BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Burnout 2.1.1. Pengertian Burnout Burnout pada dasarnya merupakan suatu konsep yang dekat hubungannya dengan pengalaman stres (Suwanto, 2002). Golembiewsky (dalam Toifur, 2003) yang menyatakan burnout sebagai kelelahan fisik, emosi, mental yang berasal dari suatu keadaan yang kronik sebagai akibat dari akumulasi tekanan atau stres ditempat kerja. Pada umumnya stres merupakan suatu kondisi yang negatif, stres dapat muncul karena adanya sumber pembakit yang disebut stressor. Stressor ini dibagi menjadi dua yaitu distres dan eustres (dalam Luthans, 2006). Eustres merupakan sisi stres yang positif dan menyenangkan yang disebabkan oleh hal yang baik, seperti karyawan yang ditawari promosi kerja ditempat lain. Sedangkan distres disebabkan oleh sesuatu yang buruk, misalnya teguran formal dari atasan (dalam Luthans, 2006). Jika sumber stres dibiarkan dan tidak mampu diatasi khususnya (distres), maka akan terjadi stres kerja yang menyebabkan terjadinya burnout. Stres adalah normal dan sehat, tetapi saat kemampuan menghadapi stres mulai menurun, mungkin seseorang akan mengalami burnout (Grensing-Popbal dalam Luthans, 2006). Rice (dalam Kurniawati & Windiyaningrum, 2006) mengatakan bahwa burnout bukan merupakan simptom dari stres terhadap pekerjaan (job stres) tetapi merupakan hasil dari job stres yang tidak mampu diatasi. Stres kerja itu sendiri adalah respon adaptif yang dihubungkan oleh perbedaan individu atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, situasi atatu kejadian eksternal (lingkungan) yang menenempatkan tuntutan psikologis ataupun fisik secara berlebihan pada seseorang (Ivancevich & Matteson dalam Luthans, 2006). Istilah Burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Herbet Freudenberger. Freudenberger menggunakan istilah yang pada awalnya digunakan pada tahun 1960-an untuk merujuk pada efek – efek penyalahgunaan obat – obat terlarang yang kronis (dalam Faber, 1991). Menurutnya, burnout sebagai suatu keadaan lelah atau frustasi yang disebabkan oleh cara hidup atau hubungan yang gagal untuk mendapatkan apa yang diharapkan. Jenis individu yang seperti ini pada awalnya memiliki komitmen penuh dan berdedikasi tinggi kepada pekerjaannya. Maslach (dalam Maslach & Leiter, 1997), mendefinisikan burnout sebagai berikut: “Burnout is a syndrome of emotional exhaustion, depersonalization, and reduced personal accomplishment that can occur among individuals who do people work of some kind”. Definisi dari Maslach menjelaskan bahwa sindrom burnout terdiri dari tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri yang dialami oleh individu yang bekerja melayani orang lain. Burnout sebagai sindrom ketegangan psikologis yang terdiri dari emotional exhaustion (kelelahan emosi) yang ditandai dengan perasaan frustasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, merasa terjebak, dan mudah tersinggung. Depersonalisasi ditandai dengan menjauhnya individu dari lingkungan sosial, apatis, dan tidak peduli pada individu disekitarnya. Sedangkan reduced personal accomplishment (rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri) ditandai dengan individu yang merasa tidak puas dengan pekerjaannya, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya maupun individu lainnya. Baron dan Greenberger (dalam Farhati & Rosyid, 1996), mengemukakan bahwa burnout merupakan sindrom kelelahan emosional, fisik, mental yang ditunjang oleh perasaan rendahnya penghargaan terhadap diri, serta penderitaan stres yang intens dan berkepanjangan. Dalam definisi ini tampak bahwa burnout dapat muncul akibat kondisi internal individu yang ditunjang oleh faktor lingkungan berupa stres yang berlarut-larut. Menurut Cherniss (dalam Farber, 1991), burnout merupakan perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik diri secara psikologis dari pekerjaan, seperti menjaga jarak dengan klien maupun bersikap sinis dengan mereka. Hal seperti ini yang harus dihindari oleh perawat, karena seorang perawat tidak mungkin menjaga jarak dengan pasiennya, bahkan sampai bersikap sinis dengan pasiennya. Dengan demikian, berdasarkan sejumlah definisi di atas dapat disimpulkan bahwa burnout merupakan sindrom ketegangan psikologis dari gejala emotional exhaustion, depersonalisasi, dan reduced personal accomplishment yang terjadi karena individu berada dalam kondisi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. 