1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi

advertisement
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Rinosinusitis Kronik
1. Definisi
Rinosinusitis menurut European Position Paper on Rinosinusitis and
Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada
hidung dan sinus paranasal yang dikarakteristik oleh dua atau lebih gejala, salah
satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau nasal discharge
(anterior/posterior nasal drip), nyeri atau tekanan pada wajah, penurunan atau
menghilangnya daya penghidu. Sedangkan berdasarkan tanda dari endoskopi
rinosinusitis kronik merupakan polip hidung dan atau mukopurulen dari meatus
medius dan atau edema pada meatus medius dan berdasarkan perubahan CT scan
ditemukan mukosa yang berubah diantara ostiomeatal complex dan atau sinus
(Fokkens et al., 2012).
2. Patofisiologi
Faktor etiologi dari rinosinusitis kronik antara lain:
a.
Infeksi virus, bakteri, jamur
Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan
edema mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus penyebab
tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A, dan respiratory
syncytial virus (RSV). Selain jenis virus, keparahan edema mukosa
2
bergantung pada kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV
biasanya menimbulkan edema berat. Edema mukosa akan menyebabkan
obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terganggu.
Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat
kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang
diberikan sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus
tidak segera diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan
bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal. Pada saat
respons inflamasi terus berlanjut dan respons bakteri mengambil alih,
lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih anaerobik. Flora bakteri
menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman
anaerob, Streptococcus pyogenes (microaerophilic streptococci) dan
Staphylococcus
aureus.
Perubahan
lingkungan
bakteri
ini
dapat
menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan
efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus.
Infeksi menyebabkan 30% mukosa kolumnar bersilia mengalami
perubahan metaplastik menjadi mucus secreting goblet cells, sehingga
efusi sinus makin meningkat (Wang et al., 2002).
Pada pemeriksaan kultur jamur, dijumpai 96% jamur positif pada 210
pasien
rinosinusitis
kronik.
Beberapa
penelitian
yang
dilakukan
menunjukkan bahwa spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi
pada rinosinusitis kronik, dari yang non invasif sampai yang invasif.
Bentuk rinosinusitis karena jamur, antara lain; sinusitis fungal invasif baik
3
dalam bentuk akut fulminan maupun kronik indolent (biasanya terjadi
pada penderita immunocompromized), fungal ball (pembentukan massa
berbentuk bola) dan Rinosinusitis Alergi Fungal (AFS) yang terbentuk
akibat reaksi hipersensitivitas terhadap antigen fungal. AFS ditandai
dengan pembentukan musin, reaksi inflamasi tanpa diperantarai IgE,
eosinofilia, dan peningkatan IL-5 dan IL-13 (Bernstein, 2006; Shah et al.,
2008).
b.
Alergi
Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Hal
ini berbeda dengan alergi saluran napas bagian bawah. Histamin bekerja
langsung pada reseptor histamin selular, dan secara tidak langsung melalui
refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui sistem saraf
otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala beringus
encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal. Reaksi ini timbul segera
setelah beberapa menit pasca pajanan alergen (Zuliani et al., 2006).
Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan sinus yang menghasilkan edema
dan inflamasi di membran mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan
blokade di muara sinus dan membuat daerah yang ideal untuk
perkembangan jamur, bakteri, atau virus (Zuliani et al., 2006).
Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi
disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang edema
dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drainase sehingga
4
menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel
permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis
kronik (Zuliani et al., 2006).
c. Infeksi gigi rahang atas
Infeksi gigi (infeksi dentogenik) pada gigi rahang atas merupakan salah
satu faktor risiko rinosinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus
alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga sinus maksila hanya
terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang
tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar
gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung
ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe. Biasanya sinusitis
dentogen pada rinosinusitis kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus
purulen dan nafas bau busuk. Pengobatannya harus meliputi pencabutan
atau perawatan gigi yang terinfeksi dan pemberian antibiotika spektrum
luas dan terkadang dibutuhkan kombinasi dengan antibiotik untuk kuman
anaerob, terkadang perlu dilakukan irigasi sinus maksila (Puglisi et al.,
2011; Longhini, 2011).
