menggunakan difference-in-difference dan metode ekonometrik, serta secara
kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam. Sebagai hasilnya,
melalui metode kuantitatifnya tidak ditemukan dampak signifikan secara
statistik pada pendapatan dan keuntungan, tetapi terdapat dampak signifikan
dari supermarket terhadap jumlah pegawai pasar tradisional. Sedangkan
temuan - temuan kualitatifnya menunjukkan bahwa penurunan di pasar
tradisional kebanyakan bersumber dari masalah internal yang memberikan
keuntungan pada supermarket.
Dari beberapa pembahasan di atas, walaupun tema besar yang diambil
sama/serupa yaitu tentang dampak suatu industri terhadap pedagang pasar
tradisional, namun secara fokus kajian maupun objek bahasan sangat berbeda
jauh. Sebagaimana penulis dalam penelitian ini akan mengkaji bagaimana
dampak dari perkembangan industri pariwisata berpredikat "Kampung Turis"
di Prawirotaman terhadap pedagang pasar tradisional di sekitarnya.
Sedangkan, untuk penelitian tentang dampak pariwisata terhadap masyarakat
sekitar terutama kepada komunitas lokal tertentu, pada dasarnya juga sudah
banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Baik dalam sekup nasional maupun
18 internasional. Sebagai contoh, ada pada penelitian berjudul "Dampak
Pariwisata Waduk Kedung Ombo (WKO) Terhadap Kesejahteraan
Masyarakat Lokal" yang disusun oleh Widodo, Fandeli, Baiquni, & Damanik
(2011), dan "Tourism and Its Effects on Southeast Alaska Communities and
Resources: Case Studies From Haines, Craig, and Hoonah, Alaska" oleh
Cerveny (2005). Salah satu yang menjadi pembeda di sini adalah pada
pemilihan lokasi. Dalam hal ini, kajian tentang dampak pariwisata diakui bisa
berbeda - beda tergantung siapa sasarannya, dan dalam konteks apa.
Terkait hal ini, selain beberapa penelitian (tema serupa) yang telah
disebutkan sebelumnya, juga pernah dilakukan beberapa studi yang
menggunakan lokasi penelitian yang sama dengan yang penulis pilih yakni
Kampung Prawirotaman di Kota Yogyakarta. Beberapa studi tersebut sebagai
berikut:
"Studi Terhadap Kampung Wisata Prawirotaman Yogyakarta", oleh
Retno Kumolohadi, Nugroho Dwi Priyohadi, Th. Agung M. Harsiwi, (1994)
dari Fakultas Psikologi dan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
Penelitian ini merupakan salah satu penelitian tertua tentang kampung
Prawirotaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi
yang dapat digunakan antara lain; memberikan sumbangan pemikiran terhadap
pemgembangan kampung wisata, mengkaji pengaruh sosial budaya, ekonomi,
dan perilaku akibat dari pariwisata, dan lebih konkret, usaha memberikan
masukan
sehubungan
dengan
pembinaan
Kelompok
Sadar
Wisata.
19 Menggunakan metode kualitatif, penelitian ini berhasil menggambarkan
kondisi sosial, ekonomi, budaya Kampung Prawirotaman pada waktu itu.
Berbeda dengan penelitian di atas, pada penelitian lain yang berjudul
"Model
Pengembangan
Pariwisata
Berbasis
Masyarakat
di
Kota
Yogyakarta", oleh Isnaini Muallisin, dipublikasikan melalui SIP ; Jurnal
Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta edisi ke 2, Desember 2007, ISSN 19780052
lebih
menjelaskan
mengenai
model
pengembangan
kampung
internasional yang cocok diterapkan untuk Kampung Prawirotaman, yakni
model pengembangan pariwisata berbasis masyarakat.
Kemudian, penelitian terbaru yang mengambil lokasi di sekitar
Kampung Prawirotaman (yang berhasil penulis temukan) adalah penelitian
berjudul "Pemberdayaan Pelaku Pasar Tradisional Prawirotaman oleh
Dinas Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta" yang disusun oleh Supardiono
(2013), Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Digilib.uin-suka.ac.id, 2012).
Penelitian ini lebih berfokus kepada eksplorasi deskriptif tentang program
pemberdayaan pelaku pasar tradisional di Pasar Prawirotaman oleh Dinas
Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta.
Dengan demikian, dari dua penelitian dengan lokasi Kampung Turis
Prawirotaman dan satu penelitian dengan lokasi Pasar Prawirotaman tersebut,
terlihat jelas adanya perbedaan fokus kajian dengan penelitian yang penulis
ajukan. Sehingga dapat dikatakan, penelitian yang penulis lakukan masih
20 tergolong orisinal, setidaknya dari pembahasan tersebut justru semakin
memperkuat justifikasi pemilihan lokasi penelitian yang penulis lakukan.
3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan salah satu
cabang ilmu sosial dan memiliki hubungan erat dengan ilmu - ilmu sosial
lainnya yang berobjek pada masyarakat. Cabang ilmu yang biasa disingkat
dengan PSdK ini memfokuskan diri pada pembelajaran mengenai peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Peningkatan ini atau yang lebih dikenal dengan
Pembangunan Masyarakat pada dasarnya merupakan tindakan untuk
menciptakan keseimbangan antara kebutuhan (needs) dengan sumberdaya
apapun yang dimiliki (resources) guna mencapai kesejahteraan fisik, mental
dan sosial di dalam hubungan sosial masyarakat.
Untuk itu, sebagai ilmu tentang kesejahteraan, penulis menilai topik
yang diangkat dalam penelitian ini cukup relevan dengan hal tersebut. Dalam
hal ini, pasar Tradisional merupakan bagian dari Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM), lebih tepatnya termasuk ke dalam kategori Usaha
Mikro. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah terdapat kriteria Usaha Mikro sebagai berikut: a)
memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki
hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). UMKM sendiri sering disebut dapat mendongkrak perekonomian
nasional. Dan sebagai lembaga ekonomi kerakyatan, isu tentang pasar
21 tradisional sangat bersinggungan dengan isu kesejahteraan serta masalah
sosial ekonomi lainnya. Hal itu kiranya cukup jelas.
Kemudian,
Ilmu
PSdK
di
dalam
pembelajarannya
juga
memperkenalkan satu konsep tentang kesejahteraan yang dikenal dengan
istilah Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). "...Meeting
the needs of the present without compromising the ability of future
generations to meet their own needs..." (Report of the World Commission on
Environment and Development, 1987). Proses pembangunan hendaknya
berkelanjutan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan di masa ini tanpa
mengurangi kemampuan untuk memenuhi apa yang dibutuhkan generasi di
masa yang akan datang. Pola pikir (mindset) yang kemudian tertanam adalah
untuk semakin peduli, tidak hanya secara ekonomi, juga adil secara etika dan
sosial terhadap masyarakat serta terhadap lingkungan hidup.
Seiring dengan perkembangannya, konsep pembangunan berkelanjutan
sendiri sering dianggap sebagai konsep pembangunan terbaik, termasuk dalam
hal ini pembangunan di bidang pariwisata. Konsep ini cukup melekat dengan
pariwisata, bahkan mengadaptasi dari konsep tersebut muncul suatu gagasan
yakni Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism).
UNWTO
mendefinisikannya
sebagai,
pembangunan
pariwisata
yang
memperhitungkan dampak penuh ekonomi, sosial, dan lingkungan saat ini dan
masa depan, guna mengatasi kebutuhan wisatawan, industri, lingkungan
hidup, dan masyarakat setempat. Hal ini diperkuat dengan pengalaman
sebelumnya dimana pariwisata masal (mass tourism) masih diutamakan.
22 Pada waktu itu, sektor pariwisata justru lebih banyak menimbulkan
dampak negatif daripada dampak positif, terutama terkait masalah sosial,
budaya, dan lingkungan hidup yang jika dihitung biaya yang ditimbulkan
justru lebih besar dari manfaat ekonomi yang dihasilkannya. Jadi, sebenarnya
dapat dikatakan bahwa pembangunan pariwisata juga merupakan isu tentang
kesejahteraan. Dengan demikian, dua konsep yakni pasar tradisional dan
pariwisata yang menjadi satu topik dalam penelitian yang penulis ajukan ini
sangat memiliki kaitan erat dengan bidang ilmu yang penulis geluti.
B. Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan sektor pariwisata internasional selama beberapa dekade
terakhir telah berhasil mencuri perhatian banyak pihak, terutama di kalangan
akademisi sebagai kaum pemikir. Berbagai wacana atau diskursus mulai
bermunculan ke permukaan untuk mencoba menjelaskan fenomena "sosialekonomi" global ini. Salah satunya ada pada kaitannya dengan globalisasi
(Azarya, 2004:949). Dalam hal ini, fenomena pertumbuhan sektor pariwisata
kerap dianggap muncul sebagai efek samping dari globalisasi itu sendiri. Terdapat
logika sederhana di sini. Meskipun kerap identik dengan kritiknya sebagai "paket
ekonomi" yang diusung oleh Negara - Negara Superpower untuk dapat
melebarkan sayapnya di berbagai belahan dunia, globalisasi secara mendasar
adalah tentang menghapus batasan - batasan yang ada untuk menjadikan dunia
lebih mudah diakses siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Terkait hal ini,
beberapa implikasi utama dari globalisasi ada pada perkembangan teknologi,
media komunikasi, dan sarana transportasi.
