BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 1.1

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
1.1 Landasan Teori dan Konsep
1.1.1 Pengertian Perbankan
Menurut Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang
telah diubah dengan Undang-undang nomor 10 tahun 1998, pengertian bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Bank adalah suatu badan usaha yang tugas utamanya sebagai lembaga perantara
keuangan yang menyalurkan dana dari pihak yang berkelebihan dana pada waktu
yang ditentukan (Dendawijaya, 2001).
Perbankan Indonesia dalam menjalankan fungsinya berdasarkan demokrasi
ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Fungsi utama perbankan
Indonesia adalah sebagai penghimpun dana, penyalur dana masyarakat serta
bertujuan untuk menunjang pelaksaan pembangunan nasional dalam rangka
meningkatkan
pemerataan
pembangunan
nasional.
Perbankan
memiliki
kedudukan yang strategis, yakni sebagai penunjang kelancaran sistem pembayaran
pelaksanaan kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas keuangan, sehingga
diperlukan perbankan yang sehat transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
1.1.2 Analisis Kinerja Perbankan
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kinerja (performance)
adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan. Menurut Kasmir
(2003), kinerja bank merupakan ukuran keberhasilan bagi manajemen bank
tersebut. Kinerja perbankan dapat diartikan sebagai hasil yang dicapai suatu bank
dengan mengelola sumber daya yang ada dalam bank seefektif mungkin dan
seefisien mungkin guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan manajemen.
Penilaian kinerja perbankan menjadi sangat penting dilakukan karena operasi
perbankan sangat peka terhadap maju mundurnya perekonomian suatu negara.
Dapat diketahui bahwa fungsi bank pada umumnya (Tri Susilo dkk., 2000):
a) Agent of trust
Merupakan lembaga yang landasannya adalah kepercayaan, baik dalam
menghimpun dana ataupun dalam penyaluran dana. Masyarakat percaya bahwa
uangnya tidak akan disalahgunakan oleh bank, begitu pula sebaliknya pihak bank
percaya bahwa debitur tidak akan menyalahgunakan pinjamannya dan mempunyai
niat baik untuk mengembalikan pinjaman beserta kewajiban lainnya pada saat
jatuh tempo.
b) Agent of development
Kegiatan bank adalah menghimpun dan menyalurkan dana merupakan hal
yang sangat diperlukan bagi kelancaran perekonomian di sektor riil. Kegiatan
bank tersebut memungkinkan masyarakat untuk melakukan investasi, kegiatan
distribusi serta kegiatan konsumsi barang dan jasa, mengingat kegiatan tersebut
tidak dapat dilepaskan dari adanya penggunaan uang. Kelancaran kegiatan
investasi-distribusi-konsumsi ini tidak lain adalah kegiatan pembangunan
perekonomian suatu masyarakat.
c) Agent of services
Bank merupakan lembaga yang memobilisasi dana untuk pembangunan
ekonomi, dimana bank memberikan jasa perbankan yang lain kepada masyarakat.
Jasa tersebut antara lain berupa jasa pengiriman uang, penitipan surat berharga,
pemberian jaminan bank, dan penyelesaian tagihan.
Dari fungsi yang ada dapat dikatakan bahwa dasar beroperasinya bank
adalah kepercayaan, baik kepercayaan bank kepada masyarakat ataupun
sebaliknya. Oleh karena itu untuk tetap menjaga kepercayaan tersebut kesehatan
bank perlu diawasi dan dijaga (Januarti, 2002).
1.1.3 Profitabilitas
Menurut Harahap (2010:304), profitabilitas menggambarkan kemampuan
perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada
seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang dan
sebagainya. Profitabilitas adalah kemampuan untuk mengukur seberapa besar
tingkat keuntungan yang dapat diperoleh oleh perusahaan (Sutrisno, 2009:222).
Profitabilitas merupakan salah satu bagian terpenting bagi perusahaan karena
disamping dapat menilai efisiensi kerja, juga merupakan alat untuk meramal laba
pada masa yang akan datang dan merupakan alat pengendalian bagi manajemen.