Rinosinusitis kronik dentogenik terjadi apabila membran Scheneiderian
teriritasi atau robek sebagai akibat infeksi gigi, trauma maksilaris, benda
asing kedalam sinus dan lain-lain. Rinosinusitis dentogenik dapat terjadi
melalui 2 mekanisme: dapat menjalar ke sinus melalui ruang pulpa gigi
yang menyebabkan peridontitis. Mekanisme kedua melalui infeksi kronik
5
dan destruksi dari soket gigi yang disebut marginal periodontitis (Costa et
al., 2007).
Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; usia, malnutrisi,
defisiensi imun, obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha
media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung (Becker,
2011).
Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam
kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga
lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis (Nacleri, 2001).
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait tiga faktor: patensi ostium, fungsi
silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi
faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan
transpor mukosilia dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama
berkembangnya rinosinusitis kronik. Rheologi dan komponen viskoelastisitas
palut lendir ditentukan oleh struktur polimerik dan derajat hidrasi. Perubahan pada
rheologi palut lendir dapat mempengaruhi mekanisme kerja silia (Krouse and
Stachler, 2006; Becker, 2011).
Adanya infeksi dapat menghambat siklus metachronous silia dan sistem
transpor mukosilia yang efisien. Beberapa virus, misalnya: virus influenza,
rhinovirus, adenovirus, virus herpes simpleks dan RSV dapat mengubah
ultrastruktur aksonema dan bahan viskoelastisitas palut lendir sehingga
mengganggu fungsi transpor mukosilia (Ballenger, 2003).
6
Mucosal Inflamtion
Type 1 Hypersensitivity
T-Cell mediated eosinophilia
Leukotriene dysfunction (Aspirine
sensitive)
Local Ig-E mediated
Super - antigen / bacterial by-product
Environmental damage
Mucosal ulceration leads to
greater infection and
colonization
Instrinsic mucosal inflammation causes
secondary mucociliary dysfunction through
direct injury and mucus changes
Failure of mechanical and
innate immune protection
Active infection bacterial
products drive inflamantory
response
Activation of proinflamantory acquired
immune responses
Local microbal
community
Bacterial Planktonic
Bacterial biofilm
Fungal
viral
Failure of mucus clearance leads to
greater exposure to eosinophilic mucin
and mucosal injury by eosinophilic mucin
Muco-ciliary
dysfunction
Infection
damage cilia
and their
function
Poor of abscent mucocilliary function fails to
protect mucosa from
colonization
Direct cilia damage
Mucus rheologic distortion
Structural/genetic
abnormalities
Secondary to gross oedema/
ostial obstruction
Gambar 2.1. Segitiga mekanisme patofisiologi rinosinusitis kronik (Harvey dan
Earls 2012).
3. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinosinusitis kronik dapat berupa terapi medikamentosa
dan tindakan bedah. Berdasarkan pedoman terapi rinosinusitis PERHATI-KL
Kelompok Studi Rinologi tahun 2007, penatalaksanan rinosinusitis kronik berupa
pemberian antibiotik lini kedua Amoksilin klavulanat/ Ampisilin sulbaktam,
Cephalosporin generasi kedua, makrolid dan terapi tambahan. Terapi tambahan
Dekongestan oral, Kortikosteroid oral dan atau topikal, mukolitik, antihistamin
pada pasien alergi (Soetjipto, 2007).
7
Penggunaan cuci hidung dengan larutan salin terbukti aman bagi anakanak, orang dewasa, kehamilan maupun usia lanjut. Pencucian hidung dengan
larutan salin isotonik dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada rinosinusitis,
rinitis alergi, infeksi saluran napas atas dan pasca pembedahan sinus.
Kontraindikasi penggunaan terapi ini adalah trauma wajah yang belum sembuh
sempurna, gangguan neurologis dan muskuloskeletal. Tidak ada peneliti yang
melaporkan adanya efek samping yang serius terhadap penggunaan larutan salin
isotonik ini. Keluhan yang sering ditemui adalah rasa tidak nyaman dan cemas
pada saat penggunaan awal larutan tersebut (Papsin et al., 2003; Rabago et al.,
2009).
