BAB II - Bappenas

advertisement
BAB II
PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO
TAHUN 2003–2005
Bab mengenai perkembangan ekonomi makro tahun 2003–2005 dimaksudkan
untuk memberi gambaran menyeluruh mengenai prospek ekonomi tahun 2003 dan
dua tahun berikutnya. Uraiannya dimulai dengan gambaran singkat perekonomian
tahun 2001 hingga triwulan I/2002 dan perkiraan keseluruhan tahun 2002;
dilanjutkan dengan arah kebijakan ekonomi makro dan prospeknya tahun 2003–
2005. Gambaran dan arah kebijakan ekonomi makro ini menjadi dasar bagi
Pemerintah Indonesia untuk menyusun Letter of Intent (LOI) dengan IMF dan
negara-negara lain secara bilateral.
A.
Gambaran Singkat Perekonomian Tahun 2001 hingga Triwulan I/2002
dan Perkiraan Keseluruhan Tahun 2002
Dalam tahun 2001 proses pemulihan ekonomi mengalami perlambatan.
Perekonomian tumbuh 3,3 persen; lebih rendah dari yang dicapai tahun 2000 yaitu
sekitar 4,9 persen. Dari sisi produksi, semua sektor mengalami perlambatan. Sektor
pertanian, industri pengolahan, dan lainnya tumbuh berturut-turut sekitar 0,6 persen;
4,3 persen; dan 3,6 persen; lebih rendah dari yang dicapai tahun 2000 masing-masing
sekitar 1,7 persen, 6,1 persen, dan 5,3 persen. Sedangkan dari sisi pengeluaran,
pembentukan modal tetap bruto (PMTB) serta ekspor barang dan jasa hanya tumbuh
berturut-turut sekitar 4,0 persen dan 1,9 persen; jauh di bawah yang dicapai tahun
2000 masing-masing sekitar 21,9 persen dan 26,5 persen. Perekonomian tahun 2001
lebih banyak didukung oleh konsumsi masyarakat dan pemerintah yang tumbuh
masing-masing sekitar 5,9 persen dan 8,2 persen.
Pertumbuhan ekonomi tahun 2001 sekitar 3,3 persen tersebut tidak cukup
untuk menciptakan lapangan kerja bagi tambahan angkatan kerja baru. Pada tahun
2001, pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 8 juta jiwa atau sekitar 8,1
persen dari total angkatan kerja.1
Secara singkat kinerja ekonomi tahun 2001 dipengaruhi oleh tiga faktor
utama. Pertama adalah berkurangnya ketidakpastian politik berkaitan dengan
perubahan kepemimpinan nasional pada Sidang Istimewa MPR bulan Juli 2001.
Kedua adalah meningkatnya ketidakpastian global sebagai akibat dari melambatnya
pertumbuhan ekonomi dunia yang kemudian diperburuk oleh tragedi WTC, New
York, 11 September 2001. Ketiga adalah belum pulihnya kepercayaan masyarakat
terhadap proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.
Dalam upaya menciptakan kepastian politik yang sangat diperlukan bagi
lancarnya penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara diselenggarakan
1
Berdasarkan angka Sakernas – BPS dengan menggunakan definisi pengangguran terbuka yang
disempurnakan serta mengikutsertakan propinsi Maluku.
II – 1
Sidang Istimewa MPR (SI-MPR) pada tanggal 23 Juli 2001. Pelaksanaan SI-MPR
yang berlangsung dengan aman dan lancar tersebut telah memberi dorongan awal
bagi pulihnya kepercayaan masyarakat.
Respon awal yang diberikan oleh pasar paska SI MPR sangat positif. Kurs
rupiah menguat secara tajam dari Rp 11.366,- per US$ pada akhir minggu II Juli
2001 menjadi Rp 9.525,- per US$ pada akhir Juli 2001 dan bahkan menguat hingga
Rp 8.425,- per US$ pada sesi penutupan 14 Agustus 2001. Dengan demikian kurs
harian menguat sekitar 30 persen dari kurs terendah dalam 4 bulan terakhir periode
tersebut; relatif sama dengan penguatan kurs harian saat pemilu tahun 1999 yang
berjalan lancar (sekitar 28 persen). Sejalan dengan penguatan rupiah, kegiatan pasar
modal mulai bergairah. Nilai kapitalisasi pasar meningkat dari Rp 266,3 triliun pada
akhir Juni 2001 menjadi Rp 283,2 triliun pada akhir Juli 2001.
Perubahan kepemimpinan nasional yang berlangsung secara demokratis
mengurangi ketidakpastian politik. Kepercayaan masyarakat internasional
menunjukkan perbaikan. Pada tanggal 30 Juli 2001, Standard and Poor’s (S&P)
merevisi prospek (outlook) peringkat utang jangka panjang dari ′negatif′ menjadi
′stabil′, meskipun peringkat utang pemerintah (sovereign rating) yaitu untuk utang
jangka panjang dalam valuta asing masih CCC+; sedangkan mata uang lokal masih
B−.
Survei yang dilakukan oleh Danareksa Research Institute menunjukkan
peningkatan yang signifikan pada kepercayaan konsumen dan dunia usaha. Indeks
Kepercayaan Konsumen (IKK) yang dipengaruhi oleh Indeks Situasi Sekarang (ISS)
dan Indeks Ekspektasi (IE) meningkat dari 91,6 pada bulan Juni 2001 menjadi 94,1
pada Juli 2001; kemudian naik lagi menjadi 112,3 pada bulan Agustus 2001.
Demikian pula Indeks Kepercayaan Bisnis (IKB) yang dipengaruhi oleh Indeks
Situasi Sekarang (ISS) dan Indeks Ekspektasi (IE), meningkat dari 109,0 pada bulan
Juni/Juli 2001 menjadi 116,0 pada bulan Agustus/September 2001.