Menurut Hendrayanti (2013), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
profitabilitas yaitu :
1) Faktor internal
Terdapat beberapa variabel yang berasal dari faktor internal yang dapat
mempengaruhi profitabilitas, sebagai berikut :
a) Perputaran kas yaitu kemampuan kas dalam menghasilkan pendapatan
sehingga dapat dilihat berapa kali uang kas berputar dalam satu periode
tertentu.
b) Risiko operasi yaitu risiko yang menunjukkan tingkat pengeluaran biaya untuk
keperluan operasi bank.
c) Risiko kredit adalah risiko yang dihadapi bank terhadap besarnya kredit yang
disalurkan kepada nasabah, semakin besar jumlah kredit yang disalurkan akan
semakin besar risiko kredit.
d) Risiko pasar yaitu risiko pasar merupakan risiko dari dampak perubahan kredit
yang disalurkan (out standing credit) sebagai akibat dari kondisi ekonomi
maupun persaingan.
e) Kecukupan modal yaitu menunjukkan sampai sejauh mana kemampuan
permodalan suatu bank untuk mampu menyerap risiko kegagalan kredit yang
mungkin terjadi, sehingga semakin tinggi angka rasio ini, maka menunjukkan
bank tersebut semakin sehat, begitu juga sebaliknya.
f) Likuiditas yaitu kemampuan bank membayar kembali penarikan yang
dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan
sebagai sumber likuiditasnya.
2) Faktor Eksternal
Terdapat beberapa faktor eksternal yang dapat mempengaruhi profitabilitas,
sebagai berikut :
a) Inflasi adalah sebuah kondisi dimana jumlah uang yang beredar lebih banyak
dari jumlah barang.
b) Suku bunga adalah tingkat besarnya tingkat suku bunga (BI Rate) manjadi
salah satu faktor bagi perbankan untuk menentukan besarnya suku bunga yang
ditawarkan kepada masyarakat.
c) Fluktuasi nilai tukar adalah hasil alami dari sistem nilai tukar yang berubahubah yang merupakan norma dari sebagian besar perekonomian utama.
d) Kebijakan moneter adalah suatu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai
keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga,
pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca
pembayaran).
Menurut Brigham dan Houston (2010:146), untuk mengukur profitabilitas
bank, biasanya menggunakan rasio profitabilitas karena rasio profitabilitas sudah
mencakup rasio utang, rasio aktivitas maupun rasio likuiditas yang terdiri dari
ROE (return on equity) yaitu rasio yang menggambarkan besarnya kembalian atas
modal untuk menghasilkan keuntungan, dan ROA (return on asset) yaitu rasio
yang menunjukkan kemampuan dari keseluruhan asset yang ada dan digunakan
untuk menghasilkan keuntungan. Penelitian ini hanya menggunakan profitabilitas
yang diproksikan dengan ROA (return on asset). Menurut Meythi dan Ahmad
Buyung (2009), alasan penggunaan ROA dibandingkan ROE sebagai salah satu
rasio yang mengukur profitabilitas bank dikarenakan Bank Indonesia sebagai
pembina dan pengawas perbankan lebih mementingkan aset yang dananya berasal
dari simpanan masyarakat. Dalam kerangka penilaian kesehatan bank, BI akan
menentukan bank itu sehat apabila bank memiliki ROA diatas 1,215% (SK DIR
BI No. 30/12/KEP/DIR dan SEBI No. 30/3/UPPB masing-masing tanggal 30
April 1997).
ROA adalah perbandingkan saldo laba sesudah pajak dengan jumlah asset
perusahaan secara keseluruhan. Menurut Santoso (2000:32), ROA adalah rasio
yang digunakan mengukur kemampuan bank menghasilkan keuntungan secara
relatif dibandingkan dengan total assetnya atau ukuran untuk menilai seberapa
besar tingkat pengembalian dari asset perusahaan. Rasio ini menghitung
keuntungan bersih setelah pajak (earning after tax) terhadap jumlah asset secara
keseluruhan. Kouser and Saba (2012) menjelaskan bahwa, rasio profitabilitas
membandingkan komponen pendapatan dengan penjualan. Ini memberikan ideide tentang apa yang membuat pendapatan perusahaan dan biasanya dinyatakan
sebagai bagian dari setiap penjualan. Semakin besar ROA suatu bank, semakin
besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan semakin baik pula
posisi bank tersebut dari segi penggunaan aset (Rivai, 2006).
