PRODUKTIVITAS LEBAH TRIGONA SPP. SEBAGAI PENGHASIL PROPOLIS PADA PERKEBUNAN PALA MONOKULTUR DAN POLIKULTUR DI JAWA BARAT HEARTY SALATNAYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Produktivitas Lebah Trigona spp. sebagai Penghasil Propolis pada Perkebunan Pala Monokultur dan Polikultur di Jawa Barat, adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, September 2012 Hearty Salatnaya NIM D151100041 ABSTRACT HEARTY SALATNAYA. Productivity of Trigona spp. as a Propolis Producer at Monoculture and Policulture Nutmeg Plantation in East Java. Supervised by A.M. FUAH and W.D. WIDODO One of the stingless bee, namely Trigona spp. is a good propolis producer but, until now the species is not cultivated yet. Propolis is made from resin collected by bee from plants and mixed with enzim from bee saliva. The best resin produced by plants that used as medicine. Nutmeg is original plant from Indonesia, and commonly used as medicine. The aim of this study was to analyze the productivity of Trigona bee as propolis producer which were cultivated at monoculture and policulture plantations. This study was carried on at the Experimental Plantation (Cicurug Monoculture Farm) and Community Plantation (Cijeruk Policulture Farm) and data collection were conducted for three months from March until May 2012. Methodology used in this study was direct observation on daily activity and measurement the colony weight of Trigona that was kept at two different farms. Propolis production was measured in the two agroecosyestems and analysed to measure the flavonoid content of propolis produced in each locality. The results showed that the weight of Trigona at monoculture farm was higher than those at the policulture (299 g : 170 g), but the weight of propolis at policulture farm was higher than monoculture farm (92,75 g : 65,57 g). The result of flavonoid content of propolis at monoculture farm is 0,186%, and 0,288% at policulture farm. The difference might be related to the activity of the stingless bee which were more active at the monoculture farm to develop their colony rather than their product (propolis). It shows that the activity of the stingless bee at monoculture was more active than those at the policulture farm. Keywords: trigona spp., monoculture, policulture, productivity, propolis RINGKASAN HEARTY SALATNAYA. Produktivitas Lebah Trigona spp. sebagai Penghasil Propolis pada Perkebunan Pala Monokultur dan Polikultur di Jawa Barat. Dibimbing oleh. A.M. FUAH dan W.D.WIDODO Trigona spp. adalah salah satu jenis lebah bersengat (stingless bee) sebagai penghasil propolis yang baik. Namun, spesies ini belum banyak dibudidaya oleh masyarakat, karena merupakan penghasil madu yang sedikit. Tidak adanya sengat memungkingkan Trigona diternak secara meluas, karena propolis yang dihasilkan memiliki nilai jual yang tinggi. Propolis adalah salah satu produk dari lebah yang berasal dari getah (resin) tanaman yang kemudian dicampur dengan ludah (saliva). Propolis digunakan oleh lebah untuk melindungi sarangnya dari kontaminasi bakteri, virus dan jamur. Sedangkan bagi manusia, propolis sangat bermanfaat bagi kesehatan. Kandungan zat yang berfungsi sebagai antibiotik dan antimikroba membuat propolis dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Propolis juga dapat digunakan untuk terapi penyakit, sebagai bahan pengawet dan dapat digunakan untuk beberapa industri. Sumber resin yang terbaik berasal dari resin tanaman yang telah digunakan sebagai obat. Pala (Myristica fragrans Houtt) adalah tanaman asli Indonesia, dan biasanya digunakan sebagai obat dan merupakan penghasil resin. Untuk itu, dilakukan penelitian dengan tujuan mempelajari produktivitas lebah Trigona spp. sebagai penghasil propolis yang dibudidaya pada perkebunan pala monokultur dan polikultur. disamping itu propolis juga dianalisis untuk mengetahui kandungan flavonoidnya. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Cicurug dan Perkebunan Rakyat Cijeruk, dan penelitian dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Maret sampai dengan Mei 2012. Metode yang digunakan adalah pengamatan langsung terhadap aktivitas harian lebah dan menghitung bobot koloni Trigona secara berulang yang dipelihara pada dua kebun yang berbeda. Produksi propolis terjadi secara berulang pada dua perkebunan. Hasil menunjukkan bahwa bobot Trigona pada kebun monokultur lebih tinggi dari kebun polikultur (299 g : 170 g), tetapi bobot propolis pada kebun polikultur lebih tinggi dibandingkan kebun monokultur (92,75 g : 65,57 g). Perbedaan ini ada kaitannya dengan aktivitas lebah pada kebun monokultur yang lebih aktif mengembangkan koloni, sehingga menghasilkan bobot koloni lebih tinggi dibandingkan menghasilkan produk (propolis). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas dari lebah tidak bersengat (stingless bee) pada kebun monokultur lebih aktif dibandingkan lebah pada kebun polikultur. Aktivitas yang tinggi dari koloni lebah di kebun monokultur dipengaruhi oleh musim berbunga tanaman dan jarak tanaman yang ada di masing-masing lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas Trigona dimulai pada pukul 06.00, dan aktivitas tertinggi terjadi pada pukul 10.00-12.00, kemudian semakin menurun sampai dengan pukul 17.00. Flavonoid adalah salah satu senyawa kimia yang penting pada propolis. Hasil analisa kandungan flavonoid pada propolis di kebun monokultur adalah 0,186%, dan 0,288% pada kebun polikultur. senyawa flavonoid pada propolis berfungsi sebagai antioksidan yang mampu mengatasi senyawa radikal bebas sehingga sangat baik sebagai antikanker. Lebah adalah serangga berdarah dingin yang peka terhadap perubahan suhu lingkungan. Lingkungan juga mempengaruhi perkembangan dan produktivitas koloni lebah. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas lebah adalah temperatur, kelembaban udara, dan intensitas cahaya matahari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa aktivtas lebah dimulai pada saat suhu berkisar antara 22-23 o C, dengan kelembaban 70-88%, dan intensitas cahaya 183-4344 lux. Aktivitas tertinggi terjadi pada saat suhu mencapai 26-28 oC, kelembaban 55-71%, dan intensitas cahaya 46.875-91.347 lux. Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa produktivitas Trigona spp. berdasarkan bobot koloni lebah yang dipelihara pada kebun pala monokultur sangat nyata lebih tinggi dibandingkan kebun polikultur, yang dipengaruhi oleh musim berbunga dan jarak tanaman yang ada pada masingmasing lokasi. Kandungan flavonoid yang merupakan senyawa kimia yang penting pada propolis yang dihasilkan oleh Trigona pada kebun pala monokultur dan polikultur menunjukkan hasil yang bervariasi, yang berkaitan erat dengan variasi lingkungan dan manajemen pemeliharaan. Faktor lingkungan (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dan waktu nyata berpengaruh terhadap aktivitas terbang Trigona. Suhu dan intensitas cahaya yang tinggi, meningkatkan aktivitas lebah, sementara kelembaban yang tinggi menurunkan aktivitas lebah. Kata Kunci: trigona spp., produktivitas, propolis, monokultur, polikultur © Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB. PRODUKTIVITAS LEBAH TRIGONA SPP. SEBAGAI PENGHASIL PROPOLIS PADA PERKEBUNAN PALA MONOKULTUR DAN POLIKULTUR DI JAWA BARAT HEARTY SALATNAYA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Salundik, M.Si HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis Nama Nomor Pokok : Produktivitas Lebah Trigona spp. sebagai Penghasil Propolis pada Perkebunan Pala Monokultur dan Polikultur di Jawa Barat : Hearty Salatnaya : D151100041 Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS Ketua Dr. Ir. Winarso Drajad Widodo, MS Anggota Diketahui Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Muladno, MSA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: 27 September 2012 Tanggal Lulus: PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan-Nya, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Asnath Maria Fuah, MS dan Dr. Ir. Winarso Drajad Widodo, MS, sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan motivasi, bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis mulai dari proses penyusunan hingga akhir penulisan tesis. Kepada Dr. Ir. Salundik, M.Si, selaku penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan masukannya bagi penulisan tesis ini, penulis menghaturkan penghargaan dan ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA selaku ketua program studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama studi dan termasuk proses penyelesaian tugas akhir. Drs. Wawan Lukman bersama seluruh staf Kebun Percobaan Cicurug Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO), yang telah membantu penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan, Dr. Ir. Eddy Ch. Papilaya, M.Si dan seluruh staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanian Kewirausahan (STPK) Banau Halmahera Barat, terima kasih atas bantuan dan dukungannya, serta perhatian yang diberikan, yang memungkinkan penyelesaian penelitian dan penulisan tesis ini. Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana ITP 2010 IPB, rekan-rekan Sisters Voice, rekan-rekan Persekutuan Oikumene Umat Kristen Kampus IPB Dramaga dan sekitarnya (POUKADS), Jemaat Sektor 27 GPIB Zebaoth Bogor, Persatuan Mahasiswa Maluku (PERMAMA) Bogor, dan Gita Swara Pascasarjana (GSP) Institut Pertanian Bogor, ungkapan terima kasih atas support dan doa serta pertemanannya selama ini. Keluarga Eureka Zatnika, Keluarga SabandarDahoklory, Keluarga Leiwakabessy-Matrutty, Keluarga Bawole-Apituley, Keluarga Jambormias, Keluarga Manuputty, Keluarga Tupan-Hitijiaubessy, bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini, merupakan kekuatan bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Keluarga tercinta, Mama tersayang, Risye, Rigo, Gerald dan Tante Lotje, Keluarga Besar Salatnaya dan Keluarga Besar Hehakaya atas doa, cinta kasih, pengertian, dan pengorbanan yang menjadi pendorong semangat dalam menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor. Semoga tesis ini bermanfaat, Tuhan memberkati Bogor, September 2012 Hearty Salatnaya RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Ambon, Maluku pada tanggal 19 September 1982 sebagai anak kedua dari pasangan Johannes Salatnaya (Alm) dan Henriette Magdalena Hehakaya. Setelah lulus dari SMU Negeri 2 Ambon pada tahun 2001, penulis menempuh program sarjana di Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Program Studi Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Sam Ratulangi pada tahun 2001-2005. Pada tahun 2010, penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Sejak tahun 2009 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Agroekoteknologi, Sekolah Tinggi Pertanian Kewirausahaan (STPK) Banau Halmahera Barat. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 Latar Belakang .............................................................................................. 1 Tujuan Penelitian ................................................................................................. 2 Manfaat Penelitian ............................................................................................... 2 Kerangka Pemikiran ............................................................................................ 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 5 Klasifikasi Lebah Trigona spp. ........................................................................... 5 Siklus Hidup Trigona spp. ................................................................................... 6 Tingkah Laku dan Habitat Trigona spp. ............................................................. 9 Produk Lebah .....................................................................................................12 Madu ..............................................................................................................12 Polen ..............................................................................................................13 Royal Jelly ....................................................................................................14 Propolis .........................................................................................................14 Jenis dan Sumber Pakan Lebah .........................................................................17 Karakteristik Tanaman ......................................................................................20 Pala (Myristica fragrans Houtt) ...................................................................20 Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) ............................................ 22 Mangga (Mangifera indica L.) ............................................................... 22 Rambutan (Nephellium lappaceum L.) ................................................... 23 Jambu Biji (Psidium guajava Linn) ....................................................... 23 Jambu Air (Eugenia aquea Burn) ........................................................... 24 Pisang (Musa spp.) ................................................................................ 24 Nanas (Ananas comosus (L.) Merr ......................................................... 24 Durian (Durio zibethinus Murr.) ............................................................ 25 Manggis (Garcinia mangostana L.) ....................................................... 25 Kedondong (Spondias cytherea) ............................................................ 26 Lengkeng (Euphoria longan (Lour) Steud ............................................. 26 Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) ................................................... 26 Cengkeh (Syzygium aromaticum (L.) ..................................................... 27 Jati (Tectona Grandis L.F) ..................................................................... 27 Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Produktivitas Lebah ....................... 28 METODE PENELITIAN .........................................................................................31 Tempat dan Waktu .............................................................................................31 Materi dan Alat ..................................................................................................31 Prosedur Penelitian .................................................................................... 32 Rancangan Penelitian ................................................................................. 