Meskipun terdapat perbaikan dalam beberapa indikator ekonomi makro paska
SI-MPR, terjadi peningkatan ketidakpastian global berkaitan dengan melambatnya
perekonomian dunia dan dampak lanjutan dari tragedi WTC, New York, 11
September 2001. World Economic Outlook, IMF, April 2002 memperkirakan
pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2001 hanya mencapai 2,5 persen; jauh lebih
rendah dari tahun 2000 yang mencapai 4,7 persen. Perlambatan terjadi hampir pada
semua kelompok negara. Pertumbuhan negara industri maju (major advanced
economies) melambat dari 3,5 persen pada tahun 2000 menjadi 1,1 persen pada tahun
2001. Perekonomian AS dan Jepang berturut-turut melambat dengan pertumbuhan
menjadi sekitar 1,2 persen dan –0,4 persen. Sedangkan Singapura sebagai salah satu
negara tujuan ekspor terbesar mengalami pertumbuhan sebesar −2,1 persen.
Perlambatan ekonomi dunia mengakibatkan menurunnya perdagangan dunia.
Pertumbuhan impor negara industri paling maju diperkirakan melambat dari 11,6
persen pada tahun 2000 menjadi –1,5 persen pada tahun 2001. Sejalan dengan itu
ekspor negara berkembang diperkirakan menurun dari 15 persen menjadi 3,0 persen
dalam kurun waktu yang sama.
Melambatnya perekonomian dunia tahun 2001 ini antara lain disebabkan oleh
menurunnya kepercayaan dunia usaha (dimulai dari AS kemudian meluas ke Eropah)
II – 2
didorong oleh menurunnya investasi di bidang teknologi informasi. Revolusi
teknologi umumnya mengakibatkan unsustainable financial boom karena dorongan
investasi yang berlebihan. Dengan penggunaan teknologi informasi yang sudah
sangat luas, maka penurunan invetasinya akan memberi pengaruh bagi perekonomian
dunia. Disamping itu perlambatan ekonomi dunia juga disebabkan oleh relatif
ketatnya penyaluran kredit di beberapa negara emerging market serta meningkatnya
resiko usaha.
Perekonomian dunia yang melambat tersebut mempengaruhi kinerja ekspor
nasional. Dalam keseluruhan tahun 2001, total nilai ekspor turun 9,8 persen
dibandingkan tahun sebelumnya dengan nilai ekspor migas dan nonmigas yang
masing-masing turun sekitar 12,1 persen dan 9,1 persen. Dalam bulan Februari 2002,
total nilai ekspor masih menurun 11,8 persen dibandingkan bulan yang sama tahun
2001. Dengan perkembangan ini maka, total nilai ekspor selama dua bulan pertama
(Januari – Februari) tahun 2002 mencapai US$ 8,2 miliar atau turun sekitar 15,0
persen dibandingkan periode yang sama tahun 2001
Melemahnya kinerja ekspor nonmigas dalam tahun 2001 tersebut terutama
terjadi pada kelompok komoditi pertanian dan industri pengolahan yang masingmasing turun 9,0 persen dan 11,1 persen. Sementara itu nilai ekspor komoditi
pertambangan dan lainnya mengalami kenaikan sebesar 18,7 persen. Dalam kurun
waktu tersebut, ekspor nonmigas ke AS, Jepang, dan Singapura berturut-turut turun
sekitar 9,4 persen, 10,5 persen, dan 19,2 persen. Dari 9 negara tujuan ekspor terbesar,
hanya ekspor ke Korea Selatan yang mengalami sedikit kenaikan yaitu sebesar 0,1
persen. Perkembangan nilai ekspor dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
PERKEMBA NGA N EKSPOR
Januari1997 -Februari2002
U S$ miliar
6
5
4
3
2
1
0
Jan '97 Jul Jan '98 Jul Jan '99 Jul Jan' 00 Jul
Hasil Industri
Nonmigas
Jan' 01 Jul
Total Ekspor
Serangan pemerintah AS terhadap Afghanistan telah mendorong reaksi yang
berlebihan di dalam negeri. Kekuatiran yang dapat ditimbulkannya perlu dicermati
dengan baik karena dapat mengganggu investasi, tidak saja yang berasal dari luar,
tetapi juga dalam negeri, serta arus wisatawan asing, yang pada gilirannya akan
memperburuk citra Indonesia di luar negeri.
Kebutuhan devisa bagi swasta dan pemerintah untuk membayar utang luar
negeri serta meningkatnya gangguan keamanan di dalam negeri ikut mendorong
melemahnya nilai tukar rupiah pada triwulan III/2001. Kurs rupiah melemah dari
sekitar Rp 8.860,- pada akhir bulan Agustus 2001 menjadi Rp 10.435,- per US$ pada
akhir bulan Oktober 2001.
II – 3
Meskipun melemah pada triwulan III/2001, kurs rupiah relatif stabil dalam
triwulan IV/2001 tercermin dari volatilitasnya yang rendah. Dalam empat bulan
pertama tahun 2002, kurs rupiah bahkan terus menguat dan mencapai Rp 9.316,- per
US$ pada akhir bulan April 2002. Secara fundamental, menguatnya nilai tukar rupiah
disebabkan oleh tersedianya pasokan valas yang cukup di pasar. Selain itu, pengaruh
menguatnya mata uang regional dan proses divestasi BCA turut memberi sentimen
positif bagi penguatan rupiah. Pergerakan kurs rupiah harian sejak bulan Juli 2001
hingga April 2002 dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
PERGERAKAN KURS HARIAN RUPIAH
(% perubahan thd kurs hari sebelumnya)
6
4
2
0
-2
-4
-6
-8
02-Jul-01
14-Aug-01 25-Sep-01 07-Nov-01 21-Dec-01 06-Feb-02 21-Mar-02
Melemahnya nilai tukar pada triwulan III/2001 dan kenaikan tarif dasar listrik
(TDL) turut mendorong laju inflasi pada bulan September 2001 menjadi sebesar 0,64
persen. Dalam bulan November dan Desember 2001, laju inflasi meningkat berkaitan
dengan faktor musiman yaitu bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Natal, Tahun
Baru, dan liburan sekolah. Dalam tahun 2001, laju inflasi mencapai 12,5 persen.
Selain oleh melemahnya rupiah, tingginya laju inflasi juga didorong oleh
pertumbuhan uang beredar yang relatif masih tinggi, dan dampak dari pelaksanaan
kebijakan penyesuaian harga barang dan jasa yang dikendalikan oleh pemerintah
(administered price) serta announcement effect yang ditimbulkannya. Kecuali untuk
bulan Februari 2001, sampai dengan Desember 2001 pertumbuhan uang primer
selalu di atas target yang ditetapkan. Memasuki tahun 2002, peredaran uang relatif
terkendali tercermin dari laju pertumbuhannya yang melambat.
