BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harapan II. A. 1 Defenisi Harapan Pada awal terbentuknya teori-teori psikologi dan mulai adanya penelitianpenelitian yang fokus terhadap perilaku manusia, harapan tidak dianggap sebagai sebuah variabel yang penting dan memiliki kualitas tertentu. Hingga pada tahun 1960, Mowrer, seorang peneliti yang melakukan sebuah penelitian mengenai perilaku manusia (dalam Jacoby & Keinan., 2003), mendefenisikan harapan sebagai suatu faktor yang memotivasi makhluk hidup untuk belajar mengenai respon-respon baru agar ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Kekuatan harapan akan berbeda tergantung pada pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh makhluk hidup tersebut. Penelitian tentang peran harapan terhadap perilaku manusia semakin banyak dilakukan. Salah satu peneliti yang memfokuskan perhatiannya untuk mempelajari tentang harapan adalah Charles R. Snyder. Snyder (1994) mendefenisikan harapan sebagai keseluruhan dari keinginan dan upaya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kemudian, untuk menyempurnakan teori yang telah ia kemukakan sebelumnya, Snyder mendefenisikan harapan sebagai keadaan motivasional positif yang didasarkan oleh adanya interkasi antara agency (energi yang berorientasi pada tujuan) dan pathways (perencanaan dalam menggapai tujuan) (Snyder & Lopez, 2002). Harapan merupakan sebuah keadaan motivasional 14 Universitas Sumatera Utara positif yang berada di dalam diri seseorang, yang didasari oleh adanya perasaan bahwa ia akan mencapai tujuan yang ia inginkan berdasarkan energi dan upaya yang ia kerahkan untuk mencapai tujuan tersebut (Snyder & Lopez, 2002). Snyder juga menambahkan bahwa pemikiran yang penuh harapan merupakan gambaran dari keyakinan seseorang bahwa ia dapat menemukan jalan/cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan ia termotivasi untuk benar-benar melalui jalan/cara itu (Snyder & Lopez, 2002). Dari beberapa defenisi harapan yang dikemukakan di atas, kita dapat menemukan kesamaan bahwa harapan memiliki beberapa komponen yang saling berinteraksi; yaitu tujuan, kemauan (komponen motivasional) serta upaya. Sehingga, kita dapat menyimpulkan bahwa harapan merupakan interaksi timbal balik antara adanya kemauan dan upaya seseorang untuk mencapai tujuan yang ia harapkan. Selanjutnya, ketiga komponen diatas akan dibahas satu per satu secara lebih rinci. II. A. 1. 1 Goals (Tujuan) Goals merupakan hasil yang kita inginkan untuk tercapai. Tujuan adalah sesuatu yang kita ingin peroleh (misalnya, suatu objek) atau yang ingin kita capai (misalnya suatu prestasi). Kita harus memikirkan mengenai besarnya dan pentingnya tujuan ketika dikaitkan dengan harapan. Tujuan sebagai bagian dari harapan bukanlah ketika kesempatan untuk mencapainya sama sekali tidak ada (ingin sembuh total tanpa menjalani pengobatan) ataupun ketika kita sangat yakin akan mencapai tujuan tersebut (ingin menghambat pertumbuhan kanker dengan 15 Universitas Sumatera Utara pengobatan dan perubahan pola hidup). Jika kemungkinan untuk mencapai tujuan yang diinginkan benar-benar 0 persen (sangat tidak mungkin untuk dicapai) atau 100 persen (sangat mungkin untuk tercapai), maka hasilnya sudah sangat ditentukan sehingga pemikiran yang penuh harapan menjadi tidak relevan. Kesimpulannya, tujuan yang mencakup harapan berada diantara hal-hal yang tidak mungkin dan hal-hal yang sangat pasti (Snyder, 1994). Seberapa banyak tujuan yang harus kita buat? Ketika berbicara mengenai tujuan, kita tidak harus “put all their eggs in just one basket”. Tujuan dapat dibagi-bagi menjadi suatu hal yang lebih spesifik dari bagian kehidupan yang berbeda-beda. Kita juga harus mampu untuk membagi perhatian dari satu tujuan ke tujuan lain dengan relatif mudah. Pendekatan ini sangat bermanfaat ketika salah satu tujuan sangat tidak mungkin untuk tercapai, sehingga orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi dapat dengan segera berpindah ke tujuan yang lain yang sudah ada di agenda mental mereka. Fleksibilitas seperti ini dapat menjaga harapan untuk tetap hidup ketika satu tujuan tidak bisa tercapai (Snyder, 1994). Kemudian, seberapa sulit tujuan yang dibuat oleh orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi? Satu studi menemukan bahwa orang-orang dengan tingkat harapan yang lebih tinggi cenderung memilih tugas-tugas yang lebih sulit. Walaupun orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi cenderung merencanakan tujuan yang lebih sulit, mereka terlihat tidak terbebani. Sebaliknya, mereka tampak menikmati permainan ini (Snyder, 1994). 16 Universitas Sumatera Utara II. A. 1. 