Pencucian hidung dilakukan dengan mengalirkan larutan salin ke dalam
kavum nasi menggunakan teknik irigasi maupun semprot. Teknik irigasi
dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi menggunakan tekanan tangan
dengan syringe atau neti pot, sedangkan tehnik pencucian hidung dengan semprot
menggunakan kemasan botol semprot yang bertekanan positif rendah (Rabago et
al., 2009).
Cuci hidung dilakukan dengan melakukan penyemprotan cairan ke bagian
superolateral kavum nasi dalam posisi duduk atau posisi berdiri, dengan kepala
condong ke kanan atau kekiri dengan sudut sekitar 450 sehingga satu lubang
hidung berada di atas lubang hidung sisi lain. Hidung dicuci dengan cara
mengalirkan cairan cuci hidung pada lubang hidung yang berada di atas sehingga
cairan keluar dari lubang hidung sisi lain. Pada saat proses cuci hidung
berlangsung, dianjurkan bernafas melalui mulut. Alat cuci hidung difiksasi pada
8
bagian superior dari lubang hidung. Buang napas perlahan melalui kedua lubang
hidung setelah proses pencucian selesai untuk membersihkan sisa-sisa cairan dan
(Miwa et al., 2007).
Tindakan pembedahan diindikasikan pada rinosinusitis kronik yang gagal
dengan terapi konservatif. Tindakan pembedahan dapat berupa irigasi sinus atau
bedah sinus endoskopi fungsional (Busquets et al., 2006).
B.
Transpor Mukosilia
Transpor mukosilia merupakan sistem yang bekerja secara aktif dan
simultan tergantung pada gerakan silia untuk mendorong gumpalan mukus dan
benda asing yang terperangkap masuk saat menghirup udara melalui sistem
pengangkutan di saluran pernafasan atas dan bawah hingga ke saluran pencernaan.
Keterlambatan dalam mengeliminasi partikel patogen potensial yang masuk
secara inhalasi dapat menyebabkan penumpukan beberapa benda asing yang lain
termasuk bakteri dan virus di saluran pernafasan (Suarez et al., 2012).
Transpor mukosilia dapat berkurang oleh karena perubahan komposisi
mukus, aktivitas silia yang abnormal, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan
histopatologi sel hidung, hambatan sel ekskresi ataupun obstruksi anatomi. Waktu
transpor mukosilia dapat dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, diantaranya
iklim, kelembaban, kebiasaan dan ras. Dalam hal ras, perbedaan luas permukaan
mukosa yang berbeda-beda berdasarkan anatomi, dapat juga mempengaruhi waktu
transpor mukosilia (King, 2005).
9
Airway Surface Liquid (ASL) sangat penting untuk transpor mukosilia,
pertahanan bawaan terhadap patogen, dan humidifikasi pada inspirasi. Gerakan
cairan transepitel adalah transpor aktif ion sekunder, terutama, Na+, Cl- dan
bikarbonat. Ion epitel dan proses transpor cairan menentukan komposisi dan
volume cairan pada ASL (Kaplan, 2004; Katotomichelakis, 2013).
ASL terdiri dari lapisan sol (suspensi cairan dari koloid padat dalam
cairan) atau lapisan perisiliar (PCL) yang terdapat dipermukaan epitel dan
ketebalannya sesuai dengan tinggi silia, dilapisan atasnya terdapat lapisan gel.
Cairan perisiliar mempunyai viskositas yang rendah dimana lapisan-lapisan
mukosanya mengandung musin makromolekul, faktor antibakteri, air, dan ion
(Kaplan, 2004; Miwa et al., 2007).
Tingkat viskoelastisitas dan ketebalan cairan mukus mempengaruhi
kecepatan proses transpor mukosilia. Jika lapisan mukus terlalu tebal dan
pergerakan silia terganggu pada pembersihan mukosilia. Lapisan mukus terbentuk
dalam bentuk kental dan elastis. Keelastisitasan lapisan mukus penting dalam
proses pembersihan jalan napas oleh silia karena dapat mentrasfer energi secara
efektif dengan sedikit jumlah energi yang dikeluarkan. Semakin kental cairan
mukus, semakin banyak energi yang dibutuhkan dalam proses transpor mukosilia.
