hijrah kepada sistem khilafah sebagai solusi tepat dalam mengatasi

advertisement
HIJRAH KEPADA SISTEM KHILAFAH
SOLUSI TEPAT MENGATASI BENCANA
    
    
Oleh : Makmun1
  
Artinya:”mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman ? dan Allah adalah Maha
     
     
    
     
   
 
Artinya: Katakanlah: " Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari
bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan
merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami
mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)".
Mensyukuri lagi Maha mengetahui”. (QS. An-Nisa:143).
Berdasarkan firman Allah di atas, maka bersyukur dan beriman merupakan faktor penting agar terhindar dari
azab Allah SWT. Di samping itu juga melihat fenomena-fenomena memprihatinkan yang menimpa umat
manusia dengan berbagai musibah, adalah bukti kekuasaan Allah SWT terhadap makhluknya agar mereka
tunduk dan patuh terhadap titah-Nya. Oleh karenanya, tidak patut bagi manusia untuk menyombongkan diri
dengan membuat aturan pola kehidupan berdasarkan pada hawa nafsu belaka. Sejarah telah mencatat betapa
banyak umat terdahulu yang dibinasakan oleh Allah SWT disebabkan menolak kebenaran yang disampaikan
para nabi dan rasul. Dari pengalaman realita sejarah tersebut, maka sudah seharusnya umat Islam menata pola
kehidupan seperti para nabi dan rasul yaitu dengan meninggalkan segala bentuk dan system pola kehidupan yang
Akhir-akhir ini diperlihatkan kepada kita peristiwa-peristiwa yang sangat memprihatinkan. Berbagai bencana
datang silih berganti, seperti terjadinya gempa bumi, gelombang tsunami, letusan gunung merapi, banjir dan
bertentangan dengan fitrah Allah (Agama Tauhid). Di antara pola kehidupan yang bertentangan dengan fitrah
Allah adalah kemusyrikan dengan prilaku menonjolnya adalah memecah-belah agama. Hal ini sebagaimana
kebakaran. Dari bencana-bencana tersebut banyak nyawa melayang, harta benda hilang, bangunan-bangunan
firman Allah SWT:
menjadi puing-puing berserakan, bahkan tidak sedikit binatang ternak dan sawah ladang luluh lantah laksana
    





      
   

    



   
 
  
    
     
tumpukan sampah. Ironisnya, saat manusia sibuk menghadapi bencana yang baru terjadi, seiring itu juga
dikejutkan dengan bencana yang datang tanpa kompromi. Akibatnya banyak orang yang hilang keseimbangan
jiwanya, putus asa bahkan menjadi gila. Bermacam-macam teori dari para ahli tentang penyebab terjadinya
bencana dan upaya mengatasinya dikemukakan, dari prediksi tentang cuaca, perubahan iklim hingga simulasi
cara menghadapi bencana. Akan tetapi kenyataannya, bencana-bencana yang sering terjadi justeru datang secara
tiba-tiba. Terhadap bencana yang melanda, berbagai pandangan dan pendapat bermunculan, ada yang
berpendapat bahwa bencana yang terjadi merupakan cobaan, teguran, peringatan dan azab. Bahkan ada juga
yang mengatakan sebagai gejala alam.
Artinya:Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
Terlepas dari berbagai pandangan dan pendapat tersebut, tentunya sebagai acuan kita dalam menyikapinya
menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus;
adalah ayat-ayat Allah. Dalam hal ini sebagaimana firman Allah:
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.(30) Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah
kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Allah.(31).Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.
1
Makalah disampaikan pada acara Ta’lim Niyabah Kalimanatan Timur tanggal 1Muharram 1432
H/7 November 2010 M di Masjid At-Taqwa Samarinda.
tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.(32). (QS. Al-Ankabut:30-32).
1
Imam Abu Ja’far at-Thabary dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Ta,wil al-Quran atau yang dikenal dengan Tafsir
at-Thabary menjelaskan kalimat Fitratallah pada ayat 30 surat ar-Rum di atas dengan arti al-Islam. Islam
sebagai agama yang dianut para Rasul dan Nabi terdahulu, ajaran intinya adalah mentauhidkan Allah dengan
ciri khusus pengikutnya disebut sebagai “Umatan Wahidah” (umat yang satu). Akan tetapi dalam perjalanannya,
sebutan sebagai umat yang satu dinodai oleh kezhaliman dan kemusyrikan dengan melakukan perselisihan dan
perpecahan dalam beragama. Akibat dari perselisihan dan perpecahan yang dilakukan oleh umat terdahulu
terhadap ajaran tauhid yang dibawa para rasul dan nabi, mereka dibinasakan oleh Allah SWT dengan berbagai
     
