1949, dimana Indonesia baru saja memproklamasikan k

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rentang masa pada tahun 1945 – 1949, dimana Indonesia baru saja
memproklamasikan kemerdekaannya dari penjajahan Belanda merupakan masa
teramat buruknya kondisi perekonomian yang dialami. Meskipun Belanda saat itu
telah mengakui secara de jure kedaulatan Republik Indonesia, tetapi usaha-usaha
mengontrol dan mengintervensi ekonomi Indonesia masih menjadi tujuan strategis
mereka ketika berada di wilayah kedaulatan. Ini terbukti dari langkah-langkah
mereka dalam menguasai sebagian wilayah Indonesia dan Indonesia beberapa kali
mengalami pergantian penguasa dan pusat Negara (Ibukota) yang disebabkan
penculikan yang dilakukan kepada penguasa saat itu (Soekarno).
Selama masa itu, perkembangan perekonomian Indonesia amat sangat
menyedihkan. Seluruh indikator makro ekonomi dengan tiada kecualinya dengan
jelas bahwa kondisi jatuhnya ekonomi teramat dalam. Penurunan produksi yang
penyebab utamanya adalah hancurnya faktor-faktor produksi akibat perang.
Deficit neraca perdagangan terjadi beberapa tahun, deficit anggaran belanja
Republik Indonesia dan Pemerintahan Hindia Belanda (pemeintahan buatan
Belanda yang dibentuk di Indonesia) juga terjadi karena sebagian besar
dipergunakan untuk bidang militer yang masing-masing kepentingannya untuk
berperang diantara keduanya. Sehingga saat itu penambahan volume peradaran
uang yang berlebihan akibat pencetakan yang dilakukan oleh pemerintah
menyebabkan excess demand (permintaan berelebih) dari jumlah penawaran yang
tetap dan terjadi inflasi yang sangat tinggi.
Duswara mengatakan bahwa data saat itu menunjukkan bahwa volume
peredaran uang telah mencapai Rp. 6 miliar untuk wilayah yang dikuasai
Indonesia, sedangkan pada wilayah penguasaan Belanda jumlahnya mencapai Rp.
3,7 miliar (tahun 1949).1 Pada tahun yang sama terdapat berbagai jenis mata uang
yang beradar dalam masyarakat yang berbeda-beda nilai tukarnya mengakibatkan
1
Ahmad Duswara. Bank Sentral dan Kebijakan Moneter. (Jakarta: Rajawali Press. 2005).
Hal. 6
1
situasi moneter menjadi teramat kacau (chaos) dan membigungkan. Kebijakankebijakan keuangan Negara di daerah tidak banyak perbedaan dengan kebijakan
daerah pendudukan Belanda. Anggaran belanja kedua pemerintahan terusmenerus deficit hanya untuk memenuhi kebutuhan perang dengan tanpa
memperbaiki kondisi perekonomian yang saat itu inflasi terlampau tinggi. Kendati
demikian, pada tahun itu, Amerika Serikat dalam rangka melaksanakan program
‘Marshal Plan’ telah bersedia menyediakan dana bagi negara-negara eropa untuk
membantu memulihkan perkonomiannya. Nah, karena Indonesia merupakan
‘dependent territory’ dari Belanda (Nederland), maka berhak menerima baik
langsung atau pada kondisi tertentu. Yang menjadi syarat pemberian bantuan
tersebut adalah bahwa nilai lawan dalam mata uang Indonesia (pendudukan
Belanda) harus disetor ke dalam sebuah rekening ‘E.C.A. Counterpart Fund’,
yang mulai diberlakukan untuk tujuan selektif.
Akibat hal itu, lalu lintas pembayaran antara Indonesia dengan luar negeri
berlangsung di bawah suatu ‘rezim devisa’, yang telah diberlakukan pada
pertengahan 1940. Pangkal pokoknya dari ‘rezim devisa’ tersebut adalah bahwa
devisa dan emas pada prinsipnya hanya diperkenankan dimiliki oleh negara.
Dampak selanjutnya adalah valuta asing yang telah diperoleh dari hasil ekspor
harus diserahkan kepada dana devisa. Ekonomi moneter daerah kekuasaan
Indonesia dengan secara langsung mengalami keadaan yang pasif, dimana hanya
mampu memberikan akomodasi kepada keperluan-keperluan polotik dan militer
serta mengusahakan jaminal yang sangat minimal untuk kehidupan rakyat.
Setelah berdirinya Bank Indonesia pada tanggal 5 juli 1946, kebijakan
moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan
pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca
perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya
perbaikan posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada
periode ekonomi terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan negara terus
meningkat, terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi
terus membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan moneter, yaitu
tahun 1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa
2
pemulihan ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian
diteruskan dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal
1980-an. Di tengah pasang surutnya kondisi perekonomian, lahirlah berbagai
paket
kebijakan
ekonomi
yang
bertujuan
untuk
memperkuat
struktur
perekonomian Indonesia.
Mulai pertengahan tahun 1997, krisis ekonomi moneter menerpa
Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem pembayaran terancam macet, dan
banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan. Lumpuhnya kegiatan ekonomi
karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja
yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena
terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah
nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti
kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan
terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di
Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan
Mei 1998 lalu dan kelanjutannya. Krisis moneter ini terjadi, meskipun
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan
disanjung-sanjung oleh Bank Dunia.
Yang dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat
pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih
surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya
masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran
pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.
Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti
peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor
yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang
bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak
pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim
perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri
3
yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga
krisis kepercayaan.
