BAB II KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN

advertisement
BAB II
KARAKTER HADHANAH PADA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA
MEDAN DARI TAHUN 2010-2012
1. Perceraian Dan Akibat Hukum Terhadap Anak
a. Perceraian
Sesuai dengan prinsipnya perkawinan itu untuk selama-lamanya
dan dilakukan dalam rangka terciptanya keluarga bahagia, sesuai dengan
Hadist Riwayat Ibnu Majah, “Sesuatu yang halal yang sangat dibenci
adalah perceraian.” 56
Walaupun perceraian dibenci, namun jika pernikahan dipaksakan
tapi mengakibatkan mudarat yang banyak daripada manfaat dalam rumah
tangga, maka perceraian diperbolehkan, disinilah terlihat tujuan perceraian
dalam Islam hanya untuk kemaslahatan dan kebaikan semua pihak.
Dalam Hukum Islam bahkan dikenal ada pesta perceraian yang
yang memberi makna bahwa acara tersebut bukanlah perpisahan yang
mengakibatkan permusuhan, perceraian hanya perpisahan hubungan suami
isteri bukan perpisahan hubungan baik. Karena setelah perceraian
hubungan suami isteri itu dapat berubah menjadi hubungan sahabat
ataupun kekerabatan, karena perceraian yang terjadi hanya untuk mencari
kemaslahatan akibat dari kehidupan rumah tangga yang tidak dapat
dilakukan bersama lagi. 57
56
E. Hassan Saleh, Kajian Figh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers,
2008), hal 320
57
Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama
Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013.
Universitas Sumatera Utara
Perceraian mempunyai akibat hukum yang luas, baik dalam
lapangan Hukum Keluarga maupun dalam Hukum Kebendaan serta
Hukum Perjanjian. Akibat pokok dari perceraian adalah bekas suami dan
bekas istri, kemudian hidup sendiri-sendiri secara terpisah.
Dalam pemutusan perkawinan dengan melalui lembaga perceraian,
tentu akan menimbulkan akibat hukum diantara suami-istri yang bercerai
tersebut, dan terhadap anak serta harta dalam perkawinan yang merupakan
hasil yang diperoleh mereka berdua selama perkawinan. Putusnya
hubungan perkawinan karena perceraian maka akan menimbulkan
berbagai kewajiban yang dibebankan kepada suami-istri masing-masing
terhadapnya
Perceraian yang sah haruslah perceraian yang penghapusan
perkawinannya dilakukan dengan putusan hakim, Undang-Undang tidak
membolehkan perceraian dengan permufakatan antara suami-isteri, untuk
melakukan perceraian harus ada alasan bahwa suami isteri tidak dapat
rukun sebagai suami isteri. 58 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan
Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil lagi mendamaikan kedua belah pihak. 59
58
Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
59
Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
b. Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anaknya
Perceraian dalam Hukum Islam tidak menyebabkan hilangnya
tanggung jawab orang tua terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan terserbut, karena hubungan anak dengan orang tua dengan
anak tidak pernah putus, anak tersebut tetap menjadi anak dari ayah dan
ibunya. Dan seorang ayah tetap berkewajiban bertanggung jawab penuh
terhadap anaknya baik dari segi nafkah dan pemeliharaannya, dan wajib
membayar upah kepada ibu yang memelihara anak tersebut. Jadi tanggung
jawab memelihara dan mendidik anak adalah tetap menjadi kewajiban
bersama walaupun terjadi perceraian. 60
Terhadap anak, akibat putusnya perkawinan karena perceraian
yang timbul menurut Undang-Undang adalah : 61
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan member
keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak-anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat member kewajiban tersebut, Pengadilan dapat
menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut.
Sedangkan menurut pasal 149 Kompilasi Hukum Islam huruf d
juncto pasal 156 huruf d berdasarkan inpres Nomor 1 Tahun 1991, Bapak
60
Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama
Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013
61
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
tetap berkewajiban memberi nafkah untuk anak menurut kemampuannya,
sekurang kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri
sendiri sampai umur 21 Tahun .
Selagi anak belum berusia 18 Tahun atau belum menikah ia berada
dibawah kekuasaan orang tuanya yang akan mewakilinya mengenai
perbuatan hukumnya didalam dan diluar pengadilan. 62
Meskipun
memegang kuasa namun orang tua tidak boleh memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya kecuali kepentingan
anak menghendaki. 63
Dampak dari perceraian meyebabkan anak kurang mendapatkan
perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, dan bagi anak
yang remaja kebutuhan fisik maupun psikis tidak terpenuhi, keinginan
harapan anak-anak tidak tersalurkan dengan memuaskan, dan akibatnya
anak
merasa
terabaikan.
Sehingga
tidak
menutup
kemungkinan
menyebabkan anak menjadi kasar, tidak terkendali dan bahkan bisa
menjadi sangat agresif dan brutal, hal ini dikarenakan anak tidak mendapat
kasih sayang orang tua secara bersamaan, dampak seperti inilah yang
sangat dibenci dalam pandangan Islam karena bukan kemaslahatan yang
terjadi tetapi kemudharatan. 64
62
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
64
Wawancara dengan Ulama Ahmad zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama
Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013
63
Universitas Sumatera Utara
B. Hadhanah
1.Pengertian Hadhanah
Alhadhanah berasal dari kata hadhanah-yadhunu-hadhan wa
hidhanah wa hadhanah, secara bahasa hadhanah memiliki dua arti pokok.