   
Artinya:Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Aad?[6](yaitu)
penduduk Iram yang mempunyai Bangunan-bangunan yang tinggi[7] yang belum pernah dibangun (suatu kota)
seperti itu, di negeri-negeri lain[8],dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah,[9]dan kaum
Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentara yang banyak),[10]yang berbuat sewenang-wenang dalam
negeri[11],lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu,[12] karena itu Tuhanmu menimpakan
kepada mereka cemeti azab,[13]Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.[14]
bencana. Allah SWT berfirman;




    
  
 










   
  
Artinya:”Betapa banyaknya negeri yang telah Kami binasakan, Maka datanglah siksaan Kami (menimpa
penduduk)nya di waktu mereka berada di malam hari, atau di waktu mereka beristirahat di tengah hari [4].
Maka tidak adalah keluhan mereka di waktu datang kepada mereka siksaan Kami, kecuali mengatakan:
"Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang zalim".[5] Maka Sesungguhnya Kami akan menanyai umatumat yang telah diutus Rasul-rasul kepada mereka dan Sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) Rasul-rasul
Dari beberapa ayat di atas, kiranya cukup menjadi bukti bahwa penolakan terhadap kebenaran dan melakukan
pertentangan serta perpecahan dalam agama salah satu faktor penyebab diturunkankannya bencana.
HIJRAH SEBAGAI ANTISIPASI BENCANA
Dalam tataran tektual dan realita sejarah, hijrah diartikan berpindahnya Rasulullah SAW dan para sahabat dari
Makkah ke Yatsrib (Madinah). Peristiwa ini terjadi pada tahun 622 M. Perintah hijrah kepada Rasulullah SAW
dan para sahabat merupakan solusi tepat sebagai antisipasi terhadap intimidasi dan kezaliman yang dilakukan
kafir Quraisy. Selama 13 tahun keberadaan Rasul dan para sahabat di Makkah setelah diturunkannya wahyu,
berbagai bencana kemanusiaan mereka alami, Banyak di antara pengikut Rasulullah SAW yang ditindas dan
disiksa. Hal serupa juga dialami Rasulullah SAW. Dalam kondisi seperti inilah hijrah menjadi kewajiban.
(Kami).[6]. (QS. Al-A’raf:4-6).
Apa yang dilakukan kafir Quraisy terhadap Rasulullah SAW dan pengikutnya selama di Makkah adalah sebagai
Al-Qur’an sebagai referensi yang paling otentik, tidak hanya memaparkan kisah-kisah bencana yang menimpa
reaksi dari penolakan dan pengingkaran mereka terhadap ajaran tauhid yang didakwahkan Rasulullah SAW.
umat dahulu seperti banjir yang menimpa umat Nabi Nuh, angin topan yang menimpa umat Nabi Shalih, gempa
Bagi kafir Quraisy ajaran tauhid yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah ancaman besar terhadap keyakinan
bumi yang menimpa umat Nabi Luth. Akan tetapi al-Qur’an juga menceritakan bahwa umat dahulu
dan kepercayaan yang mereka anut. Ancaman tersebut tidak hanya sebatas pada masalah keyakinan, akan tetapi
dalam
menagantisifasi bencana mereka pun melakukan berbagai persiapan untuk menghindar dari berbagai bencana.
Namun usaha mereka sia-sia. Allah SWT berfirman;
     










 
 
   




