1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan selsel jaringan tubuh yang tidak normal dan tak terkontrol. WHO melaporkan bahwa
1 penderita kanker meninggal setiap 11 menit dan muncul kasus kanker baru
setiap 3 menit (Brundtland, 2003). Pencegahan kanker dapat dilakukan dengan
cara menghindari faktor pencetus kanker dan memperbaiki pola makan.
Kemoterapi merupakan salah satu terapi kanker yang digunakan saat ini selain
dengan pembedahan, radioterapi, dan pengobatan dengan hormon (Fong, 2002).
Pengobatan dengan pembedahan dan radioterapi dapat dilakukan pada kanker
stadium awal. Akan tetapi pengobatan tersebut gagal digunakan pada kanker yang
telah berkembang pada stadium lanjut dan mengalami metastasis.
Kemoterapi merupakan salah satu langkah pengobatan kanker yang
menggunakan senyawa kimia untuk menekan atau menghentikan proliferasi sel,
atau menghancurkan sel kanker (sitotoksik). Doxorubicin merupakan antibiotik
antrasiklin yang dianggap efektif sebagai salah satu agen kemoterapi antikanker
dan banyak digunakan (Frias et al., 2009). Senyawa ini diisolasi dari Streptomyces
peucetius var caesius pada tahun 1960-an dan digunakan secara luas. Adryamicin,
adalah obat golongan antibiotik antrasiklin yang digunakan dalam terapi berbagai
jenis kanker, seperti leukemia akut, kanker payudara, kanker tulang, dan ovarium
1
2
(Childs et al., 2002). Penggunaan doxorubicin sebagai agen kemoterapi dapat
digunakan baik sebagai agen tunggal maupun kombinasi (Quiles et al., 2002).
Penggunaan doxorubicin sebagai agen kemoterapi tersebut dianggap efektif (Frias
et al., 2009).
Namun, penggunaan doxorubicin pada terapi kanker ternyata memberikan
beberapa efek samping antara lain mempengaruhi sistem imun, rambut rontok,
radang tenggorokan, hepatotoksisitas, dan kardiotoksisitas (Bustova et al., 2009;
Frias et al., 2009) yang bersifat irreversibel. Penelitian terhadap 399 pasien
menunjukkan bahwa insidensi gagal jantung pada pasien yang menerima
doxorubicin dalam dosis besar adalah lebih dari 18% (Singal et al., 2000).
Doxorubicin dapat menginduksi akumulasi inflammatory cells yang terkait
dengan peningkatan amino transferase seperti alanine transaminase (ALT) dan
Asprtate trasnaminase (AST) dalam serum (Deepa, 2003). Beberapa peneliti juga
melaporkan bahwa ada peningkatan aktivitas ALT dan AST pada hati akibat
toksisitas doxorubicin (Injac et al., 2008). Oleh karena itu, diperlukan inovasi
untuk mereduksi efek kardio-hepatotoksik tersebut.
Kokemoterapi
merupakan
strategi
terapi
kanker
dengan
mengkombinasikan suatu senyawa dengan agen kemoterapi. Senyawa atau obat
ini dapat meningkatkan efikasi terapi sekaligus menurunkan toksisitas agen
kemoterapi pasangannya terhadap jaringan normal (Sharma et al., 2004; Tyagi et
al., 2004). Pemilihan agen kokemoterapi dari alam sebagai kardioprotektor
merupakan sebuah peluang yang prospektif dalam pengembangan obat.
Salah satu tanaman yang berpotensi adalah kelor (Moringa oleifera). Daun
3
kelor diketahui memiliki kandungan flavonoid, yaitu kaempferol dan quercetin.
Kaempferol dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan tidak hanya in vitro namun
juga in vivo (Calderon-Montano et al., 2011). Ekstrak daun kelor sendiri telah
diteliti dapat menghambat aktivitas radikal peroksil dan superoksil (Siddhuraju,
2003). Efek antioksidan ini dapat menekan pembentukan reactive oxygen species
(ROS) yang menyebabkan cardiomyopathy pada jantung dan kerusakan pada hati.