Namun semua kelemahan ini masih mampu ditampung oleh perekonomian
nasional. Yang terjadi adalah, mendadak datang badai yang sangat besar, yang
tidak mampu dibendung oleh tembok penahan yang ada,yang selama bertahuntahun telah mampu menahan berbagai terpaan gelombang yang datang
mengancam.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
Bagaimana kebijakan Moniter?
Bagaimana Target Kebijakan Kebijakan Moneter?
Bagaimana Indikator Kebijakan Moneter?
Apa Kebijakan Moniter yang diambil pemerintah Indonesia?
Bagaimana Dampat kebijakan Moniter?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Ekonomi
1.
Arti Pertumbuhan Ekonomi
Tambunan menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi secara singkat
merupakan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, pengertian
ini menekankan pada tiga hal, yaitu proses, output per kapita dan jangka panjang. 2
Proses menggambarkan perkembangan perekonomian dari waktu ke waktu yang
lebih bersifat dinamis, output per kapita mengaitkan aspek output total (GDP) dan
aspek jumlah penduduk, sedangkan jangka panjang menunjukkan kecenderungan
perubahan perekonomian dalam jangka tertentu yang didorong oleh proses intern
perekonomian (self generating). Pertumbuhan ekonomi juga diartikan secara
sederhana sebagai kenaikan output total (PDB) dalam jangka panjang tanpa
memandang apakah kenaikkan itu lebih kecil atau lebih besar dari laju
pertumbuhan penduduk atau apakah diikuti oleh pertumbuhan struktur
perekonomian atau tidak.
Teori pertumbuhan ekonomi menjelaskan faktor-faktor yang menentukan
pertumbuhan ekonomi serta bagaimana keterkaitan antara faktor-faktor tersebut
sehingga terjadi proses pertumbuhan. Terdapat banyak teori pertumbuhan
ekonomi, tetapi tidak ada satupun yang komprehensif yang dapat menjadi standar
yang baku, karena masing-masing teori memiliki kekhasan sendiri-sendiri sesuai
dengan latar belakang teori tersebut.
2.
Konsep Pendapatan Nasional
Pendapatan Nasional pada dasarnya merupakan total nilai tambah yang
diperoleh dari seluruh aktivitas ekonomi di suatu Negara selama periode tertentu.
Berdasarkan ruang lingkup pencatatan pendapatan nasional dikenal dua istilah
yaitu Gross National Product (GNP) dan Gross Domestic Product (GDP). GNP
memfokuskan pencatatan berdasarkan kewarganegaraan yaitu seluruh nilai
2
Tulus Tambunan. Pengantar Ilmu Ekonomi. (Jakarta: Rajawali Press. 2002) Hal. 39
5
tambah yang dihasilkan seluruh warga negara dan perusahaan baik yang berada di
dalam negeri maupun di luar negeri, sedangkan GDP mencatat seluruh aktivitas
ekonomi yang dilakukan oleh seluruh penduduk di suatu negara tanpa
membedakan apakah warga Negara dan perusahaan domestik maupun warga
negara dan perusahaan asing.
Sehingga angka yang dihasilkan dalam GNP lebih mencerminkan hasil
aktivitas yang benar-benar dihasilkan warga negara tersebut, sedangkan angka
GDP tidak hanya murni dihasilkan warga negara saja tetapi terdapat sumbangan
dari pihak asing. Perhitungan pendapatan nasional jika dilihat dari metode
perhitungannya pada dasarnya mencakup tiga metode yaitu metode produksi,
metode penggunaan dan metode pendapatan. Metode produksi juga dikenal
dengan metode nilai tambah memperhitungkan pendapatan nasional dengan cara
menjumlahkan seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh semua sektor-sektor
ekonomi dalam suatu negara. Di Indonesia metode ini mencakup nilai tambah 9
sektor yaitu sektor perikanan; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan;
listrik, gas dan air minum; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran;
pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta
jasa-jasa.
Di Indonesia, komponen pengeluaran yang dicatat mencakup konsumsi
swasta
(baik
rumah
tangga
maupun
perusahaan),
belanja
pemerintah,
pembentukan modal tetap domestik, ekspor barang dan jasa, serta pengurang
impor barang dan jasa. Untuk kepentingan penyeimbang adanya selisih Badan
Pusat Statistik menambahkan komponen perubahan dalam stock atau inventaris.
Metode yang terakhir adalah metode pendapatan, yang menjumlahkan seluruh
pendapatan yang diterima atas penggunaan faktor-faktor produksi antara lain
upah, sewa, laba yang telah disesuaikan dengan besaran penyusutan. Pada
akhirnya ketiga metode perhitungan tersebut akan menghasilkan angka yang
sama, di Indonesia hasil ini dapat dilihat pada tabel Input-Output yang
dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik.
6
B. Jumlah Uang Beredar
1.
Mekanisme Uang Beredar
Teori ekonomi mempunyai perlakuan yang sama terhadap barang atau jasa
maupun uang. Meskipun analisis permintaan dan penawaran uang lebih kompleks
namun kerangka berpikir pada pasar barang dapat diterapkan. Mekanisme
transaksi dalam pasar uang pada dasrnya tidak jauh beda dengan transaksi barang
atau jasa. Dalam pasar uang juga terdapat permintaan dan penawaran selayaknya
transaksi pada pasar barang atau jasa. Uang merupakan komponen utama dalam
penentuan arah kebijakan moneter, di mana uang dimainkan oleh otoritas moneter
sebagai upaya pengendalian ekonomi suatu Negara.
