BAB 11. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) Pendidikan kecakapan hidup (life skill) mulai populer dalam khasanah pendidikan Indonesia pada awal tahun 2000-an (Supriyono, 2006). Sedangkan gagasan tentang pendidikan kecakapan hidup menurut Santoso S Hamijoyo (dalam M Hasbi, 2006) dimulai UNESCO sejak tahun 1949 melalui konsepfunctional literacy. Konsepnya agar kemampuan baca-tulis-hitung dapat berfungsi memberi manfaat bagi yang hersangkutan untuk keluar dari kesengsaraan, yaitu kebodohan (ignorance), kepenyakitan (ill-health), dan kemelaratan (poverty). Broling mendefinisikan life skill sebagai interaksi berbagai pengetahuan dan kecakapan yang penting dimiliki seseorang sehingga mereka dapat hidup mandiri (Depdiknas, 2004: 5). Menurut konsep Broling, life skill terbagi dalam tiga kelompok kecakapan yaitu kecakapan hidup sehari-hari (daily living skill), kecakapan hidup pribadilsosial (personal/social skill), dan kecakapan hidup bekerja (occupational skill). Sedangkan WHO di tahun 1999 menjelaskan bahwa life skill merupakan kumpulan berbagai keterampilanlkemampuan untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam hidupnya sehari-hari secara efektif. Kecakapan hidup menurut WHO terbagi menjadi lima kelompok kecakapan, yaitu kecakapan mengenal diri (selfmvareness) atau kecakapan pribadi @ersonal skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan berpikir (thinking skill), kecakapan akademik (academic skill), dan kecakapan kejuruan (vocational skill). Kecakapan hidup (life skill) menurut definisi Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional adalah kecakapan yang dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi, sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Depdiknas, 2004:7). Depdiknas membagi kecakapan hidup ke dalam empat kelompok, yakni kecakapan pribadi (personal skill), kecakapan sosial (social skill), kecakapan akademik (academic skill), dan kecakapan vocational (vocational skill). Keempatnya dilandasi oleh kecakapan spiritual yakni keimanan, ketaqwaan, moral, etka, dan budi pekerti luhur yang bersumber dari sila pertama Pancasila. Aspek-aspek kecakapan hidup mennrut Purwanto (2008) dapat diukur melalui beberapa indikator. Aspek kecakapan personal dapat dilihat melalui indikator individu beriman kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, berpikir rasional, komitrnen, mandiri, percaya diri, bertanggung jawab, menghargai dan menilai diri, menggali informasi mengolah informasi, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah. Aspek kecakapan sosial dapat dilihat melalui indikator individu bekerjasarna, menunjukkan tanggungjawab sosial, mengendalikan emosi, berinteraksi dalam masyarakat, mengelola konflik, berpartisipasi, membudayakan sikap sportif, disiplin, dan hidup sehat, mendengarkan, berbicara, membaca, menuliskan gagasanlpendapat, bekerjasarna dengan teman seksrja, dan memimpin. Purwanto lebih lanjut menyebutkan aspek kecakapan akademik dapat dilihat melalui indikator individu menguasai pengetahuan, merancang dan melaksanakan penelitian ilmiah, bersikap ilmiah, berpikir strategis, berkomunikasi ilmiah, menggunakan teknologi, mengambil keputusan, mengidentifikasi . dan menghubungkan variabel kemampuan memuskan masalah, kemampuan bersikap kritis dan rasional. Sedangkan untuk melihat kecakapan vokasional pada individu dapat dilihat melalui indikator menguasai keterampilan tertentu sesuai prosedur, benvirausaha, menguasai TIK, dan merangkai alat. Pada konteks pendidikan non formal, kecakapan hidup memdiki tujuan utama untuk mengentaskan kerniskinan dan menanggulangi pengangguran dengan penekanan upaya pembeiajaran yang dapat memberikan penghasilan (learning and earning). Bila dihubungkan dengan pekerjaan tertentu, life skill dalam lingkup pendidikan nonformal ditujukan pada penguasaan vokasional skill yang intinya terletak pada penguasaan keterampilan secara khususlspesifik @adang Yunus, 2008). Dalam pemaknaan program pendidikan nonformal, program life skill diharapkan mampu menolong masyarakat untuk mempunyai harga diri dalam mencari nafkah dalam konteks peluang yang ada di lingkungannya. Kecakapan atau keterampilan sosial menurut World Bank (2006:117) dikembangkan dari usia yang sangat awal sampai akhir masa remaja, mempunyai pengaruh yang lama di sekolah, pekerjaan, dan hubungan sosial. Keterampilan sosial seperti berkerjasama dan kemampuan untuk merundingkan masalah mempersatukan banyak sifat seperti motivasi, disiplin, percaya diri, kemampuan mempertimbangkan pilihan dan mencapai suatu keputusan (keterampilan berperilaku). Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecakapan hidup adalah serangkaian kemampuan dan keberanian yang harus dimiliki seseorang untuk dapat menghadapi berbagai problema kehidupan, dan mencari solusi secara kreatif dan aktif untuk memecahkan masalah tersebut. Kecakapan ditonjolkan karena mengandung pengertian lebih mendalam daripada kemampuan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) kecakapan selain berarti kemampuan dan kesanggupan, juga dimaknai sebagai kepandaian atau kemahiran dalam mengerjakan sesuatu. Dalam pengertiannya, kecakapan hidup lebih luas dari kecakapan untuk bekerja (Dikmenum, 2008; Muchlas Samani dalam M Hasbi, 2006). Baik orang yang bekerja maupun tidak bekerja tetap memerlukan kecakapan hidup, karena mereka pun menghadapi berbagai masalah yang harus dipecahkan. Setiap orang dimanapun dan kapanpun, dengan berbagai mata pencaharian, pendidikan, maupun usia selalu menemui masalah yang memerlukan pemecahan. 