Cahaya di Atas Perjalanan Sebuah Kumpulan Faidah, Catatan, dan Nasihat Daftar Isi : - Dakwah Yang Haq - Malu kepada Allah - Puasa Itu Untuk-Ku - Mengenal Fungsi Ibadah Shiyam - Terlarang Berjualan di Masjid - Sekilas Mengenal Manhaj Salaf - Kedudukan Hadits Nabi - Ampuni Dosaku... - Tetesan Faidah Hadits Niat - Orang-Orang Yang Beruntung - Penyebab Nabi Cepat Beruban - Nasihat Agar Menjauhi Maksiat - Penistaan Agama - Diam Yang Menyelamatkan - Mengenal Imam Ibnu Mandah - Sekilas Mengenal Imam Bukhari - Imam Bukhari Pun Tidak Lepas dari Tuduhan - Lebih Baik daripada Onta Merah - Pentingnya Berpegang-teguh dengan Manhaj Salaf - Prinsip Para Imam - Nasihat bagi Si Sakit - Sapi Bisa Berbicara?! - Sumber Kemaksiatan - Keagungan Syahadat Laa Ilaha illallah - Ya Allah, Umatku.. Umatku.. - Tinjauan Sekilas Seputar Doa Masuk Rumah - Allah Pun Tertawa Karenanya - Bangunlah! Wahai, Abu Turab - Umat Yang Jujur - Nikmat Memandang Wajah Allah - Mewaspadai Benih-Benih Pemberontakan - Karakter Pengikut Manhaj Salaf - Keutamaan Doa dan Dzikir - Doa Untuk Kebaikan Anda - Penghapus Dosa - Diantara Jari-Jemari Allah - Penarikan Kesimpulan yang Mengagumkan - Memahami Makna Ibadah - Mengakui Kebodohan - Mengenal Keutamaan Ilmu - Menyatukan, Bukan Memecah Belah - Merdeka dengan Tauhid! - Takutlah Akan Neraka! - Mungkin Kita Sendiri Penjahat Itu - Kewajiban Bertauhid - Syafa'at Bagi Umat Bertauhid @ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737 atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro Konfirmasi Donasi via SMS : Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000 Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa) Informasi : www.al-mubarok.com Pengantar Bismillah. Segala puji bagi Allah karena dengan taufik-Nya semata kami bisa ikut menimba ilmu dan mengenal dakwah tauhid. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya dan pengikut setia mereka hingga akhir masa. Amma ba'du. Berikut ini kami sajikan kepada segenap pembaca, sebuah kumpulan tulisan yang berisi faidahfaidah atau pelajaran dan nasihat bagi diri kami dan siapa saja yang ingin mengambil nasihat. Memang ini bukanlah sebuah buku yang sistematis dalam bab tertentu. Sebagaimana namanya ini adalah kumpulan faidah, catatan, dan nasihat yang diharapkan bisa ikut menjadi cahaya yang menerangi perjalanan kita dalam menuju kampung akhirat. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua kami yang telah merawat dan mengasuh kami sejak kecil hingga dewasa. Rasa syukur dan terima kasih pun kami ungkapkan bagi segenap guru dan ustaz yang telah mengajarkan kepada kami ilmu-ilmu yang bermanfaat. Semoga Allah berikan balasan terbaik bagi mereka dan menerima amal-amal mereka. Tulisan ini kami susun untuk mengumpulkan faidah-faidah yang kami anggap penting dan perlu untuk dikumpulkan dalam sebuah tulisan. Sekiranya ada yang benar maka itu adalah bersumber dari Allah, dan sekiranya ada yang salah maka itu dari kami dan dari setan. Kami pun memohon ampunan kepada Allah atas hal itu dan Allah serta Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan-kesalahan kami. Seperti kata pepatah 'tiada gading yang tak retak'. Apabila ada masukan atau saran bagi kami silahkan anda sampaikan melalui e-mail kami di alamat : [email protected] Bagi siapa saja yang ingin mengopi artikel atau nasihat dari tulisan ini kami persilahkan dengan harapan tetap mencantumkan sumbernya. Apabila bermanfaat anda juga bisa mencetak atau menerbitkan tulisan ini tanpa merubah isinya, dan anda pun tidak perlu meminta izin kepada kami secara langsung. Semoga catatan ini bisa membuahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita. Penulis Hamba yang fakir kepada Rabbnya Ari Wahyudi # Dakwah Yang Haq Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba'du. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/ilmu, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku...” (Yusuf : 108) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafal Bukhari) Dakwah adalah sebuah ibadah yang sangat agung, mengajak manusia kepada agama Allah. Sebagaimana ibadah yang lain, maka ibadah harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan. Oleh sebab itu setiap da'i harus membersihkan niatnya dalam berdakwah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai jika disertai dengan niat, dan setiap orang akan dibalas sesuai dengan apa-apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dakwah membutuhkan ilmu -sebagaimana ibadah yang lain pun membutuhkan ilmu- oleh sebab itu setiap da'i harus membekali diri dengan ilmu. Imam Bukhari rahimahullah telah membuat bab dalam Kitab Ilmi; Bab. Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan. Maknanya adalah bahwa setiap ucapan dan amalan di dalam agama ini membutuhkan ilmu. Oleh sebab itu para ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa-apa yang dia rusak jauh lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.” Dakwah tidak bisa hanya dengan bermodal semangat dan mengesampingkan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa dirinya berbuat dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104) Dibutuhkan fikih dan kepahaman dalam agama untuk berdakwah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim) Ilmu agama bukan sekedar wawasan ataupun hafalan, lebih daripada itu hakikat ilmu ialah yang membuahkan rasa takut kepada Allah dalam hati pemiliknya. Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata, “Bukanlah ilmu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu adalah rasa takut.” Ilmu yang sejati akan membuahkan amalan pada diri pemiliknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah, “Seorang yang berilmu senantiasa berada dalam kebodohan sampai dia mengamalkan ilmunya. Apabila dia telah mengamalkan ilmunya barulah dia benarbenar menjadi seorang yang berilmu.” Ilmu semacam inilah yang akan membuahkan ma'rifatullah dan ketenangan hati dalam berdzikir dan taat kepada Allah; sebuah kenikmatan luar biasa yang hanya dirasakan oleh hamba-hamba beriman dan mentauhidkan Rabb-nya. Seperti yang dikatakan oleh Malik bin Dinar rahimahullah kepada rekan-rekannya, “Telah pergi para pemuja dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling baik di dalamnya.” Mereka bertanya, “Apakah itu wahai Abu Yahya?” beliau pun menjawab, “Mengenal Allah 'azza wa jalla.” Ilmu semacam itulah yang membuahkan manisnya keimanan. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Pasti akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah sebagai Rabb, islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim) Ilmu yang bermanfaat akan membuahkan iman dan amal salih, sementara ilmu yang tidak bermanfaat akan melahirkan kesombongan dan penyimpangan. Oleh sebab itu dikatakan oleh Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah, “Barangsiapa yang rusak diantara orang-orang berilmu diantara kita maka pada dirinya terdapat keserupaan dengan Yahudi, dan barangsiapa yang rusak diantara ahli ibadah diantara kita pada dirinya terdapat keserupaan dengan Nasrani.” Karena itulah setiap hari kita berdoa kepada Allah untuk diberi hidayah ilmu dan hidayah amalan. Hidayah berupa bimbingan dan hidayah berupa ilham dan taufik kepada kebenaran. Karena tanpa ilmu maka manusia akan hidup dalam kesesatan, dan tanpa taufik maka manusia akan larut dalam penyimpangan dan kenistaan. Kerusakan ilmu akan membawa kepada rusaknya aqidah, sedangkan rusaknya niat akan menyeret pada rusaknya amalan dan perbuatan. Rusaknya ilmu disebabkan berbagai fitnah syubhat, sedangkan rusaknya niat karena berbagai fitnah syahwat. Karena itulah Allah jadikan menimba ilmu sebagai jalan menuju surga. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah mudahkan untuknya jalan menuju surga.” (HR. Muslim) Meskipun demikian jalan menuju surga itu memang diliputi hal-hal yang tidak disukai oleh hawa nafsu manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka diliputi hal-hal yang disukai nafsu.” (HR. Muslim) Di sinilah manusia akan diuji sejauh mana dia beriman kepada Rabbnya dan sejauh mana dia lebih mendahulukan perintah Allah daripada keinginan hawa nafsunya. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan 'kami beriman' kemudian mereka tidak diberikan ujian?...” (al-'Ankabut : 2) Dakwah yang haq maka ia akan mengajak manusia kepada ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Karena fitnah hanya akan bisa ditepis dengan ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Saling menasihati dalam kebenaran akan menepis fitnah syubhat, sedangkan saling menasihati dalam kesabaran akan menepis fitnah syahwat. Karena itulah Allah mengutus rasul-Nya untuk membawa petunjuk dan agama yang benar. Petunjuk itu adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan agama yang benar maksudnya adalah amal salih, sebagaimana dijelaskan para ulama tafsir. Dakwah yang haq akan menyeru manusia untuk menghamba kepada Allah; sebab inilah maksud penciptaan mereka di alam dunia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56) Dakwah yang haq akan mengajak manusia untuk kembali kepada al-Qur'an dan mengikuti petunjuk dan ajarannya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Ibnu 'Abbas menafsirkan, “Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur'an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” Dakwah yang haq akan menyeru manusia untuk tunduk dan taat kepada rasul; karena ketaatan kepada rasul adalah ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa' : 80) # Malu Kepada Allah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya salah satu diantara ajaran kenabian yang paling pertama dimengerti oleh manusia ialah; Apabila kamu tidak malu maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari) Hadits yang agung ini berisi penjelasan tentang pentingnya rasa malu kepada Allah. Dan rasa malu kepada Allah itu terwujud dengan tidak melawan-Nya dalam bentuk maksiat-maksiat dan tidak meremehkan ketaatan (lihat al-Haya' minallah oleh Syaikh as-Suhaimi, hal. 2) Inilah hakikat rasa malu kepada Allah. Rasa malu yang sebenarnya dan paling utama ialah anda malu kepada Allah; dan hal itu dibuktikan dengan cara melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan dan menjauhi segala hal yang Allah larang. Anda senantiasa merasa diawasi oleh Allah baik pada saat senang maupun susah. Pada saat bersemangat maupun ketika lemah semangat. Ketika anda mengalami kesulitan maupun ketika anda mendapatkan kemudahan. Inilah hakikat rasa malu kepada Allah (lihat al-Haya' minallah, hal. 2) Oleh sebab itu orang yang tidak punya rasa malu kepada Allah; niscaya dia akan melakukan segala sesuatu yang terbetik dalam pikirannya atau yang dibisikkan oleh hawa nafsunya, atau yang disukai oleh qarin dan setan yang menyertainya. Apabila dia tidak punya rasa malu kepada Allah maka dia tidak akan peduli apa pun yang dia kerjakan, tidak peduli apa pun yang telah dia tinggalkan, sehingga dia terus saja bergelimang dengan maksiat, teledor dalam hal ketaatan, dan setan pun mempermainkannya dengan mudah. Setan membujuk dan merayunya untuk menunda-nunda taubat. Sampai akhirnya dia berpisah dengan dunia ini dalam keadaan tidak berjalan di atas petunjuk, kita berlindung kepada Allah dari hal itu (lihat al-Haya' minallah, hal. 2) Seorang muslim yang sejati dan memiliki sifat ihsan, maka dia akan selalu merasa diawasi oleh Allah. Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa ihsan itu adalah, “Anda beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan jika anda tidak bisa beribadah- seolah-olah melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat anda.” (HR. Muslim) Hakikat ihsan itu adalah dengan selalu merasa diawasi oleh Allah, baik pada saat sembunyi -tidak dilihat orang- maupun ketika terang-terangan -bersama orang lain-. Perasaan diawasi oleh Allah atau muraqabah ini tentu saja menuntut kita untuk terus mengevaluasi apa saja yang telah kita ucapkan, apa yang kita pikirkan, apa yang kita yakini, apa yang kita kerjakan sehari-hari, dan segala urusan kita. Kita harus ber-muhasabah dan mengevaluasi diri mumpung kita masih hidup di alam dunia ini. Sebagaimana nasihat Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu, “Hisablah diri-diri kalian, sebelum kalian kelak akan dihisab...” (lihat al-Haya' minallah, hal. 3-4) # Puasa Itu Untuk-Ku Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Allah 'azza wa jalla berfirman, “Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa. Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan Aku lah yang akan membalasnya.” Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada semerbak minyak kasturi (HR. Muslim) Puasa adalah amal yang sangat utama. Karena di dalam puasa tergabung tiga bentuk kesabaran; sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar menghadapi musibah dan hal-hal yang tidak menyenangkan. Oleh sebab itu puasa merupakan wujud nyata dari kesabaran. Sementara pahala orang yang bersabar akan disempurnakan oleh Allah tanpa batasan. Sebagaimana firman- Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu akan disempurnakan pahalanya tanpa perhitungan.” (az-Zumar : 10). Hal ini berbeda dengan amal-amal lain yang diberikan balasan pahala dari kisaran sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Adapun puasa maka balasannya tidak terbatas pada bilangan ini. Diriwayatkan secara mursal dari Ibnu 'Umar bahwa puasa karena Allah tidaklah diketahui besar pahalanya kecuali oleh Allah (lihat keterangan Ibnu Rajab rahimahullah dalam Bughyatul Insan fi Wazha'if Ramadhan, hal. 13-14) Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Tidak ada yang mengetahui dengan sebenarnya hakikat puasa seorang hamba kecuali Allah subhanahu wa ta'ala. Bisa saja seorang insan secara sembunyi-sembunyi makan dan minum sementara tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Akan tetapi karena dia yakin bahwasanya Allah melihat dan mengawasinya maka hal itu pun tidak dilakukannya (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad hafizhahullah dalam al-'Ibrah fi Syahri Shaum sebagaimana tercantum dalam Kutub wa Rasa'il, 6/209) Pelajaran atau ibrah yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwasanya apabila seorang hamba takut kepada Allah kalau-kalau puasanya rusak/cacat maka semestinya seorang insan juga takut kepada Allah apabila sholat, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya mengalami kerusakan/cacat. Karena sesungguhnya yang mewajibkan puasa sama dengan yang mewajibkan sholat. Terlebih lagi sholat adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya keutamaan sholat sehingga Allah pun mewajibkannya kepada Nabi dengan mengangkat beliau ke langit. Apabila seorang muslim merasakan bahwa kerusakan pada puasanya adalah perkara yang sangat besar dan membahayakan maka semestinya dia juga bisa merasakan bahwa rusaknya sholat yang dia lakukan lebih besar dan lebih membahayakan. Inilah salah satu faidah dan pelajaran paling agung yang semestinya dipetik oleh setiap muslim dari bulan puasa (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa'il, 6/209-210) Dari sinilah semestinya datangnya bulan puasa memberikan semangat bagi kita untuk terus menimba ilmu tauhid dan keikhlasan. Sebab bukanlah perkara yang samar bagi kita, bahwasanya tauhid dan keikhlasan itu merupakan kandungan dari dua kalimat syahadat yang menjadi pondasi di dalam agama Islam dan kandungan dari rukun iman yang pertama. Apabila seorang merasakan kerusakan pada sholat dan puasanya sedemikian besar, maka sudah seharusnya dia juga bisa merasakan bahwasanya kerusakan dan cacat di dalam tauhid dan keikhlasannya juga sangat-sangat besar dan membahayakan... Bagaimana tidak?! Sedangkan tauhid inilah kewajiban paling wajib dan perkara yang menjadi tujuan penciptaan dan hikmah diutusnya seluruh nabi dan rasul.... # Mengenal Fungsi Ibadah Shiyam Shiyam atau shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan). Adapun menurut syari'at yang dimaksud dengan shaum itu adalah [beribadah kepada Allah] dengan menahan diri dari berbagai perkara yang membatalkannya semenjak terbit fajar hingga terbenamnya matahari (lihat Taisir al'Allam, hal. 312). Shiyam Ramadhan merupakan rukun Islam yang keempat. Di dalam shiyam termasuk ibadah yang paling utama, disebabkan di dalamnya terkandung tiga macam kesabaran : 1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah, 2. Sabar menahan diri dari maksiat kepada Allah, 3. Sabar menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan (lihat Taisir al-'Allam, hal. 312) Hikmah dari ibadah shaum/puasa itu adalah untuk menggapai ketakwaan kepada Allah dan mewujudkan penghambaan kepada Allah. Takwa itu akan terwujud dengan meninggalkan segala hal yang diharamkan dan melakukan apa saja yang diperintahkan. Oleh sebab itu orang yang sedang melakukan shaum/puasa lebih ditekankan lagi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan maupun perbuatan. Oleh karenanya tidak pantas baginya untuk menggunjing, berbohong, mengadu-domba, membeli sesuatu yang diharamkan -termasuk hal yang diharamkan adalah rokok, pen- dan hendaknya dia menjauhi segala hal yang diharamkan. Apabila seorang insan terbiasa melakukan hal itu selama satu bulan penuh niscaya jiwanya akan menjadi istiqomah pada bulan-bulan selanjutnya. Akan tetapi yang menyedihkan adalah banyak diantara orang yang mengerjakan shaum tidak membedakan antara hari-hari puasa mereka dengan hari-hari selainnya; sehingga mereka tetap saja meninggalkan kewajiban dan melakukan keharaman. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak mengagungkan ibadah shaum ini dengan semestinya (lihat Fatawa Arkanil Islam, hal. 451) Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Apabila seorang muslim bersabar di bulan puasa dan menahan diri dari hal-hal yang dihalalkan oleh Allah kepadanya karena Allah hanya melarang hal itu untuknya pada siang hari bulan Ramadhan maka hendaklah dia juga mengetahui bahwasanya Allah mengharamkan atasnya segala hal yang diharamkan untuk sepanjang hidupnya dan sepanjang umurnya. Maka wajib atasnya untuk menahan diri dari hal yang diharamkan itu serta mencegah darinya untuk seterusnya dengan dilandasi rasa takut dari hukuman Allah yang telah dipersiapkan oleh-Nya bagi siapa saja yang menyelisihi perintah-Nya dan menerjang apa-apa yang dilarang oleh-Nya.” (Wa Jaa'a Syahru Ramadhan, hal. 14) Apabila seorang yang memiliki kebiasaan merokok pada siang hari di bulan Ramadhan bisa meninggalkan rokok sejak terbit fajar hingga maghrib maka tentu saja sesuatu hal yang mampu untuk dia lakukan meninggalkan rokok itu seumur hidupnya. Padahal di luar bulan Ramadhan merokok telah menjadi kebiasaannya. Ketika datang bulan Ramadhan ternyata dirinya sanggup untuk tidak merokok dari pagi hingga sore menjelang malam, maka menghentikan rokok itu untuk selama-lamanya adalah perkara yang sangat mungkin baginya! Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Maka Ramadhan adalah kesempatan bagi perokok dan siapa pun yang melakukan tindakan pemborosan, atau suka meninggalkan kewajiban, menyia-nyiakan kebaikan, atau meremehkan dosa untuk mengambil faidah dari musim yang mulia ini.” (Wa Jaa'a Syahru Ramadhan, hal. 31). Oleh sebab itu sungguh benar sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Puasa itu adalah perisai.” (HR. Bukhari dan Muslim). Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad hafizhahullah berkata, “Maka puasa itu menjadi perisai dari api neraka dan penghalang darinya kelak di negeri akhirat, dan ia juga menjadi perisai dari maksiatmaksiat...” (Kutub wa Rasa'il, 6/199) # Terlarang Berjualan di Masjid Di dalam Bulughul Maram, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mencantumkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kamu melihat orang yang berjualan atau melakukan transaksi pembelian di masjid maka katakanlah, 'Semoga Allah tidak memberikan keuntungan bagi perdaganganmu'.” (HR. An-Nasa'i dan At-Tirmidzi dan beliau menyatakan hadits ini hasan) Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Perkataan 'maka katakanlah 'Semoga Allah tidak memberikan keuntungan bagi perdaganganmu' ini adalah doa keburukan dan pengingkaran atas perbuatan tersebut. Sehingga ini menunjukkan terlarangnya melakukan transaksi jual-beli di dalam masjid. Dan hal ini bersifat umum mencakup segala bentuk jual-beli...” (lihat Syarh Bulughul Maram oleh Syaikh al-Fauzan, Juz 2 hal. 182) Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa berdasarkan hadits di atas haram hukumnya berjual-beli di dalam masjid. Beliau bahkan menyatakan bahwa hukum jualbeli semacam itu adalah tidak sah atau batil (lihat Fathu Dzil Jalal wal Ikram, 1/610) Imam Ash-Shan'ani rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung penunjukan bahwa diharamkan jual-beli di masjid...” Meskipun demikian beliau juga menjelaskan bahwa hukum jualbelinya tetap sah atau teranggap, berdasarkan ijma' yang dinukil oleh Al-Mawardi (lihat Subulus Salam, 1/358 cet. Maktabah Nazar Al-Musthofa Al-Baz) Syaikh Abdullah al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa ada dua pendapat ulama mengenai hukum jual-beli di masjid. Pendapat pertama mengatakan bahwa hal itu adalah makruh. Dan apabila telah terjadi transaksi jual-beli maka hukumnya tetap sah. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama dan menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad serta dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Pendapat kedua mengatakan bahwa hal itu adalah haram, dan apabila telah terjadi jual-beli maka tidak sah hukumnya. Ini merupakan madzhab Hanabilah (Hanbali). Diantara kedua pendapat ini, pendapat pertama -yang menyatakan jual-belinya tetap sah- lebih kuat. Karena dengan begitu akan bisa mengkompromikan semua dalil. Namun, untuk memalingkan larangan dari makna haram menuju makruh dibutuhkan dalil lain. Adapun nukilan ijma' mengenai keabsahan jual-beli yang sudah terlanjur terjadi di dalam masjid maka hal itu tidaklah menafikan pendapat yang mengharamkan. Suatu hal yang mungkin dan bisa diterima bahwa larangan ini dimaknai pengharaman sementara akad/transaksi yang terjadi tetap sah hukumnya (lihat Minhatul 'Allam, 2/481-482) Kesimpulan dari keterangan Syaikh Abdullah al-Fauzan adalah bahwa pendapat yang lebih kuat dalam hal ini adalah jual-beli di masjid hukumnya haram, meskipun demikian apabila terjadi jualbeli itu di masjid hukumnya tetap sah atau tidak batal. Maknanya, barang yang dibeli telah berpindah status kepemilikannya kepada si pembeli dan menjadi haknya. Demikian pula uang yang telah diterima oleh si penjual juga sah menjadi miliknya. Akan tetapi mereka telah melakukan perkara yang diharamkan -yaitu jual-beli di masjid- dan berdosa atas hal itu. Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Syafi'i dan banyak ulama yang lain. Yaitu hukum jualbelinya tetap sah akan tetapi pelakunya berdosa karena telah melakukan hal yang diharamkan. Adapun Imam Ahmad -dalam pendapat beliau yang lain- mengatakan bahwa hukumnya adalah haram dan tidak sah. Ibnu Hubairah mengatakan bahwa hukumnya tidak sah. Haramnya jual-beli di masjid juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah (lihat catatan kaki Subulus Salam, 1/358 cet. Maktabah Nazar Al-Musthofa Al-Baz). # Sekilas Mengenal Manhaj Salaf Secara bahasa, manhaj berarti 'jalan yang terang dan gamblang'. Adapun istilah 'salaf' yang dimaksud di sini adalah para pendahulu umat ini dari kalangan Sahabat dan pengikut setia mereka (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 15-16) Apabila disebutkan istilah salaf secara umum maka yang dimaksud adalah tiga generasi pertama dari umat ini yaitu para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Mereka itulah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian yang sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi 'Ashim, Bukhari, Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu) (lihat al-Manhaj as-Salafi 'inda asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani, hal. 11) Mengikuti jalan kaum salaf adalah wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah (yang artinya), “Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa' : 115). Dan tidaklah diragukan bahwa jalan para sahabat dan tabi'in adalah jalan kaum beriman yang harus diikuti (lihat al-Mukhtashar alHatsits, hal. 21) Allah pun meridhai orang-orang yang mengikuti para sahabat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar beserta orangorang yang mengikuti mereka, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun pasti ridha kepada-Nya, dan Allah telah siapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat besar.” (at-Taubah : 100). Maka ayat ini berisi pujian bagi jalan para sahabat dan wajibnya menempuh jalan mereka itu (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 21) Diantara pokok yang paling utama di dalam dakwah salaf ini adalah memberikan perhatian besar terhadap ilmu agama. Karena ilmu agama adalah pondasi tegaknya kehidupan. Tidak akan baik individu dan masyarakat kecuali dengan ilmu syar'i. Dan tidak akan bisa menempuh jalan/ajaran Nabi kecuali dengan landasan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru kepada Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku...” (Yusuf : 108) (lihat Ushul ad-Da'wah as-Salafiyah, hal. 26-27) Selain itu, manhaj salaf sangat memperhatikan masalah amal. Karena para salaf senantiasa mengiringi ilmu dengan amal. Dengan mengamalkan ilmu maka seorang muslim akan terbebas dari ancaman yang sangat keras dari Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar kemurkaan di sisi Allah ketika kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (ash-Shaff : 2-3) (lihat Ushul ad-Da'wah as-Salafiyah, hal. 33) Manhaj salaf sangat memperhatikan masalah aqidah tauhid. Karena inilah tujuan agung dari penciptaan jin dan manusia. Bahkan tidaklah Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul melainkan untuk mewujudkan tujuan ini dan mengajak manusia untuk merealisasikannya. Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56) (lihat Ushul ad-Da'wah as-Salafiyah, hal. 41-42) Konsekuensi dari dakwah tauhid ini adalah memperingatkan kaum muslimin dari syirik dengan segala bentuknya. Karena syirik adalah dosa besar yang paling besar, sebab terhapusnya amal, dosa yang tidak diampuni oleh Allah, dan sebab kekal di dalam neraka Jahannam. Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik maka pasti lenyap amal-amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65) (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 179-180) Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Barangsiapa menghendaki keselamatan bagi dirinya, menginginkan amal-amalnya diterima dan ingin menjadi muslim yang sejati, maka wajib atasnya untuk memperhatikan perkara aqidah. Yaitu dengan cara mengenali aqidah yang benar dan hal-hal yang bertentangan dengannya dan membatalkannya. Sehingga dia akan bisa membangun amal-amalnya di atas aqidah itu. Dan hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan menimba ilmu dari ahli ilmu dan orang yang memiliki pemahaman serta mengambil ilmu itu dari para salaf/pendahulu umat ini.” (lihat al-Ajwibah al-Mufidah 'ala As'ilatil Manahij al-Jadidah, hal. 92) Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Wajib untuk mempelajari tauhid dan mengenalinya sehingga seorang insan bisa berada di atas ilmu yang nyata. Apabila dia mengenali tauhid maka dia juga harus mengenali syirik apakah syirik itu; yaitu dalam rangka menjauhinya. Sebab bagaimana mungkin dia menjauhinya apabila dia tidak mengetahuinya. Karena sesungguhnya jika orang itu tidak mengenalinya -syirik- maka sangat dikhawatirkan dia akan terjerumus di dalamnya dalam keadaan dia tidak menyadari...” (lihat at-Tauhid, ya 'Ibaadallah, hal. 27) Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka tidak akan bisa mengenali nilai kesehatan kecuali orang yang sudah merasakan sakit. Tidak akan bisa mengenali nilai cahaya kecuali orang yang berada dalam kegelapan. Tidak mengenali nilai penting air kecuali orang yang merasakan kehausan. Dan demikianlah adanya. Tidak akan bisa mengenali nilai makanan kecuali orang yang mengalami kelaparan. Tidak bisa mengenali nilai keamanan kecuali orang yang tercekam dalam ketakutan. Apabila demikian maka tidaklah bisa mengenali nilai penting tauhid, keutamaan tauhid dan perealisasian tauhid kecuali orang yang mengenali syirik dan perkara-perkara jahiliyah supaya dia bisa menjauhinya dan menjaga dirinya agar tetap berada di atas tauhid...” (lihat I'anatul Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/127-128) Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka tidaklah cukup seorang insan dengan mengenali kebenaran saja. Akan tetapi dia harus mengenali kebenaran dan juga mengenali kebatilan. Dia kenali kebenaran untuk dia amalkan. Dan dia kenali kebatilan untuk dia jauhi. Karena apabila dia tidak mengenali kebatilan niscaya dia akan terjerumus ke dalamnya dalam keadaan dia tidak mengerti...” (lihat Silsilah Syarh Rasa'il, hal. 62) Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang dikatakan oleh orang-orang jahil/bodoh dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid adalah dengan anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam Islam...” (lihat at-Tauhid, Ya 'Ibadallah, hal. 22) Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama. Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka, tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat Ia'nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/17) # Kedudukan Hadits Nabi Hadits nabi memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam karena ia merupakan salah satu sumber hukum dalam syari'at Islam, sebuah jalan diantara jalan-jalan dalam menafsirkan kalam Allah (al-Qur'an), dan menjadi salah satu landasan atau dalil bagi ketetapan-ketetapan hukum (lihat Syarh Bulugh al-Maram oleh Syaikh Sa'ad asy-Syatsri, Juz 1. hal. 5) Allah berfirman (yang artinya), “Apa pun yang dibawa oleh Rasul kepada kalian ambillah dan apa saja yang dilarangnya untuk kalian tinggalkanlah.” (al-Hasyr : 7). Imam al-Baghawi rahimahullah menerangkan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pembagian harta fai', meskipun demikian hukumnya bersifat umum mencakup segala perkara yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa pun yang beliau larang (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 1294) Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berlaku umum mencakup pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, urusan lahir maupun batin, dan bahwasanya apa-apa yang dibawa atau diajarkan oleh Rasul maka wajib bagi para hamba untuk mengambil dan mengikutinya. Tidak halal untuk menyelisihinya. Dan bahwasanya ketetapan Rasul terhadap hukum suatu perkara sama kedudukannya dengan ketetapan dari Allah. Tidak ada toleransi dan udzur bagi siapa pun untuk meninggalkan hal itu. Dan tidak boleh mendahulukan ucapan/pendapat siapa pun di atas ucapan/sabda beliau (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 851) Ditinjau dari sumbernya tidaklah diragukan bahwasanya al-Qur'an dan as-Sunnah berada pada kedudukan yang sama; karena kedua-duanya merupakan wahyu dari Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara dari hawa nafsunya, tidaklah yang dia ucapkan itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4) (lihat Ma'alim Ushul Fiqh 'inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah, hal. 134). Dengan demikian, as-Sunnah atau hadits merupakan wahyu yang kedua -setelah al-Qur'an- sehingga barangsiapa mengingkari dan menentangnya maka dia menjadi kafir (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1/7) Allah berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi dari perintah/ajaran rasul itu, bahwa dia akan tertimpa fitnah (hukuman/penyimpangan) atau menimpa kepadanya azab yang sangat pedih.” (an-Nuur : 63). Ayat ini merupakan salah satu dalil yang menunjukkan wajibnya mengikuti sunnah atau hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sunnah/hadits ini apabila telah terbukti kesahihannya maka seluruh umat muslim sepakat atas kewajiban untuk mengikutinya.” (lihat nukilan ini dalam Ma'alim Ushul Fiqh 'inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah, hal. 120). Imam Syafi'i rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sebuah sunnah/hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hadits itu gara-gara pendapat siapa pun.” (lihat nukilan ini dalam Shifat Sholat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karya al-Albani, hal. 50) Sahabat yang mulia Abdullah bin Amr radhiyallahu'anhuma menceritakan : Dahulu aku mencatat semua yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena aku ingin menghafalkannya. Orang-orang Quraisy pun melarangku. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya kamu menulis segala yang kamu dengar dari Rasulullah. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia. Bisa jadi beliau berbicara dalam keadaan marah.” Maka aku pun berhenti mencatatnya. Lalu aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka beliau pun bersabda, “Tulislah, demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 7/443) # Ampuni Dosaku... Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menyebutkan di dalam bukunya Fiqh al-Ad'iyyah wal Adzkar (3/149) sebuah doa yang sering dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam sujudnya, yaitu beliau membaca 'Allahummaghfir lii dzanbii kullah, diqqahu wa jillah, awwalahu wa aakhirah, wa 'alaaniyyatahu wa sirrah' artinya, “Ya Allah, ampunilah dosaku semuanya; yang kecil maupun yang besar, yang awal hingga yang terakhir, yang tampak maupun yang tersembunyi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu) Salah satu bacaan doa yang diajarkan untuk dibaca ketika sholat -bisa dibaca ketika sujud atau setelah tasyahud- ialah doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu'anhu. Doa itu berbunyi 'Allahumma inni zhalamtu nafsii zhulman katsiiraa, wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta, faghfir lii maghfiratan min 'indik war-hamnii, innaka antal ghafuurur rahiim' artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan banyak kezaliman. Dan tidak ada yang bisa mengampuni dosa selain Engkau. Oleh sebab itu ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Fiqh al-Ad'iyyah wal Adzkar oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, 3/158) Bahkan, menjelang wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kepada Allah memohon ampunan dari-Nya. Sebagaimana diriwayatkan oleh 'Aisyah radhiyallahu'anha bahwa beliau mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa menjelang wafatnya, 'Allahummaghfirlii warhamnii, wa al-hiqnii bir rafiiqil a'laa' artinya, “Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku, dan kumpulkanlah diriku bersama ar-Rafiq al-A'la (teman-teman yang termulia).” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Fiqh al-Ad'iyyah wal Adzkar, 3/226) Telah menjadi kebiasaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila selesai dari suatu majelis/pertemuan beliau pun berdoa di akhirnya, 'Sub-haanakallahumma wabihamdika asyhadu anlaa ilaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik' artinya, “Maha Suci Engkau ya Allah, dan dengan senantiasa memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Engkau, aku mohon ampunan kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan al-Albani dalam Sahih at-Targhib) (lihat Fiqh al-Ad'iyyah wal Adzkar, 3/305) Wahai saudaraku -semoga Allah berikan taufik kepada kami dan anda- lihatlah bagaimana manusia yang paling berilmu dan paling bertakwa seperti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saja senantiasa beristighfar dan bertaubat kepada Allah. Padahal beliau adalah beliau.... Lalu bagaimana lagi dengan kita ini; bukankah kita lebih butuh kepada istighfar dan taubat?! # Tetesan Faidah Hadits Niat Di dalam kitabnya Umdatul Ahkam, Imam Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah (wafat 600 H) menyebutkan hadits pertama di dalam kitab Thaharah. Hadits ini berbicara tentang masalah niat. Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu hanya akan dinilai jika disertai dengan niat-niat.” dalam sebuah riwayat disebutkan, “dengan niat.” “Dan sesungguhnya bagi setiap orang apa yang telah dia niatkan. Barangsiapa hijrah karena Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah karena dunia yang ingin dia gapai atau wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits yang agung ini juga disebutkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) di bagian awal dari al-Arba'in an-Nawawiyah dan Riyadhush Shalihin. Keunikan hadits ini adalah tidak ada yang meriwayatkannya dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam selain Umar, lalu tidak ada yang meriwayatkan dari Umar selain Alqomah bin Waqqash al-Laitsi, lalu tidak ada yang meriwayatkan dari Alqomah selain Muhammad bin Ibrahim at-Taimi, lalu tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim selain Yahya bin Sa'id al-Anshari. Adapun setelah itu banyak yang mengambil riwayat ini dari Yahya (lihat Kutub wa Rasa'il 'Abdil Muhsin, 3/86) Hadits ini termasuk hadits yang disebut dengan istilah muttafaq 'alaih -yang disepakati- maksudnya disepakati oleh Bukhari dan Muslim keabsahannya dan konsekuensinya adalah para ulama juga menyepakati akan kesahihan hadits ini. Hadits yang semacam ini -yang telah disepakati oleh kedua imam tersebut- bisa dipastikan kesahihannya. Dan ilmu yang dibuahkan darinya termasuk ilmu yang bersifat qath'i (pasti) bukan sekedar dhann (dugaan kuat) (lihat al-Muqni' fi 'Ulum al-Hadits, 1/76 karya Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah – wafat 804 H) Di dalam hadits ini terkandung pelajaran yang sangat penting yaitu bahwasanya niat merupakan pondasi amalan dan wajibnya mengikhlaskan amalan. Oleh sebab itu kita wajib mengikhlaskan seluruh amal untuk Allah semata. Hal ini merupakan perwujudan makna syahadat laa ilaha illallah. Karena maksud kalimat tauhid itu adalah memurnikan segala ibadah untuk Allah semata; dan inilah yang dimaksud dalam hadits di atas. Dengan demikian isi hadits ini adalah kaidah yang sangat agung diantara pokok-pokok agama Islam. Karena pentingnya kandungan hadits ini Imam Bukhari rahimahullah mengawali kitabnya Sahih Bukhari dengan hadits ini (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malil al-Jalil, 1/26-27) Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah (wafat 1163 H) berkata, “Hadits ini merupakan pokok yang agung diantara pokok-pokok agama. Semestinya setiap hamba menghendaki wajah Allah ta'ala dalam amal-amalnya serta menjauhi pujaan selain-Nya. Karena orang yang ikhlas itulah yang beruntung sedangkan orang yang riya' pasti merugi. Dan ikhlas itu tidak bisa dicapai kecuali oleh orang yang mengetahui keagungan Allah ta'ala dan pengawasan-Nya terhadap segenap makhluk-Nya...” (lihat Tuhfatul Muhibbin bi Syarhil Arba'in, hal. 39) Hadits ini mengandung pelajaran bahwasanya barangsiapa melakukan amal karena riya' atau ingin dipuji berdosa. Barangsiapa berjihad dengan niat semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah sempurna balasan untuknya. Barangsiapa berjihad karena Allah dan juga karena ingin mendapat ghanimah/harta rampasan perang pahalanya berkurang. Barangsiapa berjihad semata-mata untuk mencari ghanimah dia tidak berdosa tetapi dia tidak mendapatkan pahala orang yang berjihad. Oleh sebab itu niat yang ikhlas merupakan syarat diterimanya seluruh amal (lihat keterangan Syaikh Abdullah alu Bassam rahimahullah dalam Taisir al-'Allam, 16) # Orang-Orang Yang Beruntung Di dalam Hilyatul Auliyaa' disebutkan sebuah perkataan dari Tsabit al-Bunani rahimahullah, beliau mengatakan, “Beruntunglah orang yang mengingat saat datangnya kematian. Tidaklah seorang hamba memperbanyak ingat kematian melainkan pasti akan terlihat pengaruhnya pada amalamalnya.” (lihat Aina Nahnu min Haa'ulaa'i, 1/23-24) Kematian akan mengingatkan bahwa kehidupan ini adalah ujian. Akan ada hari kebangkitan dan pembalasan atas amal-amal. Allah berfirman (yang artinya), “Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2) Tidak ada yang bisa meraih keberuntungan dan keselamatan selain orang-orang yang beriman dan beramal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-'Ashr : 1-3) Iman dan amal salih adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan sementara dia adalah beriman niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan sesuatu yang lebih baik daripada apa-apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97) Iman yang bersih dari syirik akan membuahkan ketentraman dan hidayah. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman/syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (al-An'am : 82) Ayat yang agung ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang akan mendapatkan rasa aman pada hari kiamat dari segala hal yang buruk dan diberikan petunjuk jalan lurus di dunia adalah orang-orang yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan tidak mengotori tauhidnya dengan segala bentuk syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 24) Oleh sebab itulah Allah perintahkan kita untuk beribadah -dengan ikhlas- kepada-Nya hingga datangnya kematian. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu keyakinan/kematian.” (al-Hijr : 99). Setiap perintah beribadah di dalam al-Qur'an maka maknanya adalah perintah untuk bertauhid, sebagaimana tafsiran dari sahabat Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma yang dinukil oleh Imam al-Baghawi rahimahullah (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 20) Banyaknya harta bukanlah sebab keselamatan jika tidak disertai dengan tauhid dan keimanan. Allah berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu'ara' : 88-89). Sa'id bin alMusayyab rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat adalah hati yang sehat, yaitu hati kaum beriman. Karena hati orang kafir dan munafik sakit.” (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 942) Apabila kehidupan dan kematian ini adalah ujian dan tidak ada yang selamat kecuali orang yang beriman dan beramal salih, tentu saja seorang muslim harus merasa khawatir kalau-kalau kehidupannya berakhir dalam keadaan su'ul khotimah. Ingatlah, bahwa amal-amal itu ditentukan pada akhir dan penutupnya nanti; apakah kita mati di atas iman atau tidak. Lalu siapakah yang bisa menjamin dan memastikan bahwa dirinya akan meninggal di atas tauhid dan ketaatan?! # Penyebab Nabi Cepat Beruban Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan hadits dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma, bahwa Abu Bakar radhiyallahu'anhu berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah! Anda telah beruban.” Maka beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Telah membuatku cepat beruban [surat] Hud, al-Waqi'ah, al-Mursalat, 'Amma yatasaa'aluun, dan 'Idzasy syamsu kuwwirat'.” (lihat Sahih Sunan Tirmidzi, 3/343. hadits no 3297, ash-Shahihah no. 955) Di dalam surat Hud, Allah berfirman (yang artinya), “Istiqomahlah kamu sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang-orang yang bertaubat bersamamu, dan janganlah melampaui batas. Sesungguhnya Dia terhadap apa yang kalian kerjakan Maha melihat.” (Hud : 112) Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga umatnya untuk istiqomah. Hakikat istiqomah itu adalah berpegang-teguh dengan ajaran Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu akan terwujud dengan cara melaksanakan perintah-perintah sekuat kemampuan dan meninggalkan larangan-larangan (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad dalam Kutub wa Rasa'il, 1/248) Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata : Ibnu 'Abbas mengatakan, “Tidaklah turun kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebuah ayat yang lebih keras dan lebih berat daripada ayat ini. Oleh sebab itulah ketika para sahabatnya berkata kepadanya, “Sungguh anda telah cepat beruban.” Beliau menjawab, “Telah membuatku beruban [surat] Hud dan saudara-saudaranya.”.” (lihat Kutub wa Rasa'il, 1/249, Tafsir al-Baghawi, hal. 632) Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa hakikat istiqomah itu adalah hendaknya seorang insan teguh di atas syari'at Allah subhanahu wa ta'ala sebagaimana yang diperintahkan Allah, dan istiqomah itu diawali atau dilandasi dengan keikhlasan -dalam beribadah- kepada Allah 'azza wa jalla (lihat Syarh Riyadush Shalihin, 1/393 cet. Dar al-Bashirah). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Istiqomah itu adalah menetapi jalan -yang benar- dengan melakukan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.” Kemudian beliau menyebutkan ayat dalam surat Hud tersebut (lihat ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 161) Syaikh 'Utsaimin juga menjelaskan, bahwa hakikat istiqomah itu adalah konsisten meniti jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah; mereka itu adalah para nabi, shiddiqin, syuhada' dan orang-orang salih (lihat ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 163). Orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah itu adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan beramal dengannya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah oleh Syaikh 'Utsaimin, hal. 95) Dari keterangan-keterangan di atas, kita bisa memetik faidah bahwasanya istiqomah di atas agama Islam adalah perkara yang sangat agung. Yang dimaksud istiqomah itu adalah teguh di atas ajaran Islam dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan sebagaimana yang diterangkan di dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Untuk istiqomah seorang harus ikhlas dan harus meniti jalan yang lurus; yaitu dengan mengetahui kebenaran dan mengamalkannya. Karena begitu agungnya istiqomah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun merasa bahwa perintah untuk istiqomah adalah perintah yang sangat besar. Sampai-sampai dikisahkan oleh Ibnu 'Abbas bahwa tidak ada ayat yang 'lebih berat' bagi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selain ayat di atas -dalam surat Hud- yang berisi perintah untuk istiqomah. Sebab untuk istiqomah seorang membutuhkan ilmu dan kesungguh-sungguhan dalam beramal. Inilah kiranya salah satu sebab utama mengapa rambut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam cepat beruban. # Nasihat Agar Menjauhi Maksiat Ibnul Mubarak rahimahullah berkata dalam sya'irnya : Aku melihat dosa-dosa mematikan hati sungguh membuahkan kehinaan memeliharanya Meninggalkan dosa-dosa kehidupan bagi hati lebih baik bagi dirimu tuk mencampakkannya (lihat Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha, hal. 32) Suatu ketika Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya mengenai maksud perkataan Luqman kepada anaknya, “Apabila berbicara itu dari perak, maka diam itu dari emas.” Maka beliau pun menjelaskan, “Seandainya berbicara dalam rangka ketaatan kepada Allah itu diibaratkan terbuat dari perak, maka sesungguhnya berdiam diri untuk tidak berbuat maksiat kepada Allah adalah terbuat dari emas.” (lihat Husnus Samti fish Shamti, hal. 47) Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan sebuah perkataan dari Maimun bin Mihran, bahwa beliau mengatakan, “Sabar itu ada dua macam; sabar ketika tertimpa musibah, maka itu bagus. Dan yang lebih utama lagi adalah sabar untuk menjauhi maksiat.” (lihat 'Uddatush Shabirin wa Dzakhiratusy Syakirin, hal. 71) Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah memberikan nasihat : Seorang mukmin harus bertakwa kepada Allah 'azza wa jalla secara lahir dan batin. Bertakwa kepada Allah ketika berada di jalan. Bertakwa kepada Allah ketika berada di rumah. Dia harus bertakwa kepada Allah di mana pun dia berada. Bertakwa kepada Allah pada siang hari dan bertakwa kepada-Nya pada malam hari. Bertakwa kepada-Nya dalam keadaan terang-benderang dan bertakwa kepada-Nya dalam keadaan gelap. Karena sesungguhnya dirinya selalu disertai oleh (pengawasan) Allah subhanahu, tidak ada yang samar bagi-Nya. Jadi bukanlah yang dimaksud ialah seorang insan harus menjauhi maksiat-maksiat yang tampak saja. Adapun ketika dia menyendiri lantas hal itu boleh dia kerjakan. Tidak demikian. Sesuatu yang haram tetap saja haram dalam keadaan apa pun. Dan Rabb -yaitu Allah- tetaplah Rabb subhanahu yang senantiasa melihat dan mengetahui dalam segala keadaan. Baik dalam keadaan tampak ataupun tersembunyi. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya subhanahu wa ta'ala. Bagaimana pun caranya kalian berusaha untuk menutup-nutupi sesungguhnya kalian tidak tersembunyi dari pengetahuan dan pandangan Allah subhanahu wa ta'ala... (lihat I'anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Juz 1 hal. 46) @ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737 atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro Konfirmasi Donasi via SMS : Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000 Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa) Informasi : www.al-mubarok.com # Penistaan Agama Pendustaan dan penistaan kepada agama Islam dan pembawa ajarannya adalah kenyataan yang telah dihadapi oleh para nabi dan rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Demikianlah, tidaklah datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul pun melainkan mereka berkata -tentangnyabahwa dia/rasul itu adalah tukang sihir atau orang gila.” (adz-Dzariyat : 52) Menistakan dan memperolok ayat-ayat Allah adalah sifat orang kafir. Sehingga para ulama telah menegaskan salah satu bentuk kekafiran yang mengeluarkan seorang muslim dari agamanya adalah perbuatan memperolok ayat-ayat Allah dan ajaran Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya kalian berolok-olok. Janganlah kalian mencari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah beriman...” (at-Taubah : 65-66). Para ulama menjelaskan bahwa ayat tersebut menjadi dalil hukum bagi orang yang mencela Allah atau rasul-Nya atau kitab-Nya atau suatu bagian dari al-Qur'an atau suatu ajaran dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam; bahwasanya dia menjadi murtad alias keluar dari Islam meskipun dia melakukan hal itu dalam rangka bercanda (lihat Syarh Nawaqidh al-Islam, hal. 26 oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah) Termasuk bentuk penistaan kepada agama adalah menjelek-jelekkan para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Imam al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan dalam kitabnya alKifayah bahwa Imam Abu Zur'ah ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang diantara sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ketahuilah bahwa sesungguhnya dia itu adalah zindiq. Karena sesungguhnya agama ini benar dan al-Qur'an juga benar, dan sesungguhnya itu semua diriwayatkan kepada kita oleh para sahabat.” (lihat dalam ash-Shidqu ma'a Allah, hal. 44) Oleh sebab itu diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, bahwa beliau mengatakan, “Barangsiapa mencela dua orang syaikh; yaitu Abu Bakar dan Umar maka dia menjadi kafir.” Demikian pula hukumnya orang yang mencela seluruh sahabat. Begitu pula orang yang mengkafirkan seluruh sahabat karena sesungguhnya dia telah mendustakan Allah, dan orang yang mendustakan Allah itu kafir (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Syarh Ushul as-Sunnah lil Imam Ahmad, hal. 211) Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencela mereka -para sahabat nabiatau mencaci mereka sungguh dia telah keluar dari agama dan melenceng dari millah/ajaran kaum muslimin. Karena celaan itu tidaklah muncul kecuali karena keyakinan akan keburukan-keburukan mereka dan kedengkian yang tersimpan dalam dirinya dan merupakan tindakan mengingkari sanjungan untuk mereka yang disebutkan oleh Allah ta'ala di dalam Kitab-Nya dan juga mengingkari pujian, keutamaan dan kemuliaan serta kecintaan untuk mereka yang telah disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam...” (lihat al-Kaba'ir, hal. 266) Oleh sebab itu salah satu bagian dari pokok-pokok aqidah Islam adalah mencintai para sahabat Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana telah ditegaskan oleh Imam Abu Ja'far athThahawi rahimahullah dalam kitab aqidahnya yaitu Aqidah ath-Thahawiyah. Diceritakan oleh Imam Malik rahimahullah bahwa dahulu para salaf mengajarkan kepada anak-anak kecil mereka kecintaan kepada Abu Bakar dan Umar sebagaimana mereka mengajarkan sebuah surat di dalam alQur'an (lihat Huquq ash-Shahabah, hal. 15 oleh Syaikh Shalih Sindi). # Diam Yang Menyelamatkan Dari Abdullah bin 'Amr radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang diam maka dia akan selamat.” (HR. Ahmad [6481] sanadnya disahihkan Syaikh Ahmad Syakir, lihat al-Musnad [6/36] dan disahihkan pula oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai' dalam ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 21-22 Bab Najatul Insan bi ash-Shamti wa Hifzhi al-Lisan) Dari Abdullah bin 'Amr radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [10]) Dari Abu Musa radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa para Sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [11] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [42]) Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Maknanya adalah orang yang tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatannya. Disebutkannya tangan secara khusus dikarenakan sebagian besar perbuatan dilakukan dengannya.” (lihat Syarh Muslim [2/93] cet. Dar Ibnu al-Haistam) Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini adalah bahwa kaum muslimin yang paling utama adalah orang yang selain menunaikan hak-hak Allah ta'ala dengan baik maka dia pun menunaikan hak-hak sesama kaum muslimin dengan baik pula.” (lihat Fath al-Bari [1/69] cet. Dar al-Hadits) Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar selain Dia. Tidak ada di atas muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh untuk dipenjara dalam waktu yang lama selain lisan.” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir [9/162], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai' dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 26) Dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan dihukum akibat segala yang kami ucapkan?”. Beliau pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan engkau wahai Mu'adz bin Jabal! Bukankah yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke dalam Jahannam di atas hidungnya tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir [20/127-128], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai' dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 27) al-Laits bin Sa'ad rahimahullah menceritakan: Suatu ketika orang-orang melewati seorang rahib/ahli ibadah. Lantas mereka pun memanggilnya, tetapi dia tidak menjawab seruan mereka. Kemudian mereka pun mengulanginya dan memanggilnya kembali. Namun dia tetap tidak memenuhi panggilan mereka. Maka mereka pun berkata, “Mengapa kamu tidak mau berbicara dengan kami?”. Maka dia pun keluar menemui mereka dan berkata, “Aduhai orang-orang itu! Sesungguhnya lisanku adalah hewan buas. Aku khawatir jika aku melepaskannya dia akan memangsa diriku.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 32) al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata, “Sekarang ini bukanlah masa untuk banyak berbicara. Ini adalah masa untuk lebih banyak diam dan menetapi rumah.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 37) al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah juga berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain maka sungguh dia telah terpedaya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 38) Sebagian orang bijak mengatakan dalam syairnya: Kita mencela masa, padahal aib itu ada dalam diri kita Tidaklah ada aib di masa kita kecuali kita Kita mencerca masa, padahal dia tak berdosa Seandainya masa bicara, niscaya dia lah yang 'kan mencerca kita Agama kita adalah pura-pura dan riya' belaka Kita kelabui orang-orang yang melihat kita (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 41) Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi berbagai fitnah (kekacauan). Pada saat itu, orang yang duduk lebih baik daripada yang berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan. Orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Barangsiapa yang menceburkan diri ke dalamnya niscaya dia akan ditelan olehnya. Dan barangsiapa mendapatkan tempat perlindungan hendaklah dia berlindung dengannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Fitan [7081] dan Muslim dalam Kitab al-Fitan [2886]) al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini berisi peringatan keras supaya menjauh dari fitnah dan anjuran untuk tidak turut campur di dalamnya, sedangkan tingkat keburukan yang dialaminya tergantung pada sejauh mana keterkaitan dirinya dengan fitnah itu.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits) Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Pendapat yang tepat adalah fitnah di sini pada asalnya bermakna ujian/cobaan. Adapun mengingkari kemungkaran adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh setiap orang yang mampu melakukannya. Barangsiapa yang membantu pihak yang benar maka dia telah bersikap benar, dan barangsiapa yang membela pihak yang salah maka dia telah keliru.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits) Thawus menceritakan: Tatkala terjadi fitnah terhadap 'Utsman radhiyallahu'anhu, ada seorang lelaki arab yang berkata kepada keluarganya, “Aku telah gila, maka ikatlah diriku”. Maka mereka pun mengikatnya. Ketika fitnah itu telah reda, dia pun berkata kepada mereka, “Lepaskanlah ikatanku. Segala puji bagi Allah yang telah menyembuhkanku dari kegilaan dan telah menyelamatkan diriku dari turut campur dalam fitnah/pembunuhan 'Utsman.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [11/450] sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai' dalam ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 46) al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda bahwa mulai Allah berpaling dari seorang hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62). # Mengenal Imam Ibnu Mandah Nasab dan Keluarganya Muhammad bin Ishaq. Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Sang pengembara yang mencari ilmu ke berbagai negara, seorang pakar hadits Islam Abu Abdillah Muhammad, putra seorang ahli hadits yang bernama Abu Ya'qub Ishaq bin al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Yahya bin Mandah. Nama asli Mandah adalah Ibrahim bin al-Walid bin Sandah, berasal dari Ashfahan. Keturunan keluarga Mandah adalah orang-orang yang sangat perhatian dalam meriwayatkan haditshadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh sebab itu muncullah dari keturunan mereka para ulama besar dalam bidang hadits dan pakar dalam memahami kandungannya. Dalam Wafayat al-A'yan, Ibnu Kholikan memberikan komentar tatkala menjelaskan biografi seorang cucu Ibnu Mandah yang bernama Yahya bin Abdul Wahhab bin Muhammad bin Ishaq bin Mandah. Beliau berkata, “Dia adalah seorang muhaddits, putra seorang muhaddits -Abdul Wahhab- yang juga putra seorang muhaddits -Muhammad bin Ishaq- anak seorang muhaddits -Ishaq bin Mandahyang juga putra seorang muhaddits -Mandah-.” Dalam usia yang masih belia, Ibnu Mandah sudah mulai mendengar penuturan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada waktu itu -tahun 318 H- Ibnu Mandah masih berumur antara 7 hingga 8 tahun. Beliau mendengarkan hadits dari ayahnya -Ishaq- dan juga dari paman ayahnya Abdurrahman bin Yahya bin Mandah, dan juga dari para ulama Ashbahan yang lain. Kelahiran dan Tempat Tinggalnya Beliau dilahirkan pada tahun 310 atau 311 H. Di dalam Lisan al-Mizan, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Mandah lahir pada tahun 316 H dan mulai mendengar hadits pada tahun 318 H dan sesudahnya.” Namun ucapan Ibnu Hajar ini adalah jelas sebuah kekeliruan, sebagaimana ditegaskan oleh pen-tahqiq Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah. Ibnu Mandah dilahirkan di Ashbahan, salah satu kota di wilayah Khurasan. Di kota inilah banyak dilahirkan sosok ulama besar semacam Abu Nu'aim al-Ashbahani penulis Hilyatul Auliya', Dawud azh-Zhahiri, Abul Fadhl al-Ashbahani -yang dijuluki dengan Qowamus Sunnah- dan lain sebagainya. Di kota inilah Ibnu Mandah menimba ilmu, belajar akhlak dan mengejar keutamaan kepada para ulamanya. Pada tahun 330 H -ketika itu umurnya tidak lebih dari 20 tahun- beliau mulai mengadakan perjalanan untuk menimba ilmu ke Naisabur. Beliau pun terus melakukan perjalanan untuk menimba ilmu ini ke berbagai negeri selama 40 tahun lamanya. Setelah itu, beliau pulang ke negeri asalnya dalam keadaan telah menjadi seorang ulama besar yang telah mencatat ilmu dari 1700 orang guru. Di Ashbahan itulah, ketika umurnya sudah melewati 60 tahun, Ibnu Mandah menikah lalu dikaruniai beberapa orang anak. Salah satu putranya bernama Abdurrahman yang biasa dipanggil dengan kun-yah Abul Qasim. Putranya ini pun tumbuh menjadi ulama besar. Imam adz-Dzahabi memujinya dengan ungkapan, “Beliau adalah al-Hafizh, al-'Alim, al-Muhaddits...” Yahya bin Abdul Wahhab berkomentar tentang Abdurraman ini -pamannya-, “Pamanku adalah pedang yang menebas ahli bid'ah...” Gigih Dalam Menimba Ilmu dan Berdakwah Ibnu Mandah mengadakan perjalanan ke berbagai negeri untuk menimba ilmu. Beliau datang ke Naisabur, Iraq, Damaskus, Beirut, Gaza, Baitul Maqdis (Palestina), Mesir, Mekah, Madinah, dan kota-kota yang lainnya. Ibnu Mandah adalah sosok yang sangat mencintai Sunnah dan membenci bid'ah. Diriwayatkan dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah, bahwa beliau pernah mengatakan, “Aku telah berkeliling ke negeri Timur dan Barat sebanyak dua kali. Aku tidak pernah mau mendekat (belajar) kepada orang yang tidak jelas. Dan aku pun tidak mau mendengar dari para ahli bid'ah walaupun cuma satu hadits.” Beliau juga menyusun kitab-kitab bantahan untuk ahli bid'ah. Di antara karyanya adalah ar-Radd 'alal Lafzhiyah dan ar-Radd 'alal Jahmiyah. Beliau juga sangat perhatian dalam masalah akidah, oleh karenanya beliau menulis kitabnya yang sangat terkenal Kitab at-Tauhid. Ibnu Mandah bukan hanya pakar dalam bidang hadits, beliau juga ahli di bidang tafsir dan mumpuni di bidang sejarah dan qiro'at. Sanjungan Para Ulama Ahmad bin Ja'far al-Hafizh berkata, “Aku telah mencatat hadits dari 1000 orang guru lebih, dan tidak ada di antara mereka yang lebih kokoh hafalannya daripada Ibnu Mandah.” Ja'far bin Muhammad al-Mustaghfiri berkata, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih kuat hafalannya daripada Abu Abdillah Ibnu Mandah...” Abu Isma'il al-Anshari -guru besar di negeri Harat- berkata, “Abu Abdillah Ibnu Mandah adalah sayyid/pemimpin umat di masanya.” Imam adz-Dzahabi menyebutnya sebagai da'i kepada Sunnah dan penjaga atsar. Qowamus Sunnah Abul Fadhl al-Ashbahani mengatakan, “Keutamaan Imam ini sangatlah banyak. Dia adalah pemuka umat di zamannya dalam hafalan, ketekunan beragama, dan pembelaan terhadap Sunnah serta mematikan bid'ah. Dia berkeliling dunia untuk mencari hadits. Aku mengetahui kedudukannya sejak dia masih muda. Yaitu tatkala Abu Ahmad al-'Assal --'al-'Assal adalah seorang imam di masanya'-- mengirim surat kepadanya ketika dia berada di Naisabur, menanyakan kepadanya tentang suatu hadits yang sulit dipahami. Maka Ibnu Mandah menjawabnya dan menerangkan hal itu kepadanya.” Abu Nu'aim pun memuji Ibnu Mandah dengan mengatakan bahwa beliau adalah Jabalun minal Jibaal; artinya beliau adalah termasuk jajaran ulama penghafal hadits yang sangat handal. Guru-Guru Ibnu Mandah Diantara ulama yang menjadi guru Ibnu Mandah dan paling banyak menjadi narasumber riwayatnya adalah: Abu Ahmad al-'Assal, Abu Ishaq bin Hamzah, Abu Sa'id bin al-A'rabi, Abul 'Abbas alAsham, dan lain-lain. Ibnu Mandah menuturkan, “Aku telah mencatat ilmu dari seribu tujuh ratus guru, dan aku belum pernah melihat ada di antara mereka yang seperti al-'Assal dan Abu Ishaq bin Hamzah.” Abu Ahmad al-'Assal adalah salah seorang imam besar dalam ilmu hadits. Abu Nu'aim pun memujinya, “Abu Ahmad -al-'Assal- adalah termasuk jajaran ulama besar yang memiliki ilmu yang mendalam, pemahaman yang mapan dan hafalan yang kuat.” Demikian pula Abu Ishaq bin Hamzah -guru Ibnu Mandah yang lain- adalah seorang imam ahli hadits besar. Abu Nu'aim berkata tentangnya, “Beliau adalah orang yang memiliki hafalan paling kokoh di masanya.” Ibnu Mandah juga berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih kuat hafalannya daripada Abu Ishaq bin Hamzah.” Murid-Murid Ibnu Mandah Diantara murid Ibnu Mandah yang kemudian menjadi ulama besar dan yang paling terkenal di antara mereka adalah: Abu Amr Abdul Wahhab bin Mandah -anaknya-, Hamzah bin Yusuf asSahmi, Abu Bakr bin Manjawaih, dan Tammam bin Muhammad ar-Razi. Abu 'Ali al-Ahwazi berkata, “Aku belum pernah melihat orang sehebat Tammam. Beliau adalah seorang ulama yang sangat mengetahui hadits dan mendalami seluk-beluk periwayatnya.” Perselisihan Antara Ibnu Mandah dengan Abu Nu'aim Para ulama menceritakan bahwasanya antara kedua ulama ini telah terjadi perselisihan dalam sebagian masalah akidah, yaitu tentang persoalan lafaz al-Qur'an. Bangkitlah Abu Nu'aim menulis bantahan kepada Ibnu Mandah dengan kitabnya ar-Radd 'alal Hurufiyah wal Hululiyah. Demikian juga sebaliknya, Ibnu Mandah menulis bantahan dengan kitabnya ar-Radd 'alal Lafzhiyah. Keduanya saling men-jarh/mengkritik satu sama lain. Imam Ibnul Jauzi menjelaskan bahwa Abu Nu'aim termasuk penganut paham Asy'ari. Beliau lebih condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa tilawah atau bacaan al-Qur'an adalah makhluk. Adapun Imam Ibnu Mandah berpegang kepada akidah salaf. Beliau berpendapat bahwasanya lafaz al-Qur'an bukanlah makhluk. Peselisihan yang terjadi antara Imam Bukhari dengan Imam Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli pun muncul akibat permasalahan serupa. Oleh sebab itu para ulama tidak menerima komentar miring dari salah seorang di antara mereka berdua terhadap lawannya. Tatkala menanggapi komentar miring dari Abu Nu'aim tentang Ibnu Mandah, Imam adz-Dzahabi berkata, “Kami tidak mau ambil pusing dengan ucapanmu mengenai musuhmu karena permusuhan yang ada. Sebagaimana kami juga tidak mau mendengar komentar darinya mengenai anda...” Inilah kaidah yang dipegang oleh para ulama. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Setiap orang yang telah terbukti kredibilitasnya, maka tidak bisa diterima celaan atasnya dari siapa pun kecuali apabila tuduhan itu benar-benar didukung keterangan yang jelas sehingga tidak ada kemungkinan lain kecuali harus mengarahkan jarh/kritikan kepada dirinya.” Karya-Karya Ibnu Mandah Dalam bidang akidah, beliau menulis kitab: al-Iman, ar-Radd 'alal Jahmiyah, ar-Ruh wa an-Nafs, dan ar-Radd 'alal Lafzhiyah. Dalam bidang hadits: Ma'rifatush Shahabah, al-Amali, al-Kuna wal Alqaab, al-Asami wal Kuna, dan lain-lain. Dalam bidang sejarah: Tarikh Ashbahan, at-Tarikh, Dala'il an-Nubuwah. Dalam bidang ilmu al-Qur'an: an-Nasikh wal Mansukh. Ibnu Mandah juga memiliki kitab-kitab yang lain seperti as-Sunnah, sebagaimana disinggung oleh Ibnu Taimiyah dan al-Kattani. Namun sayangnya, sebagian kitab-kitab tersebut hilang atau tidak ditemukan seperti kitab al-Fawa'id, at-Tarikh, Dala'il an-Nubuwah, dan an-Nasikh wal Mansukh. Salah satu kitab karyanya yaitu Kitab al-Iman, telah diterbitkan oleh penerbit Universitas Islam Madinah cetakan pertama tahun 1401 H, dengan tahqiq oleh Dr. Ali Nashir al-Faqihi hafizhahullahseorang ulama guru besar di Universitas Islam Madinah, dosen pembimbing Ustadz Dr. Ali Musri, M.A. hafizhahullah, pen-. Demikian juga Kitab at-Tauhid, telah dicetak oleh Dar Hadyu Nabawi Mesir dan Dar al-Fadhilah Saudi pada tahun 1428 H, dengan tahqiq oleh Dr. Muhammad bin Abdullah al-Wuhaibi dan Dr. Musa bin Abdul Aziz al-Ghushn hafizhahumallah. Pada asalnya kitab ini adalah risalah magister (S2) milik mereka berdua di bawah pengawasan Syaikh Dr. Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin yang diajukan kepada Universitas Islam Muhammad bin Su'ud dan dipresentasikan pada tahun 1406 H. Judul lengkap kitab ini adalah at-Tauhid wa Ma'rifatu Asma'illahi 'Azza wa Jalla wa Shifatihi 'alal Ittifaq wat Tafarrud. Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah adalah kitab akidah yang dibawakan dengan metode ahli hadits. Di dalamnya beliau menyebutkan hadits-hadits tentang tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma' wa shifat. Metode ini adalah metode kebanyakan ulama mutaqaddimin/terdahulu dalam karya-karya mereka, seperti kitab al-Iman karya Abu Bakr bin Abi Syaibah, as-Sunnah karya Abdullah putra Imam Ahmad, as-Sunnah karya Ibnu Abi 'Ashim, Khalqu Af'alil 'Ibad karya Imam Bukhari, Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah karya Imam al-Lalika'i, 'Aqidatu Ash-habil Hadits karya ash-Shabuni, dan lain sebagainya. Wafatnya Ibnu Mandah Ibnu Mandah wafat pada tahun 395 H. Sebagaimana penjelasan Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya; Siyar A'lam an-Nubala', Tadzkiratul Huffazh, dan Mizanul I'tidal. Demikian pula penjelasan alHafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. Keterangan Ibnu Abi Ya'la dalam kitabnya Thabaqat al-Hanabilah, Ibnul 'Imad dalam Syadzarat adz-Dzahab. Dan keterangan Ibnu Taghri Bardi dalam an-Nujum az-Zahirah. Dan inilah pendapat Abu Nu'aim dalam Tarikh Ashbahan. Sementara para ulama yang lain berpendapat bahwa Ibnu Mandah wafat pada tahun 396 H. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam al-Muntazham, Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam Ibnul Atsir dalam al-Kamil, dan ash-Shofadi dalam alWafi bil Wafayat. Dan ini adalah pendapat al-Hakim an-Naisaburi. Kedua pendapat ini dibawakan oleh Imam Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tarikh Damaskus. Pen-tahqiq Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah menjelaskan bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Abu Nu'aim. Karena Abu Nu'aim dan Ibnu Mandah tinggal di negeri yang sama. Terlebih lagi antara keduanya telah terjadi permasalahan; suatu sebab yang boleh jadi menjadi pendorong untuk mengikuti berita-berita tentangnya. Selain itu, Abu Nu'aim juga membawakan tambahan ilmu (ziyadah). Sementara sebagaimana dimaklumi di kalangan para ulama hadits bahwa ziyadatu tsiqah -tambahan keterangan dari perawi yang terpercaya- itu diterima. Sumber: Pengantar Kitab at-Tauhid li Ibni Mandah, hal. 1-69 # Sekilas Mengenal Imam Bukhari Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah alJu'fi. Dalam bahasa Persia kata 'bardizbah' bermakna 'petani'. Imam Bukhari dilahirkan di Bukhara pada hari Jum'at setelah sholat Jum'at tanggal 13 Syawwal tahun 194 H. Ketika beliau masih kecil ayahnya sudah meninggal. Karena itulah beliau tumbuh di bawah asuhan ibunya. Beliau telah giat menimba ilmu sejak masih belia. Imam Bukhari menceritakan, “Dahulu aku mendapat ilham untuk menghafalkan hadits semenjak masih berada di kuttab/sekolah dasar.” Ketika itu beliau masih berumur 10 tahun atau bahkan kurang. Dalam usia yang masih belia, beliau telah menyibukkan diri dengan menimba ilmu dan mendegar hadits-hadits. Diantara ulama di negerinya yang beliau simak haditsnya adalah Muhammad bin Sallam dan Muhammad bin Yusuf al-Baikandi. Kemudian, pada tahun 210 H beiau menunaikan ibadah haji bersama ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Setelah itu ibu dan kakaknya pulang sedangkan Bukhari tetap tinggal untuk menimba ilmu di Mekah dan Madinah. Setelah itu beliau pun mengadakan perjalanan untuk menimba ilmu kepada para ahli hadits di berbagai wilayah seperti Khurasan, Syam, Mesir, Iraq, bahkan beliau sempat mendatangi kota Baghdad hingga berkali-kali. Para penduduk Baghdad pun berkumpul di dalam majelisnya dan mereka mengakui keunggulan beliau dalam periwayatan dan pemahaman hadits. Imam Bukhari memiliki kecerdasan dan kekuatan hafalan yang sangat menakjubkan. Muhammad bin Hamdawaih menceritakan : Aku mendengar Bukhari berkata, “Aku menghafal seratus ribu hadits yang sahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak sahih.” Suatu ketika Imam Bukhari hadir di majelis pengajian Sulaiman bin Harb sedangkan Bukhari hanya mendengar dan tidak mencatat. Ada yang bertanya kepada teman-temannya mengapa dia tidak mencatat. Maka dijawab, “Dia akan kembali ke Bukhara dan mencatat dengan hafalannya.” Imam Bukhari menceritakan : Apabila aku bertemu dengan Sulaiman bin Harb maka beliau berkata kepadaku, “Terangkan kepada kami letak kesalahan Syu'bah -dalam periwayatan hadits, pent-.” Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Negeri Khurasan belum pernah memunculkan seorang ulama semisal Muhammad bin Isma'il -yaitu Imam Bukhari-.” Suatu saat sampai kepada 'Ali bin al-Madini ucapan Bukhari, “Tidaklah aku merasa kecil/tidak ada apa-apanya kecuali apabila sedang berada di majelis 'Ali bin al-Madini.” Maka Imam Ibnul Madini rahimahullah -salah seorang guru Imam Bukhari- mengomentari perkataan itu kepada orang yang menyampaikannya, “Tinggalkan ucapannya itu. Sesungguhnya dia tidak pernah melihat orang lain yang semisal dengan dirinya.” Roja' bin Roja' mengatakan, “Beliau -yaitu Imam Bukhari- adalah salah satu diantara ayat/tanda kekuasaan Allah yang berjalan di atas muka bumi.” Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah -yang digelari dengan imamnya para imam- mengatakan, “Aku belum pernah melihat di bawah kolong langit ini orang yang lebih berilmu tentang hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan lebih hafal tentangnya daripada Muhammad bin Isma'il al-Bukhari.” Diantara karya Imam Bukhari adalah kitabnya al-Jami' ash-Shahih -yang terkenal dengan nama Sahih Bukhari-, kemudian al-Adab al-Mufrad, Raf'ul Yadain fish Sholah, al-Qira'ah khalfal imam, Birrul walidain, Khalqu af'alil 'ibaad, dll. Beliau wafat di Khartank salah satu kota di Samarqand pada malam Sabtu setelah sholat 'Isyak dan itu bertepatan dengan malam idul fithri kemudian dikubur setelah sholat Zhuhur pada hari raya Iedul Fithri yaitu di tahun 256 H. Umur beliau ketika itu adalah 62 tahun kurang 13 hari. Semoga Allah merahmatinya. Beliau telah meninggalkan setelah wafatnya ilmu yang bermanfaat bagi segenap kaum muslimin. Meskipun beliau telah meninggal akan tetapi ilmunya tidak terputus. Bahkan ia terus mengalir dan memberikan manfaat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara..” diantaranya adalah “ilmu yang bermanfaat” (HR. Muslim) Sumber : Biografi Ringkas Imam Bukhari oleh Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad hafizhahullah. Bisa dibaca lebih lengkap dalam Kutub wa Rasa'il 'Abdil Muhsin (2/11-19) # Imam Bukhari Pun Tak Lepas Dari Tuduhan Pada tahun 250 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di kota itu dan juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.” Setelah itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengarkan hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul 'masalah' di majelis Muhammad bin Yahya, dimana orang-orang yang semula mendengarkan hadits di majelis beliau beralih menuju majelisnya Imam Bukhari. Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara dirinya dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua. Beliau pernah berpesan kepada murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan tentang al-Qur'an kalamullah, pent). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi'ah), Jahmi, dan penganut Murji'ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.” Ahmad bin 'Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad/dengki terhadap beliau. Mereka menuduh Imam Bukhari berpendapat bahwa al-Qur'an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur'an. Orang itu berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur'an; apakah ia termasuk makhluk atau bukan makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Imam Bukhari berpaling darinya dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab, “al-Qur'an adalah Kalam Allah, bukan makhluk. Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan semacam ini adalah bid'ah.” Yang menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah menyimpulkan, “Kalau begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Dalam riwayat lain, Imam Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang mengatakan, “Kalau begitu al-Qur'an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan kesalahpahaman di antara para hadirin. Tatkala hal ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, maka beliau berkata, “al-Qur'an adalah kalam Allah, bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur'an yang saya lafalkan adalah makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah mubtadi'/ahli bid'ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah ini pergi kepada Muhammad bin Isma'il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.” Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin Salamah. Sampai-sampai, adz-Dzuhli menyatakan, “Ketahuilah, barangsiapa yang ikut berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent- maka tidak halal hadir dalam majelis kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim pun mengambil selendangnya dan diletakkannya di atas imamah/penutup kepala yang dikenakannya lalu dia berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan beliau, dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang pernah dia tulis dari beliau di atas punggung seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan ini. al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Muslim telah bersikap adil tatkala dia tidak menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang itu -adz-Dzuhli-.” Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah menyimpan ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan, “Barangsiapa yang mendakwakan aku berpandangan bahwa al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk, sesungguhnya dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak berpendapat seperti itu.” Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia berkata, “Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita tentang dirimu bahwasanya kamu berpendapat al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam Bukhari menjawab, “Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini; siapa pun diantara penduduk Naisabur dan negeri-negeri yang lain yang mendakwakan bahwa aku berpendapat al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak pernah mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah perbuatan hamba adalah makhluk.” [Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, hal. 658-659] Saudaraku, inilah kisah nyata yang terjadi di masa lalu... Sebuah kisah memilukan yang harus terjadi pada diri seorang ulama besar, amirul mukminin fil hadits, sang penyusun kitab paling sahih sesudah Kitabullah, Imam Muhammad bin Isma'il al-Bukhari rahimahullah. Kerenggangan hubungan antara sesama ulama, akibat ulah orang-orang yang menyimpan hasad kepada sesama saudaranya. Subhanallah... Apakah kejadian semacam ini telah berulang di masa kita sekarang ini? Allah lah Yang Maha tahu apa sesungguhnya yang terjadi di antara para da'i ahlus sunnah di masa ini... Dari kisah ini, banyak pelajaran yang dapat dipetik, antara lain: 1. Tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil sikap atas suatu berita atau kabar tidak baik mengenai saudara kita, apalagi dari kalangan da'i dan alim ulama 2. Kewajiban untuk mengecek kebenaran berita dan mengambil informasi dari sumber-sumber yang terpercaya, tidak boleh sembarangan mengambil berita yang dibawa oleh manusia 3. Semestinya kita mendahulukan sikap husnuzhan/prasangka baik kepada sesama saudara kita, karena sesungguhnya memperturutkan prasangka buruk tanpa alasan yang benar adalah kedustaan dan memecah-belah barisan kaum muslimin 4. Kebenaran harus tetap dibela dan dipertahankan, meskipun pengikutnya sedikit dan dicemooh di hadapan manusia. Dan tidak selayaknya kebenaran itu ditinggalkan gara-gara perasaan tidak enak (pekewuh; jawa) kepada orang yang diseganinya 5. Setiap da'i hendaknya selalu bertawakal kepada Allah dan menjauhi ambisi-ambisi rendah seperti untuk mencari ketenaran, kedudukan, dan lain sebagainya. Allahul musta'aan. # Lebih Baik Daripada Onta Merah Dari Sahl bin Sa'd radhiyallahu'anhu, suatu ketika dalam peperangan Khaibar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku akan memberikan bendera ini kepada seorang pria yang melalui kedua tangannya Allah akan memberikan kemenangan, dia mencintai Allah dan rasul-Nya, dan Allah dan rasul-Nya pun mencintainya.” Sahl berkata: Maka di malam harinya orang-orang pun membicarakan siapakah kira-kira di antara mereka yang akan diberikan bendera itu. Sahl berkata: Ketika pagi harinya, orang-orang hadir dalam majelis Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Masing-masing dari mereka sangat mengharapkan untuk menjadi orang yang diberikan bendera itu. Kemudian, Nabi bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?”. Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, dia sedang menderita sakit di kedua matanya.” Sahl berkata: Mereka pun diperintahkan untuk menjemputnya. Kemudian, dia pun didatangkan lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meludahi kedua matanya dan mendoakan kesembuhan baginya maka sembuhlah ia. Sampai-sampai seolah-olah tidak menderita sakit sama sekali sebelumnya. Maka beliau pun memberikan bendera itu kepadanya. Ali berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya harus memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita?”. Beliau menjawab, “Berjalanlah dengan tenang, sampai kamu tiba di sekitar wilayah mereka. Lalu serulah mereka untuk masuk Islam dan kabarkan kepada mereka hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi Allah, apabila Allah menunjuki seorang saja melalui dakwahmu itu lebih baik bagimu daripada kamu memiliki onta-onta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits yang agung ini mengandung pelajaran, antara lain: 1. Kewajiban untuk berdakwah mengajak musuh (orang kafir) untuk masuk Islam sebelum dikobarkannya peperangan. Namun, apabila musuh tersebut sudah pernah didakwahi -tetapi menolak- maka hal itu tidak lagi wajib, namun dianjurkan (lihat Syarh Muslim [8/30], alJadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 69) 2. Keislaman seseorang -orang kafir yang bersyahadat- tetap diterima meskipun dalam keadaan sedang terjadi peperangan (lihat Syarh Muslim [8/31]) 3. Hukum di dunia dibangun di atas apa yang tampak secara lahir. Adapun hukum batinnya diserahkan kepada Allah (lihat Syarh Muslim [8/31]) 4. Syarat sah keislaman adalah harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Apabila dia bisu atau mengalami hambatan lain yang serupa maka cukup baginya mengisyaratkan terhadap syahadat itu (lihat Syarh Muslim [8/31]) 5. Hadits ini menunjukkan betapa besar keutamaan ilmu dan mendakwahkan petunjuk serta tuntunan-tuntunan yang baik (lihat Syarh Muslim [8/30]) 6. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdakwah mengajak manusia untuk memeluk agama Islam. Ini merupakan bantahan yang sangat jelas bagi kaum Liberal dan Pluralis yang menganggap bahwa Islam yang diserukan kepada manusia adalah Islam dengan pengertian 'kepasrahan kepada Tuhan semata' tanpa ada kewajiban untuk masuk ke dalam agama yang disebut Islam. 7. Hadits ini menunjukkan betapa besar keutamaan orang yang bisa mengajak kepada Islam kepada orang lain kemudian orang yang didakwahi tersebut menerimanya (masuk Islam), meskipun jumlahnya hanya satu orang 8. Hadits ini menunjukkan keutamaan yang sangat jelas pada diri Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memujinya dengan katakata, “Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan rasul-Nya pun mencintainya.” 9. Wajibnya mencintai Ali bin Abi Thalib. Karena konsekuensi cinta kepada Allah dan RasulNya adalah kita juga harus mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya 10. Allah memiliki sifat mencintai (lihat al-Jadid, hal. 69) 11. Mukjizat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat al-Jadid, hal. 69) 12. Hadits ini menunjukkan betapa besar semangat para sahabat untuk memperoleh kebaikan agama mereka (lihat al-Jadid, hal. 69). Karena mereka sangat ingin menjadi orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu mereka berharap untuk diberi bendera tersebut, bukan karena mereka menyimpan ambisi kekuasaan sebagaimana yang dituduhkan oleh kaum Syi'ah! 13. Semestinya seorang pemimpin memeriksa keadaan rakyat atau orang yang dipimpinnya (lihat al-Jadid, hal. 69) 14. Wajibnya beriman kepada takdir, tatkala bendera itu ternyata diberikan bukan kepada orang yang berusaha untuk bisa mendapatkannya (lihat al-Jadid, hal. 69) 15. Seorang panglima perang hendaknya senantiasa bertindak dengan tenang, namun bukan berarti bersikap lemah dan tidak menunjukkan wibawa (lihat al-Jadid, hal. 69) 16. Dua kalimat syahadat yang diucapkan dengan lisan tidak cukup jika tidak diiringi dengan amalam yang membuktikannya (lihat al-Jadid, hal. 69) 17. Bolehnya bersumpah ketika menyampaikan suatu perkara untuk lebih menekankan atau ada kemaslahatan lainnya, meskipun ia tidak diminta bersumpah (lihat al-Jadid, hal. 69) 18. Hendaknya seorang da'i dalam mengajak kepada objek dakwahnya, yang pertama kali diserukannya adalah agar mereka memahami dua kalimat syahadat (lihat al-Jadid, hal. 70) 19. Seorang pemimpin atau pun pemerintah hendaknya mengirim utusan orang-orang yang berdakwah kepada agama Allah -yaitu mendakwahkan tauhid dan Sunnah- sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khulafa' arrasyidin (lihat Fath al-Majid, hal. 90) # Pentingnya Berpegang Teguh dengan Manhaj Salaf Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata, “Ikutilah tuntunan, dan jangan membuat ajaranajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 46) Beliau radhiyallahu'anhu juga berkata, “Sesungguhnya kami ini hanyalah meneladani, bukan memulai. Kami sekedar mengikuti, dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami tidak akan tersesat selama tetap berpegang teguh dengan atsar.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 46) Ubay bin Ka'ab radhiyallahu'anhu berkata, “Hendaknya kalian berpegang dengan jalan yang benar dan mengikuti Sunnah. Karena tidaklah seorang hamba yang tegak di atas jalan yang benar dan setia dengan Sunnah, mengingat ar-Rahman dan kemudian kedua matanya meneteskan air mata karena rasa takut kepada Allah, lantas dia akan disentuh oleh api neraka selama-lamanya. Sesungguhnya bersikap sederhana di atas Sunnah dan kebaikan itu lebih baik daripada bersungguhsungguh dalam menyelisihi jalan yang benar dan menentang Sunnah.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 46) Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama kita dahulu senantiasa mengatakan: Apabila seseorang itu berada di atas atsar, maka itu artinya dia berada di atas jalan yang benar.