Teori penawaran uang pada mulanya berkembang dari teori permintaan
uang, para ekonom klasik (Irving Fisher, Cambridge) dan Keynesian telah
memberikan pandangan tentang pola permintaan dan penawaran uang. Otoritas
moneter memainkan peranannya menaikturunkan jumlah uang beredar di
masyarakat adalah upaya untuk mengendalikan perekonomian negera.
Pratomo mengatakan, keseimbangan pasar uang tercapai ketika terjadi
keseimbangan antara permintaan uang dengan penawaran uang (Md = Ms). Dari
keseimbangan tersebut akan terbentuk kurva LM yang mencerminkan titik
keseimbangan bunga dengan pendapatan nasional pada pasar uang.3
2.
Konsep Penawaran Uang
Uang dalam pengertian ekonomi adalah penawaran uang atau disebut
jumlah uang beredar. Uang adalah segala sesuatu yang diterima secara umum
untuk pembayaran barang atau jasa maupun dalam pembayaran hutang. Jumlah
uang beredar di masyarakat berupa penjumlahan dari uang kartal dan uang giral.
Terdapat beberapa definisi jumlah uang beredar.
a.
M1, yaitu uang yang terdapat dalam sirkulasi ditambah noninterest bearing
demand deposit (rekening giro)
M1 = C + DD
3
Agung Pratomo. Uang dan Perbankan Edisi Kedua. (Jakarta: Erlangga. 2006) Hal. 75
7
Demand deposit terbentuk dari cadangan bank (R). Jadi dengan adanya
cadangan bank (R), bank dapat menciptakan uang giral berupa rekening
Koran (giro). M1 merupakan uang yang paling likuid, sebab proses uang
kontan (cash) sangat cepat.4
b.
M2, yaitu M1 ditambah dengan interest bearing demand deposit
M2 = M1 + QM
Uang kuasi terdiri dari time deposite (deposito berjangka) dan saving deposit
(tabungan). Uang luas ini tingkat likuiditasnya lebih rendah dibandingkan
uang M1, karena untuk merubahnya menjadi uang kontan membutuhka waktu
yang lebih lama. Uang dekat dapat digunakan secara langsung untuk
bertransaksi, sedangkan uang luas tidak dapat digunakan secara langsung.
Tabungan dapat dirubsh menjadi uang kontan setelah kita melakukan
penarikan uang tunai di bank atau ATM.5
c.
M3, yaitu M2 ditambah deposito yang tidak selalu dapat digunakan sebagai
alat pembayaran (time deposit).6
C. Inflasi
1.
Pengertian Inflasi
Pada dasarnya, inflasi didefinisikan sebagai gejala kenaikan harga secara
umum. Manurung mendefinisikan inflasi sebagai .kenaikan harga umum secara
terus-menerus dan persisten dari suatu perekonomian.7 Sedangkan Taylor
menyatakan “Economist use the term inflation to describe a situation in which the
economy.s overall price level is rising.”8
Sedangkan untuk mengukur tingkat inflasi suatu negara, bisa digunakan
tiga indikator yaitu:
4
5
Ibid. Hal. 81
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2008)
Hal. 62
6
Ibid. Hal. 63
Mandala Manurung. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian Kontekstual
Indonesia). (Jakarta: Erlangga. 2000) Hal. 102
8
John Taylor. The Role of Exchange Rate in MonetaryPolicy Rules. (Chicago: University
of Chicago Press. 1999) Hal. 118
7
8
1. Perubahan Indek Harga Konsumen (IHK) atau Indek Biaya Hidup (IBH).
2. Perubahan Indek Harga Perdagangan Besar (IHPB).
3. Perubahan Deflator GDP/GDY.
Masing-masing indikator punya kelebihan dan kekurangan, namun yang
utama adalah kita bagaimana menggunakan jenis indikator sesuai dengan
kebutuhan dan tujuan pengukuran. Di Indonesia, indikator yang sering digunakan
untuk mengukur inflasi ini adalah IHK.
Selanjutnya Pohan mengatakan inflasi adalah kecenderungan dari hargaharga untuk naik secara umum dan terus menerus. Akan tetapi bila kenaikan harga
hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan
tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barangbarang. Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang
sama.9
Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus menerus dan kenaikan
harga yang terajadi pada seluruh kelompok barang dan jasa. Bahkan mungkin
dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga
umum barang secara terus menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga
barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup
besar, bukanlah merupakan inflasi Atau dapat dikatakan, kenaikan harga barang
yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan menyebabkan
inflasi.
Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan di mana terjadi
kelebihan
permintaan
(Excess
Demand)
terhadap
barang-barang
dalam
perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai suatu kenaikan harga yang terus
menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan
sesaat).
2.
Sebab-sebab Timbulnya Inflasi
Sebab-sebab timbulnya inflasi dikelompokkan kedalam dua sebab, yaitu
sebagai berikut:
9
Aulia Pohan. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implikasinya di Indonesia. (Jakarta:
Raja Grafindo Persada. 2002) Hal. 66
9
a. Demand pull inflation dapat disebabkan oleh sektor riil dan moneter. Berasal
dari sektor riil terjadi akibat adanya kenaikan permintaan agregat pada saat
perekonomian dalam keadaan full employment. Adanya kenaikan permintaan
agregatif akan menggeser kurva permintaan agregatif ke kanan (dari AD1 ke
AD) sebagaimana terlihat pada gambar 2.1. Akhirnya kenaikan AD akan
menaikkan P (harga). Kenaikan harga satu atau dua kali belum dikatakan
inflasi. Apabila kondisi kenaikan permintaan agregat tersebut meningkat terus
dan tidak bisa terpenuhi, maka yang akan terjadi adalah kenaikan harga
secara terus menerus dengan jumlah output yang dihasilkan tetap. Kondisi
inilah yang disebut inflasi.