Pertama dari alhidnu (dada), yaitu anggota tubuh antara ketiak dan
pinggang dari sinilah jika dikatakan Ihtadhana al walad mendekapnya
yaitu merengkuh dan meletakkannya didalam dekapan (pelukan). Kedua
al-hidhnu adalah janib asy-syay’i (sisi sesuatu). Jika dikatakan Ihtadhana
asy-syay’a artinya meletakkan sesuatu itu disisisnya dan berada dalam
pemeliharaannya serta memisahkannya dari pihak lain. Hal ini seperti
sdeekor burung yang mengumpulkan telurnya dan mengeraminya sehinga
telurnya berada disisinya dan dibawah pemeliharaannya. 65
Para ahli hukum Islam mendefenisikan Hadhanah dengan maksud
melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun
perempuan atau yang sudah besar , tetapi belum tamyiz, tanpa perintah
daripadanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakitinya dan merusaknya, mendidik
jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup
yang memikul tanggung jawabnya. 66
Menurut Ulama Hanafiyah membagi segala urusan yang
berhubungan dengan anak kecil menjadi dua bagian yaitu kewajiban yang
65
Ash Sha’ani, subulus Salam, (Surabaya : terjemahan Abu bakar Muhammad jilid 3, Al
Iklash,1995), hlm 819
66
Hasballah Thaib dan Zamakhsyari Hasballah, Pendidikan dan Pengasuhan Anak
menurut Alqur’an dan Sunnah, (Medan : Perdana Publishing, 2012), hal 3
Universitas Sumatera Utara
diserahkan kepada wali anak dan kepada hadhinah (pengasuh) yaitu tugas
mendidik. Sedangkan pengarang kitab Al-ikhtiyar mengenainya; tersebut
mengatakan, ketika anak masih kecil dan lemah untuk memperhatikan
segala kemaslahatan dirinya maka Allah menjadikan untuk tugas tersebut
orang yang membimbing dan mengurusnya sehingga urusan harta
kekayaan dan berbagai macam transaksi (akad) diserahkan kepada lakilaki, sebab mereka lebih kuat dan lebih mampu dalam hal tersebut dan
untuk perawatan diserahkan kepada perempuan sebab mereka lebih sayang
dan lemah lembut serta lebih mampu untuk memberikan pendidikan dan
pengasuhan karena Allah telah memberikan kepada mereka rasa cinta,
kasih dan sayang, kemampuan, kesabaran dan ketabahan. 67
Jika dilihat dari kaca mata hukum, Pengertian anak menurut pasal 1
ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan
anak yaitu seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun
termasuk anak yang masih di dalam kandungan. 68
Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak Pasal 1 point 2, anak adalah seseorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin. 69
Sedangkan menurut Instuksi Presiden Republik Indonesia nomor 1
Tahun 1991 Tentang Kompilasi hukum Islam dalam pasal 98 ayat (1)
menyebutkan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa
67
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta : Ghalia Indonesi,
2009), hal 183
68
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
69
Pasal 1 point 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
Universitas Sumatera Utara
adalah 21 tahun sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 70
Sedangkan dalam Hukum Islam tidak memberikan batasan usia
yang dimaksud dengan anak, karena selama anak itu belum baliqh dan
dapat membedakan yang baik dan yang buruk masih dianggap anak-anak
atau belum dewasa. 71
Meskipun banyak rumusan mengenai anak namun perbedaan
tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu memberikan perlindungan
terhadap anak karena mengasuh anak yang masih kecil hukumnya wajib,
dan mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil
kepada bahaya yang membinasakan.
Dalam istilah fiqh Hadhanah adalah pemeliharaan anak yang
masih kecil setelah terjadinnya putusnya perkawinan, menurut fiqh hal ini
secara praktis antara suami isteri telah terjadi perpisahan sedangkan anakanak memerlukan bantuan dari ayah atau ibunya. 72
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadhanah, adalah
masalah menjaga, memelihara, mengasuh, memimpin, mendidik, dan
mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dirinya sendiri,
dan hal ini terjadi apabila dua orang suami isteri bercerai, sedangkan
70
Instruksi Presiden Republik Indonesia Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam,
pasal 98 ayat 1
71
Wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari Majelis Ulama
Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 juli 2013
72
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta : Prenada Media, 2004), hal 327
Universitas Sumatera Utara
keduanya mempunyai anak yang belum mummayyiz (belum menguasai
kemaslahatan dirinya).
2. Masa Hadhanah
Para Fukaha berbeda pendapat mengenai waktu dan batas
hadhanah, kepada empat kelompok pendapat yaitu : 73
a. Fukaha Hanafiyah mengatakan masa pengasuhan berakhir untuk anak
laki-laki, ketika ia mencapai umur tujuh tahun atau menurut sebagian
lagi Sembilan tahun, sedangkan untuk perempuan berakhir ketika anak
mencapai umur sembilan tahun atau menurut sebahagian lagi sebelas
tahun, setelah itu maka ayah lebih berhak dari keduanya. Kelompok ini
dalam menyempurnakan hadhanah membedakannya dengan kias atau
analogi berdasarkan batas usia anak perempuan dan laki-laki sebab
hadhanah, itu merupakan suatu bentuk bimbingan (wilayah), karena
hadhanah merupakan hak ibu sehingga hanya berkahir dengan
kedewasaan anak, seperti hak wilayah (wali) dalam urusan harta
kekayaan.
b. Fukaha Imam Malik mengatakan masa pengasuhan anak laki-laki itu
berakhir dengan ihtilam (mimpi), sedangkan untuk anak perempuan
berakhir dengan sampainya ia menikah. Jika ia sampai pada usia
menikah sedangkan ibu dalam masa iddah, maka ibu lebih berhak
terhadap anak putrinya sampai ibu tadi menikah lagi. Jika tidak sedang
demikian maka anak tersebut dititipkan kepada ayahnya dan jika ayah
tidak ada maka dititipkan kepada wali-walinya. Seperti dari hadis yang
diriwayatkan Amr bin Syuaib, bahwa Abu Bakar menentukan terhadap
Umar bin Khatab ra, mengenai Ashim, “ibunya lebih berhak
dengannya daripada Umar selama ia belum menikah.
