4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jeruk Tanaman jeruk (Citrus spp.) merupakan tanaman hortikultura dataran tinggi tropis yang beriklim kering. Jeruk dikenal berasal dari Asia Tenggara, yaitu India, Cina Selatan, dan beberapa jenis dari Florida, Australia Utara, dan Kaledonia. Jeruk memiliki banyak spesies dari enam genus, yakni Citrus, Microcitrus, Fortunella, Poncirus, Cymedia, dan Eremocirus. Namun, yang memiliki nilai ekonomi tinggi hanyalah Citrus. Tanaman jeruk dapat ditanam di dataran rendah hingga dataran tinggi pada suhu antara 20-30 0 C. Jeruk keprok baik ditanam di ketinggian antara 100-1.300 meter diatas permukaan laut (mdpl); jeruk manis antara 700-1.300 mdpl; dengan iklim kering dan berada di tempat tebuka. Jeruk besar antara 70-600 mdpl; dan jeruk nipis antara 200-600 mdpl. Di dataran tinggi, jeruk besar akan menghasilkan buah yang rasanya pahit / tidak segar. Pada umumnya tanaman menghendaki tanah yang subur, gembur, dan banyak mengandung bahan organik, berporositas tinggi dengan pH tanah 5-6. Curah hujan sekitar 1500-2000 mm per tahun. Varietas Unggul Jeruk Varietas unggul yang dianjurkan untuk pengembangannya adalah keprok Garut, Tejakula, Soe, Keprok kacang, Jeruk besar Sikoneng, dan Bali. Namun, hingga kini belum ada varietas jeruk yang dilepas oleh pemerintah untuk tujuan pengembangan. Spesies jeruk yang penting, walaupun nilai ekonominya rendah adalah jeruk Rough Lemon (RL), jeruk Japansche Citroen (JC), Jeruk Tonsil (Poncirus trifoliata), Jeruk Uwik (C. cleopatra), dan Jeruk Tanim (C. aurantium). Hal ini dikarenakan jeruk tersebut digunakan sebagai batang bawah (rootstock) dalam perbanyakan jeruk. Tanaman jeruk diperbanyak dengan cara okulasi. Sebagai batang bawah digunakan semai nucellus (NS) dari varietas RL dan JC. Batang bawah semai jeruk Poncirus trifoliata, Royer citrange, dan Carizzo citrange yang merupakan hasil persilangan antara Poncirus trifoliata dengan Sweet orange atau jeruk manis belum digunakan walaupun hasilnya baik. Hal ini 5 5 dikarenakan biji jeruk Poncirus trifoliata dan kerabatnya sukar didapat karena bijinya masih diimpor. Bibit jeruk dapat ditanam pada umur 8-12 bulan yang tingginya antara 60-100 cm. Pupuk buatan berupa campuran Urea, TSP atau SP36 dn KCl yang diberikan secara teratur setiap tiga bulan sekali (Sunarjono 2004). Jeruk Japanshe Citroen (Citrus limonia Osbeck) Jeruk Japanshe Citroen (Citrus limonia Osbeck) atau sering disebut JC merupakan varietas hibrida yang dihasilkan dari persilangan antara Citroes nobilis (keprok) X Citroes medica (lemon). JC bersifat tahan terhadap kekeringan, dapat merangsang pembentukan buah lebih awal dari biasanya dan menghasilkan produksi tinggi dengan kualitas yang baik. Jenis ini kurang toleran terhadap penyakit Busuk Pangkal Batang. Menurut Masyarakat, jeruk JC mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pohon tegar dan produktif, ukuran sedang, cabang menyebar dan merunduk, duri kecil dan sedikit 2. Daun berwarna hijau gelap, aroma daun menyengat, pupus warna ungu 3. Bunga berukuran kecil hingga sedang, putik dan kelopak bunga berwarna ungu tua 4. Buah kecil hingga sedang, warna kulit buah bila masak kekuningan sampai jingga kemerahan 5. Biji jumlahnya banyak, berukuran kecil dan warna keping biji hijau muda, setiap buah berisi 8-10 biji 6. Tanah kekeringan 7. Daya dukung terhadap batang atas baik dan cepat menghasilkan buah yang berkualitas sedang hingga baik 8. Peka terhadap Phytophthora, Exocortis,dan Xyloporosis 9. Tahan terhadap Psorosis dan agak tahan terhadap Tristeza. JC memiliki kevigoran yang tinggi, ukuran biji sedang (diameter 0.5), mudah beradaptasi tetapi buahnya sangat masam dan kurang layak untuk dikonsumsi, oleh karena itu direkomendasikan sebagai batang bawah. 