32 Parameter yang diukur ............................................................................... 33 Analisis Data .............................................................................................. 34 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 35 Kondisi Umum Tempat Penelitian .............................................................. 35 Produktivitas Koloni .................................................................................. 38 Kandungan Propolis ................................................................................... 41 Aktivitas Trigona ....................................................................................... 42 Faktor Lingkungan dan Aktivitas Trigona .................................................. 46 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 49 Simpulan .................................................................................................... 49 Saran .......................................................................................................... 49 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 50 DAFTAR TABEL Halaman 1 Siklus hidup lebah Trigona spp. ................................................................... 9 2 Tanaman sumber resin ............................................................................... 17 3 Jenis tumbuhan sumber pakan lebah di Indonesia ....................................... 18 4 Suhu dan aktivitas harian lebah .................................................................. 28 5 Jenis dan jumlah tanaman yang terdapat pada kebun polikultur .................. 32 6 Kondisi lingkungan kebun pala monokultur selama penelitian..................... 35 7 Jenis tanaman sumber pakan dan resin pada kebun polikultur ...................... 36 8 Kondisi lingkungan kebun polikultur selama penelitian ............................... 37 9 Curah hujan pada wilayah Cijeruk dan Cicurug ........................................... 38 10 Hasil panen 6 koloni lebah Trigona spp. pada kebun pala monokultur dan polikultur ............................................................................................. 38 11 Kandungan flavonoid pada propolis di kebun pala monokultur dan polkultur.. ............................................................................................ 41 12 Faktor lingkungan dan aktivitas Trigona di kebun pala monokultur ............ 46 13 Faktor lingkungan dan aktivitas Trigona di kebun pala polikultur .............. 47 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kasta sosial lebah Trigona spp. ...................................................................... 6 2 Sarang Trigona spp. ..................................................................................... 11 3 Rataan perkembangan bobot koloni Trigona spp. pada kebun pala monokultur dan polikultur ............................................................................ 38 4 Perkembangan koloni Trigona spp. pada kebun pala monokultur dan polikultur....................................................................................................... 40 5 Grafik aktivitas Trigona pada kebun pala monokultur dan polikultur ............ 42 6 Aktivitas lebah Trigona di kebun pala monokultur dan polikultur ................. 44 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Uji t terhadap bobot koloni ........................................................................... 56 2 Uji t terhadap waktu dan aktivitas ................................................................. 56 3 Uji t terhadap lingkungan dan aktivitas ......................................................... 57 4 Lokasi penelitian ........................................................................................... 58 5 Lay out kebun percobaan tanaman pala ........................................................ 59 PENDAHULUAN Latar belakang Lebah adalah serangga sosial kaya manfaat karena menghasilkan madu yang dikenal berkhasiat untuk kesehatan. Selain madu, produk lain yang dihasilkan berupa polen, royal jelly, propolis, malam lebah, bisa lebah, larva lebah, madu sarang, dan roti lebah yang memiliki nilai nutrisi yang tinggi (Suranto 2007). Berdasarkan karakteristik biologi, lebah terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok yang bersengat dan yang tidak bersengat. Genus Apis merupakan jenis lebah bersengat dan memiliki produktivitas yang baik untuk menghasilkan madu, sedangkan genus Trigona merupakan jenis lebah tidak bersengat (stingless honeybee) yang belum banyak dibudidayakan, karena menghasilkan madu lebih sedikit dibandingkan genus Apis. Namun, genus ini merupakan salah satu penghasil propolis yang sangat baik. Propolis banyak digunakan sebagai obat alami yang sangat bermanfaat untuk kesehatan dan ketahanan tubuh. Trigona spp. biasanya menghasilkan sedikit madu, namun propolis yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan yang dihasilkan jenis lebah lokal yang lain (Syariefa et al. 2010; Suranto 2007). Propolis dibuat dari getah yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai pucuk tanaman dan dari tanaman yang patah yang dicampur dengan enzim yang terdapat dalam kelenjar ludah lebah dan digunakan untuk melindungi sarang dari kontaminasi bakteri, virus dan jamur (Ghisalberti 1979; Gojmerac 1983; Marcucci 1995; Popova et al. 2005; Chen et al. 2008). Komponen utama propolis berasal dari resin atau getah tanaman yang dikumpulkan oleh lebah. Banyak jenis tanaman yang dapat dijadikan sumber resin untuk bahan baku pembentuk propolis. Sumber resin yang terbaik berasal dari tanaman yang resinnya memang sudah dimanfaatkan sebagai bahan farmasi atau obat. Tanaman pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan tanaman asli Indonesia yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan digunakan sebagai bahan rempah yang bermanfaat untuk mengobati beberapa penyakit (Sunanto 1993; Muis et al. 2008). Tanaman pala termasuk dalam tanaman yang dapat dijadikan sumber resin bagi Trigona (Siregar et al. 2011). 2 Trigona spp. memiliki potensi untuk menghasilkan propolis dengan jumlah yang cukup tinggi dengan manfaat bagi kesehatan sebagai bahan untuk pengobatan alternatif karena tidak memiliki efek samping. Namun demikian Trigona spp. masih belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat, padahal modal yang dibutuhkan tidak terlalu mahal, koloni lebah tidak mudah kabur dan produk propolisnya memiliki nilai jual yang tinggi (Mahani et al. 2011). Hal ini merupakan peluang bagi masyarakat untuk dapat membudidayakannya dengan memanfaatkan pala sebagai sumber daya alam untuk menghasilkan propolis. Untuk pengembangan peternakan lebah Trigona perlu dilakukan suatu penelitian tentang produktivitas propolis dari lebah Trigona. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produktivitas lebah Trigona spp. sebagai penghasil propolis yang dibudidayakan pada perkebunan pala monokultur dan polikultur. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat: 1. Memberikan informasi bagi masyarakat tentang produktivitas Trigona spp. sebagai penghasil propolis pada perkebunan pala monokultur dan polikultur. 2. Memberikan informasi tentang budidaya Trigona spp. pada lokasi monokultur dan polikultur. Kerangka Pemikiran Ternak lebah yang selama ini dikembangkan di Indonesia adalah jenis yang berasal dari luar, yakni Apis mellifera dan lebah madu lokal (Apis cerana) yang menghasilkan madu sebagai produk utama. Produksi propolis yang tinggi, dapat diperoleh dari sejenis lebah yang produksi madunya sangat rendah, yaitu lebah Trigona spp. Trigona cukup adaptif terhadap berbagai kondisi sarang, dimana koloninya terdiri dari ratu, lebah pekerja, dan lebah jantan. Trigona di alam banyak ditemukan pada batang-batang pohon yang besar, di lubang batu, tiang listrik, 3 celah-celah dinding, dan lubang bambu di dalam rumah (Syariefa et al. 2010). Namun, bila akan diternakkan dengan tujuan komersil, yaitu diambil propolisnya atau juga sebagai obat-obatan tentu saja membutuhkan sarang yang higienis. Sarang yang disiapkan tidak harus mahal atau mewah. Tempat sarang dapat dibuat dari bambu, kayu, kardus, pot, styrofoam, atau tempurung kelapa (Siregar et al. 2011). Salah satu syarat hidup Trigona agar dapat berkembang dengan baik adalah ketersediaan pakan. Vegetasi yang beragam menentukan kestabilan pertumbuhan koloni Trigona (Siregar et al. 2011). Semakin beragam dan banyak jenis tanaman, semakin pesat pula pertumbuhan koloninya. Trigona memerlukan lingkungan dengan vegetasi yang menyediakan polen dan nektar alami, sehingga Trigona dapat berkembang biak dan menghasilkan beragam produk lebah. Lebah sangat terangsang untuk mengunjungi bunga-bunga tanaman disebabkan oleh sifat-sifat bunga yang sangat menarik yang dapat dilihat dari bentuk bunga, warna bunga, aroma bunga serta ada tidaknya kandungan nektar bunga. Karena ukuran tubuhnya yang sangat kecil, Trigona dapat mengambil madu dari bunga-bunga yang kecil (Syariefa et al. 2010). Selain mencari nektar dan tepung sari, lebah ini gemar mengambil getah pohon (terutama dari bekas luka tebangan) untuk menutup celah sarang. Jumlah madu yang dihasilkan sedikit, berasa asam, dan sering digunakan untuk obat sariawan. Lilinnya digunakan untuk membatik yang dikenal dengan sebutan malam klanceng. Lebah ini tidak memiliki sengat dan mudah dipelihara. Propolis yang dihasilkan lebah berfungsi untuk mensterilkan sarang dari kontaminasi bakteri, cendawan, dan virus. Propolis mempunyai banyak manfaat untuk pengobatan karena kandungan bahan kimia serta komposisinya yang kompleks dan beragam membuat propolis mempunyai khasiat yang bermacam-macam, diantaranya sebagai antikanker, antivirus, dan antibiotika. Propolis juga digunakan dalam industri farmasi sebagai obat luka, dan campuran pasta gigi. Setiap jenis lebah memiliki sumber resin tertentu yang ada di daerah masing-masing sehingga komposisi propolis amat bervariasi. Variasi propolis tergantung jenis pohon, suhu, wilayah, bahkan hari (saat) ketika propolis dikumpulkan. Sumber resin yang terbaik berasal dari tanaman yang resinnya 4 memang sudah dimanfaatkan selama ini sebagai bahan farmasi atau obat (Syariefa et al. 2010; Siregar et al. 2011). Pala (Myristica fragrans Houtt) dikenal sebagai tanaman rempah yang memiliki nilai ekonomi dan multiguna karena setiap bagian tanaman dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam pala diantaranya saponin, polifenol, flavonoid, dan minyak terbang. Minyak yang dihasilkan dari biji, fuli, kulit, kayu, daun dan bunga hasil sarinya sebagai oleoresins sering digunakan dalam industri pengawetan minuman ringan dan kosmetik. Efek farmakologi pala diantaranya anti kembung, anti-insomnia, peluruh kentut (carminative), dan perangsang (stimulant), mengobati gangguan pencernaan, sakit perut, kejang lambung, mual, muntah-muntah, diare, muntaber, jantung berdebar-debar, haid tidak lancar, kencing batu, kencing manis (DM), demam nifas, lemah syahwat, tidak dapat tidur (insomnia), sakit telinga (otitis), sariawan, menambah nafsu makan (stomachia), kepala pusing, sakit kepala, rematik, sakit pinggang, dan kudis (scabies) (Sunanto 1993; Muis et al. 2008). Penelitian tentang produktivitas lebah Trigona spp. sebagai penghasil propolis masih belum banyak dilakukan. Tanaman pala merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang banyak dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat dan Maluku, dan berpotensi sebagai sumber pakan bagi lebah Trigona. Untuk itu perlu dilakukan suatu penelitian mengenai produktivitas Trigona spp. untuk menghasilkan propolis yang berasal dari pohon pala di perkebunan monokultur dan perkebunan polikultur. Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat diketahui berapa banyak jumlah propolis yang dapat dihasilkan oleh lebah Trigona spp. dan kandungan propolis yang dihasilkan dari pohon pala. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Lebah Trigona spp. Lebah termasuk hewan serangga atau insekta. Dalam klasifikasi dunia binatang, lebah dimasukkan dalam ordo Hymenoptera yang artinya “bersayap bening”. Lebah ada yang memiliki sengat ada juga yang tidak. Penggolongan zoologisnya adalah sebagai berikut (Singh 1962; Free 1982; Gojmerac 1983; Sihombing 2005) : Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Hymenopetra Subordo : Apocrita Famili : Apidae (lebah madu) Genus : Trigona Spesies : Trigona spp. Trigona spp. merupakan jenis lebah yang tidak menyengat (stingless bee). Lebah bersengat lebih dikenal luas, tetapi hasil riset ahli taksonomi menyimpulkan bahwa lebah tidak bersengat Trigona justru merupakan lebah tertua yang pernah diketahui. Jenis lebah ini termasuk di dalam famili Apidae. Lebah Trigona spp. ditemukan di daerah tropika dan sub tropika, seperti Australia, Afrika, Asia Tenggara dan sebagian Meksiko dan Brazil. Lebah Trigona spp. di daerah tropika selalu aktif sepanjang tahun, sedangkan di daerah temperate menjadi tidak aktif di musim dingin. Lebah Trigona spp. merupakan salah satu serangga yang hidup berkelompok dan membentuk koloni (Free 1982). Sejak dahulu, Trigona telah dikenal oleh masyarakat Indonesia. Dalam bahasa daerah lebah ini disebut klanceng atau lonceng (Jawa), teuweul (Sunda), gala-gala atau lilin lebah (Perum Perhutani 1986). Di dunia tercatat ada sekitar 150 jenis Trigona, dan Indonesia memiliki kurang lebih 37 spesies yang tersebar di berbagai pulau. Misalnya, di pulau Jawa sudah diketahui sekitar sembilan spesies Trigona, Sumatera 18 spesies Trigona, Kalimantan 31 spesies Trigona, dan Sulawesi dua spesies Trigona. Jumlah ini dapat lebih banyak lagi karena tiap daerah memiliki keragaman spesies yang berbeda. Spesies yang paling luas 6 penyebarannya adalah Trigona indipennis atau T. laeviceps, diikuti spesies lainnya yaitu T. apicalis, T. fusco-balteata, T-valdezi, T. collina, dan T. terminate. T. laeviceps pertama kali ditemukan di India, menghuni hutan di kawasan Asia dan meluas ke Timur sampai Kepulauan Salomon, spesies ini juga yang diternakkan di Lawang, Gunung Kidul, Yogyakarta, dan Pandeglang (Banten) (Siregar et al. 2011). Siklus Hidup Trigona spp. Lebah hidup dalam sebuah koloni dengan sistem masyarakat yang berhirarki, dimana dalam satu koloni lebah terdapat tatanan kehidupan yang penuh gotong royong dan saling ketergantungan. Koloni mempunyai sifat polimorfisme yaitu anggotanya mempunyai keunikan anatomis, fisiologis dan fungsi biologisnya yang berbeda satu golongan atau strata lainnya (PPP 2003). Koloni stingless bee terdiri atas beberapa ratus hingga mencapai sepuluh ribu ekor, dan pertukaran informasi antara lebah pekerja merupakan kunci masa depan untuk efisiensi pencarian pakan untuk koloni dan secara tidak langsung untuk perkembangan koloni dan kesuksesan reproduksi (Biesmeijer & Slaa 2004). Free (1982) menambahkan, satu koloni lebah Trigona berjumlah 300-80.000 lebah. Lebah memiliki kasta sosial, dalam setiap kelompok masyarakat lebah terdapat seekor lebah ratu (queen) yang memimpin lebah pekerja (worker-bees) dan lebah jantan (drones) yang dapat dilihat pada Gambar 1 (Sihombing 2005). A B C Sumber: Koleksi Pribadi (2012) Gambar 1 Kasta sosial lebah Trigona spp. A. Lebah jantan (Drone), B. Lebah ratu (Queen), C. Lebah pekerja (Worker). 