c. Fukaha Imam Syafii menyebutkan bahwa masa pengasuhan anak-anak,
baik laki-laki maupun perempuan berakhir ketika sampai usia tujuh
tahun atau delapan tahun, dan jika ia telah masuk usia tersebut dan
berakal sehat maka ia diperbolehkan untuk memilih antara ayah dan
ibunya. Menurut hadis Abu Hurairah ra. Bahwa ada seorang
perempuan yuang datang kepada Nabi Muhammad saw, seraya
berkata, “Sesungguhnya suamiku datang ingin membawa
anakku.”Nabi Muhammad saw. bersabda,”ini ayahmu dan ini ibumu
maka peganglah tangan siapa yang engkau kehendaki”. Ternyata anak
itu mengambil tangan ibunya. Menurut hadis ini jika ada kedua orang
tua yang bertengkar maka sang anak hendaknya diberi kesempatan
untuk memilih siapa yang akan ia pilih
d. Fukaha Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat yang paling masyhur
mengatakan masa pengasuhan anak itu berakhir sampai anak tersebut
berumur tujuh tahun, jika ia telah mencapai usia tersebut, dan untuk
73
Huzaemah Tahido Yanggo, Op.Cit, hal 186-187
Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki dipersilahkan memilih diantara kedua orang tuanya
tetapi jika ia perempuan maka ayahnya lebih berhak dengannya dan
tidak ada hak memilih baginya.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 105
menyebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mummayiz, atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan yang telah
mummayiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah ataupun
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. 74
Dari hal diatas dapat disimpulkan bahwa pengasuhan untuk anak
laki-laki dan perempuan samapai batas umur tamyiz, setelah melewati
batas usia umur tersebut jika anak memilih bersama ibunya maka anak
tersebut tidak perlu diambil namun jika anak memilih ayahnya maka
ayahnya berhak membawa dan memeliharanya sedangkan jika anak lakilaki yang sudah lewat masa tamyiz lebih memilih ibunya maka sang ayah
hendaklah ikut membantu mendidik dan mengajarinya, demikian anak
perempuan jika ia memilih dengan ibunya maka anak tersebut boleh
tinggal bersama ibunya. Sementara anak yang masih dalam pengasuhan
jika ia sakit atau gila maka jika ia seorang perempuan secara mutlak ada
ditangan ibunya baik kecil ataupun sudah besar, karena seorang ibu lebih
sayang kepadanya. 75
3. Syarat-Syarat yang Harus dipenuhi Hadhin dalam Hadhanah
74
75
Pasal 105 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang kompilasi Hukum Islam
Huzaemah Tahido Yanggo, Op.Cit, hal 188
Universitas Sumatera Utara
Pemeliharaan atau pengasuhan anak harus memenuhi syarat yang
telah ditentukan, bagi ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh
disyaratkan hal-hal sebagai berikut : 76
a. Sudah Dewasa dan Berakal
Orang yang belum dewasa tidak akan mampuh melakukan tugas untuk
mengasuh anak, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan
yang dilakukannya belum memenuhi syarat, dan orag yang tidak
mempunyai akal sehat dianggap tidak cakap melakukan tindakan
hukum karena untuk mengurus dirinya sendiri tidak mampu apalagi
untuk orang lain maka orang tersebut tidak boleh menjadi Hadhin.
b. Beragama Islam
Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama karena pengasuhan
anak termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak
yang diasuh, kalau diasuh oleh orang yang bukan islam maka
dikhawtirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya, makanya
dalam hal pengasuhan anak kesamaan agama antara hadhin (pengasuh)
dengan mahdhun (anak yang dipelihara) sangat penting.
c. Amanah
Orang
yang
dipandang
fasik
(durhaka
kepada
Allah
SWT,
meninggalkan perintahNya, atau keluar dan melanggar ketentuanNya)
tidak berhak atas handhanah karena dapat menimbulkan hal yang
bersifat negatif terhadap jiwa anak yang dipeliharanya.
d. Tidak bersuami
76
Amir Syarifuddin, Op.Cit, hal 328-330
Universitas Sumatera Utara
Hal ini adalah untuk syarat bagi seorang ibu harus belum menikah
dengan lelaki lain, jika telah menikah dengan lelaki lain maka gugurlah
haknya menjadi hadhin,kecuali suaminya (ayah tiri) rela untuk
melakukan hadhanah tersebut.
e. Tidak Murtad
Tidak kembali kepada agama semulanya dengan keluar dari agama
Islam, karena bagaimanapun anak yang diasuh harus seiman dengan
orang yang mengasuhnya.
Bertempat tinggal yang sama dengan anak yang diasuh
Menurut ulama Hanafiyah bila yang melakukan pindah tempat adalah
ayah maka ibu lebih berhak atas Hadhanah, tetapi bila ibu yang pindah
ke tempat dilaksanakan perkawinan maka ibu yang berhak tetapi bila
pindah ke tempat lain maka ayahlah yang berhak.
4. Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak hukumnya
wajib, sebagaimana wajibnya memeliharanya selama berada dalam ikatan
perkawinan, adapun dasarnya menurut Alqur’an adalah :
a. Berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 233, yaitu hak untuk melindungi
anak ketika masih berada dalam kandungan dan hendaklah
menyusuinya, dan kewajiban seorang ayah membiayai anak yang
masih kecil dan juga istri.
Universitas Sumatera Utara
b. Berdasarkan surat Luqman ayat 12-19 dan surat Al-Mujadillah(58)
ayat 11, yaitu hak untuk diberi pendidikan ajaran, pembinaan, tuntutan
dan akhlak yang benar.
c. Berdasarkan surat An-nisa (4) ayat 2, 6, 10, yaitu hak untuk mewarisi
harta kekayaan orang tuanya.
d. Berdasarkan surat Al-Qashas ayat 12 yaitu hak untuk mendapatkan
nafkah dari orang tuanya.
e. Berdasarkan surat At-Tahrim ayat 6 yaitu kewajiban orang tua untuk
menyiapkan putra-putrinya sehat, kuat baik psikis maupun fisik.
f. Berdasarkan hadist riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar,
dalam pertanggungjawaban terhadap kesejahteraan dan kesehatan anak
Nabi saw, menjelaskan : “ Setiap kamu adalah penanggung jawab dan
akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dipercayakan
kepadanya, seorang laki-laki bertanggungjawab atas kehidupan
keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban kepadanya. Dan
seorang isteri bertanggung jawab atas harta benda dan anak-anak
suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban kepadanya. 77
Sedangkan dalam konteks hukum di Indonesia hadhanah disebut
sebagai pemeliharaan anak yang diatur dalam Undang-Undang sebagai
berikut yaitu ;
a. Menurut pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi “ Suami dan Isteri yang mengikatkan diri dalam perkawinan,
77
Huzaenah Tahido Yanggo, Op.Cit, hal 197
Universitas Sumatera Utara
dan hanya karena itupun terikatlah mereka dalam suatu perjanjian
bertimbal balik akan memelihara dan mendidik sekalian anak
mereka. 78
b. Menurut pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dalam hal terjadi
perceraian ; 79
1) Pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12
tahun adalah hak ibunya.