23 Sebagai contoh, berkembangnya sektor (jasa) penerbangan semakin
memudahkan seseorang untuk dapat melakukan perjalanan internasional, bahkan
ke tempat terpencil sekalipun. Dalam hal ini, pariwisata yang pada dasarnya
merupakan "aktifitas berpindah tempat" dari daerah asal ke daerah tujuan, sangat
terpacu oleh perkembangan sektor (jasa) penerbangan ini. Contoh lain ada pada
semakin populernya penggunaan internet. Di sini, mereka yang ingin berwisata
dapat mengakses (browsing) berbagai informasi terkait destinasi wisatanya
terlebih dahulu, sebelum memutuskan ingin berlibur ke mana. Ditambah lagi, saat
ini sudah ada perangkat pintar smartphone yang memiliki berbagai aplikasi
perangkat lunak yang ditujukan untuk memudahkan penggunanya memilih paket
wisata yang diinginkan, mulai dari pemesanan tiket pesawat hingga booking hotel
atau penginapan bisa dilakukan dengan bermodal "jempol" saja. Sederhananya,
berkat globalisasi, siapapun saat ini dapat berlibur ke "Negeri Antah-Berantah"
idamannya.
Dalam konteks masyarakat global, saat ini pariwisata juga sudah menjadi
bagian dari kebutuhan dasar, terutama bagi orang - orang Barat. "Where once
travel was considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a
basic human right. In the United States, as well as in other parts of the developed
world, families and individuals spend as much as they do on food, clothing, or
health care." (John Naisbitt dalam Santosa, 2002). Kebutuhan dasar (needs) di
sini juga sangat memiliki kaitan erat dengan motivasi (motivation). Pearce (1982)
misalnya (dalam Gisolf, 2014), mencoba mengaplikasikan Teori Motivasi Maslow
(1943) ke dalam konteks pariwisata dan mengombinasikannya dengan
24 pengalaman wisatawan. Sebagai implikasinya, Pearce dalam hal ini berhasil
mentransformasi piramida hirarki kebutuhan dasar Maslow menjadi piramidanya
sendiri tentang motivasi berlibur wisatawan, yang di dalamnya terdapat; 1)
relaxation (rest <> active), 2) stimulation (stronger emotions), 3) social needs
(family, friends), 4) self esteem (self development through cultural, nature or
other activities), 5) self-realization (search for happiness).
Berbicara tentang kebutuhan dasar (needs) dan motivasi (motivation)
dalam konteks industri pariwisata pada dasarnya merupakan konsepsi yang sangat
luas dan kompleks karena harus memperhitungkan keinginan pribadi wisatawan
yang bersangkutan, dan tentunya dengan karakteristiknya masing - masing.
Namun, poin penting yang dapat diambil di sini adalah tentang "apa dan
bagaimana keinginan wisatawan" itu dapat berimplikasi juga terhadap pergeseran
arah perkembangan pariwisata internasional. Artinya, pariwisata internasional
yang dewasa ini dikatakan sebagai "the world’s largest and fastest-growing
industries" (World Travel and Tourism Council [WTTC], 2012) memiliki pangsa
pasar yang sangat besar; terutama jika dikaitkan dengan "berlibur" yang sudah
menjadi kebutuhan dasar masyarakat global, dan pangsa pasar ini muncul menjadi
kekuatan tersendiri. Dengan kata lain, "keinginan wisatawan" harus diutamakan,
baik itu perseorangan maupun kelompok.
John Naisbitt (dikutip Fedorov, 2015:1) menyebut fenomena seperti ini
dengan istilah global paradox atau paradoks global. "The bigger the world
economy, the more powerful its smallest players.". Secara lebih lanjut, John
menerangkan bahwasanya semakin berkembang ukuran (size) dan kompleksitas
25 (complexity) sebuah sistem, semakin bertambah juga (secara proporsional) peran
penting berbagai individu yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks pariwisata,
semakin besar industri pariwisata internasional, semakin berkuasa para pemain
kecilnya, yaitu wisatawan.
Terkait hal ini, di dalam dunia kepariwisataan terdapat hukum permintaan
dan penawaran selayaknya industri pada umumnya. Permintaan pada dasarnya
merupakan sesuatu yang diinginkan oleh konsumen, dalam hal ini wisatawan;
sesuatu yang dicari wisatawan, minat wisatawan, dan keinginan wisatawan yang
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor individual. Sedangkan, penawaran
berhubungan dengan apa yang ada di Daerah Tujuan Wisata; daya tarik wisata,
atraksi, akomodasi, transportasi dan fasilitas penunjang pariwisata serta
kelembagaan terkait. Perbedaan antara permintaan dan penawaran di sini terletak
pada kewenangannya. Jika penawaran berada dalam kewenangan pihak pemangku
kebijakan dan pelaku industri pariwisata. Permintaan sepenuhnya merupakan
wewenang wisatawan.
Permintaan dari wisatawan ini juga sejatinya memiliki sifat yang sangat
dinamis, dapat berubah - ubah sesuai dengan tren global yang muncul. Sedangkan,
industri pariwisata sebagai entitas yang "menawarkan" produk wisata (barang dan
jasa) harus ikut berkembang dinamis juga mengikuti pola permintaan yang ada,
agar daya jualnya tidak menurun. Terkait hal ini terdapat perubahan mendasar di
sini, tadinya pariwisata yang selalu mengutamakan wisata masal (mass tourism),
saat ini mulai bergeser dan harus memperhatikan juga wisata spesifik (specific
tourism). Dengan kata lain, industri pariwisata yang tadinya cukup memberikan
26 pelayanan dengan menyeragamkan produk wisatanya (mass market), saat ini
harus dihadapkan juga dengan diversifikasi pasar dan harus dapat memenuhi
keinginan setiap wisatawannya yang beragam. Artinya preferensi individu mulai
dipertimbangkan di sini, inilah yang dimaksud oleh John Naisbitt sebagai global
paradox, utamanya jika dikontekskan dengan pariwisata.
Konsepsi tentang preferensi individu ini juga pada dasarnya memiliki
kaitan erat dengan perubahan pola konsumsi. "Wilmott and Nelson (2003) have
identified the complexity of consumerism, with consumers seeking new meaning,
consistent with Maslow’s self-actualisation concept." (dalam Yeoman, 2008:168).
Dalam hal ini, konsumen menuntut adanya bentuk - bentuk nyata aktualisasi diri
melalui pencarian "pengalaman berharga" daripada sekedar mempermasalahkan
kepemilikan barang di tengah gempuran globalisasi yang serba "material".
Mereka di sini termovitasi oleh isu - isu dunia seperti masalah lingkungan hidup,
pelestarian binatang, dan isu kelaparan di Negara Dunia Ketiga. Dalam konteks
pariwisata, perubahan ini menuntun wisatawan selaku konsumen untuk mencari
wisata alternatif baru, mereka menuntut adanya pengalaman - pengalaman baru
yang otentik (authentic) dan asli (genuine). Dengan kata lain, berwisata saat ini
tidak lagi hanya tentang 4S atau Sun, Sea, and Sand or Sex, akan tetapi juga
tentang mencari pengalaman atau "search for experience", serta tentang
kepedulian atau kesadaran (awareness) terhadap lingkungan hidup.
Sebagai contoh sederhananya, ada pada film berjudul "David Beckham:
Into the Unknown" (2014). Sebuah film dokumentasi perjalanan wisata David
Beckham; seorang artis internasional dan mantan pemain sepak bola terkenal,
27 bersama dengan 3 orang temannya yang melakukan perjalanan dari Brazil menuju
Hutan Amazon (Amerika Selatan) hanya dengan menggunakan kendaraan
bermotor. Dari pengalaman mengendarai sepeda motor jarak jauh, tidur di hutan,
sampai akhirnya bertemu warga pribumi Suku Yanomami (suku asli Amazon: di
antara Venezuela dan Brazil Utara). Pengalaman - pengalaman otentik (authentic)
dan asli (genuine) seperti inilah yang saat ini dicari oleh wisatawan global. Terkait
hal ini, meskipun pada dasarnya wisata alam masih banyak digemari, muncul
terminologi baru seiring dengan kemunculan wisatawan jenis baru ini, yaitu pada
istilah "Experiential Tourism".