2.1.1. Kecakapan Sosial (Social Skit) Dikmenum (2008) menyatakan bahwa kecakapan sosial (social skill) merupakan salah satu bentuk kecakapan hidup yang bersifat generik (generic life skill/GLS) selain kecakapan personal (personal skill). Jika kecakapan personal mencakup kecakapan akan kesadaran diri atau memaharni diri (selfawareness) dan kecakapan berpikir (thinking skill), kecakapan sosial (social skill) mencakup kecakapan berkomunikasi dengan empati (communication skill) dan kecakapan berkerjasama (collaboration skill). Sebagai sebuah kecakapan hidup generik, kecakapan sosial disebut juga sebagai kecakapan dasar dalam belajar (basic learning skill) karena bersifat mudah ditularkan kepada orang lain (transferable) dan merupakan landasan untuk belajar lebih lanjut (learning how to learn). 2.1.1.1. Kecakapan Komunikasi (Communication Skill) Bentuk kecakapan komunikasi berdasarkan konsep Dikmenun (2008) terbagi menjadi 2 bagian yakni kecakapan komunikasi secara lisan dan tulisan. Fakta di lapangan memperlihatkan seringkali seseorang tidalc mampu melakukan komunikasi lisan dengan baik, apalagi jika komunikasi lisan dilakukan dengan penuh empati. Kecakapan komunikasi lisan berkaitan dengan kecakapan memilih kata dan kalimat yang mudah dimengerti lawan bicara, sehingga setiap orang yang mendengarkan dapat memahami isi pembicaraan atau gagasan yang disampaikan. Konsep Dikmenun tentang kecakapan komunikasi dengan empati sebagai berikut: %inpati, odalah sikap penuh pengertiarz don seni komunikasi dua arah yang perlu ditekankan tidak hanya sekedar pada penyantpaian pesan, tapi juga disertai dengan kesan baik sehingga dapat menumbuhkan hubungan harmonis di antara dua pihak. Kecakapan mendengarkan dengan empati akan membuat orang mampu memahami isi pembicaraan orang lain, sementara lawan bicara merasa diperhatikan dun dihargai. Kecakapan menyampaikan gagasan dengan empati akan membuat orang dapat menyampaikan gagasan dengan jelas dun dengan kata-kata santun, sehingga pesannya sainpai dun lawan bicara merasa dihargai' Di dalam tahapan yang lebih tinggi, bentuk kecakapan menyampaikan gagasan juga mencakup kemampuan meyakinkan orang lain. Salah satu bentuk komunikasi lisan adalah diskusi terarah dengan penyajian topik-topik tertentu sebagai subjek pembicaraan. Kecakapan komunikasi dalam bentuk tulisan berdasarkan konsepnya adalah kecakapan menuangkan gagasan melalui tulisan yang mudah dipahami orang lain dan membuat pembaca merasa dihargai. Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat dijadikan sarana pengembangan kecakapan komunikasi diantaranya: diskusi, presentasi, kerja lapangan, penulisan laporan, kemampuan menggunakan komputer dan internet. Kedua bentuk komunikasi tersebut akan berkembang jika keyakinan diri seseorang mulai tumbuh dan berkembang dengan baik, karenanya perpaduan antara keyakinan diri dan kemampuan berkomunikasi akan menjadi modal berharga bagi seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain (Dikmenum, 2008). Aspek empati sebagai aspek yang bisa mendukung lancamya komunikasi yang terkait pada pribadi masing-masing juga diyakini Eka (2004). Empati menurut Eka adalah kemampuan seseorang untuk dapat mendengar dan merasakan apa yang sedang dibicarakan, difikirkan dan dirasakan oleh lawan bicara. Kemampuan empati setiap orang berbeda, namun bisa dilatih dan dipelajari. Kunci komunikasi yang berhasil dengan anak-anak adalah dengan berempati. Aspek lain yang dibutuhkan untuk memperlancar komunikasi adalah kepercayaan (tnrst). Seperti dikatakan Samuels Smile (dalam Eka, 2004), 'what you are, communicates more eloquently than what you say or what you do' (apapun status dun kedudukanmu, penyampaian yang fasih -dengun kepercayaan- lebih baik daripadaperkataan ataupunperbuatan) Hal yang sama dikemukakan Stephen R. Covey dalam The Seven Habits of Highly Effective People (1989), bahwa seseorang clapat menjadi efektif jika bisa menjalankan habit ' understandfirst, then to be understood' atau 'pahami dulu, baru kemudian dipahmi'. Baker (2000) &lam Winarno (tanpa tahun) mengatakan bahwa kunci keberhasilan komunikasi adalah saling memahami atau saling mengerti mengenai apa yang dikomunikasikan. Komunikasi yang tidak menemui titik temu akan menyebabkan kesalahpahaman (miss-understanding). Cara melakukan komunikasi empati menurut Winarno adalah mau mendengarkan dan memperhatikan pembicaraan orang lain untuk kemudian berusaha memahmi apa yang ingin disampaikan, serta berani mengungkapkan pandangan sendiri agar dipahami pihak lain. 2.1.1.2. Kecakapan Bekerjasama (Collaboration Skilo Kecakapan kerjasama diperlukan setiap manusia sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi dengan sesama manusia. Kerjasama yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk bekerja bersama, tetapi juga kerjasama yang disertai dengan saling pengertian, saling menghargai dan saling membantu (Dikmenum, 2008). Kerjasama dengan cara ini menurut studi mutakhir sangat bermanfaat dalam membangun semangat komunalitas yang harmonis. Seseorang disebut memiliki kecakapan berkerjasama diantaranya dalam posisi berkerjasama dengan rekan sejawat disaat seseorang mau mengambil tanggungjawab terhadap tugas yang dibebankan kepadanya, menghargai pekerjaan orang lain, ringan tangan membantu teman yang memerlukan, memiliki