6 6 Batang bawah JC memiliki kompatibilitas yang baik. Penggunaan batang bawah JC bersifat lebih mendorong pertumbuhan vegetatif batang atas dibandingkan dengan Rough Lemon. Penyakit Busuk Pangkal Batang Gejala Busuk Pangkal Batang Penyakit busuk pangkal batang atau disebut “blendok” atau “gumosis” tersebar luas dan terdapat di semua sentra budidaya jeruk di seluruh dunia. Penyakit ini memiliki bermacam-macam nama, antara lain foot root atau busuk kaki, brown root gummosis, Pythiacystis gummosis. Di Indonesia adanya penyakit ini telah dilaporkan dari Sumatera, Jawa, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Gejala ini dimulai dari kulit batang berwarna kebasah-basahan dan mengeluarkan blendok (gom) encer. Pada umumnya pembusukan mulai dari tempat menempelnya batang atas untuk tanaman asal biji (semai) pada aras permukaan tanah. Penyakit BPB jeruk dapat disebabkan oleh Phytophthora spp., Diplodia atau Botryodiplodia spp. Menurut laporan Erwin & Ribeiro (1996), terdapat 11 spesies Phytophthora yang dapat diisolasi dari pohon jeruk sakit, yaitu P. boehmeriae, P. cactorum, P. cinnamoni, P. citricola, P. citrophthora, P. drecshleri, P. hibernalis, P. megasperma, P. palmivora, P. parasitica (P.nicotianae), dan P. shyringae. Namun di Indonesia dilaporkan terdapat tiga spesies Phytophthora yang penting yaitu P. parasitica Dast. ( P. nicotianae ), P palmivora, dan P. citrophthora. Jika bagian yang busuk dipotong, terlihat jelas bahwa jaringan bawahnya berwana coklat kemerahan. Terjadi perubahan warna yang meluas melewati kambium sampai ke kayu. Kemudian kulit mati dan mengelupas. Pada umumnya dikelilingi oleh jaringan kalus. Tetapi di tepi luka terjadi serangan baru sehingga luka dapat membesar. Penyakit ini dapat juga meluas hingga ke akar sehingga menjadi busuk dan mengeluarkan bau asam. Tanaman yang sakit keras sering 7 7 membentuk bunga salah waktu yang diikuti pembentukan buah. Tetapi buah ini tidak dapat menjadi besar dan rasanya pun tidak enak. Inilah fase pembentukan bunga dan buah yang terakhir. Sedangkan penyakit kulit Diplodia juga menyerang pertanaman jeruk yang gejalanya hampir sama dengan penyakit busuk pangkal batang. Di Indonesia, penyakit ini terdapat di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan. Jeruk besar (Pamelo) merupakan jenis jeruk yang paling banyak diserang oleh penyakit ini. Pada jeruk dikenal dua macam serangan Diplodia, yaitu Diplodia basah dan Diplodia kering. Gejala pada Diplodia basah yaitu keluarnya blendok atau gom yang berwarna kuning dari batang atau cabang-cabang besar. Kemudian kulit yang sakit mengelupas dan menjadi sembuh. Tetapi sering penyakit berkembang terus, sehingga pada kulit terjadi luka yang tidak teratur, yang luas tapi dangkal. Patogen berkembang di antara kulit dan kayu, merusak kambium sehingga cabang segera digelang dan mati. Pada persemaian sering terjadi infeksi pada tempelan-tempelan (okulasi) baru, patogen masuk melalui luka. Sedangkan Diplodia kering ini lebih berbahaya, karena gejalanya sulit diketahui. Kulit mengering dan jika dipotong kulit dan kayu di bawahnya berwarna hitam kehijauan. Kulit yang sakit membentuk celah-celah kecil, dari dalamnya keluar massa spora yang semula berwana putih tetapi akhirnya berwarna hitam. Bagian yang sakit meluas dengan sangat cepat. Biasanya infeksi baru diketahui jika daun-daun telah menguning, sehingga batang atau cabang yang sakit tidak dapat ditolong lagi. Penyebab Busuk Pangkal Batang Penyebab penyakit busuk pangkal batang disebabkan oleh beberapa jenis phytophthora, diantaranya P. nicotianae B. De Haan var. parasitica (Dast.) Waterh., yang dahulu disebut P. parasitica Dast., P. citrophthora (R.E. Sm. et E.H. Sm.) Leonian yang dulu disebut Pythiacystis citrophthora R. E (R.E. Sm. Et E.H. Sm.)