POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh Nur Qomari NIM 03210092 FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MALANG 2008 i MOTTO ÉΟŠÏm§9$# Ç≈uΗ÷q§9$# «!$# ÉΟó¡Î0 È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹tym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ ∩⊇⊄∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)‾=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatungkatung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Surat an-Nisa’:129) ii HALAMAN PERSEMBAHAN Bismillahirrohmanirrohiim… Dengan iringan do'a & ketulusan hati Skripsi ini kupersembahkan kepada: Ibu & Bapak Tercinta (Nakiyatun & Ahmad Nafik) Yang telah percikkan kasih Dan do'anya selalu mengalir tulus tiada henti-hentinya Ka2' & Ade'q Tersayang (Makhfud, Nurul Hasana & Izam, Izal) Yang Selalu Menghiburku dan Membuatku tersenyum The Best Friend (Anak kos-kosan 60B) Yang ta' pernah surut memberikan sumbangan dorongan & Motivasi yang telah membuatku mengerti akan makna persahabatan Teman2ku Syari’ah "03 Sahabat-sahabatiku PMII Rayon Al-Faruq Thank's All Tanpa bantuan & kerjasama kalian, Karya ini mungkin belum selesai iii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Demi Allah, Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan, penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul: POLIGINI DALAM PERSFEKTIF TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi hukum. Malang, 07 Juni 2008 Penulis, Nur Qomari NIM 03210092 iv HALAMAN PERSETUJUAN POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR SKRIPSI oleh: Nur Qomari NIM: 03210092 Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan, Oleh Dosen Pembimbing: Drs.H. Isroqunnajah, M.Ag NIP. 150 278 262 Mengetahui, Dekan Fakultas Syari’ah Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag NIP. 150 216 425 v PERSETUJUAN PEMBIMBING Pembimbing penulisan skripsi saudara Nur Qomari, NIM 03210092, mahasiswa Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca, mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka skripsi yang bersangkutan dengan judul: POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada majelis dewan penguji. Malang, 07 Juni 2008 Pembimbing, H.ISROQUNNAJAH, M.Ag NIP. 150 278 262 vi PENGESAHAN SKRIPSI Dewan penguji skripsi saudara Nur Qomari, NIM 03210092, mahasiswa Fakultas Syari’ah angkatan tahun 2003, dengan judul POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR Telah dinyatakan LULUS dan berhak menyandang Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) Dengan Penguji: 1. Noer Yasin, M.Hi NIP. 150 320 234 (...………………..............) Ketua Penguji 2. Drs.H.Isroqunnajah, M.Ag NIP. 150 278 262 (...............………………..) Sekretaris 3. Dra. Hj.Tutik Hamidah M.Ag NIP :150 224 886 (……...................………..) Penguji Utama Malang, 07 Juni 2008 Dekan, Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag NIP : 150 216 425 vii KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbil'alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. beserta keluarga serta sahabatnya. Semoga kita termasuk umat yang mendapatkan syafa'at beliau di akhirat kelak. Amiin. Skripsi yang membahas tentang "Poligini dalam Persfektif Teori Batas Muhammad Syahrur" ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, dengan mencurahkan segala usaha yang ada serta dengan dukungan dari berbagai pihak skripsi ini akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, ungkapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada: 1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 2. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. 3. H.Isroqunnajah, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa meluangkan waktu dan tidak pernah lelah dalam memberikan arahan serta bimbingan demi kebaikan penulisan skripsi ini. 4. Drs. Badrudin, M.Ag, selaku dosen wali penulis selama kuliah di Fakultas Syari’ah UIN Malang. viii 5. Segenap dosen Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang yang telah membimbing dan mencurahkan ilmunya kepada kami. 6. Semua keluargaku, kedua orang tua tercinta (Bapak Ahmad Nafik dan Ibu Nakiyatun) yang telah banyak memberikan motivasi dan juga do’anya yang selalu mengiringi dalam setiap aktifitasku, sehingga skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik. Terutama kakakku dan adikku yang telah memberikan motifasi. 7. Teman-teman karib penulis di Jl. Joyosuko yang telah memberikan semangatnya selalu. 8. Teman-teman Fakultas Syari'ah angkatan 2003. 9. Teman-teman PKLI tahun 2006 Fakultas Syari'ah khususnya PKLI Blitar. 10. Sahabat-sahabatiku PMII khususnya Rayon Radikal Al Faruq. Semoga bantuan dan jerih payah tersebut dapat menjadi tabungan amal saleh, dan hanya Allah SWT sajalah yang dapat membalas kebaikan semuanya. Akhirnya semoga skripsi ini, dapat bermanfaat bagi kami khususnya serta memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi para pembaca umumnya. Malang, 07 Juni 2008 Penulis ix TRANSLITERASI Di dalam naskah ini banyak di jumpai nama dan istilah teknis yang berasal dari bahasa Arab dengan huruf Latin. Pedoman yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Konsonan Arab Arab ﺍ Latin Tidak dilambangkan ﻁ Latin Th ﺏ B ﻅ Dh ﺕ T ﻉ ‘ (koma terbalik) ﺙ Ts ﻍ Gh ﺝ J ﻑ F ﺡ H ﻕ Q ﺥ Kh ﻙ K ﺩ D ﻝ L ﺫ Dz ﻡ M ﺭ R ﻥ N ﺯ Z ﻭ W ﺱ S ﻩ H ﺵ Sy ﻱ Y ﺹ Sh ﺓ t (bila ditengah kalimat), h (bila diakhir kalimat) ﺽ Dl ء/ا = Apabila terletak diawal mengikuti vokal, tapi apabila terletak ditengah atau diakhir kata maka dilambangkan dengan tanda koma diatas (’), berbalik dengan koma (‘) pengganti lambang “”ﻉ. x 2. Vokal, Panjang Dan Diftong Vokal Panjang Diftong (misal) a = Fathah â = a panjang ـَـ = aw i = Kasrah î = i panjang ـَـــ = ay u = Dlommah û = u panjang xi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i HALAMAN MOTTO ............................................................................................. ii HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................... iv HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... vi HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... vii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. viii KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix TRANSLITERASI .................................................................................................. x DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii ABSTRAK ............................................................................................................ xv BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 11 C. Batasan Masalah .......................................................................................... 12 D. Rumusan Masalah ....................................................................................... 12 E. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 12 F. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 12 G. Metodologi Penelitian ................................................................................. 13 H. Penelitian Terdahulu ................................................................................... 19 I. Sistematika Pembahasan ............................................................................. 22 xii BAB II : KAJIAN TEORI A. Pengertian Poligini ..................................................................................... 23 a. Pendekatan Historiografi Poligini Nabi Muhammad ............................ 25 b. Hikmah Poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad....................... 27 B. Hukum Poligini ........................................................................................... 35 C. Syarat-syarat Poligini .................................................................................. 42 a. Pengertian Adil dalam Poligini .......................................................... 43 b. Alasan Poligini dibatasi hanya Empat Istri ....................................... 45 c. Poligini sebagai Solusi dan Pilihan Bersyarat .................................... 46 d. Dampak Poligini ................................................................................ 47 e. Monogami:Asas Perkawinan Islam ................................................... 50 D. Pembahasan Ayat dengan Metode Ushul Fiqih .......................................... 53 BAB III: BIOGRAFI MUHAMMAD SYAHRUR A. Sketsa Historis ............................................................................................. 61 1. Biografi Intelektual ......................................................................... 61 2. Latar Belakang Intelektual .............................................................. 63 3. Latar Belakang Keagamaan .......................................................... 64 B. Kegiatan, Karir dan Karya-karya Muhammad Syahrur ............................ 73 C. Kontruksi Metodologi Muhammad Syahrur ............................................... 75 1. Turats, Modernitas dan Realitas Masyarakat Umat Islam ............... 80 2. Dialektika Tradisi dan Modernisme................................................. 85 D. Model Penafsiran Muhammad Syahrur ...................................................... 86 1. Pendekatan Linguistik...................................................................... 87 2. Pendekatan Scientifik....................................................................... 91 xiii E. Terma-terma dalam al-Kitab wa al-Qur’an dan Kategorisasi Al-Qur’an ... 92 BAB IV: TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR A. Pengertian Teori Batas dan historisitasnya .................................................. 95 1. Batas Minimum Ketika Berdiri Sendiri ......................................... 102 2. Batasan Maksimum Berdiri Sendiri ............................................... 103 3. Batasan Minimal dan Maksimal Bersamaan.................................. 105 4. Perpaduan antara Batas Minimum dan Batas Maksimum ............ 106 5. Posisi Batas Maksimal dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan .................................................................................... 107 6. Bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif dan batas minimum pada daerah negatif............................................... 108 B. Penggunaan Teori Batas Muhammad Syahrur dalam Masalah Poligini.... 112 1. Batas-batas dalam sisi Hadd fi al-Kamm (Kuantitas) .................... 115 2. Batas-batas dalam sisi Hadd al Kaif (Kualitas) ............................ 117 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................... 131 B. Saran-saran ................................................................................................ 133 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN xiv Abstrak Nur Qomari. 2008. Poligini dalam Perspektif Teori Batas Muhammad Syahrur, Skripsi, Jurusan Al-Ahwal As-Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen Pembimbing: Drs.H.Israqunnajah M.Ag Kata Kunci: Poligini, Teori Batas, Muhammad Syahrur Melalui karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah Mu`âshirah, Syahrur menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu pendekatan baru dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamât dalam al-Qur’an. Teori batas yang digunakan mengacu pada pengertian “batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh di langgar, tapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.” Selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. Syahrûr membangun teori batas, yang di dasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah yakni al-hanîf dan al-istiqâmah. Berangkat dari dua kata kunci di atas, Syahrur kemudian merumuskan teorinya yang banyak memancing kontroversi. Bagaimana penerapan teori batas pada poligini yang terjadi pada masa sekarang. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mendeskripsikan teori batas. Penggunaan teori batas dalam Poligini. Dari kedua pokok permasalahan tersebut, peneliti mencoba memaparkan historisitas teori batas dan penggunaanya dalam poligini. Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research), penelitian ini juga termasuk historis faktual, karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang. Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-eksplanatoris menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun data penelitian ini di kumpulkan melalui studi dokumen atau dokumentasi. Sedangkan analisis datanya menggunakan Content Analysis atau analisis isi buku. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Muhammad Syahrur menerapkan teori batas dalam poligini dengan persyaratan esensial, agar poligini yang dilakukan oleh umat Islam dapat bermanfaat secara sosial bagi pelaku poligini dan orang yang di poligini, maka syarat pertama adalah melibatkan janda yang memiliki anak sebagai istri kedua, ketiga dan keempat. Kedua, harus ada keadilan diantara para anak dari istri pertama dan anak-anak yatim dari janda yang dinikahi berikutnya. Kalau tidak memenuhi dua syarat tersebut, maka perintah poligini akan menjadi gugur. Karena dalam poligini tersebut akan memberikan kemahdharatan dibandingkan dengan kemaslakhatan. Dilihat dari persyaratan tersebut, ada perbedaan pemikiran antara Syahrur dengan ulama’-ulama’ lainnya yaitu istri kedua sampai keempat harus janda yang memiliki anak. Sedangkan ulama’-ulama lain hanya mempersyaratkan harus bersikap adil terhadap istri, sedangkan menurut Syahrur adil kepada istri tidak wajib. Namun yang wajib berlaku adil adalah ditujukan kepada anak-anak dari istri yang kedua sampai keempat. Karena manusia tidak akan sanggup berbuat adil terhadap semua istri, pasti ada sedikit condong pada salah satu istri. xv 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pemikiran ke Islaman sepanjang sejarah telah menunjukkan adanya varian-varian. Varian itu berupa metodologi, kerangka berfikir dan orientasi yang berbeda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya. Fenomena seperti ini pada dasarnya muncul sejak zaman Rasul dan al-Khulafa al-Rasyidun. Pada masa itu sudah ada kecenderungan pemikiran, jika dipetakan memunculkan madrasah hadîst di satu sisi dan madrasah ra’yî pada sisi lain.1 Menurut Harun Nasution situasi keberagamaan umat Islam pada masa sekarang cenderung menampilkan kondisi keagamaan yang legalistik-formalistik. 1 Anjar Nugraha, “Pemetaan dan Diskusi Pemikiran Islam Timur Tengah Era Modern”,http//www. pemikiranislam.wordpress.com com2007073156 - 73k, (diakses pada 22 Mei 2007),1. 1 2 Agama harus dimanifestasikan kedalam bentuk ritual formal, sehingga muncul formalisme keagamaan yang lebih mementingkan bentuk daripada isi. Kondisi semacam ini menyebabkan agama kurang dipahami sebagai perangkat paradigma moral dan etika yang membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Di kala dunia Islam dari abad VII sampai abad ke XIII berada dalam zaman keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu pengetahuan di dunia Islam terutama di Andalusia dan Sisilia. Kegiatan yang sebagian besar stimulasinya dari kontak dengan dunia Islam, ternyata menjadi jalan bagi kebangkitan kembali (renaissance) dan selanjutnya menghantarkan Eropa Barat kepada priode sejarah umat manusia yang baru yaitu abad modern.2 Di saat Eropa memasuki zaman renaissance yang membawa ke zaman modern, justru umat Islam mulai menurun dan terjerembab ke zaman kemunduran. Tetapi pada perkembangan selanjutnya di Eropa, timbul persoalan mendasar, yaitu terjadi pertentangan antara ilmuwan dan agamawan. Ilmuwan beranggapan bahwa ilmu pengetahuan dan filsafat bertentangan dengan doktrin agama. Ilmu pengetahuan berkembang diluar agama, sehingga timbullah sikap sekuler di dunia ilmu pengetahuan dan teknologi.3 Kemunduran yang terjadi pada umat Islam terdapat dua sebab yaitu secara eksternal dan internal. Faktor eksternal ini dimulai sejak runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani diakibatkan oleh kolonialisme Barat, yang telah mengekang dan membatasi perkembangan pemikiran umat Islam, namun dengan pengekangan 2 Syahrin Harahap, al-Qur’an dan Sekulerisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husain (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994),1. 3 Ibid. 3 terhadap pemikiran tersebut, maka umat Islam berusaha untuk bangkit dari keterpurukan dalam pemikiran sehingga tampil lebih variatif. Kolonialisme cukup lama mengendalikan sendi-sendi kehidupan negara-negara Islam, termasuk kehidupan intelektualisme. Kolonialisme membuat kondisi umat Islam dilemahkan (mustadh’âf) di sektor pemikiran keislaman, sehingga yang muncul adalah kebekuan cara berfikir dan merajalelanya tradisi taqlid. Kondisi ini mendorong lahirnya pembaharuan pemikiran yang masing-masing menawarkan diri sebagai gerakan pemikiran alternatif.4 Kebekuan pemikiran Islam dari faktor internal, jika ditelusuri kebelakang sampai penggalan sejarah Islam zaman pertengahan. Dimana pemikiran Islam kritis dan rasional-pasca Ibnu Rusyd-terasa mati karena pandangan bahwa pintu ijtihad telah ditutup dan rasionalisme dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif. Ketika itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan, bahkan pemikirnya di hukum mati dan fatwa kafir (takfîr) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang bukan dari Islam. Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah alGhozali (1058-1111M) menggugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam bukunya, Tahafut al-Falasifah (kerancuan atas para Filosof).5 Sehingga fenomena saling hujat antar sesama pemikir muslim tidak bisa dihindari lagi. Setelah umat Islam sadar akan kemunduran yang dialami oleh generasigenerasi penerusnya, maka munculla gelombang kesadaran umat Islam untuk mendobrak pintu kemunduran. Pada gilirannya lahirlah pemikiran-pemikiran alternatif berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik, 4 5 Ibid,3. Harun Nasution, Filsafat Ilmu dan Misticisme (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),34 -36. 4 perkembangan pemikiran secara dikotomis menempati atas ahlu al-hadîs dan ahlu ar-ra’yî, walau dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan beraneka macam varian baru. Pada dasarnya gerakan pemikiran alternatif ingin tampil sebagai gerakan pemikiran pembaharu dalam menghadapi perkembangan dunia modern. Namun pada kenyataannya muncul perdebatan yang tidak sebatas perang wacana (clash of discourse) tapi juga pergeseran dalam ranah politik (clash of politic).6 Gerakan-gerakan pemikiran umat Islam khususnya di Timur Tengah muncul dan berkembang dari latar belakang situasi sosio-politik seperti tergambar di atas. Gerakan-gerakan itu dalam tataran idealisme, berada dalam persepsional yang sama antara gerakan pemikiran satu dengan yang lain, tetapi dalam tataran corak atau aksentuasi intelektualitas dan orientasi mereka berbeda, bahkan dalam banyak kasus bertolak belakang. Walaupun banyak perbedaan antara satu pemikir dengan pemikir lainya tetapi mereka semua punya tujuan yang sama yaitu ingin memberikan wacana baru dalam pemikiran ke islaman. Perubahan yang terjadi dalam pemikiran ilmu-ilmu agama dan kajian keislaman yang dilakukan oleh pembaharu tidak serta merta menghapus tradisi keilmuan lama yang telah ada sebelumnya. Karena masih ada kesinambungan berkelanjutan antara tradisi keilmuan lama dengan paradigma baru.7 Fenomena pemikiran keislaman ini ternyata tidak hanya muncul dari sarjanasarjana agama yang senantiasa bergelut dengan turats dan pemikiran keislaman, tetapi juga muncul dari kalangan saintifik yang peduli terhadap Islam dan 6 Ibid,3. Amin Abdullah, “Continuity and Change dalam Ilmu-ilmu Agama; Meneropong Kegelisahan Akademik Ilmuan Islamic Studies Kontemporer,” www.dipertais.net Swara warta 10-04. asp-30K, (diakses pada Jum’at 14 Desember 2007),1. 7 5 kedinamisannya. Salah satu pemikir tersebut adalah Muhammad Syahrûr yang selanjutnya disebut Syahrûr. Pemikiran Syahrûr muncul sebagai tanggapan atas kegelisahan dalam melihat fenomena pemikiran Islam yang menetapkan hukum lama yang diterapkan dikehidupan sekarang dengan menggunakan alat yang dipakai pada zaman lampau tanpa mengetahui dasar dan metode ijtihatnya. Hal ini menimbulkan kesan seolaholah Islam tidak sholihun likulli zamanin wa makanin, tetapi hanya sesuai dengan masyarakat Arab pada zaman Rasul dan Sahabat. Oleh karena itu, menurut Syahrûr perlu adanya reinterpretasi terhadap nash, agar nash tersebut sholihun likuli zamanin wa makanin.8 Kegelisahan tersebut dapat diilustrasikan lewat teori sosial greed tradision dan litle tradision. Bahwa perubahan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan hukum ketika berinteraksi dengan dunia internasional selalu melibatkan proses dialektika yang intensif antara konsep, ide, keyakinan dalam wilayah kehidupan konkrit pada penggalan sejarah tertentu. Perubahan akan terjadi ketika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong lebih besar dibandingkan dengan keilmuan yang ada dan mapan sebelumnya.9 Berawal dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an sholihun likuli zamanin wa makanin, maka umat Islam harus selalu mendialogkan antara al-Qur’an sebagai teks, dengan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat Islam sebagai 8 Yusuf Qardhawi, Prioritas Gerakan Islam: Antisipasi Gerakan Masadepan (Jakarta: al-Islahy Press, 1993),19. 9 Ibid,2. 6 konteks yang tidak terbatas. Dengan kata lain, umat Islam dituntut untuk selalu menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan konteks sosio-historis yang selalu berubah.10 Sejarah mencatat bahwa al-Quran berpengaruh besar dalam melahirkan sebuah peradaban yang oleh Nasr Hamid Abu Zaid di klaim sebagai “peradaban teks”.11 Sebagai teks, al-Quran adalah korpus terbuka yang sangat potensial untuk menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa pembacaan, penerjemahan, penafsiran hingga menjadi sebuah sumber rujukan. Kehadiran teks al-Quran ditengah umat Islam telah melahirkan pusat wacana keislaman yang tidak pernah berhenti dan menjadi inspirasi bagi manusia untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Maka dapat di katakan, bahwa al-Quran hingga kini masih menjadi inti dalam peradaban umat manusia.12 Berbagai isu yang paling representatif dalam mengkaji al-Qur’an dengan munculnya buku Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah. Buku ini fenomenal, sebab satu sisi dinyatakan sebagai the best seller book di Timur Tengah, dan di sisi lain, buku ini memiliki watak kontroversial yang melahirkan sikap pro dan kontra. Nama-nama seperti Wahbah al-Zuhaili, Salim al-Jabi, Thahir al-Syawwaf, dan Khalid al-`Akk adalah di antara mereka yang kontra terhadap buku itu. Sebaliknya, Wael B.Hallaq, Dale F.Eickelman dan Halah al-Quri adalah di antara mereka yang pro dan menunjukan kekaguman terhadapnya.13 10 Dwi Rina Khusniwati, “Menggagas Tafsir al-Qur’an Kontemporer yang Humanis dan Progresif,”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02, (Juli , 2006),353. 11 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash:Dirasah fi ulumil al-Quran (Bairut: Markaz as-Saqafi alArabi, 1994),9. 12 Ibid. 13 Ibid. 7 Dualisme penilaian ini ternyata tidak hanya bergema ditingkat individual, tetapi membawa implikasi di tingkat kenegaraan. Pemerintah-pemerintah seperti Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab, secara keras melarang peredaran buku itu kenegaranya. Tetapi di pihak lain, Sultan Qaboos di Oman, malah memberikan penilaian yang positif, sampai ia membagi-bagikan buku itu kepada para menterinya, dan merekomendasikan mereka untuk membacanya.14 Syahrûr menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu pendekatan baru dalam berijtihad, yang digunakan untuk mengkaji ayat-ayat muhkamat (ayatayat berisi tentang pesan hukum). Terma limit yang digunakan Syahrûr mengacu pada pengertian (batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tetapi di dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel dan elastis). Teori batas Syahrûr juga mempertanyakan akurasi analisis dan kerangka keilmuan klasik jika harus diterapkan seluruhnya di era kontemporer, kesemuanya ini hanyalah dimaksudkan untuk pengembangan dan pengayaan wacana analisis keilmuan dan penelitian dirasat islamiyyah.15 Al-Qur’an, dalam pengertian khas Syahrûr berarti bagian tertentu dari kitab suci yang bertemakan pengetahuan objektif. Al-Qur’an dibaca dan di pahami bukan melalui prisma abad-abad jurisprudensi, melainkan seolah-olah Rasulallah baru saja wafat dan memberitahukan kepada kita tentang kitab tersebut. Ini pada gilirannya mendekontruksi sekaligus merekontruksi terhadap berbagai konsep, teori dan paradigma yang telah mapan menjadi mainstrim pemahaman, pemikiran, bahkan keyakinan mayoritas umat Islam. 14 15 Ibid. Irwan Masduki, Rekontruksi Nalar Fikih: Perpektif Para Sarjana Kontemporer, Op.Cit,5. 8 Syahrûr dengan kacamata linguistik, menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai kitab berbahasa Arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan: (al-I’jaz alBalaghi) dengan menggunakan pendekatan deskriptif signifikansi dan ilmiah (al-I’jaz al-Ilmi) yang digunakan dengan menggunakan pendekatan historis ilmiah.16 Pendekatan sastra dilakukannya dengan memadukan analisa sastra (balagha) dan analisa gramatika (nahwu). Kedua disiplin ilmu tersebut biasanya sebagai alat bantu untuk menganalisis teks-teks keagamaan secara kritis. Sedangkan pendekatan kedua adalah penolakkan terhadap fenomena sinonimitas dalam bahasa dan menuntut studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonim. Lebih jauh, Syahrûr juga menegaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu bagi manusia, diturunkan untuk dapat di pahami secara keseluruhan. Allah telah memberikan petunjuk kepada manusia untuk membuka rahasia pesan-Nya. Petunjuk ini berupa metode untuk memahami al-Qur’an yang oleh Syahrûr disebut dengan istilah, manhaj al-tartil, yang dapat diidentikan dengan metode intertekstualitas. Selanjutnya Syahrûr meletakkan metode ini sebagai salah satu prinsip utama dalam hermeneutika al-Qur’an yang diistilahkannya dengan al-takwil. Takwil menurut ahli ushul fiqih memiliki makna yang beragam. Ibnu Qudama berpendapat bahwa takwil adalah kemungkinan yang diperkuat oleh dalil sehingga dengan itu menjadi sangat mungkin dari makna yang ditunjukan oleh dzahirnya, atau bisa juga disebut serupa dengan pengalihan lafadz dari makna sebenarnya kepada makna metafora (majâz). Dapat diambil satu kesimpulan berdasarkan pendapat ini bahwa takwil dan majaz bertemu dalam satu titik bersamaan, yaitu pengalihan makna lahiriyah ke “makna dalam” sesuai konteks. 16 Ibid. 9 Takwil adalah ilmu untuk menyingkap makna nash yang berdasarkan pada pengetahuan (dirayah) penakwil. Takwil lebih berkaitan pada pengambilan kesimpulan, sedangkan tafsir lebih cenderung pada nash dan riwayat.17 Setelah berbicara al-Qur’an Syahrûr berpendapat bahwa sunnah Nabi adalah cermin kebenaran pertama (mir’ah al-shadiqah al-ula) yang mengilustrasikan interaksi antara al-Qur’an dan realitas objektif yang muncul saat diturunkanya wahyu, Muhammad dipandang sebagai mujtahid pertama yang merelatifkan ajaran absolut Ilahi melalui sunnahnya sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan situasi saat itu.18 Adapun terkait dengan ayat-ayat hukum, Syahrûr menggagas teori batas yang dapat disebut sebagai pembaharuan fikih Islam. Pada dataran ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Syahrûr sedang meletakkan dasar-dasar metodologi baru pembacaan teks keagamaan khususnya al-Qur’an.19 Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan pemikirannya, terlihat sikap berani dan kritis dalam melakukan pengkajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bertujuan melakukan penafsiran ulang sesuai dengan perkembangan sejarah antar generasi, sehingga diharapkan akan menegaskan eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus berubah.20 Penerapan teori batas dalam kasus poligini cukup menarik dan solutif, di tengah-tengah perdebatan umat tentang ketentuan poligini. Syahrûr berpendapat 17 Abdul Azis, “ Karakteristik Metodologi Tafsir Ma’ani al-Qur’an,”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02, (Juli , 2006),185. 