Cahaya - Ma`had al

advertisement
Cahaya di Atas Perjalanan
Sebuah Kumpulan Faidah, Catatan, dan Nasihat
Daftar Isi :
- Dakwah Yang Haq
- Malu kepada Allah
- Puasa Itu Untuk-Ku
- Mengenal Fungsi Ibadah Shiyam
- Terlarang Berjualan di Masjid
- Sekilas Mengenal Manhaj Salaf
- Kedudukan Hadits Nabi
- Ampuni Dosaku...
- Tetesan Faidah Hadits Niat
- Orang-Orang Yang Beruntung
- Penyebab Nabi Cepat Beruban
- Nasihat Agar Menjauhi Maksiat
- Penistaan Agama
- Diam Yang Menyelamatkan
- Mengenal Imam Ibnu Mandah
- Sekilas Mengenal Imam Bukhari
- Imam Bukhari Pun Tidak Lepas dari Tuduhan
- Lebih Baik daripada Onta Merah
- Pentingnya Berpegang-teguh dengan Manhaj Salaf
- Prinsip Para Imam
- Nasihat bagi Si Sakit
- Sapi Bisa Berbicara?!
- Sumber Kemaksiatan
- Keagungan Syahadat Laa Ilaha illallah
- Ya Allah, Umatku.. Umatku..
- Tinjauan Sekilas Seputar Doa Masuk Rumah
- Allah Pun Tertawa Karenanya
- Bangunlah! Wahai, Abu Turab
- Umat Yang Jujur
- Nikmat Memandang Wajah Allah
- Mewaspadai Benih-Benih Pemberontakan
- Karakter Pengikut Manhaj Salaf
- Keutamaan Doa dan Dzikir
- Doa Untuk Kebaikan Anda
- Penghapus Dosa
- Diantara Jari-Jemari Allah
- Penarikan Kesimpulan yang Mengagumkan
- Memahami Makna Ibadah
- Mengakui Kebodohan
- Mengenal Keutamaan Ilmu
- Menyatukan, Bukan Memecah Belah
- Merdeka dengan Tauhid!
- Takutlah Akan Neraka!
- Mungkin Kita Sendiri Penjahat Itu
- Kewajiban Bertauhid
- Syafa'at Bagi Umat Bertauhid
@ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK
Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737
atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro
Konfirmasi Donasi via SMS :
Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah
Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000
Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa)
Informasi : www.al-mubarok.com
Pengantar
Bismillah.
Segala puji bagi Allah karena dengan taufik-Nya semata kami bisa ikut menimba ilmu dan
mengenal dakwah tauhid. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada nabi kita Muhammad, para
sahabatnya dan pengikut setia mereka hingga akhir masa. Amma ba'du.
Berikut ini kami sajikan kepada segenap pembaca, sebuah kumpulan tulisan yang berisi faidahfaidah atau pelajaran dan nasihat bagi diri kami dan siapa saja yang ingin mengambil nasihat.
Memang ini bukanlah sebuah buku yang sistematis dalam bab tertentu. Sebagaimana namanya ini
adalah kumpulan faidah, catatan, dan nasihat yang diharapkan bisa ikut menjadi cahaya yang
menerangi perjalanan kita dalam menuju kampung akhirat.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua kami yang telah
merawat dan mengasuh kami sejak kecil hingga dewasa. Rasa syukur dan terima kasih pun kami
ungkapkan bagi segenap guru dan ustaz yang telah mengajarkan kepada kami ilmu-ilmu yang
bermanfaat. Semoga Allah berikan balasan terbaik bagi mereka dan menerima amal-amal mereka.
Tulisan ini kami susun untuk mengumpulkan faidah-faidah yang kami anggap penting dan perlu
untuk dikumpulkan dalam sebuah tulisan. Sekiranya ada yang benar maka itu adalah bersumber dari
Allah, dan sekiranya ada yang salah maka itu dari kami dan dari setan. Kami pun memohon
ampunan kepada Allah atas hal itu dan Allah serta Rasul-Nya berlepas diri dari kesalahan-kesalahan
kami. Seperti kata pepatah 'tiada gading yang tak retak'. Apabila ada masukan atau saran bagi kami
silahkan anda sampaikan melalui e-mail kami di alamat : [email protected]
Bagi siapa saja yang ingin mengopi artikel atau nasihat dari tulisan ini kami persilahkan dengan
harapan tetap mencantumkan sumbernya. Apabila bermanfaat anda juga bisa mencetak atau
menerbitkan tulisan ini tanpa merubah isinya, dan anda pun tidak perlu meminta izin kepada kami
secara langsung. Semoga catatan ini bisa membuahkan ilmu yang bermanfaat bagi kita.
Penulis
Hamba yang fakir kepada Rabbnya
Ari Wahyudi
# Dakwah Yang Haq
Segala puji bagi Allah. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad, para
sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka. Amma ba'du.
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas
bashirah/ilmu, inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku...” (Yusuf : 108)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berpesan kepada Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu,
“Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka ialah supaya mereka mentauhidkan
Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafal Bukhari)
Dakwah adalah sebuah ibadah yang sangat agung, mengajak manusia kepada agama Allah.
Sebagaimana ibadah yang lain, maka ibadah harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan. Oleh sebab
itu setiap da'i harus membersihkan niatnya dalam berdakwah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amal dinilai jika disertai dengan niat, dan setiap orang
akan dibalas sesuai dengan apa-apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dakwah membutuhkan ilmu -sebagaimana ibadah yang lain pun membutuhkan ilmu- oleh sebab itu
setiap da'i harus membekali diri dengan ilmu. Imam Bukhari rahimahullah telah membuat bab
dalam Kitab Ilmi; Bab. Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.
Maknanya adalah bahwa setiap ucapan dan amalan di dalam agama ini membutuhkan ilmu. Oleh
sebab itu para ulama salaf mengatakan, “Barangsiapa beramal tanpa ilmu maka apa-apa yang dia
rusak jauh lebih banyak daripada apa-apa yang dia perbaiki.”
Dakwah tidak bisa hanya dengan bermodal semangat dan mengesampingkan ilmu. Allah berfirman
(yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang
paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia
sementara mereka mengira bahwa dirinya berbuat dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)
Dibutuhkan fikih dan kepahaman dalam agama untuk berdakwah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan
dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ilmu agama bukan sekedar wawasan ataupun hafalan, lebih daripada itu hakikat ilmu ialah yang
membuahkan rasa takut kepada Allah dalam hati pemiliknya. Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu
berkata, “Bukanlah ilmu dengan banyaknya riwayat. Akan tetapi ilmu adalah rasa takut.”
Ilmu yang sejati akan membuahkan amalan pada diri pemiliknya. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah, “Seorang yang berilmu senantiasa berada dalam kebodohan
sampai dia mengamalkan ilmunya. Apabila dia telah mengamalkan ilmunya barulah dia benarbenar menjadi seorang yang berilmu.”
Ilmu semacam inilah yang akan membuahkan ma'rifatullah dan ketenangan hati dalam berdzikir
dan taat kepada Allah; sebuah kenikmatan luar biasa yang hanya dirasakan oleh hamba-hamba
beriman dan mentauhidkan Rabb-nya. Seperti yang dikatakan oleh Malik bin Dinar rahimahullah
kepada rekan-rekannya, “Telah pergi para pemuja dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu
yang paling baik di dalamnya.” Mereka bertanya, “Apakah itu wahai Abu Yahya?” beliau pun
menjawab, “Mengenal Allah 'azza wa jalla.”
Ilmu semacam itulah yang membuahkan manisnya keimanan. Sebagaimana yang disabdakan oleh
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Pasti akan merasakan lezatnya iman; orang yang ridha Allah
sebagai Rabb, islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim)
Ilmu yang bermanfaat akan membuahkan iman dan amal salih, sementara ilmu yang tidak
bermanfaat akan melahirkan kesombongan dan penyimpangan. Oleh sebab itu dikatakan oleh
Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah, “Barangsiapa yang rusak diantara orang-orang berilmu
diantara kita maka pada dirinya terdapat keserupaan dengan Yahudi, dan barangsiapa yang rusak
diantara ahli ibadah diantara kita pada dirinya terdapat keserupaan dengan Nasrani.”
Karena itulah setiap hari kita berdoa kepada Allah untuk diberi hidayah ilmu dan hidayah amalan.
Hidayah berupa bimbingan dan hidayah berupa ilham dan taufik kepada kebenaran. Karena tanpa
ilmu maka manusia akan hidup dalam kesesatan, dan tanpa taufik maka manusia akan larut dalam
penyimpangan dan kenistaan. Kerusakan ilmu akan membawa kepada rusaknya aqidah, sedangkan
rusaknya niat akan menyeret pada rusaknya amalan dan perbuatan. Rusaknya ilmu disebabkan
berbagai fitnah syubhat, sedangkan rusaknya niat karena berbagai fitnah syahwat.
Karena itulah Allah jadikan menimba ilmu sebagai jalan menuju surga. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menempuh suatu jalan dalam rangka mencari ilmu
(agama) maka Allah mudahkan untuknya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Meskipun demikian jalan menuju surga itu memang diliputi hal-hal yang tidak disukai oleh hawa
nafsu manusia. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi hal-hal yang
tidak disukai, sedangkan neraka diliputi hal-hal yang disukai nafsu.” (HR. Muslim)
Di sinilah manusia akan diuji sejauh mana dia beriman kepada Rabbnya dan sejauh mana dia lebih
mendahulukan perintah Allah daripada keinginan hawa nafsunya. Allah berfirman (yang artinya),
“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan 'kami beriman' kemudian
mereka tidak diberikan ujian?...” (al-'Ankabut : 2)
Dakwah yang haq maka ia akan mengajak manusia kepada ilmu yang bermanfaat dan amal salih.
Karena fitnah hanya akan bisa ditepis dengan ilmu yang bermanfaat dan amal salih. Saling
menasihati dalam kebenaran akan menepis fitnah syubhat, sedangkan saling menasihati dalam
kesabaran akan menepis fitnah syahwat. Karena itulah Allah mengutus rasul-Nya untuk membawa
petunjuk dan agama yang benar. Petunjuk itu adalah ilmu yang bermanfaat, sedangkan agama yang
benar maksudnya adalah amal salih, sebagaimana dijelaskan para ulama tafsir.
Dakwah yang haq akan menyeru manusia untuk menghamba kepada Allah; sebab inilah maksud
penciptaan mereka di alam dunia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin
dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Dakwah yang haq akan mengajak manusia untuk kembali kepada al-Qur'an dan mengikuti petunjuk
dan ajarannya. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku
niscaya dia tidak akan sesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). Ibnu 'Abbas menafsirkan,
“Allah memberikan jaminan kepada siapa saja yang membaca al-Qur'an dan mengamalkan ajaran
yang ada di dalamnya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.”
Dakwah yang haq akan menyeru manusia untuk tunduk dan taat kepada rasul; karena ketaatan
kepada rasul adalah ketaatan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa menaati
rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa' : 80)
# Malu Kepada Allah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya salah satu diantara ajaran
kenabian yang paling pertama dimengerti oleh manusia ialah; Apabila kamu tidak malu maka
berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari)
Hadits yang agung ini berisi penjelasan tentang pentingnya rasa malu kepada Allah. Dan rasa malu
kepada Allah itu terwujud dengan tidak melawan-Nya dalam bentuk maksiat-maksiat dan tidak
meremehkan ketaatan (lihat al-Haya' minallah oleh Syaikh as-Suhaimi, hal. 2)
Inilah hakikat rasa malu kepada Allah. Rasa malu yang sebenarnya dan paling utama ialah anda
malu kepada Allah; dan hal itu dibuktikan dengan cara melaksanakan kewajiban yang Allah
tetapkan dan menjauhi segala hal yang Allah larang. Anda senantiasa merasa diawasi oleh Allah
baik pada saat senang maupun susah. Pada saat bersemangat maupun ketika lemah semangat.
Ketika anda mengalami kesulitan maupun ketika anda mendapatkan kemudahan. Inilah hakikat rasa
malu kepada Allah (lihat al-Haya' minallah, hal. 2)
Oleh sebab itu orang yang tidak punya rasa malu kepada Allah; niscaya dia akan melakukan segala
sesuatu yang terbetik dalam pikirannya atau yang dibisikkan oleh hawa nafsunya, atau yang disukai
oleh qarin dan setan yang menyertainya. Apabila dia tidak punya rasa malu kepada Allah maka dia
tidak akan peduli apa pun yang dia kerjakan, tidak peduli apa pun yang telah dia tinggalkan,
sehingga dia terus saja bergelimang dengan maksiat, teledor dalam hal ketaatan, dan setan pun
mempermainkannya dengan mudah. Setan membujuk dan merayunya untuk menunda-nunda taubat.
Sampai akhirnya dia berpisah dengan dunia ini dalam keadaan tidak berjalan di atas petunjuk, kita
berlindung kepada Allah dari hal itu (lihat al-Haya' minallah, hal. 2)
Seorang muslim yang sejati dan memiliki sifat ihsan, maka dia akan selalu merasa diawasi oleh
Allah. Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa ihsan itu
adalah, “Anda beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan jika anda tidak bisa beribadah- seolah-olah melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat anda.” (HR. Muslim)
Hakikat ihsan itu adalah dengan selalu merasa diawasi oleh Allah, baik pada saat sembunyi -tidak
dilihat orang- maupun ketika terang-terangan -bersama orang lain-. Perasaan diawasi oleh Allah
atau muraqabah ini tentu saja menuntut kita untuk terus mengevaluasi apa saja yang telah kita
ucapkan, apa yang kita pikirkan, apa yang kita yakini, apa yang kita kerjakan sehari-hari, dan segala
urusan kita. Kita harus ber-muhasabah dan mengevaluasi diri mumpung kita masih hidup di alam
dunia ini. Sebagaimana nasihat Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu, “Hisablah diri-diri kalian,
sebelum kalian kelak akan dihisab...” (lihat al-Haya' minallah, hal. 3-4)
# Puasa Itu Untuk-Ku
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : Allah
'azza wa jalla berfirman, “Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri kecuali puasa.
Puasa itu adalah untuk-Ku. Dan Aku lah yang akan membalasnya.” Demi Tuhan yang jiwa
Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi
Allah daripada semerbak minyak kasturi (HR. Muslim)
Puasa adalah amal yang sangat utama. Karena di dalam puasa tergabung tiga bentuk kesabaran;
sabar dalam ketaatan, sabar dalam menjauhi maksiat, dan sabar menghadapi musibah dan hal-hal
yang tidak menyenangkan. Oleh sebab itu puasa merupakan wujud nyata dari kesabaran. Sementara
pahala orang yang bersabar akan disempurnakan oleh Allah tanpa batasan. Sebagaimana firman-
Nya (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang sabar itu akan disempurnakan pahalanya
tanpa perhitungan.” (az-Zumar : 10). Hal ini berbeda dengan amal-amal lain yang diberikan
balasan pahala dari kisaran sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Adapun puasa maka
balasannya tidak terbatas pada bilangan ini. Diriwayatkan secara mursal dari Ibnu 'Umar bahwa
puasa karena Allah tidaklah diketahui besar pahalanya kecuali oleh Allah (lihat keterangan Ibnu
Rajab rahimahullah dalam Bughyatul Insan fi Wazha'if Ramadhan, hal. 13-14)
Puasa adalah rahasia antara seorang hamba dengan Rabbnya. Tidak ada yang mengetahui dengan
sebenarnya hakikat puasa seorang hamba kecuali Allah subhanahu wa ta'ala. Bisa saja seorang
insan secara sembunyi-sembunyi makan dan minum sementara tidak ada orang lain yang
mengetahuinya. Akan tetapi karena dia yakin bahwasanya Allah melihat dan mengawasinya maka
hal itu pun tidak dilakukannya (lihat keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad hafizhahullah
dalam al-'Ibrah fi Syahri Shaum sebagaimana tercantum dalam Kutub wa Rasa'il, 6/209)
Pelajaran atau ibrah yang bisa dipetik dari hal ini adalah bahwasanya apabila seorang hamba takut
kepada Allah kalau-kalau puasanya rusak/cacat maka semestinya seorang insan juga takut kepada
Allah apabila sholat, zakat, dan kewajiban-kewajiban lainnya mengalami kerusakan/cacat. Karena
sesungguhnya yang mewajibkan puasa sama dengan yang mewajibkan sholat. Terlebih lagi sholat
adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Begitu besarnya keutamaan
sholat sehingga Allah pun mewajibkannya kepada Nabi dengan mengangkat beliau ke langit.
Apabila seorang muslim merasakan bahwa kerusakan pada puasanya adalah perkara yang sangat
besar dan membahayakan maka semestinya dia juga bisa merasakan bahwa rusaknya sholat yang
dia lakukan lebih besar dan lebih membahayakan. Inilah salah satu faidah dan pelajaran paling
agung yang semestinya dipetik oleh setiap muslim dari bulan puasa (lihat keterangan Syaikh Abdul
Muhsin al-'Abbad hafizhahullah dalam Kutub wa Rasa'il, 6/209-210)
Dari sinilah semestinya datangnya bulan puasa memberikan semangat bagi kita untuk terus
menimba ilmu tauhid dan keikhlasan. Sebab bukanlah perkara yang samar bagi kita, bahwasanya
tauhid dan keikhlasan itu merupakan kandungan dari dua kalimat syahadat yang menjadi pondasi di
dalam agama Islam dan kandungan dari rukun iman yang pertama. Apabila seorang merasakan
kerusakan pada sholat dan puasanya sedemikian besar, maka sudah seharusnya dia juga bisa
merasakan bahwasanya kerusakan dan cacat di dalam tauhid dan keikhlasannya juga sangat-sangat
besar dan membahayakan... Bagaimana tidak?! Sedangkan tauhid inilah kewajiban paling wajib dan
perkara yang menjadi tujuan penciptaan dan hikmah diutusnya seluruh nabi dan rasul....
# Mengenal Fungsi Ibadah Shiyam
Shiyam atau shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan). Adapun menurut syari'at yang
dimaksud dengan shaum itu adalah [beribadah kepada Allah] dengan menahan diri dari berbagai
perkara yang membatalkannya semenjak terbit fajar hingga terbenamnya matahari (lihat Taisir al'Allam, hal. 312). Shiyam Ramadhan merupakan rukun Islam yang keempat. Di dalam shiyam
termasuk ibadah yang paling utama, disebabkan di dalamnya terkandung tiga macam kesabaran : 1.
Sabar dalam ketaatan kepada Allah, 2. Sabar menahan diri dari maksiat kepada Allah, 3. Sabar
menghadapi takdir Allah yang terasa menyakitkan (lihat Taisir al-'Allam, hal. 312)
Hikmah dari ibadah shaum/puasa itu adalah untuk menggapai ketakwaan kepada Allah dan
mewujudkan penghambaan kepada Allah. Takwa itu akan terwujud dengan meninggalkan segala hal
yang diharamkan dan melakukan apa saja yang diperintahkan. Oleh sebab itu orang yang sedang
melakukan shaum/puasa lebih ditekankan lagi untuk menunaikan kewajiban-kewajiban dan
meninggalkan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan maupun perbuatan. Oleh karenanya
tidak pantas baginya untuk menggunjing, berbohong, mengadu-domba, membeli sesuatu yang
diharamkan -termasuk hal yang diharamkan adalah rokok, pen- dan hendaknya dia menjauhi segala
hal yang diharamkan. Apabila seorang insan terbiasa melakukan hal itu selama satu bulan penuh
niscaya jiwanya akan menjadi istiqomah pada bulan-bulan selanjutnya. Akan tetapi yang
menyedihkan adalah banyak diantara orang yang mengerjakan shaum tidak membedakan antara
hari-hari puasa mereka dengan hari-hari selainnya; sehingga mereka tetap saja meninggalkan
kewajiban dan melakukan keharaman. Hal itu menunjukkan bahwa mereka tidak mengagungkan
ibadah shaum ini dengan semestinya (lihat Fatawa Arkanil Islam, hal. 451)
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Apabila seorang muslim bersabar di bulan
puasa dan menahan diri dari hal-hal yang dihalalkan oleh Allah kepadanya karena Allah hanya
melarang hal itu untuknya pada siang hari bulan Ramadhan maka hendaklah dia juga mengetahui
bahwasanya Allah mengharamkan atasnya segala hal yang diharamkan untuk sepanjang hidupnya
dan sepanjang umurnya. Maka wajib atasnya untuk menahan diri dari hal yang diharamkan itu serta
mencegah darinya untuk seterusnya dengan dilandasi rasa takut dari hukuman Allah yang telah
dipersiapkan oleh-Nya bagi siapa saja yang menyelisihi perintah-Nya dan menerjang apa-apa yang
dilarang oleh-Nya.” (Wa Jaa'a Syahru Ramadhan, hal. 14)
Apabila seorang yang memiliki kebiasaan merokok pada siang hari di bulan Ramadhan bisa
meninggalkan rokok sejak terbit fajar hingga maghrib maka tentu saja sesuatu hal yang mampu
untuk dia lakukan meninggalkan rokok itu seumur hidupnya. Padahal di luar bulan Ramadhan
merokok telah menjadi kebiasaannya. Ketika datang bulan Ramadhan ternyata dirinya sanggup
untuk tidak merokok dari pagi hingga sore menjelang malam, maka menghentikan rokok itu untuk
selama-lamanya adalah perkara yang sangat mungkin baginya!
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Maka Ramadhan adalah kesempatan bagi
perokok dan siapa pun yang melakukan tindakan pemborosan, atau suka meninggalkan kewajiban,
menyia-nyiakan kebaikan, atau meremehkan dosa untuk mengambil faidah dari musim yang mulia
ini.” (Wa Jaa'a Syahru Ramadhan, hal. 31). Oleh sebab itu sungguh benar sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, “Puasa itu adalah perisai.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad hafizhahullah berkata, “Maka puasa itu menjadi perisai dari api
neraka dan penghalang darinya kelak di negeri akhirat, dan ia juga menjadi perisai dari maksiatmaksiat...” (Kutub wa Rasa'il, 6/199)
# Terlarang Berjualan di Masjid
Di dalam Bulughul Maram, Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mencantumkan hadits dari Abu
Hurairah radhiyallahu'anhu, dia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila kamu melihat orang yang berjualan atau melakukan transaksi pembelian di masjid maka
katakanlah, 'Semoga Allah tidak memberikan keuntungan bagi perdaganganmu'.” (HR. An-Nasa'i
dan At-Tirmidzi dan beliau menyatakan hadits ini hasan)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Perkataan 'maka katakanlah 'Semoga Allah
tidak memberikan keuntungan bagi perdaganganmu' ini adalah doa keburukan dan pengingkaran
atas perbuatan tersebut. Sehingga ini menunjukkan terlarangnya melakukan transaksi jual-beli di
dalam masjid. Dan hal ini bersifat umum mencakup segala bentuk jual-beli...” (lihat Syarh Bulughul
Maram oleh Syaikh al-Fauzan, Juz 2 hal. 182)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa berdasarkan hadits di
atas haram hukumnya berjual-beli di dalam masjid. Beliau bahkan menyatakan bahwa hukum jualbeli semacam itu adalah tidak sah atau batil (lihat Fathu Dzil Jalal wal Ikram, 1/610)
Imam Ash-Shan'ani rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung penunjukan bahwa
diharamkan jual-beli di masjid...” Meskipun demikian beliau juga menjelaskan bahwa hukum jualbelinya tetap sah atau teranggap, berdasarkan ijma' yang dinukil oleh Al-Mawardi (lihat Subulus
Salam, 1/358 cet. Maktabah Nazar Al-Musthofa Al-Baz)
Syaikh Abdullah al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa ada dua pendapat ulama mengenai
hukum jual-beli di masjid. Pendapat pertama mengatakan bahwa hal itu adalah makruh. Dan apabila
telah terjadi transaksi jual-beli maka hukumnya tetap sah. Pendapat ini dianut oleh jumhur ulama
dan menjadi salah satu pendapat Imam Ahmad serta dipilih oleh Ibnu Taimiyah. Pendapat kedua
mengatakan bahwa hal itu adalah haram, dan apabila telah terjadi jual-beli maka tidak sah
hukumnya. Ini merupakan madzhab Hanabilah (Hanbali). Diantara kedua pendapat ini, pendapat
pertama -yang menyatakan jual-belinya tetap sah- lebih kuat. Karena dengan begitu akan bisa
mengkompromikan semua dalil. Namun, untuk memalingkan larangan dari makna haram menuju
makruh dibutuhkan dalil lain. Adapun nukilan ijma' mengenai keabsahan jual-beli yang sudah
terlanjur terjadi di dalam masjid maka hal itu tidaklah menafikan pendapat yang mengharamkan.
Suatu hal yang mungkin dan bisa diterima bahwa larangan ini dimaknai pengharaman sementara
akad/transaksi yang terjadi tetap sah hukumnya (lihat Minhatul 'Allam, 2/481-482)
Kesimpulan dari keterangan Syaikh Abdullah al-Fauzan adalah bahwa pendapat yang lebih kuat
dalam hal ini adalah jual-beli di masjid hukumnya haram, meskipun demikian apabila terjadi jualbeli itu di masjid hukumnya tetap sah atau tidak batal. Maknanya, barang yang dibeli telah
berpindah status kepemilikannya kepada si pembeli dan menjadi haknya. Demikian pula uang yang
telah diterima oleh si penjual juga sah menjadi miliknya. Akan tetapi mereka telah melakukan
perkara yang diharamkan -yaitu jual-beli di masjid- dan berdosa atas hal itu.
Pendapat inilah yang dipegang oleh Imam Syafi'i dan banyak ulama yang lain. Yaitu hukum jualbelinya tetap sah akan tetapi pelakunya berdosa karena telah melakukan hal yang diharamkan.
Adapun Imam Ahmad -dalam pendapat beliau yang lain- mengatakan bahwa hukumnya adalah
haram dan tidak sah. Ibnu Hubairah mengatakan bahwa hukumnya tidak sah. Haramnya jual-beli di
masjid juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah (lihat
catatan kaki Subulus Salam, 1/358 cet. Maktabah Nazar Al-Musthofa Al-Baz).
# Sekilas Mengenal Manhaj Salaf
Secara bahasa, manhaj berarti 'jalan yang terang dan gamblang'. Adapun istilah 'salaf' yang
dimaksud di sini adalah para pendahulu umat ini dari kalangan Sahabat dan pengikut setia mereka
(lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 15-16)
Apabila disebutkan istilah salaf secara umum maka yang dimaksud adalah tiga generasi pertama
dari umat ini yaitu para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Mereka itulah yang dimaksud dalam
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku, kemudian yang
sesudah mereka, kemudian yang sesudah mereka.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi 'Ashim, Bukhari,
Tirmidzi dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu) (lihat al-Manhaj as-Salafi 'inda asy-Syaikh
Nashiruddin al-Albani, hal. 11)
Mengikuti jalan kaum salaf adalah wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah (yang artinya),
“Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti selain jalan
orang-orang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang
dia pilih, dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam
itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisaa' : 115). Dan tidaklah diragukan bahwa jalan
para sahabat dan tabi'in adalah jalan kaum beriman yang harus diikuti (lihat al-Mukhtashar alHatsits, hal. 21)
Allah pun meridhai orang-orang yang mengikuti para sahabat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan
orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar beserta orangorang yang mengikuti mereka, maka Allah ridha kepada mereka dan mereka pun pasti ridha
kepada-Nya, dan Allah telah siapkan untuk mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah keberuntungan yang sangat
besar.” (at-Taubah : 100). Maka ayat ini berisi pujian bagi jalan para sahabat dan wajibnya
menempuh jalan mereka itu (lihat al-Mukhtashar al-Hatsits, hal. 21)
Diantara pokok yang paling utama di dalam dakwah salaf ini adalah memberikan perhatian besar
terhadap ilmu agama. Karena ilmu agama adalah pondasi tegaknya kehidupan. Tidak akan baik
individu dan masyarakat kecuali dengan ilmu syar'i. Dan tidak akan bisa menempuh jalan/ajaran
Nabi kecuali dengan landasan ilmu. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku,
aku menyeru kepada Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata, inilah jalanku dan orang-orang yang
mengikutiku...” (Yusuf : 108) (lihat Ushul ad-Da'wah as-Salafiyah, hal. 26-27)
Selain itu, manhaj salaf sangat memperhatikan masalah amal. Karena para salaf senantiasa
mengiringi ilmu dengan amal. Dengan mengamalkan ilmu maka seorang muslim akan terbebas dari
ancaman yang sangat keras dari Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang
beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. Sungguh besar
kemurkaan di sisi Allah ketika kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (ash-Shaff
: 2-3) (lihat Ushul ad-Da'wah as-Salafiyah, hal. 33)
Manhaj salaf sangat memperhatikan masalah aqidah tauhid. Karena inilah tujuan agung dari
penciptaan jin dan manusia. Bahkan tidaklah Allah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para
rasul melainkan untuk mewujudkan tujuan ini dan mengajak manusia untuk merealisasikannya.
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56) (lihat Ushul ad-Da'wah as-Salafiyah, hal. 41-42)
Konsekuensi dari dakwah tauhid ini adalah memperingatkan kaum muslimin dari syirik dengan
segala bentuknya. Karena syirik adalah dosa besar yang paling besar, sebab terhapusnya amal, dosa
yang tidak diampuni oleh Allah, dan sebab kekal di dalam neraka Jahannam. Allah berfirman (yang
artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik maka pasti lenyap amal-amalmu dan benar-benar
kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65) (lihat al-Mukhtashar
al-Hatsits, hal. 179-180)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Barangsiapa menghendaki keselamatan bagi
dirinya, menginginkan amal-amalnya diterima dan ingin menjadi muslim yang sejati, maka wajib
atasnya untuk memperhatikan perkara aqidah. Yaitu dengan cara mengenali aqidah yang benar dan
hal-hal yang bertentangan dengannya dan membatalkannya. Sehingga dia akan bisa membangun
amal-amalnya di atas aqidah itu. Dan hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan menimba ilmu dari
ahli ilmu dan orang yang memiliki pemahaman serta mengambil ilmu itu dari para salaf/pendahulu
umat ini.” (lihat al-Ajwibah al-Mufidah 'ala As'ilatil Manahij al-Jadidah, hal. 92)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Wajib untuk mempelajari tauhid dan mengenalinya
sehingga seorang insan bisa berada di atas ilmu yang nyata. Apabila dia mengenali tauhid maka dia
juga harus mengenali syirik apakah syirik itu; yaitu dalam rangka menjauhinya. Sebab bagaimana
mungkin dia menjauhinya apabila dia tidak mengetahuinya. Karena sesungguhnya jika orang itu
tidak mengenalinya -syirik- maka sangat dikhawatirkan dia akan terjerumus di dalamnya dalam
keadaan dia tidak menyadari...” (lihat at-Tauhid, ya 'Ibaadallah, hal. 27)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka tidak akan bisa mengenali nilai kesehatan
kecuali orang yang sudah merasakan sakit. Tidak akan bisa mengenali nilai cahaya kecuali orang
yang berada dalam kegelapan. Tidak mengenali nilai penting air kecuali orang yang merasakan
kehausan. Dan demikianlah adanya. Tidak akan bisa mengenali nilai makanan kecuali orang yang
mengalami kelaparan. Tidak bisa mengenali nilai keamanan kecuali orang yang tercekam dalam
ketakutan. Apabila demikian maka tidaklah bisa mengenali nilai penting tauhid, keutamaan tauhid
dan perealisasian tauhid kecuali orang yang mengenali syirik dan perkara-perkara jahiliyah supaya
dia bisa menjauhinya dan menjaga dirinya agar tetap berada di atas tauhid...” (lihat I'anatul
Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/127-128)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka tidaklah cukup seorang insan dengan
mengenali kebenaran saja. Akan tetapi dia harus mengenali kebenaran dan juga mengenali
kebatilan. Dia kenali kebenaran untuk dia amalkan. Dan dia kenali kebatilan untuk dia jauhi.
Karena apabila dia tidak mengenali kebatilan niscaya dia akan terjerumus ke dalamnya dalam
keadaan dia tidak mengerti...” (lihat Silsilah Syarh Rasa'il, hal. 62)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Bukanlah makna tauhid sebagaimana apa yang
dikatakan oleh orang-orang jahil/bodoh dan orang-orang sesat yang mengatakan bahwa tauhid
adalah dengan anda mengakui bahwa Allah lah sang pencipta dan pemberi rizki, yang
menghidupkan dan mematikan, dan yang mengatur segala urusan. Ini tidak cukup. Orang-orang
musyrik dahulu telah mengakui perkara-perkara ini namun hal itu belum bisa memasukkan mereka
ke dalam Islam...” (lihat at-Tauhid, Ya 'Ibadallah, hal. 22)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Aqidah tauhid ini merupakan asas agama.
