Lampiran Depanqomari - Etheses of Maulana Malik Ibrahim State

advertisement
POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS
MUHAMMAD SYAHRUR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan
Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
Nur Qomari
NIM 03210092
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MALANG
2008
i
MOTTO
ÉΟŠÏm§9$# Ç≈uΗ÷q§9$# «!$# ÉΟó¡Î0
È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹tym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ
∩⊇⊄∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# €χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)‾=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatungkatung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Surat an-Nisa’:129)
ii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Bismillahirrohmanirrohiim…
Dengan iringan do'a & ketulusan hati
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Ibu & Bapak Tercinta
(Nakiyatun & Ahmad Nafik)
Yang telah percikkan kasih
Dan do'anya selalu mengalir tulus tiada henti-hentinya
Ka2' & Ade'q Tersayang
(Makhfud, Nurul Hasana & Izam, Izal)
Yang Selalu Menghiburku dan Membuatku tersenyum
The Best Friend
(Anak kos-kosan 60B)
Yang ta' pernah surut memberikan sumbangan dorongan &
Motivasi yang telah membuatku mengerti akan makna
persahabatan
Teman2ku Syari’ah "03
Sahabat-sahabatiku PMII Rayon Al-Faruq
Thank's All
Tanpa bantuan & kerjasama kalian,
Karya ini mungkin belum selesai
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Demi Allah,
Dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap pengembangan keilmuan,
penulis menyatakan bahwa skripsi dengan judul:
POLIGINI DALAM PERSFEKTIF TEORI BATAS
MUHAMMAD SYAHRUR
benar-benar merupakan karya ilmiah yang disusun sendiri, bukan duplikat atau
memindah data milik orang lain. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini ada
kesamaan, baik isi, logika maupun datanya, secara keseluruhan atau sebagian, maka
skripsi dan gelar sarjana yang diperoleh karenanya secara otomatis batal demi
hukum.
Malang, 07 Juni 2008
Penulis,
Nur Qomari
NIM 03210092
iv
HALAMAN PERSETUJUAN
POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS
MUHAMMAD SYAHRUR
SKRIPSI
oleh:
Nur Qomari
NIM: 03210092
Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan,
Oleh Dosen Pembimbing:
Drs.H. Isroqunnajah, M.Ag
NIP. 150 278 262
Mengetahui,
Dekan Fakultas Syari’ah
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP. 150 216 425
v
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Pembimbing penulisan skripsi saudara Nur Qomari, NIM 03210092, mahasiswa
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, setelah membaca,
mengamati kembali berbagai data yang ada di dalamnya, dan mengoreksi, maka
skripsi yang bersangkutan dengan judul:
POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS
MUHAMMAD SYAHRUR
telah dianggap memenuhi syarat-syarat ilmiah untuk disetujui dan diajukan pada
majelis dewan penguji.
Malang, 07 Juni 2008
Pembimbing,
H.ISROQUNNAJAH, M.Ag
NIP. 150 278 262
vi
PENGESAHAN SKRIPSI
Dewan penguji skripsi saudara Nur Qomari, NIM 03210092, mahasiswa Fakultas
Syari’ah angkatan tahun 2003, dengan judul
POLIGINI DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS
MUHAMMAD SYAHRUR
Telah dinyatakan LULUS dan berhak menyandang Gelar Sarjana Hukum Islam
(S.HI)
Dengan Penguji:
1. Noer Yasin, M.Hi
NIP. 150 320 234
(...………………..............)
Ketua Penguji
2. Drs.H.Isroqunnajah, M.Ag
NIP. 150 278 262
(...............………………..)
Sekretaris
3. Dra. Hj.Tutik Hamidah M.Ag
NIP :150 224 886
(……...................………..)
Penguji Utama
Malang, 07 Juni 2008
Dekan,
Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag
NIP : 150 216 425
vii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil'alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW. beserta keluarga serta sahabatnya. Semoga kita termasuk umat
yang mendapatkan syafa'at beliau di akhirat kelak. Amiin.
Skripsi yang membahas tentang "Poligini dalam Persfektif Teori Batas
Muhammad Syahrur" ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi,
dengan mencurahkan segala usaha yang ada serta dengan dukungan dari berbagai
pihak skripsi ini akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, ungkapan
terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. H. Imam Suprayogo, selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN)
Malang.
2. Drs. H. Dahlan Tamrin, M.Ag selaku Dekan Fakultas Universitas Islam Negeri
(UIN) Malang.
3. H.Isroqunnajah, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang senantiasa
meluangkan waktu dan tidak pernah lelah dalam memberikan arahan serta
bimbingan demi kebaikan penulisan skripsi ini.
4. Drs. Badrudin, M.Ag, selaku dosen wali penulis selama kuliah di Fakultas
Syari’ah UIN Malang.
viii
5. Segenap dosen Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri (UIN) Malang yang
telah membimbing dan mencurahkan ilmunya kepada kami.
6. Semua keluargaku, kedua orang tua tercinta (Bapak Ahmad Nafik dan Ibu
Nakiyatun) yang telah banyak memberikan motivasi dan juga do’anya yang
selalu mengiringi dalam setiap aktifitasku, sehingga skripsi ini bisa terselesaikan
dengan baik. Terutama kakakku dan adikku yang telah memberikan motifasi.
7. Teman-teman karib penulis di Jl. Joyosuko yang telah memberikan semangatnya
selalu.
8. Teman-teman Fakultas Syari'ah angkatan 2003.
9. Teman-teman PKLI tahun 2006 Fakultas Syari'ah khususnya PKLI Blitar.
10. Sahabat-sahabatiku PMII khususnya Rayon Radikal Al Faruq.
Semoga bantuan dan jerih payah tersebut dapat menjadi tabungan amal saleh,
dan hanya Allah SWT sajalah yang dapat membalas kebaikan semuanya.
Akhirnya semoga skripsi ini, dapat bermanfaat bagi kami khususnya serta
memberikan kontribusi yang sangat berarti bagi para pembaca umumnya.
Malang, 07 Juni 2008
Penulis
ix
TRANSLITERASI
Di dalam naskah ini banyak di jumpai nama dan istilah teknis yang berasal dari
bahasa Arab dengan huruf Latin. Pedoman yang digunakan untuk penulisan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Konsonan
Arab
Arab
‫ﺍ‬
Latin
Tidak dilambangkan
‫ﻁ‬
Latin
Th
‫ﺏ‬
B
‫ﻅ‬
Dh
‫ﺕ‬
T
‫ﻉ‬
‘ (koma terbalik)
‫ﺙ‬
Ts
‫ﻍ‬
Gh
‫ﺝ‬
J
‫ﻑ‬
F
‫ﺡ‬
H
‫ﻕ‬
Q
‫ﺥ‬
Kh
‫ﻙ‬
K
‫ﺩ‬
D
‫ﻝ‬
L
‫ﺫ‬
Dz
‫ﻡ‬
M
‫ﺭ‬
R
‫ﻥ‬
N
‫ﺯ‬
Z
‫ﻭ‬
W
‫ﺱ‬
S
‫ﻩ‬
H
‫ﺵ‬
Sy
‫ﻱ‬
Y
‫ﺹ‬
Sh
‫ﺓ‬
t (bila ditengah kalimat),
h (bila diakhir kalimat)
‫ﺽ‬
Dl
‫ ء‬/‫ا‬
= Apabila terletak diawal mengikuti vokal, tapi apabila terletak ditengah
atau diakhir kata maka dilambangkan dengan tanda koma diatas (’),
berbalik dengan koma (‘) pengganti lambang “‫”ﻉ‬.
x
2. Vokal, Panjang Dan Diftong
Vokal
Panjang
Diftong (misal)
a
= Fathah
â
= a panjang
‫ـَـ‬
= aw
i
= Kasrah
î
= i panjang
‫ـَـــ‬
= ay
u
= Dlommah
û
= u panjang
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN MOTTO ............................................................................................. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .......................................... iv
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... vii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
TRANSLITERASI .................................................................................................. x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
ABSTRAK ............................................................................................................ xv
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................... 11
C. Batasan Masalah .......................................................................................... 12
D. Rumusan Masalah ....................................................................................... 12
E. Tujuan Penelitian ........................................................................................ 12
F. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 12
G. Metodologi Penelitian ................................................................................. 13
H. Penelitian Terdahulu ................................................................................... 19
I. Sistematika Pembahasan ............................................................................. 22
xii
BAB II : KAJIAN TEORI
A. Pengertian Poligini ..................................................................................... 23
a. Pendekatan Historiografi Poligini Nabi Muhammad ............................ 25
b. Hikmah Poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad....................... 27
B. Hukum Poligini ........................................................................................... 35
C. Syarat-syarat Poligini .................................................................................. 42
a. Pengertian Adil dalam Poligini .......................................................... 43
b. Alasan Poligini dibatasi hanya Empat Istri ....................................... 45
c. Poligini sebagai Solusi dan Pilihan Bersyarat .................................... 46
d. Dampak Poligini ................................................................................ 47
e. Monogami:Asas Perkawinan Islam ................................................... 50
D. Pembahasan Ayat dengan Metode Ushul Fiqih .......................................... 53
BAB III: BIOGRAFI MUHAMMAD SYAHRUR
A. Sketsa Historis ............................................................................................. 61
1. Biografi Intelektual ......................................................................... 61
2. Latar Belakang Intelektual .............................................................. 63
3. Latar Belakang Keagamaan .......................................................... 64
B. Kegiatan, Karir dan Karya-karya Muhammad Syahrur ............................ 73
C. Kontruksi Metodologi Muhammad Syahrur ............................................... 75
1. Turats, Modernitas dan Realitas Masyarakat Umat Islam ............... 80
2. Dialektika Tradisi dan Modernisme................................................. 85
D. Model Penafsiran Muhammad Syahrur ...................................................... 86
1. Pendekatan Linguistik...................................................................... 87
2. Pendekatan Scientifik....................................................................... 91
xiii
E. Terma-terma dalam al-Kitab wa al-Qur’an dan Kategorisasi Al-Qur’an ... 92
BAB IV: TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRUR
A. Pengertian Teori Batas dan historisitasnya .................................................. 95
1. Batas Minimum Ketika Berdiri Sendiri ......................................... 102
2. Batasan Maksimum Berdiri Sendiri ............................................... 103
3. Batasan Minimal dan Maksimal Bersamaan.................................. 105
4. Perpaduan antara Batas Minimum dan Batas Maksimum ............ 106
5. Posisi Batas Maksimal dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa
persentuhan .................................................................................... 107
6. Bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif dan
batas minimum pada daerah negatif............................................... 108
B. Penggunaan Teori Batas Muhammad Syahrur dalam Masalah Poligini.... 112
1. Batas-batas dalam sisi Hadd fi al-Kamm (Kuantitas) .................... 115
2. Batas-batas dalam sisi Hadd al Kaif (Kualitas) ............................ 117
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 131
B. Saran-saran ................................................................................................ 133
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiv
Abstrak
Nur Qomari. 2008. Poligini dalam Perspektif Teori Batas Muhammad Syahrur,
Skripsi, Jurusan Al-Ahwal As-Syakhsiyah, Fakultas Syari’ah, Universitas Islam
Negeri (UIN) Malang.
Dosen Pembimbing: Drs.H.Israqunnajah M.Ag
Kata Kunci: Poligini, Teori Batas, Muhammad Syahrur
Melalui karyanya yang sangat kontroversial, al-Kitâb wal Qur’ân: Qirâ’ah
Mu`âshirah, Syahrur menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu
pendekatan baru dalam berijtihad, yang digunakan dalam mengkaji ayat-ayat
muhkamât dalam al-Qur’an. Teori batas yang digunakan mengacu pada pengertian
“batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh di langgar, tapi di dalamnya terdapat
wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel, dan elastis.” Selama tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Syahrûr membangun teori batas, yang di dasarkan atas pemahaman terhadap
dua istilah yakni al-hanîf dan al-istiqâmah. Berangkat dari dua kata kunci di atas,
Syahrur kemudian merumuskan teorinya yang banyak memancing kontroversi.
Bagaimana penerapan teori batas pada poligini yang terjadi pada masa sekarang.
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mendeskripsikan teori batas.
Penggunaan teori batas dalam Poligini. Dari kedua pokok permasalahan tersebut,
peneliti mencoba memaparkan historisitas teori batas dan penggunaanya dalam
poligini.
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library research), penelitian
ini juga termasuk historis faktual, karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang.
Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-eksplanatoris menggunakan
pendekatan kualitatif. Adapun data penelitian ini di kumpulkan melalui studi
dokumen atau dokumentasi. Sedangkan analisis datanya menggunakan Content
Analysis atau analisis isi buku.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Muhammad Syahrur
menerapkan teori batas dalam poligini dengan persyaratan esensial, agar poligini
yang dilakukan oleh umat Islam dapat bermanfaat secara sosial bagi pelaku poligini
dan orang yang di poligini, maka syarat pertama adalah melibatkan janda yang
memiliki anak sebagai istri kedua, ketiga dan keempat. Kedua, harus ada keadilan
diantara para anak dari istri pertama dan anak-anak yatim dari janda yang dinikahi
berikutnya. Kalau tidak memenuhi dua syarat tersebut, maka perintah poligini akan
menjadi gugur. Karena dalam poligini tersebut akan memberikan kemahdharatan
dibandingkan dengan kemaslakhatan.
Dilihat dari persyaratan tersebut, ada perbedaan pemikiran antara Syahrur
dengan ulama’-ulama’ lainnya yaitu istri kedua sampai keempat harus janda yang
memiliki anak. Sedangkan ulama’-ulama lain hanya mempersyaratkan harus bersikap
adil terhadap istri, sedangkan menurut Syahrur adil kepada istri tidak wajib. Namun
yang wajib berlaku adil adalah ditujukan kepada anak-anak dari istri yang kedua
sampai keempat. Karena manusia tidak akan sanggup berbuat adil terhadap semua
istri, pasti ada sedikit condong pada salah satu istri.
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan pemikiran ke Islaman sepanjang sejarah telah menunjukkan
adanya varian-varian. Varian itu berupa metodologi, kerangka berfikir dan orientasi
yang berbeda antara satu pemikiran dengan pemikiran lainnya. Fenomena seperti ini
pada dasarnya muncul sejak zaman Rasul dan al-Khulafa al-Rasyidun. Pada masa itu
sudah ada kecenderungan pemikiran, jika dipetakan memunculkan madrasah hadîst
di satu sisi dan madrasah ra’yî pada sisi lain.1
Menurut Harun Nasution situasi keberagamaan umat Islam pada masa
sekarang cenderung menampilkan kondisi keagamaan yang legalistik-formalistik.
1
Anjar Nugraha, “Pemetaan dan Diskusi Pemikiran Islam Timur Tengah Era Modern”,http//www.
pemikiranislam.wordpress.com com2007073156 - 73k, (diakses pada 22 Mei 2007),1.
1
2
Agama harus dimanifestasikan kedalam bentuk ritual formal, sehingga muncul
formalisme keagamaan yang lebih mementingkan bentuk daripada isi. Kondisi
semacam ini menyebabkan agama kurang dipahami sebagai perangkat paradigma
moral dan etika yang membebaskan manusia dari kebodohan, keterbelakangan dan
kemiskinan.
Di kala dunia Islam dari abad VII sampai abad ke XIII berada dalam zaman
keemasan, Eropa masih dalam zaman kegelapan, orang Eropa belajar ilmu
pengetahuan di dunia Islam terutama di Andalusia dan Sisilia. Kegiatan yang
sebagian besar stimulasinya dari kontak dengan dunia Islam, ternyata menjadi jalan
bagi kebangkitan kembali (renaissance) dan selanjutnya menghantarkan Eropa Barat
kepada priode sejarah umat manusia yang baru yaitu abad modern.2
Di saat Eropa memasuki zaman renaissance yang membawa ke zaman
modern, justru umat Islam mulai menurun dan terjerembab ke zaman kemunduran.
Tetapi pada perkembangan selanjutnya di Eropa, timbul persoalan mendasar, yaitu
terjadi pertentangan antara ilmuwan dan agamawan. Ilmuwan beranggapan bahwa
ilmu pengetahuan dan filsafat bertentangan dengan doktrin agama. Ilmu pengetahuan
berkembang diluar agama, sehingga timbullah sikap sekuler di dunia ilmu
pengetahuan dan teknologi.3
Kemunduran yang terjadi pada umat Islam terdapat dua sebab yaitu secara
eksternal dan internal. Faktor eksternal ini dimulai sejak runtuhnya kekhalifahan
Turki Usmani diakibatkan oleh kolonialisme Barat, yang telah mengekang dan
membatasi perkembangan pemikiran umat Islam, namun dengan pengekangan
2
Syahrin Harahap, al-Qur’an dan Sekulerisasi: Kajian Kritis Terhadap Pemikiran Thaha Husain
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994),1.
3
Ibid.
3
terhadap pemikiran tersebut, maka umat Islam berusaha untuk bangkit dari
keterpurukan dalam pemikiran sehingga tampil lebih variatif. Kolonialisme cukup
lama mengendalikan sendi-sendi kehidupan negara-negara Islam, termasuk
kehidupan intelektualisme. Kolonialisme membuat kondisi umat Islam dilemahkan
(mustadh’âf) di sektor pemikiran keislaman, sehingga yang muncul adalah kebekuan
cara berfikir dan merajalelanya tradisi taqlid. Kondisi ini mendorong lahirnya
pembaharuan pemikiran yang masing-masing menawarkan diri sebagai gerakan
pemikiran alternatif.4
Kebekuan pemikiran Islam dari faktor internal, jika ditelusuri kebelakang
sampai penggalan sejarah Islam zaman pertengahan. Dimana pemikiran Islam kritis
dan rasional-pasca Ibnu Rusyd-terasa mati karena pandangan bahwa pintu ijtihad
telah ditutup dan rasionalisme dikunci oleh arus deras pemikiran konservatif. Ketika
itu, banyak pemikiran filsafat yang diharamkan, bahkan pemikirnya di hukum mati
dan fatwa kafir (takfîr) karena dianggap filsafat adalah produk bid’ah yang datang
bukan dari Islam. Banyak referensi mencatat bahwa hal demikian terjadi setelah alGhozali (1058-1111M) menggugat dan mempertanyakan kaum filosof dalam
bukunya, Tahafut al-Falasifah (kerancuan atas para Filosof).5 Sehingga fenomena
saling hujat antar sesama pemikir muslim tidak bisa dihindari lagi.
Setelah umat Islam sadar akan kemunduran yang dialami oleh generasigenerasi penerusnya, maka munculla gelombang kesadaran umat Islam untuk
mendobrak pintu kemunduran. Pada gilirannya lahirlah pemikiran-pemikiran
alternatif berikutnya. Masih sejalur dengan tradisi pemikiran di era klasik,
4
5
Ibid,3.
Harun Nasution, Filsafat Ilmu dan Misticisme (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),34 -36.
4
perkembangan pemikiran secara dikotomis menempati atas ahlu al-hadîs dan ahlu
ar-ra’yî, walau dalam konteks kekinian dua poros pemikiran itu telah menurunkan
beraneka macam varian baru. Pada dasarnya gerakan pemikiran alternatif ingin
tampil sebagai gerakan pemikiran pembaharu dalam menghadapi perkembangan
dunia modern. Namun pada kenyataannya muncul perdebatan yang tidak sebatas
perang wacana (clash of discourse) tapi juga pergeseran dalam ranah politik (clash of
politic).6
Gerakan-gerakan pemikiran umat Islam khususnya di Timur Tengah muncul
dan berkembang dari latar belakang situasi sosio-politik seperti tergambar di atas.
Gerakan-gerakan itu dalam tataran idealisme, berada dalam persepsional yang sama
antara gerakan pemikiran satu dengan yang lain, tetapi dalam tataran corak atau
aksentuasi intelektualitas dan orientasi mereka berbeda, bahkan dalam banyak kasus
bertolak belakang.
Walaupun banyak perbedaan antara satu pemikir dengan pemikir lainya tetapi
mereka semua punya tujuan yang sama yaitu ingin memberikan wacana baru dalam
pemikiran ke islaman. Perubahan yang terjadi dalam pemikiran ilmu-ilmu agama dan
kajian keislaman yang dilakukan oleh pembaharu tidak serta merta menghapus
tradisi keilmuan lama yang telah ada sebelumnya. Karena masih ada kesinambungan
berkelanjutan antara tradisi keilmuan lama dengan paradigma baru.7
Fenomena pemikiran keislaman ini ternyata tidak hanya muncul dari sarjanasarjana agama yang senantiasa bergelut dengan turats dan pemikiran keislaman,
tetapi juga muncul dari kalangan saintifik yang peduli terhadap Islam dan
6
Ibid,3.
Amin Abdullah, “Continuity and Change dalam Ilmu-ilmu Agama; Meneropong Kegelisahan
Akademik Ilmuan Islamic Studies Kontemporer,” www.dipertais.net Swara warta 10-04. asp-30K,
(diakses pada Jum’at 14 Desember 2007),1.
7
5
kedinamisannya. Salah satu pemikir tersebut adalah Muhammad Syahrûr yang
selanjutnya disebut Syahrûr.
Pemikiran Syahrûr muncul sebagai tanggapan atas kegelisahan dalam melihat
fenomena pemikiran Islam yang menetapkan hukum lama yang diterapkan
dikehidupan sekarang dengan menggunakan alat yang dipakai pada zaman lampau
tanpa mengetahui dasar dan metode ijtihatnya. Hal ini menimbulkan kesan seolaholah Islam tidak sholihun likulli zamanin wa makanin, tetapi hanya sesuai dengan
masyarakat Arab pada zaman Rasul dan Sahabat. Oleh karena itu, menurut Syahrûr
perlu adanya reinterpretasi terhadap nash, agar nash tersebut sholihun likuli zamanin
wa makanin.8
Kegelisahan tersebut dapat diilustrasikan lewat teori sosial greed tradision
dan litle tradision. Bahwa perubahan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan
hukum ketika berinteraksi dengan dunia internasional selalu melibatkan proses
dialektika yang intensif antara konsep, ide, keyakinan dalam wilayah kehidupan
konkrit pada penggalan sejarah tertentu. Perubahan akan terjadi ketika tradisi baru
yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong lebih besar dibandingkan dengan
keilmuan yang ada dan mapan sebelumnya.9
Berawal dari pandangan teologis umat Islam bahwa al-Qur’an sholihun likuli
zamanin wa makanin, maka umat Islam harus selalu mendialogkan antara al-Qur’an
sebagai teks, dengan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat Islam sebagai
8
Yusuf Qardhawi, Prioritas Gerakan Islam: Antisipasi Gerakan Masadepan (Jakarta: al-Islahy Press,
1993),19.
9
Ibid,2.
6
konteks yang tidak terbatas. Dengan kata lain, umat Islam dituntut untuk selalu
menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan konteks sosio-historis yang selalu berubah.10
Sejarah mencatat bahwa al-Quran berpengaruh besar dalam melahirkan
sebuah peradaban yang oleh Nasr Hamid Abu Zaid di klaim sebagai “peradaban
teks”.11 Sebagai teks, al-Quran adalah korpus terbuka yang sangat potensial untuk
menerima segala bentuk eksploitasi, baik berupa pembacaan, penerjemahan,
penafsiran hingga menjadi sebuah sumber rujukan.
Kehadiran teks al-Quran ditengah umat Islam telah melahirkan pusat wacana
keislaman yang tidak pernah berhenti dan menjadi inspirasi bagi manusia untuk
melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya. Maka dapat di
katakan, bahwa al-Quran hingga kini masih menjadi inti dalam peradaban umat
manusia.12
Berbagai isu yang paling representatif dalam mengkaji al-Qur’an dengan
munculnya buku Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah. Buku ini fenomenal,
sebab satu sisi dinyatakan sebagai the best seller book di Timur Tengah, dan di sisi
lain, buku ini memiliki watak kontroversial yang melahirkan sikap pro dan kontra.
Nama-nama seperti Wahbah al-Zuhaili, Salim al-Jabi, Thahir al-Syawwaf, dan
Khalid al-`Akk adalah di antara mereka yang kontra terhadap buku itu. Sebaliknya,
Wael B.Hallaq, Dale F.Eickelman dan Halah al-Quri adalah di antara mereka yang
pro dan menunjukan kekaguman terhadapnya.13
10
Dwi Rina Khusniwati, “Menggagas Tafsir al-Qur’an Kontemporer yang Humanis dan Progresif,”,
Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02, (Juli , 2006),353.
11
Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash:Dirasah fi ulumil al-Quran (Bairut: Markaz as-Saqafi alArabi, 1994),9.
12
Ibid.
13
Ibid.
7
Dualisme penilaian ini ternyata tidak hanya bergema ditingkat individual,
tetapi membawa implikasi di tingkat kenegaraan. Pemerintah-pemerintah seperti
Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab, secara keras melarang peredaran
buku itu kenegaranya. Tetapi di pihak lain, Sultan Qaboos di Oman, malah
memberikan penilaian yang positif, sampai ia membagi-bagikan buku itu kepada
para menterinya, dan merekomendasikan mereka untuk membacanya.14
Syahrûr menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu pendekatan
baru dalam berijtihad, yang digunakan untuk mengkaji ayat-ayat muhkamat (ayatayat berisi tentang pesan hukum). Terma limit yang digunakan Syahrûr mengacu
pada pengertian (batas-batas ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tetapi di
dalamnya terdapat wilayah ijtihad yang bersifat dinamis, fleksibel dan elastis).
Teori batas Syahrûr juga mempertanyakan akurasi analisis dan kerangka
keilmuan klasik jika harus diterapkan seluruhnya di era kontemporer, kesemuanya ini
hanyalah dimaksudkan untuk pengembangan dan pengayaan wacana analisis
keilmuan dan penelitian dirasat islamiyyah.15
Al-Qur’an, dalam pengertian khas Syahrûr berarti bagian tertentu dari kitab
suci yang bertemakan pengetahuan objektif. Al-Qur’an dibaca dan di pahami bukan
melalui prisma abad-abad jurisprudensi, melainkan seolah-olah Rasulallah baru saja
wafat dan memberitahukan kepada kita tentang kitab tersebut. Ini pada gilirannya
mendekontruksi sekaligus merekontruksi terhadap berbagai konsep, teori dan
paradigma yang telah mapan menjadi mainstrim pemahaman, pemikiran, bahkan
keyakinan mayoritas umat Islam.
14
15
Ibid.
Irwan Masduki, Rekontruksi Nalar Fikih: Perpektif Para Sarjana Kontemporer, Op.Cit,5.
8
Syahrûr dengan kacamata linguistik, menyatakan bahwa al-Qur’an sebagai
kitab berbahasa Arab otentik yang memiliki dua sisi kemukjizatan: (al-I’jaz alBalaghi) dengan menggunakan pendekatan deskriptif signifikansi dan ilmiah (al-I’jaz
al-Ilmi) yang digunakan dengan menggunakan pendekatan historis ilmiah.16
Pendekatan sastra dilakukannya dengan memadukan analisa sastra (balagha)
dan analisa gramatika (nahwu). Kedua disiplin ilmu tersebut biasanya sebagai alat
bantu untuk menganalisis teks-teks keagamaan secara kritis. Sedangkan pendekatan
kedua adalah penolakkan terhadap fenomena sinonimitas dalam bahasa dan menuntut
studi yang mendalam terhadap setiap terma yang selama ini dianggap sinonim. Lebih
jauh, Syahrûr juga menegaskan bahwa al-Qur’an sebagai wahyu bagi manusia,
diturunkan untuk dapat di pahami secara keseluruhan. Allah telah memberikan
petunjuk kepada manusia untuk membuka rahasia pesan-Nya. Petunjuk ini berupa
metode untuk memahami al-Qur’an yang oleh Syahrûr disebut dengan istilah,
manhaj al-tartil, yang dapat diidentikan dengan metode intertekstualitas. Selanjutnya
Syahrûr meletakkan metode ini sebagai salah satu prinsip utama dalam hermeneutika
al-Qur’an yang diistilahkannya dengan al-takwil.
Takwil menurut ahli ushul fiqih memiliki makna yang beragam. Ibnu
Qudama berpendapat bahwa takwil adalah kemungkinan yang diperkuat oleh dalil
sehingga dengan itu menjadi sangat mungkin dari makna yang ditunjukan oleh
dzahirnya, atau bisa juga disebut serupa dengan pengalihan lafadz dari makna
sebenarnya kepada makna metafora (majâz). Dapat diambil satu kesimpulan
berdasarkan pendapat ini bahwa takwil dan majaz bertemu dalam satu titik
bersamaan, yaitu pengalihan makna lahiriyah ke “makna dalam” sesuai konteks.
16
Ibid.
9
Takwil adalah ilmu untuk menyingkap makna nash yang berdasarkan pada
pengetahuan (dirayah) penakwil. Takwil lebih berkaitan pada pengambilan
kesimpulan, sedangkan tafsir lebih cenderung pada nash dan riwayat.17
Setelah berbicara al-Qur’an Syahrûr berpendapat bahwa sunnah Nabi adalah
cermin kebenaran pertama (mir’ah al-shadiqah al-ula) yang mengilustrasikan
interaksi antara al-Qur’an dan realitas objektif yang muncul saat diturunkanya
wahyu, Muhammad dipandang sebagai mujtahid pertama yang merelatifkan ajaran
absolut Ilahi melalui sunnahnya sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan situasi saat
itu.18
Adapun terkait dengan ayat-ayat hukum, Syahrûr menggagas teori batas yang
dapat disebut sebagai pembaharuan fikih Islam. Pada dataran ini, tidak berlebihan
jika dikatakan bahwa Syahrûr sedang meletakkan dasar-dasar
metodologi baru
pembacaan teks keagamaan khususnya al-Qur’an.19
Terlepas
dari
kontroversi
yang
ditimbulkan
oleh
pandangan
dan
pemikirannya, terlihat sikap berani dan kritis dalam melakukan pengkajian terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang bertujuan melakukan penafsiran ulang sesuai dengan
perkembangan sejarah antar generasi, sehingga diharapkan akan menegaskan
eksistensi dan signifikansinya dalam kehidupan yang terus berubah.20
Penerapan teori batas dalam kasus poligini cukup menarik dan solutif, di
tengah-tengah perdebatan umat tentang ketentuan poligini. Syahrûr berpendapat
17
Abdul Azis, “ Karakteristik Metodologi Tafsir Ma’ani al-Qur’an,”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an
dan Hadis, No.02, (Juli , 2006),185.
18
Ibid,4.
19
Ibid,13.
20
Mukhtar Sadili, Kumpulan Resensi, muhtarsadili.blogspot.com 2006_08_01_archive.html-57k
(diakses pada Jum’at 14 Desember 2007),2.
10
bahwa poligini tetap sebagai praktik perkawinan yang diakui oleh ajaran Islam, tetapi
ada persyaratan-persyaratan khusus bagi yang ingin mengamalkannya.
Ketentuan Islam tentang poligini yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 3 di
pahami sebagian umat Islam sebagai legitimasi untuk melakukan praktik poligini.
Bahkan ada kalangan yang mengatakan bahwa poligini adalah sunah, yang baik dan
perlu untuk dikerjakan asal syaratnya adil. Surat an-Nisa’ ayat 3 yang menjadi satusatunya dasar poligini menurut Syahrûr sebenarnya ayat itu tidak berbicara dalam
konteks poligini, ayat ini meletakkan poligini pada konteks perlindungan terhadap
anak yatim dan janda korban perang.21
Syahrûr menilai, bahwa poligini adalah permasalahan yang unik, khususnya
bagi perempuan, serta menjadi permasalahan (qadhiyah) yang tidak kunjung selesai
dibicarakan oleh masyarakat dunia. Jika ayat poligini ditinjau dari perpektif teori
batas Syahrûr, maka akan terlihat bahwa permasalahan itu mempunyai ikatan yang
erat antara dimensi kemanusiaan dan dimensi sosial. Karena batasan yang telah
digariskan oleh Tuhan tidak akan lepas dari kondisi manusiawi, disamping juga
memiliki hikmah bagi kehidupan manusia.
Signifikansi penelitian ini adalah jika dilihat dari segi tingkatan kebudayaan,
agama merupakan universal kultural. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan
bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena
sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya. Oleh
karena itu, secara umum penelitian ini menjadi penting karena penelitian yang
21
Shahiron Syamsudin, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer,(Yogyakarta: Penerbit eL-SAQ Press,
2004),426.
11
berkaitan dengan sebuah pemikiran, termasuk Islam, memerankan sejumlah peran
dan fungsi di masyarakat terutama dalam masalah poligini.
Atas dasar pemikiran itulah yang menjadikan peneliti tertarik untuk meneliti
pemikiran Syahrûr tentang poligini, karena pendapat Syahrûr berbedah dengan
ulama’-ulama’ tafsir lain yang memberikan syarat harus dapat berbuat adil terhadap
istri-istrinya, sehingga dengan demikian, maka penelitian ini berjudul: POLIGINI
DALAM PERSPEKTIF TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRÛR
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Apa maksud dari Teori Batas Muhammad Syahrûr?
