Catatan untuk Khotbah 6 Desember 2009

advertisement
Catatan untuk Khotbah 6 Desember 2009
Pengkhotbah: Pdt. Budy Setiawan
Nats Alkitab: ...................
Ringkasan Khotbah 22 November 2009
Nats Alkitab: Matius 27:27-44 | Yesus diolok-olokan & Yesus disalibkan
Pengkhotbah: Pdt. Budy Setiawan
Ringkasan dan audio dari khotbah minggu-minggu yang lalu tersedia di website www.griimelbourne.org
Ada sekelompok eksplorer yang sedang menjalankan sebuah ekspedisi di lokasi yang
sangat terpencil. Mereka keluar masuk goa dan menjelajah ke pelosok-pelosok yang
paling sulit. Pada suatu kali perjalanan mereka tertahan oleh sebuah aliran air yang
terlihat sangat dalam dan bahaya dan tidak terlihat ujungnya sampai mana. Banyak dari
anggota eksplorer membatalkan niat untuk menyelam dan menyebrangi aliran air ini.
Sampai akhirnya sang pemimpin sadar bahwa dia tidak dapat lagi meyakinkan para
anggotanya untuk menyelam bersama kecuali dia harus pergi sendiri menelurusi air
tersebut. Hasil daripada penelurusan tersebut tentunya berhasil; sang pemimpin berhasil
pergi, sampai ke ujung aliran air itu dan kembali lagi kepada kelompoknya yang dia
tinggal untuk akhirnya melaporkan cerita dan penemuannya. Sama halnya juga dengan
Kristus yang akhirnya harus Dia sendiri yang menjalani lautan penderitaan; seperti
sebuah lagu yang mengatakan “Alone, alone, He bear it alone.” Dia yang menanggung
semuanya itu sendiri.
Serdadu-serdadu wali negeri adalah orang-orang yang direkrut dari sekitar luar
Yudea, yaitu orang-orang dari Finisia, Syria dan termasuk Samaria. Jadi orang-orang ini
sebenarnya merupakan musuh orang Yahudi. Yesus yang diserahkan kepada mereka
jelas menjadi suatu kesempatan untuk mengolok-olok dan menganiaya orang Yahudi,
apalagi Yesus ini disebut sebagai “Raja Orang Yahudi.” Paling sedikit ada 2001 serdadu
yang mengelilingi dan mengerubuti Yesus untuk mengolok-ngolok dan menganiaya Dia.
Seorang penulis mengatakan tentang apa yang dikerjakan serdadu-serdadu ini dalam
ayat 27-31 sebagai, “This is a display of human nature in its most brutal and inhumane
form.” Raja yang besar yang mengatasi segala raja di dunia ini mengalami penghinaan
dan penyiksaan yang paling dalam. Ketika kita membayangkan penyiksaan secara
‘inhumane’ (tidak manusiawi) ini apakah lalu kita bisa menyamakannya dengan
binatang? Tidak. Justru lebih parah dari binatang. Tidak ada binatang yang
mempermainkan sesamanya atau mangsanya seperti ini. Inilah gambaran manusia yang
berdosa yang sangat mengerikan.
1
Kata pasukan dalam bahasa Yunani berarti sepersepuluh dari legion, berarti 600 orang. Tetapi menurut Leon Morris kata ini
juga bisa menunjuk kepada “maniple” yaitu menunjuk kepada 200 orang, yang kelihatannya lebih mungkin. Leon Morris, “The
Gospel According to Matthew: The Pillar New Testament Commentary,” Eerdmans, Michigan: 1992, hal. 711.
Selanjutnya kita melihat Yesus dibawa ke luar kota. Penyaliban adalah suatu
penghinaan bagi orang Romawi dan kutukan bagi orang Yahudi. Karena itu penyaliban
harus dilangsungkan bukan di dalam kota, melainkan di luar. Orang yang disalib harus
membawa kayu salibnya sendiri menuju tempat penyaliban. Biasanya mereka juga akan
dikalungkan plat yang menuliskan alasan dia dihukum. Dalam kasus Yesus, plat-nya
bertuliskan, “Inilah Yesus Raja orang Yahudi.”
Di dalam perjalanan Yesus yang susah, kita melihat ada Simon Kirene di situ yang
akhirnya menolong Dia membawa salib. Seakan-akan kehadiran Simon di dalam
peristiwa ini hanya kebetulan saja. Simon hanyalah satu orang dari banyak yang
berkerumun untuk melihat prosesi penyaliban para hukuman. Dan secara acak dia
ditarik oleh serdadu dan disuruh untuk menggotong salib dari Yesus yang sudah lemah.
Kita tidak menemukan secara detil dari Alkitab siapa Simon ini. Tetapi dari Markus 15,
Roma 16, kita bisa melihat kalimat-kalimat yang menuju kepada Simon dari Kirene ini.
Dari pertemuan yang kelihatan sangat tidak sengaja, sangat singkat, hidup dia dan
keluarganya diubahkan selamanya, menjadi orang yang percaya kepada Yesus.