2 Willpower (Kemauan) Willpower atau yang sekarang disebut dengan agency thinking merupakan tenaga penggerak pada pikiran yang penuh harapan. Willpower merupakan sebuah determinasi dan komitmen yang dapat diandalkan untuk membantu mengarahkan kita kepada tujuan yang diinginkan. Walaupun kita dapat menerapkan determinasi tujuan kita secara luas, secara umum lebih mudah untuk mengaktivasikan pemikiran yang penuh dengan keinginan ketika kita membayangkan suatu tujuan yang penting. Willpower juga dapat dipicu dengan lebih mudah ketika kita memahami secara jelas dan dapat merepresentasikan suatu tujuan dalam pikiran kita. Willpower merefleksikan pemikiran kita untuk berinisiasi dan mempertahankan pergerakan menuju tujuan yang diinginkan. Penting untuk menggarisbawahi, bahwa willpower tidak dicapai dengan mudah tanpa adanya hambatan-hambatan yang mungkin muncul. Sebaliknya, bahkan dalam situasi stress, ketika kita mendapatkan penghalang untuk mencapai tujuan, kita dapat menghasilkan usaha-usaha mental yang dibutuhkan untuk menghancurkan penghalang-penghalang tersebut. Orang-orang yang penuh keinginan adalah orang-orang yang berhasil menghadapi kesulitan sebelumnya. Jaringan dukungan sosial yang dimiliki seorang individu, yang dapat diandalkan pada saat senang maupun susah akan sangat membantu individu untuk memunculkan kembali willpower-nya dan membantu menghancurkan penghalang-penghalang yang muncul (Snyder, 1994). Willpower dapat berasal dari dalam diri individu ataupun dapat muncul dari dorongan-dorongan eksternal. Harapan merupakan salah satu contoh yang 17 Universitas Sumatera Utara jelas mengenai kerja sama antara sistem biologis dan tekanan sosial. Walaupun terlihat janggal karena harapan merupakan pengalaman “pribadi” seseorang, tetap saja terdapat perbedaan antara harapan yang dirasakan oleh orang-orang dari budaya dan agama yang berbeda. Pada lingkungan yang menekankan individualitas, harapan dibentuk dengan lebih menekankan pada tujuan personal daripada hubungan dengan orang lain. Pada budaya kolektivis, sumber dan tujuan harapan saling terkait untuk tidak hanya memberikan manfaat bagi individu, tetapi juga bagi kelompok, yang anggotanya dapat mencakup keluarga inti hingga seluruh populasi. Agama yang terdapat di seluruh dunia juga mewakili cara berfikir dan pengalaman mengenai harapan dengan berbeda. Pada orang yang religius, berdoa dapat meningkatkan energi mental seseorang (Snyder, 1994). II. A. 1. 3 Waypower (Upaya). Waypower atau yang sekarang disebut dengan pathways thinking merefleksikan perencanaan mental atau “peta jalan” yang menuntun pemikiran yang penuh harapan. Waypower merupakan kapasitas mental untuk menemukan satu atau lebih cara-cara efektif yang akan membantu tercapainya tujuan kita. Faktor yang mempengaruhi waypower kita serupa dengan apa yang dijelaskan pada willpower. Kapabilitas perencanaan dapat diaplikasikan terhadap banyak tujuan yang berbeda; tetapi, lebih mudah untuk membuat rencana yang efektif ketika tujuan yang diinginkan sudah jelas. Tujuan yang dianggap penting akan meningkatkan perencanaan-perencanaan (Snyder., 1994). 18 Universitas Sumatera Utara Sebagian kapabilitas waypower didasarkan pada pengalaman kesuksesan sebelumnya untuk menemukan satu atau lebih cara untuk menggapai tujuan. Ketika perencanaan yang kita buat memiliki hambatan-hambatan, maka kita melakukan senam mental untuk merencanakan cara-cara lain. Tentu saja, alternatif-alternatif ini tidak terbatas hanya satu saja. Orang-orang dengan kapabilitas waypower yang tinggi percaya bahwa mereka akan menemukan beberapa cara untuk mencapai tujuan, pada beberapa situasi tertentu mereka merubah blueprint mental mereka agar sesuai dengan tujuan tertentu dan halangan yang mungkin dihadapi (Snyder, 1994). II. A. 1. 4 Hope = Mental Willpower + Waypower for Goals Harapan menggambarkan sebuah set mental dimana kita harus memiliki kemauan dan upaya untuk mencapai tujuan yang kita inginkan. Orang yang memiliki kemauan biasanya juga memiliki upaya untuk mencapai tujuannya, tetapi terkadang ada juga orang yang tidak seperti itu. Jika seseorang tidak memiliki kemauan serta upaya, maka harapan yang tinggi tidak mungkin muncul. Demikian pula jika seseorang tersebut hanya memiliki kemauan ataupun upaya saja (Snyder, 1994). Seseorang yang memiliki kemauan serta upaya untuk mencapai tujuan menggambarkan tingkat harapan yang tinggi. Pemikiran yang disertai dengan harapan yang tinggi akan sangat membantu ketika kondisi semakin memburuk. Pada kondisi yang seperti ini, orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi mulai memikirkan rute alternatif untuk mencapai tujuan mereka dan akan 19 Universitas Sumatera Utara melakukan cara-cara yang menurut mereka akan berhasil. Dengan kata lain, orang dengan harapan yang tinggi mengarahkan energi mereka