Semua perintah dan larangan, segala bentuk ibadah dan ketaatan, semuanya harus dilandasi dengan
aqidah tauhid. Tauhid inilah yang menjadi kandungan dari syahadat laa ilaha illallah wa anna
Muhammadar rasulullah. Dua kalimat syahadat yang merupakan rukun Islam yang pertama. Maka,
tidaklah sah suatu amal atau ibadah apapun, tidaklah ada orang yang bisa selamat dari neraka dan
bisa masuk surga, kecuali apabila dia mewujudkan tauhid ini dan meluruskan aqidahnya.” (lihat
Ia'nat al-Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/17)
# Kedudukan Hadits Nabi
Hadits nabi memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam Islam karena ia merupakan salah satu
sumber hukum dalam syari'at Islam, sebuah jalan diantara jalan-jalan dalam menafsirkan kalam
Allah (al-Qur'an), dan menjadi salah satu landasan atau dalil bagi ketetapan-ketetapan hukum (lihat
Syarh Bulugh al-Maram oleh Syaikh Sa'ad asy-Syatsri, Juz 1. hal. 5)
Allah berfirman (yang artinya), “Apa pun yang dibawa oleh Rasul kepada kalian ambillah dan apa
saja yang dilarangnya untuk kalian tinggalkanlah.” (al-Hasyr : 7). Imam al-Baghawi rahimahullah
menerangkan, bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pembagian harta fai', meskipun demikian
hukumnya bersifat umum mencakup segala perkara yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan apa pun yang beliau larang (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 1294)
Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat ini berlaku umum mencakup pokok-pokok
agama dan cabang-cabangnya, urusan lahir maupun batin, dan bahwasanya apa-apa yang dibawa
atau diajarkan oleh Rasul maka wajib bagi para hamba untuk mengambil dan mengikutinya. Tidak
halal untuk menyelisihinya. Dan bahwasanya ketetapan Rasul terhadap hukum suatu perkara sama
kedudukannya dengan ketetapan dari Allah. Tidak ada toleransi dan udzur bagi siapa pun untuk
meninggalkan hal itu. Dan tidak boleh mendahulukan ucapan/pendapat siapa pun di atas
ucapan/sabda beliau (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 851)
Ditinjau dari sumbernya tidaklah diragukan bahwasanya al-Qur'an dan as-Sunnah berada pada
kedudukan yang sama; karena kedua-duanya merupakan wahyu dari Allah. Allah ta'ala berfirman
(yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- itu berbicara dari hawa nafsunya, tidaklah yang
dia ucapkan itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4) (lihat Ma'alim
Ushul Fiqh 'inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah, hal. 134). Dengan demikian, as-Sunnah atau hadits
merupakan wahyu yang kedua -setelah al-Qur'an- sehingga barangsiapa mengingkari dan
menentangnya maka dia menjadi kafir (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah
dalam Minhatul Malik al-Jalil, 1/7)
Allah berfirman (yang artinya), “Hendaklah merasa takut orang-orang yang menyelisihi dari
perintah/ajaran rasul itu, bahwa dia akan tertimpa fitnah (hukuman/penyimpangan) atau menimpa
kepadanya azab yang sangat pedih.” (an-Nuur : 63). Ayat ini merupakan salah satu dalil yang
menunjukkan wajibnya mengikuti sunnah atau hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Ibnu
Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sunnah/hadits ini apabila telah terbukti kesahihannya maka
seluruh umat muslim sepakat atas kewajiban untuk mengikutinya.” (lihat nukilan ini dalam Ma'alim
Ushul Fiqh 'inda Ahlis Sunnah wal Jama'ah, hal. 120). Imam Syafi'i rahimahullah mengatakan,
“Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sebuah sunnah/hadits
dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka tidak halal baginya meninggalkan hadits itu
gara-gara pendapat siapa pun.” (lihat nukilan ini dalam Shifat Sholat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam karya al-Albani, hal. 50)
Sahabat yang mulia Abdullah bin Amr radhiyallahu'anhuma menceritakan : Dahulu aku mencatat
semua yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena aku ingin
menghafalkannya. Orang-orang Quraisy pun melarangku. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya
kamu menulis segala yang kamu dengar dari Rasulullah. Padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah manusia. Bisa jadi beliau berbicara dalam keadaan marah.” Maka aku pun berhenti
mencatatnya. Lalu aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka
beliau pun bersabda, “Tulislah, demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah keluar
dariku kecuali kebenaran.” (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 7/443)
# Ampuni Dosaku...
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah menyebutkan di dalam bukunya Fiqh al-Ad'iyyah wal
Adzkar (3/149) sebuah doa yang sering dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam
sujudnya, yaitu beliau membaca 'Allahummaghfir lii dzanbii kullah, diqqahu wa jillah, awwalahu
wa aakhirah, wa 'alaaniyyatahu wa sirrah' artinya, “Ya Allah, ampunilah dosaku semuanya; yang
kecil maupun yang besar, yang awal hingga yang terakhir, yang tampak maupun yang
tersembunyi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu)
Salah satu bacaan doa yang diajarkan untuk dibaca ketika sholat -bisa dibaca ketika sujud atau
setelah tasyahud- ialah doa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu
Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu'anhu. Doa itu berbunyi 'Allahumma inni zhalamtu nafsii zhulman
katsiiraa, wa laa yaghfirudz dzunuuba illa anta, faghfir lii maghfiratan min 'indik war-hamnii,
innaka antal ghafuurur rahiim' artinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzalimi diriku
dengan banyak kezaliman. Dan tidak ada yang bisa mengampuni dosa selain Engkau. Oleh sebab
itu ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu, dan rahmatilah aku. Sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Fiqh al-Ad'iyyah wal
Adzkar oleh Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, 3/158)
Bahkan, menjelang wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa kepada Allah memohon
ampunan dari-Nya. Sebagaimana diriwayatkan oleh 'Aisyah radhiyallahu'anha bahwa beliau
mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdoa menjelang wafatnya, 'Allahummaghfirlii warhamnii, wa al-hiqnii bir rafiiqil a'laa' artinya, “Ya Allah, ampunilah aku dan rahmatilah aku, dan
kumpulkanlah diriku bersama ar-Rafiq al-A'la (teman-teman yang termulia).” (HR. Bukhari dan
Muslim) (lihat Fiqh al-Ad'iyyah wal Adzkar, 3/226)
Telah menjadi kebiasaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam apabila selesai dari suatu
majelis/pertemuan beliau pun berdoa di akhirnya, 'Sub-haanakallahumma wabihamdika asyhadu
anlaa ilaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik' artinya, “Maha Suci Engkau ya Allah, dan
dengan senantiasa memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain
Engkau, aku mohon ampunan kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud dan
disahihkan al-Albani dalam Sahih at-Targhib) (lihat Fiqh al-Ad'iyyah wal Adzkar, 3/305)
Wahai saudaraku -semoga Allah berikan taufik kepada kami dan anda- lihatlah bagaimana manusia
yang paling berilmu dan paling bertakwa seperti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam saja senantiasa
beristighfar dan bertaubat kepada Allah. Padahal beliau adalah beliau.... Lalu bagaimana lagi
dengan kita ini; bukankah kita lebih butuh kepada istighfar dan taubat?!
# Tetesan Faidah Hadits Niat
Di dalam kitabnya Umdatul Ahkam, Imam Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah (wafat 600 H)
menyebutkan hadits pertama di dalam kitab Thaharah. Hadits ini berbicara tentang masalah niat.
Dari Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu hanya akan dinilai jika
disertai dengan niat-niat.” dalam sebuah riwayat disebutkan, “dengan niat.” “Dan sesungguhnya
bagi setiap orang apa yang telah dia niatkan. Barangsiapa hijrah karena Allah dan rasul-Nya
maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrah karena dunia yang ingin dia
gapai atau wanita yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang diniatkannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Hadits yang agung ini juga disebutkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) di
bagian awal dari al-Arba'in an-Nawawiyah dan Riyadhush Shalihin. Keunikan hadits ini adalah
tidak ada yang meriwayatkannya dari Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam selain Umar, lalu tidak
ada yang meriwayatkan dari Umar selain Alqomah bin Waqqash al-Laitsi, lalu tidak ada yang
meriwayatkan dari Alqomah selain Muhammad bin Ibrahim at-Taimi, lalu tidak ada yang
meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim selain Yahya bin Sa'id al-Anshari. Adapun setelah itu
banyak yang mengambil riwayat ini dari Yahya (lihat Kutub wa Rasa'il 'Abdil Muhsin, 3/86)
Hadits ini termasuk hadits yang disebut dengan istilah muttafaq 'alaih -yang disepakati- maksudnya
disepakati oleh Bukhari dan Muslim keabsahannya dan konsekuensinya adalah para ulama juga
menyepakati akan kesahihan hadits ini. Hadits yang semacam ini -yang telah disepakati oleh kedua
imam tersebut- bisa dipastikan kesahihannya. Dan ilmu yang dibuahkan darinya termasuk ilmu
yang bersifat qath'i (pasti) bukan sekedar dhann (dugaan kuat) (lihat al-Muqni' fi 'Ulum al-Hadits,
1/76 karya Imam Ibnul Mulaqqin rahimahullah – wafat 804 H)
Di dalam hadits ini terkandung pelajaran yang sangat penting yaitu bahwasanya niat merupakan
pondasi amalan dan wajibnya mengikhlaskan amalan. Oleh sebab itu kita wajib mengikhlaskan
seluruh amal untuk Allah semata. Hal ini merupakan perwujudan makna syahadat laa ilaha illallah.
Karena maksud kalimat tauhid itu adalah memurnikan segala ibadah untuk Allah semata; dan inilah
yang dimaksud dalam hadits di atas. Dengan demikian isi hadits ini adalah kaidah yang sangat
agung diantara pokok-pokok agama Islam. Karena pentingnya kandungan hadits ini Imam Bukhari
rahimahullah mengawali kitabnya Sahih Bukhari dengan hadits ini (lihat keterangan Syaikh Abdul
Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Minhatul Malil al-Jalil, 1/26-27)
Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi rahimahullah (wafat 1163 H) berkata, “Hadits ini merupakan
pokok yang agung diantara pokok-pokok agama. Semestinya setiap hamba menghendaki wajah
Allah ta'ala dalam amal-amalnya serta menjauhi pujaan selain-Nya. Karena orang yang ikhlas
itulah yang beruntung sedangkan orang yang riya' pasti merugi. Dan ikhlas itu tidak bisa dicapai
kecuali oleh orang yang mengetahui keagungan Allah ta'ala dan pengawasan-Nya terhadap
segenap makhluk-Nya...” (lihat Tuhfatul Muhibbin bi Syarhil Arba'in, hal. 39)
Hadits ini mengandung pelajaran bahwasanya barangsiapa melakukan amal karena riya' atau ingin
dipuji berdosa. Barangsiapa berjihad dengan niat semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah
sempurna balasan untuknya. Barangsiapa berjihad karena Allah dan juga karena ingin mendapat
ghanimah/harta rampasan perang pahalanya berkurang. Barangsiapa berjihad semata-mata untuk
mencari ghanimah dia tidak berdosa tetapi dia tidak mendapatkan pahala orang yang berjihad. Oleh
sebab itu niat yang ikhlas merupakan syarat diterimanya seluruh amal (lihat keterangan Syaikh
Abdullah alu Bassam rahimahullah dalam Taisir al-'Allam, 16)
# Orang-Orang Yang Beruntung
Di dalam Hilyatul Auliyaa' disebutkan sebuah perkataan dari Tsabit al-Bunani rahimahullah, beliau
mengatakan, “Beruntunglah orang yang mengingat saat datangnya kematian. Tidaklah seorang
hamba memperbanyak ingat kematian melainkan pasti akan terlihat pengaruhnya pada amalamalnya.” (lihat Aina Nahnu min Haa'ulaa'i, 1/23-24)
Kematian akan mengingatkan bahwa kehidupan ini adalah ujian. Akan ada hari kebangkitan dan
pembalasan atas amal-amal. Allah berfirman (yang artinya), “Yang telah menciptakan kematian dan
kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2)
Tidak ada yang bisa meraih keberuntungan dan keselamatan selain orang-orang yang beriman dan
beramal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar
berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati
dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-'Ashr : 1-3)
Iman dan amal salih adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan. Allah berfirman (yang artinya),
“Barangsiapa melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan sementara dia adalah
beriman niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan
memberikan balasan pahala kepada mereka dengan sesuatu yang lebih baik daripada apa-apa
yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97)
Iman yang bersih dari syirik akan membuahkan ketentraman dan hidayah. Sebagaimana firman
Allah (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan
kezaliman/syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah
orang-orang yang diberikan petunjuk.” (al-An'am : 82)
Ayat yang agung ini menunjukkan bahwasanya orang-orang yang akan mendapatkan rasa aman
pada hari kiamat dari segala hal yang buruk dan diberikan petunjuk jalan lurus di dunia adalah
orang-orang yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah dan tidak mengotori tauhidnya dengan
segala bentuk syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 24)
Oleh sebab itulah Allah perintahkan kita untuk beribadah -dengan ikhlas- kepada-Nya hingga
datangnya kematian. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang
kepadamu keyakinan/kematian.” (al-Hijr : 99). Setiap perintah beribadah di dalam al-Qur'an maka
maknanya adalah perintah untuk bertauhid, sebagaimana tafsiran dari sahabat Ibnu 'Abbas
radhiyallahu'anhuma yang dinukil oleh Imam al-Baghawi rahimahullah (lihat Ma'alim at-Tanzil,
hal. 20)
Banyaknya harta bukanlah sebab keselamatan jika tidak disertai dengan tauhid dan keimanan. Allah
berfirman (yang artinya), “Pada hari itu (kiamat) tidaklah bermanfaat harta dan keturunan kecuali
bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (asy-Syu'ara' : 88-89). Sa'id bin alMusayyab rahimahullah mengatakan, “Hati yang selamat adalah hati yang sehat, yaitu hati kaum
beriman. Karena hati orang kafir dan munafik sakit.” (lihat Ma'alim at-Tanzil, hal. 942)
Apabila kehidupan dan kematian ini adalah ujian dan tidak ada yang selamat kecuali orang yang
beriman dan beramal salih, tentu saja seorang muslim harus merasa khawatir kalau-kalau
kehidupannya berakhir dalam keadaan su'ul khotimah. Ingatlah, bahwa amal-amal itu ditentukan
pada akhir dan penutupnya nanti; apakah kita mati di atas iman atau tidak. Lalu siapakah yang bisa
menjamin dan memastikan bahwa dirinya akan meninggal di atas tauhid dan ketaatan?!
# Penyebab Nabi Cepat Beruban
Syaikh al-Albani rahimahullah menyebutkan hadits dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu'anhuma, bahwa
Abu Bakar radhiyallahu'anhu berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah! Anda telah beruban.”
Maka beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, “Telah membuatku cepat beruban [surat]
Hud, al-Waqi'ah, al-Mursalat, 'Amma yatasaa'aluun, dan 'Idzasy syamsu kuwwirat'.” (lihat Sahih
Sunan Tirmidzi, 3/343. hadits no 3297, ash-Shahihah no. 955)
Di dalam surat Hud, Allah berfirman (yang artinya), “Istiqomahlah kamu sebagaimana
diperintahkan kepadamu dan orang-orang yang bertaubat bersamamu, dan janganlah melampaui
batas. Sesungguhnya Dia terhadap apa yang kalian kerjakan Maha melihat.” (Hud : 112)
Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga
umatnya untuk istiqomah. Hakikat istiqomah itu adalah berpegang-teguh dengan ajaran Kitabullah
dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal itu akan terwujud dengan cara
melaksanakan perintah-perintah sekuat kemampuan dan meninggalkan larangan-larangan (lihat
keterangan Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad dalam Kutub wa Rasa'il, 1/248)
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata : Ibnu 'Abbas mengatakan, “Tidaklah turun kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sebuah ayat yang lebih keras dan lebih berat daripada ayat
ini. Oleh sebab itulah ketika para sahabatnya berkata kepadanya, “Sungguh anda telah cepat
beruban.” Beliau menjawab, “Telah membuatku beruban [surat] Hud dan saudara-saudaranya.”.”
(lihat Kutub wa Rasa'il, 1/249, Tafsir al-Baghawi, hal. 632)
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa hakikat istiqomah itu adalah hendaknya
seorang insan teguh di atas syari'at Allah subhanahu wa ta'ala sebagaimana yang diperintahkan
Allah, dan istiqomah itu diawali atau dilandasi dengan keikhlasan -dalam beribadah- kepada Allah
'azza wa jalla (lihat Syarh Riyadush Shalihin, 1/393 cet. Dar al-Bashirah). Imam an-Nawawi
rahimahullah berkata, “Istiqomah itu adalah menetapi jalan -yang benar- dengan melakukan
kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.” Kemudian beliau menyebutkan ayat
dalam surat Hud tersebut (lihat ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 161)
Syaikh 'Utsaimin juga menjelaskan, bahwa hakikat istiqomah itu adalah konsisten meniti jalan yang
lurus yaitu jalan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah; mereka itu adalah para nabi,
shiddiqin, syuhada' dan orang-orang salih (lihat ad-Durrah as-Salafiyah, hal. 163). Orang-orang
yang diberikan nikmat oleh Allah itu adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan beramal
dengannya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah oleh Syaikh 'Utsaimin, hal. 95)
Dari keterangan-keterangan di atas, kita bisa memetik faidah bahwasanya istiqomah di atas agama
Islam adalah perkara yang sangat agung. Yang dimaksud istiqomah itu adalah teguh di atas ajaran
Islam dengan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan sebagaimana yang diterangkan di
dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Untuk istiqomah seorang harus ikhlas dan harus meniti jalan yang
lurus; yaitu dengan mengetahui kebenaran dan mengamalkannya.
Karena begitu agungnya istiqomah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun merasa bahwa
perintah untuk istiqomah adalah perintah yang sangat besar. Sampai-sampai dikisahkan oleh Ibnu
'Abbas bahwa tidak ada ayat yang 'lebih berat' bagi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selain ayat di
atas -dalam surat Hud- yang berisi perintah untuk istiqomah. Sebab untuk istiqomah seorang
membutuhkan ilmu dan kesungguh-sungguhan dalam beramal. Inilah kiranya salah satu sebab
utama mengapa rambut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam cepat beruban.
# Nasihat Agar Menjauhi Maksiat
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata dalam sya'irnya :
Aku melihat dosa-dosa mematikan hati
sungguh membuahkan kehinaan memeliharanya
Meninggalkan dosa-dosa kehidupan bagi hati
lebih baik bagi dirimu tuk mencampakkannya
(lihat Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha, hal. 32)
Suatu ketika Ibnul Mubarak rahimahullah ditanya mengenai maksud perkataan Luqman kepada
anaknya, “Apabila berbicara itu dari perak, maka diam itu dari emas.”
Maka beliau pun menjelaskan, “Seandainya berbicara dalam rangka ketaatan kepada Allah itu
diibaratkan terbuat dari perak, maka sesungguhnya berdiam diri untuk tidak berbuat maksiat
kepada Allah adalah terbuat dari emas.”
(lihat Husnus Samti fish Shamti, hal. 47)
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan sebuah perkataan dari Maimun bin Mihran, bahwa beliau
mengatakan, “Sabar itu ada dua macam; sabar ketika tertimpa musibah, maka itu bagus. Dan yang
lebih utama lagi adalah sabar untuk menjauhi maksiat.”
(lihat 'Uddatush Shabirin wa Dzakhiratusy Syakirin, hal. 71)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah memberikan nasihat :
Seorang mukmin harus bertakwa kepada Allah 'azza wa jalla secara lahir dan batin. Bertakwa
kepada Allah ketika berada di jalan. Bertakwa kepada Allah ketika berada di rumah. Dia harus
bertakwa kepada Allah di mana pun dia berada. Bertakwa kepada Allah pada siang hari dan
bertakwa kepada-Nya pada malam hari. Bertakwa kepada-Nya dalam keadaan terang-benderang
dan bertakwa kepada-Nya dalam keadaan gelap. Karena sesungguhnya dirinya selalu disertai oleh
(pengawasan) Allah subhanahu, tidak ada yang samar bagi-Nya.
Jadi bukanlah yang dimaksud ialah seorang insan harus menjauhi maksiat-maksiat yang tampak
saja. Adapun ketika dia menyendiri lantas hal itu boleh dia kerjakan. Tidak demikian. Sesuatu yang
haram tetap saja haram dalam keadaan apa pun. Dan Rabb -yaitu Allah- tetaplah Rabb subhanahu
yang senantiasa melihat dan mengetahui dalam segala keadaan. Baik dalam keadaan tampak
ataupun tersembunyi. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya subhanahu wa ta'ala.
Bagaimana pun caranya kalian berusaha untuk menutup-nutupi sesungguhnya kalian tidak
tersembunyi dari pengetahuan dan pandangan Allah subhanahu wa ta'ala...
(lihat I'anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Juz 1 hal. 46)
@ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK
Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737
atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro
Konfirmasi Donasi via SMS :
Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah
Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000
Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa)
Informasi : www.al-mubarok.com
# Penistaan Agama
Pendustaan dan penistaan kepada agama Islam dan pembawa ajarannya adalah kenyataan yang telah
dihadapi oleh para nabi dan rasul. Allah berfirman (yang artinya), “Demikianlah, tidaklah datang
kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul pun melainkan mereka berkata -tentangnyabahwa dia/rasul itu adalah tukang sihir atau orang gila.” (adz-Dzariyat : 52)
Menistakan dan memperolok ayat-ayat Allah adalah sifat orang kafir. Sehingga para ulama telah
menegaskan salah satu bentuk kekafiran yang mengeluarkan seorang muslim dari agamanya adalah
perbuatan memperolok ayat-ayat Allah dan ajaran Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam.
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya, dan rasul-Nya
kalian berolok-olok. Janganlah kalian mencari-cari alasan, sungguh kalian telah kafir setelah
beriman...” (at-Taubah : 65-66). Para ulama menjelaskan bahwa ayat tersebut menjadi dalil hukum
bagi orang yang mencela Allah atau rasul-Nya atau kitab-Nya atau suatu bagian dari al-Qur'an atau
suatu ajaran dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam; bahwasanya dia menjadi murtad alias keluar
dari Islam meskipun dia melakukan hal itu dalam rangka bercanda (lihat Syarh Nawaqidh al-Islam,
hal. 26 oleh Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah)
Termasuk bentuk penistaan kepada agama adalah menjelek-jelekkan para sahabat Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam. Imam al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan dalam kitabnya alKifayah bahwa Imam Abu Zur'ah ar-Razi rahimahullah mengatakan, “Apabila kamu melihat
seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang diantara sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, ketahuilah bahwa sesungguhnya dia itu adalah zindiq. Karena sesungguhnya agama ini
benar dan al-Qur'an juga benar, dan sesungguhnya itu semua diriwayatkan kepada kita oleh para
sahabat.” (lihat dalam ash-Shidqu ma'a Allah, hal. 44)
Oleh sebab itu diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, bahwa beliau
mengatakan, “Barangsiapa mencela dua orang syaikh; yaitu Abu Bakar dan Umar maka dia
menjadi kafir.” Demikian pula hukumnya orang yang mencela seluruh sahabat. Begitu pula orang
yang mengkafirkan seluruh sahabat karena sesungguhnya dia telah mendustakan Allah, dan orang
yang mendustakan Allah itu kafir (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah
dalam Syarh Ushul as-Sunnah lil Imam Ahmad, hal. 211)
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang mencela mereka -para sahabat nabiatau mencaci mereka sungguh dia telah keluar dari agama dan melenceng dari millah/ajaran kaum
muslimin. Karena celaan itu tidaklah muncul kecuali karena keyakinan akan keburukan-keburukan
mereka dan kedengkian yang tersimpan dalam dirinya dan merupakan tindakan mengingkari
sanjungan untuk mereka yang disebutkan oleh Allah ta'ala di dalam Kitab-Nya dan juga
mengingkari pujian, keutamaan dan kemuliaan serta kecintaan untuk mereka yang telah disebutkan
oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam...” (lihat al-Kaba'ir, hal. 266)
Oleh sebab itu salah satu bagian dari pokok-pokok aqidah Islam adalah mencintai para sahabat
Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana telah ditegaskan oleh Imam Abu Ja'far athThahawi rahimahullah dalam kitab aqidahnya yaitu Aqidah ath-Thahawiyah. Diceritakan oleh
Imam Malik rahimahullah bahwa dahulu para salaf mengajarkan kepada anak-anak kecil mereka
kecintaan kepada Abu Bakar dan Umar sebagaimana mereka mengajarkan sebuah surat di dalam alQur'an (lihat Huquq ash-Shahabah, hal. 15 oleh Syaikh Shalih Sindi).
# Diam Yang Menyelamatkan
Dari Abdullah bin 'Amr radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang diam maka dia akan selamat.” (HR. Ahmad [6481] sanadnya disahihkan
Syaikh Ahmad Syakir, lihat al-Musnad [6/36] dan disahihkan pula oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf
al-Judai' dalam ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 21-22 Bab Najatul
Insan bi ash-Shamti wa Hifzhi al-Lisan)
Dari Abdullah bin 'Amr radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang muslim yang baik adalah yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari
gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang yang benar-benar berhijrah adalah yang
meninggalkan segala perkara yang dilarang Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [10])
Dari Abu Musa radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa para Sahabat bertanya kepada
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah! Islam manakah yang lebih utama?”
Beliau menjawab, “Yaitu orang yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan
lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [11] dan Muslim dalam Kitab al-Iman
[42])
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Sabda beliau shallallahu 'alaihi wa sallam, “Yaitu orang
yang membuat kaum muslimin yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” Maknanya
adalah orang yang tidak menyakiti seorang muslim, baik dengan ucapan maupun perbuatannya.
Disebutkannya tangan secara khusus dikarenakan sebagian besar perbuatan dilakukan
dengannya.” (lihat Syarh Muslim [2/93] cet. Dar Ibnu al-Haistam)
Imam al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Maksud hadits ini adalah bahwa kaum muslimin yang
paling utama adalah orang yang selain menunaikan hak-hak Allah ta'ala dengan baik maka dia
pun menunaikan hak-hak sesama kaum muslimin dengan baik pula.” (lihat Fath al-Bari [1/69] cet.
Dar al-Hadits)
Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang
benar selain Dia. Tidak ada di atas muka bumi ini sesuatu yang lebih butuh untuk dipenjara dalam
waktu yang lama selain lisan.” (HR. ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir [9/162], disahihkan
sanadnya oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai' dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 26)
Dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu, beliau berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah kami akan
dihukum akibat segala yang kami ucapkan?”. Beliau pun menjawab, “Ibumu telah kehilangan
engkau wahai Mu'adz bin Jabal! Bukankah yang menjerumuskan umat manusia tersungkur ke
dalam Jahannam di atas hidungnya tidak lain adalah karena buah kejahatan lisan mereka?!” (HR.
ath-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir [20/127-128], disahihkan sanadnya oleh Syaikh Abdullah
bin Yusuf al-Judai' dalam ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 27)
al-Laits bin Sa'ad rahimahullah menceritakan: Suatu ketika orang-orang melewati seorang
rahib/ahli ibadah. Lantas mereka pun memanggilnya, tetapi dia tidak menjawab seruan mereka.
Kemudian mereka pun mengulanginya dan memanggilnya kembali. Namun dia tetap tidak
memenuhi panggilan mereka. Maka mereka pun berkata, “Mengapa kamu tidak mau berbicara
dengan kami?”. Maka dia pun keluar menemui mereka dan berkata, “Aduhai orang-orang itu!
Sesungguhnya lisanku adalah hewan buas. Aku khawatir jika aku melepaskannya dia akan
memangsa diriku.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 32)
al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata, “Sekarang ini bukanlah masa untuk banyak berbicara.
Ini adalah masa untuk lebih banyak diam dan menetapi rumah.” (lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi
as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 37)
al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah juga berkata, “Hendaknya kamu disibukkan dengan
memperbaiki dirimu, janganlah kamu sibuk membicarakan orang lain. Barangsiapa yang
senantiasa disibukkan dengan membicarakan orang lain maka sungguh dia telah terpedaya.” (lihat
ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 38)
Sebagian orang bijak mengatakan dalam syairnya:
Kita mencela masa, padahal aib itu ada dalam diri kita
Tidaklah ada aib di masa kita kecuali kita
Kita mencerca masa, padahal dia tak berdosa
Seandainya masa bicara, niscaya dia lah yang 'kan mencerca kita
Agama kita adalah pura-pura dan riya' belaka
Kita kelabui orang-orang yang melihat kita
(lihat ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 41)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan
terjadi berbagai fitnah (kekacauan). Pada saat itu, orang yang duduk lebih baik daripada yang
berdiri. Orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan. Orang yang berjalan lebih baik
daripada yang berlari. Barangsiapa yang menceburkan diri ke dalamnya niscaya dia akan ditelan
olehnya. Dan barangsiapa mendapatkan tempat perlindungan hendaklah dia berlindung
dengannya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Fitan [7081] dan Muslim dalam Kitab al-Fitan [2886])
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini berisi peringatan keras supaya menjauh
dari fitnah dan anjuran untuk tidak turut campur di dalamnya, sedangkan tingkat keburukan yang
dialaminya tergantung pada sejauh mana keterkaitan dirinya dengan fitnah itu.” (lihat Fath al-Bari
[11/37] cet. Dar al-Hadits)
Imam ath-Thabari rahimahullah berkata, “Pendapat yang tepat adalah fitnah di sini pada asalnya
bermakna ujian/cobaan. Adapun mengingkari kemungkaran adalah sesuatu yang wajib dilakukan
oleh setiap orang yang mampu melakukannya. Barangsiapa yang membantu pihak yang benar
maka dia telah bersikap benar, dan barangsiapa yang membela pihak yang salah maka dia telah
keliru.” (lihat Fath al-Bari [11/37] cet. Dar al-Hadits)
Thawus menceritakan: Tatkala terjadi fitnah terhadap 'Utsman radhiyallahu'anhu, ada seorang
lelaki arab yang berkata kepada keluarganya, “Aku telah gila, maka ikatlah diriku”. Maka mereka
pun mengikatnya. Ketika fitnah itu telah reda, dia pun berkata kepada mereka, “Lepaskanlah
ikatanku. Segala puji bagi Allah yang telah menyembuhkanku dari kegilaan dan telah
menyelamatkan diriku dari turut campur dalam fitnah/pembunuhan 'Utsman.” (HR. Abdurrazzaq
dalam al-Mushannaf [11/450] sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Abdullah bin Yusuf al-Judai'
dalam ar-Risalah al-Mughniyah fi as-Sukut wa Luzum al-Buyut, hal. 46)
al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda bahwa mulai Allah berpaling dari seorang
hamba adalah tatkala dijadikan dia tersibukkan dalam hal-hal yang tidak penting bagi dirinya.”
(lihat ar-Risalah al-Mughniyah, hal. 62).
# Mengenal Imam Ibnu Mandah
Nasab dan Keluarganya
Muhammad bin Ishaq. Beliau adalah al-Imam al-Hafizh, Sang pengembara yang mencari ilmu ke
berbagai negara, seorang pakar hadits Islam Abu Abdillah Muhammad, putra seorang ahli hadits
yang bernama Abu Ya'qub Ishaq bin al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Yahya bin Mandah.
Nama asli Mandah adalah Ibrahim bin al-Walid bin Sandah, berasal dari Ashfahan.
Keturunan keluarga Mandah adalah orang-orang yang sangat perhatian dalam meriwayatkan haditshadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh sebab itu muncullah dari keturunan mereka
para ulama besar dalam bidang hadits dan pakar dalam memahami kandungannya. Dalam Wafayat
al-A'yan, Ibnu Kholikan memberikan komentar tatkala menjelaskan biografi seorang cucu Ibnu
Mandah yang bernama Yahya bin Abdul Wahhab bin Muhammad bin Ishaq bin Mandah. Beliau
berkata, “Dia adalah seorang muhaddits, putra seorang muhaddits -Abdul Wahhab- yang juga
putra seorang muhaddits -Muhammad bin Ishaq- anak seorang muhaddits -Ishaq bin Mandahyang juga putra seorang muhaddits -Mandah-.”