kemampuan, inisiatif, dan kreativitas kerja sesuai dengan tugas yang diberikan. Sedangkan sebagai seorang pimpinan tim kerja, kecakapan berkerjasama ditampakkan dengan bentuk kecakapan membimbing bawahan, kemampuan memperhatikan kesulitan yang terjadi pada anak buah atau kesulitan dalam kegiatan yang dilaksanakan, serta kemampuan menyelesaikan konflik yang terjadi dengan bijak. Kecakapanketerampilan sosial di Amerika Serikat yang dilihat dari keterampilan berperilaku menurunkan kemungkinan putus sekolah menengah atas dan meningkatkan kemungkinan untuk memasuki kuliah, yang mengarah pada gaji yang lebih besar (World Bank, 2006:117). Hal ini lebih lanjut dikatakan mempengaruhi pekerjaan dan pilihan pekerjaan, juga mengarah pada penurunan yang cukup berarti pada ha1 merokok, penggunaan mariyuana, keikutsertaan tindakan tidak taat hukum, serta kehamilan kaum muda dan perkawinan. Program lain yang dikembangkan dalam peningkatan kecakapan sosial dilakukan di 25 negara di dunia termasuk Brasil, Cina, Rusia, dan Afrika Selatan. Program luar sekolah tersebut adalah program Make A Connection yang bertujuan untuk mempererat hubungan kaum muda dengan komunitas mereka, keluarga, teman sebaya, dan diri mereka sendiri. Program ini mengembangkan beberapa kemampuan berperilaku dan percaya diri, motivasi, kerjasama tim, dan pengendalian masalah sepetti berpikir kritis dan kreatif (World Bank, 2006:117). 2.2. Remaja Dalam segi perkembangan biologis, yang dimaksud remaja adalah mereka yang berusa usia 12-21 tahun (Zulkifli, 1986:64). Masa ini termasuk masa yang sangat menentukan karena anak-anak mengalami banyak perubahan baik psikis maupun fisik. Perubahan kejiwaan yang terjadi menimbulkan kebingungan di kalangan remaja sehingga masa ini disebut orang Barat sebagai periode sturiii und dra~zg,di mana remaja mengalami penuh gejolak emosi dan tekanan jiwa sehingga mudah menyi~iipangdari aturan dan norma-norma sosial yang berlaku di kalangan masyarakat (Zulkifli, 1986: 63). Ciri-ciri umum yang melekat pada remaja diantaranya adalah keingintahuannya yang besar akan sesuatu, ingin menarik di lingkungannya, serta terikat dengan kelompok. karena ketertarikannya yang besar dengan lingkungan dan ketergantungannya yang tinggi dengan kelompok menyebabkan remaja dan pemuda lebih mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya. Situasi kaum mudalremaja ini sangat memungkinkan kesempatan mempercepat pertumbuhan dan mengurangi kemiskinan berkembang. Definisi pemuda dalam kerangka struktur masyarakat tidak mudah. Keberagaman suku, adat, tingkatan sosial di masyarakat sebagian menggunakan istilah pemuda dan sebagian istilah remaja (Nur Endah, 2007). Berbagai istilah dikenakan pada keadaan transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa, 'puber' pada orang Barat, 'adolesensi' pada orang Amerika, 'akil balig, 'pubertas' pada orang Indonesia. masyarakat paling banyak menyebut masa ini sebagai 'remaja', sedangkan panggilan adolesensi dapat diartikan sebagai pemuda yang keadaannya sudah mengalami ketenangan (Zulkifli, 1986:64). World Bank pada Laporan Pembangunan Dunia Tahun 2007, mendefinisikan remaja atau kaum muda adalah 'fase transisional dari anak-anak menuju orang dewasa ketika orang muda, melalui suatu proses perubahan fisiologis, psikologis, sosial, dan ekonomi yang intens, perlahan mulai dikenal -dan mengakui dirinya sendiri- sebagai 'orang dewasa'. Definisi World Bank melihat kaum muddremaja merupakan sebuah tahapan kehidupan daripada rentang usia yang penuh energi, antusiasme, dan kreativitas. Pada rentang usia ini, bentuk-bentuk kegiatan solidaritas dengan sesama, serta cara menyikapi orang yang berbeda dalam ha1 etnis maupun agama menjadi faktor penting dalam pencarian identitas diri serta bagaimana mereka berhubungan dengan oranglain dalam masyarakat. World Bank (2006) melihat masa muda sangat penting untuk mendorong terciptanya kesetaraan kesempatan dan memperbolehkan setiap remaja untuk menggali potensi mereka seutuhnya. Masa muda adalah suatu tahap penting dalam hidup untuk mengembangkan modal manusia yang memampukan kaum muda untuk hidup secara lebih baik dan lehih utuh. Modal manusia yang dibentuk di masa muda baik dalam tingkat keterampilan, kesehatan, maupun dalam keterlibatan sosial dan masyarakat merupakan faktor-faktor penentu dalam pertumbuhan jangka panjang. 2.3. Pemberdayaan dan Pekerjaan Sosial Pemberdayaan adalah sebuah 'proses menjadi', bukan sebuah 'proses instan' (Wrihatnolo, 2002:2). Gerakan ini mulai tampak ke permukaan sekitar dekade 70-an hingga kini sebagai bentuk perlawanan pembangunan altematif terhadap hegemoni developmentalisme, atau yang dikenal sebagai teori modemisasi yang diawaii dengan munculnya paradigma pembangunan berpusat pada manusidrakyat (Sutoro, 2001; Hikmat, 2006:l). Gerakan ini mulai muncul dan berkembang setelah pertanyaan besar tentang masih terjadinya kemiskinan di tengah-tengah gencamya proyek- proyek pembangunan dilontarkan para ahli pembangunan berhaluan hitis 3 dekade yang lalu. Hikmat (2006) melihat pada wacana pembangunan yang melibatkan masyarakat, konsep pemberdayaan selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Dari konsep-konsep yang ada, Craig dan Mayo (1995) berpendapat bahwa partisipasi merupakan komponen penting untuk membanglutkan kemandirian dan proses pemberdayaan (dalam Hikmat, 2006:3). Partisipasi dalam proses pemberdayaan dimat sebagai faktor penting oleh Rapaport (1987), yang