Menurut IMIC 2015: 1st International Conference on Experiential
Tourism, konsep ini memiliki cakupan kajian yang luas dan masih sangat modern,
termasuk di dalamnya memiliki banyak bentuk; mulai dari aktifitas outdoor,
wisata budaya, wisata kuliner, ekowisata, wisata edukasi, wisata peninggalan
budaya, hingga wisata eksperimen, dsb. Pada dasarnya, penggunaan terminologi
ini hanya semacam untuk meringkas berbagai jenis wisata baru tersebut; yang
mulai bermunculan sekarang ini. Intinya adalah satu, yaitu pada pola pikir yang
mengatakan bahwa berwisata saat ini adalah tentang mencari pengalaman pengalaman berharga dan dapat dikenang seumur hidup (lifetime experiences and
the long-lasting memories), karena hal itulah yang membuat pariwisata menjadi
tak ternilai (priceless) dan unik (unique).
Berdasarkan perkembangan ini, pariwisata internasional saat ini mulai
bergeser orientasinya dari produk wisata yang ditawarkan oleh Negara Maju ke
produk wisata di Negara Berkembang, termasuk dalam hal ini Indonesia. Negara
28 Indonesia juga kerap identik dengan pencitraan dari masyarakatnya sendiri yang
mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang penuh dengan potensi
pariwisata, tidak hanya alamnya, juga heritage, dan kehidupan sosial budaya
masyarakatnya. Di Indonesia sendiri, kewenangan untuk mengelola pariwisata
suatu daerah diberikan kepada Otonomi Daerah. Hal ini didasarkan pada UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang
No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah atau Undang-Undang tentang
Otonomi Daerah. Adanya otonomi daerah mewajibkan Pemerintah Daerah
(Pemda) Kabupaten maupun Kota untuk lebih kreatif dalam mencari dan
mengembangkan potensi yang ada di daerahnya masing - masing, sehingga
pendapatan daerah dapat semakin meningkat. Termasuk dalam hal ini Kota
Yogyakarta.
Pemda Yogyakarta melalui Dinas terkait yaitu, Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kota Yogyakarta tentunya memiliki visi dan misi tersendiri ketika
berbicara tentang pengembangan pariwisata. "Terwujudnya Kota Yogyakarta
sebagai Kota Pariwisata berbasis budaya yang bertumpu pada kekuatan dan
keunggulan budaya lokal dan dapat menjadi lokomotif pembangunan Kota
Yogyakarta secara menyeluruh" menjadi visi dari Dinparbud Kota Yogyakarta.
Hal ini sejalan juga dengan visi Kota Yogyakarta di dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025, yang ingin menjadikan "Kota
Yogyakarta Sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya
dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan". Satu pernyataan yang
perlu menjadi perhatian di sini adalah pada istilah "Pariwisata Berbasis Budaya".
29 Secara umum, platform yang dicanangkan yaitu "Pariwisata Berbasis
Budaya" ini memang menjadi identitas pariwisata Kota Yogyakarta yang
membedakannya dari daerah lain. Hal ini selaras dengan kondisi geografis, sosial
dan budaya di Kota Yogyakarta sendiri. Secara geografis, Kota Yogyakarta
memang tidak banyak memiliki potensi alam yang menonjol tetapi secara sosial
budaya masih memiliki tradisi, seni, dan budaya yang masih lestari dan dihargai
banyak kalangan. Inilah yang dianggap menjadi daya tarik utama (pariwisata) di
Kota Yogyakarta, setidaknya menurut identifikasi Pemda Yogyakarta. Pemilihan
platform "Pariwisata Berbasis Budaya" juga sebenarnya sangat sesuai dengan
prinsip dari "Experiential Tourism" yang mengedepankan pengalaman otentik
wisatawannya, terutama wisman. Artinya, peluang pasar ini dapat menjadi
kekuatan besar penggerak perekonomian daerah, tinggal bagaimana Pemda
Yogyakarta dalam hal ini "mengemas" lagi pelayanan pariwisatanya.
Situs online BPS (Badan Pusat Statistik) melansir, sektor ekonomi yang
memiliki peranan terbesar dalam struktur perekonomian DIY melalui nilai Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY (atas dasar harga berlaku) pada triwulan
III 2014 adalah sektor jasa-jasa yaitu sebesar 21,9 persen, kemudian diikuti oleh
sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20,9 persen. Dalam hal ini,
pariwisata melalui sektor perhotelan telah memiliki peranan penting dan mampu
menopang pertumbuhan ekonomi DIY. Namun, terdapat realitas lain di dalamnya.
Peranan penting sektor perhotelan ini dibarengi dengan kebanjiran permintaan
atau izin membuka perhotelan. Berdasarkan data Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY), tahun 2014 ada 64 hotel berbintang dan 500 hotel non
30 berbintang dengan jumlah kamar sekitar 8.000 unit. Sementara itu, Badan Pusat
Statistik (BPS) melansir, hingga tahun 2012 ada 32 hotel berbintang dan 354 hotel
melati dengan jumlah kamar 6.196. Itu berarti, pertumbuhan hotel di Yogyakarta
meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu dua tahun (Kusuma, 2015).
Pertumbuhan
sektor
perhotelan
yang
seperti
ini
dianggap
mengkhawatirkan bagi sebagian pihak, seperti misalnya mereka yang menaruh
perhatian terhadap isu Tata Ruang Kota. Sebenarnya Pemerintah Kota Yogyakarta
telah mengeluarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013
tentang Moratorium Pemberian Izin Pembangunan Hotel mulai 1 Januari 2014
hingga 31 Desember 2016 mendatang. Namun, sebanyak 104 permohonan izin
mendirikan bangunan (IMB) hotel baru tetap diproses, dengan dalih diajukan
sebelum moratorium pembangunan hotel diberlakukan (Sutriyati, 2015).
Terkait hal ini, terdapat satu kawasan di Kota Yogyakarta yang dikenal
sebagai sentra perhotelan. Kawasan tersebut adalah Kampung Prawirotaman.
Kampung Prawirotaman sendiri juga dikenal memiliki predikat sebagai "kampung
internasional", lantaran di kawasan kampung ini berjejer perhotelan modern, Jawa
klasik, dan berbagai penginapan (guest house dan home stay) kelas melati lainnya
yang kebanyakan ditinggali oleh wisatawan internasional atau turis asing. Seiring
dengan perkembangannya, berbagai layanan pariwisata seperti money changer,
agen wisata, kafe dan resto, warnet dan wartel, bahkan bookshop dan artshop,
serta tourist information centre mulai bermunculan di sekitar penginapan –
penginapan yang ada, sehingga menjadikannya sebagai pusat tersendiri bagi
wisatawan untuk tinggal selama berkunjung ke Kota Yogyakarta. Maka, tidak
31 heran jika kemudian kawasan ini mendapat julukan “Kampung Turis” karena
kondisi kehidupan masyarakat aslinya yang berbaur dengan ramainya turis asing
yang "wara - wiri" di sekitarnya. Setidaknya, pemandangan seperti turis asing
sedang menikmati bir di kafe sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat
Kampung Prawirotaman dan sekitarnya.
Dalam hal ini, di sekitar Kampung Turis Prawirotaman juga terdapat
sebuah entitas komunitas lokal lain yaitu Pasar Tradisional Prawirotaman. Pasar
tradisional di sini identik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah, yang
dalam hal ini merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Pasar tradisional sendiri
pada dasarnya tidak hanya memiliki fungsi ekonomi sebagai tempat bertransaksi
antara pedagang dan pembeli, namun juga memiliki fungsi sosialnya sebagai
tempat berinteraksi. Sebagai ruang interaksi rakyat, pasar tradisional merupakan
penggambaran nyata bagaimana realitas kehidupan asli masyarakat Indonesia itu
terjadi. Dengan kata lain, pasar tradisional atau yang lebih dikenal dengan “pasar”
sudah menjadi identitas masyarakat Indonesia. Belum lagi, kentalnya sisi historis
dari pasar ini di dalam posisinya sebagai jantung hati perekonomian rakyat di
masa lampau; masa di mana belum ada mall, supermarket, minimarket, dsb. Dari
perspektif pariwisata, dan jika dikaitkan dengan konsep "Experiential Tourism",
pasar tradisional yang merupakan perwujudan otentik (authentic) dan asli
(genuine) dari masyarakat Indonesia ini sejatinya merupakan lahan baru dalam
industri pariwisata.
32 Seperti kita ketahui, industri pariwisata merupakan sektor pembangunan
yang menjanjikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Organisasi
Pariwisata Dunia atau UNWTO juga menggarisbawahi tentang pentingnya
pembangunan pariwisata dalam grafik berikut;
Gambar 2. Pentingnya Pembangunan Pariwisata Menurut Organisasi Pariwisata Dunia
- UNWTO
(Sumber : http://www2.unwto.org/content/why-tourism)
Secara singkat, UNWTO mencoba mengatakan bahwa pariwisata
internasional telah terbukti memberikan dampak positif terhadap perekonomian
dunia, dari kontribusi pendapatan Negara melalui PDB (Produk Domestik Bruto),
peningkatan total ekspor terutama jasa di seluruh dunia, serta penciptaan lapangan
pekerjaan baru. Bahkan bagi beberapa komunitas (masyarakat), pariwisata telah
menjadi aktifitas ekonomi yang sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka
hingga menjadikan ketergantungan (ekonomi) tersendiri. Akan tetapi, dampak
dari pariwisata terutama pada level komunitas pada dasarnya masih belum dapat
dipahami secara utuh.