2) Pemeliharaan anak yang sudah mummayiz diserahkan kepada anak
untuk memilih diantara ayah atau ibu sebagai pemegang hak
pemeliharannya.
3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
c. Menurut bab II pasal 2 sampai dengan pasal 9 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak yang mengatur hak-hak
anak. 80
d. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dalam pasal 45 menyebutkan : kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, dan kewajiban itu sampai
anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri, dan kewajiban itu terus
berlaku meskipun kedua orang tua telah bercerai. 81
78
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet xxv. (Jakarta ; Pradya Paramita,
1992), hal 23
79
Pasal 105 Instruksi Presiden Republik Indonesia Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam
80
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak
81
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
C. Sebab-sebab
Timbulnya
Hadhanah
dan
Akibatnya
Pada prinsipnya masalah hadhanah tidak dipermasalahkan jik kedua orang
tua melaksanakan tanggung jawabnya dengan kerjasama dan jika terjadi
perceraian tidak mempermasalahkan pada siapa anak tinggal, Kedua orang tua
bertanggung jawab atas pemeliharaan anak yang dilahirkan dalam perkawinan
yang sah.
Akan tetapi suatu ketika, sebagai manusia mempunyai berbagai
permasalahan dan keterbatasan sehingga terjadi persoalan dalam masalah
hadhanah. Adapun sebab timbulnya masalah hadhanah adalah :
1. Apabila kedua orang tuanya tidak mampu menunaikan kewajiban
pemeliharaan terhadap anaknya atau kedua orang tua meninggal dunia.
Hal ini dapat diketahui dari isyarat yang terkandung dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 98 ayat (3) yang berbunyi :
“Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu”. 82
Pasal ini memberikan pengertian, bahwa salah satu penyebab timbulnya
masalah hadhanah adalah karena kedua orang tua si anak tidak mampu
menjalankan kewajibannya dalam memelihara anak yang lahir dalam
perkawinan.
Menurut Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa
kekuasaan orang tua dapat dicabut atau dialihkan apabila ada alasan-alasan
82
Pasal 98 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
yang berikut :
2) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya
terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas
permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke
atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b. la berkelakuan buruk sekali
3) Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak
tersebut.
Ketentuan yang mengatur tentang kuasa asuh orang tua terhadap anaknya
juga terdapat dalam pasal 10 Undang-Undang klesejahteraan Anak nomor 4
tahun 1979 yang menyebutkan : 83
1) Orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya dalam
mewujudkan kesejahteraan anak baik secara jasmani , rohani maupun
sosial sehingga mengabaikan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan
dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasanya sebagai orang tua
terhadap anaknya. Dalam hal ini ditunjuk orang atau badan sebagai
walinya.
2) Pencabutan kuasa asuh dalam ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban
orang tua yang bersangkutan untuk membiayai sesuai dengan
kemampuan Penghidupannya dalam pemeliharaan dan pendidikan
anaknya.
3) Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orang tua ditetapkan dengan
keputusan hakim.
4) pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2), (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah
M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa orang tua yang melalaikan
kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu
atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi
disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama,
sakit udzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak
83
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Universitas Sumatera Utara
diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah
laku yang tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang
seharusnya memberikan contoh yang baik. 84 Contohnya seorang orang tua
yang tidak pernah memberikan anaknya nafkah dan kehidupan yang layak
yang dikarenakan orang tua tersebut berada di dalam penjara atau tidak pernah
diketahui keberadaannya.
Jika diperhatikan secara teliti, ketentuan dalam Kompilasi memang lebih
tegas daripada dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
karena dalam Kompilasi Hukum Islam konsennya adalah bagi orang Islam,
maka penunjukkan Pengadilan Agama dalam penyelesaian masalah yang
timbal akibat dari perwalian adalah dalam rangka kepastian hukum.
Kendati demikian, bukan berarti tidak ada kaitan antara hadhanah dengan
perwalian. Dalam kasus seorang anak yang tidak lagi memiliki orang tua, atau
memiliki orang tua namun dipandang tidak cakap untuk merawat anak, maka
keberadaan perwalian menjadi sebuah keniscayaan.
Oleh sebab itu di dalam KHI dijelaskan bahwa, perwalian adalah
kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang
tidak mempunyai kedua orang tuanya dan masih hidup tetapi tidak cakap
melakukan perbuatan hukum.
Dan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa urutan pemeliharaan yang
pertama sekali adalah pihak ibu, dari pihak ibu (nenek) dst ke atas. Diberikan
hak prioritas kepada ibu karena ia yang melahirkan dan menyusukan serta ia
84
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Rajawali, 1986), hal.
216
Universitas Sumatera Utara
lebih cakap dalam hal mengasuh dan merawat anak. Ibu lebih sabar dan dapat
menahan hati dalam merawat anak, dibandingkan dengan bapak tidak. Oleh
karena itu maka didahulukan ibu daripada bapak dalam urusan mengasuh dan
merawat anak, untuk kebaikan masa depan anak.
Apabila urutan pihak ibu tidak ada atau tidak memungkinkan, maka
pemeliharaan itu beralih kepada pihak bapaknya dan seterusnya sampai ke
atas. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat urutan-urutan sebagai berikut : 85
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)
13)
14)
15)
16)
17)
18)
19)
20)
21)
22)
Ibu anak tersebut.