kepada alternatif upaya yang lebih efektif (Snyder, 1994). Harapan merupakan proses konstan yang meliputi pemikiran mengenai diri kita terkait tujuan yang kita inginkan. Pemikiran kita akan mempengaruhi perilaku kita. Lingkungan eksternal pasti sangat berpengaruh terhadap kita. Cara kita memikirkan dan menginterpretasikan lingkungan eksternal kita merupakan kunci untuk memahami harapan (Snyder, 1994). II. A. 2 Karakteristik Orang dengan Harapan Tinggi Beberapa karakteristik yang turut menyertai orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi (Snyder, 1994): 1. Optimisme. Optimisme biasanya berelasi lebih kuat dengan komponen willpower daripada dengan komponen waypower. Orang yang optimis cenderung merasakan energi mental terhadap tujuan mereka, tetapi belum tentu memiliki pemikiran yang waypower. 2. Perception of control. Orang-orang dengan level harapan yang tinggi dikaitkan dengan sumber kontrol yang internal, yaitu mereka mengontrol takdir mereka sendiri. 3. Kemampuan dalam menyelesaikan masalah. Cara berfikir dalam penyelesaian masalah pada orang dengan level harapan yang tinggi terlihat ketika mereka mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan mereka. Dalam kondisi seperti ini, orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi 20 Universitas Sumatera Utara menjadi sangat berorientasi pada tugas dan mencoba cara-cara alternatif untuk mendapatkan apa yang mereka harapkan. 4. Kompetitif. Kompetitif mencakup pengujian diri sendiri yang dibandingkan dengan orang lain. Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi tidak bertujuan untuk selalu menang dalam setiap kompetisi, hanya saja mereka menikmati proses menguji kemampuan mereka dan kompetisi memberikan tantangan yang menyegarkan. 5. Self-Esteem. Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi berpikir positif mengenai diri mereka sendiri karena mereka tahu mereka telah mencapai suatu tujuan di masa lalu dan mereka juga dapat melakukan hal yang sama di masa depan. 6. Positive and negative affectivity. Karakteristik lain yang mengikuti harapan adalah positive affectivity yang merupakan keadaan mental dikarakteristikkan dengan konsentrasi penuh, engagement, dan energi yang tinggi. 7. Kecemasan dan depresi. Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi bukan berarti sama sekali terbebas dari rasa kecemasan, hanya saja mereka dapat mengatasinya dengan pemikiran willpower dan waypower. Orangorang dengan level harapan yang tinggi juga hidup dengan energi mental dan ide-ide untuk mencapai tujuan yang mengakibatkan mereka seharusnya tidak depresi. 21 Universitas Sumatera Utara II. A. 3 Harapan untuk Mengatasi Permasalahan Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi, cenderung bisa melihat keuntungan pada setiap kejadian dalam kehidupan, termasuk kejadian yang dapat mengakibatkan stress dan mereka akan memanifestasikan rasa sejahtera dalam kehidupan mereka. Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi ini dapat mengatasi permasalahan dengan efektif dikarenakan, antara lain (Snyder, 1994): 1. Meminimalkan hal yang negatif. Orang-orang dengan tingkat harapan yang lebih tinggi tidak mempersepsikan kejadian dalam kehidupan mereka sebagai suatu hal yang mengganggu. Pemikiran orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi membuat mereka dapat bertahan dan mereka yakin bahwa kejadian tersebut akan berlalu. 2. Melihat keluar dan menyelesaikan masalah. Daripada mencemaskan diri mereka sendiri, orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi lebih berkonsentrasi pada situasi untuk melihat apa yang harus diselesaikan. Dengan melihat keluar, orang-orang dengan tingkat harapan yang lebih tinggi menjadi lebih efektif dalam membuat perencanaan untuk menghadapi masalah. 3. Call on Friends. Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi melaporkan bahwa mereka tidak sendirian. Mereka tampaknya memiliki jaringan dukungan sosial yang dapat diandalkan pada waktu senang dan waktu susah. 4. Tertawa. Orang-orang dengan tingkat harapan tinggi menggunakan humor untuk berhadapan dengan permasalahan. Mereka mampu 22 Universitas Sumatera Utara tertawa pada hal-hal yang terjadi disekitar mereka dan hal yang lebih penting, mereka dapat menertawakan diri mereka sendiri. 5. Berdoa. Diantara orang-orang yang religius, tingkat harapan yang tinggi dikaitkan dengan berdoa. Berdoa berarti meningkatkan energi mental seseorang atau willpower. 6. Latihan. Ada beberapa bukti yang mneunjukkan orang-orang dengan tingkat harapan tinggi cenderung lebih banyak melakukan latihan dari pada orang-orang dengan tingkat harapan yang rendah. 