18 Ibid,4. 19 Ibid,13. 20 Mukhtar Sadili, Kumpulan Resensi, muhtarsadili.blogspot.com 2006_08_01_archive.html-57k (diakses pada Jum’at 14 Desember 2007),2. 10 bahwa poligini tetap sebagai praktik perkawinan yang diakui oleh ajaran Islam, tetapi ada persyaratan-persyaratan khusus bagi yang ingin mengamalkannya. Ketentuan Islam tentang poligini yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di pahami sebagian umat Islam sebagai legitimasi untuk melakukan praktik poligini. Bahkan ada kalangan yang mengatakan bahwa poligini adalah sunah, yang baik dan perlu untuk dikerjakan asal syaratnya adil. Surat an-Nisa’ ayat 3 yang menjadi satusatunya dasar poligini menurut Syahrûr sebenarnya ayat itu tidak berbicara dalam konteks poligini, ayat ini meletakkan poligini pada konteks perlindungan terhadap anak yatim dan janda korban perang.21 Syahrûr menilai, bahwa poligini adalah permasalahan yang unik, khususnya bagi perempuan, serta menjadi permasalahan (qadhiyah) yang tidak kunjung selesai dibicarakan oleh masyarakat dunia. Jika ayat poligini ditinjau dari perpektif teori batas Syahrûr, maka akan terlihat bahwa permasalahan itu mempunyai ikatan yang erat antara dimensi kemanusiaan dan dimensi sosial. Karena batasan yang telah digariskan oleh Tuhan tidak akan lepas dari kondisi manusiawi, disamping juga memiliki hikmah bagi kehidupan manusia. Signifikansi penelitian ini adalah jika dilihat dari segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal kultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya. Oleh karena itu, secara umum penelitian ini menjadi penting karena penelitian yang 21 Shahiron Syamsudin, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer,(Yogyakarta: Penerbit eL-SAQ Press, 2004),426. 11 berkaitan dengan sebuah pemikiran, termasuk Islam, memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat terutama dalam masalah poligini. Atas dasar pemikiran itulah yang menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti pemikiran Syahrûr tentang poligini, karena pendapat Syahrûr berbedah dengan ulama’-ulama’ tafsir lain yang memberikan syarat harus dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya, sehingga dengan demikian, maka penelitian ini berjudul: POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRÛR B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalahnya adalah: 1. Apa maksud dari Teori Batas Muhammad Syahrûr? 2. Bagaimana penggunaan teori batas Muhammad Syahrûr terhadap masalah poligini? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai: 1. Untuk mengetahui maksud teori batas Muhammad Syahrûr. 2. Untuk mengetahui penggunaan teori batas Muhammad Syahrûr terhadap masalah poligini. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini di harapkan memiliki manfaat sebagai berikut: Manfaat secara teoritis: a. Sebagai wahana pengkajian ilmu dan wawasan yang baru bagi pengembangan hukum poligini, terutama di kalangan akademisi sebagai barometer tingkat pendidikan. 12 b. Sebagaai landasan dan acuan untuk penelitian poligini yang marak dikalangan masyarakat. c. Bagi penulis pribadi sebagai aplikasi keilmuan yang selama ini didapat dan sumbangsih pemikiran. E. Metodologi Penelitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber (data) primer, sehingga lebih sebagai penelitian dokumenter (dokumentary research). Penelitian ini juga termasuk dalam kategori historis faktual, karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang. Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-eksplanatoris. Penelitian ini berusaha memaparkan bangunan pemikiran ulama’ tentang ayat poligini sebelum akhirnya akan dideskripsikan kerangka pemikiran tokoh yang diteliti, yaitu pemikiran Muhammad Syahrûr dengan teori batasnya yang kemudian di terapkan dalam ayat poligini. Kemudian dilakukan analisis dengan interpretasi tentang substansi tokoh itu dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan. Pada akhirnya akan dijelaskan tentang bagaimana dan mengapa muncul karakteristik pemikiran dalam memaknai poligini padahal ayat yang di jadikan rujukan adalah dua ayat dalam surat an-Nisa’ ayat 3 dan 129. Sebelum masuk secara detail dalam pemikiran Syahrûr sekaligus mencari titik temu pemikiran mereka ke arah rekontruksi fiqih yang berkeadilan pada perempuan. Untuk memperoleh data tentang pemikiran Syahrûr peneliti menggunakan sumber-sumber primer berupa buku-buku Syahrûr yang ada relevansinya dengan penyusunan penelitian ini, dan sumber-sumber sekunder berupa buku-buku, kitabkitab, jurnal-jurnal yang terkait. 13 Data-data akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan instrumen analisis deduktif. Deduksi merupakan langkah analisis data dengan cara menerangkan beberapa data yang bersifat khusus untuk membentuk sebuah generalisasi Menggunakan deskriptif analitis juga bisa dengan pendekatan Content Analisis yakni menggambarkan secara umum objek yang akan di teliti.22 Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari buku-buku literatur dengan cara mempelajari dan meneliti permasalahan yang terkait dengan penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni data yang tidak berbentuk angka atau tidak dapat diangkakan, sebab dalam menganalisis data menggunakan kata-kata.23 Dalam hal ini meneliti kehidupan, latar belakang sosial Muhammad Syahrûr tentang munculnya teori batas terutama penerapannya dalam masalah poligini. 2. Metode Pengumpulan Data a. Sumber Data Sumber data ialah sumber darimana data itu diperoleh. Sebuah penelitian terdapat dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data skunder. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama. Baik berupa bahan pustaka yang berisikan 22 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UIPres, 1984),48. Sapari Imam Asyari, Suatu Petunjuk Praktis Metode Penelitian Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983),31. 23 14 pengetahuan ilmiah yang baru ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui ataupun gagasan.24 Dalam mengumpulkan data, peneliti mengambil dari buku-buku, artikel-artikel dan kitab-kitab klasik yang ada hubungannya dengan objek yang akan diteliti. Dalam penelitian ini sumber data primer yang digunakan adalah: 1. Muhammad Syahrûr (1990) Al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah Muashirah Kairo: Sina Publisher, Cet I, ( اب وأاان اءة ة )اآر اس ور 2. Muhammad Syahrûr, Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama’ “al-Ta’liq ala al-Rudud wa al-Muqalad allati sudirat haula al-Kitab wa al-Quran, Damaskus: Ahali, 1994 3. Muhammad Syahrûr, Al-Islam wa al-Iman: Manzumat al-Qiyam, Damaskus: Ahali, 1996. 4. Muhammad Syahrûr, Dirasah Islamiyah Mu’ashirah Nahwa Ushuly Jadidah Lil Fiqih Islamy, Damaskus: Ahali, 2000. 5. Muhammad Syahrûr, اد! ا و Sumber data skunder ialah bahan pustaka yang berisikan informasi tentang sumber data primer. Data Skunder juga bisa diartikan sebagai data yang diambil tidak dari sumber langsung melainkan sudah dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah. Data-data skunder merupakan pelengkap yang nantinya di korelasikan dengan data primer:25 24 Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Khusus, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),29. 25 Ibid, 29. 15 1. Ahmad Zaki Linguistik Mubarok. (dalam 2007. Pendekatan Strukturalisme al-Quran Kontemporer Tafsir “ala”M.Syahrûr). Yogyakarta: Penerbit, el-SAQ Press. 2. Abdul Majid Abdussalam al-Nuhtasib.1997. Visi dan Paradigma Tafsir al-Quran Kontemporer. Bangil: Penerbit al-Izzah. 3. A.Rahman I. Doi. 2002. Penjelasan Hukum-Hukum Allah (Syari’ah). Jakarta: Raja Grafindo Persada. 4. A.Khudori Soleh dkk. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit Jendela. 5. Muhammad Bagir Al-Habsyi. 2002. Fiqih Praktis Menurut AlQuran, As-Sunnah, Pendapat Para Ulama’. Bandung: Penerbit Mizan. 6. Shahiron Syamsuddin, 2004. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: el-SAQ Press. 7. Shahiron Syamsuddin, 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit el-SAQ Press. 8. Shahiron Syamsuddin. 2003. Hermeneutika al-Quran Madzhab Yogya. Yogyakarta: Penerbit Islamika. b. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data ialah proses yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan.26 Sedangkan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi atau telaah dokumen, yaitu menelaah teori batas terhadap masalah poligini. 26 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 24. 16 c. Teknik pengolahan data Pengolahan data adalah mengadakan sistematika terhadap bahan-bahan tertulis dan dimaksudkan dalam penelitian ini ialah:27 a. Editing Tahap pertama dilakukan untuk meneliti kembali data-data yang telah diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan data lain, dengan tujuan apakah data-data tersebut sudah mencukupi untuk memecahkan permasalahan yang diteliti dan meminimalisir kesalahan dan kekurangan data dalam penelitian serta untuk meningkatkan kualitas data. b. Classifaying Tahapan ini adalah mereduksi data dengan cara menyusun dan mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam pola tertentu untuk mempermudah pembacaan dan pembahasan sesuai dengan kebutuhan penelitian. c. Verifiying Pada tahapan ini adalah pembuktian kebenaran data untuk menjamin validitas data yang telah terkumpul. Di samping itu, untuk sebagian data peneliti memverifikasi dengan cara trianggulasi, yaitu mencocokkan antara hasil dari data satu dengan data yang lainnya sehingga dapat disimpulkan secara proporsional.28 27 Ibid, 409-410. M. Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2006), 223. 28 17 d. Analising Analisis terhadap data penelitian dengan tujuan agar data yang telah diperoleh tersebut bisa untuk mudah dipahami. Analisis ini menggunakan teori-teori yang relevan, artinya teori yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Teori yang digunakan adalah analisis apresiatif kritis artinya peneliti menghargai sekaligus menggunakan daya kritis terhadap poligini dalam perspektif teori batas. e. Concluding Pada tahapan ini adalah pengambilan kesimpulan dari data-data yang telah diolah untuk mendapatkan suatu jawaban. Peneliti membuat kesimpulan atau menarik poin-poin penting yang kemudian menghasilkan gambaran secara ringkas, jelas dan mudah di pahami tentang poligini dalam perspektif teori batas. d. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul, maka data dianalisis untuk mendapatkan konklusi. Analisis data ialah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Adapun metode yang penulis gunakan untuk menganalisis data adalah: 1) Metode Kajian isi (content analysis) Sesuai dengan data yang diperoleh dari penelitian ini, maka teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis seperti yang diungkapkan oleh Holsti, yang dikutip oleh Lexi J. Moleong content analysis adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik pesan dan 18 dilakukan secara obyektif dan sistematis.29 Tenik ini digunakan untuk menarik pesan maupun beberapa pendapat yang ada dalam buku-buku poligini. 2) Metode Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis data tersebut. F. Penelitian Terdahulu Judul dalam penelitian ini adalah: Poligini dalam Perspektif “Teori Batas” Muhammad Syahrûr mengandung variabel yang menarik untuk di teliti. Untuk mengetahui lebih jelas tentang penelitian ini, maka penting untuk mengkaji terlebih dahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, baik secara teori maupun kontribusi keilmuan. Dari hasil pencarian data, memang tidak ditemukan judul yang sama dengan judul yang peneliti angkat sekarang. Namun ada beberapa judul skipsi yang memiliki tema yang tidak jauh berbeda ketika melihat judul yang peneliti teliti. Berikut paparan beberapa hasil penelitian yang berkorelasi dengan judul diatas: 1. Syamsud Dhuha, Universitas Islam Negeri Malang, Fakultas Syari’ah Tahun 2004, dengan judul: Pemikiran Syahrûr Tentang Hukum Waris Islam (Kajian deskriptif dan analitis). Dalam penelitian ini Syamsud Dhuha menekankan pada hukum waris yang terdapat dalam tanjil hakim di tetapkan pada kondisi di pertemuannya dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Adapun pada kondisi waris sejenis, seperti halnya pewaris yang meninggalkan anak laki-laki tanpa anak perempuan, atau anak 29 Lexy, J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 163. 19 perempuan tanpa anak laki-laki. Maka dalam kondisi seperti ini waris dapat dilakukan dengan merata, tak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Hukum waris adalah aturan tertutup, bahwa pihak yang berhak menerima adalah mereka yang hanya disebut secara eksplisit sebagai pewaris dalam ayat waris. Dengan demikian orang yang tidak di sebut dalam ayat waris, maka tidak berhak menerima waris. 2. Ahmad Salikin, Universitas Islam Negeri Malang, Fakultas Syari’ah Tahun 2004 dengan judul: Konsep Keadilan dalam Poligami menurut Muhammad Abduh. Dalam penelitian ini Salikhin lebih menekankan pada aspek keadilan dalam poligini. Peneliti juga memaparkan biografi Muhammad Abduh, yang peneliti jadikan sebagai bahan penelitian, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh atas poligami. Dari hasil penelitian Salikin, dia menyimpulkan secara menyeluruh tentang konsep keadilan dalam berpoligami. Menurut Salikin Muhammad Abduh dalam menjelaskan kedilan ada dua konsep dalam poligami: a. Penjelasan keadilan dalam poligami di lihat dari segi filosofil epistimologi surat an-Nisa’ ayat 3 dan ayat 129 menurut penafsiran Muhammad Abduh adalah untuk menghindari dari perbuatan yang di larang agama dan di harapkan menjadikan umat sejahtera. b. Konsep keadilan dalam poligami secara sosiologis, menurut Muhammad Abduh adalah memperlakukan istri-istrinya hingga anak-anaknya dengan adil, baik dalam hal materi maupun dalam hal moril dan hal itu menjadi syarat yang utama bagi seseorang yang akan melakukan poligami. Karena dengan adanya poligami tersebut akan menjadikan kemajuan pada masyarakat bahkan menentukan kesejahteraan pada suatu bangsa. 20 3. Ahmadiono: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya Tahun 2000 dengan judul: Kontrofersi Poligami di Kalangan Pemikir Muslim (Studi Atas Pemikiran Hukum Islam Syafi’i dan Fazlurahman) di dalam penelitiannya Ahmadiono mencoba mengkomparasikan antara pemikiran imam Syafi’i dengan Fazlurahman tentang poligami, baik dari segi dasar-dasar hukumnya, cara ijtihad keduanya serta di bolehkannya poligami. Dari hasil penelitiannya Ahmadiono menyimpulkan pemikiran keduannya tentang poligami: a. Ada tiga faktor yang menyebabkan keduanya berbedah dalam hal hukum kebolehan poligami; 1) perbedaan pendekatan dalam memahami ayat poligami; 2) perbedaan dalam menafsirkan keadilan sebagai syarat di perbolehkannya poligami. Imam Syafi’i menafsirkan sebagai perilaku lahiriah, seperti pembagian waktu bergilir dan meratanya pemberian nafkah. Sedangkan Fazlurahman menekankan pada makna keadilan sebagai meratanya rasa bathiniah seperti rasa cinta dan kasih sayang di samping keadilan dalam hal haliriyah; 3) perbedaan kondisi sosial kultur masyarakat di mana keduanya berada juga mempengaruhi polapikir keduanya. b. Kondisi sosio kultur masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi pada perbedaan pola pikir imam Syafi’i dan Fazlurahman. Kehidupan imam Syafi’i yang banyak di pengaruhi oleh pemikiran masyarakat pra Islam, yang salah satunya adalah adanya lembaga poligami. Sedangkan Fazlurahman yang hidup dalam masyarakat modern yang sudah memiliki pemikiran adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Darisini Fazlurahman berpendapat bahwa lembaga poligami itu hanya bersifat situasional dan di 21 peruntukkan pada orang yang sudah dalam kondisi darurat, bukan di peruntukkan bagi orang yang dalam kondisi normal. G. Sistematika Pembahasan Agar penyusunan skripsi ini terarah, sistematis dan saling berhubungan satu bab dengan bab yang lain, maka peneliti secara umum dapat menggambarkan susunannya sebagai berikut: BAB I Merupakan bab pendahuluan yang mencakup: latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, paradigma penelitian, pendekatan penelitian, sumber data dan teknik pengupulan data, sistematika pembahasan. Penulisan bab ini untuk memfokuskan permasalahan agar penelitian ini tidak melebar serta, untuk menegaskan tujuan dari pada penelitian. Pada bab ini juga menjelaskan metode penelitian yang digunakan peneliti. Metode penelitian ini merupakan suatu cara atau teknis yang akan dilakukan dalam proses penelitian, agar penelitian ini terarah dan sesuai dengan yang diinginkan. BAB II: Dalam bab dua berisikan kajian teori terdiri dari: deskritif poligini, Pendekatan geografis dan historiografi poligini Nabi Muhammad, hukum poligini, syarat-syarat poligini, pengertian adil dalam poligini, alasan poligini di batasi hanya empat istri, poligini sebagai solusi dan pilihan bersyarat, dampak poligini, monogami prinsip perkawinan dalam Islam, sekilas tentang ushul fikih, fungsi ushul fikih dalam memahami ayat-ayat hukum, pembacaan ayat-ayat dengan menggunakan metode ushul fikih. 22 Penyajian dalam bab II ini di maksudkan untuk memberi penjelasan secara teoritik terhadap masalah yang di sajikan. BAB III Dalam bab tiga berisikan tentang biografi Muhammad Syahrûr, sketsa historis, latar belakang inteletual, latar belakang keagamaan, dialektika turas dan modernitas, kegiatan dan karir Muhammad Syahrûr. Modelmodel penafsiran Muhammad Syahrûr, asumsi-asumsi metodologis, pendekatan linguistik, pendekatan scientific, terma-terma yang terdapat dalam al-kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah, pembacaan kontemporer al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Tujuan penulisan bab ini adalah untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi pemikiran Muhammad Syahrûr sehingga memunculkan teori baru yaitu teori batas. Bab IV Mencakup paparan dan analisis data pembahasan meliputi: munculnya pemikiran Syahrûr tentang teori batas, pemikiran Muhammad Syahrûr tentang teori batas dalam masalah poligini. Pada Bab ini akan menganalisis pemikiran Muhammad Syahrûr dalam menerapkan teori batas terhadap masalah poligini. Penulisan bab ini merupakan paparan dari hasil penelitian, yang diperoleh dari berbagai sumber untuk mencari data yang selengkapnya untuk membuktikan kebenaran penelitian. Bab V Bab ini akan mengakhiri penyusunan penelitian ini yang nantinya akan berisikan kesimpulan-kesimpulan dan saran, kesimpulan dikembangkan berdasarkan seluruh hasil kajian sedangkan saran dikembangakan berdasarkan temuan dan simpulan dari penelitian. Lampiran-lampiran Daftar Pustaka 23 BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Poligini Poligini berasal dari bahasa Yunani poli artinya banyak dan gini artinya perempuan. Poligini secara terminologi ialah istilah yang dikenakan bagi seorang laki-laki yang melakukan praktik banyak nikah dan banyak perempuan. Ada juga yang berpendapat bahwa poligini sama dengan poligami. Poligami berasal dari bahasa Yunani poly artinya banyak dan gami artinya istri.30 Jadi poligami secara terminologi ialah seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu dan bukan sebaliknya.31 Soemiyati berpendapat bahwa poligami ialah perkawinan seorang lakilaki lebih dari satu wanita dalam waktu yang sama.32 30 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Kencana Media, 2003), 129. Taufiq Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ictiyar Baru Van Hoeve, 2002),32. 32 Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty, 1999),35. 31 23 24 Sejarah mencatat bahwa poligini juga banyak dipraktikkan oleh laki-laki terpandang, seperti para raja, tokoh, bangsawan, termasuk para Nabi dan Rasul. Misalnya, Nabi Ibrahim memiliki dua orang istri dan Nabi Sulaiman mempunyai sangat banyak istri. Nabi Muhammad memiliki sembilan istri. Begitu pula para sahabat, seperti Abu Bakar pernah memiliki istri empat orang, Umar ibn Khatthab memiliki istri tujuh orang.33 Pembahasan tentang poligini selalu ramai dalam berbagai bentuk, baik ceramah, diskusi, seminar, wacana, maupun talk shaw, pembahasan tersebut sering berakhir dengan pro dan kontra. Surat an-Nisa’ ayat 3 sering dianggap sebagai landasan kebolehan poligini, bahkan ada yang memahami bahwa ajaran Islam telah menganjurkan poligini. Pendapat demikian, memperkuat anggapan dengan kenyataan bahwa Nabi Muhammad dan para Sahabat adalah pelaku poligini. Oleh karena itu, anggapan bahwa melakukan poligini adalah sunnah Rasul. Adapula yang memahami bahwa ayat tersebut adalah ayat yang justru membatasi poligini. Karena tradisi poligini yang dipraktekan masyarakat sebelum Islam tidak terbatas dan sesuka hati pelakunya. Kemudian ayat tersebut turun untuk membatasi laki-laki berpoligini sampai empat orang istri dengan persyaratan ketat, yakni kesanggupan berlaku adil. Sesunggunya, perbedaan antara poligini, poliandri dan poligami belum jelas terlihat di dalam sejumlah literatur tokoh Islam Indonesia yang mengurai hal ihwal 33 Abu Salman al-Atsari, “Poligami di Hujat: Jawaban Rasional bagi Penghujat Sunnah dan Syari’at Poligami,”, http//www.dearto Abu Salma, (diakses pada 4 Juni 2007),9. 25 pernikahan Nabi. Bahkan masyarakat cenderung mengartikan poligini dengan poligami yaitu satu suami memiliki banyak istri. Menengarai hal ini bahwa di dalam khasanah bahasa Yunani terdapat pembagian yang terkait dengan praktik perkawinan: 1. Poligami (poly: banyak dan gami: nikah) artinya banyak nikah. Istilah ini di kenakan bagi kegiatan manusia yang melakukan banyak nikah. 2. Poliandri (poly: banyak dan andri: pria) istilah ini di kenakan bagi perempuan yang melakukan praktik banyak nikah dengan banyak pria. 3. Poligini (poly: banyak dan gini: perempuan) istilah ini di kenakan bagi seorang pria yang melakukan praktik banyak nikah dengan banyak perempuan. 4. Eksogami (ekso: keluar (dari), bukan dan mantan dan gami nikah) artinya nikah dengan orang luar klan. Istilah ini di kenakan bagi seorang pria yang mencari istri diluar warganya sendiri. 5. Endogami (endo:dalam dan gami:nikah) artinya nikah dengan warga sendiri menurut penentuan adat. Untuk memahami poligini lebih mendalam, maka harus mengetahui poligini yang dilakukan oleh Rasul, untuk mengetahui hal tersebut, maka terlebih dahulu harus memahami kondisi geografis dan historiografis pada masa itu. 1. Pendekatan Historiografi Poligini Nabi Muhammad Pendekatan ini mengungkapkan beberapa aspek yang terkandung dalam poligini Nabi Muhammad. Aspek-aspek tersebut seringkali terabaikan ketika membaca dan memahaminya. 26 Historiografi yang dimaksud adalah mengacu kepada ulasan Azumadi Azra tentang sejarah total. Sejarah total ialah suatu sejarah tentang seluruh aspek kehidupan masyarakat; tidak hanya berkisar pada hal-hal yang dianggap paling penting.34 Membaca kisah poligini Nabi Muhammad dengan pendekatan historiografi mengungkapkan adanya dua aspek yang terkandung di dalamnya, pertama ialah faktor historis dan kedua faktor religius. Faktor historis yang terdapat pada poligini Nabi pertama ialah tindakan poligini Nabi tersebut dilakukan di dalam suatu ruang (sosial-kultural-religius) dan waktu (menyejarah), dan kedua tindakan tersebut melibatkan keutuhan pribadi Nabi (status kemanusiaan dan kenabiaan Muhammad). Sementara faktor religius yang terdapat dalam poligini Nabi ialah adanya suatu keyakinan di dalam diri Nabi bahwa Allah akan menolong dikalah mendapat kesusahan.35 Dengan menggunakan pendekatan historiografi tersebut ada beberapa pokok pikiran yang penting: pertama setelah diterimanya wahyu pertama oleh Nabi Muhammad bahwa Allah senantiasa bersama dirinya ditengah pergumulan kenabian beliau. Kedua keyakinan Nabi Muhammad dengan relasi antara dirinya dengan Allah dari waktu kewaktu semakin menguat. Ketiga wahyu yang turun ditengah pergumulan beliau atas persoalan Zainab adalah tanda dari keyakinan Nabi Muhammad atas penyertaan Allah. Keempat, sosok Nabi Muhammad tidak lepas dari dasariah kemanusiaannya meskipun dia di percaya Allah menjadi Nabi. 34 35 Azyumardi Azrah, Historiografi Islam Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002),11. Ibid. 27 Terkait dengan posisi dan status Nabi terdapat hal menyejarah dalam kehidupannya yang terkait dengan poligini yaitu mengenai periode kesedihan. Di antara alasannya adalah: pertama pernikahan setelah meninggalnya Khadijah dengan Saudah yang bertempat di Mekkah. Kedua, adanya peristiwa historis tentang suatu tekanan yang cukup berat dari musuh-musuh Nabi sehingga memaksa Nabi dan sahabat-sahabatnya pindah ke Madinah. Ketiga, ditengah peristiwa itu terjadi peristiwa isra’ mi’raj. Semua bentuk praktik pernikahan pra Islam tersebut terkait dengan situasi antropologis historis masyarakat. Artinya hal tersebut ada dan terjadi di tengah nilainilai yang berlaku. Di dalam poligini saat itu, maskulinisme sangat mendominasi dan membawa implikasi serius bagi perempuan. Praktik poligini Nabi sering dijadikan titik tolak pembahasan aktivitas poligini dalam komunitas Islam. Misalnya al-Ghozali menyatakan bahwa al-Quran ingin menyatakan solusi secara gradual atas praktik poligini saat itu. Ashghar Ali Engineer menyatakan prinsip nomogami berdasarkan wahyu poligini yang terdapat dalam al-Quran. Kedua tokoh diatas ingin menghilangkan praktik poligini menjadi monogami secara bertahap. 2. Hikma poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad memiliki beberapa hikma: 1. Hikma Dakwa dalam Pernikahan Rasul a. Pernikahan Nabi dengan Siti Khadijah binti Khuwailid.36 Khadijah berasal dari keluarga terhormat di kalangan Quraisy, memiliki nasab yang baik dan kaya raya. Di masa Jahiliyah telah menikah 36 Khozin Abu Fakih, Poligami Solusi atau Masalah (Jakarta: al-Ikhtishom, 2007),144. 28 dengan Abu Hallah (Hind bin Nabbasy at-Taimy), setelah suamiya yang pertama meninggal, ia menikah dengan Atiq bin Abid al-Makhzumi. Setelah suami keduanya meninggal, tokoh-tokoh Quraisy berlombahlombah untuk melamarnya. Tetapi ia menolak lamaran mereka semua. Karena mereka rata-rata hanya mengincar kekayaannya. Ketika ia mendengar sifat amanah Muhammad, maka ia memilihnya sebagai menejer yang mengelolah perdagangannya ke Syam. Ternyata ia sukses besar dan memberikan keuntungan berlipat bagi Khadijah. Beliau menikah dengan Khadijah dan tidak menikah dengan siapapun, sehingga Khadijah wafat dan usia beliau sudah mencapai 50 tahun lebih. b. Pernikahan dengan Saudah binti Zam’ah Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr bin Abdi Syam. Keduanya masuk Islam di Mekah, kemudian hijrah ke Habsyah pada priode kedua. Sepulang dari Habasyah, suaminya wafat sehingga ia menjadi janda. Setelah masa iddahnya habis, Rasul melamar dan menikahinya. Kemudian ia hijrah ke Madinah.37 Pernikahan beliau dengan Saudah adalah untuk mengganti suaminya yang wafat sepulang dari hijrah Habasyah kedua, untuk merawat putraputranya, dan memuliakannya. Disamping itu setelah suaminya meninggal, ia pun harus kembali kepada keluarga dan kaumnya. Padahal mereka memusuhi Islam. Saudah adalah wanita yang telah lanjut usia, karena itu setelah beberapa bulan menikah dengan Rasul dan Rasul 37 Ibid,145. 