., dan P. palmivora (Butl.) Butl. Sedangkan penyebab penyakit kulit Diplodia adalah Botryodiplodia theobromae yang dulu disebut Lasiodiplodia 8 8 theobromae (Pat.) Griff. Et Maubl., yang dulu dikenal dengan nama Diplodia natalensis P. Evans. Daur Penyakit Dalam daur penyakit, Phytophthora dapat bertahan pada tanah dan membentuk sporangium dan spora kembara terutama dipencarkan oleh air hujan dan air yang mengalir dipermukaan tanah. Infeksi terjadi melalui luka alami maupun buatan karena alat-alat pertanian maupun hewan termasuk seranggga. Sedangkan patogen penyebab penyakit kulit Diplodia sampai sekarang belum dikatahui daur penyakit dengan jelas karena Botryodiplodia merupakan cendawan yang polifag, menyerang bermacam-macam tumbuhan. Patogen ini termasuk parasit lemah yang mengadakan infeksi melalui luka-luka mekanis akibat pemangkasan. Konidium B. theobromae dapat dipencarkan oleh air dan serangga. Sifat Umum Phytophthora spp. Morfologi Phytophthora spp. Morfologi P. nicotianae var parasiticia sporangiumnya berbentuk jorong sampai agak bulat, berbentuk buah pir, 20-67 X 14-37 (42,5X 25,7) µm dengan sporangiofor lebih halus dari pada hifa yang lebarnya 9 µm. Spora mempunyai dua bulu cambuk (flagela) sehingga bisa bergerak dalam air, dan patogen dapat membentuk klamidospora bulat, berdinding agak tebal dengan garis tengah 20-60 µm. Sporangium dapat berkecambah secara tidak langsung dan mengeluarkan 1824 spora kembara (zoospora) atau berkembang langsung dengan membentuk pembuluh kecambah. Klamidospora terbentuk pada interkalar atau terminal. Koloni pada PDA berbentuk arachnoid, tapi pada media V8 agar lebih halus atau seperti benang. P. citrophthora sporangiumnya berbentuk jorong atau berbentuk sitrun, dan terbentuk pada bagian tengah atau ujung sporangiofor. Sporangiofor bercabang tidak teratur. Spora mempunyai 2 bulu cambuk. Patogen juga dapat 9 9 membentuk klamidospora. Pada media PDA, koloni petallate, sedangkan pada cornmeal agar, koloni stellate, lamose, indeterminate antara rosette dan lanose (Erwin & Ribeiro 1996). Sporangia P. citrophthora lebih panjang dibandingkan sporangia P. palmivora tetapi memiliki bentuk sporangia yang sangat bervariasi. P. citrophthora tidak menghasilkan oospora, temperatur optimum untuk pertumbuhan miselia yaitu 34-380C. P. palmivora mempunyai sporangium jorong, dan dapat membentuk klamidospora. P. palmivora dapat bertahan dalam tanah dan membentuk spora kembara. Penyebaran terutama oleh hujan dan air pengairan yang mengalir di atas permukaan tanah. Penyakit busuk pangkal batang lebih banyak menyerang kebun dengan ketinggian lebih dari 400 mdpl, pada tanah - tanah yang basah, seperti tanah lempung berat yang dapat menahan air lebih lama. Patogen masuk lewat luka pada pangkal batang (penyebaran oleh oospora melalui luka alamiah, luka karena alat pertanian, atau luka oleh serangga). Infeksi terjadi terutama pada musim hujan dan dibantu oleh pH tanah agak asam (6,0 6,5). Infeksi patogen juga dibantu oleh kabut dan fluktuasi suhu yang kecil yang akan memperlambat penguapan. Karakter koloni pada umumnya mempunyai pinggiran yang tidak rata dan berwarna putih, tipe rosaceous, stellate, cottony (Erwin & ribeiro 1996). Menghasilkan klamidospora yang berlimpah, Oospora berukuran 22-29 µm, dan temperatur optimum untuk pertumbuhan miselia yaitu 37-30 0 C. Diantara ketiga spesies Phytophthora yang menyerang jeruk P. citrophthora aktif pada suhu moderat yaitu kurang dari 30 nicotianae aktif pada suhu tinggi yaitu diatas 30 0 0 C, sedangkan P. C (Erwin & Ribeiro 1996). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa pada iklim mediteranian, misalnya di California P. citrophthora aktif selama musim dingin dan musim semi, tetapi tidak pada musim panas, sebaliknya P. parasitica kebanyakan aktif selama musim panas. P. hibernalis dan P. shyringae merupakan patogen pada suhu rendah yang aktif pada suhu 15 sampai 20 0C. Pada umumnya P. palmivora menyerang jeruk 10 10 didaerah tropis dan kadang-kadang subtropis dan bagian mediteranian selama musim panas dan lembab (Timmer et al 2000). Siklus Hidup Patogen Gambar 1 Siklus Hidup Phytophthora spp. (http://www.library.usu.ac.id) P. citrophthora merupakan patogen saprofit fakultatif. Jika tanahnya dalam keadaan lembab maka memungkinkan patogen untuk melakukan infeksi. Cendawan dapat bertahan dalam tanah atau akar yang telah rusak atau membusuk dalam bentuk klamidospora atau oospora. Klamidospora berkecambah ketika ada kelembapan dan segera membentuk sporangia. Infeksi biasanya melalui zoospora yang dikeluarkan dari sporangia ketika kelembapan tinggi. Zoospora tertarik pada luka atau bagian ujung akar yang memanjang tempat zoospora akan berkecambah dan melakukan penetrasi secara pasif. 11 11 Sifat Umum Botryodiplodia theobromae Morfologi Botryodiplodia theobromae Botryosphaeriaceae merupakan kelompok cendawan yang memuat sejumlah spesies yang tersebar pada beberapa genus anamorp, diantaranya yang paling dikenal adalah Diplodia, Lasiodiplodia,Neofusicoccum, pseudofusicoccum,Dothiorella, dan Sphaeropsi. Anggota ini memiliki distribusi yang sangat luas. Kelompok cendawan dapat berperan sebagai saprofit, parasit, dan endofit (Begoude et al 2009). Berdasarkan gejalanya, Diplodia dibedakan menjadi Diplodia basah dan Diplodia kering. Pada Diplodia basah B. theobromae membentuk piknidium yang tersebar, mula-mula tertutup, lalu pecah dan berwarna hitam, konidium jorong bersekat satu, berwarna gelap, rata-rata ukuran 24 x 15 µm. Kemungkinan Diplodia kering juga disebabkan oleh spesies patogen yang sama Diplodia natalensis P.Evans dianggap identik dengan D. zeae (Schw) Lev., dan keduanya identik dengan D. theobromae (Pat) Nowell (Wellman 1972) dan seterusnya dikatakan bahwa ketiganya adalah identik dengan Botryodiplodia theobromae pat. meskipun belum diketahui pada inang yang berbeda apakah antara Diplodia natalensis dengan Botryodiplodia theobromae memiliki patogenesitas yang sama. D. natalensis memiliki piknidium berwarna hitam dan letaknya tersebar, tidak memiliki stroma dibedakan dengan Botryodiplodia yang memiliki piknidium berkumpul dan berstroma. Siklus Hidup Patogen Spora (konidia) berkecambah membentuk miselium berkembang menjadi piknidia atau badan buah aseksual, dalam piknidia dihasilkan konidia, kumpulan dari piknidia ini disebut stroma. Sifat Umum Trichoderma sp. Trichoderma sp. merupakan sejenis cendawan / fungi yang termasuk kelas ascomycetes. Trichoderma sp. memiliki aktivitas antifungal. Pada umunya, 12 12 Trichoderma banyak ditemukan di tanah hutan maupun tanah pertanian atau pada substrat berkayu. Suhu optimum untuk tumbuhnya Trichoderma berbeda-beda setiap spesiesnya. Ada beberapa spesies yang dapat tumbuh pada temperatur rendah ada pula yang tumbuh pada temperatur cukup tinggi, kisarannya sekitar 7 °C – 41 °C. Trichoderma yang dikultur dapat tumbuh cepat pada suhu 25-30 °C, namun pada suhu 35 °C cendawan ini tidak dapat tumbuh. Perbedaan suhu mempengaruhi produksi beberapa enzim seperti karboksimetilselulase dan xilanase. Pada Trichoderma yang dikultur, Morfologi koloninya bergantung pada media tempat bertumbuh. Pada media yang nutrisinya terbatas, koloni tampak transparan, sedangkan pada media yang nutrisinya lebih banyak, koloni dapat terlihat lebih putih. Konidia dapat terbentuk dalam satu minggu, warnanya dapat kuning, hijau atau putih. Pada beberapa spesies dapat diproduksi semacam bau seperti