Dalam dua bulan pertama tahun 2002, meskipun nilai tukar rupiah sedikit
menguat dan peredaran uang relatif terkendali, laju inflasi tetap tinggi. Pada bulan
Januari dan Februari 2002 laju inflasi berturut-turut mencapai 2,0 persen dan 1,5
persen antara lain disebabkan oleh bencana banjir yang melanda beberapa daerah dan
dampak lanjutan dari kenaikan harga BBM yang diberlakukan pada bulan Januari
yang lalu. Dalam bulan Maret 2002 laju inflasi mengalami pertumbuhan negatif
(deflasi) sebesar 0,02 persen disebabkan oleh penurunan harga pada kelompok bahan
makanan dan sandang berturut-turut sebesar 2,8 persen dan 0,1 persen. Dengan
perkembangan tersebut maka sampai dengan bulan Maret 2002, laju inflasi tahun
kalender dan setahun (y-o-y) masing-masing mencapai 3,5 persen dan 14,1 persen.
Perkembangan laju inflasi dapat dilihat pada grafik berikut.
II – 4
PERKEMBANGAN LAJU INFLASI
Januari1999-M aret2002
25
2
20
1,5
15
1
10
0,5
5
0
0
-5
-0,5
-1
Jan '99
Jul
Jan' 00
Bulanan
Jul
Jan' 01
Tahunan (y -o-y , %)
Bulanan (%)
2,5
-10
Y-O-Y
Melambatnya perekonomian dunia yang diiringi dengan meningkatnya laju
inflasi kembali menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap perkembangan
ekonomi nasional. Di dalam negeri, perubahan kepercayaan masyarakat tercermin
dari survei Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) dan Indeks Kepercayaan Bisnis
(IKB) yang dilakukan oleh Danareksa Research Institute. IKK menurun dari 100,5
pada bulan Desember 2001 menjadi 86,8 pada bulan Januari 2002 karena
melemahnya Indeks Situasi Sekarang (ISS) dan Indeks Ekspektasi (IE) masingmasing dari 82,5 dan 114,1 pada bulan Desember 2001 menjadi 69,3 dan 100,0 pada
bulan Januari 2002. Sedangkan Indeks Kepercayaan Bisnis (IKB) menurun dari
112,6 pada bulan Oktober/November 2001 menjadi 109,1 pada bulan Desember
2001/Januari 2002 karena melemahnya Indeks Situasi Sekarang (ISS) dan Indeks
Ekspektasi (IE) masing-masing dari 102,5 dan 122,6 pada bulan Oktober/November
2001 menjadi 99,1 dan 119,0 pada bulan Desember 2001/Januari 2002.
Sejalan dengan meningkatnya stabilitas ekonomi, sejak bulan Pebruari 2002,
terjadi perubahan arah sentimen konsumen dari pesimistis menuju optimistis. Hal ini
ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) dari 89,5
pada bulan Februari menjadi 93,0 pada bulan Maret 2002; didorong oleh peningkatan
Indeks Ekspekstasi (IE) dan Indeks Situasi Sekarang (ISS) yang masing-masing
menjadi 108,6 dan 72,4 dari 104,7 dan 69,2. Sedangkan Indeks Kepercayaan Bisnis
(IKB) juga meningkat menjadi 110,2 pada bulan Februari/Maret didorong oleh
naiknya Indeks Situasi Sekarang (ISS) dan Indeks Ekspektasi (IE) masing-masing
menjadi 100,3 dan 120,2. Bertambahnya keyakinan masyarakat tersebut diharapkan
akan menimbulkan dampak positif terhadap kelangsungan pemulihan ekonomi.
Perkembangan IKK dan IKB dapat dilihat pada grafik berikut.
INDEKS KEPERCAYAAN KONSUMEN
160
140
120
100
80
60
Okt-99
Mar-00
Agu-00
Jan-01
IKK
ISS
Jun-01
Nov-01
IE
II – 5
INDEKS KEPERCAYAAN BISNIS
140
130
120
110
100
90
80
Okt-Nov 99
Jun-Jul 00
IKB
Feb-Mar 01
ISS
Okt-Nov 01
IE
Menguatnya nilai tukar rupiah, mulai terkendalinya laju inflasi dan mulai
tumbuhnya sentimen positif masyarakat, ikut mendorong kinerja pasar modal. IHSG
meningkat dari 392,0 pada akhir Desember 2001 menjadi 534,1 pada akhir April
2002. Sejalan dengan itu nilai kapitalisasi pasar meningkat dari Rp 239,3 triliun
menjadi Rp 344,7 triliun pada kurun waktu yang sama.
Pada bulan April 2002 lembaga pemeringkat internasional Standard and
Poor’s (S&P) menurunkan peringkat utang pemerintah dari CCC menjadi SD
(Selective Default). Peringkat SD mengindikasikan kemungkinan tidak terbayarnya
kewajiban utang yang jatuh tempo dan selanjutnya dikuatirkan akan meningkatkan
risk premium serta menyulitkan upaya Indonesia untuk menarik modal asing. Namun
penurunan peringkat ini bersifat sementara dan diperkirakan akan membaik kembali
segera setelah selesainya pertemuan London Club. Sebelumnya pada bulan
November 2001 peringkat utang jangka panjang pemerintah (sovereign debt rating)
diturunkan dari CCC+ menjadi CCC dan prospek (outlook) dari ′stable′ menjadi
′negative.′ Prospek negatif mengindikasikan adanya kemungkinan peringkat utang
yang ada saat ini diturunkan lagi dalam tiga bulan mendatang.
Masih lemahnya kepercayaan masyarakat juga terlihat dari minat investasi.