7. Menjaga kesehatan. Orang yang penuh harapan cenderung lebih menjaga diri mereka dengan lebih baik dibandingkan dengan orangorang yang memiliki tingkat harapan rendah. Mereka lebih peduli pada perilaku terkait permasalahan kesehatan, tetapi juga lebih mau untuk memeriksakan diri dan berkonsultasi dengan professional. 8. Aging Grafecully. Hal yang paling sulit dalam kehidupan dewasa adalah untuk menghadapi penuaan dengan sukses. Permasalahan yang muncul adalah bahwa kita mulai menyadari tentang mortalitas kita sendiri. Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi cenderung menerima kematian mereka dengan netral. 9. The Hope and Coping Connections. Orang-orang dengan tingkat harapan tinggi meminimalkan hal-hal negatif yang mereka hadapi dan secara simultan mengalihkan perhatian mereka kepada situasi. Sebagaimana orang-orang dengan harapan tinggi menghadapi berbagai 23 Universitas Sumatera Utara macam situasi, mereka dapat menyelesaikan masalah dan dapat tertawa sebagai salah satu cara untuk coping. II. A. 4 Pengaruh Harapan bagi Kesehatan Fisik Bidang ilmu psikologi kesehatan fokus terhadap meningkatkan dan mempertahankan kesehatan yang baik serta mencegah, mendeteksi dan mengobati penyakit. Penelitian-penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa harapan memiliki pengaruh positif terkait hal ini. Snyder dkk (Snyder & Lopez., 2002) membagi kekuatan harapan menjadi primary dan secondary prevention. Prevensi primer mencakup pemikiran ataupun tindakan yang bermaksud untuk mengurangi ataupun menghilangkan kesempatan munculnya permasalahan kesehatan (baik fisik maupun psikologis) yang dapat muncul dikemudian hari. Prevensi sekunder mencakup pemikiran maupun tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan, menurunkan ataupun memuat permasalahan ketika hal itu muncul. Pada level individual, prevensi primer dan harapan telah menjadi pusat perhatian. Orang-orang dengan tingkat harapan yang lebih tinggi cenderung menggunakan informasi mengenai penyakit fisik mereka manjadi manfaat bagi mereka. Orang dengan tingkat harapan yang tinggi menggunakan informasi mengenai etiologi penyakit untuk melakukan apa yang lebih membantu dan mengurangi apa yang lebih menyakitkan. Pengetahuan berperan sebagai pathways untuk prevensi. Teori ini juga bisa diaplikasikan pada level masyarakat dengan tujuan untuk mencegah penyakit fisik. Prevensi primer dalam level ini mencakup 24 Universitas Sumatera Utara pemikiran untuk mengurangi resiko dan inokulasi seluruh segmen masyarakat dalam melawan penyakit. Prevensi ini juga mencakup peningkatan perilaku yang diinginkan dan menurunkan perilaku buruk yang ditargetkan melalui iklan, hukum dan nilai-nilai sosial yang dibagikan. Ketika penyakit fisik telah muncul, harapan masih memainkan peranan yang penting, tetapi lebih ke dalam bentuk prevensi sekunder. Harapan berhubungan secara positif dengan penyesuaian terhadap kondisi dengan lebih baik pada orang-orang yang terkena penyakit kronis, cedera parah dan kecacatan. Pada level masyarakat, prevensi sekunder juga berperan penting. Misalnya, televisi dapat menjadi agen yang berpengaruh dalam memotivasi orangorang untuk mencari bantuan yang mereka perlukan. Ketika orang-orang menyadari bahwa permasalahan mereka bukan merupakan kejadian yang terisolasi, maka mereka cenderung mencari pertolongan. II. B. Kanker II. B. 1 Defenisi Kanker Kanker merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh kebanyakan orang dan sering dikaitkan dengan pemikiran tentang kematian sebagai dampak terburuk dari penyakit tersebut. (Burish et al., 1987 dalam Sarafino., 2011). Ada lebih dari seratus jenis kanker. Kanker dapat muncul dari beragam sel dan diklasifikasikan menurut asal sel nya. Seringkali, istilah tumor diasumsikan sama dengan kanker; tetapi tidak semua tumor merupakan kanker. Tumor, yang disebut juga sebagai neoplasma, merupakan pertumbuhan awal dari sel abnormal yang tidak memiliki 25 Universitas Sumatera Utara fungsi berguna serta dapat mengganggu fungsi sel sehat lainnya (Falvo., 2005). Sedangkan kanker merupakan penyakit yang disebabkan oleh proliferasi sel-sel di dalam tubuh yang tidak terkendali dan biasanya membentuk neoplasma yang besar (Tortora & Derrickson., 2009; Williams., 1990 dalam Sarafino., 2011). Kanker muncul ketika ada alterasi (mutasi) dari DNA dalam sel normal. Sebagai hasilnya, mekanisme kontrol yang meregulasi sel reproduktif menjadi hilang. Karena perkembangan sel kanker tidak dapat dikontrol, sel-sel ini dapat berkembang menjadi lebih banyak dan menyebabkan sel-sel normal dalam jaringan menjadi mati (Falvo., 2005). Tempat kemunculan awal dari berkembangnya sel kanker disebut dengan primary site, yang terkadang disebut juga sebagai tumor primer. Sel kanker tidak hanya tetap berada di tempat awal, akan tetapi dapat menjadi lebih luas, bahkan