2.1.2. Dimensi Burnout Lebih lanjut Maslach (dalam Lubis, 2009) memberikan gambaran adanya tiga dimensi burnout, yaitu: a. Emotional exhaustion (kelelahan emosional) adalah perasaan seluruh energi habis digunakan. Ketika seseorang mengalami kelelahan emosional seseorang mencoba mengurangi stres emosional terhadap orang lain dengan cara memisahkan diri dari orang lain. Mereka mulai menjaga jarak dengan orang lain. Kelelahan emosional juga ditandai dengan perasaan frustasi, putus asa, sedih, tidak berdaya, tertekan, mudah merasa lelah dan merasa terjebak. Kelelahan emosional menurut Baron dan Greenberger (dalam Toifur, 2003), ditandai dengan depresi, frustasi, perasaan tak berdaya, sedih, merasa terganggu oleh tugas-tugas yang ada, mudah tersinggung dan marah tanpa alasan yang jelas. b. Depersonalisasi, menurut Maslach (dalam Maslach & Leiter, 1997), merupakan perkembangan dari dimensi kelelahan emosional. Seseorang dengan burnout melihat orang lain sebagai objek, mereka memperlakukan orang lain dengan kasar dan kritis. Depersonalisasi ditandai dengan tidak peduli terhadap individu lain, menghindari kontak dengan pekerjaan serta apatis atau tidak peduli terhadap lingkungan atau keadaan sekitar. Baron dan Greenberger (dalam Toifur, 2003) menyatakan bahwa kelelahan mental termasuk depersonalisasi, yang ditandai dengan sikap sinis terhadap orang lain, dan berpandangan negatif terhadap diri sendiri maupun orang lain. c. Reduced personal accomplishment (penurunan pencapaian pribadi), merupakan kelanjutan dari depersonalisasi, yaitu munculnya perasaan bersalah telah memperlakukan klien secara negatif. Seseorang dengan burnout mencoba mengurangi beban kerjanya dengan menghindari kerja, absen, mengerjakan sedikit mungkin, tidak mengerjakan tugas tertentu yang dianggap lebih berat dan memakan waktu lebih lama. Selain itu individu tidak pernah merasa puas dengan hasil karyanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun individu lain. Menurut Baron dan Greenberger (dalam Toifur, 2003), reduced personal accomplishment ditandai dengan adanya perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan, dan kehidupan. 2.1.3. Sumber Burnout Baron dan Greenberger (dalam Andarika,2004) mengemukakan bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi munculnya burnout yaitu: 1) Faktor Eksternal, yang meliputi kondisi kerja yang buruk, kurangnya kesempatan kesempatan untuk promosi, adanya prosedur dan aturan-aturan yang kaku, dn tuntutan pekerjaan. 2) Faktor Internal, meliputi jenis kelamin, usia, harga diri, dan karakteristik kepribadian. Selanjutnya Farber (1991) mengemukakan bahwa secara umum ada tiga sumber yang menyebabkan timbulnya burnout, diantaranya adalah: a. Karakteristik Individual Sumber dari dalam diri individu yang turut memberi sumbangan terhadap timbulnya burnout dapat digolongkan atas dua faktor, yaitu: 1. Faktor Demografik Dari hasil penelitiannya yang mengacu pada perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita, Farber (1991) menemukan bahwa pria lebih rentan terhadap stres dan burnout jika dibandingkan dengan wanita. Pria yang terserang burnout menunjukkan sikap dan perilaku depersonalisasi yang menonjol, sedangkan wanita lebih banyak menunjukkan reaksi keletihan emosional. Jadi terlihat bahwa setiap jenis kelamin memiliki kekuatan dan kelemahan terhadap timbulnya burnout. Dari segi usia pada hasil penelitian Maslach (dalam Maslach & Leiter, 1997), burnout paling banyak dijumpai pada individu yang berusia muda. Hal ini didukung oleh penelitian Farber yang menyatakan bahwa usia dibawah empat puluh tahun paling beresiko terhadap gangguan yang berhubungan