Keseimbangan antara gerakan silia, lapisan mukus dan serous yang terbentuk
dapat mempertahankan transpor mukosilia yang optimal (King, 2005).
10
Gambar 2.2. Lapisan epitel mukosa hidung. 1. Lapisan mukus. 2. Silia dan
Lapisan perisiliar (PCL). 3. Sel bersilia. 4. Sel goblet penghasil mukus ( dikutip
dari Hendrik, 2013).
1. Transpor Mukosilia pada Rinosinusitis Kronik
Ada tiga hal utama yang berperan dalam menjaga fungsi fisiologis sinus,
yaitu: terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia yang normal, kualitas
dan kuantitas sekret yang normal. Gangguan pada transpor mukosilia
menyebabkan
terjadinya
rinosinusitis
kronik.
Obstruksi
pada
kompleks
ostiomeatal saat inflamasi akut mukosa sinus menyebabkan sekret tidak dapat
mengalir ke luar ostium. Edema pada mukosa menyebabkan mukosa sinus yang
berhadapan saling berdempetan, sehingga pergerakan silia menjadi tidak efektif.
Hal tersebut menyebabkan retensi sekret yang akan menjadi media bagi
pertumbuhan bakteri. Adanya bakteri direspon oleh tubuh berupa perubahan
kualitas dan kuantitas sekret sehingga viskositasnya menjadi lebih kental dan
purulen (Beule, 2010).
Transpor mukosilia
disebut sebagai lini pertama dan dasar dalam
mekanisme pertahanan tubuh antara silia epitel dengan virus, bakteri maupun
partikel benda asing lainnya yang bekerja secara aktif menjaga agar saluran
11
pernafasan atas selalu bersih dan sehat dengan membawa partikel debu, bakteri,
virus, allergen, toksin dan benda asing lain yang tertangkap pada lapisan mukus
ke arah nasofaring (King, 2005)
Epitel mukosa hidung terdiri dari lapisan tipis Airway Surface Liquid
(ASL) dan cairan perisiliar (PCL) dengan viskositas rendah. Silia terdapat pada
lapisan perisiliar. Sel goblet merupakan kelenjar yang menghasilkan mukus.
Mukus merupakan komponen penting pada ASL. Transpor mukosilia tergantung
pada hidrasi ASL dan pergerakan silia. Pada rinosinusitis kronik terdapat
gangguan pada transpor ion Na+ dan Cl- yang menyebabkan dehidarsi ASL dan
mengentalkan mukus (Beule, 2010).
Gambar 2.3. Lapisan epitel pada keadaan normal lapisan 1- ASL; 2: PCL; 3:
epitel kolumnar bersilia (dikutip dari Hendrik, 2013).
12
Gambar 2.4. Lapisan epitel pada keadaan rinosinusitis kronik dengan
keadaan dehidrasi ASL. 1. Mukus yang mengental sehingga ASL menebal,
partikel merah mewakili agregasi bakteri yang membentuk biofilm 2. PCL yang
menipis dan silia yang kolapse. 3. Epitel kolumnar bersilia (dikutip dari Hendrik,
2013).
2. Pemeriksaan Transpor Mukosilia
Transpor mukosilia dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik
yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat
topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid
sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum
albumin, teflon, bismuth trioxide (Lund and Sacadding, 2004; Valia et al., 2008).
Transpor mukosilia pada mukosa nasal dapat dievaluasi dengan dua
metode
yaitu
metode
langsung
dengan
stroboscopy,
roentgenography,
photoelectron maupun metode tidak langsung dengan uji sakarin dan 99mTcMAA (Valia et al., 2008).
Uji sakarin telah dilakukan oleh Anderson et al., (1974) dan sampai
sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk
penggunaan di klinik. Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta
untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin. Penderita duduk
13
dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Satu mm sakarin diletakkan 1 cm di
belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk
menelan secara periodik tertentu kira-kira satu menit sampai penderita merasakan
manis. Waktu dari mulai sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai
merasakan manis dicatat dan disebut sebagai waktu transpor mukosilia atau waktu
sakarin (Valia et al., 2008; Kirtsreesakul et al., 2009; Atur, 2012).
