1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Rinosinusitis Kronik 1. Definisi Rinosinusitis menurut European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012) dapat didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasal yang dikarakteristik oleh dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau nasal discharge (anterior/posterior nasal drip), nyeri atau tekanan pada wajah, penurunan atau menghilangnya daya penghidu. Sedangkan berdasarkan tanda dari endoskopi rinosinusitis kronik merupakan polip hidung dan atau mukopurulen dari meatus medius dan atau edema pada meatus medius dan berdasarkan perubahan CT scan ditemukan mukosa yang berubah diantara ostiomeatal complex dan atau sinus (Fokkens et al., 2012). 2. Patofisiologi Faktor etiologi dari rinosinusitis kronik antara lain: a. Infeksi virus, bakteri, jamur Infeksi virus yang menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan edema mukosa dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah coronavirus, rhinovirus, virus influenza A, dan respiratory syncytial virus (RSV). Selain jenis virus, keparahan edema mukosa 2 bergantung pada kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya menimbulkan edema berat. Edema mukosa akan menyebabkan obstruksi ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terganggu. Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang diberikan sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus tidak segera diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal. Pada saat respons inflamasi terus berlanjut dan respons bakteri mengambil alih, lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih anaerobik. Flora bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan masuknya kuman anaerob, Streptococcus pyogenes (microaerophilic streptococci) dan Staphylococcus aureus. Perubahan lingkungan bakteri ini dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan menurunkan efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik mencapai sinus. Infeksi menyebabkan 30% mukosa kolumnar bersilia mengalami perubahan metaplastik menjadi mucus secreting goblet cells, sehingga efusi sinus makin meningkat (Wang et al., 2002). Pada pemeriksaan kultur jamur, dijumpai 96% jamur positif pada 210 pasien rinosinusitis kronik. Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi pada rinosinusitis kronik, dari yang non invasif sampai yang invasif. Bentuk rinosinusitis karena jamur, antara lain; sinusitis fungal invasif baik 3 dalam bentuk akut fulminan maupun kronik indolent (biasanya terjadi pada penderita immunocompromized), fungal ball (pembentukan massa berbentuk bola) dan Rinosinusitis Alergi Fungal (AFS) yang terbentuk akibat reaksi hipersensitivitas terhadap antigen fungal. AFS ditandai dengan pembentukan musin, reaksi inflamasi tanpa diperantarai IgE, eosinofilia, dan peningkatan IL-5 dan IL-13 (Bernstein, 2006; Shah et al., 2008). b. Alergi Histamin merupakan mediator penting pada gejala alergi di hidung. Hal ini berbeda dengan alergi saluran napas bagian bawah. Histamin bekerja langsung pada reseptor histamin selular, dan secara tidak langsung melalui refleks yang berperan pada bersin dan hipersekresi. Melalui sistem saraf otonom, histamin menimbulkan gejala bersin dan gatal, serta vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan gejala beringus encer (watery rhinorrhoe) dan edema lokal. Reaksi ini timbul segera setelah beberapa menit pasca pajanan alergen (Zuliani et al., 2006). Reaksi alergi terjadi di jalan nafas dan sinus yang menghasilkan edema dan inflamasi di membran mukosa. Edema dan inflamasi ini menyebabkan blokade di muara sinus dan membuat daerah yang ideal untuk perkembangan jamur, bakteri, atau virus (Zuliani et al., 2006). Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang edema dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drainase sehingga 4 menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronik (Zuliani et al., 2006). c. Infeksi gigi rahang atas Infeksi gigi (infeksi dentogenik) pada gigi rahang atas merupakan salah satu faktor risiko rinosinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe. Biasanya sinusitis dentogen pada rinosinusitis kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan nafas bau busuk. Pengobatannya harus meliputi pencabutan atau perawatan gigi yang terinfeksi dan pemberian antibiotika spektrum luas dan terkadang dibutuhkan kombinasi dengan antibiotik untuk kuman anaerob, terkadang perlu dilakukan irigasi sinus maksila (Puglisi et al., 2011; Longhini, 2011). Rinosinusitis kronik dentogenik terjadi apabila membran Scheneiderian teriritasi atau robek sebagai akibat infeksi gigi, trauma maksilaris, benda asing kedalam sinus dan lain-lain. Rinosinusitis dentogenik dapat terjadi melalui 2 mekanisme: dapat menjalar ke sinus melalui ruang pulpa gigi yang menyebabkan peridontitis. Mekanisme kedua melalui infeksi kronik 5 dan destruksi dari soket gigi yang disebut marginal periodontitis (Costa et al., 2007). Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya; usia, malnutrisi, defisiensi imun, obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konkha media, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung (Becker, 2011). Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik. Hal ini disebabkan penderita diabetes mellitus berada dalam kondisi immunocompromised atau turunnya sistem kekebalan tubuh sehingga lebih rentan terkena penyakit infeksi seperti rinosinusitis (Nacleri, 2001). Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait tiga faktor: patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau kombinasi faktor-faktor tersebut merubah fisiologi dan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor mukosilia dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik. Rheologi dan komponen viskoelastisitas palut lendir ditentukan oleh struktur polimerik dan derajat hidrasi. Perubahan pada rheologi palut lendir dapat mempengaruhi mekanisme kerja silia (Krouse and Stachler, 2006; Becker, 2011). Adanya infeksi dapat menghambat siklus metachronous silia dan sistem transpor mukosilia yang efisien. Beberapa virus, misalnya: virus influenza, rhinovirus, adenovirus, virus herpes simpleks dan RSV dapat mengubah ultrastruktur aksonema dan bahan viskoelastisitas palut lendir sehingga mengganggu fungsi transpor mukosilia (Ballenger, 2003). 6 Mucosal Inflamtion Type 1 Hypersensitivity T-Cell mediated eosinophilia Leukotriene dysfunction (Aspirine sensitive) Local Ig-E mediated Super - antigen / bacterial by-product Environmental damage Mucosal ulceration leads to greater infection and colonization Instrinsic mucosal inflammation causes secondary mucociliary dysfunction through direct injury and mucus changes Failure of mechanical and innate immune protection Active infection bacterial products drive inflamantory response Activation of proinflamantory acquired immune responses Local microbal community Bacterial Planktonic Bacterial biofilm Fungal viral Failure of mucus clearance leads to greater exposure to eosinophilic mucin and mucosal injury by eosinophilic mucin Muco-ciliary dysfunction Infection damage cilia and their function Poor of abscent mucocilliary function fails to protect mucosa from colonization Direct cilia damage Mucus rheologic distortion Structural/genetic abnormalities Secondary to gross oedema/ ostial obstruction Gambar 2.1. Segitiga mekanisme patofisiologi rinosinusitis kronik (Harvey dan Earls 2012). 