7 Ratu adalah anggota koloni yang teramat penting, suatu koloni tidak dapat bertahan tanpa ratu. Dalam perkembangan evolusi lebah, ratu mengalami spesialisasi hanya sebagai penghasil telur. Lebah ratu kehilangan kemampuan dalam beberapa hal penting seperti mengasuh keturunannya (telur, larva, pupa), menghasilkan malam (lilin lebah, wax), membuat sarang, dan mencari makan (PPP 2003). Pendapat ini didukung oleh Sihombing (2005), bahwa ratu bahkan untuk membuang kotorannya dari sarang pun tidak ada waktu. Untuk mengeluarkan telur dari perutnya pun ratu harus dibantu oleh lebah pekerja, yaitu para pekerja mengibas-ngibaskan antenanya ke perut ratu sehingga mudah keluar. Menyisir atau membersihkan sayapnya sendiri pun harus dilakukan oleh lebah pekerja. Lebah ratu berpenampilan mencolok dan berbeda dari lebah pekerja karena berukuran 3-4 kali lebih panjang dari lebah pekerjanya. Sifatnya tidak mau berpindah-pindah tempat karena sangat gemuk dan tidak pandai terbang. Lebah hanya pindah kalau sarangnya sudah terlampau tua dan buruk, atau lilinnya terlalu keras. Pindahnya hanya ke tempat-tempat terdekat. Lebah ratu berfungsi sebagai penghasil telur dan juga sebagai pabrik penghasil senyawa kimia, yaitu feromon, yang merupakan pemersatu koloni dalam satu unit yang terorganisasi. Feromon merupakan senyawa kimia sebagai alat komunikasi lebah madu yang membawa informasi-informasi tentang apa yang harus dilakukan atau tingkah laku apa yang yang harus diperhatikan oleh anggota-anggota koloni sesuai dengan keadaan yang sedang ataupun akan dihadapi. Setiap lebah ratu menghasilkan senyawa kimia yang berbeda-beda sehingga hal tersebut digunakan sebagai tanda pengenal pada masing-masing koloni. Lebah pekerja maupun pejantan tidak mungkin tersesat atau masuk koloni yang berbeda oleh karena memiliki tanda pengenal yang berbeda (Perum Perhutani 1986; Sihombing 2005). Berdasarkan kasta, lebah jantan masuk kasta kelompok kedua terbesar dalam koloni lebah. Lebah jantan dalam koloninya dikenal sebagai lebah pemalas karena lebah enggan mencari makan, tidak mau memelihara sarang, dan tak pernah mengurus dirinya termasuk makan. Semua aktivitas-aktivitas tersebut dilakukan oleh lebah pekerja, bahkan setiap hari lebah jantan minta disuapi dan dibersihkan badannya (Singh 1962; Sihombing 2005). 8 Fungsi lebah jantan satu-satunya selama hidupnya adalah mengawini ratu perawan (virgin queen). Lebah jantan suka bermalas-malasan di dalam sarang dan hanya mau keluar dari sarangnya jika cuaca cerah, dan mau terbang tinggi kalau mau meminang ratu lebah. Pada saat musim paceklik tiba sebagian lebah-lebah jantan akan dibinasakan dan dikeluarkan oleh lebah-lebah pekerja dari sarang. Hanya koloni yang tidak normal, seperti koloni yang kehilangan ratu atau kurang subur, mempunyai lebah jantan pada musim paceklik (Singh 1962; Free 1982; PPP 2003; Sihombing 2005). Pada musim kawin, sang ratu akan terbang ke udara yang diiringi oleh para lebah jantan. Perkawinan terjadi ketika udara cerah dan sesudah perkawinan, lebah jantan akan mati karena kantong sperma terpisah dan tertinggal dalam kantong sperma ratu yang disebut spermatheca. Spermatecha merupakan tempat penyimpanan sperma lebah jantan hasil perkawinan pada ratu lebah (Gojmerac 1983; Amano 2002; Sihombing 2005). Lebah pekerja merupakan anggota koloni yang paling banyak jumlahnya dan beragam tugasnya. Jumlah lebah pekerja lebih banyak dalam satu koloni akan lebih ideal. Lebah pekerja mempunyai tugas mencari dan mengumpulkan nektar. Lebah-lebah pekerja merupakan lebah yang sangat sibuk. Lebah tidak pernah berhenti bekerja. Ketika musim tanaman berbunga lebah mencari polen dan nektar. Di dalam sarang, nektar dan polen yang dibawa oleh lebah pekerja lapangan diserahkan pada lebah rumah tangga untuk disimpan dalam sel penyimpanan cadangan makanan. Saat musim berbunga usai, lebah terbang mencari getah atau resin di daun, pucuk, dan batang tanaman sebagai bahan untuk memperbaiki dan menambal sarang yang rusak. Pekerjaan mencari resin merupakan tugas lebah pekerja tua. Resin yang dikumpulkan dari tanaman digunakan untuk menghasilkan propolis. Di dalam sarang lebah pekerja tidak tinggal diam. Lebah pekerja membersihkan sarang dari kotoran dan sampah, misalnya hama atau individu yang mati. Lebah pekerja berwarna hitam, berkepala besar dan berahang tajam untuk menggigit musuh bila diganggu (Singh 1962; Amano 2002; Syariefa et al. 2010). Menjadi seekor lebah dewasa, baik lebah ratu, lebah jantan dan lebah pekerja harus melewati perkembangan dari telur menjadi dewasa. Secara ringkas 9 waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan lebah mulai dari stadium telur sampai menjadi lebah dewasa ditampilkan dalam Tabel 1. Tabel 1 Siklus hidup lebah Trigona spp. Kasta Ratu Pekerja Jantan Telur (hari) 3 3 3 Larva (hari) 5.5 6 6.5 Pupa (hari) 7.5 12 14.5 Total (hari) 16 21 24 Dewasa 2-5 tahun 6 pekan 8 pekan Sumber: Syariefa et al. (2010) Lebah pekerja adalah lebah betina yang alat reproduksinya tidak berkembang sempurna. Dalam keadaan darurat, lebah pekerja dapat bertelur tetapi tidak bisa melahirkan telur berjenis kelamin betina karena tidak memiliki spermatheca untuk menampung sperma. Namun demikian, Lebah pekerja mempunyai organ-organ tubuh yang memungkinkannya mampu melakukan berbagai tugas dalam koloni. Tugas yang harus dikerjakan oleh lebah pekerja dipengaruhi oleh keadaan anatomi dan kondisi fisik lebah tersebut, rangsangan lingkungan, dan pembagian kerja sesuai dengan kriteria umurnya (Singh 1962; PPP 2003; Sihombing 2005). Tingkah Laku dan Habitat Trigona spp. Trigona spp. merupakan lebah yang memiliki ukuran tubuh 3-8 mm, dan sangat lincah bergerak. Untuk mengenalinya dari cara hidupnya yang selalu bergerombol, baik saat terbang maupun di sarang. Serangga ini mempunyai 3 pasang kaki yang semuanya beruas-ruas. Sepasang kaki belakang memiliki duri yang sangat banyak sehingga mampu „memegang‟ erat polen yang dipetik dari tanaman. Di bagian kepala terdapat sepasang mata yang sangat lebar, mirip mata belalang, sepasang antena, dengan mulut berbentuk moncong panjang sehingga mudah menghisap madu. Sepasang sayap di punggungnya berukuran lebih panjang sedikit dibandingkan badan yang membuatnya dapat bergerak sangat lincah (Syariefa et al. 2010). Tidak adanya sengat memungkinkan Trigona spp. diternak secara meluas. Trigona memiliki pertahanan dengan cara atau membakar kulit musuhnya dengan 10 larutan basa atau menggigit musuhnya (Free 1982). Lebah tidak bersengat memiliki beberapa keuntungan, diantaranya kurang berbahaya bagi manusia dan hewan peliharaan. Lebah tidak bersengat dapat membantu pelestarian keanekaragaman hayati dari populasi spesies tanaman yang ekosistemnya terganggu akibat perbuatan manusia. Koloni lebah tidak bersengat juga hampir tidak pernah melarikan diri dan resisten terhadap penyakit dan parasit (Heard 1999). Trigona sangat menyukai tempat teduh dengan berbagai jenis tanaman. Semakin banyak jenis tanaman, semakin banyak populasi yang akan berkembang (Siregar et al. 2011). Sarang Trigona dibangun dari campuran lilin dan resin. Di dalam sarang terdapat sel-sel tetasan yang dilindungi oleh selubung lembut yang disebut involucrum dan sel-sel ini dikelilingi tempat penyimpanan makanan. Madu dan polen disimpan dalam pot-pot terpisah. Trigona yang lebih primitif, membangun sarang yang lebih sederhana. Pot-pot sferikal untuk menyimpan madu dan pipa-pipa yang kaya lilin untuk menyimpan polen. Kadang-kadang madu dan polen disimpan pada pot yang sama. Daerah tetasan dan penyimpanan makanan disanggah oleh tiang-tiang dan semuanya dilindungi lapisan terluar yang keras disebut batumen. Untuk mencapai bagian dalam sarang, dibuat lubang masuk pada dindingnya. Sel-sel tetasan Trigona dibuat vertikal dan terbuka pada bagian atasnya, sementara sisiran-sisiran sel disusun secara horizontal, yang berbeda dengan jenis lebah madu yang lain. Trigona juga menyimpan banyak persediaan makanan (Free 1982). Susunan sarang Trigona dapat dilihat pada Gambar 2. Keragaman Trigona terlihat pada pintu masuk. Pintu masuk ada yang kecil sehingga cukup dilewati seekor Trigona, tetapi ada juga yang jauh lebih besar. Selain itu, lorong masuk ada yang panjang atau pendek. Pintu-pintu masuk itu dibuat dari batumen atau campuran cerumen, propolis, lumpur atau kapur serta kotoran hewan atau serat tumbuhan. Ada spesies tertentu mendekorasi sarangnya berbentuk cerobong pipa dari cerumen atau resin untuk sirkulasi udaranya, tetapi saat malam hari ditutup lagi (Syariefa et al. 2010). Pintu masuk koloni terbuat dari resin dan pintu masuk yang baru dibuat sangat lembek, setelah itu akan menjadi lebih gelap dan menjadi keras (Danaraddi 2007). 11 A C B Sumber: Koleksi Pribadi (2012) Gambar 2 Sarang Trigona spp. A.Sel telur baru; B. Sel telur lama; C. Tempat Pakan. Keragaman juga ditemukan pada bentuk sarang. Secara garis besar terdapat dua bentuk sarang, yaitu bentuk gunduk dan sisir. Sarang-sarang tersebut dibentuk dari campuran lilin yang diproduksi oleh Trigona dan resin yang diambil dari tanaman (Siregar et al. 2011). Sarang Trigona yang sudah diambil madunya disebut raw propolis. Raw propolis terdiri atas sekitar 50% senyawa resin (flavanoid dan asam fenolat), 30% lilin lebah, 10% minyak aromatik, 5% polen dan 5% berbagai senyawa organik (Pietta et al. 2002). Trigona spp. atau klanceng membuat sarang di dalam lubang-lubang pohon, celah-celah dinding atau lubang bambu di dalam rumah (Perum Perhutani 1986). Interior dalam sarang lebah Trigona jauh lebih rumit bila dibandingkan genus Apis. Sel untuk anak-anak lebah atau brood, sel penyimpanan madu, dan polen berbeda ukuran dan letaknya. Sel anakan lebih kecil ukurannya, sementara sel pekerja dan jantan sama ukuran dan bentuknya, dan sel ratu ukuran sedikit lebih besar. Sisiran sel untuk anakan tersusun horizontal. Dalam sarang Trigona itu terdapat tumpukan atau lembaran lilin yang disebut involucrum, propolis, kotoran, dan sampah, serta plat batumen (Syariefa et al. 2010). Lebah Trigona dan lebah Apis memiliki cara komunikasi yang berbeda untuk memberitahu sumber makanan pada koloninya. Lebah Apis menari-nari di depan sarang untuk memberitahu kawanannya arah dan lokasi sumber makanan, 12 tercatat ada 8 tarian yang dimiliki Apis. Lebah Trigona tidak menggunakan tarian sebagai alat komunikasi, namun Trigona memberi tahu koloninya sumber nektar dengan meninggalkan bau di sepanjang lintasan terbangnya. Usai menemukan sumber makanan, lebah terbang lalu hinggap di tanaman, batu, kayu, di sepanjang lintasan pulang sambil meninggalkan bau sebagai tanda jejak. Trigona yang lain terbang zig-zag menuju sarang setelah menemukan sumber makanan. Trigona juga mengeluarkan suara sebagai tanda pada teman-temannya. Saat itu juga aroma nektar, polen, dan resin ditangkap kawannya. Setelah makanan disimpan di sarang, Trigona kembali terbang meninggalkan sarang ke sumber makanan diikuti teman-temannya (Lindauer & Kerr 1960). Menurut Nieh (2004), kemampuan terbang Trigona sangat terbatas, hanya 300-500 m/hari. Produk Lebah Madu Madu adalah cairan manis berasal dari nektar tumbuhan yang diproduksi oleh lebah. Lebah mengumpulkan nektar dari bunga yang mekar, cairan tumbuhan yang mengalir di dedaunan dan kulit pohon, atau dari madu embun (Honey dew). Nektar adalah senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar necteriffier dalam bunga, bentuknya berupa cairan, berasa manis alami dengan aroma lembut. Nektar mengandung air (50-90%), glukosa, fruktosa, sukrosa, protein, asam amino, karoten, vitamin, dan minyak serta mineral esensial (Sihombing 2005). Madu embun (honey dew) adalah zat manis yang lengket seperti tetesan embun di atas daun dan kulit pohon yang diproduksi oleh beberapa jenis serangga yang mengisap cairan tumbuhan. Komposisinya mirip nektar, tetapi mengandung lebih banyak mineral. Biasanya lebah mengumpulkan madu embun bila nektar yang ada tidak mencukupi (Suranto 2007). Sewaktu nektar dikumpulkan oleh lebah pekerja dari bunga, bahan tersebut masih mengandung air tinggi (80%) dan juga gula (sukrosa) tinggi. Setelah lebah mengubah nektar menjadi madu, kandungan air jadi rendah dan sukrosa diubah menjadi fruktosa dan glukosa (Sihombing 2005). Madu telah dimanfaatkan manusia sejak 7000 tahun sebelum Masehi. Masyarakat mesir menggunakan madu untuk kegiatan spiritual, sosial, dan ekonomi. Madu dipercaya sebagai obat yang ampuh untuk mencegah dan 13 mengobati berbagai macam penyakit. Kebiasaan minum madu yang dilakukan oleh para atlit Mesir sebelum bertanding, menambah keyakinan bahwa madu selain memiliki khasiat untuk pengobatan juga mampu menjaga kebugaran (Gojmerac 1983). Secara umum madu berkhasiat untuk menghasilkan energi, meningkatkan daya tahan tubuh, dan meningkatkan stamina. Banyak penyakit dapat disembuhkan dengan madu diantaranya penyakit lambung, radang usus, jantung dan hipertensi (Suranto 2008). Madu dari lebah tanpa sengat memiliki kandungan air yang tinggi (>24%) dan jumlahnya sedikit, tetapi tidak cepat terfermentasi (Mutsaers et al. 2005). Syariefa et al. (2010) menyatakan bahwa produksi madu satu koloni lebah Trigona hanya 6,5 kg per tahun. Namun menurut Suranto (2008), madu yang dihasilkan oleh Trigona sangat baik untuk mengobati penyakit asam urat, jantung, asma, dan kadar kolesterol yang tinggi. Polen Lebah mengumpulkan polen dari benang sari bunga. Polen menempel pada bulu-bulu lebah pada saat lebah mengambil nektar. Lebah menghilangkan polen dari bulu-bulunya dengan menggunakan sisir pada kakinya dan menambahkan ludah untuk membantu terbentuknya bola-bola polen yang kemudian dimasukkan ke kantong polen pada kaki bagian belakang dan dibawa pulang ke sarang. Lebah penjaga sarang akan menerima polen tersebut, kemudian mengolah polen tersebut dengan sedikit madu dan ludahnya, kemudian menyimpannya pada kantong polen di dalam sarang (Mutsaers et al. 2005). Menurut Sihombing (2005), polen dimakan oleh lebah terutama sebagai sumber protein dan lemak, sedikit karbohidrat dan mineral-mineral. Sekitar separuh dari polen digunakan untuk pemeliharaan tetasan. Polen berbentuk butiran berwarna dan berukuran 1-3 mm. Warna polen tergantung dari jenis tumbuhan, yaitu kuning terang, oranye, coklat tua, biru terang, ungu hitam, dan hijau. Rasa polen juga bervariasi dari manis sampai pahit dengan bau seperti madu bunga. Polen diberikan pada larva sejak hari kedua. Suranto (2007) menyatakan bahwa, polen juga menjadi makanan pokok bagi lebah pekerja untuk memenuhi kebutuhan nitrogen, protein, dan vitamin. 