Jumlah proyek PMDN yang disetujui menurun dari 335 pada tahun 2000 menjadi
249 pada tahun 2001. Dalam kurun waktu yang sama nilai PMDN yang disetujui
menurun menjadi Rp 58,7 triliun atau lebih rendah 36,5 persen dibandingkan tahun
2000. Dilihat dari nilai rencana investasi, bidang usaha yang diminati antara lain: (a)
industri kimia dasar, barang kimia dan farmasi; (b) industri makanan; dan (c) industri
kertas, barang dari kertas dan percetakan. Penurunan minat investasi ini masih terus
berlangsung hingga tiga bulan pertama tahun 2002. Jumlah proyek PMDN yang
disetujui hanya mencapai 34 proyek dengan nilai sebesar Rp 1,9 triliun, turun
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 58 proyek
dengan nilai sebesar Rp 8,1 triliun.
PMA yang disetujui pada tahun 2001 juga menurun dilihat baik dari jumlah
proyek maupun nilai investasinya dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah proyek
yang disetujui berkurang dari 1.524 menjadi 1.317; sedangkan nilai investasi turun
dari US$ 15,4 miliar menjadi US$ 9,0 miliar. Dilihat dari nilai rencana investasi,
bidang usaha yang diminati antara lain: (a) industri kimia dasar, barang kimia, dan
farmasi; (b) jasa lain-lain; dan (c) hotel dan restoran. Sampai dengan tiga bulan
II – 6
pertama tahun 2002 PMA yang disetujui juga mengalami penurunan dibandingkan
periode yang sama tahun 2001. Jumlah proyek yang disetujui berkurang dari 312
proyek menjadi 207 proyek; sedangkan nilai investasi turun dari US$ 3,2 miliar
menjadi US$ 0,8 miliar. Perkembangan nilai persetujuan PMDN dan PMA sejak
tahun 1968 hingga tahun 2001 dapat dilihat pada grafik berikut.
42
120
35
100
28
80
21
60
14
40
7
20
0
1968 1972 1976 1980 1984 1988 1992 1996 2000
PM A
PM DN R
( p T riliu n)
PM A (U S$m iliar)
NILA I PER SETU JU A N PM D N D A N PM A
1 968-2001
0
PM DN
Sejak tahun 1998 utang pemerintah mencakup utang dalam negeri dalam
rangka rekapitalisasi perbankan. Sampai dengan akhir Desember 2001, total utang
dalam negeri mencapai Rp 659 triliun dengan rincian sebagai berikut: (a) utang
dalam rangka rekapitalisasi perbankan sebesar Rp 430,7 triliun, (b) BLBI sebesar
164,5 triliun, (c) penjaminan sebesar Rp 53,8 triliun, dan (d) KLBI sebesar Rp 10
triliun.
Sementara itu posisi utang luar negeri pemerintah pada akhir Desember 2001
mencapai US$ 71,4 miliar, turun dari posisi akhir tahun 2000 yang masih berjumlah
US$ 74,9 miliar. Dengan kurs rata-rata setahun sebesar Rp 10.255,- per dolar AS,
total utang pemerintah mencapai 93,3 persen dari PDB. Sedangkan posisi utang
swasta pada akhir Desember 2001 mencapai US$ 59,8 miliar, turun dari posisi akhir
Desember 2000 sebesar US$ 66,8 miliar.
Melambatnya ekspor dan meningkatnya kebutuhan devisa untuk membayar
utang luar negeri mempengaruhi kondisi neraca pembayaran. Surplus neraca
transaksi berjalan pada triwulan IV/2001 menurun menjadi US$ 0,6 miliar dari US$
2,5 miliar pada triwulan sebelumnya. Sementara itu pada neraca modal terjadi
penurunan defisit arus modal swasta (neto) dan mencapai sebesar US$ 0,5 miliar.
Dengan arus modal pemerintah (neto) sebesar US$ 0,2 miliar, defisit neraca modal
dalam triwulan IV/2001 turun menjadi US$ 0,7 miliar dibandingkan dengan triwulan
sebelumnya yang mencapai US$ 2,7 miliar. Sementara itu, cadangan devisa menurun
dari US$ 29,0 miliar pada akhir triwulan III/2001 menjadi US$ 28,0 miliar pada
akhir triwulan IV/2001.
Dengan perkembangan tersebut selama tahun 2001, surplus neraca transaksi
berjalan turun menjadi US$ 6,5 miliar; lebih rendah dari kurun waktu yang sama
tahun 2000 sebesar US$ 8,0 miliar. Sementara itu defisit neraca modal meningkat
dari US$ 6,8 miliar dalam keseluruhan tahun 2000 menjadi US$ 9,4 miliar untuk
kurun waktu yang sama tahun 2001.
Sementara itu, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan meningkat
dari 14,3 persen pada akhir tahun 2000 menjadi 17,6 persen pada akhir tahun 2001
II – 7
Hal ini juga ikut menambah kekuatiran mengenai ketahanan fiskal. Dengan relatif
stabilnya nilai tukar rupiah sejak triwulan IV/2001, memasuki tahun 2002 suku
bunga SBI 3 bulan menunjukkan kecenderungan menurun. Pada bulan April 2002,
rata-rata tertimbang suku bunga SBI 3 bulan menurun menjadi 16,7 persen.
Berdasarkan perkembangan sampai akhir April 2002, nilai tukar rupiah
dimungkinkan berkisar antara Rp 8.750 – Rp 9.750 per dolar AS selama delapan
bulan terakhir tahun 2002. Sementara itu, selama tahun 2002 laju inflasi dan suku
bunga SBI 3 bulan masing-masing diperkirakan mencapai sekitar 9–10 persen dan
sekitar 15 persen. Dengan stabilitas ekonomi yang lebih baik didukung dengan
stabilitas politik dan keamanan yang tetap terpelihara serta upaya yang sungguhsungguh untuk melaksanakan berbagai program percepatan pemulihan ekonomi,
kepercayaan masyarakat diperkirakan akan berangsur-angsur pulih. Dalam tahun
2002, pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan mampu mencapai sekitar 4
persen.
B.
Arah Kebijakan Ekonomi Makro
Meskipun kinerja perekonomian nasional tahun 2002 diperkirakan membaik,
masih terdapat berbagai ketidakpastian yang dapat mengganggu proses pemulihan
ekonomi. Di sisi eksternal, perekonomian dunia masih dibayangi oleh ketidakpastian
terhadap kesinambungan perekonomian Amerika Serikat untuk terus menerus
sebagai penggerak ekonomi dunia. Sementara itu perekonomian Jepang belum
menunjukkan tanda-tanda keluar dari resesi yang berkepanjangan. Disamping itu,
pemberlakuan AFTA sejak awal tahun 2002, meskipun di satu sisi dapat membuka
peluang ekspor, namun disisi lain akan mendorong masuknya pesaing luar negeri.