Dalam penelitian ini, ROA digunakan sebagai indikator performance atau
kinerja bank. ROA menunjukkan efektivitas perusahaan dalam menghasilkan
keuntungan dengan mengoptimalkan asset yang dimiliki. Pihak manajemen
mengukur kinerja keuangan perusahaan dan menilai kinerja operasional dalam
pemanfaatan sumber daya yang dimiliki perusahaan menggunakan ROA, di
samping perlu dipertimbangkan masalah pembiayaan terhadap aktiva.
Informasi mengenai kinerja sangat bermanfaat bagi pengguna laporan
keuangan. Bagi kelompok investor, kreditor maupun masyarakat umum
menginginkan investasi mereka yang ditanamkan ke bank perlu untuk mengetahui
kinerja bank tersebut. Pengembalian atas investasi modal berguna bagi evaluasi
manajemen, analisis profitabilitas, peramalan laba, serta perencanaan dan
pengendalian (Halsey Wild, 2005). ROA dapat dipergunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan apabila perusahaan akan melakukan ekspansi. Perusahaan
dapat mengistimasikan ROA yang harus melalui investasi pada aktiva tetap.
2.1.4 Perputaran Kas
Perputaran kas adalah sejak dimulainya kas diinvestasikan ke dalam kredit
yang disalurkan sampai pada saat kembali lagi menjadi kas yang tepat dan tidak
terlambat (Mulyono, 2000:152). Untuk menentukan berapa jumlah kas yang
sebaiknya harus dipertahankan dalam perusahaan, belum ada standar rasio yang
bersifat umum. Perputaran kas dapat dihitung dengan membandingkan penjualan
dengan jumlah rata-rata kas (Kasmir, 2013). Menurut Astuti (2014), yang
dimaksud dengan penjualan pada lembaga perbankan adalah total pendapatan
bunga. Rata-rata kas dalam perhitungan ini adalah kas akhir yang diperoleh
ditambah dengan kas awal dibagi dua.
Kas merupakan aktiva perusahaan yang paling likuid karena bisa
dipergunakan segera untuk memenuhi kewajiban finansial perusahaan. Untuk
menambah jumlah kas, perusahaan harus memperoleh laba dari kegiatannya.
Menurut Mulyono (2000), kas bagi bank mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai
alat likuiditas dan sebagai alat atau barang yang diperdagangkan oleh bank untuk
mendapatkan penghasilan (revenue). Pada bank, setiap bank harus mampu
mengelola kas dan memiliki manajemen kas yang akurat, sehingga uang kas dapat
dikelola secara efisien. Bank perlu mengatur persediaan uang kas baik yang
terdapat di kantor pusat, kantor cabang, maupun kantor kas. Bank memerlukan
saldo kas yang cukup untuk melayani penarikan secara tunai oleh nasabah.
Dengan persediaan uang kas secara cukup, akan meningkatkan kepercayaan
nasabah kepada bank. Di sisi lain, persediaan kas yang berlebihan juga
menimbulkan biaya peluang (opportunity cost). Adanya persediaan kas yang
berlebihan dapat dimanfaatkan bank untuk menghasilkan pendapatan bagi bank
dengan melakukan penyaluran kredit bagi pihak yang memerlukan dana.
Namun disisi lain, perputaran kas yang rendah karena jumlah persediaan kas
yang minim disebabkan oleh adanya kredit bermasalah mengakibatkan bank
tersebut mengalami risiko likuiditas atau liquidity risk. Kredit bermasalah dapat
mempengaruhi perputaran kas, dimana dengan munculnya kredit bermasalah,
dana yang telah diberikan bank kepada debitur untuk sementara atau seterusnya
tidak kembali lagi kepada bank yang meminjamkannya. Oleh karena itu, dana
yang seharusnya dapat dipinjamkan lagi kepada para debitur lain yang
membutuhkannya untuk mendanai operasi atau perluasan operasi bisnis, tidak
dapat diberikan lagi. Dengan demikian, perputaran kas bank terhenti dan seluruh
dampak positif yang dapat ditimbulkan oleh penyaluran kredit tidak dapat terjadi
(Sutojo, 2008:27). Semakin tinggi tingkat perputaran kas berarti berarti semakin
efisien tingkat penggunaan kasnya dan sebaliknya semakin rendah tingkat
perputarannya semakin tidak efisien karena semakin banyaknya uang yang
berhenti atau tidak dipergunakan.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya persediaan
kas. Persediaan kas minimal atau persediaan bersih adalah jumlah kas minimal
yang harus dipertahankan oleh perusahaan agar dapat memenuhi kewajiban
finansialnya sewaktu-waktu dan merupakan unsur atau inti permanen dari kas.
