PROPOSAL PENELITIAN RELASI SOSIAL BEKAS WARGA BINAAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN (BWBLP) DI DESA NAMANG KECAMATAN NAMANG KABUPATEN BANGKA TENGAH I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara hukum telah mengatur setiap perbuatan dan tingkah laku serta kekuasaan setiap orang harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik. Hukum yang dibuat tersebut harus ada untuk kenyamanan dan penataan negara yang lebih baik. Tidak hanya negara yang mengatur hukum dalam kehidupan setiap orang, dalam proses kehidupan manusia sebagai anggota masyarakatpun, seseorang tidak dapat bertingkah laku semena-mena sesuai dengan keinginan mereka. Seseorang harus bertingkah laku yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat itu sendiri. Lingkungan masyarakat memiliki aturan, nilai, dan norma yang berlaku, yang mana memberikan batasan bagi tingkah laku setiap orang yang hidup dan bertempat tinggal di suatu lingkungan masyarakat. Kondisi masyarakat modern saat ini yang sarat dengan berbagai keinginan dan kebutuhan yang sangat kompleks memunculkan aspirasiaspirasi materil tinggi, dan sering disertai dengan ambisi-ambisi sosial yang tidak sehat. Dambaan untuk pemenuhan materil yang melimpahlimpah, misalnya untuk memiliki harta kekayaan dan barang-barang mewah, tanpa mempunyai kemampuan untuk mencapainya dengan jalan yang wajar, mendorong seseorang untuk melakukan tindak kriminal. Kondisi yang seperti ini menjadi permasalahan kriminalitas di Indonesia yang tidak hanya terjadi pada salah satu kalangan tertentu, 1 namun pada kenyataannya semua kalangan memiliki potensi untuk melakukan tindak kriminal itu sendiri. Permasalahan kriminalitas di Indonesia tersebar di berbagai daerah, tidak hanya kota-kota besar atau kota-kota kecil, bahkan setiap lapisan daerah memiliki potensi untuk terjadi tindak kejahatan. Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung pun tidak luput dari adanya permasalahan tindak kriminal. Tentu saja dengan berbagai tingkat keparahan permasalahan kriminalitas yang berbeda-beda. Berbagai tindak kriminalitas yang terjadi seperti pencurian, perampokan, penipuan, perjudian, pencabulan, bahkan pembunuhan dan berbagai tindak kejahatan lainnya merupakan permasalahan kriminalitas yang sering terjadi. Tindak kriminalitas tersebut terjadi di berbagai daerah di Indonesia dan Kabupaten Bangka Tengah tidak luput atas terjadinya tindak kriminalitas tersebut. Terkadang dengan cepatnya perubahan, ketidakstabilan, dan kurangnya relasi sosial serta kurangnya atau tidak adanya kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungan sekitar, dapat menjadi penyebab seseorang menjadi sakit secara sosial. Kondisi seperti ini dapat menjadi salah satu penyebab seseorang melakukan tindak kriminal. Hal ini dapat dilihat dengan keberadaaan pemberitaan mengenai kriminalitas yang terjadi di Indonesia, fenomena tindak kriminal ini terjadi setiap hari. Tindak kriminal yang terjadi tersebut tentu sangat mempengaruhi kenyamanan dalam menjalani kehidupan sehari-hari terutama bagi masyarakat sekitar yang secara langsung terkena dampak dari tindak kriminal tersebut. Jumlah tindak kriminal di Indonesia sepanjang tahun 2012 sampai November 2012 mencapai 361.500 dengan resiko penduduk yang mengalami kejahatan 136 orang. Jadi, setiap satu menit dan 36 detik terjadi satu kriminalitas/ kejahatan, hal ini diumumkan dalam acara refleksi akhir tahun penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia. Jumlah tindak kriminal ini cukup banyak dan tentu sangat 2 mengkhawatirkan karena kondisi lingkungan menjadi sangat tidak aman dengan tindak kriminal yang tinggi. Jumlah kasus kejahatan pada tahun 2011 untuk wilayah Kabupaten Bangka Tengah tercatatat kasus kriminalitas yang terjadi berdasarkan data di Polres Kabupaten Bangka Tengah mencapai 234 kasus. Angka tersebut menunjukkan kenaikan dibandingkan pada tahun 2010 yaitu berjumlah sekitar 205 kasus. Jumlah kenaikan kriminalitas pada tahun 2010-2011 tersebut mencapai sekitar 14 persen. Kasus kriminalitas yang paling menonjol yang terjadi pada tahun 2011 adalah pencurian motor dengan pemberatan, dimana kasus pencurian motor ini terjadi sebanyak enam hingga delapan kasus per bulannya. Angka kriminalitas yang terjadi dalam rentang waktu 2010-2011 menunjukkan adanya kenaikan jumlah kriminalitas, bukan tidak mungkin setiap tahunnya angka ini terus bertambah, sehingga tindakan yang cepat diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Setiap pelaku tindak kriminal yang tertangkap akan menjalani proses hukum yang berlaku sesuai dengan tindak kriminal yang telah dilakukan. Selama proses hukum tersebut berjalan, para pelaku tindak kriminal ini dibina di Lembaga Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan yang disingkat LP menjadi tempat untuk melakukan pembinaan terhadap Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Melalui Lembaga Pemasyarakat ini diharapkan adanya efek jera kepada pelaku kriminal, sehingga tidak akan mengulangi kembali kejahatan yang terdahulu. Selain itu memunculkan efek jera, Lembaga Pemasyarakatan memberikan suatu pembinaan, yang mana melalui pembinaan tersebut seseorang diharapkan memiliki kemampuan dan keterampilan di bidang tertentu yang dapat meningkatkan mutu kehidupannya kelak setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan. Selain itu juga, dengan adanya pembinaan tersebut dapat memberikan kontribusi dalam perbaikan hidupnya supaya dapat hidup lebih layak. Melalui Lembaga 3 Pemasyarakatan diharapkan para Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan dapat mempersiapkan diri untuk hidup kembali secara wajar di tengah-tengah kehidupan masyarakat tanpa menimbulkan kesenjangan antara masyarakat dengan Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP). Setelah menjalani masa hukuman dan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan (LP), seorang Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) akan kembali ke daerah atau lingkungan masyarakat dimana ia bertempat tinggal sebelumnya. Momen bebas dari Lembaga Pemasyarakatan seharusnya menjadi momen yang sangat besar dan membahagiakan bagi Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan. Namun ternyata mereka harus menghadapi tantangan yang lebih besar lagi. Kesiapan Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) untuk melakukan relasi sosial kembali dengan keluarga dan masyarakat menjadi sangat penting bagi seorang BWBLP. Kadang kala hubungan yang terjalin antara BWBLP dengan keluarga dan masyarakat menjadi tidak seharmonis sebelum BWBLP tersebut masuk ke Lembaga Pemasyarakatan. Seseorang yang baru keluar dari Lembaga Pemasyarakatan harus menghadapi tantangan dan berbagai masalah lain terutama hukuman secara sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Kehadiran Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) ke tengah-tengah kehidupan masyarakat tentu memunculkan berbagai macam tanggapan yang berbeda-beda. Di dalam masyarakat hukuman secara sosial kental terasa terhadap BWBLP. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan berbagai sikap yang ditampilkan oleh masyarakat. sebagian besar orang di dalam masyarakat terkesan bersikap acuh tak acuh atas kehadiran BWBLP yang telah selesai menjalani masa tahanan untuk menjadi bagian dari masyarakat. Selain itu, terkadang masih adanya stigma atau cap bahwa seakan-akan seseorang yang keluar dari Lembaga Pemasyarakatan oleh masyarakat 4 dianggap sebagai orang yang akan selalu melakukan tindak kriminal. Masyarakat memandang dan mencap bahwa BWBLP sebagai orang yang akan selalu berkepribadian kriminalis, sekalipun telah masuk ke Lembaga Pemasyarakatan bukan tidak mungkin BWBLP tidak mengulangi tindak kriminal yang dulu. Kurang kepedulian masyarakat mengenai keberadaan Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dapat dilihat dari bagaimana cara mereka berinteraksi antara satu sama lain. Kesulitan masyarakat untuk menerima kehadiran BWBLP dengan cara melakukan pengucilan terhadap BWBLP. Hal tersebut merupakan bagian dari hukuman secara sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Apabila hal seperti ini terus berlanjut, dengan adanya perlakuan yang tidak adil yang dilakukan oleh masyarakat, akibat yang paling buruk adalah mereka dapat kembali mengulangi tindak kriminal yang dilakukan dulu. Kondisi masyarakat yang berubah terus menerus senantiasa dan beriringan dengan kejahatan tersebut. Tingkah laku yang menjurus pada kejahatan sangat erat kaitannya dengan kehidupan sosial serta berhubungan langsung dengan lingkungan, pekerjaan, dan lainnya. Masalah yang dialami oleh BWBLP dapat berupa kesulitan untuk memperbaiki relasi sosial dengan keluarga dan masyarakat. Kesulitan ini diperoleh dari adanya stigam atau cap buruk yang terlanjur ada pada diri BWBLP. Status sebagai BWBLP telah menjadi cap/stigma yang melekat pada dirinya yang pada akhirnya berdampak juga masalah sulitnya seorang BWBLP mencari pekerjaan. Cap atau stigma tersebut menjadi penyebab mereka sulit memperoleh kepercayaan dari penyedia layanan lahan kerja dan aturan khusu yang diberlakukan sehingga membuat BWBLP kesulitan untuk mengakses pekerjaan. Dalam kehidupan sehari-hari, berelasi sosial merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam terciptanya kesehatan jiwa/ mental seseorang. Banyak orang yang tidak dapat mencapai kebahagiaan karena ketidakmampuan dalam menciptakan relasi sosial yang baik 5 dengan sesama, baik dengan keluarga dan masyarakat pada umumnya. Kondisi masyarakat yang masih sulit percaya dan masih adanya prasangka negatif terhadap BWBLP sangat mempengaruhi bagaimana relasi sosial yang terjadi antara keluarga, masyarakat dan BWBLP. Kondisi tidak percaya dan prasangka buruk yang ditampilkan oleh masyarakat tentu sangat berpengaruh kepada BWBLP. Lingkungan yang tidak kondusif dan kurangnya dukungan oleh warga masyarakat tentu dapat menjadi penyebab seorang BWBLP merasa tidak diterima oleh masyarakat. hal seperti ini tentu dapat berdampak pada hal terburuk yaitu seorang BWBLP kembali melakukan tindak kriminal yang sebelumnya ia lakukan. Terlepas dari bagaimana perlakuan serta sikap yang ditampilkan oleh masyarakat terhadap BWBLP. Faktor peranan BWBLP itu sendiri menjadi sangat penting dalam menjadikan dirinya dapat diterima kembali oleh masyarakat. seorang BWBLP harus memiliki sikap optimis dan percaya diri yang kuat agar mereka dapat kembali menjadi bagian dari masyarakat. dengan memiliki sikap optimis dan percya diri, diharapkan BWBLP dapat memiliki harapan yang kuat terhdap segala sesuatu di dalam kehidupannya meskipun ia sedang dalam kondisi memiliki masalah. Selain memiliki sikap optimis dan percaya diri, seorang BWBLP harus dapat menunjukkan itikad baik untuk berubah, sehingga masyarakat dapat kembali mempercayai diri BWBLP, dan tentu dapat memperbaiki relasi sosial antara BWBLP dengan masyarakat. Dalam relasi sosial BWBLP, seorang pekerja sosial diharapkan dapat membantu berkontribusi dalam membantu memecahkan masalah yang dialami oleh BWBLP. Kondisi masyarakat yang sulit menerima BWBLP sehingga menyebabkan relasi sosial yang terjalin diantara keduanya renggang, tentu memerlukan pemecahan masalah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mempersiapkan kondisi lingkungan masyarakat agar kondusif, agar masyarakat dapat mendukung 6 dan menerima BWBLP. Selain itu, pekerja sosial juga dapat membantu BWBLP dengan memotivasinya agar terus berusaha melakukan hal-hal baik untuk kembali memperoleh kepercayaan dan dukungan dari masyarakat. Berdasarkan permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih lanjut dan ingin meneliti lebih mendalam lagi tentang “relasi sosial BWBLP di Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah, karena untuk memudahkan pengumpulan data dan ada banyak referensi yang dapat dimanfaatkan untuk penelitian ini. Lokasi penelitian yang dekat dengan daerah asal peneliti sehingga akan lebih mudah untuk melakukan penelitian. Melalui penelitian ini, peneliti berharap dapat membantu menemukan dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP). B. Perumusan Masalah Perumusan masalah ini adalah : “Bagaimana relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP)”? Selanjutnya perumusan masalah ini akan dirinci pada sub-sub masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik responden? 2. Bagaimana interaksi sikap responden dengan masyarakat? 3. Bagaimana interaksi emosi responden dengan masyarakat? 4. Bagaimana komunikasi responden dengan masyarakat? 5. Bagaimana masalah yang dihadapi responden? 6. Bagaimana harapan responden terhadap masalah? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara empiris tentang : 1. karakteristik responden 2. interaksi sikap responden dengan masyarakat 3. interaksi emosi responden dengan masyarakat 7 4. komunikasi responden dengan masyarakat 5. masalah yang dihadapi responden 6. harapan responden terhadap masalah D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dicapai dalam penelitian ini yaitu : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan dalam praktek pekerjaan sosial khususnya mengenai Relasi Sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP). 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pemecahan masalah yang berkaitan dengan Relasi Sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP). Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menyusun kebijakan bagi Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP). II. KAJIAN KONSEPTUAL A. Penelitian Terdahulu 1. Relasi Sosial Anak Asuh Di PSAA Putra Bala Keselamatan Maranatha Bandung Karya Ilmiah Ini oleh Ria Rezeki Angraeni (KIA DIV STKS tahun 2010). Penelitian ini menggambarkan program peningkatan relasi sosial anak asuh melalui bimbingan sosial dan kegiatan rekreatif berdasarkan hasil penelitian relasi sosial anak asuh PSAA Putra Bala Keselamatan Maranatha Bandung, yang ditinjau dari aspek interaksi sosial anak asuh dengan teman di panti, teman di sekolah, dan pengasuh, perilaku serta peran sosial yang ditampilan oleh anak asuh dan lingkungan sosialnya, serta kontak (frekuensi dan intensitas) 8 hubungan sosial anak asuh dengan teman di panti, teman di sekolah, dan pengasuh. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif, yang bertujuan menggambarkan relasi sosial anak asuh di PSAA Putra Bala Keselamatan Maranatha Bandung. Penelitian ini merupakan penelitian populasi (sensus), yang menjadi reponden dalam penelitia ini adalah anak asuh yang berusia 13<18 tahun sebanyak 31 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket dan observasi. Teknik pengumpulan data secara penelitian pupulasi (sensus) subjek yang diteliti adalah anak asuh di PSAA Putra Bala Keselamatan Bandung. Hasil dari penelitian yang telah dilakukan adalah relasi sosial anak asuh dengan lingkungan sosialnya (teman panti, teman di sekolah, dan pengasuh) tidak terjalin dengan baik. Adanya permasalahan interaksi seperti responden yang mengatakan bahwa ada teman yang di sekolah yang menjauhi atau tidak mau berteman dengan responden, hal ini menyebabkan responden tidak percaya diri. Responden jarang berkomunikasi dengan pengasuhnya serta jarang melakukan kegiatan bersama. 