29 menikah dengan A’isyah, ia memberikan hak bermalamnya dengan Rasul kepada A’isyah. Dengan demikian, pernikahan beliau dengan Saudah adalah tidak terlepas dari strategi ri’ayah tarbaiyah dan da’wiyah, pemeliharaan dakwa dan tarbiyah yang telah dibangun dengan berbagai pengorbanan. c. Pernikahan dengan Zainab binti Khuzaimah Di masa jailiah ia mendapat julukan ummul masakin. Sebab ia adalah wanita yang menyayangi dan mengasihi orang-orang yang tidak mampu. Ia adalah mantan istri paman beliau Ubaidah bin Harits bin Abdul Muthalib bin Abdil Manaf yang sahid dalam Perang Badr. Beliau menikahinya dan menanggung beban keluarganya, namun beberapa bulan setelah pernikahan ia meninggal dunia. d. Pernikahan dengan Ummu Salamah Nama aslinya adalah Hindun binti Suhail bin Mughirah alMakhzuiyah. Suaminya adalah Abu Salamah yang terluka pada Perang Uhud, setelah sembu mengikuti ekspansi selama satu bulan, saat itu ia mendapati luka sangat parah, hingga syahid dan meninggalkan banyak anak. Maka setelah habis masa iddahnya, Nabi melamarnya, ia memintah maaf karena usianya sudah tua, mempunyai anak banyak.38 2. Hikmah Pendidikan Pernikahan dengan A’isyah A’isyah adalah istri beliau yang ketiga, ia adalah putri Abu Bakar yang sangat berjasa dalam membangun dakwah, dan yang selalu setia menemani 38 Ibid,146. 30 beliau dalam keadaan suka dan duka. Bahkan telah mengorbankan apa saja yang dimiliki demi mendapat ridhal Allah dan RasulNya. Dengan poligini, Rasul banyak mengeluarkan wanita alim yang dapat memberikan pelajaran pada wanita lainnya. Isteri-isteri Rasul itulah yang mengajarkan agama kepada wanita muslimah, khususnya tentang masalah-masalah yang bersifat feminisme (kewanitaan). Karena sering sekali Rasul malu dalam menjawab persoalan itu, apalagi bila masalah yang ditanyakan amat “sensitif” Aisyah ra meriwayatkan bahwa wanita Anshor datang kepada Rasul bertanya tentang cara membersihkan haid. Lalu Rasul mengajarkannya. Beliau berkata: “Ambillah kapas yang ada wewangiannya, lalu bersihkanlah dengannya”. Wanita itu berkata: “Bagaimana membersihkannya? ”Rasul menjawab: “Bersihkanlah dengannya” Ia bertanya lagi: “Bagaimana membersihkannya?”. Rasul menjawab: “Subhanallah! bersihkan saja dengannya”. Mendengar hal ini, Aisyah ra langsung menarik tangan wanita tersebut lalu berkata: “Letakkanlah kapas tadi di tempat ini dan itu, lalu hilangkan bekas darahnya”. Aisyah ra berkata: “Aku jelaskan tempat yang mesti diletakkan kapas”.39 3. Hikmah Tasyri” (perundang-undangan) Hikmah ini dapat kita saksikan ketika terjadi perkawinan Rasul dengan Zainab binti Jahsy Al-Asadi, yaitu terhapusnya kebiasaan menganggap anak angkat (adopsi) seperti anak nasab, menyamakan hukumnya dalam hal waris, perkawinan dan lain sebagainya. Pada saat itu, bangsa Arab selalu menyebut anak angkat Rasul yang bernama Zaid bin Haristah dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Hal ini dimaklumi, karena kebiasaan itu sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah. Oleh karena itu demi menghapus kebiasaan ini, Rasul mengawini Zainab yang sebelumnya telah dikawini oleh Zaid bin Haristah. 39 Ibid,147. 31 Sebagai manusia, Rasul takut bila orang munafik dan orang yang benci. Tapi kekhawatiran itu sirna setelah turun firman Allah: ©!$# È,¨?$#uρ y7y_÷ρy— y7ø‹n=tã ô7Å¡øΒr& ϵø‹n=tã |Môϑyè÷Ρr&uρ ϵø‹n=tã ª!$# zΝyè÷Ρr& ü“Ï%©#Ï9 ãΑθà)s? øŒÎ)uρ $£ϑn=sù ( çµ9t±øƒrB βr& ‘,ymr& ª!$#uρ }¨$¨Ζ9$# y´øƒrBuρ ϵƒÏ‰ö7ãΒ ª!$# $tΒ šÅ¡øtΡ ’Îû ’Å∀øƒéBuρ Æl≡uρø—r& þ’Îû Óltym tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# ’n?tã tβθä3tƒ Ÿω ö’s5Ï9 $yγs3≈oΨô_¨ρy— #\sÛuρ $pκ÷]ÏiΒ Ó‰÷ƒy— 4|Ós% ∩⊂∠∪ ZωθãèøtΒ «!$# ãøΒr& šχ%x.uρ 4 #\sÛuρ £åκ÷]ÏΒ (#öθŸÒs% #sŒÎ) öΝÎγÍ←!$u‹Ïã÷Šr& Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteriisteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. 4. Hikmah Secara Sosial Hikmah ini terlihat pada perkawinan beliau dengan puteri Abu Bakar; Aisyah ra dan puteri Umar; Hafsah.40 Perkawinan Rasul ini sebagai penghargaan yang sangat besar yang pernah dirasakan kedua sahabat beliau. Dan Rasul pun layak memberikan penghargaan yang besar ini. Sebab perjuangan dan jerih payah yang pernah dirasakan kedua sahabat terhadap Islam begitu besar. Maka suatu penghargaan besar bila Rasul mengawini puteri-puteri mereka. Sehingga kecintaan Rasul dan mereka begitu kuat. 40 Ibid,148. 32 Disamping itu, Khafshah adalah janda dari Khunais bin Khudzafah asSahmi yang wafat di Madina akibat luka parah yang menimpahnya dalam Perang Uhud. Secara fisik Hafshah bukanlah wanita yang berwajah cantik, namun ia adalah wanita yang rajin berpuasa, terbiasa shalat malam, serta sangat cinta kepada Allah dan Rasulnya. 5. Hikmah Secara Politis Perkawinan Rasul dengan beberapa wanita mengakibatkan bersatunya pengikut kabilah-kabilah yang berbeda, karena sebagaimana kita ketahui bahwa apabila seseorang berkeluarga dengan anggota suku lain, maka ia akan menjadi bagian dari suku itu, begitu pula sebaliknya. Hikmah perkawinan Rasul secara politis itu dilakukan ketika Rasul nikah dengan beberapa wanita dari suku yang berbeda, antara lain: a. Pernikahan dengan Ummu Habibah41 Nama aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb, istri dari Ubaidillah bin Jahsyi bin Huzaimah. Mereka berdua melakukan perjalanan hijrah ke Habsyah pada kali yang kedua. Sampai di Habsyah suaminya terfitnah hingga murtad dari Islam. Meskipun demikian Ummu Habibah tetap tegar dalam keimanannya. Juga tidak mungkin pulang ke Mekah karena ayahnya adalah tokoh Quraisy yang saat itu sangat memusuhi orang-orang Islam dan menindas orang beriman. Sungguh, wanita tegar ini patut mendapatkan penghargaan, penghormatan dan perlindungan. Maka Rasul mengutus Jabir al41 Ibid,151. 33 Mukhsuraaka Rasul mengutus Jabir al-Makhsurain dan Mukhnis alMutawahisyain untuk menghadap Raja Najasyi yang telah masuk Islam, agar ia berkenan menikahkan Rasul dengan Ummu Habibah. b. Juwairiyah bin Al Harits Ia adalah putri dari perempuan Bani Musthaliq. Ketika terjadi peperangan, ia dan kawannya menjadi tawanan kaum muslimin. Ketika dihadapkan kepada Rasul, beliau menawarkan kepadanya apakah ia ingin bebas dengan membayar tebusan yang akan dibayarkan Rasul dan menikahinya. Juwairiyah pun menerima tawaran tersebut. Setelah Rasul menikahinya, kaum muslimin pun merasa sungkan bila masih menawan tahanan dari kaum anak pemimpin Bani Musthaliq yang kini menjadi isteri Rasul itu. Mereka berkata: “Pantaskah kita menawan para besan Rasul?”. Akhirnya para tawaran dari Bani Musthaliq pun dibebaskan. Akibat dari kemurahan kaum muslimin ini mereka (Bani Musthaliq) berbondong-bondong masuk Islam.42 c. Sofiyah binti Huyyay bin Akhtab Ia adalah termasuk pembesar dari Bani Quraidhoh. Suaminya telah tewas dalam peperangan Khaibar. Ketika ia menjadi tawanan, salah seorang pasukan muslim mengajukan usul bahwa sebaiknya wanita ini diserahkan kepada Rasululah SAW. Ketika sampai dihadapan Nabi, beliau menawarkan dua hal; apakah dibebaskan dan menjadi isteri Rasulullah SAW atau dibebaskan hingga bertemu keluarganya?. Atas dua 42 Ibid,156. 34 pilihan ini, Sofiyah memilih yang pertama karena ia melihat kewibawaan Nabi. Ia pun masuk Islam yang kemudian diikuti oleh kaumnya. d. Romlah binti Abu Sofyan Ia adalah puteri Abu Sufyan, salah seorang tokoh Quraisy di Makkah yang sangat memusuhi Nabi dan kaum muslimin. Puterinya telah masuk Islam ketika masih di Makkah dan pernah hijrah dengan suaminya ke Habasyah. Suaminya meninggal dunia di Habasyah, maka tinggallah ia sendiri tanpa ayah dan suami. Ketika Rasulullah SAW mengetahui hal itu, beliau mengirim surat kepada raja Najasyi untuk disampaikan kepada Romlah bahwa Nabi ingin menikahinya. Mendengar berita ini, Romlah sangat gembira karena tidak mungkin baginya untuk kembali kepada ayahnya. Ketika berita ini sampai kepada Abu Sufyan, ia pun seperti menyetujuinya, lalu membanggakan Nabi yang telah menjadi suami puterinya. Keadaan ini membuat sikap Abu Sufyan dan kaum Quraisy berubah menjadi lembut terhadap kaum muslimin yang masih berada di Makkah yang sebelumnya sangat mengganggu.43 e. Pernikahan dengan Juwairiyah Alasan pernikahan beliau dengan Juwairiyah hampir sama dengan Syafiyah. Ia adalah putri pemimpin Bani Mustaliq. Ayahnya Harits bin Dlilar memusuhi kaum muslimin. Namun ia dan kaumnya terkalahkan, sehingga kabilahnya hampir punah dan ratusan dari mereka menjadi tawanan, termasuk Juwairiyah. Kebetulan ia menjadi bagiannya Tsabit 43 Ibid. 35 bin Qais dan ia akan dibebaskan dengan syarat membayar sembilan uqiyah (171 gram emas). Ia meminta bantuan kepada Rasul, agar beliau membantu pembayaran yang disepakati dengan tsabit untuk membebaskanya dari tawanan.44 f. Pernikahan dengan Maimunah Dia adalah putri Harts bin Hazan bin Bujair, keluarga dekat Zainab binti Huzaimah. Ia adalah mantan istri Ruhm bin Abdil Uzza. Beliau menikahinya saat umrah di Mekah, untuk mempererat kekeluargaannya. Sebab saudarinya, Ummul Fadl menjadi istri paman beliau. Nabi menikahinya setelah ditinggal mati suaminya yang belum masuk Islam untuk mengokohkan keislamannya dan mempererat jalinan kekeluargaan. Dari pemaparan istri Nabi, maka istri yang bikr hanya ada dua yaitu A’isyah dan Juairiyah, sedangkan yang lainnya adalah janda. Sedangkan istri Rasul yang mempunyai keturunan adalah Khadijah, Saudah binti Zam’ah, dan Ummu Salamah. B. Hukum Poligini Poligini telah ada sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad dan telah di laksanakan dikalangan Arab dan yang lainnya. Kemudian datanglah Islam untuk menegaskan syari’at tersebut, meluruskan, membatasi dan menetapkan syarat-syarat kebolehannya. Di antara dalil yang membolehkan poligini adalah dalam surat anNisa’ ayat 3: 44 Ibid,156. 36 *ُ5ْ 6 ِ ِْ>ن/َ 9َ :َ ; َو ُر َ <َ َو =ُـ0َ8ْ َ ِء$َ&' ( ا َ ) *َُ ب َ َ,َ ُِا.ْ َ/ 0ََ َ ا0ِ/ُا1& ِ ْ 2ُ 3' ْـُ* َأ56 ِ ْوَِإن (3 : ُ<ُا ) ا&ء2َ 3' َأ0َ.ْْ َأ ْ! َ ُُ* َذِ َ? َأدAَ <ََ َ ْ َ ًة َأوCِ َ /َ ْ ُِا2َ 3' َأ Artinya: Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (al-Nisa: 3). 1. Makna Mufradat ُ ْـ ِ ْ َوِإن: Jika kamu takut; memiliki dugaan kuat ada kekhawatiran yang dapat ِ ْ َوِإنdapat di artikan dengan ن/ diketahui sebelum nikah, dan ُ ْـ ُا ِ ْ ُ َأ: Tidak dapat berlaku adil. َ ْ ُِا َأ: Tidak dapat berlaku adil ََ َ ِ ا: Terhadap anak yatim. ْ" ِ! ُا#َ : Maka kawinilah; nikahilah. ء%َ&' ا َ )( ُ!َ ب َ #َ+#َ) : Perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; ِapa yang kamu senangi dari perempuan-perempuan (lain). ,َ -َ َو ُر/ َ َُـ0 &َ َو1ْ )َ : Dua, tiga, dan empat, bukan dua tambah tiga tambah empat. َ ُُا َأدْ"َ َأ: Lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya; tidak menyimpang dari keadilan. 2. Asbâb al-Nuzûl Asbâb al-nuzûl adalah sebab-sebab turunnya ayat yang memberikan informasi keterkaitan turunnya ayat dengan suatu peristiwa. Masyfuk Zuhdi, mendefinisikan Asbâb al-nuzûl dengan: semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau memberi jawaban terhadap sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada saat terjadinya peristiwa.45 45 Masyfuq Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990),37. 37 Manfaat mengetahui Asbâb al-nuzûl adalah untuk mengetahui hikmah di syariatkannya hukum, dan mengenai kekhususan hukum.46 Dengan mengetahui sebab turunnya suatu ayat, kita dapat mengetahui kaitan sebuah ayat dengan suatu peristiwa. Berdasarkan mengetahui peristiwa tersebut, kita dapat memperkirakan dengan dugaan kuat tujuan sebuah ayat diturunkan oleh Allah. Oleh sebab itu, mengetahui dan memperhatikan Asbâb al-nuzûl adalah suatu keharusan dalam mengkaji al-Qur’an agar memperoleh pemahaman yang utuh, lengkap, dan sempurna sehingga terhindar dari kekeliruan. Sebelum Islam di bawa Muhammad, orang Arab memiliki tradisi memelihara anak-anak perempuan yatim di rumah-rumah mereka dengan alasan memberi perlindungan dan menjadi wali bagi mereka, kemudian menikahi mereka tanpa mahar atau dengan mahar yang lebih kecil di bandingkan dengan mahar yang lazim, dan kemudian menguasai harta anak-anak yatim tersebut. Anak-anak yatim itu di kuasai, diremehkan, dan di berlakukan tidak adil. Jika wali itu sudah tidak berkenan, atau tidak merasa nyaman dengan anak-anak yatim tersebut, mereka di usir atau di tinggalkan begitu saja. Berkaitan dengan situasi dan kondisi demikianlah ayat 3 surat al-Nisa tersebut diturunkan oleh Allah. Sebab turun ayat 3 surat al-Nisa itu dapat di baca dalam Tafsîr Ibnu Katsîr bahwa Urwah ibn Zubair, anak Asma kakak Aisyah, bertanya kepada Aisyah, ِ ْ ُ ْـُ َأ ِ ْ َوِإن, Aisyah menjawab: tentang ayat: َ َ َ ُا ِ ا “hai anak saudara perempuanku, perempuan yatim ini diasuh oleh seorang wali, dia menggabungkan harta anak yatim dengan hartanya. Si wali menginginkan kecantikan diri dan harta anak yatim itu. Oleh karena itu, ia mengawininya tanpa memberikan mas kawin yang layak atau di bawah mahar standar. Wali yang 46 Syaikh Muhammad Ali As-Sabuni, ali bahasa Muhammad, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, (Jakarta, Pustaka Amani, 1390 H),29. 38 demikian itu dilarang mengawininya kecuali bisa bertindak adil dan memberikan mahar atau mas kawin yang pantas. (Ketika hal ini tidak dapat dilakukannya), wali tersebut dianjurkan untuk mengawini perempuan lain saja”.47 Sehubungan dengan itu, Allah menurunkan ayat ke 3 ini sebagai teguran dan peringatan bagi mereka yang menikahi anak-anak yatim. Kisah tersebut tertera dalam hadis yang di riwayatkan oleh Bukhari dari Ibrahim dari Hisyam dari Ibnu Juraij dari Hisyam ibn Urwah dari ayahnya dari Aisyah. Dari asbâb al-nuzûl ayat tersebut dapat di ketahui secara jelas bahwa maksud utama ayat tersebut adalah harus ada perlindungan terhadap manusia lemah, yaitu anak yatim dan bukan berkenaan dengan anjuran poligini. Berdasarkan pada asbâb al-nuzûl diatas, kurang tepat bila dengan serta merta ayat tersebut dianggap sebagai ayat yang membolehkan poligini secara mutlak atau di sebut langsung sebagai ayat poligini. Anggapan bahwa ayat tersebut adalah ayat yang membolehkan atau langsung menyebutnya sebagai ayat poligini, bisa jadi melakukan kesengajaan untuk kepentingan tertentu, mencari pembenaran untuk mempraktekkan poligini dengan tidak melihat asbâb al-nuzûl, atau membaca ayat tersebut tidak secara utuh, awal ayat dan akhir ayat tidak dibaca, yang dibaca hanya ,َ -َ َو ُر/ َ َُـ0 &َ َو1ْ )َ ِء%َ&' ا َ )( ُ!َ َب#َ+#َ) ْ" ِ! ُا#َ, padahal, jika ayat tersebut dibaca secara utuh, maka akan di pahami bahwa ayat tersebut berkaitan dengan larangan mengawini anak yatim apabila tidak sanggup berlaku adil terhadapnya. Quraish Shihab menghubungkan ayat tersebut dengan surat an-Nisa: 127: bahwa para wali atau yang menguasai anak yatim dilarang mengawini anak-anak yatim hanya karena harta dan kecantikannya. Ayat tersebut bukan membuat 47 Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Kairo, Dar al-Hadis, 2005),233. 39 peraturan untuk berpoligini karena poligini telah dianut dan dilaksanakan sebelum ayat ini turun. Poligini yang di pahami masyarakat Indonesia selama ini dan pengertian yang sama juga terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu seorang laki-laki beristeri lebih dari satu dalam waktu bersamaan. Istilah yang tepat menurut Antropologi adalah poliginy bukan poligamy karena istilah poligamy bisa di pergunakan kepada laki-laki yang beristeri lebih dari satu atau perempuan bersuami lebih dari satu. Sedangkan poliginy hanya dipergunakan untuk seorang laki-laki yang memiliki banyak isteri dan poliandry adalah istilah yang hanya dipergunakan untuk seorang perempuan memiliki banyak suami dalam waktu bersamaan. Setelah ayat tersebut turun, jumlah istri laki-laki muslim dalam berpoligini dibatasi, yaitu paling banyak sampai empat orang. Seorang yang sudah terlanjur beristri lebih dari empat orang harus menceraikan istrinya sehingga jumlah istri yang terikat nikah dengannya dalam waktu yang sama hanya empat orang. Redaksi ayat dan beberapa riwayat yang terkait dengan ayat ini menegaskan bahwa syari’at poligini ini erat kaitannya dengan penyelesaian anak yatim dan menghindari kedzaliman.48 Wahyu poligini yang terdapat dalam al-Quran an-Nisa’ ayat 3 merupakan ayat yang berkaitan dengan penyelamatan bagi kalangan janda ataupun anak yatim. Pada masa itu diharapkan ada seorang yang dapat berbuat adil dan memungkinkan untuk menikahi para janda ataupun anak yatim tersebut dan tindakan itu merupakan tindakan menyelamatkan kehidupan mereka dari ganasnya situasi hidup ataupun 48 Shahiron Syamsudin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Jakarta: Penerbit eL-SAQ Press, 2004), 426. 40 orang-orang yang ingin memanfaatkan mereka. Namun demikian, teks itu mengingatkan agar apabila tidak mampu berbuat adil, maka tidak diperkenankan menikahi mereka. Lebih lanjut KH. Husain Muhammad menyatakan poligini dan perbudakan merupakan suatu rangkaian yang menjadi objek transformasi oleh Nabi Muhammad yang akan di hapuskan. Jadi teks-teks tersebut termasuk ke dalam teks yang (di dalam proses) dihapuskan keberadaannya. Karena itu, tafsir yang membolehkan poligini dikalangan komunitas muslim di Indonesia justru bertentangan dengan nilai transformasi yang dibawahkan oleh Nabi Muhammad.49 Dalam surat an-Nisa’ ayat: 3 Allah membolehkan menikahi perempuan lebih dari satu dengan syarat tidak boleh lebih dari empat dan dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya. Dengan demikian, maka prinsip kemanusiaan dan keadilan akan tercapai. Namun, apabila seorang laki-laki tidak mampu berbuat adil atau tidak memiliki harta untuk membiayahi istri-istrinya, maka ia harus menahan dengan menikahi satu istri saja. Sangat penting bagi suami yang mempunyai istri lebih dari satu untuk berlaku adil seadil mungkin terhadap istrinya.50 Keadilan dalam ayat diatas hanya berhubungan dengan usaha yang dimungkinkan secara kemanusiaan. Dalam hal kasih sayang seorang berusaha semampunya, karena manusia tidak akan mampu berbuat seadil-adilnya, manusia mempunyai keterbatasan sebagaimana firman Allah dalam surat nisa’ ayat 129: 49 Ibid,51. A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),191. 50 41 È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹tym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ ∩⊇⊄∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)‾=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatungkatung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ayat ini menegaskan bahwa adil secara sempurna dan mutlak tidak dapat dilakukan oleh manusia. Maka ayat ini melarang kedzaliman dan kesewenangwenangan yang jelas yaitu kecenderungan penuh. Menurut Ibnu Katsir ayat diatas menjelaskan bahwa manusia tidak akan sanggup bersikap adil di antara istri-istri dari seluruh segi. Sekalipun pembagian malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada rasa perbedaan dalam rasa cinta, syahwat, dan jima’. Ibnu Qoyyim menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami untuk menyamakan cinta di antara istri-istrinya, karena cinta merupakan perkara yang tidak dapat di kuasai. A’isyah merupakan istri yang paling di cintai Rasul. Dari sini dapat diambil pemahaman bahwa suami tidak wajib menyamakan para istri dalam masalah jima’ karena jima’ terjadi sebab adanya cinta dan kecondongan. Jika suami meninggalkan jima’ karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami tersebut di maafkan. C. Syarat-syarat Poligini Islam membolehkan kaum laki-laki nikah lebih dari satu. Akan tetapi kebolehan ini dibatasi dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Jika tidak 42 terpenuhi, maka pelakunya berdosa dan nikahnya tidak sah.51 Syarat-syarat tersebut adalah: 1. Yakin mampu berlaku adil terhadap para istri dalam hal pembagian bermalam dan nafkah. Sebagaimana firman Allah dalam surat nisa’ayat: 3.52 2. Memiliki kemampuan finansial yakni mampu memberi nafkah secara adil kepada istri. Sebab apabila seseorang tidak memiliki kemampuan memberikan nafkah, maka ia hanya menelantarkan hak-hak orang lain. Hal ini sesuai dengan surat an-Nur ayat 33: tÏ%©!$#uρ 3 Ï&Î#ôÒsù ÏΒ ª!$# ãΝåκuÏΖøóム4®Lym %n%s3ÏΡ tβρ߉Ågs† Ÿω tÏ%©!$# É#Ï÷ètGó¡uŠø9uρ ( #Zöyz öΝÍκÏù öΝçGôϑÎ=tæ ÷βÎ) öΝèδθç7Ï?%s3sù öΝä3ãΖ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $£ϑÏΒ |=≈tGÅ3ø9$# tβθäótGö6tƒ tβ÷Šu‘r& ÷βÎ) Ï!$tóÎ7ø9$# ’n?tã öΝä3ÏG≈uŠtGsù (#θèδÌõ3è? Ÿωuρ 4 öΝä38s?#u ü“Ï%©!$# «!$# ÉΑ$¨Β ÏiΒ Νèδθè?#uuρ £ÎγÏδ≡tø.Î) ω÷èt/ .ÏΒ ©!$# ¨βÎ*sù £‘γδÌõ3ムtΒuρ 4 $u‹÷Ρ‘‰9$# Íο4θuŠptø:$# uÚttã (#θäótGö;tGÏj9 $YΨ÷ÁptrB ∩⊂⊂∪ ÒΟ‹Ïm§‘ Ö‘θàxî Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya. dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu dan janganlah kamu paksa budakbudak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu. 51 52 Khozin Abu Faqih, Poligami Solusi atau Masalah, (Jakarta: al-I’tishom Cahaya Umat, 2007),104. Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),172. 43 Ayat ini menegaskan bahwa orang yang hendak nikah harus berpikir panjang dan mendalam, hingga mendapatkan harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Menurut Imam Nawawi menjelaskan bahwa perintah untuk menikah bagi orang yang mampu dan mempunyai keinginan untuk menikah. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka seorang laki-laki tidak boleh menikah lagi dengan wanita lain. Bahkan laki-laki yang belum beristripun tidak boleh menikah, sebab hal itu akan mengantarkan berbuat dzalim kepada wanita.53 Selain itu syarat itu juga dilandasi oleh beberapa alasan: 1. Kemampuan memberi nafkah merupakan konsekwensi terhadap perintah mempergauli secara ma’ruf, sebab bagaimana akan mempergauli dengan ma’ruf kalau tidak memenuhi kebutuhan dasarnya. 2. Terdapat banyak teks yang memerintahkan para suami untuk memberi nafkah istrinya dan ancaman bagi yang menelantarkan keluarganya. 3. Hak-hak istri menegaskan kewajiban suami untuk mempunyai kemampuan memberi nafkah istrinya. 1) Pengertian Adil dalam Poligini Syarat di bolehkannya poligini adalah tidak adanya kehawatiran berbuat dzalim, atau ada keyakinan bisa berlaku adil, sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ayat pertama. Sedangkan ayat kedua menegaskan bahwa adil tidak dapat dilakukan oleh manusia, betapapun ia mengungkapkannya. Jadi jika adil tidak 53 Ibid, 106. 44 terpenuhi, maka poligini tidak boleh. Ketika adil tidak terpenuhi, maka poligini haram. Ada beberapa poin yang harus diperhatikan di dalam menjawab pertanyaan diatas: 1. Adil yang di firmankan oleh Allah bahwa tidak mungkin dapat dilakukan manusia adalah keadilan yang sempurna dalam berbagai hal materi dan maknawi, nafkah dan perlakuan lahir, serta cinta dan kecenderungan hati. Keadilan seperti ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia, siapapun dia. Bahkan Rasulallah sendiripun tidak dapat melakukan keadilan seperti ini, sebagaimana pernyataan beliau: 4) و أ4 # &3 4) أ# 5 67 ه9ا Ya Allah inilah pembagian yang aku mampui, maka jangan mencela aku yang engkau mampui dan tidak aku mampui. 2. Andai adil tidak dapat dilakukan secara muthlak, tentu Rasulallah dan para sahabat adalah orang-orang dzalim. Tetapi tidak ada satu ayatpun yang menyatakan mereka dzalim. Bahkan ayat dan hadis mewajibkan kita mengikuti mereka. tΠöθu‹ø9$#uρ ©!$# (#θã_ötƒ tβ%x. yϑÏj9 ×πuΖ|¡ym îοuθó™é& «!$# ÉΑθß™u‘ ’Îû öΝä3s9 tβ%x. ô‰s)©9 ∩⊄⊇∪ #ZÏVx. ©!$# tx.sŒuρ tÅzFψ$# Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah. 45 3. Jika adil tidak mungkin dilakukan, maka bertentangan dengan melakukan ijin poligini dan tidak mungkin Allah memberikan syari’at yang tidak mungkin tidak dapat dilaksanakan. Ÿω $oΨ−/u‘ 3 ôMt6|¡tFø.$# $tΒ $pκön=tãuρ ôMt6|¡x. $tΒ $yγs9 4 $yγyèó™ãρ āωÎ) $²¡øtΡ ª!$# ß#Ïk=s3ムŸω ’n?tã …çµtFù=yϑym $yϑx. #\ô¹Î) !$uΖøŠn=tã ö≅Ïϑóss? Ÿωuρ $oΨ−/u‘ 4 $tΡù'sÜ÷zr& ÷ρr& !$uΖŠÅ¡®Σ βÎ) !$tΡõ‹Ï{#xσè? $oΨs9 öÏøî$#uρ $¨Ψtã ß#ôã$#uρ ( ϵÎ/ $oΨs9 sπs%$sÛ Ÿω $tΒ $oΨù=Ïdϑysè? Ÿωuρ $uΖ−/u‘ 4 $uΖÎ=ö6s% ÏΒ šÏ%©!$# ∩⊄∇∉∪ šÍÏ≈x6ø9$# ÏΘöθs)ø9$# ’n?tã $tΡöÝÁΡ$$sù $uΖ9s9öθtΒ |MΡr& 4 !$uΖôϑymö‘$#uρ Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir." 4. Bersikap adil juga diperintahkan Allah kepada anak-anak. Adil secara sempurna terhadap anak-anak adalah mustahil. Jika demikian, maka tidak boleh memiliki keturunan lebih dari satu. Sebab tidak mungkin dapat berbuat adil dalam ketertarikan hati, kecintaan dan perasaan hati. 2) Poligini dibatasi Hanya Empat Istri Poligini sebelum datangnya syariat Islam tanpa batas sehingga pada umat dulu ada yang mempunyai istri seratus bahkan ada yang lebih dari itu. Kemudian Islam datang dan memberi batasan hanya empat istri. 46 Di samping itu ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa batas maksimal adalah empat antara lain: 1. Sabda Rasul kepada salah seorang laki-laki dari Bani Tsaqif yang masuk Islam dan memiliki sepuluh orang istri. 'ه:;#< رق# و#-' أر9&) 4)أ Tahanlah empat dari mereka dan ceraikan sisanya 2. Sabda Rasul kepada Harits bin Qais ketika ia masuk Islam dan memiliki delapan istri; #-' أر9&) : إ Pilihlah empat dari mereka 3. Sabda Rasul kepada Nufail bin Mu’awiyah ketika beliau menanykan kelima istrinya saat ia masuk Islam: ,- أر4)رق وا?ة وأ# Ceraikanlah satu dan pertahankan yang empat. 3) Poligini sebagai Solusi dan Pilihan Bersyarat Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah. Hal ini dapat dibuktikan dengan tercantumnya dalam al-Qur’an kalamullah pada ayat 3 surat al-Nisa’. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa kebolehan berpoligami pada ayat di atas sifatnya kasuistis, yakni sangat terkait dengan kekhawatiran berlaku aniaya atau tidak berlaku adil terhadap perempuan yatim. Agar tidak berlaku aniaya atau tidak adil terhadap seorang perempuan yatim yang dikawini, maka Allah memberikan solusi pada kasus tersebut dengan membolehkan laki-laki yang bersangkutan melakukan poligami dengan perempuan-perempuan lain, yang bukan 47 yatim dua, tiga, sampai empat orang. Itupun, harus memenuhi syarat mampu berlaku adil kepada keempat istri tersebut. Jika tidak sanggup berlaku adil terhadap keempat istri itu maka solusinya kawin dengan seorang perempuan saja, yakni menikah secara monogami. Quraisy Shihab memahami ayat tersebut dengan mengatakan bahwa jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain anak yatim itu, maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai selera kamu dan halal dari perempuan-perempuan lain itu. Bahkan kamu dapat melakukan poligini sampai batas empat orang perempuan sebagai isteri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, baik dalam hal materi maupun non materi, dan baik lahir maupun batin maka kawini seorang perempuan saja (nikah secara monogami) atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain perempuan yatim (berpoligini dengan perempuan lain) yang mengakibatkan ketidakadilan, dan mencukupkan satu orang isteri (monogami) adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Persyaratan berlaku adil terhadap isteri-isrti yang dimadu tersebut merupakan persyaratan mutlak dari Allah dan tertera dengan tegas dalam ayat tersebut. 