Gambar 2.1 : Inflasi karena dorongan permintaan
a. Cost Push Inflation terjadi karena adanya kenaikan harga dari pemilik
faktor produksi. Kondisi ini terjadi karena jumlah penawaran lebih rendah
dibandingkan permintaannya. Penawaran agregat semakin turun karena
semakin mahalnya biaya produksi. Kenaikan biaya produksi yang
mendorong terjadinya cost push inflation, antara lain tuntutan kenaikan
upah dari pekerja, kenaikan bahan baku, adanya industri monopolis,
pengaruh alam, dan inflasi luar negeri. Proses terjadi inflasi karena
semakin meningkat, maka dorongan biaya produksi ini dapat dilihat pada
gambar 2.2.
10
Gambar 2.2 : Inflasi karena kenaikan harga
Misalkan kondisi full employement terjadi pada saat Y1 dan P1. Bila
serikat buruh memaksa adanya kenaikan upah, maka produsen
menananggapinya dengan menaikkan harga. Kenaikan harga akan
menyebabkan penawaran barang/jasa berkurang untuk setiap tingkat
harga. Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus, maka harga akan
terus bergerak dari P1 ke P2, kemudian ke P3 sedangkan output semakin
berkurang dari Y1 ke Y2 dan ke Y3.
3.
Jenis-jenis Inflasi
Jenis-jenis inflasi dapat digolongkan berdasarkan beberapa bagian sebagai
berikut:
a. Penggolongan berdasarkan sifatnya
Berdasarkan sifatnya, jenis-jenis inflasi adalah sebagai berikut:
-
Inflasi ringan (< 10% setahun), ditandai dengan kenaikan harga berjalan
secara lambat dengan persentase yang kecil serta dalam jangka waktu yang
relative.
-
Inflasi sedang (10%-30% setahun), ditandai dengan kenaikan harga yang
relatif cepat atau perlu diwaspadai dampaknya terhadap perekonomian.
-
Inflasi berat (30%-100% setahun), ditandai dengan kenaikan harga yang
cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek
serta mempunyai sifat akselerasi yang artinya harga-harga minggu atau
bulan ini lebih tinggi dari minggu atau bulan sebelumnya.
11
-
Hiperinflasi (>100% setahun), dimana inflasi ini paling parah akibatnya.
Masyarakat tidak lagi berkeinginan untuk menyimpan uang, nilai uang
merosot dengan tajam, sehingga ditukar dengan barang. Harga-harga naik
lima sampai enam kali. Biasanya keadaan ini timbul oleh adanya perang
yang dibelanjai atau ditutupi dengan mencetak uang.
b. Berdasarkan sebab terjadinya
Berdasarkan sebab terjadinya, inflasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
-
Demand pull inflation
Adalah inflasi yang timbul karena permintaan masyarakat terhadap akan
berbagai barang terlalu kuat. Demand pull inflation terjadi karena kenaikan
permintaan agregat dimana kondisi perekonomian telah berada pada
kesempatan kerja penuh. Jika kondisi produksi telah berada pada kesempatan
kerja penuh. Jika kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh,
maka kenaikan permintaan tidak lagi mendorong kenaikan output ataupun
produksi tetapi hanya mendorong kenaikan harga-harga yang disebut inflasi
murni. Kenaikan permintaan yang melebihi produk domestik bruto akan
menyebabkan inflationary gap yang menyebabkan inflasi.
-
Cost Push Inflation
Adalah inflasi yang timbul karena kenaikan biaya produksi. Pada Cost
Push Inflation tingkat penawaran lebih rendah dibandingkan tingkat
permintaan. Karena adanya kenaikan harga faktor produksi sehingga
produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah tertentu.
Penawaran agregat terus menurun karena adanya kenaikan biaya produksi.
-
Mixed Inflation
Merupakan gejala kombinasi antara unsur inflasi yang disebabkan karena
kenaikan permintaan dan kenaikan biaya produksi. Pada umumnya bentuk
yang sering terjadi adalah inflasi campuran, yaitu kombinasi dari kenaikan
permintaan dan kenaikan biaya produksi, dan sering sekali keduanya saling
memperkuat satu sama lain.
12
D. Kebijakan Moneter
1.
Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap mempertahankan
kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral atau Otoritas
Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang dengan
persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan kerja penuh
dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter dilakukan
antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen sebagai berikut
yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta asing dan
sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila mengalami
kesulitan likuiditas.
Nopirin mengatakan bahwa kebijakan moneter merupakan kebijakan
otoritas moneter atau bank sentral dalam bentuk pengendalian besaran moneter
(monetary aggregates) untuk mencapai perkembangan kegiatan perekonomian
yang diinginkan. Kebijakan moneter merupakan bagian integral kebijakan
ekonomi makro yang dilakukan dengan mempertimbangkan siklus kegiatan
ekonomi, sifat perekonomian suatu negara, serta faktor-faktor fundamental
ekonomi lainnya.10
Selanjutnya Indrawati mengatakan bahwa kebijakan moneter adalah
proses mengatur persediaan uang sebuah negara untuk mencapai tujuan tertentu;
seperti menahan inflasi, mencapai pekerja penuh atau lebih sejahtera. Kebijakan
moneter dapat melibatkan mengeset standar bunga pinjaman, "margin
requirement", kapitalisasi untuk bank atau bahkan bertindak sebagai peminjam
usaha terakhir atau melalui persetujuan melalui negosiasi dengan pemerintah
lain.11
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang
bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal
(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro,
yakni menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja,
kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila
10
Nopirin. Ekonomi Moneter. (Bandung: Refika Aditama. 2000) Hal. 47
Yuli Indrawati. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia. (Malang:
Bayumedia. 2002) Hal. 23
11
13
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter
dapat dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan
moneter pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian
ditransfer pada sektor riil.
