Identifikasi penyebab busuk pangkal batang jeruk

advertisement
4
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Jeruk
Tanaman jeruk (Citrus spp.) merupakan tanaman hortikultura dataran
tinggi tropis yang beriklim kering. Jeruk dikenal berasal dari Asia Tenggara, yaitu
India, Cina Selatan, dan beberapa jenis dari Florida, Australia Utara, dan
Kaledonia. Jeruk memiliki banyak spesies dari enam genus, yakni Citrus,
Microcitrus, Fortunella, Poncirus, Cymedia, dan Eremocirus. Namun, yang
memiliki nilai ekonomi tinggi hanyalah Citrus.
Tanaman jeruk dapat ditanam di dataran rendah hingga dataran tinggi pada
suhu antara 20-30 0 C. Jeruk keprok baik ditanam di ketinggian antara 100-1.300
meter diatas permukaan laut (mdpl); jeruk manis antara 700-1.300 mdpl; dengan
iklim kering dan berada di tempat tebuka. Jeruk besar antara 70-600 mdpl; dan
jeruk nipis antara 200-600 mdpl. Di dataran tinggi, jeruk besar akan menghasilkan
buah yang rasanya pahit / tidak segar. Pada umumnya tanaman menghendaki
tanah yang subur, gembur, dan banyak mengandung bahan organik, berporositas
tinggi dengan pH tanah 5-6. Curah hujan sekitar 1500-2000 mm per tahun.
Varietas Unggul Jeruk
Varietas unggul yang dianjurkan untuk pengembangannya adalah keprok
Garut, Tejakula, Soe, Keprok kacang, Jeruk besar Sikoneng, dan Bali. Namun,
hingga kini belum ada varietas jeruk yang dilepas oleh pemerintah untuk tujuan
pengembangan. Spesies jeruk yang penting, walaupun nilai ekonominya rendah
adalah jeruk Rough Lemon (RL), jeruk Japansche Citroen (JC), Jeruk Tonsil
(Poncirus trifoliata), Jeruk Uwik (C. cleopatra), dan Jeruk Tanim (C. aurantium).
Hal ini dikarenakan jeruk tersebut digunakan sebagai batang bawah (rootstock)
dalam perbanyakan jeruk. Tanaman jeruk diperbanyak dengan cara okulasi.
Sebagai batang bawah digunakan semai nucellus (NS) dari varietas RL dan JC.
Batang bawah semai jeruk Poncirus trifoliata, Royer citrange, dan Carizzo
citrange yang merupakan hasil persilangan antara Poncirus trifoliata dengan
Sweet orange atau jeruk manis belum digunakan walaupun hasilnya baik. Hal ini
5
5
dikarenakan biji jeruk Poncirus trifoliata dan kerabatnya sukar didapat karena
bijinya masih diimpor. Bibit jeruk dapat ditanam pada umur 8-12 bulan yang
tingginya antara 60-100 cm. Pupuk buatan berupa campuran Urea, TSP atau SP36 dn KCl yang diberikan secara teratur setiap tiga bulan sekali (Sunarjono 2004).
Jeruk Japanshe Citroen (Citrus limonia Osbeck)
Jeruk Japanshe Citroen (Citrus limonia Osbeck) atau sering disebut JC
merupakan varietas hibrida yang dihasilkan dari persilangan antara Citroes nobilis
(keprok) X Citroes medica (lemon). JC bersifat tahan terhadap kekeringan, dapat
merangsang pembentukan buah lebih awal dari biasanya dan menghasilkan
produksi tinggi dengan kualitas yang baik. Jenis ini kurang toleran terhadap
penyakit Busuk Pangkal Batang.