Dalam usia yang masih belia, Ibnu Mandah sudah mulai mendengar penuturan hadits-hadits Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada waktu itu -tahun 318 H- Ibnu Mandah masih berumur antara 7
hingga 8 tahun. Beliau mendengarkan hadits dari ayahnya -Ishaq- dan juga dari paman ayahnya
Abdurrahman bin Yahya bin Mandah, dan juga dari para ulama Ashbahan yang lain.
Kelahiran dan Tempat Tinggalnya
Beliau dilahirkan pada tahun 310 atau 311 H. Di dalam Lisan al-Mizan, al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata, “Ibnu Mandah lahir pada tahun 316 H dan mulai mendengar hadits pada tahun 318 H dan
sesudahnya.” Namun ucapan Ibnu Hajar ini adalah jelas sebuah kekeliruan, sebagaimana
ditegaskan oleh pen-tahqiq Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah.
Ibnu Mandah dilahirkan di Ashbahan, salah satu kota di wilayah Khurasan. Di kota inilah banyak
dilahirkan sosok ulama besar semacam Abu Nu'aim al-Ashbahani penulis Hilyatul Auliya', Dawud
azh-Zhahiri, Abul Fadhl al-Ashbahani -yang dijuluki dengan Qowamus Sunnah- dan lain
sebagainya. Di kota inilah Ibnu Mandah menimba ilmu, belajar akhlak dan mengejar keutamaan
kepada para ulamanya. Pada tahun 330 H -ketika itu umurnya tidak lebih dari 20 tahun- beliau
mulai mengadakan perjalanan untuk menimba ilmu ke Naisabur. Beliau pun terus melakukan
perjalanan untuk menimba ilmu ini ke berbagai negeri selama 40 tahun lamanya. Setelah itu, beliau
pulang ke negeri asalnya dalam keadaan telah menjadi seorang ulama besar yang telah mencatat
ilmu dari 1700 orang guru.
Di Ashbahan itulah, ketika umurnya sudah melewati 60 tahun, Ibnu Mandah menikah lalu
dikaruniai beberapa orang anak. Salah satu putranya bernama Abdurrahman yang biasa dipanggil
dengan kun-yah Abul Qasim. Putranya ini pun tumbuh menjadi ulama besar. Imam adz-Dzahabi
memujinya dengan ungkapan, “Beliau adalah al-Hafizh, al-'Alim, al-Muhaddits...” Yahya bin
Abdul Wahhab berkomentar tentang Abdurraman ini -pamannya-, “Pamanku adalah pedang yang
menebas ahli bid'ah...”
Gigih Dalam Menimba Ilmu dan Berdakwah
Ibnu Mandah mengadakan perjalanan ke berbagai negeri untuk menimba ilmu. Beliau datang ke
Naisabur, Iraq, Damaskus, Beirut, Gaza, Baitul Maqdis (Palestina), Mesir, Mekah, Madinah, dan
kota-kota yang lainnya. Ibnu Mandah adalah sosok yang sangat mencintai Sunnah dan membenci
bid'ah. Diriwayatkan dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah, bahwa beliau pernah mengatakan, “Aku
telah berkeliling ke negeri Timur dan Barat sebanyak dua kali. Aku tidak pernah mau mendekat
(belajar) kepada orang yang tidak jelas. Dan aku pun tidak mau mendengar dari para ahli bid'ah
walaupun cuma satu hadits.”
Beliau juga menyusun kitab-kitab bantahan untuk ahli bid'ah. Di antara karyanya adalah ar-Radd
'alal Lafzhiyah dan ar-Radd 'alal Jahmiyah. Beliau juga sangat perhatian dalam masalah akidah,
oleh karenanya beliau menulis kitabnya yang sangat terkenal Kitab at-Tauhid. Ibnu Mandah bukan
hanya pakar dalam bidang hadits, beliau juga ahli di bidang tafsir dan mumpuni di bidang sejarah
dan qiro'at.
Sanjungan Para Ulama
Ahmad bin Ja'far al-Hafizh berkata, “Aku telah mencatat hadits dari 1000 orang guru lebih, dan
tidak ada di antara mereka yang lebih kokoh hafalannya daripada Ibnu Mandah.” Ja'far bin
Muhammad al-Mustaghfiri berkata, “Aku belum pernah melihat seorang pun yang lebih kuat
hafalannya daripada Abu Abdillah Ibnu Mandah...” Abu Isma'il al-Anshari -guru besar di negeri
Harat- berkata, “Abu Abdillah Ibnu Mandah adalah sayyid/pemimpin umat di masanya.” Imam
adz-Dzahabi menyebutnya sebagai da'i kepada Sunnah dan penjaga atsar.
Qowamus Sunnah Abul Fadhl al-Ashbahani mengatakan, “Keutamaan Imam ini sangatlah banyak.
Dia adalah pemuka umat di zamannya dalam hafalan, ketekunan beragama, dan pembelaan
terhadap Sunnah serta mematikan bid'ah. Dia berkeliling dunia untuk mencari hadits. Aku
mengetahui kedudukannya sejak dia masih muda. Yaitu tatkala Abu Ahmad al-'Assal --'al-'Assal
adalah seorang imam di masanya'-- mengirim surat kepadanya ketika dia berada di Naisabur,
menanyakan kepadanya tentang suatu hadits yang sulit dipahami. Maka Ibnu Mandah
menjawabnya dan menerangkan hal itu kepadanya.” Abu Nu'aim pun memuji Ibnu Mandah dengan
mengatakan bahwa beliau adalah Jabalun minal Jibaal; artinya beliau adalah termasuk jajaran
ulama penghafal hadits yang sangat handal.
Guru-Guru Ibnu Mandah
Diantara ulama yang menjadi guru Ibnu Mandah dan paling banyak menjadi narasumber riwayatnya
adalah: Abu Ahmad al-'Assal, Abu Ishaq bin Hamzah, Abu Sa'id bin al-A'rabi, Abul 'Abbas alAsham, dan lain-lain. Ibnu Mandah menuturkan, “Aku telah mencatat ilmu dari seribu tujuh ratus
guru, dan aku belum pernah melihat ada di antara mereka yang seperti al-'Assal dan Abu Ishaq bin
Hamzah.”
Abu Ahmad al-'Assal adalah salah seorang imam besar dalam ilmu hadits. Abu Nu'aim pun
memujinya, “Abu Ahmad -al-'Assal- adalah termasuk jajaran ulama besar yang memiliki ilmu yang
mendalam, pemahaman yang mapan dan hafalan yang kuat.” Demikian pula Abu Ishaq bin
Hamzah -guru Ibnu Mandah yang lain- adalah seorang imam ahli hadits besar. Abu Nu'aim berkata
tentangnya, “Beliau adalah orang yang memiliki hafalan paling kokoh di masanya.” Ibnu Mandah
juga berkata, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih kuat hafalannya daripada Abu Ishaq bin
Hamzah.”
Murid-Murid Ibnu Mandah
Diantara murid Ibnu Mandah yang kemudian menjadi ulama besar dan yang paling terkenal di
antara mereka adalah: Abu Amr Abdul Wahhab bin Mandah -anaknya-, Hamzah bin Yusuf asSahmi, Abu Bakr bin Manjawaih, dan Tammam bin Muhammad ar-Razi. Abu 'Ali al-Ahwazi
berkata, “Aku belum pernah melihat orang sehebat Tammam. Beliau adalah seorang ulama yang
sangat mengetahui hadits dan mendalami seluk-beluk periwayatnya.”
Perselisihan Antara Ibnu Mandah dengan Abu Nu'aim
Para ulama menceritakan bahwasanya antara kedua ulama ini telah terjadi perselisihan dalam
sebagian masalah akidah, yaitu tentang persoalan lafaz al-Qur'an. Bangkitlah Abu Nu'aim menulis
bantahan kepada Ibnu Mandah dengan kitabnya ar-Radd 'alal Hurufiyah wal Hululiyah. Demikian
juga sebaliknya, Ibnu Mandah menulis bantahan dengan kitabnya ar-Radd 'alal Lafzhiyah.
Keduanya saling men-jarh/mengkritik satu sama lain.
Imam Ibnul Jauzi menjelaskan bahwa Abu Nu'aim termasuk penganut paham Asy'ari. Beliau lebih
condong kepada pendapat yang mengatakan bahwa tilawah atau bacaan al-Qur'an adalah makhluk.
Adapun Imam Ibnu Mandah berpegang kepada akidah salaf. Beliau berpendapat bahwasanya lafaz
al-Qur'an bukanlah makhluk. Peselisihan yang terjadi antara Imam Bukhari dengan Imam
Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli pun muncul akibat permasalahan serupa.
Oleh sebab itu para ulama tidak menerima komentar miring dari salah seorang di antara mereka
berdua terhadap lawannya. Tatkala menanggapi komentar miring dari Abu Nu'aim tentang Ibnu
Mandah, Imam adz-Dzahabi berkata, “Kami tidak mau ambil pusing dengan ucapanmu mengenai
musuhmu karena permusuhan yang ada. Sebagaimana kami juga tidak mau mendengar komentar
darinya mengenai anda...” Inilah kaidah yang dipegang oleh para ulama. Imam Ahmad bin Hanbal
berkata, “Setiap orang yang telah terbukti kredibilitasnya, maka tidak bisa diterima celaan atasnya
dari siapa pun kecuali apabila tuduhan itu benar-benar didukung keterangan yang jelas sehingga
tidak ada kemungkinan lain kecuali harus mengarahkan jarh/kritikan kepada dirinya.”
Karya-Karya Ibnu Mandah
Dalam bidang akidah, beliau menulis kitab: al-Iman, ar-Radd 'alal Jahmiyah, ar-Ruh wa an-Nafs,
dan ar-Radd 'alal Lafzhiyah. Dalam bidang hadits: Ma'rifatush Shahabah, al-Amali, al-Kuna wal
Alqaab, al-Asami wal Kuna, dan lain-lain. Dalam bidang sejarah: Tarikh Ashbahan, at-Tarikh,
Dala'il an-Nubuwah. Dalam bidang ilmu al-Qur'an: an-Nasikh wal Mansukh. Ibnu Mandah juga
memiliki kitab-kitab yang lain seperti as-Sunnah, sebagaimana disinggung oleh Ibnu Taimiyah dan
al-Kattani. Namun sayangnya, sebagian kitab-kitab tersebut hilang atau tidak ditemukan seperti
kitab al-Fawa'id, at-Tarikh, Dala'il an-Nubuwah, dan an-Nasikh wal Mansukh.
Salah satu kitab karyanya yaitu Kitab al-Iman, telah diterbitkan oleh penerbit Universitas Islam
Madinah cetakan pertama tahun 1401 H, dengan tahqiq oleh Dr. Ali Nashir al-Faqihi hafizhahullahseorang ulama guru besar di Universitas Islam Madinah, dosen pembimbing Ustadz Dr. Ali Musri,
M.A. hafizhahullah, pen-. Demikian juga Kitab at-Tauhid, telah dicetak oleh Dar Hadyu Nabawi
Mesir dan Dar al-Fadhilah Saudi pada tahun 1428 H, dengan tahqiq oleh Dr. Muhammad bin
Abdullah al-Wuhaibi dan Dr. Musa bin Abdul Aziz al-Ghushn hafizhahumallah. Pada asalnya kitab
ini adalah risalah magister (S2) milik mereka berdua di bawah pengawasan Syaikh Dr. Abdullah bin
Abdurrahman al-Jibrin yang diajukan kepada Universitas Islam Muhammad bin Su'ud dan
dipresentasikan pada tahun 1406 H. Judul lengkap kitab ini adalah at-Tauhid wa Ma'rifatu
Asma'illahi 'Azza wa Jalla wa Shifatihi 'alal Ittifaq wat Tafarrud.
Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah adalah kitab akidah yang dibawakan dengan metode ahli
hadits. Di dalamnya beliau menyebutkan hadits-hadits tentang tauhid rububiyah, uluhiyah dan asma'
wa shifat. Metode ini adalah metode kebanyakan ulama mutaqaddimin/terdahulu dalam karya-karya
mereka, seperti kitab al-Iman karya Abu Bakr bin Abi Syaibah, as-Sunnah karya Abdullah putra
Imam Ahmad, as-Sunnah karya Ibnu Abi 'Ashim, Khalqu Af'alil 'Ibad karya Imam Bukhari, Syarh
Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah karya Imam al-Lalika'i, 'Aqidatu Ash-habil Hadits karya ash-Shabuni,
dan lain sebagainya.
Wafatnya Ibnu Mandah
Ibnu Mandah wafat pada tahun 395 H. Sebagaimana penjelasan Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya;
Siyar A'lam an-Nubala', Tadzkiratul Huffazh, dan Mizanul I'tidal. Demikian pula penjelasan alHafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Lisanul Mizan. Keterangan Ibnu Abi Ya'la dalam kitabnya
Thabaqat al-Hanabilah, Ibnul 'Imad dalam Syadzarat adz-Dzahab. Dan keterangan Ibnu Taghri
Bardi dalam an-Nujum az-Zahirah. Dan inilah pendapat Abu Nu'aim dalam Tarikh Ashbahan.
Sementara para ulama yang lain berpendapat bahwa Ibnu Mandah wafat pada tahun 396 H.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam al-Muntazham, Imam Ibnu Katsir
dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, Imam Ibnul Atsir dalam al-Kamil, dan ash-Shofadi dalam alWafi bil Wafayat. Dan ini adalah pendapat al-Hakim an-Naisaburi. Kedua pendapat ini dibawakan
oleh Imam Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tarikh Damaskus.
Pen-tahqiq Kitab at-Tauhid karya Ibnu Mandah menjelaskan bahwa pendapat yang lebih kuat
adalah pendapat Abu Nu'aim. Karena Abu Nu'aim dan Ibnu Mandah tinggal di negeri yang sama.
Terlebih lagi antara keduanya telah terjadi permasalahan; suatu sebab yang boleh jadi menjadi
pendorong untuk mengikuti berita-berita tentangnya. Selain itu, Abu Nu'aim juga membawakan
tambahan ilmu (ziyadah). Sementara sebagaimana dimaklumi di kalangan para ulama hadits bahwa
ziyadatu tsiqah -tambahan keterangan dari perawi yang terpercaya- itu diterima.
Sumber: Pengantar Kitab at-Tauhid li Ibni Mandah, hal. 1-69
# Sekilas Mengenal Imam Bukhari
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Isma'il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah alJu'fi. Dalam bahasa Persia kata 'bardizbah' bermakna 'petani'. Imam Bukhari dilahirkan di Bukhara
pada hari Jum'at setelah sholat Jum'at tanggal 13 Syawwal tahun 194 H.
Ketika beliau masih kecil ayahnya sudah meninggal. Karena itulah beliau tumbuh di bawah asuhan
ibunya. Beliau telah giat menimba ilmu sejak masih belia. Imam Bukhari menceritakan, “Dahulu
aku mendapat ilham untuk menghafalkan hadits semenjak masih berada di kuttab/sekolah dasar.”
Ketika itu beliau masih berumur 10 tahun atau bahkan kurang.
Dalam usia yang masih belia, beliau telah menyibukkan diri dengan menimba ilmu dan mendegar
hadits-hadits. Diantara ulama di negerinya yang beliau simak haditsnya adalah Muhammad bin
Sallam dan Muhammad bin Yusuf al-Baikandi. Kemudian, pada tahun 210 H beiau menunaikan
ibadah haji bersama ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Setelah itu ibu dan kakaknya pulang
sedangkan Bukhari tetap tinggal untuk menimba ilmu di Mekah dan Madinah.
Setelah itu beliau pun mengadakan perjalanan untuk menimba ilmu kepada para ahli hadits di
berbagai wilayah seperti Khurasan, Syam, Mesir, Iraq, bahkan beliau sempat mendatangi kota
Baghdad hingga berkali-kali. Para penduduk Baghdad pun berkumpul di dalam majelisnya dan
mereka mengakui keunggulan beliau dalam periwayatan dan pemahaman hadits.
Imam Bukhari memiliki kecerdasan dan kekuatan hafalan yang sangat menakjubkan. Muhammad
bin Hamdawaih menceritakan : Aku mendengar Bukhari berkata, “Aku menghafal seratus ribu
hadits yang sahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak sahih.” Suatu ketika Imam Bukhari hadir di
majelis pengajian Sulaiman bin Harb sedangkan Bukhari hanya mendengar dan tidak mencatat. Ada
yang bertanya kepada teman-temannya mengapa dia tidak mencatat. Maka dijawab, “Dia akan
kembali ke Bukhara dan mencatat dengan hafalannya.”
Imam Bukhari menceritakan : Apabila aku bertemu dengan Sulaiman bin Harb maka beliau berkata
kepadaku, “Terangkan kepada kami letak kesalahan Syu'bah -dalam periwayatan hadits, pent-.”
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Negeri Khurasan belum pernah memunculkan seorang
ulama semisal Muhammad bin Isma'il -yaitu Imam Bukhari-.”
Suatu saat sampai kepada 'Ali bin al-Madini ucapan Bukhari, “Tidaklah aku merasa kecil/tidak ada
apa-apanya kecuali apabila sedang berada di majelis 'Ali bin al-Madini.” Maka Imam Ibnul
Madini rahimahullah -salah seorang guru Imam Bukhari- mengomentari perkataan itu kepada orang
yang menyampaikannya, “Tinggalkan ucapannya itu. Sesungguhnya dia tidak pernah melihat
orang lain yang semisal dengan dirinya.”
Roja' bin Roja' mengatakan, “Beliau -yaitu Imam Bukhari- adalah salah satu diantara ayat/tanda
kekuasaan Allah yang berjalan di atas muka bumi.” Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah -yang
digelari dengan imamnya para imam- mengatakan, “Aku belum pernah melihat di bawah kolong
langit ini orang yang lebih berilmu tentang hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
lebih hafal tentangnya daripada Muhammad bin Isma'il al-Bukhari.”
Diantara karya Imam Bukhari adalah kitabnya al-Jami' ash-Shahih -yang terkenal dengan nama
Sahih Bukhari-, kemudian al-Adab al-Mufrad, Raf'ul Yadain fish Sholah, al-Qira'ah khalfal imam,
Birrul walidain, Khalqu af'alil 'ibaad, dll.
Beliau wafat di Khartank salah satu kota di Samarqand pada malam Sabtu setelah sholat 'Isyak dan
itu bertepatan dengan malam idul fithri kemudian dikubur setelah sholat Zhuhur pada hari raya
Iedul Fithri yaitu di tahun 256 H. Umur beliau ketika itu adalah 62 tahun kurang 13 hari. Semoga
Allah merahmatinya.
Beliau telah meninggalkan setelah wafatnya ilmu yang bermanfaat bagi segenap kaum muslimin.
Meskipun beliau telah meninggal akan tetapi ilmunya tidak terputus. Bahkan ia terus mengalir dan
memberikan manfaat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara..” diantaranya
adalah “ilmu yang bermanfaat” (HR. Muslim)
Sumber : Biografi Ringkas Imam Bukhari oleh Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad hafizhahullah. Bisa
dibaca lebih lengkap dalam Kutub wa Rasa'il 'Abdil Muhsin (2/11-19)
# Imam Bukhari Pun Tak Lepas Dari Tuduhan
Pada tahun 250 H, Imam Bukhari datang ke Naisabur. Beliau menetap di sana selama beberapa
waktu dan terus beraktifitas mengajarkan hadits. Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli -tokoh ulama di
kota itu dan juga salah satu guru Imam Bukhari- mengatakan kepada murid-muridnya, “Pergilah
kalian kepada lelaki salih dan berilmu ini, supaya kalian bisa mendengar ilmu darinya.” Setelah
itu, orang-orang pun berduyun-duyun mendatangi majelis Imam Bukhari untuk mendengarkan
hadits darinya. Sampai, suatu ketika muncul 'masalah' di majelis Muhammad bin Yahya, dimana
orang-orang yang semula mendengarkan hadits di majelis beliau beralih menuju majelisnya Imam
Bukhari.
Sebenarnya, sejak awal, Imam adz-Dzuhli tidak menghendaki terjadinya masalah antara dirinya
dengan Imam Bukhari, semoga Allah merahmati mereka berdua. Beliau pernah berpesan kepada
murid-muridnya, “Janganlah kalian tanyakan kepadanya mengenai masalah al-Kalam (keyakinan
tentang al-Qur'an kalamullah, pent). Karena seandainya dia memberikan jawaban yang berbeda
dengan apa yang kita anut pastilah akan terjadi masalah antara kami dengan beliau, yang hal itu
tentu akan mengakibatkan setiap Nashibi (pencela ahli bait), Rafidhi (syi'ah), Jahmi, dan penganut
Murji'ah di Khurasan ini menjadi mengolok-olok kita semua.”
Ahmad bin 'Adi menuturkan kisah dari guru-gurunya, bahwa kehadiran Imam Bukhari di kota itu
membuat sebagian guru yang ada di masa itu merasa hasad/dengki terhadap beliau. Mereka
menuduh Imam Bukhari berpendapat bahwa al-Qur'an yang dilafalkan adalah makhluk. Suatu
ketika muncullah orang yang menanyakan kepada beliau mengenai masalah melafalkan al-Qur'an.
Orang itu berkata, “Wahai Abu Abdillah, apa pandanganmu mengenai melafalkan al-Qur'an;
apakah ia termasuk makhluk atau bukan makhluk?”. Setelah mendengar pertanyaan itu, Imam
Bukhari berpaling darinya dan tidak mau menjawab sampai tiga kali pertanyaan. Orang itu pun
memaksa, dan pada akhirnya Bukhari menjawab, “al-Qur'an adalah Kalam Allah, bukan makhluk.
Sementara perbuatan hamba adalah makhluk. Dan menguji seseorang dengan pertanyaan
semacam ini adalah bid'ah.” Yang menjadi sumber masalah adalah tatkala orang itu secara gegabah
menyimpulkan, “Kalau begitu, dia -Imam Bukhari- berpendapat bahwa al-Qur'an yang aku
lafalkan adalah makhluk.”
Dalam riwayat lain, Imam Bukhari menjawab, “Perbuatan kita adalah makhluk. Sedangkan lafal
kita termasuk perbuatan kita.” Hal itu menimbulkan berbagai persepsi di antara hadirin. Ada yang
mengatakan, “Kalau begitu al-Qur'an yang saya lafalkan adalah makhluk.” Sebagian yang lain
membantah, “Beliau tidak mengatakan demikian.” Akhirnya, timbullah kesimpang-siuran dan
kesalahpahaman di antara para hadirin.
Tatkala hal ini sampai ke telinga adz-Dzuhli, maka beliau berkata, “al-Qur'an adalah kalam Allah,
bukan makhluk. Barangsiapa yang menganggap bahwa al-Qur'an yang saya lafalkan adalah
makhluk -padahal Imam Bukhari tidak menyatakan demikian, pent- maka dia adalah mubtadi'/ahli
bid'ah. Tidak boleh bermajelis kepadanya, tidak boleh berbicara dengannya. Barangsiapa setelah
ini pergi kepada Muhammad bin Isma'il -yaitu Imam Bukhari- maka curigailah dia. Karena
tidaklah ikut menghadiri majelisnya kecuali orang yang sepaham dengannya.”
Semenjak munculnya ketegangan di antara adz-Dzuhli dan Bukhari ini maka orang-orang pun bubar
meninggalkan majelis Imam Bukhari kecuali Muslim bin Hajjaj -Imam Muslim- dan Ahmad bin
Salamah. Sampai-sampai, adz-Dzuhli menyatakan, “Ketahuilah, barangsiapa yang ikut
berpandangan tentang lafal -sebagaimana Bukhari, pent- maka tidak halal hadir dalam majelis
kami.” Mendengar hal itu, Imam Muslim pun mengambil selendangnya dan diletakkannya di atas
imamah/penutup kepala yang dikenakannya lalu dia berdiri di hadapan orang banyak meninggalkan
beliau, dan dikirimkannya semua catatan riwayat yang pernah dia tulis dari beliau di atas punggung
seekor onta. Ada sebuah pelajaran berharga dari Imam Muslim dalam menyikapi persengketaan ini.
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Muslim telah bersikap adil tatkala dia tidak
menuturkan hadits di dalam kitabnya -Shahih Muslim-, tidak dari yang ini -Bukhari- maupun yang
itu -adz-Dzuhli-.”
Pada akhirnya, Imam Bukhari pun memutuskan untuk meninggalkan Naisabur demi menjaga
keutuhan umat dan menjauhkan diri dari gejolak fitnah. Beliau menyerahkan segala urusannya
kepada Allah. Allah lah Yang Maha mengetahui keadaan hamba-hamba-Nya. Sebab beliau tidaklah
menyimpan ambisi kedudukan maupun kepemimpinan sama sekali. Imam Bukhari berlepas diri dari
tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang yang hasad kepadanya. Suatu saat, Muhammad bin
Nashr al-Marruzi menceritakan: Aku mendengar dia -Bukhari- mengatakan, “Barangsiapa yang
mendakwakan aku berpandangan bahwa al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk,
sesungguhnya dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak berpendapat seperti itu.”
Abu Amr Ahmad bin Nashr berusaha menelusuri permasalahan ini kepada Imam Bukhari. Dia
berkata, “Wahai Abu Abdillah, di sana ada orang-orang yang membawa berita tentang dirimu
bahwasanya kamu berpendapat al-Qur'an yang aku lafalkan adalah makhluk.” Maka Imam
Bukhari menjawab, “Wahai Abu Amr, hafalkanlah ucapanku ini; siapa pun diantara penduduk
Naisabur dan negeri-negeri yang lain yang mendakwakan bahwa aku berpendapat al-Qur'an yang
aku lafalkan adalah makhluk maka dia adalah pendusta. Sesungguhnya aku tidak pernah
mengatakan hal itu. Yang aku katakan adalah perbuatan hamba adalah makhluk.”
[Kisah ini disusun ulang dari Hadyu as-Sari Muqaddimah Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari
karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, hal. 658-659]
Saudaraku, inilah kisah nyata yang terjadi di masa lalu... Sebuah kisah memilukan yang harus
terjadi pada diri seorang ulama besar, amirul mukminin fil hadits, sang penyusun kitab paling sahih
sesudah Kitabullah, Imam Muhammad bin Isma'il al-Bukhari rahimahullah.
Kerenggangan hubungan antara sesama ulama, akibat ulah orang-orang yang menyimpan hasad
kepada sesama saudaranya. Subhanallah... Apakah kejadian semacam ini telah berulang di masa
kita sekarang ini? Allah lah Yang Maha tahu apa sesungguhnya yang terjadi di antara para da'i
ahlus sunnah di masa ini...
Dari kisah ini, banyak pelajaran yang dapat dipetik, antara lain:
1. Tidak boleh tergesa-gesa dalam mengambil sikap atas suatu berita atau kabar tidak baik
mengenai saudara kita, apalagi dari kalangan da'i dan alim ulama
2. Kewajiban untuk mengecek kebenaran berita dan mengambil informasi dari sumber-sumber
yang terpercaya, tidak boleh sembarangan mengambil berita yang dibawa oleh manusia
3. Semestinya kita mendahulukan sikap husnuzhan/prasangka baik kepada sesama saudara
kita, karena sesungguhnya memperturutkan prasangka buruk tanpa alasan yang benar adalah
kedustaan dan memecah-belah barisan kaum muslimin
4. Kebenaran harus tetap dibela dan dipertahankan, meskipun pengikutnya sedikit dan
dicemooh di hadapan manusia. Dan tidak selayaknya kebenaran itu ditinggalkan gara-gara
perasaan tidak enak (pekewuh; jawa) kepada orang yang diseganinya
5. Setiap da'i hendaknya selalu bertawakal kepada Allah dan menjauhi ambisi-ambisi rendah
seperti untuk mencari ketenaran, kedudukan, dan lain sebagainya. Allahul musta'aan.
# Lebih Baik Daripada Onta Merah
Dari Sahl bin Sa'd radhiyallahu'anhu, suatu ketika dalam peperangan Khaibar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku akan memberikan bendera ini kepada
seorang pria yang melalui kedua tangannya Allah akan memberikan kemenangan, dia mencintai
Allah dan rasul-Nya, dan Allah dan rasul-Nya pun mencintainya.” Sahl berkata: Maka di malam
harinya orang-orang pun membicarakan siapakah kira-kira di antara mereka yang akan diberikan
bendera itu. Sahl berkata: Ketika pagi harinya, orang-orang hadir dalam majelis Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam. Masing-masing dari mereka sangat mengharapkan untuk menjadi
orang yang diberikan bendera itu. Kemudian, Nabi bersabda, “Dimanakah Ali bin Abi Thalib?”.
Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, dia sedang menderita sakit di kedua matanya.” Sahl
berkata: Mereka pun diperintahkan untuk menjemputnya. Kemudian, dia pun didatangkan lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam meludahi kedua matanya dan mendoakan kesembuhan
baginya maka sembuhlah ia. Sampai-sampai seolah-olah tidak menderita sakit sama sekali
sebelumnya. Maka beliau pun memberikan bendera itu kepadanya. Ali berkata, “Wahai Rasulullah,
apakah saya harus memerangi mereka hingga mereka menjadi seperti kita?”. Beliau menjawab,
“Berjalanlah dengan tenang, sampai kamu tiba di sekitar wilayah mereka. Lalu serulah mereka
untuk masuk Islam dan kabarkan kepada mereka hak Allah yang wajib mereka tunaikan. Demi
Allah, apabila Allah menunjuki seorang saja melalui dakwahmu itu lebih baik bagimu daripada
kamu memiliki onta-onta merah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang agung ini mengandung pelajaran, antara lain:
1. Kewajiban untuk berdakwah mengajak musuh (orang kafir) untuk masuk Islam sebelum
dikobarkannya peperangan. Namun, apabila musuh tersebut sudah pernah didakwahi -tetapi
menolak- maka hal itu tidak lagi wajib, namun dianjurkan (lihat Syarh Muslim [8/30], alJadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 69)
2. Keislaman seseorang -orang kafir yang bersyahadat- tetap diterima meskipun dalam keadaan
sedang terjadi peperangan (lihat Syarh Muslim [8/31])
3. Hukum di dunia dibangun di atas apa yang tampak secara lahir. Adapun hukum batinnya
diserahkan kepada Allah (lihat Syarh Muslim [8/31])
4. Syarat sah keislaman adalah harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Apabila dia bisu atau
mengalami hambatan lain yang serupa maka cukup baginya mengisyaratkan terhadap
syahadat itu (lihat Syarh Muslim [8/31])
5. Hadits ini menunjukkan betapa besar keutamaan ilmu dan mendakwahkan petunjuk serta
tuntunan-tuntunan yang baik (lihat Syarh Muslim [8/30])
6. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berdakwah mengajak manusia untuk memeluk agama
Islam. Ini merupakan bantahan yang sangat jelas bagi kaum Liberal dan Pluralis yang
menganggap bahwa Islam yang diserukan kepada manusia adalah Islam dengan pengertian
'kepasrahan kepada Tuhan semata' tanpa ada kewajiban untuk masuk ke dalam agama yang
disebut Islam.
7. Hadits ini menunjukkan betapa besar keutamaan orang yang bisa mengajak kepada Islam
kepada orang lain kemudian orang yang didakwahi tersebut menerimanya (masuk Islam),
meskipun jumlahnya hanya satu orang
8. Hadits ini menunjukkan keutamaan yang sangat jelas pada diri Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu'anhu, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memujinya dengan katakata, “Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah dan rasul-Nya pun mencintainya.”
9. Wajibnya mencintai Ali bin Abi Thalib. Karena konsekuensi cinta kepada Allah dan RasulNya adalah kita juga harus mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya
10. Allah memiliki sifat mencintai (lihat al-Jadid, hal. 69)
11. Mukjizat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat al-Jadid, hal. 69)
12. Hadits ini menunjukkan betapa besar semangat para sahabat untuk memperoleh kebaikan
agama mereka (lihat al-Jadid, hal. 69). Karena mereka sangat ingin menjadi orang yang
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu mereka berharap untuk diberi bendera
tersebut, bukan karena mereka menyimpan ambisi kekuasaan sebagaimana yang dituduhkan
oleh kaum Syi'ah!