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan
Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan ekonomi makro agar
dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui pengaturan jumlah uang
yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi
kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan.
2.
Target Kebijakan Moneter
Target akhir sebuah kebijakan moneter adalah suatu kondisi ekonomi
makro yang ingin dicapai. Target akhir tersebut tidak sama dari satu negara
dengan negara lainnya serta tidak sama dari waktu ke waktu. Target kebijakan
moneter tidak statis, namun bersifat dinamis karena selalu disesuaikan dengan
kebutuhan perekonomian suatu negara. Akan tetapi, kebanyakan negara
menetapkan empat hal yang menjadi ultimate target dari kebijakan moneter, yaitu:
a. Pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan,
b. Kesempatan kerja,
c. Kestabilan harga, dan
d. Keseimbangan neraca pembayaran.
Idealnya, semua sasaran perekonomian tersebut dapat dicapai secara
serentak dan optimal. Namun, karena usaha-usaha untuk mencapai sasaransasaran tersebut dapat menimbulkan dampak yang kontradiktif, sangat sulit untuk
mencapai semua sasaran dengan serempak san optimal. Menyadari adanya hal
yang bertolak belakang tersebut, otoritas moneter biasanya harus memilih
berbagai alternatif yang memungkinkan dan menguntungkan. Alternatif pertama
adalah memilih salah satu sasaran untuk dicapai secara optimal dan mengabaikan
sasaran lainnya. Alternatif kedua adalah mengupayakan untuk mencapai semua
target dengan resiko tidak ada satupun yang tercapai secara optimal. Alternatif ini
dipilih dengan alasan karena semua indikator yang menjadi target kebijakan
14
ekonomi itu sama pentingnya. Betapa pentingnya semua target itu membuat
kebijakan moneter yang diambil oleh suatu negara bukanlah sebuah langkah
mudah. Namun, tujuan Bank Indonesia telah bersifat tunggal, yaitu menjaga
kestabilan harga atau inflasi.
3.
Indikator Kebijakan Moneter
Di dalam proses pencapaian sasaran kebijakan moneter, sering dihadapkan
dengan gejolak perkembangan perekonomian yang menghambat sasaran yang
ditetapkan. Sehubungan dengan itu, diperlukan indikator (sasaran antara) yang
dapat memberi petunjuk apakah perkembangan moneter tetap terarah pada usaha
pencapaian sasaran akhir yang ditetapkan atau tidak. Indikator tersebut umumnya
dua hal, yakni suku bunga dan atau uang beredar. Dengan demikian, kedua
variabel tersebut mempunyai dua fungsi, yakni sebagai sasaran menengah dan
indikator.
1.
Tingkat Suku Bunga
Kebijakan moneter yang menggunakan suku bunga sebagai sasaran
antara akan menetapkan tingkat suku bunga yang ideal untuk mendorong
kegiatan investasi. Apabila suku bunga menunjukkan kenaikan melampaui
angka yang ditetapkan, bank sentral akan segera melakukan ekspansi moneter
agar suku bunga turun sampai pada tingkat yang ditetapkan tersebut, dan
begitu sebaliknya.
2.
Uang Beredar (Monetary Aggregate)
Kebijakan moneter yang menggunakan monetary aggregate atau uang
beredar sebagai sasaran menengah mempunyai dampak positif berupa tingkat
harga yang stabil. Apabila terjadi gejolak dalam jumlah besaran moneter,
yaitu melebihi atau kurang dari jumlah yang ditetapkan, bank sentral akan
melakukan kontraksi atau ekspansi moneter sedemikian rupa sehingga
besaran moneter akan tetap pada suatu jumlah yang ditetapkan. (Aulia Pohan,
2008)
4.
Instrumen Kebijakan Moneter
15
Di dalam pelaksanaan kebijakan moneter, bank sentral biasanya
menggunakan berbagai piranti sebagai instrumen dalam mencapai sasaran. Secara
umum, instrumen yang biasa digunakan dikelompokkan menjadi dua bagian,
yakni instrumen langsung dan instrumen tidak langsung.12
1.
Instrumen Langsung
Disebut sebagai instrumen langsung karena otoritas moneter dapat secara
langsung menggunakan instrumen tersebut ketika dibutuhkan, ini juga disebut
kebijakan moneter yang bersifat kualitatif, diantaranya adalah
a.
Penetapan Suku Bunga
Penetapan suku bunga merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan bank sentral dalam rangka kebijakan moneter. Teknisnya, bank
sentral menetapkan tingkat suku bunga, baik suku bunga simpanan maupun
suku bunga pinjaman. Dengan penetapan suku bunga ini, bank sentral dapat
melakukan ekspansi dan kontraksi moneter sesuai kebutuhan. Akan tetapi,
dengan makin mengglobalnya perekonomian dunia, penetapan suku bunga
makin hari makin tidak effektif. Lagi pula, efektivitas penetapan suku bunga
akan sangat tergantung pada penegakan aturan dari pihak regulator, dalam hal
ini bank sentral.
Di masa lalu, Indonesia pernah menggunakan instrumen ini sebagai
salah satu langkah dalam kebijakan moneternya. Namun, kini sudah tidak
lagi. Besaran suku bunga, baik simpanan maupun pinjaman, dilepas ke
mekanisme pasar.
b.