dengan burnout. Dari segi pendidikan Maslach (dalam Maslach & Leiter, 1997), menemukan bahwa individu dengan latar belakang pendidikan yang tinggi cenderung rentan terhadap burnout jika dibandingkan dengan individu yang tidak berpendidikan tinggi. Hal ini dikarenakan individu yang berpendidikan tinggi memiliki harapan atau aspirasi yang idealis, sehingga ketika terdapat kesenjangan antara harapannya yang idealis dengan kenyataan yang sebenarnya, maka individu tersebut cenderung mengalami kekecewaan, apatis dan tidak bergairah. Sedangkan individu yang tidak berpendidikan tinggi cenderung kurang memiliki harapan yang tinggi, sehingga tidak menjumpai banyak kesenjangan antara harapan dan kenyataan. 2. Faktor Kepribadian Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout adalah individu yang idealis dan antusias. Bloch (dalam Farber, 1991) mengemukakan bahwa individu yang obsesional, penuh kasih, idealis dan berdedikasi cenderung lebih rentan terkena burnout. Karekteristik kepribadian yang berikutnya adalah perfeksionis yaitu individu yang selalu berusaha melakukan pekerjaan sampai sangat sempurna, sehingga akan sangat mudah merasa frustasi bila kebutujhan untuk tampil sempurna tidak tercapai, karena menurut Caputo (dalam Sutjipto, 2001) individu yang perfeksionis rentan terhadap burnout. b. Lingkungan Kerja Masalah beban kerja yang berlebihan adalah salah satu sumber dari pekerjaan yang berdampak pada timbulnya burnout. Beban kerja yang berlebihan bisa meliputi jam kerja, jumlah individu yang harus dilayani, tanggung jawab yang harus dipikul, pekerjaan rutin dan yang tidak rutin, dan pekerjaan administrasi lainnya yang melampaui kapasitas dan kemampuan individu. Maslach (dalam Maslach & Leiter, 1997), mengemukakan bahwa dengan beban kerja yang berlebihan menyebabkan pemberi pelayanan merasakan adanya ketegangan emosional saat melayani klien sehingga dapat mengarahkan perilaku pemberi pelayanan untuk menarik diri secara psikologis dan menghindar untuk terlibat dengan klien. c. Keterlibatan emosional dengan penerima pelayanan Dalam beberapa pekerjaan tertentu, para pekerja memiliki keterlibatan langsung dengan objek kerja atau kliennya, keterlibatan yang tinggi dengan pelanggan dan disertai masalah dalam berhubungan dengan pelanggan dapat menyebabkan burnout (Cherniss dalam Lubis, 2009). Menurut Maslach (dalam Maslach & Leiter, 1997), mengemukakan bahwa hubungan antara pemberi dan penerima pelayanan merupakan hubungan yang asimetris, sehingga si pemberi mengalami kelelahan emosional. Pemberian dan peneriman pelayanan turut membentuk dan mengarahkan terjadinya hubungan yang melibatkan emosional dan secara tidak sengaja dapat menyebabkan stres emosional karena keterlibatan antara individu dapat memberikan penguat positif atau kepuasan bagi kedua belah pihak. 2.1.4. Proses Burnout Ketidakmampuan individu dalam mencapai apa yang diinginkannya selain karena harapannya yang tidak realistik, juga dikarenakan pengaruh lingkungan pekerjaan yang penuh stres, kebijakan organisasi yang tidak adil dan tidak tersalurkannya aspirasi lama kelamaan akan memunculkan burnout. Dalam hal ini Farber akan menjelaskan proses terjadinya burnout. Secara bertahap Farber (1991) menjelaskan konsep dasar mengenai terjadinya burnout: a) Tahap Antusias dan Berdedikasi Individu mengawali pekerjaannya dengan semangat tinggi, memiliki harapan yang tinggi dan harapan tersebut kurang realistis. b) Tahap Frustasi Pada tahap ini individu mulai merasa frustasi, sering marah tanpa alasan yang jelas dalam menghadapi pekerjaan atau dalam menghadapi stres sosial. c) Tahap Ketidakseimbangan Individu merasa adanya ketidakseimbangan antara sumber daya (tenaga, ide, dan harapan) dengan tuntutan (dari atasan, organisasi dan diri sendiri). d) Tahap Penarikan Diri Individu mulai menarik diri dan semakin sulit untuk bekerja sama dengan rekan-rekannya. e) Tahap Sensitivitas Individu mulai sensitif, mudah tersinggung, peka terhadap gejala-gejala fisik (sakit kepala, tekanan darah naik), perubahan pola pikir (sering