4) Dampak Poligini Perempuan-perempuan yang dimadu harus berbagi segala-galanya, baik materi maupun non materi sesama istri. Begitu juga sesama anak yang ayahnya berpoligini. Tidak terjadi masalah selama mereka bisa menerimanya dengan ikhlas, dan suami atau ayah mereka bersikap adil kepada mereka. Berlaku adil dalam berpoligini sangat sulit terwujud. Allah telah mengingatkan dan menyatakan pada 48 surat yang sama ayat 129 bahwa suami yang berpoligini itu tidak akan sanggup berlaku adil. Jika tidak ada keadilan dan masing-masing merasa di rugikan, maka isteriisteri dan anak-anak akan saling salah paham, curiga dan cemburu. Ini, akan menjadi malapetaka antar sesama istri, menjadi konflik dan bisa menjadi konflik terbuka, perpecahan, dan tindakan kekerasan fisik. Suami yang berpoligini harus betul-betul adil dan bijaksana, siap secara fisik, mental, dan finansial supaya tidak menemukan kesulitan yang berat karena beban atau kewajiban nafkah tentu lebih besar daripada bermonogami. Rasul juga mencontohkan “menggilir” isteri-isterinya secara adil dan merata. Kewajiban materi mungkin dapat di bagi secara adil karena dapat di hitung dan di perkirakan, tetapi non materi tidak mungkin dibagi secara adil karena standarnya tidak jelas. Sedangkan setiap manusia memiliki kebutuhan jasmani dan rohani atau materi dan inmateri yang harus terpenuhi. Dalam poligini ada manfaat dan mafsadat. Dengan memperhatikan firman Allah surat al-Nisa’ ayat 129, kesulitan dan beratnya beban atau tanggungjawab yang di pikul laki-laki yang berpoligini, dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, maka berpoligini lebih besar mafsadat atau mudharatnya dari pada maslahat atau manfaatnya. Jika memperhatikan hadits Rasul yang melarang Ali berpoligini atau memadu Fatimah, dapat di pahami bahwa poligami cenderung menyakiti perempuan karena Rasul menyatakan bahwa sakitnya Fatimah sakitnya aku. Dengan demikian dalam perkawinan secara poligini terdapat atau berdampak menyakitkan atau kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga. 49 Surat an-Nisa’ ayat 3 melarang menghimpun (memadu) dua perempuan bersaudara, dan hadits juga melarang memadu perempuan yang berhubungan bibi dan ponakan. Kedua sumber ini mengisyaratkan yang dapat di pahami bahwa antara sesama perempuan yang dimadu tersebut terdapat hubungan tidak sehat, seperti saling cemburu, berkompetisi dan berebut, bermusuhan yang dapat menimbulkan konflik, baik tertutup maupun terbuka. Oleh karena itu, poligini yang demikian itu di larang dengan tegas dalam Islam karena akan merusak hubungan antara perempuanperempuan bersaudara. Kenyataan dampak buruk poligini sering di temukan dalam masyarakat. Poligini mengandung banyak kebohongan, ketidakadilan dan penderitaan terhadap banyak pihak, terutama terhadap isteri dan anak-anak. Poligini sering memicu tindakan kekerasan dalam rumah tangga terhadap isteri dan anak-anak, seperti kekerasan psikis, ekonomi, dan pisik, baik yang di beritakan maupun yang tidak di beritakan dimedia masa tetapi dapat dirasakan oleh semua orang. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut berupa tekanan psikis, fisik, penelantaran dan pengabaian, ancaman dan terror. Bahkan ada anak memukul ayahnya yang berpoligini. Kekerasan adalah mudharat, ketidakadilan, penderitaan, kezaliman, dan mafsadat yang tidak diinginkan. Kaidah fiqhiyah mengingatkan kita supaya ا لAB ر:Cا, kemudaratan harus di lenyapkan. Jika dalam suatu hal ada maslahat dan mudharat, maka kita harus menentukan sikap sebagaimana diajarkan kaidah D#E اFG < )م#درء ا, menolak mafsadat harus di dahulukan daripada menarik kemaslahatan atau manfaat. Kemudharatan akibat poligini dapat di prediksi, dan dalam kenyataanpun sudah terbukti bahwa poligini lebih banyak membawa mudharat untuk konteks 50 sekarang. Dengan demikian, poligini untuk kasus yang demikian bisa di masukkan ke dalam kategori haram li ghairih. Poligini itu asalnya di bolehkan, tetapi karena di barengi sesuatu yang bersifat mudharat atau mafsadat, maka perbuatan itu menjadi haram li ghairihi. Hal ini, berdasarkan kepada pendapat ahli Ushûl al-fiqh yang menyatakan bahwa haram li ghairih adalah perbuatan yang pada awalnya di bolehkan melakukannya, tetapi karena di barengi oleh sesuatu yang bersifat mudharat atau mafsadat dalam pandangan syara’, maka perbuatan itu menjadi haram.54 5) Monogami: Prinsip Perkawinan Islam Surat al-Nisa’ ayat:3 tersebut diakhiri dengan dzâlika adnâ allâ ta`ûlû, “Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pemahaman Faqihuddin Abdul Kodir mengenai akhir ayat tersebut adalah bahwa pilihan perkawinan monogami akan mendekatkan seseorang untuk tidak berlaku zalim atau aniaya.55 Perkawinan poligini memang rentan terhadap prilaku tidak adil dan tindakan kezaliman terhadap perempuan (istri) dan anak-anak. Pemahaman tersebut di perkuat dengan firman Allah yang terdapat dalam surat yang lain: ... ُ!&ْ )ِ َBَ I َ َواَ" ِ! ُا ا Kawinkanlah orang-orang yang sendirian (Al-Nur, 24:32) Lafaz al-ayyâmâ berarti orang yang belum memiliki pasangan. Ayat tersebut menganjurkan seseorang untuk menikah dengan, atau menikahkan orang yang belum memiliki pasangan (laki-laki atau perempuan). Oleh karena itu, ayat al-Qur’an itu 54 Rahmat Syafi’ie, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 308. Fakihudin Abdul Kodir, Memilih Monogami Pembacaan atas al-Qur’an dan Hadits Nabi, (Yogyakarta:Pustaka Pesantren, 2005),100. 55 51 justru menganjurkan perkawinan monogami.56 Sejalan dengan itu, dalam al-Qur’an dan Terjemahnya, kata واَ" ِ! ُا َ diartikan dengan “kawinkanlah”. Selanjutnya dijelaskan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah supaya laki-laki yang belum kawin atau perempuan yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.57 Pada surat al-Nisa’:129 Allah menegaskan bahwa para suami yang berpoligami tidak akan sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun sudah berusaha untuk melakukannya. Monogami adalah bentuk perkawinan yang paling umum, alami, dan manusiawi.58 Ungkapan tersebut sangat tepat karena semua perempuan yang normal tidak ada yang mau dimadu. Bahkan, laki-laki pun tidak rela jika ibunya, atau anak perempuannya, atau saudara perempuannya dimadu. Muhammad Rasulullah, pelaku poligamipun melarang Ali bin Abu Thalib (menantunya) memadu Siti Fatimah (puteri Rasul). Berkaitan dengan perkawinan monogami dan larangan keras terhadap Ali ini, ada hadits yang menyatakan bahwa ketika Rasul SAW mengetahui bahwa Ali bin Abi Thalib dilamar oleh Bani Hisyam bin Mughirah, beliau langsung berkhutbah di atas mimbar yang isinya bahwa beliau sangat tidak mengizinkan Ali bin Abi Thalib (sampai tiga kali), menantunya, memadu anaknya Fatimah binti Muhammad.59 Khutbah tersebut di dalam hadits tertera sebagai berikut: 56 Ibid,101. Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Humaniora Utama Press,1991),549. 58 Murtadha Muthahhari, terjmh. M.Hashem, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Lentera Basritama, 1995),206. 59 Syayid Sabiq, alih Bahasa Moh.Thalib, Fikih Sunnah, jilid 6, 7, 8, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), 146. 57 52 أذنF/ G , 0:( أ: 0<H ( *:ا أن !ا إ.ذIJة إK( ا: مM ه0: إن *: إO! وP: إQ<1! أنG, P:( ا: ان !! اR اذن إ3 *= اذن3 *= * اذاهP.ذS! و: اراPT!! P U: P: إ.>/ Artinya: Sesunguhnya Bani Hisyam bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan anak perempuannya dengan Ali bin Abi Thalib. Tetapi aku tidak mau mengizinkan, lalu aku tidak mau mengizinkan, dan kemudian aku tidak mau mengizinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib lebih dahulu menceraikan anak perempuanku, lalu kawin dengan anak perempuan mereka. Sebab anak perempuanku adalah darah dagingku. Kalau ia dibuat tidak senang berarti aku pun dibuat tidak senang, dan kalau ia disakiti berarti aku disakiti. (Riwayat Bukhari dan Muslim). Pernyataan Rasul melarang Ali memadu Fatimah itu merupakan gambaran bahwa perempuan yang dimadu itu tidak senang dan cenderung di sakiti serta tidak seorang pun dari orang tua yang rela jika puterinya dimadu termasuk Rasul sendiri. Hadits tersebut terdapat di dalam beberapa kitab Hadits, kitâbu al-sittah, yakni Shahih Bukhari dalam bab nikah, yakni hadits ke 4829; Shahih Muslim bab Fadhail Ashhabah, yakni hadits ke 4482: Sunan Abu Dawud dalam bab al-Nikah, yakni hadits ke 1773 dan Sunan Ibn. Majah dalam bab nikah, yakni hadits ke 1988; Sunan Atturmizi, dalam bab Al-Manakib, yakni hadits ke 3804, dan Musnad Ahmad bin Hanbal, yakni hadits ke 18164. Hadits yang melarang Ali berpoligini itu di pahami sebagai isyarat bagi orang yang menolak poligini bahwa Rasul melakukan poligini tidak perlu ditiru oleh umatnya. Amalan Rasul berpoligini itu adalah khusus untuk Rasul dan sunnah yang tidak mengandung unsur syari’ah atau tidak bisa di jadikan dasar hukum. Oleh sebab itu, tidak perlu diikuti oleh umatnya. 53 D. Pembahasan Ayat dengan Metode Ushûl al-fiqh Ayat al-Qur’an menurut kajian ushûl al-fiqh merupakan sumber dalil dalam urutan pertama dan utama karena ayat tersebut adalah firman atau kalam Allah. Keberadaannya adalah qath`iy al-wurûd, yakni betul-betul pasti berasal dari Allah. Firman Allah dalam al-Nisa: 3 membicarakan tentang nikah. Dengan demikian, syari’at atau perintah menikah adalah qath`iy, yakni berasal dari Allah secara pasti dan tidak di ragukan sedikitpun. Lafaz ا ْ" ِ! ُاpada ْ" ِ! ُا#َ dalam ayat itu terdiri dari = فmaka, ح#!" اdan وا. Lafaz ح#!" adalah akad, berarti perbuatan fisik dan dapat di tangkap oleh pancaindera. Termasuk ahkâm `amaliyah, mu’âmalah atau furu`iyah bukan i`tiqadiyah (keyakinan). Dalam kajian Ushûl al-fiqh, semua akad (meliputi akad nikah) termasuk ت3)#م ا#!?ا, yaitu hubungan sesama manusia. Berdasarkan kepada hadits Nabi آ#")رد#- ا" ا, kaidah fiqhiyah yang di pergunakan untuk urusan muamalah adalah O?#-ء ا#P اQ RS ا, hukum asal sesuatu itu adalah boleh. Oleh sebab itu, hukum asal dari nikah adalah boleh. Apabila susunan ayat 3 surat al-Nisa’ tersebut di cermati secara utuh, maka hukum asal kawin adalah boleh bukan wajib. Menurut Asyathibi, mubah bisa di haramkan jika dilihat dari segi kulli. Hukum mubah bisa berubah menjadi haram apabila perbuatan tersebut akan membawa kemudharatan.60 Contohnya kawin itu hukumnya haram, jika sipelaku yakin akan berbuat zalim kepada pasangannya, baik suami kepada istri maupun 60 Rahmat Syafi’e, Ilmu Ushul fikih untuk IAIN, STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 311. 54 sebaliknya isteri kepada suami. Jika ia khawatir akan menganiaya pasangannya, maka hukumnya makruh tahrim.61 Lafaz ْ" ِ! ُا#َ fankihû pada ayat tersebut adalah fi`il amr :) اR, yang menurut kaidah fiqhiyah بG :) اQ RS ا, lafaz ا ْ" ِ! ُاpada ْ" ِ! ُا#َ dalam ayat itu sebagai :) اR , seharusnya mengandung perintah untuk wajib. Akan tetapi, pada ayat tersebut, ْ" ِ! ُا#َ di pahami bukan perintah untuk wajib karena pada ayat tersebut tersusun dari kalimat yang diawali dengan ُا ِ ْ ُ ْـُ َأ ِ ْ َوِإنdan ُْ َأ ِ ِْإن َ ْ ُِاKedua kalimat ini adalah qarinah yang menunjukkan bahwa ُا ِ ْ ُ َأdan َأ َ ْ ُِاmenjadi syarat dan juga menjadi penghalang, maka hukum asal menikah (baik monogami maupun poligini) bukan wajib. Jadi, pada susunan ayat tersebut berlaku kaidah O?#- 3:) اQ RSا, bukan kaidah بG :) اQ RSا. واadalah kata ganti orang kedua jamak, berarti kamu sekalian, maksudnya orang mukallaf sebagai subyek hukum. Apabila di tinjau dari aspek dalil, maka ayat tersebut dalilnya menunjukkan dzanniy O اQ&T. Berarti hukum menikah asalnya adalah dzanni (dugaan), yaitu tergantung pada niat, situasi, dan kondisi orang yang akan menikah. Lafaz ُا ِ ْ ُ َأmenjadi penghalang bagi laki-laki menikahi anak yatim dan solusinya menikahi perempuan lain secara poligini. Lafaz َ ْ ُِا َأmenjadi penghalang bagi laki-laki menikahi perempuan lain itu secara poligini dan solusinya kawin secara monogami. Dengan demikian, ayat tersebut dapat di pahami bahwa jika hendak menikahi perempuan yatim harus memenuhi persyaratan terlebih dahulu, 61 Ibid,179. 55 yakni berlaku adil terhadap perempuan yatim itu. Jika khawatir tidak bisa berlaku adil, maka solusinya kawin dengan perempuan lain (selain anak yatim) meskipun berpoligami, tetapi dibatasi sampai empat orang istri. Kawin dengan perempuan lain secara poliginipun harus memenuhi syarat, yakni berlaku adil terhadap istri-istri yang tersebut. Jika tidak bisa berlaku adil, solusinya kawin dengan perempuan lain itu secara monogami, yaitu seorang saja. Karena pada ayat itu terdapat sebab, penghalang, dan atau syarat, ayat tersebut mengandung hukum U ( اwadh`î). Menurut Rachmat Syafe`i, hukum wadh`î adalah firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang.62 Khallaf membagi hukum wadh`î menjadi lima bagian, yaitu FV اsebab, ط:X اsyarat, ,"# اpenghalang, OBA وا,OE : اkeringanan dan `azimah, dan ن3V واO E اkeshahihan dan kebatalan.63 Hukum wadh`î yang terdapat pada ayat tersebut adalah FV اsebab, ط:Xا syarat, dan ,"# اpenghalang. Ketentuan dalam hukum wadh`î adalah ada syarat ada hukum, tidak ada syarat tidak ada hukum. Penerapan hukum U ( اwadh`î) pada ayat itu, berarti tidak terpenuhi syarat berlaku adil, maka tidak ada perkawinan dengan anak yatim dan tidak ada perkawinan secara poligini. Sedangkan penghalang adalah sesuatu yang dengan keberadaanya menyebabkan tidak ada hukum atau membatalkan sebab. Pada ayat tersebut, berarti terdapat kekhawatiran tidak akan berlaku adil pada laki-laki, menyebabkan tidak ada atau ia tidak boleh melakukan 62 63 Ibid, 312. Ibid, 117. 56 perkawinan dengan anak yatim dan tidak boleh pula melakukan perkawinan secara poligini. Ibnu Arabi dalam tafsir ayat ahkam mengatakan bahwa ُا ِ ْ ُ ْـُ َأ ِ َْوِإن menurut mayoritas ulama’ tafsir berpendapat bahwa artinya adalah; apakah kamu yakin dan mengetahui secara pasti. Kata khauf ( ) فwalaupun menurut bahasa memiliki arti dugaan yang cenderung mengetahui keberadaannya dibanding tidak adanya, akan tetapi terkadang memiliki arti yakin dan mengetahui. Abu Ja’far ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan bahwa pendapat yang lebih utama dari sekian banyak pendapat yang menafsirkan ayat ...........ُا ِ ْ ُ ْـُ َأ ِ َْوِإن adalah demikian juga, takutla kamu dalam urusan perempuan. Maka janganlah kamu menikahi perempuan, kecuali kamu tidak merasa khawatir berbuat tidak adil kepada mereka.64 Menikahi perempuan dari satu sampai empat boleh, namun jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap satu perempuan, maka jangan menikahinya. Surat al-Nisa’ ayat: 3 umumnya di pahami melalui pendekatan al-syarth dan jawab al-syarth. ُا ِ ْ ُ ْـُ َأ ِ ْ َوِإنadalah sebagai syarth. Sedangkan jawab al-syrth adalah , َ -َ َو ُر/ َ َُـ0 &َ َو1ْ )َ ِء%َ& ' ا َ )( ُ!َ ب َ #َ+#َ) ْ" ِ! ُا#َ. Melalui pendekatan tersebut diperoleh dua pemahaman dari ayat. Pertama, jika kamu takut akan menzalimi anak yatim manakala kamu menikahi ibu mereka, maka nikahilah orang lain saja, dua, 64 Imam Zaki al-Barudi, Tafsir al-Qur’an Wanita (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004),311. 57 tiga, dan empat. Kedua, jika kamu takut menzalimi anak yatim, maka menikahlah dengan perempuan lain saja dua, tiga atau sampai empat.65 Ayat 3 tersebut dapat juga di pahami melalui pendekatan shifat maushuf َ -َ َو ُر/ َ َُـ0 &َ َو1ْ )َ seperti diijtihadkan oleh Muhammad Salman Ghanim bahwa , adalah shifat. Lafaz ِء%َ& اpada ayat itu adalah maushufnya. Dengan pendekatan shifat maushuf ini, diperoleh pemahaman bahwa jika kamu takut menzalimi atau tidak bisa berbuat adil kepada anak yatim, maka kawinilah perempuan-permpuan (ibu-ibu) yang mempunyai anak yatim. Makna ini di dukung dan di kuatkan lagi dengan ayat lain dalam al-Qur’an sebagai realisasi pemahaman integral atas alQur’an.66 Menurut Ibnu Arabi dalam Tafsirnya berpendapat bahwa kata و َ / َ َُـ0 &َ َو1ْ )َ ,َ -َ ُرterkadang di salah artikan oleh orang-orang yang tidak tahu. Berdasarkan ayat tersebut mereka membolehkan menikahi perempuan hingga sembilan. Mereka tidak tahu bahwa kata matsna dalam bahasa arab memiliki arti dua dan dua kali. Sedangkan tsulatsa memiliki arti tiga dua kali. Kata ruba’a ungkapan dari empat dua kali. Sehingga ketika ketika yang diambil dari ayat tersebut makna yang tersurat, kemudian di masukkan kedalam makna secara bahasa, terciptala pendapat yang menyatakan bahwa seorang laki-laki di perbolehkan menikah dengan delapan belas perempuan. ا ْ" ِ! ُاterdiri dari ح#!" اdan وا. ح#!" اadalah perbuatan fisik dan dapat di tangkap oleh pancaindera, ia termasuk kajian fiqh amaliyah atau furu`iyah bukan 65 Muhammad Salman Ghonim, Terj. Kamran Asad Irsyadi, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 89. 66 Ibid,190. 58 i`tiqadiyah. واadalah kata ganti orang kedua jamak, berarti kamu sekalian, maksudnya orang mukallaf sebagai subyek hukum. َ )( ُ!َ ب َ #َ+#َ) ْ" ِ! ُا#َ kata ‘ma’ thaba lakun bukan Alasan kenapa dalam ِء%َ& ' ا ‘man’ thaba, karena ‘ma’ biasanya di pakai untuk selain manusia. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya bukan seperti termaktub dalam kata tersebu, tetapi maksudnya adalah nikahila dengan nikah yang baik. Oleh karena itu arti dari ِء%َ& ' ا َ )( ُ!َ ب َ #َ+#َ) ْ" ِ! ُا#َ adalah perbuatan, bukan menerangkan perempuan tertentu. Karenanya firman diatas menggunakan kata ‘ma’ dan bukan man. Menurut Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat......... ِء%َ& ' ا َ )( ُ!َ ب َ #َ+#َ) ْ" ِ! ُا#َ nikahilah perempuan yang kamu senangi, selain perempuan yatim. Sedangkan Ibnu Abas dan ulama’ tafsir lainnya berpendapat bahwa ayat di atas hanya menunjukkan kebolehan mengambil istri satu sampai empat. Imam Syafi’i berkata: sabda Rsul adalah sebagai penjelas firman Allah menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi siapapun, selain Rasul untuk mengambil istri lebih dari empat. A’isyah meriwayatkan dari Nabi bahwa makna َ ُُاadalah agar kalian tidak berbuat jahat. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa makna dari kata tersebut adalah janganlah kalian condong pada salah satu istri kalian pendapat ini merupakan pendapat Ibnu Abbas, Hasan, Qotadah, Rabi’, Sadi, Ibnu Qutataibah. Berdasarkan uraian-uraian diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pokok pembahasan ayat 3 surat al-Nisa’ itu adalah masalah di sekitar anak yatim. Poligini dalam ayat tersebut sangat terkait erat, yakni hubungan sebab akibat 59 dengan anak-anak yatim yang kehilangan ayah, sementara ibunya masih hidup dalam keadaan menjanda. Oleh karena itu kurang tepat bila dengan serta merta ayat tersebut dianggap sebagai ayat yang membolehkan poligini secara mutlak atau langsung disebut sebagai ayat poligini. Berdasarkan al-Qur’an, surat al-Nisa’ ayat 3, dipahami bahwa menikah secara poligini terbatas adalah solusi daripada menikahi perempuan yatim yang tidak dibarengi dengan berlaku adil. Selain sebagai solusi, nikah secara poligini adalah pilihan bersyarat. Syaratnya berat dan sulit, yakni adil lahir dan batin, bukan karena isteri sakit, cacat, atau mandul. Perlakuan yang tidak adil menjadi penghalang sahnya berpoligini. Latar belakang Sosiologis sebab turun ayat tentang poligami, yaitu kebiasaan prilaku wali anak wanita yatim yang mengawini anak yatimnya dengan tidak adil dan manusiawi. Hukum Perkawinan Islam membolehkan bagi seorang suami melakukan poligini dengan syarat yakin atau menduga kuat mampu berlaku adil terhadap istriistrinya, sebagaimana yang di isyaratkan oleh kata kunci 3 surat al-Nisa’: “maka jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja”. Kebolehan poligini ini bukan anjuran tetapi salah satu solusi yang diberikan dalam kondisi khusus kepada mereka (suami) yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat tertentu. Makna keadilan sebagai syarat poligini bukan pada keadilan makna batin (seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Sebagaimana di isyaratkan oleh ayat 129 surat al-Nisa’dan latar belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (ayat 3 al-Nisa’). 60 Illat hukum kebolehan poligami lebih didorong oleh motivasi sosial dan kemanusiaan sebagai sarana dakwah sebagaimana yang menjadi latar belakang sebab turun ayat poligini (ayat 3 al-Nisa’) dan praktek poligini Rasulullah Saw. Bukan hanya pada motivasi seks dan kenikmatan biologis. 61 BAB III BIOGRAFI MUHAMMAD SYAHRÛR A. Sketsa Historis 1. Biografi Intelektual Muhammad Syahrûr yang selanjutnya disebut Syahrûr merupakan seorang insinyur berkebangsaan Syiria, lahir tanggal 11 April 1938.67 Sebagai buah perkawinan dari Deib ibn Deib Syahrûr dan Siddiqah bint Salih Filyun.68 Syiria berada sekitar 80 km dekat Mediterania berada pada daratan tinggi 680 m diatas permukaan laut. Syiria seperti negara-negara Timur Tengah, tercatat sebagai negara yang memiliki pengaruh luar biasa dalam kanca pemikiran dunia Islam, baik 67 Muhammad Syahrûr, Al-Kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah cet.1 (Damaskus al-Ahali li alThiba’ah wa al-Nasyr, 1990), 654. 68 Muhammad Syahrûr, Al-Islam wa al-Iman; Manzumat al-Qiyam (Damaskus: Al-Ahali, 1996), halaman persembahan. 61 62 sosial, politik, budaya dan intelektual serta perna mengalami modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modenitas Barat.69 Dampak dari modernisasi Turki, Syiria perna menjadi region dari dinasti Umayah, terbukti melahirkan banyak figur pemikir dari berbagai ragam disiplin ilmu pengetahuan termasuk yang paling mutakhir adalah Jamal al-Din al-Qasimi (18661914) dan Thahir al-Jaza’iri (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syiria.70 Gagasan al-Qasimi ini selanjutnya diteruskan oleh Thahir al-Jaza’iri beserta teman-temannya, dan gagasannya lebih mengarah pada upaya pemajuan dalam bidang pendidikan. Dari situ kemudian akan terlihat bahwa iklim berintelektual di Syiria setingkat lebih maju di bandingkan negara-negara muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Kondisi demikian menjadikan orang-orang liberalis seperti Syahrûr dapat dengan leluasa menelorkan ide-ide kreatifnya.71 Salah satu persoalan terbesar dan terus-menerus menjadi agenda dalam pembaharuan Islam dan kehidupan muslim adalah bagaimana memandang hubungan antara tradisi dan modernitas. Sikap apapun, baik menolak atau menerima rekontruksi keduanya dalam kehidupan kaum muslim, tentunya sangat mempengaruhi corak pembaharuan yang hendak diadvokasikan.72 69 Damaskus, sumber: http/www.en.wikipedia.orgwikiMuhammad_Shahrur. (diakses pada tanggal 10 Februari, 2008),1. 70 Nugraha Dewanto, “Biografi Muhammad Syahrûr,”, www.mail-archive.comppiindia@yahoogroups. com msg60918.html - 23k – (diakses pada: 10 Februari 2008),3. 71 Ibid. 72 Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hasan Hanafi (Jakarta: Penerbit Teraju, 2002),1. 63 Montgomery Watt dalam bukunya Islamis Fundamentalism and Modernity menjelaskan bahwa pergulatan pemikiran Islam tidak lain adalah bagaimana Islam harus membangun citra dirinya (self image of Islam) di tengah realitas dunia yang senantiasa berubah dan berkembang. Pemikiran Islam modern tidak lepas dari mainstream agenda besarnya sebagaimana Islam harus berkiprah di tengah gempuran modernitas. Hal ini kemudian menjadi pekerjaan besar para pemikir Islam untuk merumuskan dan memberi solusi intelektual terhadap permasalahan tersebut. Realitas dari solusi tersebut kemudian membawa berbagai aliran pemikiran Islam seperti modernitas, tradisionalis, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Jabiri.73 2. Latar Belakang Intelektual Syahrûr mengawali karir intelektualnya pada pendidikan dasar dan menengah di tanah kelahirannya, tepatnya dilembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi, Damaskus. Pendidikan menengahnya ia selesaikan pada tahun 1957, dan setelah menuntaskan pendidikan menengahnya, Syahrûr melanjutkan pendidikannya di Moskow untuk mempelajari teknik sipil (handasah madaniyah) atas beasiswa pemerintah setempat.74 Moskow merupakan tempat Syahrûr mulai berkenalan dan terkesan serta tertantang dengan teori dan praktik Marxis yang terkenal dengan teori dialektika Materealisme dan Materealisme Historis. Namun demikian, sebagaimana dikemukakan sendiri pada Peter Clark, ia banyak berhutang budi pada sosok Hegel dan Alfred North Whitehead. Pada masa itu pula Syahrûr mulai berkenalan dan akrab dengan tradisi formalisme Rusia, akar tradisinya diadopsi dari struktualisme 73 M. Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Terj. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000),186. M.Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq, Tafsir Ayat-ayat Gender dalam Al-Qur’an:Tinjauhan terhadap Pemikiran Muhammad Syahrûr dalam Bacaan Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2001),237. 74 64 linguistik yang digagas oleh Ferdinal De Saussure. Gelar diploma dalam bidang tersebut, di raih pada tahun 1964.75 Setelah meraih gelar diploma, Syahrûr kembali ke Syiria untuk mengabdikan diri sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Syahrûr melanjutkan studinya di Irlandia, tepatnya di University College. Pada bulan juni tahun itu, terjadi perang antara Inggris dan Syiria yang mengakibatkan renggangnya hubungan diplomatik antara dua negara tersebut. Namun hal itu tidak menghambat untuk segera menyelesaikan studinya. Terbukti ia kembali lagi berangkat ke Dublin untuk menyelesaikan program master dan doktornya dibidang mekanika pertanahan (soil mechanics) dan teknik bangunan (foundation engineering), gelar doktor ia peroleh pada tahun 1972.76 Selain sebagai dosen, pada tahun 1982-1983 M, Syahrûr dikirim kembali oleh pihak Universitas Damaskus untuk menjadi tenaga ahli pada al-Sa’ud Consult Arab Saudi bersama beberapa rekannya di Fakultas Teknik membuka biro konsultasi teknik dar al-Isytisyarat al-Handasiyyah di Damaskus.77 3. Latar Belakang Keagamaan Pada dasarnya setiap produk pemikiran, intelektual tidak bisa lepas dari peristiwa atau situasi sosial budaya (historisitas) yang melingkupinya. Dengan kata lain, suatu kegiatan intelektual atau kontruksi pemikiran yang muncul memiliki relasi positif dan signifikan antara realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran dengan berbagai fenomena yang berkembang dimasyarakat.78 Demikian juga Syahrûr 75 Ahmad Fawa’id Sjadzali, “M.Shahrur: Figur Fenomena dari Syiria,” hppt: www.islamlib.com enpage.phppage=article&id=693 (diakses pada 10 Februari 2008), 2. 76 Ibid. 77 Ibid. 78 Muhammad Syahrûr, Op Cit, 35. 65 yang telah menghasilkan pemikiran tidak dapat dipisahkan dari fenomena masyarakat muslim yang sedang dalam situasi kebekuan pemikiran dan merebaknya praktik taqlid dalam menyikapi teks-teks keagamaan. Sebagaimana umumnya kondisi umat Islam di Timur Tengah khususnya Syiria tempat Syahrûr lahir. Dengan menggunakan metode linguistik, Syahrûr kemudian membangun teori batas, yang didasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah yakni al-hanîf dan al-istiqâmah. Menurut Syahrûr, kata al-hanîf berasal dari kata hanafa yang dalam bahasa Arab berarti bengkok, melengkung (hanafa); atau bisa pula dikatakan untuk orang yang berjalan di atas dua kakinya (ahnafa) dan atau berarti orang yang bengkok kakinya (hanufa). Adapun kata istiqamah, berasal dari kata qaum yang memiliki dua arti: (1) berdiri tegak (al-intishâb) dan atau kuat (al-‘azm). Berasal dari kata al-intishâb ini muncul kata al-mustaqîm dan al-istiqâmah, lawan dari melengkung (al-inhirâf); sedangkan dari al-‘azm, muncul kata al-dîn al-qayyîm (agama yang kuat dalam kekuasaannya).79 Analisa-analisa linguistik terhadap term al-hanafiyyah dan al-istiqâmah inilah yang akhirnya mengantarkan pada sebuah ayat dalam Q.S. 6: 161, yang memaparkan tiga term pokok: al-dân al-qayyîm, al-mustaqîm, dan al-hanîf, yang nampak sekilas bertentangan, karena memadukan dua hal yang sifatnya kontradiktif.80 79 Ibid,447. Redaksi ayat 6: 161 itu selengkapnya berbunyi: Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus (shirât mustaqîm), (yaitu) agama yang benar (dînan qiyaman); agama Ibrahim yang lurus (millata Ibrâhîm hanîfan); dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orangorang yang musyrik." 