Pagu Kredit
Selain menetapkan suku bunga, bank sentral juga dapat menjaga
likuiditas di pasar dengan menetapkan besaran maksimum kredit perbankan
yang dapat disalurkan, yang lazim disebut sebagai pagu kredit. Berapa
maksimum bank menyalurkan kreditnya diatur oleh otoritas moneter. Dengan
pembatasan kredit ini, jumlah uang beredar dapat dikendalikan. Pagu kredit
inilah yang dinaikturunkan sesuai kebutuhan.
12
Rahmat Hidayat. Pasar Keuangan dan Lembaga Keuangan Bank dan Bukan Bank.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2002). Hal. 127
16
c.
Kredit Langsung
Pada era prakrisis kita mengenal apa yang disebut dengan kredit
likuiditas di mana Bank Indonesia memberikan kredit untuk keperluan
proiritas tertentu. Misalnya terkait dengan program atau proyek tertentu yang
tengah digalakkan oleh pemerintah. Kredit langsung ini merupakan salah satu
bentuk instrumen langsung yang dapat dikendalikan bank sentral. Namun,
kini instrumen langsung ini tidak lagi digunakan karena dianggap tidak
efektif dan sangat mahal.
d.
Moral Suasion
Selain instrumen diatas, bank sentral juga dapat melakukan inbauan
moral. Instrumen ini tidak menuntut bank umum untuk menaatinya. Biasanya
imbauan moral merupakan pernyataan bank sentral (misalnya oleh Gubernur
Bank Indonesia) yang bersifat mengarahkan atau memberi informasi yang
lebih bersifat makro untuk dijadikan masukan bagi bank-bank umum dalam
pengelolaan asset dan kewajibannya.
2.
Instrumen Tidak Langsung
Disebut instrumen tidak langsung karena instrumen tidak secara langsung
mempengaruhi uang beredar. Akan tetapi, melalui instrumen inilah, pada akhirnya
jumlah uang beredar dapat dikendalikan, atau disebut kebijakan moneter yang
bersifat kuantitatif, diantaranya adalah :
a.
Cadangan Wajib Minimum
Cadangan wajib minimum adalah ketentuan bank sentral yang
mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat likuid (reserve)
sebesar persentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil
persentase tersebut semakin besar kemampuan bank memanfaatkan reservenya untuk memberikan pinjaman dalam jumlah yang lebih besar. Sebaliknya
semakin besar persentase semakin berkurang kemampuan bank untuk
memberikan pinjaman.
17
Memberikan cadangan ini bisa dijaga dalam bentuk kas atau dalam
bentuk rekening giro di bank sentral. Biasanya cadangan dibedakan dalam
dua bentuk yakni cadangan primer dan cadangan sekunder. Yang dimaksud
dengan cadangan wajib minimum lebih mengacu kepada cadangan primer.
Sementara itu, cadangan sekunder merupakan tambahan, biasanya terdiri atas
surat-surat berharga.
Boediono mengatakan persentase cadangan wajib minimum
mempengaruhi daya ekspansi kredit. Jika bank sentral menurunkannya maka
daya ekspansi kredit bank umum akan meningkat, sehingga jumlah uang
beredar bertambah. Sebaliknya, jika persentasenya dinaikkan maka daya
ekspansi kredit bank umum menurun dan jumlah uang beredar juga
berkurang.13
b.
Fasilitas Diskonto
Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter dalam mempengaruhi
jumlah uang beredar melalui pengaturan suku bunga pemberian kredit bank
sentral kepada bank-bank. Apabila bank sentral menetapkan tingkat diskonto
lebih tinggi, bank-bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral
yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuan bank-bank memberikan
pinjaman sehingga jumlah uang beredar menurun. Sebaliknya, apabila bank
sentral menetapkan diskonto lebih rendah bank-bank akan meningkatkan
permintaan kredit ke bank sentral untuk disalurkan lebih lanjut berupa
pemberian pinjaman, sehingga jumlah uang beredar meningkat.
c.
Operasi Pasar Terbuka
Operasi Pasar Terbuka adalah kegiatan bank sentral melakukan jual
beli surat-surat berharga jangka pendek dalam rangka mengatur jumlah uang
beredar atau suku bunga jangka pendek. Di Indonesia, salah satu sekuritas
yang sering digunakan Bank Indonesia untuk mengendalikan jumlah uang
beredar adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang dikeluarkan BI. Kepada
setiap pemilik SBI Bank Indonesia memberikan balas jasa berupa pendapatan
bunga.
13
Boediono. Ekonomi Moneter. (Yogyakarta: BPFE. 2000) Hal. 84
18
Jika bank sentral bermaksud mengurangi jumlah uang yang beredar,
bank sentral akan menjual surat-surat berharga kepada bank-bank agar
reserve bank-bank berkurang sehingga kemampuan bank-bank memberikan
pinjaman menurun. Tindakan ini disebut kontraksi moneter. Sebaliknya,
untuk menambah jumlah uang beredar, bank sentral akan membeli surat-surat
berharga untuk meningkatkan kemampuan bank-bank memberikan pinjaman
sehingga jumlah uang beredar meningkat. Pembelian atau penjualan suratsurat berharga tersebut dapat pula dilakukan oleh bank sentral dari/kepada
masyarakat agar langsung dapat menambah/mengurangi jumlah uang beredar.
5.