menyalahkan orang lain, berpikiran negative terhadap diri dan pekerjaan), perubahan emosional (putus asa, terperangkap, tidak berdaya). f) Tahap Kehilangan Energi Individu menjadi apatis, menghindari berbagai tantangan, acuh tak acuh terhadap pekerjaan. Chernis (dalam Kurniawati & Widiyaningrum, 2006), menjelaskan mengenai proses terjadinya burnout melalui tiga tahap, yaitu: a. Tahap pertama adalah stres, adanya hubungan yang tidak seimbang antara sumber daya yang dimiliki individu dengan tuntutan dari lingkungan. b. Tahap kedua adalah strain, merupakan respon emosional terhadap ketidakseimbangan yang ditandai dengan gejala cemas, tegang, dan lelah. c. Tahap ketiga adalah coping, terjadi perubahan sikap dan perilaku yang merupakan dampak dari coping terhadap situasi yang sudah tidak dapat ditangani dengan strategi pemecahan masalah aktif. Hingga pada akhirnya individu memilih strategi coping pertahanan intrapsikis dengan menjaga jarak, menarik diri, dan menyalahkan orang lain, hal inilah yang yang disebut burnout. 2.1.5. Dampak Burnout Dampak burnout secara umum dapat dilihat pengaruhnya pada individu, orang lain dan organisasi. Dampak burnout pada individu dapat dilihat pada penurunnya daya tahan tubuh, menyebabkan individu rentan terhadap penyakit, penurunan pencapaian prestasi diri seperti perasaan tidak kompeten dan meragukan kemampuan diri (Maslach dalam Maslach & Leiter, 1997). Sedangkan dampak burnout pada orang lain dapat dirasakan oleh penerima pelayanan dan keluarganya. Keluarga pemberi pelayananpun merasakan dampak burnout ini. Dalam kasus-kasus tertentu bahkan dapat terjadi perceraian (Maslach dalam Maslach & Leiter, 1997). Baron dan Greenberger (dalam Farhati dan Rosyid, 1996), mengatakan bahwa burnout bisa berakibat negatif baik terhadap individu yang bersangkutan ataupun pada organisasi tempat individu bekerja. Pendapat Baron dan Greenberger ini didukung oleh penelitian Jackson dkk (dalam Farhati & Rosyid, 1996), yang menyatakan bahwa individu yang mengalami burnout memiliki kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan dan mencari pekerjaan tempat lain. Kahil (dalam Toifur, 2003), bahwa individu yang mengalami burnout akan menunjukkan keadaan-keadaan seperti meningkatnya ketidakpuasan terhadap pekerjan, kesehatan fisik menurun, depresi, memburuknya kualitas hubungan interpersonal. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dampak burnout berpengaruh serius dalam kehidupan seseorang. Hal ini dapat menghambat seseorang dalam mengembangkan dan mengaktualisasikan pekerjaannya. Akibat dari burnout ini pada akhirnya merugikan kedua belah pihak, baik individu yang bersangkutan maupun organisasi tempat dimana individu bekerja. 2.2. Kecerdasan Emosional 2.2.1. Pengertian Kecerdasan Emosional Dalam khazanah disiplin ilmu pengetahuan, istilah “kecerdasan emosional” (Emotional Intelligence), merupakan sebuah istilah yang relatif baru. Istilah ini dipopulerkan oleh Daniel Goleman berdasarkan hasil penelitian neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya dengan kecerdasan intelektual. Berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan psikolog tersebut, maka Goleman (2002), berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual atau yang disebut IQ, sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh emosi atau yang disebut EI. Goleman (2006), mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai berikut : “ Being able, for example, to rein in emotional impulse; to read another’s innermost feelings; to handle relationship smoothly – as aristotle put it, the rare skill to be angry with the right person, to the right degree, at the right time, for the right purpose, and in the right away.” Definisi diatas menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk mengendalikan impuls emosional, kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain dan kemampuan untuk membina hubungan baik dengan orang lain. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Aristoteles yaitu marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang tepat, pada saat yang tepat, dengan tujuan yang tepat, dan dengan cara yang tepat. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk menyerap dan mengekspresikan emosi, kemampuan untuk mengasimilasikan emosi dengan pikiran, pemahaman dan rasio, dan kemampuan untuk mengatur emosi dalam diri sendiri dan orang lain (Mayer, Salovey, & Caruso, dalam Sternberg. 2008). Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali, mengatur dan mengelola emosinya baik pada diri sendiri maupun pada hubungan yang baik dengan orang lain. 2.2.2. Dimensi Kecerdasan Emosional orang lain, guna menjalin Goleman (2002) mengklasifikasikan kecerdasan emosional atas lima komponen penting, yaitu: 1. Kesadaran Diri (self-awareness), yaitu mengetahui apa yang dirasakan seseorang pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat. Kesadaran diri memungkinkan pikiran rasional memberikan informasi penting untuk menyingkirkan suasana hati yang tidak menyenangkan. Menurut John Mayer (dalam Goleman, 2002), kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk mewaspadai suasana hatinya. 2. Pengaturan diri (self regulation), yaitu menangani emosi sendiri agar berdampak positif bagi pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya satu tujuan, serta mampu menetralisir tekanan emosi. Orang yang memiliki kecerdasan emosional adalah orang yang mampu menguasai, mengelola, dan mengarahkan emosinya dengan baik. 3. Motivasi (motivation), yaitu menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun manusia menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif serta bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi. Kunci motivasi adalah memanfaatkan emosi, sehingga dapat mendukung kesuksesan hidup seseorang dengan didukung oleh harapan dan optimisme yang tinggi. Menurut Goleman (2002), motivasi dan emosi pada dasarnya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menggerakkan. Motivasi menggerakkan manusia untuk meraih sasaran, emosi menjadi bahan bakar motivasi, dan motivasi yang akan menggerakkan persepsi dan membentuk tindakan-tindakan. 4. Empati (empathy), yaitu kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat. Hal ini berarti orang yang memiliki kecerdasan emosional ditandai dengan kemampuannya untuk memahami perasaan atau emosi orang lain. Emosi jarang diungkapkan melalui kata-kata, melainkan lebih sering diungkapkan melalui pesan nonverbal, seperti nada suara, ekspresi wajah, gerak-gerik, dan sebagainya. Kemampuan mengindra, memahami dam membaca perasaan atau pesan dari orang lain melalui pesan-pesan nonverbal ini merupakan intisari dari empati. 5. Keterampilan sosial (social skills), yaitu kemampuan mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi dan jaringan soisal, berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia. 2.3. Perawat 2.3.1. Pengertian Perawat Definisi perawat menurut PPNI (dalam Hidayat, 2008), yaitu seseorang yang telah menyelesaikan pendidikkan sekolah perawat kesehatan (spk) yang diakui pemerintah dan diberi tugas secara penuh oleh pejabat berwenang. Tyalor C Lillis C Lemone (dalam Windayanti, 2007) mendefinisikan perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan. Menurut Flexner (dalam Hidayat, 2008), perawat adalah seseorang yang telah memenuhi syarat dengan adanya aktivitas intelektual, yang berdasarkan ilmu dan belajar untuk tujuan praktek dan pelayanan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan, yang memiliki kemampuan dalam memberikan pelayanan keperawatan. 