Penguatan kapasitas kelembagaan remaja Masjid

advertisement
BAB 11. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill)
Pendidikan kecakapan hidup (life skill) mulai populer dalam khasanah
pendidikan Indonesia pada awal tahun 2000-an (Supriyono, 2006). Sedangkan
gagasan tentang pendidikan kecakapan hidup menurut Santoso S Hamijoyo (dalam M
Hasbi, 2006) dimulai UNESCO sejak tahun 1949 melalui konsepfunctional literacy.
Konsepnya agar kemampuan baca-tulis-hitung dapat berfungsi memberi manfaat bagi
yang hersangkutan untuk keluar dari kesengsaraan, yaitu kebodohan (ignorance),
kepenyakitan (ill-health), dan kemelaratan (poverty).
Broling mendefinisikan life skill sebagai interaksi berbagai pengetahuan dan
kecakapan yang penting dimiliki seseorang sehingga mereka dapat hidup mandiri
(Depdiknas, 2004: 5). Menurut konsep Broling, life skill terbagi dalam tiga kelompok
kecakapan yaitu kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill), kecakapan hidup
pribadilsosial (personal/social skill), dan kecakapan hidup bekerja (occupational
skill). Sedangkan WHO di tahun 1999 menjelaskan bahwa life skill merupakan
kumpulan berbagai
keterampilanlkemampuan untuk dapat
beradaptasi dan
berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai
tuntutan dan tantangan dalam hidupnya sehari-hari secara efektif. Kecakapan hidup
menurut WHO terbagi menjadi lima kelompok kecakapan, yaitu kecakapan mengenal
diri (selfmvareness) atau kecakapan pribadi @ersonal skill), kecakapan sosial (social
skill), kecakapan berpikir (thinking skill), kecakapan akademik (academic skill),
dan
kecakapan kejuruan (vocational skill).
Kecakapan hidup (life skill) menurut definisi Direktorat Jenderal Pendidikan
Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional adalah kecakapan yang
dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan
wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta
menemukan solusi, sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Depdiknas, 2004:7).
Depdiknas membagi kecakapan hidup ke dalam empat kelompok, yakni kecakapan
pribadi (personal skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik
(academic skill), dan kecakapan vocational (vocational skill). Keempatnya dilandasi
oleh kecakapan spiritual yakni keimanan, ketaqwaan, moral, etka, dan budi pekerti
luhur yang bersumber dari sila pertama Pancasila.
Aspek-aspek kecakapan hidup mennrut Purwanto (2008) dapat diukur melalui
beberapa indikator. Aspek kecakapan personal dapat dilihat melalui indikator
individu beriman kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berpikir rasional, komitrnen,
mandiri, percaya diri, bertanggung jawab, menghargai dan menilai diri, menggali
informasi mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah.
Aspek kecakapan sosial dapat dilihat melalui indikator individu bekerjasarna,
menunjukkan tanggungjawab sosial, mengendalikan emosi, berinteraksi dalam
masyarakat, mengelola konflik, berpartisipasi, membudayakan sikap sportif, disiplin,
dan hidup sehat, mendengarkan, berbicara, membaca, menuliskan gagasanlpendapat,
bekerjasarna dengan teman seksrja, dan memimpin.
Purwanto lebih lanjut menyebutkan aspek kecakapan akademik dapat dilihat
melalui indikator individu menguasai pengetahuan, merancang dan melaksanakan
penelitian ilmiah, bersikap ilmiah, berpikir strategis, berkomunikasi ilmiah,
menggunakan
teknologi,
mengambil
keputusan,
mengidentifikasi . dan
menghubungkan variabel kemampuan memuskan masalah, kemampuan bersikap
kritis dan rasional. Sedangkan untuk melihat kecakapan vokasional pada individu
dapat dilihat melalui indikator menguasai keterampilan tertentu sesuai prosedur,
benvirausaha, menguasai TIK, dan merangkai alat.
Pada konteks pendidikan non formal, kecakapan hidup memdiki tujuan utama
untuk mengentaskan kerniskinan dan menanggulangi pengangguran dengan
penekanan upaya pembeiajaran yang dapat memberikan penghasilan (learning and
earning). Bila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu, life skill dalam lingkup
pendidikan nonformal ditujukan pada penguasaan vokasional skill yang intinya
terletak pada penguasaan keterampilan secara khususlspesifik @adang Yunus, 2008).
Dalam pemaknaan program pendidikan nonformal, program life skill diharapkan
mampu menolong masyarakat untuk mempunyai harga diri dalam mencari nafkah
dalam konteks peluang yang ada di lingkungannya.
Kecakapan atau keterampilan sosial menurut World Bank (2006:117)
dikembangkan dari usia yang sangat awal sampai akhir masa remaja, mempunyai
pengaruh yang lama di sekolah, pekerjaan, dan hubungan sosial. Keterampilan sosial
seperti berkerjasama dan kemampuan untuk merundingkan masalah mempersatukan
banyak sifat seperti motivasi, disiplin, percaya diri, kemampuan mempertimbangkan
pilihan dan mencapai suatu keputusan (keterampilan berperilaku).
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecakapan
hidup adalah serangkaian kemampuan dan keberanian yang harus dimiliki seseorang
untuk dapat menghadapi berbagai problema kehidupan, dan mencari solusi secara
kreatif dan aktif untuk memecahkan masalah tersebut. Kecakapan ditonjolkan karena
mengandung pengertian lebih mendalam daripada kemampuan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (1995) kecakapan selain berarti kemampuan dan kesanggupan, juga
dimaknai sebagai kepandaian atau kemahiran dalam mengerjakan sesuatu. Dalam
pengertiannya, kecakapan hidup lebih luas dari kecakapan untuk bekerja (Dikmenum,
2008; Muchlas Samani dalam M Hasbi, 2006). Baik orang yang bekerja maupun
tidak bekerja tetap memerlukan kecakapan hidup, karena mereka pun menghadapi
berbagai masalah yang harus dipecahkan. Setiap orang dimanapun dan kapanpun,
dengan berbagai mata pencaharian, pendidikan, maupun usia selalu menemui masalah
yang memerlukan pemecahan.