Individu normal memiliki waktu transpor mukosilia kurang dari 20 menit.
Nilai rerata waktu transpor mukosilia hidung pada orang sehat dilaporkan
bervariasi. Inanli et al., (2002) menyatakan rerata waktu transpor mukosilia
sebesar 9,05 ± 3,46 menit sedangkan Ural et al., (2009) menyatakan 17,53 menit.
Waktu transpor mukosilia akan memanjang pada rinosinusitis kronik, diskinesia
silia primer dan kistik fibrosis (Lund and Scadding, 2004).
3. Pengaruh Pemberian Larutan Salin Isotonik Terhadap Transpor
Mukosilia pada Penderita Rinosinusitis Kronik
Larutan salin telah banyak digunakan pada terapi rinosinusitis kronik.
Jenis larutan salin yang paling banyak digunakan adalah larutan salin isotonik
NaCl 0,9%, tetapi akhir-akhir ini semakin banyak penelitian yang meneliti
penggunaan larutan salin hipertonik pada penderita rinosinusitis kronik. Larutan
salin isotonik adalah suatu larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang
sama (tekanan osmotik yang sama) dengan konsentrasi didalam sel (Hernandez,
2007; Robago, 2009).
Cuci hidung dengan larutan salin isotonik terbukti efektif dalam
menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronik. Mekanisme pasti terjadinya belum
14
diketahui, namun dikatakan cuci hidung dapat memperbaiki fungsi mukosa
sinonasal melalui beberapa efek fisiologis, yaitu: pencucian langsung koloni
mikroorganisme patogen dan zat iritan pada permukaan mukosa hidung,
pengurangan mediator inflamasi, pengurangan edema pada mukosa, pengurangan
sekresi musin, peningkatan transpor mukosilia dengan meningkatkan frekuensi
gerakan silia. Cuci hidung dengan larutan salin isotonik digunakan sebagai terapi
tambahan beberapa penyakit sinonasal (termasuk rinosinusitis akut, rinosinusitis
kronik, rinitis alergi, dan penyakit sinonasal lainnya) (Culig et al., 2010;
Satdhabudha 2012; Wei et al., 2011).
4. Pengaruh Pemberian Larutan Salin Hipertonik Terhadap Transpor
Mukosilia pada Penderita Rinosinusitis Kronik
Larutan salin hipertonik adalah larutan yang mempunyai konsentrasi zat
terlarut yang lebih tinggi daripada didalam sel. Dikarenakan ada perbedaan
konsentrasi, sehingga secara fisiologis larutan didalam sel akan bergerak ke luar
sel untuk menyeimbangkan konsentrasi zat didalam dan luar sel (Halperin, 2009).
Larutan salin hipertonik merupakan larutan alkali ringan. Suasana alkali
menyebabkan palut lendir berada dalam fase sol sehingga sekret bersifat kurang
viskus. Pemberian larutan salin hipertonik menyebabkan keadaan hiperosmolar di
saluran pernapasan sehingga terjadi pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dari
intraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia
dan peningkatan ciliary beat. Larutan hipertonik juga memiliki efek mukolitik
15
pada konsentrasi NaCl 7%. Larutan salin hipertonik memiliki efek antibakteri
serta dapat mengurangi edema mukosa (Garavello et al., 2003; Lee et al., 2003).
Pengangkutan aktif terjadi pada penggunaan cairan hipertonik, dimana
substansi melewati membran sel dari daerah yang berkonsentrasi rendah ke daerah
yang berkonsentrasi tinggi (Hernandez, 2007).
Penambahan salin hipertonik pada epitel telah diuji secara eksperimental
hasilnya adalah terjadi peningkatan ASL kembali normal dalam waktu singkat.
Natrium dan Klorida memasuki sel sebagai respon pemberian salin hipertonik.