33 Kebanyakan orang berpikir tentang pariwisata dalam hal nilai ekonomi
yang dihasilkan, lapangan pekerjaan yang tercipta, dan sumbangannya melalui
pajak. Namun, cakupan dampak yang dapat dihasilkan dari pengembangan
pariwisata sebenarnya sangatlah luas, bahkan seringkali mempengaruhi area di
luar aspek - aspek yang sering dihubungkan dengan pariwisata (Kreag, 2001:2).
Dalam
konteks
Pembangunan
Masyarakat
(Community
Development),
pengembangan pariwisata utamanya dalam jangka panjang dan berkelanjutan
bergantung pada kemampuan tokoh masyarakat atau aktor - aktor berpengaruh
dan tenaga profesional atau ahli di bidang pariwisata untuk dapat memaksimalkan
manfaat (dampak positif) dan meminimalkan biaya (dampak negatif) dari sektor
ini. Dengan kata lain, ketika aktor - aktor tersebut, begitu juga dengan masyarakat
sekitar memahami dan sadar akan potensi dari dampak pengembangan pariwisata,
niscaya industri pariwisata akan dapat terintegrasi dengan sebaik - baiknya
terutama pada level komunitas.
Pada kasus Kampung Turis Prawirotaman, perkembangannya pastilah
memiliki dampak tertentu terhadap masyarakat sekitar, bahkan pada komunitas
lokal
tertentu.
Permasalahannya
tinggal
bagaimana
dampak
itu
dapat
teridentifikasi, sehingga dapat diketahui mana yang bisa dimaksimalkan (positif)
dan mana yang harus ditekan (negatif). Yang dimaksud dengan komunitas lokal di
sini adalah pedagang Pasar Tradisional Prawirotaman yang ada di sekitar
Kampung Turis ini. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, posisi tawar mereka di
dalam tren preferensi wisatawan global saat ini tergolong tinggi. Mereka bisa
34 dianggap sebagai suatu entitas otentik dan asli yang saat ini sedang dicari
wisatawan.
Ketika dikaitkan dengan pertumbuhan sektor perhotelan di DIY saat ini.
Salah satu kritik yang muncul adalah soal estetika, ditakutkan bahwa rancangan
bangunan hotel yang tidak sesuai (perhotelan modern) akan dapat mengurangi
nilai ketradisionalan yang menjadi ciri khas Kota Yogyakarta, sebagai daya tarik
wisata utamanya. Terlebih lagi, moratorium pemberian izin pembangunan hotel di
Kota Yogyakarta akan segera berakhir di tahun 2016. Jika tidak dikelola dengan
baik, ada kemungkinan pertumbuhan hotel modern akan semakin kencang. Dalam
hal ini, posisi tawar pasar tradisional sebagai wisata alternatif menjadi terancam.
Selain itu, pariwisata pada dasarnya adalah kegiatan yang memiliki dua mata
pisau, pariwisata dapat memiliki dampak kontradiktif apabila tidak diperhatikan
dengan baik. Sekali lagi, setiap pengembang pariwisata di suatu kawasan pasti
mengharapkan pariwisata dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan sosialekonomi masyarakat lokal, sebaliknya dampak negatif terhadap kehidupan sosialekonomi dapat diminimalisir. Salah satu cara adalah dengan perencanaan dan
pengelolaan yang baik. (Widodo, Fandeli, Baiquni, & Damanik, 2011:209).
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, adapun rumusan masalah yang
dikemukakan
dalam
perkembangan
penelitian
Kampung
Turis
ini
adalah:
terhadap
"Bagaimana
pedagang
dampak
Pasar
dari
Tradisional
Prawirotaman?".
35 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a) Penelitian ini dilakukan dengan mengeksplorasi perspektif para
pedagang pasar tradisional Prawirotaman, berdasarkan pengalaman pengalaman individu seobjektif mungkin, yang bertujuan untuk
memaknai dan mendeskripsikan dampak dari perkembangan Kampung
Turis Prawirotaman terhadap mereka
b) Selain itu, penelitian ini juga ditujukan sebagai tugas akhir atau skripsi
Jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan sebagai syarat
memperoleh gelar sarjana
2. Manfaat Penelitian
a) Dapat memberikan gambaran mengenai dampak yang dibicarakan dan
gambaran mengenai persoalan yang meliputi pelaku pasar tradisional
khususnya para pedagang yang menggantungkan hidupnya dari
beroperasinya pasar tradisional
b) Diharapkan dapat menjadi sumbangan akademis dan dapat menjadi
referensi bagi penelitian selanjutnya
c) Dapat memberikan kontribusi pengetahuan bagi Jurusan Ilmu
Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan sebagai contoh realitas
kehidupan masyarakat pelaku pasar tradisional
36 E. Tinjauan Pustaka
1. Sekilas tentang Konsep Pariwisata
Pemahaman tentang konsep pariwisata dapat dimulai dengan mengerti
bahwa pariwisata merupakan kegiatan ekonomi yang dinamis. Secara umum
dapat dikatakan, pariwisata yang bersifat dinamis tersebut melibatkan banyak
manusia serta menghidupkan berbagai bidang usaha (Ismayanti, 2010:1).
Pariwisata, dalam hal ini tidak hanya terbatas untuk kegiatan atau aktifitas
pada sektor akomodasi, sektor perhotelan, sektor transportasi dan sektor
hiburan untuk wisatawan semata, akan tetapi pariwisata dan manajemennya
memiliki hubungan erat dengan seluruh fungsi utama, proses, dan prosedur
yang dipraktekkan di berbagai “bidang” yang terkait dengan pariwisata
sebagai sebuah sistem. Selain itu, industri pariwisata juga melibatkan fungsi
perencanaan, pengorganisasian, koordinasi, pelatihan, dan monitoringevaluasi di semua tingkatan (internasional, nasional, regional, bahkan lokal).
Oleh karenanya pariwisata terintegrasi ke dalam unit - unit ekonomi baik
makro maupun mikro. Dengan kata lain, pariwisata sebagai sebuah sistem
memiliki cakupan yang sangat luas (Simoni & Mihai dalam Zaei M & Zaei M,
2013:12).
Pada konsep yang lebih sederhana, Gamal Suwantoro (dalam
Widoyoko, 2008:14) mengatakan; "Istilah pariwisata berhubungan erat
dengan pengertian perjalanan wisata, yaitu sebagai suatu perubahan tempat
tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan".
Definisi lain, dikemukakan oleh Matthieson & Wall (dalam Mason, 2012:5)
37 yang mengindikasikan bahwa pariwisata terdiri dari; "the temporary
movement of people to destinations outside their normal places of work and
residence, the activities undertaken during the stay in those destinations, and
the facilities created to cater for their needs". Terdapat 3 poin penting dari
definisi Matthieson & Wall yaitu; 1) perubahan tempat tinggal sementara, 2)
aktifitas yang dilakukan wisatawan selama tinggal di daerah tujuan, dan 3)
fasilitas yang ada untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Dari dua definisi
ini, dapat ditarik kesamaan sebagaimana definisi - definisi pariwisata pada
umumnya yakni, secara sederhana pariwisata merupakan suatu kegiatan
perjalanan (travel activity) ke wilayah asing yang dilakukan oleh perorangan
maupun kelompok, dan selebihnya dapat diartikan berbeda oleh satu pihak
dengan yang lain. Karenanya, konsep pariwisata tidak memiliki definisi yang
baku.
Salah satu penyebab tidak adanya definisi yang baku tentang
pariwisata terletak pada, studi pariwisata yang seringkali berbeda dan bertolak
belakang dalam segi pendekatan filosofis, orientasi metodologi, serta tujuan
dari penelitian itu sendiri. Kendati demikian, tidak adanya definisi yang baku
lantas tidak mengurangi pentingnya pemahaman tentang aspek - aspek kunci
dari definisi pariwisata itu sendiri. Prosser (dalam Mason, 2012:6)
mengidentifikasi komponen utama dari berbagai definisi pariwisata sebagai
berikut;
1) Pergerakan (movement), dalam hal ini perjalanan wisata,
2) tinggal sementara, tidak menetap (non-permanent stay),
38 3) aktifitas dan pengalaman wisatawan selama melakukan perjalanan
wisata dan tinggal di suatu tempat,
4) sumber daya dan fasilitas yang dibutuhkan, dan
5) dampak dari perjalanan wisata dan tinggal di suatu tempat itu
sendiri.