Dihapuskannya pembatasan kuota bagi produk-produk tekstil Cina di pasar Amerika
Serikat semakin menambah tantangan bagi kinerja ekspor Indonesia.
Dari sisi internal, pemulihan ekonomi Indonesia masih dihadapkan pada
berbagai masalah pokok antara lain: (i) lambannya proses restrukturisasi utang
perusahaan baik utang luar negeri maupun kredit bermasalah, (ii) belum pulihnya
fungsi intermediasi perbankan, (iii) beratnya beban keuangan pemerintah terutama
akibat besarnya pembayaran bunga utang pemerintah dan tingginya pengeluaran
subsidi, (iv) serta masih tingginya faktor resiko dan ketidakpastian baik sosial politik,
hukum maupun pelaksanaan kebijakan ekonomi. Hal ini akan membawa dampak
yang kurang menguntungkan pada keberhasilan beberapa program restrukturisasi
ekonomi sehingga menyulitkan upaya perbaikan country risk Indonesia dan
percepatan pemulihan ekonomi nasional.
Dengan kemajuan yang telah dicapai pada tahun 2001, serta masalah-masalah
pokok yang berkembang dan yang harus segera ditangani dalam tahun 2002 dan tiga
tahun berikutnya, maka kebijakan ekonomi makro pada tahun 2003–2005 diarahkan
untuk mempercepat pemulihan ekonomi dengan momentum yang sudah dicapai pada
tahun-tahun sebelumnya. Percepatan pemulihan ekonomi ini diperlukan mengingat
masih banyaknya masalah-masalah sosial mendasar, yang timbul selama krisis,
belum terpecahkan seperti meningkatnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran
terbuka serta menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Dalam kaitan itu,
langkah-langkah pokok yang ditempuh adalah sebagai berikut.
II – 8
Pertama, memelihara stabilitas ekonomi melalui koordinasi kebijakan fiskal,
moneter, dan sektor riil yang makin baik dan terpadu. Langkah ini ditempuh agar
momentum pemulihan ekonomi yang sudah dicapai sampai tahun 2002 ini dan
percepatan yang akan didorong tidak terganggu oleh gejolak baru yang dapat
membahayakan kepastian usaha pada khususnya dan ketahanan ekonomi pada
umumnya.
Kedua, mempercepat program restrukturisasi utang perusahaan dan pulihnya
fungsi intermediasi perbankan. Percepatan program restrukturisasi utang swasta
dimaksudkan agar perusahaan yang dihadapkan pada masalah utang segera dapat
menjalankan kegiatan dan memperoleh kepercayaan kembali dari pihak kreditur.
Adapun dorongan bagi pulihnya fungsi intermediasi perbankan dimaksudkan agar
sektor keuangan secepatnya dapat mendukung kegiatan perekonomian.
Ketiga, meningkatkan daya saing ekonomi antara lain melalui: deregulasi
perdagangan dan investasi;peningkatan kualitas tenaga kerja; serta pemeliharaan dan
rehabilitasi prasarana dasar untuk menunjang kelancaran usaha produksi dan
distribusi.
Untuk meningkatkan efektivitas langkah-langkah pokok tersebut, ditempuh
kebijakan-kebijakan sebagai berikut.
Di sektor fiskal, kebijakan keuangan negara, sejalan dengan arah kebijakan
fiskal yang ditetapkan dalam GBHN 1999–2004, diarahkan pada upaya melanjutkan
konsolidasi fiskal yang ditujukan untuk meringankan beban utang pemerintah secara
cepat dalam jangka menengah guna mewujudkan ketahanan fiskal yang
berkelanjutan (fiscal sustainability) dengan tetap mengupayakan pemberian stimulus
fiskal dalam batas-batas kemampuan keuangan negara guna mendukung proses
pemulihan ekonomi, serta memantapkan proses desentralisasi dengan tetap
mengupayakan pemerataan kemampuan keuangan antardaerah sesuai azas keadilan,
dan sepadan dengan besarnya kewenangan yang diserahkan oleh Pemerintah pusat
kepada daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, di bidang penerimaan
perpajakan, kebijakan penerimaan negara dilakukan melalui pemantapan perbaikan
administrasi perpajakan, intensifikasi perpajakan, dan ekstensifikasi perpajakan.
Pemantapan kebijakan ini antara lain meliputi (i) perbaikan sistem dan prosedur baru
dalam hal pembayaran pajak, peningkatan pelaksanaan audit, dan upaya peningkatan
penagihan piutang pajak; (ii) penurunan penyelundupan pajak; serta (iii) penurunan
penghindaran pajak. Sementara itu, di bidang kepabeanan akan ditempuh upaya
untuk memperbaiki prosedur dan memperkuat administrasi pengurusan impor
barang. Di bidang penerimaan bukan pajak, akan ditempuh kebijakan yang meliputi
(i) peninjauan kembali peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan sumber
daya alam; (ii) penanggulangan penambangan tanpa ijin dan penebangan hutan
secara liar (illegal logging); (iii) peningkatan pengawasan pemungutan dan
penyetoran PNBP; (iv) evaluasi atas penetapan tarif yang berlaku pada Departemen
dan Lembaga Non-Departemen, serta (v) pengembangan peraturan PNBP di bidang
laba BUMN.