2.3.2. Peran Perawat Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan (dalam Hidayat, 2008) yang terdiri dari: a. Peran Sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan, sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang tepat sesuai dengan tingkat kebutuhan dasar manusia. Pemberian asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks. b. Peran Sebagai Advokat Klien Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien yang meliputi atas pelayanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, dan hak menerima ganti rugi akibat kelalaian. c. Peran Edukator Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan. d. Peran Kordinator Peran ini dilakasanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan, sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien. e. Peran Kolaborator Peran perawat ini dilakukan karena perawat bekerja melelui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi dan lain-lain, dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan bentuk pelayanan selanjutnya. f. Peran Konsultan Peran disini adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan. g. Peran Pembaharu Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan. 2.3.3. Fungsi Perawat Fungsi perawat (dalam Hidayat, 2008) adalah sebagai berikut: 1) Fungsi Independen Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, yang dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan yang memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti kebutuhan fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit, nutrisi), pemenuhan kebutuhan keamanan dan kenyamanan. 2) Fungsi Dependen Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain, sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang telah diberikan. Hal ini biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana. 3) Fungsi Interdependen Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan di antara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja, melainkan juga dari dokter, seperti dokter dalam memberikan tindakan pengobatan bekerja sama dengan perawat dalam pemantauan reaksi obat yang telah diberikan. 2.4. Dinamika psikologis burnout pada perawat Dalam kehidupan manusia, pekerjaan mempunyai peran penting, baik menyangkut kehidupan fisik maupun psikologisnya. Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pekerjaan apapun bentuknya, individu akan terdorong untuk menyumbangkan sebagian atau seluruh pikiran, waktu, tenaga, dan sebagainya guna mencapai tujuan yang telah disepakati dimana tempat individu bekerja. Tuntutan didalam lingkungan pekerjaan dapat menyebabkan terjadinya stres. Stres yang tidak mampu diatasi oleh seseorang akan menimbulkan burnout. Seseorang perawat yang mengalami burnout akan lebih merasa tertekan, frustasi dan tak berdaya, hal itu merupakan bentuk dari kelelahan emosional. Selain itu ia akan bersikap kasar dan apatis terhadap lingkungan, wujud dari depersonalisasi. Terakhir adalah reduced personal accomplishment, dimana seorang perawat merasa bahwa ia merasa tidak dapat memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada orang lain, khususnya pasien. Seseorang perawat yang mengalami burnout akan berpengaruh terhadap pekerjaannya. Perawat yang berada dalam keadaan yang penuh dengan tuntuan karena beban tugas yang berlebihan, maka pemikiran rasionalnya akan terhambat oleh pemikiran emosional. Dengan demikian, seseorang yang memiliki kecerdasan emosional akan mampu mengelola emosinya, sehingga memungkinkan dia untuk bertindak lebih rasional dan tentunya tidak akan terjadi burnout. Kecerdasan emosional itu meliputi kesadaran diri, kemampuan mengelola emosi, memiliki motivasi, empati dan keterampilan sosial. Seorang perawat yang memiliki kecerdasaan emosional yang tinggi, kemungkinan terjadinya burnout rendah. Begitu juga sebaliknya kecerdasan emosional yang rendah, memungkinkan terjadinya burnout tinggi. 2.5. Kerangka Pemikiran Bagan 2.1. Kerangka Berpikir Stres Tuntutan pekerjaan tidak seimbang dengan sumbersumber individu. Burnout -Kelelahan emosional -Depersonalisasi -Reduced personal accomplishment Kecerdasan Emosional -Kesadaran diri -Mengelola emosi -Motivasi -Empati -Keterampilan sosial 2.6. Hipotesis Berdasarkan pembahasan variabel-variabel dan kerangka teoritis, maka penulis mengajukan hipotesis yang akan diujikan pada penelitian ini, yaitu: Hipotesis Alternatif: Ada pengaruh antara kecerdasan emosional terhadap burnout pada perawat. Hipotesis Nol: Tidak ada pengaruh antara kecerdasan emosional terhadap burnout pada perawat.