Menurut Masyarakat, jeruk JC mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pohon tegar dan produktif, ukuran sedang, cabang menyebar dan
merunduk, duri kecil dan sedikit
2. Daun berwarna hijau gelap, aroma daun menyengat, pupus warna ungu
3. Bunga berukuran kecil hingga sedang, putik dan kelopak bunga berwarna
ungu tua
4. Buah kecil hingga sedang, warna kulit buah bila masak kekuningan
sampai jingga kemerahan
5. Biji jumlahnya banyak, berukuran kecil dan warna keping biji hijau
muda, setiap buah berisi 8-10 biji
6. Tanah kekeringan
7. Daya dukung terhadap batang atas baik dan cepat menghasilkan buah
yang berkualitas sedang hingga baik
8. Peka terhadap Phytophthora, Exocortis,dan Xyloporosis
9. Tahan terhadap Psorosis dan agak tahan terhadap Tristeza.
JC memiliki kevigoran yang tinggi, ukuran biji sedang (diameter 0.5),
mudah beradaptasi tetapi buahnya sangat masam dan kurang layak untuk
dikonsumsi, oleh karena itu direkomendasikan sebagai batang bawah.
6
6
Batang bawah JC memiliki kompatibilitas yang baik. Penggunaan batang
bawah JC bersifat lebih mendorong pertumbuhan vegetatif batang atas
dibandingkan dengan Rough Lemon.
Penyakit Busuk Pangkal Batang
Gejala Busuk Pangkal Batang
Penyakit busuk pangkal batang atau disebut “blendok” atau “gumosis”
tersebar luas dan terdapat di semua sentra budidaya jeruk di seluruh dunia.
Penyakit ini memiliki bermacam-macam nama, antara lain foot root atau busuk
kaki, brown root gummosis, Pythiacystis gummosis. Di Indonesia adanya penyakit
ini telah dilaporkan dari Sumatera, Jawa, Kalimantan Timur, dan Sulawesi
Selatan. Gejala ini dimulai dari kulit batang berwarna kebasah-basahan dan
mengeluarkan blendok (gom) encer. Pada umumnya pembusukan mulai dari
tempat menempelnya batang atas untuk tanaman asal biji (semai) pada aras
permukaan tanah.
Penyakit BPB jeruk dapat disebabkan oleh Phytophthora spp., Diplodia
atau Botryodiplodia spp. Menurut laporan Erwin & Ribeiro (1996), terdapat 11
spesies Phytophthora yang dapat diisolasi dari pohon jeruk sakit, yaitu P.
boehmeriae, P. cactorum, P. cinnamoni, P. citricola, P. citrophthora, P.
drecshleri, P. hibernalis, P. megasperma, P. palmivora, P. parasitica
(P.nicotianae), dan P. shyringae. Namun di Indonesia dilaporkan terdapat tiga
spesies Phytophthora yang penting yaitu P. parasitica Dast. ( P. nicotianae ), P
palmivora, dan P. citrophthora.
Jika bagian yang busuk dipotong, terlihat jelas bahwa jaringan bawahnya
berwana coklat kemerahan. Terjadi perubahan warna yang meluas melewati
kambium sampai ke kayu. Kemudian kulit mati dan mengelupas. Pada umumnya
dikelilingi oleh jaringan kalus. Tetapi di tepi luka terjadi serangan baru sehingga
luka dapat membesar. Penyakit ini dapat juga meluas hingga ke akar sehingga
menjadi busuk dan mengeluarkan bau asam. Tanaman yang sakit keras sering
7
7
membentuk bunga salah waktu yang diikuti pembentukan buah. Tetapi buah ini
tidak dapat menjadi besar dan rasanya pun tidak enak. Inilah fase pembentukan
bunga dan buah yang terakhir.
Sedangkan penyakit kulit Diplodia juga menyerang pertanaman jeruk yang
gejalanya hampir sama dengan penyakit busuk pangkal batang. Di Indonesia,
penyakit ini terdapat di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi Selatan. Jeruk besar
(Pamelo) merupakan jenis jeruk yang paling banyak diserang oleh penyakit ini.