13. Semestinya seorang pemimpin memeriksa keadaan rakyat atau orang yang dipimpinnya
(lihat al-Jadid, hal. 69)
14. Wajibnya beriman kepada takdir, tatkala bendera itu ternyata diberikan bukan kepada orang
yang berusaha untuk bisa mendapatkannya (lihat al-Jadid, hal. 69)
15. Seorang panglima perang hendaknya senantiasa bertindak dengan tenang, namun bukan
berarti bersikap lemah dan tidak menunjukkan wibawa (lihat al-Jadid, hal. 69)
16. Dua kalimat syahadat yang diucapkan dengan lisan tidak cukup jika tidak diiringi dengan
amalam yang membuktikannya (lihat al-Jadid, hal. 69)
17. Bolehnya bersumpah ketika menyampaikan suatu perkara untuk lebih menekankan atau ada
kemaslahatan lainnya, meskipun ia tidak diminta bersumpah (lihat al-Jadid, hal. 69)
18. Hendaknya seorang da'i dalam mengajak kepada objek dakwahnya, yang pertama kali
diserukannya adalah agar mereka memahami dua kalimat syahadat (lihat al-Jadid, hal. 70)
19. Seorang pemimpin atau pun pemerintah hendaknya mengirim utusan orang-orang yang
berdakwah kepada agama Allah -yaitu mendakwahkan tauhid dan Sunnah- sebagaimana
yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khulafa' arrasyidin (lihat Fath al-Majid, hal. 90)
# Pentingnya Berpegang Teguh dengan Manhaj Salaf
Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu berkata, “Ikutilah tuntunan, dan jangan membuat ajaranajaran baru, karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal.
46)
Beliau radhiyallahu'anhu juga berkata, “Sesungguhnya kami ini hanyalah meneladani, bukan
memulai. Kami sekedar mengikuti, dan bukan mengada-adakan sesuatu yang baru. Kami tidak akan
tersesat selama tetap berpegang teguh dengan atsar.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 46)
Ubay bin Ka'ab radhiyallahu'anhu berkata, “Hendaknya kalian berpegang dengan jalan yang benar
dan mengikuti Sunnah. Karena tidaklah seorang hamba yang tegak di atas jalan yang benar dan
setia dengan Sunnah, mengingat ar-Rahman dan kemudian kedua matanya meneteskan air mata
karena rasa takut kepada Allah, lantas dia akan disentuh oleh api neraka selama-lamanya.
Sesungguhnya bersikap sederhana di atas Sunnah dan kebaikan itu lebih baik daripada bersungguhsungguh dalam menyelisihi jalan yang benar dan menentang Sunnah.” (lihat Da'a'im Minhaj
Nubuwwah, hal. 46)
Muhammad bin Sirin rahimahullah berkata, “Para ulama kita dahulu senantiasa mengatakan:
Apabila seseorang itu berada di atas atsar, maka itu artinya dia berada di atas jalan yang benar.”
(lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 47)
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, “Pokok-pokok Sunnah menurut kami adalah berpegang
teguh dengan ajaran para Sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, berusaha meneladani
mereka, dan meninggalkan bid'ah-bid'ah.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 47-48)
Imam al-Ajurri rahimahullah berkata, “Ciri orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah
meniti jalan ini; Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, serta Sunnah para
Sahabatnya radhiyallahu'anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Dia
mengikuti jalan para imam kaum muslimin yang ada di setiap negeri sampai para ulama yang
terakhir diantara mereka; semisal al-Auza'i, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, asy-Syafi'i, Ahmad
bin Hanbal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang berada di atas jalan yang mereka tempuh
serta dengan menjauhi setiap madzhab/aliran yang dicela oleh para ulama tersebut.” (lihat Da'a'im
Minhaj Nubuwwah, hal. 49)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah
kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari'at-Nya. Kita tidak
beribadah kepada-Nya dengan bid'ah-bid'ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta'ala (yang
artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia
melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.”
(al-Kahfi: 110).” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)
Ahmad bin Sinan al-Qaththan rahimahullah berkata, “Tidaklah ada di dunia ini seorang ahli bid'ah
kecuali dia pasti membenci ahli hadits. Maka apabila seorang membuat ajaran bid'ah niscaya akan
dicabut manisnya hadits dari dalam hatinya.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 124)
Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- sesungguhnya
ilmu bukanlah dengan memperbanyak riwayat dan kitab. Sesungguhnya orang yang berilmu adalah
yang mengikuti ilmu dan Sunnah, meskipun ilmu dan kitabnya sedikit. Dan barangsiapa yang
menyelisihi al-Kitab dan as-Sunnah, maka dia adalah penganut bid'ah, meskipun ilmu dan kitabnya
banyak.” (lihat Da'a'im Minhaj Nubuwwah, hal. 163)
# Prinsip Para Imam
Imam Abu Hanifah berkata, “Apabila suatu hadits terbukti sahih, itulah madzhabku.”
Beliau juga berkata, “Tidak halal bagi siapa pun mengambil pendapat kami selama dia tidak
mengerti darimana kami mengambilnya.”
Beliau berkata, “Haram bagi orang yang tidak mengetahui dalil pendapatku untuk berfatwa
dengan ucapanku.”
Beliau berkata, “Apabila aku mengucapkan suatu pendapat yang bertentangan dengan Kitabullah
ta'ala dan hadits Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam maka tinggalkanlah ucapanku.”
Imam Malik berkata, “Sesungguhnya saya ini manusia biasa, bisa benar bisa salah, maka lihatlah
pendapatku. Semua yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah ambillah. Dan semua yang tidak
sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah tinggalkanlah.”
Beliau juga berkata, “Tidak ada seorang pun sesudah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melainkan
ucapannya bisa diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.”
Imam Syafi'i berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya
suatu Sunnah/Hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka tidak halal baginya
meninggalkannya karena mengikuti pendapat orang lain.”
Beliau berkata, “Apabila kalian menemukan di dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam maka ikutilah Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam dan tinggalkanlah pendapatku.”
Beliau berkata, “Setiap permasalahan yang padanya terdapat hadits dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang disahkan oleh para ahli hadits ternyata menyelisihi pendapatku, maka aku
rujuk darinya selama aku hidup maupun setelah mati.”
Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
maka dia berada di tepi kehancuran.”
(bisa dilihat di mukadimah Sifat Sholat Nabi, hal. 46-53)
@ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK
Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737
atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro
Konfirmasi Donasi via SMS :
Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah
Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000
Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa)
Informasi : www.al-mubarok.com
# Nasehat Bagi Si Sakit
Abdullah bin Umar -radhiyallahu'anhu- menemui Ibnu Amir -Gubernur Bashrah-, beliau datang
untuk menjenguknya yang sedang menderita sakit. Maka Ibnu Amir berkata, “Tidakkah engkau
mendoakan kebaikan untukku kepada Allah, wahai Ibnu Umar?”. Ibnu Umar menjawab,
“Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Tidak diterima
sholat tanpa bersuci demikian juga sedekah dari harta rampasan (baca: hasil korupsi).' Sedangkan
engkau sekarang ini menjadi penguasa Bashrah.” (HR. Muslim)
Hadits yang agung ini mengandung pelajaran di antaranya:
1. Wajib berada dalam keadaan suci untuk sahnya sholat. Bahkan, umat Islam telah sepakat
bahwa thaharah (suci) merupakan syarat sah sholat (lihat Syarh Muslim [3/8])
2. Sahabat Ibnu Umar bermaksud menasehati seorang gubernur Bashrah -saat dia terbaring
sakit- agar bertaubat dari penyimpangan yang dilakukannya dengan menyampaikan hadits
ini. Namun, hal itu bukanlah berarti bahwa doa yang dipanjatkan untuk kebaikan orang fasik
adalah doa yang tidak mungkin dikabulkan (lihat Syarh Muslim [3/8])
3. Hendaknya menjenguk orang yang sakit dan menyampaikan sesuatu yang bermanfaat bagi
kebaikan dirinya, sebagaimana teladan yang diberikan oleh Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma
4. Seorang ulama boleh menemui penguasa dalam rangka menasehatinya, dan hal itu bukanlah
perkara yang tercela atau dinilai sebagai perbuatan menjilat penguasa
5. Kasih sayang kepada sesama muslim -terlebih lagi kepada penguasa mereka- yang
diwujudkan dalam bentuk nasehat -menginginkan kebaikan- bagi mereka. Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat.” Para sahabat bertanya, “Untuk
siapa?”. Maka beliau menjawab, “Untuk -kesucian- Allah, Kitab-Nya, rasul-Nya, dan untuk
kebaikan para pemimpin kaum muslimin serta rakyatnya.” (HR. Muslim dari Tamim adDari). Di antara bentuk nasehat itu adalah sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar. Secara
fisik, beliau menjenguknya ketika menderita sakit. Adapun secara ma'nawi, maka beliau pun
menasehatinya dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sungguh, sebuah teladan
yang demikian mengagumkan...
6. Memberikan nasehat hendaknya menggunakan kata-kata yang tepat. Di antara kata-kata
yang paling baik digunakan untuk menyampaikan nasehat adalah hadits-hadits Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam
7. Hadits ini menunjukkan betapa besar pengagungan generasi salaf terhadap hadits Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan hadits itulah yang menjadi syi'ar kehidupan mereka
sehingga dengan mudahnya hadits-hadits itu terlontar dalam percakapan di antara mereka
8. Hendaknya seorang da'i memperhatikan kondisi mad'u -objek dakwah-nya. Apabila mereka
membutuhkan bantuannya -sedangkan dia mampu- maka semestinya dia mengulurkan
bantuan untuk mereka.
9. Hadits ini menunjukkan bahwa semata-mata niat baik tidak bisa menjadikan amalan yang
salah menjadi benar atau diterima. Orang yang dengan ikhlas ingin mengerjakan sholat tapi
tidak suci, maka sholatnya tidak sah seikhlas apapun niatnya. Demikian juga orang yang
bersedekah dengan ikhlas, maka sedekahnya tidak diterima jika hartanya berasal dari harta
hasil rampasan (baca: hasil korupsi) seikhlas apapun niatnya. Islam tidak mengenal kaidah
tujuan menghalalkan segala cara.
10. Boleh meminta orang lain (yang salih) untuk mendoakan kebaikan untuk kepentingan
pribadi, meskipun yang lebih utama adalah berdoa sendiri kepada Allah.
11. Apa yang diinginkan seseorang belum tentu sesuatu yang terbaik baginya.
# Sapi Bisa Berbicara?!
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Dahulu, ada seorang lelaki berjalan sembari menunggangi seekor sapi miliknya [dan
dia pun memukuli/mencambukinya]. Maka sapi itu pun menoleh kepadanya dan berkata, 'Aku
diciptakan bukan untuk diperlakukan seperti ini. Akan tetapi aku diciptakan untuk bercocok
tanam.'.” Orang-orang pun berkomentar, “Subhanallah -dengan perasaan heran dan kaget-, sapi
bisa berbicara?.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku
mengimani -meyakini kebenaran- hal itu, demikian juga Abu Bakar dan Umar.” (HR. Bukhari dan
Muslim, tambahan dalam tanda kurung dari riwayat Bukhari)
Hadits yang agung ini memberikan pelajaran-pelajaran penting, antara lain:
1. Boleh menggunakan sapi untuk keperluan bercocok tanam, seperti membajak sawah dan
semacamnya (lihat Shahih Bukhari, Kitab al-Harts wal Muzara'ah, hal. 477 cet. Maktabah
al-Iman)
2. Hadits ini menunjukkan keutamaan sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab
radhiyallahu'anhuma (lihat Shahih Bukhari, Kitab Fadha'il Ash-habin Nabiyyi shallallahu
'alaihi wa sallam, hal. 764 dan 770, Syarh Muslim [8/12])
3. Hadits ini menunjukkan wajibnya membenarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
meskipun secara sepintas terdengar aneh atau di luar jangkauan akal. Hal itu dikarenakan
beliau tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, namun sekedar menyampaikan wahyu
dari Rabbnya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara
dengan berdasarkan hawa nafsunya, akan tetapi itu adalah wahyu yang disampaikan
kepadanya.” (an-Najm: 3-4). Oleh sebab itu upaya sebagian kalangan yang tidak
bertanggung jawab untuk menimbulkan keragu-raguan di dalam hati umat Islam akan
kebenaran hadits-hadits Nabi adalah sebuah gerakan untuk meruntuhkan akidah Islam [!!],
maka waspadalah wahai saudaraku!
4. Ucapan 'subhanallah' ketika mendengar atau melihat sesuatu yang mengherankan
5. Hadits ini menunjukkan bolehnya menyebutkan nama sebagian orang yang memiliki
keutamaan di hadapan orang-orang untuk menunjukkan keutamaan mereka.
6. Hadits ini tidak bisa diartikan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak yakin dalam
menyampaikan wahyu. Ada hikmah yang tersembunyi di balik sikap beliau membawa-bawa
nama Abu Bakar dan Umar. Di antara hikmahnya -wallahu a'lam- adalah untuk
menunjukkan keutamaan mereka berdua dan kekuatan iman mereka.
7. Semestinya memakai sesuatu sesuai dengan tujuan atau maksud pembuatannya.
8. Hadits ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah ta'ala, sehingga Allah pun mampu
membuat binatang bisa berbicara. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
Allah itu Maha berkuasa atas segala sesuatu.” (al-Baqarah: 20). Jangankan binatang -yang
memiliki mulut-, sedangkan kulit saja -yang tidak punya mulut- kelak pada hari kiamat bisa
berbicara dengan kuasa Allah ta'ala!
9. Menyampaikan kisah -yang sahih- merupakan salah satu bagian dari metode dakwah Nabi,
tentu saja dengan tujuan untuk mengambil pelajaran darinya.
10. Sapi -demikian juga kerbau- adalah salah satu makhluk Allah. Oleh sebab itu manusia -yang
telah dimuliakan Allah- tidak layak menghinakan diri di hadapan binatang, apalagi berebut
mengambil kotorannya demi mendapatkan berkah [?!], na'udzu billahi min dzalik...
Memang, bukan mata yang buta, akan tetapi sesuatu yang berada di dalam dada...
11. Akal manusia tidak bisa dijadikan sebagai standar/tolok ukur kebenaran. Namun yang bisa
dijadikan standar adalah wahyu dari Allah ta'ala (al-Qur'an dan as-Sunnah)
# Sumber Kemaksiatan
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
Sumber segala bentuk kemaksiatan yang besar ataupun yang kecil ada tiga: ketergantungan hati
kepada selain Allah, memperturutkan kekuatan angkara murka, dan mengumbar kekuatan nafsu
syahwat. Wujudnya adalah syirik, kezaliman, dan perbuatan-perbuatan keji. Puncak ketergantungan
hati kepada selain Allah adalah kemusyrikan dan menyeru sesembahan lain sebagai sekutu bagi
Allah. Puncak memperturutkan kekuatan angkara murka adalah terjadinya pembunuhan. Adapun
puncak mengumbar kekuatan nafsu syahwat adalah terjadinya perzinaan.
Oleh sebab itu Allah subhanahu memadukan ketiganya dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan
orang-orang yang tidak menyeru bersama Allah sesembahan yang lain, dan tidak membunuh jiwa
yang diharamkan Allah kecuali apabila ada alasan yang benar, dan mereka juga tidak berzina.”
(al-Furqan: 68). Ketiga jenis dosa ini saling menyeret satu dengan yang lainnya. Syirik akan
menyeret kepada kezaliman dan perbuatan keji, sebagimana halnya keikhlasan dan tauhid akan
menyingkirkan kedua hal itu dari pemiliknya (ahli tauhid). Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Demikianlah, Kami palingkan darinya -Yusuf- keburukan dan perbuatan keji, sesungguhnya dia
termasuk kalangan hamba pilihan Kami (yang ikhlas).” (Yusuf: 24)
Yang dimaksud dengan 'keburukan' (as-Suu') di dalam ayat tadi adalah dimabuk cinta ('isyq),
sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan keji (al-fakhsya') adalah perzinaan. Maka demikian
pula kezaliman akan bisa menyeret kepada perbuatan syirik dan perbuatan keji. Sesungguhnya
syirik itu sendiri merupakan kezaliman yang paling zalim, sebagaimana keadilan yang paling adil
adalah tauhid. Keadilan merupakan pendamping bagi tauhid, sementara kezaliman merupakan
pendamping syirik.
Oleh sebab itulah, Allah subhanahu memadukan kedua hal itu. Adapun yang pertama -keadilan
sebagai pendamping tauhid- adalah seperti yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya),
“Allah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Allah, demikian juga bersaksi
para malaikat dan orang-orang yang berilmu, dalam rangka menegakkan keadilan.” (Ali Imran:
18). Adapun yang kedua -kezalimaan sebagai pendamping syirik- adalah seperti yang terkandung
dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya syirik merupakan kezaliman yang sungguhsungguh besar.” (Luqman: 13). Sementara itu, perbuatan keji pun bisa menyeret ke dalam
perbuatan syirik dan kezaliman. Terlebih lagi apabila keinginan untuk melakukannya sangat kuat
dan tidak bisa didapatkan selain dengan tindakan zalim serta meminta bantuan sihir dan setan.
Allah subhanahu pun telah memadukan antara zina dan syirik di dalam firman-Nya (yang artinya),
“Seorang lelaki pezina tidak akan menikah kecuali dengan perempuan pezina pula atau perempuan
musyrik. Demikian juga seorang perempuan pezina tidak akan menikah kecuali dengan lelaki
pezina atau lelaki musyrik. Dan hal itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman.” (an-Nur: 3).
Ketiga perkara ini saling menyeret satu dengan yang lainnya dan saling mengajak satu sama lain.
Oleh sebab itu, setiap kali melemah tauhid dan menguat syirik pada hati seseorang maka semakin
banyak perbuatan keji yang dilakukannya, kemudian semakin besar pula ketergantungan hatinya
kepada gambar-gambar -yang terlarang- serta semakin kuat pula kerinduan yang menggelayuti
hatinya terhadap gambar/rupa tersebut...
(diterjemahkan dari al-Fawa'id, hal. 78-79)
# Keagungan Syahadat Laa Ilaha Illallah
Pembaca rahimakumullah, syahadat laa ilaha illallah adalah cabang keimanan yang tertinggi. Dari
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu
terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa
ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu
adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [9] dan Muslim dalam
Kitab al-Iman [35], lafal ini milik Muslim)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah menegaskan
bahwa yang paling utama di antara semua cabang itu adalah tauhid; yang hukumnya wajib atas
setiap orang, dan tidaklah dianggap sah cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal
ini.” (lihat Syarh Muslim [2/88] cet. Dar Ibnul Haitsam)
Syahadat inilah yang kelak akan menyelamatkan seorang hamba di hari kiamat. Maka tidaklah
mengherankan jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sangat bersemangat untuk mendakwahi
pamannya Abu Thalib agar mau mengucapkan kalimat ini sebelum kematiannya. Sa'id bin alMusayyab meriwayatkan dari ayahnya, beliau menceritakan: Ketika kematian hendak menghampiri
Abu Thalib, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun datang kepadanya. Di sana beliau
mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin al-Mughirah telah berada di sisinya.
Kemudian beliau berkata, “Wahai pamanku. Ucapkanlah laa ilaha illallah; sebuah kalimat yang
aku akan bersaksi dengannya untuk membelamu kelak di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin
Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?”.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terus menerus menawarkan syahadat kepadanya,
sedangkan mereka berdua pun terus mengulangi ucapan itu. Sampai akhirnya ucapan terakhir Abu
Thalib kepada mereka adalah dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan
mengucapkan laa ilaha illallah... (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana'iz [1360] dan Muslim dalam
Kitab al-Iman [24])
Tentu saja yang dimaksud orang yang bersyahadat dengan sebenarnya adalah orang yang
memahami kandungannya. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mempersyaratkan ilmu pada diri orang yang mengucapkan syahadat, jika dia memang ingin masuk
ke dalam surga. Dari 'Utsman bin 'Affan radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mengetahui bahwa tidak ada
sesembahan -yang benar- selain Allah, niscaya dia akan masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim
dalam Kitab al-Iman [26])
Namun, memahami kandungan syahadat dan mengucapkannya pun belum cukup jika tidak disertai
dengan amalan nyata di dalam kehidupan. Oleh sebab itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mempersyaratkan orang yang ingin masuk surga untuk membersihkan dirinya dari syirik.
Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan
sesuatu apapun, niscaya dia masuk ke dalam neraka.” Dan aku -Ibnu Mas'ud- berkata,
“Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu
apapun, maka dia pasti akan masuk surga.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana'iz [1238] dan
Muslim dalam Kitab al-Iman [92])
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahadat dengan lisan saja
tidak cukup. Buktinya adalah kaum munafik juga mempersaksikan keesaan Allah 'azza wa jalla.
Akan tetapi mereka hanya bersaksi dengan lisan mereka. Mereka mengatakan sesuatu yang
sebenarnya tidak mereka yakini di dalam hati mereka. Oleh sebab itu ucapan itu tidak bermanfaat
bagi mereka...” (lihat Syarh al-Arba'in an-Nawawiyah, hal. 23 cet. Dar Tsurayya 1424 H).
Ini menunjukkan bahwa mengucapkan syahadat belum bisa menyelamatkan jika tidak dibarengi
dengan keyakinan dan dibuktikan dengan amalan. Meskipun demikian, bukan berarti kita boleh
sembarangan mencurigai orang. Sebab yang menjadi patokan adalah apa yang tampak secara
lahiriah. Adapun urusan batin kita serahkan kepada Allah ta'ala.
Marilah, sejenak kita simak kisah Usamah bin Zaid berikut ini...
Usamah bin Zaid radhiyallahu'anhuma menceritakan: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mengirim kami untuk bertempur melawan kaum Huraqah. Kami pun menggempur mereka dan
berhasil membuat mereka kocar-kacir. Aku bersama seorang Anshar mengikuti salah seorang
diantara mereka. Tatkala kami berhasil meringkusnya, tiba-tiba dia mengucapkan laa ilaha illallah.
Temanku dari kaum Anshar pun menahan diri, sedangkan aku terus menyerangnya dengan
tombakku hingga dia tewas. Pada saat kami pulang, kejadian itu dilaporkan kepada Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda, “Wahai Usamah! Apakah kamu
membunuhnya padahal dia telah mengucapkan laa ilaha illallah?!”. Aku menjawab, “Orang itu
hanya ingin cari selamat.” Dalam riwayat lain Usamah menjawab, “Wahai Rasulullah!
Sesungguhnya dia mengucapkan kalimat itu karena takut dari tebasan pedang.” Dalam riwayat lain
Nabi bertanya, “Apakah kamu membelah dadanya, sehingga bisa mengetahui apakah dia benarbenar mengucapkannya atau tidak?!” Dalam riwayat lain Nabi berkata, “Apa yang akan kamu
lakukan dengan laa ilaha illallah apabila kelak ia datang pada hari kiamat?!”. Nabi terus
mengulangi ucapan itu sampai-sampai aku berharap seandainya aku belum masuk Islam sebelum
hari itu (HR. Bukhari dalam Kitab al-Maghazi [4269] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [96])
Kisah ini menunjukkan kepada kita betapa agung kedudukan kalimat laa ilaha illallah. Apabila
seseorang telah mengucapkannya terjagalah darah dan hartanya, kecuali apabila dia melakukan dosa
yang sangat besar sehingga menyebabkan dirinya layak diperangi atau ditumpahkan darahnya.
Dari Abdullah bin 'Umar radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka mempersaksikan laa ilaha
illallah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Apabila
mereka melakukannya mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka, kecuali ada alasan
yang dibenarkan dalam Islam untuk mengambilnya. Adapun hisab atas mereka itu adalah urusan
Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [25] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [22])
Darah seorang muslim haram untuk ditumpahkan kecuali ada sebab yang jelas dan dibenarkan oleh
syari'at dalam menumpahkannya. Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal menumpahkan darah seorang muslim yang
bersyahadat laa ilaha illallah dan bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah kecuali dengan salah
satu diantara tiga alasan: membalas nyawa dengan nyawa, seorang yang telah menikah namun
berzina, dan orang yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jama'ah/persatuan.”
(HR. Bukhari dalam Kitab ad-Diyat [6878] dan Muslim dalam Kitab al-Qisamah wal Muharibin
wal Qishash wad Diyat [1676]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Adapun sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam 'orang
yang meninggalkan agamanya serta memisahkan diri dari jama'ah' maka itu bersifat umum
mencakup semua orang yang murtad dari Islam dengan sebab apapun kemurtadannya. Oleh sebab
itu wajib membunuhnya jika dia tidak mau kembali kepada Islam. Para ulama mengatakan: Hukum
ini juga mencakup setiap orang yang keluar dari jama'ah (persatuan umat) dengan sebab bid'ah,
pemberontakan, atau karena tindak kejahatan lain yang dia lakukan. Demikian pula termasuk
dalam hal ini adalah kaum Khawarij. Wallahu a'lam.” (Syarh Muslim [6/228])
Seorang khalifah yang lurus, Sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu'anhu telah menunjukkan
kepada kita keteladanan dan keberanian dalam memerangi orang-orang yang secara terang-terangan
menghinakan ajaran Islam dan mengingkari syari'at yang sudah baku. Tatkala sebagian orang arab
sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi murtad dan menjadi pengikut nabi
palsu -Musailamah al-Kadzdzab dan al-Aswad al-'Ansi- dan sebagian yang lain masih mengakui
kewajiban sholat akan tetapi menolak kewajiban zakat, maka bangkitlah Sahabat Nabi yang mulia
ini untuk menumpas pemberontakan mereka.
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahu'anhu menceritakan: Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam wafat kemudian Abu Bakar diangkat menjadi khalifah sesudahnya, maka sebagian orang
Arab pun kembali ke dalam kekafiran. 'Umar bin al-Khaththab berkata kepada Abu Bakar,
“Bagaimana bisa engkau memerangi orang-orang itu, padahal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam telah bersabda, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan
laa ilaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah maka terjaga harta dan
nyawanya kecuali ada alasan yang benar untuk mengambilnya. Adapun hisabnya adalah urusan
Allah.” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku pasti akan memerangi orang-orang yang
membeda-bedakan antara sholat dengan zakat, karena zakat adalah kewajiban atas harta. Demi
Allah, seandainya mereka menolak menyerahkan kepadaku seutas tali yang dahulu biasa mereka
serahkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam -di masa beliau masih hidup- niscaya
aku akan memerangi mereka karena penolakan itu.” 'Umar bin al-Khaththab berkata, “Demi Allah,
tidaklah aku melihatnya kecuali Allah 'azza wa jalla telah melapangkan dada Abu Bakar untuk
berperang. Sehingga aku pun mengetahui bahwa tindakan beliau adalah benar.” (HR. Bukhari
dalam Kitab az-Zakah [1399] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [20])
# Ya Allah, Umatku, Umatku...
Dari Abdullah bin Amr bin al-'Ash radhiyallahu'anhuma, beliau menceritakan: Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam membaca firman Allah 'azza wa jalla mengenai Ibrahim (yang artinya), “Wahai
Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah banyak menyesatkan manusia, barangsiapa yang
mengikutiku maka sesungguhnya dia adalah termasuk golonganku.” (Ibrahim: 36). 'Isa 'alaihis
salam juga berkata (yang artinya), “Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu
adalah hamba-hamba-Mu, dan apabila Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (al-Ma'idah: 118). Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya
seraya berdoa, “Ya Allah, umatku, umatku.” Dan beliaupun menangis. Allah 'azza wa jalla berkata,
“Wahai Jibril, pergi dan temuilah Muhammad -sedangkan Rabbmu tentu lebih mengetahui- lalu
tanyakan kepadanya, apa yang membuatmu menangis?”. Maka Jibril 'alaihis sholatu was salam
pun menemui beliau dan bertanya kepadanya, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
memberitakan kepadanya tentang apa yang telah diucapkannya -dan Dia (Allah) tentu lebih
mengetahuinya-. Lantas Allah berkata, “Wahai Jibril, pergi dan temuilah Muhammad, dan katakan
kepadanya, 'Sesungguhnya Kami pasti akan membuatmu ridha berkenaan dengan nasib umatmu,
dan Kami tidak akan membuatmu bersedih.'.” (HR. Muslim)
Hadits yang agung ini mengandung pelajaran berharga, di antaranya:
1. Keterangan mengenai betapa sempurna rasa kasih sayang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
terhadap umatnya dan perhatian beliau yang sangat besar terhadap kemaslahatan umatnya
(lihat Syarh Muslim [2/345])
2. Dianjurkan untuk mengangkat kedua belah tangan ketika berdoa (lihat Syarh Muslim
[2/345])
3. Kabar gembira bagi umat ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah, “Sesungguhnya
Kami pasti akan membuatmu ridha berkenaan dengan nasib umatmu, dan Kami tidak akan
membuatmu bersedih.' (lihat Syarh Muslim [2/345])
4. Keterangan mengenai keagungan posisi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di sisi Allah
ta'ala dan betapa lembut sikap Allah kepada beliau shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat
Syarh Muslim [2/345])
5. Hikmah diutusnya Jibril untuk bertanya kepada Nabi adalah demi menampakkan kemuliaan
yang ada pada diri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang mana beliau berada di sebuah
kedudukan -makhluk- yang tertinggi sehingga layak untuk dimuliakan dengan bentuk
memperoleh apa yang bisa membuatnya ridha dari Allah ta'ala (lihat Syarh Muslim [2/345])
6. Bolehnya menangis, bahkan itu mencerminkan sifat kasih sayang yang ada pada diri seorang
hamba. Selama tangisan itu muncul dari ketulusan hati, bukan karena pura-pura.
7. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa, Allah tidak membutuhkan makhluk-Nya, bahkan
para malaikat sekalipun.
8. Para Nabi 'alaihimus sholatu was salam adalah orang-orang yang sangat menaruh perhatian
terhadap nasib umatnya dan begitu menyayangi mereka, dan bukti terbesar atas hal itu
adalah dakwah yang mereka serukan agar manusia kembali ke jalan Allah ta'ala, beribadah
kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya serta taat kepada utusan-Nya
9. Semestinya seorang da'i merasa sedih dan prihatin dengan keburukan yang menimpa
masyarakatnya dan berusaha mencari jalan keluar bagi permasalahan tersebut.
10. Penetapan bahwa Allah berbicara
11. Iman terhadap keberadaan Malaikat, bahwa mereka itu ada dan bukan sekedar kiasan sebuah
kekuatan baik yang abstrak/tidak ada wujudnya
12. Hakekat kepedulian kepada umat adalah kepedulian terhadap agama mereka dan bagaimana
nasib mereka kelak di akherat. Maka orang yang paling peduli terhadap nasib umat adalah
para da'i tauhid, karena upaya mereka menyelamatkan orang dari kekalnya siksa neraka...
# Tinjauan Sekilas Seputar Doa Masuk Rumah
Imam Abu Dawud membuat bab di dalam Sunan-nya Bab Maa Yaquulur Rajulu Idza Dakhola
Baitahu. Artinya; 'Bab Bacaan Doa Apabila Seseorang Hendak Memasuki Rumahnya'. Kemudian
beliau membawakan hadits dengan sanadnya: Ibnu Auf menuturkan kepada kami. Dia berkata:
Muhammad bin Isma'il mengabarkan kepada kami. Dia berkata: Ayahku menuturkan kepadaku.
Ibnu Auf mengatakan: Aku melihat catatan asli yang ada pada Isma'il -ayahnya Muhammad-, dia
berkata: Dhamdham menuturkan kepadaku dari Syuraih, dari Abu Malik al-Asy'ari
radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang akan
masuk rumahnya -di dalam rumahnya- maka hendaklah dia membaca doa; Allahumma inni
as'aluka khairal maulaj wa khairal makhraj. Bismillahi walajnaa, wa bismillahi kharajnaa, wa
'alallahi Rabbinaa tawakkalnaa. Kemudian hendaknya dia mengucapkan salam kepada
keluarganya.” (HR. Abu Dawud [5074], lihat 'Aunul Ma'bud [13/438], lihat juga al-Mu'jam alKabir [3/336], Musnad asy-Syamiyin [2/447])
Sebagian Periwayat Yang Dibicarakan
Imam adz-Dzahabi berkata di dalam al-Muqizhah, “Pembicaraan mengenai periwayat-periwayat
[hadits] membutuhkan sikap wara'/kehati-hatian yang sempurna, terbebas dari dorongan hawa
nafsu dan terlepas dari kecondongan -kepada siapa pun-, pengetahuan yang mendalam tentang
hadits, seluk-beluk 'illah/cacat hadits, dan juga para periwayatnya.” (dinukil dari Khulashat atTa'shil li 'Ilmi al-Jarh wa at-Ta'dil karya asy-Syarif Hatim bin 'Arif al-'Auni, hal. 23)
Diantara kaidah yang bermanfaat dalam hal ini adalah, “Barangsiapa yang mengamalkan ucapan
tokoh yang mengkritik (jarih) maka bukan berarti dia menuduh/mencurigai tokoh yang memberikan
pujian/rekomendasi (tazkiyah), dan hal itu tidaklah menyebabkan kredibilitas muzakki/sang
pemberi pujian menjadi jatuh. Dan kapan saja kita tidak mengamalkan ucapan tokoh yang
mengkritik (jarih), maka hal itu merupakan bentuk pendustaan atasnya, menggugurkan
kredibilitasnya, dan menafikan ilmunya mengenai sebab-sebab yang mengharuskan celaan/jarh
maupun pujian/ta'dil. Padahal, telah diketahui kedudukan, sifat amanah, dan ilmu yang dimilikinya
berseberangan dengan hal itu.” Hal ini dikarenakan pada ucapan ulama yang memberikan
kritikan/jarh terdapat tambahan ilmu (lihat Khulashat at-Ta'shil li 'Ilmi al-Jarh, hal. 31-32)
1. Muhammad bin Isma'il
Ibnu Hajar menerangkan, “Mereka -para ulama- mengkritiknya karena dia sering menuturkan
hadits dari ayahnya padahal dia tidak mendengarnya secara langsung.” Imam Abu Hatim berkata,
“Dia -Muhammad bin Isma'il- tidak mendengar [hadits] dari ayahnya sedikitpun...” Imam Abu
Zur'ah berkata, “Dia adalah orang yang tidak tahu-menahu masalah hadits.” (lihat Taqrib atTahdzib, hal. 826, Tahdzib at-Tahdzib [3/514], al-Jami' fi al-Jarh wa at-Ta'dil [2/450])
2. Isma'il bin 'Ayasy
Adapun mengenai ayahnya yaitu Isma'il bin 'Ayasy, Ali bin al-Madini berkata, “Dia -Isma'il- bisa
dipercaya apabila meriwayatkan dari sahabat-sahabatnya sesama penduduk Syam. Adapun yang
diriwayatkannya selain dari penduduk Syam, maka terdapat kelemahan padanya.” (lihat Taqrib atTahdzib, hal. 142-143, Tadzkirat al-Huffazh [4/254-255], Tahdzib at-Tahdzib [1/162-164], Diwan
adh-Dhu'afa' wal Matrukin [1/88] karya adz-Dzahabi).