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 47) Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah berpegang teguh dengan ajaran para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, berusaha meneladani mereka, dan meninggalkan bid'ah-bid'ah.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 47-48) Imam al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah meniti jalan ini; Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, serta Sunnah para Sahabatnya radhiyallahu'anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang terakhir diantara mereka; semisal al-Auza'i, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, asy-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh serta dengan menjauhi setiap madzhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 49) Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari'at-Nya. Kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid'ah-bid'ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta'ala (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110).” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 87) Ahmad bin Sinan al-Qaththan rahimahullah berkata, “Tidaklah ada di dunia ini seorang ahli bid'ah kecuali dia pasti membenci ahli hadits. Maka apabila seorang membuat ajaran bid'ah niscaya akan dicabut manisnya hadits dari dalam hatinya.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 124) Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya ilmu bukanlah dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid'ah, meskipun ilmu dan kitabnya banyak.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 163) # Prinsip Para Imam Imam Abu Hanifah berkata, “Apabila suatu hadits terbukti sahih, itulah madzhabku.” Beliau juga berkata, “Tidak halal bagi siapa pun mengambil pendapat kami selama dia tidak mengerti darimana kami mengambilnya.” Beliau berkata, “Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalil pendapatku untuk berfatwa dengan ucapanku.” Beliau berkata, “Apabila aku mengucapkan suatu pendapat yang bertentangan dengan Kitabullah ta'ala dan hadits Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam maka tinggalkanlah ucapanku.” Imam Malik berkata, “Sesungguhnya saya ini manusia biasa, bisa benar bisa salah, maka lihatlah pendapatku. Semua yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah ambillah. Dan semua yang tidak sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah tinggalkanlah.” Beliau juga berkata, “Tidak ada seorang pun sesudah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan ucapannya bisa diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.” Imam Syafi'i berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya suatu Sunnah/Hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkannya karena mengikuti pendapat orang lain.” Beliau berkata, “Apabila kalian menemukan di dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka ikutilah Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku.” Beliau berkata, “Setiap permasalahan yang padanya terdapat hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yang disahkan oleh para ahli hadits ternyata menyelisihi pendapatku, maka aku rujuk darinya selama aku hidup maupun setelah mati.” Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka dia berada di tepi kehancuran.” (bisa dilihat di mukadimah Sifat Sholat Nabi, hal. 46-53) @ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737 atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro Konfirmasi Donasi via SMS : Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000 Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa) Informasi : www.al-mubarok.com # Nasehat Bagi Si Sakit Abdullah bin Umar -radhiyallahu'anhu- menemui Ibnu Amir -Gubernur Bashrah-, beliau datang untuk menjenguknya yang sedang menderita sakit. Maka Ibnu Amir berkata, “Tidakkah engkau mendoakan kebaikan untukku kepada Allah, wahai Ibnu Umar?”. Ibnu Umar menjawab, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tidak diterima sholat tanpa bersuci demikian juga sedekah dari harta rampasan (baca: hasil korupsi).' Sedangkan engkau sekarang ini menjadi penguasa Bashrah.” (HR. Muslim) Hadits yang agung ini mengandung pelajaran di antaranya: 1. Wajib berada dalam keadaan suci untuk sahnya sholat. Bahkan, umat Islam telah sepakat bahwa thaharah (suci) merupakan syarat sah sholat (lihat Syarh Muslim [3/8]) 2. Sahabat Ibnu Umar bermaksud menasehati seorang gubernur Bashrah -saat dia terbaring sakit- agar bertaubat dari penyimpangan yang dilakukannya dengan menyampaikan hadits ini. Namun, hal itu bukanlah berarti bahwa doa yang dipanjatkan untuk kebaikan orang fasik adalah doa yang tidak mungkin dikabulkan (lihat Syarh Muslim [3/8]) 3. Hendaknya menjenguk orang yang sakit dan menyampaikan sesuatu yang bermanfaat bagi kebaikan dirinya, sebagaimana teladan yang diberikan oleh Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma 4. Seorang ulama boleh menemui penguasa dalam rangka menasehatinya, dan hal itu bukanlah perkara yang tercela atau dinilai sebagai perbuatan menjilat penguasa 5. Kasih sayang kepada sesama muslim -terlebih lagi kepada penguasa mereka- yang diwujudkan dalam bentuk nasehat -menginginkan kebaikan- bagi mereka. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?”. Maka beliau menjawab, “Untuk -kesucian- Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, dan untuk kebaikan para pemimpin kaum muslimin serta rakyatnya.” (HR. Muslim dari Tamim adDari). Di antara bentuk nasehat itu adalah sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar. Secara fisik, beliau menjenguknya ketika menderita sakit. Adapun secara ma'nawi, maka beliau pun menasehatinya dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh, sebuah teladan yang demikian mengagumkan... 6. Memberikan nasehat hendaknya menggunakan kata-kata yang tepat. Di antara kata-kata yang paling baik digunakan untuk menyampaikan nasehat adalah hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam 7. Hadits ini menunjukkan betapa besar pengagungan generasi salaf terhadap hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan hadits itulah yang menjadi syi'ar kehidupan mereka sehingga dengan mudahnya hadits-hadits itu terlontar dalam percakapan di antara mereka 8. Hendaknya seorang da'i memperhatikan kondisi mad'u -objek dakwah-nya. Apabila mereka membutuhkan bantuannya -sedangkan dia mampu- maka semestinya dia mengulurkan bantuan untuk mereka. 9. Hadits ini menunjukkan bahwa semata-mata niat baik tidak bisa menjadikan amalan yang salah menjadi benar atau diterima. Orang yang dengan ikhlas ingin mengerjakan sholat tapi tidak suci, maka sholatnya tidak sah seikhlas apapun niatnya. Demikian juga orang yang bersedekah dengan ikhlas, maka sedekahnya tidak diterima jika hartanya berasal dari harta hasil rampasan (baca: hasil korupsi) seikhlas apapun niatnya. Islam tidak mengenal kaidah tujuan menghalalkan segala cara. 10. Boleh meminta orang lain (yang salih) untuk mendoakan kebaikan untuk kepentingan pribadi, meskipun yang lebih utama adalah berdoa sendiri kepada Allah. 11. Apa yang diinginkan seseorang belum tentu sesuatu yang terbaik baginya. # Sapi Bisa Berbicara?! Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu, ada seorang lelaki berjalan sembari menunggangi seekor sapi miliknya [dan dia pun memukuli/mencambukinya]. Maka sapi itu pun menoleh kepadanya dan berkata, 'Aku diciptakan bukan untuk diperlakukan seperti ini. Akan tetapi aku diciptakan untuk bercocok tanam.'.” Orang-orang pun berkomentar, “Subhanallah -dengan perasaan heran dan kaget-, sapi bisa berbicara?.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku mengimani -meyakini kebenaran- hal itu, demikian juga Abu Bakar dan Umar.” (HR. Bukhari dan Muslim, tambahan dalam tanda kurung dari riwayat Bukhari) Hadits yang agung ini memberikan pelajaran-pelajaran penting, antara lain: 1. Boleh menggunakan sapi untuk keperluan bercocok tanam, seperti membajak sawah dan semacamnya (lihat Shahih Bukhari, Kitab al-Harts wal Muzara'ah, hal. 477 cet. Maktabah al-Iman) 2. Hadits ini menunjukkan keutamaan sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab radhiyallahu'anhuma (lihat Shahih Bukhari, Kitab Fadha'il Ash-habin Nabiyyi shallallahu 'alaihi wa sallam, hal. 764 dan 770, Syarh Muslim [8/12]) 3. Hadits ini menunjukkan wajibnya membenarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun secara sepintas terdengar aneh atau di luar jangkauan akal. Hal itu dikarenakan beliau tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, namun sekedar menyampaikan wahyu dari Rabbnya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dengan berdasarkan hawa nafsunya, akan tetapi itu adalah wahyu yang disampaikan kepadanya.” (an-Najm: 3-4). Oleh sebab itu upaya sebagian kalangan yang tidak bertanggung jawab untuk menimbulkan keragu-raguan di dalam hati umat Islam akan kebenaran hadits-hadits Nabi adalah sebuah gerakan untuk meruntuhkan akidah Islam [!!], maka waspadalah wahai saudaraku! 4. Ucapan 'subhanallah' ketika mendengar atau melihat sesuatu yang mengherankan 5. Hadits ini menunjukkan bolehnya menyebutkan nama sebagian orang yang memiliki keutamaan di hadapan orang-orang untuk menunjukkan keutamaan mereka. 6. Hadits ini tidak bisa diartikan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak yakin dalam menyampaikan wahyu. Ada hikmah yang tersembunyi di balik sikap beliau membawa-bawa nama Abu Bakar dan Umar. Di antara hikmahnya -wallahu a'lam- adalah untuk menunjukkan keutamaan mereka berdua dan kekuatan iman mereka. 7. Semestinya memakai sesuatu sesuai dengan tujuan atau maksud pembuatannya. 8. Hadits ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah ta'ala, sehingga Allah pun mampu membuat binatang bisa berbicara. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah itu Maha berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah: 20). Jangankan binatang -yang memiliki mulut-, sedangkan kulit saja -yang tidak punya mulut- kelak pada hari kiamat bisa berbicara dengan kuasa Allah ta'ala! 9. Menyampaikan kisah -yang sahih- merupakan salah satu bagian dari metode dakwah Nabi, tentu saja dengan tujuan untuk mengambil pelajaran darinya. 10. Sapi -demikian juga kerbau- adalah salah satu makhluk Allah. Oleh sebab itu manusia -yang telah dimuliakan Allah- tidak layak menghinakan diri di hadapan binatang, apalagi berebut mengambil kotorannya demi mendapatkan berkah [?!], na'udzu billahi min dzalik... Memang, bukan mata yang buta, akan tetapi sesuatu yang berada di dalam dada... 11. Akal manusia tidak bisa dijadikan sebagai standar/tolok ukur kebenaran. Namun yang bisa dijadikan standar adalah wahyu dari Allah ta'ala (al-Qur'an dan as-Sunnah) # Sumber Kemaksiatan Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Sumber segala bentuk kemaksiatan yang besar ataupun yang kecil ada tiga: ketergantungan hati kepada selain Allah, memperturutkan kekuatan angkara murka, dan mengumbar kekuatan nafsu syahwat. Wujudnya adalah syirik, kezaliman, dan perbuatan-perbuatan keji. Puncak ketergantungan hati kepada selain Allah adalah kemusyrikan dan menyeru sesembahan lain sebagai sekutu bagi Allah. Puncak memperturutkan kekuatan angkara murka adalah terjadinya pembunuhan. Adapun puncak mengumbar kekuatan nafsu syahwat adalah terjadinya perzinaan. Oleh sebab itu Allah subhanahu memadukan ketiganya dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak menyeru bersama Allah sesembahan yang lain, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali apabila ada alasan yang benar, dan mereka juga tidak berzina.” (al-Furqan: 68). Ketiga jenis dosa ini saling menyeret satu dengan yang lainnya. Syirik akan menyeret kepada kezaliman dan perbuatan keji, sebagimana halnya keikhlasan dan tauhid akan menyingkirkan kedua hal itu dari pemiliknya (ahli tauhid). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Demikianlah, Kami palingkan darinya -Yusuf- keburukan dan perbuatan keji, sesungguhnya dia termasuk kalangan hamba pilihan Kami (yang ikhlas).” (Yusuf: 24) Yang dimaksud dengan 'keburukan' (as-Suu') di dalam ayat tadi adalah dimabuk cinta ('isyq), sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan keji (al-fakhsya') adalah perzinaan. Maka demikian pula kezaliman akan bisa menyeret kepada perbuatan syirik dan perbuatan keji. Sesungguhnya syirik itu sendiri merupakan kezaliman yang paling zalim, sebagaimana keadilan yang paling adil adalah tauhid. Keadilan merupakan pendamping bagi tauhid, sementara kezaliman merupakan pendamping syirik. Oleh sebab itulah, Allah subhanahu memadukan kedua hal itu. Adapun yang pertama -keadilan sebagai pendamping tauhid- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya), “Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah, demikian juga bersaksi para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dalam rangka menegakkan keadilan.” (Ali Imran: 18). Adapun yang kedua -kezalimaan sebagai pendamping syirik- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya syirik merupakan kezaliman yang sungguhsungguh besar.” (Luqman: 13). Sementara itu, perbuatan keji pun bisa menyeret ke dalam perbuatan syirik dan kezaliman. Terlebih lagi apabila keinginan untuk melakukannya sangat kuat dan tidak bisa didapatkan selain dengan tindakan zalim serta meminta bantuan sihir dan setan. Allah subhanahu pun telah memadukan antara zina dan syirik di dalam firman-Nya (yang artinya), “Seorang lelaki pezina tidak akan menikah kecuali dengan perempuan pezina pula atau perempuan musyrik. Demikian juga seorang perempuan pezina tidak akan menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan hal itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman.” (an-Nur: 3). Ketiga perkara ini saling menyeret satu dengan yang lainnya dan saling mengajak satu sama lain. Oleh sebab itu, setiap kali melemah tauhid dan menguat syirik pada hati seseorang maka semakin banyak perbuatan keji yang dilakukannya, kemudian semakin besar pula ketergantungan hatinya kepada gambar-gambar -yang terlarang- serta semakin kuat pula kerinduan yang menggelayuti hatinya terhadap gambar/rupa tersebut... (diterjemahkan dari al-Fawa'id, hal. 78-79) # Keagungan Syahadat Laa Ilaha Illallah Pembaca rahimakumullah, syahadat laa ilaha illallah adalah cabang keimanan yang tertinggi. Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [9] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [35], lafal ini milik Muslim) Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa yang paling utama di antara semua cabang itu adalah tauhid; yang hukumnya wajib atas setiap orang, dan tidaklah dianggap sah cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini.” (lihat Syarh Muslim [2/88] cet. Dar Ibnul Haitsam) Syahadat inilah yang kelak akan menyelamatkan seorang hamba di hari kiamat. Maka tidaklah mengherankan jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat bersemangat untuk mendakwahi pamannya Abu Thalib agar mau mengucapkan kalimat ini sebelum kematiannya. Sa'id bin alMusayyab meriwayatkan dari ayahnya, beliau menceritakan: Ketika kematian hendak menghampiri Abu Thalib, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun datang kepadanya. Di sana beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin al-Mughirah telah berada di sisinya. Kemudian beliau berkata, “Wahai pamanku. Ucapkanlah laa ilaha illallah; sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untuk membelamu kelak di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?”. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus menawarkan syahadat kepadanya, sedangkan mereka berdua pun terus mengulangi ucapan itu. Sampai akhirnya ucapan terakhir Abu Thalib kepada mereka adalah dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkan laa ilaha illallah... (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana'iz [1360] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [24]) Tentu saja yang dimaksud orang yang bersyahadat dengan sebenarnya adalah orang yang memahami kandungannya. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempersyaratkan ilmu pada diri orang yang mengucapkan syahadat, jika dia memang ingin masuk ke dalam surga. Dari 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah, niscaya dia akan masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [26]) Namun, memahami kandungan syahadat dan mengucapkannya pun belum cukup jika tidak disertai dengan amalan nyata di dalam kehidupan. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mempersyaratkan orang yang ingin masuk surga untuk membersihkan dirinya dari syirik. Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku -Ibnu Mas'ud- berkata, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana'iz [1238] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [92]) Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah 'azza wa jalla. Akan tetapi mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka...” (lihat Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah, hal. 23 cet. Dar Tsurayya 1424 H). Ini menunjukkan bahwa mengucapkan syahadat belum bisa menyelamatkan jika tidak dibarengi dengan keyakinan dan dibuktikan dengan amalan. Meskipun demikian, bukan berarti kita boleh sembarangan mencurigai orang. Sebab yang menjadi patokan adalah apa yang tampak secara lahiriah. Adapun urusan batin kita serahkan kepada Allah ta'ala. Marilah, sejenak kita simak kisah Usamah bin Zaid berikut ini... Usamah bin Zaid radhiyallahu'anhuma menceritakan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim kami untuk bertempur melawan kaum Huraqah. Kami pun menggempur mereka dan berhasil membuat mereka kocar-kacir. Aku bersama seorang Anshar mengikuti salah seorang diantara mereka. Tatkala kami berhasil meringkusnya, tiba-tiba dia mengucapkan laa ilaha illallah. Temanku dari kaum Anshar pun menahan diri, sedangkan aku terus menyerangnya dengan tombakku hingga dia tewas. Pada saat kami pulang, kejadian itu dilaporkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda, “Wahai Usamah! Apakah kamu membunuhnya padahal dia telah mengucapkan laa ilaha illallah?!”. Aku menjawab, “Orang itu hanya ingin cari selamat.” Dalam riwayat lain Usamah menjawab, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya dia mengucapkan kalimat itu karena takut dari tebasan pedang.” Dalam riwayat lain Nabi bertanya, “Apakah kamu membelah dadanya, sehingga bisa mengetahui apakah dia benarbenar mengucapkannya atau tidak?!” Dalam riwayat lain Nabi berkata, “Apa yang akan kamu lakukan dengan laa ilaha illallah apabila kelak ia datang pada hari kiamat?!”. Nabi terus mengulangi ucapan itu sampai-sampai aku berharap seandainya aku belum masuk Islam sebelum hari itu (HR. Bukhari dalam Kitab al-Maghazi [4269] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [96]) Kisah ini menunjukkan kepada kita betapa agung kedudukan kalimat laa ilaha illallah. Apabila seseorang telah mengucapkannya terjagalah darah dan hartanya, kecuali apabila dia melakukan dosa yang sangat besar sehingga menyebabkan dirinya layak diperangi atau ditumpahkan darahnya. Dari Abdullah bin 'Umar radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka mempersaksikan laa ilaha illallah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka melakukannya mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali ada alasan yang dibenarkan dalam Islam untuk mengambilnya. Adapun hisab atas mereka itu adalah urusan Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [25] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [22]) Darah seorang muslim haram untuk ditumpahkan kecuali ada sebab yang jelas dan dibenarkan oleh syari'at dalam menumpahkannya. Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang bersyahadat laa ilaha illallah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah satu diantara tiga alasan: membalas nyawa dengan nyawa, seorang yang telah menikah namun berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jama'ah/persatuan.” (HR. Bukhari dalam Kitab ad-Diyat [6878] dan Muslim dalam Kitab al-Qisamah wal Muharibin wal Qishash wad Diyat [1676] Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam 'orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jama'ah' maka itu bersifat umum mencakup semua orang yang murtad dari Islam dengan sebab apapun kemurtadannya. Oleh sebab itu wajib membunuhnya jika dia tidak mau kembali kepada Islam. Para ulama mengatakan: Hukum ini juga mencakup setiap orang yang keluar dari jama'ah (persatuan umat) dengan sebab bid'ah, pemberontakan, atau karena tindak kejahatan lain yang dia lakukan. Demikian pula termasuk dalam hal ini adalah kaum Khawarij. Wallahu a'lam.” (Syarh Muslim [6/228]) Seorang khalifah yang lurus, Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu'anhu telah menunjukkan kepada kita keteladanan dan keberanian dalam memerangi orang-orang yang secara terang-terangan menghinakan ajaran Islam dan mengingkari syari'at yang sudah baku. Tatkala sebagian orang arab sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi murtad dan menjadi pengikut nabi palsu -Musailamah al-Kadzdzab dan al-Aswad al-'Ansi- dan sebagian yang lain masih mengakui kewajiban sholat akan tetapi menolak kewajiban zakat, maka bangkitlah Sahabat Nabi yang mulia ini untuk menumpas pemberontakan mereka. Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu'anhu menceritakan: Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat kemudian Abu Bakar diangkat menjadi khalifah sesudahnya, maka sebagian orang Arab pun kembali ke dalam kekafiran. 'Umar bin al-Khaththab berkata kepada Abu Bakar, “Bagaimana bisa engkau memerangi orang-orang itu, padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan laa ilaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah maka terjaga harta dan nyawanya kecuali ada alasan yang benar untuk mengambilnya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah.” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku pasti akan memerangi orang-orang yang membeda-bedakan antara sholat dengan zakat, karena zakat adalah kewajiban atas harta. Demi Allah, seandainya mereka menolak menyerahkan kepadaku seutas tali yang dahulu biasa mereka serahkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam -di masa beliau masih hidup- niscaya aku akan memerangi mereka karena penolakan itu.” 'Umar bin al-Khaththab berkata, “Demi Allah, tidaklah aku melihatnya kecuali Allah 'azza wa jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang. Sehingga aku pun mengetahui bahwa tindakan beliau adalah benar.” (HR. Bukhari dalam Kitab az-Zakah [1399] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [20]) # Ya Allah, Umatku, Umatku... Dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash radhiyallahu'anhuma, beliau menceritakan: Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah 'azza wa jalla mengenai Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah banyak menyesatkan manusia, barangsiapa yang mengikutiku maka sesungguhnya dia adalah termasuk golonganku.” (Ibrahim: 36). 'Isa 'alaihis salam juga berkata (yang artinya), “Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, dan apabila Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Ma'idah: 118). Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, umatku, umatku.” Dan beliaupun menangis. Allah 'azza wa jalla berkata, “Wahai Jibril, pergi dan temuilah Muhammad -sedangkan Rabbmu tentu lebih mengetahui- lalu tanyakan kepadanya, apa yang membuatmu menangis?”. Maka Jibril 'alaihis sholatu was salam pun menemui beliau dan bertanya kepadanya, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberitakan kepadanya tentang apa yang telah diucapkannya -dan Dia (Allah) tentu lebih mengetahuinya-. Lantas Allah berkata, “Wahai Jibril, pergi dan temuilah Muhammad, dan katakan kepadanya, 'Sesungguhnya Kami pasti akan membuatmu ridha berkenaan dengan nasib umatmu, dan Kami tidak akan membuatmu bersedih.'.” (HR. Muslim) Hadits yang agung ini mengandung pelajaran berharga, di antaranya: 1. Keterangan mengenai betapa sempurna rasa kasih sayang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap umatnya dan perhatian beliau yang sangat besar terhadap kemaslahatan umatnya (lihat Syarh Muslim [2/345]) 2. Dianjurkan untuk mengangkat kedua belah tangan ketika berdoa (lihat Syarh Muslim [2/345]) 3. Kabar gembira bagi umat ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, “Sesungguhnya Kami pasti akan membuatmu ridha berkenaan dengan nasib umatmu, dan Kami tidak akan membuatmu bersedih.' (lihat Syarh Muslim [2/345]) 4. Keterangan mengenai keagungan posisi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di sisi Allah ta'ala dan betapa lembut sikap Allah kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat Syarh Muslim [2/345]) 5. Hikmah diutusnya Jibril untuk bertanya kepada Nabi adalah demi menampakkan kemuliaan yang ada pada diri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana beliau berada di sebuah kedudukan -makhluk- yang tertinggi sehingga layak untuk dimuliakan dengan bentuk memperoleh apa yang bisa membuatnya ridha dari Allah ta'ala (lihat Syarh Muslim [2/345]) 6. Bolehnya menangis, bahkan itu mencerminkan sifat kasih sayang yang ada pada diri seorang hamba. Selama tangisan itu muncul dari ketulusan hati, bukan karena pura-pura. 7. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa, Allah tidak membutuhkan makhluk-Nya, bahkan para malaikat sekalipun. 8. Para Nabi 'alaihimus sholatu was salam adalah orang-orang yang sangat menaruh perhatian terhadap nasib umatnya dan begitu menyayangi mereka, dan bukti terbesar atas hal itu adalah dakwah yang mereka serukan agar manusia kembali ke jalan Allah ta'ala, beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya serta taat kepada utusan-Nya 9. Semestinya seorang da'i merasa sedih dan prihatin dengan keburukan yang menimpa masyarakatnya dan berusaha mencari jalan keluar bagi permasalahan tersebut. 