80 66 Setelah menganalisa Q.S. 6: 79, Syahrûr memperoleh pemahaman bahwa alhunafâ adalah sifat alami dari seluruh alam.81 Langit, bumi, dan bahan elektron yang sekecil sekalipun sebagai bagian dari kosmos, bergerak dari garis lengkung. Tidak ada dari tata alam itu yang tidak bergerak melengkung. Sifat inilah yang menjadikan tata kosmos itu menjadi teratur dan dinamis. Al-Hanif, dengan demikian adalah agama yang selaras dengan kondisi ini karena al-hanif, merupakan pembawaan yang bersifat fitriah. Manusia, sebagai bagian dari alam materi, juga memiliki sifat perbawaan fitriah ini. Sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga terjadi. Realitas masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tradisi sosial, kebiasaan atau adat. Oleh karena itu, as-shirat al-mustaqim, adalah sebuah keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Dengan demikian, as-siratal mustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum. Berangkat dari dua kata kunci di atas, Syahrûr kemudian merumuskan teorinya yang banyak memancing kontroversi, yaitu teori batas. Syahrûr menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqâmah, bagaikan kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu dan sejarah. Sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan Allah swt. Kurva (al-hanafiyyah) menggambarkan dinamika, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang telah ditentukan Allah SWT (sumbu Y). Dengan demikian, hubungan antara kurva 81 Redaksi ayat 6: 79 berbunyi: "Sesungguhnya aku menghdapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (hanîfan), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." 67 dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik yang tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukan bahwa hukum itu adaptable terhadap ruang dan waktu. Syahrûr kemudian menganalkan apa yang disebut sebagai teori batas. Ia mengatakan bahwa Allah telah menetapkan konsep-konsep hukum yang maksimum dan yang minimum, al-istiqamah, dan manusia bergerak dari dua batasan tersebut, al-hanafiyah (curvature).82 Komarudin Hidayat dalam bukunya Atang dan Jaih Mubarok metologi penelitian agama Islam menjelaskan tipologi sikap keberagaan umat Islam terdiri dari: eksklusivisme, inklusivisme, pruralisme, ekletikvitisme, dan universalisme. Kelima tipologi ini masing-masing tidak terlepas dari yang lain, dan tidak pula bersifat permanen; tetapi lebih tepat dikatakan sebagai kecenderungan. 1. Eksklusivisme berpandangan bahwa ajaran yang paling benar adalah agama yang dipeluknya. Agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya di konvensi, karena baik agama atau pemeluknya dinilai terkutuk dalam pandangan Tuhan. 2. Inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang di peluknya, juga terdapat kebenaran meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang di anutnya. 3. Pruralisme berpandangan bahwa secara teologis pruralisme agama di pandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris atau dakwa tidak dianggap relevan. 4. Eklektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih dan mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok 82 Ibid,450-452. 68 untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mozaik yang bersifat elektik. 5. Universalisme berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya karena faktor historis-antropologis, agama kemudian tampil dalam format prural.83 Pandangan para pemikir Arab kontemporer (pasca '67) tentang tradisi dan modernitas, secara umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana pemikiran Arab kontemporer: Pertama, tipologi transformatik. Tipologi ini mewakili para pemikir Arab yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus ditinggalkan. Kelompok ini diwakili pertama kali oleh pemikir-pemikir Arab dari kalangan Kristen, seperti Shibli Shumayl, Farah Antun dan Salamah Musa. Kini, kelompok itu diteruskan oleh pemikir-pemikir yang kebanyakan berorientasi pada Marxisme seperti Thayyib Tayzini, Abdullah Laroui dan Mahdi Amil, di samping pemikir-pemikir liberal lainnya seperti Fuad Zakariyya, Adonis, Zaki Nadjib Mahmud, Adil Daher dan Qunstantine Zurayq.84 Kedua adalah tipologi reformistik. Jika pada kelompok pertama metode yang diajukan adalah transformasi sosial, pada kelompok ini adalah reformasi dengan 83 84 Atang Ibid. 69 penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman. Kelompok ini lebih spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan. Pertama, para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu, melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi suatu masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka harus dibangun kembali secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Perspektif ini berbeda dengan kelompok tradisionalis yang lebih memprioritaskan metode "pernyataan ulang" (restatement, reiteration) atas tradisi masa lalu. Menurut yang terakhir ini, seluruh persoalan umat Islam sebenarnya pernah dibicarakan oleh para ulama dulu, karena itu, tugas kaum Muslim sekarang hanyalah menyatakan kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh pendahulu mereka. Pada akhir abad kesembilan belas dan awal-awal abad kedua puluh, kecenderungan berpikir rekonstruktif diwakili oleh para reformer seperti al-Afghani, 'Abduh dan Kawakibi. Pada era sekarang, kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada pemikir-pemikir reformis seperti Hassan Hanafi, Muhammad Imarah, Muhammad Ahmad Khalafallah, Hasan Saab dan Muhammad Nuwayhi.85 Kecenderungan kedua dari tipologi pemikiran reformistik adalah penggunaan metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena baru untuk pemikiran Arab kontemporer. Para pemikir dekonstruktif terdiri dari para pemikir Arab yang dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis dan beberapa tokoh post-modernisme lainnya, seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthes, Foucault, Derrida dan Gadamer. Pemikir garda depan kelompok ini adalah Mohammed Arkoun dan 85 Ibid. 70 Mohammed Abid Jabiri. Pemikir lain yang sejalan dengan Arkoun dan Jabiri adalah M. Bennis, Abdul Kebir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Azmeh dan Hashim Shaleh. Kedua kecenderungan dari tipologi reformistik ini mempunyai tujuan dan cita-cita yang sama, hanya saja metode penyampaian dan pendekatan masalah mereka yang berbeda. Tidak seperti kelompok transformatik yang sangat radikal, para pemikir dari kalangan reformistik masih percaya dan menaruh harapan penuh kepada turâts. Tradisi atau turâts menurut mereka tetap relevan untuk era modern selama ia dibaca, diinterpretasi dan di pahami dengan standar modernitas. Kelompok ketiga adalah tipologi pemikiran ideal-totalistik.Ciri utama dari tipologi ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat totalistik. Kelompok ini sangat committed dengan aspek religius budaya Islam. Proyek peradaban yang hendak mereka garap adalah menghidupkan kembali Islam sebagai agama, budaya dan peradaban. Mereka menolak unsur-unsur asing yang datang dari Barat, karena Islam sendiri sudah cukup, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi.86 Menurut kelompok pemikir dari tipologi ini, Islam tidak butuh lagi kepada metode dan teori-teori import dari Barat. Mereka menyeru kepada keaslian Islam (alashlah), yaitu Islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan keempat Khalifahnya. Para pemikir yang mewakili tipologi ideal-totalistik ini, tidak percaya baik kepada metode transformasi maupun reformasi, karena yang dituntut oleh Islam menurut mereka adalah kembali kepada sumber asal (al-awdah ila al-manba) yaitu al-Qur'an dan al-Hadits.87 86 87 Ibid. Ibid. 71 Dalam banyak hal, metode, pendekatan mereka kepada turâts dapat disamakan dengan kaum tradisionalis. Kendati demikian, mereka tidak menolak pencapaian modernitas, karena apa yang telah diproduksi oleh modernitas (sains dan teknologi) tidak lebih dari apa yang pernah dicapai oleh kaum Muslim pada era kejayaan dulu. Para pemikir yang mempunyai kecenderungan berpikir ideal-totalistik adalah para pemikir-ulama seperti M.Ghazali, Sayyid Quthb, Anwar Jundi, Muhammad Quthb, Said Hawwa dan beberapa pemikir Muslim yang berorientasi pada gerakan Islam politik. Berdasarkan pemaparan tipologi pemikiran para tokoh diatas, maka menurut Peter Clak dalam tulisanya The Shahrur Phenomenon:A Liberal Islamic Voice from Syria Syahrûr termasuk kedalam tipologi transformatik hal ini di dasarkan pengakuanya kepada Peter bahwa ia berhutang terhadap pemikirannya Hegel.88 Dialektika yang ditawarkan oleh Syahrûr jika dilacak lebih jauh ternyata bukan barang baru dan juga bukan pemikiran murni Syahrûr. Istilah ini telah dikenal sebelumnya digunakan dan dalam konteks dan pengertian yang berbeda-beda dalam setiap tokoh. Dalam sejarah pemikiran manusia, orang pertama yang menggunakan istilah ini adalah Sokrates, seorang filusuf Yunani sebelum Plato. Dalam pemaknaan klasik ala Sukrates, dialektika diartikan sebagai sebuah metode untuk menemukan kebenaran dengan dialog. Ini sesuai dengan asal kata dari dialektika ini, yaitu dari bahasa Yunani dealegistasi yang artinya adalah bercakap-cakap atau berdialog. Metode ini adalah dengan membenturkan sebuah ide melalui proses dialog antara dua pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya. 88 Peter Clack, “The Shahrur Phenomenon: ALiberal Islamic Voice from Syria” www.wluml.Orgeng lishpubsfulltxt. shtmlcmd%5B87%5D=i-87-2663-32k–(diakses pada: 22 Maret 2008),2. 72 Kemudian pada tahapan selanjutnya dialektika ini digunakan oleh Hegel dan dijadikan sebagai teori untuk menjelaskan sejarah. Dialektika yang dikembangkan Hegel bercorak idealis dengan mengadakan gerak sejarah sebagai perkembangan ide dan pikiran. Ditangan Hegel dialektika ini di jadikan sebagai metode untuk menggambarkan pola perkembangan ide dan pikiran yang terus menerus akan mengarah kepada bentuk yang lebih sempurna.89 Menurut Hegel, proses perkembangan pemikiran melalui pola dialektika yang secara praktis melalui tahapan tesis, antitesis, dan sintesis. Tesis adalah ide pertama yang menjadi preposisi pertama yang dari tesis ini kemudian memunculkan sesuatu yang menjadi lawannya, yaitu anti tesis. Dua yang berlawanan ini (tesis dan antitesis) kemudian menjadi proses interaksi secara terus menerus yang kemudian memunculkan apa yang istilahkan oleh Hegel dengan sintesis. Sintesis ini adalah tesis lain yang muncul setelah terjadinya konflik antara dua yang berlawanan yang kemudian menghasilkan sebuah kompromi antara keduanya. Namun sintesis ini pada tahapan selanjutnya muncul sebagai tesis baru yang memunculkan antitesis yang lebih tinggi dari dua yang pertama. Dari keduanya juga muncul sintesa baru yang lebih tinggi dari yang sebelumnya, demikian seterusnya. Pada abad ke 17 Karl Marxs mengambil dialektika Hegel sebagai landasan untuk merumuskan filsafat materialismenya. Marxs mengadakan modifikasi terhadap dialektika Hegel yang bersifat ideal, untuk menjelaskan bagaimana sejarah manusia merupakan proses yang bertumpu pada persaingan ekonomi dan pertarungan kelas. Menurut Marx, sejarah tidak bisa digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat ideal 89 Ibid. 73 sebagaimana dalam pandangan Hegel, akan tetapi sejarah digerakkan oleh kekuatan ekonomi dalam masyarakat. B. Kegiatan, Karir dan Karya-karya Muhammad Syahrûr Pada tahun 1972 Syahrûr secara resmi menjadi staf pengajar di Universitas Damaskus. Meski disiplin utama ilmunya pada bidang teknik, namun tidak menghalanginya untuk mendalami disiplin ilmu yang lain seperti filsafat. Sebagaimana diakuinya, buku yang di tulisnya di susun kurang lebih dua puluh tahun, tepatnya mulai tahun 1970-1990. Dalam pengantar bukunya, Syahrûr menjelaskan proses penyusunan buku tersebut pada tiga tahapan, yakni: Tahapan pertama: tahun 1970-1980, masa ini diawali ketika berada di Universitas Dublin Irlandia. Masa ini merupakan masa pengkajian (muraja’at) serta peletakan dasar awal metodologi pemahaman al-Dzikir, al-Kitab, al-Risalah, alNubuwwah baik metodologi, istilah-istilah pokok maupun tentang risalah dan kenabian. Kajian selama sepuluh tahun ini kemudian membawanya pada realitas asasiyyah bahwa Islam tidak seperti kajian awal yang hanya bersifat taqlidi, karena tidak dapat menghadirkan produk pemikiran masa lalu kepada masa kini dengan segala problematikanya. Karena itu, ia menegaskan perlunya umat Islam membebaskan diri dari bingkai pemikiran yang taqlidi.90 Tahapan kedua:1980-1986, masa ini merupakan masa yang penting dalam pembentukan “kesadaran linguistik”nya untuk membaca kitab suci. Pada masa ini ia dan Ja’far yang lulus gelar doktornya dalam bidang bahasa (al-lisaniyyah) tahun 1973 di Universitas Moskow. Melalui Ja’far itulah, Syahrûr banyak di perkenalkan pemikiran linguis Arab semisal al-Farra’, Abu Ali al-Farisi dan Ibnu Jinny, serta al90 Muhammad Syahrûr, Op Cit. 46. 74 Jurjani. Melalui tokoh-tokoh tersebut, Syahrûr memperoleh tesis tentang “tidak adanya sinonimitas (adamu al-taraduf) dalam bahasa”. Sejak tahun 1984, Syahrûr mulai menulis pikiran-pikiran penting yang diambil dari ayat-ayat yang tertuang dalam kitab suci. Melalui diskusi dengan Ja’far, Syahrûr berhasil mengumpulkan pemikirannya yang masih terpisah-pisah. Tahun 1984-1986, ia mengkaji pemikiranpemikiran pokok yang terkait dengan al-Quran bersama Ja’far.91 Tahap ketiga: 1986-1990, Syahrûr mulai mengumpulkan hasil pemikirannya yang masih berserakan. Hingga tahun 1987, Syahrûr telah berhasil merampungkan bagian pertama yang berisi gagasan-gagasan dasarnya. Setelah itu, bersama Ja’far, Syahrûr berhasil menyusun “hukum dialektika umum” yang ia bahas di bagian kedua buku tersebut. Pada tahun 1994, al-Ahali Publishing House kembali menerbitkan karya kedua Syahrûr yaitu Dirasat al-Islamiyat al-Mu’ashirah fi al-Daulah wa alMujtama’. Buku ini secara spesifik menguraikan tema-tema sosial politik yang terkait dengan persoalan warga negara (civil) maupun negara (state). Secara konsisten, Syahrûr menguraikan tema-tema tersebut dengan senantiasa terikat pada tawaran rumusan teoritis sebagaimana termaktub dalam buku pertamanya. Selain itu pada tahun 1995, Syahrûr mengeluarkan karyanya dengan tajuk Qira’ah Mu’ashirah al-Qur’an fil Mizan, yang dicetak oleh penerbit: Darunafais Bairut: Libanon, pada tahun 1996, Syahrûr mengeluarkan karyanya dengan tajuk Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam dengan penerbit yang sama. Buku ini mencoba mendekontruksi konsep klasik mengenai pengertian dan pilar-pilar Islam 91 Ibid, 47. 75 dan Iman. Kajian-kajiannya diarahkan pada penelaahan terhadap ayat-ayat yang termaktub dalam kitab suci dengan rumusan teoritis yang ia bangun. Selain karyanya yang berbentuk buku Syahrûr juga banyak menulis artikel yang lebih pendek dibeberapa majalah dan jurnal, seperti: Islam and the 1995 Beijing World Conference on Women, dalam Kuwaiti Newspaper, yang kemudian diterbitkan dalam buku liberal Islam: a Sourcebook (1998), The Devine Texs and Pluralism in Muslim Societies, dalam Muslim Politic Report, selanjutnya “Mitsaq al-Amal alIslamy” (1999) yang diterbitkan oleh al-Ahali Publishing House, dalam bahasa Inggris diterjemahkan oleh Dale F.Eickelman dan Islamil S. Abu Shehadeh dengan judul “Proposal for an Islamic Covenant” (2000). Selain itu, ia sering mempresentasikan pokok-pokok pikirannya tentang al-Quran kaitannya dengan masalah-masalah sosial politik, seperti hak-hak wanita, pluralisme dalam konferensi internasional.92 C. Konstruksi Metodologi Muhammad Syahrûr Metodologi dipahami sebagai bagian dari epistimologi yang mengkaji serangkaian langkah-langkah yang ditempuh guna memperoleh pengetahuan yang bersifat ilmiah. Pembahasan mengenai metodologi tidak bisa dilepaskan dari asumsiasumsi yang memasuki wilayah apriori, dugaan mendahului pengalaman. Karenanya metode sangat terkait dengan epistimologi dan tidak dimaksudkan sebagai langkahlangkah metodis.93 Kontruksi metodologi yang ditawarkan Syahrûr dalam membaca al-Kitab adalah metode ilmiah (science). Untuk mengetahui metodologi yang digunakan 92 Sahiron Samsuddin, Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrûr dalam Penafsiran al-Quran dalam Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin (Ed), Studi al-Quran Kontemporer (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana, 2002),132. 93 Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),107. 76 Syahrûr dalam ‘membaca ulang’ al-Qur’an, penting untuk melihat terlebih dahulu basis epistemologis apa yang dikemukakannya dalam bagian pendahuluan dari karyanya al-Kitâb wa al-Qur’ân. Pertama, permasalahan mendasar dalam filsafat adalah persoalan hubungan antara kesadaran akal (ide) dan materi (wujud konkrit). Menurutnya sumber pengetahuan manusia adalah alam materi yang berada di luar diri manusia. Ini berarti pengetahuan yang sesungguhnya bukanlah semata-mata bentuk pikiran, akan tetapi sesuatu yang terdapat padanannya di dalam realitas empiris (konkrit). Bertolak dari asumsi ini, Syahrûr menolak aliran idealisme yang mengklaim pengetahuan manusia sekedar pengulangan-pengulangan pikiran-pikiran yang ada dalam dunia ide. Keyakinan ini didasarkan atas Q.S. an- Nahl: 78 yang menunjukkan bahwa Allah telah mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan tidak tahu, kemudian Dia berikan kepadanya pendengaran, penglihatan, dan akal.94 Kedua, bertolak dari pandangan bahwa pengetahuan manusia berasal dari luar dirinya tersebut, ia menawarkan filsafat Islam modern yang didasarkan atas pengetahuan yang bertolak dari hal-hal yang konkrit yang dapat dicapai oleh indera manusia terutama pendengaran dan penglihatan untuk mencapai pengetahuan teoritis yang murni (benar). Ia menyerukan penolakan terhadap pengetahuan yang didasarkan atas ilham (al isyrâqiyyah al ilâhiyyah) yang hanya dimiliki oleh ahl kasyf atau ahl Allah.95 Ketiga, bahwa manusia dengan kemampuan akalnya mampu menyingkap seluruh misteri alam, hanya saja membutuhkan tahapan-tahapan tertentu. Karena 94 M.Zainal Abidin, “Reformulasi Islam dan Iman: Kembali kepada Tanzil Hakim dalam Perspektif Muhammad Syahrûr,” Jurnal Millah Vol. III No. 1 Agustus, 2001),7. 95 Ibid. 77 keseluruhan alam bersifat empirik-materialis termasuk yang selama ini dianggap sebagai ruang hampa. Karena kehampaan atau kekosongan tidak lain merupakan salah satu bentuk dari materi itu sendiri.96 Keempat, bahwa pemikiran manusia mula-mula berupa pemikiran yang terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh pendengaran dan penglihatan saja, kemudian meningkat hingga mencapai pemikiran murni yang bersifat umum. Oleh karena itu, alam nyata merupakan permulaan bagi alam materi yang dapat dikenal oleh indera manusia. Pengetahuan manusia akan terus bertambah hingga mencapai hal-hal yang hanya dapat ditangkap oleh akal. Menurut Syahrûr alam nyata dan alam gaib sama-sama merupakan materi. Perkembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini baru mencapai hal-hal yang konkrit di alam nyata, ia akan terus berkembang hingga mencapai hal-hal yang berada dalam wilayah gaib. Hanya saja sampai saat ini hal itu belum terwujud.97 Kelima, tidak ada pertentangan antara al-Qur’ân dan filsafat yang merupakan induk ilmu pengetahuan. Karenanya, dalam kerangka ini proses penta’wilan alQur’ân tepat dilakukan oleh orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan (alrâsikhûna fî al-‘ilm), sebab kemampuan mereka dalam mengajukan argumentasi dan data-data ilmiah.98 Keenam, bahwa alam diciptakan dari materi, bukan dari ketiadaan. Hanya saja sifat materi tersebut berbeda dengan yang ada sekarang dan nantipun akan 96 Ibid,43. Ibid. 98 Ibid. 97 78 diganti dengan materi yang berbeda pula, yakni alam lain yang dikenal sebagai alam akherat.99 Berangkat dari dasar-dasar epistemologis yang dibangunnya di atas, Syahrûr kemudian menawarkan satu model pembacaan yang menurutnya baru terhadap alKitâb, yaitu suatu pembacaan yang dilandasi dengan prinsip-prinsip metodologis sebagai berikut: Pertama, kajian menyeluruh dan mendalam terhadap bahasa Arab (al-lisân al-‘arabi) dengan berlandaskan kepada metode linguistik Abu Ali al-Farisi yang tercermin dalam pandangan dua tokohnya, yaitu Ibn Jinni dan Abd al-Qâhir alJurjânî, disamping menyandarkan kepada syair-syair jahili.100 Kedua, memperhatikan temuan-temuan baru dalam wacana linguistik kontemporer yang pada prinsipnya menolak adanya sinonimitas dalam bahasa, tetapi tidak sebaliknya. Artinya, dalam perkembangannya, satu kata bisa saja hilang atau bahkan membawa makna baru. Syahrûr melihat kecenderungan ini tampak dengan jelas dalam bahasa Arab. Selanjutnya, Syahrûr menganggap mu’jam Maqâyis alLughâh karya al-Farisi sebagai pilihan paling tepat untuk dijadikan rujukan, karena al-Farisi menolak adanya kata-kata sinonim di dalam bahasa.101 Ketiga, dengan asumsi bahwa al-Qur’an senantiasa relevan pada setiap waktu dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân), maka dalam generasi penerus harus memperlakukan kitab suci sebagai totalitas wahyu yang baru saja diturunkan dan dengan asumsi bahwa seolah-olah Nabi Muhammad baru saja wafat. Sikap seperti ini akan mengarahkan pemahaman umat Islam terhadap al-Kitâb selalu kontekstual 99 Ibid. Ibid, 44. 101 Ibid. 100 79 relevan dalam segala situasi dan kondisi apapun. Sejalan dengan sikap ini, umat Islam harus melakukan desakralisasi terhadap semua produk tafsir yang telah dihasilkan oleh ulama terdahulu, karena pada hakikatnya yang sakral hanyalah teks kitab suci itu sendiri.102 Keempat, Allah tidak punya kepentingan untuk mendapatkan petunjuk dan mengenal diri-Nya sendiri, maka itu Al-Kitâb adalah wahyu Allah yang hanya diperuntukan bagi umat manusia, yang sudah pasti bisa dipahami oleh manusia sesuai kemampuan akalnya. Selama al-Kitâb menggunakan bahasa sebagai media pengungkap, maka tidak terdapat satu ayatpun yang tidak bisa dipahami oleh manusia. Karena antara bahasa dan pikiran tidak terjadi keterputusan.103 Kelima, dalam beberapa ayat, Allah mengagungkan peran akal manusia, sehingga bisa dipastikan tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, juga tidak ada pertentangan antara wahyu dan realitas.104 Keenam, penghormatan terhadap akal manusia harus lebih diutamakan dari pada penghormatan terhadap perasaannya. Dengan kata lain, ijtihad-ijtihad Syahrûr lebih berorientasi pada ketajaman nalar ketimbang sensitivitas perasaan orang.105 Dari paparan di atas bisa diketahui bahwa latar pendidikan dalam bidang sains yang dimiliki Syahrûr ternyata memiliki pengaruh kuat, yang membuatnya senantiasa mengedepankan sifat-sifat empiris, rasional, dan ilmiah. Secara sederhana bisa dijelaskan bahwa metode yang digunakan Syahrûr adalah analisis kebahasaan (linguistic analysis) yang mencakup kata dalam sebuah teks dan struktur bahasa, yang disebutnya metode historis ilmiah studi bahasa (al-manhaj al-târîkhy al-ilmy fi 102 Ibid. Ibid, 45. 104 Ibid. 105 Ibid. 103 80 al-dirâsah al-lughâwiyyah). Bahwa makna kata dicari dengan menganalisis kaitan atau relasi suatu kata dengan kata lain yang berdekatan atau berlawanan. Kata tidak mempunyai sinonim (murâdif). Setiap kata memiliki kekhususan makna, bahkan bisa memiliki lebih dari satu makna. Penentuan makna yang tepat sangat bergantung pada konteks logis kata tersebut dalam suatu kalimat (shiyâgh al-kalâm). Dengan kata lain, makna kata senantiasa dipengaruhi oleh hubungan secara linear dengan katakata yang ada di sekelilingnya.106 Dengan bahasa yang berbeda bisa dikatakan bahwa Syahrûr dalam mengkaji ayat-ayat al-Qur’ân menggunakan pendekatan filsafat bahasa, dengan meneliti secara mendalam kata-kata kunci yang terdapat pada setiap topik bahasan, baik melalui pendekatan sintagmatis maupun paradigmatik. Pendekatan sintagmatis memandang makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh kata-kata sebelum dan sesudahnya yang terdapat dalam satu rangkaian ujaran. Dengan pendekatan ini, suatu konsep terma keagamaan tertentu bisa dideteksi dengan memahami kata-kata disekeliling terma tersebut. Adapun pendekatan paradigmatik memandang bahwa suatu konsep terma tertentu tidak bisa dipahami secara komprehensif, kecuali apabila konsep tersebut dihubungkan dengan konsep terma-terma lain, baik yang antonim maupun yang berdekatan maknanya.107 1. Turâts, Moderitas dan Realitas Masyarakat Islam Persoalan mendasar yang mendorong Syahrûr untuk melakukan kajian keislaman, secara global dapat dibedahkan dalam dua dimensi yang saling terkait: pertama realitas masyarakat Islam kotemporer, kedua realitas doktrin dan turâts 106 Ibid, 196. Sahiran Syamsudin, “book revew al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah,”Jurnal Al-Jami’ah, (1998), 220-221. 107 81 dalam Islam.108 Syahrûr melihat bahwa masyarakat kontemporer telah terpolarisasi ke dalam dua blok: Pertama aliran Skripturalis-Literalis adalah mereka berpegang secara ketat pada arti literal dan tradisi. Mereka berkeyakinan bahwa warisan tersebut menyimpan kebenaran absolut. Apa yang cocok dengan komunitas pertama zaman Nabi cocok pada semua orang beriman di zaman apa pun. Kepercayaan ini menjadi final dan absolut. Kedua, mereka yang cenderung menyeruhkan sekularitas dan modernitas, menolak semua warisan termasuk al-Quran sebagai bagian tradisi yang diwarisi, yang hanya menjadi pengaruh pada pendapat umum. Bagi mereka ritual merupakan gambaran dari ketidakjelasan. Pemimpin kelompok ini adalah kaum Marxis, komunis dan beberapa kaum nasionalis Arab.109 Menurut Syahrûr, semua kelompok tersebut telah gagal memenuhi janji untuk menyediakan modernitas kepada masyarakatnya. Kegagalan kedua kelompok ini memunculkan kelompok ketiga, dimana Syahrûr mengklaim dirinya berdiri di kelompok ini, yaitu mereka yang menyerukan kembali kepada at-Tanzil, teks asli yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi dalam paradigma baru.110 Hal itu juga dilakukan oleh Laroui menolak pendekatan yang dilakukan baik oleh kaum tradisionalis (salafi) maupun modernis (sekular). Menurutnya, kelompok tradisionalis melihat turâts secara ahistoris (la tarikhi). Kesalahan mereka adalah menganggap turâts sesuatu yang suci, yang cocok untuk setiap zaman dan segala 108 M. In’am Esha, M. Syahrûr: Teori Batas, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), 299. 109 Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur’an Madzab Jogya, (Yogyakarta: Islamika dan Forstudia,2003), 255-267. 110 Ibid. 82 kondisi. Padahal jelas-jelas bahwa kondisi kini dan masa lalu berbeda. Begitu juga kaum modernis, dalam pandangan Laroui, mereka hanyalah penganut eklektis yang memilih-milih elemen dan unsur tertentu dari budaya Barat, budaya orang lain. Sikap seperti ini tidak akan memperbaiki kondisi bangsa Arab, malah akan menjadikan bangsa itu terus bergantung kepada Barat. Kedua kelompok tersebut, menurut Laroui, tidak mengerti kondisi sosial bangsa Arab, sehingga mereka hidup terpisah dari lingkungan dan masyarakat. Satu ekstrim ingin menjadikan masa lalu sebagai model kemajuan, sementara ekstrim lainnya ingin menjadikan orang lain (Barat) sebagai model yang lain. Kedua-duanya-mengambil masa lalu atau mengambil orang lain-adalah tindakan yang tidak kreatif.111 Salah satu konsep dasar modernisme adalah suatu pemikiran terkait pada tempat atau kondisi dimana pemikiran itu berkembang, dan berkaitan pula dengan zaman atau waktu ketika pemikiran itu muncul. Bertitik tolak dari konsep tersebut, modernisme menganggap bahwa pemikiran keagamaan lampau adalah kondisional, sehingga harus dikembangkan dan dijadikan modern. Alasan pokok yang dikemukakan oleh modernisme adalah pemikiran klasik berkembang pada zaman yang telah lampau, sehingga tidak sejalan dengan orientasi-orientasi modern.112 Realitas historis menunjukkan bahwa setiap generasi memberikan interpretasi pada al-Qur’an sesuai dengan realitas dan tujuan modern yang melingkupinya. Karena al-Qur’an adalah dokumen dari Tuhan untuk umat manusia, di dalamnya terdapat untaian kalimat yang mengandung nilai-nilai hudan (petunjuk). Keabadian al-Quran bukan terletak pada ketentuan harfiyahnya, namun terletak pada jiwa yang 111 Ibid. Bustani Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaharuan Agama antara Modernismr dan Tajdiddudin, (Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah, 1995),233. 