Nenek dari pihak ibu dan terus ke atas
Nenek dari pihak ayah
Saudara kandung anak perempuan tersebut
Saudara perempuan seibu
Saudara perempuan seayah
Anak perempuan dari saudara perempuan sekandung
Anak perempuan dari saudara perempuan seayah
Saudara perempuan ibu yang sekandung dengannya
Saudara perempuan ibu yang seibu dengannya (bibi)
Saudara perempuan ibu yang seayah dengannya (bibi)
Anak perempuan dari saudara perempuan seayah.
Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu.
Anak perempuan dari saudara laki-laki seibu.
Anak perempuan dari saudara laki-laki seayah.
Bibi yang sekandung dengan ayah.
Bibi yang seibu dengan ayah.
Bibi yang seayah dengan ayah.
Bibinya lbu dari pihak ibunya.
Bibinya ayah dari pihak ibunya.
Bibinya ibu dari pihak ayahnya
Bibinya ibu dari pihak ayah.
Jika anak tersebut mempunyai kerabat perempuan dari kalangan mahram
diatas, atau ada tetapi tidak dapat mengasuhnya, maka pengasuh anak itu
beralih kepada kerabat laki-laki yang masih mahramnya atau memilih
hubungan darah (nasab) dengannya sesuai dengan urutan masing-masing
85
Syeikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta Timur : Darat-Tauji wa An-Nashr AlIslamiya, 1999), hal.395
Universitas Sumatera Utara
dalam persoalan waris. Dan pengasuhan anak itu beralih kepada : 86
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
8)
Ayah kandung anak itu.
Kakek dari pihak ayah dan terus keatas.
Saudara laki-laki sekandung
Saudara laki-laki seayah.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
Paman yang sekandung dengan ayah.
Paman yang seayah dengan ayah
9) Pamanya ayah yang sekandung
10) Pamannya ayah yang seayah dengan ayah.
Jika tidak ada seorangpun kerabat dari mahram laki-laki tersebut, atau ada
tetapi bisa mengasuh anak, maka hak pengasuhan anak itu beralih kepada
mahram-mahramnya yang laki-laki selain kerabat dekat Ayah ibu (kakek) yaitu:
1) Saudara laki-laki seibu
2) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu.
3) Paman yang seibu dengan ayah
4) Paman yang sekandung dengan ibu.
5) Paman yang seayah dengan ibu.
Selanjutnya jika anak tersebut tidak mempunyai kerabat sama sekali, maka
hakim yang akan menunjuk seorang wanita yang sanggup dan patut mengasuh
serta mendidiknya. 87
Penunjukan wali dilakukan sebisa mungkin berasal dari keluarga anak
dibawah umur tersebut, yang oleh Undang-Undang ditetapkan wali tersebut
haruslah telah dewasa, berpikiran sehat, berkelakuan adil, jujur dan bertindak
baik. 88
Akan tetapi meskipan demikian wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua
86
Ibid, hal.396
Ibid, hal. 395
88
Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
87
Universitas Sumatera Utara
yang menjalankan kekuasaan orang tua, yang dilakukan sebelum orang tua si
anak tersebut meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2
(dua) orang saksi. 89
Setelah ditunjuk, wali akan mempunyai kewajiban untuk mengurus anak
yang di bawah penguasaannya beserta harta benda anak dibawah umur yang
berada dalam pengasuhannya tersebut dengan sebaik-baiknya dan dengan
menghormati agama serta kepercayaan anak tersebut. 90 Terhadap harta
kekayaan si anak yang berada dibawah kekuaasaannya, wali mempunyai
kewajiban untuk: 91
1. Membuat daftar harta benda anak tersebut secara jelas dan rinci.
2. Mencatat semua perubahan yang terjadi atas harta benda anak yang
berada di bawah perwaliannya.
3. Mempertanggung jawabkan segala perhitungan dan kegiatan akibat
dan kelalaian dan kesalahan wali
4. Dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anak yang berada dibawah kekuasaan wali, kecuali
apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Selama
melaksanakan
kekuasaannya,
wali
tidak
diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak
tersebut, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. 92 Jika terjadi
kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian dan kesalahannya, maka wali
dapat dituntut untuk bertanggung jawab terhadap harta si anak yang berada di
bawah perwaliannya tersebut. 93
Alasan lain dari penunjukkan wali, termasuk wewenangnya untuk
mengalihkan barang kekayaan anak yang berada dalam perwaliannya, hanya
89
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahim 1974 tentang Perkawinan
Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
91
Pasal 51 ayat (4) dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
92
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
93
Pasal 51 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
90
Universitas Sumatera Utara
diperbolehkan jika kepentingan anak menghendakinya (Pasal 48 jo.Pasal 52
UU Nomor 1 Tahun 1974). Apabila dalam, kenyataannya, wali yang ditunjuk
tidak melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik atau dengan indikasi-indikasi
tertentu kelihatan beritikad tidak baik, maka hak perwaliannya dapat dicabut.
Prosedur dan tatacaranya dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada
Pengadilan atau Pengdilan Agama untuk mencabutnya. Menurut Pasal 53
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 :
(1) Wali dapat dicabut kekuasaanya, dalam hal-hal yang tersebut di
dalam Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai
wali.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, ketentuan Pasal 53 Undang-Undang
Perkawinan Nomor I Tahun 1974 dikuatkan dalam Pasal 109 yang
menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian
seorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas
permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila
dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai
wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Jika terjadi pencabutan kekuasaan seorang wali karena ia melalaikan
kewajibannya atau ia berkelakuan tidak baik, hakim dengan keputusannya
dapat menunjuk orang lain menjadi wali atas anak yang berada di bawah
perwaliannya. Hal ini dilakukan Hakim apabila si anak tidak lagi mempunyai
keluarga yang lain atau apabila Hakim memandang keluarga si anak tidak
layak menjadi seorang wali karena alasan-alasan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Seorang yang ditunjuk oleh Pengadilan Agama untuk menjadi wali dan ia
menerima penunjukan tersebut wajib menjalankan kekuasaan perwaliannya
untuk kepentingan si anak dengan sebaik-baiknya.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perwalian ini
mempunyai beberapa asas. Pertama asas tidak dapat dibagi-bagi, kedua asas
persetujuan dari keluarga, ketiga orang-orang yang dipanggil menjadi wali
atau yang diangkat menjadi wali. 94
2.Perceraian antara Ayah dan Ibu Anak
Perceraian yang menjadi sentral kajian dalam tulisan ini adalah cerai hidup
yang terjadi antara suami isteri, sebab keduanya baik syah maupun ibu dari si
anak merasa lebih berhak dan lebih pantas memelihara anaknya.