Imam al-Hakim berkata, “Beliau ini bersama dengan kemuliaan yang ada padanya, apabila
meriwayatkan hadits secara menyendiri maka tidak diterima haditsnya karena buruknya hafalan
beliau.” (Ikmal Tahdzib al-Kamal [2/198]). Imam Ahmad berkomentar, “Apabila dia -Isma'ilmenuturkan hadits dari orang-orang yang tsiqah/terpercaya maka dia bisa dipercaya.” (al-'Ilal wa
Ma'rifatur Rijal [4/97]). Yahya bin Ma'in dan al-Fallas berkata, “Dia tsiqah jika meriwayatkan
hadits dari penduduk Syam.” (Tadzkirat al-Huffazh [4/254]). Imam Bukhari berkata, “Apabila dia
menuturkan hadits dari penduduk negerinya maka itu adalah [hadits] sahih.” (Nihayat al-Ightibath
bi Man Rumiya Minar Ruwat bil Ikhtilath, hal. 59)
3. Syuraih bin 'Ubaid
Muhammad bin 'Auf al-Himshi pernah ditanya mengenai Syuraih, “Apakah dia mendengar hadits
dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam?”. Beliau menjawab, “Aku kira
tidak. Karena dia tidak pernah mengatakan dalam riwayatnya -dari mereka- dengan ungkapan
'sami'tu'; aku telah mendengar'.” (lihat al-Asami wal Kuna lil Imam Ahmad, tahqiq Abdullah bin
Yusuf al-Judai' hal. 113, lihat juga Fath al-Bab fil Kuna wal Alqab karya Ibnu Mandah, hal. 437).
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan keterangan ayahnya di dalam al-Marasil, “Beliau tidak bertemu
dengan Abu Umamah, al-Miqdam, maupun al-Harits bin al-Harits. Adapun haditsnya dari Abu
Malik al-Asy'ari adalah mursal (terputus).” Abu Umamah wafat tahun 86 H. Para Sahabat Nabi
selain Abu Umamah yang menjadi narasumber periwayatan Syuraih telah wafat sebelum itu atau
tidak lama sesudahnya (lihat Tahdzib at-Tahdzib [2/161], al-Jami' fi al-Jarh wa at-Ta'dil [1/373],
al-Asami wal Kuna lil Imam Ahmad, hal. 113).
Perbedaan Penilaian Status Hadits
1. Ulama Yang Mensahihkan
Imam as-Suyuthi menukil ucapan Ibnu Katsir. Ibnu Katsir meriwayatkan dari Imam Abu Dawud,
bahwasanya beliau mengatakan, “Hadits yang aku diamkan, maka itu adalah -hadits- hasan.” Ibnu
ash-Shalah mengatakan, “Berdasarkan keterangan ini; maka hadits-hadits yang kita jumpai di
dalam kitabnya disebutkan tanpa ada komentar, hadits itu juga tidak tercantum dalam dua kitab
shahih -Bukhari dan Muslim-, lalu tidak ada seorang pun yang menegaskan kesahihannya, maka
kita bisa menyimpulkan bahwa hadits itu termasuk hadits hasan menurut Abu Dawud.” (lihat Taisir
Mushthalah Hadits karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal. 106)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di dalam Tuhfatul Akhyar menyatakan bahwa sanadnya
hasan, sebagaimana dinukil oleh Syaikh Dr. Sa'id bin Wahf al-Qahthani hafizhahullah dalam
Hishnul Muslim (lihat Kumpulan Do'a Dari al-Qur'an dan Hadits, hal. 36).
Syaikh Abdul Qadir al-Arna'uth dan Syaikh Ibrahim al-Arna'uth di dalam tahqiq kitab al-Wabil ashShayyib karya Ibnul Qayyim menyatakan bahwa sanad hadits ini sahih (lihat al-Wabil ash-Shayyib,
hal. 183. Maktabah Darul Bayan, 1393 H)
2. Ulama Yang Melemahkan
al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Di dalam kitabnya
Nata'ij al-Afkar, beliau mengomentari hadits ini, “Ini adalah hadits gharib yang dikeluarkan oleh
Abu Dawud. Selain itu, ath-Thabrani juga meriwayatkan hadits ini dalam Musnad al-Harits bin alHarits, akan tetapi dia keliru sebab dia bukanlah yang dimaksud, wallahu a'lam.” (lihat Mausu'ah
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haditsiyah [6/98])
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sanadnya sahih. Kemudian tampaklah bagiku bahwa
hadits ini munqathi'/terputus. Dulu aku membawakannya dalam jajaran hadits yang kugunakan
sebagai penguat. Kemudian aku jelaskan hal itu dalam hadits yang lain dengan sanad ini di dalam
adh-Dha'ifah [5606]. Aku pun menyebutkan di sana bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar menilai hadits ini
gharib dan melemahkannya karena 'illat (cacat hadits) lain tetapi tidak merusak keabsahannya!..”
(lihat al-Kalim ath-Thayyib, hal. 91)
Penulis at-Tanbihat al-Malihah -buku yang mencantumkan koreksi ulang status hadits-hadits oleh
Syaikh al-Albani rahimahullah- mengatakan, “Syaikh -al-Albani maksudnya- mengatakan dalam
al-Kalim ath-Thayyib [61]: sanadnya sahih. Kemudian Syaikh rujuk dari pendapat ini dan beliau
pun menilai lemah hadits ini sehingga beliau menghapusnya dari Shahih al-Kalim ath-Thayyib
(cetakan ke-8).” (lihat at-Tanbihat al-Malihah 'ala Maa Taraaja'a 'anhu al-'Allamah al-Muhaddits
al-Albani minal Ahadits adh-Dha'ifah au ash-Shahihah, hal. 75 penyusun Abdul Basith bin Yusuf
al-Gharib. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Koreksi Ulang
Syaikh Albani, lihat hadits ini di dalam buku tersebut hal. 119-120).
Syaikh al-Albani rahmatullah 'alaih pun menempatkan hadits ini ke dalam deretan hadits lemah
dalam Dha'if Sunan Abi Dawud [1091] sebagaimana dinukil dalam Mausu'ah al-Ahadits wal Atsar
adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah (lihat Mausu'ah al-Ahadits wal Atsar adh-Dha'ifah wal Maudhu'ah
[1/582] yang disusun Syaikh Ali Hasan al-Halabi, Dr. Ibrahim al-Qaisi, dan Dr. Hamdi Muhammad
Murad hafizhahumullah).
3. Pendapat Yang Lebih Kuat
Dengan memperhatikan kedua pendapat ulama di atas beserta keterangan para ulama jarh wa ta'dil
mengenai kondisi para periwayat hadits ini teranglah bagi kita bahwa pendapat yang lebih kuat wallahu a'lam- adalah pendapat ulama yang melemahkan hadits ini. Dengan alasan sebagai berikut:
1. Adanya keterputusan sanad antara Syuraih bin 'Ubaid dengan Abu Malik al-Asy'ari
radhiyallahu'anhu, sebagaimana ditegaskan oleh Imam Abu Hatim. Dan ini menunjukkan
bahwa hadits ini tidak memenuhi kriteria hadits shahih. Ini artinya, diantara Syuraih dengan
Abu Malik terdapat periwayat lain yang tidak dikenal. Bisa jadi orang tersebut adalah
periwayat yang tidak tsiqah. Padahal, yang menjadi pertimbangan utama periwayatan adalah
tsiqah dan keyakinan. Dan tidak ada hujjah pada sesuatu yang majhul/tidak dikenal (lihat alBa'its al-Hatsits dengan ta'liq Syaikh al-Albani, hal. 155).
2. Hadits ini bukan termasuk kategori hadits mursal yang berasal dari kibar tabi'in yang
menurut sebagian ulama hadits semacam itu bisa diterima atau dijadikan hujjah. Hal itu
disebabkan Syuraih bin 'Ubaid bukanlah termasuk kalangan kibar tabi'in. Sebagaimana telah
dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwa beliau berada pada thabaqah ke-3. Dan thabaqah ke-3 itu
adalah thabaqah tabi'in menengah (lihat at-Taqrib, hal. 81). Kalau demikian lantas
bagaimana kita bisa menerimanya? Imam Syafi'i rahimahullah berkata, “Adapun haditshadits mursal dari selain kibar tabi'in, maka aku tidak mengetahui ada seorang ulama pun
yang menerimanya.” (lihat al-Ba'its al-Hatsits dengan ta'liq Syaikh al-Albani, hal. 158, lihat
pula Dhawabith al-Jarh wa at-Ta'dil 'inda al-Hafizh adz-Dzahabi [1/585]).
3. Jika ada orang yang beralasan dengan perkataan sebagian ulama bahwa hadits ini hasan atau
shahih, jawabannya adalah: Bagaimana bisa dikatakan derajatnya hasan -apalagi shahihsementara di dalamnya terdapat sanad yang terputus? Bukankah salah satu syarat hadits
hasan -demikian juga hadits shahih- adalah bersambungnya sanad?! (lihat Taisir
Mushthalah Hadits karya Syaikh Ibnu 'Utsaimin, hal. 15, 17, 21). Kecuali apabila yang
dimaksudkan adalah hasan lighairihi; yaitu hadits dha'if yang naik ke derajat hasan karena
banyaknya jalan periwayatan, dan kelemahannya bukan disebabkan kefasikan atau
kedustaan si periwayat (lihat Taisir Mushthalah Hadits karya Dr. Mahmud Thahan, hal. 39).
Maka kita katakan bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan bahwa hadits ini
adalah hadits yang gharib. Ini artinya jalan periwayatannya hanya ada satu. Karena hadits
ini hanya diriwayatkan melalui jalur Muhammad bin Isma'il dari Isma'il dari Dhamdham bin
Zur'ah dari Syuraih bin 'Ubaid dari Abu Malik al-Asy'ari radhiyallahu'anhu.
4. Apabila mereka berpatokan dengan diamnya Imam Abu Dawud yang menandakan bahwa
hadits ini bisa dijadikan hujjah. Maka jawabannya: Ibnu Hajar berkata, “Pendapat yang
benar adalah hendaknya tidak bersandar semata-mata kepada sikap diam beliau. Sebab
sebagaimana sudah kami jelaskan bahwa beliau terkadang berhujjah dengan hadits-hadits
yang lemah...” (lihat an-Nukat 'ala Ibni ash-Shalah [1/443])
Doa Masuk Rumah Yang Shahih
Dari Jabir bin 'Abdillah; bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila seseorang hendak memasuki rumahnya lalu dia berdzikir kepada Allah ketika
hendak memasukinya dan sebelum menikmati makanannya, maka Setan berkata -kepada temantemannya, pen-, 'Tidak ada tempat tidur dan makan malam untuk kalian'. Apabila dia masuk
(rumah) dengan tidak berdzikir kepada Allah ketika memasukinya, maka Setan berkata, 'Kalian
mendapatkan tempat menginap'. Dan apabila dia juga tidak berdzikir kepada Allah ketika
menikmati makanannya, maka Setan berkata, 'Kalian mendapatkan tempat menginap dan makan
malam'.” (HR. Muslim [2018], lihat Syarh Muslim lil Imam an-Nawawi [7/108-109], lihat juga Aun
al-Ma'bud [10/239], Shahih al-Adab al-Mufrad karya Syaikh al-Albani hal. 424)
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat anjuran untuk berdzikir
kepada Allah ta'ala ketika masuk rumah dan hendak menyantap makanan.” (lihat Syarh Muslim
[7/109]). Dr. Musa Syahain berkata, “Yang dimaksud dengan berdzikir kepada Allah adalah
tasmiyah/membaca bismillah.” (lihat Fathul Mun'im Syarh Shahih Muslim [8/198]).
Penafsiran ini didukung oleh riwayat hadits ini dalam Shahih Muslim dari jalur yang lain, “Dan
apabila dia tidak menyebut nama Allah ketika makan dan tidak menyebut nama Allah ketika masuk
[rumah]...” (lihat Syarh Muslim [7/109]).
Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud berdzikir ketika masuk rumah adalah dengan
mengucapkan salam. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin
al-Badr hafizhahullah di dalam kitabnya adz-Dzikr wa ad-Du'a Fi Dhau'i al-Kitab wa as-Sunnah
(hal. 19-20). Di dalamnya beliau membuat bab dengan judul Adzkar Dukhul al-Manzil (bacaan
dzikir masuk rumah). Kemudian beliau membawakan ayat (yang artinya), “Apabila kalian masuk
ke dalam rumah maka ucapkanlah salam untuk diri kalian sebagai penghormatan dari sisi Allah,
yang diberkahi dan penuh kebaikan.” (an-Nuur: 61).
Setelah itu, beliau membawakan 2 buah hadits; hadits riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah
radhiyallahu'anhu -sudah disebutkan di atas- dan hadits riwayat Tirmidzi dari Anas bin Malik
radhiyallahu'anhu berikut ini. Dari Anas radhiyallahu'anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anakku, apabila kamu hendak masuk menemui keluargamu,
maka ucapkanlah salam, mudah-mudahan menjadi berkah atasmu dan segenap penghuni
rumahmu.” (HR. Tirmidzi [2698]) (Hadits ini dinyatakan hasan dengan penguatnya oleh Syaikh
Abdul Qadir al-Arna'uth dan Ibrahim al-Arna'uth, lihat al-Wabil ash-Shayyib, hal. 183)
# Allah Pun Tertawa Karenanya
Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, aku mengetahui orang yang paling terakhir keluar dari neraka dan orang yang paling
terakhir masuk surga. Dia adalah seorang lelaki yang keluar dari neraka sembari merangkak.
Allah tabaraka wa ta'ala berkata kepadanya, 'Pergilah kamu, masuklah ke dalam surga.' Kemudian
diapun mendatanginya dan dikhayalkan padanya bahwa surga itu telah penuh. Lalu dia kembali
dan berkata, 'Wahai Rabbku, aku dapati surga telah penuh.' Allah tabaraka wa ta'ala berfirman
kepadanya, 'Pergilah, masuklah kamu ke surga.'.” Nabi berkata, “Kemudian diapun mendatanginya
dan dikhayalkan padanya bahwa surga itu telah penuh. Lalu dia kembali dan berkata, 'Wahai
Rabbku, aku dapati surga telah penuh.' Allah tabaraka wa ta'ala berfirman kepadanya, 'Pergilah,
masuklah kamu ke surga. Sesungguhnya kamu akan mendapatkan kenikmatan semisal dunia dan
sepuluh lagi yang sepertinya' atau 'Kamu akan memperoleh sepuluh kali kenikmatan dunia'.” Nabi
berkata, “Orang itu pun berkata, 'Apakah Engkau hendak mengejekku, ataukah Engkau hendak
menertawakan diriku, sedangkan Engkau adalah Sang Raja?'.” Ibnu Mas'ud berkata, “Sungguh,
ketika itu aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi
taringnya.” Periwayat berkata, “Maka orang-orang pun menyebut bahwa dialah sang penghuni
surga yang paling rendah kedudukannya.” Dalam riwayat lain disebutkan: Maka Ibnu Mas'ud pun
tertawa, lalu berkata, “Apakah kalian tidak bertanya kepadaku mengapa aku tertawa?”. Mereka
menjawab, “Mengapa engkau tertawa?”. Beliau menjawab, “Demikian itulah tertawanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. -Ketika itu- mereka -para sahabat- bertanya, 'Mengapa
anda tertawa wahai Rasulullah?'. 'Disebabkan tertawanya Rabbul 'alamin tatkala orang itu
berkata, 'Apakah Engkau mengejekku, sedangkan Engkau adalah Rabbul 'alamin?'. Lalu Allah
berfirman, 'Aku tidak sedang mengejekmu. Akan tetapi Aku Maha kuasa melakukan segala sesuatu
yang Kukehendaki.'.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang agung ini memberikan pelajaran, di antaranya:
1. Beriman terhadap keberadaan surga dan neraka. Surga merupakan tempat tinggal bagi
orang-orang yang beriman, sedangkan neraka merupakan tempat tinggal orang-orang yang
kufur kepada Rabbnya
2. Iman kepada hari akhir serta pembalasan amal manusia kelak di akherat
3. Iman kepada perkara gaib
4. Iman bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah benar-benar utusan
Allah yang berbicara berlandaskan wahyu dari-Nya, bukan menyampaikan dongeng atau
cerita yang beliau karang sendiri
5. Dorongan untuk beramal salih agar termasuk penduduk surga, dan peringatan dari
kemaksiatan yang dapat menyeret pelakunya ke dalam jurang neraka
6. Boleh tertawa, dan hal itu bukanlah perkara yang dibenci dalam sebagian kondisi dan
kesempatan. Hal itu juga tidak menyebabkan jatuhnya muru'ah/kehormatan selama tidak
sampai melampaui batas kewajaran (lihat Syarh Muslim [2/315])
7. Boleh menirukan tertawanya orang lain dengan tujuan menggambarkan keadaan sosok yang
patut diteladani sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Mas'ud menirukan tertawanya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (lihat Fath al-Bari [11/503])
8. Pada hari kiamat kelak, Allah berbicara kepada hamba-hamba-Nya (lihat Shahih al-Bukhari,
Kitab at-Tauhid, hal. 1490-1491)
9. Allah Maha kuasa atas segala sesuatu
10. Allah adalah Sang Raja (al-Malik) yang menguasai jagad raya
11. Allah adalah Rabb (pemelihara dan pengatur) alam semesta
12. Allah Maha berkehendak
13. Allah pun bisa tertawa, namun tertawanya Allah tidak sebagaimana makhluk. Allah ta'ala
berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (asy-Syura: 11). Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata, “Para salaf telah bersepakat menetapkan 'tertawa' ada pada diri Allah. Oleh sebab
itu wajib menetapkannya (menerimanya, pent) tanpa menyelewengkan maknanya, tanpa
menolaknya, tanpa membagaimanakan sifatnya, dan tidak menyerupakannya. Itu
merupakan tertawa yang hakiki yang sesuai dengan -keagungan- Allah ta'ala.” (lihat Syarh
Lum'at al-I'tiqad, hal. 61)
14. Kenikmatan yang ada di Surga jauh berlipat ganda daripada kenikmatan di alam dunia (lihat
Shahih Bukhari, Kitab ar-Riqaq, hal. 1329). Oleh sebab itu tidak selayaknya kenikmatan
yang sedemikian besar 'dijual' demi mendapatkan kesenangan dunia yang sedikit dan
sementara saja, bahkan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan akherat
15. Khayalan atau perasaan tidak bisa dijadikan sebagai pegangan, tetapi yang dijadikan
pegangan adalah wahyu/dalil atau perkataan orang yang benar-benar mengetahui/berilmu
16. Wajib mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya
17. Luasnya rahmat Allah ta'ala, tatkala orang yang paling terakhir keluar dari neraka pun
masih merasakan kenikmatan surga yang sepuluh kali lipat dari kenikmatan dunia
18. Orang mukmin yang dihukum di neraka karena dosa besarnya maka suatu saat akhirnya
diapun akan dikeluarkan darinya dan masuk ke dalam surga. Sehingga ini merupakan
bantahan bagi Khawarij yang beranggapan bahwa pelaku dosa besar kekal di dalam neraka
(lihat Syarh Muslim [2/323])
19. Ada sebagian orang beriman yang 'mampir' dulu ke neraka sebelum dimasukkan ke dalam
surga, tentu saja hal itu bukan karena kezaliman Allah namun karena dosa besar yang
mereka lakukan
20. Peringatan atas bahaya dosa-dosa besar bagi pelakunya di akherat kelak -apabila dia belum
bertaubat darinya-, karena pelakunya termasuk golongan orang yang diancam dengan siksa
neraka, wal 'iyadzu billah
21. Tidak boleh bersikap meremehkan dosa-dosa besar
22. Orang yang benar-benar memahami keutamaan tauhid bukanlah orang yang menganggap
sepele dosa-dosa besar. Oleh sebab itu Ibnu Mas'ud pernah berkata, “Seorang mukmin
melihat dosa-dosanya seolah-olah dia sedang duduk di bawah bukit yang dia khawatir akan
runtuh menimpa dirinya. Adapun orang fajir melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang
lewat di atas hidungnya kemudian cukup dia usir dengan cara seperti ini -yaitu dengan
menggerakkan tangannya semata-.” (lihat Fath al-Bari [11/118])
23. Hadits ini juga menunjukkan keadilan Allah ta'ala dimana Allah memberikan hukuman
kepada orang-orang yang berbuat dosa besar kelak di akherat sesuai dengan kehendak-Nya,
meskipun bisa saja Allah berkehendak untuk mengampuninya (untuk sebagian hamba-Nya)
24. Hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang lebih dulu masuk surga
25. Anjuran untuk berlomba-lomba dalam beramal supaya bisa menjadi golongan orang yang
terdahulu masuk surga
26. Orang yang masuk surga itu bertingkat-tingkat dalam hal keutamaan diri dan balasan yang
mereka dapatkan
27. Hadits ini menunjukkan keutamaan tauhid, karena tidaklah orang masuk surga kecuali
karena tauhid yang dilaksanakannya ketika di dunia
28. Hadits ini juga menunjukkan bahaya syirik dan kekafiran, karena tidaklah seorang kekal di
dalam neraka melainkan karena dosa syirik besar dan kekafiran
# Bangunlah, Wahai Abu Turab!
Dari Sahl bin Sa'd radhiyallahu'anhu, dia berkata: Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam datang ke rumah Fathimah -putri beliau- radhiyallahu'anha namun beliau tidak menemukan
Ali -suami Fathimah- ada di rumah. Maka beliau berkata, “Dimana putra pamanmu?”. Fathimah
menjawab, “Ada sesuatu antara aku dengannya sehingga dia pun memarahiku lalu dia keluar
rumah dan tidak tidur siang di sisiku.” Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lantas mengatakan
kepada seseorang, “Lihatlah, dimana dia berada.” Kemudian orang itu kembali dan melaporkan,
“Wahai Rasulullah, dia berada di masjid, sedang tidur.” Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam mendatanginya dalam keadaan sedang berbaring sementara kain selendangnya lepas dari
bahunya -sehingga tampaklah bahunya- dan terkena terpaan debu/tanah (turab, bhs arab).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mulai mengusap debu dari tubuhnya seraya berkata,
“Bangunlah wahai Abu Turab, bangunlah wahai Abu Turab.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits yang agung ini menyimpan mutiara hikmah, antara lain:
1. Bolehnya menyebut Ibnu al-Ab (putra paman, saudara sepupu) kepada kerabat ayah. Karena
Ali bin Abi Thalib adalah putra dari paman Nabi -yaitu Abu Thalib- dan bukan putra dari
paman Fathimah (lihat Fath al-Bari [1/627])
2. Arahan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam -sebagai seorang bapak- kepada Fathimah putrinya- agar berbicara dengan suaminya menggunakan sebutan itu. Karena di dalam
sebutan tersebut terdapat unsur kelemahlembutan dan jalinan kedekatan yang timbul karena
ikatan tali kekerabatan. Seolah-olah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memahami apa yang
ketika itu tengah terjadi di antara putrinya dengan sang suami -yaitu Ali bin Abi Thalib-.
Dengan ungkapan itu beliau ingin agar putrinya bersikap lembut (tidak bersikap cuek/masa
bodoh) terhadap suaminya (lihat Fath al-Bari [1/627])
3. Tidur siang merupakan kebiasaan para salaf. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sahl bin
Sa'd radhiyalahu'anhu, “Dahulu kami sering tidur siang -sebelum waktu zuhur- dan baru
menikmati santap siang setelah sholat Jum'at.” (HR. Bukhari). Adapun hadits riwayat atThabrani yang bunyinya, “Tidurlah siang, karena sesungguhnya syaitan tidak tidur siang.”
maka al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Di dalam sanadnya terdapat Katsir bin Marwan,
sedangkan dia ini matruk/haditsnya ditinggalkan.” (lihat Fath al-Bari [11/79]). Yang
dimaksud dengan 'qoilulah' (tidur siang) adalah tidur di pertengahan hari (lihat Syarh
Muslim [8/34]). al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Qailulah adalah tidur di tengah siang, yaitu
ketika matahari tergelincir ke barat, dan beberapa saat sebelum atau sesudahnya.” (Fath
al-Bari [11/79]).
4. Boleh tidur siang di masjid, meskipun orang tersebut memiliki kamar tidur di rumahnya dan
meskipun hal itu -tidur di sana- bukan merupakan suatu keperluan yang mendesak baginya
(lihat Fath al-Bari [1/627] dan [11/79-80]).
5. Hadits ini juga dijadikan dalil yang menunjukkan bolehnya kaum lelaki tidur di masjid meskipun di malam hari-, sebagaimana diungkapkan oleh al-Bukhari dan an-Nawawi (lihat
Syarh Muslim [8/34] dan Fath al-Bari [1/626]. Hal itu -bolehnya sering tidur di masjid-
berlaku terutama bagi orang yang belum punya tempat tinggal yang menetap, sebagaimana
yang dikisahkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu'anhuma, bahwa beliau bersama dengan
seorang pemuda lajang yang belum berkeluarga biasa tidur di masjid Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam (lihat Fath al-Bari [1/627])
6. Hendaknya mengatasi kemarahan yang timbul -seperti yang sering terjadi dalam rumah
tangga, antara suami dengan istri- dengan cara yang tidak membangkitkan kemarahan pula,
dan semestinya berusaha menempuh cara agar kemarahan tersebut menjadi reda dan suasana
menjadi cair (lihat Fath al-Bari [1/627])
7. Boleh memberi nama kun-yah (panggilan dengan Abu atau Ummu) kepada seseorang ataupun untuk diri sendiri- bukan dengan menggunakan nama anaknya, sebagaimana halnya
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu yang disebut oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dengan Abu Turab/bapaknya tanah (lihat Fath al-Bari [1/627])
8. Boleh memberi tambahan nama kun-yah kepada orang yang sudah memiliki nama kun-yah.
Hadits ini juga menunjukkan bolehnya menjuluki seseorang (memberikan laqab/gelar)
dengan memakai nama kun-yah terhadap orang yang tidak marah akibat julukan itu (lihat
Fath al-Bari [1/627-628])
9. Seorang ayah boleh masuk rumah putrinya tanpa harus ijin terlebih dulu kepada suaminya
selama dia mengetahui bahwa hal itu diridhai olehnya, artinya suami dari putrinya tidak
akan mempermasalahkan hal itu (lihat Fath al-Bari [1/628])
10. Tidak mengapa/tidak terlarang -bagi lelaki- menampakkan kedua bahu dalam keadaan
terbuka (tidak tertutup kain/baju) di luar kondisi mengerjakan sholat (lihat Fath al-Bari
[1/628]). Walaupun tentu saja yang lebih utama adalah menutupnya -karena itu lebih indah-,
apalagi jika berada di tempat umum yang dilihat orang banyak -lelaki ataupun perempuansehingga akan menyebabkan rasa risih bagi orang yang melihatnya, Allahu a'lam.
11. Problematika dalam hidup berumah tangga adalah masalah yang biasa terjadi kepada siapa
saja. Namun, yang menjadi catatan adalah bagaimana cara menyelesaikan persoalan tersebut
dengan baik dan tidak menimbulkan mafsadat atau kekacauan yang lebih besar. Oleh sebab
itu dibutuhkan kesabaran dan sikap saling pengertian di antara komponen rumah tangga.
12. Kebiasaan suami ketika menemui masalah dengan istrinya adalah keluar/pergi
meninggalkan rumahnya. Dalam hal ini, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu memberikan
contoh yang baik dimana beliau tidak pergi ke tempat yang bukan-bukan, akan tetapi beliau
pergi ke masjid dan memilih beristirahat di sana. Dan hal ini sekaligus menunjukkan betapa
kuat keterikatan hati beliau dengan masjid dan ketergantungan hatinya kepada Allah ta'ala.
13. Hadits ini menunjukkan besarnya perhatian seorang ayah kepada putrinya meskipun di saat
putrinya sudah berumah tangga. Dan demikianlah yang dicontohkan oleh Nabi kita
shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana beliau ikut memperhatikan keadaan rumah tangga
putrinya dan sangat menginginkan keharmonisan rumah tangga yang mereka bina.
14. Perintah untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa. Dan hal ini berlaku
secara umum bagi siapa saja, termasuk di dalamnya dalam rumah tangga, antara suami
dengan istri, bahkan antara orang tua dengan anak serta menantunya. Inilah bukti
kesempurnaan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
15. Kecintaan dan pengagungan kepada Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada
diri para sahabat adalah sesuatu yang patut diteladani dan wajib dimiliki oleh setiap
mukmin. Sebagaimana halnya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu'anhu yang sangat menyukai
sebutan 'Abu Turab' -yang secara makna notabene terkesan tidak mengandung pujiandikarenakan orang yang memberikannya adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
sendiri. Sahl bin Sa'd radhiyallahu'anhu berkata, “Tidak ada nama yang lebih dicintai oleh
Ali selain -panggilan- Abu Turab, dan sungguh beliau merasa senang jika dipanggil dengan
nama itu.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [8/34]). Ya Allah, karuniakanlah kepada hati
kami kecintaan terhadap Sunnah, dan kebencian terhadap Bid'ah ...
16. Boleh meminta tolong seseorang untuk mencarikan orang lain, dan hal ini tidaklah
mengurangi tawakal. Demikian juga diperbolehkan meminta bantuan kepada orang lain -jika
diperlukan- dalam perkara-perkara kebaikan, karena hal itu termasuk dalam cakupan
perintah saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, dengan syarat tetap
menggantungkan hati semata-mata kepada Allah, bukan kepada orang atau sebab/perantara
yang dipakai. Allahu a'lam.
# Umat Yang Jujur
Di dalam Shahih-nya, Imam Muslim rahimahullah membawakan hadits-hadits yang menganjurkan
kejujuran kepada umat Islam. Bahkan, kejujuran menjadi ciri kesempurnaan iman seseorang. Oleh
sebab itu hadits-hadits tersebut dibawakan oleh Imam Muslim di dalam pembahasan (kitab) Iman.
Berikut ini, salah satu hadits yang beliau bawakan -beserta sanadnya- semoga bisa menjadi
pelajaran berharga bagi kita semua. Imam Muslim berkata:
Yahya bin Ayyub, Qutaibah, dan Ibnu Hujr -mereka semua- menuturkan hadits kepadaku dari
Isma'il bin Ja'far. Ibnu Ayyub berkata: Isma'il menuturkan kepada kami. [dia berkata] al-'Alaa'
mengabarkan kepadaku dari bapaknya. Dari Abu Hurairah -radhiyallahu'anhu-: [Suatu saat]
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melewati sebuah tumpukan makanan -yang dijualkemudian beliau memasukkan tangannya ke dalamnya. Ternyata jari-jari beliau menemukan ada
makanan yang basah. Beliau bersabda, “Apa gerangan ini wahai penjual makanan?”. Dia
menjawab, “Ia terkena hujan ya Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa kamu tidak menaruhnya
di atas tumpukan makanan itu sehingga orang-orang [konsumen] bisa melihatnya? Barangsiapa
yang menipu maka dia bukan termasuk golonganku.” (Syarh Nawawi [2/178])
Ghisyy atau menipu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan sikap menasehati dan
keinginan baik kepada orang lain. Orang yang membersihkan ucapannya dari dusta dan penipuan
diserupakan dengan orang yang membersihkan madu dari kotoran yang mencampurinya (lihat
Syarh Nawawi [2/116], ad-Dibaj 'ala Shahih al-Muslim [1/73] karya Imam as-Suyuthi).