Poin menarik dari komponen yang diberikan oleh Prosser terletak pada
referensi yang menyinggung tentang dampak pariwisata (tourism impacts).
Prosser meyakini bahwa pariwisata melalui aktifitas wisatawan dapat
memberikan dampak tertentu. Dalam hal ini, Jafari (dikutip Mason, 2012:5)
juga memasukkan referensi tentang dampak pariwisata dalam definisinya,
yakni :
“Tourism is a study of a man (sic) away from his usual
habits, of the industry which responds to his needs and the
impacts that both he and the industry have for the host sociocultural, economic and physical environments”.
Jafari menegaskan bahwa pariwisata bukan saja merupakan sebuah
studi tentang seseorang yang jauh dari rutinitas kesehariannya. Melainkan
melibatkan juga, studi tentang industri yang bergerak sebagai respon atas
kebutuhan seseorang yang melakukan perjalanan wisata. Kemudian,
pariwisata juga merupakan studi atas dampak dari keduanya; industri dan
seseorang tersebut, terhadap masyarakat (tuan rumah) baik secara sosial
budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup. Definisi dari Jafari ini menjadi
konsep pariwisata yang dipakai dalam penelitian ini. Secara umum, tanpa
terlepas dari pengertian mendasar tentang pariwisata yang merupakan sebuah
aktifitas perjalanan wisata, penulis dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa
39 pariwisata juga merupakan sebuah industri. Industri yang menghasilkan
barang dan/jasa sebagai respon atas kebutuhan wisatawan, dan industri ini
memiliki potensi dampak tertentu.
2. Pariwisata sebagai Sebuah Industri
Mendefinisikan
tentang
industri
pariwisata
tidaklah
mudah.
Sebelumnya sudah pernah disinggung bahwa pariwisata dapat memiliki arti
yang berbeda bagi satu pihak dengan yang lain. Hal ini dikarenakan pariwisata
merupakan gambaran dari luasnya aktifitas konsumsi, yang memiliki tuntutan
(permintaan) atas barang dan/atau jasa yang berasal (ditawarkan) dari berbagai
jenis industri dalam sektor ekonomi. Sebagai contoh, OECD atau
Organisation for Economic Co-operation and Development (1991) menyebut
pariwisata “dapat mencakup tentang wisatawan, apa yang dilakukan
wisatawan, atau tentang agen perjalanan yang mengurus wisatawannya”.
UNWTO (1996) juga menyatakan bahwa pariwisata merupakan konsep yang
luas, dapat merujuk pada konsumsi wisatawan, sampai dengan produksi
barang dan pelayanan jasa yang diperuntukkan bagi wisatawan, bahkan
sampai pada area geografis suatu wilayah yang berhubungan dengan
wisatawan.
Di beberapa Negara seperti Australia dan Selandia Baru, pariwisata
tidak dipandang sebagai sebuah “industri”, dengan asumsi industri dibedakan
berdasarkan barang dan/atau jasa yang dihasilkannya, sedangkan pariwisata
dianggap lebih bergantung pada status dari konsumen (wisatawan) sehingga
mereka lebih memilih mengadaptasi konsep pariwisata dari UNWTO. Di
40 Indonesia sendiri melalui UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
industri pariwisata diakui sebagai “kumpulan usaha pariwisata yang saling
terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan
kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaran pariwisata”. Usaha pariwisata
dalam hal ini diakui sebagai usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa
sebagai produk dari pariwisata. Menurut Hornby (dalam Hakim, 2010:71) kata
"industri" sendiri, sesuai dengan istilahnya memiliki arti “the quality of
working hard, the production of goods, the creation of wealth by human
efforts”. Dengan kata lain, “industri” senantiasa mengandung pengertian suatu
usaha yang menghasilkan produk.
Dalam kepariwisataan, produk yang dimaksud disebut dengan produk
wisata. Produk wisata tidak hanya dihasilkan dari segi usaha pariwisata seperti
hotel, jasa pengangkutan, jasa hiburan, jasa penyelenggaraan tour, dsb. Akan
tetapi, dapat berasal atau disediakan juga dari masyarakat melalui kearifan
lokalnya, sedangkan dari alam atau lingkungan hidup disediakan produk
wisata alam. Menurut Omar Hamalik (dalam Hakim, 2010:71), produk
tersebut baik berupa barang dan/atau jasa merupakan rangkaian yang saling
berkaitan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang sering juga
diistilahkan dengan “Tourism Package”. Pengakuan tentang pariwisata
sebagai industri yang menghasilkan produk maupun tidak, pada dasarnya
berangkat dari asumsi bahwa produk wisata mempunyai ciri tersendiri yang
berbeda dari produk industri lain.
41 Produk wisata identik dengan daya tarik wisata. Clare A. Gunn
(dikutip Widoyoko, 2008:19), menyatakan "daya tarik wisata adalah sesuatu
yang ada di lokasi tujuan pariwisata yang tidak hanya menawarkan atau
menyediakan sesuatu bagi wisatawan untuk dilihat dan dilakukan, tetapi juga
menjadi magnet penarik untuk seseorang melakukan perjalanan wisata". Salah
satu ciri yang paling utama adalah tidak dapat dipindahkan, dan wisatawan
harus mengunjunginya untuk dapat menikmati dan mengalami produk tersebut
(Hornby dalam Hakim, 2010:71).
Konsep industri pariwisata dalam penelitian ini pada dasarnya
mengacu pada konsep dari Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan UU
No. 10 Tahun 2009 yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan industri pariwisata
ini pada dasarnya berprinsip pada industri secara umum, yakni industri yang
menawarkan barang dan/atau jasa sebagai produknya. Layaknya industri pada
umumnya, industri pariwisata dalam hal ini terdiri dari beberapa cabang
industri. Berikut disajikan bagan cabang industri pariwisata (Zaei M & Zaei
M, 2013:14);
42 ACCOMODATION
• Hotels
• Motels
• Serviced Apartments
• Camping Grounds
• Farm Stays
• Guest House
• Bed & Breakfast
• Backpackers
• Caravan Parks
• Cabins
• Houseboats
• Resorts
ATTRACTIONS
• Theme Parks
• Natural Areas
• Cultural
TOURISM
INDUSTRY
• Educational
• Events (all types)
• Indigenous
TOUR OPERATORS
• Day Tours
• Adventure Tours
• General Sightseeing
• Special Interest Tours
• Cultural Tours
• Overnight Tours
• Cruiser
HOLIDAY
CARRIERS
• Airlines
• Coaches
• Trains
• Hire Charter/Cars
PROMOTIONS & DISTRIBUTION
• Travel Agents
• Inbound Agents
• Tour Wholesaler & Packaging
Agents
CO-ORDINATION AGENCIES
• Industry Associations
• Local Government
• Tourism New South Wales
• Local Tourist Associations
• Commonwealth Government
RETAIL SERVICES SUPPORT
• Shop and Production Art/Craft/Souvenir
• Food and Beverage Facilities
• Visitor Services
Tabel 1. Cabang Industri Pariwisata
Adapun pembagian lain diberikan oleh Kadin dalam Oemar (dikutip
Hakim, 2010:72) yang menyatakan, industri pariwisata terdiri dari tiga macam
sarana yaitu:
1) Sarana Pokok (Main Tourism Supra Structure).
Sarana ini sangat bergantung pada kedatangan wisatawan. Usaha usaha yang tergolong dalam sarana ini antara lain Travel Agencies,
Tourist Transportation, Accomodation terutama hotel, dan lainnya,
Catering Trade, Tourist Objects, serta Souvenir.
43 2) Sarana Pelengkap (Suplementing Tourism Supra Structure).
Sarana pelengkap adalah usaha - usaha yang melengkapi sarana pokok,
dan memiliki fungsi utama untuk membuat para wisatawan merasa
senang dan puas, sehingga mereka ingin tinggal lebih lama pada suatu
tempat atau daerah. Termasuk dalam kategori ini antara lain
Swimmingpool, Tennis Court, Golf Course, Recreation Centre, dsb.
3) Sarana Penunjang (Supporting Tourism Supra Structure)
Merupakan penunjang sarana pokok dan pelengkap yang berfungsi
tidak saja membuat wisatawan lebih lama tinggal atau berdiam pada
suatu tempat tetapi agar wisatawan yang bersangkutan lebih banyak
mengeluarkan uangnya di tempat yang mereka kunjungi tersebut.
Dalam kategori ini adalah Night Club, Steambath, Casino, dsb.