melihat pemberdayaan sebagai pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik dan hak-haknya menurut undang-undang (dalam Hikmat, 2006: 3). Proses pemberdayaan sendiri memillki tiga tahapan, yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan (Wrihatnolo, 2007). Penyadaran dilakukan kepada target pemberdayaan dengan harapan target menyadari akan haknya melniliki 'sesuatu'. Dalam sebuah kelompok, target pernberdayaan adalah orangorang yang berada di dalam kelompok, penyadaran dilakukan agar para anggota kelompok kembali menyadari misi dan visi mereka bergabung dalam kelompok tersebut, kemudian menyadari apa peran yang dapat mereka jalankan, serta hakhaknya dalam perjalanan kelompok. Wrihatnolo mengatakan bahwa: Program-program yang dapat dilakukan pada tahap ini misalnya ntemberikanpengetahuan yang bersifat kogiaisi, belief; dan healing. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu (membangun "demand'7 diberdayakan, dun proses peniberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka sendiri (fidak dari orang luar) Strategi penyadaran yang digabungkan dengan penddikan juga diyakini Jim Ife (1995) sebagai salah satu strategi pemberdayaan masyarakat yang berguna mengembangkan pentingnya proses pendidikan yang dapat melengkapi masyarakat dalam meningkatkan kekuasaannya (Prasojo, 2008). Tahapan selanjutnya dalam pemberdayaan menurut Wrihatonolo adalah proses pemberian kapasitas. Sehingga pengkapasitasan adalah proses pemberian kapasitas kepada rnanusia atau kelompok untuk mampu menerima daya atau kekuasaan yang akan diberikan. Kapasitas sendiri merupakan kemampuan individu, organisasi atau sistem untuk menjalankan fungsi sebagaimana mestinya secara efisien, efektif, dan terns menerus (Anneli M, 2006: 12). Proses ini dikenal sebagai pengkapasitasan atau capacity building. Proses pengkapasitasan bagi organisasi dilakukan dengan beberapa cara (Wrihatnolo, 2007: 4-6) yaitu: melakukan restrukturisasi, sisteln nilai dalam bentuk aturan main, dan pemberian daya itu sendiri berupa pemberian daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang yang diberi sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki suatu organisasi. Pengkapasitasan (Capacity building) tidak hanya diberikan kepada manusia dan kelompok, namun yang juga penting dilakukan adalah. melakukan pengkapasitasan pada sistem nilai. Sistem nilai yang dimaksud adalah aturan main (Wrihatonolo, 2007:5). Aturan main di dalam sebuah kelompok atau organisasi dibuat agar dalam menjalankan program yang telah ditetapkan, ada aturan main yang mengkat para anggota untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan yang telah disepakati, sehingga tidak akan melenceng dari tujuan awal didiiannya organisasi. Setelah kedua tahapan d~atas selesai, barulah program pemberdayaan dapat dilakukan. Pada tahapan ini, target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang sesuai dengan kapasitas yang telah dimiliki dengan tujuan meningkatkan kapasitasnya. Yang seringkali diabaikan oleh para agensi pembangunan adalah pemberian daya yang berlebihan dan tidak sesuai dengan kondisi target sasaran. Wrihatnolo (2007) melihat pokok gagasan pada pemberian daya adalah bahwa proses pemberian daya atau kekuasaan harus diberikan sesuai dengan kecakapan yang dimiliki si penerima. Anneli Milen (2006) melihat strategi dan langkah yang diambil untuk memperkuat kapasitas adalah melalui konsep fundamental manajemen dengan definisi yang digunakan oleh UNDP 1997 dan Komite Bantuan Pengembangau yaitn melalui pengembangan kapasitas. Pengembangan kapasitas menurutnya adalah proses di mana individu, kelompok, organisasi, institusi, dan masyarakat meningkatkan kemampuannya untuk melakukan 2 hal: pertama, menjalankan fungsi pokok, memecahkan masalah, menentukan dan mencapai tujuan; kedua, memahami dan menghubungkan kebutuhan dan pengembangan mereka dalam konteks yang luas dan dengan cara yang terus menerus. Penguatan kapasitas meliputi penekanan pada seluruh sistem, lingkungan, atau kontek dimana individu, organisasi, dan masyarakat bertindak atau berinteraksi. Strategi pemberdayaan menjadi penting dilakukan karena strategi ini sejalan dengan tujuan pembangunan saat ini yang berpusat pada pembangunan manusia. David Korten (dalam Sutoro,2001) menyebutkan paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat memiliki ciri-ciri yaitu: kesatu, logka yang dominan dari paradigma ini adalah logika mengenai suatu ekoiogi manusia yang seimbang; kedua, sumber daya utama berupa sumber-sumber daya informasi clan prakarsa kreatif yang tak habis-habisnya; ketiga, tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai pertumbuhan yang lebih tinggi dari potensi manusia Korten lebih lanjut mengatakan bahwa pembangunan yang berpusat pada manusia memberi konsekuensi pada nilai yang sangat tinggi pada inisiatif lokal dan sistem-sistem yang mengorganisaslkan diri sendiri melalui satuau-satuan organisasional yang berskala manusiawi dan komunitas-komunitas yang mandiri. Ciri-ciri pembangunan yang berpusat pada rakyat menurut Moeljarto Tjokrowiuoto (dalam Sutoro, 2001) adalah: ciri pertama, adanya prakarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di mana dalam setiap tahapannya harus diletakkan pada masyarakat sendiri. Ciri kedua dari pembangunan yang berpusat pada rakyat memfokuskan pada peningkatan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasikan sumbersumber yang terdapat di