3. Penatalaksanaan Penatalaksanaan rinosinusitis kronik dapat berupa terapi medikamentosa dan tindakan bedah. Berdasarkan pedoman terapi rinosinusitis PERHATI-KL Kelompok Studi Rinologi tahun 2007, penatalaksanan rinosinusitis kronik berupa pemberian antibiotik lini kedua Amoksilin klavulanat/ Ampisilin sulbaktam, Cephalosporin generasi kedua, makrolid dan terapi tambahan. Terapi tambahan Dekongestan oral, Kortikosteroid oral dan atau topikal, mukolitik, antihistamin pada pasien alergi (Soetjipto, 2007). 7 Penggunaan cuci hidung dengan larutan salin terbukti aman bagi anakanak, orang dewasa, kehamilan maupun usia lanjut. Pencucian hidung dengan larutan salin isotonik dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada rinosinusitis, rinitis alergi, infeksi saluran napas atas dan pasca pembedahan sinus. Kontraindikasi penggunaan terapi ini adalah trauma wajah yang belum sembuh sempurna, gangguan neurologis dan muskuloskeletal. Tidak ada peneliti yang melaporkan adanya efek samping yang serius terhadap penggunaan larutan salin isotonik ini. Keluhan yang sering ditemui adalah rasa tidak nyaman dan cemas pada saat penggunaan awal larutan tersebut (Papsin et al., 2003; Rabago et al., 2009). Pencucian hidung dilakukan dengan mengalirkan larutan salin ke dalam kavum nasi menggunakan teknik irigasi maupun semprot. Teknik irigasi dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi menggunakan tekanan tangan dengan syringe atau neti pot, sedangkan tehnik pencucian hidung dengan semprot menggunakan kemasan botol semprot yang bertekanan positif rendah (Rabago et al., 2009). Cuci hidung dilakukan dengan melakukan penyemprotan cairan ke bagian superolateral kavum nasi dalam posisi duduk atau posisi berdiri, dengan kepala condong ke kanan atau kekiri dengan sudut sekitar 450 sehingga satu lubang hidung berada di atas lubang hidung sisi lain. Hidung dicuci dengan cara mengalirkan cairan cuci hidung pada lubang hidung yang berada di atas sehingga cairan keluar dari lubang hidung sisi lain. Pada saat proses cuci hidung berlangsung, dianjurkan bernafas melalui mulut. Alat cuci hidung difiksasi pada 8 bagian superior dari lubang hidung. Buang napas perlahan melalui kedua lubang hidung setelah proses pencucian selesai untuk membersihkan sisa-sisa cairan dan (Miwa et al., 2007). Tindakan pembedahan diindikasikan pada rinosinusitis kronik yang gagal dengan terapi konservatif. Tindakan pembedahan dapat berupa irigasi sinus atau bedah sinus endoskopi fungsional (Busquets et al., 2006). B. Transpor Mukosilia Transpor mukosilia merupakan sistem yang bekerja secara aktif dan simultan tergantung pada gerakan silia untuk mendorong gumpalan mukus dan benda asing yang terperangkap masuk saat menghirup udara melalui sistem pengangkutan di saluran pernafasan atas dan bawah hingga ke saluran pencernaan. Keterlambatan dalam mengeliminasi partikel patogen potensial yang masuk secara inhalasi dapat menyebabkan penumpukan beberapa benda asing yang lain termasuk bakteri dan virus di saluran pernafasan (Suarez et al., 2012). Transpor mukosilia dapat berkurang oleh karena perubahan komposisi mukus, aktivitas silia yang abnormal, peningkatan sel-sel infeksi, perubahan histopatologi sel hidung, hambatan sel ekskresi ataupun obstruksi anatomi. Waktu transpor mukosilia dapat dipengaruhi juga oleh beberapa faktor, diantaranya iklim, kelembaban, kebiasaan dan ras. Dalam hal ras, perbedaan luas permukaan mukosa yang berbeda-beda berdasarkan anatomi, dapat juga mempengaruhi waktu transpor mukosilia (King, 2005). 