2. Penyesuaian diri Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dengan masyarakat di Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan Karya Ilmiah ini oleh Andi Widyastuti (KIA DIV STKS tahun 2014) Karya ilmiah ini meneliti tentang Penyesuaian diri Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dengan masyarakat di Kecamatan bantaeng Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan untuk mendapatkan gambaran karakteristik responden, kesanggupan BWBLP dalam berelasi yang sehat dengan masyarakat, kesanggupan bereaksi secara efektif dan harmnis terhadap kenyataan, menghargai dan 9 menajalankan hukum yang berlaku tertulis dan tidak tertulis, memberikan empati dalam masyarakat, masalah-masalah, dan mengetahui harapan responden dalam penyesuaian diri. Subyek penelitian ini adalah BWBLP Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif yaitu untuk menggambarkan atau melukiskan secara sistematis fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara fenomena yang diteliti. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah sensus, jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 28 responden. Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan dinarasikan dengan kata-kata sehingga lebih mudah untuk diinterpretasikan. Teknik pengumpulan data menggunakan angket, dan studi dokumentasi. Masalah yang dialami oleh responden yaitu stigma dan penerimaan masyarakat, kurang percaya diri dan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Program yang ditawarkan untuk memecahkan masalah ini yaitu program pemberdayaan BWBLP. Tujuan program ini yaitu responden diharapkan dapat memperoleh tambahan pemasukan, sehingga ia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mampu memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan masyarakat. Hasil penelitian ini yaitu BWBLP meyakini dengan agama yang dianut dengan ikut beribadah dengan masyarakat dapat dijadikan dasar untuk menjadi lebih baik. Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) sadar bahwa stigma yang ada pada dirinya tidak dapat hilang begitu saja. Kurangnya dorongan dari masyarakat mengakibatkan responden menjadi lebih pesismis dan sulit mendapatkan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan BWBLP yang mneningkatkan resiko BWBLP kembali bertindak jahat. BWBLP berharap dapat memenuhi kebutuhan dengan memiliki pekerjaan. 10 3. Penerimaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Kelurahan Muara Tebo Kabupaten Tebo Provinsi Jambi Karya Ilmiah ini oleh Mashuri (KIA DIV STKS tahun 2009). Karya ilmiah ini memuat gambaran hasil penelitian tentang Penerimaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Kelurahan Muara Tebo Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran mengenai penerimaan keluarga terhadap Penerimaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), meliputi bagaimana karakteristik sumber data, bagaimana perhatian keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), bagaimana perlakuan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), bagaimana kesempatan yang diberikan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), bagaimana kesempatan yang diberikan keluarga kepada Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) untuk mengembangkan potensinya, dan bagaimana harapan-harapan sumber data. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menggambarkan secara faktual tentang objek penelitian. sumber data penelitian berasal dari keluarga Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), seperti orangtua, saudara, dan lingkungan sosial sumber data. Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga masalah pokok yang menonjol pada sumber data, yaitu sikap sumber data yang tidak memiliki kemampuan menyampaikan hal-hal yang sebenarnya kepada BWBLP, kurangnya pemahaman dan pengetahuan keluarga terhadap BWBLP sehingga muncul sikap keluarga yaitu sifat kehati- 11 hatian, kecemasan, serta ketakutan yang berlebihan, dan sumber data enggan atau menyangkal bahwa salah satu anggota keluarganya adalah BWBLP sehingga penanganan terhadap BWBLP menjadi lambat. Tidak terjalin komunikasi yang baik antara BWBLP dengan sumber data, sehingga menyebabkan penolakan. Kurangnya pemahaman keluarga tentang masalah dan cara penanganan BWBLP. Sumber data menyangkal bahwa salah satu keluarganya dalah BWBLP, sehingga penanganan menjadi lambat. 4. Penerimaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Kota Pangkalpinang Provinsi Bangka Belitung Karya Ilmiah ini oleh Bambang Tri Setiadi (KIA DIV STKS tahun 2014). Penerimaan keluarga merupakan bagaimana berhubungan, pemberian perhatian, penghargaan, dan kepercayaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji tentang penerimaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) yang mencakup : karakteristik informan, hubungan terhadap informan, perhatian terhadap informan, penghargaan terhadap informan, kepercaaan terhadap informan, haapan-harapan informan terhadap keluarga dengan permasalahannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Teknik untuk menentukan sumber data pada penelitian ini digunakan teknik purposive. Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini adalah wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan studi dokumnetasi. Selanjutnya hasil penelitian ini menggunakan teknik kualitatif. Penerimaan keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Kecamatan Gerunggang kurang 12 mendapatkan penerimaan yang baik. Dari segi informan, ada informan yang mendapatkan penerimaan yang kurang baik. Penerimaan yang kurang baik dari keluarga disebabkan karena perilaku BWBLP belum menunjukkan perubahan sikap yang baik setelah kembali ke lingkungan keluarga maupun masyarakat. Program untuk mengatasi masalah ini yaitu sosialisasi tentang pentingnya peran dan fungsi keluarga bagi BWBLP. Hubungan dengan kelurga kurang baik setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (LP). Kurang kasih sayang, perhatian, penghargaan dari keluarga. BWBLP kurang percaya diri dan kurang mendapatkan kepercayaan dari keluarga. 5. Penerimaan Masyarakat terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di desa Nagrag Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung Karya Ilmiah ini oleh Rangga Warsita Soekarno (KIA DIV STKS tahun 2014). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh penjelasan secara mendalam tentang penerimaan masyarakat terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di desa Nagrag Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung. Sub problematik dari fokus penelitian tersebut yaitu bagaimana karakteristik masyarakat, bagaimana masyarakat berhubungan dengan Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), bagaimana penghargaan yang diberikan masyarakat terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), dan bagaimana kepercayaan masyarakat terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) . Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif melalui pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, obervasi, dan studi dokumentasi. Penentuan informan dengan menggunakan purposive sampling berjumlah lima orang yang berasal dari tokoh masyarakat, masyarakat, dan berkas warga binaan. 