Pada jeruk dikenal dua macam serangan Diplodia, yaitu Diplodia basah dan
Diplodia kering. Gejala pada Diplodia basah yaitu keluarnya blendok atau gom
yang berwarna kuning dari batang atau cabang-cabang besar. Kemudian kulit
yang sakit mengelupas dan menjadi sembuh.
Tetapi sering penyakit berkembang terus, sehingga pada kulit terjadi luka
yang tidak teratur, yang luas tapi dangkal. Patogen berkembang di antara kulit dan
kayu, merusak kambium sehingga cabang segera digelang dan mati. Pada
persemaian sering terjadi infeksi pada tempelan-tempelan (okulasi) baru, patogen
masuk melalui luka. Sedangkan Diplodia kering ini lebih berbahaya, karena
gejalanya sulit diketahui. Kulit mengering dan jika dipotong kulit dan kayu di
bawahnya berwarna hitam kehijauan. Kulit yang sakit membentuk celah-celah
kecil, dari dalamnya keluar massa spora yang semula berwana putih tetapi
akhirnya berwarna hitam. Bagian yang sakit meluas dengan sangat cepat.
Biasanya infeksi baru diketahui jika daun-daun telah menguning, sehingga batang
atau cabang yang sakit tidak dapat ditolong lagi.
Penyebab Busuk Pangkal Batang
Penyebab penyakit busuk pangkal batang disebabkan oleh beberapa jenis
phytophthora, diantaranya P. nicotianae B. De Haan var. parasitica (Dast.)
Waterh., yang dahulu disebut P. parasitica Dast., P. citrophthora (R.E. Sm. et
E.H. Sm.) Leonian yang dulu disebut Pythiacystis citrophthora R. E (R.E. Sm. Et
E.H. Sm.)., dan P. palmivora (Butl.) Butl. Sedangkan penyebab penyakit kulit
Diplodia adalah Botryodiplodia theobromae yang dulu disebut Lasiodiplodia
8
8
theobromae (Pat.) Griff. Et Maubl., yang dulu dikenal dengan nama Diplodia
natalensis P. Evans.
Daur Penyakit
Dalam daur penyakit, Phytophthora dapat bertahan pada tanah dan
membentuk sporangium dan spora kembara terutama dipencarkan oleh air hujan
dan air yang mengalir dipermukaan tanah. Infeksi terjadi melalui luka alami
maupun buatan karena alat-alat pertanian maupun hewan termasuk seranggga.
Sedangkan patogen penyebab penyakit kulit Diplodia sampai sekarang
belum dikatahui daur penyakit dengan jelas karena Botryodiplodia merupakan
cendawan yang polifag, menyerang bermacam-macam tumbuhan. Patogen ini
termasuk parasit lemah yang mengadakan infeksi melalui luka-luka mekanis
akibat pemangkasan. Konidium B. theobromae dapat dipencarkan oleh air dan
serangga.
Sifat Umum Phytophthora spp.
Morfologi Phytophthora spp.
Morfologi P. nicotianae var parasiticia sporangiumnya berbentuk jorong
sampai agak bulat, berbentuk buah pir, 20-67 X 14-37 (42,5X 25,7) µm dengan
sporangiofor lebih halus dari pada hifa yang lebarnya 9 µm. Spora mempunyai
dua bulu cambuk (flagela) sehingga bisa bergerak dalam air, dan patogen dapat
membentuk klamidospora bulat, berdinding agak tebal dengan garis tengah 20-60
µm. Sporangium dapat berkecambah secara tidak langsung dan mengeluarkan 1824 spora kembara (zoospora) atau berkembang langsung dengan membentuk
pembuluh kecambah. Klamidospora terbentuk pada interkalar atau terminal.
Koloni pada PDA berbentuk arachnoid, tapi pada media V8 agar lebih halus atau
seperti benang.