2. Bagaimana penggunaan teori batas Muhammad Syahrûr terhadap masalah
poligini?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yang ingin dicapai:
1. Untuk mengetahui maksud teori batas Muhammad Syahrûr.
2. Untuk mengetahui penggunaan teori batas Muhammad Syahrûr terhadap
masalah poligini.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini di harapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
Manfaat secara teoritis:
a. Sebagai wahana pengkajian ilmu dan wawasan yang baru bagi
pengembangan hukum poligini, terutama di kalangan akademisi
sebagai barometer tingkat pendidikan.
12
b. Sebagaai landasan dan acuan untuk penelitian poligini yang marak
dikalangan masyarakat.
c. Bagi penulis pribadi sebagai aplikasi keilmuan yang selama ini
didapat dan sumbangsih pemikiran.
E. Metodologi Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research),
yaitu menjadikan bahan pustaka sebagai sumber (data) primer, sehingga lebih
sebagai penelitian dokumenter (dokumentary research). Penelitian ini juga termasuk
dalam kategori historis faktual, karena yang diteliti adalah pemikiran seseorang.
Sedangkan penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-eksplanatoris. Penelitian ini
berusaha memaparkan bangunan pemikiran ulama’ tentang ayat poligini sebelum
akhirnya akan dideskripsikan kerangka pemikiran tokoh yang diteliti, yaitu
pemikiran Muhammad Syahrûr dengan teori batasnya yang kemudian di terapkan
dalam ayat poligini. Kemudian dilakukan analisis dengan interpretasi tentang
substansi tokoh itu dengan membangun korelasi yang dianggap signifikan. Pada
akhirnya akan dijelaskan tentang bagaimana dan mengapa muncul karakteristik
pemikiran dalam memaknai poligini padahal ayat yang di jadikan rujukan adalah dua
ayat dalam surat an-Nisa’ ayat 3 dan 129. Sebelum masuk secara detail dalam
pemikiran Syahrûr sekaligus mencari titik temu pemikiran mereka ke arah
rekontruksi fiqih yang berkeadilan pada perempuan.
Untuk memperoleh data tentang pemikiran Syahrûr peneliti menggunakan
sumber-sumber primer berupa buku-buku Syahrûr yang ada relevansinya dengan
penyusunan penelitian ini, dan sumber-sumber sekunder berupa buku-buku, kitabkitab, jurnal-jurnal yang terkait.
13
Data-data akan dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan instrumen
analisis deduktif. Deduksi merupakan langkah analisis data dengan cara
menerangkan beberapa data yang bersifat khusus untuk membentuk sebuah
generalisasi
Menggunakan deskriptif analitis juga bisa dengan pendekatan Content Analisis
yakni menggambarkan secara umum objek yang akan di teliti.22 Penelitian
kepustakaan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari buku-buku literatur
dengan cara mempelajari dan meneliti permasalahan yang terkait dengan penelitian.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni data yang tidak
berbentuk angka atau tidak dapat diangkakan, sebab dalam menganalisis data
menggunakan kata-kata.23 Dalam hal ini meneliti kehidupan, latar belakang sosial
Muhammad Syahrûr tentang munculnya teori batas terutama penerapannya dalam
masalah poligini.
2. Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data
Sumber data ialah sumber darimana data itu diperoleh. Sebuah penelitian
terdapat dua sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data
skunder. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh secara
langsung dari sumber pertama. Baik berupa bahan pustaka yang berisikan
22
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UIPres, 1984),48.
Sapari Imam Asyari, Suatu Petunjuk Praktis Metode Penelitian Sosial, (Surabaya: Usaha Nasional,
1983),31.
23
14
pengetahuan ilmiah yang baru ataupun pengertian baru tentang fakta yang
diketahui ataupun gagasan.24
Dalam mengumpulkan data, peneliti mengambil dari buku-buku,
artikel-artikel dan kitab-kitab klasik yang ada hubungannya dengan objek
yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini sumber data primer yang digunakan adalah:
1. Muhammad Syahrûr (1990) Al-Kitab wa al-Quran: Qira’ah
Muashirah Kairo: Sina Publisher, Cet I, ( ‫اب وأاان اءة ة‬
‫)اآر اس ور‬
2. Muhammad Syahrûr, Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi al-Daulah
wa al-Mujtama’ “al-Ta’liq ala al-Rudud wa al-Muqalad allati
sudirat haula al-Kitab wa al-Quran, Damaskus: Ahali, 1994
3. Muhammad Syahrûr, Al-Islam wa al-Iman: Manzumat al-Qiyam,
Damaskus: Ahali, 1996.
4. Muhammad Syahrûr, Dirasah Islamiyah Mu’ashirah Nahwa Ushuly
Jadidah Lil Fiqih Islamy, Damaskus: Ahali, 2000.
5. Muhammad Syahrûr, ‫اد! ا و‬
Sumber data skunder ialah bahan pustaka yang berisikan informasi
tentang sumber data primer. Data Skunder juga bisa diartikan sebagai data
yang diambil tidak dari sumber langsung melainkan sudah dikumpulkan
oleh pihak lain dan sudah diolah. Data-data skunder merupakan pelengkap
yang nantinya di korelasikan dengan data primer:25
24
Soejono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Khusus, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003),29.
25
Ibid, 29.
15
1. Ahmad
Zaki
Linguistik
Mubarok.
(dalam
2007.
Pendekatan
Strukturalisme
al-Quran
Kontemporer
Tafsir
“ala”M.Syahrûr). Yogyakarta: Penerbit, el-SAQ Press.
2. Abdul Majid Abdussalam al-Nuhtasib.1997. Visi dan Paradigma
Tafsir al-Quran Kontemporer. Bangil: Penerbit al-Izzah.
3. A.Rahman I. Doi. 2002. Penjelasan Hukum-Hukum Allah
(Syari’ah). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
4. A.Khudori Soleh dkk. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer.
Yogyakarta: Penerbit Jendela.
5. Muhammad Bagir Al-Habsyi. 2002. Fiqih Praktis Menurut AlQuran, As-Sunnah, Pendapat Para Ulama’. Bandung: Penerbit
Mizan.
6. Shahiron
Syamsuddin,
2004.
Metodologi
Fiqih
Islam
Kontemporer. Yogyakarta: el-SAQ Press.
7. Shahiron Syamsuddin, 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutika
Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: Penerbit el-SAQ Press.
8. Shahiron Syamsuddin. 2003. Hermeneutika al-Quran Madzhab
Yogya. Yogyakarta: Penerbit Islamika.
b. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data ialah proses yang sistematis dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan.26 Sedangkan pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah metode dokumentasi atau telaah dokumen, yaitu
menelaah teori batas terhadap masalah poligini.
26
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), 24.
16
c. Teknik pengolahan data
Pengolahan data adalah mengadakan sistematika terhadap bahan-bahan
tertulis dan dimaksudkan dalam penelitian ini ialah:27
a. Editing
Tahap pertama dilakukan untuk meneliti kembali data-data yang telah
diperoleh terutama dari kelengkapannya, kejelasan makna, kesesuaian
serta relevansinya dengan data lain, dengan tujuan apakah data-data
tersebut sudah mencukupi untuk memecahkan permasalahan yang
diteliti dan meminimalisir kesalahan dan kekurangan data dalam
penelitian serta untuk meningkatkan kualitas data.
b. Classifaying
Tahapan ini adalah mereduksi data dengan cara menyusun dan
mengklasifikasikan data yang diperoleh ke dalam pola tertentu untuk
mempermudah pembacaan dan pembahasan sesuai dengan kebutuhan
penelitian.
c. Verifiying
Pada tahapan ini adalah pembuktian kebenaran data untuk menjamin
validitas data yang telah terkumpul. Di samping itu, untuk sebagian
data
peneliti
memverifikasi
dengan
cara
trianggulasi,
yaitu
mencocokkan antara hasil dari data satu dengan data yang lainnya
sehingga dapat disimpulkan secara proporsional.28
27
Ibid, 409-410.
M. Amin Abdullah, dkk., Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Multidisipliner (Yogyakarta:
Kurnia Kalam Semesta, 2006), 223.
28
17
d. Analising
Analisis terhadap data penelitian dengan tujuan agar data yang telah
diperoleh tersebut bisa untuk mudah dipahami. Analisis ini
menggunakan teori-teori yang relevan, artinya teori yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti. Teori yang digunakan adalah
analisis apresiatif kritis artinya peneliti menghargai sekaligus
menggunakan daya kritis terhadap poligini dalam perspektif teori
batas.
e. Concluding
Pada tahapan ini adalah pengambilan kesimpulan dari data-data yang
telah diolah untuk mendapatkan suatu jawaban. Peneliti membuat
kesimpulan atau menarik poin-poin penting
yang kemudian
menghasilkan gambaran secara ringkas, jelas dan mudah di pahami
tentang poligini dalam perspektif teori batas.
d. Metode Analisis Data
Setelah data terkumpul, maka data dianalisis untuk mendapatkan konklusi.
Analisis data ialah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang
mudah dibaca dan diinterpretasikan. Adapun metode yang penulis gunakan
untuk menganalisis data adalah:
1) Metode Kajian isi (content analysis)
Sesuai dengan data yang diperoleh dari penelitian ini, maka teknik
analisis data yang digunakan adalah content analysis seperti yang
diungkapkan oleh Holsti, yang dikutip oleh Lexi J. Moleong content
analysis adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik pesan dan
18
dilakukan secara obyektif dan sistematis.29 Tenik ini digunakan untuk
menarik pesan maupun beberapa pendapat yang ada dalam buku-buku
poligini.
2) Metode Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif yaitu usaha untuk mengumpulkan dan
menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis data tersebut.
F. Penelitian Terdahulu
Judul dalam penelitian ini adalah: Poligini dalam Perspektif “Teori Batas”
Muhammad Syahrûr mengandung variabel yang menarik untuk di teliti. Untuk
mengetahui lebih jelas tentang penelitian ini, maka penting untuk mengkaji terlebih
dahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, baik secara teori maupun kontribusi
keilmuan.
Dari hasil pencarian data, memang tidak ditemukan judul yang sama dengan
judul yang peneliti angkat sekarang. Namun ada beberapa judul skipsi yang memiliki
tema yang tidak jauh berbeda ketika melihat judul yang peneliti teliti. Berikut
paparan beberapa hasil penelitian yang berkorelasi dengan judul diatas:
1. Syamsud Dhuha, Universitas Islam Negeri Malang, Fakultas Syari’ah Tahun 2004,
dengan judul: Pemikiran Syahrûr Tentang Hukum Waris Islam (Kajian deskriptif dan
analitis). Dalam penelitian ini Syamsud Dhuha menekankan pada hukum waris yang
terdapat dalam tanjil hakim di tetapkan pada kondisi di pertemuannya dua jenis
kelamin, laki-laki dan perempuan. Adapun pada kondisi waris sejenis, seperti halnya
pewaris yang meninggalkan anak laki-laki tanpa anak perempuan, atau anak
29
Lexy, J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 163.
19
perempuan tanpa anak laki-laki. Maka dalam kondisi seperti ini waris dapat
dilakukan dengan merata, tak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain.
Hukum waris adalah aturan tertutup, bahwa pihak yang berhak menerima adalah
mereka yang hanya disebut secara eksplisit sebagai pewaris dalam ayat waris.
Dengan demikian orang yang tidak di sebut dalam ayat waris, maka tidak berhak
menerima waris.
2. Ahmad Salikin, Universitas Islam Negeri Malang, Fakultas Syari’ah Tahun 2004
dengan judul: Konsep Keadilan dalam Poligami menurut Muhammad Abduh. Dalam
penelitian ini Salikhin lebih menekankan pada aspek keadilan dalam poligini.
Peneliti juga memaparkan biografi Muhammad Abduh, yang peneliti jadikan sebagai
bahan penelitian, serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran Muhammad
Abduh atas poligami. Dari hasil penelitian Salikin, dia menyimpulkan secara
menyeluruh tentang konsep keadilan dalam berpoligami. Menurut Salikin
Muhammad Abduh dalam menjelaskan kedilan ada dua konsep dalam poligami:
a. Penjelasan keadilan dalam poligami di lihat dari segi filosofil epistimologi
surat an-Nisa’ ayat 3 dan ayat 129 menurut penafsiran Muhammad Abduh
adalah untuk menghindari dari perbuatan yang di larang agama dan di
harapkan menjadikan umat sejahtera.
b. Konsep keadilan dalam poligami secara sosiologis, menurut Muhammad
Abduh adalah memperlakukan istri-istrinya hingga anak-anaknya dengan
adil, baik dalam hal materi maupun dalam hal moril dan hal itu menjadi
syarat yang utama bagi seseorang yang akan melakukan poligami. Karena
dengan adanya poligami tersebut akan menjadikan kemajuan pada
masyarakat bahkan menentukan kesejahteraan pada suatu bangsa.
20
3. Ahmadiono: Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya Tahun
2000 dengan judul: Kontrofersi Poligami di Kalangan Pemikir Muslim (Studi Atas
Pemikiran Hukum Islam Syafi’i dan Fazlurahman) di dalam penelitiannya
Ahmadiono mencoba mengkomparasikan antara pemikiran imam Syafi’i dengan
Fazlurahman tentang poligami, baik dari segi dasar-dasar hukumnya, cara ijtihad
keduanya serta di bolehkannya poligami. Dari hasil penelitiannya Ahmadiono
menyimpulkan pemikiran keduannya tentang poligami:
a. Ada tiga faktor yang menyebabkan keduanya berbedah dalam hal hukum
kebolehan poligami; 1) perbedaan pendekatan dalam memahami ayat
poligami; 2) perbedaan dalam menafsirkan keadilan sebagai syarat di
perbolehkannya poligami. Imam Syafi’i menafsirkan sebagai perilaku
lahiriah, seperti pembagian waktu bergilir dan meratanya pemberian nafkah.
Sedangkan Fazlurahman menekankan pada makna keadilan sebagai
meratanya rasa bathiniah seperti rasa cinta dan kasih sayang di samping
keadilan dalam hal haliriyah; 3) perbedaan kondisi sosial kultur masyarakat
di mana keduanya berada juga mempengaruhi polapikir keduanya.
b. Kondisi sosio kultur masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi pada
perbedaan pola pikir imam Syafi’i dan Fazlurahman. Kehidupan imam
Syafi’i yang banyak di pengaruhi oleh pemikiran masyarakat pra Islam, yang
salah satunya adalah adanya lembaga poligami. Sedangkan Fazlurahman
yang hidup dalam masyarakat modern yang sudah memiliki pemikiran
adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Darisini Fazlurahman
berpendapat bahwa lembaga poligami itu hanya bersifat situasional dan di
21
peruntukkan pada orang yang sudah dalam kondisi darurat, bukan di
peruntukkan bagi orang yang dalam kondisi normal.
G. Sistematika Pembahasan
Agar penyusunan skripsi ini terarah, sistematis dan saling berhubungan satu
bab dengan bab yang lain, maka peneliti secara umum dapat menggambarkan
susunannya sebagai berikut:
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang mencakup: latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, maksud dan
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, paradigma
penelitian, pendekatan penelitian, sumber data dan teknik pengupulan data,
sistematika
pembahasan.
Penulisan
bab
ini
untuk
memfokuskan
permasalahan agar penelitian ini tidak melebar serta, untuk menegaskan
tujuan dari pada penelitian. Pada bab ini juga menjelaskan metode
penelitian yang digunakan peneliti. Metode penelitian ini merupakan suatu
cara atau teknis yang akan dilakukan dalam proses penelitian, agar
penelitian ini terarah dan sesuai dengan yang diinginkan.
BAB II: Dalam bab dua berisikan kajian teori terdiri dari: deskritif poligini,
Pendekatan geografis dan historiografi poligini Nabi Muhammad, hukum
poligini, syarat-syarat poligini, pengertian adil dalam poligini, alasan
poligini di batasi hanya empat istri, poligini sebagai solusi dan pilihan
bersyarat, dampak poligini, monogami prinsip perkawinan dalam Islam,
sekilas tentang ushul fikih, fungsi ushul fikih dalam memahami ayat-ayat
hukum, pembacaan ayat-ayat dengan menggunakan metode ushul fikih.
22
Penyajian dalam bab II ini di maksudkan untuk memberi penjelasan
secara teoritik terhadap masalah yang di sajikan.
BAB III Dalam bab tiga berisikan tentang biografi Muhammad Syahrûr, sketsa
historis, latar belakang inteletual, latar belakang keagamaan, dialektika
turas dan modernitas, kegiatan dan karir Muhammad Syahrûr. Modelmodel penafsiran Muhammad Syahrûr, asumsi-asumsi metodologis,
pendekatan linguistik, pendekatan scientific, terma-terma yang terdapat
dalam al-kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah, pembacaan kontemporer
al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah. Tujuan penulisan bab ini
adalah untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi pemikiran
Muhammad Syahrûr sehingga memunculkan teori baru yaitu teori batas.
Bab IV Mencakup paparan dan analisis data pembahasan meliputi: munculnya
pemikiran Syahrûr tentang teori batas, pemikiran Muhammad Syahrûr
tentang teori batas dalam masalah poligini. Pada Bab ini akan menganalisis
pemikiran Muhammad Syahrûr dalam menerapkan teori batas terhadap
masalah poligini. Penulisan bab ini merupakan paparan dari hasil
penelitian, yang diperoleh dari berbagai sumber untuk mencari data yang
selengkapnya untuk membuktikan kebenaran penelitian.
Bab V Bab ini akan mengakhiri penyusunan penelitian ini yang nantinya akan
berisikan kesimpulan-kesimpulan dan saran, kesimpulan dikembangkan
berdasarkan seluruh hasil kajian sedangkan saran dikembangakan
berdasarkan temuan dan simpulan dari penelitian.
Lampiran-lampiran
Daftar Pustaka
23
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Poligini
Poligini berasal dari bahasa Yunani poli artinya banyak dan gini artinya
perempuan. Poligini secara terminologi ialah istilah yang dikenakan bagi seorang
laki-laki yang melakukan praktik banyak nikah dan banyak perempuan. Ada juga
yang berpendapat bahwa poligini sama dengan poligami. Poligami berasal dari
bahasa Yunani poly artinya banyak dan gami artinya istri.30 Jadi poligami secara
terminologi ialah seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu dan bukan
sebaliknya.31 Soemiyati berpendapat bahwa poligami ialah perkawinan seorang lakilaki lebih dari satu wanita dalam waktu yang sama.32
30
Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Kencana Media, 2003), 129.
Taufiq Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ictiyar Baru Van Hoeve, 2002),32.
32
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Yogyakarta: Liberty,
1999),35.
31
23
24
Sejarah mencatat bahwa poligini juga banyak dipraktikkan oleh laki-laki
terpandang, seperti para raja, tokoh, bangsawan, termasuk para Nabi dan Rasul.
Misalnya, Nabi Ibrahim memiliki dua orang istri dan Nabi Sulaiman mempunyai
sangat banyak istri. Nabi Muhammad memiliki sembilan istri. Begitu pula para
sahabat, seperti Abu Bakar pernah memiliki istri empat orang, Umar ibn Khatthab
memiliki istri tujuh orang.33
Pembahasan tentang poligini selalu ramai dalam berbagai bentuk, baik
ceramah, diskusi, seminar, wacana, maupun talk shaw, pembahasan tersebut sering
berakhir dengan pro dan kontra.
Surat an-Nisa’ ayat 3 sering dianggap sebagai landasan kebolehan poligini,
bahkan ada yang memahami bahwa ajaran Islam telah menganjurkan poligini.
Pendapat demikian, memperkuat anggapan dengan kenyataan bahwa Nabi
Muhammad dan para Sahabat adalah pelaku poligini. Oleh karena itu, anggapan
bahwa melakukan poligini adalah sunnah Rasul.
Adapula yang memahami bahwa ayat tersebut adalah ayat yang justru
membatasi poligini. Karena tradisi poligini yang dipraktekan masyarakat sebelum
Islam tidak terbatas dan sesuka hati pelakunya. Kemudian ayat tersebut turun untuk
membatasi laki-laki berpoligini sampai empat orang istri dengan persyaratan ketat,
yakni kesanggupan berlaku adil.
Sesunggunya, perbedaan antara poligini, poliandri dan poligami belum jelas
terlihat di dalam sejumlah literatur tokoh Islam Indonesia yang mengurai hal ihwal
33
Abu Salman al-Atsari, “Poligami di Hujat: Jawaban Rasional bagi Penghujat Sunnah dan Syari’at
Poligami,”, http//www.dearto Abu Salma, (diakses pada 4 Juni 2007),9.
25
pernikahan Nabi. Bahkan masyarakat cenderung mengartikan poligini dengan
poligami yaitu satu suami memiliki banyak istri.
Menengarai hal ini bahwa di dalam khasanah bahasa Yunani terdapat
pembagian yang terkait dengan praktik perkawinan:
1. Poligami (poly: banyak dan gami: nikah) artinya banyak nikah. Istilah ini di
kenakan bagi kegiatan manusia yang melakukan banyak nikah.
2. Poliandri (poly: banyak dan andri: pria) istilah ini di kenakan bagi perempuan
yang melakukan praktik banyak nikah dengan banyak pria.
3. Poligini (poly: banyak dan gini: perempuan) istilah ini di kenakan bagi
seorang pria yang melakukan praktik banyak nikah dengan banyak
perempuan.
4. Eksogami (ekso: keluar (dari), bukan dan mantan dan gami nikah) artinya
nikah dengan orang luar klan. Istilah ini di kenakan bagi seorang pria yang
mencari istri diluar warganya sendiri.
5. Endogami (endo:dalam dan gami:nikah) artinya nikah dengan warga sendiri
menurut penentuan adat.
Untuk memahami poligini lebih mendalam, maka harus mengetahui poligini
yang dilakukan oleh Rasul, untuk mengetahui hal tersebut, maka terlebih dahulu
harus memahami kondisi geografis dan historiografis pada masa itu.
1. Pendekatan Historiografi Poligini Nabi Muhammad
Pendekatan ini mengungkapkan beberapa aspek yang terkandung dalam
poligini Nabi Muhammad. Aspek-aspek tersebut seringkali terabaikan ketika
membaca dan memahaminya.
26
Historiografi yang dimaksud adalah mengacu kepada ulasan Azumadi Azra
tentang sejarah total. Sejarah total ialah suatu sejarah tentang seluruh aspek
kehidupan masyarakat; tidak hanya berkisar pada hal-hal yang dianggap paling
penting.34
Membaca kisah poligini Nabi Muhammad dengan pendekatan historiografi
mengungkapkan adanya dua aspek yang terkandung di dalamnya, pertama ialah
faktor historis dan kedua faktor religius.
Faktor historis yang terdapat pada poligini Nabi pertama ialah tindakan
poligini Nabi tersebut dilakukan di dalam suatu ruang (sosial-kultural-religius) dan
waktu (menyejarah), dan kedua tindakan tersebut melibatkan keutuhan pribadi Nabi
(status kemanusiaan dan kenabiaan Muhammad). Sementara faktor religius yang
terdapat dalam poligini Nabi ialah adanya suatu keyakinan di dalam diri Nabi bahwa
Allah akan menolong dikalah mendapat kesusahan.35
Dengan menggunakan pendekatan historiografi tersebut ada beberapa pokok
pikiran yang penting: pertama setelah diterimanya wahyu pertama oleh Nabi
Muhammad bahwa Allah senantiasa bersama dirinya ditengah pergumulan kenabian
beliau. Kedua keyakinan Nabi Muhammad dengan relasi antara dirinya dengan Allah
dari waktu kewaktu semakin menguat. Ketiga wahyu yang turun ditengah
pergumulan beliau atas persoalan Zainab adalah tanda dari keyakinan Nabi
Muhammad atas penyertaan Allah. Keempat, sosok Nabi Muhammad tidak lepas dari
dasariah kemanusiaannya meskipun dia di percaya Allah menjadi Nabi.
34
35
Azyumardi Azrah, Historiografi Islam Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002),11.
Ibid.
27
Terkait dengan posisi dan status Nabi terdapat hal menyejarah dalam
kehidupannya yang terkait dengan poligini yaitu mengenai periode kesedihan. Di
antara alasannya adalah: pertama pernikahan setelah meninggalnya Khadijah dengan
Saudah yang bertempat di Mekkah. Kedua, adanya peristiwa historis tentang suatu
tekanan yang cukup berat dari musuh-musuh Nabi sehingga memaksa Nabi dan
sahabat-sahabatnya pindah ke Madinah. Ketiga, ditengah peristiwa itu terjadi
peristiwa isra’ mi’raj.
Semua bentuk praktik pernikahan pra Islam tersebut terkait dengan situasi
antropologis historis masyarakat. Artinya hal tersebut ada dan terjadi di tengah nilainilai yang berlaku. Di dalam poligini saat itu, maskulinisme sangat mendominasi dan
membawa implikasi serius bagi perempuan.
Praktik poligini Nabi sering dijadikan titik tolak pembahasan aktivitas
poligini dalam komunitas Islam. Misalnya al-Ghozali menyatakan bahwa al-Quran
ingin menyatakan solusi secara gradual atas praktik poligini saat itu. Ashghar Ali
Engineer menyatakan prinsip nomogami berdasarkan wahyu poligini yang terdapat
dalam al-Quran. Kedua tokoh diatas ingin menghilangkan praktik poligini menjadi
monogami secara bertahap.
2. Hikma poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad
Poligini yang dilakukan oleh Nabi Muhammad memiliki beberapa hikma:
1. Hikma Dakwa dalam Pernikahan Rasul
a. Pernikahan Nabi dengan Siti Khadijah binti Khuwailid.36
Khadijah berasal dari keluarga terhormat di kalangan Quraisy,
memiliki nasab yang baik dan kaya raya. Di masa Jahiliyah telah menikah
36
Khozin Abu Fakih, Poligami Solusi atau Masalah (Jakarta: al-Ikhtishom, 2007),144.
28
dengan Abu Hallah (Hind bin Nabbasy at-Taimy), setelah suamiya yang
pertama meninggal, ia menikah dengan Atiq bin Abid al-Makhzumi.
Setelah suami keduanya meninggal, tokoh-tokoh Quraisy berlombahlombah untuk melamarnya. Tetapi ia menolak lamaran mereka semua.
Karena mereka rata-rata hanya mengincar kekayaannya. Ketika ia
mendengar sifat amanah Muhammad, maka ia memilihnya sebagai
menejer yang mengelolah perdagangannya ke Syam. Ternyata ia sukses
besar dan memberikan keuntungan berlipat bagi Khadijah.
Beliau menikah dengan Khadijah dan tidak menikah dengan siapapun,
sehingga Khadijah wafat dan usia beliau sudah mencapai 50 tahun lebih.
b. Pernikahan dengan Saudah binti Zam’ah
Saudah telah menikah dengan Sakran bin Amr bin Abdi Syam.
Keduanya masuk Islam di Mekah, kemudian hijrah ke Habsyah pada
priode kedua. Sepulang dari Habasyah, suaminya wafat sehingga ia
menjadi janda. Setelah masa iddahnya habis, Rasul melamar dan
menikahinya. Kemudian ia hijrah ke Madinah.37
Pernikahan beliau dengan Saudah adalah untuk mengganti suaminya
yang wafat sepulang dari hijrah Habasyah kedua, untuk merawat putraputranya, dan memuliakannya. Disamping itu setelah suaminya
meninggal, ia pun harus kembali kepada keluarga dan kaumnya. Padahal
mereka memusuhi Islam. Saudah adalah wanita yang telah lanjut usia,
karena itu setelah beberapa bulan menikah dengan Rasul dan Rasul
37
Ibid,145.
29
menikah dengan A’isyah, ia memberikan hak bermalamnya dengan Rasul
kepada A’isyah.
Dengan demikian, pernikahan beliau dengan Saudah adalah tidak
terlepas dari strategi ri’ayah tarbaiyah dan da’wiyah, pemeliharaan dakwa
dan tarbiyah yang telah dibangun dengan berbagai pengorbanan.
c. Pernikahan dengan Zainab binti Khuzaimah
Di masa jailiah ia mendapat julukan ummul masakin. Sebab ia adalah
wanita yang menyayangi dan mengasihi orang-orang yang tidak mampu.
Ia adalah mantan istri paman beliau Ubaidah bin Harits bin Abdul
Muthalib bin Abdil Manaf yang sahid dalam Perang Badr. Beliau
menikahinya dan menanggung beban keluarganya, namun beberapa bulan
setelah pernikahan ia meninggal dunia.
d. Pernikahan dengan Ummu Salamah
Nama aslinya adalah Hindun binti Suhail bin Mughirah alMakhzuiyah. Suaminya adalah Abu Salamah yang terluka pada Perang
Uhud, setelah sembu mengikuti ekspansi selama satu bulan, saat itu ia
mendapati luka sangat parah, hingga syahid dan meninggalkan banyak
anak. Maka setelah habis masa iddahnya, Nabi melamarnya, ia memintah
maaf karena usianya sudah tua, mempunyai anak banyak.38
2. Hikmah Pendidikan
Pernikahan dengan A’isyah
A’isyah adalah istri beliau yang ketiga, ia adalah putri Abu Bakar yang
sangat berjasa dalam membangun dakwah, dan yang selalu setia menemani
38
Ibid,146.
30
beliau dalam keadaan suka dan duka. Bahkan telah mengorbankan apa saja
yang dimiliki demi mendapat ridhal Allah dan RasulNya. Dengan poligini,
Rasul banyak mengeluarkan wanita alim yang dapat memberikan pelajaran
pada wanita lainnya. Isteri-isteri Rasul itulah yang mengajarkan agama
kepada wanita muslimah, khususnya tentang masalah-masalah yang bersifat
feminisme (kewanitaan). Karena sering sekali Rasul malu dalam menjawab
persoalan itu, apalagi bila masalah yang ditanyakan amat “sensitif”
Aisyah ra meriwayatkan bahwa wanita Anshor datang kepada Rasul
bertanya tentang cara membersihkan haid. Lalu Rasul mengajarkannya.
Beliau berkata: “Ambillah kapas yang ada wewangiannya, lalu bersihkanlah
dengannya”. Wanita itu berkata: “Bagaimana membersihkannya? ”Rasul
menjawab: “Bersihkanlah dengannya” Ia bertanya lagi: “Bagaimana
membersihkannya?”. Rasul menjawab: “Subhanallah! bersihkan saja
dengannya”. Mendengar hal ini, Aisyah ra langsung menarik tangan wanita
tersebut lalu berkata: “Letakkanlah kapas tadi di tempat ini dan itu, lalu
hilangkan bekas darahnya”. Aisyah ra berkata: “Aku jelaskan tempat yang
mesti diletakkan kapas”.39
3. Hikmah Tasyri” (perundang-undangan)
Hikmah ini dapat kita saksikan ketika terjadi perkawinan Rasul dengan
Zainab binti Jahsy Al-Asadi, yaitu terhapusnya kebiasaan menganggap anak
angkat (adopsi) seperti anak nasab, menyamakan hukumnya dalam hal waris,
perkawinan dan lain sebagainya.
Pada saat itu, bangsa Arab selalu menyebut anak angkat Rasul yang
bernama Zaid bin Haristah dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Hal ini
dimaklumi, karena kebiasaan itu sudah mengakar di tengah-tengah
masyarakat Jahiliyyah. Oleh karena itu demi menghapus kebiasaan ini, Rasul
mengawini Zainab yang sebelumnya telah dikawini oleh Zaid bin Haristah.
39
Ibid,147.
31
Sebagai manusia, Rasul takut bila orang munafik dan orang yang benci. Tapi
kekhawatiran itu sirna setelah turun firman Allah:
©!$# È,¨?$#uρ y7y_÷ρy— y7ø‹n=tã ô7Å¡øΒr& ϵø‹n=tã |Môϑyè÷Ρr&uρ ϵø‹n=tã ª!$# zΝyè÷Ρr& ü“Ï%©#Ï9 ãΑθà)s? øŒÎ)uρ
$£ϑn=sù ( çµ9t±øƒrB βr& ‘,ymr& ª!$#uρ }¨$¨Ζ9$# y´øƒrBuρ ϵƒÏ‰ö7ãΒ ª!$# $tΒ šÅ¡øtΡ ’Îû ’Å∀øƒéBuρ
Æl≡uρø—r& þ’Îû Óltym tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# ’n?tã tβθä3tƒ Ÿω ö’s5Ï9 $yγs3≈oΨô_¨ρy— #\sÛuρ $pκ÷]ÏiΒ Ó‰÷ƒy— 4|Ós%
∩⊂∠∪ ZωθãèøtΒ «!$# ãøΒr& šχ%x.uρ 4 #\sÛuρ £åκ÷]ÏΒ (#öθŸÒs% #sŒÎ) öΝÎγÍ←!$u‹Ïã÷Šr&
Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah
telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah",
sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan
menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang
lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan
dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteriisteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah
menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah
itu pasti terjadi.
4. Hikmah Secara Sosial
Hikmah ini terlihat pada perkawinan beliau dengan puteri Abu Bakar;
Aisyah ra dan puteri Umar; Hafsah.40 Perkawinan Rasul ini sebagai
penghargaan yang sangat besar yang pernah dirasakan kedua sahabat beliau.
Dan Rasul pun layak memberikan penghargaan yang besar ini. Sebab
perjuangan dan jerih payah yang pernah dirasakan kedua sahabat terhadap
Islam
begitu
besar.