10. Penetapan bahwa Allah berbicara 11. Iman terhadap keberadaan Malaikat, bahwa mereka itu ada dan bukan sekedar kiasan sebuah kekuatan baik yang abstrak/tidak ada wujudnya 12. Hakekat kepedulian kepada umat adalah kepedulian terhadap agama mereka dan bagaimana nasib mereka kelak di akherat. Maka orang yang paling peduli terhadap nasib umat adalah para da'i tauhid, karena upaya mereka menyelamatkan orang dari kekalnya siksa neraka... # Tinjauan Sekilas Seputar Doa Masuk Rumah Imam Abu Dawud membuat bab di dalam Sunan-nya Bab Maa Yaquulur Rajulu Idza Dakhola Baitahu. Artinya; 'Bab Bacaan Doa Apabila Seseorang Hendak Memasuki Rumahnya'. Kemudian beliau membawakan hadits dengan sanadnya: Ibnu Auf menuturkan kepada kami. Dia berkata: Muhammad bin Isma'il mengabarkan kepada kami. Dia berkata: Ayahku menuturkan kepadaku. Ibnu Auf mengatakan: Aku melihat catatan asli yang ada pada Isma'il -ayahnya Muhammad-, dia berkata: Dhamdham menuturkan kepadaku dari Syuraih, dari Abu Malik al-Asy'ari radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang akan masuk rumahnya -di dalam rumahnya- maka hendaklah dia membaca doa; Allahumma inni as'aluka khairal maulaj wa khairal makhraj. Bismillahi walajnaa, wa bismillahi kharajnaa, wa 'alallahi Rabbinaa tawakkalnaa. Kemudian hendaknya dia mengucapkan salam kepada keluarganya.” (HR. Abu Dawud [5074], lihat 'Aunul Ma'bud [13/438], lihat juga al-Mu'jam alKabir [3/336], Musnad asy-Syamiyin [2/447]) Sebagian Periwayat Yang Dibicarakan Imam adz-Dzahabi berkata di dalam al-Muqizhah, “Pembicaraan mengenai periwayat-periwayat [hadits] membutuhkan sikap wara'/kehati-hatian yang sempurna, terbebas dari dorongan hawa nafsu dan terlepas dari kecondongan -kepada siapa pun-, pengetahuan yang mendalam tentang hadits, seluk-beluk 'illah/cacat hadits, dan juga para periwayatnya.” (dinukil dari Khulashat atTa'shil li 'Ilmi al-Jarh wa at-Ta'dil karya asy-Syarif Hatim bin 'Arif al-'Auni, hal. 23) Diantara kaidah yang bermanfaat dalam hal ini adalah, “Barangsiapa yang mengamalkan ucapan tokoh yang mengkritik (jarih) maka bukan berarti dia menuduh/mencurigai tokoh yang memberikan pujian/rekomendasi (tazkiyah), dan hal itu tidaklah menyebabkan kredibilitas muzakki/sang pemberi pujian menjadi jatuh. Dan kapan saja kita tidak mengamalkan ucapan tokoh yang mengkritik (jarih), maka hal itu merupakan bentuk pendustaan atasnya, menggugurkan kredibilitasnya, dan menafikan ilmunya mengenai sebab-sebab yang mengharuskan celaan/jarh maupun pujian/ta'dil. Padahal, telah diketahui kedudukan, sifat amanah, dan ilmu yang dimilikinya berseberangan dengan hal itu.” Hal ini dikarenakan pada ucapan ulama yang memberikan kritikan/jarh terdapat tambahan ilmu (lihat Khulashat at-Ta'shil li 'Ilmi al-Jarh, hal. 31-32) 1. Muhammad bin Isma'il Ibnu Hajar menerangkan, “Mereka -para ulama- mengkritiknya karena dia sering menuturkan hadits dari ayahnya padahal dia tidak mendengarnya secara langsung.” Imam Abu Hatim berkata, “Dia -Muhammad bin Isma'il- tidak mendengar [hadits] dari ayahnya sedikitpun...” Imam Abu Zur'ah berkata, “Dia adalah orang yang tidak tahu-menahu masalah hadits.” (lihat Taqrib atTahdzib, hal. 826, Tahdzib at-Tahdzib [3/514], al-Jami' fi al-Jarh wa at-Ta'dil [2/450]) 2. Isma'il bin 'Ayasy Adapun mengenai ayahnya yaitu Isma'il bin 'Ayasy, Ali bin al-Madini berkata, “Dia -Isma'il- bisa dipercaya apabila meriwayatkan dari sahabat-sahabatnya sesama penduduk Syam. Adapun yang diriwayatkannya selain dari penduduk Syam, maka terdapat kelemahan padanya.” (lihat Taqrib atTahdzib, hal. 142-143, Tadzkirat al-Huffazh [4/254-255], Tahdzib at-Tahdzib [1/162-164], Diwan adh-Dhu'afa' wal Matrukin [1/88] karya adz-Dzahabi). Imam al-Hakim berkata, “Beliau ini bersama dengan kemuliaan yang ada padanya, apabila meriwayatkan hadits secara menyendiri maka tidak diterima haditsnya karena buruknya hafalan beliau.” (Ikmal Tahdzib al-Kamal [2/198]). Imam Ahmad berkomentar, “Apabila dia -Isma'ilmenuturkan hadits dari orang-orang yang tsiqah/terpercaya maka dia bisa dipercaya.” (al-'Ilal wa Ma'rifatur Rijal [4/97]). Yahya bin Ma'in dan al-Fallas berkata, “Dia tsiqah jika meriwayatkan hadits dari penduduk Syam.” (Tadzkirat al-Huffazh [4/254]). Imam Bukhari berkata, “Apabila dia menuturkan hadits dari penduduk negerinya maka itu adalah [hadits] sahih.” (Nihayat al-Ightibath bi Man Rumiya Minar Ruwat bil Ikhtilath, hal. 59) 3. Syuraih bin 'Ubaid Muhammad bin 'Auf al-Himshi pernah ditanya mengenai Syuraih, “Apakah dia mendengar hadits dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab, “Aku kira tidak. Karena dia tidak pernah mengatakan dalam riwayatnya -dari mereka- dengan ungkapan 'sami'tu'; aku telah mendengar'.” (lihat al-Asami wal Kuna lil Imam Ahmad, tahqiq Abdullah bin Yusuf al-Judai' hal. 113, lihat juga Fath al-Bab fil Kuna wal Alqab karya Ibnu Mandah, hal. 437). Ibnu Abi Hatim meriwayatkan keterangan ayahnya di dalam al-Marasil, “Beliau tidak bertemu dengan Abu Umamah, al-Miqdam, maupun al-Harits bin al-Harits. Adapun haditsnya dari Abu Malik al-Asy'ari adalah mursal (terputus).” Abu Umamah wafat tahun 86 H. Para Sahabat Nabi selain Abu Umamah yang menjadi narasumber periwayatan Syuraih telah wafat sebelum itu atau tidak lama sesudahnya (lihat Tahdzib at-Tahdzib [2/161], al-Jami' fi al-Jarh wa at-Ta'dil [1/373], al-Asami wal Kuna lil Imam Ahmad, hal. 113). Perbedaan Penilaian Status Hadits 1. Ulama Yang Mensahihkan Imam as-Suyuthi menukil ucapan Ibnu Katsir. Ibnu Katsir meriwayatkan dari Imam Abu Dawud, bahwasanya beliau mengatakan, “Hadits yang aku diamkan, maka itu adalah -hadits- hasan.” Ibnu ash-Shalah mengatakan, “Berdasarkan keterangan ini; maka hadits-hadits yang kita jumpai di dalam kitabnya disebutkan tanpa ada komentar, hadits itu juga tidak tercantum dalam dua kitab shahih -Bukhari dan Muslim-, lalu tidak ada seorang pun yang menegaskan kesahihannya, maka kita bisa menyimpulkan bahwa hadits itu termasuk hadits hasan menurut Abu Dawud.” (lihat Taisir Mushthalah Hadits karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 106) Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di dalam Tuhfatul Akhyar menyatakan bahwa sanadnya hasan, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Dr. Sa'id bin Wahf al-Qahthani hafizhahullah dalam Hishnul Muslim (lihat Kumpulan Do'a Dari al-Qur'an dan Hadits, hal. 36). Syaikh Abdul Qadir al-Arna'uth dan Syaikh Ibrahim al-Arna'uth di dalam tahqiq kitab al-Wabil ashShayyib karya Ibnul Qayyim menyatakan bahwa sanad hadits ini sahih (lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 183. Maktabah Darul Bayan, 1393 H) 2. Ulama Yang Melemahkan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Di dalam kitabnya Nata'ij al-Afkar, beliau mengomentari hadits ini, “Ini adalah hadits gharib yang dikeluarkan oleh Abu Dawud. Selain itu, ath-Thabrani juga meriwayatkan hadits ini dalam Musnad al-Harits bin alHarits, akan tetapi dia keliru sebab dia bukanlah yang dimaksud, wallahu a'lam.” (lihat Mausu'ah al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haditsiyah [6/98]) Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sanadnya sahih. Kemudian tampaklah bagiku bahwa hadits ini munqathi'/terputus. Dulu aku membawakannya dalam jajaran hadits yang kugunakan sebagai penguat. Kemudian aku jelaskan hal itu dalam hadits yang lain dengan sanad ini di dalam adh-Dha'ifah [5606]. Aku pun menyebutkan di sana bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar menilai hadits ini gharib dan melemahkannya karena 'illat (cacat hadits) lain tetapi tidak merusak keabsahannya!..” (lihat al-Kalim ath-Thayyib, hal. 91) Penulis at-Tanbihat al-Malihah -buku yang mencantumkan koreksi ulang status hadits-hadits oleh Syaikh al-Albani rahimahullah- mengatakan, “Syaikh -al-Albani maksudnya- mengatakan dalam al-Kalim ath-Thayyib [61]: sanadnya sahih. Kemudian Syaikh rujuk dari pendapat ini dan beliau pun menilai lemah hadits ini sehingga beliau menghapusnya dari Shahih al-Kalim ath-Thayyib (cetakan ke-8).” (lihat at-Tanbihat al-Malihah 'ala Maa Taraaja'a 'anhu al-'Allamah al-Muhaddits al-Albani minal Ahadits adh-Dha'ifah au ash-Shahihah, hal. 75 penyusun Abdul Basith bin Yusuf al-Gharib. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Koreksi Ulang Syaikh Albani, lihat hadits ini di dalam buku tersebut hal. 119-120). Syaikh al-Albani rahmatullah 'alaih pun menempatkan hadits ini ke dalam deretan hadits lemah dalam Dha'if Sunan Abi Dawud [1091] sebagaimana dinukil dalam Mausu'ah al-Ahadits wal Atsar adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah (lihat Mausu'ah al-Ahadits wal Atsar adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah [1/582] yang disusun Syaikh Ali Hasan al-Halabi, Dr. Ibrahim al-Qaisi, dan Dr. Hamdi Muhammad Murad hafizhahumullah). 3. Pendapat Yang Lebih Kuat Dengan memperhatikan kedua pendapat ulama di atas beserta keterangan para ulama jarh wa ta'dil mengenai kondisi para periwayat hadits ini teranglah bagi kita bahwa pendapat yang lebih kuat wallahu a'lam- adalah pendapat ulama yang melemahkan hadits ini. Dengan alasan sebagai berikut: 1. Adanya keterputusan sanad antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Abu Malik al-Asy'ari radhiyallahu'anhu, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Abu Hatim. Dan ini menunjukkan bahwa hadits ini tidak memenuhi kriteria hadits shahih. Ini artinya, diantara Syuraih dengan Abu Malik terdapat periwayat lain yang tidak dikenal. Bisa jadi orang tersebut adalah periwayat yang tidak tsiqah. Padahal, yang menjadi pertimbangan utama periwayatan adalah tsiqah dan keyakinan. Dan tidak ada hujjah pada sesuatu yang majhul/tidak dikenal (lihat alBa'its al-Hatsits dengan ta'liq Syaikh al-Albani, hal. 155). 2. Hadits ini bukan termasuk kategori hadits mursal yang berasal dari kibar tabi'in yang menurut sebagian ulama hadits semacam itu bisa diterima atau dijadikan hujjah. Hal itu disebabkan Syuraih bin 'Ubaid bukanlah termasuk kalangan kibar tabi'in. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwa beliau berada pada thabaqah ke-3. Dan thabaqah ke-3 itu adalah thabaqah tabi'in menengah (lihat at-Taqrib, hal. 81). Kalau demikian lantas bagaimana kita bisa menerimanya? Imam Syafi'i rahimahullah berkata, “Adapun haditshadits mursal dari selain kibar tabi'in, maka aku tidak mengetahui ada seorang ulama pun yang menerimanya.” (lihat al-Ba'its al-Hatsits dengan ta'liq Syaikh al-Albani, hal. 158, lihat pula Dhawabith al-Jarh wa at-Ta'dil 'inda al-Hafizh adz-Dzahabi [1/585]). 3. Jika ada orang yang beralasan dengan perkataan sebagian ulama bahwa hadits ini hasan atau shahih, jawabannya adalah: Bagaimana bisa dikatakan derajatnya hasan -apalagi shahihsementara di dalamnya terdapat sanad yang terputus? Bukankah salah satu syarat hadits hasan -demikian juga hadits shahih- adalah bersambungnya sanad?! (lihat Taisir Mushthalah Hadits karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin, hal. 15, 17, 21). Kecuali apabila yang dimaksudkan adalah hasan lighairihi; yaitu hadits dha'if yang naik ke derajat hasan karena banyaknya jalan periwayatan, dan kelemahannya bukan disebabkan kefasikan atau kedustaan si periwayat (lihat Taisir Mushthalah Hadits karya Dr. Mahmud Thahan, hal. 39). Maka kita katakan bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan bahwa hadits ini adalah hadits yang gharib. Ini artinya jalan periwayatannya hanya ada satu. Karena hadits ini hanya diriwayatkan melalui jalur Muhammad bin Isma'il dari Isma'il dari Dhamdham bin Zur'ah dari Syuraih bin 'Ubaid dari Abu Malik al-Asy'ari radhiyallahu'anhu. 4. Apabila mereka berpatokan dengan diamnya Imam Abu Dawud yang menandakan bahwa hadits ini bisa dijadikan hujjah. Maka jawabannya: Ibnu Hajar berkata, “Pendapat yang benar adalah hendaknya tidak bersandar semata-mata kepada sikap diam beliau. Sebab sebagaimana sudah kami jelaskan bahwa beliau terkadang berhujjah dengan hadits-hadits yang lemah...” (lihat an-Nukat 'ala Ibni ash-Shalah [1/443]) Doa Masuk Rumah Yang Shahih Dari Jabir bin 'Abdillah; bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang hendak memasuki rumahnya lalu dia berdzikir kepada Allah ketika hendak memasukinya dan sebelum menikmati makanannya, maka Setan berkata -kepada temantemannya, pen-, 'Tidak ada tempat tidur dan makan malam untuk kalian'. Apabila dia masuk (rumah) dengan tidak berdzikir kepada Allah ketika memasukinya, maka Setan berkata, 'Kalian mendapatkan tempat menginap'. Dan apabila dia juga tidak berdzikir kepada Allah ketika menikmati makanannya, maka Setan berkata, 'Kalian mendapatkan tempat menginap dan makan malam'.” (HR. Muslim [2018], lihat Syarh Muslim lil Imam an-Nawawi [7/108-109], lihat juga Aun al-Ma'bud [10/239], Shahih al-Adab al-Mufrad karya Syaikh al-Albani hal. 424) Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk berdzikir kepada Allah ta'ala ketika masuk rumah dan hendak menyantap makanan.” (lihat Syarh Muslim [7/109]). Dr. Musa Syahain berkata, “Yang dimaksud dengan berdzikir kepada Allah adalah tasmiyah/membaca bismillah.” (lihat Fathul Mun'im Syarh Shahih Muslim [8/198]). Penafsiran ini didukung oleh riwayat hadits ini dalam Shahih Muslim dari jalur yang lain, “Dan apabila dia tidak menyebut nama Allah ketika makan dan tidak menyebut nama Allah ketika masuk [rumah]...” (lihat Syarh Muslim [7/109]). Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud berdzikir ketika masuk rumah adalah dengan mengucapkan salam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr hafizhahullah di dalam kitabnya adz-Dzikr wa ad-Du'a Fi Dhau'i al-Kitab wa as-Sunnah (hal. 19-20). Di dalamnya beliau membuat bab dengan judul Adzkar Dukhul al-Manzil (bacaan dzikir masuk rumah). Kemudian beliau membawakan ayat (yang artinya), “Apabila kalian masuk ke dalam rumah maka ucapkanlah salam untuk diri kalian sebagai penghormatan dari sisi Allah, yang diberkahi dan penuh kebaikan.” (an-Nuur: 61). Setelah itu, beliau membawakan 2 buah hadits; hadits riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhu -sudah disebutkan di atas- dan hadits riwayat Tirmidzi dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu berikut ini. Dari Anas radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, apabila kamu hendak masuk menemui keluargamu, maka ucapkanlah salam, mudah-mudahan menjadi berkah atasmu dan segenap penghuni rumahmu.” (HR. Tirmidzi [2698]) (Hadits ini dinyatakan hasan dengan penguatnya oleh Syaikh Abdul Qadir al-Arna'uth dan Ibrahim al-Arna'uth, lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 183) # Allah Pun Tertawa Karenanya Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku mengetahui orang yang paling terakhir keluar dari neraka dan orang yang paling terakhir masuk surga. Dia adalah seorang lelaki yang keluar dari neraka sembari merangkak. Allah tabaraka wa ta'ala berkata kepadanya, 'Pergilah kamu, masuklah ke dalam surga.' Kemudian diapun mendatanginya dan dikhayalkan padanya bahwa surga itu telah penuh. Lalu dia kembali dan berkata, 'Wahai Rabbku, aku dapati surga telah penuh.' Allah tabaraka wa ta'ala berfirman kepadanya, 'Pergilah, masuklah kamu ke surga.'.” Nabi berkata, “Kemudian diapun mendatanginya dan dikhayalkan padanya bahwa surga itu telah penuh. Lalu dia kembali dan berkata, 'Wahai Rabbku, aku dapati surga telah penuh.' Allah tabaraka wa ta'ala berfirman kepadanya, 'Pergilah, masuklah kamu ke surga. Sesungguhnya kamu akan mendapatkan kenikmatan semisal dunia dan sepuluh lagi yang sepertinya' atau 'Kamu akan memperoleh sepuluh kali kenikmatan dunia'.” Nabi berkata, “Orang itu pun berkata, 'Apakah Engkau hendak mengejekku, ataukah Engkau hendak menertawakan diriku, sedangkan Engkau adalah Sang Raja?'.” Ibnu Mas'ud berkata, “Sungguh, ketika itu aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi taringnya.” Periwayat berkata, “Maka orang-orang pun menyebut bahwa dialah sang penghuni surga yang paling rendah kedudukannya.” Dalam riwayat lain disebutkan: Maka Ibnu Mas'ud pun tertawa, lalu berkata, “Apakah kalian tidak bertanya kepadaku mengapa aku tertawa?”. Mereka menjawab, “Mengapa engkau tertawa?”. Beliau menjawab, “Demikian itulah tertawanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. -Ketika itu- mereka -para sahabat- bertanya, 'Mengapa anda tertawa wahai Rasulullah?'. 'Disebabkan tertawanya Rabbul 'alamin tatkala orang itu berkata, 'Apakah Engkau mengejekku, sedangkan Engkau adalah Rabbul 'alamin?'. Lalu Allah berfirman, 'Aku tidak sedang mengejekmu. Akan tetapi Aku Maha kuasa melakukan segala sesuatu yang Kukehendaki.'.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits yang agung ini memberikan pelajaran, di antaranya: 1. Beriman terhadap keberadaan surga dan neraka. Surga merupakan tempat tinggal bagi orang-orang yang beriman, sedangkan neraka merupakan tempat tinggal orang-orang yang kufur kepada Rabbnya 2. Iman kepada hari akhir serta pembalasan amal manusia kelak di akherat 3. Iman kepada perkara gaib 4. Iman bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah benar-benar utusan Allah yang berbicara berlandaskan wahyu dari-Nya, bukan menyampaikan dongeng atau cerita yang beliau karang sendiri 5. Dorongan untuk beramal salih agar termasuk penduduk surga, dan peringatan dari kemaksiatan yang dapat menyeret pelakunya ke dalam jurang neraka 6. Boleh tertawa, dan hal itu bukanlah perkara yang dibenci dalam sebagian kondisi dan kesempatan. Hal itu juga tidak menyebabkan jatuhnya muru'ah/kehormatan selama tidak sampai melampaui batas kewajaran (lihat Syarh Muslim [2/315]) 7. Boleh menirukan tertawanya orang lain dengan tujuan menggambarkan keadaan sosok yang patut diteladani sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud menirukan tertawanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat Fath al-Bari [11/503]) 8. Pada hari kiamat kelak, Allah berbicara kepada hamba-hamba-Nya (lihat Shahih al-Bukhari, Kitab at-Tauhid, hal. 1490-1491) 9. Allah Maha kuasa atas segala sesuatu 10. Allah adalah Sang Raja (al-Malik) yang menguasai jagad raya 11. Allah adalah Rabb (pemelihara dan pengatur) alam semesta 12. Allah Maha berkehendak 13. Allah pun bisa tertawa, namun tertawanya Allah tidak sebagaimana makhluk. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Para salaf telah bersepakat menetapkan 'tertawa' ada pada diri Allah. Oleh sebab itu wajib menetapkannya (menerimanya, pent) tanpa menyelewengkan maknanya, tanpa menolaknya, tanpa membagaimanakan sifatnya, dan tidak menyerupakannya. Itu merupakan tertawa yang hakiki yang sesuai dengan -keagungan- Allah ta'ala.” (lihat Syarh Lum'at al-I'tiqad, hal. 61) 14. Kenikmatan yang ada di Surga jauh berlipat ganda daripada kenikmatan di alam dunia (lihat Shahih Bukhari, Kitab ar-Riqaq, hal. 1329). Oleh sebab itu tidak selayaknya kenikmatan yang sedemikian besar 'dijual' demi mendapatkan kesenangan dunia yang sedikit dan sementara saja, bahkan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan akherat 15. Khayalan atau perasaan tidak bisa dijadikan sebagai pegangan, tetapi yang dijadikan pegangan adalah wahyu/dalil atau perkataan orang yang benar-benar mengetahui/berilmu 16. Wajib mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya 17. Luasnya rahmat Allah ta'ala, tatkala orang yang paling terakhir keluar dari neraka pun masih merasakan kenikmatan surga yang sepuluh kali lipat dari kenikmatan dunia 18. Orang mukmin yang dihukum di neraka karena dosa besarnya maka suatu saat akhirnya diapun akan dikeluarkan darinya dan masuk ke dalam surga. Sehingga ini merupakan bantahan bagi Khawarij yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka (lihat Syarh Muslim [2/323]) 19. Ada sebagian orang beriman yang 'mampir' dulu ke neraka sebelum dimasukkan ke dalam surga, tentu saja hal itu bukan karena kezaliman Allah namun karena dosa besar yang mereka lakukan 20. Peringatan atas bahaya dosa-dosa besar bagi pelakunya di akherat kelak -apabila dia belum bertaubat darinya-, karena pelakunya termasuk golongan orang yang diancam dengan siksa neraka, wal 'iyadzu billah 21. Tidak boleh bersikap meremehkan dosa-dosa besar 22. Orang yang benar-benar memahami keutamaan tauhid bukanlah orang yang menganggap sepele dosa-dosa besar. Oleh sebab itu Ibnu Mas'ud pernah berkata, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah bukit yang dia khawatir akan runtuh menimpa dirinya. Adapun orang fajir melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya kemudian cukup dia usir dengan cara seperti ini -yaitu dengan menggerakkan tangannya semata-.” (lihat Fath al-Bari [11/118]) 23. Hadits ini juga menunjukkan keadilan Allah ta'ala dimana Allah memberikan hukuman kepada orang-orang yang berbuat dosa besar kelak di akherat sesuai dengan kehendak-Nya, meskipun bisa saja Allah berkehendak untuk mengampuninya (untuk sebagian hamba-Nya) 24. Hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang lebih dulu masuk surga 25. Anjuran untuk berlomba-lomba dalam beramal supaya bisa menjadi golongan orang yang terdahulu masuk surga 26. Orang yang masuk surga itu bertingkat-tingkat dalam hal keutamaan diri dan balasan yang mereka dapatkan 27. Hadits ini menunjukkan keutamaan tauhid, karena tidaklah orang masuk surga kecuali karena tauhid yang dilaksanakannya ketika di dunia 28. Hadits ini juga menunjukkan bahaya syirik dan kekafiran, karena tidaklah seorang kekal di dalam neraka melainkan karena dosa syirik besar dan kekafiran # Bangunlah, Wahai Abu Turab! Dari Sahl bin Sa'd radhiyallahu'anhu, dia berkata: Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke rumah Fathimah -putri beliau- radhiyallahu'anha namun beliau tidak menemukan Ali -suami Fathimah- ada di rumah. Maka beliau berkata, “Dimana putra pamanmu?”. Fathimah menjawab, “Ada sesuatu antara aku dengannya sehingga dia pun memarahiku lalu dia keluar rumah dan tidak tidur siang di sisiku.” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas mengatakan kepada seseorang, “Lihatlah, dimana dia berada.” Kemudian orang itu kembali dan melaporkan, “Wahai Rasulullah, dia berada di masjid, sedang tidur.” Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mendatanginya dalam keadaan sedang berbaring sementara kain selendangnya lepas dari bahunya -sehingga tampaklah bahunya- dan terkena terpaan debu/tanah (turab, bhs arab). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mulai mengusap debu dari tubuhnya seraya berkata, “Bangunlah wahai Abu Turab, bangunlah wahai Abu Turab.” (HR. Bukhari dan Muslim) Hadits yang agung ini menyimpan mutiara hikmah, antara lain: 1. Bolehnya menyebut Ibnu al-Ab (putra paman, saudara sepupu) kepada kerabat ayah. Karena Ali bin Abi Thalib adalah putra dari paman Nabi -yaitu Abu Thalib- dan bukan putra dari paman Fathimah (lihat Fath al-Bari [1/627]) 2. Arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam -sebagai seorang bapak- kepada Fathimah putrinya- agar berbicara dengan suaminya menggunakan sebutan itu. Karena di dalam sebutan tersebut terdapat unsur kelemahlembutan dan jalinan kedekatan yang timbul karena ikatan tali kekerabatan. Seolah-olah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memahami apa yang ketika itu tengah terjadi di antara putrinya dengan sang suami -yaitu Ali bin Abi Thalib-. Dengan ungkapan itu beliau ingin agar putrinya bersikap lembut (tidak bersikap cuek/masa bodoh) terhadap suaminya (lihat Fath al-Bari [1/627]) 3. Tidur siang merupakan kebiasaan para salaf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sahl bin Sa'd radhiyalahu'anhu, “Dahulu kami sering tidur siang -sebelum waktu zuhur- dan baru menikmati santap siang setelah sholat Jum'at.” (HR. Bukhari). Adapun hadits riwayat atThabrani yang bunyinya, “Tidurlah siang, karena sesungguhnya syaitan tidak tidur siang.” maka al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Di dalam sanadnya terdapat Katsir bin Marwan, sedangkan dia ini matruk/haditsnya ditinggalkan.” (lihat Fath al-Bari [11/79]). Yang dimaksud dengan 'qoilulah' (tidur siang) adalah tidur di pertengahan hari (lihat Syarh Muslim [8/34]). al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Qailulah adalah tidur di tengah siang, yaitu ketika matahari tergelincir ke barat, dan beberapa saat sebelum atau sesudahnya.” (Fath al-Bari [11/79]). 4. Boleh tidur siang di masjid, meskipun orang tersebut memiliki kamar tidur di rumahnya dan meskipun hal itu -tidur di sana- bukan merupakan suatu keperluan yang mendesak baginya (lihat Fath al-Bari [1/627] dan [11/79-80]). 5. Hadits ini juga dijadikan dalil yang menunjukkan bolehnya kaum lelaki tidur di masjid meskipun di malam hari-, sebagaimana diungkapkan oleh al-Bukhari dan an-Nawawi (lihat Syarh Muslim [8/34] dan Fath al-Bari [1/626]. Hal itu -bolehnya sering tidur di masjid- berlaku terutama bagi orang yang belum punya tempat tinggal yang menetap, sebagaimana yang dikisahkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma, bahwa beliau bersama dengan seorang pemuda lajang yang belum berkeluarga biasa tidur di masjid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat Fath al-Bari [1/627]) 6. Hendaknya mengatasi kemarahan yang timbul -seperti yang sering terjadi dalam rumah tangga, antara suami dengan istri- dengan cara yang tidak membangkitkan kemarahan pula, dan semestinya berusaha menempuh cara agar kemarahan tersebut menjadi reda dan suasana menjadi cair (lihat Fath al-Bari [1/627]) 7. Boleh memberi nama kun-yah (panggilan dengan Abu atau Ummu) kepada seseorang ataupun untuk diri sendiri- bukan dengan menggunakan nama anaknya, sebagaimana halnya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu yang disebut oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan Abu Turab/bapaknya tanah (lihat Fath al-Bari [1/627]) 8. Boleh memberi tambahan nama kun-yah kepada orang yang sudah memiliki nama kun-yah. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya menjuluki seseorang (memberikan laqab/gelar) dengan memakai nama kun-yah terhadap orang yang tidak marah akibat julukan itu (lihat Fath al-Bari [1/627-628]) 9. Seorang ayah boleh masuk rumah putrinya tanpa harus ijin terlebih dulu kepada suaminya selama dia mengetahui bahwa hal itu diridhai olehnya, artinya suami dari putrinya tidak akan mempermasalahkan hal itu (lihat Fath al-Bari [1/628]) 10. Tidak mengapa/tidak terlarang -bagi lelaki- menampakkan kedua bahu dalam keadaan terbuka (tidak tertutup kain/baju) di luar kondisi mengerjakan sholat (lihat Fath al-Bari [1/628]). Walaupun tentu saja yang lebih utama adalah menutupnya -karena itu lebih indah-, apalagi jika berada di tempat umum yang dilihat orang banyak -lelaki ataupun perempuansehingga akan menyebabkan rasa risih bagi orang yang melihatnya, Allahu a'lam. 11. Problematika dalam hidup berumah tangga adalah masalah yang biasa terjadi kepada siapa saja. Namun, yang menjadi catatan adalah bagaimana cara menyelesaikan persoalan tersebut dengan baik dan tidak menimbulkan mafsadat atau kekacauan yang lebih besar. Oleh sebab itu dibutuhkan kesabaran dan sikap saling pengertian di antara komponen rumah tangga. 12. Kebiasaan suami ketika menemui masalah dengan istrinya adalah keluar/pergi meninggalkan rumahnya. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu memberikan contoh yang baik dimana beliau tidak pergi ke tempat yang bukan-bukan, akan tetapi beliau pergi ke masjid dan memilih beristirahat di sana. Dan hal ini sekaligus menunjukkan betapa kuat keterikatan hati beliau dengan masjid dan ketergantungan hatinya kepada Allah ta'ala. 13. Hadits ini menunjukkan besarnya perhatian seorang ayah kepada putrinya meskipun di saat putrinya sudah berumah tangga. Dan demikianlah yang dicontohkan oleh Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau ikut memperhatikan keadaan rumah tangga putrinya dan sangat menginginkan keharmonisan rumah tangga yang mereka bina. 14. Perintah untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Dan hal ini berlaku secara umum bagi siapa saja, termasuk di dalamnya dalam rumah tangga, antara suami dengan istri, bahkan antara orang tua dengan anak serta menantunya. Inilah bukti kesempurnaan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. 15. Kecintaan dan pengagungan kepada Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada diri para sahabat adalah sesuatu yang patut diteladani dan wajib dimiliki oleh setiap mukmin. Sebagaimana halnya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu yang sangat menyukai sebutan 'Abu Turab' -yang secara makna notabene terkesan tidak mengandung pujiandikarenakan orang yang memberikannya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri. Sahl bin Sa'd radhiyallahu'anhu berkata, “Tidak ada nama yang lebih dicintai oleh Ali selain -panggilan- Abu Turab, dan sungguh beliau merasa senang jika dipanggil dengan nama itu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [8/34]). Ya Allah, karuniakanlah kepada hati kami kecintaan terhadap Sunnah, dan kebencian terhadap Bid'ah ... 16. Boleh meminta tolong seseorang untuk mencarikan orang lain, dan hal ini tidaklah mengurangi tawakal. Demikian juga diperbolehkan meminta bantuan kepada orang lain -jika diperlukan- dalam perkara-perkara kebaikan, karena hal itu termasuk dalam cakupan perintah saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, dengan syarat tetap menggantungkan hati semata-mata kepada Allah, bukan kepada orang atau sebab/perantara yang dipakai. Allahu a'lam. # Umat Yang Jujur Di dalam Shahih-nya, Imam Muslim rahimahullah membawakan hadits-hadits yang menganjurkan kejujuran kepada umat Islam. Bahkan, kejujuran menjadi ciri kesempurnaan iman seseorang. Oleh sebab itu hadits-hadits tersebut dibawakan oleh Imam Muslim di dalam pembahasan (kitab) Iman. Berikut ini, salah satu hadits yang beliau bawakan -beserta sanadnya- semoga bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Imam Muslim berkata: Yahya bin Ayyub, Qutaibah, dan Ibnu Hujr -mereka semua- menuturkan hadits kepadaku dari Isma'il bin Ja'far. Ibnu Ayyub berkata: Isma'il menuturkan kepada kami. [dia berkata] al-'Alaa' mengabarkan kepadaku dari bapaknya. Dari Abu Hurairah -radhiyallahu'anhu-: [Suatu saat] Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah tumpukan makanan -yang dijualkemudian beliau memasukkan tangannya ke dalamnya. Ternyata jari-jari beliau menemukan ada makanan yang basah. Beliau bersabda, “Apa gerangan ini wahai penjual makanan?”. Dia menjawab, “Ia terkena hujan ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak menaruhnya di atas tumpukan makanan itu sehingga orang-orang [konsumen] bisa melihatnya? Barangsiapa yang menipu maka dia bukan termasuk golonganku.” (Syarh Nawawi [2/178]) Ghisyy atau menipu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan sikap menasehati dan keinginan baik kepada orang lain. Orang yang membersihkan ucapannya dari dusta dan penipuan diserupakan dengan orang yang membersihkan madu dari kotoran yang mencampurinya (lihat Syarh Nawawi [2/116], ad-Dibaj 'ala Shahih al-Muslim [1/73] karya Imam as-Suyuthi). Seorang pedagang muslim hendaknya secara jujur menerangkan kondisi barang dagangannya dan tidak menyembunyikan cacat barang tersebut dari konsumen. Perdagangan yang dibangun di atas sikap jujur semacam inilah yang akan mendapat keberkahan dari Allah. Inilah keindahan ajaran Islam. Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Penjual dan pembeli memiliki hak memilih (khiyar) selama mereka berdua belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan mau menerangkan -apa adanya- niscaya jualbeli mereka berdua akan diberkahi. Akan tetapi apabila mereka berdua berdusta/menipu dan menyembunyikan [cacat barangnya], maka akan dicabut keberkahan jual-beli mereka berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 117-118 karya Syaikh as-Sa'di) Oleh sebab itu alangkah bijaknya para pedagang yang berusaha meneliti dan mengawasi keadaan barang dagangannya. Apabila ternyata barang dagangannya itu sudah kadaluarsa (expired), hendaklah dia menarik barang tersebut. Bukan justru mengobral barang tersebut -meskipun dengan harga murah- kepada konsumen. Apalagi, jika barang tersebut hendak disalurkan bagi para korban bencana [?!]