permen atau kacang. Reproduksi aseksual Trichoderma menggunakan konidia. Konidia terdapat pada struktur konidiofor. Konidiofor ini memiliki banyak cabang. Cabang utama akan membentuk cabang. Ada yang berpasangan ada yang tidak. Cabang tersebut kemudian akan bercabang lagi, pada ujung cabang terdapat fialid. Fialid dapat berbentuk silindris, lebarnya dapat sama dengan batang utama ataupun lebih kecil. Fialid dapat terletak pada ujung cabang konidiofor ataupun pada cabang utama. Konidia secara umum kering, namun pada beberapa spesies dapat berwujud cairan yang berwarna hijau bening atau kuning. Bentuknya secara umun adalah elips, jarang ditemukan bentuk globosa. Secara umum konidia bertekstur halus. Pada Trichoderma juga ditemukan struktur klamidospora. Klamidospora ini diproduksi oleh semua spesies Trichoderma. Bentuknya secara umum subglobosa uniseluler dan berhifa, pada beberapa spesies, klamidosporanya berbentuk multiseluler. Kemampuan Trichoderma dalam memproduksi klamidospora merupakan aspek penting dalam proses sporulasi. Kemampuan dan mekanisme Trichoderma dalam menghambat pertumbuhan patogen secara rinci bervariasi pada setiap spesiesnya. Perbedaan kemampuan ini disebabkan oleh 13 13 faktor ekologi yang membuat produksi bahan metabolit yang bervariasi pula. Trichoderma memproduksi metabolit yang bersifat volatil dan non volatil. Metabolit non volatil lebih efektif dibandingkan dengan yang volatil. Metabolit yang dihasilkan Trichoderma dapat berdifusi melalui membran dialisis yang kemudian dapat menghambat pertumbuhan beberapa patogen. Salah satu contoh metabolit tersebut adalah monooksigenase yang muncul saat adanya kontak antar jenis Trichoderma, dan semakin optimal pada pH 4. Ketiadaan metabolit ini tidak akan mengubah morfologi dari Trichoderma namun hanya akan menurunkan kemampuan penghambatan patogen. Trichoderma harzianum merupakan salah satu contoh yang paling banyak dipelajari karena memiliki aktivitas antifungal yang tinggi. T. harzianum dapat memproduksi enzim litik dan antibiotik antifungal. Selain itu T. harzianum juga dapat berkompetisi dengan patogen dan dapat membantu pertumbuhan tanaman. T. harzianum memiliki kisaran penghambatan yang luas karena dapat menghambat berbagai jenis fungi. Trichoderma harzianum memproduksi metabolit seperti asam sitrat, etanol, dan berbagai enzim seperti urease, selulase, glukanase, dan kitinase. Hasil metabolit ini dipengaruhi kandungan nutrisi yang terdapat dalam media. T. harzianum dapat memproduksi beberapa pigmen yang bervariasi pada media tertentu seperti pigmen ungu yang dihasilkan pada media yang mengandung amonium oksalat, dan pigmen jingga yang dihasilkan pada media yang mengandung gelatin atau glukosa, serta pigmen merah pada medium cair yang mengandung glisin dan urea. Saat berada pada kondisi yang kaya akan kitin, Trichoderma harzianum memproduksi protein kitinolitik dan enzim kitinase. Enzim ini berguna untuk meningkatkan efisiensi aktivitas biokontrol terhadap patogen yang mengandung kitin. Sifat Umum Gliocladium sp. Gliocladium sp. mempunyai konidifor tegak, muncul dari substrat atau dari hifa, bersepta bening dan tidak berwarna, bercabang pada ujungnya, mempunyai 14 14 bentuk peniculate dan kepalanya menghasilkan spora licin, sel spora genus fialid dan kadang-kadang berbentuk botol, konvek pada satu sisi fialosporanya berwarna kuning (Barnett and Hunter 1998). Gliocladium sp. memiliki konidiofor yang bersepta dan bercabang ke atas dengan struktur sikat yang penicilate. Masingmasing percabangan membentuk alur berputar yang memiliki 4-5 kelompok konidia. Konidia berbentuk lonjong sampai pipih dan hialin. Gliocladium mirip penicilium akan tetapi percabangan yang menyangga massa spora seolah-olah terikat