Maka
suatu
penghargaan
besar
bila
Rasul mengawini puteri-puteri mereka. Sehingga kecintaan Rasul dan mereka
begitu kuat.
40
Ibid,148.
32
Disamping itu, Khafshah adalah janda dari Khunais bin Khudzafah asSahmi yang wafat di Madina akibat luka parah yang menimpahnya dalam
Perang Uhud.
Secara fisik Hafshah bukanlah wanita yang berwajah cantik, namun ia
adalah wanita yang rajin berpuasa, terbiasa shalat malam, serta sangat cinta
kepada Allah dan Rasulnya.
5. Hikmah Secara Politis
Perkawinan Rasul dengan beberapa wanita mengakibatkan bersatunya
pengikut kabilah-kabilah yang berbeda, karena sebagaimana kita ketahui
bahwa apabila seseorang berkeluarga dengan anggota suku lain, maka ia akan
menjadi bagian dari suku itu, begitu pula sebaliknya.
Hikmah perkawinan Rasul secara politis itu dilakukan ketika Rasul nikah
dengan beberapa wanita dari suku yang berbeda, antara lain:
a. Pernikahan dengan Ummu Habibah41
Nama aslinya adalah Ramlah binti Abu Sufyan bin Harb, istri dari
Ubaidillah bin Jahsyi bin Huzaimah. Mereka berdua melakukan
perjalanan hijrah ke Habsyah pada kali yang kedua. Sampai di Habsyah
suaminya terfitnah hingga murtad dari Islam. Meskipun demikian Ummu
Habibah tetap tegar dalam keimanannya. Juga tidak mungkin pulang ke
Mekah karena ayahnya adalah tokoh Quraisy yang saat itu sangat
memusuhi orang-orang Islam dan menindas orang beriman.
Sungguh, wanita tegar ini patut mendapatkan penghargaan,
penghormatan dan perlindungan. Maka Rasul mengutus Jabir al41
Ibid,151.
33
Mukhsuraaka Rasul mengutus Jabir al-Makhsurain dan Mukhnis alMutawahisyain untuk menghadap Raja Najasyi yang telah masuk Islam,
agar ia berkenan menikahkan Rasul dengan Ummu Habibah.
b. Juwairiyah bin Al Harits
Ia adalah putri dari perempuan Bani Musthaliq. Ketika terjadi
peperangan, ia dan kawannya menjadi tawanan kaum muslimin. Ketika
dihadapkan kepada Rasul, beliau menawarkan kepadanya apakah ia ingin
bebas dengan membayar tebusan yang akan dibayarkan Rasul dan
menikahinya. Juwairiyah pun menerima tawaran tersebut. Setelah Rasul
menikahinya, kaum muslimin pun merasa sungkan bila masih menawan
tahanan dari kaum anak pemimpin Bani Musthaliq yang kini menjadi
isteri Rasul itu. Mereka berkata: “Pantaskah kita menawan para besan
Rasul?”. Akhirnya para tawaran dari Bani Musthaliq pun dibebaskan.
Akibat dari kemurahan kaum muslimin ini mereka (Bani Musthaliq)
berbondong-bondong masuk Islam.42
c. Sofiyah binti Huyyay bin Akhtab
Ia adalah termasuk pembesar dari Bani Quraidhoh. Suaminya
telah tewas dalam peperangan Khaibar. Ketika ia menjadi tawanan, salah
seorang pasukan muslim mengajukan usul bahwa sebaiknya wanita ini
diserahkan kepada Rasululah SAW. Ketika sampai dihadapan Nabi,
beliau menawarkan dua hal; apakah dibebaskan dan menjadi isteri
Rasulullah SAW atau dibebaskan hingga bertemu keluarganya?. Atas dua
42
Ibid,156.
34
pilihan ini, Sofiyah memilih yang pertama karena ia melihat kewibawaan
Nabi. Ia pun masuk Islam yang kemudian diikuti oleh kaumnya.
d. Romlah binti Abu Sofyan
Ia adalah puteri Abu Sufyan, salah seorang tokoh Quraisy di
Makkah
yang
sangat
memusuhi
Nabi
dan
kaum
muslimin.
Puterinya telah masuk Islam ketika masih di Makkah dan pernah hijrah
dengan suaminya ke Habasyah. Suaminya meninggal dunia di Habasyah,
maka tinggallah ia sendiri tanpa ayah dan suami. Ketika Rasulullah SAW
mengetahui hal itu, beliau mengirim surat kepada raja Najasyi untuk
disampaikan kepada Romlah bahwa Nabi ingin menikahinya. Mendengar
berita ini, Romlah sangat gembira karena tidak mungkin baginya untuk
kembali kepada ayahnya.
Ketika berita ini sampai kepada Abu Sufyan, ia pun seperti
menyetujuinya, lalu membanggakan Nabi yang telah menjadi suami
puterinya. Keadaan ini membuat sikap Abu Sufyan dan kaum Quraisy
berubah menjadi lembut terhadap kaum muslimin yang masih berada di
Makkah yang sebelumnya sangat mengganggu.43
e. Pernikahan dengan Juwairiyah
Alasan pernikahan beliau dengan Juwairiyah hampir sama dengan
Syafiyah. Ia adalah putri pemimpin Bani Mustaliq. Ayahnya Harits bin
Dlilar memusuhi kaum muslimin. Namun ia dan kaumnya terkalahkan,
sehingga kabilahnya hampir punah dan ratusan dari mereka menjadi
tawanan, termasuk Juwairiyah. Kebetulan ia menjadi bagiannya Tsabit
43
Ibid.
35
bin Qais dan ia akan dibebaskan dengan syarat membayar sembilan
uqiyah (171 gram emas). Ia meminta bantuan kepada Rasul, agar beliau
membantu
pembayaran
yang
disepakati
dengan
tsabit
untuk
membebaskanya dari tawanan.44
f. Pernikahan dengan Maimunah
Dia adalah putri Harts bin Hazan bin Bujair, keluarga dekat
Zainab binti Huzaimah. Ia adalah mantan istri Ruhm bin Abdil Uzza.
Beliau
menikahinya
saat
umrah
di
Mekah,
untuk
mempererat
kekeluargaannya. Sebab saudarinya, Ummul Fadl menjadi istri paman
beliau. Nabi menikahinya setelah ditinggal mati suaminya yang belum
masuk Islam untuk mengokohkan keislamannya dan mempererat jalinan
kekeluargaan.
Dari pemaparan istri Nabi, maka istri yang bikr hanya ada dua yaitu
A’isyah dan Juairiyah, sedangkan yang lainnya adalah janda. Sedangkan
istri Rasul yang mempunyai keturunan adalah Khadijah, Saudah binti
Zam’ah, dan Ummu Salamah.
B. Hukum Poligini
Poligini telah ada sejak sebelum diutusnya Nabi Muhammad dan telah di
laksanakan dikalangan Arab dan yang lainnya. Kemudian datanglah Islam untuk
menegaskan syari’at tersebut, meluruskan, membatasi dan menetapkan syarat-syarat
kebolehannya. Di antara dalil yang membolehkan poligini adalah dalam surat anNisa’ ayat 3:
44
Ibid,156.
36
*ُ5ْ 6
ِ ْ‫ِ>ن‬/َ 9َ :َ ‫; َو ُر‬
َ <َ‫ َو =ُـ‬0َ8ْ َ ‫ ِء‬$َ&' ‫( ا‬
َ ) *َُ ‫ب‬
َ َ,َ ‫ ُِا‬.ْ َ/ 0ََ َ ‫ ا‬0ِ/‫ُا‬1&
ِ ْ 2ُ 3' ‫ْـُ* َأ‬56
ِ ْ‫وَِإن‬
(3 : ‫ ُ<ُا ) ا&ء‬2َ 3' ‫ َأ‬0َ.ْ‫ْ َأ ْ! َ ُُ* َذِ َ? َأد‬Aَ <ََ َ ْ‫ َ ًة َأو‬Cِ َ /َ ‫ ْ ُِا‬2َ 3' ‫َأ‬
Artinya: Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya (al-Nisa: 3).
1. Makna Mufradat
ُ‫
ْـ‬
ِ ْ‫ َوِإن‬: Jika kamu takut; memiliki dugaan kuat ada kekhawatiran yang dapat
ِ ْ‫ َوِإن‬dapat di artikan dengan ‫ن‬/
diketahui sebelum nikah, dan ُ‫
ْـ‬
‫ُا‬
ِ ْ ُ ‫ َأ‬: Tidak dapat berlaku adil.
‫ َ ْ ُِا‬
‫ َأ‬: Tidak dapat berlaku adil
ََ َ ‫ ِ ا‬: Terhadap anak yatim.
‫ ْ" ِ! ُا‬#َ : Maka kawinilah; nikahilah.
‫ء‬%َ&‫' ا‬
َ )( ُ!َ ‫ب‬
َ #َ+#َ) : Perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; ِapa yang kamu
senangi dari perempuan-perempuan (lain).
,َ -َ ‫ َو ُر‬/
َ َ‫ُـ‬0 ‫&َ َو‬1ْ )َ : Dua, tiga, dan empat, bukan dua tambah tiga tambah empat.
‫ َ ُُا‬
‫ َأدْ"َ َأ‬: Lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya; tidak menyimpang
dari
keadilan.
2. Asbâb al-Nuzûl
Asbâb al-nuzûl adalah sebab-sebab turunnya ayat yang memberikan
informasi keterkaitan turunnya ayat dengan suatu peristiwa. Masyfuk Zuhdi,
mendefinisikan Asbâb al-nuzûl dengan: semua yang disebabkan olehnya diturunkan
suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau memberi jawaban
terhadap sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada saat terjadinya peristiwa.45
45
Masyfuq Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990),37.
37
Manfaat mengetahui Asbâb al-nuzûl adalah untuk mengetahui hikmah di
syariatkannya hukum, dan mengenai kekhususan hukum.46 Dengan mengetahui
sebab turunnya suatu ayat, kita dapat mengetahui kaitan sebuah ayat dengan suatu
peristiwa. Berdasarkan mengetahui peristiwa tersebut, kita dapat memperkirakan
dengan dugaan kuat tujuan sebuah ayat diturunkan oleh Allah. Oleh sebab itu,
mengetahui dan memperhatikan Asbâb al-nuzûl adalah suatu keharusan dalam
mengkaji al-Qur’an agar memperoleh pemahaman yang utuh, lengkap, dan sempurna
sehingga terhindar dari kekeliruan.
Sebelum Islam di bawa Muhammad, orang Arab memiliki tradisi memelihara
anak-anak perempuan yatim di rumah-rumah mereka dengan alasan memberi
perlindungan dan menjadi wali bagi mereka, kemudian menikahi mereka tanpa
mahar atau dengan mahar yang lebih kecil di bandingkan dengan mahar yang lazim,
dan kemudian menguasai harta anak-anak yatim tersebut. Anak-anak yatim itu di
kuasai, diremehkan, dan di berlakukan tidak adil. Jika wali itu sudah tidak berkenan,
atau tidak merasa nyaman dengan anak-anak yatim tersebut, mereka di usir atau di
tinggalkan begitu saja. Berkaitan dengan situasi dan kondisi demikianlah ayat 3 surat
al-Nisa tersebut diturunkan oleh Allah.
Sebab turun ayat 3 surat al-Nisa itu dapat di baca dalam Tafsîr Ibnu Katsîr
bahwa Urwah ibn Zubair, anak Asma kakak Aisyah, bertanya kepada Aisyah,
ِ ْ ُ ‫
ْـُ َأ‬
ِ ْ‫ َوِإن‬, Aisyah menjawab:
tentang ayat: َ َ َ ‫ُا ِ ا‬
“hai anak saudara perempuanku, perempuan yatim ini diasuh oleh seorang
wali, dia menggabungkan harta anak yatim dengan hartanya. Si wali menginginkan
kecantikan diri dan harta anak yatim itu. Oleh karena itu, ia mengawininya tanpa
memberikan mas kawin yang layak atau di bawah mahar standar. Wali yang
46
Syaikh Muhammad Ali As-Sabuni, ali bahasa Muhammad, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis,
(Jakarta, Pustaka Amani, 1390 H),29.
38
demikian itu dilarang mengawininya kecuali bisa bertindak adil dan memberikan
mahar atau mas kawin yang pantas. (Ketika hal ini tidak dapat dilakukannya), wali
tersebut dianjurkan untuk mengawini perempuan lain saja”.47
Sehubungan dengan itu, Allah menurunkan ayat ke 3 ini sebagai teguran dan
peringatan bagi mereka yang menikahi anak-anak yatim.
Kisah tersebut tertera dalam hadis yang di riwayatkan oleh Bukhari dari
Ibrahim dari Hisyam dari Ibnu Juraij dari Hisyam ibn Urwah dari ayahnya dari
Aisyah. Dari asbâb al-nuzûl ayat tersebut dapat di ketahui secara jelas bahwa
maksud utama ayat tersebut adalah harus ada perlindungan terhadap manusia lemah,
yaitu anak yatim dan bukan berkenaan dengan anjuran poligini.
Berdasarkan pada asbâb al-nuzûl diatas, kurang tepat bila dengan serta merta
ayat tersebut dianggap sebagai ayat yang membolehkan poligini secara mutlak atau
di sebut langsung sebagai ayat poligini. Anggapan bahwa ayat tersebut adalah ayat
yang membolehkan atau langsung menyebutnya sebagai ayat poligini, bisa jadi
melakukan kesengajaan untuk kepentingan tertentu, mencari pembenaran untuk
mempraktekkan poligini dengan tidak melihat asbâb al-nuzûl, atau membaca ayat
tersebut tidak secara utuh, awal ayat dan akhir ayat tidak dibaca, yang dibaca hanya
,َ -َ ‫ َو ُر‬/
َ َ‫ُـ‬0 ‫&َ َو‬1ْ )َ ‫ ِء‬%َ&‫' ا‬
َ )( ُ!َ َ‫ب‬#َ+#َ) ‫ ْ" ِ! ُا‬#َ, padahal, jika ayat tersebut dibaca
secara utuh, maka akan di pahami bahwa ayat tersebut berkaitan dengan
larangan mengawini anak yatim apabila tidak sanggup berlaku adil terhadapnya.
Quraish Shihab menghubungkan ayat tersebut dengan surat an-Nisa: 127:
bahwa para wali atau yang menguasai anak yatim dilarang mengawini anak-anak
yatim hanya karena harta dan kecantikannya. Ayat tersebut bukan membuat
47
Ibnu Kasir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, (Kairo, Dar al-Hadis, 2005),233.
39
peraturan untuk berpoligini karena poligini telah dianut dan dilaksanakan sebelum
ayat ini turun.
Poligini yang di pahami masyarakat Indonesia selama ini dan pengertian yang
sama juga terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu seorang laki-laki
beristeri lebih dari satu dalam waktu bersamaan. Istilah yang tepat menurut
Antropologi adalah poliginy bukan poligamy karena istilah poligamy bisa di
pergunakan kepada laki-laki yang beristeri lebih dari satu atau perempuan bersuami
lebih dari satu. Sedangkan poliginy hanya dipergunakan untuk seorang laki-laki yang
memiliki banyak isteri dan poliandry adalah istilah yang hanya dipergunakan untuk
seorang perempuan memiliki banyak suami dalam waktu bersamaan.
Setelah ayat tersebut turun, jumlah istri laki-laki muslim dalam berpoligini
dibatasi, yaitu paling banyak sampai empat orang. Seorang yang sudah terlanjur
beristri lebih dari empat orang harus menceraikan istrinya sehingga jumlah istri yang
terikat nikah dengannya dalam waktu yang sama hanya empat orang.
Redaksi ayat dan beberapa riwayat yang terkait dengan ayat ini menegaskan
bahwa syari’at poligini ini erat kaitannya dengan penyelesaian anak yatim dan
menghindari kedzaliman.48
Wahyu poligini yang terdapat dalam al-Quran an-Nisa’ ayat 3 merupakan
ayat yang berkaitan dengan penyelamatan bagi kalangan janda ataupun anak yatim.
Pada masa itu diharapkan ada seorang yang dapat berbuat adil dan memungkinkan
untuk menikahi para janda ataupun anak yatim tersebut dan tindakan itu merupakan
tindakan menyelamatkan kehidupan mereka dari ganasnya situasi hidup ataupun
48
Shahiron Syamsudin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (Jakarta: Penerbit eL-SAQ Press, 2004),
426.
40
orang-orang yang ingin memanfaatkan mereka. Namun demikian, teks itu
mengingatkan agar apabila tidak mampu berbuat adil, maka tidak diperkenankan
menikahi mereka.
Lebih lanjut KH. Husain Muhammad menyatakan poligini dan perbudakan
merupakan suatu rangkaian yang menjadi objek transformasi oleh Nabi Muhammad
yang akan di hapuskan. Jadi teks-teks tersebut termasuk ke dalam teks yang (di
dalam proses) dihapuskan keberadaannya. Karena itu, tafsir yang membolehkan
poligini dikalangan komunitas muslim di Indonesia justru bertentangan dengan nilai
transformasi yang dibawahkan oleh Nabi Muhammad.49
Dalam surat an-Nisa’ ayat: 3 Allah membolehkan menikahi perempuan lebih
dari satu dengan syarat tidak boleh lebih dari empat dan dapat berbuat adil terhadap
istri-istrinya. Dengan demikian, maka prinsip kemanusiaan dan keadilan akan
tercapai. Namun, apabila seorang laki-laki tidak mampu berbuat adil atau tidak
memiliki harta untuk membiayahi istri-istrinya, maka ia harus menahan dengan
menikahi satu istri saja. Sangat penting bagi suami yang mempunyai istri lebih dari
satu untuk berlaku adil seadil mungkin terhadap istrinya.50
Keadilan dalam ayat diatas hanya berhubungan dengan usaha yang
dimungkinkan secara kemanusiaan. Dalam hal kasih sayang seorang berusaha
semampunya, karena manusia tidak akan mampu berbuat seadil-adilnya, manusia
mempunyai keterbatasan sebagaimana firman Allah dalam surat nisa’ ayat 129:
49
Ibid,51.
A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah) (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002),191.
50
41
È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹tym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ
∩⊇⊄∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# €χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)‾=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatungkatung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini menegaskan bahwa adil secara sempurna dan mutlak tidak dapat
dilakukan oleh manusia. Maka ayat ini melarang kedzaliman dan kesewenangwenangan yang jelas yaitu kecenderungan penuh.
Menurut Ibnu Katsir ayat diatas menjelaskan bahwa manusia tidak akan
sanggup bersikap adil di antara istri-istri dari seluruh segi. Sekalipun pembagian
malam demi malam dapat terjadi, akan tetapi tetap saja ada rasa perbedaan dalam
rasa cinta, syahwat, dan jima’.
Ibnu Qoyyim menyatakan bahwa tidak wajib bagi suami untuk menyamakan
cinta di antara istri-istrinya, karena cinta merupakan perkara yang tidak dapat di
kuasai. A’isyah merupakan istri yang paling di cintai Rasul. Dari sini dapat diambil
pemahaman bahwa suami tidak wajib menyamakan para istri dalam masalah jima’
karena jima’ terjadi sebab adanya cinta dan kecondongan. Jika suami meninggalkan
jima’ karena tidak adanya pendorong ke arah sana, maka suami tersebut di maafkan.
C. Syarat-syarat Poligini
Islam membolehkan kaum laki-laki nikah lebih dari satu. Akan tetapi
kebolehan ini dibatasi dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Jika tidak
42
terpenuhi, maka pelakunya berdosa dan nikahnya tidak sah.51 Syarat-syarat tersebut
adalah:
1. Yakin mampu berlaku adil terhadap para istri dalam hal pembagian bermalam
dan nafkah. Sebagaimana firman Allah dalam surat nisa’ayat: 3.52
2. Memiliki kemampuan finansial yakni mampu memberi nafkah secara adil
kepada istri. Sebab apabila seseorang tidak memiliki kemampuan
memberikan nafkah, maka ia hanya menelantarkan hak-hak orang lain. Hal
ini sesuai dengan surat an-Nur ayat 33:
tÏ%©!$#uρ 3 Ï&Î#ôÒsù ÏΒ ª!$# ãΝåκuŽÏΖøóム4®Lym %—n%s3ÏΡ tβρ߉Ågs† Ÿω tÏ%©!$# É#Ï÷ètGó¡uŠø9uρ
( #ZŽöyz öΝÍκŽÏù öΝçGôϑÎ=tæ ÷βÎ) öΝèδθç7Ï?%s3sù öΝä3ãΖ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $£ϑÏΒ |=≈tGÅ3ø9$# tβθäótGö6tƒ
tβ÷Šu‘r& ÷βÎ) Ï!$tóÎ7ø9$# ’n?tã öΝä3ÏG≈uŠtGsù (#θèδ̍õ3è? Ÿωuρ 4 öΝä38s?#u ü“Ï%©!$# «!$# ÉΑ$¨Β ÏiΒ Νèδθè?#uuρ
£ÎγÏδ≡tø.Î) ω÷èt/ .ÏΒ ©!$# ¨βÎ*sù £‘γδ̍õ3ムtΒuρ 4 $u‹÷Ρ‘‰9$# Íο4θuŠptø:$# uÚttã (#θäótGö;tGÏj9 $YΨ÷ÁptrB
∩⊂⊂∪ ÒΟ‹Ïm§‘ Ö‘θàxî
Artinya: Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga
kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya. dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian,
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada
kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta
Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu dan janganlah kamu paksa budakbudak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa
itu.
51
52
Khozin Abu Faqih, Poligami Solusi atau Masalah, (Jakarta: al-I’tishom Cahaya Umat, 2007),104.
Ahmad Rafiq, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),172.
43
Ayat ini menegaskan bahwa orang yang hendak nikah harus berpikir
panjang dan mendalam, hingga mendapatkan harta yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
Menurut Imam Nawawi menjelaskan bahwa perintah untuk menikah
bagi orang yang mampu dan mempunyai keinginan untuk menikah. Jika
syarat ini tidak terpenuhi, maka seorang laki-laki tidak boleh menikah lagi
dengan wanita lain. Bahkan laki-laki yang belum beristripun tidak boleh
menikah, sebab hal itu akan mengantarkan berbuat dzalim kepada wanita.53
Selain itu syarat itu juga dilandasi oleh beberapa alasan:
1. Kemampuan memberi nafkah merupakan konsekwensi terhadap
perintah mempergauli secara ma’ruf, sebab bagaimana akan
mempergauli dengan ma’ruf kalau tidak memenuhi kebutuhan
dasarnya.
2. Terdapat banyak teks yang memerintahkan para suami untuk memberi
nafkah istrinya dan ancaman bagi yang menelantarkan keluarganya.
3. Hak-hak istri menegaskan kewajiban suami untuk mempunyai
kemampuan memberi nafkah istrinya.
1) Pengertian Adil dalam Poligini
Syarat di bolehkannya poligini adalah tidak adanya kehawatiran berbuat
dzalim, atau ada keyakinan bisa berlaku adil, sebagaimana yang telah ditegaskan
dalam ayat pertama. Sedangkan ayat kedua menegaskan bahwa adil tidak dapat
dilakukan oleh manusia, betapapun ia mengungkapkannya. Jadi jika adil tidak
53
Ibid, 106.
44
terpenuhi, maka poligini tidak boleh. Ketika adil tidak terpenuhi, maka poligini
haram.
Ada beberapa poin yang harus diperhatikan di dalam menjawab pertanyaan
diatas:
1. Adil yang di firmankan oleh Allah bahwa tidak mungkin dapat dilakukan
manusia adalah keadilan yang sempurna dalam berbagai hal materi dan
maknawi, nafkah dan perlakuan lahir, serta cinta dan kecenderungan hati.
Keadilan seperti ini tidak mungkin dapat dilakukan oleh manusia, siapapun
dia. Bahkan Rasulallah sendiripun tidak dapat melakukan keadilan seperti ini,
sebagaimana pernyataan beliau:
4)‫ و أ‬4 # &3 4)‫ أ‬# 5 67‫ ه‬9‫ا‬
Ya Allah inilah pembagian yang aku mampui, maka jangan mencela aku
yang engkau mampui dan tidak aku mampui.
2. Andai adil tidak dapat dilakukan secara muthlak, tentu Rasulallah dan para
sahabat adalah orang-orang dzalim. Tetapi tidak ada satu ayatpun yang
menyatakan mereka dzalim. Bahkan ayat dan hadis mewajibkan kita
mengikuti mereka.
tΠöθu‹ø9$#uρ ©!$# (#θã_ötƒ tβ%x. yϑÏj9 ×πuΖ|¡ym îοuθó™é& «!$# ÉΑθß™u‘ ’Îû öΝä3s9 tβ%x. ô‰s)©9
∩⊄⊇∪ #ZŽÏVx. ©!$# tx.sŒuρ tÅzFψ$#
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
45
3. Jika adil tidak mungkin dilakukan, maka bertentangan dengan melakukan ijin
poligini dan tidak mungkin Allah memberikan syari’at yang tidak mungkin
tidak dapat dilaksanakan.
Ÿω $oΨ−/u‘ 3 ôMt6|¡tFø.$# $tΒ $pκöŽn=tãuρ ôMt6|¡x. $tΒ $yγs9 4 $yγyèó™ãρ āωÎ) $²¡øtΡ ª!$# ß#Ïk=s3ムŸω
’n?tã …çµtFù=yϑym $yϑx. #\ô¹Î) !$uΖøŠn=tã ö≅Ïϑóss? Ÿωuρ $oΨ−/u‘ 4 $tΡù'sÜ÷zr& ÷ρr& !$uΖŠÅ¡®Σ βÎ) !$tΡõ‹Ï{#xσè?
$oΨs9 öÏøî$#uρ $¨Ψtã ß#ôã$#uρ ( ϵÎ/ $oΨs9 sπs%$sÛ Ÿω $tΒ $oΨù=Ïdϑysè? Ÿωuρ $uΖ−/u‘ 4 $uΖÎ=ö6s% ÏΒ šÏ%©!$#
∩⊄∇∉∪ š͍Ï≈x6ø9$# ÏΘöθs)ø9$# ’n?tã $tΡöÝÁΡ$$sù $uΖ9s9öθtΒ |MΡr& 4 !$uΖôϑymö‘$#uρ
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka
berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa
atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada
Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang
sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa
yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami;
dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami
terhadap kaum yang kafir."
4. Bersikap adil juga diperintahkan Allah kepada anak-anak. Adil secara
sempurna terhadap anak-anak adalah mustahil. Jika demikian, maka tidak
boleh memiliki keturunan lebih dari satu. Sebab tidak mungkin dapat berbuat
adil dalam ketertarikan hati, kecintaan dan perasaan hati.
2) Poligini dibatasi Hanya Empat Istri
Poligini sebelum datangnya syariat Islam tanpa batas sehingga pada umat
dulu ada yang mempunyai istri seratus bahkan ada yang lebih dari itu. Kemudian
Islam datang dan memberi batasan hanya empat istri.
46
Di samping itu ada beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa batas
maksimal adalah empat antara lain:
1. Sabda Rasul kepada salah seorang laki-laki dari Bani Tsaqif yang masuk
Islam dan memiliki sepuluh orang istri.
'‫ه‬:;#< ‫رق‬#‫ و‬#-‫' أر‬9&) 4)‫أ‬
Tahanlah empat dari mereka dan ceraikan sisanya
2. Sabda Rasul kepada Harits bin Qais ketika ia masuk Islam dan memiliki
delapan istri;
#-‫' أر‬9&) :
‫إ‬
Pilihlah empat dari mereka
3. Sabda Rasul kepada Nufail bin Mu’awiyah ketika beliau menanykan kelima
istrinya saat ia masuk Islam:
,-‫ أر‬4)‫رق وا?ة وأ‬#
Ceraikanlah satu dan pertahankan yang empat.
3) Poligini sebagai Solusi dan Pilihan Bersyarat
Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus
dari Allah. Hal ini dapat dibuktikan dengan tercantumnya dalam al-Qur’an
kalamullah pada ayat 3 surat al-Nisa’.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa kebolehan berpoligami pada
ayat di atas sifatnya kasuistis, yakni sangat terkait dengan kekhawatiran berlaku
aniaya atau tidak berlaku adil terhadap perempuan yatim. Agar tidak berlaku aniaya
atau tidak adil terhadap seorang perempuan yatim yang dikawini, maka Allah
memberikan solusi pada kasus tersebut dengan membolehkan laki-laki yang
bersangkutan melakukan poligami dengan perempuan-perempuan lain, yang bukan
47
yatim dua, tiga, sampai empat orang. Itupun, harus memenuhi syarat mampu berlaku
adil kepada keempat istri tersebut. Jika tidak sanggup berlaku adil terhadap keempat
istri itu maka solusinya kawin dengan seorang perempuan saja, yakni menikah secara
monogami.
Quraisy Shihab memahami ayat tersebut dengan mengatakan bahwa jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu
percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain anak yatim itu,
maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai selera kamu dan halal dari
perempuan-perempuan lain itu. Bahkan kamu dapat melakukan poligini sampai batas
empat orang perempuan sebagai isteri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, baik dalam hal materi maupun non materi, dan baik lahir
maupun batin maka kawini seorang perempuan saja (nikah secara monogami) atau
kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain
perempuan yatim (berpoligini dengan perempuan lain) yang mengakibatkan
ketidakadilan, dan mencukupkan satu orang isteri (monogami) adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya. Persyaratan berlaku adil terhadap isteri-isrti yang
dimadu tersebut merupakan persyaratan mutlak dari Allah dan tertera dengan tegas
dalam ayat tersebut.
4) Dampak Poligini
Perempuan-perempuan yang dimadu harus berbagi segala-galanya, baik
materi maupun non materi sesama istri. Begitu juga sesama anak yang ayahnya
berpoligini. Tidak terjadi masalah selama mereka bisa menerimanya dengan ikhlas,
dan suami atau ayah mereka bersikap adil kepada mereka. Berlaku adil dalam
berpoligini sangat sulit terwujud. Allah telah mengingatkan dan menyatakan pada
48
surat yang sama ayat 129 bahwa suami yang berpoligini itu tidak akan sanggup
berlaku adil.
Jika tidak ada keadilan dan masing-masing merasa di rugikan, maka isteriisteri dan anak-anak akan saling salah paham, curiga dan cemburu. Ini, akan menjadi
malapetaka antar sesama istri, menjadi konflik dan bisa menjadi konflik terbuka,
perpecahan, dan tindakan kekerasan fisik.
Suami yang berpoligini harus betul-betul adil dan bijaksana, siap secara fisik,
mental, dan finansial supaya tidak menemukan kesulitan yang berat karena beban
atau kewajiban nafkah tentu lebih besar daripada bermonogami. Rasul juga
mencontohkan “menggilir” isteri-isterinya secara adil dan merata. Kewajiban materi
mungkin dapat di bagi secara adil karena dapat di hitung dan di perkirakan, tetapi
non materi tidak mungkin dibagi secara adil karena standarnya tidak jelas.
Sedangkan setiap manusia memiliki kebutuhan jasmani dan rohani atau materi dan
inmateri yang harus terpenuhi.
Dalam poligini ada manfaat dan mafsadat. Dengan memperhatikan firman
Allah surat al-Nisa’ ayat 129, kesulitan dan beratnya beban atau tanggungjawab yang
di pikul laki-laki yang berpoligini, dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat,
maka berpoligini lebih besar mafsadat atau mudharatnya dari pada maslahat atau
manfaatnya.
Jika memperhatikan hadits Rasul yang melarang Ali berpoligini atau memadu
Fatimah, dapat di pahami bahwa poligami cenderung menyakiti perempuan karena
Rasul menyatakan bahwa sakitnya Fatimah sakitnya aku. Dengan demikian dalam
perkawinan secara poligini terdapat atau berdampak menyakitkan atau kekerasan
terhadap perempuan dalam rumah tangga.
49
Surat an-Nisa’ ayat
3 melarang menghimpun (memadu) dua perempuan
bersaudara, dan hadits juga melarang memadu perempuan yang berhubungan bibi
dan ponakan. Kedua sumber ini mengisyaratkan yang dapat di pahami bahwa antara
sesama perempuan yang dimadu tersebut terdapat hubungan tidak sehat, seperti
saling cemburu, berkompetisi dan berebut, bermusuhan yang dapat menimbulkan
konflik, baik tertutup maupun terbuka. Oleh karena itu, poligini yang demikian itu di
larang dengan tegas dalam Islam karena akan merusak hubungan antara perempuanperempuan bersaudara.
Kenyataan dampak buruk poligini sering di temukan dalam masyarakat.