. Dimanakah kejujuran itu..., wahai para pedagang? Tegakah kalian, jika barang/makanan yang sudah kadaluarsa dibeli dan dikonsumsi oleh anak-istri kalian, kemudian mereka teracuni olehnya? Kejujuran. Tidak hanya dibutuhkan oleh pedagang. Kejujuran itu dibutuhkan oleh setiap orang yang menginginkan kebaikan diri dan agamanya. Seorang da'i, penuntut ilmu, pengajar, guru, penulis, teman, karyawan, pemimpin, pejabat, ibu rumah tangga, bahkan seorang tukang becak sekalipun. Umat Islam adalah umat yang menjunjung tinggi kejujuran. Tidak sebagaimana kaum Syi'ah yang menjadikan taqiyyah (penipuan) sebagai bagian dari agama mereka!! Allahul musta'aan... # Nikmat Memandang Wajah Allah Dari Shuhaib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila penduduk surga telah masuk surga.” Nabi berkata, “Maka Allah tabaraka wa ta'ala berfirman, 'Apakah kalian menginginkan sesuatu tambahan dari-Ku?'. Mereka menjawab, 'Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?'.” Nabi berkata, “Maka Allah pun menyingkapkan hijab yang menutupi wajah-Nya-. Dan tidaklah ada kenikmatan yang diberikan kepada mereka yang lebih mereka sukai daripada memandang Rabb mereka 'azza wa jalla.” (HR. Muslim) Hadits yang mulia ini memberikan pelajaran, di antaranya: 1. Wajib mengimani adanya surga dan kenikmatan yang ada di dalamnya serta mengimani adanya neraka dan kesengsaraan yang ada di dalamnya 2. Surga negeri yang penuh dengan kenikmatan, sedangkan Neraka negeri kesengsaraan 3. Penetapan bahwa Allah berkata-kata 4. Kenikmatan paling agung adalah memandang wajah Allah ta'ala. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Ketika hari itu wajah-wajah berseri, mereka memandang kepada Rabb mereka.” (al-Qiyamah: 22-23). Abu Shalih meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma, beliau menafsirkan ayat ini, “Yaitu melihat wajah Rabb mereka 'azza wa jalla.” (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 190). Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Bagi mereka -penduduk surga- apa saja yang mereka inginkan di dalamnya -di surga- dan di sisi Kami masih ada tambahan -nikmat-.” (Qaaf: 35). ath-Thabari meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik radhiyallahu'anhuma, mereka mengatakan, “Maksudnya -tambahan nikmat- adalah memandang wajah Allah 'azza wa jalla.” (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 190). Inilah yang dipahami oleh para sahabat, di antaranya: Abu Bakar, Hudzaifah, dan Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu'anhum, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 191). Maka senikmat-nikmat apapun pemandangan di dunia, maka melihat wajah Allah di akherat kelak jauh lebih nikmat di atas segala-galanya, semoga Allah menganugerahkan nikmat itu kepada kita... 5. Orang-orang beriman akan merasakan kenikmatan memandang wajah Allah di akherat kelak. Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa orang-orang beriman akan melihat Allah di akherat adalah hadits-hadits yang mutawatir. Ada sekitar tiga puluh orang sahabat yang meriwayatkan hal ini (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 193-194). 6. Mengimani adanya hari kebangkitan setelah kematian 7. Mengimani perkara gaib sebagaimana diberitakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam 8. Mengimani adanya pembalasan amal 9. Targhib (motivasi) agar orang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tarhib (ancaman) agar orang-orang tidak durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena orang yang taat akan masuk surga, sedangkan orang yang durhaka akan masuk neraka. 10. Di surga manusia memiliki rasa cinta (mahabbah) 11. Kenikmatan di surga itu bertingkat-tingkat 12. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan wahyu dari Allah, maka kita wajib membenarkannya dan tidak boleh mendustakan atau meragukannya 13. Semestinya manusia itu berpikir ke depan, bagaimanakah nasibnya kelak di akherat. Apakah dia ingin termasuk penghuni neraka atau penduduk surga? Sehingga dia akan memanfaatkan waktunya di dunia ini sebaik-baiknya demi menggapai kebahagiaan yang sebenarnya 14. Kenikmatan dunia ini tidak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan akherat 15. Bodoh sekali orang yang menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia yang fana # Mewaspadai Benih-Benih Pemberontakan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan : Memberontak kepada penguasa bukan terbatas pada pemberontakan dengan senjata saja. Akan tetapi pemberontakan itu bisa dengan senjata dan bisa dengan lisan. Bahkan seorang lelaki yang mengatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Berbuat adillah” (HR. Bukhari dan Muslim) ini juga disebut sebagai pemberontak (khawarij). Hal itu disebabkan dia mengingkari hukum/ketetapan rasul dan mengingkari hukum itu dengan terang-terangan. Padahal sebenarnya dia dusta dalam hal itu, karena Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling adil. Sumber : Syarh Shahih Muslim, 1/77-78 Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan : Bid'ah pertama yang muncul dalam Islam adalah fitnah Khawarij, permulaan munculnya mereka adalah karena dorongan dunia (materi), yaitu ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membagibagikan harta rampasan perang Hunain. Seolah-olah mereka menilai -dengan akal mereka yang rusak- bahwa beliau tidak adil dalam pembagian. Maka mereka pun mengagetkan beliau dengan ucapan ini, ketika itu 'juru bicara' mereka yang bernama Dzul Khuwaishirah mengatakan kepada nabi, “Berbuat adillah, sesungguhnya kamu tidak berbuat adil” Sumber : al-Qishshah al-Kamilah li Khawariji 'Ashrina, hal. 443 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata : Termasuk bentuk nasihat kepada penguasa adalah menyampaikan nasihat kepadanya secara langsung antara anda dengannya (tidak di muka publik, pent). Tidak boleh anda berdiri di atas mimbar atau berbicara melalui kaset seraya menyebutkan aib-aib penguasa, atau menceritakan kesalahan-kesalahan pemerintah, hal ini termasuk bentuk pemberontakan kepada mereka dan mengobarkan permusuhan kepada mereka. Semestinya bila anda menjumpai suatu kesalahan dan bisa menasihatinya melalui lisan secara langsung, atau dengan surat, atau dengan memberikan wasiat/pesan melalui orang yang bisa berhubungan langsung dengannya maka wajib atasmu untuk melakukannya. Adapun anda menyebutkan aib dan kesalahan mereka di dalam pertemuan-pertemuan bersama orang-orang, di dalam acara seminar dan ceramah (orasi), dsb (unjuk rasa, demonstrasi, dst - pent) maka hal ini termasuk kemungkaran yang paling besar dan tindakan culas kepada pemerintah muslim, bahkan termasuk mengumbar aib sesama, dan hal itu akan menjadi sebab terjadinya pemberontakan kepada pemerintah kaum muslimin, merusak 'tongkat ketaatan' (kesetiaan rakyat), memecah-belah kalimat kaum muslimin, dan tidak akan membuahkan manfaat apa-apa. Sumber : an-Nashihah wa Atsaruha 'ala Wahdatil Kalimah, hal. 22 # Karakter Pengikut Manhaj Salaf Para pengikut manhaj salaf memandang semestinya nasihat untuk pemerintah diberikan secara rahasia. Mereka juga memandang tidak bolehnya membuat perpecahan di tengah kaum muslimin dengan mengobral aib dan keburukan penguasa atau menyebarluaskannya dan menebarkan rasa kebencian antara pemimpin dengan rakyatnya. Oleh sebab itu para pembela manhaj salaf memandang diharamkannya aksi-aksi demonstrasi dan unjuk rasa. Hal ini didasari oleh sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang ingin memberikan nasihat kepada penguasa janganlah dia tampakkan hal itu secara terbuka. Akan tetapi hendaklah dia ambil tangannya lalu menyendiri dengannya. Apabila dia menerima nasihat maka itulah yang diharapkan. Dan apabila dia menolaknya maka sungguh dia telah menunaikan kewajiban dirinya terhadap penguasa itu.” (HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah dan athThabrani dalam Musnad asy-Syamiyin) (lihat Khasha-ish al-Manhaj as-Salafi, hal. 16 oleh Syaikh Prof. Dr. Abdul Aziz bin Abdullah al-Halil hafizhahullah) Seorang ulama besar masa kini, Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menegaskan bahwasanya membicarakan aib penguasa atau mengkritik mereka di hadapan publik termasuk perbuatan ghibah dan namimah/adu-domba; sedangkan kedua hal ini termasuk perkara yang paling diharamkan setelah syirik. Terlebih-lebih lagi yang dibicarakan aibnya adalah ulama atau penguasa, maka dosanya lebih berat disebabkan banyaknya kerusakan yang ditimbulkan olehnya, diantaranya adalah terjadinya perpecahan, prasangka buruk kepada penguasa, dan membangkitkan rasa putus asa pada diri rakyatnya (lihat al-Ajwibah al-Mufidah 'an As'ilatil Manahij al-Jadidah, hal. 109) Janganlah kita menyepelekan nasihat para ulama! Karena dalam situasi fitnah, kalimat dan ucapan bisa lebih ganas daripada tebasan pedang dan senjata. Ucapan yang membangkitkan amarah para pengunjuk rasa kepada penguasa, disertai pekikan takbir dan teriakan-teriakan yang mengatasnamakan al-Qur'an dan keadilan. Bukankah hal serupa telah dilakukan kaum Khawarij pada awal-awal sejarah Islam sehingga mereka pun mengkafirkan para sahabat dan juga membunuh seorang khalifah yang mulia Utsman bin 'Affan radhiyallahu'anhu?! Imam al-Khallal meriwayatkan dalam as-Sunnah, bahwa ketika sebagian orang mengajak Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah memberontak kepada penguasa ketika itu yang memaksakan akidah sesat bahwa al-Qur'an itu makhluk, Ahmad bin Muhammad ash-Sha'igh menceritakan : Aku berkata, “Bukankah manusia sekarang ini sedang dilanda fitnah, wahai Abu Abdillah?” maksudnya fitnah/kesesatan dari penguasa tersebut, pent-. Imam Ahmad menjawab, “Ya, meskipun demikian hal itu adalah fitnah yang khusus. Namun jika pedang sudah terhunus maka fitnah itu justru semakin meluas dan membara sehingga terputuslah semua jalan. Bersabar dalam kondisi ini dengan tetap menjaga keselamatan agamamu itu jauh lebih baik bagimu.” Oleh karena itu beliau Imam Ahmad- mengingkari aksi pemberontakan melawan penguasa. Beliau berkata, “Pertumpahan darah, aku tidak sependapat dengannya dan aku tidak akan memerintahkan hal itu.” (lihat alManhaj as-Salafi 'inda Syaikh al-Albani, hal. 242) Lihatlah kedalaman ilmu dan fikih ulama besar pembela Sunnah sekelas Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Beliau tidak mau mengajak pengikutnya untuk memberontak dan melawan penguasa dengan senjata ataupun sekedar dengan kalimatnya. Beliau tidak menganjurkan pemberontakan karena pada akhirnya hal itu akan menumpahkan darah kaum muslimin. Sebuah fitnah besar yang akan merusak segalanya. Padahal Imam Ahmad pula yang memberikan fatwa tegas tentang kafirnya keyakinan al-Qur'an sebagai makhluk. Adakah orang yang mau memahami dan meneladani kebijaksanaan seorang imam diantara imam-imam Ahlus Sunnah ini?! # Keutamaan Doa dan Dzikir Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada suatu perkara yang lebih mulia bagi Allah ta'ala daripada doa.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3370) Dari an-Nu'man bin Basyir radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Doa adalah hakikat dari ibadah.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3372) Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3373) Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu'anhu, bahwa ada seorang lelaki yang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syari'at Islam telah banyak pada diriku. Oleh sebab itu ajarkanlah kepadaku sesuatu yang bisa mengokohkanku.” Beliau bersabda, “Hendaknya lisanmu terus-menrus basah karena dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3375) Dari Abud Darda' radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kukabarkan kepada kalian tentang suatu amalan kalian yang terbaik dan paling suci di sisi Penguasa kalian (Allah) dan yang paling bisa mengangkat derajat kalian, bahkan lebih baik bagi kalian dari berinfak dengan emas dan perak dan lebih baik daripada ketika kalian bertemu dengan musuh kalian sehingga kalian memenggal leher mereka atau mereka memenggal leher kalian?!” mereka menjawab, “Tentu saja mau.” Beliau bersabda, “Yaitu berdzikir kepada Allah ta'ala.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3377) Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah suatu kaum duduk dalam sebuah majelis sementara mereka tidak mengingat Allah di dalamnya dan juga tidak bersalawat kepada nabi mereka kecuali hal itu akan mendatangkan penyesalan bagi mereka. Apabila Allah berkehendak niscaya Allah akan mengazab mereka, dan apabila Allah berkehendak maka Allah akan mengampuni mereka.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh alAlbani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3380) Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin dikabulkan doanya ketika dalam keadaan sempit dan susah hendaklah dia memperbanyak doa ketika dalam keadaan lapang.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh alAlbani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3382) Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seutama-utama dzikir adalah laa ilaha illallah, dan seutama-utama doa adalah alhamdulillah.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3383) Dari Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba membaca pada waktu pagi atau sore di setiap harinya bacaan 'bismillahilladzi laa yadhurru ma'asmihi syai'un fil ardhi wa laa fis samaa' wa huwas samii'ul 'aliim' sebanyak tiga kali melainkan dia akan terlindung dari bahaya apapun.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3388) Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sering sekali berdoa dengan membaca 'Yaa Muqollibal quluub, tsabbit qolbii 'alaa diinik' artinya, “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” Kemudian ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, apakah anda mengkhawatirkan keadaan kami, sementara kami telah beriman kepadamu dan membenarkan ajaran yang anda bawa?!” beliau menjawab, “Sesungguhnya hati-hati itu berada diantara jari-jemari ar-Rahman 'azz wa jalla; Dia lah yang akan membolak-balikkannya.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh alAlbani dalam Sahih Sunan Ibni Majah no. 3107) Dari Jabir radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Mintalah kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Ibni Majah no. 3114) Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sungguh aku benar-benar memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari no. 5861) Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu'anhu beliau berkata : Kebiasaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak berbaring menuju tempat tidurnya maka beliau membaca doa 'bismika ahyaa wa amuut' yang artinya, “Dengan menyebut nama-Mu aku hidup dan mati.” Dan apabila bangun tidur beliau membaca 'alhamdulillaahilladzi ahyaanaa ba'da maa amaatana wa ilaihin nusyuur' yang artinya, “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah dibangkitkan.” (HR. Bukhari no. 5866) Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Kebiasaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak masuk kamar kecil atau buang air maka beliau membaca doa 'Allahumma inni a'uudzu bika minal khubutsi wal khobaa'its' artinya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan lelaki dan setan perempuan.” (HR. Bukhari no. 5876) Dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu'anhu, beliau berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Ajarkan kepadaku sebuah doa untuk aku baca di dalam sholatku.” Beliau pun bersabda, “Ucapkanlah 'Allahumma inni zhalamtu nafsii zhulman katsiiraa wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta faghfir lii maghfiratan min 'indik war-hamnii, innaka antal ghofuurur rohiim' yang artinya, “Ya Allah sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan banyak kezaliman dan tiada yang bisa mengampuni dosa-dosa selain Engkau, oleh sebab itu ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari no. 5880) Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah berkata : Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan senantiasa bersama-Nya selama dia berdoa kepada-Ku.” (HR. Muslim no. 2675) Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membaca doa 'Allahuma inni a'uudzu bika min syarri maa 'amiltu wa min syarri maa lam a'mal' yang artinya, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari keburukan amalan yang aku perbuat dan dari keburukan apa-apa yang tidak aku perbuat.” (HR. Muslim no. 2716) Dari Abu Dzar radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalimat yang paling Allah cintai adalah 'subhanallahi wa bihamdih' yang artinya, “Maha Suci Allah dan dengan senantiasa memuji-Nya.”.” (HR. Muslim no. 2731) @ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737 atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro Konfirmasi Donasi via SMS : Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000 Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa) Informasi : www.al-mubarok.com # Doa Untuk Kebaikan Anda Doa adalah senjata seorang beriman. Bahkan doa merupakan bentuk ibadah yang paling utama. Berdoa kepada Allah menunjukkan kebutuhan hamba kepada-Nya. Betapa fakir dan miskinnya hamba itu di hadapan Rabbnya. Allah Maha Kaya sedangkan manusia senantiasa butuh kepada-Nya di setiap jengkal bagian hidup mereka. Kaum muslimin yang dirahmati Allah, alangkah sombongnya kita tatkala kita tidak mau berdoa kepada Allah. Demikianlah cap yang diberikan bagi orang yang enggan berdoa dan memohon kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian berkata; Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60) Mengapa anda tidak mau berdoa kepada Allah sementara seluruh kerajaan langit dan bumi adalah milik-Nya? Mengapa anda malas berdoa dan memohon kepada Allah sedangkan setiap ubun-ubun manusia berada di dalam kekuasaan tangan-Nya? Mengapa kita lalai berdoa kepada Allah sementara hati anak Adam berada diantara jari-jemari-Nya? Mengapakah anda merasa bahwa doa itu justru menjadi beban dan hal yang mengganggu dalam hidup dan aktifitas anda? Tidakkah kita lihat bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam -manusia terbaik di atas muka bumi ini- menjadi orang yang paling sering berdoa dan bermunajat kepada Rabbnya. Bahkan bukan sembarang doa, sebab beliau berdoa kepada Allah memohon ampunan bisa sampai seratus kali dalam sehari atau bahkan lebih dari itu. Tidakkah kita tersentuh dan berfikir mengapa orang semulia beliau masih terus saja berdoa padahal surga telah dijamin untuknya? Padahal ampunan Allah pasti beliau peroleh? Bukankah hal itu mencerminkan bahwa semakin tinggi iman dan takwa seorang hamba maka semakin besar pula ketergantungan hatinya kepada Allah. Saudaraku -semoga Allah berikan taufik kepadaku dan kepadamu- kebutuhan kita kepada doa dan ibadah kepada Allah sama seperti kebutuhan kita kepada Allah. Sebagaimana kita tidak bisa lepas dari bantuan dan pertolongan Allah sedetik pun. Maka begitu pula kita tidak bisa melepaskan diri dari berbagai kesulitan dan marabahaya kecuali dengan perlindungan dari-Nya. Sehingga sejauh itulah besarnya kebutuhan kita untuk senantiasa berdoa dan beribadah kepada-Nya. Namun, satu hal yang perlu kita ingat bahwa doa adalah ibadah, dan ibadah tidaklah diterima apabila tercampuri dengan syirik dan kekafiran. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian berdoa/menyeru bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 18) Memang mengabulkan doa adalah bagian dari hak rububiyah Allah. Karena Allah satu-satunya pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta maka Allah pula yang bisa mengabulkan permintaan hamba-hamba-Nya. Makhluk sejahat Iblis pun pernah Allah kabulkan doanya ketika dia memohon kepada Allah untuk ditangguhkan kematiannya hingga kiamat tiba. Meskipun demikian hal itu tidaklah mencerminkan kecintaan Allah kepada Iblis dan bala tentaranya. Sebab kekafiran dan kesombongan Iblis telah membuatnya menolak perintah Allah. Dan Allah sama sekali tidak meridhai kekafiran pada diri hamba-hamba-Nya. Hal itu menunjukkan bahwa kekafiran kepada Allah merupakan sebab kehinaan dan kesengsaraan. Pada masa-masa yang penuh dengan kekacauan dan kesimpang-siuran, kita sangat butuh kepada pertolongan dan bantuan serta hidayah dari Allah. Bukankah setiap hari kita berdoa kepada Allah di dalam sholat kita memohon hidayah jalan lurus minimal tujuh belas kali setiap harinya? Hal ini menjadi pertanda bahwa betapa besar kebutuhan hidayah itu dalam kehidupan manusia. Tanpa hidayah manusia akan terjebak dalam kegelapan demi kegelapan. Hidup dalam kebatilan, maksiat dan penyimpangan. Di sinilah pentingnya hidayah dari Allah bagi diri kita dan segala aktifitas yang kita kerjakan. Siapakah anda sehingga anda bisa merasa cukup dan tidak butuh pertolongan dan petunjuk-Nya? Siapakah anda sehingga merasa besar dan hebat di hadapan kekuasaan Allah? Siapakah anda sehingga berani membusungkan dada seolah berkata di hadapan para malaikat, 'Aku tidak butuh bantuan Allah...'?!! Wahai, orang yang malang siapakah anda? Berdoalah kepada Allah... Mintalah kepada-Nya petunjuk! Mintalah kepada-Nya bimbingan! Mohonlah bantuan dan perlindungan... Dia lah Rabb penguasa langit dan bumi. Dia lah Rabb yang menciptakan anda dan orang-orang sebelum anda. Dia lah Rabb yang mencurahkan rezeki, yang memberikan nikmat tak terhingga kepada segenap makhluk-Nya. Tak satu pun makhluk di alam ini yang keluar dari takdir dan kekuasaan-Nya. Tak satu pun manusia di muka bumi ini yang luput dari pengawasan dan ketetapan-Nya. Tak satu pun hamba yang bisa lari dari hukuman dan azab-Nya jika Allah berkehendak untuk menimpakan hal itu kepada mereka. Kepada siapa anda hendak berlindung dan memohon pertolongan? Kepada siapa anda hendak mencari keselamatan? Wahai manusia... kita semuanya sangat fakir dan butuh di hadapan Allah.... Katakanlah; siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Siapakah yang menciptakan pendengaran dan penglihatan kalian? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapakah yang mengatur segala urusan? Bahkan orang-orang kafir dahulu pun menjawab, “Allah.” Akan tetapi tatkala pengakuan mereka kepada Allah itu tidak disertai dengan tauhid kepada-Nya maka sia-sia belaka. Amal mereka hapus dan sirna. Amal mereka tertolak di hadapan Rabbnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23) Allah juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira telah berbuat dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104). Aduhai persangkaan atau klaim semata tidaklah cukup... Sebab kecintaan dan penghambaan kepada Allah tidak dianggap benar oleh Allah kecuali apabila dibuktikan dengan mengikuti ajaran Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali 'Imran : 31) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku diantara umat ini; apakah dia Yahudi atau Nasrani lalu meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan ajaranku melainkan dia pasti akan termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim). Benar, surga dan neraka bukan milik saya atau anda. Surga dan neraka milik Allah. Allah yang menciptakannya. Dan Allah yang berhak memasukkan orang ke dalamnya. Oleh sebab itu Allah telah membuat aturan bahwa surga tidak bisa dimasuki kecuali oleh orang yang beriman. Sementara neraka Allah siapkan bagi orang-orang yang kafir dan mempersekutukan-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka...” (al-Maa-idah : 72). Kini pilihan ada di tangan anda... # Penghapus Dosa Salah satu keutamaan tauhid yang sangat dibutuhkan oleh setiap insan adalah bahwa tauhid merupakan sebab utama datangnya ampunan dari Allah. Hal ini telah ditunjukkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam Kitab Tauhid ketika membawakan sebuah hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu. Anas berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai anak Adam, seandainya kamu datang kepadaku dengan dosa sepenuh bumi kemudian kamu berjumpa denganKu dalam keadaan tidak mempersekutukan dengan-Ku sesuatu apapun pasti Aku akan mendatangkan kepadamu ampunan sepenuh itu pula.”.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilai hadits ini berderajat hasan). Di dalam hadits qudsi ini Allah memberitakan kepada kita bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan memurnikan tauhidnya kepada Allah serta meninggalkan segala macam syirik niscaya Allah akan memberikan ampunan kepadanya meskipun dosanya sepenuh bumi atau hampir sepenuh bumi (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 43) Meninggal dalam keadaan bersih dari segala bentuk perbuatan syirik -apakah itu syirik besar atau kecil, banyak atau sedikit- adalah sebuah syarat yang tidak ringan. Tidak ada yang bisa terbebas dari syirik kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah (lihat ad-Durr an-Nadhidh, hal. 33) Hadits yang agung ini menunjukkan betapa luasnya kemurahan dan kedermawanan Allah serta banyaknya pahala tauhid dan bahwa ia merupakan sebab terhapusnya dosa-dosa. Dan yang dimaksud tauhid di sini adalah tauhid yang murni sehingga tidak terkotori oleh syirik sedikit pun (lihat Hasyiyah Kitab at-Tauhid, hal. 35) Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran yang sangat penting yaitu menjadi dalil yang membantah pemahaman Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar yang berada di bawah tingkatan syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 33) Hadits ini menunjukkan bahwa kalimat laa ilaha illallah tidak cukup diucapkan dengan lisan. Akan tetapi ia harus diyakini dengan hati dan melakukan konsekuensinya yaitu meninggalkan berbagai bentuk syirik sedikit ataupun banyak. Sementara tidak akan bisa selamat dari syirik kecuali orangorang yang benar-benar merealisasikan tauhidnya dan memenuhi syarat-syarat kalimat tauhid yaitu; mengetahui maksudnya, meyakininya, jujur dalam mengucapkannya, ikhlas, mencintai isinya, menerima dan patuh padanya dan mewujudkan hal-hal lain yang menjadi konsekuensi atasnya (lihat Qurratu 'Uyun al-Muwahhidin, hal. 22) Dari sinilah kita bisa mengetahui letak penting belajar tauhid. Karena tauhid adalah sebab utama untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa. Dan ini juga berarti bahwa tauhid adalah syarat utama untuk bisa masuk ke dalam surga. Namun, bukan berarti bahwa orang yang bertauhid boleh meremehkan dosa. Sebab dosa-dosa itu merupakan saluran-saluran yang akan mengantarkan manusia pada kekafiran dan kerusakan iman. Dengan demikian semakin orang memahami tauhid tentunya ia akan semakin mengagungkan Allah dan semakin takut akan hukuman-Nya. Ia akan menganggap dosa sebagai perkara besar yang bisa mencelakakan dirinya. Adapun orang yang meremehkan dosa maka itu menunjukkan bahwa tauhid di dalam dirinya masih lemah. Oleh sebab itu kita dapati manusia terbaik panutan kita shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling sering beristighfar kepada Allah karena beliau menganggap bahwa sekecil apapun kesalahan maka itu akan merusak penghambaannya kepada Allah subhanahu wa ta'ala. # Diantara Jari Jemari Allah Imam Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Syahr bin Hausyab, dia berkata : Aku berkata kepada Ummu Salamah, “Wahai Ibunda kaum beriman, apakah doa yang paling banyak dibaca oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berada di sisimu?” maka beliau menjawab, “Doa yang paling sering beliau baca adalah 'Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbii 'ala diinik' yang artinya 'Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu'.” Ummu Salamah mengatakan : Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, betapa seringnya anda berdoa dengan membaca 'Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbii 'ala diinik'?! Maka beliau pun menjawab, “Wahai Ummu Salamah, tidaklah ada seorang anak Adam melainkan hatinya berada diantara dua jari dari jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki akan Allah luruskan, dan siapa yang Allah kehendaki maka Allah akan simpangkan.” Mu'adz -seorang periwayat- pun membaca ayat (yang artinya), “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami.” Hadits ini disahihkan al-Albani (lihat Sahih Sunan Tirmidzi, 3/447) Di dalam hadits yang agung ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan kepada kita betapa pentingnya memperhatikan keadaan hati. Sebab baiknya hati akan membuahkan baiknya ucapan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, rusaknya hati akan membuahkan kerusakan pada ucapan dan perilaku. Oleh sebab itu setiap muslim butuh kepada pertolongan Allah agar meluruskan dan meneguhkan hatinya di atas kebenaran. Sebab tanpa bantuan dari Allah tidak akan mungkin hatinya bisa tegak di atas Islam dan Sunnah. Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran bahwasanya doa memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan seorang hamba. Bahkan doa itulah wujud penghambaan kepada Allah. Doa ada dua macam; doa berisi pujian dan sanjungan atau biasa disebut dengan doa ibadah atau doa tsanaa', yang kedua adalah doa berisi permintaan atau permohonan yang biasa disebut dengan istilah doa mas'alah. Doa yang disebutkan dalam hadits ini termasuk doa mas'alah. Adapun doa berupa pujian misalnya adalah 'alhamdulillah', inilah yang disebut dengan doa tsanaa'. Dianjurkan untuk sering membaca doa ini 'Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbii 'ala diinik' sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Doa ini bisa dibaca ketika waktu-waktu terkabulnya doa misalnya diantara adzan dan iqomah, atau ketika sebelum salam ketika sholat, atau ketika sujud, atau ketika di sepertiga malam terakhir, atau bisa juga dibaca di rumah ketika sedang bersama keluarga yaitu istri dan anak-anak. Tidak dipungkiri bahwasanya keberadaan istri, anak-anak dan harta menjadi fitnah/cobaan bagi hati manusia. Betapa banyak orang yang hanyut dalam penyimpangan karena fitnah-fitnah ini. Oleh sebab itu sudah selayaknya kita juga berlindung kepada Allah dari segala macam fitnah yang menyesatkan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Seperti doa yang dibaca oleh para sahabat 'Na'uudzu billahhi minal fitan, maa zhahara minhaa wa maa bathan' yang artinya, “Kami berlindung kepada Allah dari fitnah-fitnah; yang tampak maupun yang tersembunyi.” (HR. Muslim) Seorang hamba hendaknya menggantungkan hatinya kepada Allah semata. Karena Allah lah yang mampu membolak-balikkan hati dan mengarahkannya menuju kebaikan atau penyimpangan. Apabila manusia cenderung kepada kebatilan maka Allah pun menyesatkan hati mereka menuju keburukan. Sebaliknya, jika mereka cenderung mengabdi kepada Allah dan tunduk kepada-Nya niscaya Allah akan berikan petunjuk dan bimbingan kepada mereka menuju jalan-Nya. Hal ini juga menunjukkan kepada kita betapa besar nikmat hidayah bagi seorang hamba. Inilah nikmat paling agung yang akan mengantarkan pemiliknya menuju surga. Dari hadits ini kita juga bisa mengambil faidah bahwasanya menjadi kewajiban bagi seorang kepala rumah tangga untuk memberikan teladan kebaikan kepada keluarganya dan menjelaskan kepada mereka hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi dunia dan akhirat mereka. # Penarikan Kesimpulan Yang Mengagumkan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video ceramahnya yang membahas urgensi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberikan sebuah contoh pelajaran dakwah yang sangat agung. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa di dalam Kitab Tauhid-nya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan sebuah bab khusus yang membahas tentang keutamaan dakwah tauhid. Salah satu keutamaan dakwah tauhid itu adalah bahwa ia merupakan jalan hidup Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata. Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku...” (Yusuf : 108) Dari ayat tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menarik sebuah kesimpulan berharga, bahwasanya seorang yang berdakwah hendaklah ikhlas di dalam dakwahnya; karena banyak orang yang berdakwah sebenarnya mengajak manusia kepada dirinya sendiri, bukan kepada agama Allah. Ini adalah sebuah pelajaran tauhid yang sangat berharga untuk kita... Dakwah tauhid adalah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan sesembahan selain-Nya. Tentu ibadah yang agung ini yaitu dakwah tidak akan diterima oleh Allah apabila pelakunya tidak ikhlas karena-Nya. Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku, Aku akan tinggalkan dia bersama syiriknya itu.” (HR. Muslim) Bagaimana bisa seorang yang mengajak kepada tauhid dan keikhlasan justru menjadi orang yang mencampuri niatnya dalam beramal dan berdakwah demi mencari kepentingan-kepentingan duniawi yang semu dan sementara?! Ikhlas dalam berdakwah adalah perkara yang membutuhkan latihan dan perjuangan. Sebab hawa nafsu manusia cenderung cinta kepada sanjungan, haus pujian, dan lapar terhadap popularitas. Berbeda dengan tabiat orang yang ikhlas yang selalu berusaha untuk menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebisa mungkin. Lihatlah apa yang dilakukan para ulama hadits kita terdahulu dan yang sekarang... Mereka adalah orang-orang yang berjasa besar kepada umat manusia. Seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama salaf, “Para malaikat adalah penjaga langit, sedangkan ahli hadits adalah penjaga bumi.” Para ulama hadits mengisi hembusan nafasnya dengan kalimat-kalimat dan petunjuk Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka nukilkan kepada generasi sesudahnya hadits-hadits tanpa memelintir makna dan maksudnya menurut hawa nafsu mereka. Oleh sebab itu karya para ulama hadits penuh dengan berkah di sepanjang masa. Bukan karena mereka menjunjung tinggi akal, perasaan dan pendapat-pendapatnya; akan tetapi karena mereka meriwayatkan sabda-sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya. Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Imam Nawawi dengan Hadits Arba'in-nya, dengan Riyadhush Shalihin-nya, dan para ulama-ulama sebelum beliau seperti Imam Bukhari dengan kitab Sahih-nya dan Imam Muslim dengan Sahih-nya pula... Lihatlah pula apa yang dilakukan oleh para ulama hadits ketika menyampaikan hadits dalam majelis-majelis mereka. Sebagian mereka mengatakan, bahwa terkadang sebuah hadits itu membutuhkan berkali-kali pelurusan niat. Sebab terkadang niat itu berubah-ubah. Bahkan mereka dengan rendah hati menuturkan, “Dahulu kami menimba ilmu bukan murni karena Allah. Akan tetapi ilmu enggan kecuali menyeret kami agar selalu ikhlas karena Allah.” Sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah. Maka bagaimana lagi seorang yang menisbahkan diri sebagai juru dakwah... # Memahami Makna Ibadah Salah satu perkara yang sudah jelas dan tetap di dalam agama ini adalah bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia ini adalah dalam rangka beribadah kepada Allah. Untuk itulah Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan. Apabila disertakan dengannya puncak kecintaan maka jadilah ia ibadah secara syari'at. Oleh sebab itu para ulama menerangkan bahwa ibadah dalam pengertian agama adalah puncak perendahan diri yang disertai dengan puncak kecintaan. Dengan bahasa lain, ibadah adalah ketundukan kepada Allah dengan penuh rasa cinta dan pengagungan kepada-Nya. Ibadah itu tercermin dalam bentuk pelaksanaan perintah dan meninggalkan larangan-larangan. Dan apabila dilihat dari materi ibadah itu sendiri maka ia meliputi semua perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah berupa ucapan dan perbuatan. Ibadah juga bisa muncul di dalam hati, atau di lisan, atau dengan anggota badan. Selain itu perlu pula diketahui bahwasanya ibadah tidaklah dinamakan sebagai ibadah yang benar kecuali apabila disertai dengan tauhid. Oleh sebab itu dikatakan oleh sebagian ulama salaf bahwa semua perintah untuk beribadah kepada Allah di dalam al-Qur'an maka maknanya adalah perintah untuk mentauhidkan-Nya. Tanpa tauhid ibadah itu akan sia-sia. Seperti yang Allah gambarkan dalam ayat (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23) Dengan demikian segala bentuk amal salih pun tidak akan bernilai apabila tidak disertai dengan tauhid. Oleh sebab itu Allah memerintahkan (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110) Ibadah lisan dan anggota badan pun tidak akan berarti apabila tidak dilandasi dengan keikhlasan niat. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu akan dinilai dengan niatnya. Dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim) Sementara amal tidaklah dikatakan salih kecuali apabila sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh sebab itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami pasti tertolak.” (HR. Muslim) Para ulama kita mengatakan bahwa prinsip dalam beribadah itu ada dua; yaitu kita tidak beribadah kecuali kepada Allah, dan kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan mengikuti tuntunan/sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila seorang menujukan ibadahnya kepada Allah dan juga kepada selain-Nya maka dia terjatuh dalam syirik. Dan apabila seorang melakukan amal ibadah yang menyelisihi tuntunan maka dia terjatuh dalam bid'ah. Baik syirik ataupun bid'ah adalah penyebab amal tertolak dan sia-sia, bahkan pelakunya berdosa. Untuk bisa mengetahui perbedaan antara tauhid dengan syirik, sunnah dengan bid'ah maka setiap muslim harus menimba ilmu agama. Sehingga ilmu adalah pondasi bagi ibadah. Orang yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki. # Mengakui Kebodohan Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan : Beruntunglah orang yang bersikap inshof/objektif kepada Rabbnya. Sehingga dia mengakui kebodohan yang meliputi ilmu yang dia miliki. Dia pun mengakui berbagai penyakit yang berjangkit di dalam amal perbuatannya. Dia juga mengakui akan begitu banyak aib pada dirinya sendiri. Dia juga mengakui bahwa dirinya banyak berbuat teledor dalam menunaikan hak Allah. Dia pun mengakui betapa banyak kezaliman yang dia lakukan dalam bermuamalah kepada-Nya. Apabila Allah memberikan hukuman kepadanya karena dosa-dosanya maka dia melihat hal itu sebagai bukti keadilan-Nya. Namun apabila Allah tidak menjatuhkan hukuman kepadanya dia melihat bahwa hal itu murni karena keutamaan/karunia Allah kepadanya. Apabila dia berbuat kebaikan, dia melihat bahwa kebaikan itu merupakan anugerah dan sedekah/kebaikan yang diberikan oleh Allah kepadanya. Apabila Allah menerima amalnya, maka hal itu adalah sedekah kedua baginya. Namun apabila ternyata Allah menolak amalnya itu, maka dia sadar bahwa sesungguhnya amal semacam itu memang tidak pantas dipersembahkan kepada-Nya. Dan apabila dia melakukan suatu keburukan, dia melihat bahwa sebenarnya hal itu terjadi disebabkan Allah membiarkan dia dan tidak memberikan taufik kepadanya. Allah menahan penjagaan dirinya. Dan itu semuanya merupakan bentuk keadilan Allah kepada dirinya. Sehingga dia melihat bahwa itu semuanya membuatnya semakin merasa fakir/butuh kepada Rabbnya dan betapa zalimnya dirinya. Apabila Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya hal itu semata-mata karena kebaikan, kemurahan, dan kedermawanan Allah kepadanya. Intisari dan rahasia dari perkara ini adalah dia tidak memandang Rabbnya kecuali selalu melakukan kebaikan sementara dia tidak melihat dirinya sendiri melainkan orang yang penuh dengan keburukan, sering bertindak berlebihan, atau bermalas-malasan. Dengan begitu dia melihat bahwasanya segala hal yang membuatnya gembira bersumber dari karunia Rabbnya kepada dirinya dan kebaikan yang dicurahkan Allah kepadanya. Adapun segala sesuatu yang membuatnya sedih bersumber dari dosa-dosanya sendiri dan bentuk keadilan Allah kepadanya. [lihat al-Fawa'id, hal. 36] Keterangan : Di dalam kalimat-kalimat di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah ingin menjelaskan kepada kita bagaimanakah sikap yang benar dalam mengabdi kepada Allah. Seorang hamba siapa pun dia tidak bisa mengelak bahwa dirinya sangat butuh kepada Allah. Setiap insan adalah ciptaan Allah. Sebelumnya dia tidak ada kemudian Allah menciptakan dirinya sehingga ada. Dengan demikian setiap hamba harus menghadirkan di dalam hatinya perasaan butuh sepenuhnya kepada Allah. Seperti yang kita ucapkan di dalam sayyidul istighfar, '...Khalaqtani wa ana 'abduka...' artinya, “Engkau lah yang telah menciptakan aku sedangkan aku ini adalah hamba-Mu.” Kesadaran penuh bahwa kita adalah hamba ciptaan Allah. Kita wajib bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Kita wajib mengakui segala macam bentuk nikmat yang Allah curahkan kepada kita bahwa itu memang datang dari-Nya. Seorang hamba tidak bisa lepas dari bantuan Allah sekecil apapun kebaikan yang ingin dia kerjakan dan sekecil apapun bahaya yang ingin dia hindari. Dengan keyakinan semacam itulah dia akan ingat bahwa kebaikankebaikan yang bisa dia lakukan selama ini benar-benar merupakan anugerah Allah kepadanya, bukan semata-mata hasil kerja keras dan jerih payahnya. Oleh sebab itu sebagian ulama ketika ditanya apa rahasia sehingga dia bisa begitu bersemangat dan mengumpulkan ilmu yang begitu banyak, mereka menjawab, “Aku tidak tahu, sesungguhnya hal itu hanyalah taufik...” Banyak orang yang bisa mencapai keberhasilan -sebagaimana yang biasa dijadikan ukuran keberhasilan oleh manusia- akan tetapi tidak banyak orang yang ketika berhasil bisa menyandarkan keberhasilannya itu kepada Allah. Banyak orang merasa hebat dan tangguh dengan segala pengorbanan dan kebaikan yang telah dilakukannya. Perasaan ini pada akhirnya membuatnya lupa bahwa hal itu merupakan akibat pertolongan Allah kepadanya. Oleh sebab itu sebagian ulama terdahulu mengatakan, “Dahulu kami diuji dengan musibah, maka kami bisa bersabar. Akan tetapi ketika kami diuji dengan nikmat-nikmat kami justru gagal.” Ketika musibah melanda banyak orang kembali ingat kepada Allah dan betapa besar kebutuhan mereka kepada-Nya. Sementara dalam kondisi senang dan berlimpah nikmat, banyak orang justru hanyut dalam kegembiraan dan lalai dari mensyukuri nikmat-Nya. Kelalaian inilah yang pada akhirnya akan menyeret mereka dalam berbagai bentuk sikap kufur nikmat kepada-Nya. Dia pun menyandarkan nikmat itu kepada selain Allah. Seperti yang dialami oleh Qarun ketika dia menyombongkan diri seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku diberikan ini semuanya karena ilmu yang aku miliki.” Di sisi lain, seorang hamba harus selalu menyadari akan dosa-dosa dan kesalahan yang dia kerjakan. Dengan mengingat hal itu niscaya akan semakin besar perasaan butuhnya kepada Allah. Karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Dia. Sebaik apapun amal yang dia lakukan maka dia sadar bahwa hak-hak Allah sangatlah agung dan terlalu sempurna untuk bisa dia tunaikan hak-hak-Nya itu dengan baik. Seburuk apapun dosa dan maksiat yang telah dia lakukan maka dia akan tetap melihat bahwa Allah senantiasa membuka pintu taubat untuk hamba-Nya. Dia pun sadar bahwa apabila dia tidak bertaubat kepada-Nya nasibnya berada di dalam bahaya. Dia sadar bahwa apabila Allah menerima amalnya itu pun karena kemurahan Allah kepada dirinya. Dan apabila Allah tidak menerimanya maka hal itu semata-mata karena kekurangan dan kesalahan yang dia lakukan. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah menyaksikan curahan nikmat Allah dan selalu memperhatikan aib diri dan amalan kita. Dengan melihat curahan nikmat akan tumbuh kecintaan kepada Allah. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal kita niscaya akan membuahkan perendahan diri dan pengagungan kepada-Nya. Dengan cinta dan pengagungan itulah kita akan bisa beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Karena ibadah kepada Allah adalah ketundukan kepada-Nya yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada-Nya. Bukanlah hamba Allah apabila dia menyombongkan dirinya. Bukan hamba Allah apabila dia merasa hebat dan sombong di hadapan-Nya. Bukanlah hamba Allah orang yang melakukan ketaatan tanpa rasa kecintaan kepada-Nya. Hamba Allah yang sejati adalah yang tulus beribadah kepada-Nya dengan penuh perendahan diri dan kecintaan kepada-Nya. Sampai pun apabila Allah tidak menerima amalnya dia memandang bahwa dirinya layak untuk mendapatkan perlakuan itu. Bahkan ketika Allah timpakan musibah kepadanya hal itu pun merupakan bukti kasih sayang Allah kepada hamba-Nya; agar mereka bertaubat kepada-Nya atau semakin bersyukur akan nikmat-Nya. Oleh sebab itu orang yang bisa merasakan lezatnya iman adalah mereka yang ridha Allah sebagai rabb. Artinya dia merasa puas bahwa Allah semata sesembahannya, Allah semata yang mengatur kehidupannya, dan Allah pula yang menetapkan takdir musibah kepadanya. Dia yakin bahwa Allah Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Tidak ada perbuatan Allah yang sia-sia. Apabila Allah berikan musibah artinya Allah menguji kesabarannya. Apabila Allah berikan nikmat artinya Allah ingin melihat sejauh mana dia bisa mensyukuri nikmat itu. Demikian seterusnya... # Mengenal Keutamaan Ilmu Ilmu agama. Setiap insan pasti membutuhkannya. Bagaimana tidak? Sedangkan ilmu agama inilah bekal dan perisai baginya untuk menangkis berbagai terpaan kerancuan dan penyimpangan pemikiran. Tidakkah anda lihat orang-orang yang bergelimang dengan syirik dan kekafiran di atas muka bumi ini? Salah satu sebab utama mereka terjerumus ke dalamnya adalah karena mereka tidak memiliki ilmu yang benar yaitu ilmu agama Islam. Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Baik tidaknya suatu amal tidak bisa diketahui kecuali dengan ilmu. Apabila tidak dilandasi ilmu maka setiap orang akan melakukan amalan menurut kehendaknya sendiri-sendiri. Dan masing-masing akan menyangka bahwa amalnya itulah yang terbaik sedangkan amalan orang lain tidak!! Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa dirinya melakukan perbuatan dengan sebaikbaiknya.” (al-Kahfi : 103-104) Orang yang mengisi hidupnya dengan syirik dan kekafiran adalah barisan terdepan dari golongan orang-orang yang merugi. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan kelak di akhirat dia pasti termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali 'Imran : 85) Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orangorang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65) Bagaimana tidak merugi, sementara dia telah bersusah-payah melakukan amal-amal yang dia kira hal itu semakin mendekatkan dirinya kepada Allah dan demi meraih syafa'at di sisi-Nya namun ternyata harapan tinggallah harapan dan angan-angan. Karena syirik yang mereka lakukan justru membuat mereka dibenci oleh Allah dan haram mendapatkan surga-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Maa-idah : 72) Sekarang pertanyaannya adalah; dari mana anda bisa tahu bahwa suatu ucapan atau keyakinan dan perbuatan dimasukkan dalam kategori syirik dan kekafiran kalau bukan dengan ilmu?! Dari mana anda bisa membedakan antara tauhid dan syirik, antara iman dan kekafiran kalau bukan dengan ilmu al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih?! Pertanyaan berikutnya adalah; mengapa banyak manusia justru berpaling dari ilmu agama dan lebih tertarik dan gandrung dengan ilmu-ilmu dunia? Jawabannya karena jalan menuju surga diliputi oleh hal-hal yang kurang disukai hawa nafsu. Memang menimba ilmu agama cenderung tidak disukai oleh hawa nafsu manusia. Karena manusia ingin untuk bersantai-santai, bermalas-malasan, dan tidak mau dibebani dengan pelajaran dan hafalan. Oleh sebab itulah para ulama menyebut menimba ilmu sebagai bagian dari jihad; maksudnya adalah jihadun nafs yaitu jihad berjuang menundukkan hawa nafsu. Bahkan inilah bentuk jihad terbesar sebelum jihad dengan pedang dan senjata. Karena tidak mungkin berjihad memerangi musuh dari luar orang yang tidak bisa berjihad menundukkan musuh yang ada di dalam dirinya sendiri. Sahabat Abud Darda' radhiyallahu'anhu mengatakan, “Barangsiapa yang memandang bahwasanya berangkat di awal siang atau di akhir siang dalam rangka menimba ilmu (agama) bukan termasuk jihad sungguh telah berkurang/tidak beres akal dan pikirannya.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang membantah ahli bid'ah adalah orang yang berjihad.” Di dalam surat al-Furqan -dimana surat ini turun di Mekah sebelum hijrah- Allah berfirman memerintahkan kepada nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan berjihadlah melawan mereka dengan hal itu dengan jihad yang besar...” Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud jihad di sini adalah berjihad dalam bentuk dakwah dengan Kitabullah yaitu al-Qur'an. Inilah jihad terbesar. Bahkan inilah jihadnya para nabi dan rasul beserta para pewaris perjuangan mereka yaitu para ulama. Suatu fenomena yang cukup memprihatinkan di tengah masyarakat kita adalah sedikitnya orangorang yang mau menekuni ilmu agama dan mendakwahkannya dengan benar. Kebanyakan orang hanya menyukai agama ketika ia selaras dengan hawa nafsu dan perasaannya. Giliran agama menyuguhkan kepadanya kesempatan untuk berjihad dengan harta dan ilmunya maka surutlah semangat mereka untuk membela agama. Seorang teman pernah menceritakan kepada kami pengalamannya ketika dia berkunjung di sebuah tempat yang hendak dijadikan tempat KKN olehnya. Maka di situ salah seorang warga setempat memberikan pesan kepadanya, “Kalau di sini tidak usah mengundang ustadz yang membicarakan surga dan neraka, cari aja ustadz yang isinya guyonan/lawakan dan bisa membuat tertawa.” Demikian kurang lebih 'nasihat' yang disampaikan kepada teman kami itu.... Subhanallah! Sebegitu murah dan rendah kah nilai agama ini di mata manusia?! Ketika para juru dakwah tauhid dan sunnah tidak digemari dan yang lebih disukai adalah para pengocok perut dan komedian pengundang gelak tawa?! Peningkatan iman dan takwa seperti apakah yang hendak diperoleh dengan pengajian yang sarat dengan lelucon dan gelak tawa... Bukankah terlalu banyak tertawa akan membuat hati keras dan mati... Ya Allah, kami mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat.... # Menyatukan, Bukan Memecah Belah... Allah berfirman (yang artinya), “Berpegang-teguhlah kalian dengan tali Allah, dan janganlah kalian berpecah-belah...” (Ali 'Imran : 103) Para ulama memiliki pendapat yang saling melengkapi dalam memahami maksud ayat tersebut. Diantaranya, Ibnu 'Abbas menafsirkan 'Berpegang-teguhlah dengan agama Allah'. Ibnu Mas'ud mengatakan 'Yang dimaksud tali Allah adalah al-jama'ah/persatuan kaum muslimin'. Mujahid dan 'Atha' mengatakan 'Yang dimaksud adalah perjanjian dengan Allah'. Qatadah dan as-Suddi menafsirkan, 'Maksudnya adalah al-Qur'an'. Muqatil bin Hayan mengatakan, 'Yang dimaksud adalah perintah Allah dan ketaatan kepada-Nya' (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 229) Dan tidak akan bisa terwujud persatuan umat itu kecuali dengan berpegang-teguh dengan akidah yang benar yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan meninggalkan akidah-akidah yang rusak, meninggalkan bid'ah dan khurafat. Berpegang-teguh dengan al-Kitab dan as-Sunnah (lihat Nashihatun wa Ta'shiilun fi Zamanil Fitan, hal. 11) Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya faktor utama yang akan menyatukan umat ini adalah berpegang-teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam serta akidah yang benar. Seperti yang telah diisyaratkan oleh Imam Malik rahimahullah, “Tidak akan memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki keadaan generasi awalnya.” (lihat Nashihatun wa Ta'shiilun, hal. 12) Dengan demikian, adalah sebuah kemustahilan persatuan umat itu bisa terwujud apabila kaum muslimin memiliki akidah yang menyimpang dari jalan para sahabat Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab akidah inilah yang menjadi asas persatuan. Seperti yang dinasihatkan oleh Imam alAuza'i rahimahullah, “Hendaklah kamu mengikuti jejak orang-orang terdahulu (salafus shalih) meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah pendapat-pendapat akal manusia, meskipun mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah.” Betapa banyak kerusakan dan perpecahan yang timbul ketika umat Islam melenceng dari jalan generasi terbaik umat ini. Lihatlah apa yang ditimbulkan oleh firqah Khawarij dalam bentuk pengkafiran dan pembunuhan serta pemberontakan.. Lihatlah apa yang ditimbulkan oleh firqah Syi'ah Rafidhah dalam bentuk pengkultusan terhadap individu dan praktek-praktek amalan yang menyimpang dan merusak... bahkan pembantaian terhadap kaum muslimin! Lihatlah apa yang ditimbulkan oleh kaum Liberal dalam bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap Islam dengan kedok kebebasan dan Hak Asasi Manusia (HAM)... Sebesar apa pun upaya dan usaha yang dikerahkan untuk merapatkan barisan dan menjalin persatuan tetapi jika tidak dibangun di atas akidah yang benar maka mustahil persatuan dan kemuliaan itu akan terwujud. Apabila dalam perkara bersuci, sholat, zakat, puasa, dan haji kita kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah lantas mengapa dalam hal-hal akidah kita justru kembali kepada akal-akal kita, pemikiran dan perasaan kita atau tradisi dan budaya?! Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang Allah wasiatkan kepada kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (alAn'am : 153) Berkah apa yang kita harapkan apabila kita mencari jalan selain jalan nabi dan para sahabatnya? # Merdeka dengan Tauhid! Umat manusia merasa gembira dengan sebuah kemerdekaan. Merdeka dari penjajahan dan penindasan artinya adalah bebas dari belenggu dan kehinaan. Oleh sebab itu begitu banyak perjuangan dan pengorbanan yang diberikan demi terwujudnya kemerdekaan. Akan tetapi banyak orang lupa, bahwa kemerdekaan itu menjadi tidak ada artinya ketika kebebasan justru dijadikan sebagai pembenar untuk melakukan berbagai bentuk pelanggaran dan kejahatan. Ketika kemerdekaan dimaknai dengan kebebasan ala binatang dimana manusia tidak peduli dengan halal dan haram, baik dan buruk, karena yang mereka kejar adalah kepuasan dan kesenangan semu. Padahal, kemerdekaan itu hanya akan bisa menjadi kebahagiaan ketika ia digunakan untuk taat kepada Allah dan rasul-Nya. Memang merdeka dari penjajahan adalah nikmat dan anugerah. Akan tetapi nikmat bisa berubah menjadi lahan petaka ketika nikmat itu tidak disyukuri dengan sebaikbaiknya. Seperti yang diungkapkan oleh Abu Hazim rahimahullah, “Setiap nikmat yang tidak menambah semakin dekat kepada Allah, maka itu adalah malapetaka.” Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang jauh lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97) Kebahagiaan dan kehidupan yang baik hanya bisa diraih dengan iman dan amal salih. Adapun semata-mata bernafas, berjalan, berlari, makan dan minum serta buang air maka ini bukanlah standar kebahagiaan yang sejati. Betapa banyak manusia yang hidup dan sehat secara fisik tetapi mati dan sakit secara ruhani. Betapa banyak orang yang matanya melihat tetapi tidak pernah mau membaca ayat-ayat Allah dan mengkaji hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Hidupnya hati adalah dengan dzikir, iman dan ketaatan. Sebagaimana rusaknya hati disebabkan oleh kelalaian, kekafiran dan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang selalu mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak pernah mengingat Rabbnya seperti perbandingan antara orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari) Orang yang selalu mengingat Allah akan sadar akan curahan nikmat yang Allah berikan kepadanya, maka dia pun akan berusaha mensyukurinya. Orang yang selalu mengingat Allah akan sadar akan betapa banyak dosa dan kesalahan yang telah diperbuat olehnya, sehingga dia akan tergerak untuk beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. Orang yang mengingat Allah maka akan berusaha menghiasi detik-detik lembaran hidupnya dengan iman dan amal salih. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam. Sesungguhnya kamu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap berlalu suatu hari maka berlalu pula sebagian dari dirimu.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang kebanyakan manusia terpedaya dengannya yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari) Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-'Ashr : 1-3) Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa waktu, kesehatan, dan nikmat yang Allah berikan adalah ujian bagi manusia. Ujian untuk melihat siapakah diantara manusia yang benarbenar beriman kepada Allah dan tunduk kepada rasul-Nya. Siapakah diantara mereka yang jujur keimanannya, yang mau bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya, dan siapakah yang justru kufur, ujub, dan menyalahgunakan nikmat dalam kedurhakaan dan pembangkangan kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja dalam keadaan tidak diberikan ujian? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka maka Allah benar-benar akan mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang dusta.” (al-'Ankabut : 2-3) Syaikh as-Sa'di rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa diantara bentuk ujian yang Allah berikan kepada manusia itu adalah berupa kesenangan dan musibah, kesulitan dan kemudahan, semangat dan keterpaksaan, kekayaan dan kemiskinan, bahkan termasuk dalam bentuk ujian itu adalah berkuasanya musuh menindas/menjajah mereka atau pertarungan melawan musuh dengan ucapan dan perbuatan. Dan inti dari segala bentuk ujian/fitnah itu adalah berupa syubhat/kerancuan dan syahwat/kesenangan nafsu yang terlarang. Fitnah syubhat merusak akidah sementara fitnah syahwat merusak niat (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 626) Tauhid, inilah tujuan dan hikmah penciptaan kita. Tidak ada artinya hidup jika tidak digunakan untuk mewujudkan tauhid dan iman kepada Rabb alam semesta. Manusia yang merdeka bukanlah manusia yang menghamba kepada makhluk seperti dirinya, tetapi manusia yang merdeka adalah mereka yang menghambakan dirinya kepada Allah semata. Inilah kemerdekaan yang sesungguhnya. Inilah kelezatan tertinggi yang dirasakan setiap insan yang mengenal Rabbnya. Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Telah pergi para pemuja dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling baik di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya kepada beliau, “Apakah itu sesuatu yang paling baik di dunia, wahai Abu Yahya?” maka beliau pun menjawab, “Yaitu mengenal Allah 'azza wa jalla.” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman, orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim). Inilah kelezatan yang dirasakan oleh kaum beriman dan insan bertauhid. Kelezatan dalam berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Kelezatan dalam iman dan amal salih karena-Nya. Kelezatan dalam perjuangan menundukkan hawa nafsu dan melawan tipu daya setan. Kelezatan dalam ikhlas beribadah kepada Allah dan ittiba' kepada ajaran nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Inilah kemerdekaan yang ingin dirusak oleh Iblis dan bala tentaranya. Mereka ingin memalingkan umat manusia dari hikmah dan tujuan penciptaannya. Mereka ingin agar bani Adam bersama-sama kelompoknya untuk menjadi penghuni tetap neraka untuk selama-lamanya. Mereka ingin melepaskan manusia dari penghambaan kepada ar-Rahman supaya manusia itu terjerumus di dalam lembah nista pemujaan kepada hawa nafsu dan setan. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah : Mereka lari dari penghambaan yang menjadi tujuan penciptaan Maka mereka pun terjebak dalam perbudakaan kepada nafsu dan setan # Takutlah Akan Neraka... Allah berfirman (yang artinya), “Maka diantara mereka ada yang celaka dan ada pula orang yang bahagia.” (Huud : 105). Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa melakukan kebaikan maka itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa melakukan keburukan maka hal itu juga merugikan dirinya sendiri. Dan Rabbmu tidaklah berbuat zalim kepada hamba.” (Fushshilat : 46) Allah berfirman (yang artinya), “Dan bagi orang yang takut terhadap kedudukan Rabbnya dua buah surga.” (ar-Rahman : 46). Mujahid berkata mengenai maksud dari ayat ini, “Dia adalah seorang lelaki yang berbuat dosa lalu dia pun teringat akan kedudukan Allah lantas dia pun meninggalkannya.” Beliau juga menafsirkan, “Dia adalah orang yang bertekad untuk melakukan maksiat lalu ingat kepada Allah dan meninggalkannya.” Ibnu 'Abbas berkata, “Allah menjanjikan kepada orang-orang beriman yang takut terhadap kedudukan-Nya dan menunaikan kewajibankewajiban dari-Nya bahwa Allah akan masukkan mereka ke dalam surga.” (lihat at-Takhwif minan Naar karya Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah, hal. 8) Wahb bin Munabbih berkata, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang lebih agung daripada dengan rasa takut.” Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Sumber segala kebaikan di dunia dan di akhirat adalah rasa takut kepada Allah 'azza wa jalla. Setiap hati yang di dalamnya tidak terdapat rasa takut kepada Allah adalah hati yang hancur.” Fudhail bin 'Iyadh berkata, “Rasa takut lebih utama daripada harapan selama orang itu berada dalam kondisi sehat, apabila kematian menjelang rasa harap yang lebih utama.” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 9) Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim : 6). Allah berfirman (yang artinya), “Dan takutlah kalian akan neraka yang telah disiapkan untuk orang-orang kafir.” (Ali 'Imran : 131). Dari an-Nu'man bin Basyir radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku peringatkan kalian dari neraka. Aku peringatkan kalian dari neraka.” Sampai-sampai seandainya ada orang di ujung pasar niscaya dia akan bisa mendengarnya dan orang-orang di pasar pun bisa mendengar suara beliau sementara ketika itu beliau sedang berbicara di atas mimbar (HR. Ahmad) Allah berfirman (yang artinya), “Apakah para penduduk negeri itu merasa aman apabila datang kepada mereka siksaan Kami sementara mereka dalam keadaan tidur.” (al-A'raaf : 97). Abul Jauzaa' berkata, “Seandainya aku diserahi urusan untuk mengatur manusia nicaya aku akan membuat menara di tepi jalan dan aku tempatkan di atasnya orang-orang untuk menyerukan kepada manusia, “Takutlah akan neraka, takutlah akan neraka.”.” (HR. Ahmad dalam az-Zuhd) Ibrahim at-Taimi berkata, “Semestinya bagi orang yang tidak pernah merasakan kesedihan untuk merasa khawatir kalau-kalau dia termasuk penghuni neraka karena para penghuni surga berkata (yang artinya), “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dari kami kesedihan.” (Fathir : 34). Dan semestinya orang yang tidak pernah dirundung rasa takut untuk merasa khawatir kalaukalau dia bukan termasuk penghuni surga, karena mereka -para penghuni surga- berkata (yang artinya), “Sesungguhnya kami dahulu di tengah keluarga kami dirundung oleh rasa takut.” (athThuur : 26).” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 21) Abu Hurairah radhiyallahu'anhu menuturkan bahwa beliau mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa, 'Allahumma inni a'uudzu bika min haari jahannam' yang artinya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari panasnya neraka Jahannam.” (HR. Nasa'i). Umar radhiyallahu'anhu berkata, “Seandainya ada yang menyeru dari langit; Sesungguhnya kalian semuanya masuk ke dalam surga kecuali satu orang, aku takut kalau-kalau satu orang itu adalah diriku.” Sebagian ulama salaf berkata, “Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan harapan saja dia adalah Murji'ah. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan takut saja dia adalah Haruriyah (Khawarij). Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta saja dia adalah Zindiq. Dan barangsiapa beribadah kepada-Nya dengan harapan, takut, dan cinta maka dia lah orang yang bertauhid lagi mukmin.” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 25) Yazid bin Hausyab berkata, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih takut daripada al-Hasan dan Umar bin Abdul Aziz, seolah-olah neraka tidak diciptakan kecuali untuk menghukum mereka berdua.” Suatu ketika al-Hasan menangis, kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis?” beliau menjawab, “Aku takut apabila Allah melemparkanku besok ke dalam neraka lantas Dia tidak mempedulikanku lagi.” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 31) Bakr al-Muzani menuturkan, bahwa suatu ketika Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu'anhu berkhutbah di hadapan manusia di Bashrah. Ketika menyebutkan tentang neraka beliau pun menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar. Bakr berkata, “Maka orang-orang pun pada saat itu menangis sejadi-jadinya.” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 44) Abul Qasim al-Hakim berkata, “Barangsiapa takut terhadap sesuatu maka dia akan lari darinya. Dan barangsiapa takut kepada Allah niscaya dia akan lari menuju-Nya.” (lihat Tazkiyatun Nufus karya Syaikh Ahmad Farid, hal. 117) Allah berfirman (yang artinya), “Maka berlarilah kalian menuju Allah.” (adz-Dzariyat : 50). Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan, “Berlarilah dari azab Allah menuju pahala dari-Nya. Yaitu dengan keimanan dan ketaatan. Ibnu 'Abbas berkata : Artinya berlarilah dari-Nya menuju-Nya dan lakukanlah amal ketaatan kepada-Nya. Sahl bin Abdullah berkata : Berlarilah meninggalkan segala sesuatu selain Allah menuju Allah.” (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1235) Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud 'berlari menuju Allah' adalah berlari meninggalkan segala hal yang dibenci Allah secara lahir maupun batin menuju apa-apa yang dicintai Allah secara lahir dan batin. Tercakup di dalamnya berlari meninggalkan kejahilan menuju ilmu. Meninggalkan kekafiran menuju iman. Meninggalkan maksiat menuju taat. Meninggalkan kelalaian menuju dzikir kepada Allah. Barangsiapa menyempurnakan perkara-perkara ini maka dia telah menyempurnakan agamanya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 812) # Mungkin Kita Sendiri Penjahat Itu Sebagian ulama salaf berkata, “Apabila seorang telah mengenali kadar dirinya sendiri niscaya dirinya itu dalam pandangannya sendiri bisa jadi lebih rendah daripada anjing.” Sebagian mereka ada yang mengatakan, “Orang yang paling berakal adalah orang yang mengetahui hakikat dirinya sendiri dan tidak terpedaya oleh sanjungan orang lain yang tidak mengerti seluk-beluk tentang jati dirinya.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pun pernah berkata kepada salah seorang muridnya, “Apabila seorang telah mengenal hakikat dirinya sendiri maka tidaklah bermanfaat/berpengaruh baginya ucapan (sanjungan/celaan) orang lain.” Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan di dalam kitabnya al-Fawa'id, bahwa orang yang paling arif itu adalah yang menjadikan keluhannya tertuju kepada Allah dari kekurangan/kesalahan yang ada pada dirinya, bukan dengan senantiasa mengambinghitamkan orang lain. Sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa taubat hanya akan bisa dilakukan oleh seorang hamba apabila dia telah menyadari dan mengakui akan dosa-dosanya. Padahal dosa adalah sesuatu yang melekat pada diri dan hawa nafsu anak manusia. Hari demi hari kotoran dosa kerapkali menghampiri dan menodai hatinya. Itulah tabiat nafsu yang menyeret kepada hal-hal yang buruk dan jahat. Sehingga wajar apabila jalan ke surga diliputi hal-hal yang kurang disukai oleh hawa nafsu manusia. Di situlah letak perjuangan dan kejujuran penghambaan itu diuji. Di sisi lain hawa nafsu memiliki tabiat untuk menonjolkan diri dan mengesampingkan keunggulan orang lain. Oleh sebab itulah karakter keimanan menuntut seorang muslim untuk mengubur sifat hasad dan sombong dari perilaku dan tingkah-lakunya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita untuk mengikis dua sifat yang tercela ini; yaitu hasad dan sombong. Apabila ditelusuri kedua sifat ini muncul dari lemahnya perendahan diri kepada Allah. Kecilnya pemahaman di dalam dirinya tentang besarnya bantuan dan peran Allah bagi kebaikan dan kesuksesan yang bisa ia dapatkan. Ia menutup mata dari curahan nikmat dan taufik Allah seraya membusungkan dada dengan secuil kelebihan yang Allah berikan kepadanya. Padahal jika kita ingin sedikit menoleh kepada sejarah perjalanan kaum salaf, niscaya akan kita jumpai profil yang luar biasa besar jasanya kepada agama tetapi di saat yang sama mereka mengubur dalam-dalam sifat hasad dan sombong itu. Mereka telah menyadari betapa miskin dan fakirnya mereka di hadapan Rabbnya. Mereka tidak sanggup untuk mengatakan 'inilah karyaku', 'inilah hasil perjuanganku', atau 'inilah bukti kecerdasan dan kemampuanku'. Mereka hanya akan memuji Allah dan menyanjung-Nya atas semua nikmat dan anugerah itu. Bahkan mereka terus diliputi dengan kekhawatiran apabila amalnya tidak diterima oleh Allah. Mereka pun khawatir bagaimana nasibnya kelak di akhirat ketika berjumpa dengan-Nya. Sehingga taubat dan istighfar itulah yang mewarnai lidah dan gerak-gerik hatinya di sepanjang waktu. # Kewajiban Bertauhid Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sesungguhnya tauhid adalah kewajiban terbesar yang Allah perintahkan kepada setiap insan. Allah jalla wa 'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56) Oleh sebab itulah, Allah utus para rasul untuk membawa misi dakwah tauhid ini kepada setiap umat. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36) Ayat yang mulia ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwa agama para nabi adalah satu, yaitu mengikhlaskan ibadah kepada Allah dan meninggalkan syirik, walaupun syari'at mereka berbedabeda. Demikian pula, ayat ini menunjukkan, bahwa tauhid memiliki kedudukan yang sangat agung di dalam agama Islam; karena ia diwajibkan atas semua umat (lihat faidah ini dalam alMulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid oleh al-Fauzan, hal. 11-12) Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi permulaan dakwah para rasul 'alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud maka bangunan [agama] akan bisa tegak berdiri di atasnya...” (at-Tauhid Ya 'Ibaadallah, hal. 9) Ayat di atas -An-Nahl : 36- juga memberikan faidah kepada kita bahwasanya amalan tidaklah menjadi benar dan diterima kecuali apabila disertai dengan sikap berlepas diri dari segala sesuatu yang disembah selain Allah (lihat Qurratu 'Uyunil Muwahhidin, hal. 4). Oleh sebab itu perintah bertauhid senantiasa bersanding dengan larangan dari berbuat syirik. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (An-Nisaa' : 36) Ayat ini menunjukkan bahwa menjauhi syirik adalah syarat sah ibadah, karena Allah menyandingkan perintah beribadah dengan larangan berbuat syirik. Sebagaimana ayat ini juga mengandung pelajaran penting bahwasanya hakikat tauhid itu adalah beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 15) Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan, “Apabila anda telah mengetahui bahwa Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, ketahuilah bahwa ibadah tidaklah disebut ibadah kecuali jika bersama dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri ibadah, maka ia menjadi rusak; sebagaimana halnya hadats apabila menimpa pada thaharah/bersuci.” (lihat alQawa'id al-Arba') Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orangorang sebelummu; jika kamu berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amalmu, dan kamu benar-benar akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65) Dengan demikian mewujudkan tauhid tidak bisa dilakukan tanpa menjauhi segala bentuk kemusyrikan. Inilah hak Allah atas setiap hamba. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba ialah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan denganNya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu) Salah satu diantara ciri 'Ibadurrahman -hamba-hamba Allah yang utama- adalah tidak ikut serta menyaksikan az-zuur/kedustaan. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang tidak ikut serta menyaksikan az-zuur/kedustaan.” (Al-Furqan : 72). Imam Ibnu Katsir rahimahullah membawakan tafsir istilah az-zuur ini, diantaranya mencakup; syirik dan pemujaan berhala, kedustaan, kekafiran, dan kefasikan. Ia juga meliputi segala bentuk kesia-siaan dan nyanyian. Abul 'Aliyah, Ibnu Sirin dan yang lainnya menjelaskan bahwa salah satu cakupan makna az-zuur itu adalah hari raya orang-orang musyrik. Termasuk di dalam kandungan ayat ini juga adalah tidak menghadiri majelis peminum khamr/miras (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [6/33]) Oleh sebab itulah para ulama kita memberikan penjelasan tentang makna Islam dengan begitu apik. Mereka mengatakan, bahwa Islam itu adalah 'kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya'. Inilah prinsip dan kaidah yang sudah diisyaratkan oleh al-Qur'an. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku. Aku mengajak menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan Maha Suci Allah, aku bukan termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Yusuf : 108) Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya; 'Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian sembah kecuali Dzat yang telah menciptakanku...” (Az-Zukhruf : 26) Allah 'azza wa jalla juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang sangat kuat/kalimat tauhid.” (Al-Baqarah : 256) Oleh karena itu pula, Nabi Ibrahim 'alaihis salam berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari penyembahan berhala. Allah berfirman (yang artinya), “[Ibrahim berdoa]; Wahai Rabbku, jauhkanlah aku dan anak-anak keturunanku dari menyembah berhala.” (Ibrahim : 35) Demikianlah teladan Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan para rasul dalam berdakwah, yaitu menjauhi segala bentuk kemusyrikan dan berlepas diri darinya, bukannya malah berdekat-dekat dengan perayaan kaum musyrikin dan mengucapkan selamat atas kekafiran mereka. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Pada masa sekarang ini, ada jama'ah-jama'ah yang mengaku bahwa mereka adalah da'i-da'i menuju agama Allah, namun mereka tidak berlepas diri dari kaum musyrikin selama mereka berada dalam manhaj hizbi yang mereka miliki!! Hal yang wajib bagi seorang muslim adalah bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan apabila ingin berdakwah kepada agama Allah hendaklah dia mengerti apakah hakikat dakwah itu, apa saja pokok-pokok dakwah, apa yang dituntut pada diri seorang da'i, sebagaimana jalan yang telah ditempuh oleh Ibrahim 'alaihis salam dan para nabi yang berlepas diri dari kaum musyrikin dan memutuskan loyalitas dengan mereka.” (lihat I'anatul Mustafid [1/106]) Maka, kita katakan kepada mereka: Wahai orang yang ingin menebar kesejukan namun melempar bara api Mengapa anda bakar akidah ini demi mengais simpati Tidakkah cukup bagi anda kesejukan kalam ilahi Tuk menjauh dan menjaga diri dari perusak tauhid yang suci... # Syafa'at Bagi Umat Bertauhid Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan doa itu. Adapun aku menunda doaku sebagai syafa'at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa -syafa'at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang yang meninggal di antara umatku dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Muslim) Hadits yang mulia ini mengandung pelajaran, di antaranya: 1. Kasih sayang Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat besar kepada umatnya dan besarnya perhatian beliau demi kebaikan mereka. Oleh sebab itu beliau sengaja mengakhirkan doanya -yang mustajab- itu bagi kepentingan umatnya pada saat-saat yang paling mereka perlukan (lihat Syarh Muslim [2/342]) 2. Semua orang yang meninggal dalam keadaan tidak musyrik (atau kafir) maka tidak akan dihukum kekal di dalam neraka meskipun dia bergelimang dosa-dosa besar dan belum bertaubat darinya (lihat Syarh Muslim [2/342]). Adapun apabila seorang mukmin mati dalam keadaan sebelumnya bergelimang dengan dosa besar lalu bertaubat dari dosa-dosanya sebelum mati, maka ia akan langsung masuk surga (lihat ucapan Imam Bukhari dalam Kitab al-Libas setelah membawakan hadits ini, Shahih Bukhari, hal. 1216) 3. Pentingnya taubat. Terlebih lagi di saat-saat menjelang kematian, sebelum nyawa berada di tenggorokan. Karena yang menjadi patokan hukum akherat kelak adalah kondisi terakhir orang tersebut di alam dunia, apakah dia meninggal di atas iman ataukah tidak. Sementara kematian itu adalah rahasia Allah yang kita tidak tahu kapan datangnya. Oleh sebab itu kita tertuntut untuk bertaubat dengan segera dan tidak menunda-nundanya. Selama kita masih menjumpai siang dan malam di alam dunia ini, maka kesempatan taubat masih terbuka selebar-lebarnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat para pelaku dosa di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat para pelaku dosa di malam hari, sampai akhirnya adalah ketika matahari terbit dari arah tenggelamnya.” (HR. Muslim) 4. Kewajiban mengimani adanya hari kebangkitan sesudah kematian dan dibalasnya amal-amal manusia kelak di akherat. Sehingga kehidupan di alam dunia ini adalah bentuk ujian dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, siapakah di antara mereka yang bersyukur -dengan bertauhid dan mengikuti rasul-Nya- dan siapakah yang justru kufur dan berpaling dari petunjuk-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian dalam keadaan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (al-Mu'minun: 115). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira dia dibiarkan begitu saja.” (al-Qiyamah: 36). Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “-Allah- Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk: 2) 5. Kewajiban mengimani keberadaan malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan tugas-tugas mereka, di antaranya adalah Jibril 'alaihis salam yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu. Sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah rasul/utusan dari kalangan manusia, maka Jibril adalah rasul dari kalangan malaikat. Oleh sebab itulah -wallahu a'lam- Imam Bukhari rahimahullah mencantumkan hadits ini di dalam Kitab Bad'u al-Wahyi dengan judul bab : Penyebutan mengenai malaikat (lihat Shahih Bukhari, hal. 674 dan 677) 6. Keutamaan doa, bahkan intisari dari ibadah adalah doa. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Rabb kalian berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku mereka pasti masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (al-Mu'min: 60) 7. Keutamaan tauhid dan keutamaan mempelajarinya, karena dengan tauhid yang bersih dari kesyirikan seorang hamba akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan dimasukkan ke dalam surga. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (alAn'am: 82). Abu Dzar radhiyallahu'anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Jibril 'alaihis salam datang menemuiku lalu meyampaikan kabar gembira kepadaku bahwa barangsiapa di antara umatmu yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka pasti masuk surga. Aku -Nabiberkata: 'Meskipun dia berzina dan mencuri?' Dia -Jibril- menjawab, 'Meskipun dia berzina dan mencuri.'.” (HR. Bukhari dan Muslim) 8. Orang yang meninggal di atas kekafiran/kemusyrikan maka amal-amalnya di dunia tidak bermanfaat baginya di akherat (tidak bisa membuatnya masuk surga). Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, beliau berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, Ibnu Jud'an adalah orang yang di masa Jahiliyah suka menyambung tali kekerabatan dan memberi makan orang miskin, apakah hal itu bermanfaat untuknya?”. Maka beliau menjawab, “Tidak bermanfaat baginya. Karena sesungguhnya dia tak pernah suatu hari pun memohon, 'Wahai Rabbku ampunilah dosaku di hari pembalasan nanti.'.” (HR. Muslim) 9. Wajibnya mengimani adanya syafa'at di akherat kelak. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu tidak berguna syafa'at kecuali bagi orang yang diberi ijin oleh ar-Rahman dan ucapannya diridhai oleh-Nya.” (Thaha: 109). Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Dan mereka tidak akan memberikan syafa'at kecuali bagi orang-orang yang diridhai-Nya.” (al-Anbiya': 28). Syafa'at yang ditetapkan ini akan diberikan setelah terpenuhi 2 syarat: [1] Ijin Allah bagi orang yang memberikan syafa'at, dan [2] keridhaan Allah terhadap orang yang akan diberi syafa'at, sedangkan Allah tidak ridha kecuali kepada orang yang bertauhid (lihat Fath al-Majid, hal. 196). Maka ini artinya orang musyrik contohnya; orang yang berdoa kepada selain Allah- tidak berhak mendapatkan syafa'at... Camkanlah hal ini baik-baik wahai saudaraku! Sehingga hal ini menunjukkan kepada kita bahwa sebenarnya hakekat syafa'at itu adalah milik Allah, bukan milik orang yang diberi ijin memberi syafa'at. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Milik Allah semata, syafa'at itu seluruhnya.” (az-Zumar: 44) 10. Bahaya syirik, karena orang yang meninggal dalam keadaan musyrik tidak akan mendapatkan syafa'at, dan tidak akan bisa masuk surga -na'udzu billahi min suu'il khatimah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (al-Ma'idah: 72) 11. Ketekunan beribadah tidak ada manfaatnya apabila tercampur dengan kesyirikan. Oleh sebab itu Allah mengiringkan perintah untuk beribadah dengan larangan berbuat syirik (silahkan baca an-Nisaa': 36) 12.Bantahan bagi sekte Khawarij dan sebagian Mu'tazilah yang meniadakan syafa'at bagi pelaku dosa besar dari kalangan orang-orang yang beriman. Mereka -Khawarij dan Mu'tazilah- berdalil dengan ayat (yang artinya), “Maka tidak berguna bagi mereka syafa'at orang-orang yang memberikan syafa'at.” (al-Muddatstsir: 48) dan ayat-ayat serupa lainnya. Maka al-Qadhi 'Iyadh rahimahullah telah membantah mereka dengan mengatakan, “Ayatayat ini berlaku bagi orang-orang kafir.” (lihat Syarh Muslim [2/311]). Lihatlah -wahai para pemuda- bagaimana para ulama berbicara dengan ilmu, menyimpulkan hukum secara tepat -dengan memadukan berbagai ayat yang ada dalam satu persoalan- dan tidak serampangan dalam bersikap... @ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737 atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro Konfirmasi Donasi via SMS : Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000 Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa) Informasi : www.al-mubarok.com Sekilas Mengenal YAPADI Yayasan Pangeran Diponegoro (YAPADI) merupakan sebuah lembaga dakwah dan sosial yang bergerak untuk memfasilitasi berbagai bentuk bimbingan keislaman kepada masyarakat secara umum dan generasi muda/mahasiswa secara khusus. Dalam sejarah perjalanannya, YAPADI bermula dari kegiatan dakwah dan kajian yang dikelola oleh Forum Studi Islam Mahasiswa (FORSIM) berupa program kajian Ma'had al-Mubarok yang diadakan di masjid-masjid di sekitar wilayah kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Dengan taufik dari Allah, kegiatan dakwah ini terus berjalan hingga saat ini dengan didukung adanya wisma-wisma muslim yang diprakarsai oleh para donatur dan kemudian adanya bantuan berupa wakaf tanah dari sebagian donatur kepada panitia. Tanah yang diwakafkan ini ditujukan untuk pembangunan sarana ibadah atau masjid bagi masyarakat di dusun Donotirto desa Bangunjiwo kecamatan Kasihan Bantul Yogyakarta – agak jauh dari UMY. Sementara kegiatan rutin YAPADI secara umum masih terpusat di wilayah sekitar kampus UMY. Program Ma'had al-Mubarok dikelola oleh Yayasan Pangeran Diponegoro (YAPADI) yang telah resmi dibentuk dengan pembina diantaranya adalah Ust. Afifi Abdul Wadud, Ust. Ahmad Mz, Ust. Romelan, Ust. Burhan, dr. Arifudin, Sp.OT, dan lain-lain. Adapun pengurus yayasan terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara. Ketua oleh Bp. dr. Desin Pambudi S., sekretaris saudara Ardhi Wiratama B.Y. S.Kom, dan bendahara Bp. Bayu Trihandoyo, S.Pt. Yayasan Pangeran Diponegoro (YAPADI) bermula dari kegiatan dakwah dan pengajian yang diadakan oleh rekan-rekan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bersama beberapa alumni dan panitia kajian di sekitar kampus UMY. Pada awalnya dibentuk Forum Studi Islam Mahasiswa (FORSIM) dengan program utama mengadakan kajian Ma'had al-Mubarok. Alhamdulillah ada sebagian donatur yang dengan sukarela membeli sebuah rumah untuk dijadikan sebagai wisma bagi rekan-rekan yang hendak belajar kuliah dan menimba ilmu agama. Kemudian rumah itu dijadikan sebagai wisma al-Mubarok 1 yang berlokasi di dusun Ngebel tepatnya di sebelah selatan SD Ngebel yaitu sekitar 200 m di sebelah barat Unires Putri UMY. Setelah itu pihak donatur kembali membeli sebuah rumah di dusun Ngrame Tamantirto Kasihan Bantul – sebelah selatan UMY tepat di depan kediaman Bp. Windry Atmoko, M.Acc selaku pendiri, pengarah, dan pengawas kegiatan FORSIM dan Yayasan Pangeran Diponegoro. Rumah ini pun dibuat sebagai wisma dengan nama Wisma al-Mubarok 2 dan sekarang dijadikan sebagai alamat kantor Yayasan Pangeran Diponegoro (YAPADI). Alhamdulillah pihak donatur sejak awal telah memberikan kemudahan bagi segenap warga dengan menggratiskan biaya sewa kamar di wisma ini. Dengan harapan hal itu bisa semakin memacu semangat rekan-rekan untuk menimba ilmu dan berdakwah. Rekan-rekan yang tinggal di wisma inilah yang banyak bergerak di lapangan untuk mengadakan kegiatan kajian, menyebar buletin, publikasi, dsb. Selain itu pihak donatur juga telah membeli rumah yang ketiga dan kemudian juga dijadikan sebagai wisma al-Mubarok 3. Seperti wisma yang pertama, wisma ini juga diperuntukkan bagi mereka yang ingin belajar agama dan menimba ilmu di bangku kuliah. Secara umum rekan-rekan yang tinggal di wisma adalah mahasiswa dan ada juga yang sedang menempuh pendidikan di Ma'had 'Ali bin Abi Thalib Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ditambah lagi dengan adanya wisma khusus muslimah yang dibentuk dengan inisiatif Bp. Windry Atmoko, M.Acc dan keluarga dengan nama Wisma Shofiyyah. Wisma muslimah ini juga diperuntukkan bagi mereka yang ingin belajar agama dan berdakwah sembari menimba ilmu di bangku kuliah. Program Ma'had al-Mubarok Program Ma'had al-Mubarok merupakan serangkaian kegiatan pengajian dengan menyajikan materi-materi dasar di dalam agama Islam. Kajian Ma'had al-Mubarok diadakan pada setiap akhir pekan setiap Sabtu dan Ahad. Kajian hari Sabtu bertempat di Masjid Muthohharoh Ngebel Tamatirto Kasihan bantul – selatan Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kajian pagi hari dimulai pukul 08.00 WIB dengan materi aqidah bersama Ustaz M. Romelan, Lc. Kemudian pada pukul 09.00 WIB kajian kedua dengan materi tafsir bersama Ustaz Dwi Abu Dzulqarnain, BIS. Setelah itu juga diadakan daurah/kajian spesial dengan materi tauhid bersama Ustaz Afifi Abdul Wadud, BIS pada pukul 10.00 sampai menjelang waktu zuhur. Pada sore harinya pukul 16.00 dilanjutkan dengan kajian akhlak bersama Ustaz Aris Munandar, M.PI di tempat yang sama. Kajian hari Ahad bertempat di Masjid at-Taqwa Kadipiro Jl. Wates Km. 2 – sebelah barat perempatan Wirobrajan Yogyakarta. Kajian dimulai pada pukul 08.00 WIB dengan tema hadits bersama Ustaz Amrin Mustofa, S.Ud lalu dilanjutkan sesi kedua pada pukul 09.00 WIB dengan tema fikih bersama Ustaz Faharudin, BIS dan diakhiri dengan kajian tauhid bersama Ustaz Amir asSoronji, Lc. M.Pd.I pada pukul 10.00 sampai selesai. Informasi lebih lengkap silahkan buka website : al-mubarok.com