    




juga mengancam terhadap sistem kehidupan faganis dan fanatis kesukuan yang sering dijadikan kebanggaan.
Sebagai klimaks dari penolakan dan pengingkaran mereka terhadap dakwah Rasulullah SAW, mereka
melakukan persekongkolan untuk membunuh Rasulullah SAW, untuk mengatur rencana pembunuhan tersebut
maka dilakukanlah pertemuan di Darun Nadwah dengan melibatkan tokoh-tokoh penting dari beberapa suku
kabilah Quraisy. Dari pertemuan tersebut maka dipilihlah eksekutor-eksekutor terbaik di kalangan mereka untuk
membunuh Rasulullah SAW. Namun apa yang terjadi, mereka punya rencana, akan tetapi mereka tidak
mengetahui bahwa sebaik-baik rencana adalah rencana Allah SWT. Hati dan mata mereka dibutakan, mereka
2
tidak sadar, bahwa ajaran tauhid yang dibawa oleh Rasulullah SAW merupakan blue print dari rencana Allah.
Bukti dari kepercayaan dan kerjasama suku-suku yang ada disekitar Madinah dituangkan dalam perjanjian as-
Dengan demikian, maka Allah SWT menyelamatkan utusannya dengan memerintahkan beliau untuk berhijrah.
Shahifah al-Madinah (Piagam Madinah). Dengan adanya as-Shahifah al-Madinah tersebut, maka seluruh
komunitas masyarakat Madinah dari berbagai suku dan agama, merasa bertangung jawab serta terikat dengan
perjanjian tersebut. Sehingga masing-masing suku berkewajiban untuk memelihara perjanjian yang mereka
HIJRAH KEPADA SISTEM KHILAFAH
sepakati.
Hijrahnya Rasulullah SAW dan para sahabat-Nya ke Madinah, di samping untuk menyelamatkan ajaran tauhid
As-shahifah al-Madinah yang diadakan Rasulullah SAW bersama Yahudi merupakan tindakan ad-Dien, bukan
dari berbagai rongrongan dan tekanan kafir Quraisy, Hijrah juga sebagai titik awal bagi Rasulullah dan para
tindakan politik seperti yang diungkapkan oleh orientialis yang bernama Montegmery Watt yang pendapatnya
sahabat untuk membangun system kehidupan masyarakat wahyu. Mengingat misi Rasulullah adalah misi
dijadikan rujukan banyak politikus islam. Padahal pandangan ini jauh dari kebenaran. Sebab dalam as-Shahifah
ibadah bukan politik atau kekuasaan, maka yang pertama dilakukan oleh Rasulullah setelah sampai di Madinah
al-Madinah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, selalu mengedepankan prinsip-prinsip ajaran tauhid yaitu
yaitu membangun masjid. Dari masjid inilah beliau menata masyarakat, dan pola penataan yang dilakukan
persoalan akidah, bukan prinsisp-prinsip politik yaitu kekuasaan. Adapun nilai-nilai persamaan, kerjasama,
Rasulullah SAW adalah dengan mempraktekkan ibadah sholat secara berjamaah. Dalam sholat berjamaah, di
menjaga ketentraman bersama seperti yang tertuang dalam as-Shahifah al-Madinah adalah sebagian dari nilai-
samping sebagai amal ibadah kepada Allah SAW, juga sebagai bentuk miniatur pola kehidupan masyarakat
nilai ajaran tauhid yang disampaikan oleh Rasulullah SAW yang ditus oleh Allah sebagai Rahmatal lil ‘alamin.
wahyu di bawah satu komando seorang imam dalam satu jamaah. Sebagai aktualisasinya dalam kehidupan maka
Allah SWT berfirman;
mulai saat itu terbentuklah Jamaah Muslimin, sebagai imamnya adalah Rasulullah SAW.