Poligini mengandung banyak kebohongan, ketidakadilan dan penderitaan terhadap
banyak pihak, terutama terhadap isteri dan anak-anak. Poligini sering memicu
tindakan kekerasan dalam rumah tangga terhadap isteri dan anak-anak, seperti
kekerasan psikis, ekonomi, dan pisik, baik yang di beritakan maupun yang tidak di
beritakan dimedia masa tetapi dapat dirasakan oleh semua orang. Bentuk-bentuk
kekerasan tersebut berupa tekanan psikis, fisik, penelantaran dan pengabaian,
ancaman dan terror. Bahkan ada anak memukul ayahnya yang berpoligini. Kekerasan
adalah mudharat, ketidakadilan, penderitaan, kezaliman, dan mafsadat yang tidak
diinginkan. Kaidah fiqhiyah mengingatkan kita supaya ‫ا ل‬AB ‫ر‬:C‫ا‬, kemudaratan
harus di lenyapkan. Jika dalam suatu hal ada maslahat dan mudharat, maka kita harus
menentukan sikap sebagaimana diajarkan kaidah D#E‫ ا‬FG ‫< )م‬#‫درء ا‬,
menolak mafsadat harus di dahulukan daripada menarik kemaslahatan atau manfaat.
Kemudharatan akibat poligini dapat di prediksi, dan dalam kenyataanpun
sudah terbukti bahwa poligini lebih banyak membawa mudharat untuk konteks
50
sekarang. Dengan demikian, poligini untuk kasus yang demikian bisa di masukkan
ke dalam kategori haram li ghairih. Poligini itu asalnya di bolehkan, tetapi karena di
barengi sesuatu yang bersifat mudharat atau mafsadat, maka perbuatan itu menjadi
haram li ghairihi.
Hal ini, berdasarkan kepada pendapat ahli Ushûl al-fiqh yang menyatakan
bahwa haram li ghairih adalah perbuatan yang pada awalnya di bolehkan
melakukannya, tetapi karena di barengi oleh sesuatu yang bersifat mudharat atau
mafsadat dalam pandangan syara’, maka perbuatan itu menjadi haram.54
5) Monogami: Prinsip Perkawinan Islam
Surat al-Nisa’ ayat:3 tersebut diakhiri dengan dzâlika adnâ allâ ta`ûlû, “Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Pemahaman
Faqihuddin Abdul Kodir mengenai akhir ayat tersebut adalah bahwa pilihan
perkawinan monogami akan mendekatkan seseorang untuk tidak berlaku zalim atau
aniaya.55 Perkawinan poligini memang rentan terhadap prilaku tidak adil dan
tindakan kezaliman terhadap perempuan (istri) dan anak-anak. Pemahaman tersebut
di perkuat dengan firman Allah yang terdapat dalam surat yang lain:
... ُ!&ْ )ِ َBَ I
َ ‫َواَ" ِ! ُا ا‬
Kawinkanlah orang-orang yang sendirian (Al-Nur, 24:32)
Lafaz al-ayyâmâ berarti orang yang belum memiliki pasangan. Ayat tersebut
menganjurkan seseorang untuk menikah dengan, atau menikahkan orang yang belum
memiliki pasangan (laki-laki atau perempuan). Oleh karena itu, ayat al-Qur’an itu
54
Rahmat Syafi’ie, Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 308.
Fakihudin Abdul Kodir, Memilih Monogami Pembacaan atas al-Qur’an dan Hadits Nabi,
(Yogyakarta:Pustaka Pesantren, 2005),100.
55
51
justru menganjurkan perkawinan monogami.56 Sejalan dengan itu, dalam al-Qur’an
dan Terjemahnya, kata ‫واَ" ِ! ُا‬
َ diartikan dengan “kawinkanlah”. Selanjutnya
dijelaskan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah supaya laki-laki yang belum
kawin atau perempuan yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.57
Pada surat al-Nisa’:129 Allah menegaskan bahwa para suami yang
berpoligami tidak akan sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun sudah
berusaha untuk melakukannya.
Monogami adalah bentuk perkawinan yang paling umum, alami, dan
manusiawi.58 Ungkapan tersebut sangat tepat karena semua perempuan yang normal
tidak ada yang mau dimadu. Bahkan, laki-laki pun tidak rela jika ibunya, atau anak
perempuannya, atau saudara perempuannya dimadu.
Muhammad Rasulullah, pelaku poligamipun melarang Ali bin Abu Thalib
(menantunya) memadu Siti Fatimah (puteri Rasul). Berkaitan dengan perkawinan
monogami dan larangan keras terhadap Ali ini, ada hadits yang menyatakan bahwa
ketika Rasul SAW mengetahui bahwa Ali bin Abi Thalib dilamar oleh Bani Hisyam
bin Mughirah, beliau langsung berkhutbah di atas mimbar yang isinya bahwa beliau
sangat tidak mengizinkan Ali bin Abi Thalib (sampai tiga kali), menantunya,
memadu anaknya Fatimah binti Muhammad.59 Khutbah tersebut di dalam hadits
tertera sebagai berikut:
56
Ibid,101.
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Humaniora Utama
Press,1991),549.
58
Murtadha Muthahhari, terjmh. M.Hashem, Hak-hak Wanita dalam Islam, (Jakarta: Lentera
Basritama, 1995),206.
59
Syayid Sabiq, alih Bahasa Moh.Thalib, Fikih Sunnah, jilid 6, 7, 8, (Bandung: al-Ma’arif, 1980), 146.
57
52
‫ أذن‬F/ G , 0:‫( أ‬: 0<H ( *:‫ا أن !ا إ‬.‫ذ‬IJ‫ة إ‬K‫( ا‬: ‫م‬M‫ ه‬0: ‫إن‬
*:‫ إ‬O!‫ و‬P:‫ إ‬Q<1! ‫ أن‬G, P:‫( ا‬:‫ ان !! ا‬R‫ اذن إ‬3 *= ‫ اذن‬3 *= *
‫ اذاه‬P.‫ذ‬S!‫ و‬: ‫ ارا‬PT!! P U: P:‫ إ‬.>/
Artinya: Sesunguhnya Bani Hisyam bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk
mengawinkan anak perempuannya dengan Ali bin Abi Thalib. Tetapi aku tidak mau
mengizinkan, lalu aku tidak mau mengizinkan, dan kemudian aku tidak mau
mengizinkan, kecuali kalau Ali bin Abi Thalib lebih dahulu menceraikan anak
perempuanku, lalu kawin dengan anak perempuan mereka. Sebab anak
perempuanku adalah darah dagingku. Kalau ia dibuat tidak senang berarti aku pun
dibuat tidak senang, dan kalau ia disakiti berarti aku disakiti. (Riwayat Bukhari dan
Muslim).
Pernyataan Rasul melarang Ali memadu Fatimah itu merupakan gambaran
bahwa perempuan yang dimadu itu tidak senang dan cenderung di sakiti serta tidak
seorang pun dari orang tua yang rela jika puterinya dimadu termasuk Rasul sendiri.
Hadits tersebut terdapat di dalam beberapa kitab Hadits, kitâbu al-sittah,
yakni Shahih Bukhari dalam bab nikah, yakni hadits ke 4829; Shahih Muslim bab
Fadhail Ashhabah, yakni hadits ke 4482: Sunan Abu Dawud dalam bab al-Nikah,
yakni hadits ke 1773 dan Sunan Ibn. Majah dalam bab nikah, yakni hadits ke 1988;
Sunan Atturmizi, dalam bab Al-Manakib, yakni hadits ke 3804, dan Musnad Ahmad
bin Hanbal, yakni hadits ke 18164.
Hadits yang melarang Ali berpoligini itu di pahami sebagai isyarat bagi
orang yang menolak poligini bahwa Rasul melakukan poligini tidak perlu ditiru oleh
umatnya. Amalan Rasul berpoligini itu adalah khusus untuk Rasul dan sunnah yang
tidak mengandung unsur syari’ah atau tidak bisa di jadikan dasar hukum. Oleh sebab
itu, tidak perlu diikuti oleh umatnya.
53
D. Pembahasan Ayat dengan Metode Ushûl al-fiqh
Ayat al-Qur’an menurut kajian ushûl al-fiqh merupakan sumber dalil dalam
urutan pertama dan utama karena ayat tersebut adalah firman atau kalam Allah.
Keberadaannya adalah qath`iy al-wurûd, yakni betul-betul pasti berasal dari Allah.
Firman Allah dalam al-Nisa: 3 membicarakan tentang nikah. Dengan demikian,
syari’at atau perintah menikah adalah qath`iy, yakni berasal dari Allah secara pasti
dan tidak di ragukan sedikitpun.
Lafaz ‫ ا ْ" ِ! ُا‬pada ‫ ْ" ِ! ُا‬#َ dalam ayat itu terdiri dari ‫ = ف‬maka, ‫ح‬#!" ‫ ا‬dan ‫وا‬.
Lafaz ‫ح‬#!" adalah akad, berarti perbuatan fisik dan dapat di tangkap oleh
pancaindera. Termasuk ahkâm `amaliyah, mu’âmalah atau furu`iyah bukan
i`tiqadiyah (keyakinan). Dalam kajian Ushûl al-fiqh, semua akad (meliputi akad
nikah) termasuk ‫ت‬3)#‫م ا‬#!?‫ا‬, yaitu hubungan sesama manusia. Berdasarkan
kepada hadits Nabi ‫آ‬#"‫)رد‬#- ‫ ا" ا‬, kaidah fiqhiyah yang di pergunakan untuk
urusan muamalah adalah O?#-‫ء ا‬#P‫ ا‬Q RS‫ ا‬, hukum asal sesuatu itu adalah
boleh.
Oleh sebab itu, hukum asal dari nikah adalah boleh. Apabila susunan ayat 3
surat al-Nisa’ tersebut di cermati secara utuh, maka hukum asal kawin adalah boleh
bukan wajib. Menurut Asyathibi, mubah bisa di haramkan jika dilihat dari segi kulli.
Hukum mubah bisa berubah menjadi haram apabila perbuatan tersebut akan
membawa kemudharatan.60 Contohnya kawin itu hukumnya haram, jika sipelaku
yakin akan berbuat zalim kepada pasangannya, baik suami kepada istri maupun
60
Rahmat Syafi’e, Ilmu Ushul fikih untuk IAIN, STAIN,PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 311.
54
sebaliknya isteri kepada suami. Jika ia khawatir akan menganiaya pasangannya,
maka hukumnya makruh tahrim.61
Lafaz ‫ ْ" ِ! ُا‬#َ fankihû pada ayat tersebut adalah fi`il amr :)‫ ا‬R, yang
menurut kaidah fiqhiyah ‫ب‬G :)‫ ا‬Q RS‫ ا‬, lafaz ‫ ا ْ" ِ! ُا‬pada ‫ ْ" ِ! ُا‬#َ dalam
ayat itu sebagai :)‫ ا‬R , seharusnya mengandung perintah untuk wajib. Akan tetapi,
pada ayat tersebut, ‫ ْ" ِ! ُا‬#َ di pahami bukan perintah untuk wajib karena pada ayat
tersebut tersusun dari kalimat yang diawali dengan ‫ُا‬
ِ ْ ُ ‫
ْـُ َأ‬
ِ ْ‫ َوِإن‬dan ‫
ُْ َأ‬
ِ ْ‫ِإن‬
‫ َ ْ ُِا‬Kedua kalimat ini adalah qarinah yang menunjukkan bahwa ‫ُا‬
ِ ْ ُ ‫ َأ‬dan ‫َأ‬
‫ َ ْ ُِا‬menjadi syarat dan juga menjadi penghalang, maka hukum asal menikah (baik
monogami maupun poligini) bukan wajib. Jadi, pada susunan ayat tersebut berlaku
kaidah O?#- 3:)‫ ا‬Q RS‫ا‬, bukan kaidah ‫ب‬G :)‫ ا‬Q RS‫ا‬.
‫ وا‬adalah kata ganti orang kedua jamak, berarti kamu sekalian, maksudnya
orang mukallaf sebagai subyek hukum.
Apabila di tinjau dari aspek dalil, maka ayat tersebut dalilnya menunjukkan
dzanniy O‫ ا‬Q&T. Berarti hukum menikah asalnya adalah dzanni (dugaan), yaitu
tergantung pada niat, situasi, dan kondisi orang yang akan menikah.
Lafaz ‫ُا‬
ِ ْ ُ ‫ َأ‬menjadi penghalang bagi laki-laki menikahi anak yatim dan
solusinya menikahi perempuan lain secara poligini. Lafaz ‫ َ ْ ُِا‬
‫ َأ‬menjadi
penghalang bagi laki-laki menikahi perempuan lain itu secara poligini dan solusinya
kawin secara monogami. Dengan demikian, ayat tersebut dapat di pahami bahwa jika
hendak menikahi perempuan yatim harus memenuhi persyaratan terlebih dahulu,
61
Ibid,179.
55
yakni berlaku adil terhadap perempuan yatim itu. Jika khawatir tidak bisa berlaku
adil, maka solusinya kawin dengan perempuan lain (selain anak yatim) meskipun
berpoligami, tetapi dibatasi sampai empat orang istri. Kawin dengan perempuan lain
secara poliginipun harus memenuhi syarat, yakni berlaku adil terhadap istri-istri yang
tersebut. Jika tidak bisa berlaku adil, solusinya kawin dengan perempuan lain itu
secara monogami, yaitu seorang saja.
Karena pada ayat itu terdapat sebab, penghalang, dan atau syarat, ayat
tersebut mengandung hukum U ‫( ا‬wadh`î). Menurut Rachmat Syafe`i, hukum
wadh`î adalah firman Allah yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau penghalang.62 Khallaf membagi hukum wadh`î menjadi lima bagian,
yaitu FV‫ ا‬sebab, ‫ط‬:X‫ ا‬syarat, ,"#‫ ا‬penghalang, OBA‫ وا‬,OE
:‫ ا‬keringanan dan
`azimah, dan ‫ن‬3V‫ وا‬O E‫ ا‬keshahihan dan kebatalan.63
Hukum wadh`î yang terdapat pada ayat tersebut adalah FV‫ ا‬sebab, ‫ط‬:X‫ا‬
syarat, dan ,"#‫ ا‬penghalang. Ketentuan dalam hukum wadh`î adalah ada syarat ada
hukum, tidak ada syarat tidak ada hukum. Penerapan hukum U ‫( ا‬wadh`î) pada
ayat itu, berarti tidak terpenuhi syarat berlaku adil, maka tidak ada perkawinan
dengan anak yatim dan tidak ada perkawinan secara poligini. Sedangkan penghalang
adalah sesuatu yang dengan keberadaanya menyebabkan tidak ada hukum atau
membatalkan sebab. Pada ayat tersebut, berarti terdapat kekhawatiran tidak akan
berlaku adil pada laki-laki, menyebabkan tidak ada atau ia tidak boleh melakukan
62
63
Ibid, 312.
Ibid, 117.
56
perkawinan dengan anak yatim dan tidak boleh pula melakukan perkawinan secara
poligini.
Ibnu Arabi dalam tafsir ayat ahkam mengatakan bahwa ‫ُا‬
ِ ْ ُ ‫
ْـُ َأ‬
ِ ْ‫َوِإن‬
menurut mayoritas ulama’ tafsir berpendapat bahwa artinya adalah; apakah kamu
yakin dan mengetahui secara pasti. Kata khauf (‫ )
ف‬walaupun menurut bahasa
memiliki arti dugaan yang cenderung mengetahui keberadaannya dibanding tidak
adanya, akan tetapi terkadang memiliki arti yakin dan mengetahui.
Abu Ja’far ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan bahwa pendapat yang lebih
utama dari sekian banyak pendapat yang menafsirkan ayat ...........‫ُا‬
ِ ْ ُ ‫
ْـُ َأ‬
ِ ْ‫َوِإن‬
adalah demikian juga, takutla kamu dalam urusan perempuan. Maka janganlah kamu
menikahi perempuan, kecuali kamu tidak merasa khawatir berbuat tidak adil kepada
mereka.64
Menikahi perempuan dari satu sampai empat boleh, namun jika kamu
khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap satu perempuan, maka jangan
menikahinya.
Surat al-Nisa’ ayat: 3 umumnya di pahami melalui pendekatan al-syarth dan
jawab al-syarth. ‫ُا‬
ِ ْ ُ ‫
ْـُ َأ‬
ِ ْ‫ َوِإن‬adalah sebagai syarth. Sedangkan jawab al-syrth
adalah ,
َ -َ ‫ َو ُر‬/
َ َ‫ُـ‬0 ‫&َ َو‬1ْ )َ ‫ ِء‬%َ& ‫' ا‬
َ )( ُ!َ ‫ب‬
َ #َ+#َ) ‫ ْ" ِ! ُا‬#َ. Melalui pendekatan tersebut
diperoleh dua pemahaman dari ayat. Pertama, jika kamu takut akan menzalimi anak
yatim manakala kamu menikahi ibu mereka, maka nikahilah orang lain saja, dua,
64
Imam Zaki al-Barudi, Tafsir al-Qur’an Wanita (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2004),311.
57
tiga, dan empat. Kedua, jika kamu takut menzalimi anak yatim, maka menikahlah
dengan perempuan lain saja dua, tiga atau sampai empat.65
Ayat 3 tersebut dapat juga di pahami melalui pendekatan shifat maushuf
َ -َ ‫ َو ُر‬/
َ َ‫ُـ‬0 ‫&َ َو‬1ْ )َ
seperti diijtihadkan oleh Muhammad Salman Ghanim bahwa ,
adalah shifat. Lafaz ‫ ِء‬%َ& ‫ ا‬pada ayat itu adalah maushufnya. Dengan pendekatan
shifat maushuf ini, diperoleh pemahaman bahwa jika kamu takut menzalimi atau
tidak bisa berbuat adil kepada anak yatim, maka kawinilah perempuan-permpuan
(ibu-ibu) yang mempunyai anak yatim. Makna ini di dukung dan di kuatkan lagi
dengan ayat lain dalam al-Qur’an sebagai realisasi pemahaman integral atas alQur’an.66
Menurut Ibnu Arabi dalam Tafsirnya berpendapat bahwa kata ‫و‬
َ /
َ َ‫ُـ‬0 ‫&َ َو‬1ْ )َ
,َ -َ ‫ ُر‬terkadang di salah artikan oleh orang-orang yang tidak tahu. Berdasarkan ayat
tersebut mereka membolehkan menikahi perempuan hingga sembilan. Mereka tidak
tahu bahwa kata matsna dalam bahasa arab memiliki arti dua dan dua kali.
Sedangkan tsulatsa memiliki arti tiga dua kali. Kata ruba’a ungkapan dari empat dua
kali. Sehingga ketika ketika yang diambil dari ayat tersebut makna yang tersurat,
kemudian di masukkan kedalam makna secara bahasa, terciptala pendapat yang
menyatakan bahwa seorang laki-laki di perbolehkan menikah dengan delapan belas
perempuan.
‫ ا ْ" ِ! ُا‬terdiri dari ‫ح‬#!" ‫ ا‬dan ‫ وا‬. ‫ح‬#!" ‫ ا‬adalah perbuatan fisik dan dapat di
tangkap oleh pancaindera, ia termasuk kajian fiqh amaliyah atau furu`iyah bukan
65
Muhammad Salman Ghonim, Terj. Kamran Asad Irsyadi, Kritik Ortodoksi, Tafsir Ayat Ibadah,
Politik dan Feminisme, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 89.
66
Ibid,190.
58
i`tiqadiyah. ‫ وا‬adalah kata ganti orang kedua jamak, berarti kamu sekalian,
maksudnya orang mukallaf sebagai subyek hukum.
َ )( ُ!َ ‫ب‬
َ #َ+#َ) ‫ ْ" ِ! ُا‬#َ kata ‘ma’ thaba lakun bukan
Alasan kenapa dalam ‫ ِء‬%َ& ‫' ا‬
‘man’ thaba, karena ‘ma’ biasanya di pakai untuk selain manusia. Ada sebagian
pendapat yang mengatakan bahwa maksudnya bukan seperti termaktub dalam kata
tersebu, tetapi maksudnya adalah nikahila dengan nikah yang baik. Oleh karena itu
arti dari ‫ ِء‬%َ& ‫' ا‬
َ )( ُ!َ ‫ب‬
َ #َ+#َ) ‫ ْ" ِ! ُا‬#َ adalah perbuatan, bukan menerangkan
perempuan tertentu. Karenanya firman diatas menggunakan kata ‘ma’ dan bukan
man.
Menurut Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat......... ‫ ِء‬%َ& ‫' ا‬
َ )( ُ!َ ‫ب‬
َ #َ+#َ) ‫ ْ" ِ! ُا‬#َ
nikahilah perempuan yang kamu senangi, selain perempuan yatim. Sedangkan Ibnu
Abas dan ulama’ tafsir lainnya berpendapat bahwa ayat di atas hanya menunjukkan
kebolehan mengambil istri satu sampai empat. Imam Syafi’i berkata: sabda Rsul
adalah sebagai penjelas firman Allah menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi
siapapun, selain Rasul untuk mengambil istri lebih dari empat.
A’isyah meriwayatkan dari Nabi bahwa makna ‫ َ ُُا‬adalah agar kalian tidak
berbuat jahat. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa makna dari kata tersebut adalah
janganlah kalian condong pada salah satu istri kalian pendapat ini merupakan
pendapat Ibnu Abbas, Hasan, Qotadah, Rabi’, Sadi, Ibnu Qutataibah.
Berdasarkan uraian-uraian diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
Pokok pembahasan ayat 3 surat al-Nisa’ itu adalah masalah di sekitar anak
yatim. Poligini dalam ayat tersebut sangat terkait erat, yakni hubungan sebab akibat
59
dengan anak-anak yatim yang kehilangan ayah, sementara ibunya masih hidup dalam
keadaan menjanda. Oleh karena itu kurang tepat bila dengan serta merta ayat tersebut
dianggap sebagai ayat yang membolehkan poligini secara mutlak atau langsung
disebut sebagai ayat poligini.
Berdasarkan al-Qur’an, surat al-Nisa’ ayat 3, dipahami bahwa menikah secara
poligini terbatas adalah solusi daripada menikahi perempuan yatim yang tidak
dibarengi dengan berlaku adil.
Selain sebagai solusi, nikah secara poligini adalah pilihan bersyarat.
Syaratnya berat dan sulit, yakni adil lahir dan batin, bukan karena isteri sakit, cacat,
atau mandul. Perlakuan yang tidak adil menjadi penghalang sahnya berpoligini.
Latar belakang Sosiologis sebab turun ayat tentang poligami, yaitu kebiasaan
prilaku wali anak wanita yatim yang mengawini anak yatimnya dengan tidak adil dan
manusiawi.
Hukum Perkawinan Islam membolehkan bagi seorang suami melakukan
poligini dengan syarat yakin atau menduga kuat mampu berlaku adil terhadap istriistrinya, sebagaimana yang di isyaratkan oleh kata kunci 3 surat al-Nisa’: “maka jika
kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja”.
Kebolehan poligini ini bukan anjuran tetapi salah satu solusi yang diberikan dalam
kondisi khusus kepada mereka (suami) yang sangat membutuhkan dan memenuhi
syarat tertentu.
Makna keadilan sebagai syarat poligini bukan pada keadilan makna batin
(seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat material
dan terukur. Sebagaimana di isyaratkan oleh ayat 129 surat al-Nisa’dan latar
belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (ayat 3 al-Nisa’).
60
Illat hukum kebolehan poligami lebih didorong oleh motivasi sosial dan
kemanusiaan sebagai sarana dakwah sebagaimana yang menjadi latar belakang sebab
turun ayat poligini (ayat 3 al-Nisa’) dan praktek poligini Rasulullah Saw. Bukan
hanya pada motivasi seks dan kenikmatan biologis.
61
BAB III
BIOGRAFI MUHAMMAD SYAHRÛR
A. Sketsa Historis
1. Biografi Intelektual
Muhammad Syahrûr yang selanjutnya disebut Syahrûr merupakan seorang
insinyur berkebangsaan Syiria, lahir tanggal 11 April 1938.67 Sebagai buah
perkawinan dari Deib ibn Deib Syahrûr dan Siddiqah bint Salih Filyun.68
Syiria berada sekitar 80 km dekat Mediterania berada pada daratan tinggi 680
m diatas permukaan laut. Syiria seperti negara-negara Timur Tengah, tercatat sebagai
negara yang memiliki pengaruh luar biasa dalam kanca pemikiran dunia Islam, baik
67
Muhammad Syahrûr, Al-Kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah cet.1 (Damaskus al-Ahali li alThiba’ah wa al-Nasyr, 1990), 654.
68
Muhammad Syahrûr, Al-Islam wa al-Iman; Manzumat al-Qiyam (Damaskus: Al-Ahali, 1996),
halaman persembahan.
61
62
sosial, politik, budaya dan intelektual serta perna mengalami modernitas, khususnya
benturan keagamaan dengan gerakan modenitas Barat.69
Dampak dari modernisasi Turki, Syiria perna menjadi region dari dinasti
Umayah, terbukti melahirkan banyak figur pemikir dari berbagai ragam disiplin ilmu
pengetahuan termasuk yang paling mutakhir adalah Jamal al-Din al-Qasimi (18661914) dan Thahir al-Jaza’iri (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi
keagamaan di Syiria.70
Gagasan al-Qasimi ini selanjutnya diteruskan oleh Thahir al-Jaza’iri beserta
teman-temannya, dan gagasannya lebih mengarah pada upaya pemajuan dalam
bidang pendidikan. Dari situ kemudian akan terlihat bahwa iklim berintelektual di
Syiria setingkat lebih maju di bandingkan negara-negara muslim Arab lainnya yang
masih memberlakukan hukum Islam secara kaku, terutama dalam hal kebebasan
berekspresi. Kondisi demikian menjadikan orang-orang liberalis seperti Syahrûr
dapat dengan leluasa menelorkan ide-ide kreatifnya.71
Salah satu persoalan terbesar dan terus-menerus menjadi agenda dalam
pembaharuan Islam dan kehidupan muslim adalah bagaimana memandang hubungan
antara tradisi dan modernitas. Sikap apapun, baik menolak atau menerima
rekontruksi
keduanya
dalam
kehidupan
kaum
muslim,
tentunya
sangat
mempengaruhi corak pembaharuan yang hendak diadvokasikan.72
69
Damaskus, sumber: http/www.en.wikipedia.orgwikiMuhammad_Shahrur. (diakses pada tanggal 10
Februari, 2008),1.
70
Nugraha Dewanto, “Biografi Muhammad Syahrûr,”, www.mail-archive.comppiindia@yahoogroups.
com msg60918.html - 23k – (diakses pada: 10 Februari 2008),3.
71
Ibid.
72
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir al-Quran Menurut Hasan Hanafi
(Jakarta: Penerbit Teraju, 2002),1.
63
Montgomery Watt dalam bukunya Islamis Fundamentalism and Modernity
menjelaskan bahwa pergulatan pemikiran Islam tidak lain adalah bagaimana Islam
harus membangun citra dirinya (self image of Islam) di tengah realitas dunia yang
senantiasa berubah dan berkembang. Pemikiran Islam modern tidak lepas dari
mainstream agenda besarnya sebagaimana Islam harus berkiprah di tengah gempuran
modernitas. Hal ini kemudian menjadi pekerjaan besar para pemikir Islam untuk
merumuskan dan memberi solusi intelektual terhadap permasalahan tersebut.
Realitas dari solusi tersebut kemudian membawa berbagai aliran pemikiran Islam
seperti modernitas, tradisionalis, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Jabiri.73
2. Latar Belakang Intelektual
Syahrûr mengawali karir intelektualnya pada pendidikan dasar dan menengah
di tanah kelahirannya, tepatnya dilembaga pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi,
Damaskus. Pendidikan menengahnya ia selesaikan pada tahun 1957, dan setelah
menuntaskan pendidikan menengahnya, Syahrûr melanjutkan pendidikannya di
Moskow untuk mempelajari teknik sipil (handasah madaniyah) atas beasiswa
pemerintah setempat.74 Moskow merupakan tempat Syahrûr mulai berkenalan dan
terkesan serta tertantang dengan teori dan praktik Marxis yang terkenal dengan teori
dialektika Materealisme dan Materealisme Historis. Namun demikian, sebagaimana
dikemukakan sendiri pada Peter Clark, ia banyak berhutang budi pada sosok Hegel
dan Alfred North Whitehead. Pada masa itu pula Syahrûr mulai berkenalan dan akrab
dengan tradisi formalisme Rusia, akar tradisinya diadopsi dari struktualisme
73
M. Abid al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, Terj. Ahmad Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000),186.
M.Aunul Abied Shah dan Hakim Taufiq, Tafsir Ayat-ayat Gender dalam Al-Qur’an:Tinjauhan
terhadap Pemikiran Muhammad Syahrûr dalam Bacaan Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2001),237.
74
64
linguistik yang digagas oleh Ferdinal De Saussure. Gelar diploma dalam bidang
tersebut, di raih pada tahun 1964.75
Setelah meraih gelar diploma, Syahrûr kembali ke Syiria untuk mengabdikan
diri sebagai dosen Fakultas Teknik Universitas Damaskus. Syahrûr melanjutkan
studinya di Irlandia, tepatnya di University College. Pada bulan juni tahun itu, terjadi
perang antara Inggris dan Syiria yang mengakibatkan renggangnya hubungan
diplomatik antara dua negara tersebut. Namun hal itu tidak menghambat untuk
segera menyelesaikan studinya. Terbukti ia kembali lagi berangkat ke Dublin untuk
menyelesaikan program master dan doktornya dibidang mekanika pertanahan (soil
mechanics) dan teknik bangunan (foundation engineering), gelar doktor ia peroleh
pada tahun 1972.76
Selain sebagai dosen, pada tahun 1982-1983 M, Syahrûr dikirim kembali oleh
pihak Universitas Damaskus untuk menjadi tenaga ahli pada al-Sa’ud Consult Arab
Saudi bersama beberapa rekannya di Fakultas Teknik membuka biro konsultasi
teknik dar al-Isytisyarat al-Handasiyyah di Damaskus.77
3. Latar Belakang Keagamaan
Pada dasarnya setiap produk pemikiran, intelektual tidak bisa lepas dari
peristiwa atau situasi sosial budaya (historisitas) yang melingkupinya. Dengan kata
lain, suatu kegiatan intelektual atau kontruksi pemikiran yang muncul memiliki relasi
positif dan signifikan antara realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran
dengan berbagai fenomena yang berkembang dimasyarakat.78 Demikian juga Syahrûr
75
Ahmad Fawa’id Sjadzali, “M.Shahrur: Figur Fenomena dari Syiria,” hppt: www.islamlib.com
enpage.phppage=article&id=693 (diakses pada 10 Februari 2008), 2.
76
Ibid.
77
Ibid.
78
Muhammad Syahrûr, Op Cit, 35.
65
yang telah menghasilkan pemikiran tidak dapat dipisahkan dari fenomena
masyarakat muslim yang sedang dalam situasi kebekuan pemikiran dan merebaknya
praktik taqlid dalam menyikapi teks-teks keagamaan. Sebagaimana umumnya
kondisi umat Islam di Timur Tengah khususnya Syiria tempat Syahrûr lahir.
Dengan menggunakan metode linguistik, Syahrûr kemudian membangun
teori batas, yang didasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah yakni al-hanîf dan
al-istiqâmah. Menurut Syahrûr, kata al-hanîf berasal dari kata hanafa yang dalam
bahasa Arab berarti bengkok, melengkung (hanafa); atau bisa pula dikatakan untuk
orang yang berjalan di atas dua kakinya (ahnafa) dan atau berarti orang yang
bengkok kakinya (hanufa). Adapun kata istiqamah, berasal dari kata qaum yang
memiliki dua arti: (1) berdiri tegak (al-intishâb) dan atau kuat (al-‘azm). Berasal dari
kata al-intishâb ini muncul kata al-mustaqîm dan al-istiqâmah, lawan dari
melengkung (al-inhirâf); sedangkan dari al-‘azm, muncul kata al-dîn al-qayyîm
(agama yang kuat dalam kekuasaannya).79
Analisa-analisa linguistik terhadap term al-hanafiyyah dan al-istiqâmah
inilah yang akhirnya mengantarkan pada sebuah ayat dalam Q.S. 6: 161, yang
memaparkan tiga term pokok: al-dân al-qayyîm, al-mustaqîm, dan al-hanîf, yang
nampak sekilas bertentangan, karena memadukan dua hal yang sifatnya
kontradiktif.80
79
Ibid,447.
Redaksi ayat 6: 161 itu selengkapnya berbunyi: Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh
Tuhanku kepada jalan yang lurus (shirât mustaqîm), (yaitu) agama yang benar (dînan qiyaman);
agama Ibrahim yang lurus (millata Ibrâhîm hanîfan); dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orangorang yang musyrik."
80
66
Setelah menganalisa Q.S. 6: 79, Syahrûr memperoleh pemahaman bahwa alhunafâ adalah sifat alami dari seluruh alam.81 Langit, bumi, dan bahan elektron yang
sekecil sekalipun sebagai bagian dari kosmos, bergerak dari garis lengkung. Tidak
ada dari tata alam itu yang tidak bergerak melengkung. Sifat inilah yang menjadikan
tata kosmos itu menjadi teratur dan dinamis. Al-Hanif, dengan demikian adalah
agama yang selaras dengan kondisi ini karena al-hanif, merupakan pembawaan yang
bersifat fitriah. Manusia, sebagai bagian dari alam materi, juga memiliki sifat
perbawaan fitriah ini.
Sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga terjadi. Realitas
masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tradisi sosial,
kebiasaan atau adat. Oleh karena itu, as-shirat al-mustaqim, adalah sebuah
keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Dengan
demikian, as-siratal mustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam
menentukan hukum.