14 Royal Jelly Royal jelly (susu lebah) adalah bahan makanan bagi tetasan lebah yang dihasilkan oleh lebah pekerja muda dari kelenjar hipofarink (Mutsaers et al. 2005; Sihombing 2005). Larva lebah pekerja, lebah jantan dan calon ratu memakan produk ini untuk perkembangan lebah (Mutsaers et al. 2005). Suranto (2007) menambahkan bahwa lebah pekerja hanya mengkonsumsi royal jelly pada dua hari pertama saat larva, selanjutnya mendapatkan cairan yang lebih encer. Ratu lebah mengkonsumsi royal jelly sepanjang hidupnya. Inilah yang menyebabkan ratu lebah menjadi penghasil telur sejati dengan ukuran badan besar. Royal jelly secara tradisional telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu untuk meremajakan kulit, meningkatkan daya tahan tubuh dan vitalitas. Orangorang mesir kuno percaya bahwa royal jelly dapat mempertahankan elastisitas kulit hingga tetap bersinar dan awet muda (Suranto 2007). Propolis Selain mengambil madu, Trigona juga memanfaatkan resin (getah) dari pohon tertentu. Resin keluar ketika ada bagian pohon, misalnya batang, dahan, dan ranting yang rusak karena pemanenan oleh manusia, serangan hama, atau diterjang angin rebut. Resin dikumpulkan dari berbagai macam pohon dan semak belukar, kemudian dicampur dengan enzim yang terdapat dalam kelenjar ludah. Resin yang telah diolah oleh lebah dikenal dengan nama propolis (Syariefa et al. 2010; Gojmerac 1983). Propolis (lem lebah) merupakan nama generik dari resin yang dikumpulkan oleh lebah dari berbagai macam tanaman. Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “pro” artinya pertahanan dan “polis” artinya kota. Jadi propolis artinya pertahanan kota atau sistem pertahanan pada sarang lebah (Ghisalberti 1979). Menurut Krell (1996), propolis digunakan oleh lebah untuk memperbaiki sarang, melindungi sel-sel telur, menambal sarang yang retak atau berlubang, memperkecil ukuran pintu keluar-masuk sarang. Jika ada binatang yang mati dalam sarang dan terlalu berat untuk dibuang, lebah akan membungkusnya dengan propolis. Propolis juga digunakan sebagai campuran malam untuk menutupi sel berisi larva sehingga terlindung dari serangan penyakit. Lebah menggunakan 15 propolis untuk melindungi sarang dari kontaminasi bakteri, virus dan jamur (Ghisalberti 1979; Marcucci 1995; Popova et al. 2005; Chen et al. 2008). Presentase lebah pekerja yang bertugas mengumpulkan propolis sangat rendah, tetapi dilakukan setiap saat. Di lokasi sumber, lebah pekerja pencari propolis menggigit propolis dengan mandibulanya (rahang bawah) dan dengan bantuan sepasang kaki pertamanya, propolis ditransfer ke keranjang polen. Pengumpulan propolis membutuhkan waktu yang lama. Di dalam sarang, lebah penjaga sarang memindahkan propolis dari lengan pekerja pencari dan meracik propolis dengan mandibulanya, serta kadang-kadang ditambahkan sedikit lilin. Kemudian diangkut ke tempat yang membutuhkan atau disimpan sebagai cadangan (Ghisalberti 1979). Sifat fisik dan kimia propolis tergantung pada sumber tanamannya, dan propolis memiliki fungsi yang unik bagi lebah. Propolis dapat memperkuat stabilitas struktural sarang lebah, mengurangi getaran yang berasal dari luar sarang, melindungi sarang lebah dengan cara menambal celah-celah yang rusak, mencegah parasit dan penyakit masuk ke dalam sarang, serta mencegah pembusukan dalam sarang (Siregar et al. 2011). Pada suhu 20-45 oC propolis menjadi sangat lengket, lentur, dan tidak keras. Di atas suhu tersebut, propolis menjadi makin lengket dan seperti permen karet. Sedangkan pada suhu rendah, propolis menjadi keras dan rapuh. Pada suhu 60-70 oC propolis mulai mencair (Krell 1996). Warna, aroma, dan kandungan propolis bervariasi tergantung dari tumbuhan asal. Propolis berwarna kuning sampai coklat tua, bahkan ada yang transparan. Kebanyakan propolis berwarna cokelat terang sampai gelap, tetapi ada yang berwarna hijau, merah, hitam, kuning, maupun putih. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan flavonoidnya (Gojmerac 1983). Menurut Mahani et al. (2011), propolis yang dihasilkan oleh Apis mellifera dan Trigona memiliki perbedaan karakteristik. Propolis Apis mellifera yang telah dipanen dan disimpan pada suhu rendah akan berubah menjadi keras dan rapuh. Sifat plastis, liat, dan lengket hilang. Sedangkan propolis dari Trigona, masih agak sedikit bertahan. Namun, secara keseluruhan, propolis akan mengeras dan rapuh pada suhu rendah. Pada suhu tinggi (>70o C), propolis berubah fase dari padat menjadi cair. Warna propolis Apis mellifera cenderung berwarna seragam, 16 yaitu coklat kehitaman. Sedangkan propolis Trigona beragam, mulai dari warna yang agak gelap (coklat kehitaman) hingga warna agak terang (kuning kemerahan). Lokasi propolis dari Apis mellifera biasanya terdapat pada lubanglubang stup, pinggir kotak atau kawat kasa. Lokasi propolis ini relatif terpisah. Oleh karena itu, memanen propolis Apis mellifera relatif lebih mudah meskipun tetap membutuhkan kecermatan. Sementara itu, memanen propolis Trigona sedikit lebih rumit. Lokasi propolis kadang menyebar, dan yang paling sulit ketika propolis menyatu dengan sarang. Propolis tidak mengandung protein, karbohidrat atau lemak sehingga tidak memiliki nilai energi, namun memiliki efek antibiotik (Mutsaers et al. 2005). Propolis mengandung bahan campuran kompleks malam, resin, balsam, minyak, sedikit polen (Gojmerac 1983). Menurut Mahani et al. (2011), propolis mengandung senyawa kompleks lebih dari 180 senyawa, dan memiliki berbagai macam efek biologis dan aktivitas farmakologis. Propolis juga mengandung zat aromatik, zat wangi, dan berbagai mineral (PPP 2003; Mutsaers et al. 2005). Salah satu komposisi kimia yang penting pada propolis adalah senyawa flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu senyawa fenol alami yang tersebar luas pada tumbuhan yang disintesis dalam jumlah sedikit dan memiliki peran sangat penting untuk sistem kekebalan tubuh dan digunakan untuk pengobatan. (Ghisalberti 1979; Mahani et al. 2011). Pada propolis senyawa ini dikumpulkan oleh lebah dari bagian-bagian tanaman seperti bunga, batang, daun, akar dan buah. Banyaknya kandungan flavonoid di dalam propolis menggambarkan kualitas dari propolis (Mahani et al. 2011). Syariefa et al. (2010) menambahkan, sumber getah terbaik berasal dari tanaman yang resinnya memang selama ini sudah dimanfaatkan, misal sebagai bahan farmasi atau obat. Tabel 2 menunjukkan jenis tanaman yang dapat dijadikan sumber resin. Propolis yang dihasilkan oleh lebah memiliki manfaat yang sangat penting bagi manusia. Propolis telah digunakan sejak zaman purba karena memiliki banyak keistimewaan. Bangsa Yunani dikenal sebagai bangsa yang mengembangkan peternakan lebah madu pertama kali. Bangsa Yunani menggunakan propolis sebagai bahan utama parfum yang disebut polyanthus. Propolis dapat mengurangi pembengkakan, melunakkan jaringan yang mengeras, 17 mengurangi nyeri, dan menyembuhkan luka. Propolis juga dapat digunakan untuk menambah stamina dan kualitas kesehatan (Siregar et al. 2011). Kandungan zat yang berfungsi sebagai antibiotik dan antimikroba membuat propolis dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Propolis dapat digunakan dalam dunia kesehatan dan kecantikan. Propolis juga dapat digunakan untuk terapi penyakit, sebagai bahan pengawet dan dapat digunakan untuk beberapa industri (Siregar et al. 2011). Tabel 2 Tanaman sumber resin No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Nama Populer dan Nama Ilmiah Tanaman Damar (Agathis spp.) Cemara Norfolk (Araucaria spp.) Nangka (Artocarpus spp.) Cemara-cemaraan (Cupressaceae) Damar (Shorea spp.) Manggis (Garcinia spp.) Kemenyan (Styrax spp.) Kenari (Canarium spp.) Kopaiba (Copaiba officinalis) Meranti-merantian (Dipterocarpaceae) Philodendron (Philodendron spp.) Pinus dan Pinaceae lain Rasamala (Altingia excels) Sawo (Manilkara zapota) Singkong Karet (Manihot glaziovii) Trenggulun (Protium javanicum) Sumber : Siregar et al. (2011) Jenis dan Sumber Pakan Lebah Lebah membutuhkan berbagai zat makanan untuk pertumbuhan, perkembangan, reproduksi dan produksinya. Lebah memerlukan enam golongan bahan makanan pokok, yakni karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin dan air. Bahan makanan lebah madu adalah dalam bentuk nektar, polen, honey dew dan royal jelly (Sihombing 2005). Lebah dapat berkembangbiak dengan baik dan produktif sepanjang tahun di daerah tropika karena tumbuhan sebagai sumber pakan tersedia sepanjang tahun. Lebah, Trigona dan Apis merupakan organisme yang bersifat opportunis. Jika lebah diternakkan, lokasi peternakannya harus dekat dengan sumber tanaman yang berbunga seperti perkebunan atau hutan agar produktivitasnya terjamin. 18 Vegetasi yang beragam menentukan kestabilan pertumbuhan koloni Trigona. Semakin beragam dan banyak jenis tanaman, semakin pesat pula pertumbuhannya (Siregar et al. 2011). Jenis dan sumber pakan lebah dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis tumbuhan sumber pakan lebah di Indonesia No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. Jenis Tanaman Aren Lamtoro Puspa Api-api Padi Kelapa sawit Widara Tembakau Jambu mete Delima Lobi-lobi Alpukat Nam-nam Jambu bol Salak Jagung Jengkol Turi Kacang panjang Kentang Ketumbar Wortel Krokot Rumput Blambangan Rumput kembangan Rumput jampang pait Rumput kerbau Incuran Rumput king Putri malu Lemuran Wedusan Ketapang Akasia Sengon Sonokeling Sonorbit Asam Jawa Mahoni Kaliandra Musim Berbunga Jan-Des Jan-Des Jun-Jul TMT TMT Jan-Des Jan-Des TMT Mar-Des Jan-Des Feb dan Jul TMT Jun dan Sept Apr dan Jun Jan-Des TMT Mei-Jun Jun-Agst TMT TMT TMT TMT Jan-Des Jan-Des Jan-Des Jan-Des Jan-Des Jan-Des Jan-Des Jan-Des Apr-Okt Setelah 2 bln Apr-Mei Jan-Des Jun dan Sept Sept dan Nov Agst dan Okt Apr-Agst TMT TMT Nektar * * * * * * * * Polen * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 19 Tabel 3 Lanjutan No Jenis Tanaman 41. Pelawan 43. Karet 44. Kapas 45. Mangga 46. Mancang 47. Langsant 48. Belimbing 49. Rambutan 50. Jambu air 51. Kacang gude 52. Petai 53. Cabai 54. Nanas domba 55. Nanas sebrang 56. Ubi jalar 57. Labu air 58. Oyong 59. Paria 60. Labu siem 61. Bawang merah 62. Kumis kucing 63. Eucalyptus 64. Stoenklaver 65. Randu 66. Tebu 67. Vanili 68. Kelapa 69. Wijen 70. Kopi 71. Kedondong 72. Durian 73. Papaya 74. Waluh 75. Semangka 76. Kesemek 77. Pisang 78. Belimbing 79. Apel 80. Jeruk manis 81. Jeruk besar 82. Lengkeng 83. Leci 84. Anggur 85. Kubis 86. Ketimun 87. Kacang tanah Musim Berbunga Kemarau Sept-Okt TMT Jun dan Agst Jun dan Agst Jun dan Jul Kemarau Okt-Nov Mei dan Agst TMT TMT 3 – 4 kali Mar-Apr Mei-Jun Okt-Nov TMT Kemarau TMT TMT TMT Jan-Nov 3 thn bunga TMT Mei-Agst TMT TMT Mar-Des TMT Mei dan Agst Jun dan Agst Jun dan Sept Jan-Des TMT TMT Agst-Sept TMT Jan-Des Mar-Apr Agst dan Nov-Des Sept dan Nov Agst-Okt Agst dan Sept Jul-Agst TMT TMT TMT Nektar * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * Polen * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * 20 Tabel 3 Lanjutan No Jenis Tanaman 88. Kedelai 89. Bunga matahari 90. Flamboyan Musim Berbunga TMT Kemarau Feb dan Agst Nektar * * * Polen * * * TMT: Tergantung Masa Tanam (*) : Sumber nektar /polen pada tanaman Sumber: PPP (2003) Karakteristik Tanaman Pala (Myristica frasgrans Houtt) Pala (Myristica fragrans Houtt) termasuk keluarga Myristicaceae, merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari Banda dan Kepulauan Maluku, kemudian menyebar ke pulau lain disekitarnya, termasuk pulau Jawa. Tanaman pala terkenal karena biji buahnya yang tergolong sebagai rempahrempah. Biji dan selaput (fuli) atau sering disebut dengan bunga pala. Sampai saat ini Indonesia merupakan produsen pala terbesar di dunia sebesar 70% (Sunanto 1993; Muis et al. 2008; Purseglove et al. 1981). Bagian dari tanaman pala yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah buahnya. Biji pala dan fuli digunakan sebagai bumbu masak. Selain sebagai tanaman rempah-rempah, pala juga berfungsi sebagai tanaman penghasil minyak atsiri yang banyak digunakan sebagai bahan baku dalam industri pengalengan, pengawetan ikan, pembuatan sosis, makanan kaleng, minuman penyegar, adonan kue, obat-obatan, pembuatan sabun, dan kosmetik. Daging buah pala banyak digunakan pada industri makanan seperti selai, jeli, sirup pala dan produk olahan lainnya (Sunanto 1993; Muis et al. 2008). Tanaman pala memiliki banyak jenis, namun yang banyak dibudidayakan karena mampu memberikan hasil produksi yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah jenis Myristica fragrans Houtt. Pala tumbuh dengan baik pada daerah tropika, dengan ketinggian dapat mencapai 15-18 meter. Tajuk pohon bentuknya meruncing ke atas dan pucuk tajuknya tumpul. Daunnya berwarna hijau mengkilap dengan ukuran panjang 10-15 cm dan panjang tangkai daun sekitar 11,5 cm. Tanaman ini sebagian besar berumah satu, yaitu pada satu pohon hanya terdapat bunga jantan yang menghasilkan tepungsari atau hanya bunga betina 21 yang menghasilkan putik. Namun, ada juga yang berumah dua dan hemaprodite. Tanaman berumah dua yaitu pada satu pohon terdapat bunga jantan dan betina. Sedangkan tanamam hemaprodite yaitu tanaman yang dalam satu bunga terdapat benangsari (betina) dan putik (jantan) (Sunanto 1993). Menurut Muis et al. (2008), penentuan pohon pala jantan dan betina dapat dilihat melalui percabangannya, percabangan pohon betina bersudut tumpul (mendatar) sedangkan percabangan pohon jantan bersudut runcing. Bentuk helaian daun yang terkulai adalah pala betina, sedangkan bentuk helaian daun lebih tegak adalah pala jantan. Pala jantan menghasilkan banyak bunga yaitu sekitar 3-15 bunga per kuntum. Bunga betina memiliki kelopak dan mahkota meskipun perkembangannya tidak sempurna. Warnanya kuning dengan diameter + 2,5 mm dan panjangnya + 3 mm. Sunanto (1993) menambahkan bentuk bunga jantan agak berbeda dengan bunga betina. Warnanya juga kuning, dengan diameter 1 mm dan panjang + 3 mm. Buah pala berbentuk bulat sampai lonjong, berwarna hijau kekuningkuningan, dengan diameter 3-9 cm, daging buahnya tebal dan rasanya masam. Biji pala berbentuk bulat sampai lonjong, panjangnya 1,5-4,5 cm dengan lebar 1-2,5 cm, warnanya coklat mengkilap di bagian luar, kernelnya berwarna keputiputihan. Fulinya merah gelap, ada juga yang putih kekuning-kuningan dan membungkus biji (Muis et al. 2008). Tanaman pala dapat tumbuh dengan baik pada daerah dengan ketinggian 500-700 m dpl. Pada ketinggian di atas 700 m, produktivitas tanaman pala akan rendah. Pala membutuhkan tanah yang gembur, subur dan sangat cocok pada tanah vulkanis yang mempunyai pembuangan air (drainase) yang baik (Sunanto 1993). Muis et al. (2008) menambahkan bahwa tanaman pala memerlukan iklim tropis yang panas dengan curah hujan yang tinggi tanpa adanya periode kering yang nyata. Suhu yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman pala yaitu antara 25o -30 oC. Tanaman pala sangat peka terhadap angin kencang, oleh karena itu penanaman pala membutuhkan tanaman pelindung atau penahan angin. Pohon pelindung yang cocok untuk tanaman pala adalah kelapa, duku dan pohon buah-buahan lainnya yang tahan terhadap tiupan angin (Muis et al. 2008; Sunanto 1993). 