komunitas untuk memenuhi kebutuban mereka; ciri ketiga, pendekatan ini mentoleransi variasi lokal dan karenanya, sifat fleksibel menyesuaikan dengan kondisi lokal; ciri keempat, dalam pelaksanaan pembangunan, pendekatan ini menekankan pada proses social learning yang di dalamnya terhadap interaksi kolaboratif antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri saling belajar. Ciri kelima, bahwa proses pembentukan jaringan (networking) antara birohasi dan lembaga swadaya masyarakat, satuan-satuan organisasi tradisional yang mandiri, lnerupakan bagian integral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengidentifikasi dan mengelola berbagai sumber, maupun meujaga keseimbangan antara stntktur vertikal maupun horizontal. Moeljxto percaya proses networking menumbuhkan bisa simbiose antara struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal. Inti pembangunan yang berpusat pada rakyat adalah pemberdayaan (empowerment) yang mengarah pada kemandirian masyarakat (Sutoro, 2001; m a t , 2006). Dimensi partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan mengandung &an keterlibatan masyarakat selain perlu didudukkan sebagai objek pelaksana pembangunan juga sebagai subjek yang menentukan jalannya pembangunan melalui keterlibatan dalam pembuatan keputusan dan proses perencanaan pembangunan. Program pemberdayaan masyarakat atau empowemtent secara barfiah mernpakan pemberian atau peuingkatan kekuasaan bower) kepada masyarakat yang lemah dan tidak beruntungldisadvantages (Huraeroh, 2008). Konsep pemberdayaan termasuk dalam pengembangan masyarakat dan terkait dengan konsep-konsep: kemandirian (self help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking), dan pemerataanlequity (Craig and Mayo dalam Huraeroh, 2008: 82; Kikmat, 2006:4). Berkaitan dengan bentnk pekerjaan sosial, pelayanan pendidikan dalam konteks kebijakan sosial bukan saja ditujukan untnk menyiapkan dan menyediakan angkatan kerja yang sangat diperlukan oleh dunia kerja, melainkan pula untuk mencapai tujnan-tujuan sosial dalam arti luas, yakni membebaskan masyarakat dari kebodohan dan keterbelakangan (Suharto, 2007:18-19). Implikasi pelayanan pendidikan terkait dengan peranan para pekerja sosial menurut Suharto diantaranya adalah keterlibatan para pekerja sosial dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang terkait dengan pendidian, serta adanya interaksi yang positif oleh lingkungan ketiga domain penentu keberhasilan pendidikan anak dan remaja yaitu sekolah, rnmah, maupun masyarakat. Pada implikasi yang terakhir disebutkan, pekerja sosial dapat berperan untuk menjembatani hubungan ketiga domain agar tercipta sinergi dalam menciptakan situasi kondusif bagi peningkatan pendidikan anak dan remaja. Pada strategi pemberdayaan masyarakat melalui intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan pada beberapa aspek seperti peningkatan kemampuan dasar (komunikasi, kepercayaan diri, motivasi, kemandirian, dll), peningkatan interaksi sosial, penciptaan relasi-relasi sosial, pengembangan jaringan kerja, mobilisasi sumber sosial, dan peningkatan integrasi sosial (Dubois dan Miley, 1996 dalam Hikmat, 2006:93) Pemahaman terhadap konsep lembaga atau kelembagaan (institusi) sejauh ini lebih terpaku pada organisasi, baik organisasi formal maupun organisasi non-formal (Suradisastra, 2005). Namun semenjak era 1950-an, menurut Syahyuti (2006) sesungguhnya sudah terlihat adanya perbedaan yang tegas antara kelembagaan (sosial irzstitution) dan organisasi sosial (social organization). Lebih lanjut dikatakan Syahyuti, istilah kelembagaan lebih sering digunakan orang karena istilah organisasi lebih menunjuk kepada suatu social form yang bersifat formal. Sedangkan istilah kelembagaan lebih disukai karena memberi kesan yang lebih sosial, lebih menghargai budaya lokal, dan lebih humanistis. Syahyuti (2006) melihat istilah kelembagaan memberi tekanan kepada lima ha1 yaitu: pertama, bahwa kelembagaan berkenaan dengan sesuatu yang permanen yang dipandang sebagai sesuatu yang rasional dan kebutuhannya disadari dalam kehidupan. Cooley menyimpulkan sesuatu yang permanen tersebut adalah norma dan tata cara, sedangkan Uphoff menyebutnya norma dan perilakukebiasaan (Syahyuti, 2006). Sesuatu yang bersifat permanen lebih jauh berguna sebagai stabilitas dan konsistensi di masyarakat yang berfungsi mengontrol dan mengatur perilaku. Kedua, penekanan dalam kelembagaan berkaitan dengan hal-ha1 abstrak yang menentukan perilaku. Cooley, Koentjaraningrat, dan Johnson, melihat ha1 abstrak yang dimaksud adalahpublic mind, wujud ideal kebudayaan, ataupun czilfure (Syahyuti, 2006). Ketiga, kelembagaan adalah berkaitan dengan perilaku, atau seperangkat tata kelakuan (nzores), atau cara bertindak yang mantap yang berjalan di masyarakat (establish way of behaving). Aspek ketiga ini sepexti pendapat Hebding et al. (1994) melihat bahwa institusi sosial adalah sesuatu yang ada dan berguna di masyarakat untuk menyatukan berbagai kebutuhan dan tujuan sosial yang dmilai penting. Keberadaannya dibutuhkan sebagai sarana bertahan (survive) bagi masyarakat. Sedangkan aspek keempat clan kelima pada kelembagaan adalah penekanannya pada pola perilaku yang disetujui dan memiliki sanksi, serta penekanan pada kemampuannya untuk memecahkan masalah. Dari kelima penekanan tersebut Syahyuti merangkum bahwa kelembagaan berfokus pada pola perilaku yang sebagian besar datang dari norma-norma yang dianut di