P. citrophthora sporangiumnya berbentuk jorong atau berbentuk sitrun,
dan terbentuk pada bagian tengah atau ujung sporangiofor. Sporangiofor
bercabang tidak teratur. Spora mempunyai 2 bulu cambuk. Patogen juga dapat
9
9
membentuk klamidospora. Pada media PDA, koloni petallate, sedangkan pada
cornmeal agar, koloni stellate, lamose, indeterminate antara rosette dan lanose
(Erwin & Ribeiro 1996). Sporangia P. citrophthora lebih panjang dibandingkan
sporangia P. palmivora tetapi memiliki bentuk sporangia yang sangat bervariasi.
P. citrophthora tidak menghasilkan oospora, temperatur optimum untuk
pertumbuhan miselia yaitu 34-380C.
P. palmivora mempunyai sporangium jorong, dan dapat membentuk
klamidospora. P. palmivora dapat bertahan dalam tanah dan membentuk spora
kembara. Penyebaran terutama oleh hujan dan air pengairan yang mengalir di atas
permukaan tanah. Penyakit busuk pangkal batang lebih banyak menyerang kebun
dengan ketinggian lebih dari 400 mdpl, pada tanah - tanah yang basah, seperti
tanah lempung berat yang dapat menahan air lebih lama.
Patogen masuk lewat luka pada pangkal batang (penyebaran oleh oospora
melalui luka alamiah, luka karena alat pertanian, atau luka oleh serangga). Infeksi
terjadi terutama pada musim hujan dan dibantu oleh pH tanah agak asam (6,0 6,5). Infeksi patogen juga dibantu oleh kabut dan fluktuasi suhu yang kecil yang
akan memperlambat penguapan. Karakter koloni pada umumnya mempunyai
pinggiran yang tidak rata dan berwarna putih, tipe rosaceous, stellate, cottony
(Erwin & ribeiro 1996). Menghasilkan klamidospora yang berlimpah, Oospora
berukuran 22-29 µm, dan temperatur optimum untuk pertumbuhan miselia yaitu
37-30 0 C.
Diantara ketiga spesies Phytophthora yang menyerang jeruk P.
citrophthora aktif pada suhu moderat yaitu kurang dari 30
nicotianae aktif pada suhu tinggi yaitu diatas 30
0
0
C, sedangkan P.
C (Erwin & Ribeiro 1996).
Selanjutnya dilaporkan pula bahwa pada iklim mediteranian, misalnya di
California P. citrophthora aktif selama musim dingin dan musim semi, tetapi
tidak pada musim panas, sebaliknya P. parasitica kebanyakan aktif selama musim
panas. P. hibernalis dan P. shyringae merupakan patogen pada suhu rendah yang
aktif pada suhu 15 sampai 20 0C. Pada umumnya P. palmivora menyerang jeruk
10
10
didaerah tropis dan kadang-kadang subtropis dan bagian mediteranian selama
musim panas dan lembab (Timmer et al 2000).
Siklus Hidup Patogen
Gambar 1 Siklus Hidup Phytophthora spp. (http://www.library.usu.ac.id)
P. citrophthora merupakan patogen saprofit fakultatif. Jika tanahnya
dalam keadaan lembab maka memungkinkan patogen untuk melakukan infeksi.
Cendawan dapat bertahan dalam tanah atau akar yang telah rusak atau membusuk
dalam bentuk klamidospora atau oospora. Klamidospora berkecambah ketika ada
kelembapan dan segera membentuk sporangia. Infeksi biasanya melalui zoospora
yang dikeluarkan dari sporangia ketika kelembapan tinggi. Zoospora tertarik pada
luka atau bagian ujung akar yang memanjang tempat zoospora akan berkecambah
dan melakukan penetrasi secara pasif.
11
11
Sifat Umum Botryodiplodia theobromae
Morfologi Botryodiplodia theobromae
Botryosphaeriaceae merupakan kelompok cendawan yang memuat
sejumlah spesies yang tersebar pada beberapa genus anamorp, diantaranya yang
paling
dikenal
adalah
Diplodia,
Lasiodiplodia,Neofusicoccum,
pseudofusicoccum,Dothiorella, dan Sphaeropsi. Anggota ini memiliki distribusi
yang sangat luas. Kelompok cendawan dapat berperan sebagai saprofit, parasit,
dan endofit (Begoude et al 2009).