22 Pengembangan tanaman pala diawali dengan penanaman pohon pelindung. Jarak tanam pohon pala adalah 8 x 8 m (Muis et al. 2008). Menurut Sunanto (1993), tanaman pala mulai berbunga pada umur 5-7 tahun. Namun, pada umumnya pohon pala mulai berbuah pada umur 7 tahun. Produksi pala akan terus meningkat dan pada umur 25 tahun mencapai produksi tertinggi. Pohon pala dapat terus berproduksi sampai umur 60-70 tahun. Dalam satu tahun, pohon pala dapat dipetik hasilnya sebanyak dua kali. Panen raya berada di tengah-tengah musim hujan, panen lebih sedikit pada awal musim hujan dan pada akhir musim hujan. Panen buah pala pada permulaan musim hujan memberikan hasil paling baik (berkualitas tinggi) dan bunga pala (fuli) yang paling tebal. Setengah hasil panen setahun terletak dalam bulan juli dan Agustus. Pada umumnya buah pala dapat dipetik setelah cukup masak, yaitu sekitar 6-7 bulan sejak mulai bunga. Marzuki et al. (2006) menambahkan bahwa tanaman pala berbunga lebat dua kali setahun yaitu pada bulan April dan Mei serta November dan Desember. Masa berbunga dan berbuah tanaman pala akan terus berlangsung silih berganti tanpa ada batas yang jelas antara musim pertama dan kedua. Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) Menurut Sunarjono (1998), nangka diduga merupakan tanaman asli India yang telah menyebar luas ke seluruh dunia. Nangka merupakan tanaman hutan yang pohonnya dapat mencapai tinggi 25 m. Seluruh bagian tanaman bergetah, yang biasanya disebut pulut. Bunganya ada dua macam, yaitu bunga jantan dan betina yang terpisah namun berada pada satu pohon. Tanaman nangka baik dikembangkan di dataran rendah sampai dengan ketinggian 1.000 m dpl. Daerah budidaya sebaiknya beriklim basah sampai agak kering dengan kedalaman air tanah antara 50-200 cm. Curah hujan yang cocok bagi tanaman nangka antara 1.000-2.000 mm per tahun. Tanaman nangka dapat berbuah sepanjang tahun, tetapi waktu musim panen raya adalah bulan Agustus-Januari. Mangga (Mangifera indica L.) Menurut Sunarjono (2005), mangga merupakan tanaman pendatang dari India, Srilanka, dan Pakistan. Ada dua tipe mangga, yaitu monoembrioni (satu biji 23 tumbuh satu tunas) dan poliembrioni (satu biji tumbuh lebih dari satu tunas). Tanaman menyerbuk silang melalui serangga lebah madu. Umumnya tanaman ini hanya berbunga setahun sekali, yaitu pada musim kemarau. Tohir (1981) menambahkan, waktu berbuah pohon mangga adalah pertengahan AgustusDesember. Tanaman mangga hidup baik di dataran rendah hingga ketinggian 300 m dpl. Tipe iklimnya kering, dengan curah hujan 1.000-2.000 mm per tahun dengan 4-7 bulan masa kering. Dataran tinggi hingga 1.200 m dpl atau suhu rendah dapat merangsang pembungaan, tetapi kurang baik untuk perkembangan buah. Di daerah beriklim basah dan musim keringnya kurang dari tiga bulan, pembuahannya rendah (Sunarjono 2005). Rambutan (Nephellium lappaceum L.) Rambutan merupakan buah-buahan tropis beriklim basah. Tinggi pohon rambutan mencapai 7 m, banyak bercabang dengan arah cenderung mendatar, mahkota daun rimbun, tetapi pada musim kemarau daunnya banyak yang gugur. Daunnya mengandung minyak terpentin sehingga mudah terbakar. Bunganya ada tiga macam, yaitu bunga jantan, bunga betina, dan bunga hemaprodit. Tanaman menyerbuk dengan penyerbuk (pollinator) lebah klanceng (Trigona). Tanaman tumbuh dan berbuah baik di dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl dengan tipe iklim basah, dengan curah hujan 1.500-3.00 mm per tahun (Sunarjono 1998). Jambu Biji (Psidium guajava Linn) Jambu biji adalah salah satu tanaman buah jenis perdu yang berasal dari Brazil, Amerika Tengah (Agromedia 2009). Pohonnya rendah, buahnya berbentuk bulat dan berbiji banyak. Jambu biji dapat ditanam di dataran rendah dan di pegunungan hingga ketinggian 1000 m dpl. Jambu biji tidak tahan pada iklim dari daerah kering. Jambu biji sudah berbuah setelah berumur 2-3 tahun (Tohir 1981). Nakasone & Paul (1999) menambahkan, bunganya berwarna putih dan mekar pada bulan Mei dan Juni, dan menghasilkan nektar dan polen. Jambu biji mempunyai rasa dan aroma khas karena mengandung senyawa eugenol. Buahnya dimanfaatkan sebagai buah segar atau jus. Tanaman jambu biji 24 juga dimanfaatkan sebagai pagar di pekarangan dan tanaman hias. Dalam pengobatan tradisional, daunnya digunakan untuk mengobati diare, diabetes mellitus, maag, masuk angin, sakit kulit, dan luka baru (Agromedia 2009). Jambu Air (Eugenia aquea Burm) Menurut Tohir (1981), Jambu air warnanya merah-jambu atau putih dan memiliki bentuk seperti buah peer. Jambu air dapat ditanam dari dataran rendah hingga ketinggian 1000 m dpl. Jambu air dapat berkembang biak dengan baik pada tanah yang banyak mengandung air. Tanaman ini mulai berbunga pada umur 3-4 tahun, dan berbunga sebanyak dua kali yaitu pada bulan Juli dan September dan buahnya masak dalam bulan Agustus dan November. Pisang (Musa spp.) Pisang adalah tanaman semak berbatang semu yang berasal dari Asia Tenggara. Pisang tingginya bervariasi antara 1-4 m, tergantung varietasnya. Daunnya lebar, panjang, tulang daun besar, dan tepi daunnya tidak ada ikatan. (Sunarjono 1998). Pisang berbunga sepanjang tahun, dan dikunjungi lebah karena menghasilkan nektar dan polen (Singh 1962). Bunga pisang disebut jantung dan berwarna merah tua, tetapi ada pula yang berwarna kuning dan ungu. Setiap jantung terdiri dari satu atau banyak bakal buah (sisir) yang dilindungi oleh daun seludang bunga (bractea). Bunga sempurna, tetapi pada ujung jantung umumnya berbunga jantan. Bunga pisang menyerbuk silang melalui serangga penyerbuk tetapi tepung sarinya umumnya tidak fertil. Tanaman pisang dapat tumbuh baik di dataran rendah sampai dataran tinggi 1.000 m dpl yang bertipe iklim basah. Curah hujan berkisar antara 1.000-3.000 mm per tahun. Pisang tumbuh dengan baik di tanah yang subur dengan pH tanah 4,5-7,5. di daerah beriklim kering dengan musim kemarau 4-6 bulan, tanaman pisang masih tumbuh asalkan keadaan air tanah kurang dari 150 cm di bawah permukaan laut. Pisang tidak mengenal musim panen karena berbuah setiap saat. Hasilnya dapat mencapai 1-7 sisir setiap tandan atau 4-40 kg per tandan (Sunarjono 1998). 25 Nanas (Ananas comosus (L.) Merr Tanaman nanas berasal dari Amerika Tropis, yakni Brazil, Argentina, dan Peru. Tanaman nanas merupakan rumput yang batangnya pendek sekali. Tanaman nanas berbunga pada ujung batang dan hanya sekali berbunga yang arahnya tegak ke atas. Tanaman nanas menyerbuk silang dengan perantaraan burung penyanyi (burung prenjak) dan lebah. Tanaman nanas berbunga setiap saat, namun suhu yang dingin terutama suhu malam dengan sinar matahari yang rendah, cenderung dapat memacu pembungaan nanas. Nanas tumbuh dengan baik pada dataran rendah sampai dataran tinggi 1.200 m dpl dan tahan terhadap kekeringan. Curah hujan antara 1.000-2.500 mm per tahun, dengan tanah yang subur (Sunarjono 1998). Durian (Durio zibethinus Murr.) Durian berasal dari Asia Tenggara, dan merupakan tanaman kayu hutan dari pohon besar yang tingginya dapat mencapai 30 m dengan buah yang besar dan berduri. Bunganya besar berbentuk mangkuk dengan benang sari dan mahkota berwarna kuning emas sampai merah dan sempurna (hermaprodit). Tanaman yang berasal dari biji mulai berbunga pada umur 8-15 tahun. Bunganya mekar pada sore hari dan menyerbuk secara silang melalui kelelawar pencari madu untuk membantu persilangan. Buahnya dapat dipanen pada umur 4-5 bulan setelah bunga mekar. Tanaman ini umumnya berbunga pada bulan September-November. Durian tumbuh dan berbuah baik di dataran rendah sampai ketinggian 800 m dpl dengan tipe iklim basah, dan curah hujan 1.500-2.500 mm per tahun dan merata sepanjang tahun (Sunarjono 1998). Manggis (Garcinia mangostana L.) Tanaman manggis berasal dari daerah semenanjung Malaysia, dan merupakan pohon hutan. Pohon manggis tingginya sekitar 20 m. Mahkota daun bentuknya setengah kerucut, daunnya tebal dan lebar. Batang dan cabangnya umumnya tidak rata karena banyak benjolan. Bunga besar dengan kelopak tebal berwarna hijau yang terdiri dari 4 helai. Putiknya pendek dengan bakal buah yang bulat besar berwarna hijau. Semua bagian tanaman yang masih muda bergetah 26 kekuningan. Kayu pohon manggis tidak biasa digunakan sebagai bahan bangunan. Namun, kulit kayunya dapat digunakan untuk ramuan obat tradisional, karena mengandung zat kimia yang bersifat antibiotik (xanthonin) dan dapat pula digunakan sebagai bahan cat antikarat. Tumbukan kulit buah manggis bila dioleskan pada tangkai manggar (seludang) dapat merangsang keluarnya cairan nira lebih banyak pada penyadapan kelapa. Tanaman manggis dapat hidup pada dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl yang mempunyai tipe iklim basah. Curah hujan antara 1.500-3.000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun, dengan suhu udara rata-rata 20-30 oC, dan pH tanah 5-7, tetapi lebih toleran pada pH rendah (masam) di lahan gambut. Tanaman yang diperbanyak dengan biji umumnya mulai berbuah pada umur sekitas 8-15 tahun., dan dapat dipanen 120 hari setelah bunga mekar (Sunarjono 1998). Kedondong (Spondias cytherea) Kedondong hidup di daerah kering, dan bertumbuh dengan baik pada dataran rendah sampai 700 m dpl. Tanah yang dibutuhkan adalah tanah yang gembur dan tidak banyak air yang tergenang. Kedondong mulai berbunga pada bulan Juni-Agustus dan berbuah selama bulan Januari-April (Tohir 1981). Lengkeng (Euphoria longan (Lour) Steud Lengkeng merupakan tanaman hutan yang tingginya mencapai 40 m, dan diduga berasal dari Myanmar. Bunganya berumah dua, tetapi ada pula yang berumah satu (hemaprodit). Bunga biasanya menyerbuk silang dengan perantaraan lebah madu, semut, dan lalat. Petani lengkeng memanfaatkan tanah di bawah tanaman lengkeng untuk memelihara lebah madu dan diambil madunya. Tanaman berbunga setahun sekali pada bulan Agustus-Oktober, dan buah matang 4 bulan setelah bunga mekar. Lengkeng lebih cocok ditanam di dataran rendah atara 300-900 m dpl yang bertipe iklim basah dengan musim kering tidak lebih dari 4 bulan. Curah hujan 1.500-3.000 mm per tahun dengan 9-12 bulam basah dan 2-4 bulan kering. Suhu malam yang dingin 15-20 oC selama musim kemarau mendorong tanaman berbunga (Sunarjono 1998) . 27 Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz) Ketela pohon atau ubi katu merupakan tanaman perdu yang berasal dari Brazil. Semua bagian tanaman ubi katu mengandung glukosida. Kandungan glukosida tertinggi terdapat pada pucuk muda. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman ketela pohon yaitu antara 1.500-2.500 mm/tahun. Kelembaban optimal antara 60-65%, dengan suhu minimal 10 oC. Jika suhu di bawah 10 oC, pertumbuhan tanaman akan sedikit terhambat, tanaman menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga kurang sempurna. Tanah yang paling sesuai adalah tanah berstruktur gembur, tidak terlalu liat, dan kaya akan bahan organik. Ketinggian tempat yang ideal antara 10-700 m dpl. Ketela pohon dimanfaatkan untuk bahan pangan pokok. Daunnya untuk bahan sayuran dan obat-obatan. Kayunya digunakan untuk pagar kebun atau untuk kayu bakar. Ketela pohon juga digunakan pada industri makanan (Purwono & Purnamawati 2008). Cengkeh (Syzygium aromaticum (L.) Cengkeh merupakan tanaman asli Indonesia yang berasal dari kepulauan Maluku, banyak tumbuh tersebar di daerah tropik dan subtropik. Tanaman ini berbentuk pohon yang tingginya mencapai 15-40 cm. Tanaman cengkeh pada umumnya menyerbuk silang dan sedikit kemungkinan menyerbuk sendiri (Hadipoentyanti 1997). Pohon cengkeh mulai berbunga setelah umur 6 tahun. Tanaman cengkeh termasuk pohon yang musim berbunganya tidak merata lebatnya. Masing-masing daerah waktu berbunga tidak sama, tergantung pada keadaan iklim, tempat, varietas dan faktor lain yang mempengaruhi. Wilayah Sumatera panen pada bulan April-Juni, Wilayah Jawa panen pada bulan Mei-Juli, Wilayah Maluku panen pada bulan Oktober-Januari (Kanisius 1990). Jati (Tectona Grandis L.F). Pohon jati termasuk golongan kayu keras yang memiliki jaringan kuat dan dalam, serta mendominasi hutan di Indonesia. Jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai 40 meter. Tanaman ini dapat ditanam di berbagai kondisi dan lingkungan, seperti hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, hutan 28 pegunungan, hutan tanaman industri, lahan kering tidak produktif, lahan basah tidak produktif, dan lahan perkebunan. Pohon jati dapat tumbuh pada lahan dengan ketinggian maksimum 700 m dpl, suhu udara 13-43 oC, pH tanah 6, dan kelembaban lingkungan 60-80% (Mulyana & Asmarahman 2011). Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Produktivitas Lebah Aktivitas terbang dari lebah dipengaruhi oleh kondisi dari dalam koloni dan lingkungan (Hilario et al. 2000). Lingkungan merupakan salah satu faktor yang turut menentukan perkembangan dan produktivitas koloni lebah. Lingkungan yang optimal dan kondusif akan mendukung produktivitas lebah. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aktivitas lebah adalah temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya matahari, kecepatan angin, curah hujan dan ketersediaan pakan (Sulaksono et al. 1986; Widhiono 1986). Lebah adalah serangga berdarah dingin yang peka terhadap perubahan suhu lingkungan. Faktor abiotik, yaitu suhu, waktu, dan intensitas cahaya mempengaruhi aktivitas lebah (Junior et al. 2010). Aktivitas harian lebah berdasarkan suhu lingkungan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Suhu dan aktivitas harian lebah Suhu Lingkungan (oC) 38 33-35 33-36 20 16 14 10 5 5 -2 Aktivitas Lebah Lebah pekerja mencari air Pemeliharaan anakan secara normal Lebah pekerja mensekresikan lilin Ratu menolak terbang mencari pasangan (lebah pejantan) Lebah pejantan menolak terbang ke luar sarang Lebah pekerja membentuk kerumunan Lebah pekerja tidak sanggup terbang Lebah pekerja kehilangan kemampuan bergerak Lebah pekerja mulai jatuh dari kerumunan Lebah membeku hingga mati Sumber: Gojmerac (1983) Data pada tabel 4 menunjukkan bahwa lebah mengatur sarangnya pada suhu antara 33-35 oC. Pada suhu sekitar 14 oC, lebah akan membentuk kelompok. Saat koloni dapat bertahan pada kondisi iklim yang buruk, masing-masing individu akan berupaya untuk mempertahankan dirinya pada kondisi iklim tersebut. Lebah 29 tidak dapat terbang pada saat suhu mencapai 10 oC, kehilangan kekuatan untuk bergerak pada saat suhu 5 oC, dan membeku pada saat suhu mencapai -2 oC (Gojmerac 1983). Aktivitas serangga sosial di wilayah tropis tinggi pada pagi hari, dimana pengumpulan polen lebih tinggi dibandingkan nektar (Roubik 1989). Menurut Junior et al. (2010), lebah mengumpulkan polen di pagi hari sampai dengan siang hari. Lebah yang kembali ke sarang dengan membawa nektar atau air meningkat frekuensinya di siang hari pada musim panas. Sepanjang musim hujan, pengumpulan nektar lebih banyak dilakukan pada pagi hari dan menjelang siang hari. Suhu mempengaruhi produksi propolis karena lebah menggunakan propolis untuk mengisolasi dan melindungi sarang dari faktor lingkungan. Suhu selalu mempengaruhi jumlah propolis yang dikumpulkan oleh lebah pekerja. Kenaikan suhu membuat resin dan lilin dari tanaman menjadi lunak dan memudahkan lebah untuk memprosesnya. Pada hari yang sangat panas, lebah mulai bekerja lebih pagi, namun pada suhu yang rendah pada pagi hari lebah tidak akan mengumpulkan propolis. (Jager 2001; Gojmerac 1983). Krell (1996) menambahkan, pengumpulan propolis akan lebih aktif pada awal musim hujan, dimana lebah mempersiapkan sarang untuk menghadapi musim dingin. Dengan adanya isolasi sarang dari lingkungan eksternal dan mengatur suhu di dalam, sarang menjadi lebih mudah untuk diatur. Aktivitas lebah juga dipengaruhi oleh kelembaban, semakin tinggi kelembaban aktivitas semakin rendah (Boontop et al 2008). Lebah mengkoleksi propolis untuk mengisolasi sarang dari embun dengan cara membuat lem pada pintu dan dinding sarang. Kelembaban relatif memiliki korelasi negatif dengan komposisi gula dalam nektar. Perubahan konsentrasi gula dapat merubah daya tarik serangga pengambil nektar bunga. Pada saat kelembaban tinggi, molekul air pada nektar akan bertambah dan menurunkan konsentrasi gula (Jager 2001). Semakin tinggi intensitas cahaya, semakin tinggi aktivitas lebah dan akan mencapai puncaknya pada siang hari dan kemudian menurun. (Hilario et al. 2001). Lebah selalu mengumpulkan propolis untuk melindungi sarang dari cahaya, hujan dan getaran. Produksi propolis akan meningkat apabila ada celah yang terbuka dan cahaya masuk ke dalam sarang, dimana cahaya yang masuk 30 akan merangsang lebah untuk mengumpulkan propolis untuk menutup sarang. Intensitas dan durasi sinar matahari memiliki hubungan langsung terhadap jumlah sekresi nektar tanaman (Jager 2001). Saat keadaan gelap, setelah pukul 18.00 lebah tidak ada lagi yang beraktivitas di luar, dan menutup pintu keluarnya. Pada pukul 19.00 pintu keluar sudah tertutup sempurna, kecuali ada lubang kecil di dinding sarangnya. Pintu akan kembali dibuka oleh lebah pada pagi hari, saat mulai terlihat cahaya, dan aktivitas dimulai kembali (Wille 1964). Hal ini dilakukan oleh lebah untuk menjaga suhu sarangnya tetap hangat. Lubang kecil yang disediakan berfungsi untuk keluar-masuk udara ke dalam sarang. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di dua areal perkebunan yaitu Kebun Percobaan Cicurug Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik(BALITRO), Desa Tenjoayu, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Perkebunan ini memiliki luas 3,5 hektar dan ditanami pohon pala dengan jarak tanam pohon 8 x 8 m, yang memiliki spesies beragam. Perkebunan polikultur adalah perkebunan rakyat seluas 2 hektar yang terletak di Kampung Gebluk, Desa Palasari, Cijeruk, Bogor. Percobaan lapangan dilaksanakan mulai dari Maret hingga Mei 2012. Propolis yang dihasilkan dianalisis di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka (LPSB), Institut Pertanian Bogor pada Juni 2012. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive berdasarkan karakteristik tanaman yang ada di masyarakat, yang memiliki potensi sebagai pakan lebah. Materi dan Alat Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah lebah Trigona spp. sebanyak 3 koloni pada perkebunan pala monokultur dan 3 koloni pada perkebunan polikultur yang diperoleh dari Cipaku. Masing-masing koloni berjumlah kira-kira 300 ekor, yang terdiri dari satu ratu, beberapa ekor jantan dan sisanya adalah pekerja. Stup yang digunakan sebagai sarang Trigona adalah kotak yang terbuat dari kayu jengjeng sebanyak 6 kotak. Tanaman yang digunakan sebagai sumber pakan lebah pada lahan monokutur adalah pohon pala (Myristica fragrans Houtt) yang tumbuh pada lahan seluas 3,5 ha dengan jumlah sebanyak 437 pohon di lahan monokultur. Sementara itu, jenis tanaman yang ada di lahan polikultur dapat dilihat pada Tabel 5. Peralatan yang digunakan adalah counter untuk menghitung jumlah lebah pekerja yang pergi dan pulang ke sarang, termohygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban, luxmeter, timbangan digital, timbangan analitik, spidol untuk penandaan stup, pisau steril dan piring plastik yang digunakan untuk memanen propolis, madu, dan polen, wadah penyimpanan hasil panen (toples plastik), dan mikropipet untuk mengambil madu. 32 Tabel 5 Jenis dan jumlah tanaman yang terdapat pada kebun polikultur Jenis Tanaman Jumlah Tanaman 1 1 1 2 4 2 3 1 2 1 3 5 41 10 1 3 Lamtoro Jengkol Lengkeng Mangga Rambutan Jambu Air Nanas Markisa Jambu Biji Kedondong Durian Papaya Pisang Pala Manggis Nangka Sumber: Data yang diolah (2012) Prosedur Penelitian Pembuatan stup dari kayu jengjeng berukuran 25x15x15 cm3 dan diberi penomoran, kemudian stup di timbang sebagai koloni kosong. Koloni dari bambu dipindahkan ke dalam stup dengan cara memindahkan seluruh sarang, telur dan persediaan makanan lebah ke dalam stup, kemudian pintu masuk dilumuri propolis yang berasal dari pintu masuk sarang yang lama. Stup yang telah berisi koloni ditimbang sebagai bobot awal, kemudian ditempatkan pada tempat yang lama selama 3 hari, dengan tujuan agar koloni tidak kabur. Setelah itu stup ditempatkan pada tempat yang telah disiapkan di lokasi penelitian. Rancangan Penelitian Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan langsung terhadap aktivitas harian dan bobot koloni Trigona spp. yang dipelihara pada 2 lahan perkebunan yang berbeda untuk menghasilkan propolis secara berulang (repeated measurement). Pemilihan lokasi dilakukan secara purposive, berdasarkan potensi pakan yang tersedia, dimana Kebun Percobaan Cicurug yang dibina oleh BALITRO ini merupakan suatu unit produksi tanaman pala. Kebun Percobaan Cicurug berada di ketinggian 550 m dpl dan iklim tipe A. Perkebunan rakyat 33 yang terletak di Desa Palasari memiliki potensi pakan yang beragam dan terletak pada daerah dengan ketinggian 400 m dpl dan iklim tipe A. Parameter yang diukur Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah: a. Aktivitas koloni yang ditentukan berdasarkan jumlah lebah yang keluar masuk sarang. Aktivitas koloni diperoleh dengan cara menghitung aktivitas koloni keluar dan masuk selama 5 menit dimulai dari pukul 06.00 – 17.00 WIB setiap hari. b. Pengukuran suhu, kelembaban dan intensitas cahaya Pengukuran suhu, kelembaban dan intensitas cahaya dilakukan setiap hari dimulai pada pukul 06.00 – 17.00 WIB. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas koloni dengan kondisi lingkungan. c. Bobot koloni. Bobot koloni dihitung satu kali dalam seminggu. Bobot koloni diperoleh dengan persamaan: Bobot koloni = bobot total - bobot stup kosong Dimana bobot total adalah hasil dari penimbangan stup secara keseluruhan tiap minggu. d. Produksi yang dihasilkan oleh lebah Trigona dalam jangka waktu 3 bulan. Sarang dipanen kemudian ditimbang dan hasilnya adalah bobot panen yang terbuat dari propolis bercampur lilin. Pemanenan propolis dilakukan dengan cara memisahkan madu dan polen, yakni pada tahap pertama, bagian sarang yang berisi madu diperas, kemudian madunya ditimbang. Kedua, bagian sarang yang berisi polen dikeluarkan kemudian polen yang dihasilkan ditimbang. Ketiga, sarang yang telah dipisah dari madu dan polen ditimbang untuk mengetahui berat propolis. e. Propolis yang dihasilkan oleh Trigona spp. dianalisis kandungan flavonoidnya dengan menggunakan pelarut etanol 70%. 34 Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian ini diuraikan secara deskriptif untuk menyajikan kondisi dari kedua lokasi, data produktivitas disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan gambar. Data yang berbeda dilakukan uji t (Walpole 1995) dengan menggunakan program Minitab ® 16.1.0. dan tidak diketahui Keterangan: = jumlah pengamatan di perkebunan polikultur HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Tempat Penelitian Kebun Percobaan Cicurug merupakan lokasi yang telah memenuhi syarat agroekologi untuk kebun koleksi tanaman pala secara ex situ. Kebun Percobaan Cicurug berada pada ketinggian 550 m dpl dengan jenis tanah latosol dan iklim tipe A (Muis et al. 2008). Menurut Soerjadi et al. (1996), iklim tipe A berdasarkan klasifikasi klimatik oleh Koppen untuk iklim dunia adalah iklim hujan tropika. Iklim di kawasan tropika ditandai dengan tidak ada musim dingin karena sepanjang tahun suhunya lebih dari 18 oC. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kondisi lingkungan di kebun pala monokultur dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kondisi lingkungan kebun pala monokultur selama penelitian Waktu 06:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 Suhu (oC) 23,08 22,31 23,84 24,25 25,71 26,63 27,27 27,11 26,84 26,03 25,24 24,23 Kelembaban (%) 70 70 68 65 61 56 55 56 58 59 62 64 Intensitas Cahaya (lux) 183 723 1963 6919 6071 16634 91347 33062 5679 2558 1521 542 Sumber: Data primer yang diolah (2012) Selama melaksanakan penelitian, suhu lingkungan di Kebun Percobaan Cicurug berkisar 22-27 oC dengan kelembaban 55-70%, dan intensitas cahaya tertinggi pada 91.347 lux. Curah hujan rata-rata pada kebun percobaan sekitar 2.997 mm/thn dengan jumlah hari hujan 112 hari. Kondisi ini hampir sama dengan kondisi iklim di daerah asal tanaman pala yaitu kepulauan Banda dengan curah hujan rata-rata 2.656 mm/thn dan jumlah hari hujan 167 hari (Muis et al. 2008). Tanaman pala pada kebun koleksi ini ditanam di bawah tegakan pohon kelapa. Tanaman pala tidak tahan terhadap angin kencang karena sistem 36 perakarannya yang tidak terlalu dalam. Oleh karena itu selain sebagai salah satu koleksi plasma nutfah Kebun Percobaan Cicurug, pohon kelapa juga berfungsi sebagai tanaman pelindung pohon pala. Kebun Percobaan Cicurug dijadikan lokasi penelitian untuk pengamatan produktivitas Trigona di kebun monokultur karena memiliki potensi tanaman pala. Menurut Siswomartono (1989), monokultur adalah memelihara tanaman dari satu spesies secara bersamaan. KPU (2003) menyatakan bahwa monokultur adalah sistem budidaya tanaman dengan hanya menanam satu macam tanaman pada sebidang tanah dalam jangka waktu satu musim tanam. Perkebunan Polikultur Rakyat yang terletak di Kampung Gebluk, Desa Palasari memiliki keanekaragaman jenis tanaman. Perkebunan rakyat ini berada pada ketinggian 400 m dpl, dengan jenis tanah latosol dan iklim tipe A. Menurut Sunarjono (1998), daerah yang berada pada ketinggian 400-800 m dpl, tergolong dataran rendah. Pada perkebunan ini tumbuh berbagai macam pohon yang dapat dijadikan sumber pakan dan resin bagi lebah, dan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jenis tanaman sumber pakan dan resin pada kebun polikultur Musim Nektar Polen Resin Jenis Tanaman Berbunga Lamtoro Jan-Des * Jengkol Mei-Jun * Mangga Jun dan Agst * Rambutan Okt-Nov * Jambu Air Mei dan Agst * Nanas Mar-Jun * Lengkeng Agst-Okt * * Markisa Agst-Okt * * Jambu Biji Mei dan Juni * * Kedondong Jun dan Agst * * Durian Jun dan Sept * * Papaya Jan-Des * * Pisang TMT * * Pala Jan-Des * * * Manggis Kemarau * * Nangka Jan-Des * Sumber: Data primer yang diolah (2012) Tanaman sumber pakan yang dimanfaatkan oleh lebah selama penelitian sebagai sumber pakan adalah tanaman lamtoro, nanas, papaya, pala dan nangka, 37 karena pada saat dilakukan penelitian hanya jenis tanaman tersebut yang berbunga. Jenis tanaman yang dijadikan sumber resin adalah tanaman pala, manggis dan nangka. Menurut KPU (2003), polikultur adalah sistem budidaya tanaman dengan penanaman beberapa jenis tanaman sayur atau buah dalam kebun yang sama pada jangka waktu satu tahun. Hasil pengamatan terhadap kondisi lingkungan di kebun polikultur dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Kondisi lingkungan kebun polikultur selama penelitian Suhu Kelembaban Intensitas Cahaya Waktu (oC) (%) (lux) 06:00 22,52 88 4344 07:00 23,69 92 38738 08:00 26,09 82 138563 09:00 26,95 75 89897 10:00 28,02 71 46875 11:00 28,44 69 37178 12:00 28,25 70 31292 13:00 28,43 70 27943 14:00 27,79 73 27390 15:00 26,05 76 24948 16:00 25,27 80 15586 17:00 25,14 83 4667 Sumber: Data primer yang diolah (2012) Suhu, kelembaban dan kondisi cahaya selama melaksanakan penelitian di kebun rakyat sebagai berikut: suhu berkisar 22-28 oC, kelembaban 69-92% dan intensitas cahaya tertinggi adalah 138.563 lux. Menurut Sunarjono (1998), faktor suhu dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Suhu dataran rendah umumnya 25-35 o C, ada yang beriklim basah dan kering. Jenis buah-buahan yang dapat dibudidayakan yaitu durian, rambutan, manggis, pisang, papaya, nanas, nangka, lengkeng, jambu biji, dan mangga. Data yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor untuk curah hujan selama 3 bulan dapat dilihat pada Tabel 9. Curah hujan tertinggi pada wilayah Cijeruk yaitu pada bulan April dengan jumlah 456 mm, sedangkan di wilayah Cijeruk, curah hujan tertinggi terjadi di bulan Mei yaitu 465 mm. Menurut Sunarjono (1998), selama satu tahun, Indonesia hanya terdapat dua pergantian musim yaitu hujan dan 38 kemarau/kering. Musim kemarau menimbulkan iklim kering, sedangkan musim hujan menimbulkan iklim basah atau lembab. Wilayah Indonesia sebelah barat umumnya beriklim basah, yaitu curah hujannya rata-rata lebih dari 100 mm per bulan. Tabel 9 Curah hujan pada wilayah Cijeruk dan Cicurug Stasiun Bulan April (mm) 456 441 Maret (mm) 184 430 Cijeruk (Pd. Gede) Cicurug Mei (mm) 147 465 Sumber: BMKG Stasiun Dramaga (2012) Produktivitas Koloni Rataan produktivitas koloni Trigona spp. yang dipelihara pada kebun pala monokultur dan polikultur selama 13 minggu pada Gambar 3 dan produk yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 10. 