Berangkat dari dua kata kunci di atas, Syahrûr kemudian merumuskan
teorinya yang banyak memancing kontroversi, yaitu teori batas. Syahrûr
menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqâmah, bagaikan kurva
dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu X menggambarkan
zaman atau konteks waktu dan sejarah. Sumbu Y sebagai undang-undang yang
ditetapkan Allah swt. Kurva (al-hanafiyyah) menggambarkan dinamika, bergerak
sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan hukum yang
telah ditentukan Allah SWT (sumbu Y). Dengan demikian, hubungan antara kurva
81
Redaksi ayat 6: 79 berbunyi: "Sesungguhnya aku menghdapkan diriku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (hanîfan), dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."
67
dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik yang tetap dan yang berubah
senantiasa saling terkait. Dialektika adalah kemestian untuk menunjukan bahwa
hukum itu adaptable terhadap ruang dan waktu. Syahrûr kemudian menganalkan apa
yang disebut sebagai teori batas. Ia mengatakan bahwa Allah telah menetapkan
konsep-konsep hukum yang maksimum dan yang minimum, al-istiqamah, dan
manusia bergerak dari dua batasan tersebut, al-hanafiyah (curvature).82
Komarudin Hidayat dalam bukunya Atang dan Jaih Mubarok metologi
penelitian agama Islam menjelaskan tipologi sikap keberagaan umat Islam terdiri
dari: eksklusivisme, inklusivisme, pruralisme, ekletikvitisme, dan universalisme.
Kelima tipologi ini masing-masing tidak terlepas dari yang lain, dan tidak pula
bersifat permanen; tetapi lebih tepat dikatakan sebagai kecenderungan.
1. Eksklusivisme berpandangan bahwa ajaran yang paling benar adalah agama
yang dipeluknya. Agama lain sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya di
konvensi, karena baik agama atau pemeluknya dinilai terkutuk dalam
pandangan Tuhan.
2. Inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang di peluknya, juga
terdapat kebenaran meskipun tidak seutuh dan sesempurna agama yang di
anutnya.
3. Pruralisme berpandangan bahwa secara teologis pruralisme agama di
pandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri sejajar
sehingga semangat misionaris atau dakwa tidak dianggap relevan.
4. Eklektivisme adalah sikap keagamaan yang berusaha memilih dan
mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok
82
Ibid,450-452.
68
untuk dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam
mozaik yang bersifat elektik.
5. Universalisme berpandangan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu
dan sama. Hanya karena faktor historis-antropologis, agama kemudian tampil
dalam format prural.83
Pandangan para pemikir Arab kontemporer (pasca '67) tentang tradisi dan
modernitas, secara umum ada tiga tipologi pemikiran yang mewarnai wacana
pemikiran Arab kontemporer:
Pertama, tipologi transformatik. Tipologi ini mewakili para pemikir Arab
yang secara radikal mengajukan proses transformasi masyarakat Arab-Muslim dari
budaya tradisional-patriarkal kepada masyarakat rasional dan ilmiah. Mereka
menolak cara pandang agama dan kecenderungan mistis yang tidak berdasarkan
nalar praktis, serta menganggap agama dan tradisi masa lalu sudah tidak relevan lagi
dengan tuntutan zaman sekarang. Karena itu, harus ditinggalkan. Kelompok ini
diwakili pertama kali oleh pemikir-pemikir Arab dari kalangan Kristen, seperti Shibli
Shumayl, Farah Antun dan Salamah Musa. Kini, kelompok itu diteruskan oleh
pemikir-pemikir yang kebanyakan berorientasi pada Marxisme seperti Thayyib
Tayzini, Abdullah Laroui dan Mahdi Amil, di samping pemikir-pemikir liberal
lainnya seperti Fuad Zakariyya, Adonis, Zaki Nadjib Mahmud, Adil Daher dan
Qunstantine Zurayq.84
Kedua adalah tipologi reformistik. Jika pada kelompok pertama metode yang
diajukan adalah transformasi sosial, pada kelompok ini adalah reformasi dengan
83
84
Atang
Ibid.
69
penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan lebih cocok dengan tuntutan zaman.
Kelompok ini lebih spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan.
Pertama, para pemikir yang memakai metode pendekatan rekonstruktif, yaitu,
melihat tradisi dengan perspektif pembangunan kembali. Maksudnya, agar tradisi
suatu masyarakat (agama) tetap hidup dan bisa terus diterima, maka harus dibangun
kembali secara baru (i'adah buniyat min jadid) dengan kerangka modern dan
prasyarat rasional. Perspektif ini berbeda dengan kelompok tradisionalis yang lebih
memprioritaskan metode "pernyataan ulang" (restatement, reiteration) atas tradisi
masa lalu. Menurut yang terakhir ini, seluruh persoalan umat Islam sebenarnya
pernah dibicarakan oleh para ulama dulu, karena itu, tugas kaum Muslim sekarang
hanyalah menyatakan kembali apa-apa yang pernah dikerjakan oleh pendahulu
mereka.
Pada akhir abad kesembilan belas dan awal-awal abad kedua puluh,
kecenderungan berpikir rekonstruktif diwakili oleh para reformer seperti al-Afghani,
'Abduh dan Kawakibi. Pada era sekarang, kecenderungan tersebut dapat dijumpai
pada pemikir-pemikir reformis seperti Hassan Hanafi, Muhammad Imarah,
Muhammad Ahmad Khalafallah, Hasan Saab dan Muhammad Nuwayhi.85
Kecenderungan kedua dari tipologi pemikiran reformistik adalah penggunaan
metode dekonstruktif. Metode dekonstruksi merupakan fenomena baru untuk
pemikiran Arab kontemporer. Para pemikir dekonstruktif terdiri dari para pemikir
Arab yang dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis dan beberapa tokoh
post-modernisme lainnya, seperti Levi-Strauss, Lacan, Barthes, Foucault, Derrida
dan Gadamer. Pemikir garda depan kelompok ini adalah Mohammed Arkoun dan
85
Ibid.
70
Mohammed Abid Jabiri. Pemikir lain yang sejalan dengan Arkoun dan Jabiri adalah
M. Bennis, Abdul Kebir Khetibi, Salim Yafut, Aziz Azmeh dan Hashim Shaleh.
Kedua kecenderungan dari tipologi reformistik ini mempunyai tujuan dan
cita-cita yang sama, hanya saja metode penyampaian dan pendekatan masalah
mereka yang berbeda. Tidak seperti kelompok transformatik yang sangat radikal,
para pemikir dari kalangan reformistik masih percaya dan menaruh harapan penuh
kepada turâts. Tradisi atau turâts menurut mereka tetap relevan untuk era modern
selama ia dibaca, diinterpretasi dan di pahami dengan standar modernitas.
Kelompok ketiga adalah tipologi pemikiran ideal-totalistik.Ciri utama dari
tipologi ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat
totalistik. Kelompok ini sangat committed dengan aspek religius budaya Islam.
Proyek peradaban yang hendak mereka garap adalah menghidupkan kembali Islam
sebagai agama, budaya dan peradaban. Mereka menolak unsur-unsur asing yang
datang dari Barat, karena Islam sendiri sudah cukup, mencakup tatanan sosial, politik
dan ekonomi.86
Menurut kelompok pemikir dari tipologi ini, Islam tidak butuh lagi kepada
metode dan teori-teori import dari Barat. Mereka menyeru kepada keaslian Islam (alashlah), yaitu Islam yang pernah dipraktekkan oleh Nabi dan keempat Khalifahnya.
Para pemikir yang mewakili tipologi ideal-totalistik ini, tidak percaya baik kepada
metode transformasi maupun reformasi, karena yang dituntut oleh Islam menurut
mereka adalah kembali kepada sumber asal (al-awdah ila al-manba) yaitu al-Qur'an
dan al-Hadits.87
86
87
Ibid.
Ibid.
71
Dalam banyak hal, metode, pendekatan mereka kepada turâts dapat
disamakan dengan kaum tradisionalis. Kendati demikian, mereka tidak menolak
pencapaian modernitas, karena apa yang telah diproduksi oleh modernitas (sains dan
teknologi) tidak lebih dari apa yang pernah dicapai oleh kaum Muslim pada era
kejayaan dulu. Para pemikir yang mempunyai kecenderungan berpikir ideal-totalistik
adalah para pemikir-ulama seperti M.Ghazali, Sayyid Quthb, Anwar Jundi,
Muhammad Quthb, Said Hawwa dan beberapa pemikir Muslim yang berorientasi
pada gerakan Islam politik.
Berdasarkan pemaparan tipologi pemikiran para tokoh diatas, maka menurut
Peter Clak dalam tulisanya The Shahrur Phenomenon:A Liberal Islamic Voice from
Syria Syahrûr termasuk kedalam tipologi transformatik hal ini di dasarkan
pengakuanya kepada Peter bahwa ia berhutang terhadap pemikirannya Hegel.88
Dialektika yang ditawarkan oleh Syahrûr jika dilacak lebih jauh ternyata
bukan barang baru dan juga bukan pemikiran murni Syahrûr. Istilah ini telah dikenal
sebelumnya digunakan dan dalam konteks dan pengertian yang berbeda-beda dalam
setiap tokoh. Dalam sejarah pemikiran manusia, orang pertama yang menggunakan
istilah ini adalah Sokrates, seorang filusuf Yunani sebelum Plato. Dalam pemaknaan
klasik ala Sukrates, dialektika diartikan sebagai sebuah metode untuk menemukan
kebenaran dengan dialog. Ini sesuai dengan asal kata dari dialektika ini, yaitu dari
bahasa Yunani dealegistasi yang artinya adalah bercakap-cakap atau berdialog.
Metode ini adalah dengan membenturkan sebuah ide melalui proses dialog antara
dua pandangan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
88
Peter Clack, “The Shahrur Phenomenon: ALiberal Islamic Voice from Syria” www.wluml.Orgeng
lishpubsfulltxt. shtmlcmd%5B87%5D=i-87-2663-32k–(diakses pada: 22 Maret 2008),2.
72
Kemudian pada tahapan selanjutnya dialektika ini digunakan oleh Hegel dan
dijadikan sebagai teori untuk menjelaskan sejarah. Dialektika yang dikembangkan
Hegel bercorak idealis dengan mengadakan gerak sejarah sebagai perkembangan ide
dan pikiran. Ditangan Hegel dialektika ini di jadikan sebagai metode untuk
menggambarkan pola perkembangan ide dan pikiran yang terus menerus akan
mengarah kepada bentuk yang lebih sempurna.89
Menurut Hegel, proses perkembangan pemikiran melalui pola dialektika yang
secara praktis melalui tahapan tesis, antitesis, dan sintesis. Tesis adalah ide pertama
yang menjadi preposisi pertama yang dari tesis ini kemudian memunculkan sesuatu
yang menjadi lawannya, yaitu anti tesis. Dua yang berlawanan ini (tesis dan antitesis)
kemudian menjadi proses interaksi secara terus menerus yang kemudian
memunculkan apa yang istilahkan oleh Hegel dengan sintesis. Sintesis ini adalah
tesis lain yang muncul setelah terjadinya konflik antara dua yang berlawanan yang
kemudian menghasilkan sebuah kompromi antara keduanya. Namun sintesis ini pada
tahapan selanjutnya muncul sebagai tesis baru yang memunculkan antitesis yang
lebih tinggi dari dua yang pertama. Dari keduanya juga muncul sintesa baru yang
lebih tinggi dari yang sebelumnya, demikian seterusnya.
Pada abad ke 17 Karl Marxs mengambil dialektika Hegel sebagai landasan
untuk merumuskan filsafat materialismenya. Marxs mengadakan modifikasi terhadap
dialektika Hegel yang bersifat ideal, untuk menjelaskan bagaimana sejarah manusia
merupakan proses yang bertumpu pada persaingan ekonomi dan pertarungan kelas.
Menurut Marx, sejarah tidak bisa digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat ideal
89
Ibid.
73
sebagaimana dalam pandangan Hegel, akan tetapi sejarah digerakkan oleh kekuatan
ekonomi dalam masyarakat.
B. Kegiatan, Karir dan Karya-karya Muhammad Syahrûr
Pada tahun 1972 Syahrûr secara resmi menjadi staf pengajar di Universitas
Damaskus. Meski disiplin utama ilmunya pada bidang teknik, namun tidak
menghalanginya untuk mendalami disiplin ilmu yang lain seperti filsafat.
Sebagaimana diakuinya, buku yang di tulisnya di susun kurang lebih dua
puluh tahun, tepatnya mulai tahun 1970-1990. Dalam pengantar bukunya, Syahrûr
menjelaskan proses penyusunan buku tersebut pada tiga tahapan, yakni:
Tahapan pertama: tahun 1970-1980, masa ini diawali ketika berada di
Universitas Dublin Irlandia. Masa ini merupakan masa pengkajian (muraja’at) serta
peletakan dasar awal metodologi pemahaman al-Dzikir, al-Kitab, al-Risalah, alNubuwwah baik metodologi, istilah-istilah pokok maupun tentang risalah dan
kenabian. Kajian selama sepuluh tahun ini kemudian membawanya pada realitas
asasiyyah bahwa Islam tidak seperti kajian awal yang hanya bersifat taqlidi, karena
tidak dapat menghadirkan produk pemikiran masa lalu kepada masa kini dengan
segala problematikanya. Karena itu, ia menegaskan perlunya umat Islam
membebaskan diri dari bingkai pemikiran yang taqlidi.90
Tahapan kedua:1980-1986, masa ini merupakan masa yang penting dalam
pembentukan “kesadaran linguistik”nya untuk membaca kitab suci. Pada masa ini ia
dan Ja’far yang lulus gelar doktornya dalam bidang bahasa (al-lisaniyyah) tahun
1973 di Universitas Moskow. Melalui Ja’far itulah, Syahrûr banyak di perkenalkan
pemikiran linguis Arab semisal al-Farra’, Abu Ali al-Farisi dan Ibnu Jinny, serta al90
Muhammad Syahrûr, Op Cit. 46.
74
Jurjani. Melalui tokoh-tokoh tersebut, Syahrûr memperoleh tesis tentang “tidak
adanya sinonimitas (adamu al-taraduf) dalam bahasa”. Sejak tahun 1984, Syahrûr
mulai menulis pikiran-pikiran penting yang diambil dari ayat-ayat yang tertuang
dalam kitab suci. Melalui diskusi dengan Ja’far, Syahrûr berhasil mengumpulkan
pemikirannya yang masih terpisah-pisah. Tahun 1984-1986, ia mengkaji pemikiranpemikiran pokok yang terkait dengan al-Quran bersama Ja’far.91
Tahap ketiga: 1986-1990, Syahrûr mulai mengumpulkan hasil pemikirannya
yang masih berserakan. Hingga tahun 1987, Syahrûr telah berhasil merampungkan
bagian pertama yang berisi gagasan-gagasan dasarnya. Setelah itu, bersama Ja’far,
Syahrûr berhasil menyusun “hukum dialektika umum” yang ia bahas di bagian kedua
buku tersebut.
Pada tahun 1994, al-Ahali Publishing House kembali menerbitkan karya
kedua Syahrûr yaitu Dirasat al-Islamiyat al-Mu’ashirah fi al-Daulah wa alMujtama’. Buku ini secara spesifik menguraikan tema-tema sosial politik yang
terkait dengan persoalan warga negara (civil) maupun negara (state). Secara
konsisten, Syahrûr menguraikan tema-tema tersebut dengan senantiasa terikat pada
tawaran rumusan teoritis sebagaimana termaktub dalam buku pertamanya.
Selain itu pada tahun 1995, Syahrûr mengeluarkan karyanya dengan tajuk
Qira’ah Mu’ashirah al-Qur’an fil Mizan, yang dicetak oleh penerbit: Darunafais
Bairut: Libanon, pada tahun 1996, Syahrûr mengeluarkan karyanya dengan tajuk
Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam dengan penerbit yang sama. Buku ini
mencoba mendekontruksi konsep klasik mengenai pengertian dan pilar-pilar Islam
91
Ibid, 47.
75
dan Iman. Kajian-kajiannya diarahkan pada penelaahan terhadap ayat-ayat yang
termaktub dalam kitab suci dengan rumusan teoritis yang ia bangun.
Selain karyanya yang berbentuk buku Syahrûr juga banyak menulis artikel
yang lebih pendek dibeberapa majalah dan jurnal, seperti: Islam and the 1995 Beijing
World Conference on Women, dalam Kuwaiti Newspaper, yang kemudian diterbitkan
dalam buku liberal Islam: a Sourcebook (1998), The Devine Texs and Pluralism in
Muslim Societies, dalam Muslim Politic Report, selanjutnya “Mitsaq al-Amal alIslamy” (1999) yang diterbitkan oleh al-Ahali Publishing House, dalam bahasa
Inggris diterjemahkan oleh Dale F.Eickelman dan Islamil S. Abu Shehadeh dengan
judul “Proposal for an Islamic Covenant” (2000). Selain itu, ia sering
mempresentasikan pokok-pokok pikirannya tentang al-Quran kaitannya dengan
masalah-masalah sosial politik, seperti hak-hak wanita, pluralisme dalam konferensi
internasional.92
C. Konstruksi Metodologi Muhammad Syahrûr
Metodologi dipahami sebagai bagian dari epistimologi yang mengkaji
serangkaian langkah-langkah yang ditempuh guna memperoleh pengetahuan yang
bersifat ilmiah. Pembahasan mengenai metodologi tidak bisa dilepaskan dari asumsiasumsi yang memasuki wilayah apriori, dugaan mendahului pengalaman. Karenanya
metode sangat terkait dengan epistimologi dan tidak dimaksudkan sebagai langkahlangkah metodis.93
Kontruksi metodologi yang ditawarkan Syahrûr dalam membaca al-Kitab
adalah metode ilmiah (science). Untuk mengetahui metodologi yang digunakan
92
Sahiron Samsuddin, Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrûr dalam Penafsiran al-Quran
dalam Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin (Ed), Studi al-Quran Kontemporer (Yogyakarta:
PT.Tiara Wacana, 2002),132.
93
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001),107.
76
Syahrûr dalam ‘membaca ulang’ al-Qur’an, penting untuk melihat terlebih dahulu
basis epistemologis apa yang dikemukakannya dalam bagian pendahuluan dari
karyanya al-Kitâb wa al-Qur’ân.
Pertama, permasalahan mendasar dalam filsafat adalah persoalan hubungan
antara kesadaran akal (ide) dan materi (wujud konkrit). Menurutnya sumber
pengetahuan manusia adalah alam materi yang berada di luar diri manusia. Ini berarti
pengetahuan yang sesungguhnya bukanlah semata-mata bentuk pikiran, akan tetapi
sesuatu yang terdapat padanannya di dalam realitas empiris (konkrit). Bertolak dari
asumsi ini, Syahrûr menolak aliran idealisme yang mengklaim pengetahuan manusia
sekedar pengulangan-pengulangan pikiran-pikiran yang ada dalam dunia ide.
Keyakinan ini didasarkan atas Q.S. an- Nahl: 78 yang menunjukkan bahwa Allah
telah mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan tidak tahu, kemudian
Dia berikan kepadanya pendengaran, penglihatan, dan akal.94
Kedua, bertolak dari pandangan bahwa pengetahuan manusia berasal dari
luar dirinya tersebut, ia menawarkan filsafat Islam modern yang didasarkan atas
pengetahuan yang bertolak dari hal-hal yang konkrit yang dapat dicapai oleh indera
manusia terutama pendengaran dan penglihatan untuk mencapai pengetahuan teoritis
yang murni (benar). Ia menyerukan penolakan terhadap pengetahuan yang
didasarkan atas ilham (al isyrâqiyyah al ilâhiyyah) yang hanya dimiliki oleh ahl
kasyf atau ahl Allah.95
Ketiga, bahwa manusia dengan kemampuan akalnya mampu menyingkap
seluruh misteri alam, hanya saja membutuhkan tahapan-tahapan tertentu. Karena
94
M.Zainal Abidin, “Reformulasi Islam dan Iman: Kembali kepada Tanzil Hakim dalam Perspektif
Muhammad Syahrûr,” Jurnal Millah Vol. III No. 1 Agustus, 2001),7.
95
Ibid.
77
keseluruhan alam bersifat empirik-materialis termasuk yang selama ini dianggap
sebagai ruang hampa. Karena kehampaan atau kekosongan tidak lain merupakan
salah satu bentuk dari materi itu sendiri.96
Keempat, bahwa pemikiran manusia mula-mula berupa pemikiran yang
terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh pendengaran dan penglihatan saja,
kemudian meningkat hingga mencapai pemikiran murni yang bersifat umum. Oleh
karena itu, alam nyata merupakan permulaan bagi alam materi yang dapat dikenal
oleh indera manusia. Pengetahuan manusia akan terus bertambah hingga mencapai
hal-hal yang hanya dapat ditangkap oleh akal. Menurut Syahrûr alam nyata dan alam
gaib sama-sama merupakan materi. Perkembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini
baru mencapai hal-hal yang konkrit di alam nyata, ia akan terus berkembang hingga
mencapai hal-hal yang berada dalam wilayah gaib. Hanya saja sampai saat ini hal itu
belum terwujud.97
Kelima, tidak ada pertentangan antara al-Qur’ân dan filsafat yang merupakan
induk ilmu pengetahuan. Karenanya, dalam kerangka ini proses penta’wilan alQur’ân tepat dilakukan oleh orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan (alrâsikhûna fî al-‘ilm), sebab kemampuan mereka dalam mengajukan argumentasi dan
data-data ilmiah.98
Keenam, bahwa alam diciptakan dari materi, bukan dari ketiadaan. Hanya
saja sifat materi tersebut berbeda dengan yang ada sekarang dan nantipun akan
96
Ibid,43.
Ibid.
98
Ibid.
97
78
diganti dengan materi yang berbeda pula, yakni alam lain yang dikenal sebagai alam
akherat.99
Berangkat dari dasar-dasar epistemologis yang dibangunnya di atas, Syahrûr
kemudian menawarkan satu model pembacaan yang menurutnya baru terhadap alKitâb, yaitu suatu pembacaan yang dilandasi dengan prinsip-prinsip metodologis
sebagai berikut:
Pertama, kajian menyeluruh dan mendalam terhadap bahasa Arab (al-lisân
al-‘arabi) dengan berlandaskan kepada metode linguistik Abu Ali al-Farisi yang
tercermin dalam pandangan dua tokohnya, yaitu Ibn Jinni dan Abd al-Qâhir alJurjânî, disamping menyandarkan kepada syair-syair jahili.100
Kedua, memperhatikan temuan-temuan baru dalam wacana linguistik
kontemporer yang pada prinsipnya menolak adanya sinonimitas dalam bahasa, tetapi
tidak sebaliknya. Artinya, dalam perkembangannya, satu kata bisa saja hilang atau
bahkan membawa makna baru. Syahrûr melihat kecenderungan ini tampak dengan
jelas dalam bahasa Arab. Selanjutnya, Syahrûr menganggap mu’jam Maqâyis alLughâh karya al-Farisi sebagai pilihan paling tepat untuk dijadikan rujukan, karena
al-Farisi menolak adanya kata-kata sinonim di dalam bahasa.101
Ketiga, dengan asumsi bahwa al-Qur’an senantiasa relevan pada setiap waktu
dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân), maka dalam generasi penerus harus
memperlakukan kitab suci sebagai totalitas wahyu yang baru saja diturunkan dan
dengan asumsi bahwa seolah-olah Nabi Muhammad baru saja wafat. Sikap seperti ini
akan mengarahkan pemahaman umat Islam terhadap al-Kitâb selalu kontekstual
99
Ibid.
Ibid, 44.
101
Ibid.
100
79
relevan dalam segala situasi dan kondisi apapun. Sejalan dengan sikap ini, umat
Islam harus melakukan desakralisasi terhadap semua produk tafsir yang telah
dihasilkan oleh ulama terdahulu, karena pada hakikatnya yang sakral hanyalah teks
kitab suci itu sendiri.102
Keempat, Allah tidak punya kepentingan untuk mendapatkan petunjuk dan
mengenal diri-Nya sendiri, maka itu Al-Kitâb adalah wahyu Allah yang hanya
diperuntukan bagi umat manusia, yang sudah pasti bisa dipahami oleh manusia
sesuai kemampuan akalnya. Selama al-Kitâb menggunakan bahasa sebagai media
pengungkap, maka tidak terdapat satu ayatpun yang tidak bisa dipahami oleh
manusia. Karena antara bahasa dan pikiran tidak terjadi keterputusan.103
Kelima, dalam beberapa ayat, Allah mengagungkan peran akal manusia,
sehingga bisa dipastikan tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, juga tidak
ada pertentangan antara wahyu dan realitas.104
Keenam, penghormatan terhadap akal manusia harus lebih diutamakan dari
pada penghormatan terhadap perasaannya. Dengan kata lain, ijtihad-ijtihad Syahrûr
lebih berorientasi pada ketajaman nalar ketimbang sensitivitas perasaan orang.105
Dari paparan di atas bisa diketahui bahwa latar pendidikan dalam bidang sains
yang dimiliki Syahrûr ternyata memiliki pengaruh kuat, yang membuatnya
senantiasa mengedepankan sifat-sifat empiris, rasional, dan ilmiah. Secara sederhana
bisa dijelaskan bahwa metode yang digunakan Syahrûr adalah analisis kebahasaan
(linguistic analysis) yang mencakup kata dalam sebuah teks dan struktur bahasa,
yang disebutnya metode historis ilmiah studi bahasa (al-manhaj al-târîkhy al-ilmy fi
102
Ibid.
Ibid, 45.
104
Ibid.
105
Ibid.
103
80
al-dirâsah al-lughâwiyyah). Bahwa makna kata dicari dengan menganalisis kaitan
atau relasi suatu kata dengan kata lain yang berdekatan atau berlawanan. Kata tidak
mempunyai sinonim (murâdif). Setiap kata memiliki kekhususan makna, bahkan bisa
memiliki lebih dari satu makna. Penentuan makna yang tepat sangat bergantung pada
konteks logis kata tersebut dalam suatu kalimat (shiyâgh al-kalâm). Dengan kata
lain, makna kata senantiasa dipengaruhi oleh hubungan secara linear dengan katakata yang ada di sekelilingnya.106
Dengan bahasa yang berbeda bisa dikatakan bahwa Syahrûr dalam mengkaji
ayat-ayat al-Qur’ân menggunakan pendekatan filsafat bahasa, dengan meneliti secara
mendalam kata-kata kunci yang terdapat pada setiap topik bahasan, baik melalui
pendekatan sintagmatis maupun paradigmatik. Pendekatan sintagmatis memandang
makna setiap kata pasti dipengaruhi oleh kata-kata sebelum dan sesudahnya yang
terdapat dalam satu rangkaian ujaran. Dengan pendekatan ini, suatu konsep terma
keagamaan tertentu bisa dideteksi dengan memahami kata-kata disekeliling terma
tersebut. Adapun pendekatan paradigmatik memandang bahwa suatu konsep terma
tertentu tidak bisa dipahami secara komprehensif, kecuali apabila konsep tersebut
dihubungkan dengan konsep terma-terma lain, baik yang antonim maupun yang
berdekatan maknanya.107
1. Turâts, Moderitas dan Realitas Masyarakat Islam
Persoalan mendasar yang mendorong Syahrûr untuk melakukan kajian
keislaman, secara global dapat dibedahkan dalam dua dimensi yang saling terkait:
pertama realitas masyarakat Islam kotemporer, kedua realitas doktrin dan turâts
106
Ibid, 196.
Sahiran Syamsudin, “book revew al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah,”Jurnal Al-Jami’ah,
(1998), 220-221.
107
81
dalam Islam.108 Syahrûr melihat bahwa masyarakat kontemporer telah terpolarisasi
ke dalam dua blok:
Pertama aliran Skripturalis-Literalis adalah mereka berpegang secara ketat
pada arti literal dan tradisi. Mereka berkeyakinan bahwa warisan tersebut
menyimpan kebenaran absolut. Apa yang cocok dengan komunitas pertama zaman
Nabi cocok pada semua orang beriman di zaman apa pun. Kepercayaan ini menjadi
final dan absolut.
Kedua, mereka yang cenderung menyeruhkan sekularitas dan modernitas,
menolak semua warisan termasuk al-Quran sebagai bagian tradisi yang diwarisi,
yang hanya menjadi pengaruh pada pendapat umum. Bagi mereka ritual merupakan
gambaran dari ketidakjelasan. Pemimpin kelompok ini adalah kaum Marxis, komunis
dan beberapa kaum nasionalis Arab.109
Menurut Syahrûr, semua kelompok tersebut telah gagal memenuhi janji untuk
menyediakan modernitas kepada masyarakatnya. Kegagalan kedua kelompok ini
memunculkan kelompok ketiga, dimana Syahrûr mengklaim dirinya berdiri di
kelompok ini, yaitu mereka yang menyerukan kembali kepada at-Tanzil, teks asli
yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi dalam paradigma baru.110
Hal itu juga dilakukan oleh Laroui menolak pendekatan yang dilakukan baik
oleh kaum tradisionalis (salafi) maupun modernis (sekular). Menurutnya, kelompok
tradisionalis melihat turâts secara ahistoris (la tarikhi). Kesalahan mereka adalah
menganggap turâts sesuatu yang suci, yang cocok untuk setiap zaman dan segala
108
M. In’am Esha, M. Syahrûr: Teori Batas, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Penerbit
Jendela, 2003), 299.
109
Sahiron Syamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur’an Madzab Jogya, (Yogyakarta: Islamika dan
Forstudia,2003), 255-267.
110
Ibid.
82
kondisi. Padahal jelas-jelas bahwa kondisi kini dan masa lalu berbeda. Begitu juga
kaum modernis, dalam pandangan Laroui, mereka hanyalah penganut eklektis yang
memilih-milih elemen dan unsur tertentu dari budaya Barat, budaya orang lain. Sikap
seperti ini tidak akan memperbaiki kondisi bangsa Arab, malah akan menjadikan
bangsa itu terus bergantung kepada Barat. Kedua kelompok tersebut, menurut
Laroui, tidak mengerti kondisi sosial bangsa Arab, sehingga mereka hidup terpisah
dari lingkungan dan masyarakat. Satu ekstrim ingin menjadikan masa lalu sebagai
model kemajuan, sementara ekstrim lainnya ingin menjadikan orang lain (Barat)
sebagai model yang lain. Kedua-duanya-mengambil masa lalu atau mengambil orang
lain-adalah tindakan yang tidak kreatif.111
Salah satu konsep dasar modernisme adalah suatu pemikiran terkait pada
tempat atau kondisi dimana pemikiran itu berkembang, dan berkaitan pula dengan
zaman atau waktu ketika pemikiran itu muncul. Bertitik tolak dari konsep tersebut,
modernisme menganggap bahwa pemikiran keagamaan lampau adalah kondisional,
sehingga harus dikembangkan dan dijadikan modern. Alasan pokok yang
dikemukakan oleh modernisme adalah pemikiran klasik berkembang pada zaman
yang telah lampau, sehingga tidak sejalan dengan orientasi-orientasi modern.112
Realitas historis menunjukkan bahwa setiap generasi memberikan interpretasi
pada al-Qur’an sesuai dengan realitas dan tujuan modern yang melingkupinya.
Karena al-Qur’an adalah dokumen dari Tuhan untuk umat manusia, di dalamnya
terdapat untaian kalimat yang mengandung nilai-nilai hudan (petunjuk). Keabadian
al-Quran bukan terletak pada ketentuan harfiyahnya, namun terletak pada jiwa yang
111
Ibid.
Bustani Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaharuan Agama antara Modernismr dan Tajdiddudin,
(Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah, 1995),233.
112
83
melandasinya.113 Konsekuensinya, hasil interpretasi al-Quran generasi awal,
tradisional, tidak lagi mengikat masyarakat muslim modern. Lebih jauh, Syahrûr
mengatakan bahwa muslim modern karena kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan,
mempunyai perangkat pemahaman dalam memaknai al-Quran yang lebih baik di
bandingkan dengan muslim pendahulu pada masa klasik dan tengah.
Menurut Syahrûr, realitas historis tindakan manusia pada abad ke 7, ketika alKitab tersebut turun, merupakan salah satu bentuk respon yang bersifat final. Semua
tindakan tersebut mengandung nilai turâts kecuali aspek ibadah, hudud, dan as-sirat
al-mustaqim yang tidak terikat ruang dan waktu. Begitu juga yang dilakukan oleh
Nabi tidak lain adalah salah satu bentuk model dari penafsiran al-Kitab yang sesuai
dengan konteks space dan time beliau.
Sebuah teori mengatakan bahwa setiap kegiatan intelektual yang memancar
dari suatu kegelisahan tidak dapat di pisahkan dari problematika sosial yang
melingkupinya. Dengan kata lain, sebuah konstruk pemikiran yang muncul memiliki
relasi signifikan dengan realitas sosial sebagai respon dan dialektika pemikiran
dengan berbagai fenomena yang berkembang di masyarakat. Syahrûr dalam
memunculkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keislaman, tidak lepas
dari teori ini. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan
dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer.114
Beberapa permasalahan yang menggelisahkan dalam kaitannya dengan
doktrin dan turâts Islam secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
113
Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama Membongkar Doktrin yang
Membatu, (Jakarta: Penerbit buku Kompas, 2001), 91.