II – 9
Guna mendukung arah kebijakan fiskal yang berkelanjutan (fiscal
sustainability) dalam REPETA 2003, kebijakan belanja negara diarahkan pada upaya
peningkatan efisiensi dan efektivitas alokasi pengeluaran rutin, penajaman prioritas
pengeluaran pembangunan guna mendukung stimulus fiskal, serta penyempurnaan
alokasi dana perimbangan dalam rangka pemantapan proses desentralisasi dengan
mengacu pada sebelas program prioritas REPETA 2003. Di bidang pengeluaran
rutin, kebijakan belanja negara diarahkan pada upaya-upaya untuk (i) memperbaiki
kesejahteraan aparatur pemerintah dan anggota TNI/Polri dalam batas kemampuan
keuangan negara; (ii) mengurangi beban pembayaran bunga utang dalam negeri
melalui upaya mengurangi jumlah pokok utang dalam negeri dan pengembangan
pasar obligasi yang likuid dan efisien sehingga dapat menurunkan ekspektasi pasar
terhadap tingkat bunga (yield) obligasi negara dan dapat mendukung proses
refinancing obligasi negara; (iii) menurunkan beban subsidi melalui langkah-langkah
penyempurnaan sistem dan mekanisme penyesuaian harga BBM dalam negeri dan
tarif dasar listrik (TDL) secara bertahap sesuai dengan kemampuan masyarakat;
mengarahkan pemberian subsidi secara sangat selektif dan tepat sasaran sebagai
bagian penting dari upaya memfokuskan kembali prioritas pengeluaran dan
konsolidasi fiskal jangka menengah; serta mengalihkan alokasi anggaran subsidi ke
berbagai program-program sosial, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan
kesejahtaraan masyarakat.
Di bidang pengeluaran pembangunan, kebijakan diarahkan untuk
mempertajam prioritas alokasi anggaran pembangunan dengan mengarahkan
penggunaannya pada proyek-proyek yang produktif, penting, dan mendesak guna
mendukung upaya penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas sumber daya
manusia (SDM), peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta penyediaan pelayanan
kebutuhan dasar masyarakat, terutama pendidikan dan kesehatan.
Di bidang dana perimbangan, kebijakan diarahkan pada (i) penyempurnaan
penyusunan alokasi dan penyaluran dana bagi hasil pajak dan bukan pajak; (ii)
terlaksananya desentralisasi fiskal yang sesuai dengan upaya mengurangi defisit
anggaran (mencapai fiscal sustainability) melalui langkah-langkah penyempurnaan
dan sosialisasi formula dana alokasi umum (DAU) tahun 2003 berdasarkan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, dengan berpedoman pada penggunaan konsep
kesenjangan fiskal, dimana penentuan alokasi DAU suatu daerah didasarkan atas
kebutuhan fiskal daerah (fiscal need) dan potensi fiskal daerah (fiscal capacity); serta
(iii) penetapan alokasi DAK secara transparan dan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku disertai pemantauan dan evaluasi pelaksanaan DAK.
Di sektor moneter, upaya-upaya akan terus ditingkatkan bagi terciptanya
kestabilan harga. Pada tahun 2002, Bank Indonesia telah menetapkan sasaran inflasi
sekitar 9–10 persen. Dalam lima tahun ke depan Bank Indonesia mempunyai
komitmen untuk secara bertahap menurunkan inflasi menjadi sekitar 6 –7 persen.
Melalui langkah ini, proses disinflasi dilakukan secara bertahap sehingga target
inflasi yang ditetapkan akan lebih realistis. Sejalan dengan meningkatnya kredibilitas
kebijakan ekonomi, ekspektasi inflasi oleh masyarakat diharapkan akan terbentuk
dengan merujuk perkiraan inflasi yang ditetapkan Bank Indonesia tersebut. Proses
disinflasi secara bertahap ini akan menghindarkan penerapan kebijakan moneter yang
terlampau ketat yang dapat berdampak negatif bagi proses pemulihan ekonomi.
II – 10
Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, kebijakan moneter akan diarahkan
pada upaya pengendalian uang primer agar sesuai dengan kebutuhan riil
perekonomian. Kebijakan tersebut dilaksanakan dengan mempertimbangkan pula
suku bunga riil sekitar 4–5 persen. Secara operasional, pengendalian moneter akan
dilakukan dengan mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter terutama melalui
operasi pasar terbuka (OPT) dengan lelang SBI. Selain itu, upaya tersebut juga
didukung dengan melakukan sterilisasi valuta asing yang dimaksudkan untuk
mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan inflasi. Langkah ini akan
dilakukan secara berhati-hati agar kestabilan harga tetap terjaga untuk mendukung
proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung sehingga dalam jangka
menengah-panjang dapat dicapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Di sektor perbankan prioritas utama kebijakan diarahkan untuk memperkuat
ketahanan sistem perbankan. Untuk mencapai hal tersebut, Bank Indonesia akan
terus meneruskan memaksimalkan penerapan 25 Basle Core Principles for Effective
Banking Supervision yang penjabarannya dituangkan dalam master plan peningkatan
efektivitas pengawasan bank. Upaya untuk memelihara CAR bank-bank yang telah
mencapai 8 persen terus dilakukan khususnya terhadap pengaruh kenaikan suku
bunga dan melemahnya nilai tukar serta penurunan kualitas kredit. Disamping itu,
dalam rangka memperkuat kelembagaan perbankan nasional dilakukan pengkajian
mengenai pengembangan kelembagaan perbankan nasional yang terintegrasi dengan
pengambangan lembaga finansial lainnya.
Sementara itu, guna memulihkan fungsi intermediasi perbankan, sektor
perbankan terus didorong untuk lebih banyak lagi menyalurkan kredit kepada sektor
usaha yang siap dan memiliki resiko yang relatif rendah seperti sektor ekspor dan
UKM serta melakukan penyempurnaan terhadap beberapa ketentuan untuk
mempercepat pulihnya fungsi intermediasi perbankan. Selain itu, kesehatan bank
akan ditingkatkan dengan upaya yang terus menerus untuk menekan angka NPLs
perbankan nasional dengan mengarahkan bank-bank untuk mencapai target indikatif
NPLs sekitar 5 persen pada akhir tahun 2002. Sedangkan upaya untuk memperkuat
infrastruktur perbankan nasional dilakukan dengan terus mendorong pengembangan
bank syariah dan keberadaan BPR serta bersama-sama dengan pemerintah
mempersiapkan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan dan Lembaga Pengawas
Jasa Keuangan.
Efektivitas dari langkah-langkah pokok dan kebijakan-kebijakan diatas perlu
didukung oleh langkah-langkah penting lainnya antara lain:
Pertama, menciptakan lingkungan usaha yang kondusif bagi percepatan
pemulihan ekonomi, yang mencakup: (i) percepatan pemulihan keamanan dan
stabilitas politik, (ii) peningkatan kepastian hukum yang mendorong tumbuhnya
kepastian usaha dan praktek usaha yang sehat, serta (iii) pelaksanaan prinsip
penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good
governance) dalam upaya mewujudkan birokrasi yang efisien dan mampu
mengantisipasi dinamika ekonomi serta tuntutan masyarakat yang makin
berkembang.