Kebijakan Moneter yang diambil Pemerintah Indonesia
Tirani menjelaskan bahwa Bank Indonesia (BI) mengeluarkan empat paket
kebijakan. Hal ini dilakukan untuk memperkuat stabilitas moneter di tengah
bergejolaknya nilai tukar rupiah seperti yang terjadi sekarang. Sesuai kurs
referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) BI, nilai tukar rupiah turun
53 poin ke level RpRp10.848/US$ dari posisi kemarin sebesar Rp10.795/US$.
Sepanjang sepekan ini, rupiah telah tergerus 456 poin.14
Pertama, BI mengeluarkan instrumen sertifikan deposito Bank Indonesia
(SDBI). Surat berharga ini bertenor 3-9 bulan. Instrumen ini dapat
diperdagangkan antar bank. Akan tetapi, SDBI ini tidak bisa diperdagangkan
kepada pihak asing. Modelnya adalah lelang. Ini perangkat alat likuid. Ini untuk
memperlancar instrumen antar bank. Untuk memperkuat likuiditas antar bank.
Bisa dipindahtangankan kapan saja. Instrumen ini melengkapi reverse repo dan
SBI yang masing-masing instrumen itu punya ciri khas masing-masing.
Kedua, BI memperluar jangka waktu term deposit (TD) Valas menjadi 1
hari-12 bulan. Sebelumnya, TD valas bertenor 7,14 dan 30 hari.
Ketiga, instrumen reswap. Instrumen ini berkaitan dengan transaksi
derivatif bank terkait dengan pada nasabah bank atau pihak terkait. Selama ini,
transaksi derivatif bank tidak boleh menanggung risiko transaksi derivatif sendiri.
14
Edwin Tirani. Kebijakan Moneter BI.
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/08/23/2/176869/BI-Keluarkan-5-KebijakanMoneter. Diakses tanggal 10 Januari 2014
19
Oleh karena itu, bank harus membagi risiko kepada bank lain. Akan tetapi, bank
sulit mendapatkan bank rekanannya (counter party) karena kurang dalamnya pasar
keuangan dalam negeri. Sehingga, bank dapat datang ke BI dalam lelang fx swap.
Contohnya, pemegang saham A melakukan instrumen derivatif di bank tersebut.
Oleh karena tidak boleh menanggung risiko sendiri, bank A melelangnya kepada
bank B atau C. Kini, bank A bisa langsung datang ke BI dalam lelang swap.
Keempat, BI melakukan perluasan underlying pembelian valas bagi
eksportir berupa dokumen penjualan hasil ekspor. Jangka waktu underlying itu
maksimal 6 bulan dan batas maksimum pembelian valas US$200 juta. Selama ini
eksportir
enggan
menukarkan
valas
hasil
ekspornya
karena
khawatir
mendapatkannya kembali. Oleh karena itu, BI menjamin ketersediaan valas bagi
eksportir. Caranya adalah surat penjualan valas eksportir dijadikan underlying bila
membutuhkan valas dikemudian hari. Underlying itu dapat digunakan lebih dari
satu kali. Selama ini hanya bisa dipake sekali. Sekarang bisa lebih dari sekali
karena kita tak mau eksportir yang butuh valas karena masalah underlying nabrak
valas dimana-mana.
Bank Indonesia merelaksasi peraturan BI No.13/7/PBI/2011 tentang
Pinjaman Luar Negeri Bank bahwa Bank wajib memenuhi ketentuan pembatasan
Utang Luar Negeri (ULN) jangka pendek sebesar 30% dari modal. Bank sentral
menambah jenis pengecualian ULN berupa giro milik bukan penduduk yang
menampung dana hasil divestasi.
6.
Dampak Kebijakan Moneter
Dampak kebijakan moneter dapat dilihat pada jangka pendek dan jangka
menengah. Pembedaan ini sangat diperlukan untuk mengetahui pemahaman yang
benar tentang apa yang dapat dilakukan oleh kebijakan moneter. Pada kondisi
jangka pendek, pergerakan tingkat harga dan output terlihat sangat kompleks
dibandingkan pada kondisi jangka menengah/panjang.
Pohan menjelaskan dampak kebijakan moneter dibagi kedalam dua
kelompok, yaitu:15
15
Aulia Pohan. Potret Kebijakan Moneter Indonesia, Cetakan Pertama (Jakarta: PT. Raja
Grafindo. 2008) Hal. 69
20
1) Jangka menengah atau panjang
Teori moneter memberikan penjelasan mengenai hubungan antara inflasi,
pertumbuhan output dan pertumbuhan uang. Ekspansi moneter akan
meningkatkan pertumbuhan output dan kemudian meningkatkan tingkat harga
umum. Secara rata-rata, tingkat inflasi akan sama dengan kelebihan ekspansi
moneter atas biaya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan potensial dalam
perekonomian.
Pada jangka menengah tidak terdapat trade off bahwa otoritas dapat
mengeksploitasi untuk meningkatkan output pada tingkat inflasi yang tinggi.
Pernyataan tersebut berdasarkan dua alasan, yaitu (1) pada jangka pendek para
pelaku ekonomi belajar dari kesalahan yang telah dibuat di masa lalu dan
mengakhirinya dengan prediksi yang baik tentang bagaimana perekonomian
bekerja; (2) selanjutnya harga dan upah menjadi fleksibel dan diikuti oleh
pasar barang dan pasar tenaga kerja yang sempurna. Hal tersebut berimplikasi
bahwa pada jangka menengah inflasi dianggap sebagai fenomena moneter,
otoritas moneter tidak bisa menggerakkan perekonomian melalui inflasi yang
tinggi sehingga inflasi yang tinggi pada akhirnya akan memperburuk
perekonomian.