atau konidia dalam satu kepala konidia (Barnett and Hunter, 1998). Cendawan Gliocladium sp. memarasit inangnya dengan cara menutupi atau membungkus patogen, memproduksi enzim-enzim dan menghancurkan dinding sel patogen hingga patogen mati. Gliocladium sp. dapat hidup baik sebagai saprofit maupun parasit pada cendawan lain, dapat berkompetisi akan makanan, dapat menghasilkan zat penghambat dan bersifat hiperparasit. Mekanisme antagonistik dari Gliocladium sp. terhadap organisme lain adalah hiperparasitisme, antibiosis dan lisis atau kombinasi keduanya. Cendawan ini pertama kali dilaporkan memproduksi bahan anti cendawan (Anti Fungal) gliotoxin dan virin. Hubungan antagonisme antara agens antagonis dengan patogen dapat terjadi melalui beberapa hal yaitu parasitisme, antibiosis, kompetisi, predasi dan lisis. Gliocladium sp. dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tular tanah, termasuk penyakit damping off pada kacang buncis dan kubis, bercak daun pada tomat dan penyakit penyemaian pada tanaman kapas Pengendalian Penyakit Pengendalian terpadu lebih diutamakan dalam memperoleh hasil maksimal yaitu penerapan pengendalian secara kultur teknis, mekanis atau fisik, biologi, genetika, dan kimia (agrios 2005), strategi utama dalam mengendalikan penyakit ini antara lain dengan menggunakan bibit tanaman yang sehat, menghindari terjadinya luka, meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah, dan pengendalian kimiawi dengan produk sistemik. Meskipun demikian, penggunaan kultivar resisten merupakan metode yang paling ekonomis dan efisien untuk mengendalikan penyakit ini. 15 15 Pengendalian kultur teknis, pengendalian penyakit yang dianjurkan adalah menanam jeruk diatas gundukan-gundukan setinggi 20-25 cm, tetapi tanaman tidak dibumbun agar batang atas tidak berhubungan dengan tanah. Selain itu menggunakan benih dengan mata tempel setingi 30-35 cm dari permukaan tanah, untuk mengurangi kemungkinan batang atas yang rentan terinfeksi cendawan tanah. Mengurangi kelembapan kebun dan mengatur drainase, jarak tanam, pemangkasan, dan sanitasi lingkungan atau kebun. Menghindari terjadinya pelukaan pada akar maupun pangkal batang pada waktu pemeliharaan atau penyiangan, pengamatan pangkal batang jeruk secara teliti dan teratur, terutama pada musim hujan, agar gejala penyakit dapat diketahui secara dini. pH tanah diusahakan agar lebih dari 6,5 dengan pemberian dolomit. Secara mekanis, membongkar tanaman yang terserang berat, kemudian dibakar. Memotong atau membuang bagian tanaman sakit, termasuk 1-3 cm bagian kulit sekitarnya yang sehat, kemudian diolesi fungisidsa 6.2 % karbendazim ditambah dengan 73.8% mankozeb atau tembaga oksiklorida; menggunakan kaki ganda dengan teknik samping (aaneting) dengan batang bawah sehat. Secara biologi, menggunakan agens antagonis cendawan Trichoderma sp. atau Gliocladium sp. yang dicampur dengan pupuk kandang atu kompos. Secara genetika, penggunaan varietas tahan terhadap phytophthora spp. Misalnya poncirus trifoliate dan Cleopatra mandarin; varietas tahan terhadap phytophthora dan salinitas, yaitu taiwanica dan citromello 4475. Secara kimiawi, mengolesi pangkal batang dan akar-akar yang tampak dari luar dengan ter (Carbolineum plantarum 50%) sampai setinggi 50 cm. Perlakuan tersebut dimulai tahun ketiga setelah penanaman dan setiap awal musim hujan. Agar batang yang berwarna hitam tidak banyak menyerap panas sehingga kulitnya rusak. Maka bagian yang diberi ter ditutup dengan larutan kapur yang ditambah dengan garam dapur, mengolesi luka dengan bubur kalifornia, bubur bordeux, carbolineum:paraffin (8:92), mankozeb, atau tembaga oksiklorida, kemudian luka ditutup dengan obat penutup luka, seperti ter, setelah kulit mengalami regenerasi.