Menurut Riyanto (2008:95-97) adapun persediaan kas dapat dipengaruhi oleh
faktor–faktor sebagai berikut :
a) Pertimbangan antara kas masuk dengan kas keluar.
b) Penyimpangan terhadap aliran kas yang diperkirakan.
c) Adanya hubungan yang baik dengan bank-bank.
Beberapa motif untuk menahan kas antara lain :
1). Motif transaksi (Transaction motive)
Saldo kas adalah hal yang dibutuhkan dalam operasi bisnis. Pembayaran
harus dilakukan dalam bentuk kas dan penerimaan disimpan di dalam rekening
kas. Saldo kas dikaitkan dengan pembayaran-pembayaran dan penerimaan rutin
sebagai saldo transaksi (transaction balance).
2). Motif berjaga-jaga (precautionary motive)
Motif berjaga-jaga dapat diartikan untuk mengantisipasi adanya kebutuhankebutuhan yang bersifat mendadak. Saldo untuk berjaga-jaga adalah saldo kas
yang ditahan dalam cadangan untuk berjaga-jaga terhadap fluktuasi arus kas
masuk dan keluar yang bersifat acak. Arus kas masuk dan keluar tidak dapat
diramalkan dengan tepat. Oleh karena itu, perusahaan perlu memiliki sejumlah
kas sebagai cadangan terhadap fluktuasi arus kas masuk dan keluar dan tidak
diramalkan sebelumnya.
3). Motif spekulasi (speculative motive)
Saldo untuk spekulasi adalah saldo kas yang ditahan agar perusahaan dapat
memanfaatkan kesempatan untuk membeli secara murah apabila kesempatan itu
ada. Beberapa saldo kas mungkin dimiliki untuk dapat memungkinkan perusahaan
mengambil keuntungan dari penawaran pembelian yang mungkin terjadi.
2.1.5 Kecukupan Modal
Modal merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan dan
kemajuan bank, serta sebagai upaya untuk tetap menjaga kepercayaan masyarakat.
Sebagaimana layaknya sebuah badan usaha, modal bank harus dapat digunakan
untuk menjaga kemungkinan timbulnya risiko kerugian akibat dari pergerakan
aktiva bank yang pada dasarnya sebagian besar berasal dari pinjaman pihak ketiga
(dana masyarakat). Menurut Hasibuan (2004:61), secara umum mengemukakan
bahwa modal sendiri bank atau equity fund adalah sejumlah uang tunai yang telah
disetorkan pemilik dan sumber-sumber lainnya yang berasal dari dalam bank itu
sendiri yang mana terdiri dari modal inti dan modal pelengkap.
Modal bank juga merupakan dana yang diinvestasikan oleh pemilik dalam
rangka pendirian badan usaha yang dimaksudkan untuk membiayai kegiatan usaha
bank disamping memenuhi peraturan yang ditetapkan (Siamat, 2000:56). Dapat
disimpulkan bahwa, modal bank merupakan dana yang diinvestasikan oleh
pemilik untuk membiayai kegiatan usaha bank yang jumlahnya telah ditetapkan
pada saat pendirian usaha bank tersebut. Kecukupan modal dalam penelitian ini
diproksikan dengan Capital Adequacy Ratio (CAR) atau sering disebut rasio
permodalan merupakan modal dasar yang harus dipenuhi oleh bank.
Menurut Peraturan Bank Indonesia (2013), CAR adalah rasio yang
memperlihatkan seberapa jauh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit,
penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal
sendiri bank di samping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber di luar bank.