9 Airway Surface Liquid (ASL) sangat penting untuk transpor mukosilia, pertahanan bawaan terhadap patogen, dan humidifikasi pada inspirasi. Gerakan cairan transepitel adalah transpor aktif ion sekunder, terutama, Na+, Cl- dan bikarbonat. Ion epitel dan proses transpor cairan menentukan komposisi dan volume cairan pada ASL (Kaplan, 2004; Katotomichelakis, 2013). ASL terdiri dari lapisan sol (suspensi cairan dari koloid padat dalam cairan) atau lapisan perisiliar (PCL) yang terdapat dipermukaan epitel dan ketebalannya sesuai dengan tinggi silia, dilapisan atasnya terdapat lapisan gel. Cairan perisiliar mempunyai viskositas yang rendah dimana lapisan-lapisan mukosanya mengandung musin makromolekul, faktor antibakteri, air, dan ion (Kaplan, 2004; Miwa et al., 2007). Tingkat viskoelastisitas dan ketebalan cairan mukus mempengaruhi kecepatan proses transpor mukosilia. Jika lapisan mukus terlalu tebal dan pergerakan silia terganggu pada pembersihan mukosilia. Lapisan mukus terbentuk dalam bentuk kental dan elastis. Keelastisitasan lapisan mukus penting dalam proses pembersihan jalan napas oleh silia karena dapat mentrasfer energi secara efektif dengan sedikit jumlah energi yang dikeluarkan. Semakin kental cairan mukus, semakin banyak energi yang dibutuhkan dalam proses transpor mukosilia. Keseimbangan antara gerakan silia, lapisan mukus dan serous yang terbentuk dapat mempertahankan transpor mukosilia yang optimal (King, 2005). 10 Gambar 2.2. Lapisan epitel mukosa hidung. 1. Lapisan mukus. 2. Silia dan Lapisan perisiliar (PCL). 3. Sel bersilia. 4. Sel goblet penghasil mukus ( dikutip dari Hendrik, 2013). 1. Transpor Mukosilia pada Rinosinusitis Kronik Ada tiga hal utama yang berperan dalam menjaga fungsi fisiologis sinus, yaitu: terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia yang normal, kualitas dan kuantitas sekret yang normal. Gangguan pada transpor mukosilia menyebabkan terjadinya rinosinusitis kronik. Obstruksi pada kompleks ostiomeatal saat inflamasi akut mukosa sinus menyebabkan sekret tidak dapat mengalir ke luar ostium. Edema pada mukosa menyebabkan mukosa sinus yang berhadapan saling berdempetan, sehingga pergerakan silia menjadi tidak efektif. Hal tersebut menyebabkan retensi sekret yang akan menjadi media bagi pertumbuhan bakteri. Adanya bakteri direspon oleh tubuh berupa perubahan kualitas dan kuantitas sekret sehingga viskositasnya menjadi lebih kental dan purulen (Beule, 2010). Transpor mukosilia disebut sebagai lini pertama dan dasar dalam mekanisme pertahanan tubuh antara silia epitel dengan virus, bakteri maupun partikel benda asing lainnya yang bekerja secara aktif menjaga agar saluran 11 pernafasan atas selalu bersih dan sehat dengan membawa partikel debu, bakteri, virus, allergen, toksin dan benda asing lain yang tertangkap pada lapisan mukus ke arah nasofaring (King, 2005) Epitel mukosa hidung terdiri dari lapisan tipis Airway Surface Liquid (ASL) dan cairan perisiliar (PCL) dengan viskositas rendah. Silia terdapat pada lapisan perisiliar. Sel goblet merupakan kelenjar yang menghasilkan mukus. Mukus merupakan komponen penting pada ASL. Transpor mukosilia tergantung pada hidrasi ASL dan pergerakan silia. Pada rinosinusitis kronik terdapat gangguan pada transpor ion Na+ dan Cl- yang menyebabkan dehidarsi ASL dan mengentalkan mukus (Beule, 2010). Gambar 2.3. Lapisan epitel pada keadaan normal lapisan 1- ASL; 2: PCL; 3: epitel kolumnar bersilia (dikutip dari Hendrik, 2013). 12 Gambar 2.4. Lapisan epitel pada keadaan rinosinusitis kronik dengan keadaan dehidrasi ASL. 1. Mukus yang mengental sehingga ASL menebal, partikel merah mewakili agregasi bakteri yang membentuk biofilm 2. PCL yang menipis dan silia yang kolapse. 3. Epitel kolumnar bersilia (dikutip dari Hendrik, 2013). 