2.1.1. Kecakapan Sosial (Social Skit)
Dikmenum (2008) menyatakan bahwa kecakapan sosial (social skill)
merupakan salah satu bentuk kecakapan hidup yang bersifat generik (generic life
skill/GLS) selain kecakapan personal (personal skill). Jika kecakapan personal
mencakup kecakapan akan kesadaran diri atau memaharni diri (selfawareness) dan
kecakapan berpikir (thinking skill), kecakapan sosial (social skill) mencakup
kecakapan berkomunikasi dengan empati (communication skill) dan kecakapan
berkerjasama (collaboration skill). Sebagai sebuah kecakapan hidup generik,
kecakapan sosial disebut juga sebagai kecakapan dasar dalam belajar (basic learning
skill) karena bersifat mudah ditularkan kepada orang lain (transferable) dan
merupakan landasan untuk belajar lebih lanjut (learning how to learn).
2.1.1.1. Kecakapan Komunikasi (Communication Skill)
Bentuk kecakapan komunikasi berdasarkan konsep Dikmenun (2008) terbagi
menjadi 2 bagian yakni kecakapan komunikasi secara lisan dan tulisan. Fakta di
lapangan memperlihatkan seringkali seseorang tidalc mampu melakukan komunikasi
lisan dengan baik, apalagi jika komunikasi lisan dilakukan dengan penuh empati.
Kecakapan komunikasi lisan berkaitan dengan kecakapan memilih kata dan kalimat
yang mudah dimengerti lawan bicara, sehingga setiap orang yang mendengarkan
dapat memahami isi pembicaraan atau gagasan yang disampaikan. Konsep Dikmenun
tentang kecakapan komunikasi dengan empati sebagai berikut:
%inpati, odalah sikap penuh pengertiarz don seni komunikasi dua arah yang
perlu ditekankan tidak hanya sekedar pada penyantpaian pesan, tapi juga
disertai dengan kesan baik sehingga dapat menumbuhkan hubungan
harmonis di antara dua pihak. Kecakapan mendengarkan dengan empati
akan membuat orang mampu memahami isi pembicaraan orang lain,
sementara lawan bicara merasa diperhatikan dun dihargai. Kecakapan
menyampaikan gagasan dengan empati akan membuat orang dapat
menyampaikan gagasan dengan jelas dun dengan kata-kata santun,
sehingga pesannya sainpai dun lawan bicara merasa dihargai'
Di dalam tahapan yang lebih tinggi, bentuk kecakapan menyampaikan
gagasan juga mencakup kemampuan meyakinkan orang lain. Salah satu bentuk
komunikasi lisan adalah diskusi terarah dengan penyajian topik-topik tertentu sebagai
subjek pembicaraan.
Kecakapan komunikasi dalam bentuk tulisan berdasarkan konsepnya adalah
kecakapan menuangkan gagasan melalui tulisan yang mudah dipahami orang lain dan
membuat pembaca merasa dihargai. Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dijadikan
sarana pengembangan kecakapan komunikasi diantaranya: diskusi, presentasi, kerja
lapangan, penulisan laporan, kemampuan menggunakan komputer dan internet.
Kedua bentuk komunikasi tersebut akan berkembang jika keyakinan diri seseorang
mulai tumbuh dan berkembang dengan baik, karenanya perpaduan antara keyakinan
diri dan kemampuan berkomunikasi akan menjadi modal berharga bagi seseorang
untuk berkomunikasi dengan orang lain (Dikmenum, 2008).
Aspek empati sebagai aspek yang bisa mendukung lancamya komunikasi
yang terkait pada pribadi masing-masing juga diyakini Eka (2004). Empati menurut
Eka adalah kemampuan seseorang untuk dapat mendengar dan merasakan apa yang
sedang dibicarakan, difikirkan dan dirasakan oleh lawan bicara. Kemampuan empati
setiap orang berbeda, namun bisa dilatih dan dipelajari. Kunci komunikasi yang
berhasil dengan anak-anak adalah dengan berempati.
Aspek lain yang dibutuhkan untuk memperlancar komunikasi adalah
kepercayaan (tnrst). Seperti dikatakan Samuels Smile (dalam Eka, 2004),
'what you are, communicates more eloquently than what you say or what
you do'
(apapun status dun kedudukanmu, penyampaian yang fasih -dengun
kepercayaan- lebih baik daripadaperkataan ataupunperbuatan)
Hal yang sama dikemukakan Stephen R. Covey dalam The Seven Habits of
Highly Effective People (1989), bahwa seseorang clapat menjadi efektif jika bisa
menjalankan habit ' understandfirst, then to be understood' atau 'pahami dulu, baru
kemudian dipahmi'. Baker (2000) &lam Winarno (tanpa tahun) mengatakan bahwa
kunci keberhasilan komunikasi adalah saling memahami atau saling mengerti
mengenai apa yang dikomunikasikan. Komunikasi yang tidak menemui titik temu
akan menyebabkan kesalahpahaman (miss-understanding).
Cara melakukan
komunikasi empati menurut Winarno adalah mau mendengarkan dan memperhatikan
pembicaraan orang lain untuk kemudian berusaha memahmi apa yang ingin
disampaikan, serta berani mengungkapkan pandangan sendiri agar dipahami pihak
lain.
2.1.1.2. Kecakapan Bekerjasama (Collaboration Skilo
Kecakapan kerjasama diperlukan setiap manusia sebagai makhluk sosial
untuk berinteraksi dengan sesama manusia. Kerjasama yang dimaksud tidak hanya
dalam bentuk bekerja bersama, tetapi juga kerjasama yang disertai dengan saling
pengertian, saling menghargai dan saling membantu (Dikmenum, 2008). Kerjasama
dengan cara ini menurut studi mutakhir sangat bermanfaat dalam membangun
semangat komunalitas yang harmonis.