13 Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerimaan masyarakat di Desa Nagrag terhadap BWBLP belum cukup baik. Masyarakat ada yang bersedia menerima karena sudah berubah, ada yang menganggapnya biasa-biasa saja, dan ada yang kurang menerima BWBLP. Kepercayaan masyarakat hanya diberikan kepada BWBLP yang telah berubah dan tidak mengulangi perbuatan yang salah. Sebagian besar masyarakat kurang memberikan apresiasi kepada BWBLP yang berperilaku baik. Warga kurang mempercayai BWBLP. Warga kurang menerima BWBLP, kurang melakukan komunikasi, kurang memberikan pengahargaan dan kepercayaan kepada BWBLP. Berdasarkan kelima penelitian terdahulu yang telah penulis uraikan satu persatu maka perbedaan penelitian yang akan penulis lakukan dengan penelitian terdahulu adalah relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP), meliputi aspek interaksi sikap responden, interaksi emosi responden, dan komunikasi responden dengan masyarakat yang ada di Desa Namang Kecamatan Namang. Peneliti secara spesifik mengambil lokasi di Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah. Peneliti menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan penelitian survei. B. Tinjauan Kepustakaan yang Relevan 1. Tinjauan tentang Relasi Sosial Relasi sosial adalah faktor yang paling menentukan struktur suatu masyarakat. Sebuah relasi sosial didasari komunikasi yang merupakan dasar dari eksistensi masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa relasi sosial merupakan dasar kerangka berpikir yang tepat untuk mengamati dinamika perkembangan suatu masyarakat. Berbagai disiplin ilmu memiliki teori tentang relasi sosial. Pembahasan tentang relasi sosial atau hubungan antar manusia tidak 14 terlepas dari pembahasan tentang komunikasi, interaksi sosial, proses sosial, dan nilai-nilai sosial. Faktor-faktor tersebut membentuk kesatuan dan saling mempangaruhi di dalam sistem hubungan. pembahasan selanjutnya mengenai pengertian relasi sosial, aspekaspek relasi sosial, tahap perkembangan relasi, dan berbagai hal yang berkenaan dengan relasi sosial. a. Pengertian Relasi Sosial Manusia pada dasarnya tidak dapat hidup sendiri, manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya dengan lingkungan dimana manusia itu berada. Manusia saling bergantung dengan manusia lainnya sehingga manusia yang satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Relasi terbentuk karena adanya aspek-aspek interaksi sikap dan emosi, pengaruh dari sikap dan emosi ini akan tetap bertahan meskipun proses komunikasi telah berakhir. Adanya interaksi sikap dan emosi inilah yang dimaksud bahwa dalam komunikasi antar pribadi (interpersonal communication) terbentuk relasi (Achlis, 1998: 9-10). Alo Liliweri (2005:125) berpendapat bahwa jika kita berbicara tentang hubungan antar etnik, kita tidak dapat mengelak dari konsep interaksi sosial, karena interaksi sosial merupakan awal dari relasi sosial dan komunikasi antar manusia. Hal ini berarti relasi terjadi karena adanya interaksi sikap dan emosi yang akan memberikan kepuasan dan merupakan sumber utama kebahagiaan seseorang. Hidup bermasyarakat atau berkelompok dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan terdapat relasi antar individu, antar kelompok, maupun antar bangsa. Sejak lahir sampai akhir hayatnya sebagian besar kehidupan manusia terlibat dalam proses relasi sosial, seperti yang dikemukakan oleh Achlis, yaitu : “Setiap orang pada saat dalam kehidupannya membentuk relasi dengan banyak orang dalam berbagai kontek situasi. 15 Relasi-relasi ini membentuk pengaruh yang berbeda-beda dalam dirinya. Ketika baru lahir lahir mula-mula orang membentuk relasi dengan ibu atau pengaruh yang selalu merawat atau memenuhi kebutuhannya, kemudian orang lain dalam keluarga. Selanjutnya setelah agak besar mulai berhubungan dengan orang lain di luar keluarga, seperti teman sebaya, teman kerja, pacar, istri, suami,dan kemudian dengan anak-anaknya.” (Achlis,1998) Menurut Felis Biestek yang dikutip oleh Achlis (1998) menjelaskan bahwa “Relasi semacam darah dan daging, atmosfir, jembatan, atau seperti meja terbuka. Inti relasi adalah saling pertukaran emosional secara kooperati (mutual), suatu interaksi sikap yang dinamik, suatu medium dan koneksi antara orang, suatu pertemuan atau hubungan profesional, atau suatu proses kerjasama (mutual). Dari semua sifat yang menggambarkan relasi sosial tersebut kiranya interaksi dan sifat dinamik merupakan hakekat yang paling umum mengenai relasi. Menurut Hellen Northern dalam bukunya Social Work With Groups (1969:17), mengemukakan tentang relasi sosial sebagai berikut : Social relationship a term for the dynamic interlay of forces in which contact between persons results in a modification of the attitude and behavior of the participants communication both verbal and nonverbal is basic to interaction. Relasi sosial adalah suatu istilah untuk mempengaruhi yang dinamis yang berlaku akibat adanya hubungan antara individu sebagai hasil dari perubahan sikap dan tingkah laku dari partisipan. Adanya komunikasi baik verbal maupun nonverbal, merupakan dasar dari setiap relasi. 16 Definisi yang diungkapkan Hellen Northern, Dapat dikatakan bahwa relasi sosial merupakan, proses interaksional antara individu, keluarga, dan masyarakat. Dalam relasi sosial yang dibentuk oleh individu dengan orang lain sering kali memberikan kepuasan sehingga tujuan-tujuan, kebutuhan-kebutuhan akan mudah terpenuhi. Keberhasilan individu di dalam melakukan relasi sosial sangat tergantung pada bagaimana seseorang menggunakan komunikasi pribadi secara efektif, dengan demikian proses komunikasi antar pribadi merupakan dasar terbentuknya suatu relasi sosial. Berdasarkan dari beberapa definisi relasi sosial menurut para ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa relasi sosial merupakan proses interaksional (hubungan sosial) antara dua orang atau lebih diatur oleh norma-norma sosial, adanya interaksi sikap dan emosi dan bagaimana seseorang menggunakan komunikasi secara efektif agar tujuan-tujuan, kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi. b. Aspek-Aspek Relasi Sosial Achlis (1998:10) dalam relasi pekerjaan sosial menyatakan bahwa dalam komunikasi antara orang-orang tidak hanya terjadi penyampaian dan penerimaan pesan-pesan, melainkan juga terjadi interaksi sikap dan emosi antara mereka. Pengaruh sikap dan emosi ini bahkan tetap ada, meskipun proses komunikasi telah berhenti. Aspek relasi sosial yaitu: 1) Interaksi Sikap Interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. 17 Sikap adalah keadaan diri dalam manusia yang menggerakkan untuk bertindak atau berbuat dalam kegiatan sosial dengan perasaan tertentu di dalam menanggapi obyek, situasi, atau kondisi di lingkungan sekitarnya. 2) Interaksi Emosi Interaksi merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya. Aspek lain dari relasi sosial yang diperoleh dari Glossaries 1 Pekerjaan Sosial (2004) yaitu komunikasi. Komunikasi merupakan pertukaran informasi antara dua orang atau lebih. Dalam proses pertukaran ini terjadi kegiatan-kegiatan memberi/ mengirim, menerima, dan menanggapi (sebagai umpan balik) pesan-pesan orang-orang yang berinteraksi. Sikap dan emosi pengirim maupun penerima pesan sungguh amat penting. Sebab sikap dan emosi tersebut dapat memperngaruhi seluruh proses komunikasi (Achlis : 2011). c. Tahap-Tahap Perkembangan Relasi (Achlis: 2011) 1) Initiating atau mengawali, relasi dimulai saat kontak awal dengan orang lain, ada isyarat-isyarat untuk membentuk percakapan, mencari kata pembuka. 2) Eksperimenting atau coba-coba, menjajaki lebih jauh orang yang diajak berkomunikasi. Sering menggunakan small talk sebagai berikut : a) Menyediakan proses bermanfaat untuk mengungkapkan topik-topik yang menarik bagi kedua belah pihak dan membuka percakapan yang lebih mendalam. 18 b) Dasar untuk persahabatan di masa mendatang dan masa kini. c) Menyediakan prosedur aman untuk mendukung siapa kita dan bagaimana orang lain. d) Memungkinkan kita memelihara perasaan. 