Seorang pedagang muslim hendaknya secara jujur menerangkan kondisi barang dagangannya dan
tidak menyembunyikan cacat barang tersebut dari konsumen. Perdagangan yang dibangun di atas
sikap jujur semacam inilah yang akan mendapat keberkahan dari Allah. Inilah keindahan ajaran
Islam. Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Penjual dan pembeli memiliki hak memilih (khiyar) selama mereka berdua belum
berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan mau menerangkan -apa adanya- niscaya jualbeli mereka berdua akan diberkahi. Akan tetapi apabila mereka berdua berdusta/menipu dan
menyembunyikan [cacat barangnya], maka akan dicabut keberkahan jual-beli mereka berdua.”
(HR. Bukhari dan Muslim, lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 117-118 karya Syaikh as-Sa'di)
Oleh sebab itu alangkah bijaknya para pedagang yang berusaha meneliti dan mengawasi keadaan
barang dagangannya. Apabila ternyata barang dagangannya itu sudah kadaluarsa (expired),
hendaklah dia menarik barang tersebut. Bukan justru mengobral barang tersebut -meskipun dengan
harga murah- kepada konsumen. Apalagi, jika barang tersebut hendak disalurkan bagi para korban
bencana [?!]. Dimanakah kejujuran itu..., wahai para pedagang?
Tegakah kalian, jika barang/makanan yang sudah kadaluarsa dibeli dan dikonsumsi oleh anak-istri
kalian, kemudian mereka teracuni olehnya?
Kejujuran. Tidak hanya dibutuhkan oleh pedagang. Kejujuran itu dibutuhkan oleh setiap orang yang
menginginkan kebaikan diri dan agamanya. Seorang da'i, penuntut ilmu, pengajar, guru, penulis,
teman, karyawan, pemimpin, pejabat, ibu rumah tangga, bahkan seorang tukang becak sekalipun.
Umat Islam adalah umat yang menjunjung tinggi kejujuran. Tidak sebagaimana kaum Syi'ah yang
menjadikan taqiyyah (penipuan) sebagai bagian dari agama mereka!! Allahul musta'aan...
# Nikmat Memandang Wajah Allah
Dari Shuhaib radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
penduduk surga telah masuk surga.” Nabi berkata, “Maka Allah tabaraka wa ta'ala berfirman,
'Apakah kalian menginginkan sesuatu tambahan dari-Ku?'. Mereka menjawab, 'Bukankah Engkau
telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga
dan menyelamatkan kami dari neraka?'.” Nabi berkata, “Maka Allah pun menyingkapkan hijab yang menutupi wajah-Nya-. Dan tidaklah ada kenikmatan yang diberikan kepada mereka yang
lebih mereka sukai daripada memandang Rabb mereka 'azza wa jalla.” (HR. Muslim)
Hadits yang mulia ini memberikan pelajaran, di antaranya:
1. Wajib mengimani adanya surga dan kenikmatan yang ada di dalamnya serta mengimani
adanya neraka dan kesengsaraan yang ada di dalamnya
2. Surga negeri yang penuh dengan kenikmatan, sedangkan Neraka negeri kesengsaraan
3. Penetapan bahwa Allah berkata-kata
4. Kenikmatan paling agung adalah memandang wajah Allah ta'ala. Allah ta'ala berfirman
(yang artinya), “Ketika hari itu wajah-wajah berseri, mereka memandang kepada Rabb
mereka.” (al-Qiyamah: 22-23). Abu Shalih meriwayatkan dari Ibnu Abbas
radhiyallahu'anhuma, beliau menafsirkan ayat ini, “Yaitu melihat wajah Rabb mereka 'azza
wa jalla.” (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 190). Allah ta'ala juga berfirman (yang
artinya), “Bagi mereka -penduduk surga- apa saja yang mereka inginkan di dalamnya -di
surga- dan di sisi Kami masih ada tambahan -nikmat-.” (Qaaf: 35). ath-Thabari
meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik radhiyallahu'anhuma, mereka
mengatakan, “Maksudnya -tambahan nikmat- adalah memandang wajah Allah 'azza wa
jalla.” (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 190). Inilah yang dipahami oleh para
sahabat, di antaranya: Abu Bakar, Hudzaifah, dan Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu'anhum,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah (lihat Syarh
Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 191). Maka senikmat-nikmat apapun pemandangan di dunia,
maka melihat wajah Allah di akherat kelak jauh lebih nikmat di atas segala-galanya, semoga
Allah menganugerahkan nikmat itu kepada kita...
5. Orang-orang beriman akan merasakan kenikmatan memandang wajah Allah di akherat
kelak. Hadits-hadits yang menunjukkan bahwa orang-orang beriman akan melihat Allah di
akherat adalah hadits-hadits yang mutawatir. Ada sekitar tiga puluh orang sahabat yang
meriwayatkan hal ini (lihat Syarh Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 193-194).
6. Mengimani adanya hari kebangkitan setelah kematian
7. Mengimani perkara gaib sebagaimana diberitakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
8. Mengimani adanya pembalasan amal
9. Targhib (motivasi) agar orang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta tarhib (ancaman) agar
orang-orang tidak durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena orang yang taat akan masuk
surga, sedangkan orang yang durhaka akan masuk neraka.
10. Di surga manusia memiliki rasa cinta (mahabbah)
11. Kenikmatan di surga itu bertingkat-tingkat
12. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan wahyu dari Allah, maka kita wajib
membenarkannya dan tidak boleh mendustakan atau meragukannya
13. Semestinya manusia itu berpikir ke depan, bagaimanakah nasibnya kelak di akherat. Apakah
dia ingin termasuk penghuni neraka atau penduduk surga? Sehingga dia akan memanfaatkan
waktunya di dunia ini sebaik-baiknya demi menggapai kebahagiaan yang sebenarnya
14. Kenikmatan dunia ini tidak ada apa-apanya apabila dibandingkan dengan akherat
15. Bodoh sekali orang yang menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia yang fana
# Mewaspadai Benih-Benih Pemberontakan
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan :
Memberontak kepada penguasa bukan terbatas pada pemberontakan dengan senjata saja. Akan
tetapi pemberontakan itu bisa dengan senjata dan bisa dengan lisan. Bahkan seorang lelaki yang
mengatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Berbuat adillah” (HR. Bukhari dan
Muslim) ini juga disebut sebagai pemberontak (khawarij). Hal itu disebabkan dia mengingkari
hukum/ketetapan rasul dan mengingkari hukum itu dengan terang-terangan. Padahal sebenarnya dia
dusta dalam hal itu, karena Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling adil.
Sumber : Syarh Shahih Muslim, 1/77-78
Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan :
Bid'ah pertama yang muncul dalam Islam adalah fitnah Khawarij, permulaan munculnya mereka
adalah karena dorongan dunia (materi), yaitu ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membagibagikan harta rampasan perang Hunain. Seolah-olah mereka menilai -dengan akal mereka yang
rusak- bahwa beliau tidak adil dalam pembagian. Maka mereka pun mengagetkan beliau dengan
ucapan ini, ketika itu 'juru bicara' mereka yang bernama Dzul Khuwaishirah mengatakan kepada
nabi, “Berbuat adillah, sesungguhnya kamu tidak berbuat adil”
Sumber : al-Qishshah al-Kamilah li Khawariji 'Ashrina, hal. 443
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata :
Termasuk bentuk nasihat kepada penguasa adalah menyampaikan nasihat kepadanya secara
langsung antara anda dengannya (tidak di muka publik, pent). Tidak boleh anda berdiri di atas
mimbar atau berbicara melalui kaset seraya menyebutkan aib-aib penguasa, atau menceritakan
kesalahan-kesalahan pemerintah, hal ini termasuk bentuk pemberontakan kepada mereka dan
mengobarkan permusuhan kepada mereka.
Semestinya bila anda menjumpai suatu kesalahan dan bisa menasihatinya melalui lisan secara
langsung, atau dengan surat, atau dengan memberikan wasiat/pesan melalui orang yang bisa
berhubungan langsung dengannya maka wajib atasmu untuk melakukannya. Adapun anda
menyebutkan aib dan kesalahan mereka di dalam pertemuan-pertemuan bersama orang-orang, di
dalam acara seminar dan ceramah (orasi), dsb (unjuk rasa, demonstrasi, dst - pent) maka hal ini
termasuk kemungkaran yang paling besar dan tindakan culas kepada pemerintah muslim, bahkan
termasuk mengumbar aib sesama, dan hal itu akan menjadi sebab terjadinya pemberontakan kepada
pemerintah kaum muslimin, merusak 'tongkat ketaatan' (kesetiaan rakyat), memecah-belah kalimat
kaum muslimin, dan tidak akan membuahkan manfaat apa-apa.
Sumber : an-Nashihah wa Atsaruha 'ala Wahdatil Kalimah, hal. 22
# Karakter Pengikut Manhaj Salaf
Para pengikut manhaj salaf memandang semestinya nasihat untuk pemerintah diberikan secara
rahasia. Mereka juga memandang tidak bolehnya membuat perpecahan di tengah kaum muslimin
dengan mengobral aib dan keburukan penguasa atau menyebarluaskannya dan menebarkan rasa
kebencian antara pemimpin dengan rakyatnya. Oleh sebab itu para pembela manhaj salaf
memandang diharamkannya aksi-aksi demonstrasi dan unjuk rasa.
Hal ini didasari oleh sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang ingin
memberikan nasihat kepada penguasa janganlah dia tampakkan hal itu secara terbuka. Akan tetapi
hendaklah dia ambil tangannya lalu menyendiri dengannya. Apabila dia menerima nasihat maka
itulah yang diharapkan. Dan apabila dia menolaknya maka sungguh dia telah menunaikan
kewajiban dirinya terhadap penguasa itu.” (HR. Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah dan athThabrani dalam Musnad asy-Syamiyin) (lihat Khasha-ish al-Manhaj as-Salafi, hal. 16 oleh Syaikh
Prof. Dr. Abdul Aziz bin Abdullah al-Halil hafizhahullah)
Seorang ulama besar masa kini, Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menegaskan bahwasanya
membicarakan aib penguasa atau mengkritik mereka di hadapan publik termasuk perbuatan ghibah
dan namimah/adu-domba; sedangkan kedua hal ini termasuk perkara yang paling diharamkan
setelah syirik. Terlebih-lebih lagi yang dibicarakan aibnya adalah ulama atau penguasa, maka
dosanya lebih berat disebabkan banyaknya kerusakan yang ditimbulkan olehnya, diantaranya adalah
terjadinya perpecahan, prasangka buruk kepada penguasa, dan membangkitkan rasa putus asa pada
diri rakyatnya (lihat al-Ajwibah al-Mufidah 'an As'ilatil Manahij al-Jadidah, hal. 109)
Janganlah kita menyepelekan nasihat para ulama! Karena dalam situasi fitnah, kalimat dan ucapan
bisa lebih ganas daripada tebasan pedang dan senjata. Ucapan yang membangkitkan amarah para
pengunjuk rasa kepada penguasa, disertai pekikan takbir dan teriakan-teriakan yang
mengatasnamakan al-Qur'an dan keadilan. Bukankah hal serupa telah dilakukan kaum Khawarij
pada awal-awal sejarah Islam sehingga mereka pun mengkafirkan para sahabat dan juga membunuh
seorang khalifah yang mulia Utsman bin 'Affan radhiyallahu'anhu?!
Imam al-Khallal meriwayatkan dalam as-Sunnah, bahwa ketika sebagian orang mengajak Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah memberontak kepada penguasa ketika itu yang memaksakan
akidah sesat bahwa al-Qur'an itu makhluk, Ahmad bin Muhammad ash-Sha'igh menceritakan : Aku
berkata, “Bukankah manusia sekarang ini sedang dilanda fitnah, wahai Abu Abdillah?” maksudnya fitnah/kesesatan dari penguasa tersebut, pent-. Imam Ahmad menjawab, “Ya, meskipun
demikian hal itu adalah fitnah yang khusus. Namun jika pedang sudah terhunus maka fitnah itu
justru semakin meluas dan membara sehingga terputuslah semua jalan. Bersabar dalam kondisi ini
dengan tetap menjaga keselamatan agamamu itu jauh lebih baik bagimu.” Oleh karena itu beliau Imam Ahmad- mengingkari aksi pemberontakan melawan penguasa. Beliau berkata, “Pertumpahan
darah, aku tidak sependapat dengannya dan aku tidak akan memerintahkan hal itu.” (lihat alManhaj as-Salafi 'inda Syaikh al-Albani, hal. 242)
Lihatlah kedalaman ilmu dan fikih ulama besar pembela Sunnah sekelas Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah. Beliau tidak mau mengajak pengikutnya untuk memberontak dan melawan penguasa
dengan senjata ataupun sekedar dengan kalimatnya. Beliau tidak menganjurkan pemberontakan
karena pada akhirnya hal itu akan menumpahkan darah kaum muslimin. Sebuah fitnah besar yang
akan merusak segalanya. Padahal Imam Ahmad pula yang memberikan fatwa tegas tentang kafirnya
keyakinan al-Qur'an sebagai makhluk. Adakah orang yang mau memahami dan meneladani
kebijaksanaan seorang imam diantara imam-imam Ahlus Sunnah ini?!
# Keutamaan Doa dan Dzikir
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada
suatu perkara yang lebih mulia bagi Allah ta'ala daripada doa.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan
oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3370)
Dari an-Nu'man bin Basyir radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Doa
adalah hakikat dari ibadah.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Sunan
Tirmidzi no. 3372)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah maka Allah akan murka kepadanya.” (HR.
Tirmidzi, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3373)
Dari Abdullah bin Busr radhiyallahu'anhu, bahwa ada seorang lelaki yang berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya syari'at Islam telah banyak pada diriku. Oleh sebab itu ajarkanlah
kepadaku sesuatu yang bisa mengokohkanku.” Beliau bersabda, “Hendaknya lisanmu terus-menrus
basah karena dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih
Sunan Tirmidzi no. 3375)
Dari Abud Darda' radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Maukah
kukabarkan kepada kalian tentang suatu amalan kalian yang terbaik dan paling suci di sisi
Penguasa kalian (Allah) dan yang paling bisa mengangkat derajat kalian, bahkan lebih baik bagi
kalian dari berinfak dengan emas dan perak dan lebih baik daripada ketika kalian bertemu dengan
musuh kalian sehingga kalian memenggal leher mereka atau mereka memenggal leher kalian?!”
mereka menjawab, “Tentu saja mau.” Beliau bersabda, “Yaitu berdzikir kepada Allah ta'ala.” (HR.
Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3377)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
suatu kaum duduk dalam sebuah majelis sementara mereka tidak mengingat Allah di dalamnya dan
juga tidak bersalawat kepada nabi mereka kecuali hal itu akan mendatangkan penyesalan bagi
mereka. Apabila Allah berkehendak niscaya Allah akan mengazab mereka, dan apabila Allah
berkehendak maka Allah akan mengampuni mereka.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh alAlbani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3380)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang ingin dikabulkan doanya ketika dalam keadaan sempit dan susah hendaklah
dia memperbanyak doa ketika dalam keadaan lapang.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh alAlbani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3382)
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Seutama-utama dzikir adalah laa ilaha illallah, dan seutama-utama doa adalah alhamdulillah.”
(HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3383)
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah seorang hamba membaca pada waktu pagi atau sore di setiap harinya bacaan
'bismillahilladzi laa yadhurru ma'asmihi syai'un fil ardhi wa laa fis samaa' wa huwas samii'ul
'aliim' sebanyak tiga kali melainkan dia akan terlindung dari bahaya apapun.” (HR. Tirmidzi,
dinyatakan hasan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3388)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam sering sekali berdoa dengan membaca 'Yaa Muqollibal quluub, tsabbit qolbii 'alaa diinik'
artinya, “Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
Kemudian ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, apakah anda mengkhawatirkan keadaan
kami, sementara kami telah beriman kepadamu dan membenarkan ajaran yang anda bawa?!”
beliau menjawab, “Sesungguhnya hati-hati itu berada diantara jari-jemari ar-Rahman 'azz wa
jalla; Dia lah yang akan membolak-balikkannya.” (HR. Ibnu Majah, dinyatakan sahih oleh alAlbani dalam Sahih Sunan Ibni Majah no. 3107)
Dari Jabir radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Mintalah kepada
Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat.”
(HR. Ibnu Majah, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Ibni Majah no. 3114)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Demi
Allah, sungguh aku benar-benar memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya
dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari no. 5861)
Dari Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu'anhu beliau berkata : Kebiasaan Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam apabila hendak berbaring menuju tempat tidurnya maka beliau membaca doa 'bismika
ahyaa wa amuut' yang artinya, “Dengan menyebut nama-Mu aku hidup dan mati.” Dan apabila
bangun tidur beliau membaca 'alhamdulillaahilladzi ahyaanaa ba'da maa amaatana wa ilaihin
nusyuur' yang artinya, “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan
kami, dan kepada-Nya lah dibangkitkan.” (HR. Bukhari no. 5866)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu, beliau berkata : Kebiasaan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam apabila hendak masuk kamar kecil atau buang air maka beliau membaca doa 'Allahumma
inni a'uudzu bika minal khubutsi wal khobaa'its' artinya, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari
setan lelaki dan setan perempuan.” (HR. Bukhari no. 5876)
Dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu'anhu, beliau berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, “Ajarkan kepadaku sebuah doa untuk aku baca di dalam sholatku.” Beliau pun bersabda,
“Ucapkanlah 'Allahumma inni zhalamtu nafsii zhulman katsiiraa wa laa yaghfirudz dzunuuba illa
anta faghfir lii maghfiratan min 'indik war-hamnii, innaka antal ghofuurur rohiim' yang artinya,
“Ya Allah sesungguhnya aku telah menzalimi diriku dengan banyak kezaliman dan tiada yang bisa
mengampuni dosa-dosa selain Engkau, oleh sebab itu ampunilah aku dengan ampunan dari sisi-Mu
dan rahmatilah aku, sesungguhnya Engkau lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(HR. Bukhari no. 5880)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah berkata : Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan
senantiasa bersama-Nya selama dia berdoa kepada-Ku.” (HR. Muslim no. 2675)
Dari 'Aisyah radhiyallahu'anha, adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa membaca
doa 'Allahuma inni a'uudzu bika min syarri maa 'amiltu wa min syarri maa lam a'mal' yang artinya,
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari keburukan amalan yang aku perbuat dan dari keburukan
apa-apa yang tidak aku perbuat.” (HR. Muslim no. 2716)
Dari Abu Dzar radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya kalimat yang paling Allah cintai adalah 'subhanallahi wa bihamdih' yang artinya,
“Maha Suci Allah dan dengan senantiasa memuji-Nya.”.” (HR. Muslim no. 2731)
@ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK
Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737
atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro
Konfirmasi Donasi via SMS :
Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah
Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000
Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa)
Informasi : www.al-mubarok.com
# Doa Untuk Kebaikan Anda
Doa adalah senjata seorang beriman. Bahkan doa merupakan bentuk ibadah yang paling utama.
Berdoa kepada Allah menunjukkan kebutuhan hamba kepada-Nya. Betapa fakir dan miskinnya
hamba itu di hadapan Rabbnya. Allah Maha Kaya sedangkan manusia senantiasa butuh kepada-Nya
di setiap jengkal bagian hidup mereka.
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, alangkah sombongnya kita tatkala kita tidak mau berdoa
kepada Allah. Demikianlah cap yang diberikan bagi orang yang enggan berdoa dan memohon
kepada-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian berkata; Berdoalah kepada-Ku
niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah
kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60)
Mengapa anda tidak mau berdoa kepada Allah sementara seluruh kerajaan langit dan bumi adalah
milik-Nya? Mengapa anda malas berdoa dan memohon kepada Allah sedangkan setiap ubun-ubun
manusia berada di dalam kekuasaan tangan-Nya? Mengapa kita lalai berdoa kepada Allah
sementara hati anak Adam berada diantara jari-jemari-Nya? Mengapakah anda merasa bahwa doa
itu justru menjadi beban dan hal yang mengganggu dalam hidup dan aktifitas anda?
Tidakkah kita lihat bagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam -manusia terbaik di atas
muka bumi ini- menjadi orang yang paling sering berdoa dan bermunajat kepada Rabbnya. Bahkan
bukan sembarang doa, sebab beliau berdoa kepada Allah memohon ampunan bisa sampai seratus
kali dalam sehari atau bahkan lebih dari itu. Tidakkah kita tersentuh dan berfikir mengapa orang
semulia beliau masih terus saja berdoa padahal surga telah dijamin untuknya? Padahal ampunan
Allah pasti beliau peroleh? Bukankah hal itu mencerminkan bahwa semakin tinggi iman dan takwa
seorang hamba maka semakin besar pula ketergantungan hatinya kepada Allah.
Saudaraku -semoga Allah berikan taufik kepadaku dan kepadamu- kebutuhan kita kepada doa dan
ibadah kepada Allah sama seperti kebutuhan kita kepada Allah. Sebagaimana kita tidak bisa lepas
dari bantuan dan pertolongan Allah sedetik pun. Maka begitu pula kita tidak bisa melepaskan diri
dari berbagai kesulitan dan marabahaya kecuali dengan perlindungan dari-Nya. Sehingga sejauh
itulah besarnya kebutuhan kita untuk senantiasa berdoa dan beribadah kepada-Nya.
Namun, satu hal yang perlu kita ingat bahwa doa adalah ibadah, dan ibadah tidaklah diterima
apabila tercampuri dengan syirik dan kekafiran. Oleh sebab itu Allah berfirman (yang artinya),
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian berdoa/menyeru
bersama dengan Allah siapa pun juga.” (al-Jin : 18)
Memang mengabulkan doa adalah bagian dari hak rububiyah Allah. Karena Allah satu-satunya
pencipta, penguasa dan pemelihara alam semesta maka Allah pula yang bisa mengabulkan
permintaan hamba-hamba-Nya. Makhluk sejahat Iblis pun pernah Allah kabulkan doanya ketika dia
memohon kepada Allah untuk ditangguhkan kematiannya hingga kiamat tiba. Meskipun demikian
hal itu tidaklah mencerminkan kecintaan Allah kepada Iblis dan bala tentaranya. Sebab kekafiran
dan kesombongan Iblis telah membuatnya menolak perintah Allah. Dan Allah sama sekali tidak
meridhai kekafiran pada diri hamba-hamba-Nya. Hal itu menunjukkan bahwa kekafiran kepada
Allah merupakan sebab kehinaan dan kesengsaraan.
Pada masa-masa yang penuh dengan kekacauan dan kesimpang-siuran, kita sangat butuh kepada
pertolongan dan bantuan serta hidayah dari Allah. Bukankah setiap hari kita berdoa kepada Allah di
dalam sholat kita memohon hidayah jalan lurus minimal tujuh belas kali setiap harinya? Hal ini
menjadi pertanda bahwa betapa besar kebutuhan hidayah itu dalam kehidupan manusia. Tanpa
hidayah manusia akan terjebak dalam kegelapan demi kegelapan. Hidup dalam kebatilan, maksiat
dan penyimpangan. Di sinilah pentingnya hidayah dari Allah bagi diri kita dan segala aktifitas yang
kita kerjakan. Siapakah anda sehingga anda bisa merasa cukup dan tidak butuh pertolongan dan
petunjuk-Nya? Siapakah anda sehingga merasa besar dan hebat di hadapan kekuasaan Allah?
Siapakah anda sehingga berani membusungkan dada seolah berkata di hadapan para malaikat, 'Aku
tidak butuh bantuan Allah...'?!! Wahai, orang yang malang siapakah anda?
Berdoalah kepada Allah... Mintalah kepada-Nya petunjuk! Mintalah kepada-Nya bimbingan!
Mohonlah bantuan dan perlindungan... Dia lah Rabb penguasa langit dan bumi. Dia lah Rabb yang
menciptakan anda dan orang-orang sebelum anda. Dia lah Rabb yang mencurahkan rezeki, yang
memberikan nikmat tak terhingga kepada segenap makhluk-Nya. Tak satu pun makhluk di alam ini
yang keluar dari takdir dan kekuasaan-Nya. Tak satu pun manusia di muka bumi ini yang luput dari
pengawasan dan ketetapan-Nya. Tak satu pun hamba yang bisa lari dari hukuman dan azab-Nya jika
Allah berkehendak untuk menimpakan hal itu kepada mereka. Kepada siapa anda hendak
berlindung dan memohon pertolongan? Kepada siapa anda hendak mencari keselamatan? Wahai
manusia... kita semuanya sangat fakir dan butuh di hadapan Allah....
Katakanlah; siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Siapakah yang
menciptakan pendengaran dan penglihatan kalian? Siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup? Siapakah yang mengatur segala urusan?
Bahkan orang-orang kafir dahulu pun menjawab, “Allah.”
Akan tetapi tatkala pengakuan mereka kepada Allah itu tidak disertai dengan tauhid kepada-Nya
maka sia-sia belaka. Amal mereka hapus dan sirna. Amal mereka tertolak di hadapan Rabbnya.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu Kami
jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai
orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam
kehidupan dunia sementara mereka mengira telah berbuat dengan sebaik-baiknya.” (al-Kahfi :
103-104). Aduhai persangkaan atau klaim semata tidaklah cukup...
Sebab kecintaan dan penghambaan kepada Allah tidak dianggap benar oleh Allah kecuali apabila
dibuktikan dengan mengikuti ajaran Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman (yang
artinya), “Katakanlah; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku niscaya Allah akan
mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali 'Imran : 31)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di
tangan-Nya. Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku diantara umat ini; apakah dia
Yahudi atau Nasrani lalu meninggal dalam keadaan tidak beriman dengan ajaranku melainkan dia
pasti akan termasuk penghuni neraka.” (HR. Muslim). Benar, surga dan neraka bukan milik saya
atau anda. Surga dan neraka milik Allah. Allah yang menciptakannya. Dan Allah yang berhak
memasukkan orang ke dalamnya. Oleh sebab itu Allah telah membuat aturan bahwa surga tidak bisa
dimasuki kecuali oleh orang yang beriman. Sementara neraka Allah siapkan bagi orang-orang yang
kafir dan mempersekutukan-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa
yang mempersekutukan Allah maka benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat
tinggalnya adalah neraka...” (al-Maa-idah : 72).
Kini pilihan ada di tangan anda...
# Penghapus Dosa
Salah satu keutamaan tauhid yang sangat dibutuhkan oleh setiap insan adalah bahwa tauhid
merupakan sebab utama datangnya ampunan dari Allah. Hal ini telah ditunjukkan oleh Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di dalam Kitab Tauhid ketika membawakan sebuah
hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu'anhu. Anas berkata : Aku mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai anak Adam,
seandainya kamu datang kepadaku dengan dosa sepenuh bumi kemudian kamu berjumpa denganKu dalam keadaan tidak mempersekutukan dengan-Ku sesuatu apapun pasti Aku akan
mendatangkan kepadamu ampunan sepenuh itu pula.”.” (HR. Tirmidzi dan beliau menilai hadits ini
berderajat hasan). Di dalam hadits qudsi ini Allah memberitakan kepada kita bahwa barangsiapa
yang meninggal dalam keadaan memurnikan tauhidnya kepada Allah serta meninggalkan segala
macam syirik niscaya Allah akan memberikan ampunan kepadanya meskipun dosanya sepenuh
bumi atau hampir sepenuh bumi (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 43)
Meninggal dalam keadaan bersih dari segala bentuk perbuatan syirik -apakah itu syirik besar atau
kecil, banyak atau sedikit- adalah sebuah syarat yang tidak ringan. Tidak ada yang bisa terbebas dari
syirik kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah (lihat ad-Durr an-Nadhidh, hal. 33)
Hadits yang agung ini menunjukkan betapa luasnya kemurahan dan kedermawanan Allah serta
banyaknya pahala tauhid dan bahwa ia merupakan sebab terhapusnya dosa-dosa. Dan yang
dimaksud tauhid di sini adalah tauhid yang murni sehingga tidak terkotori oleh syirik sedikit pun
(lihat Hasyiyah Kitab at-Tauhid, hal. 35)
Di dalam hadits ini juga terkandung pelajaran yang sangat penting yaitu menjadi dalil yang
membantah pemahaman Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar yang berada di bawah
tingkatan syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 33)
Hadits ini menunjukkan bahwa kalimat laa ilaha illallah tidak cukup diucapkan dengan lisan. Akan
tetapi ia harus diyakini dengan hati dan melakukan konsekuensinya yaitu meninggalkan berbagai
bentuk syirik sedikit ataupun banyak. Sementara tidak akan bisa selamat dari syirik kecuali orangorang yang benar-benar merealisasikan tauhidnya dan memenuhi syarat-syarat kalimat tauhid yaitu;
mengetahui maksudnya, meyakininya, jujur dalam mengucapkannya, ikhlas, mencintai isinya,
menerima dan patuh padanya dan mewujudkan hal-hal lain yang menjadi konsekuensi atasnya (lihat
Qurratu 'Uyun al-Muwahhidin, hal. 22)
Dari sinilah kita bisa mengetahui letak penting belajar tauhid. Karena tauhid adalah sebab utama
untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa. Dan ini juga berarti bahwa tauhid adalah syarat utama
untuk bisa masuk ke dalam surga. Namun, bukan berarti bahwa orang yang bertauhid boleh
meremehkan dosa. Sebab dosa-dosa itu merupakan saluran-saluran yang akan mengantarkan
manusia pada kekafiran dan kerusakan iman.
Dengan demikian semakin orang memahami tauhid tentunya ia akan semakin mengagungkan Allah
dan semakin takut akan hukuman-Nya. Ia akan menganggap dosa sebagai perkara besar yang bisa
mencelakakan dirinya. Adapun orang yang meremehkan dosa maka itu menunjukkan bahwa tauhid
di dalam dirinya masih lemah. Oleh sebab itu kita dapati manusia terbaik panutan kita shallallahu
'alaihi wa sallam adalah orang yang paling sering beristighfar kepada Allah karena beliau
menganggap bahwa sekecil apapun kesalahan maka itu akan merusak penghambaannya kepada
Allah subhanahu wa ta'ala.
# Diantara Jari Jemari Allah
Imam Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Syahr bin Hausyab, dia berkata : Aku berkata
kepada Ummu Salamah, “Wahai Ibunda kaum beriman, apakah doa yang paling banyak dibaca
oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika berada di sisimu?” maka beliau menjawab,
“Doa yang paling sering beliau baca adalah 'Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbii 'ala diinik' yang
artinya 'Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu'.” Ummu
Salamah mengatakan : Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, betapa seringnya anda berdoa dengan
membaca 'Yaa muqollibal quluub, tsabbit qolbii 'ala diinik'?! Maka beliau pun menjawab, “Wahai
Ummu Salamah, tidaklah ada seorang anak Adam melainkan hatinya berada diantara dua jari dari
jari-jemari Allah. Siapa saja yang Allah kehendaki akan Allah luruskan, dan siapa yang Allah
kehendaki maka Allah akan simpangkan.” Mu'adz -seorang periwayat- pun membaca ayat (yang
artinya), “Wahai Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau berikan
petunjuk kepada kami.” Hadits ini disahihkan al-Albani (lihat Sahih Sunan Tirmidzi, 3/447)
Di dalam hadits yang agung ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan kepada kita
betapa pentingnya memperhatikan keadaan hati. Sebab baiknya hati akan membuahkan baiknya
ucapan dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, rusaknya hati akan membuahkan
kerusakan pada ucapan dan perilaku. Oleh sebab itu setiap muslim butuh kepada pertolongan Allah
agar meluruskan dan meneguhkan hatinya di atas kebenaran. Sebab tanpa bantuan dari Allah tidak
akan mungkin hatinya bisa tegak di atas Islam dan Sunnah. Di dalam hadits ini juga terkandung
pelajaran bahwasanya doa memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan seorang hamba.