Kedua, mengamankan proses desentralisasi dengan menyeimbangkan
kewenangan dalam pengelolaan pendapatan kepada daerah dan tanggung jawab
pembelanjaannya. Dalam kaitan itu langkah-langkah koordinasi yang erat antara
II – 11
berbagai bidang pembangunan serta antara pemerintah pusat dan daerah akan
ditingkatkan.
C.
Prospek Ekonomi Tahun 2003 – 2005
1. Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian dunia diperkirakan membaik setelah mengalami resesi pada
tahun 2001. Pada tahun 2002 volume perdagangan dunia diharapkan akan berangsurangsur meningkat sejalan dengan membaiknya perekonomian Amerika Serikat
sebagai salah satu motor penggerak perekonomian dunia yang diperkirakan terjadi
pada paruh kedua tahun 2002 atau lebih awal pada triwulan II/2002 (Congressional
Budget Office, Amerika Serikat). Dalam tiga tahun berikutnya (2003–2005),
perekonomian Amerika Serikat dan Jepang diperkirakan lebih baik lagi yang pada
gilirannya akan meningkatkan volume dan harga komoditi perdagangan dunia.
Apabila pada tahun 2001 harga ekspor non-migas mengalami penurunan sebesar 4,9
persen, maka pada tahun 2002 diperkirakan akan meningkat sebesar 2,0 persen dan
pada tahun-tahun selanjutnya diperkirakan akan meningkat rata-rata sekitar 3,9
persen. Sedangkan untuk komoditi industri pengolahan, Manufacturing Unit Value
(MUV) diperkirakan meningkat rata-rata 3,6 persen pertahun antara tahun 2002–2005
(Global Development Finance, World Bank, 2002).
Dalam tahun 2003–2005 tersebut situasi politik dan keamanan nasional
diharapkan tetap stabil. Pemilihan Umum tahun 2004 diupayakan berlangsung secara
demokratis, lancar, dan aman sehingga mampu memberi kepastian usaha di dalam
negeri. Selanjutnya melalui percepatan program restrukturisasi utang swasta dan
pemulihan fungsi intermediasi perbankan, kepercayaan masyarakat diharapkan
makin meningkat sehingga kegiatan perekonomian secara bertahap semakin
membaik.
Meskipun demikian, perekonomian dunia masih dibayangi oleh
ketidakpastian. Untuk itu kegiatan ekonomi perlu didorong agar juga bertumpu pada
permintaan dalam negeri. Peranan masyarakat termasuk swasta dalam ekonomi terus
didorong khususnya melalui kegiatan investasi. Untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi dalam tahun 2003–2005 rata-rata sekitar 5 - 6 persen tersebut, peranan
investasi masyarakat sebagai rasio terhadap Produk Nasional Bruto (PNB)
diupayakan meningkat dari 17,0 persen pada tahun 2003 menjadi 21,4 persen pada
tahun 2005.
Dalam periode tersebut sumbangan investasi masyarakat terhadap
pertumbuhan ekonomi meningkat dari 1,8 persen tahun 2003 menjadi 2,5 persen
pada tahun 2005. Sejalan dengan itu laju pertumbuhan konsumsi masyarakat
diperkirakan meningkat hingga dalam tahun 2005 sumbangannya terhadap
pertumbuhan ekonomi diperkirakan sekitar 2,4 persen. Seiring dengan membaiknya
kinerja ekspor, sumbangan ekspor neto terhadap pertumbuhan ekonomi diperkirakan
meningkat menjadi sekitar 0,2 persen pada tahun 2005. Dalam tahun 2003,
pertumbuhan ekonomi diperkirakan sekitar 4,5 - 5,5 persen, dan secara bertahap
meningkat menjadi 5,5 - 6,5 persen pada tahun 2005.
II – 12
Investasi dibiayai tabungan dalam dan luar negeri. Tabungan nasional,
sebagai rasio dari PNB, diperkirakan meningkat dari 23,7 persen pada tahun 2003
menjadi 26,5 persen pada tahun 2005. Sejalan dengan membaiknya kepercayaan
masyarakat internasional, tabungan luar negeri diperkirakan meningkat secara
bertahap dari –1,3 persen menjadi 0,1 persen dari PNB dalam kurun waktu yang
sama.
Dari sisi produksi, pertumbuhan sektor pertanian dalam tahun 2002
diperkirakan sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya, yakni mencapai
0,9 persen. Dalam tiga tahun mendatang pertumbuhan sektor ini diperkirakan terus
membaik, yaitu dari 1,8 persen tahun 2003 meningkat menjadi 2,3 persen tahun
2005. Dalam tiga tahun mendatang, sektor industri pengolahan nonmigas
diperkirakan tetap menjadi pendorong perekonomian dengan pertumbuhan rata-rata
sekitar 7,8 persen per tahun.
Pulihnya perekonomian yang didukung oleh alokasi sumber daya
pembangunan yang lebih baik diharapkan akan meningkatkan efisiensi
perekonomian, seperti tercermin pada penurunan angka incremental capital output
ratio (ICOR). Pada tahun 2005 ICOR diperkirakan menurun menjadi 4,3 dari sekitar
4,8 pada tahun 2003.
Pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan sekitar 3,5 – 4,5 persen pada tahun
2002 dan 4,5 – 5,5 persen pada tahun 2003 tidak cukup untuk menampung tambahan
angkatan kerja baru. Pengangguran terbuka diperkirakan meningkat dari 8,8 persen
dalam tahun 2002 menjadi sekitar 9,1 persen dalam tahun 2003. Dengan percepatan
pemulihan ekonomi dalam dua tahun berikutnya, pada tahun 2005 tingkat
pengangguran terbuka diperkirakan menurun menjadi 8,6 persen.
Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita
yang merosot pada masa krisis akan membaik dan diperkirakan mencapai US$ 1.033
pada tahun 2003 dan US$ 1.331 pada tahun 2005. Dengan harga konstan tahun 1998,
pendapatan riil per kapita pada tahun 2003 diperkirakan Rp 5,4 juta dan tahun 2005
sebesar Rp 5,8 juta, relatif sama dengan sebelum krisis (tahun 1996/97).