dalam masyarakat. Dengan berpatokan pada suatu prosedur, kepastian maupun panduan untuk inelakukan sesuatu, kelembagaan memusatkan perhatian pada tujuan, nilai maupun kebutuhan sosial yang utama dari suatu komunitas. Kelembagaan dibentuk oleh komunitas atau masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial mereka. Pada gilirannya bemjung pada peningkatan pembangunan kesejahteraan sosial. Yang kemudian perlu diperhatikan adalah bagaimana caranya membuat kelembagaan yang efektif dan mengena sesuai dengan kebutuhan masyarakat? Bagaimana membuat agar kelembagaan yang sudah ada tetap berjalan, efektif dan berkelanjutan. Kelembagaan yang efektif dan berkelanjutan sangat diperlukan agar terbentuk struktur program yang stabil dan bisa dirasakan manfaatnya ole11 generasi-generasi mendatang. Para praktisi pengembangan masyarakat percaya bahwa program pembangunan akan berjalan baik jika program yang dikembangkan muncul dari inisiatif masyarakat atau rnendapat dukungan berupa peran serta aktif dari masyarakat sendiri. Seperti yang dikatakan Ginandjar Kartasasmita bahwa pemberdayaan adalah expanding the capacity of society, maka untuk mengetahui program apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat bagi peningkatan kapasitasnya dalam bidang pendidian, maka yang terbaik adalah menelurkan program yang berasal dari inisiatif masyarakat sendiri (bottom up planning), untuk memutuskan program apa yang terbak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sendiri. Sejalan dengan yang telah disebutkan di atas, salah satu bentuk pemberdayaan masyarakat melalui kelompok adalah penguatan kapasitas kelembagaan. Lima faktor yang berperan dalam penguatan kapasitas snatu kelembagaan yaitu kepemimpinan, proses perencanaan program, pelaksanaan program, alokasi sumber daya, dan hubungan dengan pihak luar (Syahyuti, 2003: 87). Penelitian mengenai pemberberdayaan pemuddremaja melalui penguatan kapasitas kelembagaan pernah dilakukan Mira Yuliastuti (2005) pada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini melihat progam life skill melalui peningkatan keterampilan bagi pemuda yang berasal dari pengembangan kelembagaan lokal berupa kelompok usaha pembuatan meubel dari kayu ebony. Berdasarkan hasil penelitiannya, Mira melil~atpotensi PKBM Ebony Nagaya berjalan menggunakan sumber daya lembaga lokal yang sudah ada, seperti SDM, lahan tempat, serta peralatan-peralatan, sedangkan alokasi dana berasal dari Pemerintah. Faktor lain yang memperlancar berdirinya PKBM adalah adanya ikatan hubungan pertemanan atau penguatan jaringan (networking) di antara pengelola PKBM dengan kelompok-kelompok lain di luar PKBM maupun dengan instansi Pemerintah. Kekurangan kelembagaan adalah kurangnya dukungan dari Pemerintahan setempat, belum sepenuhnya dapat diakses oleh pemuda-pemuda setempat dikarenakan kurangnya sosialisasi, tidak diikutsertakamya masyarakat dalam memilih jenis penbdikan clan pelatihan keterarnpilan yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri melalui perencanaan yang partisipatoris. Strategi pemberdayaan yang dilakukan adalah pendidikan dan pelatihan timbal balik, inobilisasi sumber daya dan pemberian sumber daya, konsultasi manajemen, pengembangan jaringan dengan pihak ketiga, perluasan proses dan pengembangan gerakan, serta pemantauan dan evaluasi diri yang terus menerus. Pentingnya perencanaan yang partisipatoris sebagai salah satu tahapan proses pemberdayaan masyarakat ternyata memberi dampak pada program pemberdayaan perempuan Suku Bajo di Kabupaten Kendari. Kaji tindak yang d~lakukanAnwar Tahun 2002 dalam manajemen pemberdayaan perempuan dalam dimensi pendidikan menggunakan langkah awal berupa proses penyadaran yang diikuti oleh komponenkomponen manajemen lainnya. Langkah penyadaran dilaksanakan sebagai proses awal yang memungkinkan masyarakat untuk mampu mengidentifikasi kebutuhan dan merumuskan tujuan belajar dan tujuan hidupnya. Proses pemberdayaan tanpa diawali dengan penyadaran kelompok sasaran, maka kemnngkman akan memperolah hambatan baik oleh masyarakat maupnn oleh sumber-sumber belajar atau agen perubahan (Anwar 2007:92) Secara teknis di lapangan, pendekatan terhadap kelembagaan lokal yang ada masyarakat dilaksanakan untuk menemukan visi dan misi yang sama di dalam masyarakat yang mengarah pada pemahaman bahwa pendidikan formal hanya satu bagian dari proses yang mampu meningkatkan kapasitas diri, sehingga untuk melengkapi kapasitas pendidikan diperlukan peningkatan pendidikan pada tataran informal. Pendidkan formal memang mampu membnka wawasan dan cara pikit dalam peningkatan ilmu-ilmu pengetahuan secara akademis. Na~nunbagaimana menerapkan ilmu-ilmu pengetahuan yang didapat di bangku sekolah dalam kehidupan sangat diperlnkan keterampilan-keterampilan yang umumnya diperoleh seseorang dari pendidikan nonformal dan informal. Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu upaya pemberdayaan masyarakat adalah melalui penguatan kelembagaan. Berdasarkan lima faktor penentu keberhasilan penguatan kelembagaan, rnaka beberapa cara yang bisa dilakukan dalam proses penguatan kelembagaan adalah melalui pembahan peran dan fimgsi kelembagaan, penguatan nilai dan norma, serta penguatan dalam kelembagaan itu sendiri seperti penguatan program, teknologi, jejaring, informasi, dan kepemimpinan Paryanto, 2004; Uphoff, 1986; Syahyuti, 2003 dalam Fadli, 2006). Kelembagaan pada intinya merupakan penyatuan nilai-nilai dan norma-norma yang dimiliki setiap individu yang bergabung dalam suatu ikatan dalam rangka memenub tujuan yang diinginkan. Berdasarkan ide awal inilah, maka salah satu proses penguatan kelembagaan dapat tercapai dengan cara melakukan penguatan pada nilai-nilai dan norma yang terjalin dan mengikat di antara anggota. Nilai-nilai dan norma yang paling mudah ditemukan dalam kelembagaan remaja masjid adalah nilainilai dan norma keagamaan, yaitu ajaran Islam. Selain penguatan nilai dan norma, penguatan kelembagaan juga dapat dilakukan melalui perubahan peran dan fungsi kelembagaan. Pembentukan kelembagaan oleh suatu komunitas pada dasarnya bertnjuan menjalankan suatu yang disepakati sebagai tujuan bersama. Tulisan Rianto (2008) mengenai Strategi Dakwah Kontemporer Remaja Masjid melihat fungsi remaja masjid sebagai sebuah wahana pembinaan dan pemberdayaan umat, serta berperan menyebarkan syiar Islam ke tengah-tengah masyarakat sekitarnya dengan program-program pembinaan dan pemakmwan masjid. Sependapat dengan Rianto (2008), Ikatan Remaja Masjid Assajadah melihat Remaja Masjid adalah salah satu alternatif pembinaan remaja terbaik, karena melalui lembaga ini seorang remaja akan memperoleh lingkungan yang islami serta dapat mengembangkan kreativitas. Lingknngan Islami ini akan mendukung perkenibangan imaji remaja secara positif dan menuntun mereka dalam kepribadian yang benar. Pembinaan yang islami juga akan memudahkan setiap orang tua memperoleh anak yang didambakannya, yaitu anak yang b d , beriman, berilmu, berketerampilan, dan berakWak mulia. Meski demikian, Rianto menyayangkan seringnya kegiatan remaja masjid yang terjebak dalam kegiatan yang bersifat rutinitas 'ubudiyah' semata, seperti kegiatan dalam memperingati kegiatan-kegiatan hari-hari besar Islam dan sejenisnya. Padahal jika dilihat lebih jauh berdasarkan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan remaja, banyak peran dan fungsi yang dimiliki dan dikembangkan oleh sebuah remaja masjid. Sehingga diperlukan kesungguhan dan keahlian yang seksama dalam mengelola sebuah remaja masjid. Proses penguatan dalam kelembagaan lain yang diyakini sangat berpengaruh dalam sebuah komunitas seperti komunitas remaja adalah proses penguatan kepemimpinan. Jika ditelaah lebih lanjuf ditemukan banyak sekali definisi mengenai kepemimpinan. Mesld demikian, terdapat kesamaan di beberapa unsurnya. Seperti yang dikatakan Sarros dan Butchatsky (1996) berikut: Leadership is defined as the pusposefil behaviour of influencing others to contribute to a commonly agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common good. Kepemimpinan didefinisikan sebagai perilaku yang memiliki tujttan tertentu yang digunakan untuk mempengaruhi orang lain berpaHisipasi dalam rnencapai /!+tan bersama yang dapaf rnemberikan manfaat bag; indi~~idzr sebagaimana halrya organisasi. Anderson (1988) melihat kepemimpinan sebagai berikut: Leadership means using power to influence the thoughts and actior~sof others in such a way that achieve high performance. Kepemimpinan artinya mengguirakan kekuasaan untuk mempengaruhi pemikiran dan aktivitas pihak lain sebagai sarana memperoleh kinerja yang memtiaskan Kedua definisi di atas melihat kepemimpinan sebagai sebuah perilaku yang memiliki tujuan tertentu yang digunakan untuk mempengaruhi aktivitas dari setiap anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dapat memberikan manfaat bagi individu dan organisasi. kepemimpinan pada perjalanannya berimplikasi pada tiga hal, yakni, adanya keterlibatan orang atau pihak lain sebagai anak buah atau pengikut (followers); keberadaau kekuasaan yang mampu mendorong pengkut untuk bergerak inencapai lcinerja yang meinuaskan. Implikasi ketiga adalah kebutuhan pemimpin untuk memiliki perilaku seperti kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab dan tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan kepada diri sendiri dan orang lain (confidence), dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain dalam membangun organisasi melalui kemampuan berkomunikasi (communication) Implikasi yang dimiliki seorang pemimpin berupa kekuasaan menurut French dan Raven (1968) pada dasarnya bersumber dari berbagai persepsi anak buah atau p e n g h t terhadap pemimpin tersebut. Persepsi yang dimaksud berupa kemampuan dan sumberdaya pemimpin untuk memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengkuti arahan-arahan yang diberikan (reward power), ataupun sebaliknya memiliki kemampuan memberi hukuman jika bawahan tidak mengkuti arahan yang dibenkan (coercive power). Pemimpin juga memiliki kompetensi dan keahlian di bidangnya (expert power) serta memiliki hak menggunakan pengaruh dan otoritas yang dimiliki karena karakteristik pribadi, reputasi hingga karismanya terhadap anak buah dan lingkungan. Dalam dunia remaja, kepemimpinan sangat mempengaruhi pola perilaku dan berorganisasi remaja. Hal ini disebabkau adanya masa dimana seorang remaja mengalami 'masa merindu puja' (Zulkifli, 1987:69). Masa ini merupakan masa di mana seorang remaja sangat mengagumi sesuatu bak yang bersifat fislk seperti kekaguman kepada manusia, maupun sesuatu yang bersifat abstrak seperti keindahan alam, kebaikan, dan kecantikan. Zulkifli kemudian membagi masa merindu puja ke dalam dua proses, yaitu: pertama, seseorang dipuja karena bentuk, sifat-sifat lahir yang dimilikinya, dan sifat-sifat bafinnya; kedua, pujaan itu berdasarkan nilai Mtur yang didukung oleh individu itu sendiri, misalnya seorang pemimpin, seorang tokoh, seorang aktor, dan sebagainya. Sifat-sifat dan hentuk kepemimpinan yang diutarakan Zulkifli ini sejalan dengan pandangan T. Richard Chase dalam A.R. Kadir (2001) bahwa pemimpin yang dikuti rakyat adalah pemimpin yang menunjukkan kecakapan, perhatian kepada orang lain secara tulus, dan karakter yang terpuji. Dalam kehidupan remaja, sifat-sifat kepemimpinan menjadi panutan yang dominan membimbing remaja rnengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya sebagai sebuah proses pematangan jasmani dan rohaninya. 