Hal ini disebabkan karena masing-masing pihak merasa lebih sayang
kepada anaknya, dan masing-masing pihak merasa tidak percaya kepada pihak
lainnya, atau masing-masing pihak merasa dialah yang lebih mampu
memberikan kebutuhan kehidupan si anak, maka masing-masing pihak
mempertahankan alasannya agar dipandang lebih berhak untuk melaksanakan
hadhanah atas anak yang mereka miliki.
Apabila terjadi perceraian antara suami isteri, baik dengan jalan talaq,
khulu’ atau fasakh sedang keduanya mempunyai anak, laki-laki atau
perempuan yang masih berumur kurang dari tujuh tahun, maka anak itu
dipelihara dan diasuh oleh ibunya karena dialah yang penyayang dan sesuai
untuk mengasuh anak. Dan kemudian itu ibu dari ibu dan demikian itulah
94
R.Subekti dalam Soedharyo Soimin, Hukum orang dan Keluarga, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2002), hal 55.
Universitas Sumatera Utara
seterusnya sampai ke atas. 95
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak secara
tegas menyebutkan siapa yang harus memelihara anak apabila terjadi
perceraian antara suami istri. Di dalam Pasal 41 Undang-Undang tersebut
hanya dijelaskan kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak.
Apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak, keputusan akan
ditetapkan oleh pengadilan. Tidak ditetapkan suatu ketegasan mengenai siapa
yang seharusnya memelihara anak setelah terjadinya perceraian dapat
menyebabkan timbulnya perselisihan antara bekas suami istri mengenai
pemeliharaan anak sehingga anak akan menjadi objek rebutan antara kedua
orang tua.
Sesuai dengan makna dan rumusan Undang-Undang, bahwa untuk
nenentukan hak perwalian, hak pemeliharaan anak yang harus diperhatikan
adalah demi kepentingan hukum anaknya. Jadi hakim harus benar-benar
memperhatikan kepentingan anak apabila anak tersebut dipelihara oleh ibunya
atau bapaknya harus mempunyai jaminan kehidupan sosial dan kesejahteraan
yang lebih baik untuk kehidupan dimasa yang akan datang. 96
D. Karakter Hadhanah pada Putusan Pengadilan Agama Medan
Dalam memutuskan perkara Hadhanah hakim menggunakan Kompilasi
95
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakara : AI-Hidayah, 1968), hal.
146.
96
Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan, Haspar
Pulungan, pada tanggal 30 Mei 2013.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sebagai
dasar dalam menyelesaikan masalah. Setiap perkara yang masuk khususnya
mengenai hadhanah berbeda-beda pokok perkaranya yang menyebabkan putusan
hadhanah itu memiliki karakter yang berbeda dalam setiap putusan.
Dalam hal ini karakter hadhanah pada putusan di Pengadilan Agama
Medan dapat dibagi yaitu : 97
1. Kondisi anak
Yang dimaksud dengan kondisi anak adalah batas usia anak dan kepentingan
anak. Karena setiap perkara hadhanah anak yang dijadikan objek sengketa
berbeda-beda usianya dan kepentingan anak tersebut sesusai dengan keadaan
fisik dan mentalnya. Maka, dalam hal ini hakim mengkategorikannya bahwa
dari :
a. Batas usia anak, didasarkan pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam :
1) Belum mummayiz yaitu anak yang belum berusia dibawah 12 (dua
belas) tahun, maka hak asuhnya ada pada ibu.
2) Sudah mummayiz yaitu anak yang sudah berusia diatas 12 (dua belas0
tahun, maka dalam hal ini hakim dapat menjadikan keterangan anak
sebagai acuan untuk memutuskan penetapan hadhanah.
b. Kepentingan anak
1) Kebutuhan jasmani
Kebutuhan jasmani yaitu seperti makanan, pakaian, perumahan,
97
Ibid,
Universitas Sumatera Utara
kesehatan. Hal ini merupakan tanggung jawab seorang ayah dalam hal
pembiayaannya. Berdasarkan Pasal 104 (1) Kompilasi Hukum Islam
sehingga biaya penetapan hadhanah selalu ditetapkan kepada ayah
oleh hakim.
Pada anak yang belum mummayiz belum dapat membedakan mana
yang bermanfaat dan berbahaya bagi dirinya, masih sangat
membutuhkan pengasuhan seorang ibu. Karena ibu memiliki
kesabaran, ketelatenan, dan sikap lemah lembut dibanding seorang
ayah sehingga. Pemeliharaan anak lebih diyakini terjamin pada ibu
oleh karenanya hadhanah ada pada ibu, seperti contoh seorang bayi
yang masih membutuhkan air susu ibunya dan tidak dapat digantikan
dengan susu instan, sehingga anak tersebut tidak dapat hidup tanpa
ASI maka demi kemaslahatan anak tersebut walaupun seorang ibu
telah gugur hak asuhnya, seperti murtad, menikah lagi dengan orang
lain namun hak asuh tersebut tetap dapat dimiliki oleh ibunya.