2. Pemeriksaan Transpor Mukosilia Transpor mukosilia dapat diperiksa dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun tidak larut dalam air. Zat yang bisa larut seperti sakarin, obat topikal, atau gas inhalasi, sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um alluminium disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, teflon, bismuth trioxide (Lund and Sacadding, 2004; Valia et al., 2008). Transpor mukosilia pada mukosa nasal dapat dievaluasi dengan dua metode yaitu metode langsung dengan stroboscopy, roentgenography, photoelectron maupun metode tidak langsung dengan uji sakarin dan 99mTcMAA (Valia et al., 2008). Uji sakarin telah dilakukan oleh Anderson et al., (1974) dan sampai sekarang banyak dipakai untuk pemeriksaan rutin. Uji sakarin cukup ideal untuk penggunaan di klinik. Penderita di periksa dalam kondisi standar dan diminta untuk tidak menghirup, makan atau minum, batuk dan bersin. Penderita duduk 13 dengan posisi kepala fleksi 10 derajat. Satu mm sakarin diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior, kemudian penderita diminta untuk menelan secara periodik tertentu kira-kira satu menit sampai penderita merasakan manis. Waktu dari mulai sakarin diletakkan di bawah konka inferior sampai merasakan manis dicatat dan disebut sebagai waktu transpor mukosilia atau waktu sakarin (Valia et al., 2008; Kirtsreesakul et al., 2009; Atur, 2012). Individu normal memiliki waktu transpor mukosilia kurang dari 20 menit. Nilai rerata waktu transpor mukosilia hidung pada orang sehat dilaporkan bervariasi. Inanli et al., (2002) menyatakan rerata waktu transpor mukosilia sebesar 9,05 ± 3,46 menit sedangkan Ural et al., (2009) menyatakan 17,53 menit. Waktu transpor mukosilia akan memanjang pada rinosinusitis kronik, diskinesia silia primer dan kistik fibrosis (Lund and Scadding, 2004). 3. Pengaruh Pemberian Larutan Salin Isotonik Terhadap Transpor Mukosilia pada Penderita Rinosinusitis Kronik Larutan salin telah banyak digunakan pada terapi rinosinusitis kronik. Jenis larutan salin yang paling banyak digunakan adalah larutan salin isotonik NaCl 0,9%, tetapi akhir-akhir ini semakin banyak penelitian yang meneliti penggunaan larutan salin hipertonik pada penderita rinosinusitis kronik. Larutan salin isotonik adalah suatu larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang sama (tekanan osmotik yang sama) dengan konsentrasi didalam sel (Hernandez, 2007; Robago, 2009). Cuci hidung dengan larutan salin isotonik terbukti efektif dalam menurunkan gejala klinis rinosinusitis kronik. Mekanisme pasti terjadinya belum 14 diketahui, namun dikatakan cuci hidung dapat memperbaiki fungsi mukosa sinonasal melalui beberapa efek fisiologis, yaitu: pencucian langsung koloni mikroorganisme patogen dan zat iritan pada permukaan mukosa hidung, pengurangan mediator inflamasi, pengurangan edema pada mukosa, pengurangan sekresi musin, peningkatan transpor mukosilia dengan meningkatkan frekuensi gerakan silia. Cuci hidung dengan larutan salin isotonik digunakan sebagai terapi tambahan beberapa penyakit sinonasal (termasuk rinosinusitis akut, rinosinusitis kronik, rinitis alergi, dan penyakit sinonasal lainnya) (Culig et al., 2010; Satdhabudha 2012; Wei et al., 2011). 4. Pengaruh Pemberian Larutan Salin Hipertonik Terhadap Transpor Mukosilia pada Penderita Rinosinusitis Kronik Larutan salin hipertonik adalah larutan yang mempunyai konsentrasi zat terlarut yang lebih tinggi daripada didalam sel. Dikarenakan ada perbedaan konsentrasi, sehingga secara fisiologis larutan didalam sel akan bergerak ke luar sel untuk menyeimbangkan konsentrasi zat didalam dan luar sel (Halperin, 2009). Larutan salin hipertonik merupakan larutan alkali ringan. Suasana alkali menyebabkan palut lendir berada dalam fase sol sehingga sekret bersifat kurang viskus. Pemberian larutan salin hipertonik menyebabkan keadaan hiperosmolar di saluran pernapasan sehingga terjadi pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dari intraseluler, peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia dan peningkatan ciliary beat. Larutan hipertonik juga memiliki efek mukolitik 15 pada konsentrasi NaCl 7%. Larutan salin hipertonik