112 83 melandasinya.113 Konsekuensinya, hasil interpretasi al-Quran generasi awal, tradisional, tidak lagi mengikat masyarakat muslim modern. Lebih jauh, Syahrûr mengatakan bahwa muslim modern karena kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan, mempunyai perangkat pemahaman dalam memaknai al-Quran yang lebih baik di bandingkan dengan muslim pendahulu pada masa klasik dan tengah. Menurut Syahrûr, realitas historis tindakan manusia pada abad ke 7, ketika alKitab tersebut turun, merupakan salah satu bentuk respon yang bersifat final. Semua tindakan tersebut mengandung nilai turâts kecuali aspek ibadah, hudud, dan as-sirat al-mustaqim yang tidak terikat ruang dan waktu. Begitu juga yang dilakukan oleh Nabi tidak lain adalah salah satu bentuk model dari penafsiran al-Kitab yang sesuai dengan konteks space dan time beliau. Sebuah teori mengatakan bahwa setiap kegiatan intelektual yang memancar dari suatu kegelisahan tidak dapat di pisahkan dari problematika sosial yang melingkupinya. Dengan kata lain, sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki relasi signifikan dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran dengan berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat. Syahrûr dalam memunculkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keislaman, tidak lepas dari teori ini. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer.114 Beberapa permasalahan yang menggelisahkan dalam kaitannya dengan doktrin dan turâts Islam secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut: 113 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu, (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2001), 91. 114 Ibid, 300. 84 1. Adanya pengeksporan produk masa lalu untuk menghukumi persoalanpersoalan kekinian, contoh: dalam kasus perempuan, banyak pemikiranpemikiran yang muncul hanya pengekoran terhadap pemikiran-pemikiran masa lalu dan hal itu diklaim sebagai suatu yang ilmiah. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melaikan memperkuat asumsi yang dianutnya. Kaitannya dengan fiqih, Syahrûr memberikan kritik bahwa sudah waktunya di tawarkan fiqih Islam dengan menggunakan metode baru sehingga kita tidak terkebiri hanya kedalam paradigma al-fuqoha’ al khomsah. 2. Tidak adanya petunjuk metodologis dalam pembahasan ilmiah tematik terutama kaitannya dengan teks suci keagamaan seperti ayat-ayat yang di wahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Ini bisa di pahami bahwa kecenderungan yang muncul di kalangan muslim adalah perasaan ragu-ragu dan takut ketika berhadapan dengan pengkajian teks suci. Padahal syarat utama dalam pembahasan ilmiah adalah memandang sesuatu secara objektif, tanpa pretensi dan simpati yang berlebihan serta menjauhkan dari sikap ragu. 3. Tidak adanya pemahaman sekaligus interaksi terhadap filsafat humanisme yang notabene dianggap tidak Islami. Hal ini disebabkan karena orang Islam masih terjangkit “penyakit” dualisme pengetahuan, antara Islam dan non Islam. Padahal yang terpenting adalah bagaimana umat itu secara selektif mampu mengambil dan berinteraksi terhadap produk-produk dan pemikiran humaniora non agama tersebut. Inilah menurut Syahrûr yang menyebabkan kemandulan pemikiran umat Islam. Mereka hanya bangga terhadap pemikiran 85 masa lalu dan yang lebih para lagi adalah tidak bisa lepas lagi dari kecenderungan fanatisme sempit. 4. Adanya krisis ilmu fiqih di kalangan umat muslimin disebabkan adanya tuntutan moderitas, dalam artian bahwa berbagai produk fiqih yang ada sekarang sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas, yang di perlukan adalah formulasi fiqih baru, kegelisahan seperti ini sebenarnya sudah muncul dari para kritikus, tapi pada umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru.115 2. Dialektika Tradisi dan Modernisme Syahrûr dalam konstruksi pemikirannya tidak lepas dari paradigma yang dianutnya terutama dengan tradisi dan modernisme. Turâts di maknai sebagai produk-produk yang ditinggalkan generasi salaf untuk generasi khalaf yang memberikan landasan di dalam pembangunan kepribadian generasi khalaf, berupa cara berfikir maupun cara hidup.116 Dari pemahaman ini Syahrûr menyatakan bahwa turâts tidak lain adalah buatan manusia dan produk kesungguhannya dalam realitas perjalanan sejarahnya sendiri.117 Al-Mu’ashirah merupakan interaksi manusia dengan produk pemikiran kontemporer yang juga merupakan hasil dari manusia. Umat Islam dalam hal ini harus dapat mengadopsi perkembangan-perkembangan pengetahuan kontemporer sehingga tidak terjebak pada pengunggulan pengetahuan masa lalu. Interaksi dengan pengetahuan kontemporer ini akan memungkingkan adanya pengayaan perangkat 115 Ibid, 30-32. Ibid. 117 Ahmad Zaki Mubarok, Op.Cit, 145. 116 86 metodologi dalam pengembangan pengetahuan keagamaan yang sejalan dengan fenomena kekinian.118 Berdasar pengetahuannya tentang turâts dan al-mu’ashirah tersebut, Syahrûr kemudian menariknya pada fenomena al-Kitab, apakah termasuk turâts atau bukan? Syahrûr melihat ini secara sekilas adalah dilematis. Al-Qur’an apabila dimasukan sebagai turâts berarti merupakan ciptaan Muhammad dan bersifat partikular terkait dengan konteks Arab dan masa abad ke tujuh saja, sehingga tidak akan lagi sesuai dengan situasi dan kondisi sekarang. Padahal al-Quran sendiri adalah kitab yang bersifat universal dan dipelihara oleh Allah sehingga selalu bersifat salikhu li kuli zaman wa makan. Berdasarkan teori ini, Syahrûr memahami bahwa al-Quran memiliki dimensi kemuthlakan transenden sekaligus kenisbian profan. Dimensi kemuthlakan transenden menjadikan al-Quran bersifat salik likuli zaman wa makan dan tidak berubah, sedangkan dialektika pemaknaan dan penafsiran manusia setiap kurun dan waktu tertentu terhadapnya merupakan dimensi nisbi profannya. D. Model Penafsiran Muhammad Syahrûr Syahrûr menegaskan bahwa harus dibedahkan antara aktifitas qira’ah dan aktivitas tilawah. Kata qira’ah berasal dari kata qara’a yang makna dasarnya adalah menghimpun dan mengumpulkan. Ketika di kaitkan dengan objek tertentu untuk di pahami lahirla makna membaca, karena membaca juga berarti menghimpun berbagai objek menjadi kesatuan utuh yang dapat di pahami. Jika yang di baca berupa objek 118 Muhammad In’am Esha, Kontruk Historis Metodologis Pemikiran M.Syahrûr.jurnal al-Huda Vol.2 No.4, 2001, 128. 87 tekstual, yang di himpun adalah simbul-simbul huruf yang membentuk kata-kata, selanjutnya kalimat terangkai dan munculah makna. Dalam al-Quran ada istilah lain yang memiliki kedekatan makna dengan qira’ah, tetapi sering di pahami secara tumpang tindih, yaitu kata tilawah. Kata ini berasal dari kata tala-yatlu yang berarti selantunkan bacaan. Dengan demikian, perbedaan antara tilawa dan qira’ah bahwa yang pertama adalah aktifitas membaca tanpa penjelasan atau uraian tambahan yang bertujuan untuk mendalami dan memahami kandungan teks yang di baca, sedangkan yang kedua adalah aktivitas membaca yang diiringi dengan usaha memahami, menjelaskan, manganalisis dan menguraikan objek tekstual yang dibaca.119 Qira’ah Mu’ashirah merupakan metode Syahrûr dalam rangka memahami alQuran. Hermeneutika al-Quran kontemporer yang diusung oleh Syahrûr sebenarnya memiliki tujuan ganda, yaitu: membebaskan diri dari hegemoni masa lalu yang begitu menggurita dan pada saat yang sama berusaha menjembatani jarak waktu antara masa al-Quran diturunkan dan kondisi objektif pesan kitab suci yang hidup dalam ruang dan waktu yang berlainan. Asumsi dasar metode Syahrûr adalah juktaposisi antara akal, wahyu dan realitas. Sementara pendekatan yang digunakan adalah perpaduan antara pendekatan filusufis, linguistik dan scientifik.120 1. Pendekatan Linguistik Walter H. Capps dalam bukunya Religius Studies The Making of a Discipline, menjelaskan bahwa dalam sebuah penelitian, atau kajian seorang meniscayakan suatu titik pijakan yang akan bermanfaat dalam mengarahkan dan menempatkan 119 120 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fikih al-Islami, (Damaskus, al-Ahali, 2000), 117. Ibid. 88 secara pasti objek kajian (vantage point). Titik pijakan ini disebut dengan pendekatan (approach). Pendekatan adalah bagaikan perspektif, horison, dan tempat berpijak dimana kita bisa melihat secara leluasa terhadap keluasan horison tersebut 121 Untuk memasuki pemikiran Syahrûr peneliti berusaha masuk dari prinsipprinsip metodologis dan pendekatan linguistik Muhammad Syahrûr yang di paparkan dalam pembukaan bukunya al-Kitab wa al-Quran. Pemaparan mengenai metodologi dan pendekatan ini menjadi penting karena secara garis besar bisa di katakan bahwa dalam mengkaji ayat-ayat al-Quran Syahrûr sangat dominan dalam menggunakan pendekatan bahasa, khususnya analisis sintagmatis dan paradigmatis. Dalam hal ini Syahrûr mengembangkan teori linguistik Abu Ali al-Farisi yang berpandangan bahwa setiap kata memiliki nuansa makna yang spesifik, dan karenanya tidak ada sinonim dalam bahasa. Untuk mengungkap asumsi metodologis dari pendekatan linguistik tersebut, Jakfar Dakk menyatakan bahwa dasar-dasar pendekatan historis ilmiah tersebut diambil dari prinsip-prinsip aliran linguistik Abu Ali al-Farisi. Pada saat yang sama, karakter umum pendekatan ini merupakan perpaduan antara teori Ibn Jinni dan imam al-Jurjani. Pendekatan inilah yang akan mengarahkan daya persepsi seseorang. Tempat dimana seseorang berdiri akan menentukan apa yang di lihat dan seberapa yang ia lihat dan ia pelajari tergantung tempatnya berpijak atau berdiri.122 Secara global ada dua kandungan jiwa atau makna strategis dalam al-Quran, yaitu makna intrinsik dan makna instrumental. Makna istrinsik berupa komitmen 121 M. In’am Esha, M.Syahrûr dan Teori Batas, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), 303. 122 M. In’am Esha, Op. Cit,303 89 pribadi antara seorang hambah dengan Tuhannya. Tujuannya adalah membersikan jiwa, mengangkat kekelaman batin dan menyinarinya dengan sinar-sinar malakuti (ketuhanan), menumbuhkan potensi dalam ruh serta menyiapkannya untuk menerima rangkaian pengejawantahan sifat-sifat Tuhan. Makna intrisik ini merupakan ajaran spiritual al-Quran. Sementara makna instrumental bermakna sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur, mulia dan kesejatian dalam hubungan horisontal antar hamba. Dalam beberapa kata kunci ia bisa disebut sebagai memanusiakan manusia.123 Syahrûr dalam mengkontruksi pemikiran keislamannya menggunakan pendekatan lingustik karena yang di kajinya adalah teks-teks al-Quran. Namun, sebagai seorang saintis, tipikal keilmuan yang mengedepankan sifat empiris, rasional dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologis pemikirannya, dan inilah sebagaimana di katakannya yang memberikan hasil berbeda dari produk-produk pemikiran sebelumnya. Pendekatan Syahrûr dengan demikian, bisa disebut sebagai pendekatan linguistik rasional (ilmiah). Adapun metode yang digunakan adalah analisa kebahasaan yang mencakup kata dalam sebuah teks dan struktur bahasa. Metode ini dalam bahasa Syahrûr disebut sebagai “metode historis ilmia studi bahasa”. Pada prinsipnya aplikasi metode ini adalah bahwa makna kata di cari dengan menganalisis kaitan atau hubungan suatu kata dengan kata yang berdekatan atau yang berlainan (cross examenition). Sebab menurut Syahrûr kata itu tidak mempunyai sinonim, setiap kata memiliki kekhususan makna, bahkan satu kata dapat memiliki beberapa makna. Karena itu, untuk menentukan makna yang tepat tergantung konteks logis kata dalam 123 Ibid, 92. 90 kalimat tersebut atau bahwa makna teks di pengaruhi oleh hubungan secara linier dengan kata-kata sekelilingnya (strukturnya). Metode yang digunakan Syahrûr tersebut, dalam konteks paradigma hermeneutik, disebut dengan analisis paradigmatis dan sintagmatis. Analisis paradigmatis adalah memahami makna teks dengan mengaitkannya pada konsepkonsep lain yang berdekatan atau yang berlawanan, sedang analisis sintagmatis adalah memahami makna teks dalam kaitannya hubungan linier dengan kata-kata di sekelilingnya. Metode Syahrûr tersebut, sebagaimana di nyatakan sendiri, di pengaruhi oleh pemikiran Ibnu Faris yang tampak pada pedoman metodologis dalam analisis bahasa di antaranya adalah: 1. Bahwa bahasa itu adalah beraturan. 2. Bahasa muncul bersamaan dan struktur bahasanya terkait dengan jabatannya dalam bahasa. 3. Terdapat kesesuaian antara bahasa dan pemikiran. Karena aturan bahasa terus berkembang, peniscayaan adanya metode sejarah ilmiah dalam analisis kebahasaan. Berkaitan dengan itu, dengan mengutip ibnu Janni al-Jurjani, Syahrûr menjelaskan pokok pemikirannya di antaranya: 1. Terdapat kesesuaian antara ungkapan dan pemikiran manusia. Peran bahasa sebagai alat penyampai telah terjadi sejak munculnya percakapan manusia. 2. Pemikiran manusia tentang aturan kebahasaan tidak berkembang sempurna dalam satu waktu sekaligus tetapi tumbuh dan sempurna sejalan dengan problematika yang dihadapi pemikiran manusia. 3. Tidak ada sinonim dalam bahasa Arab. 91 Penjelasan terhadap metodologi kajian Syahrûr merupakan pandangan umum bahwa perangkat kerja penelitiannya berangkat dari analisis teks kebahasaan. Syahrûr juga menggunakan metode tematik dalam membahas sebuah permasalahan. Mengumpulkan sejumlah ayat, misalnya tentang at-takwil kemudian secara intrateks ayat-ayat tersebut dianalisis dengan metode analisis di atas. 2. Pendekatan Scientifik Syahrûr menegaskan bahwa ia juga memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan abad 20 sebagai parameter untuk memahami teks al-Quran.124 Dengan kata lain, Syahrûr menandaskan perlunya pemanfaatan perspektif pengetahuan ilmiah yang menggunakan metode penelitian objektif sebagai sarana memahami pesan Tuhan dalam kitab suci-Nya. Asumsinya adalah bahwa tidak ada pertentangan antara realitas, akal dan wahyu. Sintesa antara logika scientifik dan linguistik modern ini bisa di pahami dengan melihat latar belakang intelektual Syahrûr yang berasal dari dunia teknik dan kemudian mendalami filsafat bahasa. Proses kajian semacam inilah yang dilakukan Syahrûr, ia mengklaim bahwa untuk memahami teks Tuhan, teks tersebut dilakukan selayaknya “data-data ilmiah” yang selalu relevan dengan realitas empiris yang dalam hal ini diawali oleh ilmu pengetahuan abad 20. Ketika dunia ilmu pengetahuan kontemporer menuntut ketelitian dalam setiap penyajian data, maka demikian juga perlakuan terhadap teks Tuhan. Karena teks bermediumkan bahasa, maka teori yang mendukung ini adalah penolakan sinonimitas dalam bahasa. 124 Ibid, 308 92 E. Terma-terma dalam Al-Kitab wa Al-Quran dan Kategorisasi Al-Qur’an Berdasarkan metode historis-ilmiah sebagai landasan analisis linguistik khususnya tentang tidak adanya sinonimitas dalam bahasa al-Quran dalam kajiannya terhadap teks kitab suci, Syahrûr memulai analisisnya terhadap beberapa kata penting dalam kitab suci dimana selama ini kata-kata atau istilah-istilah tersebut dianggap sinonim sehingga terjadi pemahaman yang tidak sesuai dengan tujuan teks.125 Disamping asumsi tentang tidak adanya sinonim dalam bahasa, Syahrûr menganalisis beberapa kata penting itu dengan teknik interteks (tartil) dengan artian menggabungkan semua ayat yang mempunyai tema sama kemudian mensintesakan antara berbagai ayat yang mempunyai pesan serupa tersebut hingga menghasilkan pemahaman yang holistik.126 Kajian semantik Syahrûr terhadap beberapa kata penting dalam kitab suci ini merupakan suatu hal yang sangat penting karena dengan demikian ia bisa melakukan dekontruksi sekaligus rekontruksi terhadap pembacaan teks suci yang selama ini dianggap establis dan final. Al-Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam posisinya sebagai Nabi dan Rasul sekaligus, jelas mempunyai posisi yang sesuai dengan posisi kerasulan dan kenabian tersebut, hingga al-kitab menjadi dua bagian besar: yaitu kitab an-Nubuwah dan kitab ar-Risalah. Dalam konteks ini an-Nubuwah dapat dipahami sebagai akumulasi pengetahuan yang diwahyukan kepada Muhammad yang kemudian memposisikannya menjadi Nabi. Konsep an-Nubuwah mencakup 125 Abd. Muqsid Ghozali, “Muhammad Syahrûr,” http://www.google.co.id/search?q=Muhammad+ Syahrûr&hl=id&start=20&sa=N (diakses pada: 29 Juli 2007) , 9. 126 Ibid, 197-198. 93 seluruh informasi dan pengetahuan ilmiah yang tertera dalam al-Kitab, sekaligus berfungsi sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil atau antara kebenaran realitas (al-haqiqah) dan praduga sementara.127 An-Nubuwah identik dengan ilmu pengetahuan sedangkan ar-Risalah merupakan kumpulan penetapan hukum yang disampaikan kepada Muhammad sebagai pelengkap bagi pengetahuan yang telah diwahyukan dan identik dengan hukum. Ar-Risalah ini yang kemudian memposisikan sebagai Rasul. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa teori tentang eksistensi alam semesta, manusia, dan tafsir sejarah merupakan bagian dari an-Nubuwah dan merupakan bagian dari ayat-ayat mutasyabihat. Adapun penetapan hukum yang terdiri dari masalah waris dan ibadah, moralitas universal, mu’amalah, hukumhukum perdata dan larangan-larangan merupakan katagori al-Risalah dan semua itu adalah ayat-ayat muhkamat. Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa Syahrûr mengklasifikasikan ayat dalam al-kitab kedalam tiga kategori, yaitu: ayat muhkamat, ayat mutasyabihat, dan ayat bukan muhkamat dan bukan mutasyabihat. Kategorisasi ini merujuk kepada ayat ketujuh dari surat al-Imran, yang memang secara eksplisit menyebut kategori muhkamat dan mutasyabihat.128 Adapun kategori ketiga tafsil al-kitab Syahrûr merujuk pada surat Yunus ayat 37. Argumentasi Syahrûr memunculkan kategori ketiga adalah isyarat yang muncul pada penggalan ayat “wa ukharu mutasyabihat”. Kata ukharu karena berbentuk nakirah, harus dipahami bermakna sebagian yang lain, bukan keseluruhan. Maka, 127 128 Ibid. Ibid. 94 konsekwensi logisnya akan timbul pertanyaan, jika bagian pertama adalah muhkamat dan bagian (dari bagian kedua) adalah mutasyabihat, lalu bagian yang lain dari keduanya adalah tidak muhkam dan tidak mutasyabih, inilah yang kemudian oleh surat Yunus sebagai ayat tafsil kitab. 95 BAB IV TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRÛR A. Pengertian Teori Batas dan Historisitasnya Teori batas dapat diartikan sebagai perintah Tuhan yang diungkapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengatur ketentuan-ketentuan berupa batas terendah dan batas tertinggi bagi seluruh perbuatan manusia. Batas terendah mewakili ketetapan hukum minimum dalam sebuah kasus hukum, dan batasan tertinggi mewakili batas maksimumnya. Tidak ada suatu bentuk hukum yang lebih rendah dari batas minimum atau lebih tinggi dari batas maksimum. Ketika batasan-batasan ini di jadikan sebagai panduan, kepastian hukum akan terjamin sesuai dengan ukuran kesalahan yang dilakukan.129 129 Ibid. 95 96 Tipikal Syahrûr sebagai ilmuwan berpengaruh terhadap produk pemikirannya. Ini tampak jelas terhadap teori yang dikenalkannya, yang disebut dengan teori batas (the teory of limit).130 Syahrûr merumuskan teori batasnya berangkat dari Qs. An-Nisa’ ayat 13-14, yang terkait dengan pembagian waris: $yγÏFóss? ÏΒ ”Ìôfs? ;M≈¨Ζy_ ã&ù#Åzô‰ãƒ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÆìÏÜム∅tΒuρ 4 «!$# ߊρ߉ãm šù=Ï? ∩⊇⊂∪ ÞΟŠÏàyèø9$# ã—öθxø9$# šÏ9≡sŒuρ 4 $yγŠÏù šÏ$Î#≈yz ã≈yγ÷ΡF{$# Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Surat an-Nisa’:14 ÑU#x‹tã …ã&s!uρ $yγ‹Ïù #V$Î#≈yz #‘$tΡ ã&ù#Åzô‰ãƒ …çνyŠρ߉ãn £‰yètGtƒuρ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÄÈ÷ètƒ ∅tΒuρ ∩⊇⊆∪ ÑÎγ•Β Artinya: Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. Pada ayat 13 terdapat kalimat Z ?ود ا4 dan pada ayat 14 terdapat kalimat 6 ?ودB وkata hudud disini berbentuk jamak (plural) dari bentuk mufradatnya hadd yang artinya batas (limit).131 Pemakaian bentuk plural disini menandakan bahwa batas (hadd) yang ditentukan Allah berjumlah banyak dan menusia memiliki keleluasaan untuk memilih batasan tersebut sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang 130 131 Ibid. Ibid. 97 melingkupinya. Pelanggaran hukum Tuhan itu akan terjadi jika manusia melampaui batasan-batasan tersebut.132 Menurut Syahrûr, ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa masalah pembagian waris merupakan salah satu batasan dari sekian batasan hukum yang ditentukan Allah. Redaksi Z ?ود ا4 merujuk pada penjelasan ayat 11-12, dan pada saat yang sama juga menegaskan bahwa batasan hukum yang dimaksud berasal dari Allah.133 Pada ayat 14, kalimat 6 ?ودB وberarti melanggar batas-batas (hukum) Nya. Penggunaan terma hudud disini dinisbatkan pada dhamir mufradat (kata ganti tunggal) hu yang merujuk pada Tuhan (Allah) saja. Sedangkan penggalan ayat sebelumnya yang redaksinya wa man ya’si Allah wa rasulahu wa yata’adda hududahu menegaskan bahwa perbuatan maksiat dapat dilakukan terhadap Allah dan Rasul-Nya, tetapi pelanggaran batasan hukum hanya terjadi pada Tuhan saja, karena penentuan hukum syari’at yang terus berlaku hingga hari kiamat itu hanya milik Allah. Otoritas ini tidak perna diberikan kepada yang lain, bahkan kepada Nabi Muhammad sekalipun. Karena jika Muhammad memiliki hak penentuan otoritas hukum, niscaya ayat tersebut redaksinya akan seperti ini: wa man ya’si Allah wa rasulahu wa yata’adda hududdahuma dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma), tetapi tidak demikian.134 132 Muhammad Syahrûr, “Dirasah Islamiyah Mu’ashirah; Nahwi Ushul Jadidah lil Fiqhil Islami,” diterjemahkan oleh Syahiron Syahsudin dan Buhranudin, Metodologi Islam Kontemporer, (Cet II; Yogyakarta: eL-SAQ Press, 2004),317. 133 Asjmuni Abdurahman, “Muhammad Syahrûr dan Al-Kitab,” www.suaramuhammadiyah.or.id documentsmanhaj.htm-17k (diakses pada: 29 Juli 2007), 4. 134 Ibid. 98 Dengan demikian, semua syari’ah (ketentuan hukum) yang berasal dari Nabi bersifat temporal dan tidak ada keharusan memberlakukannya hingga akhir zaman kecuali yang bersifat ibadah mahdho. Pada dataran ini, tersembunyi rahasia dan hikmah adanya Sunnah untuk diikuti pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain adanya posisi Nabi sebagai teladan untuk berijtihad dalam lingkup batasan ketentuan Allah yang disesuaikan dengan kondisi objektif yang hidup dalam sejarah manusia.135 Mensikapi pemikiran Muhammad Syahrur dengan fokus pada aspek metodologi penafsirannya atau yang disebut dengan Qira’ah Muashirah, dengan menggunakan teori batas sebagai kerangka teoritis, maka diperoleh beberapa poin yang penting yang menggambarkan bagaimana teori batas mengisi diberbagai ruang dalam qira’ah mu’ashirah. Menurut Syahrûr ibadah dalam pengertian relasi (as-sillah) antara manusia dan Tuhan yang bersifat tauqifiyyah, terdiri dari empat kategori saja, yaitu shalat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Relasi ini bermula dalam bentuk indrawi (musyakhas) berupa persembahan (qarabin) dan penyembelihan binatang (aludhiyyah), ritual semacam ini di jumpai hampir di seluruh agama dan kepercayaan yang diawali dari asumsi dasar pengabdian manusia kepada Tuhan melalui media fisik dan indra sebagai jalan untuk mendekatkan kepada-Nya. Syahrûr menyebut ibadah seperti ini dengan istilah ibadah fu’adiyyah. Salah satu jejaknya terlihat dalam ibadah haji dengan adanya simbol tawaf di Ka’bah, sa’i antara Safah dan Marwa, serta penyembelihan hewan kurban. Haji dapat di pahami sebagai bentuk final dari ibadah fu’adiyyah yang telah di sempurnakan oleh Islam.136 135 136 Ibid. Ibid. 99 Asumsi dasar (fundamental fhilosofhy) metodologi Syahrûr adalah akal, wahyu dan realitas. Sementara pendekatan yang digunakan adalah perpaduan antara linguistik, saintifik dan filosofis. Pada aspek linguistik metodologi Syahrûr bertumpu pada berbagai asumsi tentang hakekat bahasa, kajian singkronis dan diakronis secara sinergi serta penolakan terhadap sinonimitas sebagai konsekuensi pilihan perspektif dan ansumtif yang mendasari kajian al-Qur’an yang memiliki karakter ilmiah. Metode linguistik digunakan Syahrûr untuk membangun teori batas, yang di dasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah yakni al-hanîf dan al-istiqâmah. Kata al-hanîf berasal dari kata hanafa dalam bahasa Arab berarti bengkok, melengkung (hanafa) atau bisa dikatakan untuk orang yang berjalan diatas dua kakinya (ahnafa) atau berarti orang yang bengkok kakinya (hanufa). Adapun kata istiqamah, berasal dari kata qaum yang memiliki dua arti: (1) kumpulan manusia laki-laki, dan (2) berdiri tegak (al-intishâb) atau kuat (al-‘azm). Dari kata al-intishâb ini muncul kata al-mustaqîm dan al-istiqâmah, lawan dari melengkung (al-inhirâf), sedangkan dari al-‘azm, muncul kata al-dîn al-qayyîm (agama yang kuat dalam kekuasaan).137 Analisis linguistik terhadap term al-hanafiyyah dan al-istiqâmah inilah yang akhirnya mengantarkan pada sebuah ayat dalam surat al-An’am: 161, memaparkan tiga term pokok: al-din al-qayyîm, al-mustaqîm, dan al-hanîf, nampak sekilas bertentangan, karena memadukan dua hal yang sifatnya kontradiksi.138 Setelah menganalisis surat al-An’am: 79 Syahrûr memperoleh pemahaman bahwa al-hunafâ adalah sifat alami dari seluruh alam.139 Langit, bumi, dan bahan 137 Syahrûr, Op. Cit,447. Ibid,3 139 Redaksi ayat 6:79 berbunyi:"Sesungguhnya aku menghdapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (hanîfan), dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan." 138 100 elektron yang terkecil sekalipun sebagai bagian dari kosmos, bergerak dari garis lengkung. Tidak ada dari tata alam yang tidak bergerak melengkung. Sifat inilah yang menjadikan tata kosmos itu menjadi teratur dan dinamis. Al-Hanif, dengan demikian adalah agama yang selaras dengan kondisi ini karena al-hanif, merupakan pembawaan yang bersifat fitrah. Realitas masyarakat yang senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tradisi sosial, kebiasaan atau adat. Oleh karena itu, as-shirat al-mustaqim, adalah sebuah keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Dengan demikian, as-siratal mustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum. Syahrûr menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqâmah, bagaikan kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu dan sejarah. Sumbu Y sebagai undangundang yang ditetapkan Allah. Kurva (al-hanafiyyah) menggambarkan dinamika, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang telah di tentukan Allah (sumbu Y) dan awal sejarah hijriyah (sumbu O). Dengan demikian, hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukan bahwa hukum itu adaptable terhadap ruang dan waktu. Syahrûr kemudian mengenalkan apa yang disebut sebagai teori batas. Ia mengatakan bahwa Allah telah menetapkan konsep-konsep hukum yang maksimum dan yang 101 minimum, al-istiqamah, dan manusia bergerak dari dua batasan tersebut, alhanafiyah (curvature).140 Terkait dengan metode pembacaan Syahrûr menawarkan dua mekanisme pembacaan yaitu takwil dan ijtihad. Takwil merupakan metode pembacaan terhadap ayat-ayat yang termasuk dalam katagori nubuwah yang mempunyai karakter dasar objektif, sedangkan ijtihad adalah metode pembacaan untuk ayat-ayat termasuk dalam kategori risalah yang memiliki karakter subjektif. Terkait dengan hal ini terlebih dahulu lebih dipahami bahwa Syahrûr membagi kitab suci menjadi tiga bagian besar, kategori ayat muhkamat, ayat-ayat mutasyabihat, dan ayat la muhkam wa lamutasyabihat. Kategorisasi ini merupakan identifikasi objek kajian secara detil. Dari aspek ini Syahrûr berusaha konsisten dengan prosedur ilmiah, yaitu menentukan objek kajian, batasan wilayah dan karakternya masing-masing. Karena dengan teridentifikasinya objek kajian secara jelas dan rigit, maka penentuan pendekatan dan metode analisis dalam penelitian dapat dilakukan. Syahrûr menegaskan untuk memahami ayat-ayat muhkamat, mekanisme yang digunakan adalah ijtihad dengan kerangka teori batas. Aktifitas seperti ini disebut tafsir. Sedangkan untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat, khususnya al-Qur’an, mekanisme yang digunakan adalah takwil. Kategorisasi ini ditentukan berdasarkan tema yang terkandung dalam masing-masing ayat, muhkamat untuk tema-tema hukum yang berada pada wilayah risalah, dan bersifat objektif, sedangkan mutasyabihat adalah untuk tema-tema ilmiah yang berada pada wilayah nubuwah dan bersifat objektif. 