Rasio CAR digunakan untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank
untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya
kredit yang diberikan (Dendawijaya, 2009:121). Semakin tinggi CAR maka
semakin kuat kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap
kredit atau aktiva produktif yang berisiko. Selain itu, semakin tinggi CAR
semakin baik kondisi sebuah bank karena modal yang ada dapat disalurkan
kembali untuk dilakukannya penyaluran kredit untuk mendapatkan pendapatan
dan profitabilitas perusahaan perbankan. Menurut Dietrich et al. (2009), bank
dengan modal yang tinggi dianggap relatif lebih aman dibandingkan dengan bank
modal yang rendah, hal ini disebabkan bank dengan modal yang tinggi biasanya
memiliki kebutuhan yang lebih rendah dari pada pendanaan eksternal.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (2013) tentang kewajiban penyedian
modal minimum yang harus dimiliki perbankan ditetapkan sebagai berikut:
a) 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk
Bank dengan profil risiko peringkat 1 (satu).
b) 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh persen) dari
ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 2 (dua).
c) 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas persen) dari
ATMR untuk Bank dengan profil risiko peringkat 3 (tiga).
d) 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat belas persen) dari ATMR
untuk Bank dengan profil risiko peringkat 4 (empat) atau peringkat 5 (lima).
Modal yang dimiliki bank terkait juga dengan aktivitas perbankan dalam
menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi atas dana yang diterima
nasabah. Jika modal dapat dijaga, maka kepercayaan dari masyarakat akan
semakin meningkat terhadap bank tersebut, sehingga bank dapat menghimpun
dana untuk keperluan organisasionalnya. Ketentuan pasal 2 Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 26/20/KEP/DIR tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank tanggal 29 Mei 1993, modal bagi bank yang beroperasi di
Indonesia diatur sebagai berikut (Muhammad, 2000:220) yaitu :
1) Modal Inti (primary capital)
Komponen modal inti pada prinsipnya terdiri atas modal disetor dan
cadangan-cadangan yang dibentuk dari laba setelah pajak. Dengan perincian
sebagai berikut:
a) Modal disetor, yaitu modal yang disetor secara efektif oleh pemiliknya.
b) Agio saham, yaitu selisih lebih setoran modal yang diterima oleh bank sebagai
akibat harga saham yang melebihi nilai nominalnya.
c) Cadangan Umum, yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba yang
ditahan atau dari laba bersih setelah dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan
Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota sesuai dengan ketentuan
pendirian atau anggaran dasar masing -masing bank.
d) Cadangan Tujuan, yaitu bagian laba setelah dikurangi pajak yang disisihkan
untuk tujuan tertentu dan telah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang
Saham atau Rapat Anggota.
e) Laba yang ditahan (retained earnings), yaitu saldo laba bersih setelah
dikurangi pajak yang oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota
diputuskan untuk tidak dibagikan.
f) Laba tahun lalu, yaitu laba bersih tahun-tahun lalu setelah dikurangi pajak, dan
belum ditetapkan penggunaannya oleh Rapat Umum Pemegang Saham atau
Rapat Anggota. Jumlah laba tahun lalu yang diperhitungkan sebagai modal inti
hanya sebesar 50 %. Dalam hal bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu,
maka seluruh kerugian tersebut menjadi faktor pengurang dari modal inti.
g) Laba tahun berjalan, yaitu laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan
setelah dikurangi taksiran utang pajak. Jumlah laba tahun buku berjalan yang
diperhitungkan sebagai modala inti hanya sebesar 50%. Dalam hal pada tahun
berjalan bank mengalami kerugian, maka seluruh kerugian tersebut menjadi
faktor pengurang dari modal inti.
h) Bagian kekayaaan bersih anak perusahaan yang laporan keuangannya
dikonsolidasikan (minority interest), yaitu modal inti anak perusahaan setelah
dikompensasikan dengan nilai penyertaan bank pada anak perusahaan tersebut.
Yang dimaksud dengan anak perusahaan adalah bank lain, lembaga keuangan
atau lembaga pembiayaan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh bank.
2) Modal Pelengkap (secondary capital)
Modal pelengkap terdiri atas cadangan-cadangan yang dibentuk tidak dari
laba setelah pajak serta pinjaman yang sifatnya dipersamakan dengan modal.