Seseorang disebut memiliki kecakapan berkerjasama diantaranya dalam posisi
berkerjasama dengan rekan sejawat disaat seseorang mau mengambil tanggungjawab
terhadap tugas yang dibebankan kepadanya, menghargai pekerjaan orang lain, ringan
tangan membantu teman yang memerlukan, memiliki kemampuan, inisiatif, dan
kreativitas kerja sesuai dengan tugas yang diberikan. Sedangkan sebagai seorang
pimpinan tim kerja, kecakapan berkerjasama ditampakkan dengan bentuk kecakapan
membimbing bawahan, kemampuan memperhatikan kesulitan yang terjadi pada anak
buah atau kesulitan dalam kegiatan yang dilaksanakan, serta kemampuan
menyelesaikan konflik yang terjadi dengan bijak.
Kecakapanketerampilan sosial di Amerika Serikat
yang dilihat dari
keterampilan berperilaku menurunkan kemungkinan putus sekolah menengah atas
dan meningkatkan kemungkinan untuk memasuki kuliah, yang mengarah pada gaji
yang lebih besar (World Bank, 2006:117). Hal ini lebih lanjut dikatakan
mempengaruhi pekerjaan dan pilihan pekerjaan, juga mengarah pada penurunan yang
cukup berarti pada ha1 merokok, penggunaan mariyuana, keikutsertaan tindakan tidak
taat hukum, serta kehamilan kaum muda dan perkawinan.
Program lain yang dikembangkan dalam peningkatan kecakapan sosial
dilakukan di 25 negara di dunia termasuk Brasil, Cina, Rusia, dan Afrika Selatan.
Program luar sekolah tersebut adalah program Make A Connection yang bertujuan
untuk mempererat hubungan kaum muda dengan komunitas mereka, keluarga, teman
sebaya, dan diri mereka sendiri. Program ini mengembangkan beberapa kemampuan
berperilaku dan percaya diri, motivasi, kerjasama tim, dan pengendalian masalah
sepetti berpikir kritis dan kreatif (World Bank, 2006:117).
2.2. Remaja
Dalam segi perkembangan biologis, yang dimaksud remaja adalah mereka
yang berusa usia 12-21 tahun (Zulkifli, 1986:64). Masa ini termasuk masa yang
sangat menentukan karena anak-anak mengalami banyak perubahan baik psikis
maupun fisik. Perubahan kejiwaan yang terjadi menimbulkan kebingungan di
kalangan remaja sehingga masa ini disebut orang Barat sebagai periode
sturiii
und
dra~zg,di mana remaja mengalami penuh gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga
mudah menyi~iipangdari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan
masyarakat (Zulkifli, 1986: 63).
Ciri-ciri
umum
yang
melekat
pada
remaja
diantaranya
adalah
keingintahuannya yang besar akan sesuatu, ingin menarik di lingkungannya, serta
terikat dengan kelompok. karena ketertarikannya yang besar dengan lingkungan dan
ketergantungannya yang tinggi dengan kelompok menyebabkan remaja dan pemuda
lebih mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Situasi kaum
mudalremaja ini sangat memungkinkan kesempatan mempercepat pertumbuhan dan
mengurangi kemiskinan berkembang.
Definisi pemuda dalam kerangka struktur masyarakat tidak mudah.
Keberagaman suku, adat, tingkatan sosial di masyarakat sebagian menggunakan
istilah pemuda dan sebagian istilah remaja (Nur Endah, 2007). Berbagai istilah
dikenakan pada keadaan transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa, 'puber' pada
orang Barat, 'adolesensi' pada orang Amerika, 'akil balig, 'pubertas' pada orang
Indonesia. masyarakat paling banyak menyebut masa ini sebagai 'remaja', sedangkan
panggilan adolesensi dapat diartikan sebagai pemuda yang keadaannya sudah
mengalami ketenangan (Zulkifli, 1986:64).
World Bank pada Laporan Pembangunan Dunia Tahun 2007, mendefinisikan
remaja atau kaum muda adalah 'fase transisional dari anak-anak menuju orang
dewasa ketika orang muda, melalui suatu proses perubahan fisiologis, psikologis,
sosial, dan ekonomi yang intens, perlahan mulai dikenal -dan mengakui dirinya
sendiri- sebagai 'orang dewasa'. Definisi World Bank melihat kaum muddremaja
merupakan sebuah tahapan kehidupan daripada rentang usia yang penuh energi,
antusiasme, dan kreativitas. Pada rentang usia ini, bentuk-bentuk kegiatan solidaritas
dengan sesama, serta cara menyikapi orang yang berbeda dalam ha1 etnis maupun
agama menjadi faktor penting dalam pencarian identitas diri serta bagaimana mereka
berhubungan dengan oranglain dalam masyarakat.
World Bank (2006) melihat masa muda sangat penting untuk mendorong
terciptanya kesetaraan kesempatan dan memperbolehkan setiap remaja untuk
menggali potensi mereka seutuhnya. Masa muda adalah suatu tahap penting dalam
hidup untuk mengembangkan modal manusia yang memampukan kaum muda untuk
hidup secara lebih baik dan lehih utuh. Modal manusia yang dibentuk di masa muda
baik dalam tingkat keterampilan, kesehatan, maupun dalam keterlibatan sosial dan
masyarakat merupakan faktor-faktor penentu dalam pertumbuhan jangka panjang.
2.3. Pemberdayaan dan Pekerjaan Sosial
Pemberdayaan adalah sebuah 'proses menjadi', bukan sebuah 'proses instan'
(Wrihatnolo, 2002:2). Gerakan ini mulai tampak ke permukaan sekitar dekade 70-an
hingga kini sebagai bentuk perlawanan pembangunan altematif terhadap hegemoni
developmentalisme, atau yang dikenal sebagai teori modemisasi yang diawaii dengan
munculnya paradigma pembangunan berpusat pada manusidrakyat (Sutoro, 2001;
Hikmat, 2006:l). Gerakan ini mulai muncul dan berkembang setelah pertanyaan
besar tentang masih terjadinya kemiskinan di tengah-tengah gencamya proyek-
proyek pembangunan dilontarkan para ahli pembangunan berhaluan hitis 3 dekade
yang lalu.