Bahkan doa itulah wujud penghambaan kepada Allah. Doa ada dua macam; doa berisi pujian dan
sanjungan atau biasa disebut dengan doa ibadah atau doa tsanaa', yang kedua adalah doa berisi
permintaan atau permohonan yang biasa disebut dengan istilah doa mas'alah. Doa yang disebutkan
dalam hadits ini termasuk doa mas'alah. Adapun doa berupa pujian misalnya adalah 'alhamdulillah',
inilah yang disebut dengan doa tsanaa'.
Dianjurkan untuk sering membaca doa ini 'Yaa muqollibal quluub tsabbit qolbii 'ala diinik'
sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Doa ini bisa dibaca
ketika waktu-waktu terkabulnya doa misalnya diantara adzan dan iqomah, atau ketika sebelum
salam ketika sholat, atau ketika sujud, atau ketika di sepertiga malam terakhir, atau bisa juga dibaca
di rumah ketika sedang bersama keluarga yaitu istri dan anak-anak. Tidak dipungkiri bahwasanya
keberadaan istri, anak-anak dan harta menjadi fitnah/cobaan bagi hati manusia. Betapa banyak
orang yang hanyut dalam penyimpangan karena fitnah-fitnah ini. Oleh sebab itu sudah selayaknya
kita juga berlindung kepada Allah dari segala macam fitnah yang menyesatkan, baik yang tampak
maupun yang tersembunyi. Seperti doa yang dibaca oleh para sahabat 'Na'uudzu billahhi minal
fitan, maa zhahara minhaa wa maa bathan' yang artinya, “Kami berlindung kepada Allah dari
fitnah-fitnah; yang tampak maupun yang tersembunyi.” (HR. Muslim)
Seorang hamba hendaknya menggantungkan hatinya kepada Allah semata. Karena Allah lah yang
mampu membolak-balikkan hati dan mengarahkannya menuju kebaikan atau penyimpangan.
Apabila manusia cenderung kepada kebatilan maka Allah pun menyesatkan hati mereka menuju
keburukan. Sebaliknya, jika mereka cenderung mengabdi kepada Allah dan tunduk kepada-Nya
niscaya Allah akan berikan petunjuk dan bimbingan kepada mereka menuju jalan-Nya. Hal ini juga
menunjukkan kepada kita betapa besar nikmat hidayah bagi seorang hamba. Inilah nikmat paling
agung yang akan mengantarkan pemiliknya menuju surga. Dari hadits ini kita juga bisa mengambil
faidah bahwasanya menjadi kewajiban bagi seorang kepala rumah tangga untuk memberikan
teladan kebaikan kepada keluarganya dan menjelaskan kepada mereka hal-hal yang mendatangkan
kebaikan bagi dunia dan akhirat mereka.
# Penarikan Kesimpulan Yang Mengagumkan
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam sebuah video ceramahnya yang
membahas urgensi dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah memberikan
sebuah contoh pelajaran dakwah yang sangat agung.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa di dalam Kitab Tauhid-nya, Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab rahimahullah membawakan sebuah bab khusus yang membahas tentang keutamaan
dakwah tauhid. Salah satu keutamaan dakwah tauhid itu adalah bahwa ia merupakan jalan hidup
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Dalilnya adalah firman Allah (yang
artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang nyata.
Inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku...” (Yusuf : 108)
Dari ayat tersebut, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menarik sebuah
kesimpulan berharga, bahwasanya seorang yang berdakwah hendaklah ikhlas di dalam dakwahnya;
karena banyak orang yang berdakwah sebenarnya mengajak manusia kepada dirinya sendiri, bukan
kepada agama Allah. Ini adalah sebuah pelajaran tauhid yang sangat berharga untuk kita...
Dakwah tauhid adalah mengajak manusia untuk beribadah kepada Allah semata dan meninggalkan
sesembahan selain-Nya. Tentu ibadah yang agung ini yaitu dakwah tidak akan diterima oleh Allah
apabila pelakunya tidak ikhlas karena-Nya. Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku adalah Dzat
yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya
mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku, Aku akan tinggalkan dia bersama
syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Bagaimana bisa seorang yang mengajak kepada tauhid dan keikhlasan justru menjadi orang yang
mencampuri niatnya dalam beramal dan berdakwah demi mencari kepentingan-kepentingan
duniawi yang semu dan sementara?! Ikhlas dalam berdakwah adalah perkara yang membutuhkan
latihan dan perjuangan. Sebab hawa nafsu manusia cenderung cinta kepada sanjungan, haus pujian,
dan lapar terhadap popularitas. Berbeda dengan tabiat orang yang ikhlas yang selalu berusaha untuk
menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebisa mungkin.
Lihatlah apa yang dilakukan para ulama hadits kita terdahulu dan yang sekarang... Mereka adalah
orang-orang yang berjasa besar kepada umat manusia. Seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama
salaf, “Para malaikat adalah penjaga langit, sedangkan ahli hadits adalah penjaga bumi.” Para
ulama hadits mengisi hembusan nafasnya dengan kalimat-kalimat dan petunjuk Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam. Mereka nukilkan kepada generasi sesudahnya hadits-hadits tanpa memelintir
makna dan maksudnya menurut hawa nafsu mereka. Oleh sebab itu karya para ulama hadits penuh
dengan berkah di sepanjang masa. Bukan karena mereka menjunjung tinggi akal, perasaan dan
pendapat-pendapatnya; akan tetapi karena mereka meriwayatkan sabda-sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam kepada umatnya. Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Imam Nawawi dengan
Hadits Arba'in-nya, dengan Riyadhush Shalihin-nya, dan para ulama-ulama sebelum beliau seperti
Imam Bukhari dengan kitab Sahih-nya dan Imam Muslim dengan Sahih-nya pula...
Lihatlah pula apa yang dilakukan oleh para ulama hadits ketika menyampaikan hadits dalam
majelis-majelis mereka. Sebagian mereka mengatakan, bahwa terkadang sebuah hadits itu
membutuhkan berkali-kali pelurusan niat. Sebab terkadang niat itu berubah-ubah. Bahkan mereka
dengan rendah hati menuturkan, “Dahulu kami menimba ilmu bukan murni karena Allah. Akan
tetapi ilmu enggan kecuali menyeret kami agar selalu ikhlas karena Allah.”
Sudah menjadi kewajiban setiap muslim untuk mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah. Maka
bagaimana lagi seorang yang menisbahkan diri sebagai juru dakwah...
# Memahami Makna Ibadah
Salah satu perkara yang sudah jelas dan tetap di dalam agama ini adalah bahwa tujuan penciptaan
jin dan manusia ini adalah dalam rangka beribadah kepada Allah. Untuk itulah Allah mengutus para
rasul dan menurunkan kitab-kitab.
Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan. Apabila disertakan dengannya
puncak kecintaan maka jadilah ia ibadah secara syari'at. Oleh sebab itu para ulama menerangkan
bahwa ibadah dalam pengertian agama adalah puncak perendahan diri yang disertai dengan puncak
kecintaan. Dengan bahasa lain, ibadah adalah ketundukan kepada Allah dengan penuh rasa cinta
dan pengagungan kepada-Nya. Ibadah itu tercermin dalam bentuk pelaksanaan perintah dan
meninggalkan larangan-larangan. Dan apabila dilihat dari materi ibadah itu sendiri maka ia meliputi
semua perkara yang dicintai dan diridhai oleh Allah berupa ucapan dan perbuatan. Ibadah juga bisa
muncul di dalam hati, atau di lisan, atau dengan anggota badan.
Selain itu perlu pula diketahui bahwasanya ibadah tidaklah dinamakan sebagai ibadah yang benar
kecuali apabila disertai dengan tauhid. Oleh sebab itu dikatakan oleh sebagian ulama salaf bahwa
semua perintah untuk beribadah kepada Allah di dalam al-Qur'an maka maknanya adalah perintah
untuk mentauhidkan-Nya. Tanpa tauhid ibadah itu akan sia-sia. Seperti yang Allah gambarkan
dalam ayat (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan lalu Kami jadikan
ia bagaikan debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)
Dengan demikian segala bentuk amal salih pun tidak akan bernilai apabila tidak disertai dengan
tauhid. Oleh sebab itu Allah memerintahkan (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan
perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan
dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110)
Ibadah lisan dan anggota badan pun tidak akan berarti apabila tidak dilandasi dengan keikhlasan
niat. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal-amal itu akan dinilai
dengan niatnya. Dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan
sekutu. Barangsiapa mengerjakan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku
dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Sementara amal tidaklah dikatakan salih kecuali apabila sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu
'alaihi wa sallam. Oleh sebab itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami pasti tertolak.” (HR. Muslim)
Para ulama kita mengatakan bahwa prinsip dalam beribadah itu ada dua; yaitu kita tidak beribadah
kecuali kepada Allah, dan kita tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan mengikuti
tuntunan/sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila seorang menujukan ibadahnya
kepada Allah dan juga kepada selain-Nya maka dia terjatuh dalam syirik. Dan apabila seorang
melakukan amal ibadah yang menyelisihi tuntunan maka dia terjatuh dalam bid'ah. Baik syirik
ataupun bid'ah adalah penyebab amal tertolak dan sia-sia, bahkan pelakunya berdosa. Untuk bisa
mengetahui perbedaan antara tauhid dengan syirik, sunnah dengan bid'ah maka setiap muslim harus
menimba ilmu agama. Sehingga ilmu adalah pondasi bagi ibadah. Orang yang beribadah kepada
Allah tanpa ilmu akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.
# Mengakui Kebodohan
Ibnul Qayyim rahimahullah menuturkan :
Beruntunglah orang yang bersikap inshof/objektif kepada Rabbnya. Sehingga dia mengakui
kebodohan yang meliputi ilmu yang dia miliki. Dia pun mengakui berbagai penyakit yang
berjangkit di dalam amal perbuatannya. Dia juga mengakui akan begitu banyak aib pada dirinya
sendiri. Dia juga mengakui bahwa dirinya banyak berbuat teledor dalam menunaikan hak Allah. Dia
pun mengakui betapa banyak kezaliman yang dia lakukan dalam bermuamalah kepada-Nya.
Apabila Allah memberikan hukuman kepadanya karena dosa-dosanya maka dia melihat hal itu
sebagai bukti keadilan-Nya. Namun apabila Allah tidak menjatuhkan hukuman kepadanya dia
melihat bahwa hal itu murni karena keutamaan/karunia Allah kepadanya. Apabila dia berbuat
kebaikan, dia melihat bahwa kebaikan itu merupakan anugerah dan sedekah/kebaikan yang
diberikan oleh Allah kepadanya.
Apabila Allah menerima amalnya, maka hal itu adalah sedekah kedua baginya. Namun apabila
ternyata Allah menolak amalnya itu, maka dia sadar bahwa sesungguhnya amal semacam itu
memang tidak pantas dipersembahkan kepada-Nya.
Dan apabila dia melakukan suatu keburukan, dia melihat bahwa sebenarnya hal itu terjadi
disebabkan Allah membiarkan dia dan tidak memberikan taufik kepadanya. Allah menahan
penjagaan dirinya. Dan itu semuanya merupakan bentuk keadilan Allah kepada dirinya. Sehingga
dia melihat bahwa itu semuanya membuatnya semakin merasa fakir/butuh kepada Rabbnya dan
betapa zalimnya dirinya. Apabila Allah mengampuni kesalahan-kesalahannya hal itu semata-mata
karena kebaikan, kemurahan, dan kedermawanan Allah kepadanya.
Intisari dan rahasia dari perkara ini adalah dia tidak memandang Rabbnya kecuali selalu melakukan
kebaikan sementara dia tidak melihat dirinya sendiri melainkan orang yang penuh dengan
keburukan, sering bertindak berlebihan, atau bermalas-malasan. Dengan begitu dia melihat
bahwasanya segala hal yang membuatnya gembira bersumber dari karunia Rabbnya kepada dirinya
dan kebaikan yang dicurahkan Allah kepadanya. Adapun segala sesuatu yang membuatnya sedih
bersumber dari dosa-dosanya sendiri dan bentuk keadilan Allah kepadanya.
[lihat al-Fawa'id, hal. 36]
Keterangan :
Di dalam kalimat-kalimat di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah ingin menjelaskan kepada kita
bagaimanakah sikap yang benar dalam mengabdi kepada Allah. Seorang hamba siapa pun dia tidak
bisa mengelak bahwa dirinya sangat butuh kepada Allah. Setiap insan adalah ciptaan Allah.
Sebelumnya dia tidak ada kemudian Allah menciptakan dirinya sehingga ada. Dengan demikian
setiap hamba harus menghadirkan di dalam hatinya perasaan butuh sepenuhnya kepada Allah.
Seperti yang kita ucapkan di dalam sayyidul istighfar, '...Khalaqtani wa ana 'abduka...' artinya,
“Engkau lah yang telah menciptakan aku sedangkan aku ini adalah hamba-Mu.”
Kesadaran penuh bahwa kita adalah hamba ciptaan Allah. Kita wajib bersyukur kepada Allah atas
segala nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Kita wajib mengakui segala macam bentuk nikmat
yang Allah curahkan kepada kita bahwa itu memang datang dari-Nya. Seorang hamba tidak bisa
lepas dari bantuan Allah sekecil apapun kebaikan yang ingin dia kerjakan dan sekecil apapun
bahaya yang ingin dia hindari. Dengan keyakinan semacam itulah dia akan ingat bahwa kebaikankebaikan yang bisa dia lakukan selama ini benar-benar merupakan anugerah Allah kepadanya,
bukan semata-mata hasil kerja keras dan jerih payahnya. Oleh sebab itu sebagian ulama ketika
ditanya apa rahasia sehingga dia bisa begitu bersemangat dan mengumpulkan ilmu yang begitu
banyak, mereka menjawab, “Aku tidak tahu, sesungguhnya hal itu hanyalah taufik...”
Banyak orang yang bisa mencapai keberhasilan -sebagaimana yang biasa dijadikan ukuran
keberhasilan oleh manusia- akan tetapi tidak banyak orang yang ketika berhasil bisa menyandarkan
keberhasilannya itu kepada Allah. Banyak orang merasa hebat dan tangguh dengan segala
pengorbanan dan kebaikan yang telah dilakukannya. Perasaan ini pada akhirnya membuatnya lupa
bahwa hal itu merupakan akibat pertolongan Allah kepadanya. Oleh sebab itu sebagian ulama
terdahulu mengatakan, “Dahulu kami diuji dengan musibah, maka kami bisa bersabar. Akan tetapi
ketika kami diuji dengan nikmat-nikmat kami justru gagal.”
Ketika musibah melanda banyak orang kembali ingat kepada Allah dan betapa besar kebutuhan
mereka kepada-Nya. Sementara dalam kondisi senang dan berlimpah nikmat, banyak orang justru
hanyut dalam kegembiraan dan lalai dari mensyukuri nikmat-Nya.
Kelalaian inilah yang pada akhirnya akan menyeret mereka dalam berbagai bentuk sikap kufur
nikmat kepada-Nya. Dia pun menyandarkan nikmat itu kepada selain Allah. Seperti yang dialami
oleh Qarun ketika dia menyombongkan diri seraya mengatakan, “Sesungguhnya aku diberikan ini
semuanya karena ilmu yang aku miliki.”
Di sisi lain, seorang hamba harus selalu menyadari akan dosa-dosa dan kesalahan yang dia
kerjakan. Dengan mengingat hal itu niscaya akan semakin besar perasaan butuhnya kepada Allah.
Karena tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Dia. Sebaik apapun amal yang dia lakukan
maka dia sadar bahwa hak-hak Allah sangatlah agung dan terlalu sempurna untuk bisa dia tunaikan
hak-hak-Nya itu dengan baik. Seburuk apapun dosa dan maksiat yang telah dia lakukan maka dia
akan tetap melihat bahwa Allah senantiasa membuka pintu taubat untuk hamba-Nya. Dia pun sadar
bahwa apabila dia tidak bertaubat kepada-Nya nasibnya berada di dalam bahaya.
Dia sadar bahwa apabila Allah menerima amalnya itu pun karena kemurahan Allah kepada dirinya.
Dan apabila Allah tidak menerimanya maka hal itu semata-mata karena kekurangan dan kesalahan
yang dia lakukan. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah menyaksikan curahan nikmat
Allah dan selalu memperhatikan aib diri dan amalan kita. Dengan melihat curahan nikmat akan
tumbuh kecintaan kepada Allah. Dan dengan memperhatikan aib pada diri dan amal kita niscaya
akan membuahkan perendahan diri dan pengagungan kepada-Nya. Dengan cinta dan pengagungan
itulah kita akan bisa beribadah kepada Allah dengan sebenarnya. Karena ibadah kepada Allah
adalah ketundukan kepada-Nya yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada-Nya.
Bukanlah hamba Allah apabila dia menyombongkan dirinya. Bukan hamba Allah apabila dia
merasa hebat dan sombong di hadapan-Nya. Bukanlah hamba Allah orang yang melakukan ketaatan
tanpa rasa kecintaan kepada-Nya. Hamba Allah yang sejati adalah yang tulus beribadah kepada-Nya
dengan penuh perendahan diri dan kecintaan kepada-Nya. Sampai pun apabila Allah tidak
menerima amalnya dia memandang bahwa dirinya layak untuk mendapatkan perlakuan itu. Bahkan
ketika Allah timpakan musibah kepadanya hal itu pun merupakan bukti kasih sayang Allah kepada
hamba-Nya; agar mereka bertaubat kepada-Nya atau semakin bersyukur akan nikmat-Nya.
Oleh sebab itu orang yang bisa merasakan lezatnya iman adalah mereka yang ridha Allah sebagai
rabb. Artinya dia merasa puas bahwa Allah semata sesembahannya, Allah semata yang mengatur
kehidupannya, dan Allah pula yang menetapkan takdir musibah kepadanya. Dia yakin bahwa Allah
Maha Adil lagi Maha Bijaksana. Tidak ada perbuatan Allah yang sia-sia. Apabila Allah berikan
musibah artinya Allah menguji kesabarannya. Apabila Allah berikan nikmat artinya Allah ingin
melihat sejauh mana dia bisa mensyukuri nikmat itu. Demikian seterusnya...
# Mengenal Keutamaan Ilmu
Ilmu agama. Setiap insan pasti membutuhkannya. Bagaimana tidak? Sedangkan ilmu agama inilah
bekal dan perisai baginya untuk menangkis berbagai terpaan kerancuan dan penyimpangan
pemikiran. Tidakkah anda lihat orang-orang yang bergelimang dengan syirik dan kekafiran di atas
muka bumi ini? Salah satu sebab utama mereka terjerumus ke dalamnya adalah karena mereka tidak
memiliki ilmu yang benar yaitu ilmu agama Islam.
Allah berfirman (yang artinya), “[Allah] Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk
menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). Baik tidaknya
suatu amal tidak bisa diketahui kecuali dengan ilmu. Apabila tidak dilandasi ilmu maka setiap orang
akan melakukan amalan menurut kehendaknya sendiri-sendiri. Dan masing-masing akan
menyangka bahwa amalnya itulah yang terbaik sedangkan amalan orang lain tidak!!
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai
orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya dalam
kehidupan dunia sementara mereka mengira bahwa dirinya melakukan perbuatan dengan sebaikbaiknya.” (al-Kahfi : 103-104)
Orang yang mengisi hidupnya dengan syirik dan kekafiran adalah barisan terdepan dari golongan
orang-orang yang merugi. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa mencari selain Islam
sebagai agama maka tidak akan diterima darinya dan kelak di akhirat dia pasti termasuk golongan
orang-orang yang merugi.” (Ali 'Imran : 85)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orangorang sebelum kamu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar
kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)
Bagaimana tidak merugi, sementara dia telah bersusah-payah melakukan amal-amal yang dia kira
hal itu semakin mendekatkan dirinya kepada Allah dan demi meraih syafa'at di sisi-Nya namun
ternyata harapan tinggallah harapan dan angan-angan. Karena syirik yang mereka lakukan justru
membuat mereka dibenci oleh Allah dan haram mendapatkan surga-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka
sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi
orang-orang zalim itu seorang pun penolong.” (al-Maa-idah : 72)
Sekarang pertanyaannya adalah; dari mana anda bisa tahu bahwa suatu ucapan atau keyakinan dan
perbuatan dimasukkan dalam kategori syirik dan kekafiran kalau bukan dengan ilmu?! Dari mana
anda bisa membedakan antara tauhid dan syirik, antara iman dan kekafiran kalau bukan dengan
ilmu al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih?!
Pertanyaan berikutnya adalah; mengapa banyak manusia justru berpaling dari ilmu agama dan lebih
tertarik dan gandrung dengan ilmu-ilmu dunia? Jawabannya karena jalan menuju surga diliputi oleh
hal-hal yang kurang disukai hawa nafsu. Memang menimba ilmu agama cenderung tidak disukai
oleh hawa nafsu manusia. Karena manusia ingin untuk bersantai-santai, bermalas-malasan, dan
tidak mau dibebani dengan pelajaran dan hafalan.
Oleh sebab itulah para ulama menyebut menimba ilmu sebagai bagian dari jihad; maksudnya adalah
jihadun nafs yaitu jihad berjuang menundukkan hawa nafsu. Bahkan inilah bentuk jihad terbesar
sebelum jihad dengan pedang dan senjata. Karena tidak mungkin berjihad memerangi musuh dari
luar orang yang tidak bisa berjihad menundukkan musuh yang ada di dalam dirinya sendiri.
Sahabat Abud Darda' radhiyallahu'anhu mengatakan, “Barangsiapa yang memandang bahwasanya
berangkat di awal siang atau di akhir siang dalam rangka menimba ilmu (agama) bukan termasuk
jihad sungguh telah berkurang/tidak beres akal dan pikirannya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Orang yang membantah ahli bid'ah
adalah orang yang berjihad.”
Di dalam surat al-Furqan -dimana surat ini turun di Mekah sebelum hijrah- Allah berfirman
memerintahkan kepada nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan berjihadlah
melawan mereka dengan hal itu dengan jihad yang besar...”
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud jihad di sini adalah berjihad dalam bentuk
dakwah dengan Kitabullah yaitu al-Qur'an. Inilah jihad terbesar. Bahkan inilah jihadnya para nabi
dan rasul beserta para pewaris perjuangan mereka yaitu para ulama.
Suatu fenomena yang cukup memprihatinkan di tengah masyarakat kita adalah sedikitnya orangorang yang mau menekuni ilmu agama dan mendakwahkannya dengan benar. Kebanyakan orang
hanya menyukai agama ketika ia selaras dengan hawa nafsu dan perasaannya. Giliran agama
menyuguhkan kepadanya kesempatan untuk berjihad dengan harta dan ilmunya maka surutlah
semangat mereka untuk membela agama.
Seorang teman pernah menceritakan kepada kami pengalamannya ketika dia berkunjung di sebuah
tempat yang hendak dijadikan tempat KKN olehnya. Maka di situ salah seorang warga setempat
memberikan pesan kepadanya, “Kalau di sini tidak usah mengundang ustadz yang membicarakan
surga dan neraka, cari aja ustadz yang isinya guyonan/lawakan dan bisa membuat tertawa.”
Demikian kurang lebih 'nasihat' yang disampaikan kepada teman kami itu....
Subhanallah! Sebegitu murah dan rendah kah nilai agama ini di mata manusia?! Ketika para juru
dakwah tauhid dan sunnah tidak digemari dan yang lebih disukai adalah para pengocok perut dan
komedian pengundang gelak tawa?! Peningkatan iman dan takwa seperti apakah yang hendak
diperoleh dengan pengajian yang sarat dengan lelucon dan gelak tawa... Bukankah terlalu banyak
tertawa akan membuat hati keras dan mati...
Ya Allah, kami mohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat....
# Menyatukan, Bukan Memecah Belah...
Allah berfirman (yang artinya), “Berpegang-teguhlah kalian dengan tali Allah, dan janganlah
kalian berpecah-belah...” (Ali 'Imran : 103)
Para ulama memiliki pendapat yang saling melengkapi dalam memahami maksud ayat tersebut.
Diantaranya, Ibnu 'Abbas menafsirkan 'Berpegang-teguhlah dengan agama Allah'. Ibnu Mas'ud
mengatakan 'Yang dimaksud tali Allah adalah al-jama'ah/persatuan kaum muslimin'. Mujahid dan
'Atha' mengatakan 'Yang dimaksud adalah perjanjian dengan Allah'. Qatadah dan as-Suddi
menafsirkan, 'Maksudnya adalah al-Qur'an'. Muqatil bin Hayan mengatakan, 'Yang dimaksud
adalah perintah Allah dan ketaatan kepada-Nya' (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 229)
Dan tidak akan bisa terwujud persatuan umat itu kecuali dengan berpegang-teguh dengan akidah
yang benar yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan meninggalkan
akidah-akidah yang rusak, meninggalkan bid'ah dan khurafat. Berpegang-teguh dengan al-Kitab dan
as-Sunnah (lihat Nashihatun wa Ta'shiilun fi Zamanil Fitan, hal. 11)
Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya faktor utama yang akan menyatukan umat ini adalah
berpegang-teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam serta
akidah yang benar. Seperti yang telah diisyaratkan oleh Imam Malik rahimahullah, “Tidak akan
memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini kecuali dengan apa-apa yang telah memperbaiki
keadaan generasi awalnya.” (lihat Nashihatun wa Ta'shiilun, hal. 12)
Dengan demikian, adalah sebuah kemustahilan persatuan umat itu bisa terwujud apabila kaum
muslimin memiliki akidah yang menyimpang dari jalan para sahabat Rasul shallallahu 'alaihi wa
sallam. Sebab akidah inilah yang menjadi asas persatuan. Seperti yang dinasihatkan oleh Imam alAuza'i rahimahullah, “Hendaklah kamu mengikuti jejak orang-orang terdahulu (salafus shalih)
meskipun orang-orang menolakmu. Dan jauhilah pendapat-pendapat akal manusia, meskipun
mereka menghias-hiasinya dengan ucapan yang indah.”
Betapa banyak kerusakan dan perpecahan yang timbul ketika umat Islam melenceng dari jalan
generasi terbaik umat ini. Lihatlah apa yang ditimbulkan oleh firqah Khawarij dalam bentuk
pengkafiran dan pembunuhan serta pemberontakan.. Lihatlah apa yang ditimbulkan oleh firqah
Syi'ah Rafidhah dalam bentuk pengkultusan terhadap individu dan praktek-praktek amalan yang
menyimpang dan merusak... bahkan pembantaian terhadap kaum muslimin! Lihatlah apa yang
ditimbulkan oleh kaum Liberal dalam bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap Islam dengan
kedok kebebasan dan Hak Asasi Manusia (HAM)...
Sebesar apa pun upaya dan usaha yang dikerahkan untuk merapatkan barisan dan menjalin
persatuan tetapi jika tidak dibangun di atas akidah yang benar maka mustahil persatuan dan
kemuliaan itu akan terwujud. Apabila dalam perkara bersuci, sholat, zakat, puasa, dan haji kita
kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah lantas mengapa dalam hal-hal akidah kita justru kembali
kepada akal-akal kita, pemikiran dan perasaan kita atau tradisi dan budaya?!
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah ia,
dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian
dari jalan-Nya. Itulah yang Allah wasiatkan kepada kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (alAn'am : 153)
Berkah apa yang kita harapkan apabila kita mencari jalan selain jalan nabi dan para sahabatnya?
# Merdeka dengan Tauhid!
Umat manusia merasa gembira dengan sebuah kemerdekaan. Merdeka dari penjajahan dan
penindasan artinya adalah bebas dari belenggu dan kehinaan. Oleh sebab itu begitu banyak
perjuangan dan pengorbanan yang diberikan demi terwujudnya kemerdekaan.
Akan tetapi banyak orang lupa, bahwa kemerdekaan itu menjadi tidak ada artinya ketika kebebasan
justru dijadikan sebagai pembenar untuk melakukan berbagai bentuk pelanggaran dan kejahatan.
Ketika kemerdekaan dimaknai dengan kebebasan ala binatang dimana manusia tidak peduli dengan
halal dan haram, baik dan buruk, karena yang mereka kejar adalah kepuasan dan kesenangan semu.
Padahal, kemerdekaan itu hanya akan bisa menjadi kebahagiaan ketika ia digunakan untuk taat
kepada Allah dan rasul-Nya. Memang merdeka dari penjajahan adalah nikmat dan anugerah. Akan
tetapi nikmat bisa berubah menjadi lahan petaka ketika nikmat itu tidak disyukuri dengan sebaikbaiknya. Seperti yang diungkapkan oleh Abu Hazim rahimahullah, “Setiap nikmat yang tidak
menambah semakin dekat kepada Allah, maka itu adalah malapetaka.”
Bukankah Allah telah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang melakukan amal salih dari
kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman, niscaya Kami akan memberikan
kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan memberikan balasan kepada mereka
dengan pahala yang jauh lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (an-Nahl : 97)
Kebahagiaan dan kehidupan yang baik hanya bisa diraih dengan iman dan amal salih. Adapun
semata-mata bernafas, berjalan, berlari, makan dan minum serta buang air maka ini bukanlah
standar kebahagiaan yang sejati. Betapa banyak manusia yang hidup dan sehat secara fisik tetapi
mati dan sakit secara ruhani. Betapa banyak orang yang matanya melihat tetapi tidak pernah mau
membaca ayat-ayat Allah dan mengkaji hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Hidupnya hati adalah dengan dzikir, iman dan ketaatan. Sebagaimana rusaknya hati disebabkan
oleh kelalaian, kekafiran dan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan orang yang selalu mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak pernah mengingat
Rabbnya seperti perbandingan antara orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari)
Orang yang selalu mengingat Allah akan sadar akan curahan nikmat yang Allah berikan kepadanya,
maka dia pun akan berusaha mensyukurinya. Orang yang selalu mengingat Allah akan sadar akan
betapa banyak dosa dan kesalahan yang telah diperbuat olehnya, sehingga dia akan tergerak untuk
beristighfar dan bertaubat kepada-Nya. Orang yang mengingat Allah maka akan berusaha menghiasi
detik-detik lembaran hidupnya dengan iman dan amal salih.
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Wahai anak Adam. Sesungguhnya kamu adalah kumpulan
perjalanan hari. Setiap berlalu suatu hari maka berlalu pula sebagian dari dirimu.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Dua buah nikmat yang kebanyakan manusia
terpedaya dengannya yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam
kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran,
dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-'Ashr : 1-3)
Hal ini memberikan pelajaran berharga kepada kita bahwa waktu, kesehatan, dan nikmat yang Allah
berikan adalah ujian bagi manusia. Ujian untuk melihat siapakah diantara manusia yang benarbenar beriman kepada Allah dan tunduk kepada rasul-Nya. Siapakah diantara mereka yang jujur
keimanannya, yang mau bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya, dan siapakah yang justru kufur,
ujub, dan menyalahgunakan nikmat dalam kedurhakaan dan pembangkangan kepada-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu
saja dalam keadaan tidak diberikan ujian? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum
mereka maka Allah benar-benar akan mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah
orang-orang yang dusta.” (al-'Ankabut : 2-3)
Syaikh as-Sa'di rahimahullah di dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa diantara bentuk ujian yang
Allah berikan kepada manusia itu adalah berupa kesenangan dan musibah, kesulitan dan
kemudahan, semangat dan keterpaksaan, kekayaan dan kemiskinan, bahkan termasuk dalam bentuk
ujian itu adalah berkuasanya musuh menindas/menjajah mereka atau pertarungan melawan musuh
dengan ucapan dan perbuatan. Dan inti dari segala bentuk ujian/fitnah itu adalah berupa
syubhat/kerancuan dan syahwat/kesenangan nafsu yang terlarang. Fitnah syubhat merusak akidah
sementara fitnah syahwat merusak niat (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 626)
Tauhid, inilah tujuan dan hikmah penciptaan kita. Tidak ada artinya hidup jika tidak digunakan
untuk mewujudkan tauhid dan iman kepada Rabb alam semesta. Manusia yang merdeka bukanlah
manusia yang menghamba kepada makhluk seperti dirinya, tetapi manusia yang merdeka adalah
mereka yang menghambakan dirinya kepada Allah semata. Inilah kemerdekaan yang sesungguhnya.
Inilah kelezatan tertinggi yang dirasakan setiap insan yang mengenal Rabbnya.
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Telah pergi para pemuja dunia dalam keadaan belum
merasakan sesuatu yang paling baik di dalamnya.” Orang-orang pun bertanya kepada beliau,
“Apakah itu sesuatu yang paling baik di dunia, wahai Abu Yahya?” maka beliau pun menjawab,
“Yaitu mengenal Allah 'azza wa jalla.”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Pasti merasakan lezatnya iman, orang yang
ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR.