beberapa sel kanker dapat berpindah ke bagian tubuh lainnya dan akan memulai pola reproduksi yang abnormal kembali. Perpindahan sel kanker dari tempat bertumbuh awal ke bagian tubuh lainnya dinamakan metastasis. Reproduksi sel kanker pada tempat tambahan ini dinamakan tumor sekunder, yang memiliki makna bahwa metastasis telah muncul dan tumor sekunder bukan merupakan tempat awal munculnya kanker (Falvo., 2005). Kanker dapat mengarah pada kematian, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kanker akan mengarah pada kematian secara langsung ketika penyakit ini telah menyebar ke organ-organ yang vital, seperti otak, hati atau paru-paru; sel-sel kanker ini akan mengambil nutrisi yang dibutuhkan jaringanjaringan organ, sehingga organ akan gagal berfungsi. Selain itu, kanker dapat 26 Universitas Sumatera Utara menyebabkan kematian secara tidak langsung dengan dua cara: penyakit tersebut akan melemahkan pasien ataupun penyakit dan penanganan secara bersama-sama merusak pola makan pasien dan kemampuan pasien untuk melawan infeksi (Laszlo., 1987 dalam Sarafino., 2011). Kanker dibagi menjadi beberapa stadium yang didasarkan pada karakteritik spesifik terkait tingkat keparahan penyakit. Pada stadium awal, tingkat harapan hidup masih tinggi (pada stadium 0 tingkat kesembuhan mencapai 93%, stadium I tingkat kesembuhan mencapai 88%, stadium IIA tingkat kesembuhan mencapai 81%, stadium IIB tingkat kesembuhan mencapai 74% dan stadium IIIA tingkat kesembuhan mencapai 67%. Sedangkan pada stadium akhir, tingkat harapan hidup menjadi lebih rendah (stadium IIIB tingkat kesembuhan hanya mencapai 49%, stadium IIIC tingkat kesembuhan hanya mencapai 41% dan stadium IV tingkat kesembuhan hanya mencapai 15%). Asmino dan Soendoko mengatakan bahwa sebagian besar masalah penyakit kanker di Indonesia dikarenakan hampir 70% penderita penyakit ini ditemukan dalam keadaan stadium lanjut. Lebih dari 50% penderita penyakit kanker payudara yang berobat ke Rumah Sakit ataupun dokter sudah berada dalam kondisi stadium lanjut (dalam Oemiati dkk, 2011). Hal ini membuat kanker menjadi penyebab kematian utama kedua yang memberikan kontribusi 13% kematian dari 22% kematian akibat penyakit tidak menular di Indonesia (dalam Oemiati dkk, 2011). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kanker adalah penyakit yang disebabkan oleh perkembangan sel-sel abnormal di dalam tubuh yang tidak 27 Universitas Sumatera Utara terkendali, membentuk tumor yang besar dan menyebabkan sel-sel normal disekitarnya menjadi mati serta dapat menyebabkan kematian. II. B. 2 Jenis Penanganan Kanker Tujuan dari penanganan kanker adalah untuk mengobati penyakit, untuk membebaskan seseorang dari penyakit tersebut selamanya, perpanjangan hidup serta pencegahan metastasis. Hal ini dapat terjadi ketika seluruh neoplasma ditemukan dan dieliminasi (Laszlo., 1987 dalam Sarafino., 2011 dan Falvo., 2005). Jika tidak semua kanker dieliminasi, gejala-gejala yang dialami pasien mungkin akan hilang untuk beberapa saat dan akan muncul kembali dikemudian hari (Sarafino., 2011). Dalam istilah pengobatan kanker, kesembuhan biasanya didefenisikan sebagai tidak adanya bukti kanker dalam lima tahun setelah pengobatan, yang mengindikasikan ekspektansi kehidupan normal bagi individu. Pengobatan untuk mencegah metastasis, yang disebut sebagai adjuvant therapy, ditujukan untuk mengeliminasi kanker yang, walaupun tidak terdeteksi dan tidak memiliki gejala, dapat muncul dan dapat menyebabkan kemunculan penyakit kembali. Palliative therapy ditujukan untuk mengurangi gejala atau komplikasi dari kanker, misalnya nyeri yang parah, daripada kesembuhan itu sendiri (Falvo, 2005). Secara umum, ada tiga jenis penanganan kanker yang paling sering digunakan (Sarafino., 2011), yaitu: a. Pembedahan. 28 Universitas Sumatera Utara Prosedur pembedahan untuk penyakit kanker dapat mencakup preventif, kuratif, paliatif maupun rekonstruktif. Pembedahan preventif dilakukan pada pra-kanker ataupun lesi mencurigakan yang ditemukan. Pembedahan kuratif tidak hanya dilakukan pada tumor saja, tetapi juga pada organ ataupun sekeliling jaringan ikat. Pembedahan paliatif diarahkan untuk mengecilkan ukuran ataupun menghambat pertumbuhan tumor, atau menghilangkan ketidaknyamanan parah yang dihubungkan dengan hadirnya tumor. Pembedahan rekonstruktif diarahkan untuk mengembalikan fungsi maksimal ataupun menyembuhkan kecacatan. b. Kemoterapi. Kemoterapi dapat digunakan sebagai penyembuhan, pencegahan ataupun paliasi. Kemoterapi menggunakan antineoplastic medications (zat kimia yang menghancurkan sel kanker) dalam pengobatan sistematis dari penyakit kanker. Akan tetapi, untuk menghancurkan dan merusak sel kanker, pengobatan ini juga dapat merusak sel