Secara rinci modal pelengkap dapat berupa :
a) Cadangan revaluasi aktiva tetap, yaitu cadangan yang dibentuk dari selisih
penilaian kembali aktiva tetap yang telah medapat persetujuan Direktorat
Jendral Pajak.
b) Cadangan penghapusan aktiva yang diklasifikasikan, yaitu cadangan yang
dibentuk dengan cara membebani laba rugi tahun berjalan, dengan maksud
untuk menampung kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari tidak
diterimanya kembali sebagain atau seluruh aktiva produktif. Dalam kategori,
cadangan ini termasuk cadangan piutang ragu-ragu dan cadangan penurunan
nilai surat-surat berharga. Jumlah cadangan penghapusan aktiva yang
diklasifikasikan yang dapat diperhitungkan adalah maksimum sebesar 1,25%
dari jumlah aktiva tertimbang menurut resiko.
c) Modal kuasi yang menurut BIS disebut hybrid (debt/equity) capital instrumen,
yaitu modal yang didukung oleh instrumen atau warkat yang memiliki sifat
seperti modal atau utang dan mempunyai ciri-ciri :
(1) Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan, dipersamakan dengan modal
(subordinated) dan telah dibayar penuh.
(2) Tidak dapat dilunasi atau ditarik atas inisiatif pemilik, tanpa persetujuan
Bank Indonesia.
(3) Mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah
kerugian bank melebihi retained earnings dan cadangan-cadangan yang
termasuk modal inti, meskipun bank belum dilikuidasi pembayaran bunga
dapat ditangguhkan apabila bank dalam keadaan rugi atau laba tidak
mendukung untuk membayar bunga tersebut.
(4) Dalam pengertian modal kuasi ini termasuk cadangan modal yang berasal
dari penyetoran modal yang efektf oleh pemilik bank yang belum
didukung oleh modal dasar (yang sudah mendapat pengesahan dari
instansi yang berwenang) yang mencukupi.
d) Pinjaman subordinasi, yaitu pinjaman yang diperoleh berdasarkan suatu
perjanjian antara bank dengan pihak lain yang hanya dapat dilunasi apabila
bank telah memenuhi kewajiban tertentu,dan pelunasannya dilakukan paling
akhir dari semua simpanan dan pinjaman yang diterima,dalam hal terjadi
likuidasi. Jumlah pinjaman subordinasi yang diperhitungkan sebagai modal
untuk sisa jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir adalah jumlah pinjaman
subordinasi dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode
garis lurus (prorata). Maksimum pinjaman subordinasi yang dapat dijadikan
komponen modal pelengkap adalah sebesar 50% dari modal inti. Pinjaman ini
mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :
(1) Ada perjanjian tetulis antara bank dengan pemberi pinjaman.
(2) Mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia. Dalam
hubungan ini pada saat bank mengajukan permohonan persetujuan, bank
harus menyampaikan program pembayaran kembali pinjaman subordinasi
tesebut.
(3) Tidak dijamin oleh bank yang bersangkutan dan telah dibayar penuh.
Minimal berjangka waktu 5 (lima) tahun.
(4) Pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari BI, dan
dengn pelunasan tersebut permodalan bank tetap sehat. Hak tagihnya
dalam hal terjadinya likuidasi berlaku paling akhir dari segala pinjaman
yang ada (kedudukannya sama dengan modal).
Langkah – langkah perhitungan penyediaan modal minimum bank adalah
sebagai berikut:
1) ATMR aktiva neraca dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal
masing-masing aktiva yang bersangkutan dengan bobot resiko dari masing masing pos aktiva neraca tersebut.
2) ATMR aktiva administratif dihitung dengan cara mengalikan nilai nominal
rekening administratif yang bersangkutan dengan bobot resiko dari masing –
masing pos rekening tersebut.
3) Total ATMR yang didapatkan dari penjumlahan ATMR aktiva neraca
dengan ATMR administratif.
4) Rasio modal bank dihitung dengan cara membandingkan antara modal bank
(modal inti + modal pelengkap) dan total ATMR.
Hasil perhitungan rasio diatas kemudian dibandingkan dengan kewajiban
penyediaan modal minimum perbankan. Berdasarkan hasil perbandingan tersebut,
dapatlah diketahui apakah bank yang telah bersangkutan telah memenuhi
ketentuan CAR (kecukupan modal) atau tidak. Dengan kata lain, Capital
Adequacy Ratio adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang
dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan
risiko, misalnya kredit diberikan. CAR merupakan indikator terhadap kemampuan
bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian bank yang
disebabkan oleh aktiva yang berisiko.