Berdasarkan gejalanya, Diplodia dibedakan menjadi Diplodia basah dan
Diplodia kering. Pada Diplodia basah B. theobromae membentuk piknidium yang
tersebar, mula-mula tertutup, lalu pecah dan berwarna hitam, konidium jorong
bersekat satu,
berwarna gelap, rata-rata ukuran 24 x 15 µm. Kemungkinan
Diplodia kering juga disebabkan oleh spesies patogen yang sama Diplodia
natalensis P.Evans dianggap identik dengan D. zeae (Schw) Lev., dan keduanya
identik dengan D. theobromae (Pat) Nowell (Wellman 1972) dan seterusnya
dikatakan bahwa ketiganya adalah identik dengan Botryodiplodia theobromae pat.
meskipun belum diketahui pada inang yang berbeda apakah antara Diplodia
natalensis dengan Botryodiplodia theobromae memiliki patogenesitas yang sama.
D. natalensis memiliki piknidium berwarna hitam dan letaknya tersebar, tidak
memiliki stroma dibedakan dengan Botryodiplodia yang memiliki piknidium
berkumpul dan berstroma.
Siklus Hidup Patogen
Spora (konidia) berkecambah membentuk miselium berkembang menjadi
piknidia atau badan buah aseksual, dalam piknidia dihasilkan konidia, kumpulan
dari piknidia ini disebut stroma.
Sifat Umum Trichoderma sp.
Trichoderma sp. merupakan sejenis cendawan / fungi yang termasuk kelas
ascomycetes. Trichoderma sp. memiliki aktivitas antifungal. Pada umunya,
12
12
Trichoderma banyak ditemukan di tanah hutan maupun tanah pertanian atau pada
substrat berkayu. Suhu optimum untuk tumbuhnya Trichoderma berbeda-beda
setiap spesiesnya. Ada beberapa spesies yang dapat tumbuh pada temperatur
rendah ada pula yang tumbuh pada temperatur cukup tinggi, kisarannya sekitar
7 °C – 41 °C. Trichoderma yang dikultur dapat tumbuh cepat pada suhu 25-30 °C,
namun pada suhu 35 °C cendawan ini tidak dapat tumbuh. Perbedaan suhu
mempengaruhi produksi beberapa enzim seperti karboksimetilselulase dan
xilanase.
Pada Trichoderma yang dikultur, Morfologi koloninya bergantung pada
media tempat bertumbuh. Pada media yang nutrisinya terbatas, koloni tampak
transparan, sedangkan pada media yang nutrisinya lebih banyak, koloni dapat
terlihat lebih putih. Konidia dapat terbentuk dalam satu minggu, warnanya dapat
kuning, hijau atau putih. Pada beberapa spesies dapat diproduksi semacam bau
seperti permen atau kacang. Reproduksi aseksual Trichoderma menggunakan
konidia. Konidia terdapat pada struktur konidiofor. Konidiofor ini memiliki
banyak cabang. Cabang utama akan membentuk cabang. Ada yang berpasangan
ada yang tidak. Cabang tersebut kemudian akan bercabang lagi, pada ujung
cabang terdapat fialid. Fialid dapat berbentuk silindris, lebarnya dapat sama
dengan batang utama ataupun lebih kecil. Fialid dapat terletak pada ujung cabang
konidiofor ataupun pada cabang utama. Konidia secara umum kering, namun pada
beberapa spesies dapat berwujud cairan yang berwarna hijau bening atau kuning.
Bentuknya secara umun adalah elips, jarang ditemukan bentuk globosa. Secara
umum konidia bertekstur halus.