3) Intensifying atau pendalaman, kedua belah pihak menjadi sahabat karib , mulai berbagi hal yang sama, lebih terbuka, baik dalam Mengembangkan memprediksi nama perilaku panggilan masing-masing. masing-masing, menempelkan postur dan penampilan yang sama, dalam perasaan membentuk : “we filling” 4) Interfrating atau memadu, dua orang dikenal sebagai pasangan, sinkronisasi interpersonal meningkat, diajukan dengan pakaian, nyanyian yang sama dan lain-lain. 5) Bonding atau mengikat, interaksi menunjukkan adanya komitmen diantara kedua belah pihak dan terjadi dalam suati kontrak formal. Relasi menjadi melembaga dan formal misalnya perkawinan atau perjanjian bisnis. 6) Differentiating atau membedakan diri “we feeling” berubah menjadi “I orientation” mereka minta dibedakan terutama bila ada masalah atau ketika berbuat salah maka proses pemisahan telah dimulai. 7) Circum scribing atau membentengi, menutup diri, komunikasi menurun baik kualitas maupun kuantitas, membatasi bidang pembicaraan yang terbuka demi keamanan. Topik tidak dibahas secara bebas dengan kedalaman yang sebenarnya. Relasi ditandai dengan kurangnya energi, penyusutan kepentingan, dan kecelahan perasaan padanya. 8) Stagnanting atau stagnasi, mereka tidak merasa perlu lagi berhubungan karena interaksi yang dihasilkan. Mereka menganggap lebih baik tidak bicara, komunikasi terhenti sama 19 sekali. Batas hubungan tinggal bayangan dan tidak ada perasaan berhubungan lagi. 9) Avoiding atau menghindar, menghindari kontak satu sama lain, hubungan face to face atau voice to voice sangat tidak menyenangkan satu pihak atau keduanya. Menimbulkan kesan yang dominan dan tanda-tanda perpisahan semakin jelas. 10) Termination atau pemutusan hubungan, terminasi terjadi apabila kedua belah pihak seutju cepat atau lama, berkahir dengan baik atau pahit. d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Relasi Sosial Slamet Santoso (1992) dalam bukunya Dinamika Kelompok mengemukakan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya relasi sosial, yaitu : 1) Situasi sosial, akan memberikan bentuk tingkah laku terhadap individu yang berada pada lingkungan yang bersangkutan. 2) Norma kelompok, sangat besar pengaruhnya terhadap terjadinya proses interaksi sosial terhadap individu. 3) Kepentingan pribadi, masing-masing individu memiliki kepentingan sendiri yang tentunya akan berpengaruh terhadap proses hubungan sosial. 4) Kedudukan, artinya setiap individu berhubungan sesuai dengan kedudukan dan kondisinya yang bersifat sementara. 5) Penafsiran situasi sosial, artinya setiap situasi mengandung arti bagi individu dalam melihat dan menafsirkan situasi tersebut (Hal:16). e. Unsur-Unsur Relasi Sosial Robert Weiss (Scars dkk, 1985) mengemukakan rumusan mengenai enam dasar ketentuan hubungan sosial, yaitu hal-hal penting yang diberikan sebagai hubungan bagi individu. Keenam unsur ini merupakan motif seseorang untuk menjalin relasi sosial, diantaranya : 20 1) Kasih sayang Rasa aman dan ketenangan yang diberikan oleh hubungan yang sangat erta adalah wujud kasih sayang. 2) Integrasi Sosial Integrasi sosial merupakan perasaan berbagai minat dan sikap yang sering diberikanoleh hubungan dengan teman, rekan kerja, atau teman seregu. Hubungan ini memungkinkan adanya persahabatan dan memberikan rasa memiliki terhadap kelompok. 3) Harga diri Harga diri ini diperoleh jika orang mendukung perasaan kita bahwa kita adalah orang yang berharga dan berkemampuan. 4) Rasa persatuan yang dapat dipercaya Rasa persatuan yang dapat dipercaya melibatkan pengertian bahwa orang akan membantu kita saat kita membutuhkan. 5) Bimbingan Unsur ini biasanya didapat dari hubungan yang profesional seperti dokter, konselor, guru, teman, dan orang-orang yang nasihat dan informasinya kita harapkan. 6) Kesempatan untuk mengasuh Terjadi jika kita bertanggungjawab terhadap kesejahteraan orang lain. mengasuh orang lain memberikan perasaan bahwa kita dibutuhkan dan penting. Keenam faktor yang diharapkan seseorang dari relasi sosial itu dapat dipahami sebagai beberapa bentuk dari ganjaran dalam teori pertukaran. Hal ini mengingatkan kita bahwa teori pertukaran dalam relasi sosial begitu penting. Manfaat sebuah hubungan terhadap seseorang adalah motif bagi orang tersebut untuk memulai hubungan. 21 f. Bentuk-Bentuk Relasi Sosial Pada hakekatnya relasi sosial mempunyai bentuk, yaitu bentuk hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) seperti yang dinyatakan oleh Soerjono Soekanto (1990) bahwa bentukbentuk relasi sosial tersebut adalah sebagai berikut : 1) Relasi alamiah, yaitu bentuk relasi yang terjalin antara suami dan istri, orang tua dengan anak dan sebagainya. 2) Bentuk relasi profesional, yaitu akan adanya kesadaran akan tujuan tumbuh dari pengetahuan mengenai apa yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan itu. 3) Bentuk-bentuk hubungan lain seperti hubungan antara teman dengan teman , hubungan antara penjual dan pembeli dan sebagainya. (Hal:492) Bentuk hubungan pribadi atau relasi-relasi dengan orang lain ini sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam kehidupan, karena hal lain sering kali memberikan kepuasan dan merupakan sumber utama kebahagiaan seseorang. Kesamaan umum dari relasi antar pribadi adalah relasi tersebut merupakan proses yang dinamik, kontinyu, komulatif dan timbal balik, tetapi juga memiliki ciri-ciri kekhasannya masing-masing. Menurut Achlis (1998: 11-12) bahwa bentuk-bentuk relasi antar pribadi satu sama lainnya dapat dibedakan dengan melihat : 1) Tujuannya Tujuan ini biasanya ditentukan menurut hakekat dan kualitasnya, berbeda misalnya tujuan hubungan antara anak asuh di panti akan berbeda dengan hubungan antara pekerja sosial dengan kelayakan tentang hakekat dan kualitas kedua bentuk relasi tersebut. 22 2) Kesamaan Posisi antara kedua belah pihak yang mengadakan relasi terdapat hubungan timbal balik biasanya dalam berelasi antara teman dengan teman terdapat kesamaan posisi masing-masing tetapi tidaklah demikian halnya di dalam relasi antara pembimbing dengan klien. 3) Komponen Emosional Di dalam relasi, akan berbeda komponen emosional antara pembimbing dengan klien daripada relasi antara penjual dengan pembeli. 4) Relasi Profesional Di dalam relasi profesional seperti halnya relasi antara pekerja sosial dengan klien, antara dokter dengan pasien. Sedangkan relasi non profesional seperti teman dengan teman. g. Peranan Relasi Menurut Epi Supiadi dalam Komunikasi dan Relasi Sosial dalam Pekerjaan Sosial (2005:57), relasi berupaya memenuhi tiga macam kebutuhan : 1) Need for Inclussion (Kebutuhan untuk Terlibat) Mencakup membentuk dan memelihara perasaan mutual interest dengan orang lain. Saling mementingkan bisa bersama-sama dengan orang lain. Saling mementingkan bersama-sama dengan orang lain atau diterima oleh orang lain. jika kebutuhan ini terpenuhi kita akan merasa berguna, sebaliknya jika tidak terpenuhi makan akan merasa sendirian atau kesepian. 2) Need for Control (kebutuhan akan Pengendalian) Mencakup kemampuan untuk mewujudkan dan memelihara tingkat kepuasan kontrol dan kekuatan didalam relasi dengan orang-orang. Jika kebutuhan ini terpenuhi maka kita dipandang 23 mampu membuat keputusan atau mempengaruhi orang atau masa depan sendiri. 3) Need for Affection (Kebutuhan akan Kasih Sayang) Mencakup memberi dan menerima cinta, kasih sayang, dan atau mengalami relasi yang erat dan dekat. 