114
Ibid, 300.
84
1. Adanya pengeksporan produk masa lalu untuk menghukumi persoalanpersoalan kekinian, contoh: dalam kasus perempuan, banyak pemikiranpemikiran yang muncul hanya pengekoran terhadap pemikiran-pemikiran
masa lalu dan hal itu diklaim sebagai suatu yang ilmiah. Kajian-kajian itu
tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melaikan memperkuat asumsi yang
dianutnya. Kaitannya dengan fiqih, Syahrûr memberikan kritik bahwa sudah
waktunya di tawarkan fiqih Islam dengan menggunakan metode baru
sehingga kita tidak terkebiri hanya kedalam paradigma al-fuqoha’ al
khomsah.
2. Tidak adanya petunjuk metodologis dalam pembahasan ilmiah tematik
terutama kaitannya dengan teks suci keagamaan seperti ayat-ayat yang di
wahyukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Ini bisa di pahami bahwa
kecenderungan yang muncul di kalangan muslim adalah perasaan ragu-ragu
dan takut ketika berhadapan dengan pengkajian teks suci. Padahal syarat
utama dalam pembahasan ilmiah adalah memandang sesuatu secara objektif,
tanpa pretensi dan simpati yang berlebihan serta menjauhkan dari sikap ragu.
3. Tidak adanya pemahaman sekaligus interaksi terhadap filsafat humanisme
yang notabene dianggap tidak Islami. Hal ini disebabkan karena orang Islam
masih terjangkit “penyakit” dualisme pengetahuan, antara Islam dan non
Islam. Padahal yang terpenting adalah bagaimana umat itu secara selektif
mampu mengambil dan berinteraksi terhadap produk-produk dan pemikiran
humaniora non agama tersebut. Inilah menurut Syahrûr yang menyebabkan
kemandulan pemikiran umat Islam. Mereka hanya bangga terhadap pemikiran
85
masa lalu dan yang lebih para lagi adalah tidak bisa lepas lagi dari
kecenderungan fanatisme sempit.
4. Adanya krisis ilmu fiqih di kalangan umat muslimin disebabkan adanya
tuntutan moderitas, dalam artian bahwa berbagai produk fiqih yang ada
sekarang sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas, yang di
perlukan adalah formulasi fiqih baru, kegelisahan seperti ini sebenarnya
sudah muncul dari para kritikus, tapi pada umumnya hanya berhenti pada
kritik tanpa menawarkan alternatif baru.115
2. Dialektika Tradisi dan Modernisme
Syahrûr dalam konstruksi pemikirannya tidak lepas dari paradigma yang
dianutnya terutama dengan tradisi dan modernisme. Turâts di maknai sebagai
produk-produk yang ditinggalkan generasi salaf untuk generasi khalaf yang
memberikan landasan di dalam pembangunan kepribadian generasi khalaf, berupa
cara berfikir maupun cara hidup.116 Dari pemahaman ini Syahrûr menyatakan bahwa
turâts tidak lain adalah buatan manusia dan produk kesungguhannya dalam realitas
perjalanan sejarahnya sendiri.117
Al-Mu’ashirah merupakan interaksi manusia dengan produk pemikiran
kontemporer yang juga merupakan hasil dari manusia. Umat Islam dalam hal ini
harus dapat mengadopsi perkembangan-perkembangan pengetahuan kontemporer
sehingga tidak terjebak pada pengunggulan pengetahuan masa lalu. Interaksi dengan
pengetahuan kontemporer ini akan memungkingkan adanya pengayaan perangkat
115
Ibid, 30-32.
Ibid.
117
Ahmad Zaki Mubarok, Op.Cit, 145.
116
86
metodologi dalam pengembangan pengetahuan keagamaan yang sejalan dengan
fenomena kekinian.118
Berdasar pengetahuannya tentang turâts dan al-mu’ashirah tersebut, Syahrûr
kemudian menariknya pada fenomena al-Kitab, apakah termasuk turâts atau bukan?
Syahrûr melihat ini secara sekilas adalah dilematis. Al-Qur’an apabila dimasukan
sebagai turâts berarti merupakan ciptaan Muhammad dan bersifat partikular terkait
dengan konteks Arab dan masa abad ke tujuh saja, sehingga tidak akan lagi sesuai
dengan situasi dan kondisi sekarang. Padahal al-Quran sendiri adalah kitab yang
bersifat universal dan dipelihara oleh Allah sehingga selalu bersifat salikhu li kuli
zaman wa makan.
Berdasarkan teori ini, Syahrûr memahami bahwa al-Quran memiliki dimensi
kemuthlakan transenden sekaligus kenisbian profan. Dimensi kemuthlakan
transenden menjadikan al-Quran bersifat salik likuli zaman wa makan dan tidak
berubah, sedangkan dialektika pemaknaan dan penafsiran manusia setiap kurun dan
waktu tertentu terhadapnya merupakan dimensi nisbi profannya.
D. Model Penafsiran Muhammad Syahrûr
Syahrûr menegaskan bahwa harus dibedahkan antara aktifitas qira’ah dan
aktivitas tilawah. Kata qira’ah berasal dari kata qara’a yang makna dasarnya adalah
menghimpun dan mengumpulkan. Ketika di kaitkan dengan objek tertentu untuk di
pahami lahirla makna membaca, karena membaca juga berarti menghimpun berbagai
objek menjadi kesatuan utuh yang dapat di pahami. Jika yang di baca berupa objek
118
Muhammad In’am Esha, Kontruk Historis Metodologis Pemikiran M.Syahrûr.jurnal al-Huda Vol.2
No.4, 2001, 128.
87
tekstual, yang di himpun adalah simbul-simbul huruf yang membentuk kata-kata,
selanjutnya kalimat terangkai dan munculah makna.
Dalam al-Quran ada istilah lain yang memiliki kedekatan makna dengan
qira’ah, tetapi sering di pahami secara tumpang tindih, yaitu kata tilawah. Kata ini
berasal dari kata tala-yatlu yang berarti selantunkan bacaan. Dengan demikian,
perbedaan antara tilawa dan qira’ah bahwa yang pertama adalah aktifitas membaca
tanpa penjelasan atau uraian tambahan yang bertujuan untuk mendalami dan
memahami kandungan teks yang di baca, sedangkan yang kedua adalah aktivitas
membaca yang diiringi dengan usaha memahami, menjelaskan, manganalisis dan
menguraikan objek tekstual yang dibaca.119
Qira’ah Mu’ashirah merupakan metode Syahrûr dalam rangka memahami alQuran. Hermeneutika al-Quran kontemporer yang diusung oleh Syahrûr sebenarnya
memiliki tujuan ganda, yaitu: membebaskan diri dari hegemoni masa lalu yang
begitu menggurita dan pada saat yang sama berusaha menjembatani jarak waktu
antara masa al-Quran diturunkan dan kondisi objektif pesan kitab suci yang hidup
dalam ruang dan waktu yang berlainan. Asumsi dasar metode Syahrûr adalah
juktaposisi antara akal, wahyu dan realitas. Sementara pendekatan yang digunakan
adalah perpaduan antara pendekatan filusufis, linguistik dan scientifik.120
1. Pendekatan Linguistik
Walter H. Capps dalam bukunya Religius Studies The Making of a Discipline,
menjelaskan bahwa dalam sebuah penelitian, atau kajian seorang meniscayakan
suatu titik pijakan yang akan bermanfaat dalam mengarahkan dan menempatkan
119
120
Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fikih al-Islami, (Damaskus, al-Ahali, 2000), 117.
Ibid.
88
secara pasti objek kajian (vantage point). Titik pijakan ini disebut dengan pendekatan
(approach). Pendekatan adalah bagaikan perspektif, horison, dan tempat berpijak
dimana kita bisa melihat secara leluasa terhadap keluasan horison tersebut 121
Untuk memasuki pemikiran Syahrûr peneliti berusaha masuk dari prinsipprinsip metodologis dan pendekatan linguistik Muhammad Syahrûr yang di paparkan
dalam pembukaan bukunya al-Kitab wa al-Quran. Pemaparan mengenai metodologi
dan pendekatan ini menjadi penting karena secara garis besar bisa di katakan bahwa
dalam mengkaji ayat-ayat al-Quran Syahrûr sangat dominan dalam menggunakan
pendekatan bahasa, khususnya analisis sintagmatis dan paradigmatis. Dalam hal ini
Syahrûr mengembangkan teori linguistik Abu Ali al-Farisi yang berpandangan
bahwa setiap kata memiliki nuansa makna yang spesifik, dan karenanya tidak ada
sinonim dalam bahasa.
Untuk mengungkap asumsi metodologis dari pendekatan linguistik tersebut,
Jakfar Dakk menyatakan bahwa dasar-dasar pendekatan historis ilmiah tersebut
diambil dari prinsip-prinsip aliran linguistik Abu Ali al-Farisi. Pada saat yang sama,
karakter umum pendekatan ini merupakan perpaduan antara teori Ibn Jinni dan imam
al-Jurjani.
Pendekatan inilah yang akan mengarahkan daya persepsi seseorang. Tempat
dimana seseorang berdiri akan menentukan apa yang di lihat dan seberapa yang ia
lihat dan ia pelajari tergantung tempatnya berpijak atau berdiri.122
Secara global ada dua kandungan jiwa atau makna strategis dalam al-Quran,
yaitu makna intrinsik dan makna instrumental. Makna istrinsik berupa komitmen
121
M. In’am Esha, M.Syahrûr dan Teori Batas, dalam Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Penerbit Jendela, 2003), 303.
122
M. In’am Esha, Op. Cit,303
89
pribadi antara seorang hambah dengan Tuhannya. Tujuannya adalah membersikan
jiwa, mengangkat kekelaman batin dan menyinarinya dengan sinar-sinar malakuti
(ketuhanan), menumbuhkan potensi dalam ruh serta menyiapkannya untuk menerima
rangkaian pengejawantahan sifat-sifat Tuhan. Makna intrisik ini merupakan ajaran
spiritual al-Quran.
Sementara makna instrumental bermakna sebagai sarana pendidikan ke arah
nilai-nilai luhur, mulia dan kesejatian dalam hubungan horisontal antar hamba.
Dalam beberapa kata kunci ia bisa disebut sebagai memanusiakan manusia.123
Syahrûr dalam mengkontruksi pemikiran keislamannya menggunakan
pendekatan lingustik karena yang di kajinya adalah teks-teks al-Quran. Namun,
sebagai seorang saintis, tipikal keilmuan yang mengedepankan sifat empiris, rasional
dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologis pemikirannya, dan inilah
sebagaimana di katakannya yang memberikan hasil berbeda dari produk-produk
pemikiran sebelumnya. Pendekatan Syahrûr dengan demikian, bisa disebut sebagai
pendekatan linguistik rasional (ilmiah).
Adapun metode yang digunakan adalah analisa kebahasaan yang mencakup
kata dalam sebuah teks dan struktur bahasa. Metode ini dalam bahasa Syahrûr
disebut sebagai “metode historis ilmia studi bahasa”. Pada prinsipnya aplikasi
metode ini adalah bahwa makna kata di cari dengan menganalisis kaitan atau
hubungan suatu kata dengan kata yang berdekatan atau yang berlainan (cross
examenition). Sebab menurut Syahrûr kata itu tidak mempunyai sinonim, setiap kata
memiliki kekhususan makna, bahkan satu kata dapat memiliki beberapa makna.
Karena itu, untuk menentukan makna yang tepat tergantung konteks logis kata dalam
123
Ibid, 92.
90
kalimat tersebut atau bahwa makna teks di pengaruhi oleh hubungan secara linier
dengan kata-kata sekelilingnya (strukturnya).
Metode yang digunakan Syahrûr tersebut, dalam konteks paradigma
hermeneutik, disebut dengan analisis paradigmatis dan sintagmatis. Analisis
paradigmatis adalah memahami makna teks dengan mengaitkannya pada konsepkonsep lain yang berdekatan atau yang berlawanan, sedang analisis sintagmatis
adalah memahami makna teks dalam kaitannya hubungan linier dengan kata-kata di
sekelilingnya.
Metode Syahrûr tersebut, sebagaimana di nyatakan sendiri, di pengaruhi oleh
pemikiran Ibnu Faris yang tampak pada pedoman metodologis dalam analisis bahasa
di antaranya adalah:
1. Bahwa bahasa itu adalah beraturan.
2. Bahasa muncul bersamaan dan struktur bahasanya terkait dengan jabatannya
dalam bahasa.
3. Terdapat kesesuaian antara bahasa dan pemikiran.
Karena aturan bahasa terus berkembang, peniscayaan adanya metode sejarah
ilmiah dalam analisis kebahasaan. Berkaitan dengan itu, dengan mengutip ibnu Janni
al-Jurjani, Syahrûr menjelaskan pokok pemikirannya di antaranya:
1. Terdapat kesesuaian antara ungkapan dan pemikiran manusia. Peran bahasa
sebagai alat penyampai telah terjadi sejak munculnya percakapan manusia.
2. Pemikiran manusia tentang aturan kebahasaan tidak berkembang sempurna
dalam satu waktu sekaligus tetapi tumbuh dan sempurna sejalan dengan
problematika yang dihadapi pemikiran manusia.
3. Tidak ada sinonim dalam bahasa Arab.
91
Penjelasan terhadap metodologi kajian Syahrûr merupakan pandangan umum
bahwa perangkat kerja penelitiannya berangkat dari analisis teks kebahasaan.
Syahrûr juga menggunakan metode tematik dalam membahas sebuah permasalahan.
Mengumpulkan sejumlah ayat, misalnya tentang at-takwil kemudian secara intrateks
ayat-ayat tersebut dianalisis dengan metode analisis di atas.
2. Pendekatan Scientifik
Syahrûr menegaskan bahwa ia juga memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan abad 20 sebagai parameter untuk memahami teks al-Quran.124 Dengan
kata lain, Syahrûr menandaskan perlunya pemanfaatan perspektif pengetahuan ilmiah
yang menggunakan metode penelitian objektif sebagai sarana memahami pesan
Tuhan dalam kitab suci-Nya. Asumsinya adalah bahwa tidak ada pertentangan antara
realitas, akal dan wahyu. Sintesa antara logika scientifik dan linguistik modern ini
bisa di pahami dengan melihat latar belakang intelektual Syahrûr yang berasal dari
dunia teknik dan kemudian mendalami filsafat bahasa.
Proses kajian semacam inilah yang dilakukan Syahrûr, ia mengklaim bahwa
untuk memahami teks Tuhan, teks tersebut dilakukan selayaknya “data-data ilmiah”
yang selalu relevan dengan realitas empiris yang dalam hal ini diawali oleh ilmu
pengetahuan abad 20. Ketika dunia ilmu pengetahuan kontemporer menuntut
ketelitian dalam setiap penyajian data, maka demikian juga perlakuan terhadap teks
Tuhan. Karena teks bermediumkan bahasa, maka teori yang mendukung ini adalah
penolakan sinonimitas dalam bahasa.
124
Ibid, 308
92
E. Terma-terma dalam Al-Kitab wa Al-Quran dan Kategorisasi Al-Qur’an
Berdasarkan metode historis-ilmiah sebagai landasan analisis linguistik
khususnya tentang tidak adanya sinonimitas dalam bahasa al-Quran dalam kajiannya
terhadap teks
kitab suci, Syahrûr memulai analisisnya terhadap beberapa kata
penting dalam kitab suci dimana selama ini kata-kata atau istilah-istilah tersebut
dianggap sinonim sehingga terjadi pemahaman yang tidak sesuai dengan tujuan
teks.125
Disamping asumsi tentang tidak adanya sinonim dalam bahasa, Syahrûr
menganalisis beberapa kata penting itu dengan teknik interteks (tartil) dengan artian
menggabungkan semua ayat yang mempunyai tema sama kemudian mensintesakan
antara berbagai ayat yang mempunyai pesan serupa tersebut hingga menghasilkan
pemahaman yang holistik.126
Kajian semantik Syahrûr terhadap beberapa kata penting dalam kitab suci ini
merupakan suatu hal yang sangat penting karena dengan demikian ia bisa melakukan
dekontruksi sekaligus rekontruksi terhadap pembacaan teks suci yang selama ini
dianggap establis dan final.
Al-Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam posisinya sebagai
Nabi dan Rasul sekaligus, jelas mempunyai posisi yang sesuai dengan posisi
kerasulan dan kenabian tersebut, hingga al-kitab menjadi dua bagian besar: yaitu
kitab an-Nubuwah dan kitab ar-Risalah. Dalam konteks ini an-Nubuwah dapat
dipahami sebagai akumulasi pengetahuan yang diwahyukan kepada Muhammad
yang kemudian memposisikannya menjadi Nabi. Konsep an-Nubuwah mencakup
125
Abd. Muqsid Ghozali, “Muhammad Syahrûr,” http://www.google.co.id/search?q=Muhammad+
Syahrûr&hl=id&start=20&sa=N (diakses pada: 29 Juli 2007) , 9.
126
Ibid, 197-198.
93
seluruh informasi dan pengetahuan ilmiah yang tertera dalam al-Kitab, sekaligus
berfungsi sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil atau antara kebenaran
realitas (al-haqiqah) dan praduga sementara.127
An-Nubuwah identik dengan ilmu pengetahuan sedangkan ar-Risalah
merupakan kumpulan penetapan hukum yang disampaikan kepada Muhammad
sebagai pelengkap bagi pengetahuan yang telah diwahyukan dan identik dengan
hukum. Ar-Risalah ini yang kemudian memposisikan sebagai Rasul.
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa teori tentang eksistensi alam
semesta, manusia, dan tafsir sejarah merupakan bagian dari an-Nubuwah dan
merupakan bagian dari ayat-ayat mutasyabihat. Adapun penetapan hukum yang
terdiri dari masalah waris dan ibadah, moralitas universal, mu’amalah, hukumhukum perdata dan larangan-larangan merupakan katagori al-Risalah dan semua itu
adalah ayat-ayat muhkamat.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa Syahrûr mengklasifikasikan ayat
dalam al-kitab kedalam tiga kategori, yaitu: ayat muhkamat, ayat mutasyabihat, dan
ayat bukan muhkamat dan bukan mutasyabihat. Kategorisasi ini merujuk kepada ayat
ketujuh dari surat al-Imran, yang memang secara eksplisit menyebut kategori
muhkamat dan mutasyabihat.128
Adapun kategori ketiga tafsil al-kitab Syahrûr merujuk pada surat Yunus ayat
37. Argumentasi Syahrûr memunculkan kategori ketiga adalah isyarat yang muncul
pada penggalan ayat “wa ukharu mutasyabihat”. Kata ukharu karena berbentuk
nakirah, harus dipahami bermakna sebagian yang lain, bukan keseluruhan. Maka,
127
128
Ibid.
Ibid.
94
konsekwensi logisnya akan timbul pertanyaan, jika bagian pertama adalah muhkamat
dan bagian (dari bagian kedua) adalah mutasyabihat, lalu bagian yang lain dari
keduanya adalah tidak muhkam dan tidak mutasyabih, inilah yang kemudian oleh
surat Yunus sebagai ayat tafsil kitab.
95
BAB IV
TEORI BATAS MUHAMMAD SYAHRÛR
A. Pengertian Teori Batas dan Historisitasnya
Teori batas dapat diartikan sebagai perintah Tuhan yang diungkapkan dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengatur ketentuan-ketentuan berupa batas terendah
dan batas tertinggi bagi seluruh perbuatan manusia. Batas terendah mewakili
ketetapan hukum minimum dalam sebuah kasus hukum, dan batasan tertinggi
mewakili batas maksimumnya. Tidak ada suatu bentuk hukum yang lebih rendah dari
batas minimum atau lebih tinggi dari batas maksimum. Ketika batasan-batasan ini di
jadikan sebagai panduan, kepastian hukum akan terjamin sesuai dengan ukuran
kesalahan yang dilakukan.129
129
Ibid.
95
96
Tipikal
Syahrûr
sebagai
ilmuwan
berpengaruh
terhadap
produk
pemikirannya. Ini tampak jelas terhadap teori yang dikenalkannya, yang disebut
dengan teori batas (the teory of limit).130
Syahrûr merumuskan teori batasnya berangkat dari Qs. An-Nisa’ ayat 13-14,
yang terkait dengan pembagian waris:
$yγÏFóss? ÏΒ ”̍ôfs? ;M≈¨Ζy_ ã&ù#Åzô‰ãƒ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÆìÏÜム∅tΒuρ 4 «!$# ߊρ߉ãm šù=Ï?
∩⊇⊂∪ ÞΟŠÏàyèø9$# ã—öθxø9$# šÏ9≡sŒuρ 4 $yγŠÏù šÏ$Î#≈yz ã≈yγ÷ΡF{$#
Artinya: (Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya
kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.
Surat an-Nisa’:14
ÑU#x‹tã …ã&s!uρ $yγ‹Ïù #V$Î#≈yz #—‘$tΡ ã&ù#Åzô‰ãƒ …çνyŠρ߉ãn £‰yètGtƒuρ …ã&s!θß™u‘uρ ©!$# ÄÈ÷ètƒ ∅tΒuρ
∩⊇⊆∪ ÑÎγ•Β
Artinya: Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
Pada ayat 13 terdapat kalimat Z‫ ?ود ا‬4 dan pada ayat 14 terdapat kalimat
6‫ ?ود‬B‫ و‬kata hudud disini berbentuk jamak (plural) dari bentuk mufradatnya hadd
yang artinya batas (limit).131
Pemakaian bentuk plural disini menandakan bahwa batas (hadd) yang
ditentukan Allah berjumlah banyak dan menusia memiliki keleluasaan untuk
memilih batasan tersebut sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang
130
131
Ibid.
Ibid.
97
melingkupinya. Pelanggaran hukum Tuhan itu akan terjadi jika manusia melampaui
batasan-batasan tersebut.132
Menurut Syahrûr, ayat ini secara eksplisit menyebutkan bahwa masalah
pembagian waris merupakan salah satu batasan dari sekian batasan hukum yang
ditentukan Allah. Redaksi Z‫ ?ود ا‬4 merujuk pada penjelasan ayat 11-12, dan pada
saat yang sama juga menegaskan bahwa batasan hukum yang dimaksud berasal dari
Allah.133
Pada ayat 14, kalimat 6‫ ?ود‬B‫ و‬berarti melanggar batas-batas (hukum) Nya.
Penggunaan terma hudud disini dinisbatkan pada dhamir mufradat (kata ganti
tunggal) hu yang merujuk pada Tuhan (Allah) saja. Sedangkan penggalan ayat
sebelumnya yang redaksinya wa man ya’si Allah wa rasulahu wa yata’adda
hududahu menegaskan bahwa perbuatan maksiat dapat dilakukan terhadap Allah dan
Rasul-Nya, tetapi pelanggaran batasan hukum hanya terjadi pada Tuhan saja, karena
penentuan hukum syari’at yang terus berlaku hingga hari kiamat itu hanya milik
Allah. Otoritas ini tidak perna diberikan kepada yang lain, bahkan kepada Nabi
Muhammad sekalipun. Karena jika Muhammad memiliki hak penentuan otoritas
hukum, niscaya ayat tersebut redaksinya akan seperti ini: wa man ya’si Allah wa
rasulahu wa yata’adda hududdahuma dengan menggunakan kata ganti untuk dua
orang (huma), tetapi tidak demikian.134
132
Muhammad Syahrûr, “Dirasah Islamiyah Mu’ashirah; Nahwi Ushul Jadidah lil Fiqhil Islami,”
diterjemahkan oleh Syahiron Syahsudin dan Buhranudin, Metodologi Islam Kontemporer, (Cet II;
Yogyakarta: eL-SAQ Press, 2004),317.
133
Asjmuni Abdurahman, “Muhammad Syahrûr dan Al-Kitab,” www.suaramuhammadiyah.or.id
documentsmanhaj.htm-17k (diakses pada: 29 Juli 2007), 4.
134
Ibid.
98
Dengan demikian, semua syari’ah (ketentuan hukum) yang berasal dari Nabi
bersifat temporal dan tidak ada keharusan memberlakukannya hingga akhir zaman
kecuali yang bersifat ibadah mahdho. Pada dataran ini, tersembunyi rahasia dan
hikmah adanya Sunnah untuk diikuti pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain adanya
posisi Nabi sebagai teladan untuk berijtihad dalam lingkup batasan ketentuan Allah
yang disesuaikan dengan kondisi objektif yang hidup dalam sejarah manusia.135
Mensikapi pemikiran Muhammad Syahrur dengan fokus pada aspek
metodologi penafsirannya atau yang disebut dengan Qira’ah Muashirah, dengan
menggunakan teori batas sebagai kerangka teoritis, maka diperoleh beberapa poin
yang penting yang menggambarkan bagaimana teori batas mengisi diberbagai ruang
dalam qira’ah mu’ashirah.
Menurut Syahrûr ibadah dalam pengertian relasi (as-sillah) antara manusia
dan Tuhan yang bersifat tauqifiyyah, terdiri dari empat kategori saja, yaitu shalat,
puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Relasi ini bermula dalam bentuk indrawi
(musyakhas) berupa persembahan (qarabin) dan penyembelihan binatang (aludhiyyah), ritual semacam ini di jumpai hampir di seluruh agama dan kepercayaan
yang diawali dari asumsi dasar pengabdian manusia kepada Tuhan melalui media
fisik dan indra sebagai jalan untuk mendekatkan kepada-Nya. Syahrûr menyebut
ibadah seperti ini dengan istilah ibadah fu’adiyyah. Salah satu jejaknya terlihat
dalam ibadah haji dengan adanya simbol tawaf di Ka’bah, sa’i antara Safah dan
Marwa, serta penyembelihan hewan kurban. Haji dapat di pahami sebagai bentuk
final dari ibadah fu’adiyyah yang telah di sempurnakan oleh Islam.136
135
136
Ibid.
Ibid.
99
Asumsi dasar (fundamental fhilosofhy) metodologi Syahrûr adalah akal,
wahyu dan realitas. Sementara pendekatan yang digunakan adalah perpaduan antara
linguistik, saintifik dan filosofis. Pada aspek linguistik metodologi Syahrûr bertumpu
pada berbagai asumsi tentang hakekat bahasa, kajian singkronis dan diakronis secara
sinergi serta penolakan terhadap sinonimitas sebagai konsekuensi pilihan perspektif
dan ansumtif yang mendasari kajian al-Qur’an yang memiliki karakter ilmiah.
Metode linguistik digunakan Syahrûr untuk membangun teori batas, yang di
dasarkan atas pemahaman terhadap dua istilah yakni al-hanîf dan al-istiqâmah. Kata
al-hanîf berasal dari kata hanafa dalam bahasa Arab berarti bengkok, melengkung
(hanafa) atau bisa dikatakan untuk orang yang berjalan diatas dua kakinya (ahnafa)
atau berarti orang yang bengkok kakinya (hanufa). Adapun kata istiqamah, berasal
dari kata qaum yang memiliki dua arti: (1) kumpulan manusia laki-laki, dan (2)
berdiri tegak (al-intishâb) atau kuat (al-‘azm). Dari kata al-intishâb ini muncul kata
al-mustaqîm dan al-istiqâmah, lawan dari melengkung (al-inhirâf), sedangkan dari
al-‘azm, muncul kata al-dîn al-qayyîm (agama yang kuat dalam kekuasaan).137
Analisis linguistik terhadap term al-hanafiyyah dan al-istiqâmah inilah yang
akhirnya mengantarkan pada sebuah ayat dalam surat al-An’am: 161, memaparkan
tiga term pokok: al-din al-qayyîm, al-mustaqîm, dan al-hanîf, nampak sekilas
bertentangan, karena memadukan dua hal yang sifatnya kontradiksi.138
Setelah menganalisis surat al-An’am: 79 Syahrûr memperoleh pemahaman
bahwa al-hunafâ adalah sifat alami dari seluruh alam.139 Langit, bumi, dan bahan
137
Syahrûr, Op. Cit,447.
Ibid,3
139
Redaksi ayat 6:79 berbunyi:"Sesungguhnya aku menghdapkan diriku kepada Tuhan yang
menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (hanîfan), dan aku
bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."
138
100
elektron yang terkecil sekalipun sebagai bagian dari kosmos, bergerak dari garis
lengkung. Tidak ada dari tata alam yang tidak bergerak melengkung. Sifat inilah
yang menjadikan tata kosmos itu menjadi teratur dan dinamis. Al-Hanif, dengan
demikian adalah agama yang selaras dengan kondisi ini karena al-hanif, merupakan
pembawaan yang bersifat fitrah.
Realitas masyarakat yang senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah
tradisi sosial, kebiasaan atau adat. Oleh karena itu, as-shirat al-mustaqim, adalah
sebuah keniscayaan untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Dengan
demikian, as-siratal mustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam
menentukan hukum.
Syahrûr menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqâmah,
bagaikan kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks. Sumbu X
menggambarkan zaman atau konteks waktu dan sejarah. Sumbu Y sebagai undangundang yang ditetapkan Allah. Kurva (al-hanafiyyah) menggambarkan dinamika,
bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan batasan
hukum yang telah di tentukan Allah (sumbu Y) dan awal sejarah hijriyah (sumbu O).
Dengan demikian, hubungan antara kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat
dialektik tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait. Dialektika adalah
kemestian untuk menunjukan bahwa hukum itu adaptable terhadap ruang dan waktu.
Syahrûr kemudian mengenalkan apa yang disebut sebagai teori batas. Ia mengatakan
bahwa Allah telah menetapkan konsep-konsep hukum yang maksimum dan yang
101
minimum, al-istiqamah, dan manusia bergerak dari dua batasan tersebut, alhanafiyah (curvature).140
Terkait dengan metode pembacaan Syahrûr menawarkan dua mekanisme
pembacaan yaitu takwil dan ijtihad. Takwil merupakan metode pembacaan terhadap
ayat-ayat yang termasuk dalam katagori nubuwah yang mempunyai karakter dasar
objektif, sedangkan ijtihad adalah metode pembacaan untuk ayat-ayat termasuk
dalam kategori risalah yang memiliki karakter subjektif. Terkait dengan hal ini
terlebih dahulu lebih dipahami bahwa Syahrûr membagi kitab suci menjadi tiga
bagian besar, kategori ayat muhkamat, ayat-ayat mutasyabihat, dan ayat la muhkam
wa lamutasyabihat. Kategorisasi ini merupakan identifikasi objek kajian secara detil.
Dari aspek ini Syahrûr berusaha konsisten dengan prosedur ilmiah, yaitu menentukan
objek kajian, batasan wilayah dan karakternya masing-masing. Karena dengan
teridentifikasinya objek kajian secara jelas dan rigit, maka penentuan pendekatan dan
metode analisis dalam penelitian dapat dilakukan.
Syahrûr menegaskan untuk memahami ayat-ayat muhkamat, mekanisme yang
digunakan adalah ijtihad dengan kerangka teori batas. Aktifitas seperti ini disebut
tafsir. Sedangkan untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat, khususnya al-Qur’an,
mekanisme yang digunakan adalah takwil. Kategorisasi ini ditentukan berdasarkan
tema yang terkandung dalam masing-masing ayat, muhkamat untuk tema-tema
hukum yang berada pada wilayah risalah, dan bersifat objektif, sedangkan
mutasyabihat adalah untuk tema-tema ilmiah yang berada pada wilayah nubuwah
dan bersifat objektif.
140
Ibid,450-452.
102
Dari sisi ini, kajian Syahrûr dapat dipandang sebagai kajian hermeneutik yang
berorientasi pada metodologi pemahaman daripada kajian eksegesis yang
berorientasi pada aktualisasi pada pemahaman itu sendiri. Berdasarkan analisis
kepadanya, tanpak Syahrûr berusaha membangun pendekatan baru atau lebih
tepatnya perspektif baru dalam memahami teks-teks keagamaan. Syahrûr
mengagendakan proyek ini dengan nama Qira’ah Mu’ashirah atau pembacaan
kontemporer. Dari kajian hermeneutisnya tersebut, kemudian dapat dilihat posisi
Syahrûr dalam konstelasi hermeneutika al-Qur’an kontemporer. Adapun aliran mana
yang cenderung diikutinya objektif atau subjektif? Sejauh penelitian peneliti,
pembacaan kontemporer Syahrûr mengaplikasikan pendekatan yang objektif pada
satu sisi dan sekaligus subjektif pada sisi yang lain. Objek teks yang berbeda, oleh
Syahrûr didekati dengan metodologi yang berbeda pula. Dalam hal ini Syahrûr
memegang aksioma bahwa objeklah yang menentukan pilihan terhadap metode
bukan sebaliknya.