memiliki efek antibakteri serta dapat mengurangi edema mukosa (Garavello et al., 2003; Lee et al., 2003). Pengangkutan aktif terjadi pada penggunaan cairan hipertonik, dimana substansi melewati membran sel dari daerah yang berkonsentrasi rendah ke daerah yang berkonsentrasi tinggi (Hernandez, 2007). Penambahan salin hipertonik pada epitel telah diuji secara eksperimental hasilnya adalah terjadi peningkatan ASL kembali normal dalam waktu singkat. Natrium dan Klorida memasuki sel sebagai respon pemberian salin hipertonik. Menginduksi sejumlah konsentrasi Na dan Cl keluar dari sel melalui daerah basolateral. Larutan salin hipertonik yang menginduksi peningkatan konsentrasi NaCl pada permukaan ASL menghasilkan perbedaan grandien sehingga air dapat bergerak transepitelial dan pada arah yang berlawanan yang dibangkitkan oleh ion transpor aktif, yaitu secara osmotik air berpindah melalui submukosa ke ASL. Aliran air terjadi terus menerus selama kurang lebih 30-40 detik mengikuti aliran hiperosmotik dan selama periode equilibrasi NaCl diserap dengan arah yang berlawanan melalui transeluler dan paraseluler. Terdapat mekanisme elektrochemical yang mendorong Cl- diserap melalui apikal membran. Sehingga Cl- masuk melalui paraseluler dan transeluler melalui Cl cahnnel untuk menyeimbangkan Na+ yang masuk melalui transeluler. Mekanisme ini berusaha untuk menyeimbangkan tingkat absorbsi Cl- melalui transepitel dengan absorbsi Na+ yang relatif tinggi. Sehingga penyerapan air menjadi lebih tinggi pada ASL (Beule, 2010; Zhang et al., 2011). 16 Gambar 2.5. Salin Hipertonik menarik air untuk rehidrasi ASL dan mengencerkan mukus dan memperbaiki transpor mukosilia (dikutip dari Rogers, 2007) Atas dasar fisiologis inilah, para peneliti kemudian mulai menggunakan NaCl hipertonik dengan hipotesis dapat mempercepat proses mucocilliary clearance. Larutan hipertonik yang paling banyak digunakan adalah NaCl 3%. Untuk penggunaan NaCl dengan konsentrasi yang lebih tinggi masih dihindari oleh karena dapat menyebabkan cell injury (Hernandez, 2007). 17 C. Kerangka Teori Faktor etiologi: - Infeksi (bakteri, virus, jamur) - Infeksi gigi rahang atas - Alergi Mukosa hidung dan sinus paranasal Larutan salin isotonik viskoelastisitas mukus Dehidrasi ASL gerakan silia Faktor Predisposisi: - Faktor lingkungan (iritan, polutan) - Malnutrisi - Defisiensi imun - Obstruksi mekanik (variasi anatomi) Larutan salin hipertonik Edema mukosa Disfungsi Transpor mukosilia RINOSINUSITIS KRONIK Terapi medikamentosa + cuci hidung dengan larutan salin Memperbaiki Transpor mukosilia 18 Keterangan : : jalur rinosinusitis kronik : jalur hipertonik dalam memperbaiki : jalur isotonik dalam memperbaki Keterangan Kerangka Teori: Pada rinosinusitis kronik terjadi disfungsi transpor mukosilia. Disfungsi transpor mukosilia diakibatkan karena terjadi dehidrasi pada ASL yang mengakibatkan terjadinya viskoelastisitas mukus meningkat, berkurangnya gerakan silia, dan edema mukosa. Larutan salin isotonik secara fisiologis, yaitu mengurangi viskoelastisitas mukus, meningkatkan gerakan silia dan mengurangi edema mukosa. Sehingga dapat memperbaiki transpor mukosilia. Larutan salin hipertonik menginduksi peningkatan natrium dan klorida ke permukaan sel sehingga mengurangi edema mukosa lebih cepat. Setelah ASL berhasil di rehidrasi maka pengurangan viskoelastisitas mukus dan gerakan silia dapat ditingkatkan. 19 D. Kerangka Konsep Rinosinusitis Kronik larutan salin hipertonik larutan salin isotonik Waktu transpor mukosilia sebelum dan setelah pemberian terapi Waktu transpor mukosilia sebelum dan setelah pemberian terapi Perbedaan Transpor Mukosilia E. Hipotesis Larutan salin hipertonik lebih besar menurunkan waktu transpor mukosilia dibandingkan larutan salin isotonik pada penderita rinosinusitis kronik. 20