Belum banyak dilakukan penelitian aktivitas kardioprotektif dan hepatoprotektif
ekstrak daun kelor. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai aktivitas
kardioprotektif dan hepatoprotektif ekstrak daun kelor in vivo, khususnya sebagai
agen kokemoterapi doxorubicin.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah pemberian ekstrak daun kelor dapat memperbaiki profil
histopatologi jantung tikus galur Sprague Dawley yang dipejani
doxorubicin?
2. Apakah pemberian ekstrak daun kelor dapat memperbaiki profil
histopatologi hati tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bahan alam
yang berpotensi sebagai agen pendamping kemoterapi khususnya aktivitas
4
kardioprotektif dan hepatoprotektif, sehingga dapat memperkaya khasanah
ilmu pengetahuan dalam penemuan dan pengembangan pengobatan kanker.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanolik daun kelor terhadap
profil histopatologi jantung tikus Sprague Dawley yang dipejani
doxorubicin.
b. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanolik daun kelor terhadap
profil histopatologi hati tikus Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin.
D. Pentingnya Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi bahan alam yang berpotensi
untuk mengurangi efek samping agen kemoterapi yang selama ini lazim
digunakan, yaitu doxorubicin. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk
menambah data ilmiah mengenai aktivitas kardioprotektif dan hepatoprotektif
ekstrak etanolik daun kelor yang dikombinasikan dengan doxorubicin pada tikus
galur Sprague Dawley sehingga dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel
dalam jurnal ilmiah serta menjadi sumber data yang bermanfaat bagi
pengembangan penelitian selanjutnya.
5
E. Tinjauan Pustaka
1.
Kanker
Kanker adalah sel yang tumbuh secara abnormal, disebabkan oleh
adanya perubahan pada ekspresi gen yang mengakibatkan terjadinya
gangguan keseimbangan antara proliferasi dan kematian sel. Hal ini
selanjutnya berkembang menjadi populasi sel yang mampu menginvasi
jaringan dan bermetastasis ke lokasi yang jauh, menyebabkan suatu keadaan
patologis yang signifikan, dan lebih jauh lagi, kematian inangnya (Ruddon,
2007). Karakteristik kanker adalah adanya kemampuan untuk mencukupi
sinyal pertumbuhannya sendiri, ketidakpekaan terhadap sinyal-sinyal
penghambat pertumbuhan, memiliki kemampuan replikasi yang tidak
terbatas, dan mampu menginvasi jaringan serta bermetastasis (Hanahan and
Weinberg, 2011). Dalam perkembangan dan usahanya untuk bermetastasis,
sel kanker mampu menghindari mekanisme apoptosis dan menginduksi
angiogenesis (De Vita et al., 2008). Pencegahan dan pengobatan kanker
terkait erat dengan pemahaman mengenai penyebab, faktor risiko, dan inisiasi
pembentukannya.
Pada tipe kanker tertentu, ketidakstabilan genetik yang didukung oleh
pola makan dan pola hidup yang mempengaruhi pembentukan radikal bebas
dan mempengaruhi stimulasi hormon menjadi inisiator utama perubahan pada
tingkat seluler. Jika terus dibiarkan, akan terjadi percepatan mutasi lebih
lanjut, disebut sebagai proses karsinogenesis (King and Robins, 2006).
Proses karsinogenesis sangat terkait dengan perubahan ekspresi dan regulasi
6
gen-gen yang berperan dalam siklus sel sehingga siklus sel dapat menjadi
salah satu target penting dalam pengendalian sel tumor.
2. Doxorubicin
Doxorubicin
merupakan
antibiotik
yang
diisolasi
dari
fungi
Streptomyces peucetius var caesius. Doxorubicin merupakan antibiotik
antrasiklin yang memiliki efek antitumor (Aschenbrenner et al., 2009).
Sebagai suatu antrasiklin, doxorubicin merupakan obat pilihan pertama untuk
terapi tumor padat (Boo et al., 2009). Doxorubicin digunakan secara luas
untuk terapi berbagai jenis kanker seperti karsinoma, sarkoma dan kanker
darah (Carvalho et al., 2009). Doxorubicin bertindak dengan menginterkalasi
pasangan basa tertentu pada DNA sel kanker sehingga terjadi bloking sintesis
RNA atau DNA baru atau mencegah pemotongan DNA dan pada akhirnya,
penggandaan DNA.
Struktur doxorubicin memiliki dua bagian yaitu bagian gula dan
bagian aglikon. Bagian aglikon doxorubicin terdiri dari cincin tetrasiklik
dengan bagian kuinon-hidroksi yang berdekatan pada cincin C-B, pada cincin
D C-4 memiliki cabang metoksi, dan rantai samping pendek pada C-9 dengan
karbonil pada C-13. Bagian gula yang disebut daunominsin, diikat secara
glikosidik dengan C-7 cincin A dan terdiri dari 3-amino-2,3,6-trideoksi-Lfukosil (Gambar 1) (Minotti et al., 1999).
7
Gambar 1. Struktur molekul doxorubicin. Doxorubicin terdiri dari bagian aglikon dan
gula yang terikat secara glikosidik pada C-7. Bagian aglikon terdiri dari 4 cincin, sedangkan
bagian gulanya terdiri dari 3-amino-2,3,6-trideoksi-L-fukosil (Minnoti et al., 1999).
Salah satu mekanisme doxorubicin sebagai agen kemoterapi melalui
pembentukan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan DNA atau
peroksidasi lipid (Gewirtz, 1999). Bagian kuinon pada cincin C doxorubicin
dapat membentuk semi kuinon dan secara cepat menghasilkan reactive
oxygen species (ROS) seperti anion oksigen (O2·-) atau H2O2. Siklus ini
didukung oleh NAD(P)H-oksidoreduktase [sitokrom P450 atau -b5
reduktases], mitokondrial NADH dehidrogenase, ksanthin dehidrogenase,
endothelial nitrit oksida sintetase (domain reduktase)] (Vasquez-Vivar et al.,
1997; Minotti et al., 1999). Selama siklus ini, semiquinone dapat
mengoksidasi ikatan antara cincin daunosamine A dan mengakibatkan
deglikosidasi reduktif dan pembentukan 7-deoksiaglikon (Gambar 2).
Dengan meningkatnya kelarutan dalam lipid, aglikon berinterkalasi ke dalam
membran biologis dan ROS terbentuk paling dekat dengan sasaran yang
sensitif (Gille and Nohl, 1997; Licata et al., 2000). Akumulasi aglikon di
8
mitokondria akan menginduksi aktivasi Bax sehingga permeabilitas
mitokondria meningkat dan akan terjadi pelepasan sitokrom-c (cyt-c)
selanjutnya akan mengaktivasi caspase sehingga menyebabkan terjadinya
apoptosis (Panarakensis et al., 2002). Kerusakan oksidatif akibat radikal
bebas dianggap sebagai mekanisme doxorubicin sebagai agen kemoterapi.
Gambar 2. Mekanisme pembentukan radikal bebas doxorubicin. Bagian quinon pada
cincin C doxorubicin dapat membentuk semi kuinon dan secara cepat menghasilkan reactive
oxygen species (ROS) seperti anion oksigen (O2·-) atau H2O2. Siklus ini didukung oleh
NAD(P)H- oksidoreduktase (Minnoti et al., 1999).
Pola kerusakan DNA pada sel kanker yang diobati dengan
doxorubicin menujukkan bukti gagasan bahwa lesi oksidatif hanya terjadi
jika sel kanker dipapari doxorubicin dengan konsentrasi supraklinikal.
Konsentrasi di bawah 5 µM in vitro mempunyai potensi klinik yang
signifikan dan menyebabkan pembentukan protein yang berasosiasi dengan
DNA rantai tunggal dan untai ganda yang terbuka. Hal ini merefleksikan
antrasiklin mampu menghambat enzim topoisomerase II. Lesi DNA yang
diakibatkan oleh pembentukan radikal bebas dan reaktivitas pada DNA
sumsum tulang belakang terjadi bila sel dipapari doxorubicin pada
konsentrasi supraklinikal (Gewirtz, 1999).
9
Mekanisme doxorubicin pada terapi kanker ini ternyata memberikan
efek samping antara lain kardiotoksik dan hepatotoksik. Efek kardiotoksik
dari doxorubicin dapat terjadi terjadi karena adanya pembentukan radikal
bebas (Chularojmontri et al., 2005). Efek kardiotoksik yang muncul akibat
radikal
bebas
adalah
cardiomyopathy.
Cardiomyophaty
merupakan
penurunan fungsi miokardium yang disebabkan oleh beberapa faktor salah
satunya adalah agen kemoterapi (Murray et al., 1995). Saat dosis kumulatif
doxorubicin mencapai 550 mg/ml, risiko efek samping pada jantung
meningkat, termasuk gagal jantung, pelebaran cardiomyopathy dan kematian.
Efek kardiotoksik dari doxorubicin ditunjukkan oleh penurunan fosforilasi
oksidatif di mitokondria. Oksigen reaktif yang muncul dari interaksi
doxorubicin dan besi dapat merusak myocytes (sel jantung), hilangnya
myofibrillar dan cytoplasmic vacuolization (Chabner et al., 2008).
Doxorubicin juga dapat mengakibatkan efek hepatotoksik. Agen
kemoterapi ini dapat menginduksi akumulasi inflammatory cells yang terkait
dengan peningkatan amino transferase seperti alanin transaminase (ALT) dan
aspartat trasnaminase (AST) dalam serum (Deepa, 2003). Injac et al. (2008)
melaporkan peningkatan aktivitas ALT dan AST pada hati akibat toksisitas
doxorubicin. Peningkatan kadar ALT dan AST akan terjadi jika adanya
pelepasan enzim secara intraseluler ke dalam darah yang disebabkan nekrosis
sel – sel hati atau adanya kerusakan hati secara akut (Wibowo et al., 2008).
Oleh karena itu, dalam penggunaannya agen kemoterapi doxorubicin perlu
dikombinasikan dengan senyawa antioksidan.
10
Pendekatan utama dalam menekan efek samping agen kemoterapi
dalam pengatasan kanker adalah penggunaan agen pendamping yang bersifat
sinergis. Kombinasi tersebut memungkinkan penggunaan obat dosis rendah
dengan aktivitas meningkat sehingga toksisitas terhadap jaringan normal
menurun (Alison, 2004).
3.
Histologi Jantung dan Hati
Jantung adalah sebuah rongga organ berotot yang memompa darah
lewat pembuluh darah oleh kontraksi berirama yang berulang. Istilah kardiak
berarti berhubungan dengan jantung, dari kata Yunani cardia untuk jantung.
Jantung adalah salah satu organ manusia yang berperan dalam sistem
peredaran darah. Jantung terletak dalam rongga dada. Ukuran jantung sebesar
genggaman tangan pemiliknya dengan berat sekitar 300 gram. Jantung dalam
sistem sirkulasi berfungsi sebagai alat pemompa darah (Guyton and Hall,
1997).
Jantung terdiri atas tiga tipe otot jantung (miokardium) yang utama
yakni: otot atrium, otot ventrikel, dan serat otot khusus penghantar dan
pencetus rangsang. Otot atrium dan ventrikel berkontraksi dengan cara yang
sama seperti otot rangka. Serat-serat otot khusus penghantar dan pencetus
rangsangan berkontraksi dengan lemah sekali karena hanya mengandung
sedikit serat kontraktif. Bahkan serat-serat ini menghambat irama dan
berbagai kecepatan konduksi. Serat-serat ini bekerja sebagai sistem pencetus
rangsangan bagi jantung (Guyton and Hall, 1997).
11
Serat otot jantung memiliki beberapa ciri yang juga terlihat pada otot
rangka. Perbedaannya adalah otot-otot jantung terdiri atas sel-sel yang
panjang, terdapat garis-garis melintang di dalamnya, bercabang tunggal,
terletak paralel satu sama lain, dan memiliki satu atau dua inti yang terletak
di tengah sel. Juga terlihat myofibril jantung pada potongan melintang. Satu
ciri khas untuk membedakan otot jantung adalah diskus interkalatus. Diskus
ini adalah struktur berupa garis-garis gelap melintang yang melintasi rantairantai otot, yang terpulas gelap, ditemukan pada interval tak teratur pada otot
jantung, dan merupakan kompleks tautan khusus antar serat-serat otot yang
berdekatan (Guyton and Hall, 1997).
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh dan melakukan fungsi
penting yang sangat kompleks dalam tubuh (Corwin, 2001). Ada empat
fungsi hati yaitu pembentukan dan sekresi empedu, metabolisme zat-zat
penting bagi tubuh, berperan dalam pertahanan tubuh baik berupa
detoksifikasi maupun fungsi perlindungan, serta fungsi vaskuler (Dalimartha,
2001). Sedangkan menurut Junqueira et al. (1995) hati adalah organ tempat
nutrien yang diserap dari saluran pencernaan diolah dan disimpan untuk
dipakai oleh bagian tubuh lain. Melihat banyaknya fungsi hati, maka apabila
terjadi kerusakan ataupun kelainan pada hati akan mempengaruhi fungsi
jaringan tubuh yang lainnya.
Hati terdiri dari empat lobus utama, separuh bergabung satu sama
lain. Lobus bagian dorsal dibagi menjadi bagian lobus kanan dan lobus kiri.
Lobus lateral kiri tidak terbagi dan lobus lateral kanan yang dibagi menjadi
12
bagian anterior dan posterior. Lobus caudal terdiri dari dua lobus yaitu lobus
dorsal dan ventral (Harada and Grinnell, 1996).
Permukaan hati dilapisi oleh lapisan jaringan ikat yang liat dan
tembus pandang. Hati tersusun dalam lobulus yang didalamnya mengalir
darah melewati deret sel-sel hati melalui sinusoid dari daerah porta hepatika
kedalam vena sentralis tiap lobulus. Darah yang lewat sinusoid adalah
campuran darah dari cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika. Setiap
lobulus hati terbangun dari berbagai komponen, yaitu sel-sel parenkim hati
(hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabangcabang arteri hepatika, sel Kuppfer dan kanalikuli biliaris. Sel-sel Kuppfer
yang berada di dalam lumen sinusoid bertindak sebagai makrofag yang
memiliki fungsi fagositik (Ganong, 2003).
Hati mendapat vaskularisasi ganda, yaitu melalui vena porta dan arteri
hepatika. Darah yang berasal dari saluran pencernaan dan organ abdomen
termasuk limpa, pankreas, dan kantung empedu masuk melalui vena porta.
Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap dan siap
untuk diproses lebih lanjut oleh hati. Selain nutrisi, pembuluh darah porta
dapat menjadi jalan masuk untuk berbagai mikroorganisme dan toksin yang
harus diolah, dihancurkan atau juga disimpan. Sebanyak 75-80 % darah pada
organ hati tikus berasal dari vena porta. Sedangkan dari arteri hepatika
mengalir sekitar 20-25 % darah yang kaya akan oksigen (Mac Lachlan and
Cullen, 1995).
13
Jantung dan hati dapat mengalami beberapa perubahan. Kerusakan
pada jantung dan hati dapat bersifat irreversible (tetap) dan reversible
(sementara). Degenerasi merupakan kerusakan yang reversible, dimana sel
mengalami perubahan dari struktur normalnya (Gambar 3(a) dan 3(b)).
Penyebab degenerasi sel bermacam – macam antara lain gangguan
metabolisme, toksin, dan trauma. Apabila degenerasi sel berlangsung terus –
menerus, maka dapat menyebabkan kematian sel (nekrosis) (Mac Lachlan
and Cullen, 1995)
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 3. Profil histopatologi jantung dan hati. Tidak terjadi kerusakan jantung (a) dan
hati (b) pada kontrol yang hanya dipejani salin. Pada kelompok yang dipejani doxorubicin
terjadi degenerasi parenkim (D) dengan vakuola kecil (V) pada miosit jantung (c) dan tanpa
vakuola pada hepatosit hati (d), terjadi nekrosis (N) pada miosit dan hepatosit, miosit
mengalami apoptosis (*), dan teramati adanya interstitial myocardial edema (E). Pengecatan
hematoksilin – eosin, perbesaran 400x (Injac et al., 2009).
Pada dosis terapi (3 x 1,5 mg/kg), penggunaan doxorubicin dapat
menginduksi kerusakan pada jantung dan hati. Pada hasil pengamatan
14
histopatologi (Gambar 3(c) dan 3(d)), pada jaringan jantung teramati
terjadinya pembentukan vakuola sitoplasma, hilangnya myofibrillar, nekrosis
sel, eosinophily, dan terbentuknya kardiomiosit dengan sitoplasma glanular
(degenerasi parenkim), serta infiltrasi limfosit. Pada jaringan hati,
penggunaan doxorubicin menyebabkan kerusakan berupa nekrosis sel,
degenerasi parenkim, dan polimorfisme hepatosit.
4.
Kokemoterapi
Umumnya, kemoterapi kanker merupakan kombinasi dari beberapa
obat. Kombinasi tersebut memungkinkan penggunaan obat dosis rendah
dengan aktivitas sama, namun toksisitas terhadap jaringan normal menurun
(Alison, 2004).
Salah satu pendekatan penekanan efek samping agen
kemoterapi kanker adalah penggunaan agen pendamping yang kombinasinya
bersifat sinergis, yang biasa disebut kokemoterapi. Kokemoterapi merupakan
aplikasi kombinasi terapi, di mana kombinasi dapat berupa sinergis, aditif, dan
antagonis (Zhao et al., 2004). Salah satu alternatif yang berpotensi sebagai
agen kokemoterapi adalah senyawa fitokimia yang dapat meningkatkan
sensitivitas sel terhadap agen kemoterapi dengan efek samping yang relatif
rendah (Sharma et al., 2004; Tyagi et al., 2004).
Kokemoterapi merupakan strategi terapi dengan mengkombinasikan
suatu senyawa dengan agen kemoterapi. Penggunaan agen tambahan bersama
dengan agen kemoterapi merupakan usaha terapi kanker untuk meningkatkan
apoptosis sel kanker maupun untuk menekan efek samping agen kemoterapi.
15
Selain itu, kokemoterapi juga dapat menurunkan resiko perkembangan kanker
yang resisten terhadap salah satu jenis obat (Devita and Chua, 2008).
5. Kelor
Moringa oleifera L. dapat berupa semak atau dapat pula berupa pohon
dengan tinggi 12 m dengan diameter 30 cm. Kayunya merupakan jenis kayu
lunak dan memiliki kualitas rendah. Daun tanaman kelor memiliki
karakteristik bersirip tidak sempurna, kecil, berbentuk telur, sebesar ujung
jari. Helaian anak daun memiliki warna hijau sampai hijau kecoklatan, bentuk
bundar telur atau bundar telur terbalik, panjang 1-3 cm, lebar 4 mm sampai 1
cm, ujung daun tumpul, pangkal daun membulat, tepi daun rata (Anwar et al.,
2007). Adapun klasifikasi dari tanaman M. oleifera adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Brassicales
Famili
: Moringaceae
Genus
: Moringa
Spesies
: Moringa oleifera L.
(Winarto, 2007)
16
(a)
(b)
Gambar 4. Tanaman M. oleifera (skala 1:100) (a) dan daun kelor (b) (Brenner, 2002).
Secara empiris tanaman Moringa oleifera L. (Gambar 4(a)) telah
digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional dan sumber makanan di
berbagai belahan dunia. Hampir semua bagian dari tumbuhan tersebut dapat
digunakan untuk pengobatan inflamasi di Asia Selatan. Tanaman ini juga
digunakan sebagai antikonstipasi dan bahkan dapat digunakan sebagai
koagulan untuk memurnikan air (Anwar et al, 2007).
Daun Moringa oleifera L. (Gambar 4(b)) mengandung lebih banyak
vitamin A dari pada wortel, lebih banyak vitamin C dari pada jeruk, lebih
banyak kalsium dari pada susu, lebih banyak zat besi dari pada bayam, dan
lebih banyak potasium dari pada pisang (Fahey, 2005). Ekstrak tanaman ini
juga telah dilaporkan memiliki khasiat sebagai hipotensif, antikanker, dan
antibakteri karena memiliki kandungan fitokimia antara lain benzil
isotiosianat, benzil glukosinolat, niazimisin, dan pterygospermin (Fahey,
2005).
Moringa oleifera L. mengandung kombinasi senyawa yang unik yaitu
isotiosianat
dan
glukosinolat
yang
memiliki
potensi
sebagai
agen
17
kemopreventif. Isotiosianat telah menunjukkan aktivitas sebagai agen
antikanker in vivo (Zhang dkk., 2009). Penelitian yang dilakukan Biswas et
al. (2012) menunjukkan bahwa selain glukosinolat dan isotiosianat, tanaman
kelor juga mengandung senyawa bioaktif tiokarbamat, β-karoten, vitamin A,
vitamin C, dan flavonoid. Senyawa – senyawa tersebut berperan dalam
aktivitas antioksidan M. oleifera dengan mengurangi pembentukan ROS,
mengkhelat ion – ion metal, dan menghambat ikatan radikal bebas dengan
membran (Kumar and Pari, 2003).
Tanaman ini juga sangat berharga bagi dunia penelitian kemoprevensi.
Selama dua dekade ini, Moringa oleifera L. telah muncul di berbagai jurnaljurnal ilmiah yang menjelaskan tentang kandungan nutrisi dan potensi
medisnya. Daun Moringa oleifera L. mengandung komposisi flavonoid yang
unik, utamanya quercetin dan kaempferol. Atas dasar fakta-fakta tersebut
berbagai penelitian mengenai kelor telah banyak dilakukan.
Penelitian yang dilakukan Gunjal et al. (2010) menunjukkan bahwa
ekstrak aqueous kelor mampu menurunkan kadar beberapa senyawa radikal
di jantung pada tikus galur Wistar terinduksi isoproterenol. Beberapa
penelitian terbaru lainnya juga menyatakan bahwa ekstrak daun kelor dapat
mencegah terbentuknya ROS. Siddhuraju et al. (2003) melaporkan bahwa
ekstrak aqueous, metanol, dan etanol kelor mampu menghambat aktivitas
radikal peroksil dan superoksil. Ekstrak daun kelor juga terbukti poten
menghambat radikal bebas 2,2-difenil-2-pikril hidrazil (DPPH), nitrit oksida,
dan lipid peroksida (Sreelatha and Padma, 2009). Aktivitas antioksidan ini
18
diketahui disebabkan oleh kandungan kaempferol pada ekstrak (Bajpai et al.,
2005).
Oleh karena itu, ekstrak daun kelor memiliki aktivitas antioksidan
sekaligus antikanker yang diyakini dapat mengurangi efek samping kardiohepatotoksik doxorubicin.
6. Pengecatan Hematoksilin – Eosin (HE)
Analisis morfologi dan seluler yang akurat dalam diagnosis kanker
sangat tergantung dari analisis morfologisnya. Analisis morfologis digunakan
untuk mengklasifikasi tumor, dan untuk memprediksi tingkah laku sel tumor
yang dilakukan pada organisasi dan kemunculan sel neoplastik tersebut.
Kebanyakan jaringan didapati tidak berwarna, sehingga tidak banyak yang
dapat dilihat di bawah mikroskop. Agar dapat dilihat dibawah mikroskop,
kebanyakan sediaan harus diwarnai. Oleh sebab itu, telah dirancang
pewarnaan jaringan agar berbagai unsur jaringan jelas terlihat dan dapat
dibedakan. Bahan warna mewarna berbagai jaringan, kurang lebih secara
selektif. Pengecatan dasar menggunakan Hematoksilin Eosin (HE) dapat
digunakan untuk melihat morfologis nukleus, sitoplasma, dan matrix seluler
dengan bantuan mikroskop cahaya (Junqueira and Caniero, 1980).
Hematoksilin dan Eosin adalah metode pewarnaan yang banyak
digunakan dalam dalam pewarnaan jaringan sehingga ia di perlukan dalam
diagnosa medis dan penelitian. Hematoksilin adalah bahan pewarna yang
sering digunakan pada pewarnaan histoteknik, ia merupakan ekstrak dari
pohon yang diberi nama logwood tree. Hematoksilin bekerja sebagai pewarna
19
basa, artinya zat ini mewarnai unsur basofilik jaringan. Hematoksilin
memulas inti dan strukutur asam lainnya dari sel (seperti bagian sitoplasma
yang kaya- RNA dan matriks tulang rawan) menjadi biru.Eosin bersifat asam.
Ia akan memulas komponen asidofilik jaringan seperti mitokondria, granula
sekretoris dan kolagen. Tidak seperti hematoksilin, eosin mewarnai
sitoplasma dan kolagen menjadi warna merah muda (Junqueira et al., 1995).
F.
Landasan Teori
Terapi kanker dengan agen kemoterapi seperti doxorubicin dapat
menimbulkan beberapa efek samping, antara lain adalah kardio-hepatotoksik.
Salah satu efek kardiotoksik yang terjadi adalah cardiomyophaty, yaitu penurunan
fungsi miokardium disebabkan oleh perubahan struktur histologis miokardium.
Pada kasus cardiomyopathy secara histologis akan menunjukkan adanya atropi
otot jantung, nuclear pyknosis, edema miokardium dan vakuola sitoplasma. Daun
kelor diketahui memiliki kandungan senyawa fenolik yaitu glukosinolat,
isotiosianat, thiokarbamat, dan flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan.
Senyawa – senyawa ini mampu menekan pembentukan ROS, mengkhelat ion –
ion metal, dan meregenerasi membran yang terikat antioksidan. Sehingga
dimungkinkan penggunaan daun kelor sebagai agen kokemoterapi yang dapat
mereduksi efek kardiotoksik doxorubicin.
Pembentukan radikal bebas oleh doxorubicin melalui mekanisme
enzimatik juga dapat menginduksi gangguan pada fungsi hati. Radikal bebas
dapat mengakibatkan sel mengalami inflamasi dan menghasilkan agen inflamasi.
20
Sel mengalami inflamasi ini akan membentuk granulomatous lesions dan
periportal fibrosis. Oleh karena itu diperlukan sebuah kombinasi antara agen
kemoterapi doxorubicin dengan agen hepatoprotektor. Tumbuhan genus moringa
secara umum telah terbukti memiliki kandungan senyawa flavonoid. Senyawa
flavonoid memiliki aktivitas sebagai penangkap radikal dan pengkelat logam.
Daun kelor mengandung flavonoid quercetin dan kaempferol. Kombinasi
doxorubicin dengan ekstrak etanolik daun kelor diperkirakan dapat mengurangi
efek hepatotoksik doxorubicin dengan mengurangi kerusakan jaringan hati pada
profil histopatologi.
G.
Hipotesis
1. Pemberian ekstrak daun kelor dapat memperbaiki profil histopatologi jantung
tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin.
2. Pemberian ekstrak daun kelor dapat memperbaiki profil histopatologi hati
tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin.
Download