Syahrûr membedahkan enam bentuk batasan-batasan:
1. Batasan Minimum ketika Berdiri Sendiri
Contoh batasan ini adalah larangan al-Qur’an untuk mengawini para
perempuan yang disebut dalam surat an-Nisa’ ayat 23:
öΝä3çG≈n=≈yzuρ öΝä3çG≈£ϑtãuρ öΝà6è?≡uθyzr&uρ öΝä3è?$oΨt/uρ öΝä3çG≈yγ¨Βé& öΝà6ø‹n=tã ôMtΒÌhãm
Νà6è?≡uθyzr&uρ öΝä3oΨ÷è|Êö‘r& ûÉL≈©9$# ãΝà6çF≈yγ¨Βé&uρ ÏM÷zW{$# ßN$oΨt/uρ ˈF{$# ßN$oΨt/uρ
ÏiΒ Νà2Í‘θàfãm ’Îû ÉL≈©9$# ãΝà6ç6Í×‾≈t/u‘uρ öΝä3Í←!$|¡ÎΣ àM≈yγ¨Βé&uρ Ïπyè≈|ʧ9$# š∅ÏiΒ
yy$oΨã_ Ÿξsù €∅ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ (#θçΡθä3s? öΝ©9 βÎ*sù £ÎγÎ/ ΟçFù=yzyŠ ÉL≈©9$# ãΝä3Í←!$|¡ÎpΣ
103
š÷t/ (#θãèyϑôfs? βr&uρ öΝà6Î7≈n=ô¹r& ôÏΒ tÉ‹©9$# ãΝà6Í←!$oΨö/r& ã≅Í×‾≈n=ymuρ öΝà6ø‹n=tæ
∩⊄⊂∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# āχÎ) 3 y#n=y™ ô‰s% $tΒ āωÎ) È÷tG÷zW{$#
Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anakanak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu
yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan
isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan
yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Menikah dengan anggota keluarga yang termasuk katagori hubungan
darah ini dilarang, yang diperbolehkan adalah menikah dengan kerabat
lain diluar anggota ikatan darah yang disebutkan.
Allah
telah
menetapkan
batas
minimal
dalam
pengharaman
perempuan-perempuan untuk dinikahi yang terdiri dari keluarga dekat
sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 23. Dalam
kondisi apapun, tidak seorangpun diperbolehkan melanggar batasan ini
meskipun didasarkan pada ijtihad. Kebolehan ijtihad hanya pada usaha
memperluas pihak yang diharamkan. Sebagai contoh apabila ilmu
kedokteran telah mampu membuktikan bahwa pernikahan dengan kerabat
dekat, seperti anak perempuan, saudara bapak atau ibu, akan memberikan
pengaruh negatif pada keturunan dan juga pada proses pembagian harta
104
kekayaan, maka ijtihad boleh dilakukan dalam bentuk penetapan
peraturan yang melarang pernikahan keluarga dekat tersebut.141
2. Batasan Maksimum Berdiri Sendiri
Contoh batasan ini terdapat di dalam surat al-Ma’dah ayat 8:
ª!$#uρ 3 «!$# zÏiΒ Wξ≈s3tΡ $t7|¡x. $yϑÎ/ L!#t“y_ $yϑßγtƒÏ‰÷ƒr& (#þθãèsÜø%$$sù èπs%Í‘$¡¡9$#uρ ä−Í‘$¡¡9$#uρ
∩⊂∇∪ ÒΟŠÅ3ym ͕tã
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Disini ditentukan mewakili batasan maksimum yang tidak boleh di
lampaui. Dalam kasus ini hukuman bisa dikurangi, berdasarkan kondisikondisi objektif yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.142
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa batasan maksimal hukuman
bagi pencuri yakni potong tangan. Tidak diperkenankan menjatuhkan
hukuman bagi pencuri lebih berat dari potong tangan, tetapi tidak
menutup kemungkinan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan.143
Para pembaharu hukum Islam berkewajiban untuk menetapkan
definisi yang pasti terhadap subjek pencuri berdasarkan fakta dan latar
belakang objektif yang melingkupinya.
Dalam surat al-Isra’ ayat 33 Allah berfirman:
141
Ibid, 153.
Ibid,455.
143
Ibid,455-457
142
105
ô‰s)sù $YΒθè=ôàtΒ Ÿ≅ÏFè% tΒuρ 3 Èd,ysø9$$Î/ āωÎ) ª!$# tΠ§ym ÉL©9$# }§ø¨Ζ9$# (#θè=çFø)s? Ÿωuρ
∩⊂⊂∪ #Y‘θÝÁΖtΒ tβ%x. …çµ‾ΡÎ) ( È≅÷Fs)ø9$# ’Îpû ’̍ó¡ç„ Ÿξsù $YΖ≈sÜù=ß™ ϵÍh‹Ï9uθÏ9 $uΖù=yèy_
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan
Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan.
Dalam konteks ini, mujtahid berkewajiban menetapkan kriteria
tindakan pembunuhan yang pantas menerima hukuman maksimal, yaitu
hukuman mati. Salah satu tindak pidana yang demikian adalah
pembunuhan berencana. Tetapi ada juga kasus pembunuhan yang tidak
perlu di jatuhi hukuman mati, seperti pembunuhan tidak di sengaja atau
pembunuhan untuk membela diri. Selain itu masih ada kesempatan
pemberian maaf dari keluarga korban pembunuhan.144
3. Batasan Minimal dan Maksimal Bersamaan
Gambaran dari tipe ini di sebutkan dalam surat an-Nisa’ ayat 11 yang
berhubungan dengan warisan:145
s−öθsù [!$|¡ÎΣ £ä. βÎ*sù 4 È÷u‹sVΡW{$# Åeáym ã≅÷VÏΒ Ìx.©%#Ï9 ( öΝà2ω≈s9÷ρr& þ’Îû ª!$# ÞΟä3ŠÏ¹θãƒ
Èe≅ä3Ï9 ϵ÷ƒuθt/L{uρ 4 ß#óÁÏiΖ9$# $yγn=sù Zοy‰Ïm≡uρ ôMtΡ%x. βÎ)uρ ( x8ts? $tΒ $sVè=èO £ßγn=sù È÷tGt⊥øO$#
Ó$s!uρ …ã&©! ä3tƒ óΟ©9 βÎ*sù 4 Ó$s!uρ …çµs9 tβ%x. βÎ) x8ts? $£ϑÏΒ â¨ß‰¡9$# $yϑåκ÷]ÏiΒ 7‰Ïn≡uρ
ω÷èt/ .ÏΒ 4 â¨ß‰¡9$# ϵÏiΒT|sù ×οuθ÷zÎ) ÿ…ã&s! tβ%x. βÎ*sù 4 ß]è=›W9$# ϵÏiΒT|sù çν#uθt/r& ÿ…çµrOÍ‘uρuρ
144
145
Ibid.
Ibid, 457-462.
106
$YèøtΡ ö/ä3s9 Ü>tø%r& öΝß㕃r& tβρâ‘ô‰s? Ÿω öΝä.äτ!$oΨö/r&uρ öΝä.äτ!$t/#u 3 AøyŠ ÷ρr& !$pκÍ5 Å»θム7π§‹Ï¹uρ
∩⊇⊇∪ $VϑŠÅ3ym $¸ϑŠÎ=tã tβ%x. ©!$# ¨βÎ) 3 «!$# š∅ÏiΒ ZπŸÒƒÌsù 4
Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal
itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka
ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar
hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Syahrûr berargumen sebuah penetapan batasan maksimum untuk anak
laki-laki dan batasan minimum untuk anak perempuan. Terlepas dari
apakah wanita sebagai pencari nafkah, bagaimanapun bagian wanita tidak
perna kurang dari 33,3 %, sementara bagian laki-laki tidak perna lebih
dari 66,6 % dari harta warisan. Jika laki-laki diberi 60% sementara wanita
diberi 40%, pembagian seperti ini tidak dikatagorikan sebagai
pelanggaran terhadap batasan maksimum dan minimum. Alokasi
presentase dari tiap-tiap pihak ditentukan berdasarkan kondisi objektif
yang ada dalam masyarakat tertentu pada waktu tertentu.146
Menurut Syahrûr contoh ini menjelaskan kebebasan bergerak dalam
batasan-batasan yang telah ditentukan oleh hukum. Batasan-batasan
146
Ibid.
107
tersebut telah ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.
Menurut Syahrûr hukum tidak harus diberlakukan sesuai dengan teks-teks
yang sudah diturunkan berabad-abad lalu pada dunia modern.
4. Perpaduan Antara Batas Minimum dan Batas Maksimum
Hanya ada satu ayat dalam tipe ini yakni surat al-Nur ayat 2:147
4 Ô8Ύô³ãΒ ÷ρr& Aβ#y— āωÎ) !$yγßsÅ3Ζtƒ Ÿω èπu‹ÏΡ#¨“9$#uρ Zπx.Ύô³ãΒ ÷ρr& ºπuŠÏΡ#y— āωÎ) ßxÅ3Ζtƒ Ÿω ’ÎΤ#¨“9$#
∩⊂∪ tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# ’n?tã y7Ï9≡sŒ tΠÌhãmuρ
Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau lakilaki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
mukmin.
Disini batasan minimum dan maksimum berpadu dalam satu hukuman
yakni berupa seratus deraan. Tuhan menekankan bahwa pezina
seharusnya tidak dikasihani dengan mengurangi hukuman-hukuman yang
seharusnya di timpakan. Hukuman pezina adalah tidak lebih dari seratus
deraan.148
Penjelaskan syarat-syarat kondisional harus dipennuhi pada penerapan
batasan hukum zina itu dan disebut sebagai ayat-ayat mubayinat. Batasan
zina inilah yang menjelaskan syarat-syarat tertentu harus dipenuhi untuk
menerapkan hukum ini, karena merupakan batas maksimal pada saat yang
sama menempati batas minimal.
5. Posisi Batas maksimal dengan satu titik mendekati garis lurus tanpa
persentuhan.
147
148
Ibid, 463.
Ibid, 463.
108
Hal itu tertera dalam surat al-Isra’ ayat: 32
∩⊂⊄∪ Wξ‹Î6y™ u!$y™uρ Zπt±Ås≈sù tβ%x. …çµ‾ΡÎ) ( #’oΤÌh“9$# (#θç/tø)s? Ÿωuρ
Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Contoh batasan ini adalah hubungan seksual antara laki-laki dan
perempuan. Dimulai dari titik diatas batas minimum dimana keduanya
sama sekali tidak bersentuhan, garis lengkung bergerak keatas searah
dengan batas maksimum dimana mereka hampir melakukan perzinaan,
tetapi tidak sampai terjadi.149
6. Bergerak antara batas maksimum yang berada pada daerah positif dan
batas minimum pada daerah negatif.
Contoh tipe ini adalah transaksi keuangan. Batas tertinggi di
gambarkan sebagai pajak bunga dan batas terenda adalah pembayaran
zakat. Ketika batasan-batasan ini dalam posisi positif dan negatif, maka
ada sebuah tingkatan berada tepat di antara yang nilainya sama dengan
nol.150
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat di jelaskan:
1. Pada satu sisi, Islam bersifat lurus dan pasti dalam hal batas-batas
hukum dan pilar-pilar moral. Pada sisi lain Islam bersifat lentur
dengan memberikan ruang gerak ijtihad di antara batasan-batasan
hukum Allah. Dalam ketentuan batas-batas hukum, Islam bersifat
149
150
Ibid, 464.
Ibid,468.
109
pasti, tetapi dalam gerak ijtihad di antara batas-batas tersebut, Islam
bersifat lentur dan dinamis.
2. Allah menganugrahkan ketetapan hukum yang sudah jadi dan sudah
pasti bagi Isa dan Musa dalam al-Kitab, karena model tasyri’ tersebut
disesuaikan dengan tingkat peradaban bangsa yang hidup pada masa
tersebut. Oleh karenanya, ketetapan hukum bagi Isa dan Musa disebut
sebagai al-Kitab. Ketetapan hukum ini tidak universal, tetapi bersifat
lokal dan temporal. Dengan ungkapan lain, ketetapan hukum itu tidak
didasarkan pada konsep batas-batas hukum. Oleh karena ketetapan
hukum bersifat umum tanpa ada batasan yang jelas sehingga mudah
untuk di lampaui atau dilanggar. Pada saat yang sama, para pengikut
Musa dan Isa memisahkan antar hukum agama dan negara.
3. Risalah Muhammad disebut sebagai umm kitab dan berlaku universal
karena memiliki kelenturan yang dibangun oleh teori batas-batas
hukum. Dari risalah ini sangat dimungkinkan tersusun jutaan alternatif
ketentuan hukum baru yang sangat sulit untuk di langgar kecuali oleh
orang-orang tidak terpelajar.
4. Dengan memperhatikan bahwa batas-batas hukum ini di sebut sebagai
batas-batas hukum Allah, maka yang berhak menentukan batasannya
adalah Allah. Tidak seorangpun diperkenankan menetapkan batasan
hukum tersebut dan kemudian mengaku bahwa batasan-batasan
hukum tersebut adalah batasan hukum Allah.
5. Secara umum, batas-batas hukum yang telah di tetapkan Allah sama
sekali tidak boleh di langgar. Bagi setiap pelanggar sesuai dengan
110
ancaman Allah balasannya adalah neraka jahanam. Contoh batasbatas hukum yang bersifat mutlak adalah hukum waris, pencurian,
pembunuhan, larangan menikahi wanita mahram. Tetapi terdapat
batasan hukum yang dalam kondisi tertentu Allah memperbolehkan
untuk melampauinya. Sebagai contoh memakan bangkai dalam
keadaan darurat.151
Persoalan inilah yang menjadi salah satu kegelisahan Muhammad Syahrûr
ketika melihat stagnasi pemikiran dunia Islam. Syahrûr menegaskan perlunya para
ahli hukum selalu berusaha mengembangkan teori-teori hukum baru sesuai dengan
latar belakang sosio-kultural dan pengetahuan ilmiah obyektif masa kontemporer.
Beberapa istilah kunci yang perlu dipahami terlebih dahulu sebelum
membedah artikulasi teoritik pemikiran Syahrûr dalam hukum Islam antara lain:
hudud, ar-risalah, an-nubuwah, al-istiqamah, al-hanafiyyah.152
Teori limit yang ditawarkan oleh Syahrûr itu memberikan empat kontribusi
signifikan dalam pengayaan bidang fiqih:
Pertama, dengan teori limit Syahrûr telah berhasil melakukan pergeseran
paradigma yang sangat fundamental di dalam bidang fiqih. Selama ini pengertian
hudan dipahami para ahli fiqih secara rigit sebagai ayat-ayat dan hadis-hadis yang
berisi sanksi hukum yang tidak boleh di tambah atau di kurangi dari ketentuan yang
termaktub, seperti sanksi potong tangan bagi pencuri, cambuk 100 kali bagi pelaku
zina belum bekeluarga. Berbedah dengan itu, teori limit yang di tawarkan oleh
Syahrûr cenderung bersifat di namis-kontekstual, dan tidak hanya menyangkut
151
Ibid.
M.In’am Esha, Muhammad Syahrûr:Teori Batas, dalam bukum Pemikiran Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: Jendela, 2003), 308.
152
111
masalah sanksi hukum. Teori limit Syahrûr juga menyangkut aturan-aturan hukum
lainnya, seperti pakaian perempuan, poligini, pembagian warisan, soal riba dan lain
sebagainya.153
Kedua, teori limit Syahrûr menawarkan ketentuan batas minimum dan batas
maksimum dalam menjalankan hukum-hukum Allah. Artinya, hukum-hukum Allah
di posisikan bersifat elastis, sepanjang tetap berada di antara batas minimal dan batas
maksimal yang telah ditentukan. Wilayah ijtihad manusia, berada di antara batas
ninimum dan maksimum.
Ketiga, dengan teori limitnya, Syahrûr telah melakukan dekontruksi dan
rekontruksi terhadap motodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat yang di
klaim sebagai ayat-ayat muhkam. Juga dapat di pahami secara dinamis dan memiliki
alternatif penafsiran, sebab al-Quran di turunkan untuk merespon persoalan manusia
dan berlaku sepanjang masa. Semua ayat al-Quran tidak saja dapat di pahami,
bahkan bagi Syahrûr dapat di pahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat
dapat berkembang tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu
turun.154
Keempat, dengan teori limit, Syahrûr ingin membuktikan bahwa ajaran Islam
benar-benar ajaran yang relevan untuk setiap ruang dan waktu. Syahrûr berasumsi,
kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terdapat dua aspek gerak, yaitu
gerak konstan serta gerak dinamis dan lentur. Sifat kelenturan Islam ini berada dalam
bingkai teori limit yang oleh Syahrûr di pahami sebagai the bounds or restriction that
God has placed on mans freedom of action (batasan yang telah ditempatkan Tuhan
153
154
Ibid.
Ibid.
112
pada wilayah kebebasan manusia). Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua
karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan lentur) akan membuat Islam
tetap survive sepanjang zaman. Dua hal yang beroposisi secara biner itu kemudian
melahirkan gerak dialektik (al-harakah al-jadaliyah) dalam pengetahuan dan ilmuilmu sosial. Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi
hukum Islam, sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan
sistem hukum Islam secara terus-menerus.
B. Penggunaan Teori Batas Muhammad Syahrûr dalam Masalah Poligini
Poligini adalah salah satu masalah besar yang di hadapi oleh perempuan Arab
Islam secara khusus, dan di hadapi oleh umat Islam secara umum. Jika ayat poligini
di pahami dari Umm al-Kitab dari perspektif teori batas, maka akan mendapatkan
pemahaman yang lebih baik. Pemahaman ayat tersebut mencakup setiap periode
sejarah perkembangan manusia dan meliputi seluruh sisi kemuliaan manusia, baik
masa lampau maupun masa kontemporer.155
Ayat-ayat hudud dalam masalah poligini adalah sebagai berikut:
*ُ5ْ 6
ِ ْ‫ِ>ن‬/َ 9َ :َ ‫; َو ُر‬
َ <َ‫ َو =ُـ‬0َ8ْ َ ‫ ِء‬$َ&' ‫( ا‬
َ ) *َُ ‫ب‬
َ َ,َ ‫ ُِا‬.ْ َ/ 0ََ َ ‫ ا‬0ِ/‫ُا‬1&
ِ ْ 2ُ 3' ‫ْـُ* َأ‬56
ِ ْ‫وَِإن‬
(3 : ‫ ُ<ُا ) ا&ء‬2َ 3' ‫ َأ‬0َ.ْ‫ْ َأ ْ! َ ُُ* َذِ َ? َأد‬Aَ <ََ َ ْ‫ َ ًة َأو‬Cِ َ /َ ‫ ْ ُِا‬2َ 3' ‫َأ‬
Artinya: Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanitawanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya (al-Nisa: 3).
155
Ibid.
113
Pertama dalam surat an-Nisa’ ayat 3 ada dua terma dasar yaitu:156 qasatha
dan ‘adala. Dalam bahasa Arab qasatha adalah terma dasar satu tetapi memiliki dua
pengertian yang bertolak belakang. Arti pertamanya adalah “keadilan dan
pertolongan” seperti dalam firman Allah dalah surat al-Ma’idah: 42:
( öΝåκ÷]tã óÚ͏ôãr& ÷ρr& öΝæηuΖ÷t/ Νä3÷n$$sù x8ρâ!$y_ βÎ*sù 4 ÏMós¡=Ï9 tβθè=≈ā2r& É>É‹s3ù=Ï9 šχθãè≈£ϑy™
©!$# ¨βÎ) 4 ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ΝæηuΖ÷t/ Νä3÷n$$sù |Môϑs3ym ÷βÎ)uρ ( $\↔ø‹x© x8ρ•ŽÛØo„ n=sù óΟßγ÷Ψtã óÚ̍÷èè? βÎ)uρ
∩⊆⊄∪ tÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä†
Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) di antara
mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka
mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu
memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka
dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
Al-Hujarat ayat: 9
’n?tã $yϑßγ1y‰÷nÎ) ôMtót/ .βÎ*sù ( $yϑåκs]÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù (#θè=tGtGø%$# tÏΖÏΒ÷σßϑø9$# zÏΒ Èβ$tGxÍ←!$sÛ βÎ)uρ
$yϑåκs]÷t/ (#θßsÎ=ô¹r'sù ôNu!$sù βÎ*sù 4 «!$# ̍øΒr& #’n<Î) uþ’Å∀s? 4®Lym Èöö7s? ÉL©9$# (#θè=ÏG≈s)sù 3“t÷zW{$#
∩∪ šÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä† ©!$# ¨βÎ) ( (#þθäÜÅ¡ø%r&uρ ÉΑô‰yèø9$$Î/
Artinya: Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu
melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu
kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut,
damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil;
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.
Al-Mumtahanah: 8
156
Ibid.
114
óΟèδρ•Žy9s? βr& öΝä.̍≈tƒÏŠ ÏiΒ /ä.θã_̍øƒä† óΟs9uρ ÈÏd‰9$# ’Îû öΝä.θè=ÏG≈s)ムöΝs9 tÏ%©!$# Çtã ª!$# â/ä38yγ÷Ψtƒ āω
∩∇∪ tÏÜÅ¡ø)ßϑø9$# =Ïtä† ©!$# ¨βÎ) 4 öΝÍκöŽs9Î) (#þθäÜÅ¡ø)è?uρ
Artinya: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
Berlaku adil.
Arti keduanya adalah kezaliman dan penindasan (al-jur), seperti dalam
firman-Nya:
∩⊇⊆∪ #Y‰x©u‘ (#÷ρ§ptrB y7Í×‾≈s9'ρé'sù zΝn=ó™r& ôyϑsù ( tβθäÜÅ¡≈s)ø9$# $¨ΖÏΒuρ tβθßϑÎ=ó¡ßϑø9$# $¨ΖÏΒ $‾Ρr&uρ
Artinya: Dan Sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang taat dan
ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang yang
taat, Maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.(Al-Jin:14).
Terma ‘adala juga memiliki dua arti yang saling berlawanan. Arti
pertamanya adalah: kelurusan atau kesejajaran, sedangkan arti keduanya adalah
kebengkokan. Meskipun demikian, terdapat perbedaan nuansa makna antara al-qisth
dan ‘adala. Terma qisth mengisaratkan hubungan dari satu pihak saja, sedangkan
‘adala mengisyaratkan hubungan persamaan antara dua pihak. Dari pengertian ini
munculah terma mu’adalah, yaitu kesejajaran dua pihak yang berbeda, seperti yang
di rumuskan dalam matematika A=B (baca A sama dengan B). Dari dua potensi
makna bagi kedua lafad tersebut, potensi makna yang dimaksud dalam surat an-Nisa’
ayat 3 ialah makna yang pertama, yakni berbuat baik dan berbuat adil.
Meskipun demikian, Syahrûr tidak memandang bahwa kata qasatha
merupakan sinonim dari kata ‘adala. Keduanya, meskipun memiliki persinggungan
makna, tetapi memiliki perbedaan konotasi. Dalam arti, bahwa makna keadilan
dalam kata qasatha di pandang dari satu arah atau tanpa adanya perbandingan.
115
Sementara berbuat adil yang dimaksud oleh kata ‘adala ialah bersikap adil antara
dua pihak yang berbeda” (musa wah bayn tharafayn muktalifayn).157
ُ ‫; َو‬
َ <َ‫ َو =ُـ‬0َ8ْ َ ‫ ِء‬$َ&' ‫( ا‬
َ ) *َُ ‫ب‬
َ َ,َ ‫ ُِا‬.ْ َ/
Dengan demikian, ungkapan 9َ:‫ر‬
َharus di pahami atau di terjemahkan ‘dan jika kalian khawatir tidak dapat berbuat
baik (atau tidak dapat memperhatikan) kepada anak-anak yatim, maka nikahilah ibuibu mereka yang kalian sukai, dua tiga atau empat’. Dengan kata lain, Syahrûr ingin
menegaskan bahwa istri kedua dan seterusnya harus wanita-wanita janda (karena
suaminya meninggal dunia) dan memiliki anak-anak yatim. Untuk memperkuat
pandangan ini, Syahrûr kemudian menganalisis struktur gramatika bahasa ayat diatas
َ َ,َ ‫ ُِا‬.ْ َ/
dengan mengaitkan penetapan praktik poligini pada ungkapan........ *َُ ‫ب‬
sebagai struktur jawab al-syarat dengan ungkapan: wa in khiftum alla tuqsithu fi alyatama sebagai struktur syarat (kondisional).158
Ayat poligini ini memiliki hubungan yang erat dengan ayat sebelumnya
karena ada redaksi wa in yang menghubungkan keduanya, sementara ayat-ayat
sebelumnya membicarakan hak-hak anak yatim. Allah berfirman:
#’n<Î) öΝçλm;≡uθøΒr& (#þθè=ä.ù's? Ÿωuρ ( É=Íh‹©Ü9$$Î/ y]ŠÎ7sƒø:$# (#θä9£‰t7oKs? Ÿωuρ ( öΝæηs9≡uθøΒr& #’yϑ≈tFu‹ø9$# (#θè?#uuρ
∩⊄∪ #ZŽÎ6x. $\/θãm tβ%x. …çµ‾ΡÎ) 4 öΝä3Ï9≡uθøΒr&
Artinya: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar
dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.
157
158
Ibid, 589.
Ibid.
116
Dalam pembahasan wasiat Syahrûr mendefinisikan bahwa yang dimaksud
anak yatim adalah anak yang tidak memiliki bapak dan masih di bawah umur atau
belum dewasa. Sedangkan ibunya masih hidup dan masih berada pada usia produktif.
Ayat-ayat poligini yang termasuk kedalam teori batas ini memiliki batasan minimal
dan batas maksimal, baik dari sisi kualitas dan kuantitas.
Jika teori batas di terapkan dalam menganalisis ayat itu, maka akan
memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan
hadd fi al-kayf (secara kualitas).159
1. Batas-batas dalam sisi hadd fi al-kamm (kuantitas)
Ayat ini mebicarakan pernikahan dengan redaksi “fankihu” yang kemudian
mengawali jumlah istri dengan angka ‘dua’ (masna). Pada dataran realitas, seorang
laki-laki tidak dapat dikatakan menikahi dirinya sendiri atau menikahi setengah
perempuan, maka batas minimalnya adalah satu orang perempuan, dan batas
maksimalnya adalah empat. Proses peningkatan jumlah ini diawali dari dua, tiga dan
terakhir empat dalam hitungan bilangan bulat karena manusia tidak dapat di hitung
dalam bentuk pecahan. Kesimpulannya batas minimal perempuan yang dinikahi
adalah satu dan batas maksimalnya adalah empat.
Penyebutan satu-persatu dalam redaksi masna, wa sulasa, wa ruba’ harus di
pahami dengan penyebutan bilangan bulat secara berurutan, sehingga tidak dapat di
pahami dua + tiga + empat yang berjumlah sembilan. Dari sisi normatif, tidak ada hal
yang tabu dalam hal ini. Sebaliknya seandainya poligini dibolehkan dan seorang
menikahi empat perempuan, maka masih tetap dalam batas-batas hukum Allah, yaitu
159
Muhammad Syahrûr, Op. Cit, 598.
117
tepat pada batas maksimal sampai empat. Dalam dua kasus ini masih bergerak dalam
lingkup batas-batas hukum Allah dari sisi kuantitas.
Dalam sebagian kasus penerapan batas maksimal dengan menikahi empat
perempuan, dan inilah yang terjadi selama empat belas abad, yaitu memahami ayat
poligini sebagai ayat yang membatasi jumlah istri dari satu hingga empat, tanpa
memperhatikan kualitas perempuan yang di nikahi. Para pelaku poligini memahami
ayat: “kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah)
seorang saja” sebagai perintah keadilan di antara para istri. Oleh karena itu, mereka
membenarkan pemahaman yang menyatakan bahwa jumlah minimal dalam
pernikahan adalah satu istri dan poligini adalah bentuk jalan keluar dari keadaan
yang memaksa.160
2. Batas-batas dari sisi hadd al kayf (Kualitas)
Maksud dari kualitas adalah apakah istri kedua dan seterusnya adalah
perempuan yang janda atau yang perawan. Jika janda apakah yang memiliki anak
atau tidak? jika di pahami dari sisi kuantitas dan mengabaikan sisi kualitas
penjelasan redaksi yang berbentuk jawaban atas persyaratan yang disebut
sebelumnya? memahami kalimat jawaban as-syarti antara ayat fankihu ma taba
lakum min al-nisa’ .......dengan ayat: wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama? Dalam
konteks ini, ada hubungan antara redaksi syarat dan redaksi jawaban syarat tersebut,
sehingga akan memperoleh pemahaman: ayat ini tidak menyebutkan syarat kualitas
160
Ibid.
118
bagi istri yang pertama, sehingga terbuka kemungkinan apakah perawan, janda
dengan anak atau janda tanpa anak.161
Agar terjadi keserasian antara redaksi jawab syarat “fankihu” dan redaksi
syaratnya yaitu keadilan terhadap anak yatim, ayat ini harus di pahami sebagai ayat
yang membicarakan para ibu janda dari anak-anak yatim, sehingga dapat di
simpulkan bahwa ayat ini memberikan kelonggaran dari segi jumlah hingga empat
istri, tetapi menetapkan persyaratan bagi istri kedua, ketiga, keempat harus seorang
perempuan yang berstatus janda yang memiliki anak. Konsekuensinya, seorang lakilaki yang menikahi janda ini harus memelihara anak-anak yatim yang ikut
bersamanya sebagaimana ia memelihara dan mendidik anak-anaknya sendiri.162
Kalau di perhatikan secara cermat firman Allah: ma thaba lakum
(perempuan-perempuan yang kamu senangi). Bahkan berkenaan dengan seorang
janda yang telah memiliki anak-anak yatim yang telah kehilangan pemimpin dan
penopang hidupnya, sehingga dengan sangat terpaksa menerima pinangan yang di
tujukan kepadanya. Allah menggunakan kata-kata halus dan penuh perasaan ketika
menyebutkan seorang janda sebagai bentuk pemuliaan terhadapnya dan menjaga
perasaannya, dan sebagai bentuk penghormatan terhadap perkawinan; padahal bagi
Allah dalam keadaan keterpaksaan yang demikian boleh-boleh saja berfirman
demikian: fankihu ma si’tum min an-nisa’i (maka kawinilah wanita-wanita yang
kamu kehendaki). Akan tetapi Allah berfirman: fankihu ma taba lakum min an-nisa’i
(maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi). Disini jelas perbedaan
antara lafad thaba dan sha’a.163
161
Ibid.
Ibid.
163
Ibid.
162
119
Akan tetapi, perhatian manusiawi terhadap ayat tersebut seringkali
menimbulkan antusiasme yang menggebu-gebu dalam hati seseorang hingga
kelebihan dalam upaya mendapatkan ridha Allah, padahal tidak mempunyai biaya
untuk menghidupi anak-anak dan keluarganya yang pertama, di tambah dengan
tanggungan-tanggungan tambahan dari istri kedua beserta anak-anak yatimnya,
sehingga ia terjatuh dalam belenggu kesulitan. Maka pembagian untuk seseorang
antara (perhatian) terhadap anak-anaknya dan kewajibannya terhadap anak-anak
yatim telah menyebabkan sikap tidak adil di antara mereka. Penjelasan akan hal ini
ada dalam firman Allah: kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka
kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih
efektif mengantisipasi tindak aniaya. Disini datang perintah Allah untuk tidak
poligini dan mencukupkan dengan seorang istri saja ketika dalam keadaan takut akan
terbelit belenggu dan terjatuh pada tindakan tidak adil.164
Syahrûr memahami bahwa Allah bukan hanya sekedar memperbolehkan
poligini, namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi, pertama, bahwa isteri
kedua, ketiga dan keempat adalah janda yang memiliki anak yatim kedua, harus
terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim. Karena batasan
yang telah di gariskan oleh Tuhan tidak akan lepas dari kondisi manusiawi, di
samping juga memiliki hikmah bagi kehidupan manusia.165
Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perintah poligini
menjadi gugur.166 Dengan demikian, perintah poligini itu adalah perintah bersyarat,
164
Ibid.
Anjar Nugraha, “Muhammad Syahrûr dan Poligami,” nusyria.netartikel.phpsubaction=show
comments&id=1135173494&archive=&start_from=&ucat=1& -45 (diakses pada: 22 mei 2007)
166
Ibid, 428.
165
120
maka poligini tersebut bukalah ketetapan yang berlaku umum, universal dan bersifat
abadi.
Kebolehan berpoligini sering di manfaatkan sebagai solusi terakhir atau pintu
darurat bagi laki-laki yang memiliki “keistimewaan” dalam kebutuhan biologis yang
berbeda dengan laki-laki lain. Pada kasus seperti itu, barulah pintu darurat di
pergunakan. Jika laki-laki tersebut tidak berpoligini, akan terjerumus ke dalam
perzinaan, sedangkan perempuan yang akan dimadu ada dan bersedia. Sunggupun
demikian berlaku adil kepada istri-istri yang dimadu itu tetap sebagai persyaratan
mutlak yang harus di penuhinya. Berarti poligini disini sebagai solusi akhir, atau
pintu darurat dan sekaligus membek-up monogami. Tetapi jika istri pertamanya tidak
bersedia dimadu, ia harus menerimanya, yaitu bercerai dengan istri pertamanya,
berarti tidak terjadi poligini atau memilih untuk tidak berpoligini.