120.00 Bobot Koloni (gr) 100.00 80.00 60.00 40.00 Monokultur 20.00 Polikultur 0.00 BB Awal 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Minggu Gambar 3 Rataan perkembangan bobot koloni Trigona spp. pada kebun pala monokultur dan polikultur. Tabel 10 Hasil panen 6 koloni lebah Trigona spp. pada kebun pala monokultur dan polikultur Bobot Koloni Bobot Panen Madu Polen Propolis Kebun (g) (g) (g) (g) (g) Monokultur 299 65,57 7,58 30,20 27,79 Polikultur 170 92,75 0,70 43,25 48,80 Sumber: Data primer yang diolah (2012) 39 Gambar 3 menunjukkan bahwa produktivitas Trigona pada kebun monokultur lebih tinggi dibandingkan kebun polikultur. Bobot awal koloni pada kebun monokultur lebih rendah daripada koloni pada kebun polikultur, namun setelah itu bobot koloni kebun monokultur lebih tinggi daripada koloni kebun polikultur. Bobot koloni bervariasi karena dipengaruhi kondisi lingkungan, dimana pada bulan Maret curah hujan cukup tinggi untuk daerah Cicurug, kemudian mulai menurun pada bulan April. Bulan Mei, curah hujan kembali tinggi dan hal ini sangat mempengaruhi perkembangan koloni. Selama 3 bulan penelitian bobot koloni yang dihasilkan pada kebun monokultur 299 g dan kebun polikultur 170 g. Hasil uji t menunjukkan perkembangan koloni pada kebun pala monokultur dan polikultur berbeda nyata (P < 0,05) dengan nilai 95,5 + 10,8 g pada kebun pala monokultur dan 61,3 + 11,7 g pada kebun polikultur. Namun, setelah dilakukan pemanenan ternyata produk yang dihasilkan Trigona pada kebun monokultur hanya 21,93% dari bobot koloni dan pada kebun polikultur 54,56%. Produk yang paling banyak dihasilkan oleh Trigona pada kebun monokultur adalah polen, sedangkan pada kebun polikultur yang paling banyak dihasilkan adalah propolis. Menurut Perum Perhutani (1986), pada saat membangun sarang, lebah akan sangat giat melakukan pembuatan sel sepanjang keadaan makanan dan faktor lingkungan baik, terutama pada musim bunga. Sihombing (1995) menambahkan, kehadiran ratu mempengaruhi pengumpulan polen melalui aktivitas bertelur yang akan menghasilkan tetasan. Bau dari tetasan akan merangsang pengumpulan polen. Pengumpulan polen akan berlangsung hanya sampai tingkat pemenuhan kebutuhan koloni saja, sehingga tingkat penimbunan polen di dalam sarang tidak jauh melebihi jumlah yang diperlukan koloni selama periode tertentu. Polen dimakan oleh lebah sebagai sumber protein dan lemak, juga untuk memelihara tetasannya. Perkembangan koloni pada kebun pala monokultur dan polikultur dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa di kebun monokultur pada awal penelitian, jumlah pakan dan sel telur hampir berimbang (Gambar 4 A), setelah 3 bulan ternyata terjadi perkembangan koloni dan jumlah persediaan pakan hanya sedikit (Gambar 4 B). Gambar 4 (C) memperlihatkan kondisi koloni di kebun polikultur yang berbeda dengan koloni di kebun monokultur. Jumlah 40 pakan dan propolis banyak, sedangkan sel telur hanya sedikit. Gambar 4 (D) merupakan kondisi terakhir dari koloni lebah di kebun polikultur setelah dipelihara selama 3 bulan. Jumlah pakan dan sel telur hampir berimbang. A B C D Gambar 4 Perkembangan koloni Trigona spp. pada kebun pala monokultur dan polikultur. A. Koloni Trigona pada kebun pala monokultur di awal penelitian; B. Koloni Trigona pada kebun pala monokultur di akhir penelitian; C. Koloni Trigona pada kebun pala polikultur di awal penelitian; D. Koloni Trigona pada kebun pala polikultur di akhir penelitian. Perkembangan koloni dapat dikaitkan dengan musim berbunga tanaman pada kedua kebun dan lingkungan. Tanaman pala merupakan tanaman yang berbunga sepanjang tahun, namun masa berbunga yang banyak terjadi pada bulan April dan Mei. Masa berbunga ini bertepatan dengan pelaksanaan kegiatan penelitian, sehingga terjadi perkembangan koloni. Lebah membutuhkan pakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan perkembangan koloninya. Diduga jumlah pakan yang dikumpulkan oleh lebah di kebun monokultur tidak terlalu banyak. Pakan yang dikumpulkan digunakan untuk perkembangan koloninya. Namun, perkembangan koloni tidak terlalu pesat karena pada saat pengamatan dilakukan, 41 kondisi lingkungan tidak terlalu mendukung akibat terjadi perubahan cuaca di alam, dimana hujan lebih banyak dibandingkan panas. Perkembangan koloni di kebun polikultur lebih sedikit daripada kebun monokultur, namun produk yang dihasilkan lebih banyak. Hal ini disebabkan pada saat dilakukan penelitian, musim bunga dari tanaman yang tersedia pada kebun polikultur hanya beberapa jenis tanaman yaitu pala 10 pohon, lamtoro 1 pohon, nangka 3 pohon, nanas 3 pohon, papaya 5 pohon, dan jambu biji 2 pohon. Diduga lebah menimbun pakan karena jumlah tanaman yang berbunga hanya sedikit. Menurut Siregar et al. (2011), Trigona membutuhkan lingkungan dengan vegetasi yang menyediakan polen dan nektar alami, agar dapat berkembang biak dan menghasilkan beragam produk lebah, seperti madu, polen dan propolis. Kandungan Propolis Propolis yang dihasilkan oleh Trigona dianalisa kandungan flavonoidnya dengan menggunakan teknik analisis spektrofotometeri, yang hasilnya dapat dilihat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Kandungan flavonoid pada propolis di kebun pala monokultur dan polikultur Kebun Kadungan Flavonoid (% (b/b)) Monokultur 0,186 Polikultur 0,288 Sumber: Data primer yang diolah (2012) Hasil analisa menunjukkan bahwa kandungan flavonoid pada kebun monokultur lebih rendah dibandingkan kebun polikultur. Komposisi kimia propolis sangat bervariasi dan tergantung pada jenis pohon yang terdapat pada lokasi pembudidayaan (Marcucci 1995; Bankova et al. 2000). Nektar dan polen yang dikumpulkan oleh lebah dinamakan berdasarkan sumber tanamannya, sedangkan propolis merupakan salah satu produk yang dihasilkan oleh lebah dan tidak dinamakan berdasarkan sumber resinnya. Bahan-bahan yang digunakan untuk menghasilkan propolis berasal dari berbagai macam tanaman dan berbagai bagian dari tanaman (Bankova et al. 2000). Propolis mengandung senyawa kompleks, dan memiliki berbagai macam efek biologis dan aktivitas farmakologis. 42 Komposisi kimia dari propolis sangat kompleks dan berdasarkan sumber tanamannya. Propolis yang sangat dikenal adalah propolis yang berasal dari tanaman Poplar. Tanaman poplar tidak tumbuh pada daerah tropis, sehingga kandungan flavonoidnya berbeda. Flavonoid terdapat hampir di semua spesies bunga dan merupakan salah satu komposisi kimia yang penting pada propolis (Ghisalberti 1979; Bankova et al. 2000; Mahani et al. 2011). Jenis flavonoid yang terpenting dalam propolis adalah pinocembrin dan galangin. Kandungan kimianya sedikit berbeda dengan flavonoid dari bunga karena adanya pemrosesan oleh lebah. Kandungan flavonoid dalam propolis bervariasi, yaitu sekitar 10-20%. Kandungan ini merupakan yang terbanyak dibandingkan kandungan flavonoid dalam produk lebah lainnya. Senyawa flavonoid propolis berfungsi sebagai antioksidan yang mampu mengatasi senyawa radikal bebas sehingga sangat baik sebagai antikanker (Mahani et al. 2011). Aktivitas Trigona Hasil pengamatan yang dilakukan selama 12 jam terhadap aktivitas keluar dan masuk lebah Trigona spp. pada kebun pala monokultur dan polikultur dapat dilihat pada Gambar 5. Kebun Pala Polikultur 80 80 70 70 60 60 Jumlah Lebah (ekor) Jumlah Lebah (ekor) Kebun Pala Monokultur 50 40 30 50 40 30 20 20 10 10 0 0 Aktivitas Keluar Waktu Aktivitas Masuk Aktivitas Keluar Waktu Aktivitas Masuk Gambar 5 Grafik aktivitas Trigona pada kebun pala monokultur dan polikultur Berdasarkan pengamatan, aktivitas Trigona dimulai pada pukul 06.00 dan semakin meningkat. Aktivitas tertinggi terjadi pada pukul 10.00-12.00, kemudian semakin menurun sampai dengan pukul 17.00. Hasil penelitian ini didukung oleh 43 Rodrigues et al. (2007) yang menyatakan bahwa aktivitas lebah dimulai sekitar pukul 06.00 dan menurut Nascimento D & Nascimento F (2012), aktivitas akan berakhir sekitar pukul 18.00. Hilario et al. (2001), menyatakan bahwa aktivitas tertinggi terjadi antara pukul 11.00-13.00, setelah itu akan mengalami penurunan. Hasil uji t terhadap aktivitas keluar masuk menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05) dengan nilai 36,5 20,9 ekor/5 menit pada kebun monokultur dan 24,88 8,96 ekor/ 5 menit dan polikultur. Gambar 6 menunjukkan aktivitas yang dilakukan oleh Trigona selama dilakukan pengamatan. Gambar 6 (A) dan (B) memperlihatkan aktivitas lebah pada saat kembali ke sarang membawa pakan untuk koloninya berupa nektar dan polen. Lebah juga mengumpulkan resin yang digunakan untuk membangun sarangnya. Resin yang dikumpulkan ini dicampur dengan enzim lebah dan menghasilkan propolis (Gambar 6 C). Lebah akan mengumpulkan sampah di dalam sarang kemudian membuangnya keluar dari sarang agar kebersihan sarang tetap terjaga. Lebah yang cacat akan diusir dari koloninya, dan bangkai lebah ataupun predator yang mati di dalam sarang akan dibuang oleh lebah agar kebersihan tetap terjaga (Gambar 6 D - F). Penjagaan sarang dari predator dilakukan oleh lebah penjaga sarang yang selalu berada di depan pintu sarang (Gambar 6 G). Penjaga sarang akan mempertahankan keamanan dari koloninya dengan cara menyerang musuh yang datang ke sarangnya. Apabila ada lebah yang tidak berasal dari koloninya menyerang, lebah akan saling menggigit perut sampai mati (Gambar 6 H). Koloni stingless bee terdiri atas beberapa ratus sampai ribuan individu, dan pertukaran informasi antara pekerja merupakan kunci masa depan koloni untuk efisiensi pencarian pakan dan secara langsung perkembangan koloni dan keberhasilan reproduksi (Nascimento D & Nascimento F 2012; Boontop et al. 2008). Masing-masing individu lebah pekerja memiliki tingkah laku yang menentukan pola pengumpulan pakan dari koloninya. Keputusan dilakukan berdasarkan faktor intrinsik dan informasi dari koloni serta lingkungan (Wallace 2010). Aktivitas terbang merupakan aktivitas lebah keluar dan masuk sarang untuk mencari pakan (foraging). Ada dua faktor yang mempengaruhi aktivitas pencarian 44 pakan pada lebah, yaitu: 1). Faktor internal, seperti ingatan individu dan respon penjaga pintu terhadap rangsangan pencarian pakan, dan 2). Faktor eksternal, seperti lingkungan dan kondisi koloni yang menentukan tingkatan tanggapan yang merangsang koloni untuk mengambil keputusan (Biesmeijer & Vries 2001). B A C D E F G H Gambar 6 Aktivitas lebah Trigona di kebun pala monokultur dan polikultur. A. Mengumpulkan dan membawa pulang madu; B. Mengumpulkan dan membawa pulang polen; C. Mengumpulkan dan membawa pulang propolis; D. Membuang sampah; E. Membuang dan mengusir lebah yang cacat; F. Membuang bangkai; G. Menjaga sarang dari serangan predator; H. Saling serang untuk mempertahankan koloni. 45 Tiga tipe bahan yang dikumpulkan oleh lebah dan dibawa pulang ke sarangnya adalah: 1). Nektar (termasuk semua cairan yang dikeluarkan oleh tanaman), 2). Polen (hanya pada korbikula), dan 3). Resin (pada karbikula, bisa juga termasuk semua jenis zat kimia lengket yang tidak dapat dibedakan) (Leonhardt et al. 2007). Menurut Perum Perhutani (1986), lebah di daerah panas akan mencari makan pada pagi hari dan berhenti ketika sinar matahari mulai panas dan dilanjutkan sebelum matahari terbenam. Danaraddi (2007) menambahkan, aktivitas pencarian pakan pada serangga sosial untuk pengumpulan polen yang paling baik dilakukan adalah pagi hari. Pendapat ini didukung oleh Wille (1964) dan Nascimento D & Nascimento F (2012), yang menyatakan bahwa lebah sangat aktif di pagi hari, lebah memulai kegiatan pengambilan polen pada pagi hari saat kelembaban masih sangat tinggi serta suhu dan intensitas cahaya masih sedang. Menurut Fidalgo & Kleinert (2007), pengumpulan resin dilakukan dalam satu hari terdiri dari dua periode. Pertama, pengumpulan propolis dilakukan bersamaan waktunya dengan pengumpulan nektar dan polen. Kedua, pengumpulan propolis dilakukan pada saat lebah akan mengakhiri aktivitasnya. Aktivitas keluar-masuk Trigona pada kebun monokultur lebih tinggi dibandingkan pada kebun polikultur. Hal ini terkait dengan ketersediaan pakan dan jarak stup dengan pakan lebah. Pada kebun monokultur, pakan tersedia sepanjang tahun, dan pada saat pengamatan merupakan waktu berbunga yang lebat. Koloni pada kebun monokultur lebih banyak beraktifitas karena jarak tanaman dengan stup tidak lebih dari 100 m, sehingga lebah cepat untuk mengumpulkan pakan dan kembali ke stup. Pada kebun polikultur, walaupun pakan yang tersedia beragam, namun pakan yang tersedia tidak seluruhnya berbunga. Selain itu, letak dan jarak stup dengan pakan yang sedang berbunga lebih dari 100 m. Hal ini diduga berpengaruh terhadap jumlah lebah yang keluar dan masuk. Lebah lebih lama tiba di lokasi pakan, kemudian lebah juga akan lebih lama mengumpulkan pakan karena lebah akan mengumpulkan pakan sampai penuh, setelah itu lebah akan kembali ke sarang. Menurut Sihombing (2005), jarak sumber makanan dari sarang akan mempengaruhi intensitas pengumpulan makanan. Hal ini akan memperkecil frekuensi perjalanan dalam satu hari, 46 sebaliknya akan meningkatkan jumlah energi yang dihabiskan selama menempuh perjalanan tersebut. Faktor Lingkungan dan Aktivitas Trigona Pengaruh faktor lingkungan (suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya) terhadap aktivitas Trigona di kebun pala monokultur dapat dilihat pada Tabel 12 dan di kebun polikultur dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil pengamatan yang dilakukan pada kebun monokultur dan polikultur menunjukkan bahwa lingkungan mempengaruhi aktivitas keluar-masuk Trigona. Aktivitas Trigona di kebun monokultur dimulai pada saat suhu 23,08 oC, kelembaban 70% dan intensitas cahaya masih rendah yaitu 183 lux. Jumlah lebah yang keluar 4 ekor/5 menit, dan lebah yang masuk 3 ekor/5 menit. Aktivitas