2) Kebutuhan jiwa
Kebutuhan jiwa yaitu kebutuhan akan rasa aman, kasih sayang,
perlindungan. Dalam hal ini pada anak yang belum mummayiz,
seorang ibu dianggap lebih mampu memberikan kebutuhan jiwa
tersebut sedangkan pada anak yang sudah mummayiz, telah
mengetahui kebutuhan akan jiwanya, orang tuanya yang manakah
lebih mengetahuinya, siapakah yang lebih memperhatikannya,
Universitas Sumatera Utara
menyayanginya dan pada siapakah dia merasa nyaman, maka
pernyataannya merupakan pertimbangan bagi hakim.
2. Kondisi orang tua (ibu)
a. Ibu yang tidak cacat hukum yaitu seorang ibu yang memenuhi seluruh
syarat dan pemegang hadhanah yaitu sudah dewasa, berakal, beragama
Islam, amanah, memiliki kepribadian yang baik yang dapat menjadi
contoh terhadap anak-anaknya.
Anak yang belum mummayiz, hak asuhnya selalu ada pada seorang ibu
yang tidak cacat hukum, kecuali ibu yang tidak cacat hukum tersebut
mendapat penyakit atau cacat badan sehingga ia tidak bisa melaksanakan
kewajibannya sebagai ibu untuk mengurus anak-anaknya. Sedangkan jika
anak tersebut sudah mummayiz maka walaupun ibu tidak cacat hukum tapi
haknya
dalam
memilih
diantara
kedua
orang
tuanya
tetap
dipertimbangkan.
b. Ibu yang cacat hukum
Seorang ibu yang cacat hukum tidak dapat memiliki hak asuh pada anak
belum mummayiz dan sudah mummayiz
Cacat hukum yang dimaksud adalah :
2) Apabila seorang ibu terbukti melakukan perbuatan tercela seperti
berjudi, pemabuk, berbuat zinah, berdasarkan Pasal 109 Kompilasi
Hukum Islam dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam.
3) Apabila seorang ibu terbukti sering melakukan kekerasan terhadap
Universitas Sumatera Utara
anak-anaknya baik kekerasan fisik maupun mental yang dapat merusak
pertumbuhan anak.
4) Apabila seorang ibu mendapat hukuman penjara akibat perbuatannya.
5) Apabila seorang ibu murtad yang mengakibatkan dia tidak seiman
dengan anak yang dilahirkannya, maka hak asuhnya gugur karena anak
yang dilahirkan secara Islam harus dibesarkan secara Islam juga
sehingga orang yang mengasuh anak tersebut harus seiman dengan
anak tersebut. Dalam hal ibu berpindah agama, jika pindah agama
sebelum proses hadhanah harus digugat dan dibuktikan gugatannya
bahwa istri pindah agama dan bila berpindah agama setelah proses
hadhanah maka suami ajukan gugatan hak dengan alasan istrinya
murtad, dalam hal ini hakim memberikan hak hadhanah pada ayah.
6) Apabila seorang ibu terbukti menelantarkan anaknya menyia-nyiakan
anaknya, tidak memeliharanya, merawat dan mendidiknya, padahal b
iaya hadhanah tetap diberikan ayahnya, maka hak hadhanah dapat
dipindahkan hakim kepada ayahnya.
3. Isi putusan hadhanah
Dalam kasus hadhanah hakim biasanya memutuskan penetapan hadhanah
pada ibu dan penetapan biaya hadhanah ada pada ayah, namun putusan yang
ditetapkan hakim tergantung pada permohonan penggugat, dalam hal ini yaitu:
a. Penetapan hadhanah
Biasanya penetapan hadhanah belum mummayiz ada pada ibu, apabila ibu
tersebut cacat hukum maka dapat beralih pada ayah. Jika penggugat
Universitas Sumatera Utara
seorang ibu hanya memohon penetapan hadhanah saja biasanya ibu
tersebut mampu secara finansial sehingga ia tidak memerlukan bantuan
mantan suaminya dan memohonkan kepada hakim untuk penetapan biaya
hadhanah. Jika penggugat seorang ayah, maka dia tidak dapat
memohonkan penetapan biaya hadhanah karena hal itu merupakan
kewajibannya (berdasarkan Pasal 105 huruf C Kompilasi Hukum Islam).
Tetapi seorang ayah dapat juga menuntut penetapan sebagai hadhanah
apabila dia mampu membuktikan bahwa ibu dari anaknya tidak mampu
untuk mengurus anaknya, dalam hal ini cacat hukum.
b. Penetapan biaya hadhanah
Hakim selalu memutuskan penetapan biaya anak pada seorang
ayah sesuai pasal 156 Huruf d dan Huruf e Kompilasi Hukum Islam,
namun jumlah biaya yang dimohonkan penggugat selalu dipertimbangkan
hakim dengan kemampuan tergugat yaitu harus memenuhi rasa keadilan
seperti yang dimaksud pada Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam.
Permohonan penetapan biaya hadhanah ini biasanya dimohonkan
tergugat karena hilangnya tanggung jawab seorang ayah setelah perceraian
dan penggugat (ibu) secara finansial kurang mampu membiayai sendiri
kebutuhan anak-anaknya.
E. Karakter Hadhanah menurut Pandangan Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
Dalam pandangan hukum Islam maka karakter hadhanah adalah : 98
a. Kondisi anak
Dalam hukum Islam tidak ada batas usia hadhanah ditentukan seperti didalam
Undang-Undang, namun kedewasaan anak hanya dilihat dari balighnya
seorang anak tersebut baik itu laki-laki maupun perempuan, jika anak masih
belum baligh dan belum dapat membedakan kebaikan dan keburukan untuk
dirinya, maka anak tersebut adalah hak seorang ibu dalam mengasuhnya,
tetapi jika sudah baligh maka dapat ditanyakan kepada anak tersebut untuk
memilih dengan siapa anak tersebut ikut “bahwasannya Nabi Muhammad
SAW, telah menyuruh seorang anak yang sudah mengerti untuk memilih
tinggal bersama bapaknya atau ibunya” (Riwayat Ibnu majah dan Tirmizi).