Hikmat (2006) melihat pada wacana pembangunan yang melibatkan
masyarakat, konsep pemberdayaan selalu dihubungkan dengan konsep mandiri,
partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Dari konsep-konsep yang ada, Craig dan
Mayo (1995) berpendapat bahwa partisipasi merupakan komponen penting untuk
membanglutkan kemandirian dan proses pemberdayaan (dalam Hikmat, 2006:3).
Partisipasi dalam proses pemberdayaan dimat sebagai faktor penting oleh
Rapaport (1987), yang melihat pemberdayaan sebagai pengaruh kontrol individu
terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya menurut undang-undang
(dalam Hikmat, 2006: 3). Proses pemberdayaan sendiri memillki tiga tahapan, yaitu
penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan (Wrihatnolo, 2007). Penyadaran
dilakukan kepada target pemberdayaan dengan harapan target menyadari akan haknya
melniliki 'sesuatu'. Dalam sebuah kelompok, target pernberdayaan adalah orangorang yang berada di dalam kelompok, penyadaran dilakukan agar para anggota
kelompok kembali menyadari misi dan visi mereka bergabung dalam kelompok
tersebut, kemudian menyadari apa peran yang dapat mereka jalankan, serta hakhaknya dalam perjalanan kelompok. Wrihatnolo mengatakan bahwa:
Program-program yang dapat dilakukan pada tahap ini misalnya
ntemberikanpengetahuan yang bersifat kogiaisi, belief; dan healing. Prinsip
dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu
(membangun "demand'7 diberdayakan, dun proses peniberdayaan itu
dimulai dari dalam diri mereka sendiri (fidak dari orang luar)
Strategi penyadaran yang digabungkan dengan penddikan juga diyakini Jim
Ife (1995) sebagai salah satu strategi pemberdayaan masyarakat yang berguna
mengembangkan pentingnya proses pendidikan yang dapat melengkapi masyarakat
dalam meningkatkan kekuasaannya (Prasojo, 2008). Tahapan selanjutnya dalam
pemberdayaan menurut Wrihatonolo adalah proses pemberian kapasitas. Sehingga
pengkapasitasan adalah proses pemberian kapasitas kepada rnanusia atau kelompok
untuk mampu menerima daya atau kekuasaan yang akan diberikan. Kapasitas sendiri
merupakan kemampuan individu, organisasi atau sistem untuk menjalankan fungsi
sebagaimana mestinya secara efisien, efektif, dan terns menerus (Anneli M, 2006:
12). Proses ini dikenal sebagai pengkapasitasan atau capacity building. Proses
pengkapasitasan bagi organisasi dilakukan dengan beberapa cara (Wrihatnolo, 2007:
4-6) yaitu: melakukan restrukturisasi, sisteln nilai dalam bentuk aturan main, dan
pemberian daya itu sendiri berupa pemberian daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang
yang diberi sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki suatu organisasi.
Pengkapasitasan (Capacity building) tidak hanya diberikan kepada manusia
dan kelompok, namun yang juga
penting
dilakukan adalah. melakukan
pengkapasitasan pada sistem nilai. Sistem nilai yang dimaksud adalah aturan main
(Wrihatonolo, 2007:5). Aturan main di dalam sebuah kelompok atau organisasi
dibuat agar dalam menjalankan program yang telah ditetapkan, ada aturan main yang
mengkat para anggota untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan
yang telah disepakati, sehingga tidak akan melenceng dari tujuan awal didiiannya
organisasi.
Setelah kedua tahapan d~atas selesai, barulah program pemberdayaan dapat
dilakukan. Pada tahapan ini, target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang
sesuai dengan kapasitas yang telah dimiliki dengan tujuan meningkatkan
kapasitasnya. Yang seringkali diabaikan oleh para agensi pembangunan adalah
pemberian daya yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kondisi target sasaran.
Wrihatnolo (2007) melihat pokok gagasan pada pemberian daya adalah bahwa proses
pemberian daya atau kekuasaan harus diberikan sesuai dengan kecakapan yang
dimiliki si penerima.
Anneli Milen (2006) melihat strategi dan langkah yang diambil untuk
memperkuat kapasitas adalah melalui konsep fundamental manajemen dengan
definisi yang digunakan oleh UNDP 1997 dan Komite Bantuan Pengembangau yaitn
melalui pengembangan kapasitas. Pengembangan kapasitas menurutnya adalah proses
di mana individu, kelompok, organisasi, institusi, dan masyarakat meningkatkan
kemampuannya untuk melakukan 2 hal: pertama, menjalankan fungsi pokok,
memecahkan masalah, menentukan dan mencapai tujuan; kedua, memahami dan
menghubungkan kebutuhan dan pengembangan mereka dalam konteks yang luas dan
dengan cara yang terus menerus. Penguatan kapasitas meliputi penekanan pada
seluruh sistem, lingkungan, atau kontek dimana individu, organisasi, dan masyarakat
bertindak atau berinteraksi.
Strategi pemberdayaan menjadi penting dilakukan karena strategi ini sejalan
dengan tujuan pembangunan saat ini yang berpusat pada pembangunan manusia.
David Korten (dalam Sutoro,2001) menyebutkan paradigma pembangunan yang
berpusat pada rakyat memiliki ciri-ciri yaitu: kesatu, logka yang dominan dari
paradigma ini adalah logika mengenai suatu ekoiogi manusia yang seimbang; kedua,
sumber daya utama berupa sumber-sumber daya informasi clan prakarsa kreatif yang
tak habis-habisnya; ketiga, tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang
didefinisikan sebagai pertumbuhan yang lebih tinggi dari potensi manusia
Korten lebih lanjut mengatakan bahwa pembangunan yang berpusat pada
manusia memberi konsekuensi pada nilai yang sangat tinggi pada inisiatif lokal dan
sistem-sistem yang
mengorganisaslkan
diri sendiri melalui
satuau-satuan
organisasional yang berskala manusiawi dan komunitas-komunitas yang mandiri.
Ciri-ciri pembangunan yang berpusat pada rakyat menurut Moeljarto Tjokrowiuoto
(dalam Sutoro, 2001) adalah: ciri pertama, adanya prakarsa dan proses pengambilan
keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di mana dalam setiap tahapannya
harus diletakkan pada masyarakat sendiri.