normal yang bertumbuh dengan cepat, misalnya sel dari folikel rambut dan kulit. c. Radiasi (internal atau eksternal) Dalam terapi radiasi, sinar dengan energi tinggi digunakan untuk menghancurkan sel kanker dan mencegah mereka untuk berkembang dan bereproduksi. Teknik ini dapat digunakan untuk penyembuhan kanker, menghilangkan gejala, ataupun untuk menjaga kanker tetap dalam pengawasan. Terapi radiasi dapat dilakukan secara internal maupun eksternal. Terapi radiasi secara internal ada beragam jenis, dua diantaranya 29 Universitas Sumatera Utara adalah intracavity therapy dan interstitial therapy. Dalam intracavity therapy, zat radioaktif ditempatkan dalam body cavity selama kira-kira 2472 jam, kemudian diangkat kembali, misalnya zat radioaktif ditempatkan di vagina dalam pengobatan kanker serviks. Interstitial therapy menempatkan zat radioaktif di jarum ataupun alat bantu lainnya dan kemudian diimplamantasikan secara langsung ke tumor. Selama terapi radiasi eksternal, sebuah mesin mengeluarkan sinar berenergi tinggi terhadap kanker sehingga efek maksimum dari radiasi langsung mengenai tumor tersebut. Pengobatan-pengobatan di atas dapat berdiri sendiri ataupun dikombinasikan dengan mempertimbangkan jenis kanker dan stadium kanker. Kanker yang berkembang dalam tingkatan berbeda, muncul dan membesar di tempat yang berbeda, akan memiliki reaksi yang bebeda terhadap beragam pengobatan. Seringkali, dokter melakukan beberapa penanganan yang dikombinasikan, disebut sebagai multimodal (Falvo, 2005). II. B. 3 Efek Samping Pengobatan Kanker Bagi banyak pasien, ada dua efek samping dari pengobatan kanker yang sulit. Pertama, kebanyakan orang yang mendapatkan radiasi dan kemoterapi berulang mengalami kelelahan yang parah dan berkepanjangan, yang biasanya akan semakin memburuk setelah pengobatan berakhir (Cella et al., 1998; Jacobsen & Thors., 2003 dalam Sarafino., 2011). Kedua, kemoterapi dan radiasi biasanya menghasilkan periode mual dan muntah selama dan segera setelah pengobatan. 30 Universitas Sumatera Utara Obat-obatan untuk mengurangi mual hanya efektif pada beberapa pasien (Jordan, Schmoll & Aapro., 2007 dalam Sarafino., 2011). Mual dan muntah dapat mengakibatkan dampak yang serius, misalnya pasien menjadi sangat aversif sehingga tidak melanjutkan pengobatan, yang dapat memperburuk keadaan mereka (Carey & Burish., 1988 dalam Sarafino., 2011). Dan banyak pasien kemudian mengembangkan anticipatory nausea serta mengalami learned food aversion. Anticipatory nausea adalah keadaan ketika pasien yang telah menerima sedikit pengobatan dan akan menerima obat lagi, mengalami muntah sebelum obat diberikan. Beberapa juga mengalami mual ketika mereka tiba di rumah sakit ataupun ketika memikirkan pengobatan yang akan diberikan ketika di rumah (Andrykowski., 1990; Carey & Burish., 1988 dalam Sarafino., 2011). Pasien kanker yang menerima kemoterapi atau terapi radiasi biasanya melaporkan bahwa mereka mengembangkan rasa tidak suka pada makanan yang dulu mereka sukai, yang disebut sebagai learned food aversion. Makanan tersebut menjadi tidak disukai karena individu mengasosiasikannya dengan gejala mual dan muntah. Learned food aversion merupakan permasalahan medis karena pasien kanker biasanya mengalami kehilangan nafsu makan, yang dapat mengarahkan pada kehilangan berat badan yang drastis (Mattes, Arnold, & Boraas, 1987a, 1987b dalam Sarafino., 2011). 31 Universitas Sumatera Utara II. B. 4 Dampak Psikososial Kanker Dengan mengenyampingkan jenis kanker dan jenis pengobatan, semua individu yang menderita kanker mengalami permasalahan psikologis. Reaksi terhadap diagnosa kanker bervariasi terhadap masing-masing individu dan sering kali tidak hanya melibatkan jenis dan tingkat keparahan kanker, tetapi juga keadaan individu dan kemampuan untuk coping (Falvo., 2005). Disamping pengobatan medisnya, kata “kanker” sendiri masih menimbulkan ketakutan pada banyak orang. Kanker sering dianggap sebagai ancaman terhadap mortalitas dan masa depan mereka. Individu akan takut kehilangan hubungan, kebebasan, pekerjaan, keberfungsian tubuh dan juga kehilangan kehidupan. Diagnosa kanker juga dapat menjadi simbol kerentanan, hilangnya kendali atau tidak adanya harapan (Falvo., 2005). Kebanyakan individu penderita kanker, mengalami beban emosional ketika mereka pertama kali didiagnosa. Kubler-Ross (1969, dalam Cavanaugh., 2006) mengemukakan bahwa ada lima reaksi emosional yang dimunculkan seseorang yang mengalami terminal illness dan akan menghadapi kematian, yaitu denial, anger, bargaining, depression dan acceptance. Ketika seseorang didiagnosa mengidap suatu penyakit yang parah, reaksi pertama mereka biasanya adalah shock dan tidak percaya. Menyangkal (denial) merupakan reaksi yang normal pada seseorang yang menyadari bahwa ia sedang menghadapi kematian (Cavanaugh., 2006). Ada juga saat-saat ketika orang tersebut mengekspresikan rasa kemarahan (anger) sebagai bentuk perlawanan dan kecemburuan kepada pekerja medis, keluarga maupun teman-teman. Pada fase 32 Universitas Sumatera Utara bargaining, seseorang tersebut akan mencari jalan keluar. Biasanya mereka membuat perjanjian dengan orang lain, ataupun Tuhan, yang dapat memungkinkan mereka untuk bertahan hidup lebih lama. Ketika seseorang tidak lagi dapat menyangkal penyakit tersebut, dikarenakan pembedahan atau nyeri yang diderita, tidak jarang muncul perasaan depresi. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka tidak dapat lagi menyangkal akan datangnya kematian, mulai menerima kondisi mereka dan mencoba untuk beradaptasi dengan kehidupan (Kubler-Ross., 1969 dalam Cavanaugh., 2006 dan Falvo., 2005). Selain itu, Holland (dalam Falvo, 2005) mendeskripsikan empat fase coping pada penderita kanker. Individu penderita kanker mengalami permasalahan dan reaksi yang berbeda-beda pada tiap fase. Fase pertama merupakan fase ketika gejala pertama kali diidentifikasi. Selama masa ini, individu mengalami kecemasan, yang dapat mengarahkan perhatian untuk mencari bantuan medis, atau jika kecemasan terlalu tinggi, mengarahkan pada penolakan adanya gejala dan menunda untuk mencari pertolongan dan pengobatan medis. Fase kedua merupakan perode dimana diagnosa kanker ditetapkan. Individu dapat mengalami distress emosional atau menunjukkan sikap penyelesaian masalah serta menentukan apa saja yang mungkin untuk penyembuhan. Fase ketiga mencakup pengobatan beserta terapi yang membantu. Selama fase ini, individu merasakan perasaan positif dari pemberdayaan diri melalui partisipasi aktif dalam melawan penyakit atau sebaliknya, mereka merasa tidak punya harapan dan merasa ini merupakan akhir dari segalanya. Fase keempat, ketika pengobatan telah selesai, individu berada pada periode remisi (bebas dari gejala kanker). Selama masa ini, 33 Universitas Sumatera Utara mereka dapat merasa tidak yakin akan adanya kemungkinan munculnya kanker lain di masa depan. Pada fase akhir ini, individu merasa rentan dan tidak yakin mengenai perencanaan masa depan, ataupun sebaliknya, mereka merasa percaya diri dan optimis dalam menggapai tujuan di masa depan. Sebagaimana penyakit kronis lainnya, beban emosional para penderita kanker mencakup serangkaian ancaman-ancaman dan kesulitan-kesulitan yang mengubah, seringkali bertambah buruk seiring dengan berjalannya waktu sehingga menciptakan penyebab stress yang unik bagi pasien dan keluarganya. Penderita kanker memiliki penyakit yang sering disebut dengan “real killer” dan dapat membuat penderita merasakan nyeri yang intens, cacat dan kerusakan. Keputusan pengobatan juga merupakan hal yang kompleks, harus menyeimbangkan manfaat bagi kesehatan dengan efek samping yang dapat membuat stress, yang kemudian dapat mengarah kepada permasalahan penyesuaian diri jika hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang diinginkan (Stanton et al, 2007 dalam Sarafino., 2011). Ketakutan akan masa depan merupakan stressor yang paling umum dan paling parah yang dilaporkan oleh penderita kanker (Lebel et al., 2007 dalam Sarafino., 2011). Terlebih lagi, terkadang beberapa pasien harus menjalani prosedur medis, yang bagi mereka, lebih aversif dibandingkan dengan penyakit itu sendiri. Disini, orang-orang dengan level yang tinggi pada tidak adanya harapan, depresi dan kerentanan psikososial lainnya, bertahan dalam jangka waktu yang lebih singkat setelah diagnosa (Brown et al., 2003; Chida et al., 2008; Watson et al., 1999 dalam Sarafino., 2011). 34 Universitas Sumatera Utara Faktor sosial yang penting untuk memodifikasi respon penderita kanker dalam menghadapi stressor adalah ada tidaknya dukungan sosial. Dukungan sosial ini merujuk pada rasa nyaman, rasa peduli dan pertolongan yang diberikan seseorang kepada orang ataupun kelompok lain (Uchino., 2004 dalam Sarafino., 2011). Dukungan sosial yang merujuk pada tindakan yang memang dilakukan oleh orang lain disebut received support, sedangkan perceived support merupakan dukungan (rasa nyaman, rasa peduli serta pertolongan) yang dipersepsikan telah diterima dari orang lain. Ada empat fungsi dasar dari dukungan sosial (Cutrona & Gardner., 2004; Uchino., 2004 dalam Sarafino., 2011), yaitu: dukungan emosional yang mencakup empati, rasa kepedulian, penilaian positif serta membangkitkan semangat seseorang dalam menghadapi situasi stress; dukungan instrumental yang mencakup pertolongan langsung, misalnya meminjamkan uang atau membantu pekerjaan rumah sehari-hari; dukungan informasional mencakup memberikan saran, arahan serta