Namun dalam Islam tanggung jawab penuh memelihara dan membiayai
kehidupan anaknya adalah seorang ayah (berdasarkan Q.S. At. Tahrim : 6),
artinya, memelihara dan mengasuh anak merupakan kewajiban ayah namun
jika ia dapat melakukannya maka ia wajib membayar upah kepada wanita
yang mengasuh anaknya tersebut.
Ajaran Islam bertujuan mempersiapkan anak menjadi qurratu a’yun
(penyejuk hati) karena anak merupakan karunia dan amanah yaitu anak
sebagai fitrah dalam hidup (yang diatur dalam QS Al-kahfi), anak sebagai
hiasan dalam keluarga (yang diatur dalam QS Al-Taghabun), dan anak
sebagai penyejuk hati (QS Al-Furqon).
Berdasarkan hal di atas maka dalam sengketa hadhanah kemaslahatan
98
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ulama Ahmad Zuchri, Ketua Komisi Fatwa dari
Majelis Ulama Indonesia di Kota Medan pada tanggal 5 Juli 2013.
Universitas Sumatera Utara
anak yang paling diutamakan.
b. Kondisi ibu
a. Ibu yang hadhanahnya tidak gugur
Seorang ibu dapat tetap memiliki hak asuh terhadap anaknya
apabila syarat-syaratnya sebagai hadhin terpenuhi, antara lain : dewasa,
berakal, beragama Islam amanah, bertempat tinggal yang sama dengan
anaknya.
b. Ibu yang hadhanah nya gugur yaitu :
1) Apabila ibu fasik atau pengetahuan agamanya kurang. Hak seorang ibu
mengurus anaknya gugur jika ia fasik dan pengetahuan agamanya
kurang karena ibu tersebut dianggap tidak akan dapat mendidik
anaknya dengan baik.
2) Jika ibu kafir (telah berpindah agama)
3) Jika ibu sudah menikah lagi
Sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW “Engkau lebih berhak
mengasuhnya, selama engkau belum kawin dengan lelaki lain” (HR
Tarmizi, Al-Bahaqi dan Al-Hakim).
4) Jika ibu tersebut pergi ke tempat yang jauh
Hal ini menyebabkan gugurnya hadhanah karena jika ibu pergi jauh,
menyebabkan ayah anak yang diasuh tidak dapat mengunjungi
anaknya sehingga anak juga dapat merasakan kehilangan kasih sayang
seorang ayah.
5) Jika ibu mengidap penyakit
Universitas Sumatera Utara
Jika ibu mengidap penyakti yang membahayakan haknya dalam
hadhanah gugur karena bisa membahayakan anak yang diasuhnya
bahkan dirinya sendiri belum tentu ia mampu mengurusnya akibat
penyakitnya tersebut, sudah tentu untuk merawat anaknya akan
menjadi beban baginya.
6) Jika ibu tersebut gila atau idiot
Jika hak hadhanah ibu gugur maka ayah dapat mengasuh anaknya
dengan syarat didampingi wanita lain yang dapat membantunya dan
mempunyai kaf’ah dalam mengasuh anak yaitu Islam, baligh, waras
akalnya, amanah, mampu mendidik anaknya.
Menurut pendapat ulama hadhanah yang telah gugur itu dapat kembali
kepada ibu yakni sesuai dengan pendapat : 99
1. Ulama Malikiyyah dalam pendapat yang masyhur berkata, “Jika hak seorang
ibu telah gugur karena adanya uzur, seperti sakit, tempat yang
membahayakan, pergi atau pindah tempat, dan pergi untuk menunaikan,
ibadah haji, kemudian uzur itu hilang karena sembuh dari penyakit atau
tempatnya sudah aman, atau pulang dari bepergian maka haknya dalam
hadhanah kembali lagi. Karena, uzur atau penghalang yang menggugurkan
haknya telah hilang. Kaidahnya menyebutkan, “Jika penghalangnya lenyap
maka sesuatu yang tadinya terlarang menjadi tidak.
Adapun jika seorang ibu menikah lagi dengan seorang lelaki lain yang
bukan mahram dan melakukan hubungan suami istri, atau ia pergi jauh tanpa
uzur, namun kemudian menjanda lagi baik karena cerai, nikahnya batal,
maupun cerai mati, atau ia kembali lagi dari perjalanan jauh yang tidak ada
uzur maka haknya untuk mengurus anak tidak kembali lagi meskipun
penghalangnya sudah tidak ada. Alasannya karena gugurnya hak hadhanah itu
dari dirinya sendiri dan tidak ada uzur.
2. Ulama Hanafiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah berpendapat, “Jika hak ibu
gugur karena ada penghalang, namun kemudian penghalang itu lenyap maka
hak hadhanah itu kembali lagi kepadanya, baik penghalang itu karena
terpaksa seperti sakit, atau penghalang itu karena keinginan sendiri seperti
99
Ad-Durrul Mukhtaar, Vol. 2, hlm. 880, ; asy-Syarhush Shaghiir, Vol.2, hlm. 763 ;
Mughnil Muhtaaj, Vol.3, hlm. 456 ; Kasysyaaful Qinaa’, Vol. 5, hlm. 580.
Universitas Sumatera Utara
nikah, bepergian, dan fasik.” Akan tetapi, menurut Hanafiyyah hal itu harus
langsung tanpa menunda-nunda waktu bagi perempuan yang dicerai ba'in
meski sebelum selesai iddahnya, namun jika dicerai ba’in meski sebelum selesai
iddahnya, namun jika dicerai raj’i maka ia harus menunggu masa iddahnya dulu.
3. Ulama Syafi'iyyah berpendapat bahwa wanita yang dicerai masih berhak
mengurus hadhanah anaknya secara langsung sebelum selesai iddahnya, dengan
syarat mendapat izin atau ridha dari suami. Namun jika suami tidak memberi izin
atau tidak ridha maka wanita itu tidak berhak atas hadhanah anaknya.
4. Ulama Hanabilah sendiri menetapkan bahwa wanita yang dicerai tetap berhak
mengurus hadhanah anaknya, meskipun cerai raj'i dan belum selesai masa
iddahnya.
Universitas Sumatera Utara
Download