2.1.6 Risiko Operasi
Menurut Muttaqin (2010), risiko operasi berarti risiko kerugian yang terjadi
baik secara langsung maupun tidak langsung sebagai akibat dari kegagalan dan
kurang memadainya proses internal sehingga menimbulkan biaya operasional dan
berdampak pada berkurangnya pendapatan operasional. Untuk meminimalkan
risiko operasi maka perbankan perlu bertindak rasional dalam arti lebih
memperhatikan efisiensi. Masalah efisiensi dirasakan semakin penting pada saat
ini dan dimasa yang akan datang karena adanya permasalahan yang mungkin
timbul sebagai akibat kompetisi usaha yang bertambah ketat, dan meningkatnya
mutu kehidupan yang berakibat pada meningkatnya standar kepuasan konsumen.
Bank yang efisien adalah bank yang mampu menekan biaya operasi dan
meningkatkan pendapatan operasi untuk memperoleh keuntungan yang tinggi
serta terhindar kondisi bank bermasalah.
Selain itu, untuk meminimalkan risiko yang terjadi maka perbankan wajib
menerapkan manajemen risiko operasi agar risiko tersebut bisa dideteksi,
dikendalikan dan diatasi kemunculannya. Menurut SEBI No.5/21/DPNP/2003,
proses penerapan manajemen risiko operasi adalah melakukan identifikasi
terhadap faktor penyebab timbulnya risiko operasi yang melekat pada seluruh
aktivitas fungsional, produk, proses dan sistem informasi yang berdampak negatif
terhadap pencapaian sasaran organisasi bank. Terdapat beberapa faktor penyebab
timbulnya risiko operasi seperti otomatisasi, ketergantungan pada teknologi,
outsourcing, insentif dan perdagangan, volume dan nilai transaksi, proses perkara.
Dalam Surat Edaran Internal BI (2004), risiko operasi yang semakin
meningkat mencerminkan kurangnya kemampuan bank dalam menekan biaya
operasional
dan
meningkatkan
pendapatan
operasionalnya
yang
dapat
menimbulkan kerugian karena bank kurang efisien dalam mengelola usahanya dan
sebaliknya menurut Veithzal dkk. (2007:722), semakin kecil rasio biaya (beban)
operasionalnya akan lebih baik, karena bank yang bersangkutan dapat menutup
biaya (beban) operasional dengan pendapatan operasionalnya. Mengingat kegiatan
utama bank pada prinsipnya adalah bertindak sebagai perantara, yaitu
menghimpun dan menyalurkan dana, maka biaya dan pendapatan operasional
bank didominasi oleh biaya bunga dan pendapatan bunga (Dendawijaya, 2009).
Dalam penelitian ini risiko operasi diindikasikan dengan menggunakan rasio
BOPO. BOPO adalah rasio perbandingan antara biaya operasional dengan
pendapatan operasional. Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan
oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usaha utamanya seperti biaya
bunga, biaya pemasaran, biaya tenaga kerja dan biaya operasi lainnya. Pendapatan
operasional merupakan pendapatan utama bank yaitu pendapatan yang diperoleh
dari penempatan dana dalam bentuk kredit dan pendapatan operasi lainnya.
Semakin rendah tingkat rasio BOPO berarti semakin baik kinerja
manajemen bank tersebut, karena lebih efisien dalam menggunakan sumber daya
yang ada di perusahaan. Besarnya rasio BOPO yang dapat ditolerir oleh
perbankan di Indonesia adalah sebesar 93,52%, hal ini sejalan dengan ketentuan
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. Dari rasio ini, dapat diketahui tingkat
efisiensi kinerja manajemen suatu bank jika angka rasio menunjukkan angka
diatas 90% dan mendekati 100% ini berarti kinerja bank tersebut menunjukkan
tingkat efiensi yang sangat rendah. Tetapi jika rasio ini rendah, misalnya
mendekati 75% ini berarti kinerja bank yang bersangkutan menunjukkan tingkat
efisiensi yang tinggi (Riyadi, 2004:141).