umpan balik mengenai tindakan yang sedang diambil serta companionship support yang mencakup kebersediaan seseorang untuk menghabiskan waktu dengannya. Disamping stress yang dihubungkan dengan kanker, kebanyakan penderita menunjukkan tingkat resiliensi tinggi dan beradaptasi dengan cukup baik. (van‟t Spijker, Trijsburg, & Duivenvoorden, 1997 dalam Sarafino, 2011). Walaupun beradaptasi dengan kanker pada penderita sangat sulit di beberapa bulan pertama dan jika kondisi mereka memburuk, kemampuan mereka untuk menyesuaikan diri dengan penyakit mereka tampaknya mengalami peningkatan selama masa remisi 35 Universitas Sumatera Utara atau setelah proses penyembuhan. (Burish et al., 1987; Glanz & Lerman., 1992 dalam Sarafino, 2011). II. C. Dinamika Harapan pada Penderita Kanker HOPE GOALS BARRIER BARRIER BARRIER WILLPOWER WAYPOWER Bagan 1. Dinamika Harapan pada Penderita Kanker Figur di atas menjelaskan bahwa harapan merupakan hubungan timbal balik antara goals (tujuan yang ingin kita capai), willpower (kemauan) serta waypower (upaya). Diagnosa kanker akan memicu seseorang untuk memikirkan masa depannya. Ia akan memikirkan hal-hal apa saja yang ingin ia capai dengan penyakit kanker ditubuhnya. Ia akan mempertimbangkan hal-hal apa saja yang memotivasinya serta bagaimana ia akan mencapai tujuan tersebut. Hambatan (barrier) dapat muncul kapan saja, sepanjang perjalanannya untuk mencapai apa 36 Universitas Sumatera Utara yang ia inginkan. Tujuan akan tetap tercapai ketika ia berhasil mengatasi rintangan-rintangan yang muncul tersebut. Pengobatan kanker yang menakutkan, menyakitkan, menimbulkan efek samping serta menghabiskan biaya yang tidak sedikit mempengaruhi keputusan pasien untuk mengambil tindakan terbaik bagi kesehatan dirinya. Pengobatan kanker tidak sepenuhnya menghilangkan kemungkinan bahwa kanker tersebut akan kembali muncul di masa depan, seringkali lebih parah dari kanker yang sedang dideritanya saat ini. Hampir seluruh pengobatan kanker memiliki efek samping secara fisik maupun emosional bagi si penderita. Misalnya, proses pembedahan dapat menghilangkan bagian tubuh, proses kemoterapi dapat membuat rambut berguguran dan menimbulkan rasa nyeri serta proses radiasi yang dapat menghitamkan warna kulit. Efek samping fisik ini dapat mempengaruhi kepercayaan diri individu. Sehingga, tidak jarang penderita kanker takut untuk melakukan pengobatan. Bahkan bagi beberapa orang, pengobatan terlihat sebagai hambatan untuk mencapai kesembuhan Hal-hal negatif yang mengikuti pengobatan kanker tidak mengurangi pentingnya pengobatan itu sendiri. Pengobatan merupakan hal yang harus dilakukan jika ingin mencapai kesembuhan. Walaupun tidak menjamin kesembuhan total, setidaknya pengobatan membuka kemungkinan untuk sembuh. Sebaliknya, tidak melakukan pengobatan akan menutup kemungkinan untuk sembuh. Hal inilah yang membuat harapan itu penting bagi pasien kanker. Harapan akan membantu pasien untuk memutuskan apa yang terbaik bagi kesehatannya. Harapan akan membuat pasien untuk terus menjalani pengobatan, 37 Universitas Sumatera Utara walaupun ia merasakan efek sampingnya, karena ia memahami bahwa pengobatan itu perlu jika ia ingin sembuh. Harapan akan mempengaruhi cara penderita kanker untuk mengatasi permasalahan yang sedang dialaminya. Orang-orang yang memiliki harapan tinggi akan cenderung mengatasi masalah dengan lebih efektif. Mereka akan mengumpulkan informasi-informasi sebanyak mungkin mengenai penyakit yang mereka derita yang akan mempengaruhi bagaimana cara mereka untuk coping dengan lebih efektif. Orang-orang dengan tingkat harapan yang tinggi juga akan lebih mudah beradaptasi dengan kondisi dirinya saat itu.Keinginan untuk sembuh, yang dikaitkan dengan adanya tujuan-tujuan yang hendak dicapai ketika sembuh, dapat mempengaruhi munculnya harapan pada diri individu. Semakin penting tujuan tersebut, maka semakin besar pula harapan yang muncul. Dukungan sosial juga berpengaruh bagi individu dalam menumbuhkan harapan. Kepedulian yang didapat dari keluarga maupun teman dapat menjadi motivasi untuk terus berjuang dalam melawan penyakit yang diderita. Sejalan dengan perkembangan teknologi sekarang, dukungan sosial juga dapat berupa sesama pejuang kanker yang bergabung dalam situs website kanker tertentu. Di situs website ini lah mereka dapat saling berbagi cerita yang dapat menginspirasi satu sama lain dan yang akan menyadarkan mereka, bahwa tidak hanya mereka yang menderita penyakit ini. Dinamika harapan pada penderita kanker adalah proses mental yang membentuk harapan pada penderita kanker dan harapan ini cukup penting 38 Universitas Sumatera Utara sehingga dapat mempengaruhi mereka untuk tetap berjuang melawan penyakitnya. 39 Universitas Sumatera Utara