Menginduksi sejumlah konsentrasi Na dan Cl keluar dari sel melalui daerah
basolateral. Larutan salin hipertonik yang menginduksi peningkatan konsentrasi
NaCl pada permukaan ASL menghasilkan perbedaan grandien sehingga air dapat
bergerak transepitelial dan pada arah yang berlawanan yang dibangkitkan oleh ion
transpor aktif, yaitu secara osmotik air berpindah melalui submukosa ke ASL.
Aliran air terjadi terus menerus selama kurang lebih 30-40 detik mengikuti aliran
hiperosmotik dan selama periode equilibrasi NaCl diserap dengan arah yang
berlawanan
melalui
transeluler
dan
paraseluler.
Terdapat
mekanisme
elektrochemical yang mendorong Cl- diserap melalui apikal membran. Sehingga
Cl- masuk melalui paraseluler dan transeluler melalui Cl cahnnel untuk
menyeimbangkan Na+ yang masuk melalui transeluler. Mekanisme ini berusaha
untuk menyeimbangkan tingkat absorbsi Cl- melalui transepitel dengan absorbsi
Na+ yang relatif tinggi. Sehingga penyerapan air menjadi lebih tinggi pada ASL
(Beule, 2010; Zhang et al., 2011).
16
Gambar 2.5. Salin Hipertonik menarik air untuk rehidrasi ASL dan mengencerkan
mukus dan memperbaiki transpor mukosilia (dikutip dari Rogers, 2007)
Atas dasar fisiologis inilah, para peneliti kemudian mulai menggunakan
NaCl hipertonik dengan hipotesis dapat mempercepat proses mucocilliary
clearance. Larutan hipertonik yang paling banyak digunakan adalah NaCl 3%.
Untuk penggunaan NaCl dengan konsentrasi yang lebih tinggi masih dihindari
oleh karena dapat menyebabkan cell injury (Hernandez, 2007).
17
C.
Kerangka Teori
Faktor etiologi:
- Infeksi (bakteri, virus, jamur)
- Infeksi gigi rahang atas
- Alergi
Mukosa hidung dan sinus
paranasal
Larutan salin isotonik
viskoelastisitas
mukus
Dehidrasi ASL
gerakan silia
Faktor Predisposisi:
- Faktor lingkungan
(iritan, polutan)
- Malnutrisi
- Defisiensi imun
- Obstruksi mekanik
(variasi anatomi)
Larutan salin hipertonik
Edema mukosa
Disfungsi Transpor mukosilia
RINOSINUSITIS KRONIK
Terapi medikamentosa + cuci hidung dengan larutan salin
Memperbaiki Transpor mukosilia
18
Keterangan :
: jalur rinosinusitis kronik
: jalur hipertonik dalam memperbaiki
: jalur isotonik dalam memperbaki
Keterangan Kerangka Teori:
Pada rinosinusitis kronik terjadi disfungsi transpor mukosilia. Disfungsi
transpor mukosilia diakibatkan karena terjadi dehidrasi pada ASL yang
mengakibatkan terjadinya viskoelastisitas mukus meningkat, berkurangnya
gerakan silia, dan edema mukosa.
Larutan salin isotonik secara fisiologis, yaitu mengurangi viskoelastisitas
mukus, meningkatkan gerakan silia dan mengurangi edema mukosa. Sehingga
dapat memperbaiki transpor mukosilia.
Larutan salin hipertonik menginduksi peningkatan natrium dan klorida ke
permukaan sel sehingga mengurangi edema mukosa lebih cepat. Setelah ASL
berhasil di rehidrasi maka pengurangan viskoelastisitas mukus dan gerakan silia
dapat ditingkatkan.
19
D.
Kerangka Konsep
Rinosinusitis Kronik
larutan salin hipertonik
larutan salin isotonik
Waktu transpor mukosilia
sebelum dan setelah pemberian
terapi
Waktu transpor mukosilia
sebelum dan setelah pemberian
terapi
Perbedaan Transpor Mukosilia
E.
Hipotesis
Larutan salin hipertonik lebih besar menurunkan waktu transpor mukosilia
dibandingkan larutan salin isotonik pada penderita rinosinusitis kronik.
20
Download