Mari sekarang kita mencoba mengerti tentang salib, yang zaman dulu adalah suatu
kebodohan dan batu sandungan. Sekarang kita melihat salib ada dimana-mana dan
dipakai secara bebas. Akan tetapi di zaman Yesus salib adalah tanda yang sangat
menjijikan, yang dipakai hanya untuk menunjuk kepada kriminal paling rendah yang
memberontak kepada kaisar Roma. Tidak ada warga Romawi sendiri yang mengalami
penyaliban. Kegiatan ini hanya ditujukan kepada mereka yang ras-nya bukan Romawi,
yang statusnya sangat rendah dan hina. Cicero mengatakan salib adalah “a most cruel and
disgusting punishment”. Dia mengatakan selanjutnya, “To bind a Roman citizen is a crime, to
flog him is an abomination, to kill him is almost an act of murder: to crucify him – What? There is
no fitting word that can possibly describe so horrible a deed.” Begitu mengerikannya dan
menjijikannya salib dia juga mengatakan, “Let the very word ‘cross’ should be far removed not
only from the person of a Roman citizen, but from his thoughts, his eyes and his ears.” Bagi
orang Romawi, salib adalah suatu kebodohan. “Bagaimana Engkau bisa menyelamatkan
orang lain apabila diri-Mu sendiri Engkau tidak bisa selamatkan?!” Bagi orang Yahudi,
salib adalah batu sandungan karena bagi mereka orang yang disalibkan adalah orang
yang dikutuk Allah (Ulangan 21:22-23; Galatia 3:13).
Tetapi lebih dari itu, apa yang dikerjakan oleh tentara Romawi merupakan dosa yang
dilakukan oleh ignorant sinners tetapi apa yang dikerjakan oleh pemimpin agama Yahudi
merupakan dosa yang jauh lebih berat karena suatu dosa yang dilakukan oleh religious
sinners. Meskipun kita tidak setuju dengan pembagian dosa dengan seven deadly sins,
karena semua dosa sebenarnya adalah deadly, Alkitab tetap membedakan derajat
keseriusan dosa. Salah satunya, dosa yang dilakukan dengan sengaja merupakan dosa
yang lebih berat dengan dosa yang dilakukan dengan tidak sengaja. Louis Berkhof
mengatakan, “Sins committed on purpose, with full consciousness of the evil involved, and with
deliberation, are greater and more culpable than sins resulting from ignorance, from erroneous
conception of things, or from of character. Nevertheles, the latter are also real sins and make one
guilty in the sight of God.”
Mereka berkata, “Jika Engkau Anak Allah, turunlah dari salib itu! Orang lain Ia
selamatkan, dirinya sendiri tidak bisa ia selamatkan! Ia menaruh harap pada Allah,
biarlah Allah menyelamatkan Dia!” Perkataan-perkataan ini memiliki esensi yang sama
dengan perkataan Iblis ketika mencobai Yesus di padang gurun. “Jika Engkau Anak
Allah, ubahlah batu ini menjadi roti, dst.” Perkataan yang mempertanyakan status Yesus
sebagai Anak Allah, perkataan yang mempertanyakan kebaikan Allah untuk melindungi
dan memelihara Anak-Nya. “Bukankah kalau engkau anak Allah, Dia pasti tidak akan
membiarkan engkau mengalami sengsara seperti ini?” Puji Tuhan, Yesus tidak turun dari
salib! Karena secara ironis, justru karena Yesus adalah Anak Allah, Dia terus taat kepada
Bapa-Nya yang sudah mengutus Anak-Nya datang ke dunia untuk menebus dosa
manusia melalui kematian-Nya. Dia tidak turun dari salib justru karena Dia adalah Anak
Allah! Karena Dia mau menyelamatkan orang lain, diri-Nya sendiri tidak boleh
diselamatkan! Karena melalui kematian-Nyalah kuasa dosa, kuasa kematian dikalahkan,
kepada si ular tua dipecahkan!
Paradoks ini dinyatakan dengan indah oleh J.C. Ryle:
“Was he scourged? It was that through his stripes we might be healed. Was he condemned, though
innocent? It was that we might be acquitted, though guilty. Did he wear a crown of thorns? It was
that we might wear the crown of glory. Was he stripped of his raiment? It was that we might be
clothed in everlasting righteousness. Was he mocked and reviled? It was that we might be honored
and blessed. Was he reckoned a malefactor, and numbered among transgressors? It was that we
might be reckoned innocent, and justified from all sin. Was he declared unable to save himself? It
was that he might be able to save others to the uttermost. Did he die at last, and that the most
painful and disgraceful of deaths? It was that we might live for evermore, and be exalted to the
highest glory.”
Marilah kita merenungkan kebenaran yang indah ini sehingga hidup kita penuh
dengan ucapan syukur kepada Dia yang telah menyelamatkan kita. 
Ringkasan oleh Elisa Soerjono | Diperiksa oleh Pdt. Budy Setiawan
Download