Ciri kedua dari pembangunan yang berpusat pada rakyat memfokuskan pada
peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumbersumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuban mereka; ciri ketiga,
pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifat fleksibel menyesuaikan
dengan kondisi lokal; ciri keempat, dalam pelaksanaan pembangunan, pendekatan ini
menekankan pada proses social learning yang di dalamnya terhadap interaksi
kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai
evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling belajar.
Ciri kelima, bahwa proses pembentukan jaringan (networking) antara
birohasi dan lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang
mandiri, lnerupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan
kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola berbagai sumber, maupun
meujaga keseimbangan antara stntktur vertikal maupun horizontal. Moeljxto percaya
proses
networking
menumbuhkan
bisa
simbiose
antara
struktur-struktur
pembangunan di tingkat lokal.
Inti pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah pemberdayaan
(empowerment) yang mengarah pada kemandirian masyarakat (Sutoro, 2001; m a t ,
2006). Dimensi partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan mengandung &an
keterlibatan masyarakat selain perlu didudukkan sebagai objek pelaksana
pembangunan juga sebagai subjek yang menentukan jalannya pembangunan melalui
keterlibatan dalam pembuatan keputusan dan proses perencanaan pembangunan.
Program pemberdayaan masyarakat atau empowemtent secara barfiah mernpakan
pemberian atau peuingkatan kekuasaan bower) kepada masyarakat yang lemah dan
tidak beruntungldisadvantages (Huraeroh, 2008). Konsep pemberdayaan termasuk
dalam pengembangan masyarakat dan terkait dengan konsep-konsep: kemandirian
(self
help),
partisipasi
(participation), jaringan
kerja
(networking),
dan
pemerataanlequity (Craig and Mayo dalam Huraeroh, 2008: 82; Kikmat, 2006:4).
Berkaitan dengan bentnk pekerjaan sosial, pelayanan pendidikan dalam
konteks kebijakan sosial bukan saja ditujukan untnk menyiapkan dan menyediakan
angkatan kerja yang sangat diperlukan oleh dunia kerja, melainkan pula untuk
mencapai tujnan-tujuan sosial dalam arti luas, yakni membebaskan masyarakat dari
kebodohan dan keterbelakangan (Suharto, 2007:18-19). Implikasi pelayanan
pendidikan terkait dengan peranan para pekerja sosial menurut Suharto diantaranya
adalah keterlibatan para pekerja sosial dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang
terkait dengan pendidian, serta adanya interaksi yang positif oleh lingkungan ketiga
domain penentu keberhasilan pendidikan anak dan remaja yaitu sekolah, rnmah,
maupun masyarakat. Pada implikasi yang terakhir disebutkan, pekerja sosial dapat
berperan untuk menjembatani hubungan ketiga domain agar tercipta sinergi dalam
menciptakan situasi kondusif bagi peningkatan pendidikan anak dan remaja.
Pada strategi pemberdayaan masyarakat melalui intervensi pekerjaan sosial
dapat dilakukan pada beberapa aspek seperti peningkatan kemampuan dasar
(komunikasi, kepercayaan diri, motivasi, kemandirian, dll), peningkatan interaksi
sosial, penciptaan relasi-relasi sosial, pengembangan jaringan kerja, mobilisasi
sumber sosial, dan peningkatan integrasi sosial (Dubois dan Miley, 1996 dalam
Hikmat, 2006:93)
Pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan (institusi) sejauh ini
lebih terpaku pada organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi non-formal
(Suradisastra, 2005). Namun semenjak era 1950-an, menurut Syahyuti (2006)
sesungguhnya sudah terlihat adanya perbedaan yang tegas antara kelembagaan (sosial
irzstitution) dan organisasi sosial (social organization). Lebih lanjut dikatakan
Syahyuti, istilah kelembagaan lebih sering digunakan orang karena istilah organisasi
lebih menunjuk kepada suatu social form yang bersifat formal. Sedangkan istilah
kelembagaan lebih disukai karena memberi kesan yang lebih sosial, lebih menghargai
budaya lokal, dan lebih humanistis.
Syahyuti (2006) melihat istilah kelembagaan memberi tekanan kepada lima
ha1 yaitu: pertama, bahwa kelembagaan berkenaan dengan sesuatu yang permanen
yang dipandang sebagai sesuatu yang rasional dan kebutuhannya disadari dalam
kehidupan. Cooley menyimpulkan sesuatu yang permanen tersebut adalah norma dan
tata cara, sedangkan Uphoff menyebutnya norma dan perilakukebiasaan (Syahyuti,
2006). Sesuatu yang bersifat permanen lebih jauh berguna sebagai stabilitas dan
konsistensi di masyarakat yang berfungsi mengontrol dan mengatur perilaku. Kedua,
penekanan dalam kelembagaan berkaitan dengan hal-ha1 abstrak yang menentukan
perilaku. Cooley, Koentjaraningrat, dan Johnson, melihat ha1 abstrak yang dimaksud
adalahpublic mind, wujud ideal kebudayaan, ataupun czilfure (Syahyuti, 2006).
Ketiga, kelembagaan adalah berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat tata
kelakuan (nzores), atau cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat
(establish way of behaving). Aspek ketiga ini sepexti pendapat Hebding et al. (1994)
melihat bahwa institusi sosial adalah sesuatu yang ada dan berguna di masyarakat
untuk menyatukan berbagai kebutuhan dan tujuan sosial yang dmilai penting.
Keberadaannya dibutuhkan sebagai sarana bertahan (survive) bagi masyarakat.
Sedangkan aspek keempat clan kelima pada kelembagaan adalah penekanannya pada
pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi, serta penekanan pada
kemampuannya untuk memecahkan masalah.
Dari kelima penekanan tersebut Syahyuti merangkum bahwa kelembagaan
berfokus pada pola perilaku yang sebagian besar datang dari norma-norma yang
dianut di dalam masyarakat. Dengan berpatokan pada suatu prosedur, kepastian
maupun panduan untuk inelakukan sesuatu, kelembagaan memusatkan perhatian pada
tujuan, nilai maupun kebutuhan sosial yang utama dari suatu komunitas.