2. Tinjauan tentang Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) a. Pengertian Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) Menurut Peraturan Menteri Sosial RI No. 8 tahun 2012, Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) adalah seseorang yang telah selesai menjalani masa pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk menyesuaikan kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapat kesulitan untuk mendaptakan pekerjaan atau melaksanakan kehidupannya secara normal. Kriteria : 1) Seseorang (laki-laki/perempuan) berusia diatas 18 (delapan belas) tahun; 2) Telah selesai dan keluar dari lembaga pemasyarakatan karena masalah pidana; 3) Kurang diterima/dijauhi atau diabaikan oleh keluarga dan masyarakat; 4) Sulit mendapatkan pekerjaan yang tetap; dan berperan sebagai kepala keluarga/ pencari nafkah utama keluarga yang tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya. b. Permasalahan Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) Menurut standar Pelayanan Minimal dan Rehabilitasi Sosial Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan (BWBP) yang dikeluarkan 24 oleh Departemen Sosial Republik Indonesia (2007), permasalahan yang sering dialami oleh BWBP adalah : 1) Masalah Internal Masalah internal adalah masalah yang muncul dari dalam diri BWBP antara lain : a) Adanya perbedaan suasana kehidupan mereka di LAPAS dengan kehidupan di masyarakat, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri. b) Pengaruh kehidupan di dalam LAPAS membentuk kepribadian tertentu yang menyulitkan mereka untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di luar LAPAS, sehingga memerlukan upaya edukatif untuk pemulihan. c) Minimnya pendidikan dan keterampilan yang menyulitkan mereka untuk mendapatkan kesempatan kerja. d) Sebagian BWBP cenderung kurang memiliki motivasi untuk mengembangkan kemampuan berusaha. 2) Masalah Eksternal Masalah eksternal adalah masalah yang muncul dari lingkungan sosial BWBP, antara lain : a) Bekas Warga Binaan Pemasyarakatan (BWBP) yang baru kembali ke masyarakat seringkali mengalami tekanan psikologis masyarakat karena masih ada penilaian negatif (stigmatisasi) terhadap mereka, dan tidak percaya, seolaholah mereka dianggap sama dengan masa lalunya. b) Perilaku negatif di masa lalu yang tidak mudah terlupakan dari ingatan keluarga sehingga ada sebagian keluarga tidak mudah menerima kembali BWBP ditengah-tengah keluarga. 25 c. Faktor Permasalahan Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) Sebagai anggota keluarga dan masyarakat, Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam melakukan aktivitas maupun berhubungan dengan keluarga dan masyarakat di lingkungannya. Namun, pada kenyataannya, hal ini tidak berjalan sesuai dengan keinginannya, karena keluarga dan masyarakat masih menganggap bahwa mereka adalah orang yang masih berperilaku tidak baik. Berdasarkan konsep Pola Operasional Penanggulangan Masalah Bekas Hukuman, Departemen Sosial Republik Indonesia (1982) menyatakan permasalahan yang sering dialami oleh Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) atau hukuman narapidana adalah : 1) Faktor Sosial Psikologis a) Adanya rasa rendah diri dari Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) atau hukuman karena hilangnya status sosial mereka sebagai anggota keluarga atau masyarakat. b) Hilangnya mata pencaharian. c) Terputusnya hubungan dengan keluarga bahkan dengan lingkungan masyarakat. d) Rasa keterasingan dari bekas hukuman. e) Perasaan berdosa dari bekas hukuman itu sendiri 2) Faktor Lembaga Adanya peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan dari lembaga-lembaga atau instansi-instansi yang seolah-olah menutup kemungkinan bagi Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) untuk memperoleh pekerjaan misalnya dalam satu persyaratan masuk bekerja tercantum belum pernah tersangkut perkara hukum. 26 3) Faktor Sosial Budaya di Kalangan Masyarakat a) Adanya anggapan dari sebagian besar masyarakat yang seakan-akan sudah membudaya yaitu Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) adalah orang-orang yang pribadinya tidak dapat diubah lagi menjadi manusia yang baik. b) Adanya gaya hidup yang berlebihan dari segolongan masyarakat hal ini akan merangsang seseorang untuk juga dapat memperolehnya entah dengan jalan apa saja tanpa perhitungan sehingga terjadi pelanggaran norma-norma hukum. Segala kekurangan yang mereka miliki, membuat mereka semakin tidak percaca diri untuk berada di lingkungan dan keterbatasannya berhubungan dengan masyarakat. Sehingga membuat mereka kurang mendapat informasi yang dibutuhkan dalam upaya pengembangan diri. 3. Relevansi Praktek Pekerjaan Sosial dengan Permasalahan Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) a. Pengertian Pekerjaan Sosial Koreksional Pekerjaan sosial adalah suatu bidang keahlian yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki dan atau mengembangkan interaksi diantara orang dengan lingkungan sosial sehingga menyelesaikan orang ini tugas-tugas memiliki kehidupan kemampuan mereka, untuk mengatasi kesulitan-kesulitan, serta mewujudkan aspirasi-aspirasi dan nilainilai mereka. Pekerja sosial koreksional mencangkup sistem peradilan kriminal (the criminal justice system). Ada tiga komponen utama dalam sistem tersebut, yaitu : penegakan hukum (law enforcement), pengadilan (the court), dan koreksi (correction). 27 Pekerjaan sosial koreksional merupakan suatu profesi kepada manusia (individu, kelompok, dan masyarakat). Pekerja sosial koreksional tidak hanya pada setting koreksional saja, melainkan juga pada sistem peradilan pidana. Pekerja sosial koreksional dalam memberikan pelayanan profesinya dilandasi oleh pengetahuan-pengetahuan dan keterampilan-keterampilan ilmiah mengenai human relation (relasi antar manusia). Adapun pekerjaan sosial menurut Charles Zastrow dalam Dwi Heru Sukoco (1998:7) adalah kegiatan profesional untuk membantu individu-individu, kelompok-kelompok, dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan. Sedangkan pengertian pekerjaan sosial menurut Soetarso (2011:4) : b. Tujuan Pekerjaan Sosial Tujuan pekerjaaan sosial yang dikemukakan oleh Soetarso (2011:4-5) adalah sebagai berikut : 1) Meningkatkan kemampuan orang untuk menghadapi tugastugas kehidupan dan kemampuan untuk memecahkan masalahmasalah yang dihadapinya. 2) Mengkaitkan orang dengan sistem yang dapat menyediakan sumber-sumber, pelayanan-pelayanan dan kesempatan- kesempatan yang dibutuhkannya. 3) Meningkatkan kemampuan pelaksanaan sistem tersebut secara efektif dan berkeprikemanusiaan. 4) Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan, dan perkembangan kebijakan serta perundang-undangan sosial. Tujuan-tujuan tersebut menjelaskan bahwa pekerja sosial dalam melaksanakan prakteknya memberikan pertolongan kepada individu, kelompok, dan masyarakat agar mempunyai kemampuan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. 28 Selain itu, pekerja sosial juga menghubungkan dengan sistem sumber yang dapat memberikan pelayanan sosial serta berusaha mengadakan perubahan dan pengadaan kebijakan berkaitan dengan masalah yang ada. c. Fungsi Pekerjaan Sosial Fungsi pekerjaan sosial dalam upaya mencapai tujuannya untuk memecahkan masalah relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) ini perlu memperhatikan beberapa fungsi pekerjaan sosial. Soetarso (2011:5) mengemukakan fungsi-fungsi pekerjaan sosial sebagai berikut : 1) Membantu orang atau keluarga meningkatkan dan menggunakan secara efektif kemampuan-kemampuan yang dimiliki untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan memecahkan masalahnya. 2) Menciptakan jalur-jalur hubungan diantara orang-orang dengan sistem-sistem sumber. 