 
Setelah terbentuknya Jamaah Muslimin sebagai system pola Masyarakat Wahyu, selanjutnya Rasulullah SAW
Artinya; “Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-
mempersaudarakan antara suku Aus dan Khazraj dengan ikatan akidah, padahal sebelum datangnya Rasulullah
SAW, selama 1 abad lamanya mereka saling bertikai dan berperang. Keberhasilan Rasulullah
mempersaudarakan Aus dan Khazraj memberi pengaruh yang sangat besar terhadap suku-suku yang ada di
sekitar Madinah. Mereka mengagumi apa yang telah dilakukan Rasulullah terhadap suku Aus dan Khazraj.
Dalam pandangan mereka sebelumnya, dua suku terbesar tersebut tidak mungkin bisa disatukan. Akan tetapi,
mereka melihat kenyataan yang berbeda. Lebih-lebih lagi kekaguman mereka terhadap Rasulullah. tatkala
mereka tidak menemukan sedikitpun pada diri Rasulullah SAW politik kekuasaan, melainkan yang mereka
dapati bahwa Rasulullah tetap pada misi mulyanya yaitu mengajak manusia kepada ajaran tauhid. Semenjak dari
Anbiya;107)
Dari firman Allah tersebut, adalah suatu pandangan yang keliru, apabila Piagam Madinah dikaitkan dengan
berdirinya sebuah Negara Islam yang diproklamirkan oleh Rasulullah SAW. Logika sederhananya, kalau
memang Rasulullah dikatakan sebagai pendiri Negara Islam, maka tentunya tidaklah perlu Allah menjelaskan
firman-Nya seperti yang terdapat pada ayat 107 surat al-Anbiya tersebut. Dengan demikian maka perjanjian
yang dilakukan oleh Rasulullah dengan komunitas masyarakat Yahudi yang ada disekitar Madinah membuktikan
bahwa misi utama Rasulullah bukanlah kekuasaan atau politik, melainkan misi ad-Dien yang sifat-Nya Rahmatal
lil ‘alamin.
peristiwa itu, mulailah muncul kepercayaan berbagai suku disekitar Madinah terhadap Rasulullah SAW untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang tidak bias diselesaikan antar sesame mereka atau antar suku di antara
mereka. Bahkan ada di antara suku-suku tersebut yang menyatakan keislamannya dengan membaiat Rasulullah
SAW.
Oleh karenanya, dengan adanya perjanjian yang dituangkan dalam as-shahifah al-Madinah sebagai salah satu
yang dilakukan Rasulullah setelah berhijrah ke Yastrib (Madinah) justeru menguatkan eksistensi terbentuknya
Jamaah Muslimin untuk mengembalikan fitrah manusia yaitu “Ummatan Wahidah”. Bukan sebagai cikal bakal
berdirinya Negara Islam di Madinah seperti pendapat para politikus.
Sebagai kepercayaan mereka terhadap Rasulullah SAW, maka berbagai suku yang ada di sekitar Madinah secara
sadar dan senang hati siap menerima dan bekerjasama terhadap aturan-aturan yang di buat Rasulullah SAW.
3
Dalam kontek kekinian, pemaknaan hijrah tentunya mempunyai arti dan makna lebih luas, hijrah tidak hanya
dipahami sebagai perpindahan dari satu wilayah ke wilayah yang lain, bahkan terhadap makna ini Rasulullah
SAW sendiri menyatakan bahwa tidak ada hijrah setelah fathu Makkah. Artinya bahwa setelah Fathu Makkah
kaum Muslimin tidak diwajibkan untuk berhijrah lagi.
Namun demikian, niat dan kesungguhan untuk mewujudkan nilai-nilai ad-dien (agama) seperti prinsip kesatuan
umat, terpimpin, saling bantu membantu hendaknya tetap tertanam dalam individu muslim, Terutama dalam
melihat berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini, sudah saatnya Kaum Muslimin membangun kembali
pesan-pesan yang didapati dari peristiwa hijrah yaitu menata kembali pola kehidupan menuju masyarakat wahyu
dengan mengamalkan system khilafah ‘ala minhajin nubuwwah sebagai kaum yang selalu berpihak kepada
Allah atau Jamaah Muslimin (Hizbullah). Wallahu ‘alam bi al-shawab
4
Download