Kelembagaan dibentuk oleh komunitas atau masyarakat dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan sosial mereka. Pada gilirannya bemjung pada
peningkatan pembangunan kesejahteraan sosial. Yang kemudian perlu diperhatikan
adalah bagaimana caranya membuat kelembagaan yang efektif dan mengena sesuai
dengan kebutuhan masyarakat? Bagaimana membuat agar kelembagaan yang sudah
ada tetap berjalan, efektif dan berkelanjutan. Kelembagaan yang efektif dan
berkelanjutan sangat diperlukan agar terbentuk struktur program yang stabil dan bisa
dirasakan manfaatnya ole11 generasi-generasi mendatang.
Para
praktisi
pengembangan
masyarakat percaya
bahwa
program
pembangunan akan berjalan baik jika program yang dikembangkan muncul dari
inisiatif masyarakat atau rnendapat dukungan berupa peran serta aktif dari masyarakat
sendiri. Seperti yang dikatakan Ginandjar Kartasasmita bahwa pemberdayaan adalah
expanding the capacity of society, maka untuk mengetahui program apa yang
sebenarnya dibutuhkan masyarakat bagi peningkatan kapasitasnya dalam bidang
pendidian, maka yang terbaik adalah menelurkan program yang berasal dari inisiatif
masyarakat sendiri (bottom up planning), untuk memutuskan program apa yang
terbak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sendiri.
Sejalan dengan yang telah disebutkan di atas, salah satu bentuk pemberdayaan
masyarakat melalui kelompok adalah penguatan kapasitas kelembagaan. Lima faktor
yang berperan dalam penguatan kapasitas snatu kelembagaan yaitu kepemimpinan,
proses perencanaan program, pelaksanaan program, alokasi sumber daya, dan
hubungan dengan pihak luar (Syahyuti, 2003: 87).
Penelitian mengenai pemberberdayaan pemuddremaja melalui penguatan
kapasitas kelembagaan pernah dilakukan Mira Yuliastuti (2005) pada Kelompok
Swadaya Masyarakat (KSM) di Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini melihat
progam life skill melalui peningkatan keterampilan bagi pemuda yang berasal dari
pengembangan kelembagaan lokal berupa kelompok usaha pembuatan meubel dari
kayu ebony. Berdasarkan hasil penelitiannya, Mira melil~atpotensi PKBM Ebony
Nagaya berjalan menggunakan sumber daya lembaga lokal yang sudah ada, seperti
SDM, lahan tempat, serta peralatan-peralatan, sedangkan alokasi dana berasal dari
Pemerintah. Faktor lain yang memperlancar berdirinya PKBM adalah adanya ikatan
hubungan pertemanan atau penguatan jaringan (networking) di antara pengelola
PKBM dengan kelompok-kelompok lain di luar PKBM maupun dengan instansi
Pemerintah.
Kekurangan kelembagaan adalah kurangnya dukungan dari Pemerintahan
setempat, belum sepenuhnya dapat diakses oleh pemuda-pemuda setempat
dikarenakan kurangnya sosialisasi, tidak diikutsertakamya masyarakat dalam
memilih jenis penbdikan clan pelatihan keterarnpilan yang sesuai dengan kebutuhan
mereka sendiri melalui perencanaan yang partisipatoris. Strategi pemberdayaan yang
dilakukan adalah pendidikan dan pelatihan timbal balik, inobilisasi sumber daya dan
pemberian sumber daya, konsultasi manajemen, pengembangan jaringan dengan
pihak ketiga, perluasan proses dan pengembangan gerakan, serta pemantauan dan
evaluasi diri yang terus menerus.
Pentingnya perencanaan yang partisipatoris sebagai salah satu tahapan proses
pemberdayaan masyarakat ternyata memberi dampak pada program pemberdayaan
perempuan Suku Bajo di Kabupaten Kendari. Kaji tindak yang d~lakukanAnwar
Tahun 2002 dalam manajemen pemberdayaan perempuan dalam dimensi pendidikan
menggunakan langkah awal berupa proses penyadaran yang diikuti oleh komponenkomponen manajemen lainnya. Langkah penyadaran dilaksanakan sebagai proses
awal yang memungkinkan masyarakat untuk mampu mengidentifikasi kebutuhan dan
merumuskan tujuan belajar dan tujuan hidupnya. Proses pemberdayaan tanpa diawali
dengan penyadaran kelompok sasaran, maka kemnngkman akan memperolah
hambatan baik oleh masyarakat maupnn oleh sumber-sumber belajar atau agen
perubahan (Anwar 2007:92)
Secara teknis di lapangan, pendekatan terhadap kelembagaan lokal yang ada
masyarakat dilaksanakan untuk menemukan visi dan misi yang sama di dalam
masyarakat yang mengarah pada pemahaman bahwa pendidikan formal hanya satu
bagian dari proses yang mampu meningkatkan kapasitas diri, sehingga untuk
melengkapi kapasitas pendidikan diperlukan peningkatan pendidikan pada tataran
informal. Pendidkan formal memang mampu membnka wawasan dan cara pikit
dalam peningkatan ilmu-ilmu pengetahuan secara akademis. Na~nunbagaimana
menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan yang didapat di bangku sekolah dalam kehidupan
sangat diperlnkan keterampilan-keterampilan yang umumnya diperoleh seseorang
dari pendidikan nonformal dan informal.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu upaya pemberdayaan
masyarakat adalah melalui penguatan kelembagaan. Berdasarkan lima faktor penentu
keberhasilan penguatan kelembagaan, rnaka beberapa cara yang bisa dilakukan dalam
proses penguatan kelembagaan adalah melalui pembahan peran dan fimgsi
kelembagaan, penguatan nilai dan norma, serta penguatan dalam kelembagaan itu
sendiri seperti penguatan program, teknologi, jejaring, informasi, dan kepemimpinan
Paryanto, 2004; Uphoff, 1986; Syahyuti, 2003 dalam Fadli, 2006).
Kelembagaan pada intinya merupakan penyatuan nilai-nilai dan norma-norma
yang dimiliki setiap individu yang bergabung dalam suatu ikatan dalam rangka
memenub tujuan yang diinginkan. Berdasarkan ide awal inilah, maka salah satu
proses penguatan kelembagaan dapat tercapai dengan cara melakukan penguatan pada
nilai-nilai dan norma yang terjalin dan mengikat di antara anggota. Nilai-nilai dan
norma yang paling mudah ditemukan dalam kelembagaan remaja masjid adalah nilainilai dan norma keagamaan, yaitu ajaran Islam.
Selain penguatan nilai dan norma, penguatan kelembagaan juga dapat
dilakukan melalui perubahan peran dan fungsi kelembagaan. Pembentukan
kelembagaan oleh suatu komunitas pada dasarnya bertnjuan menjalankan suatu yang
disepakati sebagai tujuan bersama. Tulisan Rianto (2008) mengenai Strategi Dakwah
Kontemporer Remaja Masjid melihat fungsi remaja masjid sebagai sebuah wahana
pembinaan dan pemberdayaan umat, serta berperan menyebarkan syiar Islam ke
tengah-tengah masyarakat sekitarnya dengan program-program pembinaan dan
pemakmwan masjid.
Sependapat dengan Rianto (2008), Ikatan Remaja Masjid Assajadah melihat
Remaja Masjid adalah salah satu alternatif pembinaan remaja terbaik, karena melalui
lembaga ini seorang remaja akan memperoleh lingkungan yang islami serta dapat
mengembangkan kreativitas. Lingknngan Islami ini akan mendukung perkenibangan
imaji remaja secara positif dan menuntun mereka dalam kepribadian yang benar.
Pembinaan yang islami juga akan memudahkan setiap orang tua memperoleh anak
yang didambakannya, yaitu anak yang b d , beriman, berilmu, berketerampilan, dan
berakWak mulia.
Meski demikian, Rianto menyayangkan seringnya kegiatan remaja masjid
yang terjebak dalam kegiatan yang bersifat rutinitas 'ubudiyah' semata, seperti
kegiatan dalam memperingati kegiatan-kegiatan hari-hari besar Islam dan sejenisnya.
Padahal jika dilihat lebih jauh berdasarkan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan
remaja, banyak peran dan fungsi yang dimiliki dan dikembangkan oleh sebuah remaja
masjid. Sehingga diperlukan kesungguhan dan keahlian yang seksama dalam
mengelola sebuah remaja masjid.
Proses penguatan dalam kelembagaan lain yang diyakini sangat berpengaruh
dalam sebuah komunitas seperti komunitas remaja adalah proses penguatan
kepemimpinan. Jika ditelaah lebih lanjuf ditemukan banyak sekali definisi mengenai
kepemimpinan. Mesld demikian, terdapat kesamaan di beberapa unsurnya. Seperti
yang dikatakan Sarros dan Butchatsky (1996) berikut:
Leadership is defined as the pusposefil behaviour of influencing others to
contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as
the organization or common good.
Kepemimpinan didefinisikan sebagai perilaku yang memiliki tujttan tertentu
yang digunakan untuk mempengaruhi orang lain berpaHisipasi dalam
rnencapai /!+tan bersama yang dapaf rnemberikan manfaat bag; indi~~idzr
sebagaimana halrya organisasi.
Anderson (1988) melihat kepemimpinan sebagai berikut:
Leadership means using power to influence the thoughts and actior~sof
others in such a way that achieve high performance.
Kepemimpinan artinya mengguirakan kekuasaan untuk mempengaruhi
pemikiran dan aktivitas pihak lain sebagai sarana memperoleh kinerja yang
memtiaskan
Kedua definisi di atas melihat kepemimpinan sebagai sebuah perilaku yang
memiliki tujuan tertentu yang digunakan untuk mempengaruhi aktivitas dari setiap
anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dapat memberikan manfaat
bagi individu dan organisasi. kepemimpinan pada perjalanannya berimplikasi pada
tiga hal, yakni, adanya keterlibatan orang atau pihak lain sebagai anak buah atau
pengikut (followers); keberadaau kekuasaan yang mampu mendorong pengkut untuk
bergerak inencapai lcinerja yang meinuaskan.
Implikasi ketiga adalah kebutuhan pemimpin untuk memiliki perilaku seperti
kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab dan tulus
(compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan
keyakinan (commitment), kepercayaan kepada diri sendiri dan orang lain
(confidence), dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain dalam membangun
organisasi melalui kemampuan berkomunikasi (communication)
Implikasi yang dimiliki seorang pemimpin berupa kekuasaan menurut French
dan Raven (1968) pada dasarnya bersumber dari berbagai persepsi anak buah atau
p e n g h t terhadap pemimpin tersebut. Persepsi yang dimaksud berupa kemampuan
dan sumberdaya pemimpin untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang
mengkuti arahan-arahan yang diberikan (reward power), ataupun sebaliknya
memiliki kemampuan memberi hukuman jika bawahan tidak mengkuti arahan yang
dibenkan (coercive power). Pemimpin juga memiliki kompetensi dan keahlian di
bidangnya (expert power) serta memiliki hak menggunakan pengaruh dan otoritas
yang dimiliki karena karakteristik pribadi, reputasi hingga karismanya terhadap anak
buah dan lingkungan.
Dalam dunia remaja, kepemimpinan sangat mempengaruhi pola perilaku dan
berorganisasi remaja. Hal ini disebabkau adanya masa dimana seorang remaja
mengalami 'masa merindu puja' (Zulkifli, 1987:69). Masa ini merupakan masa di
mana seorang remaja sangat mengagumi sesuatu bak yang bersifat fislk seperti
kekaguman kepada manusia, maupun sesuatu yang bersifat abstrak seperti keindahan
alam, kebaikan, dan kecantikan. Zulkifli kemudian membagi masa merindu puja ke
dalam dua proses, yaitu: pertama, seseorang dipuja karena bentuk, sifat-sifat lahir
yang dimilikinya, dan sifat-sifat bafinnya; kedua, pujaan itu berdasarkan nilai Mtur
yang didukung oleh individu itu sendiri, misalnya seorang pemimpin, seorang tokoh,
seorang aktor, dan sebagainya.
Sifat-sifat dan hentuk kepemimpinan yang diutarakan Zulkifli ini sejalan
dengan pandangan T. Richard Chase dalam A.R. Kadir (2001) bahwa pemimpin yang
dikuti rakyat adalah pemimpin yang menunjukkan kecakapan, perhatian kepada
orang lain secara tulus, dan karakter yang terpuji. Dalam kehidupan remaja, sifat-sifat
kepemimpinan menjadi panutan yang dominan membimbing remaja rnengisi
kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya sebagai sebuah proses pematangan
jasmani dan rohaninya.
2.5. Analisis SWOT
Analisis SWOT merupakan salah satu alat bantu dalam teknik menganalisis
data penelitian yang mempertemukan kekuatan (strength) dengan kelemahan
(weakness) dari survei yang dilakukan secara internal, dan ancaman (threat) dengan
peluangkesempatan (opportunity) dari survei yang dilakukan secara eksternal.
Pemahaman secara sederhana terhadap analisis SWOT adalah pengujian terhadap
kekuatan dan kelemahan internal sebuah organisasi, serta kesempatan dan ancaman
lingkungan eksternalnya. SWOT merupakan perangkat umum yang didesain dan
digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan dan sebagai
perencanaan strategis dalam berbagai terapan (Johnson, dkk., 1989; Bartol dkk.,
1991). Penerapan analisis SWOT di dunia pendidikan pernah digunakan Gorski
(1991) untuk melihat minat masyarakat memasuki sekolah dan lembaga-lembaga
pendidikan khususnya sekolah kejuruan (Subroto, 2001).
Empat komponen dasar SWOT dapat dijabarkan sebagai berikut: pertama,
kekuatan (strength), yaitu situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari
organisasi atau program pada saat itu; kedua, kelemahan (weaknes), yaitu situasi atau
kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat analisis
dilakukan; ketiga, peluang (opportunity), yaitu situasi atau kondisi yang merupakan
peluang di luang organisasi dan memberikan peluang berkembang bagi organisasi di
masa depan; keempat, ancaman (threat), yaitu situasi yang merupakan ancaman bagi
organisasi yang datang dari luar organisasi dan dapat mengancam eksistensi
organisasi di masa depan.
SWOT dimulai dengan membuat lembaran kerja yang terbagi menjadi empat
kuadran berisi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, kemudian memuat dafiar
item spesifik yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi di bawah topik
masing-masing. Daftar dibatasi sampai 10 poin atau lebih sedikit dengan tujuan
menghindari generalisasi yang berlebihan (Johnson, et al., 1989 dalam Subroto,
2001). Pada penerapannya, SWOT dapat dilaksanakan secara individual atau secara
kelompok dalam organisasi. Sedangkan Glass (1991) melihat teknik secara kelompok
akan lebih efektif terutama dalam pengadaan struktur, objektivitas, kejelasan, dan
fokus diskusi mengenai strategi, sehingga cenderung tidak melantur atau terkena
pengaruh politik dan kesenangan (interest) pribadi yang kuat (Subroto, 2001).
2.6. Kerangka Pemikiran
Upaya peningkatan kecakapan sosial (social skill) remaja, melalui penguatan
yang akan
kelembagaan lokal KURMA dalam program pengembangan'ma~~arakat
dilakukan dalam kajian ini secara garis besar tersaji dalam bagan berikut:
Diagram 1. ICerangka Pemikiran
I
I
-
-
Partisipasi anggota
Sarana dan prasarana
yang dimiliki
Perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan
Jaringan kerjasama
dengan kelompok
remaja masjid lain
Pola kepemimpinan
kelompok
.
Penyadaran mengenai
kapasitas diri remaja
Kapasitas kelompok
:
:
I
-
Sumber daya
Kepemimpinan
- Perencanaan kegiatan
- Pelaksanaan kegiatan
- Hubungan dengan
pihak luar
Peningkatan
kapasitas
Peningkatan
Kecakapan Sosial
Remaja
- Kemampuan
komunikasi
,
- Kemampuan
bekejasama
Kondisi yang ada selama ini di kelompok diantaranya partisipasi anggota baik
dalam kegiatan kelompok maupun kegiatan Mushola dan Madrasah, aspek sarana dan
prasarana, jaringan kerjasama yang terbentuk bersama kelompok remaja masjid lain,
pola perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, maupun pola kepemimpinan yang ada di
dalam kelompok sedikit banyak mempengaruhi kapasitas kelembagaan kelompok
yang dikuknhkan keberadaannya sejak Tahun 2004 ini. Untuk mencapai tujuan
pemberdayaan terhadap kelompok remaja ini, diyakini perlu upaya-upaya secara
bertahap sehingga pemberdayaan yang dilakukan nantinya akan sesuai dengan
keinginan dan kebutuhan dari kelompok itu sendiri.
Sejalan dengan pemikiran Anwar dalam upaya pemberdayaan perempuan
Suku Bajo dan tahapan pemberdayaan menurut Wrihatnolo maupun Jim Ife, maka
langkah awal dalam usaha peningkatan kemampuan sosial remaja adalah melalui
penyadaran remaja akan potensi dan lalalitas dirinya. Upaya penyadaran ini dilakukan
agar remaja makin memahami kapasitas dirinya dan dan keberfungsian sosial dirinya
dalam lingkungan. Dengan demikian, remaja diharapkan memiliki peningkatan
motivasi untuk mengembangkan kemampuan din, dimulai dengan kemampuan
komunikasi dan kerjasama yang diperlukamya untuk berinteraksi dengan orang lain.
Penyadaran akan kapasitas diri ini dirancang pada awal kajian bersama
stakeholder melalui metode presentasi di pekan pertama Bulan Romadhon Tahun
2008 bertempat di rnang Madrasah Mifda. Setelah strategi penyadaran dilakukan,
strategi penguatan kelembagaan dilakukan dengan metode Focus Group Discussion
(FGD) bersama anggota KURMA dan stakeholder yang terkait langsung dengan
kelompok KURMA.
Download