Cabang maupun sarana industri pariwisata ini pada dasarnya memang
berbeda - beda di satu tempat dengan yang lain, dan biasanya tergantung juga
pada jenis daerah tujuan wisatanya. Di Indonesia cabang seperti ini dikatakan
sebagai usaha jasa pariwisata, yang pada umumnya lebih dikenal orang
sebagai sarana akomodasi perjalanan wisata. Pada kasus kampung
Prawirotaman di Yogyakarta yang dipilih menjadi lokasi penelitian ini, usaha
pariwisatanya di dominasi oleh sektor perhotelan (accomodation) dan restoran
serta cafe (food and beverage). Hal ini dikarenakan kawasan ini sendiri
bukanlah merupakan Daerah Tujuan Wisata (DAW), yang dalam artian
khusus lebih berupa Daerah Transit (DT). Tentunya, sebagai kawasan yang
ramai dengan sarana akomodasi perjalanan wisata, serta sarana lain, kawasan
ini dapat dikatakan sebagai kawasan industri pariwisata.
Bagaimanapun juga, menyatakan ataupun mengakui pariwisata sebagai
sebuah industri semata tidaklah benar. Jika harus mengulang kembali
44 pembahasan sebelumnya, konsep pariwisata tidak memiliki definisi yang
baku. Namun, oleh karena luasnya konsep pariwisata itu sendiri, pemberian
batasan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Sejauh ini, sebagai
kesimpulan, terdapat 3 poin utama dari konsep pariwisata yang dimaksud
dalam penelitan ini yakni; 1) melihat pariwisata bukan melalui sistem, dan
manajemennya, melainkan lebih kepada pariwisata sebagai sebuah industri
yang secara umum melibatkan banyak manusia; 2) industri pariwisata
memiliki keunikan tersendiri melalui cabang maupun jenisnya; 3) dan yang
paling utama, industri ini baik dalam skala besar maupun kecil pasti
memberikan pengaruh atau dampak tertentu terhadap komunitas lokal di
sekitarnya.
3. Pariwisata Berbasis Komunitas (Community Based Tourism)
Dilihat dari pemaparan sebelumnya, penulis dalam hal ini telah
memberikan batasan mengenai konsep pariwisata yang dipakai sebagai
pegangan dalam penelitian ini. Untuk selanjutnya, penulis di sini ingin
mengontekskannya dengan objek atau sasaran penelitian, yaitu Kampung
Turis Prawirotaman. Sebelumnya sudah disinggung tentang kawasan
Prawirotaman sebagai kawasan industri pariwisata, namun sejatinya hal ini
masih sangat luas untuk dapat menjelaskan fenomena "Kampung Turis" dalam
penelitian ini.
Di Indonesia, istilah "Kampung" sendiri pada dasarnya muncul sebagai
batasan administratif antara area perkotaan dengan perdesaan. Kampung
adalah untuk wilayah perkumiman di perkotaan, dan Desa untuk perdesaan.
45 Perbedaan ini juga muncul dalam konteks pariwisata, yaitu pada istilah
Kampung Wisata dan Desa Wisata. Kampung maupun desa wisata menurut
Inskeep (dalam Dewi, 2013:131) adalah wisata dimana sekelompok kecil
wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, biasanya di
desa – desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan
lingkungan setempat. Dalam hal ini, kampung/desa wisata identik sebagai
objek wisata.
Sedangkan pada kasus Kampung Prawirotaman, karena lokasinya yang
berada di wilayah perkotaan, kawasan ini tidak memiliki banyak objek/atraksi
wisata terutama alam selayaknya di desa wisata. Meskipun demikian,
wisatawan terutama mancanegara dalam hal ini juga tinggal di kawasan ini
yang di sekitarnya berdekatan dengan suasana perkampungan masyarakat atau
komunitas setempat. Dengan kata lain, Kampung Turis Prawirotaman juga
dapat diartikan sebagai Kampung Wisata karena selama mereka tinggal,
wisatawan dapat menemukan wisata alternatif yang ada di sekitar tempat
menginapnya, terutama yang berhubungan dengan masyarakat tuan rumah di
sekitarnya.
Terkait hal ini, penggunaan istilah Kampung Wisata juga pada
dasarnya berkaitan erat dengan konsep Pariwisata Berbasis Komunitas atau
Community Based Tourism. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh
Murphy (1985), di mana aspek tentang pariwisata dan pengembangan
masyarakat lokal mulai dikaitkan dan dianalisis (Murphy dalam LópezGuzmán, Sánchez-Cañizares, & Pavón, 2011). Secara mendasar, PBK
46 mengandung pengertian tentang pengembangan pariwisata (skala kecil) yang
melibatkan masyarakat atau komunitas lokal setempat. Artinya, partisipasi
komunitas lokal (tuan rumah) menjadi penting. Oleh karena, mereka juga yang
harus menanggung dampak kumulatif dari perkembangan pariwisata
(Damanik dalam Noho, 2014). Dalam hal ini, partisipasi komunitas lokal
dalam CBT dapat dipandang dari dua sisi yang berbeda. Pengembangan
pariwisata dapat melibatkan mereka baik dalam pengambilan keputusan
maupun sebagai bagian dari produk wisata.
Hausler (dalam Rusnanda, 2015), menjelaskan gagasannya tentang
CBT yaitu: (1) Pertama, bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan
kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan
pembangunan pariwisata; (2) Kedua, masyarakat yang tidak terlibat langsung
dalam usaha-usaha pariwisata juga mendapat keuntungan; (3) Ketiga,
menuntut
pemberdayaan secara politis, demokratisasi dan distribusi
keuntungan kepada komunitas yang kurang beruntung di pedesaan (kaum
marginal). Menurut Hausler (2005), CBT menitikberatkan pada partisipasi
masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, baik yang terlibat
langsung dengan industrinya maupun tidak. Pandangan ini pada dasarnya
muncul sebagai kritik terhadap pembangunan pariwisata yang seringkali
mengabaikan hak komunitas lokal di sekitar kawasan pariwisata.
Sedangkan menurut Baskoro (dalam Rusnanda, 2015), Community
Based Tourism (CBT) adalah konsep yang menekankan kepada pemberdayaan
komunitas untuk menjadi lebih memahami nilai-nilai dan aset yang mereka
47 miliki, seperti kebudayaan, adat istiadat, masakan kuliner, gaya hidup. Dalam
konteks pembangunan wisata, komunitas tersebut menjadi daya tarik utama
bagi pengalaman berwisata. Dalam hal ini, pelibatan masyarakat lebih
dipandang sebagai bagian dari produk wisata yang ditawarkan kepada
wisatawan. Dengan kata lain, komunitas lokal ikut dilibatkan menjadi bagian
dari industri pariwisata.
Adapun prinsip - prinsip dasar dari CBT menurut Suansri (dikutip
Suriany, 2008:33) dalam gagasannya yaitu : (1) mengakui, mendukung dan
mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata, (2)
mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek, (3)
mengembangkan kebanggaan komunitas, (4) mengembangkan kualitas hidup
komunitas, (5) menjamin keberlanjutan lingkungan, (6) mempertahankan
keunikan karakter dan budaya di area lokal, (7) membantu berkembangnya
pembelajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas, (8) menghargai
perbedaan budaya dan martabat manusia, (9) mendistribusikan keuntungan
secara adil pada anggota komunitas, (10) dan berperan dalam menentukan
persentase pendapatan (pendistribusian pendapatan) dalam proyek yang ada di
komunitas.
Sebagai kesimpulannya, meskipun terdapat perbedaan sudut pandang,
salah satu prinsip utama dari CBT adalah tentang bagaimana caranya
melibatkan komunitas lokal setempat sehingga mereka juga dapat merasakan
nilai manfaat (benefits) dari perkembangan pariwisata yang ada di sekitarnya.
Pada penelitian berjudul "Model Pengembangan Pariwisata Berbasis
48 Masyarakat di Kota Yogyakarta", oleh Isnaini Muallisin (2007) juga diakui
mengenai model pengembangan kampung internasional yang cocok
diterapkan untuk Kampung Prawirotaman, yakni model pengembangan
pariwisata berbasis masyarakat. Sedangkan, menurut Damanik (2010) wujud
CBT di lapangan berupa pelibatan masyarakat dalam pelatihan peningkatan
kapasitas, distribusi kredit usaha, perencanaan bisnis, pengembangan produk,
dan pemasaran pariwisata. Pernyataan itu disampaikannya saat dikukuhkan
sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM dengan
mengucap pidato "Merancang Format Baru Pariwisata yang Menyejahterakan
Rakyat" (Agung, 2010).
4. Dampak Pariwisata Terhadap Komunitas Lokal
Tujuan dari pengembangan pariwisata pada level komunitas adalah
tentang memaksimalkan potensi dampak positif dan di waktu yang sama
meminimalkan potensi dampak negatifnya. Namun, terlebih dahulu lebih
penting untuk mengidentifikasikan dampak yang mungkin timbul (Kreag,
2001:5). Banyak peneliti kepariwisataan telah berhasil mengidentifikasi
berbagai dampak potensial dari pariwisata dan mengelompokkannya ke dalam
berbagai kategori. Kategori ini dapat bervariasi. Bagaimanapun juga terdapat
kesepakatan bersama yang membagi dampak pariwisata ke dalam 3 kategori
utama yang juga sering disebut dengan “triple bottom-line” yakni, dari aspek
sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup. Namun, pada dasarnya sebuah
komunitas tidak akan mengalami setiap dampak dari kategori yang ada.