3) Mempermudah interaksi, mengubah, dan menciptakan hubungan-hubungan baru diantara orang-orang di lingkungan sistem-sistem sumber. 4) Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan, dan perkembangan kebijaksanaan dan perundang-undangan sosial. 5) Memeratakan sumber-sumber material. 6) Bertindak sebagai pelaksana kontrol sosial. Sesuai dengan fungsi-fungsi pekerjaan sosial diatas, maka pekerja sosial dalam memberikan pertolongannya pada Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) agar dapat diterima masyarakat dimanfaatkan untuk dengan membentu sumber-sumber mereka dalam yang bisa mengatasi permasalahannya. Selain itu, pekerja sosial juga bertindak sebagai pelaksana kontrol sosial terhadap pelaksanaan pelayanan untuk 29 melihat apakah pelayanan yang diberikan telah dapat memenuhi kebutuhan. Kaitannya dengan permasalahan Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) yaitu pekerja sosial dengan peranan dan keterampilannya dapat membantu mengembalikan keberfungsian sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) agar bisa berelasi dengan lingkungan dan masyarakat tanpa ada perasaan rendah diri. Adapun fungsi utama pekerja sosial menurut Loenora Serafica-de Guzman dalam Dwi Heru Sukoco (1998:54) yaitu sebagai berikut : 1) Fungsi Restoratif Fungsi restoratif ini mencakup kegiatan penyembuhan (treatment) dan rehabilitasi, khususnya terhadap kemampuan klien dalam berelasi secara positif dan memadai dengan lingkungan sosialnya. Kegiatan penyembuhan mencakup kegiatan identifikasi, pengontrolan, dan penghapusan faktorfaktor yang ada di dalam proses relasi, khususnya yang disebabkan oleh kegagalan atau ketidakmampuan berrelasi sosial. Sedangkan kegiatan rehabilitasi mencakup upaya merekontruksi dan mengorganisasi pola-pola relasi yang telah rusak dan pecah atau membangun kembali pola-pola relasi yang baru. 2) Fungsi Preventif (Pencegahan) Fungsi pencegahan dalam konteks pekerjaan sosial berupa kegiatan untuk menemukan secara awal, mengontrol, dan menghapuskan kondisi-kondisi yang menyebabkan orang tidak mampu berfungsi sosial. 3) Fungsi Pengembangan Fungsi pengembangan dalam pekerjaan sosial difokuskan dalam kepada pengembangan keberfungsian sosial 30 orang/klien secara optimal sehingga dapat terealisasi potensipotensinya dan pengembangan meningkat ini juga pula kemampuan. berkaitan dengan Fungsi kegiatan membangun kembali self realization dan self actualization serta cara-cara yang efektif untuk mengatasi berbagai macam tantangan, kesulitan, dan tekanan hidup. Fungsi-fungsi tersebut bertujuan untuk menciptakan kembali keberfungsian sosial individu yang berkaitan dengan Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dapat kembali berelasi, mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal, dan dapat mengatasi berbagai macam tantangan atau kesulitan dalam lingkungan sosialnya. d. Peranan Pekerjaan Sosial Peranan yang utama dalam pekerjaan sosial koreksianal adalah membantu Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan untuk tidak membalas dendam atau menghukum. Pekerja sosial menggunakan pengetahuan dan keterampilan dalam kegiatan koreksi, rehabilitasi individu, agar klien kembali menjadi bagian dari masyarakat. Peran pekerja sosial dalam membantu Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan mengubah pola tingkah laku agar konstruktif adalah : 1) Bekerja dengan individu untuk membantu mereka berubah melalui pemahaman yang baik mengenai diri, kekuatan, dan sumber-sumber dalam diri sendiri. 2) Modifikasi lingkungan menjadi iklim sosial yang sehat, dimana ia tinggal dan hidup. Berkaitan dengan individu dan lingkungan, pekerja sosial selalu menjaga kedekatan dengan unit keluarga. Peranan pekerja sosial pada sistem pemasyarakatan antara lain sebagai berikut : 31 1) Konselor Membantu Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan menyadari kesalahan yang diperbuat, menghilangkan perasaanperasaan yang menekan kehidupan Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan serta memberikan keyakinan dan bimbingan bagi penyesuaian diri Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan dan memberikan alternatif pemecahan masalah bagi klien. 2) Motivator Memberikan dukungan dan menumbuhkan semangat Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka dalam rangka memecahkan masalah dan hambatan yang dihadapi dalam mengikuti kegiatan pembinaan yang diselenggarakan. 3) Ekspert Memberikan informasi dan masukan-masukan yang dibutuhkan oleh Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan serta langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memecahkan masalah. 4) Terapis Pekerja sosial mampu memberikan langkah-langkah terapi bagi perubahan kepribadian dan perilaku Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan selama berada di lingkunan Lembaga Pemasyarakatan (LP). 5) Broker Pekerja sosial permasalahan yang koreksional dihadapi berusaha Warga mengkaitkan Binaan Lembaga Pemasyarakatan dengan sistem sumber yang dibutuhkan dalam hal ini bertugas menghubungkan klien dengan lembaga atau pihak lain yang diperlukan klien, guna mengatasi masalah serta mencapai keberfungsian sosial. 32 6) Advokat Peranan advokasi bagi klien yang masih bermasalah dengan hukum dan peradilan (Pembelaan) 7) Mediator Menjadi perantara (mediasi) dengan berbagai unit didalam Lembaga Pemasyarakatan (LP). e. Sistem Sumber Pekerjaan sosial Sistem sumber diklasifikassikan ke dalam tiga bagian menurut Allen Pincus dan Anne Minahan (dalam Dwi Heru Sukoco, 1991:38-39) yaitu sistem sumber informal, formal, dan kemasyarakatan. 1) Sistem Sumber Informal Secara sederhana adalah sistem sumber yang dapat diakses oleh masyarakat berdasarkan kedekatan, persaudaraan, dan ketetanggaan. Sumber ini biasanya mengalir dengan sendirinya secara alamiah. 2) Sistem Sumber Formal Sistem sumber formal adalah simtem sumber yang dapat diakses oleh anggota keluarga dalam suatu perkumpulan atau organisasi atau oleh masyarakat umum yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh organisasi tersebut. 3) Sistem Sumber Kemasyarakatan Sistem sumber kemasyarakatan adalah sistem sumber yang dapat diakses oleh masyarakat secara umum, siapa saja dapat memanfaatkan sumber tersebut. Sumber kemasyarakatan yang dapat diakses untuk meningkatkan, mengembangkan atau memecahkan masalah. Sistem sumber kemasyarakatan seperti rumah sakit, program-program latihan kerja, dan pelayanan-pelayanan sosial. 33 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan untuk meneliti relasi Sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah adalah metode kuantitatif dengan menggunakan penelitian survei. Penelitian kuantitatif menurut Sugiyono (2005:8) yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi/ sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditentukan. Penelitian kuantitatif memberikan gambaran mengenai relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah. Penelitian survei menurut Moh. Nazir (2013:56) yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok maupun suatu daerah. Penelitian survei akan memberikan gambaran mengenai topik yang diangkat, yaitu relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah. B. Sumber Data 1. Sumber Data Primer Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari responden yaitu Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) yang bertempat tinggal di Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah. 34 2. Sumber Data Sekunder Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui studi dokumentasi. Data tersebut berkaitan dengan relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dan berdasarkan hasil penelitian orang lain yang berkaitan dengan relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP). C. Definisi Operasional Dalam upaya untuk menghindari penafsiran yang salah dan membatasi ruang lingkup konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka dirumuskan definisi operasional sebagai berikut: 1. Relasi sosial adalah hubungan yang saling mempengaruhi yang terjadi antara Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dengan masyarakat melalui komunikasi, interaksi sikap, dan emosi dalam melakukan peran sosialnya di Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah. 2. Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di dalam penelitian ini adalah laki-laki atau perempuan yang berusia 18-45 tahun yang menjadi responden utama dalam penelitian ini dan telah selesai menjalankan masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) dan telah kembali ke keluarganya dan berdomisili di desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah. 3. Desa Namang Kecamatan Namang Kabupaten Bangka Tengah merupakan desa yang nantinya akan menjadi lokasi penelitian relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP). D. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini yaitu Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Desa Namang Kecamatan 35 Namang Kabupaten Bangka Tengah yang berusia 18-45 tahun dengan jumlah 32 jiwa. Populasi menurut Sugiyono (2010:80) yaitu wilayah generalis terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. 2. Sampel Sehubungan dengan jumlah responden yang sedikit, maka peneliti menjadikan semua populasi yang berjumlah 32 jiwa dijadikan sampel dalam penelitian. Oleh karena itu peneliti menggunakan sensus. Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono,2010:81). Irawan Soehartono (1995:57) mengatakan bahwa apabila kita menggunakan penelitian seluruh populasi, berarti kita menggunakan sensus. E. Uji Validitas Untuk mengetahui ketepatan data ini diperlukan uji validitas. Validitas alat ukur adalah suatu ukuran yang memungkinkan untuk mengukur karakter yang akan diukur. Moh. Nazir (1988) mengatakan bahwa validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat keabsahan instrumen atau alat ukur peneilitain. Suatu instrumen dikatakan valid jika mapu mengukur apa yang ingin dicapai dan dapat memungkinkan data variable yang diteliti secara tepat. Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas muka (face validity) yaitu sebelum instrumen digunakan terlebih dahulu dikonsultasikan dengan dosen pembimbing sebagai orang yang ahli dalam penelitian, sehingga instrumen tersebut dikatakan valid. Moh Nazir (1988:179) mengemukakan validitas muka berhubungan dengan penilaian para ahli tentang alat ukur yang digunakan. 36 F. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diantara lain: 1. Angket (kuesioner) Peneliti menggunakan teknik pengumpulan data angket (kuesioner) sebagai alat untuk memperoleh data dari responden. Dalam hal ini peneliti akan memberikan seperangkat pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab, jawaban pertanyaan tersebut dapat dipilih langsung oleh responden. Pertanyaan yang dibuat terkait dengan Relasi Sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP). 2. Observasi Teknik obseravasi yaitu teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan secara langsung ke lapangan dengan menggunakan pedoman observasi sebagai dasar untuk melihat relasi sosial Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dengan keluarga dan masyarakat. Hal-hal yang akan diobservasi diantaranya interaksi sikap dan emosi Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) saat berkumpul dengan keluarga, teman sebayanya, maupun dengan masyarakat, peran sosial yang ditampilkan oleh Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di dalam lingkungannya, serta komunikasi Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dengan lingkungannya. 3. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari dan mencatat data-data yang terdapat di Polsek Kecamatan Namang. Studi dokumentasi yang dilakukan oleh penulis dengan mempelajari beberapa tulisan, literatur, laporan file, arsip yang berkaitan dengan geografis, demografi lokasi 37 penelitian, dan data-data lainnya yang dirasa perlu dan berhubungan dengan permAsalahan penelitian. G. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yag digunakan dalam proses analisis data adalah teknik analisis kuantitatif. Menurut Moh. Nazir (2005:358) bahwa analisis kuantitatif adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, memanipulasi, serta menyingkatkkan data sehingga mudah dibaca. Analisis kuantitatif yaitu menganalisis data secara rinci yaitu dalam bentuk angka atau prosentase dari jawaban responden atas pertanyaan penelitian untuk mendapatkan deskripsi tentang masalah penelitian. Selain menggunakan teknik analisis analisis kualitatif. kuantitatif, Analisis peneliti kualitatif juga yaitu menganalisis data yang diungkapan dalam bentuk narasi dengan cara mengaitkan data hasil penelitian dengan teori atau konsep yang relevan dalam penelitian ini. 38 DAFTAR PUSTAKA Abdulsyani, 1987. Sosiologi Kriminalitas. Bandung : Penerbit Remaja Karya Achlis. 1983. Relasi Pekerjaan Sosial. Bandung : Kopma STKS _____. 1998. Relasi Pekerjaan Sosial. Bandung : Koperasi Mahasiswa STKS Moh. Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia :Jakarta ________. 2005. Metode Penelitian. Ghalia indonesia :Jakarta ________. 2013. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia :Bogor Riucek, Joseph S & Warren Roland L. 1989. Introduction to Social Work. Precticehall International Inc: New Jersey Santoso, Slamet. 1992. Dinamika Kelompok. Bandung: Rosda Karya Soehartono, Irawan. 1995.Metode Penelitian Sosial. Bandung : Remaja Rosada Karya Soetarso. 2011. Praktek Pekerjaan Sosial. STKS press : Bandung Sukoco, Dwi Heru. 1991. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya. Kopma STKS : Bandung ______________. 1995. Profesi Pekerjaan Sosial dan Profesi Pertolongannya. Bandung : Kopma STKS ______________. 1998. Profesi Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya. Kopma STKS : Bandung Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta 39 _______. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta Supiadi, Epi. 2005. Komunikasi dan Relasi Pertolongan dalam Pekerjaan Sosial. Bandung : Kopma STKS Sumber Lain Angraeni, Ria Rezeki. 2010. Relasi Sosial Anak Asuh Di PSAA Putra Bala Keselamatan Maranatha Bandung. KIA DIV STKS Widyastuti, Andi. 2014. Penyesuaian Diri Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) dengan Masyarakat di Kecamatan Bantaeng Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi Selatan. KIA DIV STKS Mashuri. 2009. Penerimaan Keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Kelurahan Muara Tebo Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. KIA DIV STKS Setiadi, Bambang Tri. 2014. Penerimaan Keluarga terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di Kota Pangkalpinang Provinsi Bangka Belitung. KIA DIV STKS Soekarno, Rangga Warsita. 2014. Penerimaan Masyarakat terhadap Bekas Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (BWBLP) di desa Nagrag Kecamatan Cangkuang Kabupaten Bandung. KIA DIV STKS Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 08 Tahun 2012 tentang pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial dan Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial. Pola Operasional Penanggulangan Masalah Bekas Hukuman , Departeman Sosial Republik Indonesia tahun 1982 40