2.2. Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Perputaran Kas Terhadap Profitabilitas Perbankan
Menurut Halsey Wild (2013:45), perputaran kas merupakan kemampuan kas
dalam menghasilkan pendapatan sehingga dapat dilihat berapa kali uang kas
berputar dalam satu periode tertentu. Perbandingan antara pendapatan dengan
jumlah kas rata-rata menggambarkan tingkat perputaran kas (cash turnover).
Semakin tinggi tingkat perputaran kas berarti semakin efisien tingkat penggunaan
kasnya dan sebaliknya semakin rendah tingkat perputarannya semakin tidak
efisien, hal ini menunjukkan semakin banyaknya uang yang berhenti atau tidak
dipergunakan karena perputaran kas menunjukkan tinggi rendahnya efisiensi
penggunaan kas sehingga keuntungan yang diperoleh semakin besar. Hal ini
sejalan dengan penelitian Rahma (2011) dan Rahmasari (2011) menyatakan
bahwa perputaran kas berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas.
H1 : Perputaran kas berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas pada
perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia.
2.2.2 Pengaruh Kecukupan Modal Terhadap Profitabilitas Perbankan
Permodalan bagi bank sebagaimana perusahaan pada umumnya selain
berfungsi sebagai sumber utama pembiayaan terhadap kegiatan operasionalnya
juga berperan sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.
Permodalan yang kuat akan mampu menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
bank yang bersangkutan, sehingga masyarakat percaya untuk menghimpun dana
pada bank tersebut dan bank akan mendapatkan laba atau profit. Dengan tingkat
laba atau profitabilitas inilah bank dapat meningkatkan struktur permodalan yang
kuat sehingga dapat membentuk kondisi keuangan yang sehat.
Rasio kecukupan modal yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan
rasio yang bertujuan untuk memastikan bahwa bank dapat menyerap kerugian
yang timbul dari aktivitas yang dilakukannya. Hal ini didasarkan pada ketentuan
yang ditetapkan oleh BIS (Bank for International Settlements). Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Sudiyatno (2010) menunjukkan bahwa, Capital Adequacy
Ratio (CAR) berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas (ROA).
Ben Naceur et al. (2008) juga berpendapat bahwa, bank yang memiliki modal
yang tinggi cenderung menunjukkan tingginya profitabilitas. Pendapat ini
didukung oleh Dietrich et al. (2009), yang memperlihatkan hasil CAR
berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROA. Semakin besar Capital
Adquacy Ratio (CAR) maka keuntungan bank juga semakin besar. Dengan kata
lain semakin kecil risiko suatu bank maka semakin besar keuntungan yang
diperoleh bank.
H2 : Kecukupan Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas
pada perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia.
2.2.3 Pengaruh Risiko Operasi Terhadap Profitabilitas Perbankan
Menurut Dini dan Shabri (2014), risiko operasi adalah risiko yang antara
lain disebabkan ketidakcukupan dan tidak berfungsinya proses internal, kesalahan
manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem yang mempengaruhi operasional
bank. Menurut Ali (2006:278), risiko operasi merupakan jenis risiko yang dapat
dikelola dan dikendalikan dengan baik bila bank dapat memperbaiki business
efficiencynya. Salah satu yang mempengaruhi profitabilitas adalah efisien dalam
menekan biaya operasi dan non operasi. Bank yang efisien dalam menekan biaya
operasionalnya dapat mengurangi kerugian sehingga pendapatan dan profitabilitas
meningkat.
Risiko operasi dapat diukur dengan menggunakan rasio BOPO. BOPO
merupakan rasio yang digunakan untuk menentukan tingkat efisiensi dan
kemampuan bank dalam melakukan kegiatan operasinya (Dendawijaya,
2009:116). Semakin kecil BOPO berarti semakin efisien biaya operasional yang
dikeluarkan oleh bank yang bersangkutan. Begitu pula sebaliknya semakin besar
BOPO berarti semakin kurang efisien biaya operasional yang dikeluarkan oleh
bank yang bersangkutan. Hal ini akan berakibat menurunkan laba atau
profitabilitas bank yang bersangkutan (Dendawijaya, 2005). Menurut Adyani
(2011) dalam penelitiannya bahwa, BOPO berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap profitabilitas (ROA).
H3 : Risiko Operasi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap profitabilitas
pada perusahaan perbankan di Bursa Efek Indonesia.
Download