140 Ibid,450-452. 102 Dari sisi ini, kajian Syahrûr dapat dipandang sebagai kajian hermeneutik yang berorientasi pada metodologi pemahaman daripada kajian eksegesis yang berorientasi pada aktualisasi pada pemahaman itu sendiri. Berdasarkan analisis kepadanya, tanpak Syahrûr berusaha membangun pendekatan baru atau lebih tepatnya perspektif baru dalam memahami teks-teks keagamaan. Syahrûr mengagendakan proyek ini dengan nama Qira’ah Mu’ashirah atau pembacaan kontemporer. Dari kajian hermeneutisnya tersebut, kemudian dapat dilihat posisi Syahrûr dalam konstelasi hermeneutika al-Qur’an kontemporer. Adapun aliran mana yang cenderung diikutinya objektif atau subjektif? Sejauh penelitian peneliti, pembacaan kontemporer Syahrûr mengaplikasikan pendekatan yang objektif pada satu sisi dan sekaligus subjektif pada sisi yang lain. Objek teks yang berbeda, oleh Syahrûr didekati dengan metodologi yang berbeda pula. Dalam hal ini Syahrûr memegang aksioma bahwa objeklah yang menentukan pilihan terhadap metode bukan sebaliknya. Syahrûr membedahkan enam bentuk batasan-batasan: 1. Batasan Minimum ketika Berdiri Sendiri Contoh batasan ini adalah larangan al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebut dalam surat an-Nisa’ ayat 23: öΝä3çG≈n=≈yzuρ öΝä3çG≈£ϑtãuρ öΝà6è?≡uθyzr&uρ öΝä3è?$oΨt/uρ öΝä3çG≈yγ¨Βé& öΝà6ø‹n=tã ôMtΒÌhãm Νà6è?≡uθyzr&uρ öΝä3oΨ÷è|Êö‘r& ûÉL≈©9$# ãΝà6çF≈yγ¨Βé&uρ ÏM÷zW{$# ßN$oΨt/uρ ˈF{$# ßN$oΨt/uρ ÏiΒ Νà2Í‘θàfãm ’Îû ÉL≈©9$# ãΝà6ç6Í×‾≈t/u‘uρ öΝä3Í←!$|¡ÎΣ àM≈yγ¨Βé&uρ Ïπyè≈|ʧ9$# š∅ÏiΒ yy$oΨã_ Ÿξsù ∅ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ (#θçΡθä3s? öΝ©9 βÎ*sù £ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ ÉL≈©9$# ãΝä3Í←!$|¡ÎpΣ 103 š÷t/ (#θãèyϑôfs? βr&uρ öΝà6Î7≈n=ô¹r& ôÏΒ tÉ‹©9$# ãΝà6Í←!$oΨö/r& ã≅Í×‾≈n=ymuρ öΝà6ø‹n=tæ ∩⊄⊂∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# āχÎ) 3 y#n=y™ ô‰s% $tΒ āωÎ) È÷tG÷zW{$# Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Menikah dengan anggota keluarga yang termasuk katagori hubungan darah ini dilarang, yang diperbolehkan adalah menikah dengan kerabat lain diluar anggota ikatan darah yang disebutkan. Allah telah menetapkan batas minimal dalam pengharaman perempuan-perempuan untuk dinikahi yang terdiri dari keluarga dekat sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 23. Dalam kondisi apapun, tidak seorangpun diperbolehkan melanggar batasan ini meskipun didasarkan pada ijtihad. Kebolehan ijtihad hanya pada usaha memperluas pihak yang diharamkan. Sebagai contoh apabila ilmu kedokteran telah mampu membuktikan bahwa pernikahan dengan kerabat dekat, seperti anak perempuan, saudara bapak atau ibu, akan memberikan pengaruh negatif pada keturunan dan juga pada proses pembagian harta 104 kekayaan, maka ijtihad boleh dilakukan dalam bentuk penetapan peraturan yang melarang pernikahan keluarga dekat tersebut.141 2. Batasan Maksimum Berdiri Sendiri Contoh batasan ini terdapat di dalam surat al-Ma’dah ayat 8: ª!$#uρ 3 «!$# zÏiΒ Wξ≈s3tΡ $t7|¡x. $yϑÎ/ L!#t“y_ $yϑßγtƒÏ‰÷ƒr& (#þθãèsÜø%$$sù èπs%Í‘$¡¡9$#uρ ä−Í‘$¡¡9$#uρ ∩⊂∇∪ ÒΟŠÅ3ym ͕tã Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Disini ditentukan mewakili batasan maksimum yang tidak boleh di lampaui. Dalam kasus ini hukuman bisa dikurangi, berdasarkan kondisikondisi objektif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.142 Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa batasan maksimal hukuman bagi pencuri yakni potong tangan. Tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman bagi pencuri lebih berat dari potong tangan, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan.143 Para pembaharu hukum Islam berkewajiban untuk menetapkan definisi yang pasti terhadap subjek pencuri berdasarkan fakta dan latar belakang objektif yang melingkupinya. Dalam surat al-Isra’ ayat 33 Allah berfirman: 141 Ibid, 153. Ibid,455. 143 Ibid,455-457 142 105 ô‰s)sù $YΒθè=ôàtΒ Ÿ≅ÏFè% tΒuρ 3 Èd,ysø9$$Î/ āωÎ) ª!$# tΠ§ym ÉL©9$# }§ø¨Ζ9$# (#θè=çFø)s? Ÿωuρ ∩⊂⊂∪ #Y‘θÝÁΖtΒ tβ%x. …çµ‾ΡÎ) ( È≅÷Fs)ø9$# ’Îpû ’Ìó¡ç„ Ÿξsù $YΖ≈sÜù=ß™ ϵÍh‹Ï9uθÏ9 $uΖù=yèy_ Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. Dalam konteks ini, mujtahid berkewajiban menetapkan kriteria tindakan pembunuhan yang pantas menerima hukuman maksimal, yaitu hukuman mati. Salah satu tindak pidana yang demikian adalah pembunuhan berencana. Tetapi ada juga kasus pembunuhan yang tidak perlu di jatuhi hukuman mati, seperti pembunuhan tidak di sengaja atau pembunuhan untuk membela diri. Selain itu masih ada kesempatan pemberian maaf dari keluarga korban pembunuhan.144 3. Batasan Minimal dan Maksimal Bersamaan Gambaran dari tipe ini di sebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 11 yang berhubungan dengan warisan:145 s−öθsù [!$|¡ÎΣ £ä. βÎ*sù 4 È÷u‹sVΡW{$# Åeáym ã≅÷VÏΒ Ìx.©%#Ï9 ( öΝà2ω≈s9÷ρr& þ’Îû ª!$# ÞΟä3ŠÏ¹θムÈe≅ä3Ï9 ϵ÷ƒuθt/L{uρ 4 ß#óÁÏiΖ9$# $yγn=sù Zοy‰Ïm≡uρ ôMtΡ%x. βÎ)uρ ( x8ts? $tΒ $sVè=èO £ßγn=sù È÷tGt⊥øO$# Ó$s!uρ …ã&©! ä3tƒ óΟ©9 βÎ*sù 4 Ó$s!uρ …çµs9 tβ%x. βÎ) x8ts? $£ϑÏΒ â¨ß‰¡9$# $yϑåκ÷]ÏiΒ 7‰Ïn≡uρ ω÷èt/ .ÏΒ 4 â¨ß‰¡9$# ϵÏiΒT|sù ×οuθ÷zÎ) ÿ…ã&s! tβ%x. βÎ*sù 4 ß]è=›W9$# ϵÏiΒT|sù çν#uθt/r& ÿ…çµrOÍ‘uρuρ 144 145 Ibid. Ibid, 457-462. 106 $YèøtΡ ö/ä3s9 Ü>tø%r& öΝß㕃r& tβρâ‘ô‰s? Ÿω öΝä.äτ!$oΨö/r&uρ öΝä.äτ!$t/#u 3 AøyŠ ÷ρr& !$pκÍ5 Å»θム7π§‹Ï¹uρ ∩⊇⊇∪ $VϑŠÅ3ym $¸ϑŠÎ=tã tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 «!$# š∅ÏiΒ ZπŸÒƒÌsù 4 Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. Syahrûr berargumen sebuah penetapan batasan maksimum untuk anak laki-laki dan batasan minimum untuk anak perempuan. Terlepas dari apakah wanita sebagai pencari nafkah, bagaimanapun bagian wanita tidak perna kurang dari 33,3 %, sementara bagian laki-laki tidak perna lebih dari 66,6 % dari harta warisan. Jika laki-laki diberi 60% sementara wanita diberi 40%, pembagian seperti ini tidak dikatagorikan sebagai pelanggaran terhadap batasan maksimum dan minimum. Alokasi presentase dari tiap-tiap pihak ditentukan berdasarkan kondisi objektif yang ada dalam masyarakat tertentu pada waktu tertentu.146 Menurut Syahrûr contoh ini menjelaskan kebebasan bergerak dalam batasan-batasan yang telah ditentukan oleh hukum. Batasan-batasan 146 Ibid. 107 tersebut telah ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Menurut Syahrûr hukum tidak harus diberlakukan sesuai dengan teks-teks yang sudah diturunkan berabad-abad lalu pada dunia modern. 4. Perpaduan Antara Batas Minimum dan Batas Maksimum Hanya ada satu ayat dalam tipe ini yakni surat al-Nur ayat 2:147 4 Ô8Îô³ãΒ ÷ρr& Aβ#y— āωÎ) !$yγßsÅ3Ζtƒ Ÿω èπu‹ÏΡ#¨“9$#uρ Zπx.Îô³ãΒ ÷ρr& ºπuŠÏΡ#y— āωÎ) ßxÅ3Ζtƒ Ÿω ’ÎΤ#¨“9$# ∩⊂∪ tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# ’n?tã y7Ï9≡sŒ tΠÌhãmuρ Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau lakilaki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. Disini batasan minimum dan maksimum berpadu dalam satu hukuman yakni berupa seratus deraan. Tuhan menekankan bahwa pezina seharusnya tidak dikasihani dengan mengurangi hukuman-hukuman yang seharusnya di timpakan. Hukuman pezina adalah tidak lebih dari seratus deraan.148 Penjelaskan syarat-syarat kondisional harus dipennuhi pada penerapan batasan hukum zina itu dan disebut sebagai ayat-ayat mubayinat. Batasan zina inilah yang menjelaskan syarat-syarat tertentu harus dipenuhi untuk menerapkan hukum ini, karena merupakan batas maksimal pada saat yang sama menempati batas minimal. 5. Posisi Batas maksimal dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa persentuhan. 147 148 Ibid, 463. Ibid, 463. 108 Hal itu tertera dalam surat al-Isra’ ayat: 32 ∩⊂⊄∪ Wξ‹Î6y™ u!$y™uρ Zπt±Ås≈sù tβ%x. …çµ‾ΡÎ) ( #’oΤÌh“9$# (#θç/tø)s? Ÿωuρ Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. Contoh batasan ini adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Dimulai dari titik diatas batas minimum dimana keduanya sama sekali tidak bersentuhan, garis lengkung bergerak keatas searah dengan batas maksimum dimana mereka hampir melakukan perzinaan, tetapi tidak sampai terjadi.149 6. Bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif dan batas minimum pada daerah negatif. Contoh tipe ini adalah transaksi keuangan. Batas tertinggi di gambarkan sebagai pajak bunga dan batas terenda adalah pembayaran zakat. Ketika batasan-batasan ini dalam posisi positif dan negatif, maka ada sebuah tingkatan berada tepat di antara yang nilainya sama dengan nol.150 Berdasarkan uraian diatas, maka dapat di jelaskan: 1. Pada satu sisi, Islam bersifat lurus dan pasti dalam hal batas-batas hukum dan pilar-pilar moral. Pada sisi lain Islam bersifat lentur dengan memberikan ruang gerak ijtihad di antara batasan-batasan hukum Allah. Dalam ketentuan batas-batas hukum, Islam bersifat 149 150 Ibid, 464. Ibid,468. 109 pasti, tetapi dalam gerak ijtihad di antara batas-batas tersebut, Islam bersifat lentur dan dinamis. 2. Allah menganugrahkan ketetapan hukum yang sudah jadi dan sudah pasti bagi Isa dan Musa dalam al-Kitab, karena model tasyri’ tersebut disesuaikan dengan tingkat peradaban bangsa yang hidup pada masa tersebut. Oleh karenanya, ketetapan hukum bagi Isa dan Musa disebut sebagai al-Kitab. Ketetapan hukum ini tidak universal, tetapi bersifat lokal dan temporal. Dengan ungkapan lain, ketetapan hukum itu tidak didasarkan pada konsep batas-batas hukum. Oleh karena ketetapan hukum bersifat umum tanpa ada batasan yang jelas sehingga mudah untuk di lampaui atau dilanggar. Pada saat yang sama, para pengikut Musa dan Isa memisahkan antar hukum agama dan negara. 3. Risalah Muhammad disebut sebagai umm kitab dan berlaku universal karena memiliki kelenturan yang dibangun oleh teori batas-batas hukum. Dari risalah ini sangat dimungkinkan tersusun jutaan alternatif ketentuan hukum baru yang sangat sulit untuk di langgar kecuali oleh orang-orang tidak terpelajar. 4. Dengan memperhatikan bahwa batas-batas hukum ini di sebut sebagai batas-batas hukum Allah, maka yang berhak menentukan batasannya adalah Allah. Tidak seorangpun diperkenankan menetapkan batasan hukum tersebut dan kemudian mengaku bahwa batasan-batasan hukum tersebut adalah batasan hukum Allah. 5. Secara umum, batas-batas hukum yang telah di tetapkan Allah sama sekali tidak boleh di langgar. Bagi setiap pelanggar sesuai dengan 110 ancaman Allah balasannya adalah neraka jahanam. Contoh batasbatas hukum yang bersifat mutlak adalah hukum waris, pencurian, pembunuhan, larangan menikahi wanita mahram. Tetapi terdapat batasan hukum yang dalam kondisi tertentu Allah memperbolehkan untuk melampauinya. Sebagai contoh memakan bangkai dalam keadaan darurat.151 Persoalan inilah yang menjadi salah satu kegelisahan Muhammad Syahrûr ketika melihat stagnasi pemikiran dunia Islam. Syahrûr menegaskan perlunya para ahli hukum selalu berusaha mengembangkan teori-teori hukum baru sesuai dengan latar belakang sosio-kultural dan pengetahuan ilmiah obyektif masa kontemporer. Beberapa istilah kunci yang perlu dipahami terlebih dahulu sebelum membedah artikulasi teoritik pemikiran Syahrûr dalam hukum Islam antara lain: hudud, ar-risalah, an-nubuwah, al-istiqamah, al-hanafiyyah.152 Teori limit yang ditawarkan oleh Syahrûr itu memberikan empat kontribusi signifikan dalam pengayaan bidang fiqih: Pertama, dengan teori limit Syahrûr telah berhasil melakukan pergeseran paradigma yang sangat fundamental di dalam bidang fiqih. Selama ini pengertian hudan dipahami para ahli fiqih secara rigit sebagai ayat-ayat dan hadis-hadis yang berisi sanksi hukum yang tidak boleh di tambah atau di kurangi dari ketentuan yang termaktub, seperti sanksi potong tangan bagi pencuri, cambuk 100 kali bagi pelaku zina belum bekeluarga. Berbedah dengan itu, teori limit yang di tawarkan oleh Syahrûr cenderung bersifat di namis-kontekstual, dan tidak hanya menyangkut 151 Ibid. M.In’am Esha, Muhammad Syahrûr:Teori Batas, dalam bukum Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), 308. 152 111 masalah sanksi hukum. Teori limit Syahrûr juga menyangkut aturan-aturan hukum lainnya, seperti pakaian perempuan, poligini, pembagian warisan, soal riba dan lain sebagainya.153 Kedua, teori limit Syahrûr menawarkan ketentuan batas minimum dan batas maksimum dalam menjalankan hukum-hukum Allah. Artinya, hukum-hukum Allah di posisikan bersifat elastis, sepanjang tetap berada di antara batas minimal dan batas maksimal yang telah ditentukan. Wilayah ijtihad manusia, berada di antara batas ninimum dan maksimum. Ketiga, dengan teori limitnya, Syahrûr telah melakukan dekontruksi dan rekontruksi terhadap motodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat yang di klaim sebagai ayat-ayat muhkam. Juga dapat di pahami secara dinamis dan memiliki alternatif penafsiran, sebab al-Quran di turunkan untuk merespon persoalan manusia dan berlaku sepanjang masa. Semua ayat al-Quran tidak saja dapat di pahami, bahkan bagi Syahrûr dapat di pahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat dapat berkembang tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu turun.154 Keempat, dengan teori limit, Syahrûr ingin membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar ajaran yang relevan untuk setiap ruang dan waktu. Syahrûr berasumsi, kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terdapat dua aspek gerak, yaitu gerak konstan serta gerak dinamis dan lentur. Sifat kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Syahrûr di pahami sebagai the bounds or restriction that God has placed on mans freedom of action (batasan yang telah ditempatkan Tuhan 153 154 Ibid. Ibid. 112 pada wilayah kebebasan manusia). Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan lentur) akan membuat Islam tetap survive sepanjang zaman. Dua hal yang beroposisi secara biner itu kemudian melahirkan gerak dialektik (al-harakah al-jadaliyah) dalam pengetahuan dan ilmuilmu sosial. Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi hukum Islam, sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan sistem hukum Islam secara terus-menerus. B. Penggunaan Teori Batas Muhammad Syahrûr dalam Masalah Poligini Poligini adalah salah satu masalah besar yang di hadapi oleh perempuan Arab Islam secara khusus, dan di hadapi oleh umat Islam secara umum. Jika ayat poligini di pahami dari Umm al-Kitab dari perspektif teori batas, maka akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Pemahaman ayat tersebut mencakup setiap periode sejarah perkembangan manusia dan meliputi seluruh sisi kemuliaan manusia, baik masa lampau maupun masa kontemporer.155 Ayat-ayat hudud dalam masalah poligini adalah sebagai berikut: *ُ5ْ 6 ِ ِْ>ن/َ 9َ :َ ; َو ُر َ <َ َو =ُـ0َ8ْ َ ِء$َ&' ( ا َ ) *َُ ب َ َ,َ ُِا.ْ َ/ 0ََ َ ا0ِ/ُا1& ِ ْ 2ُ 3' ْـُ* َأ56 ِ ْوَِإن (3 : ُ<ُا ) ا&ء2َ 3' َأ0َ.ْْ َأ ْ! َ ُُ* َذِ َ? َأدAَ <ََ َ ْ َ ًة َأوCِ َ /َ ْ ُِا2َ 3' َأ Artinya: Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (al-Nisa: 3). 155 Ibid. 113 Pertama dalam surat an-Nisa’ ayat 3 ada dua terma dasar yaitu:156 qasatha dan ‘adala. Dalam bahasa Arab qasatha adalah terma dasar satu tetapi memiliki dua pengertian yang bertolak belakang. Arti pertamanya adalah “keadilan dan pertolongan” seperti dalam firman Allah dalah surat al-Ma’idah: 42: ( öΝåκ÷]tã óÚÍôãr& ÷ρr& öΝæηuΖ÷t/ Νä3÷n$$sù x8ρâ!$y_ βÎ*sù 4 ÏMós¡=Ï9 tβθè=≈ā2r& É>É‹s3ù=Ï9 šχθãè≈£ϑy™ ©!$# ¨βÎ) 4 ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ΝæηuΖ÷t/ Νä3÷n$$sù |Môϑs3ym ÷βÎ)uρ ( $\↔ø‹x© x8ρ•ÛØo„ n=sù óΟßγ÷Ψtã óÚÌ÷èè? βÎ)uρ ∩⊆⊄∪ tÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä† Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. Al-Hujarat ayat: 9 ’n?tã $yϑßγ1y‰÷nÎ) ôMtót/ .βÎ*sù ( $yϑåκs]÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù (#θè=tGtGø%$# tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# zÏΒ Èβ$tGxÍ←!$sÛ βÎ)uρ $yϑåκs]÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù ôNu!$sù βÎ*sù 4 «!$# ÌøΒr& #’n<Î) uþ’Å∀s? 4®Lym Èöö7s? ÉL©9$# (#θè=ÏG≈s)sù 3“t÷zW{$# ∩∪ šÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä† ©!$# ¨βÎ) ( (#þθäÜÅ¡ø%r&uρ ÉΑô‰yèø9$$Î/ Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. Al-Mumtahanah: 8 156 Ibid. 114 óΟèδρ•y9s? βr& öΝä.Ì≈tƒÏŠ ÏiΒ /ä.θã_Ìøƒä† óΟs9uρ ÈÏd‰9$# ’Îû öΝä.θè=ÏG≈s)ムöΝs9 tÏ%©!$# Çtã ª!$# â/ä38yγ÷Ψtƒ āω ∩∇∪ tÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä† ©!$# ¨βÎ) 4 öΝÍκös9Î) (#þθäÜÅ¡ø)è?uρ Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Arti keduanya adalah kezaliman dan penindasan (al-jur), seperti dalam firman-Nya: ∩⊇⊆∪ #Y‰x©u‘ (#÷ρ§ptrB y7Í×‾≈s9'ρé'sù zΝn=ó™r& ôyϑsù ( tβθäÜÅ¡≈s)ø9$# $¨ΖÏΒuρ tβθßϑÎ=ó¡ßϑø9$# $¨ΖÏΒ $‾Ρr&uρ Artinya: Dan Sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang yang taat, Maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.(Al-Jin:14). Terma ‘adala juga memiliki dua arti yang saling berlawanan. Arti pertamanya adalah: kelurusan atau kesejajaran, sedangkan arti keduanya adalah kebengkokan. Meskipun demikian, terdapat perbedaan nuansa makna antara al-qisth dan ‘adala. Terma qisth mengisaratkan hubungan dari satu pihak saja, sedangkan ‘adala mengisyaratkan hubungan persamaan antara dua pihak. Dari pengertian ini munculah terma mu’adalah, yaitu kesejajaran dua pihak yang berbeda, seperti yang di rumuskan dalam matematika A=B (baca A sama dengan B). Dari dua potensi makna bagi kedua lafad tersebut, potensi makna yang dimaksud dalam surat an-Nisa’ ayat 3 ialah makna yang pertama, yakni berbuat baik dan berbuat adil. Meskipun demikian, Syahrûr tidak memandang bahwa kata qasatha merupakan sinonim dari kata ‘adala. Keduanya, meskipun memiliki persinggungan makna, tetapi memiliki perbedaan konotasi. Dalam arti, bahwa makna keadilan dalam kata qasatha di pandang dari satu arah atau tanpa adanya perbandingan. 115 Sementara berbuat adil yang dimaksud oleh kata ‘adala ialah bersikap adil antara dua pihak yang berbeda” (musa wah bayn tharafayn muktalifayn).157 ُ ; َو َ <َ َو =ُـ0َ8ْ َ ِء$َ&' ( ا َ ) *َُ ب َ َ,َ ُِا.ْ َ/ Dengan demikian, ungkapan 9َ:ر َharus di pahami atau di terjemahkan ‘dan jika kalian khawatir tidak dapat berbuat baik (atau tidak dapat memperhatikan) kepada anak-anak yatim, maka nikahilah ibuibu mereka yang kalian sukai, dua tiga atau empat’. Dengan kata lain, Syahrûr ingin menegaskan bahwa istri kedua dan seterusnya harus wanita-wanita janda (karena suaminya meninggal dunia) dan memiliki anak-anak yatim. Untuk memperkuat pandangan ini, Syahrûr kemudian menganalisis struktur gramatika bahasa ayat diatas َ َ,َ ُِا.ْ َ/ dengan mengaitkan penetapan praktik poligini pada ungkapan........ *َُ ب sebagai struktur jawab al-syarat dengan ungkapan: wa in khiftum alla tuqsithu fi alyatama sebagai struktur syarat (kondisional).158 Ayat poligini ini memiliki hubungan yang erat dengan ayat sebelumnya karena ada redaksi wa in yang menghubungkan keduanya, sementara ayat-ayat sebelumnya membicarakan hak-hak anak yatim. Allah berfirman: #’n<Î) öΝçλm;≡uθøΒr& (#þθè=ä.ù's? Ÿωuρ ( É=Íh‹©Ü9$$Î/ y]ŠÎ7sƒø:$# (#θä9£‰t7oKs? Ÿωuρ ( öΝæηs9≡uθøΒr& #’yϑ≈tFu‹ø9$# (#θè?#uuρ ∩⊄∪ #ZÎ6x. $\/θãm tβ%x. …çµ‾ΡÎ) 4 öΝä3Ï9≡uθøΒr& Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. 157 158 Ibid, 589. Ibid. 116 Dalam pembahasan wasiat Syahrûr mendefinisikan bahwa yang dimaksud anak yatim adalah anak yang tidak memiliki bapak dan masih di bawah umur atau belum dewasa. Sedangkan ibunya masih hidup dan masih berada pada usia produktif. Ayat-ayat poligini yang termasuk kedalam teori batas ini memiliki batasan minimal dan batas maksimal, baik dari sisi kualitas dan kuantitas. Jika teori batas di terapkan dalam menganalisis ayat itu, maka akan memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas).159 1. Batas-batas dalam sisi hadd fi al-kamm (kuantitas) Ayat ini mebicarakan pernikahan dengan redaksi “fankihu” yang kemudian mengawali jumlah istri dengan angka ‘dua’ (masna). Pada dataran realitas, seorang laki-laki tidak dapat dikatakan menikahi dirinya sendiri atau menikahi setengah perempuan, maka batas minimalnya adalah satu orang perempuan, dan batas maksimalnya adalah empat. Proses peningkatan jumlah ini diawali dari dua, tiga dan terakhir empat dalam hitungan bilangan bulat karena manusia tidak dapat di hitung dalam bentuk pecahan. Kesimpulannya batas minimal perempuan yang dinikahi adalah satu dan batas maksimalnya adalah empat. Penyebutan satu-persatu dalam redaksi masna, wa sulasa, wa ruba’ harus di pahami dengan penyebutan bilangan bulat secara berurutan, sehingga tidak dapat di pahami dua + tiga + empat yang berjumlah sembilan. Dari sisi normatif, tidak ada hal yang tabu dalam hal ini. Sebaliknya seandainya poligini dibolehkan dan seorang menikahi empat perempuan, maka masih tetap dalam batas-batas hukum Allah, yaitu 159 Muhammad Syahrûr, Op. Cit, 598. 117 tepat pada batas maksimal sampai empat. Dalam dua kasus ini masih bergerak dalam lingkup batas-batas hukum Allah dari sisi kuantitas. Dalam sebagian kasus penerapan batas maksimal dengan menikahi empat perempuan, dan inilah yang terjadi selama empat belas abad, yaitu memahami ayat poligini sebagai ayat yang membatasi jumlah istri dari satu hingga empat, tanpa memperhatikan kualitas perempuan yang di nikahi. Para pelaku poligini memahami ayat: “kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja” sebagai perintah keadilan di antara para istri. Oleh karena itu, mereka membenarkan pemahaman yang menyatakan bahwa jumlah minimal dalam pernikahan adalah satu istri dan poligini adalah bentuk jalan keluar dari keadaan yang memaksa.160 2. Batas-batas dari sisi hadd al kayf (Kualitas) Maksud dari kualitas adalah apakah istri kedua dan seterusnya adalah perempuan yang janda atau yang perawan. Jika janda apakah yang memiliki anak atau tidak? jika di pahami dari sisi kuantitas dan mengabaikan sisi kualitas penjelasan redaksi yang berbentuk jawaban atas persyaratan yang disebut sebelumnya? memahami kalimat jawaban as-syarti antara ayat fankihu ma taba lakum min al-nisa’ .......dengan ayat: wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama? Dalam konteks ini, ada hubungan antara redaksi syarat dan redaksi jawaban syarat tersebut, sehingga akan memperoleh pemahaman: ayat ini tidak menyebutkan syarat kualitas 160 Ibid. 118 bagi istri yang pertama, sehingga terbuka kemungkinan apakah perawan, janda dengan anak atau janda tanpa anak.161 Agar terjadi keserasian antara redaksi jawab syarat “fankihu” dan redaksi syaratnya yaitu keadilan terhadap anak yatim, ayat ini harus di pahami sebagai ayat yang membicarakan para ibu janda dari anak-anak yatim, sehingga dapat di simpulkan bahwa ayat ini memberikan kelonggaran dari segi jumlah hingga empat istri, tetapi menetapkan persyaratan bagi istri kedua, ketiga, keempat harus seorang perempuan yang berstatus janda yang memiliki anak. Konsekuensinya, seorang lakilaki yang menikahi janda ini harus memelihara anak-anak yatim yang ikut bersamanya sebagaimana ia memelihara dan mendidik anak-anaknya sendiri.162 Kalau di perhatikan secara cermat firman Allah: ma thaba lakum (perempuan-perempuan yang kamu senangi). Bahkan berkenaan dengan seorang janda yang telah memiliki anak-anak yatim yang telah kehilangan pemimpin dan penopang hidupnya, sehingga dengan sangat terpaksa menerima pinangan yang di tujukan kepadanya. Allah menggunakan kata-kata halus dan penuh perasaan ketika menyebutkan seorang janda sebagai bentuk pemuliaan terhadapnya dan menjaga perasaannya, dan sebagai bentuk penghormatan terhadap perkawinan; padahal bagi Allah dalam keadaan keterpaksaan yang demikian boleh-boleh saja berfirman demikian: fankihu ma si’tum min an-nisa’i (maka kawinilah wanita-wanita yang kamu kehendaki). Akan tetapi Allah berfirman: fankihu ma taba lakum min an-nisa’i (maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi). Disini jelas perbedaan antara lafad thaba dan sha’a.163 161 Ibid. Ibid. 163 Ibid. 162 119 Akan tetapi, perhatian manusiawi terhadap ayat tersebut seringkali menimbulkan antusiasme yang menggebu-gebu dalam hati seseorang hingga kelebihan dalam upaya mendapatkan ridha Allah, padahal tidak mempunyai biaya untuk menghidupi anak-anak dan keluarganya yang pertama, di tambah dengan tanggungan-tanggungan tambahan dari istri kedua beserta anak-anak yatimnya, sehingga ia terjatuh dalam belenggu kesulitan. Maka pembagian untuk seseorang antara (perhatian) terhadap anak-anaknya dan kewajibannya terhadap anak-anak yatim telah menyebabkan sikap tidak adil di antara mereka. Penjelasan akan hal ini ada dalam firman Allah: kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih efektif mengantisipasi tindak aniaya. Disini datang perintah Allah untuk tidak poligini dan mencukupkan dengan seorang istri saja ketika dalam keadaan takut akan terbelit belenggu dan terjatuh pada tindakan tidak adil.164 Syahrûr memahami bahwa Allah bukan hanya sekedar memperbolehkan poligini, namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi, pertama, bahwa isteri kedua, ketiga dan keempat adalah janda yang memiliki anak yatim kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim. Karena batasan yang telah di gariskan oleh Tuhan tidak akan lepas dari kondisi manusiawi, di samping juga memiliki hikmah bagi kehidupan manusia.165 Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perintah poligini menjadi gugur.166 Dengan demikian, perintah poligini itu adalah perintah bersyarat, 164 Ibid. Anjar Nugraha, “Muhammad Syahrûr dan Poligami,” nusyria.netartikel.phpsubaction=show comments&id=1135173494&archive=&start_from=&ucat=1& -45 (diakses pada: 22 mei 2007) 166 Ibid, 428. 165 120 maka poligini tersebut bukalah ketetapan yang berlaku umum, universal dan bersifat abadi. Kebolehan berpoligini sering di manfaatkan sebagai solusi terakhir atau pintu darurat bagi laki-laki yang memiliki “keistimewaan” dalam kebutuhan biologis yang berbeda dengan laki-laki lain. Pada kasus seperti itu, barulah pintu darurat di pergunakan. Jika laki-laki tersebut tidak berpoligini, akan terjerumus ke dalam perzinaan, sedangkan perempuan yang akan dimadu ada dan bersedia. Sunggupun demikian berlaku adil kepada istri-istri yang dimadu itu tetap sebagai persyaratan mutlak yang harus di penuhinya. Berarti poligini disini sebagai solusi akhir, atau pintu darurat dan sekaligus membek-up monogami. Tetapi jika istri pertamanya tidak bersedia dimadu, ia harus menerimanya, yaitu bercerai dengan istri pertamanya, berarti tidak terjadi poligini atau memilih untuk tidak berpoligini. Berpoligini dengan alasan menghindari zina, diperbolehkan daripada berzina yang sudah jelas hukumnya haram dan sanksinya berat, yaitu rajam. Bahkan alQur’an melarang mendekati zina dengan "Aا ا-: (al-Isra’: 32). Apabila alasan ini di hubungkan dengan poligini yang di praktekan Rasul, maka tidak relefan karena ternyata alasannya berbeda. Rasul berpoligini dalam rangka membela orang lemah dan untuk kepentingan dakwa Islam. Rasul berpoligini bukan di dorong oleh kebutuhan libido seksualnya. Jika atas dasar libido tentu beliau sudah berpoligini sejak semula, ternyata beliau bermonogami selama 28 tahun, yakni hanya beristrikan Siti Khadijah saja. Istri-istri beliau ketika berpoliginipun perempuan-perempuan janda bahkan ada yang sudah usia lanjut, seperti Saudah binti Zam`ah. Uraian diatas dilengkapi dengan membaca surat an-Nisa’ mulai ayat 2, maka akan menjadi jelas bahwa pokok pembahasan ayat 3 adalah masalah anak yatim. 