Pada Trichoderma juga ditemukan struktur klamidospora. Klamidospora
ini diproduksi oleh semua spesies Trichoderma. Bentuknya secara umum
subglobosa uniseluler dan berhifa, pada beberapa spesies, klamidosporanya
berbentuk
multiseluler.
Kemampuan
Trichoderma
dalam
memproduksi
klamidospora merupakan aspek penting dalam proses sporulasi. Kemampuan dan
mekanisme Trichoderma dalam menghambat pertumbuhan patogen secara rinci
bervariasi pada setiap spesiesnya. Perbedaan kemampuan ini disebabkan oleh
13
13
faktor ekologi yang membuat produksi bahan metabolit yang bervariasi pula.
Trichoderma memproduksi metabolit yang bersifat volatil dan non volatil.
Metabolit non volatil lebih efektif dibandingkan dengan yang volatil. Metabolit
yang dihasilkan Trichoderma dapat berdifusi melalui membran dialisis yang
kemudian dapat menghambat pertumbuhan beberapa patogen. Salah satu contoh
metabolit tersebut adalah monooksigenase yang muncul saat adanya kontak antar
jenis Trichoderma, dan semakin optimal pada pH 4. Ketiadaan metabolit ini tidak
akan mengubah morfologi dari Trichoderma namun hanya akan menurunkan
kemampuan penghambatan patogen.
Trichoderma harzianum merupakan salah satu contoh yang paling banyak
dipelajari karena memiliki aktivitas antifungal yang tinggi. T. harzianum dapat
memproduksi enzim litik dan antibiotik antifungal. Selain itu T. harzianum juga
dapat berkompetisi dengan patogen dan dapat membantu pertumbuhan tanaman.
T. harzianum memiliki kisaran penghambatan yang luas karena dapat
menghambat berbagai jenis fungi. Trichoderma harzianum memproduksi
metabolit seperti asam sitrat, etanol, dan berbagai enzim seperti urease, selulase,
glukanase, dan kitinase. Hasil metabolit ini dipengaruhi kandungan nutrisi yang
terdapat dalam media. T. harzianum dapat memproduksi beberapa pigmen yang
bervariasi pada media tertentu seperti pigmen ungu yang dihasilkan pada media
yang mengandung amonium oksalat, dan pigmen jingga yang dihasilkan pada
media yang mengandung gelatin atau glukosa, serta pigmen merah pada medium
cair yang mengandung glisin dan urea.
Saat berada pada kondisi yang kaya akan kitin, Trichoderma harzianum
memproduksi protein kitinolitik dan enzim kitinase. Enzim ini berguna untuk
meningkatkan efisiensi aktivitas biokontrol terhadap patogen yang mengandung
kitin.
Sifat Umum Gliocladium sp.
Gliocladium sp. mempunyai konidifor tegak, muncul dari substrat atau dari
hifa, bersepta bening dan tidak berwarna, bercabang pada ujungnya, mempunyai
14
14
bentuk peniculate dan kepalanya menghasilkan spora licin, sel spora genus fialid
dan kadang-kadang berbentuk botol, konvek pada satu sisi fialosporanya berwarna
kuning (Barnett and Hunter 1998). Gliocladium sp. memiliki konidiofor yang
bersepta dan bercabang ke atas dengan struktur sikat yang penicilate. Masingmasing percabangan membentuk alur berputar yang memiliki 4-5 kelompok
konidia. Konidia berbentuk lonjong sampai pipih dan hialin. Gliocladium mirip
penicilium akan tetapi percabangan yang menyangga massa spora seolah-olah
terikat atau konidia dalam satu kepala konidia (Barnett and Hunter, 1998).
Cendawan Gliocladium sp. memarasit inangnya dengan cara menutupi atau
membungkus patogen, memproduksi enzim-enzim dan menghancurkan dinding
sel patogen hingga patogen mati. Gliocladium sp. dapat hidup baik sebagai
saprofit maupun parasit pada cendawan lain, dapat berkompetisi akan makanan,
dapat menghasilkan zat penghambat dan bersifat hiperparasit.
