BAB VII POTRET KEMISKINAN DI DUNIA A. INDIKATOR SOSIAL DARI KEMISKINAN Seperti telah diungkap dalam Indeks Pembangunan Manusia, terdapat tiga indikator sosial dari kemiskinan yaitu angka melek huruf orang dewasa, angka harapan hidup saat lahir dan malnutrisi anak. Berdasarkan data dari UNDP, diketahui bahwa secara umum, indikator itu cukup baik pada negara Asia Timur, diikuti oleh Asia Tenggara dan terburuk di Asia Selatan. Negara dengan tingkat kemiskinan tinggi biasanya menduduki peringkat rendah dari indikator sosial. Kecuali, Sri Lanka, Filipina dan Vietnam yang tinggi indikator sosialnya namun juga tinggi tingkat kemiskinannya. Sama halnya dengan ukuran pendapatan, informasi tingkat nasional mungkin menggambarkan besarnya ketidakmerataan di suatu negara. Pendidikan, kesehatan dan status gizi sangat bervariasi menurut gender, umur, pendapatan rumah tangga, suku, agama, kasta, desa/kota dan wilayah geografis. Ketidaksetaraan gender dalam indikator sosial merupakan gambaran di Asia Selatan (kecuali Sri Lanka), dan di Papua Nugini. Di India dan Indonesia, ada perbedaan tajam di indikator sosial di setiap wilayah. Di semua negara berkembang di Asia, indikator sosial cenderung lebih rendah di desa daripada di kota. A.1. Angka melek huruf Melek huruf dapat dicapai dengan menamatkan sekolah dasar selama 4 sampai 5 tahun. Angka melek huruf pada orang dewasa hampir sama tingginya di Filipina, Thailand, dan Vietnam yang mencapai 95 persen, sedangkan Indonesia sebesar 84 persen. Angka melek huruf yang tinggi menggambarkan 107 pencapaian yang tinggi dari suatu negara kecuali Thailand yang relatif rendah pendapatannya. Rata-rata angka melek huruf di bawah 60 persen di negara lain Asia Selatan (Bangladesh, India, Nepal, Pakistan) dan Laos. A.2. Angka harapan hidup Angka harapan hidup waktu lahir sangat rendah (kurang dari 65 tahun) pada kebanyakan negara Asia Timur dan Tenggara, Asia Selatan (kecuali Sri Lanka) dan Papua Nugini. Angka harapan hidup yang tinggi di Sri Lanka, Cina dan Vietnam menggambarkan prestasi di tengah pembangunan ekonomi yang moderat. Walaupun kebanyakan negara Asia telah menunjukkan kemajuan angka harapan hidup, namun penyakit serius dan perilaku tidak sehat masih menyebar. Negara berkembang di Asia Timur mempunyai angka TB dan merokok yang tinggi di dunia. HIV/AIDS merupakan ancaman yang berkembang di banyak negara Asia dan lebih besar daripada estimasi prevalensi saat ini. Prevalensi malaria tinggi di Sri Lanka dan Kamboja, dan strain malaria yang kebal ditemukan di Thailand, Kamboja, Myanmar dan India. A.3. Malnutrisi pada anak Malnutrisi pada anak dan ibu hamil sangat umum terjadi di negara berkembang Asia. Lebih dari 40 persen anak di bawah usia 5 tahun (balita), menunjukkan tanda malnutrisi kronis di semua negara Asia Selatan, kecuali Sri Lanka, Kamboja, Indonesia, Laos, Myanmar, Vietnam, dan Papua Nugini. Prevalensi malnutrisi anak di Indonesia (42 persen), sangat tinggi di negara dengan tingkat pembangunan ekonomi yang cukup baik. Hal itu kontras dengan prevalensi malnutrisi yang lebih rendah di Sri Lanka (hanya 18 persen-padahal GDP negara itu lebih rendah daripada Indonesia), kecuali di negara dengan GDP yang lebih rendah. 108 B. KEMISKINAN DAN FERTILITAS Di antara negara berkembang di Asia, hanya Cina, Thailand dan Sri Lanka saja yang telah mengurangi rata-rata fertilitas sampai ke tahap penggantian (angka total fertilitas 2,1 per perempuan). Fertilitas yang tinggi berimplikasi pada angka ketergan-tungan rasio, jumlah orang yang tergantung (biasanya anak-anak) di populasi di-bandingkan dengan jumlah orang dewasa di tempat kerja. Di negara seperti Pakistan, Nepal dan Filipina, di mana fertilitas tetap tinggi walaupun sudah ada program keluarga berencana, data yang ada menunjukkan bahwa masalah utama dalam membatasi fertilitas bukanlah rendahnya informasi atau akses kontrasepsi tetapi lebih ke arah rendahnya kualitas pelayanan KB (terutama pelayanan yang tersedia untuk penduduk miskin), lalu adanya rasa takut akan efek samping medis, serta hambatan sosial, budaya dan agama untuk menggunakan alat KB. Di Kamboja, Laos dan Myanmar, kurangnya kemajuan dalam mengurangi fertilitas juga merefleksikan rendahnya pengetahuan dan akses untuk alat KB. Di seluruh wilayah Asia, fertilitas cenderung lebih tinggi pada penduduk miskin. Hal itu menyebabkan, faktor lainnya seimbang, dalam peningkatan proporsi penduduk yang hidup miskin. Untuk beberapa hal, makin tinggi fertilitas pada penduduk miskin, menyebabkan perbedaan dalam hal pengetahuan dan akses terhadap alat KB. Contohnya, angka pemakaian kontrasepsi tidak bervariasi seperti halnya pendapatan di negara seperti Indonesia dan Bangladesh yang mempunyai program KB yang mapan dan efektif, ataupun di negara di mana program KB itu kurang berhasil seperti di Pakistan dan Nepal. Namun demikian, fertilitas yang lebih tinggi di antara penduduk miskin dapat merefleksikan kebutuhan yang besar untuk mempunyai anak. Di negara yang sukses mengurangi fertilitas, rasio ketergantungan sudah rendah. Data terbaru menunjukkan bahwa pengurangan itu meningkatkan produktivitas tenaga kerja dengan meningkatkan tabungan 109 dan rasio antara modal-tenaga kerja. Hal itu mendorong pertumbuhan ekonomi yang berhubungan dengan transisi fertilitas yang dikenal sebagai bonus kependudukan. Cina, Thailand, Malaysia dan Indonesia telah mendapat keuntungan dari peningkatan tabungan rumah tangga berhubungan dengan menurunnya beban ketergantungan. Negara itu juga mendapat keuntungan dari tabungan sektor publik dengan makin sedikitnya jumlah anak yang butuh sekolah dan pelayanan kesehatan. 110