121 Poligini dalam ayat tersebut sangat terkait erat, yakni hubungan sebab akibat dengan anak-anak yatim yang kehilangan ayah karena peperangan, sementara ibunya masih hidup dalam keadaan menjanda.167 Jika seseorang mampu menikahi tiga janda yang masing-masing memiliki anak, hingga ia hidup dengan keluarga besar, tentunya dari sisi finansial kondisi ini merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Namun, jika ada kehawatiran akan terjadi ketidak seimbangan dan ketidak adilan dalam keluarga tersebut, maka poligini dilarang. Dalam kondisi seperti inilah firman Allah “fa-in khiftum alla ta’dilu fawakhidatan” dapat di pahami berlaku adil kepada anak-anaknya sendiri dari istri pertama dan pada anak-anak yatim yang ikut bersama istri-istrinya yang lain. Dalam ayat ini pengertian ‘adl (bertindak adil antara dua pihak) tanpak dengan jelas, yaitu tindakan adil seorang bapak kepada anak-anak dari istri pertama dan kepada anakanak yang dari istri yang lainnya. Sedangkan tindakan qist hanya ditujukan kepada anak-anak yatim saja, yaitu anak-anak yang di bawah oleh istri kedua, ketiga dan keempat, sebagaimana firmanNya: “wa in khiftum an la tuqsitu fi al-yatama”. Jika seorang yang sudah beristri khawatir tidak dapat berbuat adil, baik terhadap anak-anaknya sendiri maupun anakanak yatim tersebut, maka hendaklah ia menikah dengan satu istri saja. Kata al-yatim dalam bahasa Arab dan tanzil al-hakim berarti anak yang belum mencapai umur balig yang telah kehilangan ayahnya, sementara ibunya masih hidup. Pengertian al-yatim seperti ini ada dalam firman Allah “Dan ujilah (didiklah) anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin” an-Nisa’ ayat 6. Sedangkan kata al-yatim yang berarti anak yang telah kehilangan ayahnya disebutkan juga 167 Ibid. 122 dengan jelas dalam firman-Nya: Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah orang yang saleh (Qs.al-Kahfi:82). Demikian juga kata yatim di sebutkan secara tersirat dalam firman-Nya: dan janganlah kamu dekati harta anak-anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat (al-An’am:152), dan firmannya: dan berikan kepada anak-anak yatim harta mereka, karena seorang ayah ketika masih hidup secara hukum adalah wali bagi anaknya, sehingga tidak terdapat hal yang menjastifikasi seruan Allah untuk memerintahkan kepada manusia agar berbuat adil kepadanya. Permasalahan anak yatim yang telah kehilangan ayahnya, dimana Allah menghendaki dan memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik dan adil kepada mereka, serta menjaga dan memelihara harta mereka dan menyerahkan kembali kepada mereka setelah menginjak usia dewasa.168 Dalam keadaan ini, yakni kekhawatiran tidak terwujudnya keadilan pada anak-anak yatim sesuai dengan ayat yang dimaksud (sebagaimana firman Allah: dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim....), maka ayat diatas memperbolehkan poligini, yakni menikahi ibu-ibu mereka yang menjanda (Allah berfirman: maka kawinilah perempuan-perempuan yang kalian senangi.......). Khitab perintah dalam ayat terebut ditujuhkan kepada orang-orang yang telah menikah dengan seorang wanita dan memiliki anak, karena bukanlah termasuk poligini bagi laki-laki bujangan menikahi janda yang memiliki anak-anak yatim, dengan dasar ayat tersebut diawali dengan dua dan diakhiri dengan empat.169 168 169 Ibid, 428. Ibid. 123 Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa pihak yang menjadi sasaran pembicaraan dalam masalah poligini adalah seorang yang sudah memiliki satu istri, maka dalam ayat dimulai dengan redaksi matsna atau yang kedua. Dengan demikian, maka yang disebut dengan fawakhidah disini adalah istri kedua, bukan istri pertama. Dengan ungkapan lain, jika seorang yang sudah menikah merasa mampu untuk melakukan poligini, khususnya secara finansial, Allah memberikan dorongan kepadanya untuk menikah lagi paling tidak dengan satu janda yang memiliki anak sebagai istri keduanya.170 Pengertian ini di pertegas dengan redaksi ayat dibagian akhir “zalika adna alla ta’ulu ”. Kalimat ta’ulu berasal dari kata awala yang berarti memiliki banyak keturunan dan melakukan banyak tindakan ketidakadilan. Seorang laki-laki yang bertanggung jawab atas keluarga besarnya yang mencakup keempat istrinya beserta anak-anaknya memiliki beban besar berupa tuntutan finansial dan tanggung jawab mendidik anak-anaknya. Jika tidak mampu mengemban tanggung jawab ini, maka keluarganya akan tertelantar. Kalau dilihat dari asbabul nuzul surat an-Nisa’ ayat 3 sebagaimana yang di riwayatkan oleh A’isyah mengapa ada kaitan antara perintah memelihara anak-anak yatim perempuan dengan izinan beristri lebih dari satu sampai dengan empat. Karena ayat ketiga ini adalah sambungan dari ayat sebelumnya tentang memelihara anakanak yatim. Pada ayat dua itu telah dijelaskan dan di peringatkan jangan sampai ada aniaya dan curang terhadap anak yatim, sebab itu adalah dosa yang amat besar. Jika anak yatim itu sudah dewasa hendaklah hartanya di serahkan kepadanya, karena dia akan menikah. Tetapi timbul niat dalam hati wali untuk menikahinya, sehingga dia 170 Ibid. 124 tidak keluar lagi dari rumah walinya, kecantikannya bisa di persunting, hartanya bisa dikuasai, maharnya bisa di “permainkan” atau di bayar murah. Dari pada melangsungkan niat jahat terhadap anak perempuan yatim yang ada dalam asuhannya, lebih baik menikah dengan wanita lain, bayar maharnya dengan patut, biar sampai empat orang. Hal ini senada dengan pemahaman al-Thabari dalam memahami surat anNisa’ ayat 3 dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan walinya dan juga wanita-wanita lain yang menjadi istri mereka. At-Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan berlaku adil terhadap wanita-wanita yang di kawini. Lebih lanjut menurut atThabari, apabila laki-laki tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim yang akan di kawininya, maka ia hendaknya mengawini wanita-wanita lain yang ia sukai dua, tiga atau empat. Namun jika khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang istri saja. Jika masih saja khawatir tidak dapat berlaku adil walaupun terhadap satu istri, maka janganlah engkau menikahinya, yang demikian itu lebih dekat keselamatan dari dosa, aniaya serta penyelewengan terhadap wanita.171 Maka sudah menjadi keharusan bagi seorang peneliti yang bermaksud membahas poligini dalam tanzil al-hakim untuk memperhatikan ayat-ayat dalam alQur’an secara cermat, sekaligus melihat hubungan sebab akibat antara masalah poligini dan anak yatim sebagaimana telah di sebutkan dalam bingkai redaksi surat an-Nisa’ ayat 3 dan ayat-ayat yang mendahuluinya. 171 Ibid, 577-578 125 Dalam konsep poligini memiliki tujuan yang sangat manusiawi. Allah membolehkan poligini selama tidak keluar dari batas-batas hukum-Nya yang tertera dalam surat an-Nisa’:3. Dengan pemahaman ini dapat mengetahui bagaimana Allah sangat memperhatikan kepentingan para janda dan anak-anak yatim. Penentu hukum syari’at memiliki keluasan gerak untuk menyusun sebagai bentuk syari’at terkait dengan poligini di sesuaikan dengan kondisi objektif yang melatarinya. Misalnya, jumlah laki-laki banyak berkurang akibat menjadi korban perang, penentu syariat dapat menentukan kebijakan yang mengizinkan seorang suami menikah dua sampai empat perempuan janda yang tidak punya anak. Tetapi harus diingat bahwa selamanya tidak di perbolehkan seorang suami menikahi janda yang punya anak, namun ia hanya menerima janda tersebut dan menelantarkan atau menolak mengasuh anak-anak dari janda tersebut. Allah memberikan keringanan kepada pelaku poligini seperti dengan pembebasan mahar. Allah berfirman: ’Îû É=≈tGÅ3ø9$# ’Îû öΝà6ø‹n=tæ 4‘n=÷Fム$tΒuρ £ÎγŠÏù öΝà6‹ÏGøムª!$# È≅è% ( Ï!$|¡ÏiΨ9$# ’Îû y7tΡθçGøtGó¡o„uρ £èδθßsÅ3Ζs? βr& tβθç6xîös?uρ £ßγs9 |=ÏGä. $tΒ £ßγtΡθè?÷σè? Ÿω ÉL≈©9$# Ï!$|¡ÏiΨ9$# ‘yϑ≈tGtƒ 9öyz ôÏΒ (#θè=yèøs? $tΒuρ 4 ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4’yϑ≈tFu‹ù=Ï9 (#θãΒθà)s? χr&uρ Èβ≡t$ø!Èθø9$# š∅ÏΒ tÏyèôÒtFó¡ßϑø9$#uρ ∩⊇⊄∠∪ $VϑŠÎ=tã ϵÎ/ tβ%x. ©!$# ¨βÎ*sù Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya. (an-Nisa’:127) 126 Dalam ayat ini Allah memberikan kelonggaran kepada pihak lelaki untuk tidak membayar mahar tetapi dengan syarat memelihara anaknya yang yatim. Dalam pernikahan poligini Allah tidak mewajibkan adil di antara para istrinya karena pada dasarnya sikap adil ditujukan kepada anak-anak yatim. Seperti yang di firmankan oleh Allah dalam surat an-Nisa’ 129: È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹tym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ ∩⊇⊄∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)‾=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dalam ayat ini seorang suami di tuntut untuk tidak mentelantarkan salah satu istrinya dalam kapasitasnya sebagai seorang istri, maka Allah berfirman: “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Seorang suami harus menjaga keharmonisan keluarga bersama istri-istrinya. Pihak istri juga berhak mengajukan gugatan cerai tanpa kehilangan hak-haknya. Allah berfirman: jika keduanya bercerai, maka Allah memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Fiqih Islam tradisional menerapkan model poligini seperti ini sejak zaman Nabi hingga saat ini. Namun, sekarang kondisi sejarah telah berubah dan menuntut pemberlakuan poligini yang melibatkan sisi kualitas dan kuantitas. Dalam kitab Ibnu al-Atsir, poligini yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial. Mekanisme poligini yang di terapkan Nabi merupakan strategi 127 untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke VII M. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda semakin rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebaliknya yang dilakukan oleh Nabi adalah membatasi poligini, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan keharusan berlaku adil dalam poligini. Nabi dalam banyak kesempatan justru lebih menekankan pada prinsip keadilan berpoligini. Seperti dinyatakan dalam sebuah hadis: “barang siapa yang mengawini perempuan. Sedangkan dia tidak dapat berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhir nanti, separuh tubuhnya akan lepas dan terputus”. Sesunggunya perintah berpoligini (berdasarkan dua alasan sebagaimana tersebut dalam dua ayat di atas) akan menguraikan berbagai kesulitan sosial yang dialami perempuan dalam hidup bermasyarakat, antara lain: 1. Adanya seorang laki-laki disisi janda akan mampu memelihara dan menjaganya agar tidak terjatuh dalam perbuatan keji. 2. Pelipat gandaan tempat perlindungan yang aman bagi anak-anak yatim di mana mereka tumbuh dan di didik di dalamnya. 3. Keberadaan sang ibu disisi anak-anak mereka yang yatim senantiasa tetap bisa mendidik dan menjaga mereka. Hal tersebut dapat menjaga dan melindungi anak mereka agar tidak menjadi gelandangan dan terhindar dari kenakalan remaja. Beberapa lembaga penampungan anak-anak yatim memang telah memenuhi sebagian tempat tinggal bagi mereka, namun hal itu dapat menjauhkan dan memisahkan mereka dari ibu-ibu kandung mereka. Meskipun demikian, hal ini tidak menghilangkan akan pentingnya lembaga 128 dan yayasan dalam masyarakat penampung anak-anak yatim piatu yang telah kehilangan kedua orang tuanya, dan disilah letak peran dan tujuan dari adopsi. Bahwa ketiadaan keturunan (mandul) dapat menjastifikasi seorang laki-laki untuk kawin dua, tiga, atau empat dan seakan-akan kemandulan adalah bencana yang datang dari pihak perempuan saja dan tidak menimpa laki-laki. Mereka berpendapat juga syahwat biologis seorang laki-laki mengizinkannya untuk berpoligini, sementara mereka melupakan kenyataan bahwa antara laki-laki dan perempuan dalam masalah ini adalah sama. Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap anak-anak yatim. Dalam kaitannya dengan hal itu, Allah memerintahkan poligini dengan syarat tidak khawatir akan tidak berbuat baik kepada anak-anak yatim. Kemudian Allah kembali memperingatkan agar waspada terjatuh dalam kelemahan dan kesulitan serta memerintahkan untuk mencukupkan diri dengan seorang istri saja dalam keadaan demikian. Sebagaimana mufasir berpendapat bahwa firmannya: yatama an-nisa’i dalam surat an-Nisa’; 127 berarti perempuan-perempuan yatim. Pendapat demikian karena hubungan kebahasaan di antara kata: yatama dan an-nisa’ dalam firman tersebut adalah hubungan mudhaf dan mudhaf ilayh (sehingga berarti: anak-anak yatim dari atau milik perempuan), sedangkan hubungan bahasa di antara kedua kata tersebut dalam pendapat; an-nisa’ al-yatimat adalah hubungan sifat dan mausufnya ‘yang disifati’, sehingga berarti perempuan-perempuan yang yatim, makna ini berbedah dengan makna pertama diatas. Kata an-nisa’ adalah bentuk plural dari kata imra’ah, dan al-mar’ah adalah perempuan yang sudah mencapai usia nikah, dan sifat yatim 129 secara hukum bersamaan dengan sampainya usia nikah, berdasarkan atas firman Allah: dan ujila anak yatim itu sampai cukup umur untuk kawin (Qs.an-Nisa’ ayat 6). Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada kata nisa’ yatimat, karena kalau tidak demikian, maka akan ada juga rijal aytam. Hal ini tidak mungkin menurut logika. Yang penting dari kesemuahnya adalah bahwa ayat diatas memaafkan untuk tidak memberi maskawin, mahar dan waris. Sebagian mufasir berpendapat bahwa firman Allah “ katakanlah bahwa Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,......”, yakni Allah memberikan fatwa kepadamu tentang hukum waris bagi perempuan dalam at-tanzil dan tentang waris dan mahar bagi perempuan-perempuan yatim, bagaimana mungkin Allah memerintahkan agar berbuat baik dan berlaku adil kepada anak-anak yatim, kemudian Dia memperbolehkan untuk tidak memberi mahar (kepada perempuan-perempuan yatim tersebut) ketika kita akan menikahi mereka. Sesungguhnya masalah poligini sebagai perintah Tuhan yang ditetapkan dengan persyaratan-persyaratan sebagai jalan keluar bagi persoalan kemasyarakatan yang mungkin terjadi dan mungkin tidak, berdasarkan firman-Nya: wa in khiftum.....(dan jika kamu khawatir). Menurut Syahrûr pelaksanaan perintah tersebut ketika terjadi problem dan sebaliknya kita seharusnya meninggalkannya ketika kita terjadi problem. Problem itu terkait dengan sejarah perkembangan masyarakat dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Poligini adalah fenomena umum yang di terima oleh banyak suku bangsa tanpa adanya batasan dan persyaratan. Maka at-tanjil hakim datang untuk membatasinya sampai empat, dan menetapkan persyaratan-persyaratan sebagaimana tersebut dalam ayat diatas, dan menjadikanya sebagai penyelesai problem yang dialami masyarakat yang tidak 130 berkaitan sama sekali dengan halal dan haram, dan seakan-akan tanjil al-hakim menyerahkan kepada masyarakat kapan harus melaksanakannya dan kapan harus meninggalkannya. Hal ini mirip dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat:101: βr& ÷ΛäøÅz ÷βÎ) Íο4θn=¢Á9$# zÏΒ (#ρçÝÇø)s? βr& îy$uΖã_ ö/ä3ø‹n=tæ }§øŠn=sù ÇÚö‘F{$# ’Îû ÷Λäö/uŸÑ #sŒÎ)uρ ∩⊇⊃⊇∪ $YΖÎ7•Β #xρ߉tã ö/ä3s9 (#θçΡ%x. tÍÏ≈s3ø9$# ¨βÎ) 4 (#ÿρãxx. tÏ%©!$# ãΝä3uΖÏFøtƒ Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu. Allah memberikan keringanan bagi orang yang bepergian untuk menqasar shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat dengan adanya syarat, yakni dalam keadaan khawatir terhadap fitnah dan gangguan-gangguan orang kafir. Dengan demikian, apabila syarat tersebut tidak terbukti, maka tidak boleh meringkas shalat. Karena itu, orang yang meringkas shalat ketika bepergian itu adalah benar. Demikian juga orang yang tidak meringkas shalat juga benar. Karena terbukti atau tidaknya syarat tersebut di serahkan kepada sang musafir sendiri. Dari sini bahwa masyarakatlah yang menetapkan pemberlakuan poligini atau melarangnya, sebab dalam memberlakukannya harus memperhatikan ada tidaknya syarat-syarat poligini seperti yang di sebutkan dalam tanjil hakim diatas. Akan tetapi dalam dua keadaan tersebut masyarakat harus tetap berpegang pada statistik dan pendapat para ahli, lalu menetapkan pertimbangan mereka untuk melakukan poligini atau tidak. 131 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Poligini memang menjadi bagian dari syari’at Islam, karena secara tekstual diatur dalam nash al-Qur’an mapun al-Hadis, dan secara faktual dipraktekkan oleh Rasulullah dan beberapa para sahabat. Tetapi, jika dilihat dari sisi hikmah poligini pada awal pembentukan hukum Islam, maka tampak motif kemanusiaan dan keadilan yang mengemuka dalam praktek poligini. Poligini dalam surat an-Nisa’ ayat 3 terkait hubungan sebab akibat dengan anak-anak yatim yang kehilangan ayah, sementara ibunya masih hidup dalam keadaan menjanda. Oleh karena itu, kurang tepat bila dengan serta merta ayat tersebut dianggap sebagai ayat pembolehan poligini secara mutlak atau langsung disebut sebagai ayat poligini. 131 132 Upaya Syahrur dalam mengkaji al-Qur’an akhirnya membuatnya menarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya al-Qur’an merupakan kumpulan ide-ide yang menjadi landasan bagi penetapan hukum-hukum syariah. Karena itu, maka perlu adanya reinterpretasi terhadap nash-nash al-Qur’an dengan harapan terjadi sinkronisasi nash dengan realitas masyarakat kapanpun dan dimanapun. Muncullah teori limit dalam upaya merealisasikan pandangan Syahrûr tersebut. Syahrur, salah satu cendekiawan Muslim terkemuka, menerapkan teori batas dalam memahami beberapa ayat al-Qur’an termasuk ayat tentang poligini. Pada prinsipnya, Syahrur pun mengakui poligami menjadi bagian dari syari’at Islam, akan tetapi penerapannya dalam praktek harus memperhatikan beberapa persyaratan, agar poligami itu membawa hikmah. Persyaratan esensial dalam praktek poligami adalah, pertama pelibatan janda yang memiliki anak sebagai istri kedua, ketiga dan keempat. Kedua, harus ada keadilan diantara para anak dari istri pertama dan anak-anak yatim para janda yang dinikahi berikutnya. Jika ini yang dipraktekkan oleh kalangan Muslim, maka esensi hukum (hikmah al-tasyri) adanya praktek poligami dalam perkawinan Islam menjadi menonjol ketimbang sebagai sarana untuk memuaskan nafsu para laki-laki yang tidak cukup dengan satu orang istri. Poligini memang menjadi bagian dari syari’at Islam, karena secara tekstual diatur dalam nash al-Qur’an maupun al-Hadis, dan secara faktual dipraktekkan oleh Rasulullah dan beberapa sahabat. Tetapi jika dilihat dari sisi hikmah poligini pada awal pembentukan hukum Islam, maka tampak motif kemanusiaan dan keadilan yang mengemuka dalam praktek poligini. 133 B. Saran 1. Penelitian ini dilatar belakangi oleh pemikiran Muhammad Shahrur tentang teori batas, akan tetapi peneliti hanya terfokus pada poligini. Oleh karena itu perlu di adakan penelitian yang lebih mendalam tentang tenelitian tersebut oleh peneliti selanjutnya sebagai kelanjutan dan pelengkap dari penelitian ini. 2. Mahasiswa Fakultas Syari’ah sebagai mahasiswa yang berbasic ke-Islaman hendaklah mempunyai dedikasi yang mendalam untuk meneliti perkembangan pemikiran di dalam hukum Islam yang hidup ditengahtengah masyarakat agar pemikiran generasi penerus tidak stagnan. 3. Permasalahan dalam poligini merupakan suatu fenomena yang sering terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Banyak pelaku poligini tidak mengetahui syarat-syarat bolehnya poligini, sehingga yang terjadi di dalam keluarga yang berpoligini banyak terjadi permasalahan yang ujungujungnya adalah penelantaran salah satu istri dan dampaknya pada anakanaknya. Dengan demikian penulis mengharapkan agar pembaca khususnya pelaku poligini mengetahui dan memahami syarat-syarat dan kewajiban orang yang berpoligini. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin dkk (2006) Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. Abu Faqih, Khozin (2007) Poligami Solusi atau Masalah, Jakarta: al-I’tishom Cahaya Umat. Abu Zaid, Nasr Hamid (1994) Mafhum an-Nash: Dirasah fi ulumil al-Quran, Bairut: Markaz as-Saqafi al-Arabi. Abidin, M. Zainal (2001) Reformulasi Islam dan Iman: Kembali kepada Tanzil Hakim dalam Perspektif Muhammad Syahrur (Artikel ini perna dimuat dalam Jurnal Millah Vol. III No. 1. Abdullah, Taufiq (2002) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jakarta: Ictiyar Baru Van Hoeve. Abdullah, Amin MA (2004) “Continuity and Change dalam Ilmu-ilmu Agama; Meneropong Kegelisahan Akademik Ilmuan Islamic Studies Kontemporer”, makalah ini disampaikan dalam pertemuan Rektor IAIN, UIN, dan Ketua STAIN Se-Indonesia, M.Adib dalam Swara Dipertais No.10 Th.II, 15 Juni 2004. Sumber: www.dipertais.net Swara warta 10-04. asp-30K. Abdurahman, Asjmuni (2007) Muhammad Syahrur dan Al-Kitab, sumber: www.suaramuhammadiyah. or.iddocumentsmanhaj.htm - 17k Al-Jabiri, M.Abid Terj. Ahmad Baso (2000) Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: LKiS. Asyari, Sapari Imam (1983) Suatu Petunjuk Praktis Metode Penelitian Sosial, Surabaya: Usaha Nasional. As-Sabuni, Syaikh Muhammad Ali ali Bahasa Muhammad (1390 H) Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta, Pustaka Amani. Azis, Abdul (2006) “Karakteristik Metodologi Tafsir Ma’ani al-Qur’an,” Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02. Azrah, Azyumardi (2002) Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Barlas, Asma (2005) Cara al-Qur’an Membebaskan Perempuan, Jakarta: PT Serambi Alam Semesta. Burhani, Ahmad Najib (2001) Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Membatu, Jakarta: Penerbit buku Kompas. Damaskus (2008) sumber: http/www.en.wikipedia.orgwikiMuhammad_Shahrur. Departemen Agama (1991) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Humaniora Utama Press. Departemen Agama Republik Indonesia (1983) Pusat Studi dan Pengembangan Islam (Islamic Centre) Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Proyek Penerangan Bimbingan dan Da’wah/Khutbah Agama Islam (Pusat). Dewanto, Nugraha (2008) “Biografi Muhammad Syahrur”, www.mail-archive.com ppiindia@yahoogroups .com msg60918.html - 23k-. Djajaprana, Ferri (2008) “Metode Hermeneutika www.ferrydjajaprana.multiply.com journalitem184-25k. Muhammad Syahrur,” Esha, Muhammad In’am (2001) Kontruk Historis Metodologis Pemikiran M. Syahrur. Jurnal al-Huda Vol.2 No.4 Esha, M. In’am (2003) M. Syahrur: Teori Batas, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Penerbit Jendela. Ghonim, Muhammad Salman Terj. Kamran Asad Irsyadi (2004) Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, Yogyakarta: LKiS. Ghazali, Abdurrahman (2003) Fiqh Munakahat Jakarta: Prenada Kencana Media. Ghozali, Abd. Muqsid (2007) “Muhammad Syahrur”, http://www.google.co.id /search?q=Muhammad+Syahrur&hl=id&start=20&sa=N diakses pada: 29. Harahap, Syahrin (1994) Al-Qur’an dan Sekulerisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husain, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. I. Doi, A. Rahman (2002) Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah) Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kasir, Ibnu (2005) Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Kairo, Dar al-Hadis. Khusniwati, Dwi Rina (2006) “Menggagas Tafsir al-Qur’an Kontemporer yang Humanis dan Progresif,”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02. Kodir, Fakihudin Abdul (2005) Memilih Monogami Pembacaan atas al-Qur’an dan Hadits Nabi, Yogyakarta:Pustaka Pesantren. Masduki, Irwan (2007) “Rekontruksi Nalar Fikih: Perpektif Para Sarjana Kontemporer”, www.nusyria.net artikel. Php subaction=showcomments& id= 1135173494 &archive=&start_from=&ucat=1&-45. Moleong, Lexy, J (1999) Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Liberty. Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir (2001) Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mubarok, Ahmad Zaki (2007) Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Kontemporer “ala” Muhammad Syahrur, Yogyakarta, eL-SAQ Press. Mulia, Siti Musdah (2004) Islam Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mustaqim, Abdul (2004) Syahrur dan Teori Limit (Koordinator Devisi Kajian LESPIM, Lembaga Studi Pengembangan Santri dan Masyarakat), Pesantren Krapyak Yogyakarta, Dosen Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga. Muthahhari, Murtadha terjmh. M.Hashem (1995) Hak-hak Wanita dalam Islam, Jakarta: Lentera Basritama. Nasution, Harun (1973) Filsafat Ilmu dan Misticisme, Jakarta: Bulan Bintang. Nazir, Moh. (1988) Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Nugraha, Anjar (2007) Muhammad Syahrur dan Poligami, sumber: nusyria.net artikel.phpsubaction=showcomments&id=1135173494&archive=&start_fro m=&uc=1&-45. Qardhawi, Yusuf (1993) Prioritas Gerakan Islam: Antisipasi Gerakan Masadepan, Jakarta: al-Islahy Press. Rafiq, Ahmad (1996) Hukum Islam Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sabiq, Syayid alih Bahasa Moh.Thalib (1980) Fikih Sunnah, jilid 6, 7, 8, Bandung: al-Ma’arif. Sadili, Mukhtar (2007) Kumpulan Resensi, muhtarsadili.blogspot.com 2006_08_01 archive.html-57k. Sa’id, Bustani Muhammad (1995) Gerakan Pembaharuan Agama antara Modernismr dan Tajdiddudin, Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah. Al-Atsari, Abu Salman (2007) “Poligami di Hujat: Jawaban Rasional bagi Penghujat Sunnah dan Syari’at Poligami,”, sumber: http//www.dearto Abu Salma. Syah, M. Aunul Abied dan Hakim Taufiq (2001) Tafsir Ayat-ayat Gender dalam alQur’an: Tinjauan Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur, Dalam Bacaan Kontemporer, Bandun: Mizan. Syahrur, Muhammad (1990) Al-Kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah cet.1 Damaskus al-Ahali li al-Thiba’ah wa al-Nasyr. _________ (1996) Al-Islam wa al-Iman; Manzumat al-Qiyam (Damaskus: Al-Ahali. _________ (2000) Nahwa Ushul Jadidah li al-Fikih al-Islami, Damaskus, al-Ahali. _________ (2003) Devine Texs and Pruralisme in Musliem Societies, Sahiron yamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur;an Madzab Yogya, Yogyakarta: Islamika dan Forstudia. Saenong, Ilham B (2002) Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Penerbit Teraju. Samsuddin, Sahiron (2002) Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrur dalam Penafsiran al-Quran dalam Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin (Ed), Studi al-Quran Kontemporer, Yogyakarta: PT.Tiara Wacana. _________ (2003) Hermeneutika al-Qur’an Madzab Jogya, Yogyakarta: Islamika dan Forstudia. _________ (2004) Metodologi Islam Kontemporer, Yogyakarta: Fortudia dan eLSAQ Press. _________ (2004) Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press. Shah, M. Aunul Abied dan Hakim Taufiq (2001) Tafsir Ayat-ayat Gender dalam AlQur’an:Tinjauhan terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam Bacaan Kontemporer, Bandung: Mizan. Sjadzali, Ahmad Fawa’id (2008) M.Shahrur: Figur Fenomena dari Syiria, makalh dikutip dari: hppt: www. islamlib.comenpage.phppage=article&id=693. Shihab, Quraisy (2000) Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Ciputat: Lentera Hati. Syafi’ie, Rahmat (1999) Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, Bandung: Pustaka Setia. Syafi’e, Rahmat (1999) Ilmu Ushul fikih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka Setia. Soekanto, Soejono (1984) Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UIPres. Soekanto, Soejono dan Sri Mahmudji (2003) Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Khusus, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soemiyati (1999) Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan Yogyakarta: Liberty. Wilar, Abraham Silo (2006) Poligini Nabi Muhammad (Kajian Kritis Teologis Terhadap Pemikiran Ali Syari’ati dan Fatimah Mernissi), Yogyakarta: Pustaka Rikhlah. Zahra, Muhammad Abu Terj. Saeful Ma’sum dkk (1994) Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Firdaus. Zuhdi, Masyfuq (1990) Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu.