BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan selsel jaringan tubuh yang tidak normal dan tak terkontrol. WHO melaporkan bahwa 1 penderita kanker meninggal setiap 11 menit dan muncul kasus kanker baru setiap 3 menit (Brundtland, 2003). Pencegahan kanker dapat dilakukan dengan cara menghindari faktor pencetus kanker dan memperbaiki pola makan. Kemoterapi merupakan salah satu terapi kanker yang digunakan saat ini selain dengan pembedahan, radioterapi, dan pengobatan dengan hormon (Fong, 2002). Pengobatan dengan pembedahan dan radioterapi dapat dilakukan pada kanker stadium awal. Akan tetapi pengobatan tersebut gagal digunakan pada kanker yang telah berkembang pada stadium lanjut dan mengalami metastasis. Kemoterapi merupakan salah satu langkah pengobatan kanker yang menggunakan senyawa kimia untuk menekan atau menghentikan proliferasi sel, atau menghancurkan sel kanker (sitotoksik). Doxorubicin merupakan antibiotik antrasiklin yang dianggap efektif sebagai salah satu agen kemoterapi antikanker dan banyak digunakan (Frias et al., 2009). Senyawa ini diisolasi dari Streptomyces peucetius var caesius pada tahun 1960-an dan digunakan secara luas. Adryamicin, adalah obat golongan antibiotik antrasiklin yang digunakan dalam terapi berbagai jenis kanker, seperti leukemia akut, kanker payudara, kanker tulang, dan ovarium 1 2 (Childs et al., 2002). Penggunaan doxorubicin sebagai agen kemoterapi dapat digunakan baik sebagai agen tunggal maupun kombinasi (Quiles et al., 2002). Penggunaan doxorubicin sebagai agen kemoterapi tersebut dianggap efektif (Frias et al., 2009). Namun, penggunaan doxorubicin pada terapi kanker ternyata memberikan beberapa efek samping antara lain mempengaruhi sistem imun, rambut rontok, radang tenggorokan, hepatotoksisitas, dan kardiotoksisitas (Bustova et al., 2009; Frias et al., 2009) yang bersifat irreversibel. Penelitian terhadap 399 pasien menunjukkan bahwa insidensi gagal jantung pada pasien yang menerima doxorubicin dalam dosis besar adalah lebih dari 18% (Singal et al., 2000). Doxorubicin dapat menginduksi akumulasi inflammatory cells yang terkait dengan peningkatan amino transferase seperti alanine transaminase (ALT) dan Asprtate trasnaminase (AST) dalam serum (Deepa, 2003). Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa ada peningkatan aktivitas ALT dan AST pada hati akibat toksisitas doxorubicin (Injac et al., 2008). Oleh karena itu, diperlukan inovasi untuk mereduksi efek kardio-hepatotoksik tersebut. Kokemoterapi merupakan strategi terapi kanker dengan mengkombinasikan suatu senyawa dengan agen kemoterapi. Senyawa atau obat ini dapat meningkatkan efikasi terapi sekaligus menurunkan toksisitas agen kemoterapi pasangannya terhadap jaringan normal (Sharma et al., 2004; Tyagi et al., 2004). Pemilihan agen kokemoterapi dari alam sebagai kardioprotektor merupakan sebuah peluang yang prospektif dalam pengembangan obat. Salah satu tanaman yang berpotensi adalah kelor (Moringa oleifera). Daun 3 kelor diketahui memiliki kandungan flavonoid, yaitu kaempferol dan quercetin. Kaempferol dilaporkan memiliki aktivitas antioksidan tidak hanya in vitro namun juga in vivo (Calderon-Montano et al., 2011). Ekstrak daun kelor sendiri telah diteliti dapat menghambat aktivitas radikal peroksil dan superoksil (Siddhuraju, 2003). Efek antioksidan ini dapat menekan pembentukan reactive oxygen species (ROS) yang menyebabkan cardiomyopathy pada jantung dan kerusakan pada hati. Belum banyak dilakukan penelitian aktivitas kardioprotektif dan hepatoprotektif ekstrak daun kelor. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai aktivitas kardioprotektif dan hepatoprotektif ekstrak daun kelor in vivo, khususnya sebagai agen kokemoterapi doxorubicin. B. Perumusan Masalah 1. Apakah pemberian ekstrak daun kelor dapat memperbaiki profil histopatologi jantung tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin? 2. Apakah pemberian ekstrak daun kelor dapat memperbaiki profil histopatologi hati tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bahan alam yang berpotensi sebagai agen pendamping kemoterapi khususnya aktivitas 4 kardioprotektif dan hepatoprotektif, sehingga dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam penemuan dan pengembangan pengobatan kanker. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanolik daun kelor terhadap profil histopatologi jantung tikus Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin. b. Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanolik daun kelor terhadap profil histopatologi hati tikus Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin. D. Pentingnya Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi bahan alam yang berpotensi untuk mengurangi efek samping agen kemoterapi yang selama ini lazim digunakan, yaitu doxorubicin. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat untuk menambah data ilmiah mengenai aktivitas kardioprotektif dan hepatoprotektif ekstrak etanolik daun kelor yang dikombinasikan dengan doxorubicin pada tikus galur Sprague Dawley sehingga dapat dipublikasikan menjadi sebuah artikel dalam jurnal ilmiah serta menjadi sumber data yang bermanfaat bagi pengembangan penelitian selanjutnya. 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Kanker Kanker adalah sel yang tumbuh secara abnormal, disebabkan oleh adanya perubahan pada ekspresi gen yang mengakibatkan terjadinya gangguan keseimbangan antara proliferasi dan kematian sel. Hal ini selanjutnya berkembang menjadi populasi sel yang mampu menginvasi jaringan dan bermetastasis ke lokasi yang jauh, menyebabkan suatu keadaan patologis yang signifikan, dan lebih jauh lagi, kematian inangnya (Ruddon, 2007). Karakteristik kanker adalah adanya kemampuan untuk mencukupi sinyal pertumbuhannya sendiri, ketidakpekaan terhadap sinyal-sinyal penghambat pertumbuhan, memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas, dan mampu menginvasi jaringan serta bermetastasis (Hanahan and Weinberg, 2011). Dalam perkembangan dan usahanya untuk bermetastasis, sel kanker mampu menghindari mekanisme apoptosis dan menginduksi angiogenesis (De Vita et al., 2008). Pencegahan dan pengobatan kanker terkait erat dengan pemahaman mengenai penyebab, faktor risiko, dan inisiasi pembentukannya. Pada tipe kanker tertentu, ketidakstabilan genetik yang didukung oleh pola makan dan pola hidup yang mempengaruhi pembentukan radikal bebas dan mempengaruhi stimulasi hormon menjadi inisiator utama perubahan pada tingkat seluler. Jika terus dibiarkan, akan terjadi percepatan mutasi lebih lanjut, disebut sebagai proses karsinogenesis (King and Robins, 2006). Proses karsinogenesis sangat terkait dengan perubahan ekspresi dan regulasi 6 gen-gen yang berperan dalam siklus sel sehingga siklus sel dapat menjadi salah satu target penting dalam pengendalian sel tumor. 2. Doxorubicin Doxorubicin merupakan antibiotik yang diisolasi dari fungi Streptomyces peucetius var caesius. Doxorubicin merupakan antibiotik antrasiklin yang memiliki efek antitumor (Aschenbrenner et al., 2009). Sebagai suatu antrasiklin, doxorubicin merupakan obat pilihan pertama untuk terapi tumor padat (Boo et al., 2009). Doxorubicin digunakan secara luas untuk terapi berbagai jenis kanker seperti karsinoma, sarkoma dan kanker darah (Carvalho et al., 2009). Doxorubicin bertindak dengan menginterkalasi pasangan basa tertentu pada DNA sel kanker sehingga terjadi bloking sintesis RNA atau DNA baru atau mencegah pemotongan DNA dan pada akhirnya, penggandaan DNA. Struktur doxorubicin memiliki dua bagian yaitu bagian gula dan bagian aglikon. Bagian aglikon doxorubicin terdiri dari cincin tetrasiklik dengan bagian kuinon-hidroksi yang berdekatan pada cincin C-B, pada cincin D C-4 memiliki cabang metoksi, dan rantai samping pendek pada C-9 dengan karbonil pada C-13. Bagian gula yang disebut daunominsin, diikat secara glikosidik dengan C-7 cincin A dan terdiri dari 3-amino-2,3,6-trideoksi-Lfukosil (Gambar 1) (Minotti et al., 1999). 7 Gambar 1. Struktur molekul doxorubicin. Doxorubicin terdiri dari bagian aglikon dan gula yang terikat secara glikosidik pada C-7. Bagian aglikon terdiri dari 4 cincin, sedangkan bagian gulanya terdiri dari 3-amino-2,3,6-trideoksi-L-fukosil (Minnoti et al., 1999). Salah satu mekanisme doxorubicin sebagai agen kemoterapi melalui pembentukan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan DNA atau peroksidasi lipid (Gewirtz, 1999). Bagian kuinon pada cincin C doxorubicin dapat membentuk semi kuinon dan secara cepat menghasilkan reactive oxygen species (ROS) seperti anion oksigen (O2·-) atau H2O2. Siklus ini didukung oleh NAD(P)H-oksidoreduktase [sitokrom P450 atau -b5 reduktases], mitokondrial NADH dehidrogenase, ksanthin dehidrogenase, endothelial nitrit oksida sintetase (domain reduktase)] (Vasquez-Vivar et al., 1997; Minotti et al., 1999). Selama siklus ini, semiquinone dapat mengoksidasi ikatan antara cincin daunosamine A dan mengakibatkan deglikosidasi reduktif dan pembentukan 7-deoksiaglikon (Gambar 2). Dengan meningkatnya kelarutan dalam lipid, aglikon berinterkalasi ke dalam membran biologis dan ROS terbentuk paling dekat dengan sasaran yang sensitif (Gille and Nohl, 1997; Licata et al., 2000). Akumulasi aglikon di 8 mitokondria akan menginduksi aktivasi Bax sehingga permeabilitas mitokondria meningkat dan akan terjadi pelepasan sitokrom-c (cyt-c) selanjutnya akan mengaktivasi caspase sehingga menyebabkan terjadinya apoptosis (Panarakensis et al., 2002). Kerusakan oksidatif akibat radikal bebas dianggap sebagai mekanisme doxorubicin sebagai agen kemoterapi. Gambar 2. Mekanisme pembentukan radikal bebas doxorubicin. Bagian quinon pada cincin C doxorubicin dapat membentuk semi kuinon dan secara cepat menghasilkan reactive oxygen species (ROS) seperti anion oksigen (O2·-) atau H2O2. Siklus ini didukung oleh NAD(P)H- oksidoreduktase (Minnoti et al., 1999). Pola kerusakan DNA pada sel kanker yang diobati dengan doxorubicin menujukkan bukti gagasan bahwa lesi oksidatif hanya terjadi jika sel kanker dipapari doxorubicin dengan konsentrasi supraklinikal. Konsentrasi di bawah 5 µM in vitro mempunyai potensi klinik yang signifikan dan menyebabkan pembentukan protein yang berasosiasi dengan DNA rantai tunggal dan untai ganda yang terbuka. Hal ini merefleksikan antrasiklin mampu menghambat enzim topoisomerase II. Lesi DNA yang diakibatkan oleh pembentukan radikal bebas dan reaktivitas pada DNA sumsum tulang belakang terjadi bila sel dipapari doxorubicin pada konsentrasi supraklinikal (Gewirtz, 1999). 9 Mekanisme doxorubicin pada terapi kanker ini ternyata memberikan efek samping antara lain kardiotoksik dan hepatotoksik. Efek kardiotoksik dari doxorubicin dapat terjadi terjadi karena adanya pembentukan radikal bebas (Chularojmontri et al., 2005). Efek kardiotoksik yang muncul akibat radikal bebas adalah cardiomyopathy. Cardiomyophaty merupakan penurunan fungsi miokardium yang disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah agen kemoterapi (Murray et al., 1995). Saat dosis kumulatif doxorubicin mencapai 550 mg/ml, risiko efek samping pada jantung meningkat, termasuk gagal jantung, pelebaran cardiomyopathy dan kematian. Efek kardiotoksik dari doxorubicin ditunjukkan oleh penurunan fosforilasi oksidatif di mitokondria. Oksigen reaktif yang muncul dari interaksi doxorubicin dan besi dapat merusak myocytes (sel jantung), hilangnya myofibrillar dan cytoplasmic vacuolization (Chabner et al., 2008). Doxorubicin juga dapat mengakibatkan efek hepatotoksik. Agen kemoterapi ini dapat menginduksi akumulasi inflammatory cells yang terkait dengan peningkatan amino transferase seperti alanin transaminase (ALT) dan aspartat trasnaminase (AST) dalam serum (Deepa, 2003). Injac et al. (2008) melaporkan peningkatan aktivitas ALT dan AST pada hati akibat toksisitas doxorubicin. Peningkatan kadar ALT dan AST akan terjadi jika adanya pelepasan enzim secara intraseluler ke dalam darah yang disebabkan nekrosis sel – sel hati atau adanya kerusakan hati secara akut (Wibowo et al., 2008). Oleh karena itu, dalam penggunaannya agen kemoterapi doxorubicin perlu dikombinasikan dengan senyawa antioksidan. 10 Pendekatan utama dalam menekan efek samping agen kemoterapi dalam pengatasan kanker adalah penggunaan agen pendamping yang bersifat sinergis. Kombinasi tersebut memungkinkan penggunaan obat dosis rendah dengan aktivitas meningkat sehingga toksisitas terhadap jaringan normal menurun (Alison, 2004). 3. Histologi Jantung dan Hati Jantung adalah sebuah rongga organ berotot yang memompa darah lewat pembuluh darah oleh kontraksi berirama yang berulang. Istilah kardiak berarti berhubungan dengan jantung, dari kata Yunani cardia untuk jantung. Jantung adalah salah satu organ manusia yang berperan dalam sistem peredaran darah. Jantung terletak dalam rongga dada. Ukuran jantung sebesar genggaman tangan pemiliknya dengan berat sekitar 300 gram. Jantung dalam sistem sirkulasi berfungsi sebagai alat pemompa darah (Guyton and Hall, 1997). Jantung terdiri atas tiga tipe otot jantung (miokardium) yang utama yakni: otot atrium, otot ventrikel, dan serat otot khusus penghantar dan pencetus rangsang. Otot atrium dan ventrikel berkontraksi dengan cara yang sama seperti otot rangka. Serat-serat otot khusus penghantar dan pencetus rangsangan berkontraksi dengan lemah sekali karena hanya mengandung sedikit serat kontraktif. Bahkan serat-serat ini menghambat irama dan berbagai kecepatan konduksi. Serat-serat ini bekerja sebagai sistem pencetus rangsangan bagi jantung (Guyton and Hall, 1997). 11 Serat otot jantung memiliki beberapa ciri yang juga terlihat pada otot rangka. Perbedaannya adalah otot-otot jantung terdiri atas sel-sel yang panjang, terdapat garis-garis melintang di dalamnya, bercabang tunggal, terletak paralel satu sama lain, dan memiliki satu atau dua inti yang terletak di tengah sel. Juga terlihat myofibril jantung pada potongan melintang. Satu ciri khas untuk membedakan otot jantung adalah diskus interkalatus. Diskus ini adalah struktur berupa garis-garis gelap melintang yang melintasi rantairantai otot, yang terpulas gelap, ditemukan pada interval tak teratur pada otot jantung, dan merupakan kompleks tautan khusus antar serat-serat otot yang berdekatan (Guyton and Hall, 1997). Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh dan melakukan fungsi penting yang sangat kompleks dalam tubuh (Corwin, 2001). Ada empat fungsi hati yaitu pembentukan dan sekresi empedu, metabolisme zat-zat penting bagi tubuh, berperan dalam pertahanan tubuh baik berupa detoksifikasi maupun fungsi perlindungan, serta fungsi vaskuler (Dalimartha, 2001). Sedangkan menurut Junqueira et al. (1995) hati adalah organ tempat nutrien yang diserap dari saluran pencernaan diolah dan disimpan untuk dipakai oleh bagian tubuh lain. Melihat banyaknya fungsi hati, maka apabila terjadi kerusakan ataupun kelainan pada hati akan mempengaruhi fungsi jaringan tubuh yang lainnya. Hati terdiri dari empat lobus utama, separuh bergabung satu sama lain. Lobus bagian dorsal dibagi menjadi bagian lobus kanan dan lobus kiri. Lobus lateral kiri tidak terbagi dan lobus lateral kanan yang dibagi menjadi 12 bagian anterior dan posterior. Lobus caudal terdiri dari dua lobus yaitu lobus dorsal dan ventral (Harada and Grinnell, 1996). Permukaan hati dilapisi oleh lapisan jaringan ikat yang liat dan tembus pandang. Hati tersusun dalam lobulus yang didalamnya mengalir darah melewati deret sel-sel hati melalui sinusoid dari daerah porta hepatika kedalam vena sentralis tiap lobulus. Darah yang lewat sinusoid adalah campuran darah dari cabang-cabang vena porta dan arteri hepatika. Setiap lobulus hati terbangun dari berbagai komponen, yaitu sel-sel parenkim hati (hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabangcabang arteri hepatika, sel Kuppfer dan kanalikuli biliaris. Sel-sel Kuppfer yang berada di dalam lumen sinusoid bertindak sebagai makrofag yang memiliki fungsi fagositik (Ganong, 2003). Hati mendapat vaskularisasi ganda, yaitu melalui vena porta dan arteri hepatika. Darah yang berasal dari saluran pencernaan dan organ abdomen termasuk limpa, pankreas, dan kantung empedu masuk melalui vena porta. Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap dan siap untuk diproses lebih lanjut oleh hati. Selain nutrisi, pembuluh darah porta dapat menjadi jalan masuk untuk berbagai mikroorganisme dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau juga disimpan. Sebanyak 75-80 % darah pada organ hati tikus berasal dari vena porta. Sedangkan dari arteri hepatika mengalir sekitar 20-25 % darah yang kaya akan oksigen (Mac Lachlan and Cullen, 1995). 13 Jantung dan hati dapat mengalami beberapa perubahan. Kerusakan pada jantung dan hati dapat bersifat irreversible (tetap) dan reversible (sementara). Degenerasi merupakan kerusakan yang reversible, dimana sel mengalami perubahan dari struktur normalnya (Gambar 3(a) dan 3(b)). Penyebab degenerasi sel bermacam – macam antara lain gangguan metabolisme, toksin, dan trauma. Apabila degenerasi sel berlangsung terus – menerus, maka dapat menyebabkan kematian sel (nekrosis) (Mac Lachlan and Cullen, 1995) (a) (b) (c) (d) Gambar 3. Profil histopatologi jantung dan hati. Tidak terjadi kerusakan jantung (a) dan hati (b) pada kontrol yang hanya dipejani salin. Pada kelompok yang dipejani doxorubicin terjadi degenerasi parenkim (D) dengan vakuola kecil (V) pada miosit jantung (c) dan tanpa vakuola pada hepatosit hati (d), terjadi nekrosis (N) pada miosit dan hepatosit, miosit mengalami apoptosis (*), dan teramati adanya interstitial myocardial edema (E). Pengecatan hematoksilin – eosin, perbesaran 400x (Injac et al., 2009). Pada dosis terapi (3 x 1,5 mg/kg), penggunaan doxorubicin dapat menginduksi kerusakan pada jantung dan hati. Pada hasil pengamatan 14 histopatologi (Gambar 3(c) dan 3(d)), pada jaringan jantung teramati terjadinya pembentukan vakuola sitoplasma, hilangnya myofibrillar, nekrosis sel, eosinophily, dan terbentuknya kardiomiosit dengan sitoplasma glanular (degenerasi parenkim), serta infiltrasi limfosit. Pada jaringan hati, penggunaan doxorubicin menyebabkan kerusakan berupa nekrosis sel, degenerasi parenkim, dan polimorfisme hepatosit. 4. Kokemoterapi Umumnya, kemoterapi kanker merupakan kombinasi dari beberapa obat. Kombinasi tersebut memungkinkan penggunaan obat dosis rendah dengan aktivitas sama, namun toksisitas terhadap jaringan normal menurun (Alison, 2004). Salah satu pendekatan penekanan efek samping agen kemoterapi kanker adalah penggunaan agen pendamping yang kombinasinya bersifat sinergis, yang biasa disebut kokemoterapi. Kokemoterapi merupakan aplikasi kombinasi terapi, di mana kombinasi dapat berupa sinergis, aditif, dan antagonis (Zhao et al., 2004). Salah satu alternatif yang berpotensi sebagai agen kokemoterapi adalah senyawa fitokimia yang dapat meningkatkan sensitivitas sel terhadap agen kemoterapi dengan efek samping yang relatif rendah (Sharma et al., 2004; Tyagi et al., 2004). Kokemoterapi merupakan strategi terapi dengan mengkombinasikan suatu senyawa dengan agen kemoterapi. Penggunaan agen tambahan bersama dengan agen kemoterapi merupakan usaha terapi kanker untuk meningkatkan apoptosis sel kanker maupun untuk menekan efek samping agen kemoterapi. 15 Selain itu, kokemoterapi juga dapat menurunkan resiko perkembangan kanker yang resisten terhadap salah satu jenis obat (Devita and Chua, 2008). 5. Kelor Moringa oleifera L. dapat berupa semak atau dapat pula berupa pohon dengan tinggi 12 m dengan diameter 30 cm. Kayunya merupakan jenis kayu lunak dan memiliki kualitas rendah. Daun tanaman kelor memiliki karakteristik bersirip tidak sempurna, kecil, berbentuk telur, sebesar ujung jari. Helaian anak daun memiliki warna hijau sampai hijau kecoklatan, bentuk bundar telur atau bundar telur terbalik, panjang 1-3 cm, lebar 4 mm sampai 1 cm, ujung daun tumpul, pangkal daun membulat, tepi daun rata (Anwar et al., 2007). Adapun klasifikasi dari tanaman M. oleifera adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Brassicales Famili : Moringaceae Genus : Moringa Spesies : Moringa oleifera L. (Winarto, 2007) 16 (a) (b) Gambar 4. Tanaman M. oleifera (skala 1:100) (a) dan daun kelor (b) (Brenner, 2002). Secara empiris tanaman Moringa oleifera L. (Gambar 4(a)) telah digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional dan sumber makanan di berbagai belahan dunia. Hampir semua bagian dari tumbuhan tersebut dapat digunakan untuk pengobatan inflamasi di Asia Selatan. Tanaman ini juga digunakan sebagai antikonstipasi dan bahkan dapat digunakan sebagai koagulan untuk memurnikan air (Anwar et al, 2007). Daun Moringa oleifera L. (Gambar 4(b)) mengandung lebih banyak vitamin A dari pada wortel, lebih banyak vitamin C dari pada jeruk, lebih banyak kalsium dari pada susu, lebih banyak zat besi dari pada bayam, dan lebih banyak potasium dari pada pisang (Fahey, 2005). Ekstrak tanaman ini juga telah dilaporkan memiliki khasiat sebagai hipotensif, antikanker, dan antibakteri karena memiliki kandungan fitokimia antara lain benzil isotiosianat, benzil glukosinolat, niazimisin, dan pterygospermin (Fahey, 2005). Moringa oleifera L. mengandung kombinasi senyawa yang unik yaitu isotiosianat dan glukosinolat yang memiliki potensi sebagai agen 17 kemopreventif. Isotiosianat telah menunjukkan aktivitas sebagai agen antikanker in vivo (Zhang dkk., 2009). Penelitian yang dilakukan Biswas et al. (2012) menunjukkan bahwa selain glukosinolat dan isotiosianat, tanaman kelor juga mengandung senyawa bioaktif tiokarbamat, β-karoten, vitamin A, vitamin C, dan flavonoid. Senyawa – senyawa tersebut berperan dalam aktivitas antioksidan M. oleifera dengan mengurangi pembentukan ROS, mengkhelat ion – ion metal, dan menghambat ikatan radikal bebas dengan membran (Kumar and Pari, 2003). Tanaman ini juga sangat berharga bagi dunia penelitian kemoprevensi. Selama dua dekade ini, Moringa oleifera L. telah muncul di berbagai jurnaljurnal ilmiah yang menjelaskan tentang kandungan nutrisi dan potensi medisnya. Daun Moringa oleifera L. mengandung komposisi flavonoid yang unik, utamanya quercetin dan kaempferol. Atas dasar fakta-fakta tersebut berbagai penelitian mengenai kelor telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan Gunjal et al. (2010) menunjukkan bahwa ekstrak aqueous kelor mampu menurunkan kadar beberapa senyawa radikal di jantung pada tikus galur Wistar terinduksi isoproterenol. Beberapa penelitian terbaru lainnya juga menyatakan bahwa ekstrak daun kelor dapat mencegah terbentuknya ROS. Siddhuraju et al. (2003) melaporkan bahwa ekstrak aqueous, metanol, dan etanol kelor mampu menghambat aktivitas radikal peroksil dan superoksil. Ekstrak daun kelor juga terbukti poten menghambat radikal bebas 2,2-difenil-2-pikril hidrazil (DPPH), nitrit oksida, dan lipid peroksida (Sreelatha and Padma, 2009). Aktivitas antioksidan ini 18 diketahui disebabkan oleh kandungan kaempferol pada ekstrak (Bajpai et al., 2005). Oleh karena itu, ekstrak daun kelor memiliki aktivitas antioksidan sekaligus antikanker yang diyakini dapat mengurangi efek samping kardiohepatotoksik doxorubicin. 6. Pengecatan Hematoksilin – Eosin (HE) Analisis morfologi dan seluler yang akurat dalam diagnosis kanker sangat tergantung dari analisis morfologisnya. Analisis morfologis digunakan untuk mengklasifikasi tumor, dan untuk memprediksi tingkah laku sel tumor yang dilakukan pada organisasi dan kemunculan sel neoplastik tersebut. Kebanyakan jaringan didapati tidak berwarna, sehingga tidak banyak yang dapat dilihat di bawah mikroskop. Agar dapat dilihat dibawah mikroskop, kebanyakan sediaan harus diwarnai. Oleh sebab itu, telah dirancang pewarnaan jaringan agar berbagai unsur jaringan jelas terlihat dan dapat dibedakan. Bahan warna mewarna berbagai jaringan, kurang lebih secara selektif. Pengecatan dasar menggunakan Hematoksilin Eosin (HE) dapat digunakan untuk melihat morfologis nukleus, sitoplasma, dan matrix seluler dengan bantuan mikroskop cahaya (Junqueira and Caniero, 1980). Hematoksilin dan Eosin adalah metode pewarnaan yang banyak digunakan dalam dalam pewarnaan jaringan sehingga ia di perlukan dalam diagnosa medis dan penelitian. Hematoksilin adalah bahan pewarna yang sering digunakan pada pewarnaan histoteknik, ia merupakan ekstrak dari pohon yang diberi nama logwood tree. Hematoksilin bekerja sebagai pewarna 19 basa, artinya zat ini mewarnai unsur basofilik jaringan. Hematoksilin memulas inti dan strukutur asam lainnya dari sel (seperti bagian sitoplasma yang kaya- RNA dan matriks tulang rawan) menjadi biru.Eosin bersifat asam. Ia akan memulas komponen asidofilik jaringan seperti mitokondria, granula sekretoris dan kolagen. Tidak seperti hematoksilin, eosin mewarnai sitoplasma dan kolagen menjadi warna merah muda (Junqueira et al., 1995). F. Landasan Teori Terapi kanker dengan agen kemoterapi seperti doxorubicin dapat menimbulkan beberapa efek samping, antara lain adalah kardio-hepatotoksik. Salah satu efek kardiotoksik yang terjadi adalah cardiomyophaty, yaitu penurunan fungsi miokardium disebabkan oleh perubahan struktur histologis miokardium. Pada kasus cardiomyopathy secara histologis akan menunjukkan adanya atropi otot jantung, nuclear pyknosis, edema miokardium dan vakuola sitoplasma. Daun kelor diketahui memiliki kandungan senyawa fenolik yaitu glukosinolat, isotiosianat, thiokarbamat, dan flavonoid yang mempunyai aktivitas antioksidan. Senyawa – senyawa ini mampu menekan pembentukan ROS, mengkhelat ion – ion metal, dan meregenerasi membran yang terikat antioksidan. Sehingga dimungkinkan penggunaan daun kelor sebagai agen kokemoterapi yang dapat mereduksi efek kardiotoksik doxorubicin. Pembentukan radikal bebas oleh doxorubicin melalui mekanisme enzimatik juga dapat menginduksi gangguan pada fungsi hati. Radikal bebas dapat mengakibatkan sel mengalami inflamasi dan menghasilkan agen inflamasi. 20 Sel mengalami inflamasi ini akan membentuk granulomatous lesions dan periportal fibrosis. Oleh karena itu diperlukan sebuah kombinasi antara agen kemoterapi doxorubicin dengan agen hepatoprotektor. Tumbuhan genus moringa secara umum telah terbukti memiliki kandungan senyawa flavonoid. Senyawa flavonoid memiliki aktivitas sebagai penangkap radikal dan pengkelat logam. Daun kelor mengandung flavonoid quercetin dan kaempferol. Kombinasi doxorubicin dengan ekstrak etanolik daun kelor diperkirakan dapat mengurangi efek hepatotoksik doxorubicin dengan mengurangi kerusakan jaringan hati pada profil histopatologi. G. Hipotesis 1. Pemberian ekstrak daun kelor dapat memperbaiki profil histopatologi jantung tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin. 2. Pemberian ekstrak daun kelor dapat memperbaiki profil histopatologi hati tikus galur Sprague Dawley yang dipejani doxorubicin.