2) Jangka pendek
Pada pembahasan mengenai dampak kebijakan moneter dalam jangka
pendek muncul adanya kekompleksitasan. Secara umum, jika harga dan upah
sangat fleksibel, maka pasar barang dan pasar tenaga kerja akan sempurna,
setiap agen ekonomi akan memiliki informasi penuh tentang kondisi
perekonomian dan kebijakan yang akan diterapkan oleh otoritas moneter. Pada
kondisi ini, baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek
kebijakan moneter hanya akan mempengaruhi harga tapi perekonomian riil
tidak terimbas (money just a veil).
Aliran pemikiran ekonomi yang mempercayai bahwa harga dan upah
sangat
fleksibel
pada
jangka
pendek
adalah
berdasarkan
adanya
missperception dari masyarakat. Pada saat masyarakat membuat ekspektasi
berdasarkan seluruh informasi yang tersedia, maka kebijakan moneter akan
21
mempunyai efek riil hanya jika kebijakan moneter tidak diantisipasi.
Kebijakan moneter yang tidak diantisipasi akan menimbulkan missperception
tentang perubahan harga sebagai perubahan pada harga relatif.
Pada jangka pendek tidaklah mencukupi untuk melakukan penyesuaian,
namun ketika masyarakat mulai belajar dan memperbaiki ekspektasinya
sepanjang waktu, maka harga akan menyesuaikan secara sempurna dan output
akan berada pada keseimbangan ketika jangka menengah. Pada sisi lain, jika
kebijakan moneter diantisipasi secara sempurna oleh masyarakat, maka agen
akan menggunakan informasi yang dimiliki dalam perhitungan dan dalam
membuat keputusan ekonomi. Sehingga kebijakan moneter akan secara penuh
dan cepat menggerakkan harga tanpa memiliki dampak jangka pendek
terhadap output.
Implikasi kebijakan dari kondisi di atas adalah: (1) hanya kebijakan
moneter yang tidak sistematik yang mempunyai efek jangka pendek terhadap
output, (2) kebijakan yang sistematik atau diantisipasi oleh masyarakat hanya
akan mempengaruhi harga dan tidak mempengaruhi output. Sehingga
kebijakan moneter yang bersifat ‘rules’ tidak akan mempunyai efek jangka
pendek terhadap perkembangan output.
Realitas yang ada di dunia nyata adalah seringkali terjadi imperfect
information sehingga harga dan upah tidak fleksibel penuh (nominal
rigidities). Pada kondisi terjadi kekakuan harga dan upah dan diikuti kebijakan
moneter yang sistematik maupun tidak sistematik, maka kebijakan moneter
memiliki efek temporer terhadap output. Sehingga, pilihan kebijakan dari
otoritas moneter untuk jangka pendek dapat berupa target harga (inflasi)
maupun output.
22
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kebijakan moneter adalah kebijakan pemerintah yang menyangkut tentang
pengaturan jumlah uang yang beredar dan penawaran uang pada suatu negara.
Terdapat dua jenis kebijakan moneter, yaitu kebijakan moneter ekspansif (easy
moneter policy) dan kebijakan moneter konstraktif (tight moneter policy). Dalam
penerapan kebijakan moneter, pemerintah memakai beberapa instrumen antara
lain politik diskonto, politik cash ratio, politik kredit selektif, politik pasar
terbuka, politik saneering, revaluasi, dan devaluasi.
Tujuan utama kebijakan moneter adalah menjaga kestabilan ekonomi suatu
negara. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia bersama pemerintah membuat
keputusan dengan menggunakan instrumen kebijakan moneter dalam mengatasi
masalah perekonomian yang ada di Indonesia. Semua itu diupayakan agar
tercapainya stabilisasi ekonomi, antara lain kesempatan kerja, kestabilan harga,
dan neraca pembayaran Internasional.
B.
Saran
Indonesia mengalami krisis ekonomi karena mekanisme perekonomian
yang dilakukan oleh pemerintah yang terlalu memaksakan pinjaman terhadap luar
negri.sehingga terjadinya inflasi yang mengakibatkan turunnya nilai tukar rupiah
terhadap nilai tukar mata uang asing. Oleh karena itu, penulis menyarankan
pemerintah untuk memberlakukan / mengubah semua tatanan perekonomian di
Indonesia agar perekonomian di Indonesia dapat pulih / masyarakat Indonesia
dapat kembali sejahtera.
23
DAFTAR PUSTAKA
Boediono. 2000. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE.
Duswara, Ahmad. 2005. Bank Sentral dan Kebijakan Moneter. Jakarta: Rajawali
Press.
Edwin Tirani. Kebijakan Moneter BI.
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/08/23/2/176869/BIKeluarkan-4-Kebijakan-Moneter. Diakses tanggal 10 Januari 2014
Hidayat, Rahmat. 2002. Pasar Keuangan dan Lembaga Keuangan Bank dan
Bukan Bank. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Indrawati, Yuli. 2002. Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia.
Malang: Bayumedia.
Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Manurung, Mandala. 2000. Uang, Perbankan, dan Ekonomi Moneter (Kajian
Kontekstual Indonesia). Jakarta: Erlangga.
Nopirin. 2000. Ekonomi Moneter. Bandung: Refika Aditama.
Pohan, Aulia. 2002. Kerangka Kebijakan Moneter dan Implikasinya di
Indonesia.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
. 2008. Potret Kebijakan Moneter Indonesia, Cetakan Pertama.
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Pratomo, Agung. 2006. Uang dan Perbankan Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga.
Tambunan, Tulus. 2002. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Rajawali Press.
Taylor, John. 1999. The Role of Exchange Rate in MonetaryPolicy Rules.
Chicago: University of Chicago Press.
24
Download