2. Neraca Pembayaran
Dalam kurun waktu tiga tahun mendatang, kinerja ekspor diupayakan terus
membaik. Nilai total ekspor diperkirakan meningkat dari US$ 62,2 miliar dalam
tahun 2003, menjadi US$ 73,2 miliar pada tahun 2005. Peningkatan ekspor terutama
didorong oleh ekspor nonmigas yang diperkirakan meningkat rata-rata 8,3 persen per
tahun pada kurun waktu tersebut.
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi dan pertumbuhan ekonomi,
nilai total impor diperkirakan meningkat dari US$ 41,0 miliar pada tahun 2003
menjadi US$ 50,9 miliar pada tahun 2005, didorong oleh impor nonmigas yang
diperkirakan meningkat rata-rata 11,3 persen per tahun. Sedangkan penerimaan
devisa dari jasa pariwisata diperkirakan membaik dengan meningkatnya stabilitas
politik dan keamanan. Sementara itu tingginya pembayaran bunga pinjaman baik
pemerintah maupun swasta diperkirakan masih meningkatkan defisit neraca jasajasa. Dengan kecenderungan ini, surplus neraca transaksi berjalan sebagai rasio dari
II – 13
PDB diperkirakan terus menurun dari 1,3 persen pada tahun 2003 menjadi defisit 0,1
persen pada tahun 2005.
Neraca arus modal diperkirakan masih akan defisit dalam tahun 2003, namun
kemudian mengalami surplus dalam tahun 2005. Membaiknya arus modal tersebut
sejalan dengan meningkatnya penanaman modal asing dan arus modal lainnya yang
diperkirakan mulai membaik dalam tahun 2003.
Dengan gambaran di atas, cadangan devisa (reserve assets) diperkirakan
meningkat, mencapai sekitar US$ 29,4 miliar pada tahun 2003 dan US$ 30,0 miliar
pada tahun 2005.
3. Moneter
Besaran moneter (antara lain laju inflasi, suku bunga, dan kurs rupiah) bukan
merupakan sasaran yang kaku melainkan gambaran yang konsisten dengan wujud
perekonomian nasional mendatang. Dengan relatif stabilnya nilai rupiah dan
terkendalinya uang beredar, laju inflasi diharapkan makin terkendali. Melalui
koordinasi kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil, laju inflasi, nilai tukar rupiah,
dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3 bulan tahun 2003 berturut-turut
diperkirakan antara 8–10 persen, Rp 8.500 – Rp 9.500 per US$, dan 13–15 persen.
Dengan pelaksanaan kebijakan moneter yang makin konsisten, laju inflasi
diharapkan menurun secara bertahap sehingga pada tahun 2005 diperkirakan menjadi
sekitar 6–8 persen. Dengan menurunnya inflasi, makin stabilnya situasi politik dan
keamanan, serta terselesaikannya program restrukturisasi dengan baik, premi atas
resiko (risk premium) akan menurun yang pada gilirannya akan menurunkan suku
bunga dalam negeri.
Seiring dengan pulihnya kepercayaan masyarakat yang didorong oleh
langkah kebijakan yang sungguh-sungguh serta makin terpadunya pelaksanaan
kebijakan moneter dan fiskal, nilai tukar rupiah diharapkan tetap stabil pada kisaran
Rp 8.500 – Rp 9.500 dalam tahun 2004 dan 2005.
4. Keuangan Negara
Dengan upaya sungguh-sungguh untuk meningkatkan pendapatan negara
melalui pemantapan perbaikan administrasi pajak, serta intensifikasi dan
ekstensifikasi perpajakan, penerimaan pajak sebagai rasio dari PDB diperkirakan
meningkat dari 14,1 persen pada tahun 2003 menjadi 15,7 persen pada tahun 2005
Selanjutnya dengan upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan ketahanan
fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) defisit APBN dan stok utang
pemerintah sebagai rasio dari PDB dalam tahun 2003 diperkirakan menurun menjadi
1,0 persen dan 64,5 persen. Secara bertahap defisit APBN akan menurun dan
menjadi surplus sebesar 1,0 persen pada tahun 2005. Adapun stok utang pemerintah
diperkirakan menurun menjadi 45,6 persen pada tahun 2005.
Demikian gambaran umum pertumbuhan ekonomi, neraca pembayaran,
moneter, dan keuangan negara untuk kurun waktu tahun 2003–2005. Dengan upaya
sungguh-sungguh untuk melaksanakan langkah-langkah pokok sebagaimana yang
diagendakan dalam Propenas dan dituangkan penjabarannya dalam REPETA 2003,
II – 14
proses pemulihan ekonomi pada tahun 2003 akan berlanjut dan pada tahun-tahun
berikutnya akan memperkokoh ketahanan ekonomi nasional. Dengan prospek
ekonomi di atas, perekonomian Indonesia dalam tahun 2004/2005 diperkirakan pulih,
didukung oleh fundamental yang makin kokoh.
Ini akan tercermin pada: (i) meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat
diiringi dengan menurunnya jumlah penduduk miskin, (ii) meningkatnya kegiatan
produksi, utamanya yang berbasis sumber daya alam, yang didorong oleh sektor
industri terutama agro-industri termasuk industri yang mempunyai kaitan ke depan
atau ke belakang terhadap sektor pertanian, (iii) meningkatnya daya saing ekspor
yang tercemin dari makin baiknya kinerja ekspor nonmigas, (iv) menurunnya stok
utang pemerintah (sebagai rasio dari PDB), (v) menurunnya defisit anggaran yang
mengarah pada terwujudnya fiscal sustainability, (vi) tetap terjaganya keseimbangan
neraca pembayaran dan tersedianya cadangan devisa yang memadai untuk meredam
gejolak yang mungkin timbul, serta (vii) terkendalinya stabilitas ekonomi yang
tercermin dari menurunnya tingkat inflasi, stabil dan menguatnya rupiah, serta
menurunnya suku bunga. Gambaran ekonomi makro tahun 2003–2005 tersebut dapat
dilihat pada Tabel II.1.
II – 15
Download