Mekanisme antagonistik dari Gliocladium sp. terhadap organisme lain
adalah hiperparasitisme, antibiosis dan lisis atau kombinasi keduanya. Cendawan
ini pertama kali dilaporkan memproduksi bahan anti cendawan (Anti Fungal)
gliotoxin dan virin. Hubungan antagonisme antara agens antagonis dengan
patogen dapat terjadi melalui beberapa hal yaitu parasitisme, antibiosis, kompetisi,
predasi dan lisis. Gliocladium sp. dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit
tular tanah, termasuk penyakit damping off pada kacang buncis dan kubis, bercak
daun pada tomat dan penyakit penyemaian pada tanaman kapas
Pengendalian Penyakit
Pengendalian terpadu lebih diutamakan dalam memperoleh hasil maksimal
yaitu penerapan pengendalian secara kultur teknis, mekanis atau fisik, biologi,
genetika, dan kimia (agrios 2005), strategi utama dalam mengendalikan penyakit
ini antara lain dengan menggunakan bibit tanaman yang sehat, menghindari
terjadinya luka, meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah, dan
pengendalian kimiawi dengan produk sistemik. Meskipun demikian, penggunaan
kultivar resisten merupakan metode yang paling ekonomis dan efisien untuk
mengendalikan penyakit ini.
15
15
Pengendalian kultur teknis, pengendalian penyakit yang dianjurkan adalah
menanam jeruk diatas gundukan-gundukan setinggi 20-25 cm, tetapi tanaman
tidak dibumbun agar batang atas tidak berhubungan dengan tanah. Selain itu
menggunakan benih dengan mata tempel setingi 30-35 cm dari permukaan tanah,
untuk mengurangi kemungkinan batang atas yang rentan terinfeksi cendawan
tanah. Mengurangi kelembapan kebun dan mengatur drainase, jarak tanam,
pemangkasan, dan sanitasi lingkungan atau kebun. Menghindari terjadinya
pelukaan pada akar maupun pangkal batang pada waktu pemeliharaan atau
penyiangan, pengamatan pangkal batang jeruk secara teliti dan teratur, terutama
pada musim hujan, agar gejala penyakit dapat diketahui secara dini. pH tanah
diusahakan agar lebih dari 6,5 dengan pemberian dolomit.
Secara mekanis, membongkar tanaman yang terserang berat, kemudian
dibakar. Memotong atau membuang bagian tanaman sakit, termasuk 1-3 cm
bagian kulit sekitarnya yang sehat, kemudian diolesi fungisidsa 6.2 %
karbendazim ditambah dengan 73.8% mankozeb atau tembaga oksiklorida;
menggunakan kaki ganda dengan teknik samping (aaneting) dengan batang
bawah sehat.
Secara biologi, menggunakan agens antagonis cendawan Trichoderma sp.
atau Gliocladium sp. yang dicampur dengan pupuk kandang atu kompos. Secara
genetika, penggunaan varietas tahan terhadap phytophthora spp. Misalnya
poncirus trifoliate dan Cleopatra mandarin; varietas tahan terhadap phytophthora
dan salinitas, yaitu taiwanica dan citromello 4475.
Secara kimiawi, mengolesi pangkal batang dan akar-akar yang tampak dari
luar dengan ter (Carbolineum plantarum 50%) sampai setinggi 50 cm. Perlakuan
tersebut dimulai tahun ketiga setelah penanaman dan setiap awal musim hujan.
Agar batang yang berwarna hitam tidak banyak menyerap panas sehingga kulitnya
rusak. Maka bagian yang diberi ter ditutup dengan larutan kapur yang ditambah
dengan garam dapur, mengolesi luka dengan bubur kalifornia, bubur bordeux,
carbolineum:paraffin (8:92), mankozeb, atau tembaga oksiklorida, kemudian luka
ditutup dengan obat penutup luka, seperti ter, setelah kulit mengalami regenerasi.
Download