49 Penulis dalam hal ini membahas dampak dari kategori sosial budaya
dan ekonomi saja. Dampak lingkungan hidup tidak dijadikan bahasan
tersendiri namun sekiranya sudah termasuk (include) ke dalam bahasan
dampak keduanya. Menurut Lerner (1977) dikutip oleh Allister Mathieson and
Geoffrey Wall (1982) (dalam Kurniawati, n.d.) menyatakan "Environment
now includes not just only land, water and air but also encompass to people,
their creation, and the social, economic, and cultural condition that affect
their lives". (Lingkungan sekarang tidak hanya tentang tanah, air, dan udara
tetapi juga mencakup orang - orang, ciptaan mereka, dan kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi kehidupan mereka). Sehingga
sesuai dengan yang dikatakan oleh Lerner, dalam hal ini yang terkena dampak
positif dan negatif dari pariwisata tidak hanya alam tetapi masyarakat juga.
Sedangkan, penggunaan istilah komunitas lokal dalam konteks
pariwisata memang cukup beragam. Menurut Rahman (dalam Jaafar M.,
Ismail S. & Rasoolimanesh S. M. 2015:9), penggunaannya bisa mengacu pada
masyarakat lokal setempat (locals), suku pribumi (natives), penduduk umum
(residents), penduduk asli (indigenous people), masyarakat daerah tujuan
wisata (destination people), atau tuan rumah (hosts). Dalam hal ini,
perbedaannya tergantung bagaimana karakteristik masing - masing. Secara
lebih lanjut, Rahman (2010) mengatakan sebuah komunitas adalah
sekelompok individu yang tinggal atau bekerja di dalam wilayah geografis
yang sama dan saling berbagi kesamaan aspek historis, budaya dan/atau
kepentingan bersama. Sebagai kesimpulannya, komunitas apapun yang berada
50 di sekitar kawasan kepariwisataan merupakan komunitas lokal yang dapat
dipengaruhi oleh perkembangan pariwisata di sekitarnya.
a.
Dampak Sosial Budaya
Wolf dalam Wall, 1982 (dikutip Ismayanti, 2010:194) menyatakan
dampak pariwisata terhadap sosial budaya sebagai people impact karena
berkaitan dengan pengaruh terhadap masyarakat, tuan rumah dan
wisatawan dalam perubahan kualitas hidup, baik secara positif maupun
negatif. Menurut Matthieson & Wall (dalam Zaei M & Zaei M, 2013:15),
efek atau dampak ini dapat berarti positif atau negatif bagi tuan rumah
karena wisatawan dalam hal ini tidak selalu sensitif terhadap kearifan
lokal, tradisi, dan nilai – nilai yang ada di masyarakat tuan rumah. Dengan
kata lain, penggabungan dua kebudayaan yang berbeda dapat menuntun
pada perkembangan gaya hidup dan praktek – praktek kehidupan yang
lebih baik bagi masyarakat tuan rumah melalui “efek demonstrasi” (usaha
menyamai cara) yang dibawa oleh wisatawan. Biasanya kedua belah pihak
dalam hal ini sama – sama memiliki kesadaran penuh atas potensi
pariwisata kawasannya, sehingga terjadi interaksi yang positif. Begitu pula
sebaliknya, ketika wisatawan dan tuan rumah tidak sensitif terhadap
potensi ini, perubahan – perubahan ke arah yang negatif terhadap kualitas
hidup masyarakat tuan rumah tidak dapat dihindarkan.
Sebagai contoh, peningkatan kualitas hidup dapat terjadi melalui
perbaikan infrastruktur dan fasilitas publik (terutama yang berprinsip pada
pembangunan pariwisata berkelanjutan) dimana dapat menuntun pada
51 tingkat pendidikan yang lebih baik, peningkatan kesehatan masyarakat,
peluang kerja, sampai peningkatan penghasilan. Sebaliknya, dampak
negatif cenderung menuntun pada perubahan gaya hidup, nilai dan norma
masyarakat, kemunculan kekuatan ekonomi baru yang lebih dominan, dan
adaptasi budaya sebagai tuntutan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan
(dipaksakan), dsb.
Pizam & Milman dikutip Mathieson & Wall (dalam Fredline &
Deery & Jago, 2006:2) juga menyatakan dampak sosial budaya dari
pariwisata adalah cara dimana pariwisata berkontribusi terhadap
perubahan dalam nilai, perilaku individu, hubungan keluarga, kolektivitas
sosial, tingkat keamanan, perilaku moral, ekspresi kreatif, upacara
tradisional dan pengorganisasian komunitas. Sedangkan, menurut AhimsaPutra & Rahajana (2001:6) dampak sosial budaya dapat diartikan sebagai
berbagai macam perubahan yang terjadi pada satu sistem interaksi dan
relasi antar individu sebagai akibat dari adanya perubahan pada
lingkungan fisik, sosial, dan budaya dari sistem tersebut.
Dampak sosial budaya sendiri dapat berbeda – beda pada suatu
wilayah atau kawasan tertentu dengan yang lain, utamanya bergantung
pada kebudayaan dan tingkat keterkaitan dengan institusi sosial di
kawasan setempat. Dampak ini juga kerap dilihat dari berbagai perspektif.
Menurut Sharpley (1994), dampak sosial budaya ini dapat termanifestasi
sebagai akibat dari perkembangan industri pariwisata itu sendiri atau dari
interaksi antara wisatawan dengan masyarakat tuan rumah (Jaafar M.,
52 Ismail S. & Rasoolimanesh S. M. 2015:7). Selain itu, Hall & Page (2003)
dikutip orang yang sama, menyatakan bahwa dampak ini dapat
mengakibatkan perubahan pada sistem nilai baik kolektif dan individu,
pada pola perilaku, struktur masyarakat, gaya hidup, dan kualitas hidup.
Sebagai kesimpulannya, dari beberapa konsep di atas dapat diartikan
bahwa dampak pariwisata dari dimensi sosial budaya adalah tentang
perubahan - perubahan yang mungkin muncul pada karakter sosial budaya
di dalam sistem yang menjadi sasaran dampak, dalam hal ini komunitas
lokal.
Sedangkan dalam konteks penelitian, dampak ini dapat berbentuk
nyata (real) atau dirasakan (perceived). Nyata berarti, dampak dapat
diukur secara objektif dan dapat diverifikasi keasliannya. Sebagai contoh,
peningkatan volume kendaraan (kemacetan) yang dapat dikuantifikasikan
dan ditemukan outcome yang jelas. Sebaliknya dampak yang dirasakan
(perceived) merupakan pengalaman pribadi dari pihak yang terlibat
(Fredline, Deery & Jago, 2006:1). Membandingkan keduanya sama
dengan membandingkan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif.
Dengan
kata
lain,
keduanya
diakui
sebagai
benar
dan
dapat
dipertanggungjawabkan keobjektifannya. Kemudian, salah satu metode
yang banyak digunakan peneliti untuk melihat dampak sosial dari
pariwisata ini adalah dengan pendekatan persepsi (perceptions approach).
Nilai penting (emphasis) dari pendekatan ini adalah mengutamakan
sensitifitas dampak - dampak yang mungkin muncul daripada secara tepat
53 mengukur dan mengidentifikasikan dampak tersebut. Pendekatan persepsi
ini pada dasarnya meminta pihak terkait, dalam hal ini komunitas (unit
analisis) untuk mengevaluasi sendiri (self evaluate) dampak suatu
peristiwa (events) terhadap kualitas hidup mereka.
Brunt & Courtney (dikutip Fredline, Deery & Jago, 2006:2) dalam
diskusi mereka mengenai persepsi tuan rumah (dampak sosial budaya
pariwisata), mendemonstrasikan pentingnya memaknai dampak sosial dari
pariwisata terhadap komunitas lokal. Dalam hal ini, penelitian yang
penulis ajukan memiliki kesamaan yakni untuk menelusuri dan memaknai
dampak sosial dari perkembangan Kampung Turis terhadap komunitas
lokal; pedagang pasar tradisional berdasarkan persepsi mereka, dan
bagaimana mereka merasakannya, jadi bukan tentang mengejar outcome
nyata yang dapat diukur dan dikuantifikasikan. Pada dasarnya, penelitian
tentang dampak sosial pariwisata terhadap komunitas juga mengakui
bahwa tingkatan dampak dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebagai
contoh, faktor seperti kondisi perekonomian lokal, perkembangan industri
pariwisata maupun daerah tujuan wisata, dan tingkat keharmonisan
komunitas (community attachment) telah terbukti mempengaruhi tingkatan
dampak aktifitas pariwisata (Gursoy, Jurowski & Uysal dalam Fredline,
Deery & Jago, 2006:2).