Berpoligini dengan alasan menghindari zina, diperbolehkan daripada berzina
yang sudah jelas hukumnya haram dan sanksinya berat, yaitu rajam. Bahkan alQur’an melarang mendekati zina dengan "A‫ا ا‬-: (al-Isra’: 32). Apabila alasan
ini di hubungkan dengan poligini yang di praktekan Rasul, maka tidak relefan karena
ternyata alasannya berbeda. Rasul berpoligini dalam rangka membela orang lemah
dan untuk kepentingan dakwa Islam. Rasul berpoligini bukan di dorong oleh
kebutuhan libido seksualnya. Jika atas dasar libido tentu beliau sudah berpoligini
sejak semula, ternyata beliau bermonogami selama 28 tahun, yakni hanya beristrikan
Siti Khadijah saja. Istri-istri beliau ketika berpoliginipun perempuan-perempuan
janda bahkan ada yang sudah usia lanjut, seperti Saudah binti Zam`ah.
Uraian diatas dilengkapi dengan membaca surat an-Nisa’ mulai ayat 2, maka
akan menjadi jelas bahwa pokok pembahasan ayat 3 adalah masalah anak yatim.
121
Poligini dalam ayat tersebut sangat terkait erat, yakni hubungan sebab akibat dengan
anak-anak yatim yang kehilangan ayah karena peperangan, sementara ibunya masih
hidup dalam keadaan menjanda.167
Jika seseorang mampu menikahi tiga janda yang masing-masing memiliki
anak, hingga ia hidup dengan keluarga besar, tentunya dari sisi finansial kondisi ini
merupakan tanggung jawab yang sangat besar. Namun, jika ada kehawatiran akan
terjadi ketidak seimbangan dan ketidak adilan dalam keluarga tersebut, maka poligini
dilarang. Dalam kondisi seperti inilah firman Allah “fa-in khiftum alla ta’dilu fawakhidatan” dapat di pahami berlaku adil kepada anak-anaknya sendiri dari istri
pertama dan pada anak-anak yatim yang ikut bersama istri-istrinya yang lain. Dalam
ayat ini pengertian ‘adl (bertindak adil antara dua pihak) tanpak dengan jelas, yaitu
tindakan adil seorang bapak kepada anak-anak dari istri pertama dan kepada anakanak yang dari istri yang lainnya.
Sedangkan tindakan qist hanya ditujukan kepada anak-anak yatim saja, yaitu
anak-anak yang di bawah oleh istri kedua, ketiga dan keempat, sebagaimana firmanNya: “wa in khiftum an la tuqsitu fi al-yatama”. Jika seorang yang sudah beristri
khawatir tidak dapat berbuat adil, baik terhadap anak-anaknya sendiri maupun anakanak yatim tersebut, maka hendaklah ia menikah dengan satu istri saja.
Kata al-yatim dalam bahasa Arab dan tanzil al-hakim berarti anak yang
belum mencapai umur balig yang telah kehilangan ayahnya, sementara ibunya masih
hidup. Pengertian al-yatim seperti ini ada dalam firman Allah “Dan ujilah (didiklah)
anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin” an-Nisa’ ayat 6. Sedangkan
kata al-yatim yang berarti anak yang telah kehilangan ayahnya disebutkan juga
167
Ibid.
122
dengan jelas dalam firman-Nya: Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua
orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi
mereka berdua, sedangkan ayahnya adalah orang yang saleh (Qs.al-Kahfi:82).
Demikian juga kata yatim di sebutkan secara tersirat dalam firman-Nya: dan
janganlah kamu dekati harta anak-anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat (al-An’am:152), dan firmannya: dan berikan kepada anak-anak yatim
harta mereka, karena seorang ayah ketika masih hidup secara hukum adalah wali
bagi anaknya, sehingga tidak terdapat hal yang menjastifikasi seruan Allah untuk
memerintahkan kepada manusia agar berbuat adil kepadanya.
Permasalahan anak yatim yang telah kehilangan ayahnya, dimana Allah
menghendaki dan memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik dan adil kepada
mereka, serta menjaga dan memelihara harta mereka dan menyerahkan kembali
kepada mereka setelah menginjak usia dewasa.168
Dalam keadaan ini, yakni kekhawatiran tidak terwujudnya keadilan pada
anak-anak yatim sesuai dengan ayat yang dimaksud (sebagaimana firman Allah: dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim....), maka
ayat diatas memperbolehkan poligini, yakni menikahi ibu-ibu mereka yang menjanda
(Allah berfirman: maka kawinilah perempuan-perempuan yang kalian senangi.......).
Khitab perintah dalam ayat terebut ditujuhkan kepada orang-orang yang telah
menikah dengan seorang wanita dan memiliki anak, karena bukanlah termasuk
poligini bagi laki-laki bujangan menikahi janda yang memiliki anak-anak yatim,
dengan dasar ayat tersebut diawali dengan dua dan diakhiri dengan empat.169
168
169
Ibid, 428.
Ibid.
123
Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa pihak yang menjadi sasaran
pembicaraan dalam masalah poligini adalah seorang yang sudah memiliki satu istri,
maka dalam ayat dimulai dengan redaksi matsna atau yang kedua. Dengan demikian,
maka yang disebut dengan fawakhidah disini adalah istri kedua, bukan istri pertama.
Dengan ungkapan lain, jika seorang yang sudah menikah merasa mampu untuk
melakukan poligini, khususnya secara finansial, Allah memberikan dorongan
kepadanya untuk menikah lagi paling tidak dengan satu janda yang memiliki anak
sebagai istri keduanya.170
Pengertian ini di pertegas dengan redaksi ayat dibagian akhir “zalika adna
alla ta’ulu ”. Kalimat ta’ulu berasal dari kata awala yang berarti memiliki banyak
keturunan dan melakukan banyak tindakan ketidakadilan. Seorang laki-laki yang
bertanggung jawab atas keluarga besarnya yang mencakup keempat istrinya beserta
anak-anaknya memiliki beban besar berupa tuntutan finansial dan tanggung jawab
mendidik anak-anaknya. Jika tidak mampu mengemban tanggung jawab ini, maka
keluarganya akan tertelantar.
Kalau dilihat dari asbabul nuzul surat an-Nisa’ ayat 3 sebagaimana yang di
riwayatkan oleh A’isyah mengapa ada kaitan antara perintah memelihara anak-anak
yatim perempuan dengan izinan beristri lebih dari satu sampai dengan empat. Karena
ayat ketiga ini adalah sambungan dari ayat sebelumnya tentang memelihara anakanak yatim. Pada ayat dua itu telah dijelaskan dan di peringatkan jangan sampai ada
aniaya dan curang terhadap anak yatim, sebab itu adalah dosa yang amat besar. Jika
anak yatim itu sudah dewasa hendaklah hartanya di serahkan kepadanya, karena dia
akan menikah. Tetapi timbul niat dalam hati wali untuk menikahinya, sehingga dia
170
Ibid.
124
tidak keluar lagi dari rumah walinya, kecantikannya bisa di persunting, hartanya bisa
dikuasai, maharnya bisa di “permainkan” atau di bayar murah. Dari pada
melangsungkan niat jahat terhadap anak perempuan yatim yang ada dalam
asuhannya, lebih baik menikah dengan wanita lain, bayar maharnya dengan patut,
biar sampai empat orang.
Hal ini senada dengan pemahaman al-Thabari dalam memahami surat anNisa’ ayat 3 dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam
asuhan walinya dan juga wanita-wanita lain yang menjadi istri mereka. At-Thabari
menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap anak-anak yatim
dan berlaku adil terhadap wanita-wanita yang di kawini. Lebih lanjut menurut atThabari, apabila laki-laki tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim yang akan di
kawininya, maka ia hendaknya mengawini wanita-wanita lain yang ia sukai dua, tiga
atau empat. Namun jika khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka
nikahilah satu orang istri saja. Jika masih saja khawatir tidak dapat berlaku adil
walaupun terhadap satu istri, maka janganlah engkau menikahinya, yang demikian
itu lebih dekat keselamatan dari dosa, aniaya serta penyelewengan terhadap
wanita.171
Maka sudah menjadi keharusan bagi seorang peneliti yang bermaksud
membahas poligini dalam tanzil al-hakim untuk memperhatikan ayat-ayat dalam alQur’an secara cermat, sekaligus melihat hubungan sebab akibat antara masalah
poligini dan anak yatim sebagaimana telah di sebutkan dalam bingkai redaksi surat
an-Nisa’ ayat 3 dan ayat-ayat yang mendahuluinya.
171
Ibid, 577-578
125
Dalam konsep poligini memiliki tujuan yang sangat manusiawi. Allah
membolehkan poligini selama tidak keluar dari batas-batas hukum-Nya yang tertera
dalam surat an-Nisa’:3. Dengan pemahaman ini dapat mengetahui bagaimana Allah
sangat memperhatikan kepentingan para janda dan anak-anak yatim.
Penentu hukum syari’at memiliki keluasan gerak untuk menyusun sebagai
bentuk syari’at terkait dengan poligini di sesuaikan dengan kondisi objektif yang
melatarinya. Misalnya, jumlah laki-laki banyak berkurang akibat menjadi korban
perang, penentu syariat dapat menentukan kebijakan yang mengizinkan seorang
suami menikah dua sampai empat perempuan janda yang tidak punya anak. Tetapi
harus diingat bahwa selamanya tidak di perbolehkan seorang suami menikahi janda
yang punya anak, namun ia hanya menerima janda tersebut dan menelantarkan atau
menolak mengasuh anak-anak dari janda tersebut.
Allah memberikan keringanan kepada pelaku poligini seperti dengan
pembebasan mahar. Allah berfirman:
’Îû É=≈tGÅ3ø9$# ’Îû öΝà6ø‹n=tæ 4‘n=÷Fム$tΒuρ £ÎγŠÏù öΝà6‹ÏGøムª!$# È≅è% ( Ï!$|¡ÏiΨ9$# ’Îû y7tΡθçGøtGó¡o„uρ
£èδθßsÅ3Ζs? βr& tβθç6xîös?uρ £ßγs9 |=ÏGä. $tΒ £ßγtΡθè?÷σè? Ÿω ÉL≈©9$# Ï!$|¡ÏiΨ9$# ‘yϑ≈tGtƒ
9Žöyz ôÏΒ (#θè=yèøs? $tΒuρ 4 ÅÝó¡É)ø9$$Î/ 4’yϑ≈tFu‹ù=Ï9 (#θãΒθà)s? χr&uρ Èβ≡t$ø!Èθø9$# š∅ÏΒ tÏyèôÒtFó¡ßϑø9$#uρ
∩⊇⊄∠∪ $VϑŠÎ=tã ϵÎ/ tβ%x. ©!$# ¨βÎ*sù
Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita.
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita
yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih
dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak
yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahuinya. (an-Nisa’:127)
126
Dalam ayat ini Allah memberikan kelonggaran kepada pihak lelaki untuk
tidak membayar mahar tetapi dengan syarat memelihara anaknya yang yatim. Dalam
pernikahan poligini Allah tidak mewajibkan adil di antara para istrinya karena pada
dasarnya sikap adil ditujukan kepada anak-anak yatim. Seperti yang di firmankan
oleh Allah dalam surat an-Nisa’ 129:
È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹tym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ
∩⊇⊄∪ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# €χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)‾=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah
kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang
lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Dalam ayat ini seorang suami di tuntut untuk tidak mentelantarkan salah satu
istrinya dalam kapasitasnya sebagai seorang istri, maka Allah berfirman: “karena itu
janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu
biarkan yang lain terkatung-katung. Seorang suami harus menjaga keharmonisan
keluarga bersama istri-istrinya. Pihak istri juga berhak mengajukan gugatan cerai
tanpa kehilangan hak-haknya. Allah berfirman: jika keduanya bercerai, maka Allah
memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya.
Fiqih Islam tradisional menerapkan model poligini seperti ini sejak zaman
Nabi hingga saat ini. Namun, sekarang kondisi sejarah telah berubah dan menuntut
pemberlakuan poligini yang melibatkan sisi kualitas dan kuantitas.
Dalam kitab Ibnu al-Atsir, poligini yang dilakukan Nabi adalah upaya
transformasi sosial. Mekanisme poligini yang di terapkan Nabi merupakan strategi
127
untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke
VII M. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda semakin rendah sehingga
seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka. Sebaliknya yang dilakukan
oleh Nabi adalah membatasi poligini, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan
keharusan berlaku adil dalam poligini. Nabi dalam banyak kesempatan justru lebih
menekankan pada prinsip keadilan berpoligini. Seperti dinyatakan dalam sebuah
hadis:
“barang siapa yang mengawini perempuan. Sedangkan dia tidak dapat
berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhir nanti, separuh tubuhnya akan lepas
dan terputus”.
Sesunggunya perintah berpoligini (berdasarkan dua alasan sebagaimana
tersebut dalam dua ayat di atas) akan menguraikan berbagai kesulitan sosial yang
dialami perempuan dalam hidup bermasyarakat, antara lain:
1. Adanya seorang laki-laki disisi janda akan mampu memelihara dan
menjaganya agar tidak terjatuh dalam perbuatan keji.
2. Pelipat gandaan tempat perlindungan yang aman bagi anak-anak yatim di
mana mereka tumbuh dan di didik di dalamnya.
3. Keberadaan sang ibu disisi anak-anak mereka yang yatim senantiasa tetap
bisa mendidik dan menjaga mereka.
Hal tersebut dapat menjaga dan melindungi anak mereka agar tidak menjadi
gelandangan dan terhindar dari kenakalan remaja. Beberapa lembaga penampungan
anak-anak yatim memang telah memenuhi sebagian tempat tinggal bagi mereka,
namun hal itu dapat menjauhkan dan memisahkan mereka dari ibu-ibu kandung
mereka. Meskipun demikian, hal ini tidak menghilangkan akan pentingnya lembaga
128
dan yayasan dalam masyarakat penampung anak-anak yatim piatu yang telah
kehilangan kedua orang tuanya, dan disilah letak peran dan tujuan dari adopsi.
Bahwa ketiadaan keturunan (mandul) dapat menjastifikasi seorang laki-laki
untuk kawin dua, tiga, atau empat dan seakan-akan kemandulan adalah bencana yang
datang dari pihak perempuan saja dan tidak menimpa laki-laki. Mereka berpendapat
juga syahwat biologis seorang laki-laki mengizinkannya untuk berpoligini, sementara
mereka melupakan kenyataan bahwa antara laki-laki dan perempuan dalam masalah
ini adalah sama.
Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap anak-anak yatim. Dalam
kaitannya dengan hal itu, Allah memerintahkan poligini dengan syarat tidak khawatir
akan tidak berbuat baik kepada anak-anak yatim. Kemudian Allah kembali
memperingatkan agar waspada terjatuh dalam kelemahan dan kesulitan serta
memerintahkan untuk mencukupkan diri dengan seorang istri saja dalam keadaan
demikian.
Sebagaimana mufasir berpendapat bahwa firmannya: yatama an-nisa’i dalam
surat an-Nisa’; 127 berarti perempuan-perempuan yatim. Pendapat demikian karena
hubungan kebahasaan di antara kata: yatama dan an-nisa’ dalam firman tersebut
adalah hubungan mudhaf dan mudhaf ilayh (sehingga berarti: anak-anak yatim dari
atau milik perempuan), sedangkan hubungan bahasa di antara kedua kata tersebut
dalam pendapat; an-nisa’ al-yatimat adalah hubungan sifat dan mausufnya ‘yang
disifati’, sehingga berarti perempuan-perempuan yang yatim, makna ini berbedah
dengan makna pertama diatas. Kata an-nisa’ adalah bentuk plural dari kata imra’ah,
dan al-mar’ah adalah perempuan yang sudah mencapai usia nikah, dan sifat yatim
129
secara hukum bersamaan dengan sampainya usia nikah, berdasarkan atas firman
Allah: dan ujila anak yatim itu sampai cukup umur untuk kawin (Qs.an-Nisa’ ayat 6).
Berdasarkan hal tersebut, maka tidak ada kata nisa’ yatimat, karena kalau
tidak demikian, maka akan ada juga rijal aytam. Hal ini tidak mungkin menurut
logika. Yang penting dari kesemuahnya adalah bahwa ayat diatas memaafkan untuk
tidak memberi maskawin, mahar dan waris. Sebagian mufasir berpendapat bahwa
firman Allah “ katakanlah bahwa Allah memberi fatwa kepadamu tentang
mereka,......”, yakni Allah memberikan fatwa kepadamu tentang hukum waris bagi
perempuan dalam at-tanzil dan tentang waris dan mahar bagi perempuan-perempuan
yatim, bagaimana mungkin Allah memerintahkan agar berbuat baik dan berlaku adil
kepada anak-anak yatim, kemudian Dia memperbolehkan untuk tidak memberi
mahar (kepada perempuan-perempuan yatim tersebut) ketika kita akan menikahi
mereka.
Sesungguhnya masalah poligini sebagai perintah Tuhan yang ditetapkan
dengan persyaratan-persyaratan sebagai jalan keluar bagi persoalan kemasyarakatan
yang mungkin terjadi dan mungkin tidak, berdasarkan firman-Nya: wa in
khiftum.....(dan jika kamu khawatir). Menurut Syahrûr pelaksanaan perintah tersebut
ketika terjadi problem dan sebaliknya kita seharusnya meninggalkannya ketika kita
terjadi problem. Problem itu terkait dengan sejarah perkembangan masyarakat dan
kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Poligini adalah fenomena umum yang di
terima oleh banyak suku bangsa tanpa adanya batasan dan persyaratan.
Maka at-tanjil hakim datang untuk membatasinya sampai empat, dan
menetapkan persyaratan-persyaratan sebagaimana tersebut dalam ayat diatas, dan
menjadikanya sebagai penyelesai problem yang dialami masyarakat yang tidak
130
berkaitan sama sekali dengan halal dan haram, dan seakan-akan tanjil al-hakim
menyerahkan kepada masyarakat kapan harus melaksanakannya dan kapan harus
meninggalkannya. Hal ini mirip dengan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat:101:
βr& ÷ΛäøÅz ÷βÎ) Íο4θn=¢Á9$# zÏΒ (#ρçŽÝÇø)s? βr& îy$uΖã_ ö/ä3ø‹n=tæ }§øŠn=sù ÇÚö‘F{$# ’Îû ÷Λäö/uŽŸÑ #sŒÎ)uρ
∩⊇⊃⊇∪ $YƏÎ7•Β #xρ߉tã ö/ä3s9 (#θçΡ%x. t͍Ï≈s3ø9$# ¨βÎ) 4 (#ÿρãxx. tÏ%©!$# ãΝä3uΖÏFøtƒ
Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa
kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Allah memberikan keringanan bagi orang yang bepergian untuk menqasar
shalat, dari empat rakaat menjadi dua rakaat dengan adanya syarat, yakni dalam
keadaan khawatir terhadap fitnah dan gangguan-gangguan orang kafir. Dengan
demikian, apabila syarat tersebut tidak terbukti, maka tidak boleh meringkas shalat.
Karena itu, orang yang meringkas shalat ketika bepergian itu adalah benar. Demikian
juga orang yang tidak meringkas shalat juga benar. Karena terbukti atau tidaknya
syarat tersebut di serahkan kepada sang musafir sendiri.
Dari sini bahwa masyarakatlah yang menetapkan pemberlakuan poligini atau
melarangnya, sebab dalam memberlakukannya harus memperhatikan ada tidaknya
syarat-syarat poligini seperti yang di sebutkan dalam tanjil hakim diatas. Akan tetapi
dalam dua keadaan tersebut masyarakat harus tetap berpegang pada statistik dan
pendapat para ahli, lalu menetapkan pertimbangan mereka untuk melakukan poligini
atau tidak.
131
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Poligini memang menjadi bagian dari syari’at Islam, karena secara tekstual
diatur dalam nash al-Qur’an mapun al-Hadis, dan secara faktual dipraktekkan oleh
Rasulullah dan beberapa para sahabat. Tetapi, jika dilihat dari sisi hikmah poligini
pada awal pembentukan hukum Islam, maka tampak motif kemanusiaan dan keadilan
yang mengemuka dalam praktek poligini.
Poligini dalam surat an-Nisa’ ayat 3 terkait hubungan sebab akibat dengan
anak-anak yatim yang kehilangan ayah, sementara ibunya masih hidup dalam
keadaan menjanda. Oleh karena itu, kurang tepat bila dengan serta merta ayat
tersebut dianggap sebagai ayat pembolehan poligini secara mutlak atau langsung
disebut sebagai ayat poligini.
131
132
Upaya Syahrur dalam mengkaji al-Qur’an akhirnya membuatnya menarik
suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya al-Qur’an merupakan kumpulan ide-ide yang
menjadi landasan bagi penetapan hukum-hukum syariah. Karena itu, maka perlu
adanya reinterpretasi terhadap nash-nash al-Qur’an dengan harapan terjadi
sinkronisasi nash dengan realitas masyarakat kapanpun dan dimanapun. Muncullah
teori limit dalam upaya merealisasikan pandangan Syahrûr tersebut.
Syahrur, salah satu cendekiawan Muslim terkemuka, menerapkan teori batas
dalam memahami beberapa ayat al-Qur’an termasuk ayat tentang poligini. Pada
prinsipnya, Syahrur pun mengakui poligami menjadi bagian dari syari’at Islam, akan
tetapi penerapannya dalam praktek harus memperhatikan beberapa persyaratan, agar
poligami itu membawa hikmah.
Persyaratan esensial dalam praktek poligami adalah, pertama pelibatan janda
yang memiliki anak sebagai istri kedua, ketiga dan keempat. Kedua, harus ada
keadilan diantara para anak dari istri pertama dan anak-anak yatim para janda yang
dinikahi berikutnya. Jika ini yang dipraktekkan oleh kalangan Muslim, maka esensi
hukum (hikmah al-tasyri) adanya praktek poligami dalam perkawinan Islam menjadi
menonjol ketimbang sebagai sarana untuk memuaskan nafsu para laki-laki yang
tidak cukup dengan satu orang istri.
Poligini memang menjadi bagian dari syari’at Islam, karena secara tekstual
diatur dalam nash al-Qur’an maupun al-Hadis, dan secara faktual dipraktekkan oleh
Rasulullah dan beberapa sahabat. Tetapi jika dilihat dari sisi hikmah poligini pada
awal pembentukan hukum Islam, maka tampak motif kemanusiaan dan keadilan
yang mengemuka dalam praktek poligini.
133
B. Saran
1. Penelitian ini dilatar belakangi oleh pemikiran Muhammad Shahrur tentang
teori batas, akan tetapi peneliti hanya terfokus pada poligini. Oleh karena
itu perlu di adakan penelitian yang lebih mendalam tentang tenelitian
tersebut oleh peneliti selanjutnya sebagai kelanjutan dan pelengkap dari
penelitian ini.
2. Mahasiswa Fakultas Syari’ah sebagai mahasiswa yang berbasic ke-Islaman
hendaklah
mempunyai
dedikasi
yang
mendalam
untuk
meneliti
perkembangan pemikiran di dalam hukum Islam yang hidup ditengahtengah masyarakat agar pemikiran generasi penerus tidak stagnan.
3. Permasalahan dalam poligini merupakan suatu fenomena yang sering
terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Banyak pelaku poligini tidak
mengetahui syarat-syarat bolehnya poligini, sehingga yang terjadi di dalam
keluarga yang berpoligini banyak terjadi permasalahan yang ujungujungnya adalah penelantaran salah satu istri dan dampaknya pada anakanaknya.
Dengan demikian penulis mengharapkan agar pembaca khususnya pelaku
poligini mengetahui dan memahami syarat-syarat dan kewajiban orang
yang berpoligini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin dkk (2006) Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan
Multidisipliner Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta.
Abu Faqih, Khozin (2007) Poligami Solusi atau Masalah, Jakarta: al-I’tishom
Cahaya Umat.
Abu Zaid, Nasr Hamid (1994) Mafhum an-Nash: Dirasah fi ulumil al-Quran, Bairut:
Markaz as-Saqafi al-Arabi.
Abidin, M. Zainal (2001) Reformulasi Islam dan Iman: Kembali kepada Tanzil
Hakim dalam Perspektif Muhammad Syahrur (Artikel ini perna dimuat
dalam Jurnal Millah Vol. III No. 1.
Abdullah, Taufiq (2002) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jakarta: Ictiyar Baru Van
Hoeve.
Abdullah, Amin MA (2004) “Continuity and Change dalam Ilmu-ilmu Agama;
Meneropong Kegelisahan Akademik Ilmuan Islamic Studies Kontemporer”,
makalah ini disampaikan dalam pertemuan Rektor IAIN, UIN, dan Ketua
STAIN Se-Indonesia, M.Adib dalam Swara Dipertais No.10 Th.II, 15 Juni
2004. Sumber: www.dipertais.net Swara warta 10-04. asp-30K.
Abdurahman, Asjmuni (2007) Muhammad Syahrur dan Al-Kitab, sumber:
www.suaramuhammadiyah. or.iddocumentsmanhaj.htm - 17k
Al-Jabiri, M.Abid Terj. Ahmad Baso (2000) Post Tradisionalisme Islam,
Yogyakarta: LKiS.
Asyari, Sapari Imam (1983) Suatu Petunjuk Praktis Metode Penelitian Sosial,
Surabaya: Usaha Nasional.
As-Sabuni, Syaikh Muhammad Ali ali Bahasa Muhammad (1390 H) Ikhtisar Ulumul
Qur’an Praktis, Jakarta, Pustaka Amani.
Azis, Abdul (2006) “Karakteristik Metodologi Tafsir Ma’ani al-Qur’an,” Jurnal
Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02.
Azrah, Azyumardi (2002) Historiografi Islam Kontemporer, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Barlas, Asma (2005) Cara al-Qur’an Membebaskan Perempuan, Jakarta: PT
Serambi Alam Semesta.
Burhani, Ahmad Najib (2001) Islam Dinamis: Menggugat Peran Agama
Membongkar Doktrin yang Membatu, Jakarta: Penerbit buku Kompas.
Damaskus (2008) sumber: http/www.en.wikipedia.orgwikiMuhammad_Shahrur.
Departemen Agama (1991) Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung:
Humaniora Utama Press.
Departemen Agama Republik Indonesia (1983) Pusat Studi dan Pengembangan
Islam (Islamic Centre) Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji Proyek
Penerangan Bimbingan dan Da’wah/Khutbah Agama Islam (Pusat).
Dewanto, Nugraha (2008) “Biografi Muhammad Syahrur”, www.mail-archive.com
ppiindia@yahoogroups .com msg60918.html - 23k-.
Djajaprana, Ferri (2008) “Metode Hermeneutika
www.ferrydjajaprana.multiply.com journalitem184-25k.
Muhammad
Syahrur,”
Esha, Muhammad In’am (2001) Kontruk Historis Metodologis Pemikiran M.
Syahrur. Jurnal al-Huda Vol.2 No.4
Esha, M. In’am (2003) M. Syahrur: Teori Batas, Pemikiran Islam Kontemporer,
Yogyakarta, Penerbit Jendela.
Ghonim, Muhammad Salman Terj. Kamran Asad Irsyadi (2004) Kritik Ortodoksi,
Tafsir Ayat Ibadah, Politik dan Feminisme, Yogyakarta: LKiS.
Ghazali, Abdurrahman (2003) Fiqh Munakahat Jakarta: Prenada Kencana Media.
Ghozali, Abd. Muqsid (2007) “Muhammad Syahrur”, http://www.google.co.id
/search?q=Muhammad+Syahrur&hl=id&start=20&sa=N diakses pada: 29.
Harahap, Syahrin (1994) Al-Qur’an dan Sekulerisasi: Kajian Kritis Terhadap
Pemikiran Thaha Husain, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
I. Doi, A. Rahman (2002) Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah)
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kasir, Ibnu (2005) Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Kairo, Dar al-Hadis.
Khusniwati, Dwi Rina (2006) “Menggagas Tafsir al-Qur’an Kontemporer yang
Humanis dan Progresif,”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis, No.02.
Kodir, Fakihudin Abdul (2005) Memilih Monogami Pembacaan atas al-Qur’an dan
Hadits Nabi, Yogyakarta:Pustaka Pesantren.
Masduki, Irwan (2007) “Rekontruksi Nalar Fikih: Perpektif Para Sarjana
Kontemporer”, www.nusyria.net artikel. Php subaction=showcomments&
id= 1135173494 &archive=&start_from=&ucat=1&-45.
Moleong, Lexy, J (1999) Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Liberty.
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir (2001) Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Mubarok, Ahmad Zaki (2007) Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir
Kontemporer “ala” Muhammad Syahrur, Yogyakarta, eL-SAQ Press.
Mulia, Siti Musdah (2004) Islam Menggugat Poligami, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Mustaqim, Abdul (2004) Syahrur dan Teori Limit (Koordinator Devisi Kajian
LESPIM, Lembaga Studi Pengembangan Santri dan Masyarakat), Pesantren
Krapyak Yogyakarta, Dosen Tafsir-Hadis UIN Sunan Kalijaga.
Muthahhari, Murtadha terjmh. M.Hashem (1995) Hak-hak Wanita dalam Islam,
Jakarta: Lentera Basritama.
Nasution, Harun (1973) Filsafat Ilmu dan Misticisme, Jakarta: Bulan Bintang.
Nazir, Moh. (1988) Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nugraha, Anjar (2007) Muhammad Syahrur dan Poligami, sumber: nusyria.net
artikel.phpsubaction=showcomments&id=1135173494&archive=&start_fro
m=&uc=1&-45.
Qardhawi, Yusuf (1993) Prioritas Gerakan Islam: Antisipasi Gerakan Masadepan,
Jakarta: al-Islahy Press.
Rafiq, Ahmad (1996) Hukum Islam Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sabiq, Syayid alih Bahasa Moh.Thalib (1980) Fikih Sunnah, jilid 6, 7, 8, Bandung:
al-Ma’arif.
Sadili, Mukhtar (2007) Kumpulan Resensi, muhtarsadili.blogspot.com 2006_08_01
archive.html-57k.
Sa’id, Bustani Muhammad (1995) Gerakan Pembaharuan Agama antara
Modernismr dan Tajdiddudin, Bekasi: PT. Wacanalazuardi Amanah.
Al-Atsari, Abu Salman (2007) “Poligami di Hujat: Jawaban Rasional bagi Penghujat
Sunnah dan Syari’at Poligami,”, sumber: http//www.dearto Abu Salma.
Syah, M. Aunul Abied dan Hakim Taufiq (2001) Tafsir Ayat-ayat Gender dalam alQur’an: Tinjauan Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur, Dalam
Bacaan Kontemporer, Bandun: Mizan.
Syahrur, Muhammad (1990) Al-Kitab wa al-Qur’an:Qira’ah Mu’ashirah cet.1
Damaskus al-Ahali li al-Thiba’ah wa al-Nasyr.
_________ (1996) Al-Islam wa al-Iman; Manzumat al-Qiyam (Damaskus: Al-Ahali.
_________ (2000) Nahwa Ushul Jadidah li al-Fikih al-Islami, Damaskus, al-Ahali.
_________ (2003) Devine Texs and Pruralisme in Musliem Societies, Sahiron
yamsuddin dkk, Hermeneutika al-Qur;an Madzab Yogya, Yogyakarta:
Islamika dan Forstudia.
Saenong, Ilham B (2002) Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir al-Quran
Menurut Hasan Hanafi, Jakarta: Penerbit Teraju.
Samsuddin, Sahiron (2002) Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrur dalam
Penafsiran al-Quran dalam Abdul Mustaqim, Sahiron Syamsudin (Ed),
Studi al-Quran Kontemporer, Yogyakarta: PT.Tiara Wacana.
_________ (2003) Hermeneutika al-Qur’an Madzab Jogya, Yogyakarta: Islamika
dan Forstudia.
_________ (2004) Metodologi Islam Kontemporer, Yogyakarta: Fortudia dan eLSAQ Press.
_________ (2004) Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press.
Shah, M. Aunul Abied dan Hakim Taufiq (2001) Tafsir Ayat-ayat Gender dalam AlQur’an:Tinjauhan terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur dalam Bacaan
Kontemporer, Bandung: Mizan.
Sjadzali, Ahmad Fawa’id (2008) M.Shahrur: Figur Fenomena dari Syiria, makalh
dikutip dari: hppt: www. islamlib.comenpage.phppage=article&id=693.
Shihab, Quraisy (2000) Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
Ciputat: Lentera Hati.
Syafi’ie, Rahmat (1999) Ilmu Ushul Fiqih Untuk IAIN, STAIN,PTAIS, Bandung:
Pustaka Setia.
Syafi’e, Rahmat (1999) Ilmu Ushul fikih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung:
Pustaka Setia.
Soekanto, Soejono (1984) Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UIPres.
Soekanto, Soejono dan Sri Mahmudji (2003) Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Khusus, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Soemiyati (1999) Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan
Yogyakarta: Liberty.
Wilar, Abraham Silo (2006) Poligini Nabi Muhammad (Kajian Kritis Teologis
Terhadap Pemikiran Ali Syari’ati dan Fatimah Mernissi), Yogyakarta:
Pustaka Rikhlah.
Zahra, Muhammad Abu Terj. Saeful Ma’sum dkk (1994) Ilmu Ushul Fikih, Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Zuhdi, Masyfuq (1990) Pengantar Ulumul Qur’an, Surabaya: Bina Ilmu.
Download