1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Vitiligo adalah kelainan depigmentasi kulit didapat dengan karakteristik bercak putih yang disebabkan oleh destruksi melanosit. Vitiligo bersifat kronik dan mengganggu secara kosmetik sehingga pasien vitiligo memiliki kepercayaan diri yang rendah dan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Hingga saat ini, belum diketahui penyebab vitiligo yang sesungguhnya. Angka prevalensi vitiligo di seluruh dunia 1,2 yaitu 0,5-1%. Penelitian menemukan angka prevalensi di Cina yaitu 0,093%, di Denmark yaitu 0,38%. Prevalensi tertinggi dijumpai di Gujarat yaitu 8,8%. 3 Di Indonesia penelitian mengenai penyakit ini masih sangat terbatas. Jusuf dan Meher menemukan bahwa berdasarkan data rekam medis, pada tahun 2012 persentase kunjungan pasien vitiligo yaitu 18,09%, tahun 2013 sebesar 9,21%, tahun 2014 sebesar 8,53%, dan tahun 2015 sebesar 8,45% dari jumlah keseluruhan kunjungan pasien ke divisi kosmetik Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik oleh pada tahun tersebut. 4 Di RSUP Dr. M Djamil Padang insidensi vitiligo pada tahun 2001-2006 sebesar 0,46%. 5 Sebagian besar bersifat sporadis namun sekitar 16-46% penderita memiliki riwayat keluarga dan pola pewarisannya sesuai trait 6 poligenik. Vitiligo bisa dijumpai pada semua usia. Namun hampir separuh kasus vitiligo terjadi sebelum usia 20 tahun dan 70-80% terjadi sebelum usia 1 Universitas Sumatera Utara 2 7 30 tahun. Hal ini sesuai dengan yang ditemukan oleh Rizal yaitu vitiligo 5 paling banyak ditemukan pada kelompok usia 21-30 tahun. Baik wanita maupun pria dapat terkena vitiligo. 6,7 Etiologi dari vitiligo masih belum diketahui pasti. Namun terdapat beberapa hipotesis yang autoimun, dan biokimia. telah 3,6,8 dikemukakan, yaitu: hipotesis Hipotesis ini diduga genetik, secara sinergis menyebabkan terjadinya vitiligo. Adanya kerentanan genetik yang dapat memicu suatu proses autoimun ditambah dengan adanya peningkatan stres oksidatif dapat menyebabkan terjadinya destruksi melanosit yang berakibat munculnya lesi depigmentasi.9 Suatu senyawa yang diduga terlibat dalam ketiga hipotesis tersebut adalah homosistein. 10 Homosistein adalah asam amino yang memiliki gugus sulfur yang terlibat dalam siklus metionin yaitu pada jalur remetilasi dan jalur transulfurasi. Fungsi dari siklus ini adalah untuk mendonorkan gugus metil yang diperlukan berbagai molekul tubuh dan sintesis glutation. Homosistein dapat memediasi destruksi 11-13 melanosit dengan cara memproduksi interleukin-6 (IL-6), mengaktivasi nuclear factor-kappa B (NFĸB) dan meningkatkan kerusakan oksidatif. Oksidasi homosistein akan memproduksi reactive oxygen species (ROS) yang toksik seperti superoxide anion, hidrogen peroksida, dan gugus hidroksil radikal bebas yang bersamaan dengan kelainan metabolisme biopterin dapat menyebabkan stres oksidatif, akumulasi bahan melanositotoksik serta inhibisi proses detoksifikasi alamiah yang berperan dalam terjadinya destruksi melanosit pada lesi vitiligo. Universitas Sumatera Utara 3 Homosistein juga menginhibisi enzim tirosinase yang berperan dalam biosintesis melanin dengan cara berinteraksi dengan tembaga pada lokasi aktif enzim. Homosistein bebas bereaksi secara non enzimatik dengan residu sulfur-hidril dari protein tubuh dan mengalami tiolasi. Tiolasi yang berlebihan akan berpengaruh 13 pada fungsi protein dan enzim pada tubuh. Nilai rentang normal kadar homosistein adalah 5 -15 µmol/L. Berbagai hal yang dapat mempengaruhi kadar homosistein yaitu polimorfisme genetik, usia, jenis kelamin, kehamilan, penyakit, obat obatan, gaya hidup dan defisiensi vitamin. 10 Kekurangan vitamin B6, B12 dan asam folat dapat meningkatkan kadar homosistein dalam darah oleh karena vitamin-vitamin ini berfungsi sebagai kofaktor enzim-enzim dalam metabolisme homosistein. 11-13 Hal ini menjadi landasan penelitian Juhlin & Olsson yang menemukan manfaat pemberian vitamin B12 dan asam folat pada pasien vitiligo yang hanya diedukasi untuk berjemur di sinar matahari. mendapatkan 14 Don et al juga hasil yang baik dengan terapi broadband UVB yang dikombinasikan dengan vitamin B12 , asam folat dan vitamin C untuk pengobatan vitiligo. Berdasarkan 15 gambaran klinis, vitiligo dapat di bagi menjadi tipe segmental dan nonsegmental. Luas daerah yang terkena bervariasi, mulai dari fokal hingga ke generalisata dan onset muncul secara perlahan. dapat secara tiba-tiba atau 6 Ada beberapa sistem penilaian vitiligo yang dikenal. Beberapa di antaranya yaitu skor Vitiligo Area Scoring Index (VASI), Vitiligo European Universitas Sumatera Utara 4 Task Force assessment (VETFa), Vitiligo Disease Activity Score (VIDA), Vitiligo Extent Tensity Index (VETI) dan Potential Repigmentation Index (PRI). 16 VASI adalah skor yang paling umum digunakan. 16 Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi et al yang diadaptasi dari skor Psoriasis Area and Severity Index. VASI merupakan metode penilaian secara semi-objektif yang sudah terstandarisasi yang dapat mengukur luas dan derajat depigmentasi / repigmentasi pada pasien vitiligo. 16-18 Sabry et al, Singh et al, Karadag et al, Shaker & El-Tahlawi menemukan rata-rata kadar homosistein serum pasien vitiligo yang secara signifikan lebih tinggi dibanding kontrol. 12,19,20,21 Hal ini berlainan dengan yang dijumpai oleh Zaki et al dan Yasar et al yang menemukan tidak ada perbedaan signifikan antara 22,23 kadar homosistein serum pasien vitiligo dengan kontrol. Sabry et al, Ghalamkarpour et al, dan Zaki et al tidak menemukan adanya hubungan durasi penyakit dengan kadar homosistein serum. 19,22,24,25 Agarwal et al menemukan hal yang sebaliknya yaitu dijumpai korelasi positif antara homosistein dengan durasi penyakit (r=0,416). Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan antara homosistein dengan tipe vitiligo. Kadar homosistein serum pada vitiligo universal dijumpai secara signifikan lebih tinggi. 13 Penelitian Sabry dan Silverberg menemukan adanya hubungan antara peningkatan kadar homosistein dan luas vitiligo. 19,25 Sedangkan Ghalamkarpour menjumpai hal sebaliknya. Ghalamkarpour et al meneliti kadar homosistein serum pada 50 orang subjek vitiligo dan 53 orang kontrol sehat. Pada studi ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara kadar homosistein serum Universitas Sumatera Utara 5 dan skor VASI (r=0,25; p= 0,08). 24 Berbeda dengan Agarwal et al yang menemukan adanya korelasi positif antara kadar homosistein serum dengan skor VASI (r=0,567; p=0,000), yaitu kadar serum pada kelompok skor VASI di atas 30 adalah 24,14±8,91µmol/L dan skor VASI di bawah 30 13 adalah 14,20± 6,14µmol/L. Perbedaan inilah yang mendorong peneliti untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan kadar homosistein serum pada pasien vitiligo dengan skor VASI pada pasien vitiligo. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI pada pasien vitiligo? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Menganalisis hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI pada pasien vitiligo. 1.3.2 Tujuan khusus l. Menganalisis perbandingan kadar homosistein serum pasien vitiligo dengan kontrol sehat. 2. Menganalisis hubungan antara kadar homosistein serum dengan jenis kelamin pada pasien vitiligo. 3. Menganalisis hubungan antara kadar homosistein serum dengan usia pada pasien vitiligo. 4. Menganalisis hubungan antara kadar homosistein serum dengan riwayat keluarga pada pasien vitiligo. Universitas Sumatera Utara 6 5. Menganalisis hubungan kadar homosistein serum dengan lama mengalami vitiligo. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Institusi pendidikan Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai hubungan antara kadar homosistein serum dengan skor VASI pada pasien vitiligo. 1.4.2 Institusi kesehatan Bertambahnya pemahaman mengenai peranan homosistein sebagai biomarker untuk penyakit vitiligo 1.4.3 Masyarakat Dapat memberikan edukasi bagi masyarakat tentang hal-hal yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan tambahan yang berkaitan dengan peran kadar homosistein pada vitiligo. 1.4.4 Pengembangan penelitian Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data untuk penelitian di masa mendatang. Universitas Sumatera Utara