Kemudian, berbicara konteks pemaknaan dampak pariwisata ke
komunitas lokal tertentu berarti mengkategorikan juga indikator - indikator
tertentu yang sesuai dengan komunitas tersebut. Pedagang pasar sendiri
54 memiliki karakteristik dan/atau keunggulan tertentu yang kerap dipakai
dalam sebuah penelitian dan seringkali dihubungkan dengan penggunaan
konsep modal sosial. Pengertian modal sosial disini mengacu pada
Kawachi, Kennedy & Glass (dalam Fredline, Deery & Jago, 2006:1) yang
didefinisikan sebagai wajah dari organisasi sosial - seperti tingkat
kepercayaan interpersonal antar warga, norma pertukaran sosial, dan
struktur
sosial
-
untuk
memfasilitasi
kerjasama
yang
saling
menguntungkan (mutual benefit). Kaitan konsep ini dengan konsep
dampak sosial budaya pariwisata terletak pada perubahan yang mungkin
terjadi ketika dampak itu muncul. Menelusuri bagaimana struktur sosial di
pasar tradisional, hubungan antar pedagang; termasuk jenis dan variasi,
norma saat ini, tingkat kepercayaan, interaksi wisatawan dengan pedagang
serta hubungan dengan pembeli menjadi beberapa indikator yang dapat
membantu menentukan dampak sosial budaya yang dimaksud.
b. Dampak Ekonomi
Keuntungan utama dari perkembangan industri pariwisata di suatu
kawasan atau negara adalah dari nilai ekonomi yang ditawarkannya. Nilai
manfaat ekonomi ini terjadi di seluruh tingkatan baik itu internasional,
nasional, regional, maupun pada level lokal. Christie (dalam Santosa,
2011:86) mengatakan keuntungan pariwisata secara ekonomi dapat
menyumbang pengumpulan mata uang asing (devisa), meningkatkan
pendapatan dan kesempatan kerja, dapat juga meningkatkan struktur
perekonomian, dan mendorong perkembangan usaha kecil. Namun,
55 mengingat dampak positif selalu berdampingan dengan dampak negatif.
Adapun, beberapa dampak negatif di bidang ekonomi antara lain:
kenaikkan harga-harga properti dan barang di sekitar lokasi wisata,
meningkatnya jumlah usaha dan wisatawan yang datang di sekitar lokasi
wisata memicu para spekulan menaikkan harga. Perpindahan kepemilikan
tanah atau lahan, banyaknya investor yang datang di sekitar lokasi wisata,
dapat meningkatkan transaksi jual-beli tanah penduduk lokal, sehingga
mengurangi penguasaan penduduk lokal terhadap tanah. (Widodo, Fandeli,
Baiquni, & Damanik, 2011:210).
Jika ditinjau dari sisi positifnya, pengeluaran para wisatawan, baik
wisatawan domestik maupun internasional di suatu daerah tujuan wisata
adalah suatu bukti nyata bahwa keberadaan pariwisata memberi kontribusi
yang cukup besar kepada tuan rumah (Cooper dalam Widodo, Fandeli,
Baiquni, & Damanik, 2011:209). Sejalan dengan pendapat di atas,
menurut Cohen (1984) dikutip orang yang sama, dampak pariwisata
terhadap kondisi ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi
delapan kelompok besar, yaitu: (1) Dampak terhadap penerimaan devisa;
(2) Dampak terhadap pendapatan masyarakat; (3) Dampak terhadap
kesempatan kerja; (4) Dampak terhadap harga-harga; (5) Dampak terhadap
distribusi manfaat/keuntungan; (6) Dampak terhadap kepemilikan dan
kontrol; (7) Dampak terhadap pembangunan pada umumnya; dan (8)
Dampak terhadap pendapatan pemerintah. Selain itu, beberapa dampak
positif lain yang mudah dilihat sebagai akibat perkembangan pariwisata
56 adalah adanya peluang kerja yang sangat banyak karena pariwisata
merupakan kegiatan yang multi sektoral (Widodo, Fandeli, Baiquni, &
Damanik, 2011:209).
Dalam konteks dampak terhadap pedagang pasar tradisional,
keuntungan ekonomi dapat dilihat terutama dari peningkatan pendapatan
para pedagang, ada tidaknya interaksi dalam bentuk transaksi dengan
wisatawan, keramaian pasar, serta perbandingan antara penambahan
pedagang dengan yang gulung tikar. Multiplier effect dalam hal ini juga
berlaku bagi pedagang pasar, sebagai contoh dapat dilihat dari ada
tidaknya perbaikan fasilitas dan infrastruktur, penentuan harga - harga,
sampai pada persaingan antar para pedagang. Sebagaimana dampak sosial
budaya terhadap komunitas lokal, dampak ekonomi ini juga dapat
berbentuk nyata (real) atau dirasakan (perceived). Terkait hal ini, dalam
penelitian ini dampak ekonomi lebih dilihat sebagai aspek kualitatif, yang
artinya dampak tidak diukur dan dikuantifikasikan besaran maupun
pengaruhnya terhadap sasaran dampak, dalam hal ini komunitas lokal.
Dengan kata lain, dampak lebih dilihat dari ada tidaknya nilai manfaat
ekonomi yang dirasakan pedagang (perceived).
5. Pasar Tradisional di Indonesia
Komunitas lokal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pedagang
pasar tradisional. Pasar tradisional sendiri menurut Peraturan Menteri
Perdagangan RI No. 70/M-DAG/PER/12/2013 adalah pasar yang dibangun
dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik
57 Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta,
dengan tempat usaha berupa Toko, Kios, Los, dan Tenda yang dimiliki/
dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi
dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang
dagangan melalui tawar menawar. Dalam hal ini, karakter tawar - menawar
menjadi ciri khas pasar tradisional. Selain itu, pasar tradisional juga memiliki
ciri lain yaitu, barang atau jasa yang ditawarkan berbahan lokal atau dari
rakyat sendiri. Sedangkan, untuk jenis maupun ragam barang pada dasarnya
sangat konvensional seperti, sembilan bahan kebutuhan pokok (nine kinds of
basic needs) atau sembako. Namun, juga terdapat pasar yang khusus
menyediakan komoditas tertentu seperti misalnya pasar ikan, dsb.
Pemerintah dalam ini juga mengeluarkan UU No.7 Tahun 2014
tentang Perdagangan yang berisi tentang perubahan nama dari pasar
tradisional menjadi pasar rakyat untuk menghapus kesan negatif yang kerap
melekat pada pasar tradisional. Kesan negatif yang selama ini melekat seperti
kesan kumuh, kotor, sempit, becek, dan bau, serta adanya premanisme yang
dapat menurunkan minat pembeli untuk pergi ke pasar. Bagaimanapun juga,
kondisi tersebut adalah kondisi apa adanya dari masyarakat kelas menengah
ke bawah di Indonesia. Seperti sudah disinggung sebelumnya pada bagian
latar belakang masalah, identitas masyarakat Indonesia yang otentik seperti ini
memiliki potensi untuk dapat dikembangkan menjadi salah satu destinasi
wisata alternatif bagi wisatawan internasional. Dalam hal ini, bukan berarti
kesan negatif itu dibiarkan begitu saja melainkan tetap dikelola dengan baik,
58 namun juga harus memperhatikan agar nilai otentik dan asli yang melekat
padanya tidak luntur.
Menurut Utama (2013), dengan berlandaskan prinsip keunikan dan
kelokalan, kepariwisataan Indonesia didasari oleh falsafah hidup bangsa
Indonesia sendiri, yaitu konsep prikehidupan yang berkeseimbangan.
Menurutnya, daya tarik wisata Indonesia bukan semata dari keindahan alam,
maupun heritage atau peninggalan sejarahnya melainkan pada manusianya.
Manusia yang hangat, ramah tamah, murah senyum dan gemar menolong
tamunya, sehingga membuat “kangen” untuk kembali lagi. Utama
mendasarkan alasannya pada pengakuan bahwasanya objek wisata tanpa
adanya komunitas di sekitarnya tidak lebih dari benda mati, tidak ada roh
kehidupan dan bahkan tidak berarti apa-apa bagi pengunjung. Sejalan dengan
hal ini, manusia dengan segala hasil cipta, rasa, karsa, dan budinya adalah
budaya. Dengan demikian, kepariwisataan Indonesia seharusnya adalah
kepariwisataan yang berbasis masyarakat (community based tourism) dan
berbasis budaya (cultural tourism). Kepariwisataan yang dibangun dengan
prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat (Utama,
2013). Dalam hal ini, pasar tradisional khususnya di wilayah perkotaan yang
biasanya tidak terdapat objek wisata alam, memiliki daya tarik yang amat
penting yang dapat dikemas menjadi daya tarik wisata kota.
59 
Download