keluar tertinggi sebanyak 60 ekor/5 menit terjadi pada suhu 26,63 dengan kelembaban 56%, dan intensitas cahaya 16.634 lux. Aktivitas masuk tertinggi sebanyak 72 ekor terjadi pada saat suhu mencapai 27,27 oC, kelembaban 55% dan intensitas cahaya 91.347 lux. Tabel 12 Faktor lingkungan dan aktivitas Trigona di kebun pala monokultur Aktivitas Waktu 06:00 07:00 08:00 09:00 10:00 11:00 12:00 13:00 14:00 15:00 16:00 17:00 Keluar Masuk Suhu (oC) 4 12 25 30 42 60 54 51 42 30 22 11 3 12 29 34 50 71 72 66 60 44 34 19 23,08 22,31 23,84 24,25 25,71 26,63 27,27 27,11 26,84 26,03 25,24 24,23 Kelembaban (%) 70 70 68 65 61 56 55 56 58 59 62 64 Intensitas Cahaya (lux) 183 723 1963 6919 6071 16634 91347 33062 5679 2558 1521 542 Sumber: Data primer yang diolah (2012) Menurut Rodrigues et al. (2007), aktivitas lebah dimulai pada pukul 06.00 dengan kelembaban yang tinggi sekitar 65%, intensitas cahaya masih rendah dan 47 temperatur berkisar 22 o C. Aktivitas terbang tertinggi terjadi pada saat kelembaban mencapai 43-65 %. Kelembaban akan relatif konstan sekitar 40% pada pukul 17.00 sampai lebah masuk ke dalam sarang dan tidak beraktivitas di luar sarang. Aktivitas Trigona pada kebun polikultur dimulai pada saat suhu terendah mencapai 22,52 oC, kelembaban 88% dan intensitas cahaya 4344 lux. Jumlah lebah yang keluar 6 ekor/5 menit dan masuk 5 ekor/5 menit. Aktivitas lebah semakin meningkat dengan adanya peningkatan suhu lingkungan dan intensitas cahaya, sedangkan kelembaban semakin menurun. Jumlah tertinggi lebah yang keluar adalah 34 ekor/5 menit dan jumlah tertinggi lebah yang masuk terjadi pada saat suhu mencapai 28,02 oC, kelembaban 71%, dan intensitas cahaya 46.875 lux. Tabel 13 Faktor lingkungan dan aktivitas Trigona di kebun polikultur Aktivitas Intensitas Suhu Kelembaban Waktu Cahaya o ( C) (%) Keluar Masuk (lux) 06:00 6 5 22,52 88 4344 07:00 18 18 23,69 92 38738 08:00 31 34 26,09 82 138563 09:00 32 34 26,95 75 89897 10:00 34 37 28,02 71 46875 11:00 31 33 28,44 69 37178 12:00 28 32 28,25 70 31292 13:00 27 31 28,43 70 27943 14:00 26 29 27,79 73 27390 15:00 19 25 26,05 76 24948 16:00 16 22 25,27 80 15586 17:00 13 19 25,14 83 4667 Sumber: Data primer yang diolah (2012) Beberapa faktor abiotik mempengaruhi aktivitas lebah. Suhu merupakan faktor yang paling mempengaruhi aktivitas lebah (Boontop el al. 2008). Aktivitas keluar-masuk meningkat dengan meningkatnya temperatur, dan aktivitas maximum terjadi pada saat suhu mencapai 26,5-27 oC (Hilario et al. 2001; Danka et al. 2006). Lebah tidak dapat terbang saat suhu tubuh lebah turun di bawah 10 o C, kehilangan kekuatan untuk bergerak pada suhu 5 oC dan membeku pada suhu - 1,9 oC (Gojmerac 1983). Contera & Nieh (2007) menambahkan bahwa pada saat 48 suhu rendah, lebah pencari pakan lebih lama berada dalam sarang dibandingkan pada saat suhu normal. Kelembaban tinggi terjadi pada saat pagi hari dan hujan, dimana pada saat hujan tidak ada aktivitas lebah. Pencarian pakan dihalangi oleh hujan, dimana hujan di pagi hari menunda pengumpulan polen dan hujan yang terus-menerus menyebabkan penurunan aktivitas pencarian pakan, karena intesitas cahaya pada saat hujan juga menurun (Sommeijer et al. 1983). Hasil uji t terhadap faktor lingkungan dan aktivitas lebah menunjukkan berbeda nyata (P < 0,05) dengan nilai 36,5 + 20,9 ekor pada kebun monokultur dan 25,00 + 8,99 ekor pada kebun polikultur. Cuaca pada kedua lokasi penelitian sangat berpengaruh terhadap aktivitas lebah. Curah hujan masih cukup tinggi sampai bulan Mei, menyebabkan aktivitas lebah di luar sarang sangat terbatas. Lebah memilih tinggal dalam sarang selama cuaca tidak mendukung aktivitas di luar sarang. Menurut Someijer et al. (1983), hujan menghalangi aktivitas lebah untuk mencari pakan. Hujan pada pagi hari akan menunda pengumpulan polen dan hujan yang terus-menerus akan menurunkan aktivitas pencarian pakan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa produktivitas Trigona spp. berdasarkan bobot koloni lebah yang dipelihara pada kebun pala monokultur sangat nyata lebih tinggi dibandingkan kebun polikultur (299 g VS 170 g), yang dipengaruhi oleh musim berbunga dan jarak tanaman yang ada pada masing-masing lokasi. Kandungan flavonoid yang merupakan senyawa kimia yang penting pada propolis yang dihasilkan oleh Trigona pada kebun pala monokultur dan polikultur menunjukkan hasil yang bervariasi, yang berkaitan erat dengan variasi lingkungan dan manajemen pemeliharaan. Faktor lingkungan (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) dan waktu nyata berpengaruh terhadap aktivitas terbang Trigona. Suhu dan intensitas cahaya yang tinggi, meningkatkan aktivitas lebah, sementara kelembaban yang tinggi menurunkan aktivitas lebah. Saran Diperlukan penelitian lanjutan tentang produksi resin per satuan jumlah pohon pala untuk menghasilkan jumlah propolis tertentu. Jenis flavonoid yang terkandung dalam propolis lebah yang dibudidaya di kebun pala juga perlu dianalisis. Selain itu, perlu juga dilakukan analisis tentang sebaran aktivitas Trigona pada tanaman polikultur. DAFTAR PUSTAKA Agromedia. 2009. Buku Pintar Budi Daya Tanaman Buah Unggul Indonesia. Jakarta: Agromedia Pustaka. Amano K. 2002. Stingless honeybees for Asia‟s greenhouses. Food and Fertilizer Technology Center. Newsletter 138:2-3. Bankova VS, Castro SL de, Marcucci MC. 2000. Propolis: recent advances in chemistry and plant origin. Apidologie 31:3-15. Biesmeijer JC, Vries H de. 2001. Exploration and explonation of food sources by social insect colonies: a revision of the scout-recruit concept. Behav Ecol Sociobiol 49:89-99. Biesmeijer JC, Slaa EJ. 2004. Informastion flow and organization of stingless bee foraging. Apidologie 35:143-157. Boontop Y, Malaipan S, Chareansom K, Wiwatwittaya D. 2008. Diversity of stingless bees (Apidae: Meliponini) in Thong Pha Phum District, Kanchanaburi Province, Thailand. Nat Sci 42:444-456. Chen WY et al. 2008. Characterisation of taiwanese propolis collected from different locations and seasons. J Sci Food Agri 88:412-419. Contera FAL, Nieh JC. 2007. The effect of ambient temperature on forager sound production and thoracic temperature in the stingless bee, Melipona panamica. Behav Ecol Sociobiol 61:887-897. Danaraddi CS. 2007. Studies on Stingless Bee, Trigona Iridipennis Smith with Special Reference to Foraging Behaviour and Melissopalynology at Dharwad, Karnataka. [Thesis]. Departement of Agricultural Entomology College of Agriculture. University of Agriculture Science. Dharwad. Danka RG, Sylvester HA, Boykin D. 2006. Environmental influences on flight activity of USDA-ARS Russian and Italian stocks of honey bees (Hymenoptera: Apidae) during almond pollination. J Econ Entomol 99:1565-1570. Fidalgo AO, Kleinert MP. 2007. Foraging behavior of Melipona rufiventris Lepeletier (Apinae, Meliponini) in Ubatuba/SP, Brazil. Braz J Biol 67:137144. Free JB. 1982. Bees and Mankind. London, UK: George Allen & Unwin. Ghisalberti EL. 1979. Propolis: a review. Bee World 60: 59-84. Gojmerac WL. 1983. Bee, Beekeeping, Honey and Pollination. Westport: AVI. 51 Hadipoentyanti E. 1997. Monograf Tanaman Cengkeh. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Heard TA. 1999. The role of stingless bees in crop pollination. Annu Rev Entomol 44:183-206. Hilario SD, Imperatriz-Fonseca VL, Kleinert A de MP. 2000. Flight activity and colony strength in the stingless bee Melipona bicolor bicolor (Apidae, Meliponinae). Rev Bras Biol 60:299-306. Hilario SD, Imperatriz-Fonseca VL, Kleinert A de MP. 2001. Responses to climatic factors by foragers of Plebeia pugnax Moure (In Litt.) (Apidae, Meliponinae). Rev Bras Biol 61:191-196. Jager AJ de. 2001. The Effect Of Increased Propolis Production On The Productivity A Honeybee Farming System. [Dissertation]. Departement Of Agricultural Management. Saasveld George Campus. Port Elizabeth Technikon. Junior NTF, Blochtein B, de Moraes JF. 2010. Seasonal flight and resource collection patterns of colonies of the stingless bee Melpona bicolor schencki Gribodo (Apidae, Meliponini) in an Araucaria forest area in southern Brazil. Rev Bras de Entomol 54:630-636. Kanisius 1990. Bagaimana Menanam Cengkeh. Yogyakarta: Kanisius. [KPU] Kamus Pertanian Umum. 2003. Jakarta: Penebar Swadaya. Krell. 1996. Value added products from beekeeping. Agri Serv Bull 124, Food and Agricultural Organization of the U.N, 409. Lindauer M, Kerr WE. 1960. Comunication between the workers of stingless bees. Bee World 41:65-71. Leonhardt SD, Dworschak K, Eltz T, Bluthgen N. 2007. Foraging loads of stingless bees and utilization of stored nectar for pollen harvesting. Apidologie 38:125-135. Mahani, Karim AR, Nurjanah N. 2011. Keajaiban Propolis Trigona. Jakarta: Pustaka Bunda. Marcucci MC. 1995. Propolis: chemical, biological properties and therapeutic activity. Apidologie 26:83-99. Marzuki I, Hadad EA, Syukur, Assagaf M. 2006. Potensi dan Pengembangan Pala di Maluku Utara. BALITRO. Bogor. Muis R et al. 2008. Pedoman Teknis Budidaya Pala. Jakarta: Direktur Jenderal Perkebunan. 52 Mulyana D, Asmarahman C. 2011. 7 Jenis Kayu Penghasil Rupiah. Jakarta: Agromedia Pustaka. Mutsaers M, Blitterswijk H van, Leven L van „t, Kerkvliet J, Waerdt J van de. 2005. Bee Products Properties, Processing and Marketing. Wageningen: Agromisa Foundation. Nakasone HY, Paul RE. 1999. Tropical Fruits. New York: CABI Publishing. Nascimento DL do, Nascimento FS. 2012. Extreme effect of season on the foraging activities and colony productivity of a stingless bee (Melipona asilvai Moure, 1971) in Northeast Brazil. H Pub Corp Psyche. Research Article :1-6. Nieh JC. 2004. Recruitment communication in stingless bees (Hymenoptera, Apidae, Meliponini). Apidologie. 35:159-182. Perum Perhutani Unit Jawa Timur. 1986. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perlebahan. Di dalam: Pembudidayaan Lebah Madu untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Prosiding Lokakarya; Sukabumi, 20-22 Mei 1986. Jakarta: Perum Perhutani. Pietta PG, Gardana, Pieta AM. 2002. Analytical methods for quality control of propolis. Filoterapia 73 Suppl 1:7-20. Popova M, Silici S, Kaftanoglu O, Bankova V. 2003. Antibacterial activity of Turkish propolis and qualitative and quantitative chemical composition. Phytomedicine 12:221-228. [PPP] Pusat Perlebahan PRAMUKA. 2003. Lebah Madu Cara Beternak dan Pemanfaatan. Jakarta: Penebar Swadaya. Purwono MS, Purnamawati H. 2008. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Jakarta: Penebar Swadaya. Purseglove JW, Brown EG, Green CL, Robbins S, Longman PJ. 1981. Tropical Agriculture Series Spices. Volume 1. London: DS New York. Rodrigues M, Santana WC, Freitas GS, Soares AEE. 2007. Flight activity of Tetragona clavipes (FABRICUS, 1804) (Hymenoptera, Apidae, Meliponini) at the Sao Paulo University Campus in Ribeirao Preto. Biosci J 23:118-124. Roubik DW. 1989. Ecology and natural history of tropical bees. Cambridge UK: Cambridge Univ. Press. Sihombing DTH. 2005. Ilmu Ternak Lebah Madu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 53 Singh S. 1962. Beekeeping in India. New Delhi: Indian Council of Agricultural Research. Siregar HCH. Fuah AM. Octavianty Y. 2011. Propolis Madu Multikhasiat. Jakarta: Penebar Swadaya. Siswomartono D. 1989. Ensiklopedi Konservasi Sumber Daya. Jakarta: Erlangga. Soerjadi WH, Soesanto R, Mulyono T, Nureni I. 1996. Kamus Klimatologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sommeijer MJ, de Rooy GA, Punt W, de Bruijn. 1983. A Comparative Study Foraging Behavior and Pollen Resources of Various Stingless Bees (Hym., Meliponinae) and Honeybees (Hym., Apinae) in Trinidad, West-Indies. Apidologie 14:205-224. Sulaksono S, Suryadi T, Suhendar B, Nismah, Susilohadi RCH. 1986. Biologi Apis cerna dengan tekanan pada kegiatan mencari makan. Prosiding Lokakarya: Pembudidayaan Lebah Madu untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Perum Perhutani. Hal 49-64. Sunanto H. 1993. Budidaya Pala Komoditas Ekspor. Yogyakarta: Kanisius Sunarjono HH. 1998. Prospek Berkebun Buah. Jakarta: Penebar Swadaya. Sunarjono HH. 2005. Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Jakarta : Penebar Swadaya. Suranto A. 2007. Terapi Madu. Jakarta: Penebar Plus. Suranto A. 2008. Khasiat dan Manfaat Madu Herbal. Jakarta: Agromedia Pustaka. Syariefa et al. 2010. Propolis dari Lebah Tanpa Sengat Cara Ternak dan Olah. Jakarta: PT Trubus Swadaya. Tohir K. 1981. Bercocok Tanam Pohon Buah-buahan. Jakarta: Pranya Paramita. Wallace HM. 2010. Resin-foraging by colonies of Trigona sapiens and T. hockingsi (Hymenoptera: Apidae, Meliponini) and consequent seed dispersal of Corymbia torelliana (Myrtaceae). Apidologie 41:428-435. Walpole RE. 1995. Pengantar Statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Widhiono I. 1986. Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap penambahan sel dalam sisiran lebah madu. Prosiding Lokakarya: Pembudidayaan Lebah Madu untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Perum Perhutani. Hal 21-32. 54 Wille A. 1964. Notes on a Primitive Stingless Bee, Trigona (Nogueirapis) mirandula. Rev Biol Trop 12:117-151. LAMPIRAN 56 Lampiran 1 Uji t terhadap Bobot Koloni Bobot Koloni Taraf 5% Two-Sample T-Test and CI: Monokultur, Polikultur Two-sample T for Monokultur vs Polikultur Monokultur Polikultur N 13 13 Mean 95.5 61.3 StDev 10.8 11.7 SE Mean 3.0 3.3 Difference = mu (Monokultur) - mu (Polikultur) Estimate for difference: 34.23 95% CI for difference: (25.07, 43.39) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 7.73 = 23 P-Value = 0.000 DF P-Value = 0.017 DF Lampiran 2 Uji t terhadap waktu dan aktivitas Waktu dan Aktivitas Taraf 5 % Two-Sample T-Test and CI: Monokultur, Polikultur Two-sample T for Monokultur vs Polikultur Monokultur Polikultur N 24 24 Mean 36.5 24.88 StDev 20.9 8.96 SE Mean 4.3 1.8 Difference = mu (Monokultur) - mu (Polikultur) Estimate for difference: 11.67 95% CI for difference: (2.19, 21.14) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.51 = 31 Lampiran 3 Uji t terhadap lingkungan dan aktivitas 57 Lingkungan dan Aktivitas Taraf 5% Two-Sample T-Test and CI: Monokultur, Polikultur Two-sample T for Monokultur vs Polikultur Monokultur Polikultur N 24 24 Mean 36.5 25.00 StDev 20.9 8.99 SE Mean 4.3 1.8 Difference = mu (Monokultur) - mu (Polikultur) Estimate for difference: 11.48 95% CI for difference: (2.01, 20.94) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.47 = 31 P-Value = 0.019 DF 58 Lampiran 4 Lokasi penelitian Kebun Monokultur Kebun Polikultur Lampiran 5 Lay out kebun percobaan tanaman pala