Muslim). Inilah kelezatan yang dirasakan oleh kaum beriman dan insan bertauhid. Kelezatan dalam
berdzikir dan bermunajat kepada-Nya. Kelezatan dalam iman dan amal salih karena-Nya. Kelezatan
dalam perjuangan menundukkan hawa nafsu dan melawan tipu daya setan. Kelezatan dalam ikhlas
beribadah kepada Allah dan ittiba' kepada ajaran nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam.
Inilah kemerdekaan yang ingin dirusak oleh Iblis dan bala tentaranya. Mereka ingin memalingkan
umat manusia dari hikmah dan tujuan penciptaannya. Mereka ingin agar bani Adam bersama-sama
kelompoknya untuk menjadi penghuni tetap neraka untuk selama-lamanya. Mereka ingin
melepaskan manusia dari penghambaan kepada ar-Rahman supaya manusia itu terjerumus di dalam
lembah nista pemujaan kepada hawa nafsu dan setan.
Seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :
Mereka lari dari penghambaan yang menjadi tujuan penciptaan
Maka mereka pun terjebak dalam perbudakaan kepada nafsu dan setan
# Takutlah Akan Neraka...
Allah berfirman (yang artinya), “Maka diantara mereka ada yang celaka dan ada pula orang yang
bahagia.” (Huud : 105). Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa melakukan kebaikan maka
itu untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa melakukan keburukan maka hal itu juga merugikan
dirinya sendiri. Dan Rabbmu tidaklah berbuat zalim kepada hamba.” (Fushshilat : 46)
Allah berfirman (yang artinya), “Dan bagi orang yang takut terhadap kedudukan Rabbnya dua
buah surga.” (ar-Rahman : 46). Mujahid berkata mengenai maksud dari ayat ini, “Dia adalah
seorang lelaki yang berbuat dosa lalu dia pun teringat akan kedudukan Allah lantas dia pun
meninggalkannya.” Beliau juga menafsirkan, “Dia adalah orang yang bertekad untuk melakukan
maksiat lalu ingat kepada Allah dan meninggalkannya.” Ibnu 'Abbas berkata, “Allah menjanjikan
kepada orang-orang beriman yang takut terhadap kedudukan-Nya dan menunaikan kewajibankewajiban dari-Nya bahwa Allah akan masukkan mereka ke dalam surga.” (lihat at-Takhwif minan
Naar karya Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah, hal. 8)
Wahb bin Munabbih berkata, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu yang lebih agung daripada
dengan rasa takut.” Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Sumber segala kebaikan di dunia dan di
akhirat adalah rasa takut kepada Allah 'azza wa jalla. Setiap hati yang di dalamnya tidak terdapat
rasa takut kepada Allah adalah hati yang hancur.” Fudhail bin 'Iyadh berkata, “Rasa takut lebih
utama daripada harapan selama orang itu berada dalam kondisi sehat, apabila kematian
menjelang rasa harap yang lebih utama.” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 9)
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan
keluarga kalian dari neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim : 6).
Allah berfirman (yang artinya), “Dan takutlah kalian akan neraka yang telah disiapkan untuk
orang-orang kafir.” (Ali 'Imran : 131). Dari an-Nu'man bin Basyir radhiyallahu'anhu, Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Aku peringatkan kalian dari neraka. Aku peringatkan
kalian dari neraka.” Sampai-sampai seandainya ada orang di ujung pasar niscaya dia akan bisa
mendengarnya dan orang-orang di pasar pun bisa mendengar suara beliau sementara ketika itu
beliau sedang berbicara di atas mimbar (HR. Ahmad)
Allah berfirman (yang artinya), “Apakah para penduduk negeri itu merasa aman apabila datang
kepada mereka siksaan Kami sementara mereka dalam keadaan tidur.” (al-A'raaf : 97). Abul
Jauzaa' berkata, “Seandainya aku diserahi urusan untuk mengatur manusia nicaya aku akan
membuat menara di tepi jalan dan aku tempatkan di atasnya orang-orang untuk menyerukan
kepada manusia, “Takutlah akan neraka, takutlah akan neraka.”.” (HR. Ahmad dalam az-Zuhd)
Ibrahim at-Taimi berkata, “Semestinya bagi orang yang tidak pernah merasakan kesedihan untuk
merasa khawatir kalau-kalau dia termasuk penghuni neraka karena para penghuni surga berkata
(yang artinya), “Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dari kami kesedihan.” (Fathir :
34). Dan semestinya orang yang tidak pernah dirundung rasa takut untuk merasa khawatir kalaukalau dia bukan termasuk penghuni surga, karena mereka -para penghuni surga- berkata (yang
artinya), “Sesungguhnya kami dahulu di tengah keluarga kami dirundung oleh rasa takut.” (athThuur : 26).” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 21)
Abu Hurairah radhiyallahu'anhu menuturkan bahwa beliau mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam berdoa, 'Allahumma inni a'uudzu bika min haari jahannam' yang artinya, “Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari panasnya neraka Jahannam.” (HR. Nasa'i). Umar radhiyallahu'anhu
berkata, “Seandainya ada yang menyeru dari langit; Sesungguhnya kalian semuanya masuk ke
dalam surga kecuali satu orang, aku takut kalau-kalau satu orang itu adalah diriku.”
Sebagian ulama salaf berkata, “Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan harapan saja dia
adalah Murji'ah. Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan takut saja dia adalah Haruriyah
(Khawarij). Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta saja dia adalah Zindiq. Dan
barangsiapa beribadah kepada-Nya dengan harapan, takut, dan cinta maka dia lah orang yang
bertauhid lagi mukmin.” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 25)
Yazid bin Hausyab berkata, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih takut daripada al-Hasan dan
Umar bin Abdul Aziz, seolah-olah neraka tidak diciptakan kecuali untuk menghukum mereka
berdua.” Suatu ketika al-Hasan menangis, kemudian ditanyakan kepadanya, “Apa yang
membuatmu menangis?” beliau menjawab, “Aku takut apabila Allah melemparkanku besok ke
dalam neraka lantas Dia tidak mempedulikanku lagi.” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 31)
Bakr al-Muzani menuturkan, bahwa suatu ketika Abu Musa al-Asy'ari radhiyallahu'anhu
berkhutbah di hadapan manusia di Bashrah. Ketika menyebutkan tentang neraka beliau pun
menangis sampai-sampai air matanya membasahi mimbar. Bakr berkata, “Maka orang-orang pun
pada saat itu menangis sejadi-jadinya.” (lihat at-Takhwif minan Naar, hal. 44)
Abul Qasim al-Hakim berkata, “Barangsiapa takut terhadap sesuatu maka dia akan lari darinya.
Dan barangsiapa takut kepada Allah niscaya dia akan lari menuju-Nya.” (lihat Tazkiyatun Nufus
karya Syaikh Ahmad Farid, hal. 117)
Allah berfirman (yang artinya), “Maka berlarilah kalian menuju Allah.” (adz-Dzariyat : 50). Imam
al-Baghawi rahimahullah menjelaskan, “Berlarilah dari azab Allah menuju pahala dari-Nya. Yaitu
dengan keimanan dan ketaatan. Ibnu 'Abbas berkata : Artinya berlarilah dari-Nya menuju-Nya dan
lakukanlah amal ketaatan kepada-Nya. Sahl bin Abdullah berkata : Berlarilah meninggalkan
segala sesuatu selain Allah menuju Allah.” (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1235)
Syaikh as-Sa'di rahimahullah menjelaskan bahwa yang dimaksud 'berlari menuju Allah' adalah
berlari meninggalkan segala hal yang dibenci Allah secara lahir maupun batin menuju apa-apa yang
dicintai Allah secara lahir dan batin. Tercakup di dalamnya berlari meninggalkan kejahilan menuju
ilmu. Meninggalkan kekafiran menuju iman. Meninggalkan maksiat menuju taat. Meninggalkan
kelalaian menuju dzikir kepada Allah. Barangsiapa menyempurnakan perkara-perkara ini maka dia
telah menyempurnakan agamanya (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 812)
# Mungkin Kita Sendiri Penjahat Itu
Sebagian ulama salaf berkata, “Apabila seorang telah mengenali kadar dirinya sendiri niscaya
dirinya itu dalam pandangannya sendiri bisa jadi lebih rendah daripada anjing.”
Sebagian mereka ada yang mengatakan, “Orang yang paling berakal adalah orang yang
mengetahui hakikat dirinya sendiri dan tidak terpedaya oleh sanjungan orang lain yang tidak
mengerti seluk-beluk tentang jati dirinya.”
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pun pernah berkata kepada salah seorang muridnya,
“Apabila seorang telah mengenal hakikat dirinya sendiri maka tidaklah bermanfaat/berpengaruh
baginya ucapan (sanjungan/celaan) orang lain.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan di dalam kitabnya al-Fawa'id, bahwa orang yang paling
arif itu adalah yang menjadikan keluhannya tertuju kepada Allah dari kekurangan/kesalahan yang
ada pada dirinya, bukan dengan senantiasa mengambinghitamkan orang lain.
Sebagaimana diterangkan oleh para ulama bahwa taubat hanya akan bisa dilakukan oleh seorang
hamba apabila dia telah menyadari dan mengakui akan dosa-dosanya. Padahal dosa adalah sesuatu
yang melekat pada diri dan hawa nafsu anak manusia. Hari demi hari kotoran dosa kerapkali
menghampiri dan menodai hatinya. Itulah tabiat nafsu yang menyeret kepada hal-hal yang buruk
dan jahat. Sehingga wajar apabila jalan ke surga diliputi hal-hal yang kurang disukai oleh hawa
nafsu manusia. Di situlah letak perjuangan dan kejujuran penghambaan itu diuji.
Di sisi lain hawa nafsu memiliki tabiat untuk menonjolkan diri dan mengesampingkan keunggulan
orang lain. Oleh sebab itulah karakter keimanan menuntut seorang muslim untuk mengubur sifat
hasad dan sombong dari perilaku dan tingkah-lakunya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
telah mengajarkan kepada kita untuk mengikis dua sifat yang tercela ini; yaitu hasad dan sombong.
Apabila ditelusuri kedua sifat ini muncul dari lemahnya perendahan diri kepada Allah. Kecilnya
pemahaman di dalam dirinya tentang besarnya bantuan dan peran Allah bagi kebaikan dan
kesuksesan yang bisa ia dapatkan. Ia menutup mata dari curahan nikmat dan taufik Allah seraya
membusungkan dada dengan secuil kelebihan yang Allah berikan kepadanya.
Padahal jika kita ingin sedikit menoleh kepada sejarah perjalanan kaum salaf, niscaya akan kita
jumpai profil yang luar biasa besar jasanya kepada agama tetapi di saat yang sama mereka
mengubur dalam-dalam sifat hasad dan sombong itu. Mereka telah menyadari betapa miskin dan
fakirnya mereka di hadapan Rabbnya. Mereka tidak sanggup untuk mengatakan 'inilah karyaku',
'inilah hasil perjuanganku', atau 'inilah bukti kecerdasan dan kemampuanku'. Mereka hanya akan
memuji Allah dan menyanjung-Nya atas semua nikmat dan anugerah itu. Bahkan mereka terus
diliputi dengan kekhawatiran apabila amalnya tidak diterima oleh Allah. Mereka pun khawatir
bagaimana nasibnya kelak di akhirat ketika berjumpa dengan-Nya. Sehingga taubat dan istighfar
itulah yang mewarnai lidah dan gerak-gerik hatinya di sepanjang waktu.
# Kewajiban Bertauhid
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, sesungguhnya tauhid adalah kewajiban terbesar yang Allah
perintahkan kepada setiap insan. Allah jalla wa 'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku
ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)
Oleh sebab itulah, Allah utus para rasul untuk membawa misi dakwah tauhid ini kepada setiap
umat. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat
seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl : 36)
Ayat yang mulia ini juga memberikan pelajaran bagi kita, bahwa agama para nabi adalah satu, yaitu
mengikhlaskan ibadah kepada Allah dan meninggalkan syirik, walaupun syari'at mereka berbedabeda. Demikian pula, ayat ini menunjukkan, bahwa tauhid memiliki kedudukan yang sangat agung
di dalam agama Islam; karena ia diwajibkan atas semua umat (lihat faidah ini dalam alMulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid oleh al-Fauzan, hal. 11-12)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Maka wajib atas orang-orang yang
mengajak/berdakwah kepada Islam untuk memulai dengan tauhid, sebagaimana hal itu menjadi
permulaan dakwah para rasul 'alaihmus sholatu was salam. Semua rasul dari yang pertama hingga
yang terakhir memulai dakwahnya dengan dakwah tauhid. Karena tauhid adalah asas/pondasi
yang di atasnya ditegakkan agama ini. Apabila tauhid itu terwujud maka bangunan [agama] akan
bisa tegak berdiri di atasnya...” (at-Tauhid Ya 'Ibaadallah, hal. 9)
Ayat di atas -An-Nahl : 36- juga memberikan faidah kepada kita bahwasanya amalan tidaklah
menjadi benar dan diterima kecuali apabila disertai dengan sikap berlepas diri dari segala sesuatu
yang disembah selain Allah (lihat Qurratu 'Uyunil Muwahhidin, hal. 4).
Oleh sebab itu perintah bertauhid senantiasa bersanding dengan larangan dari berbuat syirik. Allah
subhanahu wa ta'ala berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian
mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (An-Nisaa' : 36)
Ayat ini menunjukkan bahwa menjauhi syirik adalah syarat sah ibadah, karena Allah
menyandingkan perintah beribadah dengan larangan berbuat syirik. Sebagaimana ayat ini juga
mengandung pelajaran penting bahwasanya hakikat tauhid itu adalah beribadah kepada Allah
semata dan meninggalkan syirik (lihat al-Mulakhkhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 15)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan, “Apabila anda telah mengetahui
bahwa Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, ketahuilah bahwa ibadah tidaklah
disebut ibadah kecuali jika bersama dengan tauhid. Apabila syirik mencampuri ibadah, maka ia
menjadi rusak; sebagaimana halnya hadats apabila menimpa pada thaharah/bersuci.” (lihat alQawa'id al-Arba')
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orangorang sebelummu; jika kamu berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amalmu, dan kamu benar-benar
akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65)
Dengan demikian mewujudkan tauhid tidak bisa dilakukan tanpa menjauhi segala bentuk
kemusyrikan. Inilah hak Allah atas setiap hamba. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Hak Allah atas hamba ialah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan denganNya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu)
Salah satu diantara ciri 'Ibadurrahman -hamba-hamba Allah yang utama- adalah tidak ikut serta
menyaksikan az-zuur/kedustaan. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang
tidak ikut serta menyaksikan az-zuur/kedustaan.” (Al-Furqan : 72). Imam Ibnu Katsir rahimahullah
membawakan tafsir istilah az-zuur ini, diantaranya mencakup; syirik dan pemujaan berhala,
kedustaan, kekafiran, dan kefasikan. Ia juga meliputi segala bentuk kesia-siaan dan nyanyian. Abul
'Aliyah, Ibnu Sirin dan yang lainnya menjelaskan bahwa salah satu cakupan makna az-zuur itu
adalah hari raya orang-orang musyrik. Termasuk di dalam kandungan ayat ini juga adalah tidak
menghadiri majelis peminum khamr/miras (lihat Tafsir al-Qur'an al-'Azhim [6/33])
Oleh sebab itulah para ulama kita memberikan penjelasan tentang makna Islam dengan begitu apik.
Mereka mengatakan, bahwa Islam itu adalah 'kepasrahan kepada Allah dengan bertauhid, tunduk
kepada-Nya dengan penuh ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya'.
Inilah prinsip dan kaidah yang sudah diisyaratkan oleh al-Qur'an. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), “Katakanlah; Inilah jalanku. Aku mengajak menuju Allah di atas bashirah/ilmu yang
nyata. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku. Dan Maha Suci Allah, aku bukan
termasuk golongan orang-orang musyrik.” (Yusuf : 108)
Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya
dan kaumnya; 'Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa-apa yang kalian sembah kecuali Dzat
yang telah menciptakanku...” (Az-Zukhruf : 26)
Allah 'azza wa jalla juga berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan
beriman kepada Allah maka sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang sangat
kuat/kalimat tauhid.” (Al-Baqarah : 256)
Oleh karena itu pula, Nabi Ibrahim 'alaihis salam berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari
penyembahan berhala. Allah berfirman (yang artinya), “[Ibrahim berdoa]; Wahai Rabbku,
jauhkanlah aku dan anak-anak keturunanku dari menyembah berhala.” (Ibrahim : 35)
Demikianlah teladan Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan para rasul dalam berdakwah, yaitu menjauhi
segala bentuk kemusyrikan dan berlepas diri darinya, bukannya malah berdekat-dekat dengan
perayaan kaum musyrikin dan mengucapkan selamat atas kekafiran mereka.
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Pada masa sekarang ini, ada jama'ah-jama'ah
yang mengaku bahwa mereka adalah da'i-da'i menuju agama Allah, namun mereka tidak berlepas
diri dari kaum musyrikin selama mereka berada dalam manhaj hizbi yang mereka miliki!! Hal yang
wajib bagi seorang muslim adalah bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan apabila ingin
berdakwah kepada agama Allah hendaklah dia mengerti apakah hakikat dakwah itu, apa saja
pokok-pokok dakwah, apa yang dituntut pada diri seorang da'i, sebagaimana jalan yang telah
ditempuh oleh Ibrahim 'alaihis salam dan para nabi yang berlepas diri dari kaum musyrikin dan
memutuskan loyalitas dengan mereka.” (lihat I'anatul Mustafid [1/106])
Maka, kita katakan kepada mereka:
Wahai orang yang ingin menebar kesejukan namun melempar bara api
Mengapa anda bakar akidah ini demi mengais simpati
Tidakkah cukup bagi anda kesejukan kalam ilahi
Tuk menjauh dan menjaga diri dari perusak tauhid yang suci...
# Syafa'at Bagi Umat Bertauhid
Dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera
mengajukan doa itu. Adapun aku menunda doaku sebagai syafa'at bagi umatku kelak di hari
kiamat. Doa -syafa'at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang yang meninggal di
antara umatku dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Muslim)
Hadits yang mulia ini mengandung pelajaran, di antaranya:
1. Kasih sayang Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat besar kepada umatnya dan
besarnya perhatian beliau demi kebaikan mereka. Oleh sebab itu beliau sengaja
mengakhirkan doanya -yang mustajab- itu bagi kepentingan umatnya pada saat-saat yang
paling mereka perlukan (lihat Syarh Muslim [2/342])
2. Semua orang yang meninggal dalam keadaan tidak musyrik (atau kafir) maka tidak akan
dihukum kekal di dalam neraka meskipun dia bergelimang dosa-dosa besar dan belum
bertaubat darinya (lihat Syarh Muslim [2/342]). Adapun apabila seorang mukmin mati dalam
keadaan sebelumnya bergelimang dengan dosa besar lalu bertaubat dari dosa-dosanya
sebelum mati, maka ia akan langsung masuk surga (lihat ucapan Imam Bukhari dalam Kitab
al-Libas setelah membawakan hadits ini, Shahih Bukhari, hal. 1216)
3. Pentingnya taubat. Terlebih lagi di saat-saat menjelang kematian, sebelum nyawa berada di
tenggorokan. Karena yang menjadi patokan hukum akherat kelak adalah kondisi terakhir
orang tersebut di alam dunia, apakah dia meninggal di atas iman ataukah tidak. Sementara
kematian itu adalah rahasia Allah yang kita tidak tahu kapan datangnya. Oleh sebab itu kita
tertuntut untuk bertaubat dengan segera dan tidak menunda-nundanya. Selama kita masih
menjumpai siang dan malam di alam dunia ini, maka kesempatan taubat masih terbuka
selebar-lebarnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
'azza wa jalla membentangkan tangan-Nya di malam hari untuk menerima taubat para
pelaku dosa di siang hari, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima
taubat para pelaku dosa di malam hari, sampai akhirnya adalah ketika matahari terbit dari
arah tenggelamnya.” (HR. Muslim)
4. Kewajiban mengimani adanya hari kebangkitan sesudah kematian dan dibalasnya amal-amal
manusia kelak di akherat. Sehingga kehidupan di alam dunia ini adalah bentuk ujian dari
Allah kepada hamba-hamba-Nya, siapakah di antara mereka yang bersyukur -dengan
bertauhid dan mengikuti rasul-Nya- dan siapakah yang justru kufur dan berpaling dari
petunjuk-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Apakah kalian mengira bahwa Kami
menciptakan kalian dalam keadaan sia-sia dan kalian tidak akan dikembalikan kepada
Kami?” (al-Mu'minun: 115). Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Apakah manusia itu
mengira dia dibiarkan begitu saja.” (al-Qiyamah: 36). Allah ta'ala juga berfirman (yang
artinya), “-Allah- Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian
siapakah di antara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk: 2)
5. Kewajiban mengimani keberadaan malaikat yang ditugaskan oleh Allah untuk menjalankan
tugas-tugas mereka, di antaranya adalah Jibril 'alaihis salam yang ditugaskan untuk
menyampaikan wahyu. Sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah
rasul/utusan dari kalangan manusia, maka Jibril adalah rasul dari kalangan malaikat. Oleh
sebab itulah -wallahu a'lam- Imam Bukhari rahimahullah mencantumkan hadits ini di
dalam Kitab Bad'u al-Wahyi dengan judul bab : Penyebutan mengenai malaikat (lihat Shahih
Bukhari, hal. 674 dan 677)
6. Keutamaan doa, bahkan intisari dari ibadah adalah doa. Allah ta'ala berfirman (yang
artinya), “Rabb kalian berfirman: Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan
permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah
kepada-Ku mereka pasti masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (al-Mu'min: 60)
7. Keutamaan tauhid dan keutamaan mempelajarinya, karena dengan tauhid yang bersih dari
kesyirikan seorang hamba akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan dimasukkan
ke dalam surga. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan
tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang akan
mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (alAn'am: 82). Abu Dzar radhiyallahu'anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam, beliau bersabda, “Jibril 'alaihis salam datang menemuiku lalu meyampaikan kabar
gembira kepadaku bahwa barangsiapa di antara umatmu yang mati dalam keadaan tidak
mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka pasti masuk surga. Aku -Nabiberkata: 'Meskipun dia berzina dan mencuri?' Dia -Jibril- menjawab, 'Meskipun dia berzina
dan mencuri.'.” (HR. Bukhari dan Muslim)
8. Orang yang meninggal di atas kekafiran/kemusyrikan maka amal-amalnya di dunia tidak
bermanfaat baginya di akherat (tidak bisa membuatnya masuk surga). Dari 'Aisyah
radhiyallahu'anha, beliau berkata: Aku berkata, “Wahai Rasulullah, Ibnu Jud'an adalah
orang yang di masa Jahiliyah suka menyambung tali kekerabatan dan memberi makan
orang miskin, apakah hal itu bermanfaat untuknya?”. Maka beliau menjawab, “Tidak
bermanfaat baginya. Karena sesungguhnya dia tak pernah suatu hari pun memohon, 'Wahai
Rabbku ampunilah dosaku di hari pembalasan nanti.'.” (HR. Muslim)
9. Wajibnya mengimani adanya syafa'at di akherat kelak. Allah ta'ala berfirman (yang artinya),
“Pada hari itu tidak berguna syafa'at kecuali bagi orang yang diberi ijin oleh ar-Rahman
dan ucapannya diridhai oleh-Nya.” (Thaha: 109). Allah ta'ala juga berfirman (yang
artinya), “Dan mereka tidak akan memberikan syafa'at kecuali bagi orang-orang yang
diridhai-Nya.” (al-Anbiya': 28). Syafa'at yang ditetapkan ini akan diberikan setelah
terpenuhi 2 syarat: [1] Ijin Allah bagi orang yang memberikan syafa'at, dan [2] keridhaan
Allah terhadap orang yang akan diberi syafa'at, sedangkan Allah tidak ridha kecuali kepada
orang yang bertauhid (lihat Fath al-Majid, hal. 196). Maka ini artinya orang musyrik contohnya; orang yang berdoa kepada selain Allah- tidak berhak mendapatkan syafa'at...
Camkanlah hal ini baik-baik wahai saudaraku! Sehingga hal ini menunjukkan kepada kita
bahwa sebenarnya hakekat syafa'at itu adalah milik Allah, bukan milik orang yang diberi ijin
memberi syafa'at. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Milik Allah semata, syafa'at
itu seluruhnya.” (az-Zumar: 44)
10. Bahaya syirik, karena orang yang meninggal dalam keadaan musyrik tidak akan
mendapatkan syafa'at, dan tidak akan bisa masuk surga -na'udzu billahi min suu'il khatimah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka
Allah haramkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka, dan tidak ada bagi
orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (al-Ma'idah: 72)
11. Ketekunan beribadah tidak ada manfaatnya apabila tercampur dengan kesyirikan. Oleh
sebab itu Allah mengiringkan perintah untuk beribadah dengan larangan berbuat syirik
(silahkan baca an-Nisaa': 36)
12.Bantahan bagi sekte Khawarij dan sebagian Mu'tazilah yang meniadakan syafa'at bagi
pelaku dosa besar dari kalangan orang-orang yang beriman. Mereka -Khawarij dan
Mu'tazilah- berdalil dengan ayat (yang artinya), “Maka tidak berguna bagi mereka syafa'at
orang-orang yang memberikan syafa'at.” (al-Muddatstsir: 48) dan ayat-ayat serupa lainnya.
Maka al-Qadhi 'Iyadh rahimahullah telah membantah mereka dengan mengatakan, “Ayatayat ini berlaku bagi orang-orang kafir.” (lihat Syarh Muslim [2/311]). Lihatlah -wahai
para pemuda- bagaimana para ulama berbicara dengan ilmu, menyimpulkan hukum secara
tepat -dengan memadukan berbagai ayat yang ada dalam satu persoalan- dan tidak
serampangan dalam bersikap...
@ DONASI PEMBANGUNAN MASJID GRAHA AL-MUBAROK
Rekening Bank Syariah Mandiri no. 710 206 3737
atas nama : Yayasan Pangeran Diponegoro
Konfirmasi Donasi via SMS :
Ketik : Nama#Alamat#Donasi Masjid#Tanggal Transfer#Jumlah
Contoh : Abdul Karim#Medan#Donasi Masjid#28 Oktober 2016#500.000
Dikirimkan ke no HP : 0857 4262 4444 (sms/wa)
Informasi : www.al-mubarok.com
Sekilas Mengenal YAPADI
Yayasan Pangeran Diponegoro (YAPADI) merupakan sebuah lembaga dakwah dan sosial yang
bergerak untuk memfasilitasi berbagai bentuk bimbingan keislaman kepada masyarakat secara
umum dan generasi muda/mahasiswa secara khusus. Dalam sejarah perjalanannya, YAPADI
bermula dari kegiatan dakwah dan kajian yang dikelola oleh Forum Studi Islam Mahasiswa
(FORSIM) berupa program kajian Ma'had al-Mubarok yang diadakan di masjid-masjid di sekitar
wilayah kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Dengan taufik dari Allah, kegiatan dakwah ini terus berjalan hingga saat ini dengan didukung
adanya wisma-wisma muslim yang diprakarsai oleh para donatur dan kemudian adanya bantuan
berupa wakaf tanah dari sebagian donatur kepada panitia. Tanah yang diwakafkan ini ditujukan
untuk pembangunan sarana ibadah atau masjid bagi masyarakat di dusun Donotirto desa
Bangunjiwo kecamatan Kasihan Bantul Yogyakarta – agak jauh dari UMY. Sementara kegiatan
rutin YAPADI secara umum masih terpusat di wilayah sekitar kampus UMY.
Program Ma'had al-Mubarok dikelola oleh Yayasan Pangeran Diponegoro (YAPADI) yang telah
resmi dibentuk dengan pembina diantaranya adalah Ust. Afifi Abdul Wadud, Ust. Ahmad Mz, Ust.
Romelan, Ust. Burhan, dr. Arifudin, Sp.OT, dan lain-lain. Adapun pengurus yayasan terdiri dari
ketua, sekretaris dan bendahara. Ketua oleh Bp. dr. Desin Pambudi S., sekretaris saudara Ardhi
Wiratama B.Y. S.Kom, dan bendahara Bp. Bayu Trihandoyo, S.Pt.
Yayasan Pangeran Diponegoro (YAPADI) bermula dari kegiatan dakwah dan pengajian yang
diadakan oleh rekan-rekan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bersama
beberapa alumni dan panitia kajian di sekitar kampus UMY. Pada awalnya dibentuk Forum Studi
Islam Mahasiswa (FORSIM) dengan program utama mengadakan kajian Ma'had al-Mubarok.
Alhamdulillah ada sebagian donatur yang dengan sukarela membeli sebuah rumah untuk dijadikan
sebagai wisma bagi rekan-rekan yang hendak belajar kuliah dan menimba ilmu agama. Kemudian
rumah itu dijadikan sebagai wisma al-Mubarok 1 yang berlokasi di dusun Ngebel tepatnya di
sebelah selatan SD Ngebel yaitu sekitar 200 m di sebelah barat Unires Putri UMY.
Setelah itu pihak donatur kembali membeli sebuah rumah di dusun Ngrame Tamantirto Kasihan
Bantul – sebelah selatan UMY tepat di depan kediaman Bp. Windry Atmoko, M.Acc selaku pendiri,
pengarah, dan pengawas kegiatan FORSIM dan Yayasan Pangeran Diponegoro. Rumah ini pun
dibuat sebagai wisma dengan nama Wisma al-Mubarok 2 dan sekarang dijadikan sebagai alamat
kantor Yayasan Pangeran Diponegoro (YAPADI). Alhamdulillah pihak donatur sejak awal telah
memberikan kemudahan bagi segenap warga dengan menggratiskan biaya sewa kamar di wisma ini.
Dengan harapan hal itu bisa semakin memacu semangat rekan-rekan untuk menimba ilmu dan
berdakwah. Rekan-rekan yang tinggal di wisma inilah yang banyak bergerak di lapangan untuk
mengadakan kegiatan kajian, menyebar buletin, publikasi, dsb.
Selain itu pihak donatur juga telah membeli rumah yang ketiga dan kemudian juga dijadikan
sebagai wisma al-Mubarok 3. Seperti wisma yang pertama, wisma ini juga diperuntukkan bagi
mereka yang ingin belajar agama dan menimba ilmu di bangku kuliah. Secara umum rekan-rekan
yang tinggal di wisma adalah mahasiswa dan ada juga yang sedang menempuh pendidikan di
Ma'had 'Ali bin Abi Thalib Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ditambah lagi dengan adanya
wisma khusus muslimah yang dibentuk dengan inisiatif Bp. Windry Atmoko, M.Acc dan keluarga
dengan nama Wisma Shofiyyah. Wisma muslimah ini juga diperuntukkan bagi mereka yang ingin
belajar agama dan berdakwah sembari menimba ilmu di bangku kuliah.
Program Ma'had al-Mubarok
Program Ma'had al-Mubarok merupakan serangkaian kegiatan pengajian dengan menyajikan
materi-materi dasar di dalam agama Islam. Kajian Ma'had al-Mubarok diadakan pada setiap akhir
pekan setiap Sabtu dan Ahad.
Kajian hari Sabtu bertempat di Masjid Muthohharoh Ngebel Tamatirto Kasihan bantul – selatan
Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Kajian pagi hari dimulai pukul 08.00
WIB dengan materi aqidah bersama Ustaz M. Romelan, Lc. Kemudian pada pukul 09.00 WIB
kajian kedua dengan materi tafsir bersama Ustaz Dwi Abu Dzulqarnain, BIS. Setelah itu juga
diadakan daurah/kajian spesial dengan materi tauhid bersama Ustaz Afifi Abdul Wadud, BIS pada
pukul 10.00 sampai menjelang waktu zuhur. Pada sore harinya pukul 16.00 dilanjutkan dengan
kajian akhlak bersama Ustaz Aris Munandar, M.PI di tempat yang sama.
Kajian hari Ahad bertempat di Masjid at-Taqwa Kadipiro Jl. Wates Km. 2 – sebelah barat
perempatan Wirobrajan Yogyakarta. Kajian dimulai pada pukul 08.00 WIB dengan tema hadits
bersama Ustaz Amrin Mustofa, S.Ud lalu dilanjutkan sesi kedua pada pukul 09.00 WIB dengan
tema fikih bersama Ustaz Faharudin, BIS dan diakhiri dengan kajian tauhid bersama Ustaz Amir asSoronji, Lc. M.Pd.I pada pukul 10.00 sampai selesai.
Informasi lebih lengkap silahkan buka website : al-mubarok.com
Download