2.5. Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan salah satu alat bantu dalam teknik menganalisis data penelitian yang mempertemukan kekuatan (strength) dengan kelemahan (weakness) dari survei yang dilakukan secara internal, dan ancaman (threat) dengan peluangkesempatan (opportunity) dari survei yang dilakukan secara eksternal. Pemahaman secara sederhana terhadap analisis SWOT adalah pengujian terhadap kekuatan dan kelemahan internal sebuah organisasi, serta kesempatan dan ancaman lingkungan eksternalnya. SWOT merupakan perangkat umum yang didesain dan digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan dan sebagai perencanaan strategis dalam berbagai terapan (Johnson, dkk., 1989; Bartol dkk., 1991). Penerapan analisis SWOT di dunia pendidikan pernah digunakan Gorski (1991) untuk melihat minat masyarakat memasuki sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan khususnya sekolah kejuruan (Subroto, 2001). Empat komponen dasar SWOT dapat dijabarkan sebagai berikut: pertama, kekuatan (strength), yaitu situasi atau kondisi yang merupakan kekuatan dari organisasi atau program pada saat itu; kedua, kelemahan (weaknes), yaitu situasi atau kondisi yang merupakan kelemahan dari organisasi atau program pada saat analisis dilakukan; ketiga, peluang (opportunity), yaitu situasi atau kondisi yang merupakan peluang di luang organisasi dan memberikan peluang berkembang bagi organisasi di masa depan; keempat, ancaman (threat), yaitu situasi yang merupakan ancaman bagi organisasi yang datang dari luar organisasi dan dapat mengancam eksistensi organisasi di masa depan. SWOT dimulai dengan membuat lembaran kerja yang terbagi menjadi empat kuadran berisi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, kemudian memuat dafiar item spesifik yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi di bawah topik masing-masing. Daftar dibatasi sampai 10 poin atau lebih sedikit dengan tujuan menghindari generalisasi yang berlebihan (Johnson, et al., 1989 dalam Subroto, 2001). Pada penerapannya, SWOT dapat dilaksanakan secara individual atau secara kelompok dalam organisasi. Sedangkan Glass (1991) melihat teknik secara kelompok akan lebih efektif terutama dalam pengadaan struktur, objektivitas, kejelasan, dan fokus diskusi mengenai strategi, sehingga cenderung tidak melantur atau terkena pengaruh politik dan kesenangan (interest) pribadi yang kuat (Subroto, 2001). 2.6. Kerangka Pemikiran Upaya peningkatan kecakapan sosial (social skill) remaja, melalui penguatan yang akan kelembagaan lokal KURMA dalam program pengembangan'ma~~arakat dilakukan dalam kajian ini secara garis besar tersaji dalam bagan berikut: Diagram 1. ICerangka Pemikiran I I - - Partisipasi anggota Sarana dan prasarana yang dimiliki Perencanaan dan pelaksanaan kegiatan Jaringan kerjasama dengan kelompok remaja masjid lain Pola kepemimpinan kelompok . Penyadaran mengenai kapasitas diri remaja Kapasitas kelompok : : I - Sumber daya Kepemimpinan - Perencanaan kegiatan - Pelaksanaan kegiatan - Hubungan dengan pihak luar Peningkatan kapasitas Peningkatan Kecakapan Sosial Remaja - Kemampuan komunikasi , - Kemampuan bekejasama Kondisi yang ada selama ini di kelompok diantaranya partisipasi anggota baik dalam kegiatan kelompok maupun kegiatan Mushola dan Madrasah, aspek sarana dan prasarana, jaringan kerjasama yang terbentuk bersama kelompok remaja masjid lain, pola perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, maupun pola kepemimpinan yang ada di dalam kelompok sedikit banyak mempengaruhi kapasitas kelembagaan kelompok yang dikuknhkan keberadaannya sejak Tahun 2004 ini. Untuk mencapai tujuan pemberdayaan terhadap kelompok remaja ini, diyakini perlu upaya-upaya secara bertahap sehingga pemberdayaan yang dilakukan nantinya akan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan dari kelompok itu sendiri. Sejalan dengan pemikiran Anwar dalam upaya pemberdayaan perempuan Suku Bajo dan tahapan pemberdayaan menurut Wrihatnolo maupun Jim Ife, maka langkah awal dalam usaha peningkatan kemampuan sosial remaja adalah melalui penyadaran remaja akan potensi dan lalalitas dirinya. Upaya penyadaran ini dilakukan agar remaja makin memahami kapasitas dirinya dan dan keberfungsian sosial dirinya dalam lingkungan. Dengan demikian, remaja diharapkan memiliki peningkatan motivasi untuk mengembangkan kemampuan din, dimulai dengan kemampuan komunikasi dan kerjasama yang diperlukamya untuk berinteraksi dengan orang lain. Penyadaran akan kapasitas diri ini dirancang pada awal kajian bersama stakeholder melalui metode presentasi di pekan pertama Bulan Romadhon Tahun 2008 bertempat di rnang Madrasah Mifda. Setelah strategi penyadaran dilakukan, strategi penguatan kelembagaan dilakukan dengan metode Focus Group Discussion (FGD) bersama anggota KURMA dan stakeholder yang terkait langsung dengan kelompok KURMA.